linda skripsi pertanggungjawaban hukum dokter terhadap malapraktek
TRANSCRIPT
SKRIPSI
PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM DOKTER TERHADAP MALAPRAKTEK
Oleh :
LINDA FITRIANID1A.005.150
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM2010
SKRIPSI
PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM DOKTER TERHADAP MALAPRAKTEK
Oleh :
LINDA FITRIANID1A.005.150
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM2010
i
PERTANGGUNG JAWABAN HUKUM DOKTER TERHADAP MALAPRAKTEK
Oleh :
LINDA FITRIANI
D1A.005.150
Menyetujui,
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping
Arba, S.H.,M.Hum Zaeny Asyhadie,S.H.,M.HumNIP. 19621231 198903 1 018 NIP. 19610620 198803 1 001
ii
SKRIPSI INI DISEMINARKAN DAN DIUJIPADA TANGGAL ______________
Oleh :
DEWAN PENGUJI
KETUA,
Arba, S.H.,M.Hum __________________________NIP. 19621231 198903 1 018
ANGGOTA I
Zaeny Asyhadie,S.H.,M.Hum __________________________NIP. 19610620 198803 1 001
ANGGOTA II
DJUMARDIN, SH,.M.HUM __________________________NIP. 19630809 198803 1 001
Mengetahui Fakultas Hukum Universitas Mataram
Bagian Hukum Perdata
Arba, S.H.,M.HumNIP. 19621231 198903 1 018
iii
SKRIPSI INI TELAH DITERIMA DAN DISAHKANOLEH FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM
PADA TANGGAL : ____________________
Dekan,
Prof. Dr. H. M. Galang Asmara, S.H.,M.HumNIP. 19590703 199903 1 002
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah, Dzat Yang Maha Sempurna Lagi Maha Besar. Salawat
serta salam kita ucapkan kapada Nabi Besar Muhammad SAW yang membawa kita
dari dunia yang gelap gulita ke dunia terang benerang.
Atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan
sesuai dengan rencana yang penulis beri judul ”PERTANGGUNG JAWABAN
HUKUM DOKTER TERHADAP MALPRAKTEK”. Semoga skripsi yang
penulis buat ini dapat menambah khasanah berfikir dalam hal hukum kesehatan yang
terkait dalam hal malpraktek hukum dokter.
Dengan keterbatasan dan kekurangan penulis dalam penulisan skripsi ini baik
secara teoritis maupun secara praktis, sangat penulis sadari masih banyak
ketidaksempurnaan baik dalam tulisan maupun ucapan, namun tidak mengurangi
makna dan guna bagi para pembaca dan penulis sendiri.
Berkat dorongan dan motivasi dari pihak-pihak yang telah membantu penulis,
maka skripsi ini dapat penulis selesaikan tepat pada waktunya. Melalui kesempatan
ini penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Arba, S.H.,M.Hum selaku Dosen Pembimbing Utama.
2. Bapak Zaeny Asyhadie,S.H.,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing Pendamping.
3. Bapak Prof. DR. H. M. Galang Asmara, S.H., M.H. selaku Dekan FH Unram.
4. Bapak dan Ibu Dosen dan Staf Akademik Fakultas Hukum Unram, yang telah
mendidik dan membina penulis selama dibangku kuliah.
v
5. Keluargaku tercinta Ayahanda Mahmi, Ibunda Denda Sabriyah, Kakanda Fathur
Danuartha, serta Adik-adikku Nurul Hidayat, Nurul Haeni, Muh. Rasyid,
Rahmatul Qodri dan Dedeku Akbar Maulana, Baiq Nana Riskia Ferbriana, Lalu
Erwin Muda yang selalu mendoakan penulis untuk meraih kesuksesan.
6. Keluarga besar di Kekalik, Bibik Amnah, Ramdani Mulyadi SE, Baiq Dwi Yuli
Asri, Zulfan Hadi.
7. Lalu Irzan Suhari yang selalu dekat dihati dan senantiasa memberikan dukungan
kepada penulis.
8. Teman-temanku yang tercinta Muhamad Ikbal SH, Irvan Adilla, SE, Lutfiyati SH,
Dewi Setiya Ningsih SH, Ratih Ttriani, Ratih Ramayanti SH, Nurrosyidah SH,
Agus Surya Arsana, Julia Fajriati SH, Endang dan semua teman-temanku yang
tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah memberikan sumbang saran untuk
terselesainya skripsi dan memberikan semangat untuk menyelesaikan skripsi
penulis.
Penulis menyadari bahwa sebenarnya skripsi ini jauh dari kesempurnaan baik
dari segi penulisan dan pembahasan, untuk itu penulis dengan penuh lapang dada
untuk menerima kritik dan saran serta masukan guna perbaikan dan penyempunaan
skripsi ini
Akhirnya semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah khasanah
kepustakaan ilmiah khususnya pada diri penulis sendiri dan pada almamater tercinta.
Penulis,
LINDA FITRIANID1A.005.150
vi
ABSTRAKSI
Pengaturan dalam hal kejahatan di dalam bidang kesehatan sangatlah tidak
terlalu banyak yang memperhatikan, dikarenakan hal tersebut hanya terkait dengan
pasin sebagai pihak yang membutuhkan pelayanan kesehatan, dolter sebagai profesi
yang memnerikan pelayanan kesehatan, dan rumah sakit sebagai puhak yang
memberikan fasilitas untuk menjalankan pelayanan kesehatan.
Pengaturan pertanggungjawab hukum dokter yang melakukan malapraktek
kedokteran, pada dasarnya masuk dalam tiga lapangan hukum, yakni perdata, pidana
dan administrasi. Masuk perdata sebagai wanprestasi dan atau perbuatan melawan
hukum yang membeban pertanggungjawaban. Masuk lapangan hukum pidana sebagai
suatu kejahatan, yang membeban pertanggungjawaban pidana. Malpraktik pidana
pada dasarnya juga sekaligus masuk lapangan perdata melalui perbuatan melawan
hukum.
Pertanggungjawaban dari segi hukum perdata adalah dengan memberikan
ganti rugi kepada pasien karena berdasarkan perjanjian pengobantan.
Pertanggungjawaban dari segi hukum perdata adalah dengan kosekuensi di
jerat dengan hukuman pidana baik berupa penjara.
Pertanggungjawaban dari segi hukum administrasi adalah bagi dokter surat
izin prakteknya bisa dicabut.
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN
“ this thesis is dedicated to my beloved
parents and all my dear friends who are
give my motivated and pray”
viii
MOTTO
THE MORE WE SEARTCH ABOUT
THINGS,
THE MORE WE REALIZE THAT
WE STILL DO NOT KNOW MUCH
ABOUT THINGS
THEREFORE, HOLD THE PHILOSOPHY
OF PADDY :
“THE MORE IS FILLS, THE MORE IT
BOWS”
ix
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................. i
.................................................................................................................................
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN DEWAN PENGUJI............................................ iii
HALAMAN PENGESAHAN KETUA BAGIAN.............................................. iv
HALAMAN PENGESAHAN DEKAN............................................................... v
KATA PENGANTAR........................................................................................... vi
ABSTRAKSI......................................................................................................... viii
HALAMAN PERSEMBAHAN........................................................................... ix
MOTTO................................................................................................................. x
DAFTAR ISI.......................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 1
A. Latar Belakang............................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................... 3
C. Tujuan dan Manfaat....................................................................................... 3
D. Ruang Lingkup Penelitian.............................................................................. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................... 5
A. Pengertian Perjanjian Terapeutik................................................................... 5
B. Dasar Hukum Perjanjian Terapeutik.............................................................. 6
C. Pengertian dan Akibat Hukum Malpraktek................................................... 9
D. Hak dan Kewajiban Pasien dan Dokter......................................................... 14
xi
E. Dasar Hukum Pertanggungjawaban Hukum Dokter Dalam Malapraktek..... 17
F. Tanggungjawab Hukum Dokter..................................................................... 22
BAB III METODE PENELITIAN...................................................................... 26
A. Pendekatan Masalah....................................................................................... 26
B. Sumber dan Jenis Bahan Hukum................................................................... 26
C. Teknik dan Alat Pengumpulan Bahan Hukum.............................................. 27
D. Analisa Bahan Hukum................................................................................... 27
BAB IV PEMBAHASAN .................................................................................... 29
A. Pengaturan Pertanggung Jawaban Hukum Dokter Terhadap Malapraktek... 29
B. Bentuk-Bentuk Pertanggungjawaban Hukum Dokter Terhadap Malapraktek
Ditinjau Dari Hukum Perdata, Hukum Pidana Dan Hukum Administasi .... 39
BAB V PENUTUP................................................................................................. 68
A. Kesimpulan.................................................................................................... 68
B. Saran.............................................................................................................. 69
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 71
xii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kesehatan merupakan kebutuhan semua orang apalagi di era yang
serba sibuk dan modern sekarang ini kesehatan benar-benar sangat
dibutuhkan, baik kesehatan jasmani maupun kesehatan rohani sangat
diperlukan untuk melakukan semua kegiatan yang baik yang bersifat privat
seperti mengurus anak dan keluarga, maupun yang bersifat publik seperti
melakukan pekerjaan di kantor atau di tempat kerja.
Di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal
28C ayat (1) Amandemen Kedua, disana dijelaskan “...melalui pemenuhan
dasarnya...”. Kesehatan merupakan kebutuhan yang sangat mendasar untuk
melangsungkan kehidupan seseorang atau keluarga, karena dengan kesehatan
maka seseorang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Pada
Pasal 28H ayat (3) Amandemen Kedua, di pasal tersebut juga menerangkan
“setiap orang berhak atas jaminan sosial”. “Jaminan Sosial” dapat
diterjemahkan sebagai salah satu pemenuhan kebutuhan hidup seseorang yang
dalam ini adalah pemenuhan akan kesehatan yang dipergunakan untuk
menjalankan kehudupan bermasyarakat.
Di dalam melindungi kesehatan harus dilakukan bukan hanya oleh
orang-perorang (person), tetapi juga negara dan masyarakat luas. Salah
satunya yang dapat dilakukan untuk melindungi seseorang dalam memenuhi
1
kebutuhannya salah satunya adalah di bidang kesehatan, maka diperlukan
hukum sebagai pelindungnya dan juga diperlukan suatu peraturan yang
dibutuhkan untuk membatasi ruang gerak dari dokter sebagai orang yang ahli
dalam bidang kesehatan untuk masyarakat mendapatkan kesehatan
Praktik kedokteran bukanlah suatu pekerjaan yang dapat dilakukan
oleh siapa saja, melainkan hanya boleh dilakukan oleh ketompok profesional
kedokteran tertentu Sikap profesionalisme adalah sikap yang bertanggung
jawab, dalam arti sikap dan perilaku yang akuntabel kepada masyarakat, baik
masyarakat profesi maupun masyarakat luas (termasuk klien atau pasien).
Profesional kedokteran tertentu yang memiliki kompetensi yang memenuhi
standar tertentu, diberi kewenangan oleh institusi yang berwenang di bidang
itu dan bekerja sesuai dengan standar dan profesionalisme yang ditetapkan
oleh organisasi profesinya maupun masyarakat luas (termasuk klien atau
pasien). Beberapa ciri profesionalisme tersebut merupakan ciri profesi itu
sendiri, seperti kompetensi dan kewenangan yang selalu "sesuai dengan
tempat dan waktu", sikap yang etis sesuai dengan etika profesinya, bekerja
sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh profesinya, dan khusus untuk
profesi kesehatan ditambah dengan sikap altruis (rela berkorban). Uraian dari
ciri-ciri tersebutlah yang kiranya harus dapat dihayati dan diamalkan agar
profesionalisme tersebut dapat terwujud.
Semua tindakan medis yang dilakukan oleh seorang dokter harus
memiliki persetujuan dari diri seseorang yang mengalami kesakitan (pasien)
2
atau keluarganya yang disebut Perjanjian Terapeutik. Perjanjian Terapeutik
adalah “perjanjian antara dokter dengan pasien, berupa hubungan hukum yang
melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak”1. Walaupun sudah
dibuat suatu perjanjian antara pasien dengan dokter tetap saja tindakan medis
memiliki resiko yang berbeda-beda. Sama halnya dengan tindakan medik
yang memiliki resiko.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan pertanggungjawaban hukum dokter terhadap
pasien jika terjadi malapraktek?
2. Bagaimana bentuk-bentuk pertanggungjawaban hukum dokter terhadap
malapraktek ditinjau dari Hukum Perdata, Hukum Pidana dan Hukum
Administrasi?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini, adalah:
a. Untuk mengetahui dan menganalisa pengaturan tentang
pertanggungjawaban hukum dokter terhadap pasien jika terjadi
malapraktek.
1 Bahdar Johan Nasution, Hukum Kesehatan PertanggungJawaban Dokter,PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1990, Hal. 12
3
b. Untuk mengetahui bentuk-bentuk pertanggungjawaban dokter
terhadap pasien dalam tindakan malparaktek ditinjau dari Hukum
Perdata, Hukum Pidana dan Hukum Administrasi.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat teoritis, untuk memberikan kontribusi dalam pengembangan
ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan hukum
pasien terhadap tindakan malapraktek.
b. Manfaat praktis, diharapkan penelitian ini dapat bermaanfaat bagi
penulis sendiri maupun pihak-pihak lain yang ingin mengetahui
permasalahan yang diteliti.
D. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup materi penelitian mencakup keberlakuan hukum dalam
kehidupan bermasyarakat, yang berkaitan dengan pertanggungjawaban hukum
dokter terhadap pasien jika terjadi malapraktek.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Perjanjian Terapeutik
Perjanjian terapeutik adalah perjanjian antara pasien dengan dokter,
berupa suatu hubungan hukum yang melahirkan suatu hak dan kewajiban
antara dokter sebagai orang yang melakukan tindakan medik dengan seorang
pasien yang menerima tindakan medik.
Perjanjian terapeutik sama halnya dengan perikatan pada umumnya, di
dalam perjanjian terapeutik juga terdapat para pihak yang mengikatkan
dirinya di dalam suatu perjanjian, yaitu dokter sebagai pihak yang
memberikan pelayanan medik dan di pasien sebagai pihak yang menerima
pelayanan tersebut.
Mengacu pada peraturan perundangan dibidang kesehatan maka
hubungan hukum yang terjadi dalam perjanjian terapautik adalah sebagai
berikut :
1. Objek hukum perjanjian terapautik adalah kewajiban yang harus
dilakukan oleh dokter terhadap pasien yang berhak untuk menerima
tindakan medik;
2. Subyek hukum perjanjian terapautik adalah pasie, dokter dan sarana
kesehatan; dan
3. Causa hukum perjanjian terapautik adalah upaya kesehatan yang
5
dilakukan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi
masyarakat melalui pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan,
pencegahan penyakit, pemulihan kesehat yang dilakukan secara
menyeluruh terpadu dan berkesinambungan.2
Menurut Siti Ismiati Jenie, perjanjian terapautik adalah “Suatu
perjanjian yang obyeknya adalah pelayanan medis atau upaya penyembuhan”3
Di dalam hukum perikatan yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUH Perdata), dikenal ada dua (2) macam perjanjian, yaitu :
1. Inspanningsverbintenis, yakni perjanjian upaya artinya kedua belah pihak yang berjanji berdaya upaya secara maksimal untuk mewujudkan apa yang diperjanjikan; dan
2. Resultaatverbintenis, yakni suatu perjanjian bahwa pihak yang berjanji akan diberikan suatu resultaat, yaitu suatu hasil nyata sesuai dengan apa yang diperjanjikan.4
Jika kita melihat dari kedua jenis perjanjian yang terdapat di KUH
Perdata, maka perjanjian antara dokter dengan pasien atau perjanjian
terapeutik merupakan jenis perjanjian inspanningsverbintenis atau perikatan
upaya. Di dalam jenis perjanjian ini seorang dokter hanya berkewajiban
memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien dengan cara menggunakan
semua kemampuan yang dimiliki untuk menjamin keselamatan atau kesehatan
di pasien dengan etika kedokteran dan prosedur kesehatan yang terjamin.
2 Y.A. Triana Ohoiwutun,. Bungan Rampai Hukum kedokteran. Malang, Bayu Media, 2008, Hal.9
3 Siti Ismiati Jenie, Aspek Yuridis Sekitar Perjanjian Terapautik, Sinar Harapan, Jakarta, 1995, Hal. 3
4 Bahdar Johan Nasution, Op. Cit , Hal.13
6
Apabila dokter atau instansi kesehatan tersebut tidak menjalankan tugas
dan fungsinya secara sungguh-sungguh, maka pasien atau keluarga pasien
dapat menggugat karena melakukan wanprestasi yang sesuai dengan Pasal
1239 KUH Perdata. Dan dapat juga meminta atau menuntut kompensasi baik
secara materiil maupun immateriil, maka Pasal 1365 dan Pasal 1366 KUH
Perdata dapat dipakai sebagai dasar gugatannya walaupun tidak ada hubungan
kontraktual, asalkan perbuatannya melanggar hukum dan dapat diterima jika
ada fakta-fakta yang mendukung bahwa kerugian pasien diakibatkan oleh
perbuatan dokter.
B. Dasar Hukum Transaksi Terapeutik
Di dalam Hukum III KUH Perdata yang mengatur tentang Perikatan,
yang didasarkan pada sistem terbuka yang tercantum di dalam Pasal 1319,
yaitu : “semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun
tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum,
yang termuat di dalam Bab ini dan Bab yang lalu”.
Pada Pasal 1233 KUH Perdata, menyatakan bahwa setiap perikatan
yang dilahirkan karena aperjanjian atau pun karena undang-undang mengikat
para pihak yang membuat perikatan tersebut. Sedangkan pada Pasal 1339 dan
Pasal 1347 KUH Perdata, terdapat kosekuensi logis mengenai sumber
perikatan karena para pihak dalam suatu perjanjian tidak hanya terikat di
dalam hal-hal yang secara tegas disebutkan di dalam Pasal 1233 KUH
Perdata, tetapi juga pada segala hal yang menurut sifat perjanjian dan selain
7
itu juga diharuskan oleh kepatutan dan kesusilaan.
Transaksi terapeutik merupakan suatu perjanjian dalam hal
memberikan jasa yang diatur di dalam Pasal 1601 KUH Perdata yang
menyatakan jenis perjanian untuk memberikan atau melakukan jasa yang
diatur di dalam ketentuan khusus. Yang dimaksud dengan ketentuan khusus
yang mengatur tentang perjanjian terapeutik adalah Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Sedangkan syarat-syarat sahnya dari
transahsi terapautik adalah berdasarkan ketentuan pasal 1320 KUH
perdata,yang menyatakan bahwa untuk sahnya perjanjian diperlukan empat
syarat sebagai berikut5 :
a. Adanya pihak yang mengikatkan diriSecara yuridis, yang dimaksud dengan adanya kesepakatan adalah tdak adanya kehilapan, atau paksaan, atau penipuan seperti yang dinyatakan dalam Pasal 1321 KUH Perdata.sepakat disini artinya bahwa persetujuan dari mereka yang mengikatkan diri.berarti dalam suatu perjanjian minimal harus 2 orang suyek hukum. Yang dapat menyatakan kehendaknya untuk mengikatkan diri.
b. Kecakapan untuk membuat perikatanSecara yuridis, yang dimaksud dengan kecakpan untuk membuat perikatan adalah kewenangan seseorang untuk mengikatkan diri kepada orang lain,karena tidak dilarang oleh undang-undang. Hal ini didasrkan Pasal 1329 KUH Perdata dan Pasal 1330 KUH Perdata.
c. Suatu hal tertentuYang dimaksud dengan suatu hal tertentu adalah objek dari suatu perjanjian. Dalam Pasal 1337 KUH Perdata suatu sebab adalah larangan, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan maupun ketertiban umum.
d. Suatu sebab yang halal
5 Komalawati Veronica, Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terapeutik,PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, Hal 155-165
8
Hal ini dalam Undang-undang tidak dijelaskan secara tegas, tetapi dapat di tafsirkan secara contrario menurut ketentuan Pasal 1335 dan Pasal 1337 KUH Perdata.
Di dalam Pasal 1335 KUHP erdata disebutkan bahwa suatu perjanjian
tanpa sebab, atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan. Sedangkan di dalam
Pasal 1337 KUH Perdata suatu sebab adalah terlarang, apabila di larang oleh
undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau
ketertiban umum.
Dengan demikian adalah yang di maksud dengan sebab yang halal
adalah sebab yang tidak dilarang oleh undang-undang, kesusilaan atau
ketertiban umum, sedangkan yang di maksud dengan sebab adalah tujuan
C. Pengertian dan Akibat Hukum Malapraktek
Secara harfiah pengertian “malapraktek adalah suatu tindakan atau
praktek yang buruk atau dengan kata lain malapraktek kelalaian kaum profesi
yang terjadi ketika melakukan profesinya”.6
Sedangkan terjadinya malapraktek oleh dokter menurut Soejono
Soekanto paling sedikit tergantung pada syarat-syarat, sebagai berikut :
1. Akibat dari perbuatan dapat diperhitungkan terlebih dahulu; dan
2. Akibat faktor ketidak hati-hatian didalam melakukan sesuatu
atau tidak melakukannya.7
6 Gunawan, Etika Kedokteran, Kanisius, Yokyakarta, 1992, Hal 617 Soejono Soekarto, Suatu Tinjauan Sosiologis Hukum Terhadap Masalah-Masalah Sosial,
Alimni, Bandung, 1982, Hal. 105
9
Makna dari kata malapraktek adalah suatu istilah yang mempunyai
konotasi buruk. Bersifat stigmatis, menyalahkan. Praktek buruk dari seseorang
yang memegang suatu profesi dalam arti umum. Tidak hanya profesi medis
saja, sehingga juga ditujukan kepada profesi lainnya. Jika ditujukan kepada
profesi medis, seharusnya juga disebut sebagai “malapraktek medis”. Namun
entah mengapa, dimana-mana terutama mulai di luar negeri, istilah
malapraktek selalu pertama-tama diasosiasikan kepada profesi medis.
Malapraktek adalah kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk
menerapkan tingkat ketrampilan dan pengetahuannya di dalam memberikan
pelayanan pengobatan dan perawatan terhadap seorang pasien yang lazimnya
diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit atau terluka.
Dilingkungan wilayah yang sama.
Istilah kelalaian adalah sebagai terjemahan dari negligence (Belanda:
nalatigheid) dalam arti umum bukanlah suatu pelanggaran hukum atau
kejahatan. Seseorang dikatakan lalai apabila ia bertindak acuh, tak peduli.
tidak memperhatikan kepentingan orang lain sebagaimana lazimnya di dalam
tata pergaulan hidup masyarakat.
J. Suwandhi berusaha mengusulkan penggunaan istilah malapraktek dengan perkara medik-medik dengan alasan bahwa jika seorang dokter sudah melakukan malapraktek padahal masih dibuktiin, maka hal ini akan bertentangan dengan asas praduga tak bersalah yang di anut, malapraktek mempunyai konotasi buruk, sementara ada pula yang menuliskan malpractice dengan kata malapraktek dalam Bahasa
10
Indonesia.8
Sedangkan Ninik Marianti mempergunakan istilah malapraktek dengan
memberikan pengertian sebagai berikut :
”Suatu kesalahan yang terjadi dalam tindakan medis, kesalahan mana di lakukan tidak dengan sengaja, melainkan karena adanya unsur lalai, yang seharusnya tidak layak untuk di lakukan oleh seorang dokter, akibat dan tindakan itu pasien menjadi cacat dan bahkan mengakibatkan kematian”9
Menurut John M. Echlos Ahassan Shadly menjelaskan mengenai malapraktek. Beliau memberikan pengertian mengenai malapraktek yaitu cara pengobatan pasien yang salah, adapun ruang lingkupnya mencakup kurangnya kemampuan melakukan kewajiban-kewajiban prosional,di dasarkan kepada kepercayaan secara 10
Secara harfiah ”malapraktek adalah suatu tindakan atau praktek yang
buruk, dengan kata lain malapraktek adalah kelalaian kaum profesi yang
terjadi sewaktu melakukan profesinya”.11
Ada beberapa ukuran yang digunakan atau menentukan seorang dokter
telah melakukan kelalaian atau tidak, syarat-syarat tersebut harus dibuktikan
oleh pasien bilamana si pasien memandang dokter telah melakukan kekalaian
dalam melaksanakan tugasnya. Adapun syarat-syarat pasien untuk melakukan
pembuktian jika dokter tersebut melakukan kelalaian, yaitu :12
1. KewajibanPada penggungat harus membuktikan bahwa dokter yang bersangkutan
8 J, Suandhi, dalam bukunya Ninik Marianti , Malapraktek Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana Dan Perdata, Bina Angkasa, Jakarta, 1988, Hal 39
9 Ibid, Hal 3510 Ibid, Hal. 4011 Ibid, Hal 6512 Soejono Soekanto dan Herkutanto, Pengantar Hukum Kesehatan, Remaja Karya, Jakarta,
1987, Hal.157
11
mempunyai kewajiban khusus terhadap pasien, kewajiban ini berdasarkan hukum yang menyangkut hubungan dokter dengan pasien yang mengharuskan dokter berbuat sesuai dengan norma-norma atau standar spesifikasi atau dasar profesi dokter.
2. Kelalaikan kewajibanPasien penggugat harus menunjukan bahwa dokter telah gagal melaksanakan kewajibannya sesuai dengan norma-norma, karena tindakannya dengan sadar atau dengan tidak sadar yang melanggar standarisasi pasien tersebut.
3. Sebab Pasien penggugat harus menunjukan bahwa adanya hubungan timbal balik yang erat dan masuk akal antara tindakan dokter dengan akibat yang menimbulkan bahaya bagi pasien.
4. KerugianPasien penggugat harus menunjukan perbuatan dokter mengakibatkan terjadinya kerugian atau kerusakan. Dapat terjadi mengenai badaniyah, materi, penderitaan atau emosional bagi pasien yang bersangkutan.
Dalam bukunya CST Kansil menulis beberapa pengertian mengenai
kesalahan dokter, antara lain :13
1. Setiap kesalahan profesional yang diperbuat oleh dokter pada waktu melakukan pekerjaan profesionalnya tidak memeriksa, tidak menilai, tidak berbuat atau meninggalkan hal-hal yang diperiksa, dinilai, diperbuat atau dilakukan oleh para dokter pada umumnya dalam situasi yang sama.
2. Setiap kesalahan yang diperbuat dokter karena melakukan pekerjaan kedokteran di bawah standar yang sebenarnya secara rata-rata dan masuk akal dapat dilakukan oleh setiap dokter dalam situasi yang sama.
3. Setiap kesalahan profesional yang diperbuat oleh seorang dokter yang di dalamnya termasuk kesalahan karena perbuatan-perbuatan yang tidak masuk akal, serta kesalahan karena keterampilan yang kurang dalam menyelenggarakan kewajiban ataupun kepercayaan profesional yang dimiliki.
Malapraktek dalam hukum kedokteran mengandung arti praktek dokter
yang buruk (bed practice). Apabila kita membahas pengertian medical
malpractice dari sudut tanggung jawab dokter yang berada dalam suatu
13 CST Kancil, Pengantar Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, Hal 242
12
perikatan dengan pasien, maka harus menilai kualifikasi yuridis tindakan
medis yang di lakukan dokter tersebut.14
Profesi kedokteran dan tenaga medis lainnya dianggap sebagai profesi
yang mulia (officium nobel) dan terhormat dimata masyarakat. Seorang dokter
sebelum melakukan praktek kedokterannya atau melakukan pelayanan medis
telah melalui pendidikan dan pelatihan yang cukup panjang. Dari profesi ini
banyak masyarakat menggantungkan harapan hidupnya dari kesembuhan dan
penderitaan sakitnya.
Hubungan antara pasien dan dokter yang tadinya dianggap tidak
seimbang karena kedudukan dokter lebih tinggi sekarang mengalami
pergeseran. Masyarakat dalam hal ini pasien menilai bahwa hubungan antara
mereka dengan dokternya adalah seimbang, dimana dalam kewajiban dokter
untuk melaksanakan tugasnya dengan hati-hati terdapat hak pasien untuk
mendapat pelayanan yang sebaik-baiknya
Tuntutan yang demikian dari masyarakat dapat dipahami mengingat
sangat sedikit jumlah kasus malpraktik medik yang diselesaikan di
pengadilan. Apakah secara hukum perdata, hukum pidana atau dengan hukum
administrasi. Padahal media massa nasional juga daerah berkali-kali
melaporkan adanya dugaan malpraktik medik yang dilakukan dokter tapi
sering tidak berujung pada peyelesaian melalui sistem peradilan.
14 Dani Wiradharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran,Bina Rupa Aksara: Jakarta, 1996, hal. 87
13
Kasus-kasus dugaan malpraktik seperti gunung es, hanya sedikit yang
muncul dipermukaan. Ada banyak tindakan dan pelayanan medik yang
dilakukan dokter atau tenaga medis lainnya yang berpotensi merupakan
malpraktik yang dilaporkan masyarakat tapi tidak diselesaikan secara hukum.
Bagi masyarakat hal ini sepertinya menunjukkan bahwa para penegak hukum
tidak berpihak pada pasien terutama masyarakat kecil yang kedudukannya
tentu tidak setara dengan dokter.
Penegakan hukum yang proporsional terhadap tindakan dokter yang
diduga melakukan tindakan malpraktik medik selain memberi perlindungan
hukum bagi masyarakat sebagai konsumen dan biasanya mempunyai
kedudukan lemah, dilain pihak juga bagi dokter yang tersangkut dengan
persoalan hukum jika memang telah melalui proses peradilan dan terbukti
tidak melakukan perbuatan malpraktik akan dapat mengembalikan nama
baiknya yang dianggap telah tercemar, karena hubungan dokter dan pasien
bukanlah hubungan yang sifatnya kerja biasa atau atasan bawahan tapi
sifatnya kepercayaan.
Pasien akan datang pada seorang dokter untuk menyerahkan urusan
kesehatannya karena ia percaya atau yakin pada kemampuan dokter tersebut
melalui penawaran terbuka yang diberikan dokter lewat pemasangan plang
nama dan kualifikasi keahliannya (misalnya spesialis apa). Dengan demikian
reputasi dokter sehingga menimbulkan kepercayaan pasien adalah modal.
D. Hak dan Kewajiban Pasien dan Dokter
14
Dalam pandangan hukum, pasien adalah subjek hukum mandiri yang
dianggap dapat mengambil keputusan untuk kepentingan dirinya. Oleb kanena
itu adalah suatu hal yang keliru apabila menganggap pasien selalu tidak dapat
mengabil keputusan kanena ia sedang sakit. Dalam pengaulan hidup, normal
sehari-hari biasanya penggungkapan keinginan atau kehendak dianggap
sebagai titik tolak untuk mengambi keputusan. Dengan demikian walaupun
seorang pasien sedang sakit, kedudukan hukumnya tetap sama seperti orang
sehat. Jadi, secara hukum pasien juga berhak mengambil keputusan terhadap
pelayanan kesehatan yang akan dilakukan terhadapnya, karena hal ini
berhubungan erat dengan hak asasinya sebagai manusia. Kecuali apabila dapat
dibuktikan bahwa keadaan mentalnya tidak mendukung untuk mengambil
keputusan yang diperlukan.
Dalam hubungannya dengan hak asasi manusia, persoalan mengenai
kesehatan ini di negara kita diatur dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan, di mana dalam Bab I Pasal 1 Ayat (1), yaitu “Kesehatan
adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang
memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan
ekonomis”, dan Pasal 4 menyebutkan, yaitu : “Setiap orang berhak atas
kesehatan”.
Sehubungan dengan hak atas kesehatan tersebut yang harus dimiliki oleh
setiap orang, negara memberi jaminan untuk mewujudkannya. Jaminan ini
15
antara lain diatur dalam Bab IV mulai dan Pasal 14 sampai Pasal 20 Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada bagian tugas dan
tanggung jawab pemerintah.
Berbicara mengenai hak-hak pasien dalam pelayanan kesehatan, maka
hak-hak pasien tersebut, adalah :
1. Hak pasien atas perawatan;2. Hak untuk menolak cara perawatan tertentu;3. Hak untuk memilih tenaga kesehatan dan rumah sakit yang akan merawat
pasien;4. Hak atas informasi;5. Hak untuk menolak perawat tanpa izin;6. Hak atas rasa aman;7. Hak atas pembatasan terhadap kebebasan perawat;8. Hak untuk mengakhiri perjanjian perawatan;9. Hak atas twenty-for-a-day-visitor-rights;10. Hak pasien menggugat atau menuntut.11. Hak pasien mengenai bantuan hukum; dan12. Hak pasien untuk menasihatkan mengenai percobaan oleh tenaga
kesehatan atau ahlinya. 15
Berbarengan dengan hak tersebut pasien juga mempunyai kewajiban,
baik kewajiban secara moral maupun secara yuridis. Secara moral pasien
bcrkewajiban memelihara kesehatannya dan menjalankan aturan-aturan
perawatan sesuai dengan nasihat dokter yang merawatnya. Beberapa
kewajiban pasien yang harus dipenuhinya dalam pelayanan kesehatan adalah
sebagai berikut:
1. Kewajiban memberikan informasi.2. Kewajiban melaksanakan nasihat dokter atau tenaga kesehatan.3. Kewajiban untuk berterus terang apabila timbul masalah dalam
hubungannya dengan dokter atau tenaga kesehatan.
15 Bahdar Johan Nasution,Op cit hal 33-34
16
4. Kewajiban memberikan imbalan jasa.5. Kewajiban memberikan ganti-rugi, apabila tindakannya merugikan dokter
atau tenaga kesehatan. 16
Berdasarkan pada perjanjian terapeutik yang menimbulkan hak dan
kewajiban bagi para pihak, dokter juga mempunyai hak dan kewajiban
sebagai pengemban profesi. Hak-hak dokter sebagai pengemban profesi dapat
dirumuskan:
1. Hak memperoleh informasi yang selengkap-lengkapnya dan sejujur-jujurnya dan pasien yang akan digunakannya bagi kepentingan diagnosis maupun terapeutik.
2. Hak atas imbalan jasa atau honorarium terhadap pelayanan yang diberikanya kepada pasien.
3. Hak atas itikat baik dari pasien atau keluarganya dalam melaksanakan transaksi terapeutik.
4. Hak membela diri terhadap tuntutan atau gugatan pasien atas pelayanan kesehatan yang diberikannya
5. Hak untuk memperoleh persetujuan tindakan medik dan pasien atau keluarganya. 17
Berpedoman pada isi rumusan kode etik kedokteran tersebut, Hermien
Hadiati Koeswadji mengatakan bahwa secara pokok kewajiban dokter dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bahwa dokter wajib merawat pasiennya dengan cara keilmuan yang ia miliki secara adekuat. Dokter dalam perjanjian tersebut tidak menjanjikan menghasilkan satu resultaat atau hasil tertentu, karena apa yang dilakukannya itu merupakan upaya atau usaha sejauh mungkin sesuai dengan ilmu yang dimiiikinya. Karenanya bukan merupakan insparanningsverbinetenis. Inl berarti bahwa dokter wajib berusaha dengan hati-hati dan kesungguhan (met zorg eh inspanning) menjalankan tugasnya. Perbedaan antara resultanverbintenis dengan insparanningsverbinetenis ini yakni dalam hal terjadi suatu kesalahan.
16 Ibid, Hal. 3517 Ibid, Hal. 36
17
2. Dokter wajib menjalankan tugasnya sendiri (dalam arti secara pribadi dan bukan dilakukan oleh orang lain) sesuai dengan yang telah diperjanjikan, kecuali apabila pasien menyetujui perlu adanya seseorang yang mewakiiinya (karena dokter dalam lafal sumpahnya juga wajib menjaga kesehatannya sendiri).
3. Dokter wajib memberi informasi kepada pasiennya mengenal segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit atau penderitaannya. Kewajiban dokter mi dalam hal perjanjian perawatan (behandelingscontract) menyangkut dua hal yang ada kaitannya dengan kewajiban pasien. 18
E. Dasar Hukum Pertanggungjawaban Dokter Dalam Malapraktek
Berikut ini akan diuraikan mengenai hukum positif (khususnya yang
mengatur dan yang berkaitan dengan perlindungan hukum pidana bagi pasien)
yaitu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2004 Tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen.
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Dalam hal dokter melakukan kesalahan atau kelalaian Dokter tidak
dapat berdalih perbuatan yang tidak sengaja, sebab kesalahan/ kelalaian
dokter yang menimbulkan kerugian terhadap pasien untuk menggugat ganti
rugi. Dasar hukum dari gugatan pasien terhadap dokter terdapat dalam Pasal
1365 KUH Perdata yang berbunyi : tiap perbuatan melanggar hukum, yang
membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena
18 Hermien Hadiati Koeswadji Dalam Bukunya, Bahdar Johan Nasution, Hal 35
18
salahnya menerbitkan kerugian itu, penggantian kerugian menurut Pasal 1365
KUH Perdata, terdapat 4 (empat) unsur, yaitu :
1. Terjadi perbuatan melanggar hukum
2. Kesalahan / kelalaian
3. Kerugian
4. Hubungan sebab akibat antara kesalahan atau kelalaian dengan kerugian
berdasarkan kontruksi hukum di atas meskipun dokter melakukan
kesalahan atau kelalaian, tapi tidak menimbulakn kerugian terhadap pasien
maka dokter tidak dapat digugat tanggung jawab hukumnya
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Ada perbedaan akibat kerugian malapraktek perdata dengan
malapraktek pidana. Kerugian malapraktek peradata lebih luas dari akibat
malapraktek pidana. Akibat malapraktek perdata khususnya perbuatan
melawan hukum terdiri atas kerugian materil dan inmaterial perbuatan.
Bentuk-bentuk kerugian tidak dimuat secara khusus dalam undang-undang
akibat malapraktek kedokteran yang menjadi tindak pidana harus berupa
akibat yang sesuai dengan yang ditentukan dalam undan-undang. Malapraktek
kedokteran hanya terjadi pada tindak pidana materil. Suatu tindak pidana yang
melarang menimbulkan akibat tertentu, timbulnya akibat menjadi syarat
selainya tindak pidana. Seperti yang tercantum dalam pasal-pasal berikut ini :
Pasal 299(1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang pasien atau
menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan
19
harapan, bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah.
(2) Jika yang bersalah, berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencaharian atau kebiasaan, atau jika dia seorang dokter, bidan, atau juru obat; pidananya dapat ditambah sepertiga.
(3) Jika yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut, dalam menjalankan pencaharian, maka dapat dicabut haknya melakukan pencaharian itu.
Pasal 346Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungannya, atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Pasal 347
(1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 348
(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal 349
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut Pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
Masalah pengguguran kandungan atau abortus provokatus ini diatur
dengan ketat sekali dalam KUHP. Sebab orang yang sengaja mengobati
perempuan yang sedang mengandung, dengan memberi pengharapan
20
bahwa dengan obat yang diberikannya itu dapat menggugurkan
kandungan saja, dapat diancam dengan pidana yang cukup berat, yaitu
empat tahun penjara (Pasal 299 KUHP). Ketentuan ini sebetulnya
membuat dilema bagi dokter karena apabila ada indikasi medis di mana
dalam keadaan darurat untuk menyelamatkan nyawa ibu hamil,
mengharuskan pengguguran kandungan ibu hamil tersebut.
3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang
yang baru ini mengantikan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 yang
sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan
kesehatan. Pembangunan kesehatan saat ini dan di masa yang akan datang
bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan
hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan yang
optimal. 19
4. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran.
Menurut Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun
2004, pengaturan praktik kedokteran bertujuan untuk:
a. Memberikan perlindungan kepada pasien;b. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis
yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi; dan
19 Artikel, http://els.fk.umy.ac.id/file.php/1/moddata/forum/171/23650/HUKES.pdf.
21
c. Memberikan kepastian hukum kepada masyarakat penerima jasa pelayanan kesehatan (pasien).
Oleh karena itu untuk melakukan praktik kedokteran (upaya
kesehatan), dokter wajib memiliki surat tanda registrasi dan surat izin
praktik.
F. Tanggungjawab Hukum Dokter
Praktik kedokteran bukanlah pekerjaan yang dapat dilakukan siapa saja,
tapi hanya dapat dilakukan oleh kelompok professional kedokteran yang
berkompeten dan memenuhi standar tertentu. Secara teoritis terjadi social
kontrak antara masyarakat profesi dengan masyarakat umum. Dengan kontrak
ini memberikan hak kepada masyarakat profesi untuk mengatur otonomi
profesi, standar profesi yang disepakati. Sebaliknya masyarakat umum(pasien)
berhak mendapatkan pelayanan sesuai dengan standar yang diciptakan oleh
masyarakat professional tadi. Dengan demikian dokter memiliki
tanggungjawab atas profesinya dalam hal pelayanan medis kepada pasiennya.
Tanggungjawab profesi dokter ini dapat dibedakan atas tanggungjawab
etik dan tanggungjawab hukum. Terhadap pelanggaran-pelanggaran hukum
ini dapat dilakukan tindakan ataupun penegakan hukum. Dalam hal
penegakan hukum ini, Sacipto Rahardjo menyatakan bahwa :
“Hakekat penegakan hukum adalah suatu proses untuk mencapai keinginan atau ide hukum menjadi kenyataan. Keinginan atau ide itu merupakan pikiran pembentuk undang-undang berupa konsep keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial yang dituangkan dalam
22
rumusan suatu peraturan.20
Yang akuntabel kepada masyarakat, baik masyarakat profesi maupun
masyarakat luas (termasuk klien). Professional kedokteran tertentu yang
memiliki kompetensi yang memenuhi standar tertentu, diberi kewenangan
oteh institusi yang berwenang di bidang itu dan bekerja sesuai dengan standar
dan profesionalisme yang ditetapkan oleh organisasi profesinya maupun
masyarakat luas (termasuk klien). Beberapa ciri profesionalisme tersebut
merupakan ciri profesi itu sendiri, seperti kompetensi dan kewenangan yang
selalu "sesuai dengan tempat dan waktu", sikap yang etis sesuai dengan etika
profesinya, bekerja sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh profesinya,
dan khusus untuk profesi kesehatan ditambah dengan sikap altruis (rela
berkorban). Uraian dari ciri-ciri tersebutlah yang kiranya harus dapat dihayati
dan diamalkan agar profesionalisme tersebut dapat terwujud.21
Di dalam pertanggungjawaban dokter yang melakukan kelalaian atau
malapraktek di atur di dalam Pasal1338 KUH Perdata, yaitu : 22
1. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
2. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alas an-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
3. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Selain dari itu mengenai tanggungjawab dokter yang terkait kekalaian
20 http://www.stadtaus.com/perlindungan konsumen berkaitan dengan malpraktek medik, 13Maret 2010
21 Ibid 22 www.googel.com//http.wikipedia, Diakses Tanggal 25 februari 2010
23
juga dalam Pasal 1366 KUH Perdata, yaitu : “Setiap orang bertanggung jawab
tidak saja atas kerugian yang disebabkan karena perbuatannya ,tetapi juga atas
kerugian yang disebabkan karena kelalaiannya atau kurang hati-hatinya”.
Sedangkan di dalam Pasal 1370 KUH Perdata, yang mengatur lebih lanjut
tentang pembunuhan, yaitu :
“Dalam hal pembunuhan (menyebabkan matinya orang lain ) dengan sengaja atau kurang hati- hatinya seeorang, maka suami dan istri yang ditinggalkan, anak atau korban orang tua yang biasanya mendapat nafkah dari pekerjaan korban mempunyai hak untuk menuntut suatu ganti rugi, yang harus dinilai menurut kedudukanya dan kekayaan kedua belah pihak serta menurut keadaan”
Pasal 58 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,
yang mengatur tentang kesalahan yang dilakukan oleh tim kesehatan, yaitu
sebagai berikut :
1. Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
2. Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.
3. Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Disebutkan di dalam Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Kesehatan
Nomor 36 Tahun 2009, bahwa ”yang termasuk kerugian akibat pelayanan
kesehatan termasuk di dalamnya adalah pembocoran rahasia kedokteran”.
Pembocoran rahasia kedokeran merupakan tindak pidana yang diatur di dalam
24
Pasal 322 KUHAP, sehingga dalam hal dituntut secara pidana korban
malpraktek tetap berhak atas ganti rugi yang diberikan oleh dokter tentunya
dengan tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
25
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Dalam studi hukum lazim digunakan dua pendekatan yaitu pendekatan
normatif atau yuridis. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, maka penelitian ini
menggunakan jenis pendekatan yuridis, yaitu pendekatan ini lebih berorientasi
pada gejala-gejala hukum yang bersifat normatif melalui studi kepustakaan.
Artinya dengan pendekatan ini dimaksudkan untuk mendiskripsikan dan
menganalisis azas-azas hukum atau norma-norma hukum, baik dalam peraturan
perundang-undangan maupun dalam buku-buku referensi yang ada relefansinya
dengan masalah obyek kajian yang diteliti.
B. Sumber Dan Jenis Bahan Hukum
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan sumber bahan hukum dari
kepustakaan karena sifatnya adalah normatif atau hanya kajian normatif saja,
yang meliputi :
1 Bahan Hukum Primer yaitu bahan hukum utama yang terdiri dari
peraturan peraturan perundang-undagan dan peraturan pelaksana, antara lain :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
26
b. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009
Tentang Praktek Kedokteran;
c. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan;
d. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
e. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
2 Bahan Hukum Sekunder adalah yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer, seperti : hasil-hasil penelitian, karya-karya
hukum, makalah-makalah, diktat, buku-buku referensi, surat kabar, dokumen-
dokumen lainnya yang ada relefansinya dengan masalah yang diteliti.
3 Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum penunjang yang
memberikan petunjuk dan pengertian terhadap bahan hukum primer dan
sekunder, seperti kamus-kamus hukum, kamus bahasa dan lain-lain.
C. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum kepustakaan (liberary research) dilakukan
dengan teknik studi dokumen, ialah dengan cara mencari dan menggumpulkan
bahan-bahan kepustakaan yang mengacu kepada perundang-undangan dan
buku-buku referensi yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti.
D. Analisa Bahan Hukum
Bahan hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan tersebut diolah
dan dianalisa dengan metode analisis kualitatif yang diawali dengan cara
deduktif yaitu menelaah serta mengkaji berbagai pendapat para ahli maupun
27
azas-azas hukum dalam peraturan perundang-undangan guna memperoleh
suatu kesimpulan tentang persoalan yang akan diteliti. Kemudian dilanjutkan
dengan menghubungkan dengan kenyataan yang ada dan berkembang didalam
masyarakat. Dari data yang terkumpul, kemudian dianalisis dan diolah secara
kualitatif dengan maksud untuk memperoleh suatu kesimpulan yang
kemudian dilanjutkan dengan menghubungkan dengan berbagai kejadian atau
kenyataan yang berkembang dimasyarakat. Selanjutnya dari hasil penelitian
tersebut kemudian di dalam pembahasaanyadisajikan secara deskriptif.
28
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengaturan Pertanggung Jawaban Hukum Dokter Terhadap Malapraktek
Akhir-akhir ini tuntutan hukum terhadap dokter dengan dakwaan
melakukan malapraktek makin meningkat dimana-mana, termasuk di negara kita.
Ini menunjukkan adanya peningkatan kesadaran hukum masyarakat, dimana
masyarakat lebih menyadari akan haknya. Disisi lain para dokter dituntut untuk
melaksanakan kewajiban dan tugas profesinya dengan hati-hati dan penuh
tanggung jawab. Seorang dokter hendaknya dapat menegakkan diagnosis dengan
benar sesuai dengan prosedur, memberikan terapi dan melakukan tindakan medik
sesuai standar pelayanan medik, dan tindakan itu memang wajar dan diperlukan.
Malapraktek merupakan suatu kelalaian seorang dokter untuk
mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim di
pergunakan dalam mengobati. Yang dimaksud dengan kelalaian disini adalah
sikap kekurang hati-hati. Kelalaian diartikan pula dengan melakukan tindakan
kedokteran dibawah standar pelayanan medik.
29
Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, jika
kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan
orang itu dapat menerimanya.
Jadi malapraktek dokter merupakan kelalaian yang berat dan pelayanan
kedokteran di bawah standar. Malapraktek medik murni (criminal malpractice)
sebenarnya tidak banyak dijumpai. Misalnya melakukan pembedahan dengan niat
membunuh pasiennya atau adanya dokteryang sengaja melakukan pembedahan
pada pasiennya tanpa indikasi medik.
Setiap tindakan medik selalu mengandung resiko, sekecil apapun tindakan
medik bisa saja menimbulkan resiko yang besar sehingga dapat saja pasien
menderita kerugian . Dalam hal terjadi resiko baik yang dapat diprediksi maupun
yang tidak dapat diprediksi maka dokter tidak dapat dimintakan pertanggung
jawabanya.
Tanggungjawab dokter dapat dimintakan apabila dokter telah berbuat
kesalahan/kelalaian, meskipun tidak ada seseorang dokter yang dengan sadar
membuat kesalahan.
Seseorang dapat dimintakan tanggungjawab hukumnya (liabel), kalau dia
melakukan kalalaian/kesalahan dan kesalahan/kelalaian itu menimbulkan
kerugian. Orang yang menderita kerugian akibat kelalaian/kesalahan orang itu,
berhak untuk menggugat gantirugi. Dikatakan bahwa orang itu telah melawan
hukum itu menimbulkan kerugian yang diakibatkan oleh kesalaha/kelalaiannya.
30
Pasien dapat menggugat tanggungjawab hukum kedokteran dalam hal
dokter berbuat kesalahan atau kelalaian. Dokter tidak bisa berlindung dengan
dalih ketidak sengajaan, sebab kesalahan dokter dapat menimbulakan hak bagi
pasien untuk menggugat ganti rugi.
Tenaga Kesehatan harus memiliki kewenangan hukum untuk
melaksanakan pekerjaannya (Rechtsbevoegheid) bisa berupa ijin praktik bagi
dokter dan tenaga kesehatan lainnya, bisa berupa Badan Hukum dan Perijinan lain
bagi penyelenggara kesehatan seperti rumah sakit atau klinik-klinik.
Pengaturan tentang pertanggungjawaban hukum dokter terhadap
malapraktek, yaitu dibeberapa peraturan perundangan-undangan baik yang secara
umum maupun yang secara khusus mengatur tentang malapraktek, antara lain :
Penganturan yang mengatur tetang pertanggungjawaban malapraktek
secara umum, yaitu :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Dasar hukum pertanggung jawaban dokter pasien dapat menggugat
tanggung jawab hukum kedokteran (medical liability). Dalam hal dokter
melakukan kesalahan atau kelalaian Dokter tidak dapat berdalih perbuatan
yang tidak sengaja, sebab kesalahan/kelalaian dokter yang menimbulkan
kerugian terhadap pasien untuk menggugat ganti rugi. Dasar hukum dari
gugatan pasien terhadap dokter terdapat dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang
berbunyi : tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada
orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu.
31
Tujuan dari pasal tersebut adalah untuk perlindungan terhadap pasien
jika terjadi malpraktek dalam bentuk pertanggungjawaban yang dapat digugat
oleh pasien korban malpraktek adalah pertanggungjawaban atas kerugian
yang disebabkan karena wansprestasi (prestasi yang buruk) dalam perjanjian
terapautik dan pertanggungjawaban atas kerugian yang ddisebabkan oleh
perbuatan yang melawan hukum dokter yaitu perbuatan yang bertentanggan
dengan kewajiban profesi.
b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Ada perbedaan akibat kerugian yang disebabkan karena malpraktek
kedokteran perdata dengan malpraktek kedokteran pidana. Akibat kerugian
karena malpraktek perdata lebih luas dibandingkan akibat kerugian
malpraktek kedokteran pidana, khususnya dalam perbuatan melawan hukum
yang terdiri dari kerugian materil dan inmateril karena bentuk-bentuk
kerugian tidak dimuat secara khusus dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
Malpraktek kedokeran pidana hanya terjadi pada tindak pidana materil
(KUHP) yaitu suatu tindak pidana yang melarang menimbukkan akibat
tertentu yang diancam dengan sanksi berupa pidana. Adapun akibat
malpraktek kedokteran pidana adalah kematian luka berat dan lain
sebagainya.
32
Di bawah ini adalah beberapa pasal yang mengatur tentang malpraktek
kedokteran pidana, yaitu :
Pasal 299(4) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang pasien atau
menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah.
(5) Jika yang bersalah, berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencaharian atau kebiasaan, atau jika dia seorang dokter, bidan, atau juru obat; pidananya dapat ditambah sepertiga.
(6) Jika yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut, dalam menjalankan pencaharian, maka dapat dicabut haknya melakukan pencaharian itu.
Pasal 346Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungannya, atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Pasal 347
(3) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
(4) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 348
(3) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
(4) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal 349
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut Pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan
33
sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
c. Pengaturan dalam Hukum Administrasi
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang
Praktek Kedokteran semakin menyempurnakan pelayanan kesehatan dari
sedut hukum administrasi. Undang-undang ini dianggap cukup mengatur
hukum administrasi yang mengatur tata laksana praktek kedokteran di
Indonesia.
Hukum administrasi tentang praktek kedokteran yaitu Undang-Undang
Tentang Praktek Kedokteran, yang menentukan beberapa syarat yang harus
dipenuhi oleh dokter untuk menjalankan praktek sebagai dokter, yaitu antara
lain :
1) Memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dokter yang diterbitkan
oleh Kondil Kedokteran Indonesia yang berlaku 5 tahun dan setiap 5 tahun
diregistrasi ulang (Pasal 29);
2) Khusus dokter luar negeri yang berpraktek di Indoensia harus
lulus evaluasi. Bagi dokter asing disamping lulus evaluasi juga harus
memiliki ijin kerja di Indoensia jika memenuhi syarat-syarat lainnya baru
dokter lulusan luar negeri atau dokter asing dapat diberikan surat tanda
registrasi (Pasal 30); dan
34
3) Memiliki Surat Ijin Praktek (SIP) yang dikeluarkan oleh
pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat praktek
(Pasal 36 jo. 37).
Masing-masing ijin tersebut masa berlakunya 5 tahun dan dapat
diperbaharui setiap kalinya dengan mengajukan permohonan kembali.
Secara administrasi dokter berwenang melakukan pelayanan medis yaitu
karena dipenuhinya surat-surat tersebut. Sifat melawan hukum dari
malapraktek dokter terletak pada kewenangannya untuk melakukan
tindakan medis yang diperlukan.
Penganturan yang mengatur tetang pertanggungjawaban malapraktek juga
diaturt secara khusus, yaitu :
a. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Di dalam undang-undang tersebut mengatur tentang
pertanggungjawaban yang dilakukan oleh dokter yang melakukan kesalahan
dan kelalaian profesi kedokteran.
Seperti di dalam Pasal 194 yang menyatakan :
”Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Di dalam pasal yang lain ada juga yang mengatur tentang pengobatan
secara tradisional yang tidak memiliki ijin prakter, yaitu Pasal 191 yaitu ”
35
”Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) sehingga mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat atau kematian dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Selain dari pelaku atau orang, ada juga pasal yang mengatur tentang
fasilitas yang kurang memadai, seperti pasa Pasal 190, yaitu :
1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Di dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan, mengatur tentang tujuan dari kesehatan, yaitu :
“Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis”.
b. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran
Berikut ini akan diuraikan mengenai pengaturan pertanggungjawaban
hukum doktrer dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran:
36
Pasal 75Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 76Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki izin praktik kedokteran sebagimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 77Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi dan/atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 78 Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 79 Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang:a. dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41 ayat (1);b. dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 46 ayat (1); atau c. dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf, c, huruf d, atau huruf e.
Pasal 80 (1) Setiap orang yang dengan sengaja mempekerjakan dokter atau dokter gigi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, dipidana dengan pidana penjara
37
paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah);
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh korporasi, maka pidana yang dijatuhkan adalah pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah sepertiga atau dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan izin.
Tujuan dari Praktek Kedokteran yang terdapat di dalam Pasal 3 Undang-
Undang Tentang Praktek Kedokteran, yaitu :
a. Memberikan perlindungan kepada pasien;b. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang
diberikan oleh dokter dan dokter gigi; dan c. Memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter, dan
dokter gigi.
Tenaga Kesehatan harus memiliki kemampuan rata-rata yang ditentukan
berdasarkan pengalaman kerja dalam linkungan yang menunjang pekerjaannya
dan kemudian Tenaga Kesehatan harus memiliki ketelitian kerja yang ukuran
ketelitian itu sangatlah bervariasi. Namun betapapun sulitnya untuk merumuskan
tentang standard profesi Tenaga Kesehatan, Undang-undang mengharuskan
mereka yang berprofesi sebagai Tenaga Kesehatan berkewajiban mematuhi
standard profesi dan menghormati hak pasien (Pasal 53 ayat 2 Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan). Sedangkan di dalam Pasal 55 ayat 1
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan "Setiap orang berhak
atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan".
Dan bagi tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam
melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin yang ditentukan oleh
38
Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (Pasal 54 ayat 1 dan 2 dari Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tentang kesehatan Jo. Peraturan
Pemerintah Nomor 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan). Majelis Disiplin
Tenaga Kesehatan (MDTK) inilah yang berhak dan berwenang untuk meneliti
dan menentukan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan standar
profesi yang dilakukan oleh Tenaga Kesehatan terhadap mereka yang disebut
sebagai pasien (Pasal 5 dari Kepres RI Nomor 56 tahun 1995 tentang MDTK ).
Dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Praktek Kedokteran, diatur suatu
keadaan dimana terjadi suatu kesalahn yang melibatkan pelayanan kesehatan yang
diajukan pengaduan kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia (MKDKI) oleh setiap orang yang mengetahui atau kepeningannya
dirugikan atas tindakan pelayanan kesehatan.
Di samping dapat mengadukan kerugian yang dideritanya kepada
MKDKI, menurtu Pasal 66 ayat (3), :
”Korban malpraktek yang dirugikan atas kesalahan atau kelalaian dokter dalam melakukan tindakan medis juga dapat melaporkan adanya dugaan pidana kepada pihak yang berwenang dan atau menggugat kerugian secara perdata kepengadilan
B. Bentuk-Bentuk Pertanggungjawaban Hukum Dokter Terhadap
Malapraktek Ditinjau Dari Hukum Perdata, Hukum Pidana dan Hukum
Administasi
1. Bentuk Pertanggungjawaban Secara Perdata
Hubungan hukum dokter dengan pasien membentuk
39
pertanggungjawaban hukum dalam malpraktik kedokteran. Apa yang
dimaksud dengan hubungan hukum (rechtsbetrekking) merupakan hubungan
antar dua atau lebih subjek hukum atau antar subjek hukum dan objek hukum
yang berlaku dibawah kekuasaan hukum, atau diatur /ada dalam hukum dan
mempunyai akibat hukum. Hubungan hukum antara kedua subjek hukum
membentuk hak dan kewajiban. Dalam melaksanakan kewajiban bagi dokter
inilah terletak beban pertanggunganjawaban hukum dalam malpraktik
kedokteran, baik dari sudut perdata maupun pidana.
Hubungan hukum membentuk pertanggungjawaban perdata bagi
dokter. Hubungan hukum dokter dan pasien dari sudut perdata berada dalam
suatu perikatan hukum. Perikatan hukum adalah suatu ikatan antara dua atau
lebih subjek hukum untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu atau
memberikan sesuatu (1313 jo 1234 BW). Sesuatu disebut prestasi. Untuk
memenuhi prestasi yang pada dasarnya adalah suatu kewajiban hukum bagi
para pihak yang membuat perikatan hukum (pada perikatan hukum timbal
balik). Bagi pihak dokter, prestasi berbuat sesuatu adalah kewajiban hukum
untuk berbuat dengan sebaik dan secara maksimal (perlakuan medis) bagi
kepentingan kesehatan pasien, dan kewajiban hukum untuk tidak berbuat
salah atau keliru dalam perlakuan medis, dalam arti kata kewajiban untuk
pelayanan kesehatan pasien dengan sebaik-baiknya. Malpraktik kedokteran
dari sudut perdata terjadi apabila perlakuan salah dokter dalam hubungannya
dengan pemberian prestasi menimbulkan kerugian keperdataan (diatur dalam
40
hukum perdata).
Secara yuridis hubungan antara dokter dan pasien dapat terjadi karena
2 (dua) hal, yaitu :
a. Berdasarkan perjanjian (ius contractu) Terbentuknya kontrak terapeutik secara sukarela antara dokter dan pasien berdasarkan kehendak bebas. Tuntutan dapat dilakukan apabila diduga terjadi wanprestasi, yaitu pengingkaran atas apa yang diperjanjikan.
b. Berdasarkan hukum (ius delicto) Gugatan untuk membayar ganti rugi atas dasar persetujuan atau perjanjian yang terjadi, hanya dapat dilakukan apabila memang ada perjanjian antara dokter dengan pasien. Perjanjian itu dapat terjadi apabila pasien memanggil dokter atau pergi ke dokter, dan dokter memenuhi permintaan pasien untuk menyembuhkannya. Oleh karena itu, seorang dokter hanya mengikatkan dirinya untuk memberikan bantuan, sesuai dengan ilmu dan keahliannya di bidang kedokteran.23
Perikatan hukum lahir oleh 2 (dua) sebab atau sumber, yang satu oleh
suatu kesepakatan dan yang lainnya oleh sebab undang-undang. Hubungan
hukum dokter pasien berada dalam kedua jenis perikatan hukum tersebut.
Pelanggaran kewajiban hukum dokter dalam perikatan hukum karena
kesepakatan membawa suatu keadaan wanprestasi. Pelanggaran hukum dokter
atas kewajiban hukum dokter karena undang-undang membawa suatu keadaan
perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) dokter dimana kedua-
duanya membeban pertanggungan jawab penggantian kerugian. Beban
tanggungjawab dokter karena wanprestasi lebih luas dari perbuatan melawan
hukum, karena dari pasal 1236 jo 1239 BW, selain penggantian kerugian
pasien juga dapat menuntut beaya dan bunga. Tidak menjadi sembuhnya
pasien tidak merupakan alasan wanprestasi bagi dokter, karena hubungan
23 Y.A. Triana Ohoiwutun, Bunga Rampai Hukum Kedokteran, Bayu Media, Jakarta, 2008, Hal .64
41
dokter pasien bukan hubungan yang memuat kewajiban hukum yang
ditujukan pada hasil penyembuhan, melainkan kewajiban untuk perlakuan
medis (penyembuhan) dengan sebaik-baiknya (tidak salah langkah atau salah
prosedur) dan secara maksimal berdasarkan disiplin kedokteran. Hubungan
hukum yang demikian didasarkan pada kepercayaan (saling percaya) antara
kedua belah pihak. Karena itulah bentuk perikatan hukum dokter pasien
termasuk inspannings verbentenis. Penyembuhan atau pemulihan kesehatan
bukanlah suatu kewajiban hukum dokter, melainkan suatu kewajiban moral
dan etika belaka, yang akibatnya bukan sanksi hukum, tetapi sanksi moral dan
sosial.
Persetujuan pasien atau keluarganya hanya sekedar membebaskan
resiko hukum bagi timbulnya akibat yang tidak dikehendaki dalam hal
perlakauan medis yang benar dan tidak menyimpang. Walauapun ada
persetujuan semacam itu, apabila perlakuan medis dilakukan secara salah
yang dari padanya menimbulkan akibat yang tidak dikehendaki, dokter juga
tetap terbebani tanggung jawab terhadap akibatnya.
Hubungan hukum dokter terhadap pasien, terbentuk karena
kesepakatan. Kesepakat telah terbentuk pada saat pasien menghadap dokter.
Logika hukumnya, ialah dokter yang berpraktik ialah telah melakukan
penawaran umum (openbare aanbod) in casu memberikan jasa pelayanan
medis sebagai syarat pertama dari terbentuknya kesepakatan. Pada dasarnya
perbuatan pasien yang datang menghadap untuk dilayani dokter adalah wujud
42
dari penerimaan penawaran tersebut. Menurut hukum, kesepakatan terjadi
ialah bila ada penawaran oleh satu pihak, dan penawaran diterima atau
disetujui oleh pihak lain.
Menghadapnya pasien pada dokter, itu artinya suatu persetujuan yang
di dalamnya terkandung kehendak dan ijin pada dokter agar kepada dirinya
diberikan pelayanan medis sesuai dengan keperluan menurut disiplin
kedokteran yang berlaku. Bagi dokter yang berpraktik, kehadiran seorang
pasien, menurut hukum adalah penawaran pelayanan kesehatan telah di terima
oleh pasien. Karena penawaran dokter telah diterima, maka kesepakatan
terjadi, dan terjadi pula suatu hubungan hukum (hubungan hukum pelayanan
medis) antara dokter dan pasien.
Dalam hubungan hukum memuat hak-hak dan kewajiban hukum para
pihak secara umum yang berlaku bagi dokter dan pasien walaupun tidak
dibuat secara formal tertulis apalagi otentik. Pelaksanaan kewajiban hukum
dibayangi adanya resiko, berupa sanksi mulai dari yang ringan sampai yang
terberat, yang bersifat moral kemasyarakatan sampai yang bersifat hukum.
Bagi dokter kewajiban perlakuan medis secara umum artinya harus
sesuai standar umum kedokteran, walaupun pasien tidak mengerti isi standar
perlakuan menurut standar umum tersebut. Pelanggaran terhadap standar
umum inilah salah satu aspek dari malpraktik kedokteran.
Dokter dengan berlindung pada kewajiban rahasia dokter, banyak yang
merasa tidak perlu untuk memberitahukan tentang sekitar perlakuan medis
43
terhadapnya dalam upaya penyembuhan pasien, walaupun hal itu menjadi hak
pasien.
Dalam pelanggaran perikatan hukum yang lahir karena undang-undang
bilamana dalam perlakuan medis dokter terdapat kesalahan dengan
menimbulkan kerugian, maka pasien berhak menuntut adanya penggantian
kerugian itu berdasarkan perbuatan melawan hukum.
Pasal 1365 KUH Perdata merumuskan “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian itu, untuk mengganti kerugian tersebut”.
Karena salahnya, dalam hal perlakuan medis dokter yang
menimbulkan kerugian pasien dapat masuk dalam kategori perbuatan
melawan hukum menurut pasal ini.
Salahnya disini boleh dalam bentuk kesengajaan ataupun kelalaian
dokter baik dalam hal berbuat (aktif) maupun tidak berbuat (fasif) dalam
perlakuan medis terhadap pasien. Kerugian haruslah benar-benar diakibatkan
oleh perlakuan medis yang salah dokter dan harus dibuktikan baik dari sudut
ilmu kedokteran.
Menurut Ninik Mariyanti, dasar gugatan yang dapat dipergunakan
adalah Pertanggungjawaban suatu malapraktek dokter dari segi hukum
(perdata) biasanya berdasarkan kepada hubungan hukum yang timbul :
1. Wanprestasi atas kontrak antara dokter (langsung atau melalui rumah sakit atau institusi kesehatan lainnya) dengan pasien. Sebagaimana biasanya, hubungan kontraktual ini biasa disebut sebagai inspanningsverbinntenis, yang berarti kontrak yang tidak menjanjikan
44
hasilnya melainkan menjanjikan upayanya. 2. Perbuatan melanggar hukum yang umumnya bersifat kelalaian,
yaitu suatu pelanggaran atas kewajiban untuk memberikan perawatan medis sehingga mengakibatkan cedera atau kerugian bagi pasien. Kadang-kadang juga terjadi suatu perbuatan melawan hukum yang bersifat kesengajaan (intentional tort or battery), yaitu misalnya melakukan tindakan medis tanpa adanya perencanaan yang matang meskipun untuk tujuan menyelamatkan pasien. Dasar hukum gugatan perbuatan melanggar hukum adalah Pasal 1365 KUH Perdata "Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajjibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian tersebut, mengganti kerugian tersebut". Tanggung-jawab tersebut juga bagi kerugian akibat kelalaian atau kekurang hati-hatian (Pasal 1366 KUH Perdata) dan akibat perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya (Pasal 1367 KUH Perdata).
3. Pelanggaran wajib simpan rahasia pekerjaan/kedokteran. Pelanggaran ini dapat berkonsekuensi tanggungjawab pidana berdasarkan pasal 322 KUHP, perdata berdasarkan perbuatan melanggar hukum, dan administratif. 24
Dalam hal hubungan kontrak yang terjadi adalah antara dokter dengan
pihak lain dan pasien adalah “hanya” subyek yang akan diperiksa dan
ditangani, maka berlaku pula kewajiban kepada pihak ketiga (pasien).
Dasarnya adalah bahwa dokter melakukan pemeriksaan dan tindakan medis
kepada pasien sehingga kewajiban melakukan upaya yang reasonable tersebut
juga kepada pasien, meskipun bukan pasien yang membayar atau mengikat
kontrak dengan dokter tersebut.
Pada dasarnya, malapraktek merupakan pelanggaran atas kewajiban
profesional, baik sengaja mengabaikannya maupun karena lalai
melakukannya. Dengan demikian penilaiannyapun haruslah dengan cara
membandingkan tindakan tersebut dengan standar perilaku profesional yang
24 Ninik Marianti, Malapraktek Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana Dan Perdata, Bina Aksara, Jakarta, 1988, Hal. 123-124
45
berlaku dan standar prosedur pelayanan medis yang sesuai dengan tingkat
keahlian dan sarana kesehatan setempat. Standar perilaku profesional sendiri
merupakan gabungan dari nilai-nilai etik, moral, hukum, dan standar prosedur
tindakan.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah menerbitkan standar profesi yang
bersifat umum dan berbagai standar tindakan atau prosedur medik tertentu,
yang meskipun belum sempurna namun sudah cukup memadai. Selain itu
berbagai perhimpunan dokter spesialis juga telah menerbitkan standar
prosedur medis di bidang spesialisasi masing-masing. Sementara itu, Undang-
Undang Kesehatan Tahun 2009 Pasal 156 menyebutkan bahwa ketentuan
mengenai standar profesi akan diatur kemudian melalui Peraturan Pemerintah
yang hingga saat ini belum diundangkan.
Pelanggaran atas kewajiban di atas dapat terjadi karena ketidaktahuan,
kelalaian, kecerobohan atau dapat pula akibat kesengajaan. Ketidaktahuan
dapat terjadi akibat kurangnya materi pendidikan atau tidak tepatnya metode
pendidikan, akibat lupa karena tidak adanya pelatihan pasca pendidikan, atau
akibat perkembangan ilmu kedokteran yang belum sempat dipelajarinya.
Kelalaian dan kecerobohan dapat terjadi sebagai akibat dari ketidakdisiplinan,
kelelahan atau kekurang hati-hatian, atau dapat pula sebagai akibat dari
tekanan waktu atau tekanan lingkungan yang lain.
Kerugian dapat berupa kerugian materiel dan immateriel. Kerugian
materiel adalah biaya yang telah dikeluarkan dan yang akan dikeluarkan,
46
hilangnya peluang untuk memperoleh pendapatan (loss of opportunity), dan
berbagai pengeluaran yang dapat dihitung akan dikeluarkan untuk rehabilitasi
di masa mendatang; sedangkan kerugian immateriel adalah kerugian yang
tidak dapat dihitung sehingga besarnya sangat bervariasi bergantung kepada
pihak yang dirugikan (misalnya akibat cedera fisik dan emosional).
Wanprestasi seperti dalam Pasal 1371 ayat (1) KUH Perdata, tanggung
jawab dokter secara perdata dengan dalih wanprestasi, hal ini tanggung jawab
dokter terjadi apabila seorang pasien menggugat dokter terjadi apabila seorang
pasien menggugat dokter untuk membayar ganti rugi atas dasar perbuatan
yang merugikan pasien.
Wanprestasi terjadi karena perbuatan melanggar hukum, dapat juga
karena kurang kehati-hatiannya mengakibatkan kerugian seseorang dan juga
karena kurang kehati-hatiannya menyebabkan cacat badan. Akibat perbuatan
yang mengakibatkan kerugian tersebut terbawa oleh karena sifat daripada
perjanjian yang terjadi antara dokter dengan pasien merupakan suatu
perjanjian yang disebut “Inspannings verbintenis” yaitu suatu perjanjian yang
harus dilaksanakan dengan teliti dan penuh hati-hati (inspannings) dan
hubungan dokter dengan pasien ada juga dengan perikatan hasil, atau yang
dikenal dengan “resultaat verbintenis”.
Perbuatan melawan hukum di dalam Pasal 1365 KUH Perdata, bahwa
suatu perbuatan melanggar hukum, bukan hanya berarti perbuatan tersebut
semata-mata melanggar hukum (tertulis) yang berlaku, tetapi juga merupakan
47
suatu perbuatan yang bertentangan, melanggar atau tidak sesuai dengan
norma-norma kepatuhan, ketelitian, dan kehati-hatian di dalam masyarakat.
Kelalaian yang menimbulkan kerugian Pasal 1366 KUH Perdata,
bahwa setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang
disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan
kelalaian atau kurang kehati. Dalam pasal 1366 KUH Perdata, bahwa
seseorang dokter yang melakukan “malapraktek” sehingga mengakibatkan
cidera kepada pasien, hal ini menimbulkan tanggung jawab perdata bagi
seseorang dokter, mendapat sanksi berupa ganti ruang (uang) kepada pasien.
Dokter sebagai pelaksana tindakan juga dapat dikenakan sanksi.
Pemberian sanksi juga diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 Tentang Kesehatan yaitu “terhadap tenaga kesehatan yang
melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat
dikenakan tindakan disiplin”. Pasal 1367 KUH Perdata sebagai penjabaran
lebih lanjut mengenai siapa dan apa saja yang berada di bawah tanggung
jawabnya. Masalah tanggung jawab hukum perdata ini membawa akibat
bahwa yang bersalah (yaitu yang menimbulkan kerugian kepada pihak lain)
harus membayar ganti rugi.
Pembuktian atas adanya malapraktek pembuktian atas adanya
malapraktek dapat dilakukan dengan cara :
1. Cara langsung Yaitu dengan membuktikan adanya keempat unsur 4D secara langsung. Yang terdiri atas unsur kewajiban (dereliction of duty), kerugian atau cidera (damage) dan adanya akibat langsung dari tindakan
48
yang dilakukan oleh dokter (direct causation).2. Cara tidak langsung Yaitu dengan mencari fakta-fakta yang berdasarkan
fakta yang telah membuktikan bahwa kesalahan di pihak dokter. 25
Tanggung jawab Malpraktek yang disebabkan karena kesalahan
dokter, maka Undang-Undang memberi peluang kepada pihak pasien untuk
ganti rugi. Pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan,
semua yang tercantum dalam undang-undang ini memberikan perlindungan
bagi setiap orang atas suatu akibat yang timbul, baik fisik maupun non fisik.
Dalam bahasa hukum disebut juga kerugian material, sedangkan kerugian non
fisik adalah kerugian immaterial.
Kesalahan dokter yang mengakibatkan kerugian terhadap pasien
Seorang dokter dapat dikatakan telah melakukan kelalaian atau kesalahan
yang merupakan salah satu unsur dari malapraktek medis, yakni apabila
bersifat sengaja merupakan (dolus). Yang disebut dolus adalah suatu
kesalahan yang dilakukan dengan sengaja, dalam hal ini pelaku menghendaki
perbuatannya dan akibatnya, di dalamnya ada hubungan batin antara sikap dan
perbuatan. Perbedaan pengertian antara kelalaian (negligence) dengan
kesalahan, apabila dalam kelalaian terkandung unsur ketidak sengajaan/
kecerobohan dalam bertindak (culpa). Yang dimaksud culpa adalah suatu
kesalahan yang dilakukan akibat dari kecerobohan, dalam hal ini pelaku
tindak pidana tidak menghendaki perbuatan dan akibatnya.
25 M. Achadiat ,Chrisdiono . Pernik-Pernik Hukum Kedokteran. Jakarta : Widya Medika. 1996 hal 142
49
Dasar pertanggung jawaban seorang dokter yang melakukan kasus
malapraktek terhadap pasien di Pengadilan Negeri berdasarkan dalam pasal
1365 KUH Perdata yang dikaitkan dengan kasus malapraktek tersebut, dapat
dikatakan dengan suatu perbuatan melawan hukum.
Sedangkan akibat hukum perjanjian yang sah, yaitu :
1. Berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Pihak-pihak yang menaati perjanjian seperti halnya ia menaati Undang-Undang yang berlaku. Jika ada yang melanggar, maka ia dianggap telah melanggar Undang-Undang. Jika ada yang melanggar Undang-undang dan mempunyai akibat hukum berupa sanksi yang telah ditetapkan Undang-Undang (Pasal 1338 KUH Perdata).
2. Tidak dapat ditarik kembali secara sepihak Suatu perjanjian yang secara sah telah mengikat para pihak tidak dapat ditarik kembali, tetapi dapat ditarik kembali apabila mendapat persetujuan para pihak yang mengadakan perjanjian atau telah ada alasan yang kuat menurut Undang-Undang.
3. Pelaksanaannya dengan itikad baik Dalam Pasal 1339 KUH Perdata, “Perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatuhan, kesusilaan, atau undang-undang.” Namun setiap perjanjian memuat berbagai aturan-aturan yang terdapat di dalam Undang-Undang. Pada suatu adat kebiasaan merupakan sumber hukum selain Undang, Undang, sehingga kebiasaan menentukan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian. 26
2. Bentuk Pertanggungjawaban Secara Pidana
Jika kita membicarakan tentang pertanggungjawaban pidana , maka
tidak terlepas dari pelaku yang akan mempertanggungjawabkan apa yang
telah dibuat atau dilakukannya tersebut. Begitu pula di dalam kasus aborsi.
Sebelum kita mengkaji lebih jauh lagi tentang pertanggungjawaban pidana
26 Abdul Kadir Muhammad,. Hukum Perikatan. Bandung : Alumni. 1982 hal 67
50
bagi pelaku aborsi, perlu kita ketahui apa yang dimaksud dengan
pertanggungjawaban pidana tersebut.
Masalah pertanggungjawaban pidana sangat erat kaitannya dengan
kesalahan. Untuk menetukan apakah seseorang atau pelaku tindak pidana
dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hukum pidana, akan dilihat apakah
orang tersebut pada saat melakukan tindak pidana mempunyai kesalahan.
Di dalam melakukan suatu kesalahan seseorang tidak hanya
tergantung pada keadaa batin atau fisikis orang tersebut sehat, hingga dia
mampu beranggung jawab, dan umur sudah cukup dan ketika melakukan
perbuatan pidana menginsyafi benar tingkah lakunya serta segala hal ikhwal
yang diisyaratkan menurut menurut rumusan delik, ataupun mempunyai
kealpaan terhadap timbulnya akibat yang dilarang, atau terhadap suatu
keadaan, namun adakalanya dia dianggap tak mempunayai kesalahan pula,
karena bisa saja kesalahan itu dilakukan dibawah paksaan sehingga kesalahan
tersebut terjadi bukan berasal dari batin yang buruk sehingga hal tersebut bisa
dijadikan alasan pemaaf yang kemudian meniadakan pidana.
Unsur-unsur di dalam pertanggungjawaban pidana, yang terkait
dengan unsur kesalahan, yaitu :
1. Melakukan perbuatanpidana
2. Diatas umur tertentu mampu bertanggungjawab
3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau
kealpaan.
51
4. Tidak adanya alasan pemaaf.
Secara doktrinal, kasalahan diartikan sebagai keadaan psikis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara kesalahan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedimikian rupa, sehingga orang itu dapat dicela melakukan perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undagan.27
Untuk menentukan seseorang melakukan kesalahan atau tidak harus
dilihat 2 (dua) hal, yaitu antara lain :
1. Adanya keadaan psikis yang tertentu
2. Adannya hubungan yang tertentu antara keadaan batin tersebut
dengan perbuatan yang dilakukan, sehingga sehingga menimbulkan
celaan dalam masyarakat.28
Menurut ketentuan Pasal 44 (1) KUHP, seseorang tidak dapat dimintakan
pertanggungjawaban atas perbuatannya karena dua hal atau alasan, yaitu:
1. Jiwanya cacat dalam tumbuhnya; dan
2. Jiwanya terganggu karena penyakit.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, unsur yang paling penting di
dalam pertanggungjawaban pidana adalah adanya kesalahan. Kesalahan dapat
dibagi menjadi 2 (dua) yaitu Kesengajaan (Dolus) dan Kealpaan (Culpa).
1. Kesengajaan (Dolus).
Apabila melihat ketentuan dalam KUHP, maka tidak ada secara
eksplisit dijelaskan tentang apa yang dimaksud dengan kesengajaan.
27 A. Fuad Usfa dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, UMM Press, Malang, 2004, Hal 7428 Ibid, Hal 75
52
Seseorang dikatakan “sengaja” melakukan perbuatan apabila orang
tersebut menghendaki dan mengerti dilakukannya perbuatan tersebut, atau
kata lain dapat dikatakan, bahwa seseorang yang melakukan perbuatan
dengan sengaja haruslah menghendaki perbuatan itu, dan juga harus
mengerti akan akibat dari perbuatannya tersebut.
Jadi apabila orang dipaksa orang lain untuk melakukan suatu
perbuatan, maka terhadap orang tersebut tidak dapat dikatakan bahwa ia
menghendaki perbuatan itu dan karenanya tidak dapat dikatakan orang
tersebut sengaja melakukan perbuatan tersebut. Sehingga dalam diri orang
tersebut juga dianggap tidak ada kesalahan.
Ada 3 (tiga) paham di dalam ilmu hukum pidana yaitu :
a. Teori Kehendak Teori ini menafsirkan kesengajaan sebagai kehendak. Menurut
teori ini, apabila seseorang melakukan suatu perbuatan untuk menimbulkan suatu akibat, yang dikehendaki orang tersebut bukan dengan perbuatannya saja, tetapi juga akibat dan perbuatan itu. Jalan pikiran ini memberikan seseorang, bahwa apabila orang itu tidak menghendaki timbulnya dan akibat perbuatannya dengan demikian orang tersebut tidak akan melakukan perbuatan itu.
b. Teori TujuanBentuk Kesalahan ini terjadi apabila seseorang melakukan suatu
perbuatan dengan sengaja, sedangkan perbuatan itu memeng menjadi tujuan si pelaku. Atau dalam hal, delik materiil, bila seseorang melakukan perbuatan dengan sengaja untuk menimbulkan akibat, sedang akibat itu memang merupakan tujuan dan si pelaku.
c. Teori Menggabungkan Sementara dalam teori ini, “akibat” tidak dapat dikehendaki, akibat
hanya dapat “diharapkan”. 29
29 Ibid, Hal 80
53
Bentuk Kesalahan (Dolus) ini terjadi apabila seseorang melakukan
perbuatan mempunyai tujuan untuk menimbulkan suatu akibat tertentu. Tetapi
di samping akibat yang dituju tersebut si pelaku insyaf menyadari bahwa
dengan melakukan perbuatan untuk mencapai atau menimbulkan akibat lain
(yang tidak dikehendaki).
Dengan demikian dalam hal ini perbuatan si pelaku tersebut telah
menimbulkan dua akibat, yaitu:
a. Akibat yang tertentu (yang merupakan tujuan si pelaku)b. Akibat lain yang dilarang dan diancam dengan hukuman,
oleh karena itu yang pasti atau harus timbul dengan dilakukannya perbuatan untuk mencapai tujuan yang tertentu itu.
c. Kesalahan (Dolus) dengan kesadaran akan kemungkinan atau dolus eventualis. 30
2. Kealpaan (Culpa)
Menurut doktrin ditentukan, bahwa culpa harus memenuhi 2 (dua)
syarat yaitu:
a. Tidak ada kehati-hatian atau ketelitian yang diperlukan. Masalahnya sekarang adalah kapan seseorang dapat dikatakan melakukan kealpaan. Untuk menentukan hal tersebut dapat diuraikan, yaitu : Apabila setiap orang yang segolongan dengan pelaku akan berbuat lain maka pelaku dapat di katakan telah berbuat lalai atau alpa. Untuk menentukan apakah seseorang telah berbuat hati-hati atau tidak, harus dilihat apakah tiap orang yang segolongan dengan pelaku, dalam hal yang sama akan berbuatan lain.
b. Akibat yang dapat diduga sebelumnya, atau keadaan, atau akibat yang dapat diduga sebelumnya, yang membuat perbuatan itu menjadi perbuatan yang dapat dihukum.
30 Ibid, Hal 81
54
Pertanggungjawaban pidana sebagai suatu pembebasan seorang
dengan hasil (akibat) yang di kerjakan dengan kemauan sendiri, dimana ia
mengetahui maksud-maksud dan akibat-akibat dari perbuatan itu.
Pertanggungjawaban pidana dapat di kategorikan atas 3 hal, yaitu:
1. Adanya perbuatan yang di larang.
2. Di kerjakan dengan kemauan sendiri.
3. Pembuatnya mengetahui terhadap akibat dari perbuatan tersebut.31
Berhubungan dengan masalah di atas perlu diketahui bahwa masalah
pengguguran kandungan atau abortus provocatus criminalis yang terdapat
dalam Pasal 346 sampai Pasal 349 KUHP jarang sekali di terapkan, hal ini
dapat di maklumi dari keadaan sekarang ini, bahwa kasus mengenai
pengguguran kandungan relatif sangat sedikit sekali yang dapat di ajukan di
muka pengadilan.
Dalam masalah pengguguran kandungan tidak saja si pelaku yang
berkepentingan agar perbuatannya tidak di ketahui, melainkan si wanita juga
tidak berkomentar, sehingga dengan demikian para penegak hukum (baik
penyidik, penuntut umum, dan penasehat hukum) sukar untuk mengetahui
adanya perbuatan itu karena pihak korban tidak melapor.
Pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya
seseorang telah melakukan tindak pidana. Moeljatno menyatakan “Orang
31 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Jakarta, Eresco, 1981, Hal.52
55
tidak mungkin di pertanggungjawabkan (di jatuhi pidana) kalau dia tidak
melakukan perbuatan pidana.”32
Dengan demikian pertanggungjawaban pidana pertama-tama
bergantung pada dilakukannya tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana
hanya akan terjadi jika sebelumnya telah ada seseorang yang melakukan
tindak pidana.
Sebaiknya eksistensi suatu tindak pidana tidak tergantung pada apakah
ada orang-orang yang pada kenyataannya melakukan tindak pidana tersebut.
Terdapat sejumlah perbuatan yang tetap menjadi tindak pidana, sekalipun
tidak ada orang yang di pertanggungjawabkan karena telah melakukannya.
Dengan demikian tidak mungkin seseorang dipertanggungjawabkan dalam
hukum pidana hanya dengan melakukan tindak pidana seseorang dapat
dimintai pertanggungjawaban.
Tugas profesional seorang dokter dalam pengabdiannya kepada
sesama manusia dan tanggung jawab seorang dokter perlu menghayati etika
kedokteran sehingga kemuliaan profesi dokter tersebut tetap terjaga dengan
baik, hal tersebut harus di insyafi oleh para dokter di seluruh dunia dan
hampir tiap negara mempunyai kode etik kedokterannya masing-masing.
Sejak permulaan sejarah kedokteran, seluruh umat manusia mengakui serta
mengetahui akan adanya beberapa sifat fundamental yang melekat secara
mutlak pada diri seorang dokter yang baik dan bijaksana, yaitu kemurnian
32 Moeljatno, asas-asas hukum pidana, bina aksara, jakarta, 1987, hal.155
56
niat, kesungguhan dalam bekerja, kerendahan hati dan rasa sosial yang tidak
diragukan lagi.
Oleh sebab itulah para dokter di seluruh dunia bermaksud
mendasarkan tradisi dan disiplin kedokteran tersebut dalam suatu etika
profesional yang sepanjang masa mengutamakan penderita yang minta
berobat serta keselamatan dan kepentingan penderita itu.
Tindakan malapraktek ini sudah diatur dalam hukum di Indonesia, di
dalam Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran. Di
dalam Undang-Undang Nomor 29, undang-undang ini berisi tentang upaya
hukum yang dapat dilakukan terkait dengan masalah malapraktek diatur
dalam ketentuan pidana.Inti yang terkandung didalamnya adalah seorang
dokter yang melakukan malapraktek harus memerlukan pembuktian.
Adanya unsur kelalaian dan juga adanya akibat fatal dari malapraktek
tersebut dapat dipidana. KUHP Pasal 304 pun megatur masalah ini, isinya
“Barang siapa yang dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan seseorang dalam kesengsaraan,sedangkan ia wajib memberi kehidupan,perawatan dan pemeliharaan berdasarkan hukum yang berlaku baginya atau karena suatu perjanjian,dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 2 tahun 8 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-. ”
”Pasal 306 (2) yang berisi jika salah satu perbuatan tersebut berakibat kematian,maka terdakwa dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 9 tahun”.
Malapraktek tidak hanya mengakibatkan kelumpuhan atau gangguan
fatal organ tubuh, tetapi juga menyebabkan kematian. Masalah yang
57
ditimbulkan pun bisa sampai pada masalah nama baik,baik pribadi bahkan
negara,seperti yang dipaparkan waktu penjelasan fenomena malapraktek pada
era globalisasi tadi. Benar-benar kompleks sekali permasalahan yang timbul
akibat malapraktek ini.Sehingga benar bahwa malapraktek dikatakan sebagai
sebuah malapetaka bagi dunia kesehatan di Indonesia.
Selama ini dalam praktek tindak pidana yang dikaitkan dengan dugaan
malpraktik medik sangat terbatas. Untuk malapraktek medik yang dilakukan
dengan sikap bathin culpa hanya 2 pasal yang biasa diterapkan yaitu Pasal 359
(jika mengakibatkan kematian korban) dan Pasal 360 (jika korban luka berat).
Pada tindak pidana aborsi criminalis (Pasal 347 dan 348 KUHP). Hampir
tidak pernah jaksa menerapkan pasal penganiyaan (pasal 351-355 KUHP)
untuk malpraktik medik.
Dalam setiap tindak pidana pasti terdapat unsure sifat melawan hukum
baik yang dicantumkan dengan tegas ataupun tidak. Secara umum sifat
melawan hukum malpraktik medik terletak pada dilanggarnya kepercayaan
pasien dalam kontrak teurapetik tadi.
Malpraktik kedokteran hanya terjadi pada tindak pidana materil (yang
melarang akibat yang timbul,dimana akibat menjadi syarat selesainya tindak
pidana). Dalam hubungannya dengan malpraktik medik pidana, kematian,luka
berat, rasa sakit atau luka yang mendatangkan penyakit atau yang
menghambat tugas dan matapencaharian merupakan unsure tindak pidana.
58
Bila terbukti malapraktik, seorang dokter antara lain dapat dikenakan
pasal 359, 360, dan 361 KUHP bila malpraktik itu dilakukan dengan sangat
tidak berhati-hati (culpa lata), kesalahan serius, sembrono (HR.3 Febr. 1913)
1. Culpa lata : sangat tidak berhati-hati (culpa lata), kesalahan serius,
sembrono (gross fault or neglect)
2. Culpa levis : kesalahan biasa (ordinary fault or neglect)
3. Culpa levissima : kesalahan ringan (slight fault or neglect)
3. Bentuk Pertanggungjawaban Secara Hukum Administasi
Bidang hokum kesehatan dan perlindungan konsumen merupakan
bagian hukum administrasi. Menurut Barda Nawawi Arief mengatakan
”Bidang hukum administrasi dapat mencakup ruang lingkup yang sangat luas,
tidak hanya bidang hukum pajak, perbankan, pasar modal, dan perlingdungan
konsumen, bidang lainnya antar lain di bidang ekonomi, lingkungan hudup,
kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial, tata ruang dan sebagainya”.33
Dalam pembukaan Undang-Undang 1945 dijelaskan bahwa salah satu
tujuan negara Indonesia adalah melundungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah
berupaya secara maksimal untuk memberikan perlindungan terhadap seluruh
warga negara dalam berbagai bidang kehidupan. Selain tujuan tersebut,
pemerintah juga berkewajiban melaksanakan pembagunan diberbagai bidang
dalam rangka mewujudkan kesejahterahan nasional. Berkaitan dengan hal
33 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, Hal. 13
59
tersebut, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan yang ditujukan sebagai upaya yang dilakukan oleh
pemerintah dalam rangka melaksanakan pembangunan dalam bidang
kesehatan.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan dibentuk
untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1960 tentang Pokok-
Pokok Kesehatan yang dianggap telah usang dan tidak lagi memenuhi
kebutuhan akan pengaturan tentang kesehatan pada era dimana kemajuan Ilmu
Pengetahuan dan teknologi kedokteran telah maju demikian peastnya. Dalam
bagian pertimbangan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan dikatakan bahwa pembangunan kesehatan diarahkan untuk
mempertinggi derajat kesehatan, yang besar artinya bagi pengembangan dan
pembinaan sumber daya manusia Indonesia dan sebagai modal bagi
pelaksanaan pembangunan nasional yang pada hakikatnya adalah
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh
masyarakat Indonesia Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah berkewajiban
untuk melaksanakan program dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan
bagi masyarakat.
Untuk mewujudkan pelayanan kesehatan memuaskan kepada
masyarakat yang memberikan perlindungan hukum, maka pemerintah
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran. Undang-undang tersebut diharapkan memberikan perlindungan
60
kepada masyarakat, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan, dan
memberikan kepastian hukum.
Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 dikatakan bahwa Surat
izin praktik adalah bukti tertulis yang diberikan pemerintah kepada dokter dan
dokter gigi yang akan menjalankan praktik kedokteran setelah memenuhi
persyaratan.
Berkaitan dengan masalah malapraktek, instrument perizinan yang
diatur dalam hukum administrasi negara mempunyai hubungan dengan
timbulnya perbuatan malapraktek administrasi. Oleh karena ituinstrumen
perizinan menjadi salah satu faktor yang penting ketika seorang dokter akan
membuka praktek kesehatan, karena instrument perizinan tersebut dapat
dijadikan sebagai bukti bahwa dokter yang bersangkutan mempunyai
kompeten untuk menjalankan praktik keokterannya tersebut.
Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa malapraktek administrasi
(administrative malpractice) adalah apabila perawat, dalam hal ini dokter
telah melanggar hukum administrasi. Pelanggaran tehadap hukum
administrasi tersebut antara lain seperti dokter tidak mempunyai Surat Izin
Kerja, Surat Izin Praktek, atau melanggar batas kewenangan tenaga
keperawatan.
Aspek Hukum Administrasi dalam Penyelenggaraan Praktik
Kedokteran Setiap dokter yang telah menyelesaikan pendidikan dan ingin
61
menjalankan praktik kedokteran dipersyaratkan untuk memiliki izin. Izin
menjalankan praktik memiliki dua makna, yaitu:
1. izin dalam arti pemberian kewenangan secara formil (formeele
bevoegdheid)
2. izin dalam arti pemberian kewenangan secara materiil (materieele
bevoegdheid).
Secara teoritis, izin merupakan pembolehan (khusus) untuk melakukan
sesuatu yang secara umum dilarang. Sebagai contoh: dokter boleh melakukan
pemeriksaan (bagian tubuh yang harus dilihat), serta melakukan sesuatu
(terhadap bagian tubuh yang memerlukan tindakan dengan persetujuan) yang
izin semacam itu tidak diberikan kepada profesi lain.
Pada hakikatnya, perangkat izin (formal atau material) menurut hukum
administrasi adalah: Mengarahkan aktivitas artinya, pemberian izin (formal
atau material) dapat memberi kontribusi, ditegakkannya penerapan standar
profesi dan standar pelayanan yang harus dipenuhi oleh para dokter dalam
pelaksanaan praktiknya.
Mencegah bahaya yang mungkin timbul dalam rangka
penyelenggaraan praktik kedokteran, dan mencegah penyelenggaraan praktik
kedokteran oleh orang yang tidak berhak. Mendistribusikan kelangkaan
tenaga dokter/ dokter gigi, yang dikaitkan dengan kewenangan pemerintah
daerah atas pembatasan tempat praktik dan penataan Surat Izin Praktik (SIP).
62
Melakukan proses seleksi, yakni penilaian administratif, serta
kemampuan teknis yang harus dipenuhi oleh setiap dokter dan dokter gigi.
Memberikan perlindungan terhadap warga masyarakat terhadap praktik yang
tidak dilakukan oleh orang yang memiliki kompetensi tertentu.
Dari sudut bentuknya, izin diberikan dalam bentuk tertulis,
berdasarkan permohonan tertulis yang diajukan. Lembaga yang berwenang
mengeluarkan izin juga didasarkan pada kemampuan untuk melakukan
penilaian administratif dan teknis kedokteran. Pengeluaran izin dilandaskan
pada asas.asas keterbukaan, ketertiban, ketelitian, keputusan yang baik,
persamaan hak, kepercayaan, kepatutan dan keadilan. Selanjutnya apabila
syaratsyarat tersebut tidak terpenuhi (lagi) maka izin dapat ditarik kembali.
Telah terjadi beberapa perubahan mendasar yang berkaitan dengan perizinan
di dalam undang-undang, yaitu:
a) Digunakan terminologi Surat Tanda Registrasi (STR) yang diterbitkan
oleh KKI, sebagai pengganti terminologi Surat Penugasan (SP).
b) Untuk mendapatkan STR pertama kali dilakukan uji kompetensi oleh
organisasi profesi (dengan sertifikat kompetensi).
c) Surat Tanda Registrasi (STR) diberikan oleh KKI dan berlaku selama
lima tahun serta dapat diperpanjang melalui uji kompetensi lagi.
d) Masa berlaku SIP sesuai STR. Dengan kata lain, bila masa berlaku STR
sudah habis maka SIP juga habis.
63
Sebagai implementasi dari undang-undang, telah dikeluarkan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1419/MENKES/PER/X/2005 tentang
Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter Gigi untuk menata lebih lanjut
masalah perizinan, termasuk aturan peralihan yang bertujuan untuk
menyelesaikan permasalahan yang mungkin timbu.
Dalam hubungan antara pasien dengan rumah sakit, siapakah yang
dapat dimintakan pertanggungjawaban apabila terjadi kesalahan dalam
melakukan pelayanan kesehatan yang mengakibatkan kerugian pada pasien?
Apabila terjadi kesalahan yang mengakibatkan kerugian pada pasien dalam
pelayanan kesehatan di rumah sakit, maka pertanggungjawaban administrasi
adalah berdasarkan sistem pertanggungjawaban pidana yang menyimpang dari
asas kesalahan, yaitu sebagai berikut:
a. Apabila dokter yang melakukan kesalahan dalam pelayanan kesehatan
tersebut berstatus sebagi “dokter in” (dokter sebagai buruh dan rumah
sakit sebagai majikan, di mana dokter bekerja sebagai karyawan dari
rumah sakit dan menerima gaji dari rumah sakit), maka rumah sakit dapat
dimintakan pertanggungjawaban pidana atas kesalahan yang dilakukan
oleh dokter. Hal ini sesuai dengan teori sistem pertanggungjawaban
pidana korporasi (enterprise liability), di mana korporasi dapat dikenakan
pidana berdasarkan asas strict liability (pertanggungjawaban pidana ketat)
atas kesalahan yang dilakukan oleh pegawainya.
64
b. Apabila dokter yang melakukan kesalahan dalam pelayanan kesehatan
tersebut berstatus sebagai “dokter out” (dokter hanya berhak
menggunakan fasilitas yang ada di dalam rumah sakit dan rumah sakit
menyediakan fasilitas bagi dokter, tidak sebagai karyawan rumah sakit
tersebut), maka dokter harus dimintakan pertanggungjawaban secara
langsung berdasarkan pertanggungjawaban pidana berdasarkan asas
kesalahan.
c. Apabila yang melakukan kesalahan dalam pelayanan kesehatan di rumah
sakit adalah juru rawatnya, maka dokternya dapat dimintakan
pertanggungjawaban. Dalam hal ini apabila dokter merupakan atasan dan
juru rawat sebagai bawahan, maka pertanggungjawaban pidananya adalah
pertanggungjawaban pidana pengganti (vicarious liability). Dalam
vicarious liability ini, yang bertanggungjawab adalah dokter, bukan juru
rawatnya. Perbuatan yang dilakukan oleh juru rawat tersebut harus masih
dalam ruang lingkup pekerjaannya. Vicorious liability adalah
pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang
dilakukan oleh orang lain. Kedua orang tersebut harus mempunyai
hubungan, yaitu “hubungan atasan dan bawahan atau hubungan majikan
dan buruh” atau “hubungan pekerjaan”.
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, apakah dokter
dimaksud di atas dapat dipertanggungjawabkan mengingat apabila dokter
dimaksud merupakan karyawan rumah sakit yang bersangkutan (dokter
65
in)? Apakah vicarious liability yang ditanggung oleh “dokter in” atas
kesalahan juru rawatnya dapat dipertanggungjawabkan lagi kepada rumah
sakit? Dalam hal ini, baik juru rawat maupun “dokter in” merupakan
karyawan dari rumah sakit yang bersangkutan. Menurut penulis, kesalahan
yang dilakukan oleh juru rawat, yang telah dipertanggung jawabkan
kepada “dokter in” dalam hubungan pekerjaan sebagai bawahan dan
atasan (vicarious liability), dapat dipertanggungjawabkan kepada rumah
sakit (korporasi) yang bersangkutan. Jadi, rumah sakit dapat
dipertanggungjawabkan atas kesalahan yang dilakukan oleh juru rawat
dimaksud, bukan dokternya, walaupun dokternya mempunyai hubungan
pekerjaan dengan juru rawat dimaksud. Pertimbangan ini didasarkan pada
teori identifikasi, yang dikemukakan oleh Richard Card, bahwa the acts
and state of mind of the person are the acts and state of mind of
corporation).34
d. Apabila yang melakukan kesalahan dalam pelayanan kesehatan di rumah
sakit adalah direkturnya (pengurusnya), maka rumah sakit dapat
dimintakan pertanggungjawaban pidana berdasarkan asas identifikasi.
Teori identifikasi adalah salah satu teori yang menjustifikasi
pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana. Teori itu
34 Ibid, halaman 123.
66
menyebutkan bahwa tindakan dari direktur juga merupakan tindakan dan
kehendak dari korporasi.35
Dalam menjalankan prakteknya, dokter berpegang pada Undang-
Undang Praktek Kedokteran Nomor 29 tahun 2004, pelanggaran disiplin berat
oleh dokter dapat dikenakan sanksi hingga pencabutan surat tanda registrasi
atau surat izin praktek tanpa menghilangkan kemungkinan seorang dokter
dituntut secara pidana atau perdata.
Penjelasan di atas ter dapat di dalam Pasal 69 Undang-Undang Praktek
Kedokteran, yaitu :
1. Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedoketran Indonesia mengikat dokter, dokter gigi dan Konsil Kedokteran Indonesia;
2. Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa dinyatakan tidak bersalah atau diberikan sanksi disiplin;
3. Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa :a. Pemberian peringatan tertulis;b. Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau
surat Izin Praktek; danc. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di
institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.
35 Ibid
67
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan dalam pembahasan di atas, maka
penulis dapat menarik kesimpulan :
1. Pengaturan pertanggungjawab hukum dokter yang melakukan malapraktek
kedokteran, pada dasarnya masuk dalam tiga lapangan hukum, yakni perdata,
pidana dan administrasi. Masuk perdata sebagai wanprestasi dan atau
perbuatan melawan hukum yang membeban pertanggungjawaban. Masuk
lapangan hukum pidana sebagai suatu kejahatan, yang membeban
pertanggungjawaban pidana. Malpraktik pidana pada dasarnya juga sekaligus
masuk lapangan perdata melalui perbuatan melawan hukum.
2. Bentuk tanggung jawab hukum dokter dari secara hukum perdata, hukum
pidana dan hukum administrasi adalah:
a. Tanggung jawab dari segi hukum
pidana unsur-unsur di dalam pertanggungjawaban pidana, yang terkait
dengan unsur kesalahan, yaitu :
1) Melakukan perbuatan pidana
2) Di atas umur tertentu mampu bertanggungjawab
3) Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau
kealpaan.
4) Tidak adanya alasan pemaaf.
68
Di dalam KUHP pertanggungjawaban pidana terdapat di dalam Pasal 299
sampai dengan Pasal 535 KUHP.
Sedangkan Undang-Undang Kesehatan pertaggungjawaban terhadap
pelaku perbuatan aborsi, yaitu di pidana dengan pidana penjara paling lama 15
tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000 (Lima ratus juta
rupiah).
a. Pertanggung jawaban dari segi hukum perdata adalah dengan memberikan
ganti rugi kepada pasien karena berdasarkan perjanjian pengobantan.
b. Pertanggung jawaban dari segi hukum administrasi adalah bagi dokter surat
izin prakteknya bisa dicabut.
B. Saran
1. Diharapkan Kiranya pihak aparat penegak hukum, sebagai penegakan hukum
yang aktif di dalam masyarakat, kiranya dapat berperan aktif dan melihat
dengan jeli indikasi-indikasi kasus malapraktek ini.
2. Selanjutnya, sebagai rangkaian dalam keaktifannya dalam hukum, Kejaksaan
sebagai Penuntut Umum dan sebagai pengawasan penyidik sesuai dengan isi
KUHAP, dapat meningkatkan peranannya dengan jalan membina kerja sama
yang erat dengan pihak penyidik (polisi) untuk dapat membongkar kasus-
kasus malapraktek yang selama ini masih banyak yang tertutup, baru
kemudian tugas bagi hakim untuk lebih teliti dan obyektif dalam mengambil
vonisnya.
69
3. Perlu juga untuk menambah pengetahuan bagi para penegak hukum ini,
khususnya pengetahuan dalam bidang kebidanan, sehingga jika terjadi kasus
malapraktek mereka dapat menyidik, menuntut dan memutus perkara dengan
tepat sesuai dengan kemampuan/pengetahuannya. Hal ini dapat ditempuh
dengan cara mengadakan seminar-seminar atau diberikan semacam
pendidikan khusus yang menyangkut masalah kebidanan, khususnya hal-hal
yang sangat erat kaitannya dengan kejadian-kejadian yang timbul di sekitar
malapraktek. Atau minimal mereka diberikan suatu pegangan/pedoman
tentang hukum untuk profesi bidan dan segala aspeknya. Dari hal ini
diharapkan agar nantinya setiap kasus malaprak-tek dapat benar-benar
diselesaikan dengan tuntas.
4. Diharapkan para dokter akan lebih waspada dan hati-hati dalam melaksanakan
tugasnya, masyarakat menjadi aman dan puas atas pelayanannya dan penegak
hukum dapat lancar dalam bertugas, akhirnya penegakan hukum dapat
berjalan sebagaimana kita harapkan.
70
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku Dan Artikel
A. Fuad Usfa dan Tongat, 2004, Pengantar Hukum Pidana, UMM Press,: Malang
Arief, Barda Nawawi. 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti : Bandung
Chrisdiono M. Achadiat. 1996. Pernik-Pernik Hukum Kedokteran. Jakarta : Widya Medika.
Gunawan. 1992. Etika Kedokteran. Kanisius : Yokyakarta.
Jenie, Siti Ismiati. 1995. Aspek Yuridis Sekitar Perjanjian Terapeutik, Sinar Harapan : Jakarta
Kancil, CST. 1991. Pengantar Hukum Kesehatan. Jakarta. : Rineka Cipta
Komalawati, Veronica. 2002. Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terapeutik. PT.Citra Aditiya Bakti : Bandung.
Marianti Ninik, 1988. Malapraktek Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana Dan Perdata. Bina Angkasa : Jakarta.
Moeljatno,1987, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara: Jakarta
Muhammad, Abdul Kadir. 1982. Hukum Prikatan. Bandung, Alumni
Prodjodikoro, Wirjono. 1981. Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia. Eresco : Jakarta.
Nasution, Bahdar Johan. 1990. Hukum Kesehatan PertanggungJawaban Dokter. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Ohoiwutun, Triana Y.A. Triani. 2008. Bungan Rampai Hukum kedokteran. Malang : Bayu Media
Wiradarma Dani, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran,1996, Bina Rupa Aksara: Jakarta
71
Artikel, [email protected], Melahirkan Caesar, 2009 Oktober 24
Artikel, Asep, Malpraktik Medis, 28 November 2009.
Artikel, Post Comments (Atom) (Minggu, 17 November 2007 )
Artikel Rawins, Resiko Persalinan Caesar, 23 September 2008
Artikel www.upliftinternational.org/Uplift%20Intl%20Health%20&
Artikel www.google.com/http// wikipesia.
Artikel.http://www.stadtaus.com/perlindungan konsumen berkaitan dengan
malpraktek medik, 13Maret 2010
B. Peraturan Perundang-Undangan Dan Kamus
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Indonesia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1992 Tentang Kesehatan
Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
72