pertanggungjawaban pidana dokter yang melakukan …
TRANSCRIPT
1
SKRIPSI
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DOKTER
YANG MELAKUKAN TINDAKAN MEDIS TANPA
BERDASARKAN INFORMED CONSENT
(ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR 79PK/PID/2013)
PUTU OKA BHISMANING
NIM. 1303005229
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DOKTER YANG
MELAKUKAN TINDAKAN MEDIS TANPA BERDASARKAN
INFORMED CONSENT
(ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR
79PK/PID/2013)
Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Udayana
PUTU OKA BHISMANING
NIM. 1303005229
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa,
Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan rahmatNya, penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
DOKTER YANG MELAKUKAN TINDAKAN MEDIS TANPA
BERDASARKAN INFORMED CONSENT (ANALISIS PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG NOMOR 79PK/PID/2013)” dengan baik dan tepat
waktu.
Skripsi ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi kewajiban terakhir
mahasiswa dalam menyelesaikan perkuliahan pada Fakultas Hukum Universitas
Udayana sehingga dapat dinyatakan selesai menempuh program Sarjana (S1) serta
memperoleh gelar Sarjana Hukum.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna karena
terbatasnya kemampuan dan pengalaman penulis, baik teori maupun praktik.
Penulis berharp semoga skripsi ini memenuhi criteria salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan arahan dan dukungan
dari berbagai pihak baik secara materiil maupun inmateriil. Penulis mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH., M.Hum selaku Dekan
Fakultas Hukum Universitas Udayana;
2. Bapak Dr. Gde Made Swardhana, SH., MH selaku Wakil Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Udayana;
3. Ibu Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH., MH selaku Wakil Dekan 2
Fakultas Hukum Universitas Udayana;
4. Bapak Dr. I Gede Yusa, SH., MH selaku Wakil Dekan 3 Fakultas
Hukum Universitas Udayana;
5. Bapak Dr. Ida Bagus Surya Dharmajaya, SH., MH selaku Ketua
Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana;
6. Bapak Dr. I Gusti Ketut Ariawan, SH., MH selaku Dosen
Pembimbing I yang telah membimbing dan mengarahkan penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini;
7. Ibu I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti, SH., MH selaku Dosen
Pembimbing Akademik sekaligus Dosen Pembimbing II yang telah
memberikan arahan, bimbingan serta petunjuk dalam menjalani
perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana dan
membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini;
8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana, yang telah
memberikan ilmu serta pelajaran selama penulis mengikuti
perkuliahan;
9. Seluruh Staf Tata Usaha, Perpustakaan, Labolatorium Hukum, dan
seluruh pergawai Fakultas Hukum Univeristas Udayana, yang telah
memberikan pelayanan yang mendukung selama perkuliahan dan
penyusunan skripsi penulis;
10. Kedua orangtua penulis, Bapak, I Made Wirawan dan Ibu, Ni Putu
Sri Rahayu Ningsih, adik-adik penulis, Made Prasta Yudist dan
Nyoman Raharya Utami, kakek penulis, I Ketut Sinta, dan adik
terkecil penulis, Miko, serta seluruh keluarga besar penulis yang
memberikan dorongan metal, motivasi serta doa pada penulis
selama penulisan skripsi ini;
11. Kak Pramana Rahadhi, terima kasih atas kesabaran serta motivasi
yang diberikan;
12. Fungsionaris dan keluarga besar Udayana Moot Court Community
atas pengalaman dan pembelajaran yang penulis dapatkan selama
berorganisasi;
13. Delegasi NMCC Piala Prof. Soedarto V Universitas Diponegoro,
Kak Tasya, Gungde Yoga, Agus, Ajik, Mangga, Ajus, Bayu, Gung
Anis, Inten, Sumik, Kiky, Melati, Nara, Rada, Pika, Wisnu dan
Yolanda terimakasih atas pelajaran, waktu dan pengalaman yang
penulis dapatkan;
14. Geng TOA, Saras, Tuani, Rika, Lisna dan Tatik, terimakasih selalu
menemani, memberi dukungan sejak ospek hingga saat ini;
15. Teman-teman penulis, Priska, Putri, Intan dan Dedi yang full of
laughs, terimakasih untuk minuman-minuman racikannya;
16. Teman-teman penulis, Kelompok KKN UNUD XIII Tahun 2016
Desa Duda Utara, Mahen, Cok, Ayu Nur, Cece, Juli, Didi, Teddy,
Lidi, Nara, Imeh, Shaini, Surya, Tami, Wahana dan Wanda
terimakasih untuk momen-momen yang sangat berkesan selama di
Desa Duda Utara;
17. Seluruh teman-teman penulis angkatan 2013, kakak-kakak alumni
serta adik-adik yang tidak bisa penulis tulis satu persatu,
terimakasih telah memberikan pengalaman, saran dan
pembelajaran selama perkuliahan dan diluar perkuliahan;
18. Seluruh pihak yang terlibat dan tidak dapat disebutkan satu per satu
yang telah membantu, mendukung dan mendoakan penulis selama
perkuliahan dan penyusunan skripsi ini.
Semoga mereka yang telah mendoakan, memberikan arahan, bantuan dan
dukungan kepada penulis, mendapatkan imbalan setimpal dari Ida Sang Hyang
Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa. Dengan kerendahan hati, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun karena penulis menyadari masih
terdapat kekurangan dalam skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
seluruh elemen masyarakat dan dapat menjadi bahan bacaan maupun pengetahuan
bagi yang memerlukan.
Batubulan, Februari 2017
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM .................................. ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ............................. iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................. v
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN................................................................. xii
ABSTRAK ........................................................................................................... xiii
ABSTRACT ........................................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 6
1.3 Ruang Lingkup Masalah ........................................................................ 6
1.4 Orisinalitas Penulisan ............................................................................. 7
1.5 Tujuan Penelitian .................................................................................. 11
a. Tujuan Umum .................................................................................. 11
b. Tujuan Khusus................................................................................. 12
1.6 Manfaat Hasil Penelitian ...................................................................... 12
a. Manfaat Teoritis .............................................................................. 12
b. Manfaat Praktis ............................................................................... 12
1.7 Landasan Teoritis ................................................................................. 13
1.8 Metode Penelitian ................................................................................. 21
a. Jenis Penelitian ................................................................................ 21
b. Jenis Pendekatan ............................................................................. 21
c. Bahan Hukum .................................................................................. 22
d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum .............................................. 24
e. Teknik Analisis Bahan Hukum ....................................................... 24
BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA, HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN, DOKTER & RUMAH
SAKIT, INFORMED CONSENT DAN TINDAK PIDANA
MALPRAKTIK .......................................................................................... 26
2.1 Pertanggungjawaban Pidana ................................................................ 26
2.2 Hak dan Kewajiban Pasien, Dokter dan Rumah Sakit ......................... 32
2.2.1 Hak dan Kewajiban Pasien ......................................................... 32
2.2.2 Hak dan Kewajiban Dokter ........................................................ 35
2.2.3 Hak dan Kewajiban Rumah Sakit .............................................. 38
2.3 Pengertian Informed Consent ............................................................... 40
2.4 Pengertian Malpraktik .......................................................................... 47
BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DOKTER, RUMAH SAKIT
DAN TENAGA KESEHATAN DALAM MALPRAKTIK DALAM
HUKUM POSITIF DI INDONESIA ......................................................... 54
3.1 Pertanggungjawaban Pidana Dokter dalam Malpraktik ....................... 54
3.2 Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit dalam Malpraktik ............. 63
3.3Pertanggungjawaban Pidana Tenaga Kesehatan Lainnya dalam
Malpraktik ........................................................................................... 70
BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR
79PK/PID/2013 .......................................................................................... 77
4.1 Kasus Posisi .......................................................................................... 77
4.2 Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 79PK/Pid/2013 .............. 84
BAB V PENUTUP ................................................................................................. 98
5.1 Kesimpulan ........................................................................................... 98
5.2 Saran ..................................................................................................... 99
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RINGKASAN SKRIPSI
ABSTRAK
Persetujuan tindakan medis adalah salah satu hak yang sangat penting bagi
pasien. Persetujuan tindakan medis juga tercipta karena adanya perjanjian
terapeutik yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi kedua pihak yaitu dokter
dan pasien. Kenyataannya, persetujuan tindakan medis ini sering dikesampingkan
oleh dokter. Salah satu kasus malpraktik yang terjadi akibat diabaikannya
persetujuan tindakan medis adalah kasus yang terjadi di RSU Prof. Kandou
Manado yang dilakukan oleh dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry
Simanjuntak dan dr. Hendy Siagin dengan korban Siska Maketey. Permasalahan
dalam penulisan ini yaitu pertanggungjawaban pidana dokter, rumah sakit dan
tenaga kesehatan lainnya dalam malpraktik berdasarkan hukum positif Indonesia
dan analisis putusan Mahkamah Agung Nomor 79PK/Pid/2013.
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode normatif
yuridis terkait dengan usaha dalam penemuan hukum yang tepat dalam tindak
pidana malpraktik yang memang belum ada kesesuain diantara putusan-putusan
pengadilan yang ada di Indonesia tentang tindak pidana malpraktik.
Pertanggungjawaban pidana dokter harus melihat apakah dilakukan karena
kelalaian atau kesengajaan, pertanggungjawaban pidana rumah sakit hanya
sebatas pada kelalaian, dan pertanggungjawaban pidana tenaga kesehatan lainnya
harus dilihat berdasarkan pelimpahan wewenang dari dokter. Kita membutuhkan
regulasi mengenai pertanggungjawaban pidana dokter, rumah sakit dan tenaga
kesehatan. Selain itu persetujuan tindakan medis harus dijalankan dengan baik
karena merupakan hak pasien, serta harus adanya kesesuaian penerapan hukum
terhadap tindak pidana malpraktik.
Kata kunci : Pertanggungjawaban Pidana, Pesetujuan Tindakan Medis,
Malpraktik
ABSTRACT
Informed consent is one of the rights that are very important for the
patient. Informed consent created because there are therapeutics agreement
previously creating rights and obligations for both parties ie doctor and patient.
In fact, informed consent is often ruled out by a doctor. One of malpractice cases
that occur as a result of ruled out of informed consent is the case in RSU Prof.
Kandou, Manado conducted by dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry
Simanjuntak and dr. Hendy Siagian with Siska Maketey as a victim. The problems
in this thesis are the criminal liability of doctors, hospitals and other health
personnel in the malpractice cases according to the positive law of Indonesia and
the analysis of the Supreme Court Ruling No. 79PK / Pid / 2013.
The method used in this thesis is normative juridical method related to
invention of appropriate law in crime of malpractice which is there are not yet
conformity between court ruling that exist in Indonesia about the crime of
malpractice.
The criminal liability of doctors must see whether because of negligence
or intentional, criminal liability of hospital only limited to negligence, and
criminal liability of other health personnel must see based on the delegation of
authority from the doctor. We needed the regulation about criminal liability of
doctors, hospital and other health personnal. Besides that approval of medical
action must be worked properly because it is the right of the patient, and there are
must suitability of law application against the crime of malpractice.
Keywords: Criminal Liability, Informed Consent, Malpractice
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia sebagai Negara hukum dan menjungjung tinggi demokrasi,
mengimplementasikan dengan berbagai bentuk salah satunya adalah melindungi
hak-hak rakyatnya. Hal ini tercantum dalam peraturan perundang-undangan
teratas pada hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD
NRI Tahun 1945). Salah satu hak yang dilindingi adalah hak kesehatan.
Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi manusia karena dengan tubuh
yang sehat manusia dapat menjalankan hidupnya. Kesehatan sendiri tidak semata-
mata hanya berupa kesehatan fisik namun juga kesehatan mental atau psikis. Pasal
28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan “Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Walaupun
sudah diatur secara jelas dan tegas dalam UUD NRI Tahun 1945, namun masalah
kesehatan masih menjadi salah satu masalah utama di Indonesia, khususnya
terjadi pada penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan. Berdasarkan data
Badan Pusat Statistik per 17 Desember 2014, persentase dari penduduk di
Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan adalah 11,47%.1
1 Badan Pusat Statistik, 2014, “Jumlah Penduduk Miskin, Persentase Penduduk Miskin
dan Garis Kemiskinan, 1970-2013”, Badan Pusat Statistik, URL :
https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1494, diakses tanggal 28 September 2016.
Selain permasalahan pelayanan kesehatan kepada masyarakat miskin yang
kurang memadai, masalah kesehatan lainnya adalah tidak sedikitnya kasus
malapraktik yang terjadi di Indonesia. Dikutip dari poskotanews.com, praktik
dokter umum menduduki peringkat pertama kasus dugaan malapraktik sepanjang
kurun 2006 hingga 2015.2 Dari 317 kasus dugaan malapraktik yang dilaporkan ke
Konsil Kedokteraan Indonesia (KKI), 114 diantaranya adalah dokter umum,
disusul dokter bedah 76 kasus, dokter obgyn (spesialis kandungan) 56 kasus dan
dokter anak 27 kasus. Padahal unsur terpenting dari suatu pelayanan kesehatan
yang baik adalah tenaga kesehatan itu sendiri baik dokter, perawat maupun rumah
sakit. Berdasarkan Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan, tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri
dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan
melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan
kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
Semakin banyak ditemukannya dugaan-dugaan malapraktik
memperlihatkan bahwa masyarakat semakin sadar bahwa mereka memiliki hak
sebagai pasien untuk menuntut dokter apabila terjadi malapraktik. Malapraktik
berasal dari kata “mala” artinya salah atau tidak semestinya, sedangkan praktik
adalah proses penanganan kasus (pasien) dari seorang profesional yang sesuai
2 Inung, 2015, “Dokter Umum Paling Banyak Lakukan Malpraktik”, POSKOTA NEWS,
URL : http://poskotanews.com/2015/05/20/dokter-umum-paling-banyak-lakukan-malpraktik/
diakses tanggal 30 September 2016.
dengan prosedur kerja yang ditentukan oleh kelompok profesinya.3 Sehingga
malapraktik dapat diartikan melakukan tindakan atau praktik yang salah atau yang
menyimpang dari ketentuan atau prosedur yang baku dan (benar). Dalam bidang
kesehatan, malapraktik adalah penyimpangan penanganan kasus atau masalah
kesehatan (termasuk penyakit) oleh petugas kesehatan, sehingga menyebabkan
dampak buruk bagi penderita atau pasien. Lebih khusus lagi bagi tenaga medis
(dokter atau dokter gigi), malapraktik adalah tindakan dokter atau dokter gigi
(kelalaian dokter atau dokter gigi) terhadap penanganaan pasien.
Malpraktik yang sering dilakukan oleh petugas kesehatan (dokter dan
dokter gigi) secara umum diketahui terjadi karena hal-hal berikut :
a. Dokter atau dokter gigi kurang menguasai praktik kedokteran yang
sudah berlaku umum di kalangan profesi kedokteran atau kedokteran
gigi.
b. Memberikan pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi di bawah
standar profesi.
c. Melakukan kelalaian yang berat atau memberikan pelayanan dengan
tidak hati-hati.
d. Melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan hukum.4
Unsur-unsur terpenting untuk mebuktikan ada atau tidaknya suatu
malpraktik adalah pertama, adanya tindakan dokter atau dokter gigi yang tidak
3 Soekidjo Notoatmodjo, 2010, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, h.
167. 4 Ibid, h. 168.
sesuai dengan standar pelayanan (standard of care), kedua, tidak adanya kontrak
maupun persetujuan dari pasien terhadap tindakan medis yang dilakukan oleh
dokter, dan ketiga, akibat hal tersebut menyebabkan kerugian bagi pasien baik
kerugian dari segi materi maupun kerugian badan bahkan mengakibatkan
hilangnya nyawa pasien.
Salah satu kasus malapraktik yang mendapat sorotan nasional adalah kasus
yang melibatkan 3 dokter yaitu dr. Dewa Ayu Sasiary Prawarni, Sp.OG., dr.
Hendry Simanjuntak, Sp.OG., dan dr. Hendy Siagian, Sp.OG. Kasus ini berawal
dari tuduhan pihak keluarga korban Julia Fransiska Makatey (25) yang meninggal
dunia sesaat melakukan operasi kelahiran anak keduanya pada tahun 2010 yang
lalu. Diketahui pula bahwa tindakan yang dilakukan ketiga dokter tersebut tidak
berlandaskan surat persetujuan (informed consent) yang sah karena tanda tangan
pada kolom pesetujuan pasien adalah tanda tangan karangan. Perjalanan kasus ini
pun bisa dibilang cukup panjang. Pada tingkat pertama, kasus ini diadili di
Pengadilan Negeri Manado dengan nomor register perkara
No.90/Pid.B/2011/PN.MDO dengan amar putusan tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan. Kemudian jaksa
penuntut umum mengajukan Kasasi kepada Mahkamah Agung dengan nomor
register perkara No.365K/Pid/2012 dengan amar putusan bahwa para terdakwa
telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang
tercantum dalam Pasal 359 KUHP (karena kelalaiannya mengakibatkan matinya
orang lain) dengan pidana penjara masing-masing selama 10 (sepuluh) bulan. Para
pemohon / para terpidana mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali kepada
Mahkamah Agung dengan nomor register perkara No.79PK/Pid/2013 dengan
amar putusan berbunyi membatalkan putusan Mahkamah Agung RI
No.365K/Pid/2012 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Manado
No.90/Pid.B/2011/PN.MDO dan menyatakan bahwa para pemohon / para
terpidana tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana sebagaimana yang didakwakan.
Kasus diatas merupakan satu dari banyaknya kasus malapraktik di
Indonesia. Seringkali dalam kasus malapraktik korban, dalam hal ini adalah
pasien, kurang memberikan rasa keadilan bagi pihak korban. Hal ini dikarenakan
pihak korban memiliki pengetahuan yang terbatas mengenai ilmu kedokteran dan
menyebabkan korban susah dalam hal membuktikan perbuatan atau tindakan yang
menyebabkan kerugian bagi korban, apakah itu merupakan perbuatan karena
kelalaian atau kesengajaan. Selain itu, masih adanya dokter yang mengambil
tindakan tanpa pesetujuan dari pasien merupakan pelanggaran terhadap hak
pasien.itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa hak pasien sendiri kerap tidak
dijalankan oleh tenaga medis khususnya dokter yang akan mengambil tindak
medis.
Berdasarkan pemaparan dan keadaan yang telah dipaparkan diatas yang
melatar belakangi dari penulisan ini. Masih adanya kasus malpraktik yang
menyebabkan kerugian pada pasien yang bahkan menyebabkan pasien meninggal
dunia, namun pasien sendiri hanya mendapat bentuk ganti rugi yang tidak sepadan
bahkan pada beberapa kasus sang dokter diputus bebas. Masalah lainnya adalah
tidak terlaksananya hak pasien berupa persetujuan pasien terhadap segala tindakan
medis (informed consent) yang akan dokter lakukan merupakan cermin bahwa
kedudukan pasien masih lemah dalam hukum kesehatan. Berlandaskan
permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka penulis melakukan penilitian
secara normatif dengan judul “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
DOKTER YANG MELAKUKAN TINDAKAN MEDIS TANPA
BERDASARKAN INFORMED CONSENT (ANALISIS PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG NOMOR 79PK/PID/2013)”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat ditarik beberapa
permasalahan yang nantinya menjadi pokok pembahasan dari skripsi ini, antara
lain :
1. Bagaimana pertanggungjawaban pidana dokter, rumah sakit maupun
tenaga kesehatan apabila terjadi malpraktik baik karena kesengajaan
maupun kelalaian ?
2. Bagaimana putusan tingkat Peninjauan Kembali pada kasus dr. Ayu
Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak dan dr. Hendy Siagian ?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Diperlukannya batasan-batasan dalam suatu penulisan karya ilmiah untuk
mendapatkan gambaran secara garis besar dan menyeluruh dari karya ilmiah
tersebut. Penentuan ruang lingkup juga diperlukan agar pembahasan dalam suatu
karya ilmiah tidak menyimpang dari batasan-batasan yang telah ditentukan.
Adapaun ruang lingkup masalah dari karya ilmiah ini adalah, pertama bagaimana
pertanggungjawaban dokter apabila terjadi malpraktik, dan kedua bagaimana
putusan Pengadilan terhadap kasus dr. Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry
Simanjuntak dan dr. Hendy Siagian.
1.4 Orisinalitas Penulisan
Penulisan skripsi ini berdasarkan dari ide, gagasan maupun kreatifitas dari
penulis sendiri melalui berbagai sumber hukum baik sumber hukum primer,
sumber hukum sekunder maupun sumber hukum tersier. Tidak dapat dipungkiri
ditemukannya keterkaitan dengan karya tulis ilmiah-karya tulis ilmiah lainnya.
Namun, pembahasan yang dibahas dalam skripsi ini memiliki perbedaan dengan
skripsi-skripsi tersebut. Adapun ditampilkan 2 (dua) karya tulis ilmiah berupa
skripsi yang memiliki keterkaitan, yaitu antara lain :
Pada penelusuran di internet tanggal 3 Oktober 2016 pukul 21.07
WITA telah ditemukan satu karya tulis ilmiah berupa skripsi dengan
judul “Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Operasi Caesar dalam
Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) di Rumah Sakit
Umum Daerah Kajen Kabupaten Pekalongan” oleh Naila Nabilla
(10340069) selaku mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Adapun
rumusan masalah dari skripsi ini yaitu :
a. Bagaimana pelaksanaan informed consent operasi Caesar di
Rumah Sakit Umum Kajen Kabupaten Pekalongan ?
b. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pasien operasi
Caesar dalam persetujuan tindakan medis (informed consent)
di Rumah Sakit Umum Daerah Kajen Kabupaten Pekalongan ?
Adapun temuan dari karya tulis tersebut adalah :
a. Bahwa persetujuan tindakan medis (informed consent)yang
terjadi diantara dokter dan pasien pada dasarnya
adalahmerupakan salah satu benuk perjanjian yang dapat
ditinjau dari sudut hukum perdata. Pelaksanaan informed
consent di Rumah Sakit Umum Daerah Kajen Kabupaten
Pekalongan sudah berjalan sebagaimana mestinya yaitu dokter
menjelaskan kepada pasien maupun keluarga pasien mengenai
tindakan medis yang disarankan dan memberikan penjelasan
dengan bahasa yang mudah dimengerti. Apabila pasien
menyetujui tindakan yang disarankan dokter, maka pasien
harus menandatangani formulir informed consent yang
kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan tindakan medis.
b. Perlindungan hukum yang diberikan pihak RSUD Kajen
adalah perlindungan hukum preventif yakni Rumah Sakit
menjamin dokter atau tenaga kesehatan agar tidak
menimbulkan kesalahan tindakan medis dalam menangani
pasien dengan menggunakan SOP (Standar Operasional
Prosedur) dan SPM (Standar Pelayanan Minimal). Selain itu,
pihak rumah sakit juga memberikan perlindungan represif
yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah dengan proses di
luar pengadilan (alternative dispute resolution), ataupun
melalui fasilitas mediasi dan arbitrase.
Adapun perbedaan antara karya tulis diatas dengan skripsi penulis
adalah karya tulis tersebut membahas informed consent dari segi
perjanjian secara hukum perdata. Karya tulis tersebut juga hanya
membahas mengenai penyelesaian yang dilakukan di luar pengadilan
apabila terjadi kesalahan tindakan medis yang diambil dokter maupun
tenaga kesehatan. Sedangkan dalam skripsi ini penulis menekankan
pada pertanggungjawaban pidana rumah sakit, dokter, dan tenaga
kesehatan yang melakukan tindakan medis yang mengakibat kerugian
bagi pasien baik karena kesengajaan maupun kelalaiannya
Pada penelusuran di internet tanggal 3 Oktober 2016 pukul 21.20
WITA penulis menemukan karya tulis ilmiah dalam bentuk skripsi
dengan judul “Fungsi dan Peran Informed Consent Pada Perjanjian
Medis (Penerapannya dalam Praktik oleh Dokter Spesialis Penyakit
Dalam)” oleh Timotius Senopati Agastya Prakosa (0806343310)
selaku mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Adapun
rumusan masalah dari skripsi ini adalah :
a. Bagaimana hubungan hukum antara dokter dan pasien dalam
perjanjian medis ditinjau dari hukum perjanjian ? (penerapan
perjanjian medis dalam praktik dokter spesialis penyakit dalam
Gastroentero-Hepatologi)
b. Bagaimana peranan Informed Consent dalam perjanjian medis
ditinjau dari aspek hukum perjanjian ? (penerapan perjanjian
medis dalam praktik dokter spesialis penyakit dalam
Gastroentero-Hepatologi)
Adapun temuan dari karya tulis tersebut adalah :
a. Hubungan hukum antara dokter dan pasien dalam perjanjian
medis dapat timbul karena persetujuan atau karena Undang-
Undang Perikatan karena persetujuan diatur dalam Pasal 1313
KUHPerdata. Brntuk perjanjiannya adalah perjanjian
melakukan usaha (perikatan usaha) untuk menyembuhkan
pasiennya, bukan perjanjian hasil (memperjanjikan
kesembuhan). Dokter tidak menjanjikan hasil dalam tindakan
medis tapi menjanjikan untuk melakukan usaha-usaha untuk
menangani keluhan kesehatan pasien.
b. Peranan informed consent dalam perjanjian medis adalah
memberi informasi yang selengkap-lengkapnya dan sedetail-
detailnya mengenai kesehatan pasien, tindakan medis yang
akan dilakukan dan efek dari tindakan medis tersebut.
Informed consent sendiri bagi seorang dokter adalah sarana
untuk membantu mengatasi keluhan kesehatan pasien.
Sedangkan bagi pasien sendiri fungsi informed consent adalah
untuk mengetahui tindakan apa yang mungkin dilakukan
terhadap keluhan kesehatannya dan memberikan kebebasan
untuk memilih bagaimana penanganannya.
Adapun perbedaan antara karya tulis diatas dengan skripsi yang ditulis
penulis adalah dalam karya tulis diatas juga membahas informed
consent sebagai suatu perjanjian medis yang merupakan persetujuan
antara dokter dengan pasien dan merupakan bentuk perjanjian
melakukan usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata.
Karya tulis diatas juga membahas mengenai peranan dari informed
consent bagi dokter dan pasiennya. Perbedaan karya tulis tersebut
dengan skripsi penulis adalah penulis membahas mengenai
pertanggungjawaban pidana terhadap dokter, rumah sakit maupun
tenaga kesehatan yang melakukan malpraktik baik karena kesengajaan
maupun kelalaian. Dalam skripsi ini juga penulis memberikan analisis
terhadap putusan pengadilan di Indonesia terhadap kasus yang dimana
dokter melakukan tindakan medis terhadap pasiennya tanpa
berdasarkan informed consent yang benar.
1.5 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini yang ingin menulis dapatkan
antara lain :
a. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui dan
memberikan pemahaman lebih jauh mengenai apakah itu tindakan medis, hak
pasien berupa informed consent, malpraktik dan pertanggungjawaban pidana
dokter dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
b. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penulisan skripsi ini antara lain :
1. Untuk mendeskripsi dan menganalisis bagaimana
pertanggungjawaban pidana dokter, rumah sakit maupun tenaga
kesehatan apabila terjadi malpraktik baik karena kesengajaan atau
kelalaian.
2. Untuk mendeskripsi dan menganalisis putusan Pengadilan terhadap
tindak pidana malpraktik.
1.6 Manfaat Hasil Penelitian
Penulisan skripsi ini juga bertujuan untuk memberikan manfaat dan
sumbangsih untuk ilmu hukum itu sendiri. Adapun manfaat yang ingin didapatkan
antara lain :
a. Manfaat Teoritis
Kontribusi teoritis dari penulisan skripsi ini adalah diharapkan
memberikan manfaat berupa menambah wawasan dan pengetahuan dalam
penerapan dan penegakan hukum tidak hanya mengenai hukum pidana tetapi juga
mengenai hukum kesehatan dan hukum praktek kedokteran. Penulisan skripsi ini
juga diharapkan dapat turut serta dalam pengembangan peraturan perundang-
undangan yang berhubungan dengan tindak pidana malpraktik.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis, penulisan skripsi ini diharapkan sedikit banyak
memberikan bantuan bagi para penegak hukum khususnya dalam tindak pidana
malpraktik seperti polisi, jaksa, hakim maupun MKEK (Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran) dalam menangani kasus-kasus malpraktik. Manfaat lainnya adalah
diharapkan agar skripsi ini dapat menjadi sumber bacaan maupun referensi bagi
siapa saja yang ingin mengetahui lebih jauh mengenai tindak pidana malpraktik.
1.7 Landasan Teoritis
1. Asas Legalitas
Suatu perbuatan dapat dipidana apabila perbuatan tersebut sebelumnya
sudah diatur dalam undang-undang. Dalam hukum pidana dikenal adanya asas
legalitas, yaitu asas yang merupakan tiang menyangga dalam hukum pidana.
Dalam peraturan perundang-undangan pidana di Indonesia juga mengakui asas
ini, hal ini ditunjukkan dengan adanya asas legalitas dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) Indonesia. Asas legalitas terletak pada Pasal 1 ayat (1)
KUHP. Pasal 1 KUHP dirumuskan sebagai berikut :
“(1) Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan
pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan
dilakukan
(2) Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-
undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.”
Berdasarkan rumusan Pasal 1 ayat (1) KUHP, dapat ditarik makna dari
asas legalitas adalah :
a. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau
perbuatan itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan
hukum.
b. Untuk menentukan adanya tindak pidana tidak boleh digunakan analogi.
c. Undang-undang hukum pidana tidak berlaku mundur/surut.
Asas legalitas sendiri memiliki landasan teoritis yaitu asas Nullum
Delictum Nulla Poena Sine Previa Lege.5 Asas Nullum Delictum Nulla Poena
Sine Praevia Lege adalah asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang
dilarang dan diancam pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam
perundang-undangan.6Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia merupakan
bahasa latin yang apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti tidak
ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu.7
2. Pengertian Tindak Pidana
Pengertian tindak pidana atau delik sendiri tidak diatur dalam Kitab
Undnag-Undang Hukum Pidana (KUHP). Istilah tindak pidana merupakan
terjemahan dari strafbaar feit dan diperkenalkan oleh pihak pemerintah melalui
Departemen Kehakiman. Pengertian delik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
yaitu “Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan
pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana.” Berdasarkan rumusan yang
ada maka delik (strafbaar feit) memuat beberapa unsur, yakni :
1. Suatu perbuatan manusia;
2. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-
undang;
3. Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat
dipertanggungjawabkan.8
5Ida Bagus Surya Dharma Jaya et. al., 2015, Buku Ajar &Klinik Manual Klinik Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana, Udayana University Press, Denpasar, h. 97. 6 Teguh Prasetyo, 2013, Hukum Pidana Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.
41. 7Ibid. 8 Ibid, h. 47-48.
Adapun terdapat 2 (dua) unsur dalam tindak pidana yaitu unsur objektif
dan unsur subjektif, yaitu :
a. Unsur objektif, yaitu unsur yang terdapat yang terdapat diluar pelaku.
Unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan, yaitu dalam
keadaaan-keadaan dimana tindakan-tindakan si pelaku itu harus
dilakukan. Terdiri dari :
1) Sifat melanggar hukum.
2) Kualitas dari si pelaku.
3) Kausalitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai
penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.
b. Unsur subjektif, yaitu unsur yang terdapat atau melekat pada diri si
pelaku, atau yang dihubungkan dengan diri si pelaku dan termasuk di
dalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur ini
terdiri dari :
1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).
2) Maksud pada sutu percobaan, seperti ditentukan dalam Pasal
53 ayat (1) KUHP.
3) Macam-macam maksud seperti terdapat dalam kejahatan-
kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, dan sebagainya.
4) Merencanakan terlebih dahulu, seperti tercantum dalam Pasal
340 KUHP.
5) Perasaaan takut seperti terdapat di dalam Pasal 308 KUHP.9
3. Pertanggungjawaban Pidana
Dapat dipersalahkannya seseorang dalam melakukan suatu perbuatan
haruslah terdapat unsur-unsur penting yang harus ada yaitu unsur sifat melawan
hukum dan unsur kesalahan. Unsur pertama yaitu unsur melawan hukum, dalam
menentukan perbuatan itu dapat dipidana, pembentuk undang-undang menjadikan
sifat melawan hukum sebagai unsur tertulis. Tanpa unsur ini, rumusan undang-
undang akan menjadi terlampau luas.10 Penjelasan mengenai unsur melawan
9 Ibid, h. 50-51. 10Ibid, h. 67.
hukum juga nantinya akan dicantumkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana yang akan datang. Hal ini tercantum dalam Pasal 11 ayat (2) Rancangan
KUHP Tahun 2013 yang menyebutkan “Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana,
selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-
undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum
yang hidup dalam masyarakat”. Penegasan juga dilanjutkan pada Pasal 11 ayat
(3), yaitu “Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali
ada alasan pembenar”.
Unsur kedua yang harus ada agar dapat dipersalahkannya seseorang dalam
melakukan perbuatan adalah kesalahan. Kesalahan merupakan penilaian atas
perbuatan seseorang yang bersifat melawan hukum, sehingga akibat perbuatannya
tersebut pelaku dapat dicela, yang menjadi dasar ukuran pencelaan atas
perbuatannya bukan terletak dari dalam diri pelaku, tetapi dari unsur luar pelaku,
yaitu masyarakat maupun aturan hukum pidana.11 Pasal 37 ayat (1) Rancangan
KUHP Tahun 2013 menyatakan “Tidak seorang pun yang melakukan tindak
pidana dipidana tanpa kesalahan”. Hukum pidana mengenal dua istilah kesalahan
yaitu, pertama kesengajaan atau dolus dan kealpaan atau culpa. Keduanya tentu
memiliki perbedaan yang sangan menonjol. Tindak pidana yang memiliki unsur
kesengajaan dalam rumusan delik sering dirumuskan dengan istilah-istilah
“dengan sengaja”, “sedang ia mengetahui”, “yang ia ketahui”, “dengan maksud”,
“bertentangan dengan apa yang diketahui”, dan “dengan tujuan yang ia ketahui”.
11Ibid, h. 82.
Sedangkan tindak pidana yang memiliki unsur kealpaan dirumuskan dengan
“karena kelalaian/karena salah”. Kealpaan merupakan kesalahan yang lebih ringan
dari kesengajaan. Syarat untuk adanya kealpaan menurut Van Hamel adalah
“tidak mengadakan pendugaan sebagaimana diharuskan oleh hukum, dan tidak
mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh hukum.”12 Unsur
kesalahan juga tidak terlepasakan dengan kemampuan bertanggung jawab. Pasal
37 ayat (2) Rancangan KUHP Tahun 2013 menyatakan “Kesalahan terdiri dari
kemampuan bertanggung jawab, kesengajaan, kealpaan, dan tidak ada alasan
pemaaf”.
Pertanggungjawaban pidana sangat berkaitkan dengan kemampuan
bertanggung jawab seseorang itu sendiri. Seseorang dapat dipertanggungjawabkan
bila ada kesalahan dalam arti materiil/verweijbaarheid, yaitu meliputi tiga unsur:
1. Adanya kemampuan bertanggung jawab.
2. Adanya hubungan batin antara pelaku dengan perbuatannya (dolus
atau culpa).
3. Tidak adanya alasan-alasan penghapus kesalahan (schuld
uitsluitingsground).13
Tidak mampu dan kurang mampu bertanggung jawab dalam hukum
pidana berkaitan dengan ketentuan Pasal 44 ayat (1) KUHP yang merumuskan :
“Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
padanya, disebabkan jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena
penyakit, tidak dipidana”. Menurut pasal tersebut, maka hal tidak mampu
12 Sudarto, 1974, Hukum Pidana IA, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat
Universitas Brawijaya, Malang, h. 55. 13 Ida Bagus Surya Dharma Jaya et. al., op. cit., h. 220.
bertanggung jawab adalah karena hal-hal tertentu, yaitu jiwanya cacat dalam
pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit, dan sebagai akibatnya, ia tidak
mampu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya itu. Ada beberapa
penyakit jiwa yang hanya merupakan gangguan sebagian saja, sehingga mereka
ini tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk sebagian yang berkaitan dengan
penyakit jiwanya. Penyakit itu antara lain kleptomania, nymphomania, pyromania,
claustrophobia.
Batas umur juga termasuk dalam salah satu kemampuan bertanggung
jawab seseorang. Saat KUHP berlaku di Indonesia dan belum adanya hukum
pidana khusus mengenai anak-anak maupun pemidanaan terhadap anak-anak atau
orang yang belum dewasa. KUHP hanya mengatur pemidanaan terhadap mereka
yang belum berumur 16 tahun dalam Pasal 45, 46 dan 47. Pasal 45 tidak
bersangkut-paut dengan hal apakah seseorang yang masih muda atau anak-anak
dianggap pertumbuhan jiwanya sempurna atau belum, tetapi hanya mengatur
tentang apa yang dapat dilakukan oleh hakim dalam mengambil keputusan
terhadap orang yang belum berumur 16 tahun jika ia melakukan tindak pidana.14
4. Pengertian Malpraktik dan Teori Perbuatan Malpraktik
Unsur sifat melawan hukum, kesalahan, kemampuan bertanggung jawab
dan pemidanaan ini berlaku bagi seluruh tindak pidana, tidak hanya yang diatur
dalam KUHP namun juga yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
lainnya. Salah satu tindak pidana itu adalah tindak pidana di bidang kesehatan.
14 Teguh Prasetyo, op. cit, h. 93.
Ada berbagai perbuatan yang termasuk dalam tindak pidana kesehatan, contohnya
adalah aborsi illegal, peredaran obat palsu, penyelenggaraan praktek kedokteran
tanpa ijin dan malpraktik. Malpraktik sendiri saat ini cukup mendapat perhatian
masyarakat Indonesia beberapa tahun terakhir. Undang-Undang No. 6 Tahun 1963
tentang Tenaga Kesehatan meskipun telah dicabut dengan keluarnya Undang-
Undang No. 23 Tahun 1992, dan diperbarui lagi dengan Undang-Undang No. 36
Tahun 2009, tetapi esensinya secara implisit masih dapat digunakan, yakni bahwa
malpr aktik terjadi apabila petugas kesehatan :
a. Melalaikan kewajibannya;
b. Melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh
seorang tenaga kesehatan, baik menginat sumpah jabatan maupun
profesinya.15
Sedangkan Guwandi menyimpulkan bahwa terdapat malpraktik apabila :
1. Ada tindakan atau sikap dokter yang :
a. Bertentangan dengan etika atau moral
b. Bertentangan dengan hukum
c. Bertentangan dengan standar profesi medik (SPM)
d. Kurang pengetahuan atau ketinggalan ilmu pada bidangnya yang
berlaku umum
2. Adanya kelalaian, kurang hati-hati atau kesalahan yang besar (culpa
lata).16
Selanjutnya dikatakan bahwa istilah malpraktik mencakup pengertian yang
lebih luas dari kelalaian karena malpraktik mencakup pula tindakan-tindakan
sengaja (intentional, dolus) dan melanggar undang-undang yang akibat dari
15 Soekidjo Notoatmodjo, loc. Cit. 16 Chrisdino M. Achadiat, 2006, Dinamika Etika & Hukum Kedokteran dalam Tantangan
Zaman, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, h. 22.
tindakan tersebut memang merupakan tujuan. Sedangkan kelalaian lebih beintikan
ketidaksengajaan (culpa), kurang hati-hati, tidak peduli, dan akibat yang timbul
sebenarnya bukan merupakan tujuan dari tindakan tersebut.17 Di dalam buku The
Law of Hospital and Health Care Administration yang ditulis oleh Arthur F.
Southwick dikemukakan adanya tiga teori menyebutkan sumber dari suatu
perbuatan malpraktik, yaitu :
a. Teori Pelanggaran Kontrak (Breanch of Contract)
Teori pertama yang mengatakan bahwa sumber perbuatan malpraktik adalah
karena terjadinya pelanggaran kontrak, ini berprinsip bahwa secara hukum
seorang dokter tidak mempunyai kewajiban merawat seseorang bila mana di
antara keduanya tidak terdapat suatu hubungan kontrak antara dokter dan pasien.
Sehubungan dengan teori pertama ini, hubungan antara dokter dan pasien baru
terjadi apabila telah terjadi kontrak diantara kedua belah pihak tersebut.
b. Teori Perbuatan yang Disengaja (Intentional Tort)
Teori kedua yang dapat dipakai oleh pasien sebagai dasar untuk menggugat
dokter karena perbuatan malpraktik adalah kesalahan yang dibuat sengaja
(intentional tort), yang mengakibatkan seseorang secara fisik mengalami cedera
(assault and battery). Kasus malpraktik menurut teori kedua ini, dalam arti yang
sesungguhnya jarang terjadi dan dapat digolongkan sebagai tindakan kriminal atas
dasar unsur kesengajaan.
17Ibid, h. 23.
c. Teori Kelalaian (negligence)
Teori ketiga ini menyebutkan bahwa sumber perbuatan malpraktik adalah
kelalaian (negligence). Kelalaian yang menyebabkan sumber perbuatan yang
dikategorikan malpraktik ini harus dapat dibuktikan adanya, selain itu kelalaian
yang dimaksud harus termasuk dalam kategori kelalaian yang berat (culpa lata).
Untuk membuktikan hal demikian tentu saja bukan merupakan yang mudah bagi
aparat keamanan.18
1.8 Metode Penelitian
a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah
penelitian normatif yuridis atau juga disebut penelitian hukum doktrional.
Soetandyo Wignjosoebroto menyatakan penelitian doktrional terdiri dari
penelitian yang berupa usaha inventarisasi hukum positif, penelitian yang berupa
usaha penemuan asas-asas dan dasar falsafah (dogma atau doktrin) hukum positif
dan penelitian berupa usaha penemuan hukum in concreto yang layak diterapkan
untuk menyelesaikan suatu perkara hukum tertentu.19 Sesuai dengan rumusan
masalah skripsi ini yang terkait dengan usaha dalam penemuan hukum yang tepat
dalam tindak pidana malpraktik yang memang belum ada kesesuain diantara
putusan-putusan pengadilan yang ada di Indonesia tentang tindak pidana
malpraktik.
18 Sri Siswati, 2013, Etika dan Hukum Kesehatan dalam Perspektif Undang-Undang
Kesehatan, Rajawali Pers, Jakarta, h. 128-130. 19 Bambang Sunggono, 2013, Metodologi Penelitian Hukum, Rajagrafindo Persada,
Jakarta, h. 42.
b. Jenis Pendekatan
Terdapat 3 (tiga) jenis pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi
ini yaitu pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case
approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan
undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi
yang bersangkutan dengan isu hukum yang sedang ditangani.20 Nantinya akan
dicari undang-undang maupun regulasi yang terkait dengan penulisan skripsi ini
dan digunakan sebagai acuan dalam penyelesaian masalah. Pendekatan kasus
dilakukan dengan cara menelaah dan memfokuskan pada suatu kasus tertentu
yang terkait dengan isu yang sedang dihadapi. Adapun dalam skripsi ini
memfokuskan pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 79PK/PID/2013 mengenai
kasus dugaan malpraktik dengan terdakwa Ayu Sasiary Prawani, Hendry
Simanjuntak dan Hendy Siagian. Kajian pokok dalam pendekatan kasus adalah
rasio decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai
kepada suatu putusan.21Sedangkan pendekatan konseptual beranjak dari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu
hukum.22
20 Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, h. 93. 21Ibid, h. 94. 22Ibid.
c. Bahan Hukum
Terdapat 3 (tiga) jenis bahan hukum antara lain bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Namun dalam penulisan skripsi
ini hanya digunakan 2 (dua) jenis bahan hukum, yaitu :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan
terdiri dari norma atau kaedah dasar (Pembukaan UUD NRI Tahun 1945),
peraturan dasar yaitu Batang Tubuh UUD NRI Tahun 1945 dan
Ketetapan-Ketetapan MPR, peraturan perundang-undangan (Undang-
Undang dan peraturan yang setaraf, Peraturan Pemerintah dan peraturan
yang setaraf, Keputusan Presiden dan peraturan yang setaraf, Keputusan
Menteri dan peraturan yang setaraf, dan peraturan-peraturan daerah),
bahan hukum yang tidak dikodifikasi seperti hukum adat, yurisprudensi,
traktat, bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga saat ini dipakai,
contohnya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.23 Bahan hukum primer
yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958
tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik
Indonesia dan megubah KUHP (Lembaran Negara Tahun 1958
Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660);
23 Soerjono Soekanto, 2012, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta,
h. 52.
3. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
(Lembaran Negara Nomor 116 Tahun 2004, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4431);
4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran
Negara Nomor 144 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Nomor
5063);
5. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
(Lembaran Negara Nomor 153 Tahun 2009, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 5072); dan
6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran.
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, seperti misalnya rancangan undang-undang, hasil-hasil
penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya.24 Bahan
hukum sekunder yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah buku-
buku maupun litelatur karya dari kalangan maupun ahli hukum, pendapat
para ahli hukum yang termuat di media massa baik dalam bentuk jurnal
maupun karya tulis, kamus hukum dan internet.
24Ibid.
d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penulisan
skripsi ini adalah dengan cara pengumpulan bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder yang berkaitan dengan rumusan masalah dalam skripsi ini.
Bahan hukum primer digunakan sebagai landasan dalam pemecahan rumusan
masalah dan ditunjang dengan bahan hukum sekunder.
e. Teknik Analisis Bahan Hukum
Adapun teknik analisis yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
teknik deskriptif, teknik evaluasi, teknik argumentasi dan teknik sistematis.
1. Teknik Deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat
dihindari penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adany
terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum
atau non hukum.
2. Teknik Evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju
atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti
terhadap suatu pandangan, proporsi, pernyataan, rumusan norma,
keputusan, baik yang tertera baik dalam hukum primer maupun
dalam hukum sekunder.
3. Teknik Argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi
karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat
penalaran hukum. Dalam pembahasan permasalahan hukum makin
banyak argument makin menunjukkan kedalaman penalaran hukum.
4. Teknik Sistematisasi adalah berupa upaya mencari kaitan rumus
suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan
perundang-undangan yang sederajat maupun antara yang tidak
sederajat.25
25 Buku Pedoman, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana,
Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 76-77.