lembar tugas mandiri pemicu 2

10
Lembar Tugas Mandiri Pemicu 2 Modul Respirasi Epidemiologi, faktor resiko ( host dan lingkungan ) pada Infeksi Saluran Napas Atas Usaha promotif serta preventif dalam menangani Infeksi Saluran Napas Atas Nindia Latwo Septipa, 1306376282 Pendahuluan Infeksi saluran napas akut (ISPA) masih menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia, dimana di Indonesia sendiri, ISPA juga menjadi penyakit dengan prevalensi tinggi di masyarakat. ISPA ini terdiri infeksi saluran napas atas dan infeksi saluran nafas bawah. Dalam tulisan ini akan lebih banyak dibahas infeksi saluran pernapasan atas. Pembahasan Infeksi saluran napas atas merupakan penyakit menular yang dapat menjangkit dengan menghirup droplet batuk orang yang menderita infeksi saluran napas atas. Infeksi saluran napas atas ini meliputi nasopharingitis, pharingitis, tonsilitis, dan otitis media. Etiologi infeksi saluran napas ata didominasi oleh virus, sehingga untuk pengobatan empirik pasien sebelum hasil dapat penyebabnya dapat dipastikan adalah hanya dengan mengatasi gejala, bukan dengan memberi antimikroba. Berdasarkan hal ini, kita tahu bahwa penyakit ini berkaitan erat dengan sistem imun manusia, dimana bila sistem imun lemah maka akan semakin mudah orang tersebut untuk tertular. a. Epidemiologi di Indonesia Masalah infeksi saluran pernapasn (ISPA) masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia, terutama pada balita. Jumlah insiden ISPA di masyarakat diperkirakan 10 20 % dari jumlah populasi balita, berkontribusi 28% pada kematian bayi dibawah 1 tahun dan 23% pada balita dimana 80-90% dari kasus ISPA disebabkan oleh pneuomonia. 1 Menurut data Riskesdas 2013, ISPA sendiri paling tinggi terdapat di provinsi Nusa Tenggara Timus 41,7% , diikuti dengan Papua 31,1%, Aceh 30%, NTB 28,3 % dan Jawa Timur 28,3% juga. 1 Bila dibandingkan dengan data Riskesdas pada tahun 2007, Nusa Tenggara Timur juga menjadi provinsi tertingi prevalensi ISPA di Indonesia. Kemudian bila dibandingkan data period prevalence ( proporsi populasi yang sakit pada satu periode tertentu) antara Riskesdas 2013 yakni 25,0% , dan 2007 sebesar 25,5% tidak terdapat perbedaan yang signifikan 1 Grafik 1. Period prevalence menurut provinsi, Indonesia 2007, dan 2013 1 Kemudian bila dilihat dari kelompok umur, prevalensi tertinggi berada pada rentang usia 1- 4 tahun sebesar 25-8%, namun bila melihat faktor gender, tidak ada perbedaan antara laki- laki dan perempuan. ISPA ini lebih banyak dialami oleh penduduk dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. 1

Upload: nindya-septipa

Post on 25-Jan-2016

16 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

usaha promotif dll

TRANSCRIPT

Page 1: Lembar Tugas Mandiri Pemicu 2

Lembar Tugas Mandiri Pemicu 2

Modul Respirasi

Epidemiologi, faktor resiko ( host dan lingkungan ) pada Infeksi Saluran Napas Atas

Usaha promotif serta preventif dalam menangani Infeksi Saluran Napas Atas

Nindia Latwo Septipa, 1306376282

Pendahuluan

Infeksi saluran napas akut (ISPA) masih menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas

penyakit menular di dunia, dimana di Indonesia sendiri, ISPA juga menjadi penyakit dengan

prevalensi tinggi di masyarakat. ISPA ini terdiri infeksi saluran napas atas dan infeksi saluran nafas

bawah. Dalam tulisan ini akan lebih banyak dibahas infeksi saluran pernapasan atas.

Pembahasan

Infeksi saluran napas atas merupakan penyakit menular yang dapat menjangkit dengan menghirup

droplet batuk orang yang menderita infeksi saluran napas atas. Infeksi saluran napas atas ini

meliputi nasopharingitis, pharingitis, tonsilitis, dan otitis media. Etiologi infeksi saluran napas ata

didominasi oleh virus, sehingga untuk pengobatan empirik pasien sebelum hasil dapat penyebabnya

dapat dipastikan adalah hanya dengan mengatasi gejala, bukan dengan memberi antimikroba.

Berdasarkan hal ini, kita tahu bahwa penyakit ini berkaitan erat dengan sistem imun manusia,

dimana bila sistem imun lemah maka akan semakin mudah orang tersebut untuk tertular.

a. Epidemiologi di Indonesia

Masalah infeksi saluran pernapasn (ISPA) masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia,

terutama pada balita. Jumlah insiden ISPA di masyarakat diperkirakan 10 – 20 % dari

jumlah populasi balita, berkontribusi 28% pada kematian bayi dibawah 1 tahun dan 23%

pada balita dimana 80-90% dari kasus ISPA disebabkan oleh pneuomonia.1

Menurut data Riskesdas 2013, ISPA sendiri paling tinggi terdapat di provinsi Nusa

Tenggara Timus 41,7% , diikuti dengan Papua 31,1%, Aceh 30%, NTB 28,3 % dan Jawa

Timur 28,3% juga. 1

Bila dibandingkan dengan data Riskesdas pada tahun 2007, Nusa

Tenggara Timur juga menjadi provinsi tertingi prevalensi ISPA di Indonesia. Kemudian bila

dibandingkan data period prevalence ( proporsi populasi yang sakit pada satu periode

tertentu) antara Riskesdas 2013 yakni 25,0% , dan 2007 sebesar 25,5% tidak terdapat

perbedaan yang signifikan1

Grafik 1. Period prevalence menurut provinsi, Indonesia 2007, dan 2013

1

Kemudian bila dilihat dari kelompok umur, prevalensi tertinggi berada pada rentang usia 1-

4 tahun sebesar 25-8%, namun bila melihat faktor gender, tidak ada perbedaan antara laki-

laki dan perempuan. ISPA ini lebih banyak dialami oleh penduduk dengan tingkat ekonomi

menengah ke bawah. 1

Page 2: Lembar Tugas Mandiri Pemicu 2

Tabel 1. Tabel diatas, menunjukkan period prevalence ISPA dari berbagai provinsi di

Indonesia. 1

Tabel 2 . Tabel di atas menunjukkan period prevalence ISPA berdasarkan karakteristik umur,

gender, pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal, dan kuantil indeks kepemilikan. 1

Page 3: Lembar Tugas Mandiri Pemicu 2

Kejadian ISPA meliputi 50% dari keseluruhan penyakit pada anak berusia dibawah 5 tahun dan

30% pada anak berusia 5-12 tahun. Sebagian besar ISPA terbatas pada saluran pernapasan atas saja,

namun ada sekitar 5 % yang melibatkan saluran pernapasan bawah.2

ISPA juga lebih sering dialami oleh anak – anak( 6-8 kali pertahun ) daripada orang dewasa (2-4

kali per tahun ). Biasanya kalau infeksis aluran napas atas nya disebabkan oleh bakteri

(streptococcus) maka insidens tertingginya adalah pada usia 5-18 tahun dan jarang dialami pada

usia dibawah 3 tahun. 3

Kemudian diketahui bahwa penyakit infeksi pernafasan ini merupakan penyebab kematian utama

pada anak usia < 5 tahun di daerah mediterania Timur, Eropa, Asia Tenggara, dan Pasific Barat.3

b. Faktor resiko

ISPA sendiri bukan penyakit yang dapat didefensikan dengan pasti penyebabnya apa, namun

sejauh ini ISPA dikenal sebagai penyakit yang multifaktorial, dimana banyak faktor yang dapat

memperkuat kemungkinan terjadinya ISPA ini.

Ada beberapa faktor resiko yang menjadi determinan apakah seorang anak mengalami ISPA

ini. faktor resiko kemudian akan ditinjau dari karateristik balita, karakteristik keluarga,

karakteristik lingkungan rumah.

b.1. Karateristik balita

1. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)

BBLR sendiri merupakan keadaan dimana bayi yang lahir memiliki berat <2500 gr. Pada

keadaan ini bayi dianggap belum memiliki sistem imun yang sempurna, sehingga sampai 2

bulan pertama kehidupan maka akan sangat rentan terhadap serangan penyakit, termasuk ISPA

sendiri. 4

Bayi BBLR memiliki pusat pengaturan pernapasan belum sempurna, surfaktan paru-

paru masih kurang, otot pernapasan dan tulang iga lemah, dan dapat disertai penyakit hialin

membran. 4

Selain itu, bayi BBLR mudah mengalami infeksi paru-paru dan gagal pernapasan.

Pada salah satu studi yang dilakukan di RSUD Labuang Baji Makassar tahun 2013, pada bayi

dengan BBLR, kejadian ISPA bagian bawah terjadi 48,7% dari total 14 responden. 4

Tabel 3. Tabel diatas menunjukan bayi dengan BBLR yang kemudian mengalami ISPA. 4

Page 4: Lembar Tugas Mandiri Pemicu 2

2. Tidak mengkonsumsi ASI

ASI merupakan makanan pertama pada bayi, yang tidak hanya berperan dalam menutrisi tubuh,

namun juga sebagai pertahanan tubuh terhadap penyakit infeksi, terutama ISPA dan diare.

Pemberian ASI ekslusif sampai usia 6 bulan dapat menurunkan angka insidensi penyakit

infeksi. Studi di RSUD Labuang Baji Makassar tahun 2013 menunjukkan bahwa bayi dengan

pemberian ASI minim mengalami insidensi ISPA yang lebih tinggi. 4

Tabel 4. Berdasarkan tabel, dapat dilihat hasil yang signifikan antara pemberian ASI ekslusif

terhadap penyakit ISPA pada balita. 4

Penelitian lainnya,dimana juga membuktikan bahwa pemberian ASI berhubungan dengan

insiden terjadinya ISPA. Dimana dalampenelitian ini, ada 170 bayi yang baru lahir, yang diteliti

selama 6 bulan, bagaimana nutrisi nya, menunjukkan penurunan insiden di kelompok bayi yang

mendapatkan ASI full selama 6 bulan, dibandingkan dengan dengan kelompok bayi dengan

susu formula. 5

Tabel 5. kejadian ISPA dengan kateori bayi yang mendapatkan ASI dari 1 bulan sampai 6

bulan pertama kehidupan 5

3. Umur

Anak berusia dibawah 2 tahun memiliki resiko lebih tinggi untuk mengalami ISPA, dan sejauh

ini, hal ini berdasarkan kemungkinan imunitas pada usia ini lebih rentan terhadap penyakit.

Intinya, semakin muda usia bayi/ anak anak maka kemungkinan mengalami ISPA semakin

besar.

Page 5: Lembar Tugas Mandiri Pemicu 2

Suatu penelitian yang dilakukan pada subjek anak anak yang ada di Greenland, bahwa faktor

resiko untuk infeksi saluran napas atas, usia 6-23 bulan memiliki resiko yang lebih tinggi

daripada kalangan anak berusia 0-5 bulan, kemudian untuk faktor resiko infeksi saluran napas

bawah , usia yang lebih berusia 0-5 bulan lebih beresiko dibandingkan dengan yang lebih tua.3

3. Status Gizi

Nutrisi menjadi hal yang utama dan mendasar sebagai pendukung pertumbuhan dan

perkembangan dalam masa – masa awal kehidupan. Salah satu studi d Filipina, menunjukkan

bahwa pada anak dengan kurang dari -3 Z score berat badan untuk umur , menunjukkan

peningkatan resiko. Dimana pada anak anak kekurangan gizi memiliki resiko terhadap

peningkatan infeksi saluran napas atas sebanyak 1,2 dan 1,9 terhadap insiden infeksi

pernafasan bawah. 4

4. Imunisasi

Imunisasi berari memberi kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Di indonesia sendiri,

pemerintah memiliki program imunisasi wajib sebelum usia 1 tahun, yang meliputi imunisasi

polio, campak, difteri, tetanus, pertusis, TBC, dan hepatitis B.Imunisasi yang tidak memadai

memberikan dampak berupa daktor resiko yang meningkatkan insiden ISPA, sehingga faktor

anak diimunisasi sangat meningkatkan tingginya angka insiden ISPA.6

Tabel 6. 6

Tabel hasil penelitian diatas, dapat dilihat bahwa ada dua kelomok yakni kelompok kontrol dan

kelompok case. Kelompok kontrol merupakan kelompok yang tidak mengalami infeksi

pernapasan, dimana di kelompok tersebut ada 90,5% yang mendapatkan imunisasi full, 8%

mendaoatkan imunasi tidak lengkap dan 1,5% tidak mendapatkan imunisasi. Kemudian di

kelompok case, yang kemudian mendapatkan imunisasi lengkap hanya 44,5% , imunisasi tidak

lengkap sebanyak 42,5% dan 13% yang tidak mengalami imunisasi. Dari hal ini, dapat kita

lihat kejadian antara yang diimunisasi dan tidak diimunisasi terdapat perbedaan yang

signifikan.

5. Defisiensi Vitamin A

Pada penelitian, didaptkan bahwa pada anak yang mengalami ISPA dan juga mengalami

defisiensi vitamin A, yang terjadi adalah periode ISPA nya akan semakin lama. Namun untuk

hubungan yang mengarah kepada menurunnya kejadian ISPA sampai saat ini ada hubungan

yang didapatkan.

Page 6: Lembar Tugas Mandiri Pemicu 2

b.2. Karakteristik keluarga

1. Status sosioekonomi, budaya dan pendidikan

Keterbatasan dalam mengeyam pendidikan ternyata membatasi tngkat kesehatan juga. Dimana

masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah yang biasanya bersamaan dengan status

ekonomi yang rendah juga, mereka mengakai kesulitan dalam menyerap informasi kesehatan

dalam hal penularan dan juga pencegahannya. Pendidikan yang rendah, menyebabkan

masyarakat dengan golongan ini memiliki ketidaktahuan mengenai memilih makanan yang

bergizi dan bagaimana menerapkan sanitasi yang baik dan seusai standar.7

Tingkat pendidikan yang rendah ini, menyebabkan ketidaktahuan orangtua terhadap penyakit

anak juga, dimana biasanya pasien akan semakin buruk keadaannya, dikarenakan

keterlambatan orangtua untuk membawa ke tenaga kesehatan untuk dirawat. 7

Selain itu,topografi juga menjadi faktor. Dimana pada masyarakat yang biasanya tinggal di

daerah dataran tinggi, terdapat kebiasaan untuk jarang membuka jendela pada pagi hari, hal ini

menyebabkan minimnta sinar matahari yang masuk ke rumah. Hal ini, meningkatkan resiko

resiko terjadinya berbagai penyakit yang menular untuk berkembang. 7

2. Keluarga dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan

Seperti yang sebelumnya dijelaskan, bahwa tingkat pendidikan yang rendah akan berpengaruh

pada pemgetahuan masyarakat mengenai kesehatan termasuk pemanfaatan layanan kesehatan

yang telah disediakan. Hal ini menjadi faktor resiko juga, karena biasanya mereka akan

mengasumsikan anak mereka baik baik saja bila dalam keadaan menderita batuk biasa,namun

seperti kita tahun, batuk batuk biasa ini bisa saja merupakan tanda awal dari pneumonia. 7

b.3. Prilaku

Dari segi prilaku sendiri, lebih cenderung kepada kebersihan tubuh. Dimana diketahui bahwa

kebersihan harus dijaga untuk menghanlangi penularan penyakit. Beberapa prilaku yang biasa

dilakukan sehingga meningkatkan faktor resiko adalah :

a. Tidak mencuci tangan khususnya setelah kontak dengan orang yang terinfeksi infeksi

saluran napas atas. Hal ini akan sangat berbahaya juga bag orang yang mengalami

immunocompromised sehingga sangat mudah untuk tertular bila tidak dengan ketat menjadi

higienitas.8

b. Kontak fisik yang intense dengan orang yang mengalami infeksi saluran napas atas 8

c. Perokok aktif atau perokok pasif, dimana hal ini dikatehui dapat merusak mukosa pada silia

yang kemudian akan memudahkan perkembangan zat adin termasuk virus, bakteri di

saluran napas8

c.Usaha preventif dan promotif dalam menangani ISPA

dalam menangani ISPA, tidak cukup hanya dengan mengandalkan pengobatan

medikamentosa saja, perlu tindakan – tindakan non medikamentosa untuk mendukung keberhasilan

penanganan baik dari segi menyembuhkan maupun mensupresi penularan nya. Berikut adalah usaha

yang dapat dilakukan dalam hal preventif dan promotif dalam menangani ISPA.

Page 7: Lembar Tugas Mandiri Pemicu 2

a. Cuci tangan

Seperti yang telah diketahui bersama bahwa cuci tangan merupakan tindakan yang esensial

untuk menjaga kebersihan. Oleh karena itu, dalam menangani penularan ISPA ini, cuci

tangan menjadi salah satu yang dapat diandalkan. Cuci tangan menjadi lebih penting apabila

seseorang sebelumnya berkontak dengan pasien yang terinfeksi infeksi pernapasan atas. 8

b. Menutupi mulut dan hidung saat bersin, batuk

Hal sederhana ini penting, namun sering sekali dilupakan atau dianggap sepele oleh

masyarakat. Penting sekali melakukan hal ini, dengan tujuan untuk meminimalisir

kontaminasi udara dengan virus/droplet infeksius yang dikeluarkan lewat bersin.

Menutupnya mulut dan hidungnya sebaiknya jangan pakai tangan, bisa pakai serbet, pakai

masker atau paling minimal bersin, batuklah di fossa cubiti atau ke arah ketiak saja, karena

itu lebih baik daripada tidak menutup sama sekali. 8

c. Kualitas tidur

Tidur merupakan kegiatan penting dan esensial bagi tubuh. Namun kebermanfaatan dari

kegiatan ini akan dirasakan apabila dilakukan dengan cukup dan benar. Ternyata orang yang

tidur dibawah 7 jam sehari akan memiliki resiko 3 kali lebih besar untuk mengalami pilek,

bersin, dll, daripada orang yang tidur diatas 8 jam sehari. 8

d. Suplemen vit. D

Vitamin D berperan dalam meningkatkan kekebalan bawaan. Sebuah penelitian

menunjukkan bahwa angka vitamin D yang rendah berkorelasi dengan resiko yang lebih

tinggi dari infeksi pernapasan atas ini. oleh karena itu, dalam tindakan pencegahan, penting

untuk tetap menjaga asupan vitamin D dalam kadar yang cukup bagi tubuh. 8

e. Kombinasi Vitamin A dan Zinc

Zinc dan vitamin A bila digunakan sendiri sendiri maka menghasilkan efeknya masing –

masing. Dimana penggunaan zinc diketahui dapat memperpendek durasi ISPA ini, namun

bila dikombinasikan dengan penggunaan vitamin A yang teratur maka akan menurunkan

34% kejadian ISPA dan 30% dari total lama nya waktu bagi penderita ISPA. 8

f. Imunisasi

Anak anak dibawah usia 2 tahun merupakan termasuk kelompok umur yang terutama

mengidap ISPA. Oleh karena itu, penting sekali peran imunisasi sebagai pendukung utama

lini pertahanan balita terhadap penyakit khususnya penyakit menular. Berikut adalah

imunisasi yang wajib dipenuhi oleh anak – anak dibawah usia 2 tahun. 9

Page 8: Lembar Tugas Mandiri Pemicu 2

Diharapkan dengan adanya jadwal imunisasi yang direkomendasikan diatas, bisa menjadi panutan

untuk ibu dalam memberikan anaknya imunisasi yang tepar dan sesuai.

g. Berkumur

Berukumur dipercaya sebagai salah satu kebiasaan yang baik dalam memelihara kesehatan

mulut dan saluran napas. Hal ini merupakan salah satu kebiasaan umat muslim dan

masyrakat Jepang. Kemudian untuk memastikan efektivitas, dilakukanlah percobaan pada

130 partisipan, dimana dibagi menjadi kelompok kontrol, kelompok yang berkumur dengan

air biasa, kelompok yang berkumur dengan larutan iodine. Berkumur dilakukan minimal 3

kali sehari. Hasilnya, pada kelompok yang berkumur dengan air biasa, dan povidone iodone

terjadi penurunan kejadian dari infeksi saluran napas ini.

Selain pencegahan secara umum diatas, WHO juga menetapkan tindakan apa yang ahrus dilakukan

untuk pencegahan penularan infeksi saluran napas ini, dimana hal ini berlaku bagi petugas

kesehatan dan keluarga pasien.

Page 9: Lembar Tugas Mandiri Pemicu 2
Page 10: Lembar Tugas Mandiri Pemicu 2

Penutup

Sebagai penutup, materi ini akan coba dikaitkan dengan pemicu 2 kali ini.

Bagian kalimat yang mendapat higlight kuning, merupakan bagian yang kurang lebih berhubungan

dengan tulisan ini. Pasien merupakan anak usia 6 tahun yang seperti kita tahu juga termasuk usia

yang termasuk rentan dalam mengalami infeksi ini. Kemudian pasien ternyata tidak mengalami

imunisasi, hal ini tentu menjadi faktor resiko bagi pasien dalam mengalami ISPA ini.

Daftar pustaka

1. Departemen Kesehatan (Depkes) RI. Riskesdas 2013. Jakarta: Depkes RI;2013

2. Wantania JM, Naning R, Wahani A.Epidemilogi Infeksi Respiratorik. Dalam: Rahajoe NN,

Supriatno B, Setyatno DB, penyunting. Buku ajar respirologi anak. Edisi I cetakan 2. Jakarta

: Badan Penerbit IDAI;2010.

3. Koch A. Risk Factors for Acute Respiratory Tract Infections in Young Greenlandic

Children. American Journal of Epidemiology. 2003;158(4):374-384.

4. Musdalifah HD., Rusli. Kejadian BBLR,ASI Eksklusif dan imunisasi terhadap infeksi

saluran napas akut pada balita. Journal of Pediatric Noursing.41-44. Retrieved from

http://library.stikesh.ac.id

5. Lopez-Alarcon, M., Villalpando, S., & Fajardo, A. (1997). Breast-feeding lowers the

frequency and duration of acute respiratory infection and diarrhea in infants under six

months of age. The Journal of Nutrition, 127(3), 436-43. Retrieved from

http://search.proquest.com/docview/197433334?accountid=17242

6. Mirji, G., Shashank, K. J., Shrikant, S. W., & Reddy, D. (2015). Influence of breast feeding

practices and immunization status among under five children suffering from acute

respiratory infection. Indian Journal of Health and Wellbeing, 6(1), 100-102. Retrieved

from http://search.proquest.com/docview/1673343373?accountid=17242

7. Afandi A. 35 - 45 [Internet]. 2015 [cited 17 May 2015]. Available from:

http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20307689...Hubungan%20lingkungan.pdf

8. Clevelandclinicmeded.com. [Internet]. 2015 [cited 17 May 2015]. Available from:

http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/infectious-

disease/upper-respiratory-tract-infection/#s0080

9. Docs.google.com. Jadwal-Imunisasi-2014-lanscape-Final.pdf [Internet]. 2015 [cited 17 May

2015]. Available from: https://docs.google.com/viewerng/viewer?url=http://idai.or.id/wp-

content/uploads/2014/04/Jadwal-Imunisasi-2014-lanscape-Final.pdf&hl=en_US