pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana aborsi …

24
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN JURNAL Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Oleh : ANGGARA FAISAL NIM: 120200256 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2017

Upload: others

Post on 28-Oct-2021

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI …

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA

ABORSI BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG

KESEHATAN

JURNAL

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

ANGGARA FAISAL

NIM: 120200256

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2017

Page 2: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI …

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA

ABORSI BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG

KESEHATAN

Diajukan untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat–Syarat Untuk

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

ANGGARA FAISAL

NIM: 120200256

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. M. Hamdan. SH.,M.H

NIP. 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof.Dr. Alvi Syahrin. SH., M.S Dr. Marlina. SH., M.H

NIP. 19630331198703100 NIP. 197503072002122002

Page 3: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI …

ABSTRAK

Anggara Faisal*

Alvi Syahrin*

Marlina**

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan menjadi salah satu unsur dari

kesejahteraan umum yang semestinya diwujudkan sesuai dengan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menurut

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, kesehatan reproduksi adalah suatu

keadaan sehat secara menyeluruh mencakup fisik, mental, dan kehidupan sosial

yang berkaitan dengan alat, fungsi serta proses reproduksi. Segala sesuatu yang

bertentangan dengan upaya menjaga kesehatan reproduksi adalah dilarang oleh

hukum termasuk didalamnya ialah aborsi. Aborsi atau bahasa ilmiahnya adalah

Abortus Provocatus, merupakan cara yang paling sering digunakan mengakhiri

kehamilan yang tidak diinginkan, meskipun merupakan cara yang paling

berbahaya.

Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana

pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana aborsi berdasarkan kitab

undang-undang hukum pidana dan undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang

kesehatan.

Metode Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

menggunakan metode penelitian hukum normatif (yuridis normative) yang

dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research). Penelitian ini

dilakukan dengan menggunakan data-data sekunder yang diperoleh dari bahan

hukum primer seperti menganalisis peraturan perundang-undangan yang berkaitan

dengan judul skripsi ini. Dan bahan hukum sekunder seperti buku-buku, serta

berbagai majalah, literatur, artikel, dan internet yang berkaitan dengan

permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini.

Hasil penelitian ataupun kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan

bahwa Pelaku Tindak Pidana Aborsi harus mempertanggungjawabkan

perbuatannya karena pelaku Tindak Pidana Aborsi memenuhi semua syarat-syarat

di dalam pertanggungjawaban pidana. Unsur Kesalahan dari tindak pidana aborsi

yaitu sudah melanggar ketentuan KUHP pasal 348. Unsur kesengajaan pelaku

tindak pidana aborsi juga terpenuhi karena dengan sengaja untuk menggugurkan

kandungan dan unsur tidak alasan pemaaf dari tindak pidana aborsi juga terpenuhi

karena pelaku tindak pidana aborsi sudah cakap hukum dan mampu untuk

tanggung jawab.

Kata Kunci : Pertanggungjawaban Pidana, Tindak Pidana Aborsi1

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

** Staf Pengajar Hukum Pidana, Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

*** Staf Pengajar Hukum Pidana, Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

Page 4: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI …

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan adalah salah satu parameter untuk mengukur keberhasilan

pembangunan manusia.2 Dengan tidak adanya kesehatan, manusia tidak akan

produktif untuk hidup layak baik secara ekonomi maupun pendidikan yang baik.

Tanpa ada ekonomi yang baik, manusia tidak akan mendapat pelayan ataupun

pendidikan yang baik, begitu pula sebaliknya. Ketiganya ini saling berhubungan

dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan menjadi salah satu unsur

dari kesejahteraan umum yang semestinya diwujudkan sesuai dengan Pancasila

dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.3

Berkaitan dengan permasalahan kesehatan, kesehatan reproduksi menjadi

bagian yang penting untuk tetap dijaga oleh setiap insan. Kesehatan reproduksi

merupakan keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak

semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem,

fungsi, dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan.

Pasal 73 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

menyebutkan bahwa:

2 Sri Siswati, Etika dan Hukum Kesehatan Dalam Perspektif Undang-Undang Kesehatan,

2013, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 2. 3Ibid, hal 3.

Page 5: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI …

“Pemerintah wajib menjamin ketersediaan sarana informasi dan sarana

pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau masyarakat,

termasuk keluarga berencana.”

Segala sesuatu yang bertentangan dengan upaya menjaga kesehatan

reproduksi adalah dilarang oleh hukum termasuk didalamnya ialah aborsi. Aborsi

atau bahasa ilmiahnya adalah Abortus Provocatus, merupakan cara yang paling

sering digunakan mengakhiri kehamilan yang tidak diinginkan, meskipun

merupakan cara yang paling berbahaya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,

aborsi /abor.si/ berarti pengguguran kandungan.4 Dalam arti kriminalis, aborsi

adalah tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja karena suatu alasan dan

bertentangan dengan undang-undang yang berlaku.

Aborsi dalam Bahaasa Inggris disebut abortion dan dalam bahasa latin

disebut abortus, yang berarti keguguran kandungan. Dalam bahasa arab, aborsi

disebut isqat al-haml atau ijhad, yaitu pengguguran janin dalam rahim. Menurut

istilah kedokteran, aborsi berarti pengakhiran kehamilan sebelum gestasi (28

minggu) atau sebelum bayi mencapai berat 1000 gram.5

Pengaturan bagaimana kedudukan hukum aborsi di Indonesia sangat perlu

dilihat kembali apa yang menjadi tujuan dari perbuatan aborsi tersebut. Sejauh ini,

persoalan aborsi pada umumnya dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai

tindak pidana. Namun, dalam hukum positif di Indonesia, tindakan aborsi pada

4 Departemen Pendidikan Nasional, 2012, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). PT.

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hal 3 5 Abdurrahman, Dinamika Masyarakat Islam Dalam Wawasan Fiqih, PT. Remaja

Rosdakarya Offset : Bandung, 2006. Hal.54

Page 6: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI …

sejumlah kasus tertentu dapat dibenarkan apabila merupkan Abortus Provocatus

Therapeuticus.

Tindak pidana aborsi sebagai suatu perbuatan terlarang, sudah sepantasnya

pelaku tindak pidana aborsi ini mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tetapi

biarpun kasus ini sering terjadi, tidak diketahui bagaimana pertanggungjawaban

dokter atau pelaku terhadap pasien yang menjadi korban aborsi, sulit untuk

membuktikannya karena ketidakterbukaan dokter dan tenaga medis lainnya

terhadap masyarakat umum.

Berdasarkan pemaparan diatas, penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan

judul: “Pertanggungjawaban Pidana terhadap Tindak Pidana Aborsi

Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan”

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana ketentuan aborsi menurut hukum di Indonesia?

2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana aborsi?

C. Manfaat dan Tujuan Penelitan

Tujuan Penulisan yaitu:

1. Untuk mengkaji ketentuan aborsi yang legal menurut hukum di

Indonesia.

2. Untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap tindak

pidana aborsi.

Page 7: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI …

Manfaat Penulisan yaitu:

1. Secara teoritis dapat dimanfaatkan sebagai bahan masukan bagi

penulis, sehingga dapat memperluas pengetahuan dibidang ilmu

hukum dan dapat memperluas khazanah perbendaharaan keputusan

bidang ilmu hukum khususnya hukum pidana pada perpustakaan

Universitas Sumatera Utara.

2. Secara praktis

a. Untuk mengetahui tentang pertanggungjawaban pidana terhadap

tindak pidana aborsi.

b. Untuk mengetahui aturan tentang aborsi dalam hukum di Indonesia

dalam menanggulangi tindak pidana aborsi oleh dokter sudah tepat

pemberlakuaanya.

Page 8: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI …

BAB II

METODE PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Aborsi yang Legal

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Pasal-Pasal dalam KUHP dengan jelas tidak memperbolehkan suatu

aborsi di Indonesia. KUHP tidak melegalkan tanpa kecuali. Bahkan abortus

provocatus medicalis atau abortus provocatus therapeuticus pun dilarang,

termasuk didalamnya adalah abortus provocatus yang dilakukan oleh perempuan

korban perkosaan. Perbedaan pada pasal diatas dengan Pasal 341 dan Pasal 342

KUHP adalah terletak pada tenggang waktu dilakukan suatu aborsi. Sehingga

dalam pasal tersebut apabila dilakukan bukan merupakan suatu aborsi melainkan

suatu pembunuhan terahadap anak.

Hukum positif di Indonesia, pengaturan tindakan aborsi terdapat dalam

dua undang-undang yaitu KUHP pasal 299, 346, 347, 348, 349 dan 535 yang

dengan tegas melarang aborsi dengan alasan apapun serta dalam UU RI No. 36

Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 75,76,77,78 melarang aborsi tetapi masih

mengijinkan tindakan aborsi atas indikasi medis dan trauma psikis dengan syarat

tertentu.

Tindakan aborsi menurut KUHP di Indonesia dikategorikan sebagai

tindakan kriminal atau dikategorikan sebagai kejahatan terhadap nyawa.Pasal-

pasal KUHP yang mengatur hal ini adalah pasal 229, 346, 347, 348, 349 dan 535.

Page 9: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI …

Meskipun dalam KUHP tidak terdapat satu pasal pun yang

mernperbolehkan seorang dokter melakukan abortus atas indikasi medik,

sekalipun untuk menyelamatkan jiwa ibu, dalam prakteknya dokter yang

melakukannya tidak dihukum bila ia dapat mengemukakan alasan yang kuat dan

alasan tersebut diterima oleh hakim (Pasal 48).

2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan,

yang menegaskan tentang dibolehkannya melakukan tindakan aborsi sebagai

upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu dan atau janinnya, jenis aborsi ini secara

hukum dibenarkan dan mendapat perlindungan hukum sebagaimana telah diatur

dalam Pasal 15 ayat (1) dan (2),6 namun ada beberapa hal yang dapat dicermati

dari aborsi ini yaitu bahwa ternyata aborsi dapat dibenarkan secara hukum apabila

dilakukan dengan adanya pertimbangan medis. Dalam hal ini berarti dokter atau

tenaga kesehatan yang mempunyai hak untuk melakukan aborsi dengan

menggunakan pertimbangan demi menyelamatkan ibu hamil atau janinnya, aborsi

ini dapat dilakukan atas persetujuan ibu hamil atau suami atau keluarganya dan

pada sarana kesehatan tertentu.

Aborsi yang dilakukan bersifat legal, dan dengan kata lain vonis medis

oleh tenaga kesehatan terhadap hak reproduksi perempuan bukan merupakan

tindak pidana atau kejahatan.Dari penjelasan tersebut didapatkan gambaran

6Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, Media Centre, H. 16

Page 10: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI …

mengenai aborsi legal menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 bahwa

aborsi dapat dilakukan sebagai berikut:

1. Berdasarkan indikasi medis

2. Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan

3. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau

keluarganya

4. Sarana kesehatan tertentu

Sarana kesehatan yang memiliki tenaga dan peralatan yang memadai untuk

tindakan tersebut dan telah ditunjuk pemerintah.

3. Hukum Islam

Penguguran berlatar belakang alasan medikpun ada ketentuannya.Boleh

dilakukan aborsi dengan catatan janin yang dikandungnya belum berumur dua

belas minggu (tiga bulan). Secara kedokteran sejak usia ini baru dapat didengar

bunyi jantung. Bentuknya sudah lengkap hanya ukurannya masih sangat

kecil.Sebelum mencapai itu belum dinyatakan hidup karena belum ada denyut

jantung.Sesuai dengan firman Allah SWT. Dalam surah As sajadah ayat 9, pada

usia tersebut Allah SWT. Meniupkan ruh, baru janin itu dianggap hidup ; “hidup”

dalam arti seperti manusia tetapi sedang dalam kandungan dan kalau ini diaborsi

berarti pembunuhan.7 Firman Allah SWT. Sebagaimana tersurah dalam As

Sajadah ayat 9, sebagai berikut :

7Dadang Hawari, 2006 Aborsi Dimensi Psikoreligi, Balai Penerbit Fakultas kedokteran

UI, Jakarta, hal. 67.

Page 11: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI …

“Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya

ruh (ciptaan)-Nya danDia menjadikan bagi kamu pendengaran,

penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur”.

Namun jika disana ada sebab-sebab darurat, seperti jika sang janin

nantinya akan membahayakan ibunya jika lahir nanti, maka dalam hal ini, para

ulama berbeda pendapat:

Pendapat Pertama :

Menyatakan bahwa menggugurkan janin setelah peniupan roh hukumnya

tetap haram, walaupun diperkirakan bahwa janin tersebut akan membahayakan

keselamatan ibu yang mengandungnya. Pendapat ini dianut oleh Mayoritas

Ulama.

\Pendapat Kedua :

Dibolehkan menggugurkan janin walaupun sudah ditiupkan roh

kepadanya, jika hal itu merupakan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan ibu

dari kematian. Karena menjaga kehidupan ibu lebih diutamakan dari pada

menjaga kehidupan janin, karena kehidupan ibu lebih dahulu dan ada secara

yakin, sedangkan kehidupan janin belum yakin dan keberadaannya

terakhir.(Mausu’ah Fiqhiyah : 2/57 )Prediksi tentang keselamatan Ibu dan janin

bisa dikembalikan kepada ilmu kedokteran, walaupun hal itu tidak mutlak

benarnya. Wallahu A’lam.

Page 12: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI …

B. Aborsi yang Ilegal

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Berdasarkan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) tindakan

pengguguran kandungan yang disengaja (abortus provocatus) diatur dalam Buku

kedua Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan khususnya Pasal 299, dan Bab XIX

Pasal 346 sampai dengan Pasal 349, dan digolongkan kedalam kejahatan terhadap

nyawa

2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Disahkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

yang menggantikan Undang-undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992, maka

permasalahan aborsi memperoleh legitimasi dan penegasan. Secara eksplisit,

dalam Undang-Undang ini terdapat pasal-pasal yang mengatur mengenai aborsi,

meskipun dalam praktek medis mengandung berbagai reaksi dan menimbulkan

kontroversi diberbagai lapisan masyarakat.Meskipun Undang-Undang melarang

praktik aborsi, tetapi dalam keadaan tertentu terdapat kebolehan. Ketentuan

pengaturan aborsi dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 dituangkan

dalam Pasal 75, 76 , 77, dan Pasal 194.

3. Hukum Islam

Aborsi menurut bahasa Arab disebut dengan al-Ijhadh yang berasal dari

kata “ajhadha – yajhidhu” yang berarti wanita yang melahirkan anaknya secara

paksa dalam keadaan belum sempurna penciptaannya.Atau juga bisa berarti bayi

yang lahir karena dipaksa atau bayi yang lahir dengan sendirinya. Aborsi di dalam

Page 13: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI …

istilah fikih juga sering disebut dengan “isqhoth” (menggugurkan) atau “ilqaa”

(melempar) atau “tharhu” (membuang ).8

Pada teks-teks al Qur’an dan Hadist tidak didapati secara

khusus hukum aborsi, tetapi yang ada adalah larangan untuk membunuh jiwa

orang tanpa hak, sebagaimana firman Allah swt :

“ Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja,

maka balasannya adalah neraka Jahanam, dan dia kekal di dalamnya,dan

Allah murka kepadanya dan melaknatnya serta menyediakan baginya

adzab yang besar( Qs An Nisa’ : 93 )

Begitu juga hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud bahwasanya

Rosulullah saw bersabda :

“ Sesungguhnya seseorang dari kamu dikumpulkan penciptaannya di

dalam perut ibunya selama empat puluh hari. Setelah genap empat puluh

hari kedua, terbentuklah segumlah darah beku. Ketika genap empat puluh

hari ketiga , berubahlah menjadi segumpal daging. Kemudian Allah

mengutus malaikat untuk meniupkan roh, serta memerintahkan untuk

menulis empat perkara, yaitu penentuan rizki, waktu kematian, amal, serta

nasibnya, baik yang celaka, maupun yang bahagia.“ ( Bukhari dan

Muslim)

Menggugurkan Janin Sebelum Peniupan Roh. Dalam hal ini, para ulama

berselisih tentang hukumnya dan terbagi menjadi tiga pendapat :

Pendapat Pertama :

Menggugurkan janin sebelum peniupan roh hukumnya boleh.Bahkan

sebagian dari ulama membolehkan menggugurkan janin tersebut dengan obat.(

Hasyiat Al Qalyubi : 3/159 )

8 Kitab al-Misbah al-Munir, H.72

Page 14: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI …

Pendapat ini dianut oleh para ulama dari madzhab Hanafi, Syafi’I, dan

Hambali. Tetapi kebolehan ini disyaratkan adanya ijin dari kedua orang tuanya,(

Syareh Fathul Qadir : 2/495 )

Mereka berdalil dengan hadist Ibnu Mas’ud di atas yang menunjukkan

bahwa sebelum empat bulan, roh belum ditiup ke janin dan penciptaan belum

sempurna, serta dianggap benda mati, sehingga boleh digugurkan.

Pendapat kedua :

Menggugurkan janin sebelum peniupan roh hukumnya makruh.Dan jika

sampai pada waktu peniupan ruh, maka hukumnya menjadi haram.

Dalilnya bahwa waktu peniupan ruh tidak diketahui secara pasti, maka

tidak boleh menggugurkan janin jika telah mendekati waktu peniupan ruh , demi

untuk kehati-hatian . Pendapat ini dianut oleh sebagian ulama madzhab Hanafi

dan Imam Romli salah seorang ulama dari madzhab Syafi’I .( Hasyiyah Ibnu

Abidin : 6/591, Nihayatul Muhtaj : 7/416)

Pendapat ketiga :

Menggugurkan janin sebelum peniupan roh hukumnya haram. Dalilnya

bahwa air mani sudah tertanam dalam rahim dan telah bercampur dengan ovum

wanita sehingga siap menerima kehidupan, maka merusak wujud ini adalah

tindakan kejahatan . Pendapat ini dianut oleh Ahmad Dardir , Imam Ghozali dan

Ibnu Jauzi ( Syareh Kabir : 2/ 267, Ihya Ulumuddin : 2/53, Inshof : 1/386)

Adapun status janin yang gugur sebelum ditiup rohnya (empat bulan),

telah dianggap benda mati, maka tidak perlu dimandikan, dikafani ataupun

disholati.

Page 15: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI …

A. Unsur Kemampuan Bertanggungjawab dalam Tindak Pidana Aborsi

Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan petindak, jika

telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah di

tentukan dalam undang-undang. Di lihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang

terlarang (diharuskan), seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-

tindakan tersebut apabila tindakan tersebut melawan hukum (dan tidak ada

peniadaan sifat melawan hukum atau rechtsvaardigingsground atau alasan

pemaaf) untuk orang itu dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka

hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat

dipertanggungjawabkan pidanakan.

Dalam bukunya asas-asas hukum pidana di Indonesia dan penerapannya,

E.Y.Kanter dan S.R.Sianturi menjelaskan bahwa unsur-unsur mampu bertanggung

jawab mencakup :

a. Keadaan jiwanya:

1. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara

(temporair)

2. Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, limbecile, dan

sebagainya), dan

3. Tidak terganggunya karena terkejut, hypnotisme, amarah yang meluap,

pengaruh bawah sadar/reflexe bewenging, melindur/slaapwandel,

mengganggu karena demam/koorts, nyidam dan lain sebagainya.

Dengan perkataan lain dia dalam keadaan sadar.

b. Kemampuan jiwanya

1. Dapat menginsyafi hakekat tindakannya;

2. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan

dilaksanakan atau tidak; dan

3. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.

Orang yang melakukan perbuatan pidana hanya akan dipidana apabila dia

terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kesalahan, tidaklah ada gunanya

Page 16: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI …

untuk mempertanggungjawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila

perbuatannya itu sendiri tidak bersifat melawan hukum, maka lebih lanjut dapat

pula di katakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya

perbuatan pidana, dan kemudian unsur-unsur kesalahan harus dihubungkan pula

dengan perbuatan pidana yang dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang

mengakibatkan dipidananya terdakwa maka terdakwa haruslah:

a. Melakukan perbuatan pidana;

b. Mampu bertanggung jawab;

c. Dengan kesengajaan atau kealpaan; dan

d. Tidak adanya alasan pemaaf.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, jika keempat unsur tersebut diatas ada

maka orang yang bersangkutan atau pelaku tindak pidana dimaksud dapat

dinyatakan mempunyai pertanggungjawaban pidana, sehingga ia dapat dipidana.

B. Unsur Kesengajaan dan Kealpaan dalam Tindak Pidana Aborsi

Seseorang yang melakukan suatu tindak pidana, tidak selalu dapat

dipidana. Hal ini tergantung dari apakah orang itu dalam melakukan tindak pidana

tersebut mempunyai kesalahan atau tidak. Sebab untuk dapat menjatuhkan pidana

terhadap seseorang tidak cukup dengan dilakukan tindak pidana saja, tetapi selain

dari itu harus ada pula kesalahan atau menurut Moeljatno sikap bathin yang

tercela. Siapa yang melakukan kesalahan, maka dia lah yang bertanggung jawab.

Page 17: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI …

Dalam hal ini dikenal suatu asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (qeen straf zonder

shuld).9

Berkaitan dalam asas hukum pidana yaitu Geen straf zonder schuld, actus

non facit reum nisi mens sir rea, bahwa tidak dipidana jika tidak ada kesalahan,

maka pengertian tindak pidana itu terpisah dengan yang dimaksud

pertanggungjawaban tindak pidana.

Tindak pidana hanyalah menunjuk kepada dilarang dan diancamnya

perbuatan itu dengan suatu pidana, kemudian apakah orang yang melakukan

perbuatan itu juga dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan akan sangat

tergantung pada soal apakah dalam melakukan perbuatannya itu si pelaku juga

mempunyai kesalahan. Dalam kebanyakan rumusan tindak pidana, unsur

kesengajaan atau yang disebut dengan opzet merupakan salah satu unsur yang

terpenting. Dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan ini, maka apabila didalam

suatu rumusan tindak pidana terdapat perbuatan dengan sengaja atau biasa disebut

dengan opzettelijk, maka unsur dengan sengaja ini menguasai atau meliputi semua

unsur lain yang ditempatkan dibelakangnya dan harus dibuktikan.

Sengaja berarti juga adanya kehendak yang disadari yang ditujukan untuk

melakukan kejahatan tertentu. Maka berkaitan dengan pembuktian bahwa

perbuatan yang dilakukannya itu dilakukan dengan sengaja, terkandung

pengertian menghendaki dan mengetahui atau biasa disebut dengan willens en

wetens. Yang dimaksudkan disini adalah seseorang yang melakukan suatu

perbuatan dengan sengaja itu haruslah memenuhi rumusan willens atau haruslah

9 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1993), hal 153

Page 18: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI …

menghendaki apa yang ia perbuat dan memenuhi unsur wettens atau haruslah

mengetahui akibat dari apa yang ia perbuat.

Dalam hukum pidana, kesalahan dibagi menjadi kesengajaan dan

kealpaan. Kesengajaan terbagi atas tiga, yaitu :10

a. kesengajaan sebagai maksud ( opzet als oogmerk);

b. kesengajaan sebagaikepastian(opzet bijzekerheidsbewuztzijn);

c. kepastian sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheidsbewustzijn, of

voorwaardelijk opzet, og dolus eventualis).

Kesengajaan sebagai maksud, si pelaku memang benar-benar

menghendaki perbuatan dan akibatnya. Kesengajaan sebagai sadar kemungkinan

baru dianggap ada apabila si pelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk

mencapai akibat yang menjadi dasar dari tindak pidana, tetapi dia tahu bahwa

akibat itu pasti akan mengikuti perbuatannya. Kesengajaan sebagai kemungkinan

adalah keadaan tertentu yang semua mungkin terjadi, kemudian benar-benar

terjadi.

C. Unsur Tiada Alasan Pemaaf dalam Tindak Pidana Aborsi

Pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal pertanggungjawaban.

Perbuatan pidana hanya menunjuk pada dilarangnya perbuatan. Apakah orang

yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga di pidana tergantung pada

soal, apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak

10 Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta,1992, hlm.

159.

Page 19: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI …

apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai

kesalahan, maka tentu dia akan dipidana. Tetapi, manakala dia mempunyai

kesalahan, walaupun dia telah melakukan perbuatan terlarang dan tercela, dia

tidak di pidana. Asas yang tidak tertulis “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”,

merupakan tentu dasar daripada dipidananya si pembuat.11

Alasan penghapusan pidana terdiri dari alasan pemaaf dan alasan

pembenar. Alasan pemaaf ditujukan kepada keadaan diri si pelaku, sedangkan

alasan pembenar ditujukan kepada keadaan perbuatan pelaku.

1) Alasan pemaaf.

a. Mampu bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP)

Dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP, pembentuk undang-undang membuat

peraturan khusus untuk pembuat yang tidak dapat mempertanggungjawabkan

perbuatannya.

Dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP dirumuskan sebagai berikut :

1. Yang cacat dalam pertumbuhannya;

2. Yang terganggu karena penyakit

b. Daya paksa (Pasal 48 KUHP).

c. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (Pasal 49 ayat (2) KUHP.

d. Perintah jabatan yang tidaksah (Pasal 51 ayat (2) KUHP).

2) Alasan pembenar.

a. Keadaan darurat.

b. Pembelaan terpaksa (Pasal 49 ayat (1) KUHP).

11 Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran Tentang Pertamggungjawaban Pidana, (Jakarta : Ghalia Indonesia) hlm.75

Page 20: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI …

c. Melaksanakan perintah perundang-undangan (Pasal 50 KUHP).

d. Melaksanakan perintah jabatan (Pasal 51 ayat 1) KUHP)

Apabila terdakwa/pelaku sehat jasmani dan rohani sehingga dianggap

mampu bertanggung jawab. Terdakwa melakukan perbuatannya dengan unsur

kesengajaan, dan perbuatannya secara sah dan meyakinkan bersifat melawan

hukum, dan hakim tidak melihat adanya alasan penghapusan pidana, baik

terhadap diri pelaku, maupun terhadap perbuatan pelaku.

D. Pertanggungjawaban Pidana terhadap Tindak Pidana Aborsi

Berdasarkan KITAB Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Hukum (pidana) dalam memandang praktik aborsi dapat disimak dari tiga

pasal, yakni pasal 346, 347, dan 348 KUHP. Jika praktik aborsi dilakukan dokter

atau tenaga kesehatan yang lain, seperti bidan maka pertanggung jawaban

pidananya diperberat dan dapat ditambah sepertiga dari ancaman pidana yang

terdapat pada masing-masing pasal yang terbukti. Serta dapat dicabut hak

menjalankan pencarian, in casu SIP atau STR dokter sebagai jantungnya praktik

kedokteran.

Sanksi pidana yang diatur didalam UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009

adalah sebagai berikut:

a. Tindak Pidana Sengaja Melakukan Tindakan Pada Ibu Hamil (Pasal

194) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun

dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Page 21: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI …

b. Tindak Pidana Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan/atau Tenaga

Kesehatan yang Tidak Memberikan Pertolongan Pertama Terhadap

Pasien yang Dalam Keadaan Gawat Darurat (Pasal 190)

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda

paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(2) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan

denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Page 22: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI …

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) tindakan pengguguran

kandungan yang disengaja (abortus provocatus) diatur dalam Buku kedua Bab

XIV tentang Kejahatan Kesusilaan khususnya Pasal 299, dan Bab XIX Pasal

346 sampai dengan Pasal 349, dan digolongkan kedalam kejahatan terhadap

nyawa. Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan yang menggantikan Undang-undang Kesehatan Nomor 23 Tahun

1992, maka permasalahan aborsi memperoleh legitimasi dan penegasan. Secara

eksplisit, dalam Undang-Undang ini terdapat pasal-pasal yang mengatur

mengenai aborsi, meskipun dalam praktek medis mengandung berbagai reaksi

dan menimbulkan kontroversi diberbagai lapisan masyarakat.Meskipun

Undang-Undang melarang praktik aborsi, tetapi dalam keadaan tertentu

terdapat kebolehan. Ketentuan pengaturan aborsi dalam Undang-undang

Nomor 36 Tahun 2009 dituangkan dalam Pasal 75, 76 , 77, dan Pasal 194.

2. Pelaku Tindak Pidana Aborsi harus mempertanggungjawabkan perbuatannya

karena pelaku Tindak Pidana Aborsi memenuhi semua syarat-syarat di dalam

pertanggungjawaban pidana. Unsur Kesalahan dari tindak pidana aborsi yaitu

sudah melanggar ketentuan KUHP pasal 348. Unsur kesengajaan pelaku tindak

pidan aborsi juga terpenuhi karena dengan sengaja untuk menggugurkan

kandungan dan unsur tidak alasan pemaaf dari tindak pidana aborsi juga

Page 23: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI …

terpenuhi karena pelaku tindak pidana aborsi sudah cakap hukum dan mampu

untuk nertanggung jawab.

A. Saran

1. Di dalam melakukan praktek kedokteran sebaiknya semua belah pihak

yang terlibat di dalamnya agar lebih memeperhatikan segala prosesnya

baik itu pihak rumah sakit, dokter maupun pasien. Hal ini harus dilakukan

berdasarkan kesadaran semua pihak agar tidak terjadi Tindak kriminal

seperti aborsi yang dimana itu merupakan suatu perbuatan yang melanggar

hukum dan dapat meminimalisir kegiatan aborsi untuk hal-hal yang

memiliki tujuan tertentu.

2. Penerapan sanksi bagi pihak yang melakukan aborsi baik itu dokter

ataupun rumah sakit agar dipertegas lagi penerapan sanksinya. Jangan

hanya berupa peringatan saja atupun teguran, karena hal tersebut tidaklah

membuat efek jera bagi si pelaku aborsi illegal. Karena kebanyakan dari

kasus aborsi yang terjadi sekarang apabila ketahuan hanya dilakukan saja

peringatan yang dimana para pelaku aborsi tidaklah takut untuk melakukan

aborsi yang illegal dan kemudian menjadikan kegiatan aborsi illegal

menjadi suatu perbuatan yang mudah untuk dilakukan.

Page 24: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI …

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Abdurrahman, 2006, Dinamika Masyarakat Islam Dalam Wawasan Fiqih,

(Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Offset)

Bambang Poernomo, 1992, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Ghalia

Indonesia)

Dadang Hawari, 2006 Aborsi Dimensi Psikoreligi, (Jakarta : Balai

Penerbit Fakultas kedokteran UI)

Departemen Pendidikan Nasional, 2012, Kamus Besar Bahasa Indonesia

(KBBI). (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama)

Moeljatno 1993, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT Rineka Cipta)

Sri Siswati, 2013, Etika dan Hukum Kesehatan Dalam Perspektif

Undang-Undang Kesehatan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada)

Undang-Undang :

Undang-Undang nomor 36 Tahun 2009 Tentang kesehatan