layout info des 08 rev final · magna. vestibulum ante ... hasil dari kajian ini menyatakan bahwa...

88
i Info Kajian BAPPENAS | Vol. 5 | No. 2 | Desember 2008 Daftar Isi Pengantar Redaksi ............................................................................................................................................................... ii 1. Hambatan Perdagangan Antardaerah dan Dampaknya terhadap Perekonomian Daerah ......................... 1 2. Pengembangan Model Analisis Pasar Uang dan Pasar Modal ........................................................................... 13 3. Model Integrasi Vertikal Usaha Mikro/kecil Melalui Koperasi di Sektor Agribisnis/Agroindustri ............... 29 4. Strategi Pendanaan Program Pembangunan Sektor Transportasi Pasca Revisi Undang-Undang Sektor Transportasi ..................................................................................................................... 42 5. Prospek Penerapan Akuntansi Belanja Kesehatan Nasional (NHA) .................................................................. 55 6. Pengembangan Industri Budaya dan Olahraga dalam Mendukung Pembangunan Pariwisata................. 66 7. Kebijakan Tentang Trawl di Indonesia .................................................................................................................... 77

Upload: duongnhi

Post on 15-Mar-2019

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

iI n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

Daftar Isi

Pengantar Redaksi ............................................................................................................................................................... ii

1. Hambatan Perdagangan Antardaerah dan Dampaknya terhadap Perekonomian Daerah ......................... 1 2. Pengembangan Model Analisis Pasar Uang dan Pasar Modal ........................................................................... 13

3. Model Integrasi Vertikal Usaha Mikro/kecil Melalui Koperasi di Sektor Agribisnis/Agroindustri ............... 29

4. Strategi Pendanaan Program Pembangunan Sektor Transportasi Pasca Revisi Undang-Undang Sektor Transportasi ..................................................................................................................... 42

5. Prospek Penerapan Akuntansi Belanja Kesehatan Nasional (NHA) .................................................................. 55

6. Pengembangan Industri Budaya dan Olahraga dalam Mendukung Pembangunan Pariwisata ................. 66

7. Kebijakan Tentang Trawl di Indonesia .................................................................................................................... 77

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8ii

LOREM IPSUM DOLOR SIT AMET, consectetuer adipiscing elit. Morbi magna. Vestibulum ante ipsum primis in faucibus orci luctus et ultrices posuere cubilia Curae; Nulla interdum. Donec arcu neque, malesuada et, pellentesque ut, pretium bibendum, odio. Pellentesque habitant morbi tristique senectus et netus et malesuada fames ac turpis egestas. Nam non ante in diam blandit scelerisque. Morbi consectetuer. Vivamus eget quam. Donec viverra libero et orci. Quisque ultrices varius ante. Maecenas ullamcorper, magna vitae nonummy facilisis, sapien ante fermentum lectus, tincidunt auctor est justo nec quam. Donec rhoncus tincidunt libero. Sed mi pede, semper vitae, commodo eu, viverra ac, velit. Donec rhoncus libero eget libero. Suspendisse et enim.

Etiam ut nulla. Duis porttitor molestie libero. Suspendisse quam diam, nonummy ultrices, rhoncus ut, rutrum eget, wisi. Class aptent taciti sociosqu ad litora torquent per conubia nostra, per inceptos hymenaeos. Nam libero. Morbi vehicula mi accumsan orci. Duis sit amet mi ut lacus tincidunt vehicula. Vivamus eu erat. Cum sociis natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus. Etiam ultricies mollis eros.

Suspendisse potenti. Aliquam erat volutpat. Aliquam quis elit nonummy libero sodales ultrices. Praesent convallis ornare justo. Donec ac nulla ac ligula tristique scelerisque. Nunc rutrum egestas tortor. Nunc quis justo a leo eleifend ultrices. Maecenas iaculis augue eu tortor. In sit amet erat. In sollicitudin accumsan nunc. Vivamus feugiat nunc sit amet leo. Nunc dignissim cursus eros.

Nullam auctor. Pellentesque sagittis scelerisque pede. Donec lacinia faucibus urna. Nullam velit lorem, egestas nec, ornare eu, ornare vitae, turpis. Donec et nibh id massa tempor condimentum. Curabitur sem turpis, facilisis in, sodales et, condimentum sit amet, ligula. Suspendisse ipsum wisi, dapibus sed, interdum eget, dictum sit amet, purus. Nam at neque eu orci commodo eleifend. Integer nulla nunc, suscipit eu, scelerisque id, scelerisque in, arcu. NVestibulum tempus lorem a mauris. Donec tempor ultrices dui. Maecenas in tortor. Fusce tristique nibh eget enim. Cras in enim. Maecenas nec lorem eget erat convallis tincidunt.

Aenean eros. Donec at wisi quis neque fermentum euismod. Sed nonummy, justo vel ornare condimentum, enim neque tincidunt wisi, ac elementum neque magna quis velit. Nulla mauris purus, vehicula nec, pharetra vel, sodales ac, erat. Maecenas a nunc a elit elementum varius. Sed elit. Sed in justo. Ut quis sapien. Cum sociis natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus. Phasellus lacinia quam eget magna. Fusce mattis nulla sit amet odio porta semper. Etiam leo enim, egestas id, ornare vitae, imperdiet vel, sem. Mauris at arcu. Nunc id ante eu nisl laoreet cursus. In hac habitasse platea dictumst. Nulla non ligula.

SUSUNAN REDAKSI

Pelindung

H. Paskah Suzetta

Pengarah

Ir. Syahrial Loetan, MCP

Pemimpin Redaksi

Drs. Setia Budi, MA

Redaktur Pelaksana

Dr. Ir. Himawan Hariyoga, M.Sc

R.M. Dewo Broto Joko P., SH, LLM

Ir. Slamet Soedarsono, MPP

Dr. Ir. Subandi, M.Sc

Dr. Ir. Yahya R Hidayat, M.Sc

Dr. Robin Asad Suryo, MA

Dr. Ir. Herry Darwanto, M.Sc

Nur Syarifah, SH, LLM

Ir. Salusra Widya, MA

R. Wijaya Kusumawardhana, ST, MMIB

Muhammad Nasir, S.Kom, M.Si

Ir. Erianti Puspa, MM

Shri Mulyanto, MT, M.Sc

Abdul Hakim, S.Sos, M.Si

Bagian keuangan

Kahmal Jumadi, S.Sos

Setting/Layout

Ratih Clinovera, S.E

Distribusi

Ismet M.Suhud, SE, MAP.

Eri Mulia, SE. ,

Prihanto Wahyu Utomo

Pengantar Redaksi

1I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

Hambatan Perdagangan Antardaerah dan

Dampaknya terhadap Perekonomian Daerah

DIREKTORAT PERKOTAAN DAN PERDESAANe-mail: [email protected]

Abstraksi

Kajian tentang Hambatan Perdagangan AntarDaerah dan Dampaknya Terhadap Perekonomian Daerah bertujuan antara lain adalah (1) mengidentifikasi hambatan perdagangan antardaerah khususnya di daerah Strategies Development Region (SDR), (2) mengevaluasi dan me-review regulasi (baik yang di pusat maupun di daerah) yang menyebabkan terhambatnya perdagangan daerah, (3) menganalisis dampak yang ditimbulkan sebagai akibat adanya hambatan perdagangan antar daerah, (4) menyusun rekomendasi kebijakan yang dapat meminimumkan hambatan perdagangan antar daerah.

Hasil dari kajian ini menyatakan bahwa Pulau Jawa memegang peranan penting dalam aktivitas perdagangan antar daerah di kawasan ekonomi khusus yang dijadikan sampel (Pulau Sulawesi). Provinsi Sulawesi Selatan memegang peran sentral dalam perkembangan aktivitas perekonomian di Pulau Sulawesi, maupun Kawasan Timur Indonesia. Hal ini terlihat dari besarnya transaksi barang dan jasa yang masuk dan keluar dari Sulawesi Selatan. Keberadaan pusat-pusat pertumbuhan dengan produksi yang berusaha untuk mengedepankan beberapa sektor perlu diperkuat eksistensinya dalam konteks pembangunan daerah secara merata Faktor geografis antar daerah di masing-masing pulau memberikan pengaruh yang juga cukup kuat di provinsi-provinsi di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi yang mulai menyusul laju pertumbuhan provinsi-provinsi di Pulau Jawa dan Bali.

Rata-rata neraca perdagangan diperkirakan untuk provinsi-provinsi di Sulawesi dan KTI berada pada kondisi defisit, meski perlu dibuktikan lebih lanjut dengan estimasi yang lebih tepat. Tetapi melihat struktur barang ekspornya, maka wilayah-wilayah ini dominan hanya pada barang-barang primer dan tanpa pengolahan (no value added). Pola distribusi barang keluar sebagian besar sebenarnya masih bersifat konvensional sehingga ketergantungan pola perdagangan Jawa-Sulawesi masih tinggi.

Dalam iklim globalisasi perdagangan dunia dan kompetisi yang semakin ketat, perekonomian Indonesia dituntut semakin terbuka dan produknya mampu bersaing di pasar domestik maupun pasar luar negeri. Terwujudnya kondisi free internal trade menjadi semakin penting dalam kaitanya menjaga daya saing produk Indonesia di pasar luar negeri maupun pasar domestik sendiri sehingga mampu bersaing dengan produk luar yang semakin efisien. Hal ini berarti hambatan dan distorsi dalam internal trade (desa-kota, antar daerah dan antar pulau) harus dikurangi secara signifikan terutama distorsi yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah.

Namun perkembangan yang terjadi, justru memperlihatkan kecenderungan semakin tingginya hambatan perdagangan dalam internal trade. Atau dengan perkataan lain, prospek terwujudnya free internal trade semakin buruk, meningkatnya beban pungutan yang harus dibayar oleh pengusaha dan besarnya kemungkinan munculnya kebijakan industri/perdagangan di tingkat daerah (kabupaten/kota) yang akan menimbulkan hambatan bagi pergerakan arus barang, jasa dan tenaga kerja ke wilayah Indonesia.

1. Latar Belakang

Sejak akhir abad yang lalu terdapat berbagai upaya untuk membentuk kawasan perdagangan bebas (free trade area) dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing ekonomi di suatu kawasan. Keanggotaan Indonesia dalam AFTA (ASEAN Free Trade Area) juga dengan tujuan tersebut. Sementara proses ini berlangsung, di dalam perekonomian

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 82

Indonesia sedang terjadi suatu kecenderungan yang berlawanan arahnya, yaitu meningkatnya hambatan perdagangan antar daerah, dari provinsi yang satu ke provinsi yang lain atau dari kabupaten/kota yang satu ke kabupaten/kota yang lain. Keadaan ini bahkan makin terasa sejak Indonesia memasuki era desentralisasi dan otonomi daerah di tahun 2001. Keadaan ini menunjukkan bahwa salah satu prinsip dasar kesatuan ekonomi nasional, yaitu perdagangan dalam negeri yang bebas (free internal trade). Keadaan ini merupakan suatu ancaman bagi persatuan dan kesatuan bangsa serta daya saing ekonomi Indonesia (Soesastro, 2001).

Penerapan prinsip free internal trade menjamin adanya efisiensi dalam kegiatan ekonomi, pembangunan ekonomi, integritas nasional, daya saing internasional, dan pemberantasan kemiskinan (Goodpaster dan Ray, 2000). Menurut Goodpaster dan Ray ada beberapa alasan mengapa perdagangan antar daerah sangat penting, yaitu:1. Efisiensi ekonomi. Negara yang besar dalam jumlah penduduk serta tingkat pendapatan yang memadai merupakan

potensi pasar yang besar sehingga mampu mendorong produsen untuk berproduksi dalam skala ekonomis.2. Pembangunan ekonomi. Perdagangan antar daerah memungkinkan terjadinya pertukaran produk hasil pertanian

antar daerah sehingga memungkinkan terjadinya proses industrialisasi.3. Kesatuan nasional. Perdagangan antar daerah dapat memperkuat kesatuan nasional hal ini disebabkan karena

produk dari satu daerah dapat dinikmati oleh daerah lain sehingga mengurangi sentimen kedaerahan.4. Daya saing internasional. Perdagangan antar daerah yang bebas atau minim hambatan mendorong terjadinya

alokasi sumberdaya secara lebih optimal sehingga secara nasional akan terjadi efisiensi. Kondisi ini pada akhirnya dapat mendorong peningkatan daya saing secara internasional.

5. Penghapusan kemiskinan. Perdagangan antar daerah yang bebas dari hambatan akan mendorong roda perekonomian daerah. Bergeraknya roda perekonomian berarti juga penciptaan lapangan kerja sehingga pada akhirnya mengurangi pengangguran. Kondisi ini akhirnya membantu pengurangan penduduk miskin.

Dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, muncul berbagai peraturan daerah yang berdampak negatif bagi perdagangan dalam negeri/antar daerah. Salah satu contoh adalah provinsi Lampung yang mengeluarkan sembilan Perda (Peraturan Daerah) yang mengenakan pungutan (retribusi) atas barang yang diperdagangkan ke luar provinsi dan berbagai pungutan di sektor perhubungan yang juga berpengaruh terhadap perdagangan. Proliferasi Perda-perda serupa ini mengancam kelancaran arus barang dan jasa antar daerah dan pada gilirannya menjadi ancaman bagi daya saing ekonomi Indonesia akibat masalah ekonomi biaya tinggi yang ditimbulkannya.

UU No 32/2004 tidak menyebutkan bahwa perdagangan merupakan urusan mutlak Pemerintah Pusat seperti halnya dengan masalah moneter dan fiskal, juga bukan menjadi urusan wajib provinsi ataupun kabupaten/kota. Perdagangan termasuk perdagangan dalam negeri, dengan demikian merupakan urusan pilihan daerah. Hal ini mengandung arti bahwa daerah (provinsi atau kabupaten/kota) dapat menerapkan kebijakan yang mempengaruhi perdagangan antar daerah, termasuk dalam bentuk hambatan dalam perdagangan antar daerah. Namun demikian, bukan berarti Pemerintah Pusat tidak memiliki kewenangan terhadap urusan perdagangan antar daerah, karena sepanjang menyangkut perdagangan lintas provinsi dan/atau menyangkut kepentingan nasional, urusannya tetap menjadi urusan pusat. Ini terlihat dengan adanya aturan yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah Pusat untuk mereview peraturan daerah (perda) yang menghambat perdagangan antar daerah.

Sementara itu, dalam upaya meningkatkan perekonomian daerah dan nasional, saat ini telah dibentuk Kawasan Ekonomi Khusus di Indonesia (KEK). KEK adalah kawasan yang secara khusus ditetapkan untuk pengembangan aktivitas ekonomi yang memiliki standar pelayanan minimum dan dukungan peraturan yang kompetitif dan berdaya saing global. Tim nasional pengembangan KEK telah menetapkan sejumlah kriteria bagi lokasi KEK, meskipun secara definitif belum menentukan lokasi yang jelas. Beberapa kriteria yang terkait dengan ekonomi adalah kawasan tersebut memiliki potensi yang besar serta memiliki hubungan ekonomi (backward and forward linkages) dengan daerah lain. Kriteria ini sejalan dengan kriteria kawasan pengembangan strategis (Strategic development region/SDR) sebagaimana yang dihasilkan oleh kajian strategis Bappenas tahun 2004 dan 2005.

Meskipun demikian kajian tersebut belum menjawab seberapa lancarkah hubungan/perdagangan antar daerah tersebut. Bagaimana hambatan perdagangan antara daerah SDR dengan hinterland-nya dan pasarnya? Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya hambatan tersebut dan bagaimana dampaknya terhadap perekonomian daerah? Kajian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Satu hal yang membedakan antara kajian ini dengan kajian lain adalah fokus dari kajian dimana difokuskan kepada daerah SDR yang terkait dengan kawasan KEK yang mana telah menjadi kebijakan nasional. Diharapkan hasil dari kajian ini dapat memberikan masukan yang berarti bagi pengembangan lebih lanjut kawasan ekonomi khusus Indonesia.

2. TujuanKegiatan pengkajian ini bertujuan untuk:

1. Mengidentifikasi hambatan perdagangan antar daerah khususnya di daerah Strategic Development Region (SDR).2. Mengevaluasi dan me-review regulasi (baik yang di pusat maupun di daerah) yang menyebabkan terhambatnya

perdagangan antar daerah.

3I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

3. Menganalis dampak yang ditimbulkan sebagai akibat adanya hambatan perdagangan antar daerah.4. Menyusun rekomendasi kebijakan yang dapat meminimumkan hambatan perdagangan antardaerah.

Ruang lingkup kajian ini adalah sebagai berikut:1. Observasi awal terhadap kondisi saat ini (existing condition) kinerja perekonomian daerah terutama variabel makro

daerah yang berkaitan dengan perdagangan antardaerah untuk sampel penelitian.2. Pengumpulan data sekunder untuk variabel-variabel makro ekonomi daerah (seperti PDRB, Ketenagakerjaan, Ekspor

dan lain-lain) serta data primer dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner terstruktur dan wawancara terhadap responden. Responden yang dimaksud adalah para pengambil kebijakan publik yang terkait, dan para pelaku ekonomi (pengusaha, dan asosiasi).

3. Data-data yang diperoleh kemudian diestimasi dan divalidasi model dengan teknik analisis yang sesuai. Teknik analisis yang akan digunakan adalah Analisis Economic Base (Teknik Shift-Share dan Location Quotient), Revealed Comparative Advantage (RCA) dan Model Ekonometrika (Metode Panel Data Regression).

4. Untuk memperkuat hasil pengkajian yang akan diperoleh, akan dilakukan Focus Group Discussion (FGD) yang melibatkan stakeholder yakni para pengambil kebijakan publik yang terkait, para pelaku ekonomi (pengusaha, dan asosiasi) dan masyarakat. Dari hasil FGD diharapkan akan diperoleh saran dan implikasi kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan daerah.

5. Bentuk publikasi yang diharapkan dihasilkan adalah buku laporan yang dapat dijadikan acuan bagi pemerintah daerah dalam menetapkan kebijakan yang mendukung perdagangan antar daerah.

Keluaran dari kegiatan pengkajian ini adalah:1. Penginventarisiran berbagai regulasi yang berpotensi menjadi penghambat perdagangan antar daerah.2. Evaluasi dan review regulasi yang dapat menghambat perdagangan antardaerah.3. Rekomendasi kebijakan.

3. Metodologi

3.1 Kerangka Analisis.Pengkajian ini akan didasarkan kepada kerangka berpikir menjadi tiga blok analisis yaitu:

- Analisis Supply. Analisis pada bagian ini akan menggambarkan kondisi potensi produksi daerah yang didasarkan pada pendekatan nilai tambah, proses produksi barang dan jasa. Asumsi yang melekat pada analisis ini adalah kemampuan produksi daerah dapat digunakan untuk konsumsi pasar lokal dan konsumsi pasar ekspor.

- Analisis Alur Transaksi (Aliran Barang dan Jasa). Pada bagian analisis ini, alur transaksi barang dan jasa dipandang sebagai intermediasi aktivitas perdagangan antardaerah yang nantinya dapat mengukur derajat kemampuan neraca perdagangan daerah. Sehingga dengan analisis ini akan diperoleh informasi apakah daerah tersebut memiliki kemampuan ekspor atau harus melakukan impor.

- Analisis Permintaan. Bagian analisis ini akan mengukur besarnya permintaan barang dan jasa untuk konsumsi pasar ekspor antardaerah. Analisis ini merupakan bagian penting untuk mengetahui seberapa besar penyerapan output perdagangan antardaerah yang juga dapat menggambarkan batas kemampuan produksi daerah.

Ketiga bagian analisis tersebut terangkum pada gambar berikut.

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 84

3.2 Metode Pelaksanaan Kajian.Metode pelaksanaan kajian yang digunakan dalam mencapai tujuan kajian ini adalah

1. Analisis Model Input-Output (I-O). Analisis ini digunakan untuk mengetahui interaksi antar pelaku dalam aktivitas ekonomi (baik nasional maupun

daerah). Model input-output (I-O) adalah salah satu model perencanaan terintegrasi yang dapat menjelaskan keterkaitan antar industri/sektor dan kemudian mampu menghubungkannya dengan perkembangan struktur perekonomian. Hal ini penting diketahui mengingat akselerasi perubahan perekonomian daerah yang semakin meningkat, terutama setelah diberlakukannya desentralisasi.

2. Interregional Input-Output (IRIO) Keterkaitan antar 2 daerah (regional) atau lebih merupakan suatu yang lumrah terjadi pada kondisi saat ini, begitupun

keterkaitan antar input dan output produksi. Interregional Input-Output model merupakan model input-output yang mencoba menjelaskan hubungan yang terjadi antarwilayah tersebut.

3. Metode Revealed Comparative Advantage (RCA) Pengukuran Revealed Comparative Advantage (RCA) digunakan untuk mengidentifikasi komoditas-komoditas

unggulan dari suatu wilayah berdasarkan nilai ekspor komoditas-komoditas tersebut di pasar wilayah referensi. Dengan kata lain, dengan melakukan pengukuran RCA ini, dapat diketahui komoditas-komoditas apa saja di wilayah tersebut yang memiliki daya saing yang tinggi relatif terhadap komoditas sejenis di pasar regional.

4. Metode Analisis Model Ekonometrika Model ekonometrika ini diharapkan dapat mengestimasi besaran pengaruh variabel perdagangan antardaerah

yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah. Selain variabel perdagangan antardaerah, juga akan coba dimasukkan beberapa variabel kontrol seperti variabel tenaga kerja, investasi dan lain-lain. Teknik perhitungan pada model ekonometrika adalah metode panel data. Variabel perdagangan antardaerah akan ditinjau dari 2 (dua) sisi yaitu: sisi aktual dan sisi potensial.

Untuk sisi aktual variabel perdagangan antardaerah akan diproksi dengan jumlah total ekspor dan impor (tanpa melihat sumber dan asal impor karena keterbatasan data) relatif terhadap total PDRB. Kinerja perdagangan antardaerah ini dapat juga disebut sebagai indikator dari keterbukaan daerah (openness) dalam melakukan perdagangan, makin besar kontribusi perdagangan terhadap PDRB-nya maka makin terbuka perekonomian daerah tersebut. Disisi lain potensial daerah dalam melakukan perdagangan antardaerah didekati dengan membuat satu indeks yang dapat mengindikasikan kekuatan unggulan potensi daerah dan kelemahan potensi daerah dalam menghasilkan produksi yang dapat diekspor serta mendatangkan produk dari luar daerah yang akan disebut sebagai indeks diversifikasi basis perdagangan daerah (DIV).

Dengan mengadopsi penelitian Yi Feng (2000), persamaan pada model ekonometrika pada pengkajian ini adalah sebagai berikut :

dimana :gi = Pertumbuhan ekonomiOpen = Keterbukaan Perekonomian Daerah ((X+M)/PDRB)DIV = Indeks Diversifikasi Basis PerdaganganDummy = Variabel Pembeda Pulauα = Interceptβ = koefisien estimasi variabelε = gangguan errori = Provinsi (29)T = Waktu (5)

Model di atas diestimasi dengan pendekatan Pooled Data Analysis dengan menggabungkan data time series dengan data cross-sectional. Alasan penggunaan analisis pooled data ini dikarenakan time series yang diinginkan tidak panjang yaitu periode setelah reformasi dan relatif lebih stabil komposisi datanya (2000 – 2005). Dengan jumlah time series sebanyak enam tahun dan 29 (33 Provinsi dikurangi Papua, Kepulauan Riau, Sukawesi Barat, dan Irian Jaya Barat), dengan demikian total observasi adalah 145.

Hipotesis:• Trade Openess sebagai proksi dari bagaimana perdagangan antardaerah dan pulau suatu provinsi dianggap

berpengaruh besar dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi (Lego, Gembremedhin dan Cushing; 2000),

5I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

• Indeks diversifikasi basis perdagangan (DIV) sebagai representasi besaran trade ability dari ekonomi suatu provinsi. Dimana nilai indeks yang semakin tinggi berpengaruh positif terhadap pertumbuhan regionalnya.

• Dummy karakteristik pulau dinyatakan untuk melihat seberapa besar membedakan signifikansi untuk penciptaan pertumbuhan ekonomi regional.

Selain analisis kuantitatif dengan metode-metode yang disebutkan sebelumnya, akan dilakukan juga pengkajian dampak pemberlakuan regulasi (daerah dan pusat) terhadap perekonomian daerah dari sisi kelembagaan melalui survei langsung ke daerah sampel. Penentuan sampel juga didasarkan pada perbedaan keunikan daerah berdasarkan hasil estimasi model persamaan ekonometrika yang dihasilkan.

3.3 Data.Data-data yang dibutuhkan untuk menunjang kajian ini antara lain adalah :

1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) berdasarkan Pengeluaran (Expenditure) masing-masing provinsi di Indonesia tahun 2000-2005

2. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) berdasarkan Lapangan Usaha (Value Added) masing-masing provinsi di Indonesia tahun 2000-2005

3. Tabel Interregional Input-Output (IRIO) di Indonesia tahun 2000

Daerah sampel terpilih dalam kajian Kajian Hambatan Perdagangan AntarDaerah dan Dampaknya Terhadap Perekonomian Daerah adalah sebagai berikut :1. Provinsi Sulawesi Utara2. Provinsi Sulawesi Tengah3. Provinsi Sulawesi Tenggara4. Provinsi Sulawesi Selatan5. Provinsi Gorontalo6. Provinsi Maluku

4. Hasil Kajian dan Analisis

4.1 Model Perdagangan dan Pertumbuhan Daerah.Dalam bagian ini akan dibahas tentang analisa model ekonometrika yang menggambarkan bagaimana pengaruh

hambatan perdagangan antardaerah terhadap perekonomian daerah. Hambatan perdagangan antardaerah dalam model ini mengacu pada kemampuan dan potensi kemampuan suatu daerah dalam melakukan perdagangan antar daerah. Hambatan yang bersifat regulasi tidak dapat dimunculkan dalam model dikarenakan keterbatasan data dan jenisnya yang lebih bersifat kualitatif. Karena keterbatasan data perdagangan regional di Indonesia (hanya tersedia IRIO 2000 saja). Kami memutuskan untuk meminjam konsep basic/non basic sektor sebagai proksi kemampuan perdagangan sebuah daerah. (LQ) dapat dijadikan indikator apakah suatu daerah bertindak sebagai major ekspotir atau sebaliknya.

Analisis Sektor-Sektor Unggulan

1. Nilai Location Quotient (LQ)

- Sektor PertanianHampir seluruh provinsi di Indonesia memiliki keunggulan komparatif pada sektor pertanian. Hal tersebut

ditunjukkan dari hasil perhitungan nilai LQ untuk sektor pertanian untuk 33 provinsi. Untuk provinsi-provinsi di Pulau Sumatera, hanya Kepulauan Riau dan Riau yang tidak memiliki keunggulan di sektor pertanian selama tahun 2000-2005. Sebaliknya nilai LQ terbesar di Pulau Sumatera pada periode yang sama adalah Provinsi Lampung yang berkisar pada nilai 2,76 hingga 2,92. Hal ini mengindikasikan bahwa Provinsi Lampung memiliki potensi ekspor sektor pertanian yang cukup besar dibandingkan dengan provinsi lainnya di Pulau Sumatera.

Untuk provinsi-provinsi di Pulau Jawa, hanya Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Banten yang tidak memiliki basis pada sektor pertanian (ditunjukkan dari hasil perhitungan nilai LQ yang kurang dari 1). Suatu hal yang menarik, ternyata Provinsi Jawa Barat mulai meninggalkan sektor pertanian sebagai sektor basis dalam perekonomiannya sejak tahun 2002. Sebaliknya, Provinsi Jawa Tengah merupakan provinsi yang relatif memiliki basis sektor pertanian terbesar dibandingkan provinsi lainnya di Pulau Jawa.

Berdasarkan tabel hasil perhitungan LQ di atas, hanya Provinsi Kalimantan Timur di Pulau Kalimantan yang tidak memiliki basis perekonomian pada sektor pertanian. Sementara Provinsi Kalimantan Tengah merupakan provinsi yang memiliki nilai LQ terbesar diantara provinsi lainnya di Pulau Kalimantan pada periode 2000-2005. Untuk kasus Pulau

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 86

Sulawesi, semua provinsi yang berada pada pulau tersebut, memiliki basis pada sektor pertanian. Artinya, semua provinsi di Pulau Sulawesi memiliki potensi ekspor lebih besar dibandingkan provinsi lainnya di Indonesia. Sementara jika dibandingkan antar provinsi di Pulau Sulawesi, Provinsi Sulawesi Barat memiliki keunggulan komparatif terbesar, yang tercermin dari nilai LQ yang berkisar antara 3,72 hingga 3,82.

Serupa dengan kasus Pulau Sulawesi, keunggulan komparatif Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) terletak pada sektor pertanian. Dimana provinsi yang memiliki nilai LQ terbesar adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berkisar antara 2,83 hingga 2,88.

Dan terakhir, provinsi-provinsi di wilayah timur Indonesia yakni Provinsi Maluku, Maluku Utara, Papua dan Irian Jaya Barat, hampir kesemua provinsi tersebut berbasis pada sektor pertanian. Hanya Provinsi Papua yang tidak memiliki nilai LQ lebih besar dari 1 (sektor basis) kecuali tahun 2004, selama periode 2000-2005. Dan provinsi yang memiliki basis pada sektor pertanian terbesar pada kelompok ini adalah Provinsi Maluku Utara dengan nilai LQ sebesar 2,28 hingga 2,45.

- Sektor Pertambangan dan PenggalianDengan berlakunya era otonomi daerah, maka pengelolaan potensi daerah telah menjadi kewenangan pemerintah

daerah setempat. Pengelolaan ini termasuk pengelolaan sumber daya alam yang tercermin dari aktivitas di sektor pertambangan dan penggalian. Jika diperhatikan, maka tidak semua provinsi di Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam sektor pertambangan dan penggalian ini. Daerah yang dianugerahi kekayaan alam, akan memiliki nilai tambah dari aktivitas sektor pertambangan dan penggalian. Sebaliknya, daerah yang “miskin” sumber daya alam hanya dapat menghasilkan nilai tambah yang sedikit pada sektor ini.

Di Pulau Sumatera, terdapat lima provinsi yang memiliki keunggulan pada sektor pertambangan dan penggalian yakni Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan Bangka Belitung. Sementara Kepulauan Riau, sejak tahun 2002, tidak lagi memiliki keunggulan di sektor pertambangan dan penggalian ini. Dari kelima provinsi yang memiliki keunggulan pada sumber daya alamnya, Provinsi Riau merupakan provinsi yang memiliki nilai tambah aktivitas sektor pertambangan dan penggalian terbesar dibandingkan lainnya.

Untuk Pulau Jawa, tak ada satu provinsi pun di pulau ini yang memiliki basis perekonomian pada sektor pertambangan dan penggalian ini. Hal yang sama juga dialami beberapa provinsi di Pulau Kalimantan. Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, tidak memiliki sumber daya alam yang cukup besar untuk menjadikan sektor pertambangan dan penggalian ini menjadi sektor basis dalam perekonomiannya. Namun sebaliknya dengan Provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Kedua provinsi ini memiliki cukup banyak sumber daya alam yang bisa dieksplorasi, sehingga sektor pertambangan dan penggalian dapat menjadi salah satu sektor basis dalam perekonomiannya. Nilai LQ Provinsi Kalimantan Timur yang merupakan provinsi dengan nilai LQ terbesar dibandingkan dengan provinsi lainnya, memiliki kisaran nilai LQ sebesar 2,88 hingga 4,02 selama periode 2000-2005.

Sama halnya dengan provinsi-provinsi di Pulau Jawa, provinsi-provinsi di Pulau Sulawesi pun, tidak memiliki keunggulan pada sektor pertambangan dan penggalian. Baru pada tahun 2004, Provinsi Sulawesi Selatan memiliki sedikit keunggulan pada sektor pertambangan dan penggalian ini. Pada kelompok Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT), hanya Provinsi NTB yang memiliki keunggulan komparatif di sektor pertambangan dan penggalian dengan nilai LQ berkisar antara 2,18 hingga 3,02.

Pada kelompok terakhir yakni Provinsi Maluku, Maluku Utara, Papua dan Irian Jaya Barat, hanya dua provinsi yang disebutkan terakhir memiliki basis pada sektor pertambangan dan penggalian. Hal ini tercermin dari nilai LQ kedua provinsi tersebut (Papua dan Irian Jaya Barat) yang berkisar pada angka 1,98 hingga 6,84.

- Sektor Industri PengolahanUntuk sektor industri pengolahan, sangat terkonsentrasi di wilayah Pulau Jawa. Hal ini ditunjukkan oleh nilai LQ

sektor industri pengolahan provinsi-provinsi di Pulau Jawa –kecuali DKI Jakarta dan DI Yogyakarta, lebih besar dari satu. Khusus Nilai LQ di Provinsi Jawa Timur, sejak tahun 2004 lagi memiliki keunggulan komparatif pada sektor industri pengolahan.

Untuk provinsi-provinsi di Pulau Sumatera, hanya Provinsi Kepulauan Riau yang memiliki basis pada sektor industri pengolahan. Hal ini dimungkinkan oleh kebijakan pengembangan khusus bagi sektor industri pengolahan pada wilayah provinsi ini, sehingga mampu untuk memacu nilai tambah yang dihasilkan sektor ini dibandingkan provinsi lainnya.

Hal serupa juga dialami oleh provinsi-provinsi di Pulau Kalimantan. Hanya ada satu provinsi, yaitu Provinsi Kalimantan Timur, yang memiliki basis perekonomian pada sektor industri pengolahan, dengan kisaran nilai LQ sebesar 1,31 hingga 1,53. Dilihat dari tren pergerakannya, nilai LQ sektor industri pengolahan di Provinsi Kalimantan Timur, cenderung mengalami penurunan dari tahun 2000 hingga 2005.

Sementara untuk provinsi-provinsi lainnya –baik provinsi-provinsi di Pulau Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara (Barat dan Timur) serta Maluku dan Papua, tidak ada satu pun yang memiliki basis pada sektor industri pengolahan.

- Sektor Perdagangan, Hotel dan RestoranBerdasarkan nilai LQ untuk Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran dapat terlihat bahwa sektor ini didominasi oleh

7I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

provinsi-provinsi yang berada di Pulau Jawa. Hal ini mengingat bahwa sub-sektor Hotel dan Restoran berkembang di wilayah yang mulai bergeser corak sektor sekunder (sektor industri pengolahan) ke sektor tersier (jasa-jasa). Selain itu, sektor perdagangan, hotel dan restoran merupakan penunjang sektor jasa terutama jasa pariwisata.

- Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa PerusahaanUntuk sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan jelas terlihat bahwa Provinsi DKI Jakarta memiliki

keunggulan absolut dibandingkan dengan provinsi manapun di Indonesia. Hal ini dimungkinkan karena hampir 70% uang kartal dan uang giral ada di provinsi DKI Jakarta maka pemusatan dari aktivitas di sektor ini juga hanya terpusat pada DKI Jakarta saja.

- Sektor Jasa-jasaYang menjadi salah satu komponen dalam sektor jasa-jasa adalah besarnya peranan jasa pemerintahan (government

size). Pada tabel nilai LQ Sektor Jasa-jasa, terlihat bahwa peranan jasa pemerintah pada provinsi-provinsi di Pulau Sulawesi lebih dominan dibanding provinsi lainnya di Indonesia. Hal ini juga mengindikasikan bahwa peranan pemerintah menjadi dominan dalam menggerakan perekonomian, mengingat belum besarnya peranan sektor swasta. Namun untuk pembuktiannnya dibutuhkan pengkajian lebih lanjut.

2. Nilai Representatif Location Quotient (LQ)Untuk menghindari adanya kecenderungan bahwa akan terdapat terlalu banyak provinsi yang secara LQ dikatakan

semua sektornya unggul dan menjadi basis atau sebaliknya terlalu banyak provinsi yang secara LQ merupakan provinsi dan seluruh sektornya adalah basis, maka dihitung pula nilai LQ tiap provinsi secara representatif dimana LQ yang dihitung untuk masing-masing provinsi dan masing-masing sektor akan direlatifkan dengan tingkat LQ rata-rata seluruh provinsi. Nilai Representative LQ diperoleh dari selisih nilai LQ sektor yang bersangkutan dengan nilai rata-rata LQ dari keseluruhan provinsi di sektor tersebut. Dengan nilai Representative LQ tersebut, dominasi suatu sektor dapat terlihat lebih jelas.

Dengan demikian terlihat bahwa hasil angka LQ yang dihasilkan menjadi lebih bervariasi. Sebagai contoh dapat dilihat bahwa nilai LQ untuk sektor pertanian di provinsi NAD, Sumatra Utara dan Sumatera Barat yang bila dilihat pada analisis sektor-sektor unggulan menggunakan LQ merupakan sektor yang basis dan unggul namun secara representatif berdasarkan skala nasional bukanlah sektor yang basis dan unggul. Demikian juga untuk sektor-sektor lainnya, menunjukkan hal yang berbeda bila secara representatif suatu sektor sebenarnya tidaklah menjadi sektor unggul dan basis bila dibandingkan dengan kinerja LQ dengan perhitungan statis tanpa melihat kinerja provinsi yang lainnya.

3. Indeks Perdagangan Antar Daerah.Mekanisme kegiatan perdagangan antardaerah menunjukan bahwa aliran barang dan jasa yang menghubungkan

kegiatan ekonomi dari satu daerah ke daerah yang lain haruslah memiliki intensitas yang tinggi. Asumsi keunggulan komparasi (comparative advantage) dalam ekonomi regional merupakan tanda dan indikator yang sangat jelas.

Satu daerah dengan daerah yang lain memiliki endowment yang berbeda untuk perekonomiannya, menyebabkan karenannya kegiatan ekspor dan impor menjadi sangat dibutuhkan terkait dengan pemenuhan barang dan jasa. Pergerakan barang dan jasa inilah yang menjadi ukuran bagaimana kemampuan ekonomi suatu daerah dapat membuat suatu daerah lebih makmur dan maju ataupun banyak mengalami hambatan perdagangan.

Republik Indonesia yang memiliki daerah geografis berpulau-pulau jelas memiliki kebutuhan dan intensitas perdagangan antarpulau yang tinggi. Mekanisme aliran barang dan jasa menjadi sangat penting untuk memperlihatkan daerah-daerah mana saja yang bertindak sebagai major exporter atau bahkan major importer.

Berdasarkan kepada hasil perhitungan LQ yang dimodifikasi dengan mempergunakan indeks diversifikasi Basis Perdagangan (DIV)1 yang merupakan resiprokal dari nilai LQ-nya didapat gambaran bahwa daerah yang memiliki nilai indeks makin rendah (mendekati 0), basis sektor di daerah tersebut yang diperdagangkan makin tidak terdiversifikasi (terlalu dominan mengekspor atau terlalu dominan mengimpor).

Secara statistik deskripsi terlihat bahwa nilai terkecil dari indeks diversifikasi basis perdagangan ada di provinsi Maluku, sedangkan nilai tertinggi ada di provinsi Papua. Nilai rata-rata semua provinsi di Indonesia untuk indeks diversifikasi basis perdagangan adalah 0,089 yang mengindikasikan bahwa rata-rata semua provinsi di Indonesia cenderung sangat rendah diversifikasi perdagangannya secara potensi. Dengan kata lain rata-rata seluruh provinsi di Indonesia kebanyakan memiliki kecenderungan terlalu mengekspor terlalu banyak atau sebaliknya terlalu sedikit. Dengan nilai standard deviasi yang dihasilkan sebesar 0.0029 yang jelas jauh dari nilai rata-rata yang didapat, dapat disimpulkan sementara bahwa kecenderungan rendahnya indeks diversifikasi basis perdagangan seluruh provinsi di Indonesia adalah signifikan.

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 88

Tabel 4.2. Statistik Deskriptif

Indeks Diversifikasi Basis Perdagangan Daerah

Dari besaran indeks NE terlihat bahwa untuk daerah pulau Sumatera, provinsi sumatera Barat dan Bengkulu dan juga Sumatera Utara merupakan daerah yang memiliki indeks terkecil. Ini menunjukkan bahwa ketiga provinsi ini secara produksi memiliki diversifikasi yang rendah (terlalu dominan melakukan ekspor atau mungkin sebaliknya dominan melakukan impor). Ketiganya mungkin terkait dengan kemampuan daerahnya yang didukung oleh ketersediaan pelabuhan yang memudahkan untuk melakukan kegiatan perdagangan ekspor maupun impor. Sehingga dapat ditarik pembuktian hipotesisi yang mengarah kepada ketersedian pelabuhan merupakan salah satu indikator openess dari satu daerah dalam perdagangan antar pulau di Indonesia.

Hal yang sebaliknya terjadi terjadi di provinsi-provinsi di Pulau Jawa yang memiliki nilai diversifikasi yang semakin menjauhi angka 0 dengan kata lain sektor-sektor perdagangannya mulai terdiversifikasi, contohnya Provinsi Jawa Barat yang produksi sektor pertaniannya makin hari makin mengalami decreasing terlihat memiliki indek diversifikasi yang cukup besar artinya kemampuan secara merata dari ekonomi sektoralnya tidak lagi menjadi export base. Penurunan-penurunan nilai export base-nya terutama sekali dipicu oleh makin mengecilnya nilai LQ sektor pertanian setiap tahunnya sampai berada di bawah satu dan melemahnya sektor pengangkutan dan transportasi, dimana justru Jawa Timur, Jawa Tegah dan Yogyakarta mengalami penguatan dan secara relative lebih baik, karena masih memiliki dominasi pada sektor pertaniannya. Hal ini mengartikan adanya kemampuan secara lebih merata dari ekonomi sektoralnya yang memungkinkan impor dan ekspor yang lebih tinggi tingkatnya.

Berbeda lagi dengan kondisi perdagangan di pulau Sulawesi dimana terlihat beberapa provinsi memiliki indeks diversifikasi yang rendah. Sulawesi Selatan dan Tenggara merupakan daerah yang memiliki intensitas tinggi yang juga merupakan gerbang aliran keluar barang ke Jawa dan Kalimantan, sementara untuk Sulawesi Tenggaran merupakan pintu keluar untuk wilayah Indonesia Timur. Namun untuk barang yang diimpor kemungkinan tidaklah sebanyak yang keluar untuk provinsi-provinsi di Pulau Sulawesi.

Hasil Serupa juga tercermin dimana kemampuan daerah di Indonesia Timur seperti Maluku dan Papua banyak mencerminkan daerah yang memiliki aktivitas tinggi mendapatkan kekuatan yang cukup besar dalam melakukan perdagangan antar daerah dimana kekuatan terdapat pada sektor perdagangan, industri manufaktur yang berbasis pertanian dan perdagangan, serta sektor tranportasi.

Analisis Model Ekonometrika Perdagangan Daerah

Dengan melihat dari hasil perhitungan indeks LQ dan indeks diversifikasi basis perdagangan maka dapat dilihat seberapa besar signifikansi dari pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Karenanya dalam bagian ini akan dibahas bagaimana pengaruh hambatan perdagangan antardaerah, baik dari aspek kinerja aktual maupun potensial dapat dijelaskan dari hasil estimasi model ekonometrika.

9I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

Tabel 4.1Hasil Regresi

Dependent Variable: LPENM

Method: Least Squares

Date: 12/17/07 Time: 16:46

Sample: 1 145

Included observa�ons: 145

Variable Coefficient Std. Error t-Sta�s�c Prob.

IDEV 6.709718 5.312392 1.263031 0.2087

OPEN 1.277786 0.641991 1.990348 0.0485

SUMATRA 3.797794 0.481909 7.880727 0.0000

JAWA 3.025980 0.620427 4.877257 0.0000

KALIMANTAN 3.278278 0.589669 5.559525 0.0000

SULAWESI 4.512842 0.557288 8.097861 0.0000

BALINUSA 2.816446 0.586145 4.805032 0.0000

MALUKU 2.691158 0.512489 5.251154 0.0000

R-squared 0.197380 Mean dependent var 4.999724

Adjusted R-squared 0.156370 S.D. dependent var 1.578543

S.E. of regression 1.449881 Akaike info criterion 3.634432

Sum squared resid 287.9951 Schwarz criterion 3.798665

Log likelihood -255.4963 Durbin-Watson stat 1.292189

Variabel trade openness secara signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi regional masing-masing provinsi. Hal ini membuat keyakinan bahwa semakin terbuka suatu daerah (ekspor plus impor) akan membuat daeah tersebut terinjeksi ekonominya dan mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi. Hal ini juga memperkuat dan membuktikan untuk kasus Indonesia dari sisi permintaan untuk perdagangan telah menciptakan kemajuan suatu daerah. Ceteris paribus, setiap peningkatan trade openness sebuah daerah sebesar 1% lebih tinggi dibandingkan daerah lain, pertumbuhan ekonomi daerah tersebut secara-rata-rata akan meningkat sebesar 1,27% lebih tinggi dibandingkan daerah-daerah lain.

Indeks diversifikasi basis perdagangan ditemukan tidak signifikan pengaruhnya. Kemungkinan diversifikasi basis perdagangan tidak secara signifikan mempengaruhi pertumbuhan karena memang hampir sebagian besar provinsi di Indonesia memiliki nilai indeks diversifikasi basis perdagangan yang rendah. Artinya konsep competitive advantage memang tetap perlu dikedepankan sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi. Kesimpulan ini sekali lagi menunjukkan bahwa keberadaan pusat-pusat pertumbuhan dengan produksi yang berusaha untuk mengedepankan beberapa sektor perlu diperkuat eksistensinya dalam konteks pembangunan daerah secara merata.

Hasil pengaruh dummy karakteristik pulau dimana untuk semua pulau memberikan perbedaan yang signifikan terhadap pertumbuhan regional provinsi. Sehingga faktor geografis antar daerah di masing-masing pulau memberikan pengaruh yang juga cukup kuat di provinsi-provinsi di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi yang mulai menyusul laju pertumbuhan provinsi-provinsi di Pulau Jawa dan Bali. Selain itu Provinsi-provinsi di Pulau Sulawesi secara rata-rata menunjukkan pembeda intersept yang paling tinggi dimana dapat diimplikasikan bahwa tanpa adanya faktor perdagangan sama sekali dalam daerah mereka, tingkat pertumbuhan ekonomi mereka adalah yang paling tertinggi dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia. Dengan alasan ini karenanya mendukung penentuan provinsi-provinsi di Pulau Sulawesi sebagai daerah-daerah sample guna memperoleh analisis yang lebih dalam terhadap dampak perdagangan antar daerah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dapat dijustifikasi. Oleh karena itu, pada bagian berikutnya akan dibahas bagaimana kinerja provinsi-provinsi di Pulau Sulawesi.

4.2 Perdagangan Antar Daerah di Sulawesi: Hasil Survey dan Analisis Data Sekunder.

Konsep dan Gambaran Umum Perdagangan Antar Daerah di Kawasan Ekonomi Khusus.Secara definitif, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) adalah kawasan yang secara khusus ditetapkan untuk pengembangan

aktivitas ekonomi yang memiliki standar pelayanan minimum dan dukungan peraturan yang kompetitif dan berdaya saing global. Kawasan-kawasan yang masuk ke dalam KEK adalah kawasan berikat, KAPET/Kawasan Andalan, free trade

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 810

zone dan kawasan lainnya yang dianggap memenuhi kriteria KEK.Pemerintah akan mengembangkan Kawasan Ekonomi Khusus, dengan tujuan untuk memperbaiki iklim investasi.

Kawasan Ekonomi Khusus itu akan dikembangkan di beberapa daerah yang telah memiliki kesiapan atau kriteria sebagai Kawasan Ekonomi Terpadu. Konsep Kawasan Ekonomi Khusus adalah bagian dari program pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi, dimana akan dikembangkan beberapa daerah yang akan mempunyai iklim investasi yang baik dan juga pengembangan prasarana yang diakselerasi dengan tujuan memulai dengan daerah tertentu. Adapun tujuannya untuk meningkatkan investasi, ekspor, kesempatan kerja, dan juga meningkatkan penghasilan pajak. Lebih dari itu, KEKI juga harus mampu menjadi pemicu pembangunan nasional, khususnya di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Melalui proses pembentukan KEKI, mau tidak mau, komunikasi ekonomi antara pusat dan daerah akan makin intens dan terpelihara.

Dengan kata lain, Kawasan Ekonomi Khusus ini bisa menjadi pelayanan terpadu atau satu tempat mengurus ijin, memperoleh semua lisensi yang diperlukan, dan juga kalau ada masalah dan keluhan, bisa juga diselesaikan oleh suatu badan yang ditunjuk oleh pemerintah, berdasarkan perjanjian perjanjian pemerintah pusat dan pemerintah daerah, karena ini hal hal ini akan banyak dikelola oleh pemerintah daerah. Untuk kepentingan tersebut maka perangkat regulasi telah disiapkan.

Pemerintah tengah berupaya menyiapkan perangkat regulasi yang diharapkan dapat mendukung pembentukan KEK. Regulasi yang diusulkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu). Perpu ini nantinya akan mengatur secara umum mengenai pembentukan daerah atau kawasan ekonomi khusus yang dibentuk, sementara untuk penentuan daerahnya diatur melalui Peraturan Pemerintah.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas maka provinsi-provinsi di Pulau Sulawesi dipilih sebagai sampel yang representatif dari pembentukan KEK. Berikut akan dideskripsikan tentang perdagangan antar daerah provinsi-provinsi di Sulawesi dengan provinsi lainnya, dengan menggunakan data Inter-Regional Input-Output (IRIO) Provinsi di Indonesia tahun 2000.

Gambaran Umum Perekonomian di Sulawesi (Potret PDRB Sektoral dan Berdasarkan Penggunaan).Hoover (1974) menyatakan bahwa pertumbuhan suatu wilayah merupakan hasil dari interaksi yang kompleks

diantara berbagai aktivitas kegiatan ekonomi suatu wilayah, sehingga akan menjadi tidak mungkin untuk menentukan satu penyebab awal dari pertumbuhan wilayah. Perubahan pada perekonomian wilayah bisa bersifat berdiri sendiri (independent), bisa bersifat eksogenous atau bahkan merupakan sebuah kejadian sebab akibat. Salah satu indikator dari perkembangan perekonomian wilayah dapat tercermin dari berdasarkan nilai tambah yang dihasilkan oleh aktivitas perekonomian tersebut atau dari nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Bahkan lebih jauh lagi, perkembangan aktivitas ekonomi tersebut dapat ditelusuri hingga ke tingkat sektoral (lapangan usaha) yang digeluti oleh para pelaku dalam perekonomian suatu wilayah.

Jika dibandingkan 5 (lima) provinsi yang ada di Sulawesi, maka terlihat bahwa aktivitas ekonomi terbesar terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan. Sementara sebaliknya, aktivitas ekonomi yang terkecil adalah Provinsi Gorontalo, selama tahun 2001-2005. Namun nilai PDRB ini tidak secara mutlak menilai bahwa provinsi yang nilainya terbesar adalah yang terbaik dibandingkan yang bernilai lebih rendah.

Pendekatan lain yang biasa digunakan untuk menghitung Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah Pendekatan Pengeluaran (Expenditure Approach). Seperti diketahui dalam ilmu ekonomi makro, pelaku dalam perekonomian dapat dibagi menjadi empat jenis. Pertama, Rumah Tangga Konsumsi (Masyarakat); kedua, Rumah Tangga Pemerintah; ketiga, Rumah Tangga Perusahaan (Swasta); dan terakhir, Rumah Tangga Luar Negeri.

Dari pendekatan pengeluaran ini, dapat diketahui berapa besar pengeluaran barang- dan jasa yang dilakukan oleh pelaku dalam perekonomian untuk menopang aktivitas ekonominya.

Seperti halnya aktivitas ekonomi nasional, maka aktivitas ekonomi provinsi-provinsi di Sulawesi juga di-drive oleh pengeluaran konsumsi rumah tangga dan swasta. Sementara aktivitas pengeluaran pemerintah yang cukup dominan terlihat di Provinsi Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara, sebaliknya dengan Provinsi Gorontalo. Bahkan provinsi ini mencatat perubahan stok yang negatif, yang berarti barang-barang modal di provinsi ini makin berkurang antar tahun, selama tahun 2001-2005.

Sementara jika diperhatikan dari aktivitas perdagangan dengan negara lain, maka Provinsi Sulawesi Selatan tercatat sebagai provinsi yang memiliki aktivitas perdagangan paling tinggi dibandingkan provinsi lainnya di Sulawesi. Artinya aktivitas perdagangan di provinsi ini, cukup mendominasi dalam aktivitas ekonomi Provinsi Sulawesi Selatan.

Aktivitas Perdagangan Barang Intermediate di Sulawesi.Provinsi Sulawesi Utara memperoleh input antara yang dibutuhkan untuk aktivitas ekonominya paling besar

(selain dari Provinsi Sulawesi Utara sendiri) berasal dari provinsi Jawa Timur yaitu sebesar Rp. 180.067 juta. Selain itu, provinsi lain yang juga merupakan daerah asal input antara adalah Provinsi Kalimantan Timur sebesar Rp. 133.132 juta. Sementara sesama provinsi yang berada di Pulau Sulawesi, Provinsi Sulawesi Selatan merupakan penyumbang input antara terbesar yaitu sebesar Rp. 70.153 juta. Sementara provinsi lainnya yaitu Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan

11I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

Gorontalo, masing-masing menyumbang input antara sebesar Rp. 44.640 juta, Rp. 7.446 juta dan Rp. 5.595 juta. Dari gambaran tersebut terdapat indikasi bahwa perdagangan antar daerah yang berada dalam satu pulau, belum berarti akan menyumbang perdagangan lebih besar.

Untuk memperoleh input antara bagi aktivitas perekonomian Provinsi Gorontalo, beberapa provinsi yang transaksinya besar (selain dari Provinsi Gorontalo) antara lain adalah Provinsi Jawa Timur yaitu sebesar Rp. 72.615 juta, Provinsi Kalimantan Timur sebesar Rp. 63.392 juta. Sementara sesama provinsi yang berada di Pulau Sulawesi, Provinsi Sulawesi Selatan merupakan kontributor input antara terpenting dengan nilai sebesar Rp. 50.533 juta. Sementara provinsi lainnya yaitu Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah masing-masing berkontribusi sebesar Rp. 28.754 juta, Rp. 22.044 juta dan Sulawesi Tenggara hanya sebesar Rp. 31 juta saja.

Tidak seperti halnya Provinsi Sulawesi Utara dan Gorontalo, Provinsi Sulawesi Tengah memperoleh supply input antara terbesar dari Provinsi Kalimantan Timur yaitu Rp. 213.781 juta. Meskipun demikian kontribusi transaksi input antara dengan Provinsi Jawa Timur tetap besar yakni Rp. 147.125 juta, selain itu kontribusi dari Provinsi DKI Jakarta juga relatif besar (meskipun tidak sebesar transaksi dengan Provinsi Sulawesi Selatan) yaitu Rp. 77.738 juta. Seperti halnya dengan dua provinsi yang telah disebutkan sebelumnya, Provinsi Sulawesi Selatan merupakan penyumbang input antara terbesar yaitu sebesar Rp. 90.394 juta. Sementara provinsi lainnya yaitu Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara dan Gorontalo, masing-masing menyumbang input antara sebesar Rp. 32.607 juta, Rp. 15.447 juta dan Rp. 994 juta.

Provinsi yang memiliki aktivitas transaksi input antara dalam provinsi (intra-trade) terbesar adalah Provinsi Sulawesi Tenggara yakni sebesar 95,74 % dari total transaksi input antara di provinsi tersebut. Artinya 95,74 % input untuk aktivitas produksi di Provinsi Sulawesi Tenggara disediakan oleh wilayahnya sendiri. Sebaliknya provinsi di Sulawesi yang aktivitas transaksi input antara nya paling sedikit dihasilkan dari dalam wilayah adalah Provinsi Gorontalo, yakni 68,51 % dari total transaksi input antara.

Aktivitas Perdagangan Input Primer di SulawesiKomponen Surplus Usaha memegang peran yang dominan dalam aktivitas perekonomian provinsi-provinsi

di Sulawesi, kecuali Provinsi Sulawesi Tengah (komponen terbesarnya adalah untuk pembayaran Upah/Gaji). Hal ini mengindikasikan bahwa secara umum, aktivitas perekonomian di Sulawesi memberikan insentif yang cukup bagi pelaku usaha. Provinsi yang memiliki kontribusi komponen Surplus Usaha terbesar dari total transaksi input primernya adalah Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 62,35 %. Dan sebaliknya untuk terkecil kontribusinya adalah Provinsi Gorontalo yaitu 42,20 %.

Sementara untuk komponen pembayaran Upah/Gaji terbesar dalam komposisi transaksi pembayaran input primer adala Provinsi Sulawesi Tengah yakni 48,78 % dan yang terkecil adalah Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 26,77%.

5. Kesimpulan dan Implementasi Kebijakan

5.1 Kesimpulan.Pulau Jawa memegang peranan penting dalam aktivitas perdagangan antar daerah di kawasan ekonomi khusus

yang dijadikan sampel (Pulau Sulawesi). Provinsi Sulawesi Selatan memegang peran sentral dalam perkembangan aktivitas perekonomian di Pulau Sulawesi, maupun Kawasan Timur Indonesia. Hal ini terlihat dari besarnya transaksi barang dan jasa yang masuk dan keluar dari Sulawesi Selatan.

Keberadaan pusat-pusat pertumbuhan dengan produksi yang berusaha untuk mengedepankan beberapa sektor perlu diperkuat eksistensinya dalam konteks pembangunan daerah secara merata.

Faktor geografis antar daerah di masing-masing pulau memberikan pengaruh yang juga cukup kuat di provinsi-provinsi di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi yang mulai menyusul laju pertumbuhan provinsi-provinsi di Pulau Jawa dan Bali.

Selain itu, provinsi-provinsi di Pulau Sulawesi secara rata-rata memiliki kondisi eksisting perdagangan yang lebih baik dibandingkan provinsi lainnya di Indonesia. Hal ini dapat diimplikasikan bahwa tanpa adanya faktor perdagangan sama sekali dalam daerah mereka, tingkat pertumbuhan ekonomi provinsi-provinsi di Pulau Sulawesi secara rata-rata akan tetap tinggi relatif dibandingkan provinsi lainnya.

Kondisi regional saat ini sebenarnya telah terdapat beberapa pusat-pusat industri ataupun juga pembangunan kawasan andalan sebagai sumber aktivitas ekonomi serta juga sebagai daerah perdagangan. Besaran dan lancarnya arus perdagangan barang di pulau Sulawesi dan Indonesia Timur sebenarnya ditetntukan oleh kemampuan provinsi Sulawesi Selatan sebagai origin dan juga destination.

Rata-rata neraca perdagangan diperkirakan untuk provinsi-provinsi di Sulawesi dan KTI berada pada kondisi defisit, meski perlu dibuktikan lebih lanjut dengan estimasi yang lebih tepat. Tetapi melihat struktur barang ekspornya maka wilayah-wilayah ini dominan hanya pada barang-barang primer dan tanpa pengolahan (no value added).

Pola distribusi barang keluar sebagian besar sebenarnya masih bersifat konvensional sehingga ketergantungan pola perdagangan Jawa-Sulawesi masih tinggi.

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 812

Dalam iklim globalisasi perdagangan dunia dan kompetisi yang semakin ketat, perekonomian Indonesia dituntut semakin terbuka dan produknya mampu bersaing di pasar domestik maupun pasar luar negeri. Terwujudnya kondisi free internal trade menjadi semakin penting dalam kaitanya menjaga daya saing produk Indonesia di pasar luar negeri maupun pasar domestik sendiri sehingga mampu bersaing dengan produk luar yang semakin efisien. Hal ini berarti hambatan dan distorsi dalam internal trade (desa-kota, antar daerah dan antar pulau) harus dikurangi secara signifikan terutama distorsi yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah.

Namun perkembangan yang terjadi, justru memperlihatkan kecenderungan semakin tingginya hambatan perdagangan dalam internal trade. Atau dengan perkataan lain, prospek terwujudnya free internal trade semakin buruk, meningkatnya beban pungutan yang harus dibayar oleh pengusaha dan besarnya kemungkinan munculnya kebijakan industri/perdagangan di tingkat daerah (kabupaten/kota) yang akan menimbulkan hambatan bagi pergerakan arus barang, jasa dan tenaga kerja ke wilayah Indonesia.

5.2. Implementasi Kebijakan.Mengingat kondisi yang mengkhawatirkan bagi upaya mewujudkan free internal trade, maka perlu dipikirkan

kembali untuk melakukan review terhadap desain perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang diatur dalam UU No. 25/1999. Hal ini diperlukan mengingat perimbangan keuangan yang termuat dalam UU tersebut masih menyiratkan pengaturan pusat terhadap keuangan daerah yang membatasi kemampuan keuangan daerah sebagaimana tercermin dalam prosedur administrasi atas bagi hasil pajak langsung dan sumberdaya alam. Upaya mewujudkan free internal trade dari aspek yang paling mendasar selain melalui review terhadap desain perimbangan keuangan pusat daerah juga melalui keberadaan pasal dan aturan yang melarang daerah mengadakan atau mengembangkan hambatan terhadap pergerakan barang, jasa, tenaga kerja dan modal antar daerah dalam Undang-undang Dasar. Pengaturan ini akan lebih bermanfaat bagi sistem pengembangan perekonomian yang berorientasi pasar dibandingkan prinsip-prinsip sentralisme yang secara implisit masih tersisa dalam UU tentang otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Alisjahbana, Armida S., Desentralisasi Fiskal dan Pembangunan Ekonomi Daerah., Makalah Seminar. Kongres XIV ISEI, April 2000 Makasar

Bendavid-Val, Avrom, Regional and Local Economic Analysis for Practitioners, Praeger, 1991Canning, Patrick, and Wang, Zhi, A Flexible Modeling Framework to Estimate Interregional Trade Pattern and Input-Output

Accounts, World Bank Policy Research Working Paper 3359, July 2004Harrigan, F, McGilvray, JW, McNicoll, IH, The Estimation of Interregional Trade Flows, Journal of Regional Science, vol 21,

no. 1, 1981Idsijoso Brahmantio; Ubaidillah; Tambunan Mangara, Prospek Perdagangan Dalam Negeri Dalam Era Desentralisasi

dan Dampaknya Atas Pembangunan Ekonomi Daerah, Makalah pada Konferensi Perdagangan Dalam Negeri, Desentralisasi dan Globalisasi, April 2001, Jakarta

Kirkpatrick, Colin, at al, Development Policy and Plannig, Routledge, 1994Miller, Ronald E, at al, Input-Output Analysis, Foundation and Extensions, Prentice Hall, 1985Moses, Leon N., The Stability of Interregional Trading Patterns and Input-Output Analysis, The American Economic Review,

Vol. 45, No. 5. (Dec., 1955), pp. 803-826.Salvatore, D., Ekonomi Internasional, Edisi ketiga (Edisi Bahasa Indonesia), Cet. 1. Penerbit Erlangga, 1994Suahasil Nazara, Analisis Input-Output, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 1997Todaro, Michael P, Economics Development, 6th Edition, Longman 1997

Catatan Kaki1 DIV = (1/ΣHerfindahl) , International Trade Centre UNTAD/WTO, The Trade Performance Index: Technical Note,

2007

13I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

Pengembangan

Model Analisis Pasar Uang dan Pasar Modal

DIREKTORAT ANALISIS JASA KEUANGAN DAN MONETERe-mail : [email protected]

Abstraksi

Pada tahun 1980an, Bappenas (Kedeputian Ekonomi, dahulu bernama Kedeputian Fiskal dan Moneter) mempunyai model makro-ekonometrik yang cukup besar dan kompleks, yang disebut dengan Bappenas Core Model. Penyusunan model ini dibantu oleh konsultan Jepang (JICA). Selanjutnya pada akhir tahun 1980an, model ekonometrik moneter dan neraca pembayaran dikembangkan, dibantu oleh konsultan Amerika Serikat (DSP Project). Di sisi lain, model forecasting RMSM/X dikembangkan pada awal tahun 1990an. Setelah krisis ekonomi dan keuangan terjadi pada tahun 1997/98, Bappenas menggunakan Financial Programming yang dikembangkan oleh IMF, untuk keperluan forecasting, dan menyusun kebijakan ekonomi struktural.

Mengingat cukup besar dan kompleksnya model ekonometrik dan forecasting yang pernah dimiliki Kedeputian Ekonomi, serta masih belum mantapnya keterkaitan antar sub-model moneter dengan sub-sub model forecasting lainnya, Direktorat Jasa Keuangan dan Analisis Moneter berinisiatif untuk mengembangan model ekonometrik makro-moneter yang terkait dengan tingkat kemiskinan dan pengangguran, sebagai perluasan dari model pasar uang dan pasar modal. Pengembangan model ini diupayakan melalui kegiatan swakelola yang menitikberatkan pada peningkatan kapasitas staf perencana (capacity building) dalam menyusun model dari awal, dan kerjasama pengembangan model untuk meningkatan kualitas model.

Model ekonometrik utama ini terdiri dari sub-model atau blok sektor riil, fiskal, moneter, keuangan, neraca pembayaran dan kesejahteraan (kemiskinan dan pengangguran). Model ini akan digunakan untuk analisis kebijakan struktural dan proyeksi. Kekurangan dalam proyeksi akan disempurnakan dalam model forecasting. Sebagian besar persamaan struktural (20 persamaan pokok) telah dapat diestimasi dengan cukup baik (robust), namun masih terdapat beberapa kelemahan yang perlu diperbaiki, misalnya persamaan investasi dan pengangguran. Validasi model dengan menggunakan Theil Inequality Coefficient (TIC) memperlihatkan hampir 70 persen dari persamaan mempunyai kemampuan proyeksi/peramalan yang cukup baik.

Dengan asumsi Indeks Harga Dunia dan GDP dunia tumbuh dengan proporsional cukup moderat, suku bunga Libor relatif konstan, harga minyak mentah dunia relatif melonjak pada tahun 2008, kemudian menurun menjadi USD 85 per barel pada awal tahun 2010, dan konstan sampai dengan tahun 2012. Tingkat diskonto SBI 1 bulan menurun secara bertahap hingga mencapai 6,5 persen pada 2012. Jumlah penduduk Indonesia diasumsikan meningkat cukup moderat sekitar 1,4 persen per tahun. Jumlah produksi BBM diasumsikan konstan dan indeks harga saham di beberapa pasar modal utama dunia meningkat cukup moderat. Asumsi-asumsi tersebut memberikan hasil proyeksi pertumbuhan ekonomi agak menurun menjadi 5,3 persen pada tahun 2008, sebelum meningkat menjadi 6,7 persen, 7,2 persen, 7,6 persen dan 7,7 persen pada tahun-tahun berikutnya, dengan laju inflasi yang masih cukup tinggi, meskipun masih di bawah double digit.

Proyeksi tingkat kemiskinan menunjukkan hasil yang cukup positif. Tingkat kemiskinan turun menjadi 15,8 persen pada akhir tahun 2008, dan kemudian menurun secara bertahap menjadi 11,8 persen pada akhir 2012. Sedangkan, proyeksi pengangguran menunjukkan hasil yang belum menggembirakan. Jumlah penganggur meningkat dari 12,49 juta (11,5 persen) orang pada akhir 2008 menjadi 13,65 juta orang (12,3 persen) pada akhir 2012.

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 814

1. Latar Belakang Proses perencanaan dalam kerangka pendanaan tidak terlepas dari perilaku tiap agen ekonomi di sektor keuangan

dalam memaksimalkan utilitas. Interaksi antar pelaku agen ekonomi pada suatu pasar akan mempengaruhi kinerja perekonomian secara menyeluruh. Indikator dari kinerja perekonomian secara umum dapat dievaluasi melalui statistik makroekonomi yang menunjukkan keterkaitan antar sektor ekonomi. Statistik makroekonomi ini terdiri dari statistik pendapatan nasional, statistik moneter, neraca pembayaran, dan statistik keuangan negara. Gambaran umum hubungan antar sektor ekonomi melalui statistik makroekonomi yang akan menjadi landasan modelling framework di dalam kajian ini diilustrasikan pada Gambar 1.1 berikut ini:

Gambar 1.1Keterkaitan Antar Sektor dalam Perekonomian

Balance of PaymentCurrent Account Export of Goods and NF Services Im port of Goods and NF Services T ransfer (Net) - Official - PrivateCapital Account Official P rivate - Direct I nvestment - Medium/Long Term C apital (Net) - Short T erm C apitalOverall BalanceChange in NFA

National A ccountC : P rivate ConsumptionI : P rivate InvestmentG: General Government I nvestmentX: Export of Goods and NF ServiceM: Im ports o f Goods and NF Service

Revenue T ax, etc GrantExpenditure Current CapitalOverall BalanceFinancing Domestic Financing

- Banking System (MA and DMBs) - Non BankingExternal Financing

Monetary Authority (MA)Net F oreign AssetNet D omestic Asset- Net C laim on Central Government- Liquidity Support Government Bonds- Net Open Market Operation- Liquidity Credit t o DMBs- Net Other Items

Reserve Money

Deposit Money Banks (DMBs)NFABanks’ ReserveNet C laim on GovernmentSecuritiesCredit t o Private SectorNet Other Items

Liabilities to MAPrivate Sector Deposits

EXTERNAL SECTOR CENTRAL GOVERNMENT SECTOR

REAL SECTOR

MONETARY SECTOR

Sumber: IMF

Salah satu model yang dikonstruksi untuk analisis yang terintegrasi antara sektor moneter, pendapatan nasional, dan neraca pembayaran melalui pendekatan teoritis monetary approach to balance of payment (MABP) adalah model financial programming yang pertama kali dikembangkan oleh Jacques J. Polak (1957). Model ini menitikberatkan pada peranan neraca pembayaran dan penciptaan kredit di sistem perbankan. Hasil estimasi model ini akan menghasilkan identifikasi perilaku agen ekonomi dan forecasting indikator-indikator ekonomi yang penting, yang selanjutnya dapat digunakan sebagai informasi dalam pengambilan kebijakan di sektor keuangan dalam rangka perencanaan pendanaan guna mendorong pertumbuhan ekonomi. Beberapa indikator ekonomi utama dari model financial programming adalah : nilai tukar, pertumbuhan ekonomi jangka menengah (medium-term growth), dan tingkat inflasi.

Secara teoritis, kerangka pendanaan suatu negara dipengaruhi kondisi sektor keuangan. Atau dengan kata lain, sektor keuangan memiliki peran dalam penyaluran dana antara pihak yang kelebihan dana dan yang membutuhkan dana. Secara umum, terdapat dua cara dalam mendapatkan pendanaan, yang pertama secara tidak langsung melalui perbankan atau lembaga pembiayaan (fungsi intermediasi). Sedangkan cara kedua adalah pendanaan secara langsung melalui pasar modal. Ilustrasi secara teoritis dalam melakukan identifikasi aliran dana antar agen ekonomi pada sistem keuangan dapat dilihat dalam Gambar 1.2 berikut ini:

15I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

Gambar 1.2Skema Aliran Dana dalam Sistem Keuangan

FinancialMarkets

Lenders (Savers) 1 . H ouseholds 2 . Business F irms 3 . Government

FinancialIntermediaries

Borrowers (Spenders) 1 . Business F irms 2 . Government

3. Households

INC OMES - Salaries/wages - Rents - Interests

EXPENDITURES - Consumptions

- Investments

- Exports - Imports

ECONOMIC ACTIVITIES

Indirect Finance

Direct Finance

Sumber: Mishkin (2004)

Perkembangan globalisasi akhir-akhir ini menunjukkan suatu arah perubahan pada struktur ekonomi yang berimplikasi kepada semakin terbukanya hubungan sektor keuangan antar negara. Akibatnya, arus modal dan keuangan semakin cepat berpindah. Kondisi ini berimplikasi ganda. Yang pertama, bagi agen ekonomi yang memiliki tujuan produktif akan mempercepat upaya untuk mendapatkan pendanaan di berbagai bidang usaha, Sehingga pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, terdapat implikasi lain dimana terdapat agen ekonomi yang berperilaku spekulatif dalam mengeruk keuntungan dengan memanfaatkan ekspektasi dari perkembangan indikator ekonomi antar negara yang justru mengakibatkan kerentanan sektor keuangan.

Implikasi yang kedua dari hubungan sektor keuangan antar negara yang semakin terbuka ini seringkali disebut dengan financial imperfections dan sangat membutuhkan perhatian khusus. Salah satu titik lemah dari sektor keuangan dengan semakin terbukanya sistem keuangan pada perekonomian antar negara adalah melalui pasar uang dan pasar modal.

Gambar 1.3Skema Peredaran Uang

- Monetary Base

- Suku Bunga Jangka Pendek

- Likuiditas Pasar Uang

- Monetary Aggregates- Deposito

dan Kredit

- Suku Bunga- Yield Obligasi

- Nilai Tukar- Harga Saham

Kebijakan Moneter- Open Market Operation- Discount rate- Reserve Requirement- Others

Kebijakan Perbankan- Pengaturan dan Pengawasan- Lenders of Last R esorts

Kebijakan Sistem Pembayaran- Uang Kartal- Alat Pembayaran Lain- Sistem Kliring

Institusi- Perbankan- Pasar Modal- Lembaga Pembiayaan- Lembaga Keuangan Lain

Pasar- Pasar Uang

(Rupiah dan Valuta Asing)- Pasar Modal

Produk- Giro, T abungan, D eposito- NCD dan Commercial Papers- PN dan Medium Term Notes- Saham dan Obligasi

Harga- CPI- GDP Deflator- Asset Prices

Output- Pertumbuhan Ekonomi- Konsumsi, I nvestasi- Pengangguran- Kemiskinan

Neraca Pembayaran- Ekspor - Impor- Arus M odal- Cadangan Devisa

Bank Sentral Sistem Keuangan Publik dan Ekonomi

Peredaran uang menunjukkan peranan yang penting dalam interaksi antar sektor. Hal ini tidak terlepas dari salah satu istilah dalam perekonomian dimana “money as a lubricant”. Interaksi pada antar sektor suatu negara dalam kaitannya dengan pasar uang, pasar modal, dan sumber-sumber pendanaan dalam skema peredaran uang diilustrasikan pada Gambar 1.3. Proses perputaran uang dalam interaksi antarsektor ekonomi ini dikenal juga dengan mekanisme transmisi kebijakan moneter. Tahap proses perputaran uang dalam ekonomi adalah:1) Practical Money Market, menggambarkan interaksi antara bank sentral dengan perbankan dan pasar keuangan,2) Macro Money Market, menggambarkan interaksi antara perbankan dan pasar keuangan dengan berbagai aktivitas

ekonomi.

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 816

Tahapan pada proses perputaran uang akan mendorong pertumbuhan ekonomi dengan syarat adanya suatu kondisi yang stabil di sistem keuangan. Beberapa studi empiris dan catatan dari institusi keuangan internasional telah merekomendasikan suatu sistem kestabilan pada sektor keuangan yang bertujuan untuk menjaga kesehatan institusi sistem keuangan. Salah satu rekomendasi untuk regulasi sistem keuangan yang dikenal saat ini adalah Basel II Accord. Sehingga dalam perumusan kebijakan pendanaan secara nasional, perlu mempertimbangkan integrasi pada sektor keuangan dalam evaluasi neraca pembayaran.

2. Tujuan Tujuan dari pelaksanaan studi ini antara lain:

1) Menghasilkan rincian data statistik atau database yang manageable sesuai dengan kebutuhan modelling framework financial programming maupun modelling framework pasar uang-pasar modal.

2) Menghasilkan framework model ekonometrik dan financial programming untuk mendapatkan gambaran perekonomian dengan pendekatan growth-oriented sebagai dasar proyeksi untuk untuk menyusun usulan kebijakan ekonomi makro-moneter yang akan mendukung Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM).

3. Metodologi3.1. Kerangka Logika Model

Kondisi perekonomian Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian internasional. Hal tersebut jelas sangat terlihat ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi, yang dimulai pada akhir tahun 1997. Krisis ekonomi tersebut lebih tepatnya disebut krisis moneter dan finansial di Indonesia. Krisis tersebut berawal dari terjadinya shock dalam pasar keuangan atau finansial regional Asia Tenggara dan Timur, kemudian menjalar ke Indonesia dan berdampak menjadi suatu krisis ekonomi yang sangat parah dan berkepanjangan di Indonesia. Krisis tersebut telah mengubah banyak tatanan kehidupan di Indonesia yang meliputi ekonomi, sosial, politik, hukum dan hampir semua sendi kehidupan.

Berdasarkan fakta histroris tersebut, maka faktor luar negeri yang diakomodir ke dalam model sebagai faktor eksogen yang diwakili oleh variabel pendapatan dunia, perkembangan harga-harga dunia, tingkat suku bunga dunia, nilai tukar rupiah dengan USD, dan harga minyak mentah dunia.

Diperkirakan kenaikan pendapatan dunia berdampak positif terhadap pendapatan dalam negeri, demikian sebaliknya. Kenaikan harga-harga dunia, berdampak positif terhadap perekonomian nasional. Tingkat bunga dunia meningkat, mendorong terjadinya capital flight, dan berdampak negatif terhadap perekonomian domestik. Menguatnya nilai tukar rupiah terhadap USD akan berdampak menurunnya ekspor dan meningkatkan impor (menurunkan neraca berjalan (current account)), dan akhirnya berdampak buruk terhadap perekonomian domestik. Kenaikan harga minyak dunia implikasinya bersifat ambigu; di satu sisi fenomena ini berdampak positif terhadap nilai ekspor, penerimaan devisa, penerimaan negara, dan berlanja pemerintah dan swasta. Di sisi yang lain karena Indonesia sebenarnya sejak 2003 sudah menjadi net-importer minyak bumi, maka kejadian ini akan membebani anggaran pemerintah untuk menutupi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Disamping itu juga harga dunia komoditas tambang non migas menjadi variabel eksogen yang berpengaruh positif terhadap perekonomian domestik.

Selain dipengaruhi oleh perekonomian dunia, bertindak sebagai variabel eksogen dalam model ini adalah kebijakan sukubunga yang dalam hal ini diwakili oleh sukubunga SBI; sukubunga deposit; sukubunga pinjaman; biaya produksi barang dan jasa yang dalam hal ini diwakili oleh Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB); kebijakan anggaran APBN pemerintah (berimbang atau defisit); tarif pajak; produksi minyak mentah; dan tingkat harga domestik. Terakhir yang bertindak sebagai variabel eksogen adalah jumlah penduduk.

Bertindak sebagai variabel endogen yang ingin dikaji dalam model ini adalah Produk Domestik Bruto (PDB) beserta komponen-komponennya dari sisi pengeluaran, yaitu konsumsi rumah tangga; konsumsi pemerintah; investasi; Ekspor; dan Impor. Sejalan dengan itu juga ingin diketahui disposible income. Hal penting yang bertindak sebagai variabel endogen dalam model ini adalah Balance of Payment (BOP) beserta komponen-komponennya seperti Current Account (CA), dan Capital Account (KA). Capital Account ini dirinci lagi menurut komponennya yaitu Foreign Direct Invesment (FDI) bersih, Portfolio Investment bersih, Pinjaman Pemerintah Bersih dari Luar Negeri, dan Obligasi dari Luar Negeri bersih. Terkait dengan arus modal Portfolio, model ini juga mencoba mengkaji indeks harga saham sektoral sebagai dampak dari perubahan Portfolio bersih dari luar negeri.

17I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

Gambar 3.1Bagan Kerangka Model untuk Skenario 1

(CPI Sebagai Variabel Endogen)

Variabel endogen yang juga menjadi inti dalam model ini adalah permintaan dan penawaran uang. Penawaran (supply) uang dirinci menurut komponennya yaitu Mo, M1 dan M2. Disamping itu variabel indikator kemiskinan juga akan dijelaskan dalam model ini.

Secara umum, terdapat dua skenario utama, yaitu skenario Inflasi IHK (CPI) sebagai variabel endogen (Skenario 1), dan skenario CPI sebagai variabel eksogen (Skenario 2). Hal tersebut dikarenakan terdapat adanya perkiraan bahwa CPI merupakan variabel yang ditentukan atau dipengaruhi oleh berbagai variabel yang lain dalam perekonomian (untuk Skenario 1) dan CPI juga dapat dijadikan sebagai tools of policy dalam perekonomian, yaitu melalui inflation targeting (untuk Skenario 2). Variabel eksogen, endogen dan hubungannya diantara keduanya secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 3.1 diatas untuk Skenario 1.

3.2 Struktur Model Pada bagian berikut akan menampilkan beberapa persamaan yang akan dilibatkan di dalam model. Pemodelan

ini akan mengadopsi dari Mikkelsen (1998) dan derivasi dari teori pendekatan moneter terhadap Neraca Pembayaran, Monetary Approach to Balance of Payment (MABP).

3.2.1. Blok Sektor Riil (PDB)Aktivitas perekonomian pada sektor riil akan dianalisis dari sisi permintaan. Secara umum, dapat didefinisikan

dalam persamaan identitas sebagai berikut:

GDPt = PCt + GCt + INVt +EXPt – IMPt

Persamaan GDP ini tersusun atas penjumlahan pengeluaran rumah tangga dan swasta nirlaba (PC), pengeluaran pemerintah (GC), investasi swasta dan pemerintah (INV), ekspor barang dan jasa ke luar negeri (EXP), dan impor barang dan jasa (IMP). Selanjutnya,

PCt = f(YDt, PCt-1)YDt = f(GDPt, Taxt)GCt = f(GDPt, [Taxt+ PNBPt+NetGovLoant], POPt, GCt-1)INVt = f(GDPt, SBIt)EXPt =f (GDPw

t, NERt, PRCdt, PRDw

t)IMPt = f(GDPt, NERt, PRCd

t, PRCwt)

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 818

3.2.2. Blok Fiskal Blok sektor fiskal merupakan persamaan identitas, dengan variabel endogen public revenue atau penerimaan

pemerintah. Penerimaan Pemerintah Pusat terdiri dari dua sumber yaitu Pajak (Tax) dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Penerimaan Pajak Nasional sebagai fungsi dari:

Taxt = f (GDPt, TarifPajakt)

Sedangkan PNBP dan Penerimaan pemerintah pusat (GREV) dijelaskan oleh

PNBPt = f(OILLIFTt, OILPt, NOILLIFTt, NOILPt)GREVt= Taxt + PNBPt

3.2.3. Blok Moneter Persamaan Permintaan Uang Riil: M1, M2, dan Inflasi (CPI)

(M1t/Pt) = f(GDPt , DRt,)(M2t/Pt) = f(GDPt , DRt,)CPIt= f(M1t, NERt, POILt)

3.2.4. Blok KeuanganTingkat suku bunga yang dikendalikan bank sentral (SBI) diasumsikan eksogen. Tingkat suku bunga deposit

domestik (DRt), pinjaman (LR), dan non-performing loan (NPL):

DRt = f (SBI1 , LIBORt, DRt-1 )LRt = f(DRt , NPLt )NPLt = f(GDPt , Pt , DRt , NER)

Persamaan Pasar Saham:

IHSGt = f(NERt, SBI t, DJONES t, NIK225 t, SET t, SGX t)

3.2.5. Blok Kemiskinan dan Ketenagakerjaan Persamaan untuk kemiskinan adalah:

POVERTY t = f(GDP/POPt , INV t , CPI t , POIL t )

Sementara itu, persamaan untuk ketenagakerjaan, terdiri dari persamaan jumlah angkatan kerja yang bekerja (LABOR), jumlah angkatan kerja (LFORCE), dan jumlah pengangguran (UNEMPL), yaitu:

LABOR t = f(GDP/POPt , LFORCE t ) LFORCE t = f(POP t, LFORCE t-1) UNEMPL t = LFORCE t - LABOR t

3.2.6. Blok Neraca Pembayaran Persamaan Capital Account (KA): Dispesifikasikan dengan variabel selisih tingkat suku bunga (interest rate differential),

current account, dan pendapatan nasional.

KAt = f([SBIt–LIBORt], CAt , GDPt)

Persamaan Neraca Berjalan (CAt):

CAt = PX*EXP*NER) + P_IMP*IMP*NER - NER*(EXFSP+GRANT_FOR)

Persamaan Identitas: Balance of Payment

BOPt = KAt + CAt

19I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

3.2.7 Estimasi ModelModel yang dalam studi ini akan ditaksir dengan menggunakan TSLS. Penyelesaian sebuah persamaan simultan

diawali dengan mengidentifikasikan variabel dalam persamaan. Identifikasi terhadap model berarti menentukan apakan nilai estimasi parameter persamaan struktural dapat diperoleh dari persamaan reduced form. Masalah identifikasi muncul karena kumpulan koefisien struktural yang berbeda mungkin cocok dengan sekumpulan data yang sama. Identifikasi terhadap order dan rank condition merupakan aturan yang menjadi acuan apakah suatu sistem persamaan dapat diselesaikan, sehingga nilai koefisien dapat diperoleh.

3.3 Data

Tabel 3.1Keterangan Variabel untuk Gambar 3.1 dan Sumber Data

No. Variabel Deskripsi Sumber Data

1 PC Konsumsi RT BPS dan BI

2 GC Pengeluaran Pemerintah BPS dan BI

3 INVInvestasi – Pembentukan Modal

Tetap Domestik BrutoBPS dan BI

4 EXP Ekspor LN BPS dan BI

5 IM Impor LN BPS dan BI

6 GDP PDB Nasional BPS dan BI

7 GDPW PDB Dunia (diwakili oleh GDP negara besar) IFS

8 TAX Penerimaan Pajak Depkeu

9 PNBP Penerimaan Negara Bukan Pajak Depkeu

10 GovRev Penerimaan Negara Total Depkeu

11 POIL Harga Minyak Dunia, Oil Price CEIC

12 LIFTOIL Produksi Minyak, Oil Lifting CEIC

14 NOILP Harga Komoditas Bukan Minyak, Non Oil Price CEIC

15 YD Pendapatan Setelah Pajak, Disposable Income BPS, BI, dan Depkeu

16 SBI1 Suku bunga SBI bulanan BI

17 LIBOR Suku bunga dunia BI

18 NER Nilai Tukar Nominal Rupiah dengan USD BI

19 PRCW Harga-Harga Dunia, World Price IFS

20 FDI PMA, Foreign Direct Investment bersih BI

21 POVERTY Tingkat Kemiskinan BPS

22 LABOR Angkatan Kerja yang Bekerja BPS

23 LF Labor Force (Angkatan Kerja) BPS

24 UNEMPL Tingkat Pengangguran BPS

25 POP Penduduk BPS

26 CA Transaksi BerjalanCurrrent Account BI

27 KA Neraca Modal, Capital Account BI

28 BOP Neraca Pembayaran, Balance of Payment BI

29 CPI Indeks Harga Konsumen (Consumers Price Index) BPS dan BI

30 M1 Uang Beredar, M1 Demand Deposit + Currency BI

31 M2 Uang Beredar M2, Broad Money BI

32 LR Suku Bunga Pinjaman, Loan Rate BI

33 DR Suku Bunga Deposito, Deposite Rate BI

34 NPL Kredit Bermasalah, Non Performing Loan BI

35 IHSG Indeks Harga Saham Gabungan BEI dan BI

36 DJONES Indeks Harga Saham Dow Jones (US) BEI dan BI

37 NIK225 Indeks Harga Saham Nikei 225 (Jepang) BEI dan BI

38 SET Indeks Harga Saham Thailand BEI dan BI

39 SGX Indeks Harga Saham Singapura BEI dan BI

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 820

4. Hasil Kajian dan AnalisisSeperti yang telah dijelaskan sebelumnya dalam Bagian 3, bahwa kajian ini dilakukan dengan menggunakan model

sistem persamaan simultan (simultaneous equation system) yang terdiri dari 5 blok, yaitu blok sektor riil, blok fiskal, blok moneter, blok harga, dan blok eksternal. Dari berbagai persamaan dasar yang terdapat dalam 5 blok tersebut, kemudian dicoba diaplikasikan dengan menggunakan data di Indonesia yang berupa data time series, berupa data triwulanan dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2007 (triwulan ke-2). Dengan menggunakan metode uji coba (trial), setiap persamaan dicoba diolah untuk menemukan persamaan yang terbaik, sehingga pada akhirnya ditemukan model sistem persamaan simultan yang terbaik (best model) secara keseluruhan.

4.1. Hasil Skenario 1: Inflasi IHK (CPI) Merupakan Variabel Endogen

4.1.1. Konsumsi Masyarakat, Private Consumption (PC)

LOG(PC)= 0.888121 + 0.161074* LOG(GDP) - 0.014122* LOG(NER) - 0.022745*Q1 + 0.772252*LOG(PC(-1))

(1.31) (3.32)*** (-1.66) (-2.46)** (9.60)***

Adj –R2 : 0.87 DW Stat : 2.32

Keterangan:- Dalam kurung (...) adalah t-statistik- (...) *** : signifikan dalam tingkat signifikansi 1 persen- (...) ** : signifikan dalam tingkat signifikansi 5 persen- (...) * : signifikan dalam tingkat signifikansi 10 persen

Private consumption (PC) signifikan dipengaruhi secara positif oleh GDP. Setiap kenaikan 1 persen GDP berdampak meningkatkan PC sebesar 0,16 persen. Selain itu, PC juga dipengauhi secara positif oleh pola PC satu tahun sebelumnya (Lag-1 PC), dimana setiap kenaikan Lag-1 PC sebesar 1 persen, maka PC akan naik sebesar 0,77 persen. Pengeluaran setiap kuartal 1 (Q1) secara umum lebih rendah 2,27 persen secara signifikan dibandingkan dengan kuartal lainnya.

4.1.2. Konsumsi Pemerintah, Government Consumption (GC)

LOG(GC) = 7.683532+ 1.453618*LOG(GDP/POP) + 0.122597*LOG(GOVREV) - 0.012117*DCRISIS (5.69)*** (3.10)*** (1.56) (-0.09)

+ 0.050699*LOG(GC(-1)) (0.31)

Adj –R2 : 0.61 DW Stat : 2.32

Government consumption (GC) signifikan secara positif dipengaruhi hanya oleh GDP per kapita. Setiap pningkatan GDP per kapita sebesar 1 persen, pengeluaran pemerintah meningkat sebesar 1,45 persen.

4.1.3. Investasi, Investment (INV)

LOG(INV) = -8.584854 + 1.885147* LOG(PC+GC+EX-IM) - 0.694304*LOG(CPI) – 0.025055*LR (-1.20) (3.05)*** (-4.16)*** (-3.80)***

Adj –R2 : 0.42 DW Stat : 1.57

Investment (INV) signifikan dipengaruhi secara positif oleh GDP minus investasi. Peningkatan GDP minus investasi sebesar 1 persen meningkatkan investasi sebesar 1,89 persen. Selain itu, investasi juga signifikan dipengaruhi secara negatif oleh tingkat inflasi (CPI), dan lending rate (LR). Setiap 1 persen kenaikan CPI akan menurunkan investasi sebesar 0,69 persen. Sementara itu, setiap peningkatan 1 persen lending rate, investasi akan turun sebesar 0,03 persen.

21I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

4.1.4. Ekspor, Export (EX)

LOG(EX) = -13.72693 + 0.299996*LOG(NER*PRCW/CPI) – 0.353982* LOG(NER(-1)*PRCW(-1)/CPI(-1)) (-5.80)*** (1.78)* (-2.12)** + 2.831348* LOG(GDPW) (11.39)*** Adj –R2 : 0.73 DW Stat : 0.84

Export (EX) signfikan secara positif dipengaruhi oleh perkembangan nilai tukar riil, dan GDP dunia. Peningkatan perkembangan nilai tukar riil sebesar 1 persen akan meningkatkan ekspor sebesar 0,30 persen. Peningkatan GDP dunia sebesar 1 persen akan meningkatkan ekspor nasional sebesar 2,83 persen. Nilai tukar riil sebelumnya signifikan berpengaruh negatif terhadap ekspor, dimana peningkatan nilai tukar riil sebelumnya sebesar 1 persen akan menurunkan ekspor sebesar 0,35 persen.

4.1.5. Impor, Import (IM)LOG(IM) = -14.90820 + 0.416978*LOG((NER*PRCW)/CPI) – 0.226333*LOG((NER(-1)*PRCW(-1))/CPI(-1)) (-5.16)** (2.84)** (-1.57) + 1.937079*LOG(GDP) (10.07)***

Adj –R2 : 0.70 DW Stat : 0.78

Import (IM) signfikan secara positif dipengaruhi oleh nilai tukar riil dan GDP riil dalam negeri. Peningkatan nilai tukar riil sebesar 1 persen akan meningkatkan impor sebesar 0,42 persen. Peningkatan GDP riil domestik sebesar 1 persen akan meningkatkan ekspor nasional sebesar 1,94 persen.

4.1.6. Pajak (Tax)

LOG(TAX)= -12.97561 + 1.585898*LOG(GDP*CPI) - 0.091020*Q3 + 0.014910*DCRISIS - 0.383976*LOG(TAX(-2)) (-5.63)*** (6.34)*** (-1.23) (0.19) (-1.87)*

Adj –R2 : 0.95 DW Stat : 2.50

Tax pemerintah pusat (TAX) dipengaruhi positif signifikan oleh GDP nominal dengan R2 –adjusted 0,95. Setiap kenaikan 1 persen GDP nominal berdampak meningkatkan TAX 1,59 persen. Pajak pada dua periode sebelumnya (dua kuartal sebelumnya) signifikan berpengaruh negatif terhadap besarnya pajak, dimana peningkatan pajak pada dua kuartal sebelumnya sebesar 1 persen akan menurkan pajak sebesar 0,38 persen pada periode analisis (berjalan).

4.1.7. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)LOG(PNBP)= -5.819597 + 0.302021*LOG(LIFTOIL1*POIL2*NER) + 0.141213*Q4 + 0.178280*LOG(GDP) (-1.18) (2.41)** (1.47) (0.42)

+ 0.623756*LOG(PNBP(-1)) (5.43)***

Adj –R2 : 0.84 DW Stat : 2.37

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) signifikan dipengaruhi secara positif oleh nilai penjualan minyak bumi [dalam rupiah] (dimana setiap kenaikan nilai penjualan sebesar 1 persen berdampak meningkatkan PNBP sebesar 0,30 persen), dan juga signifikan dipengaruhi secara positif oleh nilai PNBP periode sebelumnya, dimana kenaikan 1 persen PNBP pada periode sebelumnya akan meningkatkan PNBP pada periode analisis (berjalan) sebesar 0,62 persen.

4.1.8. Suku Bunga Deposito, Deposite Rate (DR)

DR = -0.211357+ 0.365088*SBI1 + 0.160674*LIBOR1 + 0.599114*DR(-1) (-0.22) (8.59)*** (0.75) (11.37)***

Adj –R2 : 0.94 DW Stat : 2.10

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 822

Deposite Rate (DR) dipengaruhi positif signifikan oleh rate SBI satu bulan [SBI1] (dimana setiap kenaikan rate SBI1 sebesar 1 persen, maka DR meningkat 0,37 persen) dan juga signifikan dipengaruhi secara positif oleh DR periode sebelumnya (yaitu dimana kenaikan 1 persen DR pada periode sebelumnya berdampak pada kenaikan DR sebesar 0.60 persen pada periode berjalan).

4.1.9. Inflasi IHK (Consumer Price Index, CPI)

LOG(CPI) = -1.442297 + 0.190146*LOG(M1) + 0.085269*LOG(NER(-1)) + 0.001351*LOG(POIL2) + (-7.30)*** (6.51)*** (4.49)*** (0..08) 0.910255*LOG(CPI(-1)) - 0.249156*LOG(CPI(-2)) (7.51)*** (-2.45)**

Adj –R2 : 0.997 DW Stat : 2.29

Inflasi (CPI) signifikan dipengaruhi secara positif oleh riil money demand (M1), nilai tukar riil periode sebelumnya, dan CPI satu periode sebelumnya. Namun, CPI juga dipengaruhi signifikan secara negatif oleh nilai CPI dua periode sebelumnya. Peningkatan M1 sebesar 1 persen akan meningkatkan CPI sebesar 0,19 persen. Peningkatan nilai tukar riil periode sebelumnya sebesar 1 persen meningkatkan CPI sebesar 0,09 persen. Sementara itu, peningkatan CPI satu periode sebelumnya sebesar 1 persen akan meningkatkan CPI sebesar 0.91 persen. Sedangkan peningkatan CPI sebesar 1 persen pada dua periode sebelumnya akan menurunkan CPI sebesar 0,25 persen.

4.1.10. Permintaan Uang M1 (Real Money Demand M1)

LOG(M1/CPI)= -1.490182 + 0.287779*LOG(GDP) - 0.002451*SBI1 + 0.703549*LOG((M1(-1)/CPI(-1))) (-0.96) (1.70)* (-2.49)** (6.34)*** Adj –R2 : 0.86 DW Stat : 2.48

Real Money Demand (M1) dipengaruhi signifikan secara negatif oleh SBI1 (dimana setiap kenaikan 1 persen SBI1, mengakibatkan penurunan M1 sebesar 0,002 persen). M1 signifikan dipengaruhi secara positif oleh GDP dan real money demand periode sebelumnya. Peningkatan GDP sebesar 1 persen akan meningkatkan sebesar 0,29 persen real money demand, dan peningkatan real money demand periode sebelumnya sebesar 1 persen, berdampak meningkatkan real money demand pada periode berjalan sebesar 0,70 persen.

4.1.11. Permintaan Uang M2 (Real Money Demand M2)

M2 = 47093.06 + 1.385711*M1 + 8.285336*SBI1^2 - 33.99518*IHSG + 0.681496*M2(-1) (4.12)*** (5.46)*** (1.96)** (-2.21)** (11.65)***

Adj –R2 : 0.996 DW Stat : 1.85

Real Money Demand (M2) dipengaruhi positif signifikan oleh real money demand (M1) (dimana setiap kenaikan Rp. 1,- dari M1 berdampak pada kenaikan menaikan M2 sebesar Rp.1,39,-); signifikan dipengaruhi secara positif oleh pengkat dua dari SBI satu bulanan (SBI1^2) (dimana peningkatan SBI1^2 sebesar 1 akan meningkatkan M2 sebesar Rp. 8,29,-), signifikan dipengaruhi secara negatif oleh IHSG (dimana setiap kenaikan nilai IHSG sebesar 1, nenurunkan M2 sebesar Rp. 34 milyar); dan signifikan dipengaruhi secara positif oleh M2 riil periode sebelumnya (dimana setiap kenaikan Rp. 1,- dari M2 riil periode sebelumnya, berdampak meningkatkan M2 riil pada periode berjalan sebesar Rp. 0,68,-).

4.1.12. Neraca Kapital (KA), Capital Account

Neraca Kapital (KA) adalah arus bersih modal ke dalam dan ke luar negeri, yang dinyatakan dalam satuan USD, dengan model sebagai berikut:

KA = 4572.924 + 28.52501*(SBI1/LIBOR1) - 0.013101*GDP + 1.483896*FDI - 2166.117* D98 + 0.067621*KA(-1) (1.32) (0.27) (-1.52) (3.65)*** (-2.44)** (0.48) Adj –R2 : 0.44 DW Stat : 1.59

23I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

Neraca Kapital (KA) signifikan dipengaruhi secara positif oleh Foreign Direct Investment (FDI) bersih (dimana setiap peningkatan FDI bersih sebesar Rp. 1,- akan meningkatan KA sebesar Rp. 1,48,-). Nilai KA pada tahun 1998 secara rata-rata lebih rendah sebesar 2,166.12 juta USD dari pada tahun-tahun yang lainnya.

4.1.13. Penanaman Modal Asing, Foreign Direct Investment (FDI) Bersih

FDI = 718.9646 + 25.65735*(SBI1/LIBOR1) - 0.087679*CA – 34.18142 * LR + 0.738857*FDI(-1) (1.98)** (0.74) (-1.18) (-1.96)* (7.2)***

Adj –R2 : 0.70 DW Stat : 2.35

Foreign direct investment (FDI) bersih signifikan dipengaruhi secara negatif oleh lending rate (LR) (dimana peningkatan LR sebesar 1 persen akan menurunkan FDI sebesar USD 34.18 juta), dan signifikan dipengaruhi secara positif oleh FDI periode sebelumnya (peningkatan FDI periode sebelumnya sebesar USD 1 akan meningkatkan FDI pada periode berjalan sebesar USD 0,74).

4.1.14. Kemiskinan (POV)

LOG(POV)= 3.542390 - 1.410948*LOG(GDP/POP) + 0.263333*D98 – 0.134989* LOG(INV(-2))+ (6.58)*** (-6.92)*** (7.55)*** (-2.73)**

+ 0.267273*LOG(CPI(-2)) + 0.068329* LOG(POIL2(-2)) (7.48)*** (1.65)*

Adj –R2 : 0.94 DW Stat : 1.29

Tingkat Kemiskinan atau Headcount Index (POV) signifikan dipengaruhi secara negatif oleh GDP per kapita (dimana 1 persen peningkatan GDP per kapita akan menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 1,41 persen), signifikan dipengaruhi secara negatif oleh investasi pada dua periode sebelumnya (dimana peningkatan investasi pada dua periode sebelumnya sebesar 1 persen akan menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 0,13 persen), dan signifikan dipengaruhi secara positif oleh tingkat inflasi (CPI) dua periode sebelumnya (dimana apabila terjadi peningkatan inflasi dua periode sebelumnya sebesar 1 persen, maka tingkat kemiskinan meningkat sebesar 0,27 persen). Tingkat kemiskinan pada tahun 1998 secara rata-rata signifikan meningkat sebesar 0,26 persen dibandingkan dengan tahun-tahun lainnya (sebelum dan sesudah tahun 1998). Tingkat kemiskinan juga signifikan secara positif dipengaruhi oleh harga minyak bumi dua periode sebelumnya, dimana peningkatan harga meinyak bumi sebesar 1 persen akan meningkatkan tingkat kemiskinan sebesar 0,07 persen.

4.1.15. Penduduk yang Bekerja (LABOR)

LOG(LABOR)= 4.397197- 0.005840 * LOG(GDP/POP) + 0.610641*LOG(LFORCE) (21.28)*** (-0.35) (33.62)*** Adj –R2 : 0.96 DW Stat : 0.19

Penduduk yang bekerja (LABOR) signifikan secara positif dipengaruhi oleh jumlah angkatan kerja (LABOR), dimana peningkatan 1 persen angkatan kerja akan meningkatkan penduduk yang bekerja sebesar 0,61 persen.

4.1.16. Tingkat Kredit Bermasalah, Non-Performing Loan (NPL)

NPL = -92.37628 + 5.423590*LOG(NER(-1)*PRCW(-1)/CPI(-1)) + 3.859565*LOG(CPI(-1)) + 2.150529*LR(-1) (-3.00)*** (1.31) (1.43) (9.51)***

Adj –R2 : 0.79 DW Stat : 0.44

Non Performing Loan (NPL) signifikan dipengaruhi secara positif hanya oleh lending rate (LR) periode sebelumnya, dimana peningkatan nilai LR pada periode sebelumnya sebesar 1 persen akan meningkatkan nilai NPL sebesar 2,15 persen.

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 824

4.1.17. Suku Bunga Pinjaman, Lending Rate (LR)

LR = 20.90938 - 0.415349*LOG(NPL(-1)) + 0.348200* DR – 1.240105*LOG(INV) + 0.417079*LR(-1) (2.21)** (-1.14) (9.81)*** (-1.61) (5.23)*** Adj –R2 : 0.97 DW Stat : 1.41

Lending Rate (LR) signifikan dipengaruhi secara positif oleh deposit rate (DR) (dimana setiap peningkatan 1 persen DR akan meningkatkan LR sebesar 0,35 persen) dan LR periode sebelumnya (dimana setiap kenaikan 1 persen LR periode sebelumnya akan meningkatkan 0,42 persen LR).

4.1.18. Angkatan Kerja, Labor Force (LFORCE)

LFORCE= -34466.78 + 0.442879*POP - 1.54E-12*POP^3 + 0.493475*LFORCE(-2) (-2.29)** (3.18)*** (-2.68)*** (3.97)***

Adj –R2 : 0.995 DW Stat : 0.46

Angkatan kerja (LFORCE) signifikan secara positif dipengaruhi oleh jumlah penduduk (dimana peningkatan jumlah penduduk sebesar 100 orang akan meningkatkan jumlah angkatan kerja sebesar 44 orang), dipengaruhi secara negatif oleh jumlah penduduk pangkat tiga (walaupun sangat kecil sekali pengaruhnya), dan jumlah angkatan kerja dua periode sebelumnya (dimana peningkatan angkatan kerja pada dua periode sebelumnya sebanyak 100 orang akan meningkatkan angkatan kerja sebesar 49 orang).

4.1.19. Neraca Transaksi Berjalan, Current Account (CA)

CA = 4031.937 + 0.057563*EX - 0.044529*IM - 0.015339*GDP (-2.02)** (6.40)*** (-3.87)*** (-1.86)*

Adj –R2 : 0.49 DW Stat : 1.31

Neraca berjalan (current account) (CA) signifikan secara positif dipengaruhi oleh ekspor (dimana peningkatan nilai ekspor Rp. 100,- orang akan meningkatkan nilai CA sebesar Rp. 5,8,-), signifikan dipengaruhi secara negatif oleh impor (dimana peningkatan Rp.100,- nilai impor akan menurunkan nilai CA sebesar Rp. 4,5,-) dan GDP (dimana peningkatan sebesar Rp. 100,- GDP, akan menurunkan nilai CA sebesar Rp. 1,5,-).

4.1.20. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)

LOG(IHSG) = -3.620607- 0.072460 *LOG(NER)+ 0.000674*SBI1 + (-1.90)* (-0.71) (0.33) 0.860093*LOG(DJONES) - 0.194569 *LOG(NIK225) + (3.45)*** (-1.57)*

0.460264*LOG(SET)+ 0.000159*SGX +0.397269*LOG(IHSG(-1)) ((6.77)*** (1.74)* (5.18)***

Adj –R2 : 0.96 DW Stat : 1.78

Nilai IHSG signifikan secara positif dipengaruhi oleh indeks Dow Jones (dimana peningkatan DJONES sebesar 1 persen akan meningkatkan IHSG sebesar 0,86 persen), indeks bursa saham Thailand (SET) (dimana peningkatan nilai SET sebesar 1 persen akan meningkatkan nilai IHSG sebesar 0,46 persen), indeks bursa saham Singapura (SGX) (dimana peningkatan SGX sebesar 1 persen akan meningkatkan IHSG sebesar 0,0002 persen), dan IHSG periode sebelumnya (dimana peningkatan IHSG periode sebelumnya sebesar 1 persen akan meningkatkan IHSG periode berjalan sebesar 0,40 persen). Namun, IHSG juga signifikan dipengaruhi secara negatif oleh indeks bursa saham Jepang (NIKKEI 225), dimana peningkatan nilai indeks NIKKEI sebesar 1 persen akan menurunkan nilai IHSG sebesar 0,19 persen (hampir sama seperti dalam Skenario 2).

25I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

4.2. Proyeksi Tahun 2007-2012

4.2.1. Asumsi dan Hasil ProyeksiUntuk melakukan proyeksi dalam persamaan simultan, diperlukan berbagai asumsi terkait dengan variabel eksogen

atau yang dijadikan sebagai instrumen. Untuk menentukan asumsi terkait dengan variabel eksogen, terdapat berbagai cara dimana masing-masing cara memiliki latar belakang dan alasan tersendiri. Dalam laporan ini, sebagai gambaran awal akan disajikan asumsi-asumsi yang digunakan dan hasil proyeksi berdasarkan asumsi yang digunakan.

Simulasi utama dilakukan dengan menggunakan 2 skenario, skenario pertama dengan mengasumsikan bahwa inflasi IHK diperlukan sebagai variabel endogen (mempunyai persamaan tersendiri) dan skenario 2 inflasi IHK dianggap sebagai variabel eksogen (Policy Variable). Dalam ringkasan ini difokuskan pada skenario 1 yang tampaknya lebih realistik. Dengan asumsi Indeks Harga Dunia dan GDP dunia tumbuh dengan proportional cukup moderat, suku bunga Libor relatif konstan 4,5 persen, harga minyak mentah dunia relatif melonjak pada tahun 2008 menjadi sekitar USD 93 kemudian menurun menjadi USD 85 per barel pada awal tahun 2010, dan konstan sampai dengan tahun 2012. Tingkat diskonto SBI 1 bulan menurun secara bertahap hingga mencapai 6,5 persen pada 2012. Jumlah penduduk Indonesia diasumsikan meningkat cukup moderat sekitar 1,4 persen per tahun atau bertambah sekitar 4 juta orang per tahun. Jumlah produksi BBM diasumsikan konstan dan indeks harga saham di beberapa pasar modal utama dunia meningkat secara proporsional moderat. Dengan asumsi-asumsi tersebut, model ini memproyeksikan pertumbuhan ekonomi agak menurun menjadi 5,3 persen pada tahun 2008, sebelum meningkat menjadi 6,7 persen, 7,2 persen, 7,6 persen dan 7,7 persen pada tahun-tahun berikutnya. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi, laju inflasi yang dihasilkan juga masih cukup tinggi, meskipun masih di bawah double digit yaitu 8,0 persen pada tahun 2008, 8,4 persen, 8,7 persen, 9,5 persen dan 9,9 persen pada tahun-tahun berikutnya.

Proyeksi tingkat kemiskinan menunjukkan hasil yang cukup positif. Tingkat kemiskinan turun menjadi 15,8 persen pada akhir tahun 2008, dan kemudian menurun secara bertahap menjadi 11,8 persen pada akhir 2012. Hal ini berimplikasi bahwa program-program pembangunan yang mengarah pada pertumbuhan ekonomi dan anti kemiskinan (pro poor), telah dan akan berjalan sesuai dengan relnya. Meskipun demikian, perjalanannya perlu terus dikawal agar tidak menjadi melenceng atau keluar dari garis atau arah yang telah ditentukan. Sedangkan, proyeksi pengangguran menunjukkan hasil yang belum menggembirakan. Jumlah penganggur meningkat dari 12,49 juta (11,5 persen) orang pada akhir 2008 menjadi 13,65 juta orang (12,3 persen) pada akhir 2012. Peningkatan jumlah penganggur ini diperkirakan disumbangkan oleh pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja yang masih relatif cukup cepat dibandingkan peningkatan jumlah pekerja.

Tabel 4.4Besarnya Nilai Hasil Proyeksi Pertumbuhan Variabel Endogen Tahunan

Skenario 1 (CPI Merupakan Variabel Endogen) Tahun 2007-2012

INDIKATOR SATUAN 2007 2008 2009 2010 2011 2012

I. SEKTOR RIIL

1 Produk Domestik Bruto (%) 6.75 5.32 6.68 7.20 7.61 7.76

2 Konsumsi Rumah Tangga (%) 4.67 2.45 3.81 4.56 5.31 5.01

3 Pengeluaran Pemerintah (%) -0.44 13.08 9.98 10.91 11.37 13.65

4 P. Modal Tetap Domestik Bruto (%) 12.66 -1.02 3.56 4.35 4.44 4.35

5 Ekspor (%) 9.36 15.14 15.01 15.18 15.18 15.24

6 Impor (%) 9.03 10.74 12.43 13.70 14.34 14.58

7 Dispossable Income (%) -3.59 16.65 6.68 7.20 7.61 7.75

II. TENAGA KERJA DAN KEMISKINAN

8 Angkatan Kerja (000 org) 108,130 108,746 109,494 110,154 110,740 110,949

9 Angkatan Kerja yang Bekerja (000 org) 97,583 96,260 96,632 96,954 97,234 97,301

10 Jumlah Pengangguran (000 org) 10,547 12,485 12,862 13,201 13,506 13,648

11 Tingkat Pengangguran (%) 9.75 11.48 11.75 11.98 12.20 12.30

12 Kemiskinan - Head Count Index (%) 16.58 15.78 14.78 13.80 12.92 11.79

III. FISKAL

13 Pajak Total (%) 16.94 10.55 18.26 20.40 16.79 23.57

14 Penerimaan Pemerintah Total (%) 11.19 10.32 14.35 15.09 13.33 18.16

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 826

IV. MONETER

15 Uang Beredar -M1 (%) 8.24 14.69 15.22 16.55 17.93 18.77

16 Uang Beredar -M2 (%) 9.40 11.59 13.51 14.78 16.47 17.64

17 Indeks Harga Konsumen (%) 6.77 7.99 8.42 8.70 9.51 9.97

V. KEUANGAN

18 Deposite Rate (%) 8.57 8.73 8.59 8.18 7.73 7.27

19 Lending Rate (%) 14.72 14.75 14.61 14.32 14.02 13.72

20 Non Performing Loan (%) 6.14 6.93 6.79 6.33 5.80 5.26

21 Indek Harga Saham Gabungan Indeks 2,541 2,879 3,310 3,814 4,407 5,107

VI. NERACA PEMBAYARAN

22 Neraca Kapital (Jt USD) 2,676 -6,608 -10,470 -14,284 -18,282 -22,749

23 Neraca Berjalan (Jt USD) 10,375 10,181 12,893 15,733 18,833 22,549

24 Foreign Direct Investment (Jt USD) 2,498 1,665 468 -511 -1,423 -2,477

25 Balance of Payment (Jt USD) 13,052 3,573 2,423 1,449 552 -199

4.2.2. Uji Kemampuan Peramalan ModelUji kemampuan peramalan model dapat dilakukan terhadap kualitas model untuk melakukan peramalan.

Kemampuan peramalan suatu model dapat dilihat dari seberapa jauh terjadi perbedaan antara nilai variabel endogen yang sebenarnya menurut observasi dengan nilai variebel endogen menurut perhitungan simulasi, baik periode yang lalu, ex post simulation maupun ke depan, ex ante simulation.

Terdapat beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kemampuan peramalan model, seperti Root Mean Square Error (RMSE), Mean Absolute Error (MAE), Mean Absolute Percentage Error (MAPE), dan Theil Inequality Coefficient (TIC). Sebagai indikator yang dirasa dapat mewakili pengukuran terhadap uji peramalan model, maka dalam studi ini digunakan dua indikator utama, yaitu RMSE dan TIC. Dari kedua indikator tersebut, yang secara jelas dapat dilihat nilainya, dan dapat mencerminkan kemampuan model secara langsung adalah indikator TIC. Sedangkan nilai RMSE, besarnya sangat tergantung dengan skala, sehingga tidak bisa dibandingkan antara satu model dengan model lainnya.

Dari nilai TIC yang dihitung, terlihat bahwa model yang cukup bagus dalam arti memiliki kemampuan peramalan yang cukup baik adalah model ke-9 sampai dengan model ke-25, dimana nilai TIC-nya di bawah 10 persen. Sedangkan model yang lainnya (yaitu dari 1 sampai 8, berurutan berdasarkan besarnya nilai TIC), relatif kurang baik untuk peramalan dibandingkan dengan model yang lain, yaitu model ke-9 sampai dengan model ke-25.

5. Kesimpulan dan Rekomendasi

5.1. KesimpulanStudi ini bertujuan untuk menyusun kerangka model ekonometrik dan financial programming untuk digunakan

dalam melakukan proyeksi variabel-variabel ekonomi khususnya dalam jangka pendek dan menengah. Output dari hasil proyeksi dengan menggunakan financial programming merupakan dasar proyeksi untuk untuk menyusun kebijakan ekonomi jangka menengah yang akan mendukung penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN). Dengan tersusunnya model financial programming maka, secara tidak langsung, diperoleh rincian data statistik atau database yang manageable sesuai dengan kebutuhan framework financial programming maupun modelling framework pasar uang-pasar modal.

Beberapa hal yang menarik dalam kajian model pasar uang dan pasar modal dan perlu dieksplorasi lebih lanjut adalah sebagai berikut.1. Dalam persamaan uang beredar (M2), indeks harga saham gabungan mepunyai tanda yang negatif dan signifikan.

Hal ini menunjukkan adanya trade off atau kompetisi antara pasar modal dan pasar uang dalam hal ini adalah simpanan baik berbentuk tabungan, giro maupun deposito berjangka. Apabila IHSG meningkat yang mencerminkan signal positif di pasar modal, terjadi kecenderungan investor untuk mengalihkan dananya dari perbankan ke pasar modal. Hasil yang cukup robust ini ditemukan baik pada kegiatan swakelola maupun yang dikontrakkan. Namun demikian, hubungan ini belum dapat menjelaskan hubungan signal positif di pasar modal dengan pemasukan dana luar negeri yang juga tercermin dalam uang beredar (M2).

2. Tingkat kredit macet atau bermasalah (Non Performing Loan/NPL) dipengaruhi signifikan dan positif oleh nilai tukar riil, inflasi dan suku bunga pinjaman. Apabila nilai tukar riil (nilai tukar nominal dan harga relatif luar dan dalam

27I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

negeri) meningkat (melemah), inflasi meningkat dan suku bunga pinjaman meningkat, maka tingkat kredit macet atau bermasalah akan meningkat pula.

3. Tingkat kemiskinan dipengaruhi terutama oleh pendapatan per kapita dan investasi secara negatif, dan inflasi dan harga minyak bumi secara positif. Apabila pendapatan per kapita dan investasi meningkat, tingkat kemiskinan akan menurun. Apabila inflasi dan harga minyak bumi meningkat, maka tingkat kemiskinan akan meningkat pula.

4. Estimasi jumlah penganggur (terbuka) dalam model ini tidak dilakukan secara langsung, tetapi melalui 2 persamaan struktural, yaitu persamaan penduduk yang bekerja (LABOR) dan persamaan angkatan kerja (LFORCE). Sedangkan jumlah penganggur adalah selisih antara jumlah angkatan kerja dan jumlah penduduk yang bekerja. Pendekatan ini dapat meminimalkan kesulitan/ hasil yang kurang baik dalam estimasi langsung persamaan pengangguran, seperti yang dilakukan dalam kegiatan kajian swakelola.

5. Hasil simulasi/proyeksi dari model ini secara keseluruhan terlihat cukup realistis meskipun cukup banyak kekurangan yang masih memerlukan penyempurnaan, baik jenis variabel, struktur persamaan maupun asumsi yang digunakan. Salah satu kelemahan model ini adalah penurunan pertumbuhan ekonomi yang cukup besar pada tahun 2008. Kekurangan ini ditenggarai adalah masih belum mantapnya persamaan investasi (INV), yang terlihat dari rendahnya nilai statistik R2 dan Durbin-Watson nya (uji autokorelasi). Untuk keperluan penyusunan RKP dan RPJMN, hasil proyeksi model ekonometrik yang masih belum konsisten dan memenuhi harapan dapat diadjust atau disempurnakan dalam kerangka Financial Programming.

5.2. Saran KebijakanBeberapa saran kebijakan yang terkait dengan hasil estimasi model analisis ekonometrik makro-moneter maupun

perkembangan ekonomi makro dan moneter terakhir adalah sebagai berikut.1. Untuk lebih mengefektifkan kebijakan moneter, perlu diterbitkan SBI berjangka waktu yang lebih panjang seperti

SBI berjangka 6 Bulan, 9 bulan dan 12 bulan. Hasil persamaan model menunjukkan bahwa BI rate masih cukup kredibel, namun kekurang percayaan masyarakat terhadap perbankan masih terlihat dari besarnya deposito berjangka waktu 1 bulan dibanding jangka waktu yang lebih panjangf. Namun, kebijaksanaan perlu dilakukan secara berhati-hati agar dapat berkompetisi dan melengkapi kebijakan surat berharga pemerintah (SPN).

2. Untuk mendorong penyediaan dana masyarakat yang relatif lebih panjang, tingkat diskonto SBI berjangka waktu tersebut perlu dibuat lebih menarik sehingga akan mendorong deposito berjangka 3, 6, 9 dan 12 bulan. Disini diperlukan peran serta perbankan dan masyarakat agar kepercayaan terhadap perbankan dan rupiah lebih meningkat, sekaligus penyediaan dana masyarakat yang berjangka lebih panjang.

3. Kebijakan untuk menurunkan aktiva tertimbang menurut resiko (ATMR) untuk meningkatkan kredit UMKMf2 perlu diwaspadai karena hal ini dapat meningkatkan moral hazard, risiko kredit dan Non Performing Loan (NPL). Dalam persamaan NPL, NPL dipengaruhi oleh suku bunga pinjaman yang masih relatif tinggi, tingkat inflasi dan depresiasi atau apresiasi nilai tukar.

4. Untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi yang dapat meningkatkan penciptaan kesempatan kerja dan menurunkan tingkat kemiskinan, kebijakan- kebijakan pemerataan dan anti kemiskinan perlu terus diintensifkan seperti pengembangan lembaga keuangan mikro, antara lain dengan memberikan payung hukum bagi pengembangan BMT dan pengembangan koperasi simpan pinjam yang menggunakan prinsip bagi hasil. Selain itu, laju inflasi yang terutama ditentukan oleh perkembangan jumlah uang beredar, nilai tukar, harga minyak dunia dan ekspektasi inflasi masyarakat, harus tetap dijaga untuk menjaga daya beli masyarakat.

5. Dari sisi kependudukan dan ketenagakerjaan, pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja yang masih relatif cepat perlu lebih dikendalikan dengan program-program kependudukan dan keluarga berencana yang baik dan lebih efektif, misalnya program-program yang pernah menunjukkan hasil yang menggembirakan pada periode-periode pembangunan jangka menengah sebelumnya.

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 828

Daftar Pusataka

Agenor, Pierre-Richard, (2000), The Economic of Adjustment and Growth, Academic Press.

Appleyeard and Cobb, (1998), International Economics, Mac Graw Hill Press.

Azariadis, C, (1998), Intertemporal Macroeconomics, Blackwell Publisher UK.

Badan Pusat Statistik (BPS), (2007), Indikator Ekonomi, berbagai bulan publikasi.

Bank Indonesia (BI), (2007), Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia Vo. IX.

Basu, Ritu, Nada Choueiri, dan Antonio G. Pascual, (2006), Financial Projections and Stress Testing in Financial Programming: A New Framework, IMF WP/06/33.

Bhagwati, Panagairya and Srinivasan (1998), Lecture on International Trade, The MIT Press.

Birdsall N, Williamson J, (2002), Delivering on Debt Relief from IMF Gold to a New Aid Architecture.

Burton and Lembra, (2000), The Financial System and The Economy, Southwestern College Publisher.

Charyanto Syaifoel, (2003), An Econometric Model for Indonesia 1965 – 1990, Lembaga Penerbit FEUI.

Cooley, Thomas, F, (1995), Frontier of Business Cycles, Princeton University Press.

Forster (2005), Stock Prices and Real Economic Activity, Deutsche Bank.

Gandolfo, (1994), International Economics I: Theory and Policy, Springer Verlag.

Goldstein, M, Kaminsky, G dan Reinhart C, (2000), Assesing Financial Vulnerability, Institute for International Economics.

Goodhart, Charles, (1997), The Evolution of Central Banks, The MIT Press.

Grauwe De Paul, (2003), Economics of Monetary Union, Oxford University Press.

Judge, G (1988), Introduction to Econometrics, John Willey and Sons Publisher.

Kadarisman, (2007), Memperkuat Ekonomi Nasional Berbasis UKM, Lembaga Humaniora.

Kamin and Schwartz, (1998), Dynamic Optimization, Elsevier North Holand.

Krugman, Paul, (2002), Development, Geography and Economic Theory, The MIT Press.

Kuncoro, Mudrajat (2007), Ekonomika Industri Indonesia, Penerbit Andi

Leamer, (2001), International Economics, Worth Publisher.

Ljunqvist and Sargent, T, (2000), Recursive Macroeconomic Theory, The MIT Press.

Lyons, K, Richard, (2001), The Microstructure Approach to Exchange Rates, The MIT Press.

Maddala G S, (1999), Introduction of Econometrics, John Willey publisher USA.

Meier G and Sitglitz J, (2001), Frontier of Development Economics, The World Bank.

Mills, Terence, (1998) Time Series Techniques for Economists, Cambridge University

Mikkelsen, Jan G., (1998), A Model for Financial Programming, IMF WP/98/80.

Polak, Jacques J., (1998), The IMF Monetary Model at 40, Economic Modelling 15, pp.395-410.

Pindyck dan Rubinfeld, (1998), Econometric Models and Economic Forecasts, McGraw-Hill.

Reed, Shedd, Morehead & Corley, (2002), The Legal and Regulatory Environment of Business, Mc Graw Hill Irwin.

Schenehorn, Hunt & Osborn (2003), Organizational Behavior, John Willey & Sons

Stair and Reynolds, (2001), Principles of Information Systems, Thomson Learning Pub.

Stiglitz E, Joseph, (2003), Globalization and Its Discontents, W W Norton Company.

Stockey and Lucas, (1989), Recursive Methods in Economic Dynamics, Harvard Press.

Turnovsky, (2002), Method of Macroeconomic Dynamics, The MIT Press.

Walsh, Carl, (2000), Monetary Theory and Policy, The MIT Press.

Gordon, Robert, (2000), Macroeconomics, Addison Wesley.

(Footnotes)f Statistik Ekonomi dan Keuangan (SEKI), Bank Indonesia, beberapa edisi terakhir.f2 Pernyataan pejabat Bank Indonesia, akhir tahun 2007 di beberapa media massa.

29I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

Model Integrasi Vertikal Usaha Mikro/kecil Melalui

Koperasi di Sektor Agribisnis/Agroindustri

DIREKTORAT PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UKMe-mail: [email protected]

ABSTRAKSI

Tujuan kajian adalah untuk menyusun suatu model aplikatif yang secara mudah dapat diimplementasikan dan direplikasikan bagi peningkatan nilai tambah usaha mikro/kecil melalui koperasi di sektor agribisnis/agroindustri dengan melakukan integrasi usahanya secara vertikal. Dengan cara tersebut, produktivitas usaha mikro/kecil diharapkan akan meningkat dan pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat pada kelompok berpendapatan rendah, yang selama ini sulit untuk berkembang bila dilakukan secara sendiri-sendiri.

Model integrasi vertikal yang disusun dalam kajian ini adalah untuk komoditi kakao, susu, dan rumput laut. Pemilihan kepada tiga komoditi ini didasarkan pada pertimbangan bahwa rantai nilai komoditi tersebut mempunyai peluang besar untuk dikembangkan, dan ketersediaan teknologi dengan skala investasi usaha untuk suatu koperasi yang beranggotakan sekolompok usaha mikro/petani di ketiga komoditi tersebut. Ketiga model tersebut memiliki karakteristik yang hampir sama di dalam proses integrasi vertikal. Proses integrasi vertikal adalah menyatukan keseluruhan proses produksi mulai dari pengumpulan bahan baku, pengolahan menjadi produk bernilai tambah, dan pemasaran dalam suatu wadah koperasi dengan usaha mikro/kecil sebagai anggotanya. Sementara itu, peran koperasi adalah membangun kerjasama dengan lembaga-lembaga terkait seperti lembaga penyedia teknologi, lembaga keuangan, lembaga layanan usaha, dan pemerintah.

Model integrasi vertikal yang didisain ini adalah yang model yang dapat diaplikasikan di lapangan secara komersial. Tahapan awal yang dapat dilakukan adalah dimulai dari penerapan proses pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah petani yang memiliki skala investasi yang feasible untuk kapasitas kelompok tani dan koperasi. Penerapan model seperti ini, tentu membutuhkan upaya yang besar, terutama dalam mengubah perilaku usaha mikro/kecil dari sekedar produsen bahan mentah menjadi wirausaha agribisnis dan industriawan. Selain itu, diperlukan upaya untuk menggerakkan pihak-pihak terkait agar mendukung penerapan model integrasi vertikal usaha mikro/kecil dan koperasi.

1. Latar Belakang

Usaha mikro/kecil memiliki peran strategis bagi perekonomian Indonesia khususnya melalui penyediaan lapangan kerja dan mengurangi kesenjangan dan tingkat kemiskinan. Usaha mikro/kecil merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia. Pada tahun 2006, dari jumlah 48,9 juta unit usaha yang ada, sebanyak 48,8 juta unit (99,8 persen) adalah kelompok usaha mikro/kecil yang mampu menyerap tenaga kerja sebesar 80,9 juta orang. Dari segi kontribusinya dalam produk domestik bruto (PDB) peranan usaha mikro/kecil dalam penciptaan nilai tambah tanpa migas cukup besar yaitu sekitar 37,7 persen dari total penciptaan nilai tambah. Usaha menengah dan usaha besar masing-masing menyumbang sebesar 15,5 persen dan 36,0 persen terhadap total penciptaan nilai tambah nasional.

Usaha mikro/kecil umumnya terkonsentrasi pada sektor yang memanfaatkan sumberdaya alam dan padat tenaga kerja, terutama sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan; sektor perdagangan dan restoran; sektor industri pengolahan; dan sektor pengangkutan dan komunikasi. Jumlah unit usaha mikro/kecil di sektor pertanian pada tahun 2006 adalah sebesar 26,2 juta unit atau sekitar 53,7 persen dari total jumlah unit usaha skala mikro/kecil.

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 830

Jumlah penyerapan tenaga kerja pada sub sektor petanian skala mikro/kecil adalah sebesar 46,9 persen dari total tenaga kerja pada sektor usaha skala kecil/mikro. Besarnya populasi usaha mikro/kecil dan penyerapan tenaga kerja di sub sektor pertanian bagi dapat dipahami, karena sebagian besar masyarakat Indonesia masih berdiam di perdesaan dan sektor pertanian masih memiliki keunggulan komparatif yang berdasar pada bahan baku lokal yang melimpah dan beragam.

Meskipun jumlah usaha mikro/kecil pada sektor pertanian adalah yang terbesar, namun produktivitasnya tercatat sebagai yang paling rendah. Pada tahun 2006, produktivitas per tenaga kerja usaha mikro/kecil pada sektor pertanian sebesar Rp 9,8 juta, sedangkan produktivitasnya di sektor perdagangan dan restoran, sektor industri pengolahan, sektor pengangkutan dan sektor komunikasi skala mikro/kecil masing-masing sebesar Rp 17,6 juta, Rp 15,5 juta, dan Rp 20,5 juta. Produk pertanian yang dihasilkan oleh usaha mikro/kecil masih merupakan produk primer yang bernilai tambah rendah. Oleh karena itu, sangat diperlukan langkah-langkah untuk meningkatkan produktivitasnya menjadi produk yang bernilai tambah tinggi.

Skala usaha dengan produktifitas rendah menyebabkan usaha mikro/kecil tidak mampu mengakumulasi modal, sedangkan untuk memperbesar nilai tambah sangat sulit, karena keterbatasan modal dan penguasaan teknologi. Selain itu, peningkatan nilai tambah seringkali juga terbentur pada kelayakan usaha dengan skala keekonomian yang lebih besar. Skala yang besar berarti menuntut kebutuhan investasi/modal yang lebih besar disertai kebutuhan tata pengelolaan usaha yang tidak sederhana lagi. Salah satu wadah organisasi formal yang dapat menggalang dan menghimpun energi untuk kekuatan di bidang ekonomi dan sosial belum dimanfaatkan secara optimal, yaitu koperasi. Koperasi dapat menjembatani celah akibat adanya “rantai proses produksi yang hilang” pada usaha mikro dan kecil dengan mengintegrasikan keterkaitan usaha secara vertikal dalam hubungan hulu dan hilir.

Peran utama koperasi bagi usaha mikro/kecil sebagai anggotanya adalah sebagai wadah fasilitasi dalam melangsungkan proses integrasi vertikal. Skema seperti ini dapat memberikan nilai tambah yang lebih besar bagi para petani/pengusaha mikro dan kecil yang menjadi anggotanya. Berbeda dengan pola inti plasma, maka integrasi vertikal usaha para anggotanya dilakukan melalui kepemilikan dan pengelolaan sarana produksi oleh para anggota setempat dalam wadah koperasi. Secara lebih luas, koperasi dapat berperan sebagai penghimpun potensi ekonomi dari usaha mikro/kecil menjadi kekuatan nyata ekonomi.

Oleh karena itu, pengembangan pelaku usaha di bidang agribisnis/ agroindustri yang dilakukan secara integrasi vertikal, yaitu melalui internalisasi kegiatan usaha atau proses produksi mulai dari tingkat hulu sampai dengan tingkat hilir melalui wadah koperasi, akan dapat mentransformasikan keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif. Skema tersebut tidak saja dapat memperkuat daya saing produk, namun juga dapat meningkatkan nilai tambah produk yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan pelaku usaha mikro/kecil. Sementara itu, pengembangan agribisnis/agroindustri memiliki keterkaitan yang besar baik ke hulu maupun ke hilir (forward and backward linkages), sehingga mampu menjadi pengungkit bagi kemajuan sektor-sektor lainnya serta memiliki kemampuan untuk mentransformasikan struktur ekonomi nasional dari pertanian ke industri.

Arah pengembangan seperti di atas, masih menghadapi berbagai kendala, antara lain: (1) ketersediaan teknologi pengolahan berskala investasi kecil dan menengah; (2) ketersediaan skim pendanaan terutama kredit investasi kepada koperasi, yaitu sebagai fasilitas produksi dan milik bersama para anggota; (3) ketersediaan jasa konstruksi dan konsultasi untuk melakukan pendampingan dan pengalihan teknologi dan manajerial secara intensif kepada para anggota; (4) willingness to pay dan ability to pay dari para petani/pengusaha mikro dan kecil untuk mendapatkan akses teknologi, pendanaan dan jasa konsultasi yang profesional berbasis pasar; dan (5) aspek budaya dan sosial yang berpengaruh dalam adopsi teknologi dan etos kerja industri.

Berdasarkan kondisi tersebut diatas, maka kajian model peningkatan nilai tambah usaha mikro/kecil yang terintegrasi melalui koperasi di sektor agribisnis/agroindustri menjadi sangat penting. Hasilnya diharapkan mampu menjadi masukan bagi penyusunan perencanaan kebijakan dan program yang terkait dengan upaya peningkatan produktivitas pelaku usaha mikro, kecil dan koperasi sekaligus peningkatan investasi sektor agribisnis/ agroindustri.

2. Tujuan, Keluaran dan Ruang Lingkup

Tujuan dari kajian ini adalah untuk memberikan masukan bagi penyusunan perencanaan kebijakan dan program yang terkait dalam upaya peningkatan produktivitas pelaku usaha mikro, kecil dan koperasi sekaligus peningkatan investasi sektor agribisnis/ agroindustri.

Sementara itu, keluaran dari kajian ini adalah model aplikatif yang secara mudah dapat diimplementasikan dan direplikasikan bagi peningkatan nilai tambah usaha mikro/kecil melalui koperasi di sektor agribisnis/agroindustri dengan melakukan integrasi usahanya secara vertikal.

Lingkup materi kajian mencakup: (a) tinjauan dan analisis terhadap sumber penyedia teknologi produksi berskala kecil dan menengah (baik produsen maupun penjual); (b) aspek kepemilikan aset produksi secara kolektif pada para petani/pengusaha mikro dan kecil melalui koperasi; (c) metode adopsi atau model diseminasi teknologi yang sesuai

31I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

bagi peningkatan nilai tambah usaha mikro/kecil melalui koperasi di sektor agribisnis/agroindustri; (d) tinjauan dan analisis terhadap jenis dan sumber pendanaan yang dapat diakses oleh usaha mikro/kecil dan koperasi di sektor agribisnis/ agroindustri; (e) skema/pola penyediaan sumber pendanaan yang dioperasikan oleh pihak swasta yang dapat menguntungkan baik pihak penyedia dana maupun bagi pengguna dana yaitu usaha mikro/kecil dan koperasi pada sektor agribisnis/agroindustri; (f ) tinjauan terhadap hambatan akses terhadap teknologi dan informasi serta hambatan terhadap sumber pendanaan yang dihadapi oleh usaha mikro/kecil dan koperasi di sektor agribisnis/agroindustri; (g) tinjauan terhadap berbagai pola pendampingan peningkatan akses terhadap pendanaan, manajemen, adopsi teknologi dan informasi yang sesuai untuk usaha mikro/kecil dan koperasi di sektor agribisnis/agroindustri; (h) identifikasi rantai nilai proses produksi yang dapat memberikan peningkatan nilai tambah bagi usaha mikro/kecil melalui usaha koperasi di sektor agribisnis/agroindustri; dan (i) tinjauan terhadap aspek sosial budaya pelaku usaha mikro/kecil dan koperasi yang meliputi infrastruktur, budaya, dan karakteristik masyarakat di pedesaan.

3. Metodologi

3.1. Kerangka Analisis dan Ruang LingkupIntegrasi vertikal biasanya merujuk pada penguasaan sektor hulu dan hilir dalam usaha menghasilkan satu produk

(Joskow, 2006). Bila integrasi vertikal dijalankan hanya oleh satu perusahaan, maka bentuk penguasaannya dapat digolongkan sebagai suatu monopoli. Satu perusahaan yang terintegrasi secara vertikal memiliki kontrol mulai dari pasokan bahan baku, proses produksi, pengolahan lanjut, sampai pendistribusian dan pemasaran hasilnya sampai ke tangan konsumen. Namun integrasi vertikal lebih banyak diterapkan dalam satu kontrak kerjasama antara beberapa perusahaan baik di tingkat hulu, tengah maupun hilir, yang masing-masing mengurusi kegiatan-kegiatan yang berbeda. Dengan demikian, integrasi vertikal juga merujuk pada pengorganisasian beberapa kegiatan usaha atau rantai nilai usaha yang berbeda dalam kerangka satu kendali/kesatuan (FAO-Regional Office for Asia and the Pacific, 2002; Vidal, 2007). Gabungan rantai nilai yang berbeda-beda juga membedakan struktur integrasi vertikal dari integrasi horizontal (penggabungan beberapa rantai nilai yang sama).

Gambar Model Integrasi Vertikal Dalam praktek, terdapat dua jenis integrasi vertikal yang umum dijalankan, yaitu (Vidal, 2007):

1. backward vertical integration yang menekankan pada pengendalian produksi, pasokan dan distribusi bahan baku untuk menjamin ketersediaan dan kualitas bahan baku yang kemudian digunakan dalam proses produksi barang/jasa; dan

2. forward vertical integration yang menekankan pada pengendalian distribusi dan pemasaran barang/jasa yang dihasilkan ke pasar/konsumen. Dua jenis integrasi vertikal tersebut juga dapat digabungkan sehingga berbagai kegiatan mulai dari produksi/

penyediaan bahan baku, produksi sampai dengan distribusi dan pemasaran produk dapat dikendalikan (balanced vertical integration).

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 832

Berbagai analisa empiris tentang penerapan integrasi vertikal baik dalam skala perusahaan tunggal maupun dalam skema kerjasama beberapa perusahaan menunjukkan bahwa penurunan biaya transaksi merupakan alasan utama yang melatarbelakangi penerapan integrasi vertikal. Integrasi vertikal juga dipilih sebagai strategi untuk mengatasi distorsi akibat perbedaan posisi tawar dan persaingan di sektor hulu dan hilir. Berbagai alasan yang mendasari penerapan integrasi vertikal diringkas sebagai berikut:1. Untuk menurunkan biaya transaksi (FAO-Regional Office for Asia and the Pacific, 2002; Joskow, 2006; Vidal, 2007)

yang timbul karena (i) perubahan iklim usaha, (ii) perubahan pasar (termasuk perubahan selera konsumen dan persyaratan standarisasi produk/jasa), (iii) birokrasi dalam struktur organisasi usaha, (iv) inefisiensi dalam penggunaan informasi dan jasa dalam penyediaan bahan baku, distribusi dan pemasaran, dan (v) ketidakjelasan dalam pasokan input (kuantitas dan kualitas);

2. Untuk mengatasi perbedaan posisi tawar antara sektor hulu, tengah dan hilir (FAO-Regional Office for Asia and the Pacific, 2002; Joskow, 2006; Vidal, 2007) yang menimbulkan inefisiensi dalam penentuan harga di tingkat hulu dan hilir (double-marginalization) dan pada akhirnya menurunkan keuntungan perusahaan yang menggunakan bahan baku dan menggunakan jasa pemasaran;

3. Untuk meningkatkan daya saing dalam hal harga dan kualitas produk dengan industri serupa (Joskow, 2006; Matsubayashi, 2007) karena usaha-usaha yang terintegrasi secara vertikal cenderung memiliki jaminan atas pasokan, harga dan kualitas bahan baku, serta kelancaran arus informasi, distribusi dan pemasaran;

4. Untuk mengembangkan usaha dan memfasilitasi investasi yang terkait dengan kebutuhan akan pengadaan aset-aset yang spesifik, seperti lokasi usaha, infrastruktur, mesin/peralatan, sumberdaya manusia, sumberdaya alam, kekhasan produk, inovasi, dan pengetahuan/informasi (FAO-Regional Office for Asia and the Pacific, 2002; Joskow, 2006). Dalam hal ini integrasi vertikal dapat mempercepat pengadaan sumberdaya produktif dan alih teknologi yang memungkinkan suatu usaha untuk meningkatkan efisiensi dan diversifikasi produksinya; dan

5. Untuk meningkatkan skala ekonomi produksi barang dan jasa khususnya terkait dengan invetasi (FAO-Regional Office for Asia and the Pacific, 2002; Joskow, 2006). Hal ini juga berlaku bagi integrasi vertikal yang melibatkan usaha-usaha skala kecil yang memiliki keterbatasan dalam pengendalian harga dan pasar, investasi, serta economies of scale dalam pemrosesan (Dobashi et al., 1999 dalam FAO-Regional Office for Asia and the Pacific, 2002).

Ruang lingkup kajian meliputi studi literatur, pengumpulan data, analisis dan sintesis. Pengumpulan data akan dilakukan melalui desk study dan survey. Desk study akan difokuskan pada pemetaan aktivitas usaha mikro/kecil di agrobisnis dan agroindustri. Hasil desk study ditindaklanjuti dengan survey yang mencakup: (1) inventarisasi sumber penyedia teknologi; (2) inventarisasi program-program diseminasi teknologi di sektor agroindustri; (3) Inventarisasi sumber pendanaan bank dan non bank yang difokuskan pada persyaratan dan skema pendanaan yang terkait dengan integrasi vertikal usaha mikro/kecil dan koperasi agribisnis; (4) Inventarisasi praktik peningkatan nilai tambah, mencakup pola, hambatan, dan keberhasilan; (5) Inventarisasi praktek pendampingan dalam rangka peningkatan alih teknologi pemerintah dan non pemerintah; (6) inventarisasi pemahaman dan praktik berkoperasi di kalangan usaha mikro/kecil agribisnis; dan (7) identifikasi aspek sosial budaya usaha mikro/kecil di perdesaan dalam pengembangan sistem integrasi vertikal dalam rangka peningkatan nilai tambah usaha mereka.

3.2. Metode Pelaksanaan Kajian

33I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

3.3. Kerangka Pengumpulan DataMetodologi pengumpulan data model integrasi vertikal usaha mikro/kecil melalui koperasi di sektor agribisnis ini

terdiri dari 4 (empat) tahap kegiatan, yaitu: (1) studi dokumen tentang kondisi usaha mikro/kecil di sektor agribisnis bagi komoditi yang propektif di 4 propinsi.; (2) Suvey pendahuluan mengenai investment profile komoditi prospektif sektor agribisnis, desain kuesioner, penyusunan model hipotetik integrasi vertikal bagi sektor agribisnis; dan observasi para pelaku yang diwawancara untuk mengumpulkan informasi mengenai koperasi agribisnis di 4 propinsi; (3) pemilihan komoditi prospektif atas dasar skala investasi, pohon industri, dan teknologi produksi; dan (4) survey pendalaman bagi komoditi prospektif di 2 propinsi melalui pengembangan usaha peningkatan nilai tambah serta informasi para pelaku terkait dengan usaha mikro/kecil koperasi agribisnis dalam penyediaan teknologi, pembiayaan, dan pendampingan.

4. Hasil Survey dan Analisa

4.1. Peluang Usaha Mikro/Kecil di Sektor Agribisnis Pada usaha agribisnis, proses yang diselenggarakan tidak terbatas kepada proses budidaya tetapi juga mencakup pra

usahatani, pasca panen, pengolahan dan pemasaran. Semua proses ini terintegrasi sehingga dapat meningkatkan posisi adu tawar (bargaining) di pasar. Hubungan fungsional dari setiap komponen agribisnis perlu dijaga keterpaduannya untuk menjamin kinerja dari masing-masing komponen sehingga dapat memberi nilai tambah yang menguntungkan baik pada tingkatan komponen maupun struktur usaha agribisnis secara keseluruhan. Dengan demikian sistem agribisnis merupakan suatu sistem yang menyatukan berbagai subsistem, yaitu (a) subsistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi, teknologi dan pengembangan sumberdaya pertanian; (b) subsistem budidaya atau usahatani; (c) subsistem pengolahan hasil atau agroindustri, dan (d) subsistem pemasaran hasil; (e) subsistem prasarana dan (f ) subsistem pembinaan. Dua subsistem terakhir merupakan subsistem pendukung yang diperlukan untuk menjaga kapasitas usaha berada pada tingkat yang optimum.

Berkembangnya petani skala mikro/kecil menjadi tugas utama pemerintah dengan mewujudkan keberpihakannya melindungi dan memberdayakan usaha mikro di bidang agribisnis/agroindustri. Segala bentuk upaya manajemen untuk membangun kehidupan pengusaha mikro/kecil di bidang agribisnis/agroindustri yang dilaksanakan tanpa menyentuh atau mengkonstruksi ulang kelembagaan pertanian yang ada, diyakini tidak akan mampu mengatasi hakekat problema yang sedang dihadapi selama ini. Integrasi vertikal di bidang agribisnis memungkinkan agribisnis untuk meningkatkan penetrasi pasar (market penetration), mengembangkan pasar (market development) maupun pengembangan produk (product development).

Bagi Indonesia, komoditi agribisnis kakao menjadi salah satu komoditi andalan perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya dalam menyediakan lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Di samping itu kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri. Pada tahun 2002, perkebunan kakao telah menyumbang lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu kepala keluarga petani yang sebagian besar berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI).

Industri pengolahan kakao skala kecil dan menengah belum berkembang, walaupun Pemerintah dan swasta telah mengenalkan berbagai teknologi industri pembuatan makanan dan minuman dari bahan baku kakao. Oleh karena itu, sebagian besar ekspor kakao Indonesia masih dalam bentuk produk primer, sehingga keuntungan nilai tambah tidak diterima oleh petani, melainkan diterima oleh negara pengimpor kakao. Produk yang diekspor sebagian besar dalam bentuk biji kering (produk primer) dan hanya sebagian kecil dalam bentuk hasil olahan. Di samping itu, sebagian besar produksi kakao Indonesia adalah diekspor dan hanya sebagian kecil yang digunakan untuk konsumsi dalam negeri.

Komoditi kakao mempunyai potensi untuk dikembangkan lebih lanjut, dari buah kakao dapat dibelah menjadi biji dan kulit. Dari biji dapat diproduksi liquor untuk yang dapat digunakan untuk pembuatan kueh dan bahan baku lemak nabati. Dari kulit, dapat diproduksi jelly, alkohol, pektin dan sebagainya.

Komoditi agribisnis yang prospektif lainnya adalah susu sapi. Produksi susu sapi nasional pada 2007 mencapai 636 ribu ton sedangkan konsumsi susu nasional mencapai 1.985 ribu ton. Produksi susu nasional baru mampu mencukupi sekitar 30 persen dari kebutuhan konsumsi. Untuk itu, defisit konsumsi susu dipenuhi melalui impor.

Produksi susu sapi nasional sebagian besar dihasilkan oleh usaha rakyat dengan skala usaha di bawah skala produksi ekonomisnya. Sementara skala produksi yang ekonomis adalah 10 - 12 ekor sapi perah per peternak. Dengan demikian, usaha sapi perah saat ini masih memiliki peluang yang besar untuk ditingkatkan agar susu yang diproduksi oleh setiap peternak dapat menciptakan keuntungan, bukan hanya cukup untuk memenuhi sebagian kebutuhan hidup akan hanya untuk memperkecil defisit produksi susu segar dalam negeri. Konsumsi susu masyarakat Indonesia masih rendah yaitu hanya 8 liter/kapita/tahun, sedangkan konsumsi susu negara tetangga seperti Thailand, Malaysia dan Singapura rata-rata mencapai 30 liter/kapita/tahun. Kenaikan konsumsi susu berkaitan erat dengan tingginya pendapatan masyarakat.

Industri susu sapi merupakan cabang dari industri agribisnis sapi. Pada tahapan hulu, budidaya sapi perah yang menghasilkan susu segar dan berakhir pada tahapan hilir berupa industri pengolahan susu yang meningkatkan produk-produk olahan susu seperti susu pasteurisasi, susu UHT (sterilisasi), keju, yoghurt, dan makanan olahan dari susu.

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 834

Perkembangan dari sisi permintaan menunjukkan bahwa produksi susu dalam negeri masih belum mencukupi untuk menutupi kebutuhan konsumsi dalam negeri.

Pasar komoditi rumput laut saat ini masih sangat potensial. Pertumbuhan produksi dan pangsa pasar rumput laut Indonesia juga terus berkembang mengingat potensi area budidaya rumput laut yang masih luas. Data dari Departemen Kelautan dan Perikanan (Hutagalung, 2007a, 2007c) menunjukkan bahwa terdapat potensi budidaya laut di Indonesia seluas 24,5 juta hektar yang 4,5 persen di antaranya (1.110.900 hektar) dapat dimanfaatkan untuk budidaya rumput laut. Saat ini luasan efektif yang telah dimanfaatkan untuk budidaya rumput laut baru mencapai 222.180 hektar, atau 20 persen dari potensi luasan yang tersedia.

Saat ini rumput laut merupakan komoditas terbesar dari produksi budidaya laut secara nasional. Kontribusi rumput laut dalam kelompok 5 produk utama budidaya laut (rumput laut, kerang, ikan kerapu, kerang mutiara dan ikan kakap) pada tahun 2005 adalah sebesar 94,7 persen (Pusdatin DKP), dengan volume sebesar 910.636 ton (Hutagalung). Pada tahun 2006 produksi rumput laut meningkat sebesar 18,6 persen menjadi 1.079.850 ton (Hutagalung). Dalam program revitalisasi perikanan budidaya, volume produksi rumput laut pada tahun 2009 ditargetkan akan mencapai 1.900.000 ton dengan adanya perluasan areal budidaya sebesar 25.000 hektar yang terdiri dari budidaya Eucheuma sp (25.000 ha) dan Gracilaria sp (10.000 ha). Upaya ini dilaksanakan melalui pola pengembangan kawasan budidaya rumput laut dan dengan mendorong investasi dari beberapa negara seperti Jepang, Filipina, Denmark, Jerman dan Korea.

Berdasarkan pohon industri rumput laut, petani dapat dibina untuk mengolah rumput laut menjadi tepung yang selanjutnya dapat diolah lebih lanjut oleh industri menjadi keraginan, agar-agar dan alginat. Dengan investasi yang mencukupi, petani juga dapat dibina untuk dapat memproduksi keraginan dan agar-agar sendiri. Beberapa alternatif pengolahan dengan skala kecil dan investasi alat yang dibutuhkan akan diuraikan untuk memberi gambaran mengenai aspek kecukupan (feasibility) dari pemanfaatan peluang yang ada. Hal ini dilakukan dengan membandingkan usaha yang sudah berkembang dan literatur.

Berdasarkan pohon industri rumput laut, ada beberapa peluang yang dapat dimanfaatkan dengan melibatkan peran yang lebih besar dari petani rumput laut. Pertama, dari segi budidaya, sebagian besar petani membudidayakan rumput laut jenis Gracilaria sp dan Eucheuma sp. Keduanya memiliki permintaan pasar yang cukup besar baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Namun masih ada permintaan yang belum dapat dipenuhi. Dengan demikian, peluang pertama yang dapat dimanfaatkan yaitu peningkatan produktivitas budidaya rumput laut. Hal ini dapat dilakukan melalui perluasan area budidaya atau dengan memperbaiki bibit rumput laut.

Namun demikian, harga produk rumput laut Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan produk rumput laut dari negara lain, seperti Chile dan Jepang, di pasar internasional. Hal ini karena sebagian besar produk rumput laut Indonesia dipasarkan dalam bentuk bahan mentah. Kondisi ini dapat diatasi dengan mendorong para petani rumput laut untuk melakukan olahan lebih lanjut dari rumput laut hasil panenan menjadi agar-agar, keraginan dan alginat.

4.2. Analisis Usaha Mikro/Kecil Berbasis KakaoDari hasil survey, diperoleh struktur kelembagaan sistem agribisnis, menunjukkan keterkaitan kerjasama antar pihak

dalam usaha agribisnis komoditi kakao di Luwu Sulawesi Selatan. Pihak-pihak yang terlibat adalah mulai dari petani, perbankan, LSM, eksportir, dan pemerintah. Setiap pihak mempunyai peranan dan terdapat hubungan kerjasama atau pembinaan dengan pihak lainnya.

Secara umum, para petani kakao adalah anggota Koperasi Petani Kakao, tetapi ada juga yang menjadi anggota koperasi serba usaha yaitu Koperasi Resso Pammase. Dalam berhubungan dengan pembeli produk mereka, para petani kakao umumnya juga berhubungan langsung dengan para pedagang pengumpul. Hal ini dilakukan karena belum ada wadah yang menampung hasil produk mereka dengan harga jual yang wajar. Petani setempat tidak punya pilihan dalam pemasaran, kecuali kepada pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul kemudian menjual kakao ke UD Bina Mandiri atau Petani/Produsen. Selanjutnya sebagai akhir distribusi penjualan adalah di eksportir. Sebagian kecil petani ada juga sebagai produsen dengan melakukan pengolahan kakao menjadi tepung kakao yang dijual langsung kepada eksportir.

Lembaga penyedia teknologi untuk pengolahan adalah BPTP dan Balai Penelitian Kakao, sedangkan sebagai sumber pembiayaan adalah Bank Bukopin. Sementara ini pemerintah memberikan pelatihan dan pembinaan kepada petani pedagang dan petani budidaya.

Primatani adalah model pengembangan agribisnis terpadu antar penelitian, penyuluhan, agribisnis, dan pelayanan pendukung yang berbasis inovasi teknologi. Tujuannya adalah untuk membangun model percontohan sistem dan usaha agribisnis berbasis inovasi teknologi yang memadukan sistem inovasi dengan kelembagaan agribisnis.

Kakao dapat diolah menjadi produk setengah jadi dan produk jadi. Usaha pengolahan kakao menjadi lemak dan bubuk membutuhkan investasi sebesar sekitar Rp. 350 juta dan modal kerja sebesar Rp. 1,6 miliar. Skala investasi sebesar ini dapat dipenuhi dalam wadah koperasi.

4.3. Analisis Usaha Mikro/Kecil Berbasis Susu SapiPeternak susu sapi merasakan manfaat menjadi anggota koperasi, antara lain dilibatkan dalam berbagai kegiatan

peningkatan kapasitas yang diadakan oleh koperasi, dan mendapatkan jaminan pasar atas susu yang diproduksinya.

35I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

Selanjutnya, sebagai anggota, peternak diberi kesempatan untuk mengikuti pelatihan teknis beternak dan pelatihan produk olahan yang disediakan oleh koperasi. Manfaat lainnya adalah pelaksanaan pemeriksaan kesehatan sapi secara rutin oleh petugas kesehatan yang bermitra dengan koperasi yang dibiayai melalui penyisihan sebagian keuntungan.

Model peningkatan nilai tambah komoditi susu sapi sudah menggambarkan adanya integrasi vertikal yang dimulai dari pengumpulan bahan baku susu dari petani sampai dengan proses pengolahan yang siap dikonsumsi oleh koperasi. Penerapan rantai nilai tambah dengan koperasi sebagai basis pelaku juga sudah berjalan dengan cukup baik. Koperasi yang ada sudah fokus kepada usaha inti. Pertama, koperasi yang menghasilkan bahan baku dan kedua, adalah koperasi yang berorientasi mengembangkan produk lanjutan yang dapat dijual langsung kepada konsumen. Anggota merasakan manfaat dari koperasi atas nilai tambah yang diperoleh.

Berdasarkan skala investasi, usaha mikro/kecil memiliki peluang untuk mendirikan pabrik pengolahan susu pasteurisasi melalui pembentukan koperasi primer sebagai wadahnya dengan investasi sekitar Rp 500 juta. Untuk pengolahan UHT, usaha pengolahan susu membutuhkan investasi sebesar sekitar Rp 4,5 miliar dan modal kerja sebesar Rp 5 miliar. Unit pengolahan UHT ini lebih cocok untuk skala koperasi sekunder yang merupakan bentukan dari beberapa koperasi primer.

4.4. Analisis Usaha Mikro/Kecil Berbasis Rumput LautPetani rumput laut, yang berlokasi di kecamatan Mangara Bombang dan Mappakasunggu di Kabupaten Takalar,

SulSel, sudah membentuk kelompok tani dan saat ini telah berkembang menjadi koperasi petani rumput laut. Adanya kelompok tani tersebut memudahkan pemasaran produk ke pedagang pengumpul. Produk yang dijual ini berbentuk bahan baku rumput laut (kering) dan bahan setengah jadi berbentuk tepung rumput laut.

Petani rumput laut di dua kecamatan di Kab. Takalar memiliki sedikit berbeda terutama dalam hal pengambilan keputusan, jenis rumput laut yang ditanam, dan praktik pengolahan. Petani di dua kecamatan ini juga sudah lebih baik dalam mengakses informasi mengenai harga rumput laut. Dalam hal modal, masih banyak petani yang mengandalkan modal sendiri. Namun demikian, sebagian petani sudah mendapatkan kredit dari program Swamitra Bukopin. Keterbatasan akses petani rumput laut terhadap kredit perbankan merupakan suatu gejala umum karena usaha budidaya rumput laut oleh petani masih dianggap beresiko tinggi dan kurang untuk mendapatkan bantuan permodalan dari bank.

Produk olahan rumput laut yang bernilai tambah lebih tinggi dan dapat dikembangkan dengan melibatkan usaha mikro/petani rumput laut yaitu produk agar-agar lembaran/blok/tepung serta produk makanan seperti dodol, manisan, jeli, nata de coco dan minuman ringan. Di antara pilihan-pilihan tersebut, salah satu yang sudah diidentifikasi profil investasinya yaitu pengolahan rumput laut menjadi dodol dan minuman ringan. Kebutuhan investasi untuk usaha ini sebesar Rp 1 miliar (diluar bangunan) dengan kebutuhan modal kerja sebesar Rp 2,24 miliar.

4.5. Analisis Kelembagaan Koperasi Koperasi kakao yang berdiri sejak tahun 1999 dilandasi oleh kebutuhan anggota untuk meningkatkan kesejahteraan.

Koperasi ini beranggotakan 80 orang dengan profesi sebagai petani dan pelaku usaha pengolahan kakao. Koperasi memberikan layanan kepada anggota koperasi meliputi pengadaan sarana produksi, pendampingan manajemen, pendampingan teknologi produksi dan pemasaran. Dengan layanan ini, koperasi sudah dirasakan manfaatnya oleh anggota yang terlihat dari lancarnya iuran anggota dan terlaksananya proses Rapat Anggota (RAT) secara rutin. Untuk membantu operasionalisasi koperasi, pemerintah memberikan bantuan pinjaman pendanaan dan peralatan pengolahan kakao. Namun demikian, mesin pengolahan belum dapat digunakan secara optimal karena kesulitan mendapatkan akses pemasaran.

Peranan kelembagaan koperasi susu dalam meningkatkan nila tambah anggotanya sudah lebih baik. Koperasi-koperasi primer yang ada di Malang sudah membentuk koperasi sekunder untuk mengolah lebih lanjut produksi susu. Koperasi sekunder melakukan peran kepada anggotanya dalam pengadaan bahan baku dan pendampingan penerapan teknologi. Produk yang dihasilkan oleh koperasi sekunder adalah susu UHT dengan bahan baku berupa susu segar dipasok dari koperasi primernya. Produk susu UHT ini kemudian dipasarkan langsung ke konsumen.

Koperasi petani rumput laut dibentuk atas keinginan sendiri para petani rumput laut untuk memenuhi kebutuhan usahanya. Salah satu koperasi yang cukup besar adalah Koperasi Nelayan Pandala Jaya. Untuk meningkatkan nilai tambah, koperasi juga melakukan pengeringan untuk mencapai kadar kekeringan sesuai yang disyaratkan industri, pengepakan dan pengiriman. Dari hasil olahan yang masih terbatas ini, mereka memiliki nilai tambah yang terakumulasi setiap tahun. Sisa hasil usaha ini dibagikan kepada para anggota. Kegiatan pembelian dan pengolahan pasca panen dengan bahan baku dari petani di dua kecamatan yang diamati juga dilakukan oleh Koperasi Niaga Palopo.

4.6. Analisis PendampinganKoptan Bina Harapan yang melakukan usaha komoditi kakao di Kab. Luwu memberikan pendampingan kepada

kelompok tani dan petani secara individu dalam bidang manajemen, teknik produksi, dan pemasaran. Pendamping yang dilakukan lebih banyak terkait dengan tanaman dan budidaya kakao. Kegiatan tersebut diantaranya adalah perbaikan genetik tanaman kakao, pendampingan manajemen kelembagaan, fermentasi kakao, dan pengendalian hama & penyakit.

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 836

Sebagian biaya operasionalisasi pendampingan diperoleh dengan cara kerjasama dengan lembaga lain seperti ACDI/VOCA, Dinas Perkebunan Kabupaten Luwu dan Dinas Perindag Kabupaten Luwu. Sementara itu terdapat pendamping yang dilakukan secara intensif dengan pemerintah propinsi Sulawesi Selatan yaitu dalam program Klaster kakao dan program Gerbang Mas.

Dalam pendampingan kepada usaha susu sapi di Malang terdapat dua Lembaga layanan usaha, yaitu LSM Insan Mandiri dan UP2M. LSM Insan Mandiri adalah lembaga sosial kemasyarakatan dan UP2M adalah lembaga penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dari Universitas Islam Negeri Malang.

Kegiatan utama LSM Insan Mandiri meliputi (1) bantuan jasa konsultasi dan (2) pendampingan dan penyuluhan mengenai pengelolaan peternakan sapi, terutama sapi perah. Sasaran lembaga ini adalah memberikan bantuan personal kepada koperasi dan anggota koperasi serta advokasi hukum bagi masyarakat peternak/petani. Semua pelayanan jasa yang diberikan kepada pelaku usaha diberikan dengan Cuma-cuma. Adapun metode pendampingan yang digunakan adalah berupa konsultasi yang dilaksanakan secara personal, demonstrasi dan pelatihan bersama-sama dengan instansi terkait.

Berkenaan dengan pendampingan untuk petani rumput laut di dua kecamatan yang diamati, saat ini terdapat satu lembaga pendampingan yang memiliki jangkauan layanan ke kedua kecamatan tersebut yaitu Lanra Link. Lembaga ini menyediakan jasa layanan bantuan manajemen lembaga, bantuan pendidikan dan pelatihan, litbang, dan jasa konsultasi. Kegiatan-kegiatan lain yang telah dilakukan adalah survey sumberdaya pesisir dan laut kepulauan di Kabupaten Takalar. Lembaga ini juga pernah melakukan pendampingan terhadap koperasi petani rumput laut dalam bidang penelitian dan pengembangan, advokasi dan rehabilitasi wilayah pesisir, pendidikan dan pelatihan, dan penyuluhan.

Kegiatan pendampingan tersebut dilakukan atas biaya dari Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Sulawesi Selatan dan program AUSAID. Dari aspek teknologi, pendampingan yang pernah dilakukan adalah: (i) bantuan dan bimbingan teknologi budidaya dan pengolahan spesies teripang laut; dan (ii) pendampingan pengolahan pasca panen rumput laut bagi ibu rumah tangga. Metode pendampingan yang digunakan adalah observasi, penyuluhan, pelatihan, dan workshop. Pendampingan diberikan kepada kelompok petani rumput laut yang memiliki kebutuhan pendampingan yang sesuai dengan keahlian (expertise) yang dimiliki oleh Lanra Link. Bantuan teknologi dalam skema pendampingan ini disediakan oleh PT. Giwang Citra Laut. Teknologi yang disediakan merupakan pengolah rumput laut menjadi tepung atau setengah tepung. Teknologi ini dikembangkan perusahan tersebut atas biaya sendiri.

5. Disain Model integrasi Vertikal

5.1. Konsep Model Peningkatan Nilai Tambah Peningkatan nilai tambah komoditi pertanian dapat dilakukan dengan pendekatan tiga alternatif seperti pada

Gambar di bawah ini. Alternatif pertama, produk primer diolah menjadi produk bernilai tambah, tetapi produknya masih sederhana dan merupakan bahan baku untuk industri pengolahan lebih lanjut. Alternatif kedua adalah proses integrasi vertikal peningkatan nilai tambah komoditi pertanian yang diproses dengan beberapa tahap produksi untuk langsung dipasarkan kepada konsumen.

Model Integrasi Vertikal Agribisnis

37I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

Untuk mencapai skala produksi, komoditi pertanian yang dimiliki petani sebagai usaha mikro harus dikumpulkan dalam jumlah yang memadai. Untuk itu, para petani dapat berkolaborasi membentuk usaha bersama dalam wadah koperasi primer. Untuk tujuan peningkatan nilai tambah lebih lanjut dan usaha skala yang lebih besar, koperasi-koperasi primer dapat bekerja sama membentuk koperasi sekunder. Hubungan diantara koperasi primer dan keterkaitan dengan koperasi sekunder dapat dilihat pada gambar dibawah ini. Keberadaan pendampingan sangat diperlukan bagi petani dan koperasi. Petani memerlukan pendampingan bagaimana melakukan budidaya yang baik sehingga menghasilkan produk dengan jumlah yang lebih banyak dan mutu yang baik. Pendampingan kepada koperasi adalah dengan memberikan bantuan penggunaan teknologi pengolahan.

Model Kelembagaan dalam Integrasi Vertikal Melalui Koperasi

5.2. Konsep Model Integrasi Vertikal KakaoBerdasarkan model yang ada di bawah ini, peran koperasi sudah dirasakan anggotanya sebagai wadah

melakukan usaha bersama dalam peningkatan nilai tambah dan efisiensi kolektif. Walaupun demikian, masih dapat dilakukan kemanfaatan yang lebih besar dari koperasi untuk melakukan proses pengolahan produk yang langsung ke konsumen.

Koperasi primer berperan dalam proses pengolahan untuk meningkatkan nilai tambahnya menjadi produk setengah jadi yang berkualitas tinggi, misalnya bungkil cokelat dan lemak kakao. Koperasi primer dapat pula memproduksi produk olahan akhir yang sederhana, misalnya kue-kue dengan rasa coklat dan sebagainya. Untuk produk setengah jadi dijual ke koperasi sekunder dan industri, sedangkan produk olahan akhir langsung dijual ke konsumen. Produk setengah jadi yang masuk ke industri bisa digunakan sebagai bahan utama industri atau sebagai bahan baku pendukung. Koperasi sekunder akan menerima produk olahan kakao setengah jadi dari koperasi primer untuk diolah lebih lanjut menjadi produk akhir yang diap dijual langsung ke konsumen.

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 838

Model Integrasi Vertikal Kakao

5.3. Model Integrasi Vertikal Susu SapiPeran koperasi sebagai wadah usaha bersama dalam peningkatan nilai tambah dan pencapaian efisiensi kolektif

sebagaimana telah diterapkan dalam koperasi susu selama ini di Jawa Timur telah diakui manfaatnya. Kemanfaatan tersebut ternyata masih dimungkinkan untuk ditingkatkan melalui mengoptimalkan peran berbagai aktor yang terlibat dalam model integrasi vertikal komoditas susu sapi tersebut. Rantai nilai terbawah dalam model tersebut menunjukkan bahwa usaha mikro/peternak menghasilkan bahan baku berupa susu segar yang berkualitas dengan pendampingan secara periodik oleh dinas peternakan dan BDS-P. Susu segar dijual kepada koperasi primer susu dan hasil penjualan dipotong sebagian sebagai imbalan untuk jasa BDS-P.

Koperasi primer berperan sebagai produsen dan pemasok bahan baku. Sebagai produsen, bahan baku diolah oleh koperasi primer untuk meningkatkan nilai tambahnya menjadi susu pasteurisasi yang kandungan mineralnya hampir sama dengan susu segar. Susu pasteurisasi kemudian dijual langsung kepada konsumen. Sebagai pemasok, koperasi menjual bahan baku yang melebihi kapasitas produksi koperasi kepada Koperasi Sekunder dan industri pengolahan susu (IPS). Produk akhir koperasi sekunder berupa susu UHT disalurkan langsung kepada konsumen.

Model Integrasi Vertikal Susu Sapi

39I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

5.4. Konsep Model Integrasi Vertikal Rumput Laut Dalam struktur integrasi vertikal rumput laut peran kelompok usaha mikro dan koperasi menjadi sangat penting.

Kelompok tani dapat menyatukan sumberdaya, terutama dalam pengadaan bibit dan tenaga kerja, sehingga proses produksi dapat berjalan lancar. Hal ini sudah diterapkan oleh kelompok usaha mikro rumput laut, termasuk yang diamati dalam survey. Namun bila kelompok usaha akan meningkatkan usahanya ke tahap pengolahan, kebutuhan investasi dan kompetensi pengelolaannya mungkin dirasakan masih di luar jangkauan kapasitas kelompok tersebut. Hal ini dapat difasilitasi koperasi yang bisa menjadi lembaga inti yang menaungi kegiatan kelompok usaha mikro rumput laut. Koperasi juga dapat memfasilitasi kebutuhan usaha mikro rumput laut terkait dengan persyaratan-persyaratan integrasi vertikal mulai dari penyediaan bahan baku, pengumpulan produk, dan pengolah produk dan pemasaran. Selain itu, koperasi dapat memberikan pembiayaan usaha melalui penyaluran kredit program atau pengembangan unit simpan pinjam. Kegiatan semacam ini dalam tingkatan tertentu sudah dilakukan oleh koperasi petani rumput laut yang bergerak di lokasi survey.

Peran koperasi yang nyata dalam struktur integrasi vertikal juga sekaligus menghapus keraguan dari sebagian petani rumput laut, seperti yang ditemukan di antara anggota kelompok tani, mengenai manfaat yang dapat diperoleh dari keanggotaan koperasi. Manfaat koperasi yang mampu menjangkau calon anggota (petani yang belum menjadi anggota koperasi) juga sangat menentukan adanya dukungan anggota bagi perluasan usaha koperasi.

Model Integrasi Vertikal Rumput Laut

6. Kesimpulan dan Saran

6.1. KesimpulanUsaha mikro/kecil yang bergerak di bidang agribisnis/agroindustri sangat berpeluang besar untuk meningkatkan

nilai tambah dan integrasi vertikal dan horizontal. Integrasi vertikal memungkinkan usaha mikro/kecil agribisnis/agroindustri untuk mengatasi masalah keterbatasan modal dan skala ekonomi. Upaya ini dapat dilakukan dengan membentuk kelompok usaha bersama melalui koperasi, dengan manfaat yang lebih besar yaitu dari hasil usahanya secara langsung maupun keuntungan yang diperoleh dari koperasi. Dengan demikian, peran koperasi dalam integrasi vertikal adalah menyatukan mulai dari pengumpulan bahan baku, pengolahan sampai dengan pemasaran. Koperasi juga dapat meningkatkan efisiensi integrasi vertikal dan perannya dalam memfasilitasi terwujudnya integrasi horizontal. Dalam struktur integrasi horizontal, koperasi dapat menyatukan berbagai lembaga dan pihak yang terkait dalam mendukung

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 840

usaha anggotanya untuk bekerjasama dalam rangka peningkatan nilai tambah.Model integrasi vertikal yang disusun dalam kajian ini adalah untuk komoditi kakao, susu, dan rumput laut. Pemilihan

kepada tiga komoditi ini didasarkan pada pertimbangan bahwa rantai nilai komoditi tersebut mempunyai peluang besar untuk dikembangkan, dan ketersediaan teknologi dengan skala investasi usaha untuk suatu koperasi yang beranggotakan sekolompok usaha mikro/petani di ketiga komoditi tersebut. Ketiga model tersebut memiliki karakteristik yang hampir sama di dalam proses integrasi vertikal dan integrasi horizontalnya yaitu terdiri dari sekelompok usaha mikro/kecil, koperasi, pembeli/konsumen dan lembaga-lembaga pendukung. Usaha mikro/kecil agribisnis juga memiliki tiga alternatif produksi, yaitu produksi barang mentah/primer, produk setengah jadi dan produksi jadi yang sederhana. Berdasarkan ketiga alternatif ini, koperasi dapat terlibat dalam kegiatan pengumpul, pengolah dan pemasaran baik sebagai koperasi primer maupun koperasi sekunder tergantung kepada kebutuhan produksi dalam integrasi vertikal.

6.2. SaranModel integrasi vertikal dan horinsontal yang sudah disusun pada ketiga komoditi ini disarankan untuk

ditindaklanjuti menjadi suatu proyek percontohan. Hal ini dapat dilakukan melalui tahapan yang dimulai dari penerapan proses pengolahan yang dapat meningkatkan nilai tambah petani yang memiliki skala investasi yang feasible untuk kapasitas kelompok tani dan koperasi. Percontohan tersebut dapat merujuk pada model yang dihasilkan dalam kajian ini dan pohon industri dari komoditi yang akan dikembangkan. Penerapan percontohan seperti ini, tentu membutuhkan upaya yang besar, terutama dalam mengubah perilaku usaha mikro/kecil dari sekedar produsen bahan mentah menjadi wirausaha agribisnis dan industriawan. Selain itu, diperlukan upaya untuk menggerakkan pihak-pihak terkait agar mendukung penerapan model integrasi vertikal usaha mikro/kecil dan koperasi.

Implikasi dari kebijakan penerapan model integrasi vertikal diharapkan agar aparat pemerintah dan masyarakat dunia usaha dapat menggunakan model ini untuk percepatan peningkatan pendapatan usaha mikro dan pemberdayaan peran koperasi sehingga diperoleh hasil yang lebih efektif dan dampak yang lebih luas dalam penciptaan nilai tambah dan lapangan kerja.

DAFTAR PUSTAKA

Anggadireja J, S., Irawati, & Kusmiyati. (1996). Protein dan manfaat rumput laut Indonesia dalam bidang farmasi. Paper

presented at the Seminar Nasional Industri Rumput Laut.Anonim. (2004). Doktor rumput laut. from http://www.ui.edu/post/doktor-rumput-laut-id.html?UI=a9136e16386eea

4ee74ce8770464c25cAnonim. (2007, 15 Mei 2007). Permintaan rumput laut dunia meningkat. Bisnis Indonesia.Badan Pusat Statistik. (2000 ). Penduduk Indonesia, hasil sensus penduduk tahun 2000. Jakarta: BPS.Badan Pusat Statistik. (2004). Sebaran rumah tangga pertanian dan rumah tangga petani gurem menurut propinsi di

Indonesia (angka sementara hasil Sensus Pertanian 2003) [Electronic Version]. Berita Resmi Statistik 14/VII/16 Februari 2004. from http://www.bps.go.id/releases/files/RTtani-16feb04.pdf.

Badan Pusat Statistik. (2007). Tabel ekspor per komoditi (Publication. from Badan Pusat Statistik: http://www.bps.go.id/sector/ftrade/index.html

Baga, L. M. (2002). The study of co-operative entrepreneurship: an exploratory research of Indonesian milk co-operatives [Electronic Version]. Colloquium paper, Institut fur Kooperation in Entwicklungslandern, Philipps Universitat, Marburg. http://ice_online.tripod.com/Baga.PDF.

Balitbang Pertanian. (2004). Primatani, membangun desa berbasis inovasi. from http://primatani.litbang.deptan.go.id/BPS Sulsel. (2004). Areal dan volume produksi Kakao. Makassar: BPS Sulsel.Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian RI. (2005) Industri peternakan sapi perah Indonesia: analisa

SWOT [Electronic Version]. http://foodandbeverage.biz/images/National_Dairy_Farming_Industry_SWOT_2005_Bahasa_Version_.pdf.

Ditjen Perikanan Budidaya-DKP. (2007a). Jenis rumput laut potensial. Lain-lain: Artikel from http://www.dkp.go.id/content.php?c=4842

Ditjen Perikanan Budidaya-DKP. (2007b). Perkembangan industri rumput laut di Indonesia. Info aktual: Industri perikanan from http://www.dkp.go.id/content.php?c=4951

Ditjen Peternakan. (2007). Produksi dan konsumsi susu serta populasi sapi perah. Jakarta: Departemen Pertanian.Djulin, A., & Malian, A. H. (2006). Struktkur dan integrasi pasar ekspor lada hitam dan lada putih di daerah produksi utama.

Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisnis, 5(1).DKP Kab. Takalar. (2005). Produksi petani rumput laut di Kabupaten Takalar. Takalar: DKP Kab. Takalar.DKP Sulsel. (2005). Penyebaran budidaya Glacilaria sp dan E. cottonii di Sulawesi Selatan. Makassar: DKP Sulsel.FAO-Regional Office for Asia and the Pacific. (2002). Vertical integration and the livestock industries of the Asia-Pacific

region. In Some issues associated with the livestock industries of the Asia-Pacific region. RAP No. 2002/06 (pp. 50-70). Bangkok, Thailand: Animal Production and Health Commision for Asia and the Pacific (APHCA).

41I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

Ferrantino, M. J., Ferrier, G. D., & Linvill, C. B. (1995). Organizational form and efficiency: evidence from Indian sugar manufacturing. Journal of Comparative Economics, 21, 29-53.

Haeruman, H. (2000. ). Peningkatan daya saing industri kecil untuk mendukung Program PEL. Paper presented at the Peningkatan Daya Saing.

Hermawan, R. (2006). Membangun sistem agribisnis [Electronic Version]. from http://mencholeo.wordpress.com/category/membangun-bisnis-pertanian/.

Hutagalung, S. P. (2007a). DKP dorong investasi bisnis rumput laut di Indonesia. Siaran Pers 31 Oktober 2007 from http://www.dkp.go.id/content.php?c=4603

Hutagalung, S. P. (2007b). DKP pacu pengembangan tiga komoditas unggulan. from http://www.dkp.go.id/content.php?c=4438

Hutagalung, S. P. (2007c). DKP targetkan produksi rumput laut 1,9 juta ton. from http://www.dkp.go.id/content.php?c=4450

ICCO. (2007). Production and grindings (Publication., from International Cocoa Organization,: http://www.icco.org/statistics/production.aspx

Istini, S., Zatnika, A., & Suhaimi. (1985). Manfaat dan pengolahan rumput laut. Paper presented at the Seafarming Workshop.

Joskow, P. L. (2006). Chapter XX: vertical integration. from http://econ-www.mit.edu/files/1191.Kementrian Koperasi dan UKM & BPS. (2006). Pengukuran dan analisis ekonomi kinerja dan penyerapan tenaga kerja, nilai

tambah UKM serta preanannya menurut harga konstan dan berlaku tahun 2006. Jakarta: Badan Pusat Statistik.Matsubayashi, N. (2007). Price and quality competition: the effect of differentiation and vertical integration. European

Journal of Operational Research, 180, 907-921.Muttaqin, Z. (2007). Peluang nilai tambah rumput laut melalui teknologi kertas. Informasi: teknologi from http://www.

dkp.go.id/content.php?c=4485Nugraha, D. S. (2007). Application of value chain analysis in development cooperation: the promotion of milk cluster

Boyolali, Indonesia [Electronic Version]. Master Thesis in International Agriculture Science, Faculty of Agriculture and Horticulture, Humboldt-Universitat Zu Berlin. http://www.red.or.id/index.php?option=com_docman&task=doc_view&gid=15.

Pardede, F. R. (2000). Analisis kebijakan pengembangan industri kecil di Indonesia. Unpublished Master thesis, Institut Teknologi Bandung, Bandung.

PT Bank Expor Indonesia. (2007). The growth of seaweed commodity in Indonesia. Jakarta.Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (2005). Pengolahan Produk Primer dan Sekunder Kakao. Jakarta.Pusdatin DKP. (2007). Sistem informasi perhitungan statistik kelautan perikanan (Publication. from Departemen Kelautan

dan Perikanan: http://statistik.dkp.go.idRoets, M., & Kirsten, J. F. (2005). Commercialisation of goat production in South Africa. Small Ruminant Research, 60,

187-196.Sajogyo. (2003). Kebijakan publik dalam pembangunan pertanian dan pedesaan. Jurnal Ekonomi Rakyat, II (2).Saleh, Eniza. (2004). Teknologi Pengolahan susu dan Hasil Ikutan Ternak [Electronic Version]. http://library.usu.ac.id/

download/fp/ternak-eniza.pdf.Saragih, B. (1997). Pengembangan agribisnis dalam pembangunan ekonomi nasional menghadapi abad 21 [Electronic

Version]. Jurnal Studi Indonesia, 7 (2). from http://pk.ut.ac.id/jsi/72bungaran.htm.Sihombing, M. (2007, 26 September). Agrindo bangun pabrik pengolahan rumput laut. Bisnis Indonesia.Staley, E., & Morse, R. (1965). Modern small industry for developing countries. New York: McGraw-Hill.Stanley, D. L. (2002). The economic impact of mariculture on a small regional economy. World Development, 31, 191-

210.Sujono. (2006). Rumput laut jadi komoditas unggulan. Gema Industri Kecil, 14/Juni 2006, 30-33.Sulaeman, S. (2006). Pengembangan agribisnis komoditi rumput laut melalui model klaster bisnis. Infokop, 28 Tahun

XXII, 71-78.Tambunan, T. (2007). Prospek koperasi pengusaha dan petani di Indonesia dalam tekanan globalisasi ekonomi dan

liberalisasi perdagangan dunia [Electronic Version], 1-77. from www.kadin-indonesia.or.id/enm/images/dokumen/KADIN-98-2231-08102007.pdf.

Thalib, J. (2001). Minimalisasi resiko pendapatan nelayan kecil melalui pengembangan industri tepung ikan di Sulawesi Selatan [Electronic Version]. Analisis, 2 (4), 219-234. from http://www.pascaunhas.net/jurnal_pdf/vol_2_4/jamil-4.pdf.

Tim Rumput Laut BPPT. (2005). Peluang pasar produk olahan rumput laut. Jakarta: BPPT.Vidal, D. (2007). The level of control that a firm has over inputs and distribution of outputs. Explanation of vertical

integration. [Electronic Version] from http://www.12manage.com/methods_vertical_integration.html.Wibowo, R. (2004). Koperasi dan korporasi petani: kunci pembuka pengembangan agribisnis berdaya saing, berkerakyatan,

dan berkeadilan [Electronic Version]. INFOKOP, 24. from www.smecda.com/deputi7/file_Infokop/EDISI%2024/rudi-w.htm.

Zulham, A. (2007). Assessment klaster perikanan (studi pengembangan klaster rumput laut Kabupaten Sumenep). Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisnis, 7(3).

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 842

Strategi Pendanaan Program Pembangunan Sektor

Transportasi Pasca Revisi Undang-Undang Sektor

TransportasiDIREKTORAT TRANSPORTASI – KEDEPUTIAN BIDANG SARANA DAN PRASARANA

e-mail : [email protected]

Abstrak

Secara keseluruhan alokasi anggaran untuk sektor transportasi terus mengalami kenaikan rata-rata sebesar 25,5% atau Rp 4,227 triliun pada tahun 2001 menjadi Rp 15,698 triliun pada tahun 2007. Namun demikian, peningkatan besaran anggaran tersebut, ternyata belum mampu secara signifikan memperbaiki kinerja sektor transportasi. Revisi undang-undang sektor transportasi diharapkan dapat membuka peluang bagi berkembangnya strategi pendanaan program pembangunan sektor transportasi guna memperbaiki kinerja sektor transportasi nasional.

Hasil proyeksi pendanaan sektor transportasi menunjukkan pemerintah berusaha memberikan porsi yang cukup besar kepada pihak swasta. Pendanaan sektor transportasi oleh pemerintah lebih difokuskan pada sektor transportasi perintisan dan sektor transportasi yang menguasai hajat hidup orang banyak melalui subsidi atau PSO. Sedangkan pendanaan oleh BUMN cenderung memberikan porsi yang relatif tidak besar.

Secara umum, revisi maupun rancangan revisi undang-undang sektor transportasi telah membuka peluang bagi keterlibatan swasta dalam penyelenggaraan dan pengelolaan sektor transportasi. Lebih lanjut, tulisan ini menyampaikan pemeriksaan studi kasus busway Jakarta, Pemadu moda BSM – Bandara Soekarno-Hatta dan perkeretaapian perkotaan terkait dengan konsepsi penyelenggaraan dan pendanaannya pasca revisi UU. Beberapa potensi permasalahan dan alternatif solusi juga disampaikan pada tulisan ini.

Kata kunci: pendanaan, sektor transportasi, APBN, BUMN, swasta

1. LATAR BELAKANG

Pembangunan sektor transportasi ditujukan untuk meningkatkan pelayanan secara efisien, handal, berkualitas, aman dan terjangkau, serta untuk mewujudkan sistem transportasi nasional yang terpadu secara intermoda dan terpadu dengan pembangunan wilayah serta sektor sektor lainnya, serta diharapkan dapat lebih meningkatkan keselamatan, tingkat pelayanan serta kelancaran mobilitas penumpang, barang dan jasa sistem transportasi nasional yang efisien. Namun demikian, pembangunan sektor transportasi masih dihadapkan pada berbagai kendala, antara lain: (1) terjadinya penurunan kualitas dan keberlanjutan pelayanan infrastruktur transportasi yang ada akibat masih terbatasnya sumber daya dalam memenuhi kebutuhan standar pelayanan minimal jasa pelayanan prasarana dan sarana transportasi; (2) belum optimalnya dukungan infrastruktur dalam peningkatan daya saing sektor riil dan daya saing jasa transportasi yang mandiri; (3) belum berkembangnya peran serta masyarakat dan swasta untuk memenuhi sumber pendanaan untuk kebutuhan pembangunan infrastruktur; dan (4) masih terbatasnya aksesibilitas pelayanan transportasi dalam mengurangi kesenjangan. antar wilayah, meningkatkan pengembangan wilayah perbatasan, serta memberikan dukungan dalam penanganan bencana di berbagai wilayah.

43I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

Perundang-undangan di sektor transportasi saat ini masih didominasi oleh peran pemerintah, bersifat sentralistik dan cenderung monopoli untuk penyediaan infrastruktur melalui BUMN sektor transportasi. Hal ini termasuk dalam UU di sektor tersebut, baik UU No. 13 tahun 1992 tentang Perkeretaapian, UU No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan, UU No. 15 tahun 1992 tentang Penerbangan, dan UU No. 21 tahun 1992 tentang Pelayaran.

Pada era desentralisasi dan globalisasi, berbagai perundang-undangan di sektor transportasi tersebut direvisi untuk lebih memberikan peran pada Pemda sejalan dengan kebijakan desentralisasi maupun peran swasta dan BUMN. Hal ini terutama untuk lebih dapat mengembangkan kinerja dan pengembangan pelayanan transportasi sampai ke pelosok-pelosok daerah, serta peningkatan pelayanan transportasi kepada masyarakat secara lebih efisien dan profesional. Sebelum revisi undang-undang, BUMN sektor transportasi umumnya memiliki kewenangan hak monopoli terkait penyediaan jasa prasarana transportasi. Ke depan perlu dibuka kesempatan BUMD atau peran serta swasta.

Di sisi lain kemampuan pendanaan pemerintah untuk membangun prasarana dan sarana transportasi sangat terbatas. Peran pemerintah di masa datang diharapkan sebagai regulator bukan lagi sebagai penyedia prasarana dan sarana transportasi. Di sisi lain peran BUMN juga harus lebih dibina agar profesional dan berdaya saing baik untuk penyediaan jasa prasarana dan sarana transportasi. Kejelasan kewenangan dan peran pemerintah pusat dan daerah juga masih perlu lebih diperjelas namun bersinergi, antara lain dikaitkan dengan kewajiban dalam penyediaan pelayanan umum atau Public Service Obligation (PSO) dan pendanaannya di sektor transportasi. Oleh sebab itu diperlukan strategi pendanaan dan skema yang jelas dalam pembangunan. sektor transportasi agar tercapai efisiensi dan akuntabilitas yang lebih baik pada era revisi perundang-undangan di sektor transportasi.

Di samping itu pemerintah juga membuka memberikan kesempatan yang lebih besar kepada swasta untuk meningkatkan partisipasinya dengan pola kerjasama pemerintah dan swasta. Undang-undang pada sektor transportasi yang telah direvisi memberikan peluang yang lebih besar kepada swasta dalam penyediaan prasarana dan transportasi. Tulisan ini melaporkan kajian kualitatif tentang mekanisme pendanaan, potensi permasalahan serta alernatif solusinya pada kerjasama Pemerintah dan swasta pada penyelenggaraan angkutan jalan dengan studi kasus busway dan pemadu moda. Selain itu, tulisan ini juga melaporkan kajian mengenai permasalahan pendanaan serta prospek pendanaan kereta api perkotaan di masa mendatang pasca revisi undang-undang perkeretaapian.

2. TUJUAN

Tujuan umum kegiatan ini adalah menemukenali masalah-masalah yang menghambat pelaksanaan pendanaan pembangunan transportasi serta alternatif solusinya terkait dengan revisi UU Sektor, kebijakan desentralisasi dan tantangan globalisasi, agar pembangunan transportasi dapat menjawab tantangan atau permasalahan yang dihadapi secara nasional, regional maupun lokal.

Disamping itu, kajian ini diharapkan juga dapat membantu, menilai dan. menyempurnakan kebijakan dan program pembangunan sektor transportasi. Dalam jangka panjang, diharapkan data pendukung kajian ini dapat menjadi alat bantu kebijakan atau policy tools yang dapat digunakan untuk membantu Bappenas dalam menilai, dan merumuskan berbagai kebijakan (policy initiatives) sektor transportasi.

3. METODOLOGI

3.1. Konsepsi KajianKajian ini difokuskan pada pemeriksaan mekanisme kerjasama Pemerintah dan swasta yang berimplikasi pada

mekanisme pendanaan pada (1) penyelenggaraan angkutan jalan serta (2) prospek pendanaan kereta api perkotaan. Kajian yang pertama difokuskan pada pembahasan mekanisme penyelenggaraan sebagai bentuk perbaikan dari mekanisme yang ada saat ini serta permasalahan yang ada dan alternatif solusinya dengan tinjauan studi kasus Busway Jakarta dan Pemadu Moda (Bandung-Bandara Soekarno-Hatta). Kajian yang kedua dialamatkan pada kinerja pendanaan perkeretaapian saat ini serta prospek pendanaan kereta api perkotaan yang dimungkinkan pasca revisi UU perkeretaapian.

3.1.1.Pengertian TransportasiPengertian transportasi darat adalah sistem angkutan jalan raya, sungai dan danau, serta sistem angkutan melalui

rel atau kabel (kereta api) (Suwardjoko Warpani, 1990). Beberapa hal yang berkaitan dengan sistem transportasi darat adalah prasarana transportasi berupa jalan, terminal, rel kereta api, persinyalan, dan sebagainya. Sedangkan sarana transportasi berupa kendaraan, kapal dan perahu angkutan sungai dan danau, dan kereta api. Transportasi laut adalah sistem transportasi yang distribusikan barang dan penumpang dari satu pulau ke pulau lainnya atau dari satu negara ke negara lainnya dengan menggunakan laut sebagai prasarananya. Sedangkan transportasi udara adalah sistem transportasi yang mendistribusikan barang dan penumpang dari satu pulau ke pulau lainnya atau dari satu negara ke negara lainnya dengan menggunakan udara sebagai prasarananya

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 844

Transportasi antarmoda adalah transportasi penumpang dan atau barang yang menggunakan lebih dari satu moda transportasi dalam satu perjalanan yang berkesinambungan (KM. 49/2005 tentang Sistranas). Sedangkan transportasi multimoda adalah transportasi barang dengan menggunakan paling sedikit 2 (dua) moda transportasi yang berbeda, atas dasar satu kontrak yang menggunakan dokumen transportasi multimoda dari suatu tempat barang diterima oleh operator transportasi multimuda ke suatu tempat yang ditentukan untuk penerimaan barang tersebut (KM. 49/2005 tentang Sistranas dikutip dari Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, 2006). Namun, berdasarkan US Committee on Intermodal Freight Tranport yang dikutip Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (2006) menerangkan bahwa transportasi antarmoda/multimoda didefinisikan sebagai pengguna dua atau lebih moda transportasi untuk memindahkan barang/orang dari titik asal ke titik tujuan. Pergerakan antarmoda melibatkan infrastruktur fisik, pergerakan, dan perpindahan barang/orang serta kemampuan dan panduan informasi dengan menggunakan freight bill/tiket penumpang tunggal.

3.1.2. Pengertian Investasi dan PendanaanIklim investasi yang baik akan mendorong tumbuhnya investasi sektor swasta yang produktif sebagai penggerak

pertumbuhan dan mengurangi kemiskinan. Sebab dengan adanya investasi, maka akan menciptakan kesempatan dan lapangan kerja bagi masyarakat.

Di dalam makroekonomi investasi memegang dua peranan penting, yaitu:1. Investasi merupakan komponen pengeluaran yang cukup besar dan berubah-ubah yang berpengaruh pada

permintaan agregat dan tingkat output.2. Investasi menghimpun akumulasi modal.

Oleh karena itu, investasi atau pembentukan modal adalah penambahan atas barang-barang modal (Mankiw, 2000). Pengertian lainnya mengungkapkan bahwa investasi adalah penambahan sejumlah aset perekonomian yang diperlukan untuk menambah atau mengganti barang modal yang digunakan untuk berproduksi (Tridoyo Kusumastanto, dkk., 1999).

Investasi terkait dengan pendanaan, yaitu siapa yang mendanai proyek-proyek investasi tersebut. Terdapat dua pendekatan investasi, yaitu investasi otonom dan investasi dorongan (Mankiw, 2000). Investasi otonom adalah investasi yang besarnya tidak dipengaruhi oleh besarnya pendapatan nasional maupun tingkat suku bunga. Biasanya investasi otonom dilakukan oleh pemerintah terkait dengan penyediaan barang-barang publik (public goods). Sedangkan investasi dorongan adalah investasi yang dipengaruhi oleh besarnya tingkat pendapatan nasional. Biasanya yang melakukan investasi adalah sektor swasta atau rumah tangga.

3.1.3. Skema PendanaanSampai dengan saat ini, diketahui terdapat beberapa skema/sumber pendanaan sektor transportasi, yaitu:

BUMN dan APBN Sektor Transportasi Subsidi dan PSO Pinjaman dan hibah luar negeri Kerjasama dengan Swasta

Berdasarkan data realisasi pengeluaran APBN untuk anggaran pembangunan, diketahui bahwa trend proporsi pengeluaran dana pembangunan total dan untuk sektor transportasi mengalami penurunan (lihat Gambar 1). Gambar 1 juga menginformasikan bahwa proporsi pembiayaan sektor transportasi dari dana rupiah murni dan pinjaman luar negeri (PLN) terhadap pengeluaran APBN terjadi proporsi pembiayaan yang hampir balance atau seimbang.

Gambar 1 Proporsi Realisasi Pengeluaran Pembangunan dan Sektor Transportasi terhadap Total Pengeluaran APBN

(Sumber: Nota Keuangan, Dep. Keuangan)

45I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

Gambaran realisasi pengeluaran pembangunan tersebut dapat merefleksikan begitu rendahnya pendanaan bagi sektor transportasi. Kondisi tersebut dapat dimengerti mengingat pada tahun 1997, Indonesia mengalami keterpurukan akibat krisis ekonomi sehingga sumber-sumber dana lebih difokuskan untuk mendanai sektor-sektor sosial agar masyarakat tidak lebih terpuruk akibat krisis. Dampak dari hal tersebut adalah sektor infrastruktur tidak terdanai dengan baik. Namun seiring dengan adanya perbaikan ekonomi, maka sektor infrastruktur mulai dilirik kembali untuk dibangun karena sektor ini sebagai sektor yang mendukung pengembangan sektor ekonomi.

Lebih detail, gambaran RAPBN untuk sektor transportasi baik yang Rp murni maupun PLN disampaikan pada Gambar 2. Tampak pada gambar tersebut sub sektor transportasi jalan masih mengambil proporsi paling tinggi dibandingkan sub sektor lainnya. Walaupun pada beberapa sub sektor terjadi fluktuasi, namun secara keseluruhan alokasi anggaran untuk sektor transportasi terus mengalami kenaikan rata-rata sebesar 25,5% atau Rp 4,227 triliun pada tahun 2001 menjadi Rp 15,698 triliun pada tahun 2007, seperti disampaikan pada Gambar 3. Peningkatan besaran anggaran tersebut, ternyata belum mampu secara signifikan memperbaiki kinerja sektor transportasi.

Gambar 2 Pendanaan Sektor Transportasi dari APBN (RP murni dan PLN) 2001-2007

(Sumber: Nota Keuangan, Dep. Keuangan)

Gambar 3 Pendanaan Sektor Transportasi dari APBN 2001-2007

(Sumber: Nota Keuangan, Dep. Keuangan)

Selanjutnya, proyeksi untuk pendanaan di sektor transportasi yang diperoleh dari RJPM dari Departemen Perhubungan dengan Departemen Pekerjaan Umum, dapat dilihat pada Gambar 4 dan Tabel 1.

Gambar 4 Proyeksi Pendanaan Sektor Transportasi dari APBN, BUMN, dan Swasta

(Sumber: Renstra Departemen Perhubungan dan Departemen Pekerjaan Umum, Tahun 2005-2009)

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 846

Tabel 1 Proyeksi Pendanaan Sektor Transportasi dari APBN, BUMN, dan Swasta (Rp Juta)

NOSEKTOR

TRANSPORTASI

Tahun 2005

APBN BUMN SWASTA TOTAL

PLN Rp Murni Total

1. Transportasi Darat 13.055.030 1.324.210 13.302.280 27.681.520

2. Transportasi Laut 4.642.380 524.510 14.393.180 19.560.070

3. Transportasi Udara 1.269.700 4.438.510 241.120 5.949.330

4. Program Pendukung 634.795 - - 634.795

5. Infrastruktur Jalan 1.892.959 12.442.882 14.335.841 14.335.841

TOTAL 1.892.959 12.442.882 33.937.746 6.287.230 27.936.580 68.161.556

Tahun 2006

1. Transportasi Darat 6.708.340 1.433.470 14.415.360 22.557.170

2. Transportasi Laut 3.317.150 605.200 35.779.180 39.701.530

3. Transportasi Udara 2.195.390 2.061.550 202.180 4.459.120

4. Program Pendukung 8.715.890 - - 8.715.890

5. Infrastruktur Jalan 3.660.093 17.930.366 21.590.459 21.590.459

TOTAL 3.660.093 17.930.366 42.527.229 4.100.220 50.396.720 97.024.169

Tahun 2007

1. Transportasi Darat 6.325.670 1.326.708 15.280.910 22.933.288

2. Transportasi Laut 5.036.020 816.000 59.238.180 65.090.200

3. Transportasi Udara 1.573.020 2.167.720 291.670 4.032.410

4. Program Pendukung 11.225.670 - - 11.225.670

5. Infrastruktur Jalan 18.441.011 18.441.011 18.441.011

TOTAL 18.441.011 42.601.391 4.310.428 74.810.760 121.722.579

Tahun 2008

1. Transportasi Darat 25.333.630 1.054.540 16.934.860 43.323.030

2. Transportasi Laut 1.054.540 833.770 93.430.180 95.318.490

3. Transportasi Udara 833.770 4.097.340 279.940 5.211.050

4. Program Pendukung 4.097.340 - - 4.097.340

5. Infrastruktur Jalan 972.272 19.660.840 20.633.112 20.633.112

TOTAL 972.272 19.660.840 20.664.855 5.985.650 110.644.980 168.583.022

Tahun 2009

1. Transportasi Darat 5.835.380 1.031.610 18.512.440 25.379.430

2. Transportasi Laut 4.450.990 635.570 123.741.180 128.827.740

3. Transportasi Udara 3.893.160 5.353.770 385.410 9.632.340

4. Program Pendukung 19.216.550 - - 19.216.550

5. Infrastruktur Jalan 516.636 15.731.828 16.248.464 16.248.464

TOTAL 516.636 15.731.828 49.644.544 7.020.950 142.639.030 199.304.524

Sumber: Renstra Departemen Perhubungan dan Departemen Pekerjaan Umum, Tahun 2005-2009

Hasil proyeksi pendanaan sektor transportasi yang dialokasikan dari APBN dari tahun ke tahun mengalami penurunan, sedangkan pendanaan dari pihak swasta menunjukkan trend yang semakin meningkat. Artinya, pemerintah berusaha memberikan porsi yang cukup besar kepada pihak swasta untuk terlibat dalam pendanaan sektor transportasi. Tentu saja, sektor-sektor transportasi yang dipromosikan kepada pihak swasta diharapkan dapat menghasilka keuntungan baik terhadap swasta itu sendiri ataupun terhadap peningkatan aktivitas ekonomi di mana investasi sektor transportasi tersebut ditanamkan. Sedangkan pendanaan sektor transportasi oleh BUMN lebih cenderung tidak memberikan porsi yang cukup besar. Kemungkinan besar, BUMN ditargetkan sebagai mitra bagi sektor swasta untuk mendanai sektor transportasi.

Begitu besarnya harapan pemerintah agar pihak swasta dapat terlibat dalam pendanaan sektor transportasi, maka diperlukan berbagai skema yang diperlukan agar pendanaan oleh sektor swasta dapat memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Sedangkan pendanaan sektor transportasi oleh pemerintah lebih difokuskan pada sektor transportasi perintisan dan sektor transportasi yang menguasai hajat hidup orang banyak melalui subsidi atau PSO.

3.2. Ruang Lingkup dan Tahapan KegiatanSeperti disampaikan pada bagian latar belakang, pembahasan pada tulisan ini difokuskan pada penyelenggaraan

angkutan jalan dan kereta api perkotaan. Dalam bentuk diagram alir, tahapan kegiatan kajian ini disampaikan pada Gambar 5.

47I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

Gambar 5 Tahapan Pelaksanaan dan Lingkup Kajian

Sampai dengan saat ini pendanaan pada penyelenggaraan angkutan jalan masih bergantung pada sektor swasta (sebagai operator), dimana peran Pemerintah, sebagai regulator, masih terbatas pada penerbitan ijin operasi dan trayek. Untuk memperbaiki kinerja penyelenggaraan angkutan umum jalan, maka perlu peran Pemerintah yang lebih signifikan, terutama, dalam penetapan trayek, spesifikasi operasi pelayanan, maupun ijin operasi terkait dengan kebutuhan armada dan lain sebagainya. Adapun studi kasus yang diperiksa adalah penyelenggaraan busway di Jakarta dan Pemadu Moda yang melayani rute Bandung (Bandung Super Mall) - Bandara Soekarno-Hatta. Kedua studi kasus tersebut, walaupun masih memiliki banyak keterbatasan, merupakan model dasar mekanisme kerjasama pemerintah-swasta dan pendanaan dalam penyelenggaraan angkutan jalan di Indonesia di masa yang akan datang. Bagaimana potensi permasalahan serta alternatif solusinya sebagai dasar kajian untuk pengembangannya di tempat lain dan pada masa yang akan datang menjadi fokus kajian pada tulisan ini.

Fokus kajian berikutnya adalah mekanisme pendanaan kereta api perkotaan yang sampai dengan saat ini masih mengandalkan dana PSO yang terbatas dari Pemerintah. Pembahasan ini, secara khusus, berangkat dari kinerja kereta api perkotaan yang kurang memadai dan cenderung tidak berkembang pada kota-kota besar di Indonesia yang notabene membutuhkan, misalnya Bandung, Surabaya, Medan, dll. Pembahasan ini lebih diarahkan pada penyampaian alternatif pendanaan kereta api perkotaan untuk pengembangannya di masa yang akan datang. Alternatif tersebut telah difasilitasi dengan disahkannya UU Perkeretapian No. 23 tahun 2007 sebagai pengganti UU yang lama (UU No. 13 tahun 1992).

Secara umum, tahapan kegiatan untuk pelaksanaan kajian Strategi Pendanaan Program Pembangunan Sektor Transportasi Pasca Revisi Undang-Undang Sektor Transportasi ini meliputi substansi-substansi sebagai berikut, 1. Review revisi (dan rancangan revisi) UU sektor transportasi, khususnya yang telah mengalami revisi2. Pemeriksaan studi kasus:

a. Busway Jakartab. Pemadu moda BSM – Bandara Soekarno-Hattac. KA Perkotaan (MRT Jakarta dan KA Bandung – Jatinangor)

3. Kajian terhadap aspek regulasi, mekanisme dan kebutuhan pendanaan4. Identifikasi permasalahan5. Alternatif Solusi

4. HASIL KAJIAN DAN ANALISIS

4.1. Kajian Peraturan Perundang-undanganKajian perundang-undangan dalam konteks ini, sesuai dengan batasan ruang lingkup, dibatasi pada UU (lalu lintas)

angkutan jalan dan perkertaapian. Sampai dengan saat ini, UU lalulintas dan angkutan jalan masih dalam revisi dan belum disahkan, sedangkan revisi UU perkeretaapian telah disahkan. Secara umum, peraturan perundang-undangan sub sektor transportasi tersebut tidak secara eksplisit mengatur tentang strategi pendanaan. Hanya saja diperoleh suatu tren atau pola untuk sebesar-besarnya membuka peluang bagi keterlibatan swasta dalam penyelenggaraan dan pengelolaan sektor transportasi. Dalam konteks ini, peraturan perundang-undangan yang ada atau yang lama (UU jalan dan UU perkeretaapian) telah membuka peluang keterlibatan swasta dalam penyelenggaraan dan pengelolaannya, walaupun dengan format yang lebih terbatas. Atau dengan kata lain, keterlibatan pemerintah (dengan BUMN-nya) dalam penyelenggaraan dan pengelolaan sektor transportasi masih cukup signifikan.

Isu yang lain yang dapat disampaikan menyangkut terminologi penyelenggaraan transportasi yang berorientasi pelayanan publik dan bisnis. Dalam peraturan perundangan yang ada atau yang lama terdapat kecenderungan penggabungan manajemen antara dua orientasi pelayanan tersebut. Sangat jelas bahwa dua substansi tersebut sangat

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 848

kontradiktif, pelayanan publik, tentu saja, berorientasi pada pelayanan masyarakat yang tidak berorienasi bisnis atau profit. Dalam hal ini peran Pemerintah seharusnya sangat dominan, khususnya dalam hal pendanaannya. Sayangnya, pelayanan bisnis, yang seharusnya berorientasi profit, harus dibebani dengan pelayanan publik.

Contoh sangat jelas terdapat pada penyelenggaraan perkeretaapian era UU No. 13 tahun 1992. Dengan status sebagai perseroan terbatas PT KA (persero), sebagai operator tunggal penyelenggaraan perkeretaapian di Indonesia, pada satu sisi ditargetkan untuk menghasilkan profit untuk menjaga kesinambungan bisnisnya. Namun pada sisi yang lain dibebani pelayanan kelas ekonomi yang notabene ‘merugikan’, mengingat tarifnya yang sangat murah. Mekanisme pendanaan PSO, IMO dan TAC yang diharapkan mampu menjembatani pembagian peran bisnis dan publik (antara Pemerintah dan PT KA (Persero)) tersebut, dalam perjalanannya juga masih menghadapi banyak kendala. Kondisi tersebut, pada akhirnya bermuara pada kinerja perkeretaapian Indonesia yang terus merosot. Pembahasan lebih lanjut disampaikan pada tinjauan studi kasus tentang perkeretaapian.

Pada peraturan perundangan yang baru atau rancangan revisinya, secara umum, terdapat klausul-klausul, yang berusaha memisahkan substansi ‘publik’ dan ‘bisnis’ dalam penyelenggaraan dan pengelolaan transportasi tersebut. Pembagian substansi dalam hal ini merefleksikan pembagian peran dan tanggung jawab antara regulator (pemerintah) dan operator (badan usaha) dalam penyelenggaraan dan pengelolaan prasarana dan sarana sektor transportasi.

4.2. Contoh Kasus: Busway JakartaSaat ini penyelenggaraan busway di Jakarta telah memasuki tahun ketiga. Kalau dari modernisasi transportasi,

memang sudah selayaknya Jakarta punya sistem transportasi bagus seperti busway. Manfaat yang diperoleh cukup banyak, seperti bisa cepat sampai, aman dari tindak kejahatan, nyaman dan relatif murah serta irit karena bisa transfer jurusan. Diharapkan semua kebaikan manfaat Busway tersebut bisa dipertahankan, seiring diadakannya pembenahan-pembenahan untuk menjadikan busway sebagai transpotasi umum perkotaan yang betul-betul profesional dalam soal pelayanan dan prima dalam soal perangkat fasilitas.

Saat ini Busway dikelola oleh Badan Layanan Umum TransJakarta Busway yang memiliki visi “Busway sebagai angkutan umum yang mampu memberikan pelayanan publik yang cepat, aman, nyaman, manusiawi, efisien, berbudaya, dan bertaraf internasional”. Namun pegelolaan busway Jakarta saat ini memiliki beberapa permasalahan terkait dengan operasional dan kelembagaan. Secara keseluruhan, ringkasan konsepsi penyelenggaraan dan pendanaan busway serta potensi permasalahan dan alternatif solusinya disampaikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Konsepsi Penyelenggaraan dan Pendanaan Busway JakartaKonsep Penyelenggaaraan dan

PendanaanKelebihan Potensi Permasalahan Alternatif Solusi dan Instansi

Pelaksana

- Trayek dan spesifikasi pelayanan ditetapkan oleh Pemerintah Daerah

- Penyediaan prasarana oleh Pemda- Penyediaan sarana oleh operator

(kecuali koridor 1, pengadaan sarana oleh Pemda)

- Biaya operasional sepenuhnya menjadi beban operator terpilih

- Operator mendapat subsidi atas kekurangan dari pendapatan tiket

Operator sepenuhnya dapat berkonsentrasi pada pelayanan, sehingga kinerja pelayanan dapat lebih terjamin

- Pengembangan operasi pelayanan sangat tergantung pada kemampuan finansial Pemda

- Butuh subsidi tinggi untuk koridor-koridor dengan demand yang kurang memadai

- Perlu intervensi Pemerintah untuk mengatur tingkat bunga pinjaman dan pajak pengadaan bus (DepKeu, Dephub, Bappenas)

- Restrukturisasi kelembagaan busway terkait dengan bentuk BLUD untuk menjamin fleksibilitas pendanaan (Dishub Prov. DKI)

4.3. Contoh Kasus: Pemadu ModaUntuk kegiatan Pemadu Moda, kota-kota besar saat ini membutuhkan pelayanan yang terpadu. Perpindahan moda

merupakan kegiatan yang dilakukan untuk melakukan perjalanan. Perpindahan moda dapat bisa berarti: (1) Kegiatan/tindakan berpindah moda, (2) Tempat dimana orang melakukan perpindahan moda, (3) Sebuah fasilitas yang dibangun untuk meningkatkan kualitas perpindahan moda itu sendiri. Sedangkan pemaduan moda merupakan penggabungan dua atau lebih aktivitas atau kegiatan agar diperoleh hasil yang lebih efisien dan dapat memberikan nilai tambah.

Untuk itu perlu dikembangkan kemitraan (kerjasama) dari beberapa instansi, operator dan pihak swasta lain sangat diperlukan untuk lancarnya proses perpindahan moda. Dalam rangka fasilitasi dan menunjang pekerjaan kemitraan ini, perlu dibentuk atau diberdayakan suatu lembaga/organisasi yang berfungsi untuk mengawasi dan mengevaluasi jalannya perpindahan moda, termasuk di dalamnya memberikan dukungan kepada kemitraan tersebut.

Dengan berkembangnya kemitraan tersebut, diharapkan perpindahan moda menjadi lebih mudah, lebih cepat dan lebih nyaman akan menjadi prioritas dari strategi pengembangan transportasi perkotaan di Indonesia. Secara jelas telah dikemukakan bahwa tugas-tugas yang sedang dikerjakan dan kemitraan yang terbentuk akan menghasilkan kemajuan dan peningkatan perpindahan moda di Indonesia, sehingga instansi terkait dan operator yang terlibat di dalamnya akan dapat berkontribusi positif terhadap penerapan strategi transportasi yang terintegrasi.

Pemerintah saat ini telah mengatur mengenai kegiatan pemaduan moda. Hal ini disiapkan untuk memberikan kesempatan dan menarik minat swasta dalam penyediaan pelayanan pemaduan moda ini. Kegiatan angkutan pemadu

49I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

moda yang melibatkan swata dalam penyediaan pelayanan pertama kali dilaksanakan di rute Bandung Supermal ke Bandara Soekarno-Hatta.

Mekanisme seleksi terbuka dilakukan untuk lebih menjamin standar kualitas pelayanan dan tarif dari penyelenggaraan angkuta pemadu moda tersebut. Perizinan trayek memang akan dilakukan dengan pendekatan kualitas pelayanan. Dengan menggunakan sistem seleksi terbuka, kualitas pelayanan dan kenyamanan akan lebih terjamin karena perusahaan otobus otomatis akan berupaya meningkatkan kualitas pelayanan mereka. Hal ini akan berdampak kepada kualitas pelayanan, jika kualitas pelayanan menurun maka izin trayek bus tidak akan diperpanjang dan dilakukan seleksi kembali pada periode kontrak berikutnya untuk memilih operator lain yang lebih mampu untuk menyediakan layanan yang lebih baik. Adapun ringkasan konsepsi penyelenggaraan dan pendanaan Pemadu Moda BSM-Bandara Soekarno-Hatta ini disampaikan pada Tabel 3. Pada tabel tersebut juga disampaikan beberapa potensi permasalahan serta alternatif solusinya.

Tabel 3 Konsepsi Penyelenggaraan dan Pendanaan Pemadu Moda BSM-Bandara Soekarno-Hatta

Konsep Penyelenggaaraan dan Pendanaan

Kelebihan Potensi Permasalahan Alternatif Solusi

- Trayek dan spesifikasi pelayanan ditetapkan oleh Pemerintah

- Operator diseleksi oleh Pemerintah dengan kriteria pemilihan tertentu

- Biaya operasional sepenuhnya menjadi beban operator terpilih

- Operator mendapat revenue langsung dari pendapatan tiket

Pemerintah tidak dibebani biaya apapun dalam penyelenggaraan pelayanannya

- Resiko yang dibebankan pada operator dalam hal ini cukup tinggi

- Dibutuhkan mekanisme pengawasan untuk menjamin kinerja pelayanan, mengingat operator masih harus memikirkan revenue minimal untuk menutup kebutuhan biaya operasionalnya

- Jika demand ternyata lebih rendah dari yang diperkirakan atau operator merugi, siapa yang harus meng-cover?...

- Bagaimana pula kemungkinan pengembangannya untuk koridor yang tidak komersial (demand rendah)...

- Mekanisme seleksi dirubah menjadi sistem tender dengan pendapatan dan biaya operasional diatur oleh Pemerintah (DepKeu, Dephub)

- Konsekuensi:- Perlu pemeriksaan kemampuan

finansial Pemerintah (DepKeu, Dephub, Bappenas)

- Perlu dibentuk badan khusus (Pemerintah) yang mengatur penyelenggaraan dan pengawasan operasinya (DepHub)

Keterangan: DepKeu: Departemen Keuangan, DepHub: Departemen Perhubungan, Dishub: Dinas Perhubungan)

4.4. Contoh Kasus: Kereta Api PerkotaanPerundang-undangan di sektor transportasi pada era tersebut masih didominasi oleh peran pemerintah, bersifat

sentralistik dan cenderung monopoli untuk penyediaan infrastruktur melalui BUMN sektor transportasi. Rancangan revisi undang-undang sektor transportasi (maupun UU yang telah disahkan) telah membuka kesempatan yang lebih besar kepada swasta untuk meningkatkan partisipasinya dengan pola kerjasama pemerintah dan swasta dalam penyelenggaraan sektor transportasi. Undang-undang pada sektor transportasi yang telah direvisi memberikan peluang yang lebih besar kepada swasta khususnya dalam penyediaan prasarana dan transportasi.

Kajian terhadap rancangan revisi undang-undang (maupun undang-undang baru) sektor transportasi tersebut tidak secara eksplisit mengatur tentang strategi pendanaan. Hanya saja diperoleh suatu tren atau pola untuk sebesar-besarnya membuka peluang bagi keterlibatan swasta dalam penyelenggaraan dan pengelolaan sektor transportasi.

Dalam peraturan perundangan yang ada atau yang lama terdapat kecenderungan penggabungan manajemen antara pelayanan yang berorientasi publik dan bisnis, dua substansi yang diketahui sangat kontradiktif. Pada satu sisi pelayanan publik, berorientasi pada pelayanan masyarakat dan tidak berorienasi bisnis atau profit yang merupakan fokus dari pelayanan yang berorientasi bisnis. UU yang baru atau rancangan revisinya, secara umum, terdapat klausul-klausul, yang berusaha memisahkan substansi ‘publik’ dan ‘bisnis’ dalam penyelenggaraan dan pengelolaan transportasi tersebut. Pembagian substansi dalam hal ini merefleksikan pembagian peran dan tanggung jawab antara regulator (pemerintah) dan operator (badan usaha) dalam penyelenggaraan dan pengelolaan prasarana dan sarana sektor transportasi.

Tinjauan kasus pendanaan pada sub sektor perkeretaapian melalui mekanisme skema PSO, IMO, TAC diketahui belum dapat diimplementasikan secara konsisten. Perangkat peraturan tentang penerimaan bukan pajak dari hasil TAC tersebut sampai saat ini belum ada sehingga untuk sementara diperhitungkan sebagai pengurangan atas nilai kewajiban pemerintah dalam PSO+IMO atau dikenal sebagai Net (PSO+IMO-TAC).

Besarnya pendanaan Net (PSO+IMO-TAC) tersebut mempengaruhi cash flow dan kondisi likuiditas keuangan PT. Kereta Api (Persero). Tapi jumlah net yang diberikan pemerintah bisa lebih kecil dari net yang seharusnya diberikan. Pada model di atas net memiliki faktor pengali koreksi faktor net yang artinya pemerintah bisa memberikan net di bawah net yang harus diberikan pada PT. Kereta Api (Persero).

Sistem pendanaan yang bersumber dari pemerintah masih belum saling terkoordinasikan dalam sistem perencanaan anggaran dan alokasi penggunaannya, yaitu melalui dana pembangunan (APBN sub sektor transportasi darat, yang dilaksanakan oleh departemen perhubungan) dengan dana pemerintah melalui subsidi dari alokasi dana rutin/pos lain-lain Departemen Keuangan kepada badan penyelenggara/PT Kereta Api (Persero).

Selain subsidi pemerintah kepada PT Kereta Api (Persero) dengan sistem block grant, juga terdapat sumber

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 850

pendanaan lain pemerintah (dana APBN pembangunan) mengakibatkan sasaran subsidi menjadi tidak jelas, begitu pula akuntabilitas pendanaan maupun sasaran kinerja pelayanannya (tidak ada semacam sistem kontrak dengan tolok ukur penggunaan sistem subsidi tersebut).

Salah satu pelaksanaan reformasi kebijakan adalah meningkatkan kejelasan dan akuntabilitas serta efisiensi sistem investasi dan pendanaan perkeretaapian adalah melalui penerapan skema pendanaan PSO-IMO-TAC, karena belum ada ketegasan yang jelas antara peran pemerintah sebagai regularor dengan peran BUMN perkeretaapian sebagai operator begitu pula dalam sistem penyelenggaraaan dan pendanaan perkeretaapiannya, sehingga akuntabilitas pelayanan susah dilaksanakan.

Tinjauan kasus pembangunan MRT Jakarta menunjukkan bahwa dengan pembayaran tahunan pinjaman tetap sama dengan scenario kondisi dasar sebesar Rp 254 milyar (Rp 23 milyar untuk bunga dan Rp 231 milyar pinjaman pokok), net cash flow tahunan operasi MRT Jakarta setelah memasuki pembayaran pinjaman adalah minus Rp 11 milyar. Dengan skenario pendanaan yang sama, kasus rencana pengembangan KA Bandung-Jatinangor menunjukkan net cash flow tahunan proyek KA Komuter Bandung-Jatinangor adalah Rp 18,89 milyar pada tahun awal periode pembayaran pinjaman (tahun ke-10). Secara prinsip defisit yang Rp 18,89 milyar per tahun tersebut harus ada yang menanggung. Jika ditinjau skenario cost demarcation-nya, maka untuk opsi Pemda menanggung beban biaya minimal (19%), beban tanggungan Pemda per tahunnya setara dengan 0,074% dari APBD Provinsi Jawa Barat sebesar Rp 4,824 triliun pada tahun 2005 (sumber: Perda APBD (2001 – 2005) dan perhitungan APBD (2001 – 2004)). Sedangkan untuk opsi Pemda menanggung beban maksimal (58%, seperti pada kasus MRT Jakarta) beban Pemda mencapai 0,23% dari nilai APBD-nya.

Alternatif solusi jangka pendek dari konsep pendanaan PSO, IMO dan TAC ini adalah membuat aliran pendanaan dan pembiayaan yang jelas untuk PSO, IMO maupun TAC. Sedangkan solusi jangka panjangnya adalah dengan mengalirkan dana PSO langsung kepada unit operator KA Ekonomi di dalam PT. Kereta Api (Persero) atau operator lain selain PT. Kereta Api (Persero) bila memungkinkan pasca revisi Undang-undang Perkeretaapian. Untuk dana IMO, perlu dibentuk badan penyelenggara khusus yang menangani pemeliharaan prasarana. Sedangkan aliran dana TAC dibebankan kepada operator-operator KA yang menggunakan prasarana dalam penyelenggaraan operasinya.

Di masa yang akan datang beberapa alternatif yang dapat dijadikan alternatif pendanaan perkeretaapian adalah sebagai berikut:a. Mekanisme Value Capture. misalnya melalui mekanisme sebagai berikut: Pajak Kemacetan, pajak yang dibebankan pada pusat kegiatan yang menimbulkan bangkitan dan tarikan baru atau

kemacetan lalu lintas. Pajak ini selanjutnya dapat dialokasikan sebagai alternatif sumber pendanaan untuk pengembangan KA perkotaan (misalnya) sebagai salah satu solusi mengurangi beban kemacetan lalu lintas jalan.

Pajak ”versement transport” seperti diterapkan di Perancis, dimana perusahaan dengan jumlah karyawan lebih dari 9 dibebani pajak yang dapat digunakan untuk mengembangkan KA perkotaan. Pertimbangan mendasar adalah bahwa perusahaan tersebut diperhitungkan cukup merasakan manfaat atas fasilitas transportasi yang disediakan oleh Pemerintah.

b. Mekanisme Pembiayaan Silang. Mekanisme ini (atau subsidi silang) yang dimaksud dalam konteks ini bukan semata-mata mengalihkan profit pada satu pasar untuk menutupi defisit pada pasar lain di bawah satu manajemen (PT KA (persero)) seperti prakteknya saat ini. Mekanisme pembiayaan silang yang dimaksud adalah dengan mengalokasikan biaya sesuai dengan peruntukkannya. Sebagai contoh, pendapatan Pemerintah dari pajak yang dibayarkan swasta atas operasi KA komersial (di luar TAC yang didedikasikan untuk pemeliharaan prasarana) dialokasikan untuk mendukung penyelenggaraan KA ekonomi. Namun demikian, dalam hal ini mekanisme aliran subsidi silang ini tidak melalui manajemen pengelolaan yang sama. Atau dengan kata lain, manajemen pengelolaan KA komersil oleh swasta harus terpisah dengan manajemen pengelolaan KA ekonomi oleh Pemerintah. Sehingga masing-masing memiliki akuntabilitasnya sendiri-sendiri.

Konsep ini sama dengan usulan konsep road fund pada transportasi jalan, dimana pada konsep tersebut diberlakukan prinsip sebagai berikut: alokasi pendanaan dari jalan kembali dialokasikan untuk jalan (earmarking) pengguna membayar atas pelayanan yang mereka terima (fee for services)

Mekanisme Pembiayaan swasta. Mekanisme ini khususnya difokuskan pada angkutan KA yang memang secara finansial menguntungkan, terutama angkutan barang seperti batu bara atau KA penumpang yang melalui koridor-koridor padat penduduk. Untuk keperluan ini perlu diidentifikasi koridor-koridor pelayanan KA potensial yang dapat ”dijual” ke swasta. Mekanisme pembiayaan swasta ini seyogyanya murni untuk pelayanan angkutan KA komersial dan tidak perlu dibebani dengan ”titipan” beban operasi pelayanan angkutan KA penumpang ekonomi. Namun demikian, terkait dengan mekanisme perpajakan, sebagai salah satu kerangka dasar pendanaan yang diusulkan tersebut, perlu kajian lebih lanjut mengingat UU perpajakan serta mekanisme anggaran negara kita. Sebagai tindak lanjut, perlu pembahasan berasama antara Bappenas, Departemen Perhubungan dan Departemen Keuangan serta instansi terkait lainnya (misalnya Pemerintah Daerah) untuk mewujudkan mekanisme pendanaan ini.

51I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1 KesimpulanPerundang-undangan di sektor transportasi saat ini masih didominasi oleh peran pemerintah, bersifat sentralistik

dan cenderung monopoli untuk penyediaan infrastruktur melalui BUMN sektor transportasi. Rancangan revisi undang-undang sektor transportasi (maupun revisi UU yang telah disahkan) telah membuka kesempatan yang lebih besar kepada swasta untuk meningkatkan partisipasinya dengan pola kerjasama pemerintah dan swasta dalam penyelenggaraan sektor transportasi. Undang-undang pada sektor transportasi yang telah direvisi memberikan peluang yang lebih besar kepada swasta khususnya dalam penyediaan prasarana dan transportasi.

Kajian terhadap rancangan revisi undang-undang (maupun undang-undang baru) sektor transportasi tersebut tidak secara eksplisit mengatur tentang strategi pendanaan. Hanya saja diperoleh suatu tren atau pola untuk sebesar-besarnya membuka peluang bagi keterlibatan swasta dalam penyelenggaraan dan pengelolaan sektor transportasi.

Dalam peraturan perundangan yang ada atau yang lama terdapat kecenderungan penggabungan manajemen antara pelayanan yang berorientasi publik dan bisnis, dua substansi yang diketahui sangat kontradiktif. Pada satu sisi pelayanan publik, berorientasi pada pelayanan masyarakat dan tidak berorienasi bisnis atau profit yang merupakan fokus dari pelayanan yang berorientasi bisnis. UU yang baru atau rancangan revisinya, secara umum, terdapat klausul-klausul, yang berusaha memisahkan substansi ‘publik’ dan ‘bisnis’ dalam penyelenggaraan dan pengelolaan transportasi tersebut. Pembagian substansi dalam hal ini merefleksikan pembagian peran dan tanggung jawab antara regulator (pemerintah) dan operator (badan usaha) dalam penyelenggaraan dan pengelolaan prasarana dan sarana sektor transportasi.

Pemerintah saat ini telah mengatur mengenai kegiatan pemaduan moda. Hal ini disiapkan untuk memberikan kesempatan dan menarik minat swasta dalam penyediaan pelayanan pemaduan moda ini. Kegiatan angkutan pemadu moda yang melibatkan swata dalam penyediaan pelayanan pertama kali dilaksanakan di rute Bandung Supermal ke Bandara Soekarno-Hatta.

Mekanisme seleksi terbuka dilakukan untuk lebih menjamin standar kualitas pelayanan dan tarif dari penye-lenggaraan angkuta pemadu moda tersebut. Perizinan trayek memang akan dilakukan dengan pendekatan kualitas pelayanan. Dengan menggunakan sistem seleksi terbuka, kualitas pelayanan dan kenyamanan akan lebih terjamin karena perusahaan otobus otomatis akan berupaya meningkatkan kualitas pelayanan mereka. Hal ini akan berdampak kepada kualitas pelayanan, jika kualitas pelayanan menurun maka izin trayek bus tidak akan diperpanjang dan dilakukan seleksi kembali pada periode kontrak berikutnya untuk memilih operator lain yang lebih mampu untuk menyediakan layanan yang lebih baik.

Saat ini Busway dikelola oleh Badan Layanan Umum TransJakarta Busway yang memiliki visi “Busway sebagai angkutan umum yang mampu memberikan pelayanan publik yang cepat, aman, nyaman, manusiawi, efisien, berbudaya, dan bertaraf internasional”. Namun pegelolaan busway Jakarta saat ini memiliki beberapa permasalahan terkait dengan operasional dan kelembagaan.

5.2 Rekomendasi Perlu pemeriksaan lebih lanjut terkait dengan kemampuan keuangan Pemerintah dalam penyelenggaraan

perkeretaapian serta pemeriksaan potensi pendanaan dari sumber yang lain. Beberapa sumber pendanaan yang lain yang dapat dikaji lebih lanjut antara lain:o Pendanaan publik atau pemerintah sendiri, APBD, APBN (Rp murni)o Pendanaan multilateral atau bilateral o Pendapatan dari pengguna infrastrukturo Bank-bank internasional dan pasar modal internasionalo Lembaga keuangan: bank-bank nasional, dana pensiun, asuransi dan pasar modal domestik.o Pajak melalui Mekanisme Value Capture. misalnya melalui mekanisme Pajak Kemacetan atau ”versement

transport” seperti diterapkan di Perancis, dllo Mekanisme Pembiayaan Silang

Pemeriksaan kinerja sistem perkeretaapian atas rekomendasi strategi pendanaan yang diusulkan, misalnya dengan pendekatan system dynamic ataupun dengan pilot project dengan pilihan kasus tertentu. Tinjauan kasus pemadu moda angkutan bandara Soekarno-Hatta merupakan salah satu contoh sukses konsep pendanaan transportasi yang dapat dikembangkan bih lanjut pada sub sektor transportasi publik lainnya.

Perlu perhatian lebih lanjut mengenai evaluasi sistem pelayanan. Hal ini terkait mekanisme quality licensing yang diusung dalam penyelenggaraan pelayanan pemadu moda ini. Hal ini juga menyangkut mekanisme sistem penilaian dan standar kualitas pelayanan serta mekanisme penghargaan dan hukuman (reward and punishment) bagi operator dalam penyediaan layanan kepada masyarakat.

Perlu dilakukan pembenahan kelembagaan penyelenggaraan Busway di Jakarta untuk memecahkan permasalahan opersional yang ada saat ini. Untuk itu diperlukan kajian lebih lanjut kelembagaan untuk mengadopsi struktur kelembagaan yang sesuai dengan kebutuhan manajemen operasional Busway.

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 852

Lampiran:

Kajian Peraturan Perundang-undangan Lalulintas dan Angkutan Jalan dan Perkeretaapian

1. Rancangan Undang-Undang Lalulintas dan Angkutan Jalan

Rancangan Undang-Undang tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan akan menggantikan UU No. 14 tahun 1992 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan. RUU ini dirancang sebab UU No. 14 tahun 1992 sudah dipandang tidak sesuai lagi sebagai landasan hukum bagi pembinaan dan penyelenggaraan lalulintas dan angkutan jalan, perkembangan kehidupan rakyat, perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi. Beberapa isu penting yang terkait dengan pendanaan diberikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Beberapa Isu Penting Pendanaan dalam RUU Lalulintas dan Angkutan Jalan

Perihal Pasal Isi

Terminal 20(1) Pembangunan terminal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dilakukan oleh pemerintah dan dapat mengikutsertakan swasta

20(2) Pembangunan terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan :penentuan lokasi;penyusunan rancang bangun; danpelaksanaan konstruksi

21(1) Penyelenggaraan terminal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) meliputi kegiatan pengoperasian dan pengelolaan terminal, yang dalam kegiatan pengoperasiannya dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten atau Pemerintah Kota dan dalam pengelolaan dapat mengikutsertakan swasta

23(1) Pada terminal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dapat dilakukan kegiatan usaha penunjang

23(2) Kegiatan usaha penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia.

25(1) Untuk menunjang kegiatan usaha pada lokasi tertentu dapat dibangun terminal barang khusus

25(2) Terminal barang khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibangun dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah atau Badan Usaha swasta

Fasilitas Parkir untuk Umum 29(1) Penyelenggaraan fasilitas parkir untuk umum di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dapat dilakukan oleh:badan hukum Indonesia; Badan Usaha yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; danperorangan warga negara Indonesia

Angkutan multimoda 109(1) Usaha angkutan Multimoda dapat dilakukan oleh badan hukum Indonesia yang telah mendapat izin

Biaya Parkir 30(1) Penyelenggara fasilitas parkir untuk umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dapat memungut biaya terhadap penggunaan fasilitas yang diusahakan

Usaha angkutan 115(1) Kegiatan usaha angkutan orang dan/atau barang dengan kendaraan bermotor umum dapat dilakukan oleh :badan hukum Indonesia;Badan Usaha yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia;atauperorangan warga negara Indonesia

Tarif angkutan 128(1) Tarif penumpang untuk angkutan orang dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (2) huruf a, ditetapkan oleh pengusaha angkutan berdasarkan kualitas pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (2)

128(2) Tarif penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan oleh pemerintah dalam hal :pelayanan angkutan orang dalam trayek tertentu hanya dilakukan oleh satu perusahaan atau beberapa perusahaan dengan kepemilikan yang sama;pelayanan angkutan yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat; dan/atau pelayanan angkutan yang disediakan untuk mendorong pengembangan wilayah

129(1) Tarif penumpang untuk angkutan orang tidak dalam trayek dengan menggunakan taksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 huruf a, ditetapkan pemerintah sesuai dengan kewenangannya masing-masing berdasarkan kualitas pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (2)

129(2) Tarif penumpang untuk angkutan orang tidak dalam trayek dengan cara sewa, keperluan pariwisata, dan di kawasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 huruf b, huruf c, dan huruf d, ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengguna dan penyedia jasa angkutan

130 Tarif angkutan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (1), ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengguna dan penyedia jasa angkutan

53I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

2. Undang-Undang No. 23 tahun 2007 tentang PerkeretaapianBerikut ini disampaikan beberapa isu penting terkait dengan pendanaan di sektor perkeretaapain yang dicakup

dalam UU tersebut sebagaimana tersaji dalam Tabel 2.

Tabel 2 Beberapa Isu Penting Pendanaan dalam UU Perkeretaapian

Perihal Pasal Isi

Pengertian Badan Usaha 1 Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau badan hukum Indonesia yang khusus didirikan untuk perkeretaapian

Penyelenggaraan Perkeretaapian Penyelenggaraan Prasarana

17 (1) Penyelenggaraan perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a berupa penyelenggaraan:prasarana perkeretaapian; dan/atausarana perkeretaapian.

17(2) Penyelenggaraan perkeretaapian khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b berupa penyelenggaraan:prasarana perkeretaapian; dan/atausarana perkeretaapian.

18 Penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum meliputi kegiatan:pembangunan prasarana;pengoperasian prasarana;perawatan prasarana; danpengusahaan prasarana.

23 Penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dilakukan oleh Badan Usaha sebagai penyelenggara, baik secara sendiri-sendiri maupun melalui kerja sama.Dalam hal tidak ada Badan Usaha yang menyelenggarakan prasarana perkeretaapian umum, Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat menyelenggarakan prasarana perkeretaapian.

24 Badan Usaha yang menyelenggarakan prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) wajib memiliki:izin usaha;izin pembangunan; danizin operasi.Izin usaha penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diterbitkan oleh pemerintah.Izin pembangunan prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud pada ayathuruf b diterbitkan setelah dipenuhinya persyaratan teknis prasarana perkeretaapian.Izin operasi prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diterbitkan setelah dipenuhinya persyaratan kelaikan operasi prasarana perkeretaapian.Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c diberikan oleh :Pemerintah untuk penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah provinsi;pemerintah provinsi untuk penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah; dan pemerintah kabupaten/kota untuk penyelenggaraan perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya dalam wilayah kabupaten/kota setelah mendapat rekomendasi pemerintah provinsi dan persetujuan Pemerintah.dimaksud dalam 14(1) huruf d yang tidak dilaksanakan oleh Badan Usaha prasarana kereta api diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah propinsi atau pemerintah kabupaten/kota

Penyelenggaraan Sarana 25 Penyelenggaraan sarana perkeretaapian umum sebagaimanadimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b meliputi kegiatan:pengadaan sarana;pengoperasian sarana;perawatan sarana; dand. pengusahaan sarana.

31 Penyelenggaraan sarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dilakukan oleh Badan Usaha sebagai penyelenggara, baik secara sendiri-sendiri maupun melalui kerja sama.Dalam hal tidak ada badan usaha yang menyelenggarakan sarana perkeretaapian umum, Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat menyelenggarakan sarana perkeretaapian.

32 Badan Usaha yang menyelenggarakan sarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 wajib memiliki:izin usaha; danizin operasi.Izin usaha penyelenggara sarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diterbitkan oleh Pemerintah.Izin operasi sarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diterbitkan oleh:Pemerintah untuk pengoperasian sarana perkeretaapian umum yang jaringanjalurnya melintasi batas wilayah provinsi dan batas wilayah negara;pemerintah provinsi untuk pengoperasian sarana perkeretaapian umum yangjaringan jalurnya melintasi batas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi; danpemerintah kabupaten/kota untuk pengoperasian sarana perkeretaapian umumyang jaringan jalurnya dalam wilayah kabupaten/kota;

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 854

Penyelenggaraan Perkeretaapian Khusus

33 Penyelenggaraan perkeretaapian khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dilakukan oleh badan usaha untuk menunjang kegiatan pokoknya.Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki:izin pengadaan atau pembangunan; danizin operasi.Perkeretaapian khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan teknis prasarana dan sarana perkeretaapian.Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh :Pemerintah untuk penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah provinsi dan batas wilayah negara;pemerintah provinsi untuk penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah; danpemerintah kabupaten/kota untuk penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya dalam wilayah kabupaten/kota setelah mendapat rekomendasi pemerintah provinsi dan persetujuan Pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Strategi Pendanaan Program Pembangunan Sektor Transportasi, Laporan Akhir, 2006

Instruksi Presiden No. 5 tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional

Keputusan Menteri Perhubungan No. 35 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan dengan Kendaraan Umum

Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Darat No. SK.2257/AJ.003/DRJD/2006 Tahun 2006 tentang Ujicoba Penerapan Pemberian Izin Trayek Angkutan Pemadu Moda Dengan Pendekatan Izin Berdasarkan Kualitas (Quality Licensing) Pada Trayek Bandung Super Mall (BSM) – Bandara Soekarno Hatta

Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 29 Tahun 2006 tentang Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah Provinsi DKI Jakarta

Rancangan Undang-Undang Lalulintas dan Angkutan Jalan

Special Assistance For Project Formation (SAPROF) For Jakarta Mass Rapid Transit (MRT) System, Final Report, 2005

Studi Kajian Analisis Dan Evaluasi Kebutuhan Sarana Dan Prasarana Angkutan Kereta Api Pada Jalur Bandung-Rancaekek-Jatinangor, Setda Prov. Jawa Barat, Laporan Akhir, 2007

Studi Kajian Mekanisme dan Perhitungan PSO, IMO, TAC, Departemen Perhubungan, Laporan Akhir, 2004

Studi Kelayakan Pengembangan Angkutan Massal (BRT), 2006, Badan Perencanaan Pembangunan, PemKot Surabaya

Studi Kelembagaan Perkeretaapian, Ditjen Perkeretaapian, Departemen Perhubungan, Laporan Akhir, 2006

Studi Master Plan Pengembangan Perkeretaapian Indonesia, PT KA (Persero) - LAPI - ITB, Laporan Akhir, 2005

Undang-Undang No. 14 tahun 1992 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan

Undang-Undang No. 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian

55I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

Prospek Penerapan Akuntansi Belanja

Kesehatan Nasional (NHA)DIREKTORAT KESEHATAN DAN GIZI MASYARAKAT

e-mail : [email protected]

Abstraksi

Tujuan utama dilakukan kajian Prospek Penerapan Akuntansi Belanja Kesehatan Nasional (NHA) ini adalah dihasilkannya formulasi konsep serta langkah-langkah untuk melembagakan Akuntansi Belanja Kesehatan Nasional (National Health Account (NHA)) di Indonesia, dan dihasilkannya data NHA detil Tahun 2002 dan NHA Global tahun 2003-2004. Kajian ini difokuskan pada perumusan konsep dan pencapaian kesepakatan untuk pelembagaan NHA, rekomendasi untuk legitimasi pelembagaan NHA dan pembentukan lembaga NHA, serta disepakatinya data NHA detil tahun 2002 dan NHA Global tahun 2003-2004. Kajian dilakukan melalui : studi literatur, pengumpulan data primer dan sekunder, diskusi, seminar, workshop, dan kunjungan lapangan di tingkat pusat dan daerah. Untuk tingkat daerah dilakukan wawancara mendalam terhadap narasumber yang berasal dari Bappeda, Dinas Kesehatan, Rumah Sakit Daerah dan Biro Keuangan Sekretarias Daerah.

Hasil studi ini antara lain menyimpulkan sebagai berikut : 1) NHA (National Health Account), PHA (Provincial Health Account) dan DHA (District Health Account) di Indonesia belum dilakukan secara sistematik, berkelanjutan, dan tidak berkembang karena tidak dilakukan proses pelembagaan NHA sehingga mampu menghasilkan data/informasi yang terpercaya dan tepat waktu, serta menjadi kegiatan yang berkesinambungan; 2) Pada umumnya para pengambil keputusan dan stakeholder terkait baik di tingkat pusat maupun daerah belum mengetahui manfaat NHA, PHA, dan DHA terutama dalam hal kebijakan, perencanaan, dan penganggaran kesehatan.

Beberapa rekomendasi kajian ini antara lain sebagai berikut: 1) Pelembagaan (institusionalisasi NHA) perlu dilakukan secara sistematis dan melibatkan semua institusi yang terkait untuk menggerakkan, mengkoordinir, melakukan dokumentasi dan diseminasi hasil; 2) Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan (PPJK) Depkes diusulkan sebagai “focal point” dalam pelaksanaan dan koordinasi kegiatan NHA, untuk legitimasi (dasar hukum) pelaksanaannya diperlukan surat keputusan (SK) Menteri Kesehatan; 3) Dalam pelaksanaan NHA/PHA/DHA perlu kerjasama dengan sektor terkait, yaitu institusi sumber data, pelaksana NHA dan pengguna hasil NHA; 4) Untuk pelaksanaan PHA diusulkan di Dinas Kesehatan Provinsi yang ditetapkan dengan SK Gubernur, sedangkan DHA diusulkan di Bappeda Kabupaten/Kota melalui SK Bupati/Walikota; 5) Untuk menjamin kesamaan persepsi dan keseragaman serta komparabilitas data NHA/PHA/DHA diperlukan buku pedoman atau panduan NHA untuk tingkat nasional dan PHA/DHA tingkat daerah; 6) Untuk meningkatkan pemahaman dan dukungan terhadap NHA/PHA/DHA maka diperlukan diseminasi kepada pengambil keputusan di Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota; dan 7) Data NHA yang telah dihasilkan perlu didesiminasikan untuk pengambil kebijakan dalam perencanaan kesehatan sesuai fungsi dan pelaksana kegiatan.

Kata kunci : pelembagaan, legitimasi, data/informasi NHA

1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan suatu negara tidak dapat terlepas dari suatu sistem yang disebut dengan Sistem Kesehatan.

Pada intinya sistem kesehatan merupakan seluruh aktifitas yang mempunyai tujuan utama untuk mempromosikan, mengembalikan dan memelihara kesehatan.

Sistem kesehatan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, sistem kesehatan tidak hanya mencakup “health care” atau pelayanan kesehatan, tetapi meliputi pengembangan

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 856

pembiayaan dan mekanisme risk pooling sehingga dapat melindungi masyarakat dari beban keuangan dan beban ekonomi karena penyakit. Dimensi lain menyangkut peningkatan kepuasan konsumen dan memberikan informasi dan pilihan, juga merupakan bagian penting dari sistem kesehatan.

Sistem kesehatan juga harus mampu memberikan manfaat kepada masyarakat dengan disitribusi yang adil. Sistem kesehatan tidak hanya menilai dan berfokus pada “tingkat manfaat” yang diberikan, tetapi juga bagaimana manfaat itu didistribusikan. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, sistem kesehatan melakukan setidaknya empat fungsi yang meliputi pembiayaan, pemberian pelayanan, produksi sumber daya dan pembimbingan.

Dengan melihat fungsi-fungsi tersebut, maka sistem kesehatan dapat dilihat sebagai sistem produksi. Untuk memproduksi barang dan jasanya, sistem kesehatan harus memobilisasi sumber daya, kemudian menyalurkan sumber daya tersebut ke lembaga menghasilkan produk dan jasa atau individual yang membelinya.

Banyak faktor yang menentukan kecukupan, efisiensi dan kualitas dari barang dan jasa sistem kesehatan. Salah satunya berkaitan dengan mobilisasi sumber pendanaan, bagaimana sumber daya ini diorganisasikan serta bagaimana sumber daya digunakan untuk memproduksi barang dan jasa. Akuntansi Belanja Kesehatan Nasional (National Health Account (NHA)) merupakan alat yang sangat membantu untuk mengelola organisasi, fungsi, dan dampak dari pembiayaan sistem kesehatan tersebut.

Selanjutnya, NHA juga merupakan instrumen untuk memonitor dan mengevaluasi efektifitas, efisiensi, fairness (keadilan): Apakah biaya yang tersedia “cukup”? Apakah secara ekonomis, alokatif dan teknis efisien? Apakah alokasi dan penggunaannya “fair” (pro poor)? Apakah penggunaannya efektif seperti ditunjukkan oleh indikator kinerja output dan outcome?

NHA merupakan instrumen penting untuk mewujudkan “stewardship” sistem kesehatan, yaitu menjamin akuntabilitas dalam kegiatan pembagunan kesehatan yang responsif terhadap kebutuhan kesehatan penduduk.

Dari uraian diatas jelas bahwa NHA sangat diperlukan untuk perumusan kebijakan kesehatan, khususnya pembiayaan kesehatan. Juga sangat diperlukan dalam perencanaan dan penganggaran kesehatan, baik di pusat maupun di daerah, terlebih-lebih dengan adanya kebijakan nasional untuk menerapkan anggaran berbasis kinerja di semua lini pembangunan kesehatan.

NHA sudah mulai dilaksanakan secara terencana di Indonesia sejak akhir 1980-an yaitu melalui proyek HSF (Health Sector Financing) yang dibiayai oleh USAID. Kegiatan tersebut terfokus pada analisis pembiayaan yang bersumber dari: pemerintah pusat dan daerah, asuransi, rumah tangga, dan perusahaan.

Beberapa hambatan dialami dalam kegiatan, terutama dalam melakukan survei biaya kesehatan di daerah dan perusahaan swasta (non-respons). Kegiatan ini juga tidak berkelanjutan karena terhenti setelah proyek HSF berakhir (project based activity). Institusionalisasi kegiatan ini tidak dilakukan secara sungguh-sungguh. Semula ada di Biro Perencanaan, Depkes sebagai bagian dari proyek manajemen HSF, kemudian 2 tahun terakhir dipindahkan ke Badan Litbangkes, Depkes.

Dalam proyek Health Sector Work (HSW) pinjaman Bank Dunia, dilakukan kegiatan PERT (Public Expenditure Review and Tracking), semacam NHA parsial, yang dikontrakan kepada sebuah perusahaan konsultan. Pelaksanannya tidak memuaskan karena kurangnya tenaga ahli yng terlibat dan tidak ada pengarahan serta kerja sama dengan instansi-instansi sumber data, apalagi instansi penentu kebijakan kesehatan dan pembiayaan kesehatan. PERT dilakukan terbatas di propinsi proyek HSW dan hasilnya tidak jelas sampai sekarang.

Dalam poyek USAID/MSH (Management Science for Health) untuk meningkatkan kapasitas daerah dalam konteks desentralisasi, dilakukan pengembangan DHA (Distric Health Account). Kegiatan ini menghasilkan instrumen untuk DHA dan pertama kali diaplikasikan di Kabupaten Cianjur dan Cirebon. Beberapa kabupaten lain sudah mendapat pelatihan (Jawa Barat melalui Provincial Health Project II (PHP-II) bantuan World Bank) dan beberapa kabupaten wilayah proyek DHS-1 bantuan ADB. Kegiatan ini juga bersifat parsial dan uji coba, dan tidak berkaitan dengan kegiatan pengembangan NHA. Upaya untuk melembagakan DHA terbatas pada pelatihan beberapa kabupaten.

Sejak awal 2000-an WHO memberikan dukungan kepada Departemen Kesehatan (Biro Keuangan) untuk melakukan NHA. Kegiatan tersebut ternyata sangat eksklusif, dilakukan secara nyaris individual (unit-unit lain di Depkes tidak terlibat bahkan tidak mengetahui). Dalam pertemuan regional, Indonesia mendapat penilaian negatif karena tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain yang didukung WHO/SEARO. Kelemahan pelaksanaan tersebut adalah tidak adanya pelibatan unit dan instansi lain yang relevan dan tidak jelas “lingkage” kegiatan tersebut dengan pengambil kebijakan. Sampai sekarang upaya tersebut belum menghasilkan NHA yang bermakna.

Permasalahan yang dihadapi dalam penerapan NHA di Indonesia adalah : 1) Data NHA yang tersedia tidak sebanding (komparabel) dengan data internasional, sehingga sulit sebagai perbandingan; 2) Data NHA yang tersedia masih terfragmentasi pada masing-masing institusi sehingga NHA Indonesia belum mampu menghasilkan data/informasi yang lengkap dan komprehensif; 3) NHA di Indonesia tidak berkembang karena tidak dilakukan proses pelembagaan NHA sehingga NHA mampu menghasilkan data/informasi yang valid dan timely, serta menjadi kegiatan berkesinambungan. Pelembagaan (institusionalisasi NHA) perlu dilakukan secara sistematis, melibatkan semua institusi yang relevan; dan 4) Belum tersedianya data NHA detil tahun 2002 dan NHA Global tahun 2003-2004.

57I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

2. Tujuan dan Keluaran

2.1. TujuanTujuan dilakukan kajian ini adalah dihasilkannya formulasi konsep serta langkah-langkah untuk melembagakan

NHA di Indonesia, dan dihasilkannya data NHA detil Tahun 2002 dan NHA Global Tahun 2003-2004.

2.2. KeluaranKeluaran (output) kajian pengembangan National Health Account ini antara lain:

1. Perumusan konsep dan pencapaian kesepakatan untuk pelembagaan NHA.2. Rekomendasi untuk legitimasi pelembagaan NHA.3. Rekomendasi untuk pembentukan/pendirian lembaga NHA.4. Disepakatinya data NHA detil tahun 2002 dan NHA Global tahun 2003-2004.

3. Metodologi

3.1. Kerangka AnalisisSecara umum akuntansi belanja kesehatan (health account) adalah proses pencatatan, analisis dan pelaporan belanja

kesehatan. Health Account bisa dilakukan dalam skala nasional (NHA = National Health Account), dapat pula dilakukan di tingkat Propinsi (PHA = Provincial Health Account) dan ditingkat Kabupaten/Kota (DHA = District Health Account). NHA yang terbatas pada sumber pembiayaan Pemerintah kadang-kadang juga disebut ”Public Expenditure Review” (PER).

Menurut Charu C. Garg (2007)1 NHA adalah suatu kerangka akuntansi yang menggambarkan seluruh pengeluaran untuk kesehatan (termasuk dari pemerintah /publik, swasta dan donor) di suatu negara selama satu tahun.

Perhitungan NHA menggunakan konsep yang standar dalam mendefinisikan batasan pengeluaran kesehatan dan mengikuti klasifikasi perhitungan kesehatan secara internasional (ICHA : International classifications for health accounts) untuk klasifikasi transaksi dengan karakteristik yang sama. Dalam ICHA ada empat dimensi NHA yang penting yaitu :- Financing sources, sumber pembiayaan termasuk pemerintah dan non pemerintah; - Financing agent, institusi yang mengelola dana kesehatan termasuk berbagai lembaga pemerintah, swasta, asuransi,

LSM, rumah tangga; - Providers: lembaga yang menerima dana untuk menyediakan dan menyelenggarakan program dan pelayanan

kesehatan, termasuk milik pemerintah, swasta, LSM serta rumah tangga - Functions, yaitu jenis program atau intervensi atau kegiatan yang merupakan peruntukan penggunaan biaya

kesehatan

Menurut WHO (1988), sumber pembiayaan kesehatan antara lain berasal dari pajak (APBN/APBD), pendanaan masyarakat seperti dana sehat, jaminan kesehatan baik dari pemerintah maupun swasta, asuransi komersial, LSM, dan bantuan luar negeri.

Alur pembiayaan dalam NHA dapat ditelusuri melalui empat pertanyaan pokok yaitu :- Siapa yang membiayai pelayanan kesehatan ?- Berapa besar biaya yang mereka keluarkan untuk pelayanan kesehatan tersebut?- Kemana dana kesehatan itu disalurkan ?- Siapa yang memperoleh keuntungan dari pengeluaran kesehatan ini?

Alur pembiayaan dalam NHA secara garis besar terdiri dari 3 bagian yang pokok yaitu sumber pembiayaan, intermediasi pembiayaan dan provider, hubungan ketiga bagian tersebut diperlihatkan dalam gambar 3.1.

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 858

Gambar 3.1 Alur Pembiayaan dalam NHA

Sumber : Department of Health System Financing, WHO

Dalam perhitungan NHA seringkali dihadapkan dengan kesulitan data dengan berbagai alasan, untuk itu perlu interpretasi data. Data NHA dapat diinterpretasikan dengan menggunakan berbagai tipe data lain yaitu : 1) Indikator sosial ekonomi; 2) Data output pelayanan kesehatan; 3) Data outcome kesehatan; dan 4) Data demografi lainnya.

Pada prinsipnya NHA yang dihasilkan melalui suatu proses yaitu meliputi pengumpulan data, organisasi data, analisis hasil untuk kebijakan bidang kesehatan, dan mendesiminasikan informasi NHA kepada seluruh stakeholder. Alur proses data NHA secara garis besar diperlihatkan pada gambar 3.2.

Gambar 3.2. Alur proses data NHA

Sumber : “Paparan dalam : Indonesia NHA Workshop 3-5 Sept 2007”, Depkes

59I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

3.2. Metoda PelaksanaanKajian dilakukan melalui serangkaian kegiatan meliputi studi literatur, laporan penelitian, serta rapat konsultasi

dengan beberapa stakeholder kunci seperti Depkes, Bappenas, Depkeu, Depdagri, BPS, Depnaker, Askes, Jamsostek, dan Perguruan Tinggi.

Hasil kajian/konsep dibahas bersama antara stakeholder yang relevan. Stakeholders yang perlu terlibat adalah sebagai berikut: 1) Departemen Kesehatan (Biro Keuangan, Biro Perencanaan, Pusdatin, Badan Litbangkes, Pusat Pembiayaan dan Jaminan Keseshatan, dan unit lainnya yang terkait); 2) Departemen Keuangan; 3) Departemen Dalam Negeri; 4) Departemen Tenaga Kerja 5) Kementerian BUMN; 6) BPS; 7) Bappenas; 8) Askes; 9) Jamsostek; 10) Kadin; 11) Perguruan Tinggi dan instansi terkait lainnnya.

Setelah ada kesepakatan stakeholder di atas, selanjutnya dilakukan kerja sama dengan unit-unit yang berwenang dan faham akan proses dan isi dasar hukum yang diperlukan agar tugas pokok dan fungsi pelaksana NHA tersebut dapat terlaksana dengan baik. Hasilnya adalah sebuah draft dasar hukum (peraturan atau keputusan) dari lembaga negara sesuai dengan kesepakatan stakeholder.

Dengan adanya dasar hukum tentang pembentukan, tugas pokok dan fungsi lembaga pelaksana NHA tersebut, maka langkah selanjutnya adalah membentuk lembaga tersebut, yang meliputi: organisasi, ketenagaan, sarana, dan perumusan rinci kegiatan manajemen dan kegiatan NHA.

3.3. Data Pengumpulan data dilakukan melalui : studi literatur, pengumpulan data primer dan sekunder, diskusi, seminar,

workshop, dan kunjungan lapangan.Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara mendalam di tingkat pusat dan daerah. Pada tingkat pusat

dilakukan wawancara mendalam terhadap narasumber dari instansi Departemen Kesehatan, Bappenas, Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri, BPS, Departemen Tenaga Kerja, Askes, Jamsostek, dan Perguruan Tinggi.

Sedangkan untuk tingkat daerah dilakukan wawancara mendalam terhadap narasumber yang berasal dari : a) Tingkat propinsi : Bappeda, Dinas Kesehatan, Rumah Sakit dan Biro Keuangan Sekda dan b) Tingkat Kabupaten/Kota : Bappeda, Dinas Kesehatan, dan Biro Keuangan Sekda.

Daerah yang akan dikunjungi adalah : Bangka Belitung, DI Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Maluku Utara, Bali, dan Nusa Tenggara Barat. Dasar pemilihan daerah sampel adalah : 1) daerah tersebar dari barat sampai timur Indonesia; 2) daerah tersebut telah pernah mendapat pemaparan tentang NHA/PHA/DHA; dan 3) daerah juga mewakili daerah yang telah menjalankan DHA dan belum menjalankan DHA.

4. Hasil Kajian dan Analisis

4.1. Pelaksanaan NHA di IndonesiaDalam perhitungan NHA detil dan global yang dilakukan oleh Depkes yang bekerjasama dengan perguruan

tinggi (UI) sesuai arahan Bappenas dengan menggunakan standar WHO untuk tahun 2002, 2003, dan 2004 didapatkan hasil yang diperlihatkan dalam tabel 4.1. Bila dibandingkan dengan PDB maka pengeluaran kesehatan di Indonesia meningkat dari 1,96 % (2002) menjadi 2,33 % (2003), akan tetapi pada tahun 2004 menurun menjadi 2,20 %. Sedangkan bila dibandingkan dengan pendapatan perkapita maka mengalami peningkatan dari tahun 2002 sebesar 150.256 rupiah menjadi 195.539 rupiah pada tahun 2003 dan 206.156 rupiah pada tahun 2004.

Tabel 4.1 Parameter NHA di Indonesia Tahun 2003-2004

2002 2003 2004

Populasi 211.063.000 213.722.300 216.415.100PDB (dlm milyar Rp) 1.619.062,4 1.794.663,4 2.032.824,9

Total Pengeluaran Kesehatan (TPK) (dlm milyar Rp) 31.713,4 41.791,1 44.693,2TPK Public 12.280,8 16.370,6 17.002,8

TPK Non Public 19.432,6 25.420,5 27.690,4% TPK terhadap PDB 1,96% 2,33% 2,20%

% TPK dari Public 38,72% 39,17% 38,04%% TPK dari Non Public 61,28% 60,83% 61,96%

PDB per kapita (dlm Rp) 7.670.991 8.397.174 9.393.175

TPK per kapita (dlm Rp) 150.256 195.539 206.516

Nilai Tukar 10.320 8.876 8.441

PDB per kapita (dlm USD) $743,31 $946,05 $1.112,80

TPK per kapita (dlm USD) $14,56 $22,03 $24,47

Sumber : Laporan NHA detil 2002 dan Global 2003-04, Depkes

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 860

Berdasarkan hasil perhitungan NHA, pengeluaran kesehatan menurut agen/ institusi pelaksana yaitu pengeluaran kesehatan dari publik atau pemerintah dan non publik atau non pemerintah menunjukkan bahwa sebagian besar (lebih dari 60%) berasal dari institusi non pemerintah dan kecenderunganya meningkat dari tahun 2002-2004. Sedangkan pengeluaran kesehatan yang berasal dari institusi pelaksana pemerintah mengalami penurunan pada tahun 2004 dibandingkan tahun sebelumnya (dari 39,17% menurun menjadi 38,04%) seperti diperlihatkan pada gambar 4.1

Gambar 4.1 Pengeluaran kesehatan menurut Agent Tahun 2002-2004

Sumber : Laporan NHA detil 2002 dan Global 2003-04, Depkes

Sedangkan bila dilihat menurut sumber pembiayaannya maka pengeluaran kesehatan berdasarkan perhitungan NHA detil tahun 2002 sebagian besar berasal dari rumah tangga sebesar 33%, anggaran pemerintah pusat sebesar 30%, pekerja/tenaga kerja sebesar 19%, dan swasta sebesar 6%. Pengeluaran kesehatan yang bersumber dari luar negeri (4%) ternyata lebih besar dibandingkan pengeluaran kesehatan yang bersumber dari pemerintah provinsi (2%). Secara lengkap pengeluaran kesehatan menurut sumber pembiayaannya dapat dilihat pada gambar 4.2.

Gambar 4.2 Pengeluaran kesehatan menurut sumber, Tahun 2002-2004

Sumber : Laporan NHA detil 2002 dan Global 2003-04, Depkes

Untuk mendukung kajian pelembagaan NHA dilakukan pengumpulan data-data primer ditingkat daerah yang meliputi kapasitas melakukan Provincial/ District Health Account (PHA/DHA), mekanisme hubungan kerja dengan Propinsi/Kabupaten/Kota, mekanisme hubungan kerja dengan pusat, mekanisme pengumpulan data, dan pelaksanaan PHA/DHA.

PHA/DHA adalah suatu bentuk health account yang lebih kecil dan bersifat regional (provinsi/kabupaten/kota) dengan tetap mengacu pada kaidah-kaidah NHA yang telah disepakati dan ditetapkan secara nasional, baik dari segi batasan health account, klasifikasi, dan sumber daya yang diperhitungkan.

61I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

Hasil pengumpulan data primer untuk pelaksanaan PHA pada tingkat provinsi dapat dilihat juga dalam Tabel 4.2. Persentase pada kolom terakhir menunjukkan komposisi responden yang berpendapat terhadap hasil/tanggapan wawancara.

Tabel 4.2 Pelaksanaan PHA di Tingkat Provinsi

No. Informasi Hasil / Tanggapan Responden

1. Kapasitas melakukan PHA- Penaggungjawab PHA- Pelatihan PHA- Kerjasama dengan unit terkait - Sumber pembiayaan PHA

- Dinkes Provinsi- Pernah dilatih- Dikukuhkan dg SK Gubernur- APBD Provinsi

70%70%100%60%

2. Mekanisme hubungan kerja dengan Kabupaten/Kota /Provinsi- Penanggung jawab permintaan data PHA - Bappeda 60%

3. Mekanisme hubungan kerja dengan Pusat - Permintaan data oleh pusat- Peran provinsi dalam pelaksanaan NHA

- Depkes- Mengirimkan data PHA

86%90%

4. Mekanisme Pengumpulan Data - Katagori sumber data PHA- Mekanisme pengumpulan data- Penanggungjawab pengumpulan data- Faktor pendukung- Faktor penghambat

- Program kesehatan- Melalui Tim khusus- Tim khusus dg SK Gubernur- Sarana dan prasarana- SDM, sarana dan prasarana, dan

legalitas

90%60%80%50%50%

5. Pelaksanaan PHA- Pelaksanaan 5 tahun terakhir - Unit yang melakukan- Sumber biaya yang dihitung

- Pernah dilakukan- Dinkes provinsi- Dana Dekonsentrasi

70%80%100%

Sumber : Data primer 2007 diolah

Hasil pengumpulan data primer untuk pelaksanaan DHA pada tingkat kabupaten/kota dapat dilihat juga dalam Tabel 4.3 berikut.

Tabel 4.3 Pelaksanaan DHA di Tingkat Kabupaten/Kota

No. Informasi Hasil / Tanggapan Responden

1. Kapasitas melakukan DHA- Penaggungjawab DHA- Pelatihan DPHA- Kerjasama dengan unit terkait - Sumber pembiayaan DHA

- Bappeda- Pernah dilatih- Dikukuhkan dg SK Bupati/Walikota- APBD Kab/Kota

70%50%100%70%

2. Mekanisme hubungan kerja dengan Kabupaten/Kota /Provinsi- Penanggung jawab permintaan data DHA - Bappeda 50%

3. Mekanisme hubungan kerja dengan Pusat - Permintaan data oleh pusat- Informasi yang dikirim ke pusat

- Depkes- Isian formulir

100%100%

4. Mekanisme Pengumpulan Data - Katagori sumber data DHA- Mekanisme pengumpulan data- Penanggungjawab pengumpulan data- Faktor pendukung- Faktor penghambat

- Program kesehatan- Melalui Tim khusus- Tim khusus dg SK Bupati/Walikota- Sarana dan prasarana- SDM, sarana dan prasarana, dan dana

operasional

90%60%80%40%100%

5. Pelaksanaan DHA- Pelaksanaan 5 tahun terakhir - Unit yang melakukan- Sumber biaya yang dihitung

- Pernah dilakukan- Dinkes kab/kota- Dana Dekonsentrasi

50%100%50%

Sumber : Data primer 2007 diolah

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 862

Hasil pengumpulan data primer untuk pelaksanaan health account di Rumah Sakit Umum Daerah dapat dilihat juga dalam Tabel 4.4 berikut.

Tabel 4.4 Pelaksanaan Health Account di Rumah Sakit Umum Daerah

No. Informasi Hasil / Tanggapan Responden

1. Kapasitas melakukan PHA- Penaggungjawab PHA- Kerjasama dengan unit terkait - Sumber pembiayaan PHA

- Dinkes Provinsi- Dikukuhkan dg SK Gubernur- APBN Pusat

70%100%70%

2. Mekanisme hubungan kerja dengan Kabupaten/Kota /Provinsi- Penanggung jawab permintaan data PHA - Bappeda 50%

3. Mekanisme hubungan kerja dengan Pusat - Permintaan data oleh pusat- Informasi yang dikirim ke pusat

- Depkes- Data PHA dan DHA

100%100%

4. Mekanisme Pengumpulan Data - Katagori sumber data DHA- Mekanisme pengumpulan data- Penanggungjawab pengumpulan data- Faktor pendukung- Faktor penghambat

- Program kesehatan- Pertemuan Stakeholder- Tim khusus dg SK Gubernur- Sarana dan prasarana- Sarana dan prasarana

90%50%70%60%50%

Sumber : Data primer 2007 diolah

Dari hasil tersebut di atas, maka secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Tingkat Propinsi(termasuk rumah sakit daerah)1. Unit yang bertanggung jawab melakukan PHA adalah Dinas Kesehatan Propinsi.2. Dalam pelaksanaan PHA perlu kerjasama dengan sektor terkait. Kerjasama ini perlu dikukuhkan oleh SK

Gubernur.3. Sumber pembiayaan PHA adalah APBD Propinsi, selebihnya responden mengatakan sumber pembiayaan

PHA sebaiknya adalah dari APBN Khusus Pusat.4. Permintaan data PHA dari Propinsi sebaiknya adalah Bappeda Propinsi5. Peran propinsi dalam melaksanakan NHA adalah mengirimkan data PHA dan data DHA dengan lengkap ke

pusat.6. Data health account dikumpulkan melalui tim khusus. Sedangkan untuk penanggung jawab data health

account di tingkat propinsi adalah tim khusus yang dibentuk dengan SK Gubernur. Sebaiknya tim khusus tersebut terdiri dari lintas badan/dinas

7. Sekitar 70 % dari responden mengatakan bahwa selama 5 tahun terakhir pernah dilakukan health account dan selebihnya mengatakan tidak pernah dilakukan health account di tingkat Propinsi.

8. Faktor pendukung penerapan health account adalah sarana & prasarana, selebihnya adalah legalitas dan kebijakan. Sedangkan faktor pnghambat hampir 50 % responden mengatakan bahwa faktor penghambat utama adalah SDM, sarana & prasarana, dan legalitas, karena tanpa SDM, sarana & prasarana, dan legalitas, tidak mungkin health account bisa diterapkan.

2. Tingkat Kabupaten/Kota1. Unit yang bertanggung jawab untuk melakukan DHA adalah Bappeda Kabupaten/Kota2. Dalam pelaksanaan DHA perlu kerjasama dengan sektor terkait. Kerjasama ini perlu dikukuhkan dengan SK

Bupati/Walikota3. Sumber pembiayaan DHA adalah APBD kabupaten/kota, selebihnya mengatakan APBD Propinsi, juga

mencakup dana dekonsentrasi4. Permintaan data DHA dari kabupaten/kota sebaiknya adalah Bappeda Propinsi, sedangkan permintaan data

NHA dari pusat, semua responden mengatakan sebaiknya dilakukan oleh Depkes Pusat. 5. Pengumpulan data health account, sebaiknya oleh tim khusus yang dibentuk, dan yang bertanggung dengan

data health account juga tim khusus yang dibentuk dengan SK Bupati/Walikota. Tim khusus tersebut terdiri atas lintas badan/dinas.

6. Faktor pendukung penerapan health account adalah sarana dan prasarana, selebihnya adalah legalitas dan

63I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

kebijakan. Sedangkan faktor penghambat responden mengatakan bahwa adalah sarana dan prasarana, SDM dan dana operasional, karena tanpa sarana dan prasana, SDM dan dana operasional, tidak mungkin health account bisa diterapkan.

4.2. Perlunya pelembagaan Dari semua uraian di atas jelas bahwa NHA, PHA dan DHA adalah suatu kebutuhan yang mendesak dalam upaya

meningkatkan sistem kesehatan nasional, khususnya dalam subsistem pembiayaan kesehatan. Juga jelas pula bahwa pelaksanaan NHA selama ini belum sistematik dan berkelanjutan. Selain itu, agar NHA dapat berfungsi dengan baik, perlu ada semacam “focal point”, yaitu unit yang bertanggung jawab dalam organisasi pemerintah untuk menggerakkan, mengkoordinir, melakukan dokumentasi dan diseminasi hasil NHA.

4.3. Pengertian pelembagaanPengertian pertama pelembagaan dalam proses pelembagaan NHA adalah upaya untuk menyebarluaskan

pemahaman akan arti, manfaat dan kegiatan NHA, khususnya kepada pelaku-pelaku utama dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pembangunan kesehatan. Ini termasuk kalangan internal sektor kesehatan baik di pusat maupun di daerah serta pengambil keputusan diluar sektor kesehatan, terutama pemerintah dan lembaga legislatif (di pusat dan daerah).

Pengertian kedua adalah pelembagaan dalam arti struktural, yaitu adanya unit tertentu dalam organisasi pemerintah yang mempunyai mandat dan kemampuan untuk melaksanakan atau mengkoordinasikan kegiatan NHA serta melakukan diseminasi hasil NHA.

4.4. Model kelembagaanAda lima yang mencirikan model kelembagaan yang perlu dikembangkan dalam proses pelembagaan NHA, yaitu;

1) tugas dan fungsi lembaga, 2) struktur organisasi, 3) opsi kelembagaan, 4) legitimasi kelembagaan, dan 5) pembiayaan. Kelima kegiatan yang mencirikan model kelembagaan tersebut harus dilakukan sebelum lembaga NHA mulai berjalan atau difungsikan.

4.5. Opsi kelembagaan

Kegiatan NHA, PHA, DHA perlu dilakukan secara rutin. Oleh sebab itu diperlukan sebuah lembaga yang kuat yang selain mempunyai otoritas dan kapasitas teknis pelaksanaan NHA, juga mempunyai jaringan kerja yang baik dengan instansi-isntansi dalam organisasi pemerintah, perguruan tinggi, LSM dan Swasta, juga memungkinkan mobilisasi dana pemerintah untuk mendukung kegiatan NHA tersebut.

Beberapa kesepakatan dalam lokakarya penelitian berkaitan dengan opsi kelembagaan tersebut adalah sebagai berikut:- Perlu dibentuk sebuah pusat yang menangani NHA. - Pusat tersebut sebaiknya berada dalam organisasi Departemen Kesehatan.- Karena pembentukan pusat memerlukan waktu relatif lama, untuk sementara fungsi-fungsi NHA tersebut diatas

dapat dilaksanakan oleh unit yang sudah ada.- Saran peserta adalah menunjuk Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan (PPJK) Depkes, dibantu oleh unit-unit lain

dan Perguruan Tinggi

4.6. Legitimasi kelembagaanUraian diatas menunjukkan bahwa untuk memantapkan kelembagaan NHA ada 3 (tiga) tahap dalam proses

kelembagaan, dengan legitimasi sebagai berikut:- Tahap-1: Untuk sementara pelaksanaan NHA dapat dilakukan dengan Surat Keputusan Sekjen Depkes- Tahap-2: Peleburan fungsi NHA pada unit yang ada, yaitu Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan (PPJK) Depkes

dilakukan dengan Surat Keputusan Menkes- Tahap-3: Pembentukan Pusat NHA dalam organisasi Depkes melalui Surat Keputusan Menkes

4.7. PembiayaanPelembagaan dan pelaksanaan NHA memerlukan pembiayaan. Dalam jangka pendek, persiapan pembentukan

pelembagaan NHA dalam bentuk kajian dapat dibiayai dari anggaran Bappenas dan selanjutnya melalui anggaran Depkes (DIPA PPJK).

Untuk pelaksanaan NHA secara rutin, anggarannya dapat dimasukkan dalam alokasi anggaran (DIPA) Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan (PPJK) Depkes dan untuk masa mendatang apabila Pusat NHA telah terbentuk, dibebankan pada alokasi anggaran (DIPA) Pusat NHA tersebut.

Selain itu, Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan, Depkes (sebagai Pusat NHA) dapat melakukan mobilisasi sumber dana lain (misalnya dari badan internasional: WHO, bantuan bilateral, dll).

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 864

4.8. Proses Pelembagaan (Road Map)Proses pelembagaan NHA tidak bisa dilakukan secara singkat karena membutuhkan komitmen dari semua pihak

yang terkait, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Pelembagaan NHA juga terkait langsung kegiatan health account yang berada di provinsi (PHA) dan kabupaten/kota (DHA).

Proses pelembagaan NHA dimulai dengan kegiatan sosialisasi dan peningkatan awareness pengambil keputusan dan stakeholder lain tentang manfaat dan pentingnya health account baik di tingkat pusat maupun di daerah, selanjutnya dilakukan penentuan focal point sebagai unit yang melaksanakan dan mengkoordinir kegiatan NHA secara nasional, sedangkan di tingkat daerah focal point ditunjuk setelah pusat NHA terbentuk. Langkah selanjutnya adalah peningkatan kapasitas health account di Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota.

5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1. Kesimpulan1. NHA, PHA dan DHA di Indonesia belum sistematik, berkelanjutan, dan tidak berkembang karena tidak dilakukan

proses pelembagaan NHA sehingga mampu menghasilkan data/informasi yang terpercaya dan tepat waktu, serta menjadi kegiatan yang berkesinambungan.

2. Pada umumnya para pengambil keputusan dan stakeholder terkait baik di tingkat pusat maupun daerah belum mengetahui manfaat NHA, PHA, dan DHA terutama dalam hal kebijakan, perencanaan, dan penganggaran kesehatan.

5.2. Rekomendasi1. Pelembagaan (institusionalisasi NHA) perlu dilakukan secara sistematis dan melibatkan semua institusi yang terkait

untuk menggerakkan, mengkoordinir, melakukan dokumentasi dan diseminasi hasil NHA. Untuk melakukan proses pelembagaan NHA ada 3 (tiga) tahap yang harus dilalui, yaitu: 1) untuk sementara pelaksanaan NHA saat ini dapat dilakukan dengan Surat Keputusan Sekjen Depkes; 2) peleburan fungsi NHA pada unit yang ada yaitu Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan (PPJK),Depkes dan memerlukan Surat Keputusan Menkes; dan 3) pembentukan Pusat NHA dalam organisasi Depkes malalui Surat Keputusan Menkes.

2. Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan (PPJK), Depkes diusulkan sebagai focal point dalam melaksanakan dan mengkoordinir kegiatan NHA. Untuk legitimasi (dasar hukum) pelaksanaan kegiatan NHA di Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan (PPJK) diperlukan surat keputusan (SK) Menteri Kesehatan.

3. Dalam pelaksanaan NHA/PHA/DHA perlu kerjasama dengan sektor terkait, yaitu institusi sumber data, pelaksana NHA dan pengguna hasil NHA.

4. Untuk pelaksanaan PHA diusulkan di Dinas Kesehatan Provinsi yang ditetapkan dengan SK Gubernur, sedangkan DHA diusulkan di Bappeda Kabupaten/Kota melalui SK Bupati/Walikota

5. Untuk menjamin kesamaan persepsi dan keseragaman serta komparabilitas data NHA/PHA/DHA diperlukan buku pedoman atau panduan NHA untuk tingkat nasional dan PHA/DHA tingkat daerah.

6. Untuk meningkatkan pemahaman dan dukungan terhadap NHA/PHA/DHA maka diperlukan diseminasi kepada pengambil keputusan di Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota.

7. Data NHA yang telah dihasilkan perlu didesiminasikan untuk pengambil kebijakan dalam perencanaan kesehatan sesuai fungsi dan pelaksana kegiatan.

65I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

DAFTAR PUSTAKA

Andayani, T.R., Harbianto, D., Indrajaya, S., Mahlil., Malik,R., Yuslely, “ NHA Development : Indonesian Progress Report”, Bangkok 28 Juni 2002.

Ascobat Gani, 2007, “ Pelembagaan NHA di Indonesia “(Makalah disampaikan pada Lokakarya I Pelembagaan NHA, Jakarta, 14 Agustus 2007)

Ascobat Gani, 2007, “ Pelembagaan NHA di Indonesia (2) “(Makalah disampaikan pada Lokakarya II Pelembagaan NHA, Jakarta, 13 November 2007)

Ascobat Gani, 2006, “ Analisis Biaya Kesehatan Daerah di Kabupaten Sikka, Ende dan Sumba Timur”, Persiapan Proyek KIA AusAID

Budihardja, 2007, “ Pelembagaan NHA “ (Makalah disampaikan pada Lokakarya I Pelembagaan NHA, Jakarta, 14 Agustus 2007)

Budihardja, 2007, “ Manfaat dan Prospek Kedepan Data NHA “ (Makalah disampaikan pada Lokakarya I Pelembagaan NHA, Jakarta, 13 November 2007)

Biro Keuangan & Perlengkapan Sekretariat Jendral DepKes: “Laporan Final National Health Account Indonesia: Tahun 2003-2004”

Charu C. Garg, health economist, Department of Health System Financing, WHO, “Paparan dalam : Indonesia NHA Workshop 3-5 Sept 2007”, Depkes

Departemen Kesehatan RI. 2004. Sistem Kesehatan NasionalDepartemen Kesehatan RI. 2007. Evaluasi Akhir Proyek PHP I (bahan laporan) Depkes, FKM-UI, “Presentasi Estimasi Total Pembiayaan Kesehatan dan Metode Estimasi ” ( Makalah disampaikan pada

Workshop NHA 6 Desember 2007) Depkes dan FKM-UI, “Presentation on Progress of Total Health Expenditure & Methodology NHA 2002-2004” (Makalah

disampaikan pada Lokakarya Hasil Analisis Pembiayaan Kesehatan, Jakarta 14 desember 2007) Depkes, FKM-UI, “Laporan NHA detil 2002 dan Global 2003-04”Poullier, J.P., et.al., “National Health Accounts: Concepts, Data Sources andMethodology”, WHORepublik Indonesia. 2005. Peraturan Presiden RI No.7 Tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Nasional Tahun 2004-2009Somanathan, A, et al., “Indonesia Public Health Expenditure Review”, Institute of Policy Study, Health Policy Program,

Srilangka, 2004.World Bank , “World Development Report 1993: Investing in Health”.

(Footnotes)1 Charu C. Garg, health economist, Department of Health System Financing, WHO, Indonesia NHA Workshop 3-5

Sept 2007

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 866

Pengembangan Industri Budaya dan Olahraga dalam Mendukung Pembangunan

Pariwisata

DIREKTORAT KEBUDAYAAN, PARIWISATA, PEMUDA DAN OLAHRAGAe-mail: [email protected]

Abstraksi

Keywords: industri budaya, industri olahraga, industri pariwisata, event tourism, sinergi, transisi efektif, transisi inefisien, soliter

Prospek pariwisata di pasar global ke depan semakin bagus. Menurut World Tourism Organisation (WTO), industri pariwisata dunia diperkirakan akan terus bertumbuh mencapai 4,3 persen per tahun sampai tahun 2020. Di Indonesia, pariwisata merupakan penghasil devisa terbesar setelah sektor minyak dan gas bumi. Selain sebagai penghasil devisa, kegiatan pariwisata secara potensial juga dapat mengatasi kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, dan menggerakkan sektor usaha kecil dan menengah (UKM).

Untuk menangkap peluang pertumbuhan industri pariwisata dunia, Pemerintah berupaya mengembangkan produk-produk pariwisata yang menjadi kekayaan bangsa Indonesia di antaranya adalah industri budaya dan industri olahraga. Indonesia kaya dengan sumber daya budaya dan olahraga yang unik, atraktif dan massif yang mampu menarik minat wisatawan. Namun pariwisata yang berbasis pada kedua produk tersebut belum dikembangkan secara sinergi terutama dalam bentuk pariwisata yang berbasis event.

Kajian ini bertujuan untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan sebagai masukan bagi perencanaan yang dapat: (1) mendorong pengembangan industri budaya dan industri olah raga dalam mendukung peningkatan kinerja pariwisata; (2) mendorong terciptanya pola kerja sama sinergis antara industri budaya dan industri olah raga dalam mendukung pembangunan pariwisata.

Untuk memetakan pola hubungan antara industri budaya, olahraga dan pariwisata, kajian ini menggunakan metode deskriptif analitik dengan teknik pengumpulan data melalui studi pustaka, studi kasus, wawancara mendalam, dan diskusi kelompok terarah. Adapun analisa data dilakukan dengan metode analisa kualitatif deskriptif terhadap data primer dan sekunder. Tinjauan kebijakan dilakukan melalui analisis isi (content analysis) untuk mendapatkan bentuk dukungan kebijakan bidang budaya, olah raga dan kepariwisataan.

Kajian ini menemukan empat pola hubungan antara industri budaya, olahraga dan pariwisata, sebagai berikut: (1) Pola Sinergi, yaitu industri budaya dan olahraga telah menciptakan nilai tambah dan dilakukan secara terorganisir, sistematis, serta terdapat peran pemerintah, swasta dan masyarakat; (2) Pola Transisi Efektif, yaitu industri budaya dan olahraga telah menciptakan nilai tambah, meskipun peran pemerintah belum optimal dan belum terorganisir dengan baik antara pemerintah, swasta dan masyarakat; (3) Pola Transisi Inefisien, yaitu peran industri budaya dan olahraga belum menciptakan nilai tambah, meskipun pemerintah sudah mengambil inisiatif dan sudah terorganisir; dan (4) Pola Soliter, yaitu industri budaya dan olahraga tidak memberi nilai tambah dan tidak diorganisir dengan baik.

Dengan menganalisa empat pola hubungan tersebut di atas, kajian ini menghasilkan rekomendasi berupa arah kebijakan untuk menciptakan pola hubungan sinergi melalui upaya: (1) Kebijakan di bidang kebudayaan dan olahraga yang dituangkan dalam dokumen perencanaan pembangunan diarahkan untuk mendukung pembangunan

67I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

pariwisata; (2) Mendorong pola kemitraan antara Pemerintah, swasta dan masyarakat dalam meningkatkan daya saing pariwisata event; (3) Menyusun database event budaya dan olahraga yang dapat disinergikan untuk mendukung industri pariwisata.

1. LATAR BELAKANG

Pariwisata merupakan salah satu industri yang mempunyai peran cukup penting dalam pembangunan ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. Pembangunan pariwisata yang direncanakan dan dikelola secara berkelanjutan dengan berbasis pada masyarakat akan mampu memberikan kontribusi terhadap penerimaan devisa negara dan menciptakan lapangan kerja. Disamping itu, pembangunan pariwisata juga dapat menciptakan pendapatan yang dapat digunakan untuk melindungi dan melestarikan budaya dan lingkungan dan secara langsung menyentuh masyarakat setempat/desa tujuan wisata.

Berdasarkan Tourism Satelitte Account (TSA), perjalanan (travel) dan pariwisata dunia pada tahun 2006 diharapkan dapat menciptakan kegiatan ekonomi sekitar US$ 6,477.2 miliar dan terus bertumbuh menjadi US$ 12,118.6 miliar pada tahun 2016; memberikan kontribusi ekonomi sebesar 10.3 persen pada tahun 2006 dan meningkat menjadi 10.9 persen pada tahun 2016; serta menciptakan pekerjaan sekitar 8,7 persen dari total lapangan kerja dan bertumbuh sekitar 9,0 persen pada tahun 2016. Menurut World Tourism Organisation (WTO), diperkirakan industri pariwisata dunia akan terus bertumbuh mencapai 4,3 persen per tahun sampai tahun 2020. WTO juga memprediksi bahwa pada tahun 2010, 1,046 milyar orang akan melakukan kunjungan wisata dan meningkat sebesar 1,602 miliar orang pada tahun 2020, diantaranya 231 juta orang (tahun 2010) dan 438 juta orang (tahun 2020) akan berwisata di kawasan Asia Timur dan Pasifik. Sementara itu, John Naisbitt dalam bukunya bertajuk Global Paradox (1994), mengemukakan bahwa sekitar 8 persen dari ekspor barang dan jasa berasal dari sektor pariwisata. Pariwisata pun telah menjadi penyumbang terbesar dalam perdagangan internasional dari sektor jasa (37 persen), menjadi sumber utama devisa di 38 persen negara di dunia. Sementara itu di Asia Tenggara, industri pariwisata menyumbangkan 10 hingga 12 persen terhadap GDP dan menyerap 7 hingga 8 persen tenaga kerja.

Berdasarkan data Nesparnas (Neraca Satelit Pariwisata Nasional), pada tahun 2005 industri pariwisata menyumbangkan 5,27 persen terhadap PDB nasional dan menyerap 6,97 persen dari tenaga kerja Nasional. Angka ini diharapkan akan terus meningkat dari tahun ke tahun, seiring dengan kebijakan pembangunan pariwisata Indonesia yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat. Sementara itu, penerimaan devisa pada tahun 2006 sebesar USD 4,4 miliar.

Tabel 1 Kontribusi Sektor Pariwisata terhadap Ekonomi Nasional

Komponen 2003 2004 2005

PDB Indonesia (trilyun) Rp 1.786,69 Rp 2.273,14 Rp 2.784, 9

Pariwisata Rp 99,24 Rp 113,78 Rp 146,80 T

Kontribusi (%) 5,55 % 5,01% 5,27 %

Lapangan kerja Nasional (juta orang) 90,79 93,72 93,96

Pariwisata 7,52 8,49 6,55

Kontribusi (%) 8,28 % 9,06 % 6,97 %

Sumber: Nesparnas 2003, 2004,2006

Peluang pariwisata Indonesia semakin besar dengan mensinergikan industri budaya dan industri olah raga yang berpotensi untuk dijadikan obyek dan daya tarik pariwisata. Kedekatan antara industri budaya dan industri olah raga dengan pariwisata sudah diakui banyak negara. Di beberapa negara, industri budaya yang unik dan eksotis menjadi daya tarik wisatawan. Demikian halnya dengan kejuaraan dunia dalam berbagai cabang olah raga, seperti Olimpiade dan Piala Dunia Sepak Bola mampu mengundang jutaan suporter dan wisatawan mancanegara (wisman).

Jika ditilik lebih lanjut, Indonesia kaya dengan industri budaya dan industri olah raga yang potensial untuk mendukung pariwisata. Dukungan sumber daya budaya ini terlihat dengan berlimpahnya kekayaan dan keanekaragaman budaya bangsa. Sebagaimana dikatakan oleh Clifford Geertz, bahwa Indonesia merupakan miniatur dunia. Semua arus kultural sepanjang tiga milenia, mengalir memasuki Nusantara mulai dari India, Cina, Timur Tengah dan Eropa.

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 868

Semua kultur dunia tersebut terwakili di tempat-tempat tertentu, seperti di Bali yang Hindu; permukiman Cina di Jakarta, Semarang dan Surabaya; pusat-pusat Muslim di Aceh, Makasar dan dataran tinggi Padang; di daerah-daerah Minahasa dan Ambon yang Calvinis; dan daerah-daerah Flores yang Katolik. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan aktivitas dan ekspresi budaya yang sangat unik dan eksotis yang sangat potensial untuk dikembangkan.

Di Indonesia banyak dijumpai event budaya maupun olahraga yang bertaraf nasional dan internasional, seperti Festival Film Indonesia (FFI), Jakarta International Film Festival (JIFFEST), Sekaten di Keraton Solo dan Yogyakarta, Karapan Sapi di Madura, Reog Ponorogo, dan lain-lain. Kebanyakan kegiatan tersebut berjalan sendiri-sendiri, tanpa ada sinergi. Padahal kegiatan budaya dan olah raga tersebut sangat potensial untuk disinergikan dalam rangka meningkatkan jumlah kunjungan wisata.

Berdasarkan uraian di atas, menunjukan bahwa industri budaya dan industri olah raga sudah tidak asing lagi dalam dunia pariwisata Indonesia. Namun pengembangan secara sinergi antara ketiga bidang tersebut belum optimal. Oleh karenanya dalam rangka meningkatkan kinerja pariwisata nasional dibangun komitmen bersama untuk mengembangkan industri budaya dan olah raga secara sinergis. Bentuk dukungan diperlukan di semua level pelaku, meliputi pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam tataran kebijakan maupun operasional di tingkat pusat dan daerah.

Kajian ini dilatarbelakangi oleh adanya peluang pengembangan pariwisata global yang semakin prospektif ke depan dan konstribusi pariwisata yang signifikan dalam pembangunan, namun peluang tersebut belum dibarengi dengan pengembangan industri budaya dan olah raga secara sinergi sebagai suatu eventt yang mampu meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan.

2. TUJUAN, MANFAAT, RUANG LINGKUP

2.1. TujuanKajian ini ditujukan untuk memberikan rekomendasi kebijakan sebagai masukan bagi perencanaan yang dapat: (1)

mendorong pengembangan industri budaya dan industri olah raga dalam mendukung peningkatan kinerja pariwisata; dan (2) mendorong terciptanya pola kerja sama sinergis antara industri budaya dan industri olah raga dalam mendukung pembangunan pariwisata.

2.2. ManfaatManfaat kajian ini diharapkan dapat menghasilkan 1) rumusan perencanaan bagi pengembangan industri budaya

dan olah raga, dan bagi terciptanya pola kerja sama yang sinergis antara industri budaya-industri olah raga-pariwisata; dan 2) masukan dalam melakukan koordinasi dan penyelarasan dalam perencanaan pembangunan bidang kebudayaan, olah raga dan pariwisata.

2.3. Ruang LingkupTinjauan kebijakan dilakukan terhadap dokumen perencanaan dan peraturan perundang-undangan baik di pusat

maupun di daerah. 1). Tinjauan peran industri budaya dan industri olah raga dalam bentuk event di berbagai daerah. 2). Tinjauan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kerja sama sinergis antara industri budaya dan industri olah

raga terhadap pembangunan pariwisata yang telah dilaksanakan di Indonesia.3). Pembandingan (bench-marking) dan pembelajaran (lesson learned) dari pelaksanaan yang dilakukan di berbagai

negara, yang mencakup aspek: (i) Peran industri budaya, olah raga dan pariwisata terhadap pembanguan ekonomi dan sosial-budaya, (ii) Strategi dan kebijakan, dan (iii) Pola kerja sama sinergis, dan contoh event/kegiatan.

3. METODOLOGI

3.1. Definisi dan Disain Studi

3.1.1. DefinisiDalam kajian ini, pengertian industri budaya adalah industri yang menggabungkan antara kreasi, produksi dan

komersialisasi dari suatu muatan kreatif yang bersifat intangible dan kultural. Muatan yang dimaksud pada umumnya dilindungi hak cipta dan dapat berbentuk barang maupun jasa. Industri budaya pada umumnya mencakup percetakan (printing), penerbitan (publishing) dan multimedia, audiovisual, phonographic, produksi sinematografi, kerajinan (crafts) dan disain.

Sedangkan pengertian industri olah raga adalah semua kegiatan bisnis bidang olah raga dalam bentuk produk barang dan atau jasa, atau sebagai industri yang mencakup: (a) hiburan dan rekreasi olah raga seperti kegiatan olah

69I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

raga yang berkaitan dengan kegiatan rekreasi, (b) produk dan jasa olah raga seperti desain, testing, pabrik dan distribusi peralatan, pakaian dan instrumen, dan (c) organisasi pendukung olah raga.

Sementara itu, pengertian pariwisata adalah usaha atau kegiatan yang bertujuan untuk menyelenggarakan jasa pariwisata, yaitu menyediakan atau mengusahakan obyek dan daya tarik wisata, usaha barang pariwisata, dan usaha lain yang terkait di bidang tersebut. Sedangkan definisi industri pariwisata adalah suatu susunan organisasi, baik pemerintah maupun swasta, yang terkait dalam pengembangan, produksi dan pemasaran produk suatu layanan untuk memenuhi kebutuhan dari orang yang sedang berpergian (pelancong, musafir atau wisatawan).

3.1.2. Metode KajianSecara umum metode yang digunakan dalam kajian adalah deskriptif analitik, dengan teknik pengumpulan data

studi pustaka, studi kasus, wawancara mendalam, dan diskusi kelompok terarah. Analisa data dilakukan dengan metode analisa kualitatif deskriptif terhadap data primer dan sekunder. Data primer dilakukan dengan cara wawancara secara mendalam dilakukan terhadap para praktisi, pakar dan stakeholders, untuk menggali informasi mengenai bentuk-bentuk kerja sama dan faktor-faktor yang mempengaruhi sinergi industri budaya dan industri olah raga dalam mendukung pengembangan kepariwisataan, serta alternatif strategi untuk rumusan perencanaan. Sedangkan data sekunder dilakukan dengan cara menggali informasi dari berbagai sumber tertulis seperti buku, laporan hasil kajian, peraturan perundang-undangan, studi best practices dari negara lain, dan referensi tertulis lainnya yang relevan dengan topik kajian.

Peraga 1 : Langkah-langkah Kajian

Kegiatan Kajian:

1. Studi Perpustakaan 2. FGD

Pengumpulan Data

1.Studi Pustaka 2.Studi Kasus

3.Wawancara Mendalam

4. FGD5. Workshop

Analisis Data :

1. Analisa Kualitatif Deskriptif

2. Analisa Isi

3. Penalaran

Draft Laporan :

Diseminarkan

Laporan Akhir

Penelitian

3.1.2. Disain Studi

Peraga 2 : Identifikasi Awal

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 870

Peraga 3: Rumusan Rancangan Hasil

3.2. Kerangka Teoritis

3.2.1. Hubungan Industri Budaya dan Olahraga dalam Mendorong Pembangunan PariwisataSebagai produk dari industri pariwisata, Industri budaya dan olahraga memerlukan pengolahan lebih lanjut agar

menarik bagi wisatawan sebagai konsumennya. Pengolahan ke dua produk tersebut secara sinergi dan direncanakan, akan memberikan dampak yang positif bagi pembangunan pariwisata dan pada akhirnya akan mampu mendorong peningkatan penerimaan devisa dari bidang pariwisata dalam bentuk pariwisata berbasis kegiatan, baik budaya, olahraga atau kombinasi dari keduanya.

Pengembangan pariwisata yang dimaksud dalam kajian ini difokuskan kepada pariwisata berbasis kegiatan (event). Pariwisata berbasis kegiatan yang dikaji adalah budaya dan olahraga yang mempunyai potensi besar sebagai daya tarik dan sebagai sarana promosi daerah penyelenggara. Masyarakat yang datang untuk menyaksikan suatu kegiatan dapat sekalian berwisata sementara masyarakat yang menonton event tersebut melalui televisi menjadi tertarik untuk mengunjungi daerah tersebut. Penyelenggaraan kegiatan ini juga mampu memberikan manfaat bagi daerah dan masyarakat serta usaha kecil dan menengah di sekitar penyelenggaraan.

Peraga 4 : Empat Katagori Pelaku Kegiatan Budaya dan Olahraga

Sumber : Erupoan Communities 2007, ‘Culture and Sporting Eventts (CSE): An OpportunityFor Developing Tourist Destinations and The Tourist Industry

71I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

3.2.2 Pendekatan Sinergi dalam Pengembangan Industri Budaya, Olahraga dan Pariwisata Menurut Hanssens dan Johansson (1991), inti dari ide sinergi (synergy) adalah keseluruhan lebih baik daripada

jumlah bagian-bagian (the whole is more than the sum of the parts). Merujuk pendapat tersebut, sinergi merupakan tingkat kinerja yang dihasilkan oleh perpaduan kelompok dari perusahan-perusahaan bisnis yang terpisah yang berasal dari satu negara yang sama, dimana masing-masing (perusahaan) melakukan tindakan-tindakan pemasaran yang independen di dalam satu pasar luar negeri (yang dituju). Intinya adalah perpaduan potensi untuk meraih pasar yang sama.

Suatu event budaya maupun olahraga yang disinergikan akan mampu mendatangkan wisatawan baik asing maupun lokal. Namun sampai saat ini di Indonesia pemanfaatan kesenian dan kebudayaan untuk memasarkan sport event belum banyak digunakan oleh ahli pemasaran olahraga, demikian juga sebaliknya. Sementara itu di Australia, dalam penyelenggaraan penyelenggaraan Olimpiade Sydney, program pemasaran dan penyelenggaraan kegiatan olahraga telah disinergikan dengan dengan program kegiatan kesenian dan kebudayaan, yaitu dengan menjadikan kesenian dan kebudayaan sebagai komponen utama yang diwajibkan dalam penyelenggarakan suatu kegiatan olahraga.

3.3.3 Pengalaman Negara Lain dalam Pengembangan Pariwisata Berbasis EventMerujuk pada pengalaman negara lain dalam menyelenggarakan pariwisata berbasis event, ada beberapa

contoh yang telah dikembangkan. Misalnya, untuk mengembangkan event olahraga pemerintah Kanada setiap tahun menyelenggarakan kongres kegiatan olahraga (Sport Event Conggress) yang merupakan pertemuan perwakilan dari para pelaku olahraga; organisasi olahraga; pemegang hak event, convention and visitors bureaus; lembaga pengembangan ekonomi; industri penunjang; organisasi/perusahaan sponsor; dan perusahaan pengelola kegiatan baik yang bersifat nasional maupun internasional. Forum tersebut menjadi sarana pemasaran event olahraga dimana pemegang hak event mempunyai kesempatan untuk menawarkan event-nya kepada perwakilan kota untuk menjadi tuan rumah.

Australia menetapkan strategi pengembangan pariwisata olahraga nasional dalam wujud The National Action Plan for Tourism yang sudah dicanangkan sejak tahun 1998. Di Australia, setiap penyelenggaraan event olahraga pun direncanakan dengan bagus sehingga mampu mendatangkan wisatawan baik asing maupun lokal. Menyadari hal tersebut, dan mengambil pengalaman dari penyelenggaraan Olimpiade Sydney, maka program pemasaran dan penyelenggaraan event olahraga disinergikan dengan program kegiatan kesenian dan kebudayaan, yaitu dengan menjadikan kesenian dan kebudayaan sebagai komponen utama yang diwajibkan dalam penyelenggarakan suatu event olahraga.

Berdasarkan dokumen Events Strategy and Action Plan 2006-2011, di Skotlandia event mempunyai potensi yang cukup signifikan dalam mendukung pengembangan pariwisata. Oleh karena itu, Pemerintah Skotlandia mempunyai komitmen besar untuk mengembangkan event yang dicerminkan dengan dicanangkannya the national major event strategy ‘Competing on an International Stage’ oleh The Scottish Executive pada tahun 2003. Bahkan Pemerintah mempunyai visi untuk menjadikan Skotlandia sebagai destinasi event terkemuka di dunia pada tahun 2015, yaitu dengan: (a) menjadikan event sebagai ikon atau event hallmark; (b) event yang dapat dikembangkan menjadi event dunia; (c) event internasional yang diselenggarakan di Skotlandia tanpa investasi dalam infrastruktur; (d) event tahunan atau event tengah tahunan yang dapat dikembangkan di spesifik area. Event ini dapat berupa olahraga, sejarah, kesenian dan budaya atau festival. Dalam rangka mensosialisasikan strategi nasional, The Scottish Executive and Visit Scotland menciptakan event Scotland yang bermitra dengan lembaga publik, event organizers, media dan sektor swasta. Lembaga ini memberi dukungan dana dan konsultasi untuk menjamin, menciptakan dan mengembangkan kegiatan budaya dan olahraga unggulan internasional di Skotlandia.

4. HASIL KAJIAN dan ANALISIS

Salah satu bentuk sinergi antara industri budaya, olahraga dan pariwisata adalah penyelenggaraan kegiatan. Indonesia mempunyai potensi besar untuk mengembangkan event. Namun potensi-potensi yang ada belum semuanya dikembangkan secara optimal sehingga mampu menarik wisatawan. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti komitmen pemerintah, kebijakan, sumber daya manusia dan lain-lain. Dalam rangka mengembangkan potensi yang ada secara optimal maka dilakukan telaah faktor-faktor yang menjadi kendala dan pendukung pengembangannya tersebut termasuk telaah dari sisi kebijakan yang bersifat nasional maupun daerah.

4.1. Sinergitas Industri Budaya, Industri Olahraga, dan Pembangunan Pariwisata

4.1.1. Kebijakan (produk hukum)Dari dimensi legal, arah kebijakan pengembangan pariwisata, kebudayaan dan olahraga baik secara nasional

maupun daerah sudah dijabarkan di dalam RPJMN dan RPJMD serta RKP dan RKPD. Apabila ditelaah dari isi kebijakan-kebijakan yang ada saat ini baik kebijakan nasional maupun daerah secara

nyata masih belum saling mendukung dan bersinergi. Kebijakan kebudayaan belum secara eksplisit menyebutkan arah kebijakan kebudayaan yang mendukung pariwisata atau kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 872

event. Demikian juga kebijakan di bidang Olahraga. Padahal untuk mengembangkan event dalam rangka mendukung pembangunan pariwisata sangat diperlukan komitmen dari pemerintah dan sinergi antara kebijakan pariwisata, budaya, dan olahraga.

Secara khusus, apabila dilihat di sembilan provinsi lokasi penelitian, secara sendiri-sendiri pemerintah provinsi sudah mempunyai kebijakan di bidang kebudayaan, olahraga dan pariwisata, akan tetapi secara sinergi belum optimal. Di samping itu kebijakan pemerintah pusat belum diikuti dengan langkah konkrit terutama di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Kondisi ini merupakan sebuah tantangan terutama di era pasca kebijakan otonomi daerah.

Dilihat dari dimensi pelaksanaan, seiring dengan kebijakan otonomi daerah, disatu sisi terjadi banyak hambatan namun disisi lain terdapat banyak peluang. Hambatan akan dijumpai apabila sinkronisasi antara pusat dan daerah tidak sejalan. Apabila keduanya sejalan maka akan menjadi peluang. Isu pembangunan kelembagaan, khususnya di bidang pariwisata dan olahraga paska kebijakan otonomi daerah, dalam prakteknya masih mengalami tarik ulur.

Dalam upaya meningkatkan pariwisata event yang mensinergikan kegiatan budaya dan olahraga sangat diperlukan komitmen dari pemerintah. Keberadaan sinergi kebijakan akan mendorong sinergitas kedua industri budaya dan industri olahraga sehingga membantu berkembangnya kreativitas dalam penciptaan beragam karya dalam bentuk event. Kebijakan ini sekaligus menjadi pelindung dari campur tangan pihak-pihak yang cenderung akan melemahkan kontinuitas sinergi yang dilakukan.

4.1.2 KelembagaanStruktur kelembagaan pemerintah dalam mendukung pengembangan industri pariwisata, industri budaya dan

olahraga di sembilan daerah lokasi penelitian tidak sama. Pada umumnya tingkat keberadaan lembaga tergantung pada kebijakan pemerintah daerah. Di samping lembaga pemerintah, di beberapa daerah, seperti Bali memiliki Badan Pengembangan Pariwisata yang dikelola oleh Swasta. Keberadaan lembaga-lembaga pemerintah tetap diperlukan dan diharapkan mampu menjadikan proses sinergitas lebih cepat terbentuk dan secara kelembagaan menerapkan prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance).

4.1.3. Infrastruktur dan AmenitasBerdasarkan penelitian di sembilan provinsi ketersediaan infrastruktur fisik, pemasaran dan infrastruktur belum

memadai. Di sisi lain industri pariwisata memerlukan kepastian adanya ketersediaan infrastruktur yang memadai sehingga wisatawan akan lebih bisa menikmati masa tinggalnya di sebuah destinasi. Bila hal ini terpenuhi sejak sebelum, saat, dan sesudah para wisatawan kembali ke daerahnya, maka akan mampu menjadikan pengelolaan pariwisata yang berkesinambungan.

4.1.4. Sumber Daya Manusia Ketersediaan SDM yang berkualitas merupakan kunci sukses penyelenggaraan event pariwisata. Sumber Daya

Manusia yang dimaksud dalam kajian ini adalah seluruh pelaku industri budaya, olahraga dan parwisata baik pemerintah, swasta maupun masyarakat. Berdasarkan penelitian, kemampuan SDM dalam mengembangkan event pariwisata belum memadai. Hal ini karena event pariwisata belum berkembang di Indonesia. Di sisi lain kunci sukses penyelenggaraan kegiatan adalah sumber daya manusia (SDM). Untuk itu Pemerintah harus mulai memperhatikan pengembangan SDM khususnya yang berkaitan dengan penyelenggaraan event baik dari sisi pemerintah maupun pelaku (atlet, pelaku budaya-termasuk kesenian), masyarakat, dan swasta.

Pelaku (atlet, pelaku budaya-termasuk kesenian). Apabila sinergitas dua industri tersebut dilakukan, maka yang harus mendapatkan manfaat diantaranya adalah para pelaku. Dengan memperoleh manfaat atas apa yang dikerjakan diharapkan mampu mendorong lahirnya berbagai kreativitas dan prestasi yang akan membuat mereka dapat berkarya dan berprestasi secara produktif dalam kegiatan di kedua industri tersebut. Untuk itu harus dibangun komunikasi yang intensif antarpelaku.

Masyarakat. Dalam paradigma baru, pengembangan pariwisata tidak dapat terlepas dari partisipasi masyarakat terutama masyarakat lokal. Demikian pula dalam pengembangan kegiatan parwisata, sikap dan perilaku akan mempengaruhi keberhasilan event yang diselenggarakan. Keberadaan masyarakat yang sadar akan pentingnya pengembangan pariwisata menjadi kunci kenyamanan wisatawan untuk tinggal dalam waktu kurun waktu yang lebih lama di daerah wisata sambil menikmati berbagai event yang diselenggarakan.

Peran swasta (sponsor dan media promosi ). Peran swasta dalam sinergitas ini dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu mempromosikan kegiatan (seperti dalam media massa, baik cetak, audio maupun TV) dan berpartisipasi dalam pembiayaan untuk mendorong prestasi dan dedikasi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa industri olahraga di Inggris misalnya, agar dapat terus bertahan, mereka harus bekerjasama dengan industri penyiaran seperti TV dan radio baik lokal maupun nasional, sehingga dapat mempertahankan segmen pasar tersebut (Cave dan Crandall, 2001).

4.1.5. Manajemen PendanaanSalah satu bentuk permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan industri budaya dan industri olahraga

73I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

adalah pendanaan. Berbagai pengelolaan event yang ada di beberapa negara seperti Australia dan Kanada, mulai pengumpulan hingga penggunaan dana dilakukan secara mandiri dan tidak tergantung kepada pemerintah. Prinsip yang mengemuka adalah keswadayaan dan kemitraan, sehingga kegiatab yang berskala besar dapat dilakukan secara rutin dan berkesinambungan.

4.1.6. Keamanan nasional dan daerah Kondisi lingkungan yang aman sangat berpengaruh pada kinerja pariwisata. Contoh yang paling nyata adalah saat

terjadinya peristiwa bom di Bali, seluruh Bali (lokal) dan secara nasional menerima dampak negatif yaitu menurunnya citra pariwisata Indonesia. Hal yang sama adalah di NTB (Lombok) ketika ada kekerasan antarkelompok masyarakat, yang terjadi adalah penurunan jumlah wisatawan, terutama wisatawan asing. Sehingga penciptaan keamanan akan memberikan suasana yang kondusif untuk lahirnya sinergitas dalam industri budaya dan industri olahraga.

4.2. Pola Hubungan antara Industri Budaya, Industri Olahraga, dan Pariwisata Berdasarkan perpaduan teori sinergitas, dapat dikembangkan empat pola hubungan sinergitas antara event dalam

industri budaya dan industri budaya dalam mendukung pembangunan pariwisata:

Peraga 5: Pola Sinergitas Industri Budaya dan Industri Olahraga

Bila model sinergitas tersebut diaplikasikan ke hasil kajian di daerah maka dapat dipetakan hasilnya sebagai berikut:1. Pola Sinergi Ideal Berdasar hasil kajian, pola sinergis telah berlangsung di Bali, dimana berbagai hubungan industri budaya dan

industri pariwisata telah menciptakan nilai tambah, dan situasi yang mendasari sinergi dilakukan secara sistematis, dimana telah terjadi sinergi antara pemerintah, swasta dan masyarakat.

2. Pola Transisi Efektif Pola Transisi Efektif berlangsung di 3 provinsi yaitu Jawa Barat, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Barat,

dimana berbagai hubungan industri budaya dan industri pariwisata telah menciptakan nilai tambah, meskipun pengelolaannya belum terorganisir dengan baik.

3. Pola Transisi Inefisien Pola Transisi Inefisien berlangsung di lima provinsi, yaitu Sulawesi Selatan, Riau, Jawa Timur, Kalimantan Timur,

dan Sumatera Barat, dimana berbagai hubungan industri budaya dan industri pariwisata belum menciptakan nilai tambah, meskipun telah dikelola dan diinisiasi dengan baik oleh pemerintah dan swasta.

4. Pola Soliter Dalam kajian ini karena masing-masing daerah memiliki potensi yang dapat dikembangkan, maka pola soliter

(independen) tidak ditemukan. Secara skematis, pembahasan ini menghasilkan temuan sebagaimana dalam peraga sembilan di bawah ini.

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 874

Peraga 6: Pola Sinergitas Industri Budaya, Industri Olahraga, dan Pariwisata

4.3. Kebijakan dan Rencana Aksi dalam Pengembangan Event

No Pola Sinergi Kebijakan Rencana Aksi Pelaku

1 Sinergi Melakukan inovasi event yang menarik dan berdaya jual bagi wisatawan.

1. Identifikasi industri budaya dan olahraga yang bisa dikembangkan untuk inovasi event pariwisata.

2. Pengembangan profesionalisme SDM dalam perencanaan dan penyelenggaraan event.

3. Pemberian kemudahan perizinan dan administrasi, serta insentif bagi pihak swasta untuk menyelenggarakan event pariwisata

4. Peningkatan kapasitas infrastruktur utamanya kemudahan akses, sarana dan amenities.

• Depbudpar• Dinas Kebudayaan &

Pariwisata Provinsi/Kota• Dinas Pendidikan Prov/

Kota• Kemenegpora• Bappeda• Pemangku kepentingan

(stakeholders) pariwisata.

Meningkatkan promosi dan penguatan citra pariwisata Indonesia

1. Memperkuat pembanguann citra pariwisata Indonesia di tingkat Internasional.

2. Optimalisasi promosi melalui berbagai media (eletronik dan cetak) serta teknologi informasi baik nasional dan internasional.

• Depbudpar• Dinas Kebudayaan &

Pariwisata Provinsi/Kota• Dinas Pendidikan Prov/

Kota• Kemenegpora• Bappeda• Para stakeholders

pariwisata

2 Transisi efektif

Mendorong peran pemerintah dalam membangun sinergi antara pemerintah (pusat dan daerah), swasta, dan masyarakat terkait dengan penyelenggaraan event pariwisata.

1. Penggalangan komitmen para pemangku kepentingan yang dituangkan dalam dokumen resmi perencanaan pembangunan di tingkat Pusat dan Daerah.

2. Fasilitasi penyelenggaraan forum komunikasi antar pelaku even pariwisata.

3. Pemberian insentif bagi pelaku event pariwisata, seperti para atlet, seniman, dan masyarakat sekitar.

4. Pengembangan profesionalisme SDM.5. Advokasi dan pendampingan kepada para

pelaku dan masyarakat penyelenggara event pariwisata.

• Depbudpar• Dinas Kebudayaan &

Pariwisata Provinsi/Kota• Dinas Pendidikan Prov/

Kota• Kemenegpora• Bappeda• Pemangku kepentingan

(stakeholders) pariwisata

75I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

3 Transisi inefisien

Meningkatkan nilai tambah penyelenggaraan event

1. Pemberian insentif bagi pelaku event pariwisata, seperti para atlet, seniman, dan masyarakat sekitar.

2. Fasilitasi kerjasama atau join venture dengan sektor usaha, seperti UKM, perbankan, perdagangan dan perindustrian terkait dengan peningkatan nilai tambah penyelenggaraan event pariwisata oleh masyarakat.

3. Pengembangan profesionalisme SDM.

• Depbudpar• Dinas Kebudayaan &

Pariwisata Provinsi/Kota• Dinas Pendidikan Prov/

Kota• Kemenegpora• Bappeda• Pemangku kepentingan

(stakeholders) pariwisata

4 Soliter Pemetaan potensi event pariwisata

Identifikasi industri budaya dan olah raga yang potensial dijadikan event pariwisata.

• Depbudpar• Dinas Kebudayaan &

Pariwisata Provinsi/Kota• Dinas Pendidikan Prov/

Kota• Kemenegpora• Bappeda

5. KESIMPULAN dan REKOMENDASI

5.1. Kesimpulan Kebijakan pengembangan industri budaya dan industri olahraga baik nasional maupun daerah belum secara nyata

dan jelas mendukung pembangunan pariwisata. Industri Budaya dan Industri Olahraga secara otonom telah memiliki peran dalam pembangunan pariwisata, akan

tetapi, kedua industri tersebut secara bersama masih belum optimal dalam mendukung pembangunan pariwisata. Namun demikian, industri budaya dan olahraga mempunyai potensi yang cukup besar untuk dikembangkan di Indonesia.

Pola sinergi dalam bentuk penyelenggaraan event merupakan salah satu bentuk hubungan kerjasama industri budaya dan olahraga dalam mendukung olahraga dalam mendukung pembangunan pariwisata. Ada beberapa pola hubungan antara industri budaya dan industri olahraga terkait dengan pembangunan pariwisata, yaitu pola: (1) sinergis; (2) transisi efektif; (3) transisi inefisien; dan (4) soliter.

Faktor-faktor yang mempengaruhi sinergitas industri budaya dan industri olahraga adalah: (1) kebijakan pemerintah; (2) kelembagaan; (3)infrastruktur; (4) partisipasi masyarakat; (5) pihak swasta; (6) kondisi keamanan secara nasional dan daerah; dan (7) kompetisi dengan berbagai negara-negara lain.

Relatif masih belum ada ketersediaan data dan statistik di bidang industri budaya, olahraga, dan pariwisata yang terkait dengan event.

5.2. Rekomendasi Kebijakan di bidang kebudayaan maupun olahraga yang bersifat nasional maupun daerah sebaiknya secara nyata

dan jelas dituangkan dalam dokumen perencanaan pembangunan baik kebijakan nasional maupun daerah untuk mendukung pembangunan pariwisata.

Mendorong Pemerintah, melalui forum koordinasi di tingkat pengambil keputusan, terkait dengan penyusunan kebijakan dan strategi pengembangan industri budaya dan olahraga pariwisata dalam mendukung peningkatan kinerja pembangunan pariwisata, baik pada tataran perencanaan maupun implementasi, sesuai dengan model yang diusulkan dari hasil kajian ini.

Mendorong pemerintah Pusat dan daerah untuk mulai menyusun profil dan data statistik yang berkaitan dengan (1) potensi event-event budaya dan olahraga untuk dikembangkan sebagai produk pariwisata; dan (2) dampak ekonomi dan sosial penyelenggaraan kegiatan bagi pembangunan nasional maupun daerah

Mendorong berkembangnya kemitraan antara Pemerintah, swasta dan masyarakat dalam meningkatkan daya saing event dengan meningkatkan efisiensi, efektivitas dan kualitas faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sinergitas industri budaya dan industri olahraga dalam pembangunan pariwisata di tingkat pusat dan daerah.

Menyusun database event dengan pihak-pihak terkait

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 876

DAFTAR PUSTAKA

Burk, Robert F. and Stanley L. Engerman; Never Just a Game: Players, Owners, and American Baseball to 1920, The Journal of Economic History, Vol. 54, No. 3. (Sep., 1994), pp. 723-724.

Daniels, Margaret J. and William C. Norman; Estimating the Economic Impacts of Sevent Regular Sport Tourism Events, Journal of Sport Tourism, Vol. 8, No. 4., 2003, pp. 214-222.

Fernandez, Nerea, and Pedro L. Marin; Market Power and Multimarket Contact: Some Evidence from the Spanish Hotel Industry, The Journal of Industrial Economics, Vol. XLVI, No. 1., March, 1998, pp. 301-315.

Gibson, Heather J. , Sport Tourism: A Critical Analysis of Research, Sport Management Review, 1998, I, 45-76.Groupe AMNYOS Consultants, ‘Cultural and Sporting Event: An Opportunity for Developing Tourist Destination and

The Tourist Industry’, A Guide for maximizing the durable impacts of cultural and sporting events on tourist destinations and the tourist industry’, France 2007, pp. 7

Hansmann, Henry. Nonprofit Enterprise in the Performing Arts, The Bell Journal of Economics, Vol. 12, No. 2. (Autumn, 1981), pp. 341-361.

Hoffman, Andrew J and Ocasio, William , Not All Eventts Are Attended Equally: Toward a Middle-Range Theory of Industry Attention to External Event, Organization Science, Vlo. 12 No. 4. July-august 2001, pp. 414-434

Naibitt, John (1994). Global Paradox. William Morrow and Company, nc.Kusumohamidjojo, Budiono; Kebhinekaan Masyarakat di Indonesia Suatu Problematik Filsafat Kebudayaan, Grasindo,

Jakarta, 2000. Nordin, Sara. Tourism Clustering and Innovation, European Tourism Research Institute, Sweden, 2003.Pitana, IG. dan Sutarjo; Analisis Data Pariwisata Indonesia, Puslitbang Kepariwisataan Dep. Kebudayaan dan Pariwisata,

Makalah disajikan dalam: Diskusi Sinkronisasi Database Kebudayaab dan Pariwisata, Bappenas, 3 September 2007

Pat Lennox (Sector Leader), ‘Major Events Marketing Strategy’, Draft Strategy for Discussion and Comment, Joint Marketing Initiative (jmi.co.za), 7 December 2001

Siegfried, John. and Andrew Zimbalist; The Economics of Sports Facilities and Their Communities, The Journal of Economic Perspectives, Vol. 14, No. 3. (Summer, 2000), pp. 95-114.

Staudohar, Paul D. and Roger G. Noll; The Sports Industry and Collective Bargaining, Industrial and Labor Relations Review, Vol. 41, No. 2. (Jan., 1988), pp. 314-315.

The Community Planning Partnership’s Events Sub-Group, ‘Events Strategy and Action Plan 2006 – 2011’.Tsai, Wenpin. Social Structure of “Coopetition” Within a Multiunit Organization: Coordination, Competition, and

Intraorganizational Knowledge Sharing, Journal of Organization Science, Vol. 13, No. 2, (March-April 2002), pp. 179-190.

WTO, Tourism: 2020 Vision, 2000.

77I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

Kebijakan Tentang Trawl di Indonesia

DEPUTI BIDANG SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUPDIREKTORAT KELAUTAN DAN PERIKANAN

e-mail : [email protected]

Abstraksi

Kajian ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan pengaturan penggunaan alat tangkap trawl yang ada selama ini, dan kemudian mencari solusi melalui perumusan kebijakan pengaturan pengoperasian alat tangkap trawl. Pendekatan yang dilakukan dalam kajian ini adalah dengan melakukan survei di beberapa daerah terpilih dan melakukan studi literatur dari berbagai dokumen yang menganalisis tentang trawl di Indonesia. Analisis yang digunakan dalam kajian ini mencakup analisis teknis, ekologis, sosial ekonomi, hukum dan kelembagaan. Selanjutnya dilakukan analisis simulasi kebijakan yang memasukkan unsur-unsur tersebut untuk mengidentifikasi kebijakan yang optimum.

Hasil kajian ini menunjukkan bahwa secara teknis alat tangkap trawl ini cukup efektif, namun dengan pesatnya perkembangan jumlah dan modifikasinya maka perlu dikendalikan. Dilihat dari aspek sumber daya dan lingkungan, untuk beberapa jenis trawl berpengaruh terhadap perubahan ekosistem bentik di dasar perairan, kerusakan terumbu karang, dan berkurangnya populasi ikan yang bukan target spesies. Sementara itu, dari aspek usaha terlihat bahwa penggunaan trawl berkembang pesat walaupun secara ekonomi mempunyai kerentanan yang besar. Dari sisi aspek kelembagaan dan pengaturan, terlihat kurang efektifnya peraturan yang mengatur alat tangkap tersebut di lapangan, sehingga perlu dilakukan peninjauan kembali. Hasil analisis strategi kebijakan melalui simulasi kebijakan berbasis AHP, didapatkan bahwa kebijakan yang optimum adalah dengan melakukan pelarangan secara terbatas.

Berdasarkan hasil analisa di atas, maka kesimpulan dari kajian ini adalah : (1) tingkat penerimaan terhadap alat tangkap trawl bervariasi di setiap daerah; (2) dampak sosial yang terjadi umumnya terkait dengan konflik nelayan; (3) peraturan dan kebijakan tentang trawl di Indonesia masih belum konsisten; dan (4) kebijakan yang paling optimum adalah memberikan ijin operasi secara terbatas. Rekomendasi dari kajian ini adalah diperlukannya pengaturan zonasi dasar perairan, peraturan yang mewajibkan penggunaan peralatan yang dapat mencegah masuknya non target species, pembatasan ukuran kapal, pemberlakuan minimum mata jaring, kewajiban menggunakan alat pemisah ikan, pengaturan penutupan area dan musim penangkapan, pengembangan modal komunitas, penguatan kelembagaan, penyusunan rencana pengelolaan perikanan di setiap wilayah, dan melakukan revisi/penyempurnaan peraturan.

1. Latar Belakang

Penggunaan alat tangkap trawl dalam kegiatan perikanan tangkap hampir dilakukan di seluruh dunia. Sejak tahun 1969 alat tangkap trawl telah digunakan di Indonesia untuk tujuan menangkap udang secara komersial ( Bailey, 1997; Mathew, 1990; Manggabarani, 2003; Morgan and Staples, 2006), khususnya di wilayah perairan Sumatera Utara. Bailey (1997) mengungkapkan bahwa pada tahun 1970-an merupakan masa berkembangnya penggunaan alat tangkap trawl, sebagai akibat tingginya permintaan dunia akan udang dan berkembangnya perusahaan perikanan udang. Namun, perkembangan penggunaan alat tangkap trawl di Indonesia, telah berdampak pada timbulnya friksi yang akhirnya bermuara pada munculnya konflik-konflik antar nelayan di Indonesia (Mathew, 1990; Bailey, 1997).

Untuk mengatasi konflik yang terjadi, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 39 tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl. Pelarangan atas peraturan tersebut, difokuskan pada pembatasan penggunaan alat tangkap trawl, yang sering berdampak pada hasil tangkapan sampingan (by-catch) yang besar, adanya konflik sosial antarnelayan, dan dugaan adanya potensi kerusakan dasar laut (sea bed). Terbitnya Keppres No. 39 Tahun 1980, diikuti pula oleh terbitnya peraturan pelaksana lainnya. Misalnya, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Keppres No. 85 tahun 1982 tentang Penggunaan Pukat Udang. Keppres ini tidak menghapus keberadaan Keppres No.

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 878

39 tahun 1980, melainkan hanya membatasi penggunaan trawl dengan memperbolehkan penggunaan alat tangkap trawl yang menggunakan Turtle Excluder Device (TED), dan dengan pembatasan daerah operasi di perairan Kepulauan Kei, Tanimbar, Aru, Irian Jaya, dan Laut Arafura dengan batas koordinat 1300 BT ke timur, kecuali di perairan pantai dari masing-masing pulau tersebut yang dibatasi oleh garis isobath 10 meter. Dengan demikian, di luar ketentuan di atas, penggunaan alat tangkap trawl tetap dilarang (Pasal 7 Keppres No. 85 tahun 1982). Walaupun demikian, di beberapa wilayah masih dioperasikan alat tangkap trawl dengan ukuran yang lebih kecil dan dengan nama lain. Pada beberapa wilayah perbatasan seperti Pulau Sebatik juga berkembang isu trawl karena adanya persinggungan antara trawl setempat dengan trawl dari Malaysia. Nelayan Indonesia di Pulau Sebatik mendesak diijinkannya penggunaan alat tangkap trawl, karena nelayan-nelayan Malaysia sesuai dengan peraturan perundang-undangan di negaranya diperbolehkan menggunakan alat tangkap trawl.

Uraian-uraian tersebut di atas, memperlihatkan bahwa konflik yang berbasis isu trawl merupakan fakta sosial. Di samping itu juga ditemukan bahwa peraturan pelarangan trawl sudah tidak efektif. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian secara komprehensif terhadap alat tangkap trawl dan modifikasi/turunannya, untuk dapat mengidentifikasi dan merumuskan kembali kebijakan penggunaan alat tangkap tersebut sesuai dengan dinamika yang berkembang.

2. Tujuan

Kajian ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan pengaturan penggunaan alat tangkap trawl yang ada selama ini, dan selanjutnya mencari solusi melalui perumusan kebijakan pengaturan pengoperasian alat tangkap trawl.

Ruang lingkup dari kajian ini adalah : (1) Mengidentifikasi alat tangkap trawl atau sejenisnya, turunannya, dan nama-nama lokalnya; (2) Menganalisis dampak alat tangkap trawl dilihat dari aspek sosial, eknomi dan lingkungan; (3) Menganalisis peraturan atau kebijakan yang ada terkait dengan alat tangkap trawl; dan (4) Mengidentifikasi kebijakan pengaturan penggunaan alat tangkap trawl.

Sasaran dari kajian ini adalah sebagai berikut: (1) Teridentifikasinya alat tangkap trawl atau sejenisnya, turunannya, dan nama-nama lokalnya; (2) Teridentifikasinya dampak alat tangkap trawl dari aspek sosial, eknomi dan lingkungan; (3) Analisi dan evaluasi peraturan dan kebijakan yang ada terkait dengan alat tangkap trawl; dan (4) Tersusunnya rumusan kebijakan pengaturan penggunaan alat tangkap trawl.

Hasil yang diharapkan dari kegiatan kajian ini adalah tersusunnya rumusan kebijakan penggunaan alat tangkap trawl dalam mendukung pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.

3. Metodologi

Pendekatan dalam kajian ini akan dilakukan dengan beberapa pendekatan dan tahapan yaitu pengumpulan data dan informasi (sekunder dan primer), melakukan kajian terhadap data dan informasi, pendekatan partisipatif dengan menyelenggarakan pertemuan pemangku kepentingan (stakeholder) dengan menggunakan beberapa metode analisis dan perumusan hasil.

Pendekatan yang digunakan dalam kegiatan ini secara diagramatik dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.

Gambar 1. Kerangka Pendekatan Studi

79I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

3.1. Kerangka Analisis Analisis yang digunakan dalam kajian ini mencakup analisis teknis, ekologis, sosial ekonomi, hukum dan kelembagaan.

Selain itu, dilakukan analisis simulasi kebijakan yang memasukkan unsur-unsur tersebut untuk mengidentifikasi kebijakan yang optimum. Metode analisis yang digunakan adalah sebagai berikut :a. Analisis Teknis : difokuskan pada analisis tingkat produktivitas dan hasil samping serta analisis teknis tentang alat

tangkap. b. Analisis Ekologis : dilakukan secara deskriptif berdasarkan studi literatur tentang dampak penggunaan trawl pada

karang, juvenil dan hasil tangkap sampingan. c. Analisis ekonomis : menitikberatkan pada analisis usaha dan kelayakan usaha (finansial)d. Analisis Hukum : dilakukan secara deskriptif dengan melakukan analisis perbandingan serta analisis hirarki. e. Analisis kelembagaan : menitikberatkan pada analisis konflik dan formasi sosial f. Analisis simulasi kebijakan : menitikberatkan pada analisis hirarki permasalahan dengan menggunakan teknik

Analytical Hierarchical Process (AHP).

3.2 Metode Pelaksanaan KajianMetode yang digunakan dalam pelaksanaan kajian ini adalah dengan melakukan survei di beberapa daerah terpilih

untuk mendapatkan gambaran tentang kondisi saat ini perikanan trawl atau turunannya di Indonesia. Di samping itu juga dilakukan studi literatur dari berbagai dokumen yang menganalisis tentang trawl di Indonesia. Hasil dari kedua pendekatan tersebut digunakan untuk menganalisis hasil dari pelaksanaan kebijakan pengoperasian alat tangkap trawl berdasarkan kuesioner yang telah diisi oleh para responden.

3.3 DataUntuk mendapatkan data dan informasi, dilakukan wawancara dan observasi guna mendapatkan data primer, studi

leteratur, serta lokakarya yang mengundang stakeholder dan para nara sumber. Selain itu, juga dilakukan penyebaran kuesioner kepada para ahli dan praktisi tentang masalah trawl, baik di tingkat pusat maupun daerah.

4. Hasil Kajian dan Analisis

Sejarah trawl di Indonesia dapat diklasifikasikan dalam 4 (empat) periode, yaitu periode 1900-sampai perang dunia II, periode 1950-1968, periode 1970-an dan periode 1980-an. Penggunaan alat tangkap trawl untuk perikanan Indonesia diperkenalkan oleh nelayan Bagansiapiapi sekitar tahun 1964. Namun demikian, awal penangkapan udang di Bagansiapiapi dimulai tahun 1966 (Asikin, 1978; Naamin, 1978), terutama oleh nelayan dari etnik Cina, yang belajar dari nelayan etnik Cina di Selat Malaka di wilayah Malaysia. Selama tahun 1970-an, operasi penangkapan trawl menyebar dengan cepat dari Bagansiapiapi ke daerah lain di Selat Malaka, Pantai utara Jawa dan daerah lain di Indonesia (Mathew, 1990; Bailey, 1997; Morgan and Staples, 2005). Kemudian tahun 1968 mulai menyebar ke utara dan membuka basis operasi di Sumatera Utara dan Aceh (1969), terus ke arah selatan ke Laut Jawa (1971), dan pada tahun 1973 sudah sampai Sulawesi. Akhirnya sejak 1975-1980 alat tangkap trawl menyebar dan berkembang sangat cepat di seluruh wilayah Indonesia.

Definisi mengenai alat tangkap trawl telah banyak diterbitkan, namun secara umum mengacu kepada International Standard Statistical Classification of Fishing Gears yang diterima oleh FAO maupun klasifikasi metode penangkapan ikan dunia yang ditulis oleh Von Brandt (1984) (Purbayanto, 2006). Trawl secara garis besar dikatakan sebagai sebagai alat tangkap yang terbuat dari bahan jaring dan berbentuk seperti kantong atau kerucut, yang mempunyai sayap, alat pembuka mulut jaring, badan jaring dan kantong. Sementara itu, von Brandt (1984) mengklasifikasikan trawl ke dalam kelas alat tangkap dragged gears (metode penangkapan dengan alat yang diseret). Sedangkan Sainsbury (1986), mengklasifikasikan trawl menjadi; trawl dasar (bottom trawl), trawl pertengahan (midwater trawl) dan trawl permukaan (pelagic/surface trawl).

Surat Keputusan Mentan No. 503/Kpts/Um/VII/1980 tentang langkah-langkah pelaksanaan penghapusan jaring trawl tahap pertama sebagai tindak lanjut Keppres 39/1980 mendefinisikan jaring trawl adalah: jenis-jenis jaring berbentuk kantong yang ditarik oleh kapal bermotor dan menggunakan alat pembuka mulut jaring yang disebut gawang (beam) atau sepasang alat pembuka (otter boards) dan jaring ditarik oleh dua buah kapal bermotor. Jaring trawl ini dikenal dengan nama pukat harimau, pukat tarik, tangkul tarik, jaring tarik, jaring trawl ikan, pukat apollo, pukat lenggei dan sebagainya.

Sejak dikeluarkannya Keppres 85/1982, penamaan trawl dalam statistik perikanan Indonesia berubah menjadi pukat udang atau pukat ikan. Trawl merupakan salah satu alat tangkap ikan demersal (ikan dasar) yang paling efektif sehingga kemudian berkembang dengan modifikasi dan nama yang berbeda-beda. Pada faktanya alat tangkap trawl atau modifikasinya juga berkembang dan dioperasikan di wilayah yang tidak diijinkan (Keppres No.85/1982). Sejalan

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 880

dengan perkembangannya, Pemerintah Indonesia membuat standardisasi alat tangkap dan alat tangkap trawl dengan nama Pukat Hela.

Pengaturan tentang trawl secara eksplisit dilakukan sejak diperkenalkannya trawl di Indonesia sampai dikeluarkannya peraturan pengahapusan trawl dan keluarnya peraturan tentang ijin operasi pukat udang. Secara umum perkembangan peraturan perikanan serta peraturan tentang trawl di Indonesia dapat dilihat dalam Tabel 1.

Tabel 1. Regulasi Trawl di Indonesia

Tahun Uraian

1973 SK Mentan No. 561/Kpts/UM/11/1973 tentang Pemanfaatan Ikan Hasil Samping terutama trawl yang digunakan untuk kesejahteraan rakyat.

1974 SK Mentan No. 40/Kpts/UM/2/1974 tentang Perubahan SK Mentan No. 561/Kpts/UM/11/1973 lebih cenderung pada peningkatan ekonomi dalam memanfaatkan hasil samping dari kegiatan penangkapan ikan menggunakan trawl.

1975 SK Mentan No. 01/Kpts/UM/1/1975 tentang Pembinaan Kelestarian Kekayaan yang terdapat dalam Sumber Perikanan Indonesia yang mengatur mengenai penutupan daerah/musim dan mengatur pengendalian kegiatan penangkapan termasuk alat tangkap trawl.

SK Mentan No. 02/Kpts/UM/1/1975 tentang Pembinaan Kelestarian Kekayaan yang terdapat dalam Sumber Perikanan di Perairan Laut Irian Jaya, yang mengatur kegiatan penangkapan ikan di sekitar perairan Irian Jaya (Papua). Alat tangkap trawl diatur secara khusus, yaitu (1) pembatasan daerah tangkapan melalui titik-titik koordinat, (2) pengaturan kedalaman (isobath) 10 meter, (3) pengaturan penggunaan jenis kapal, dan (4) pengaturan penggunaan spesifikasi alat tangkap trawl melalui pengaturan mata jaring;

SK Mentan No. 317/Kpts/UM/7/1975 tentang Ketentuan Pemanfaatan Sumber Perikanan di Perairan Pantai Utara Pulau Jawa dan Madura serta Selat Madura yang mengatur secara spesifik wilayah Pulau Jawa (pembatasan wilayah), serta mengatur penggunaan kekuatan mesin kapal dan alat tangkap yang digunakan dalam hal ini purse seine dan trawl.

1976 SK Mentan No. 607/Kpts/UM/9/1976 tentang Jalur-jalur Penangkapan Ikan; SK Mentan No. 608/Kpts/UM/9/1976 tentang Penetapan Jalur Penangkapan bagi Kapal-kapal Milik Perusahaan-perusahaan Milik Negara; dan SK Mentan No. 609/Kpts/UM/9/1976 tentang Daerah Penangkapan Kapal Trawl Dasar. Ketiga peraturan juga mengatur alat tangkap trawl.

1980 Keppres No. 39 Tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl. Pada Keppres tersebut, Pemerintah merekomendasikan penghapusan trawl secara bertahap, karena alat tangkap ini sudah dikategorikan sebagai alat tangkap terlarang.

Instruksi Presiden No. 11 Tahun 1982 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden No. 39 Tahun 1980

SK Mentan No 503/Kpts/Um/7/1980 tentang Langkah-Langkah Pelaksanaan Penghapusan Jaring Trawl Tahap Pertama

SK Mentan No. 694/Kpts/UM/9/1980 tentang Pembatasan Daerah Penangkapan Ikan bagi Usaha-usaha Perikanan yang Menggunakan Jaring Trawl. Pulau Jawa dan Bali terhitung tanggal 1 Oktober 1980, sementara untuk Sumetara terhitung tanggal 1 Januari 1983.

1981 SK Mentan No. 542/Kpts/UM/6/1981 tentang Penetapan Jumlah Kapal Trawl di Daerah Tingkat I di Luar Jawa, Bali dan Sumatera. Penghapusan bertahap pada wilayah tersebut dengan pembatasan penggunaan kapal trawl yaitu sekitar 1.000 kapal sampai 1 Juli 1981.

1982 SK Mentan No. 545/Kpts/UM/8/1982 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden No. 11 Tahun 1982. Akhir tahun 1982, semua ijin alat tangkap trawl tidak berlaku, terhitung 1 Januari 1983 melaksanakan penghapusan jaring trawl diseluruh Indonesia.

Keppres No. 85 Tahun 1982 tentang Penggunaan Pukat Udang. Keppres ini mengatur pembatasan wilayah tangkapan melalui koordinat di sekitar perairan kepulauan Kei, Tanimbar, Aru, Irian Jaya, dan laut Arafura dengan batas koordinat 1300 B.T. ke Timur. Di luar wilayah yang ditetapkan oleh Keppres No. 85 Tahun 1982, diperbolehkan menggunakan pukat udang dengan berbagai aturan yang telah ditetapkan.

SK Mentan No. 930/Kpts/UM/12/1982 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden No. 85 Tahun 1982

SK Dirjen Perikanan No. IK.010/S3.8075/82 tentang Konstruksi Pukat Udang yang dilengkapi dengan alat pemisah Ikan (API) untuk mengurangi dampak kerusakan.

Penggunaan alat tangkap trawl ini banyak menimbulkan permasalahan. Berdasarkan hasil kunjungan lapang di beberapa wilayah uji petik, dapat diidentifikasikan, antara lain : masalah konflik pada tingkat komunitas nelayan dan pengaturan pada tingkat kelembagaan. Secara umum, konflik yang terjadi dapat dipetakan menjadi konflik alat tangkap, konflik kelas, dan konflik pengelolaan sumberdaya.

81I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

4.1. Aspek Teknis Trawl merupakan alat tangkap yang paling efektif untuk menangkap udang dan jenis ikan demersal. Secara teknis,

spesifikasi trawl yang dioperasikan di Indonesia meliputi trawl yang asli (tanpa perubahan), yang pada umumnya dioperasikan di wilayah yang diijinkan oleh Keppres No.85/1982 dan modifikasinya (bentuk, ukuran, cara pengoperasian dan bagian-bagiannya) di luar wilayah yang diijinkan. Pada umumnya, trawl yang dioperasikan merupakan jenis otter trawl, bukan beam trawl karena pertimbangan teknis operasional dan ekonomis. Secara teknis bukaan mulut otter trawl lebih besar, sehingga lebih luas sapuan areanya dan lebih ringan penarikannya dibandingkan dengan beam trawl. Hal ini juga yang menjadi pertimbangan mengapa trawl dioperasikan di wilayah yang tidak berkarang.

Secara teknis, trawl dioperasikan dengan menyaring ikan dan hasil tangkapan lainnya untuk masuk ke dalam bagian kantong yang mempunyai ukuran jaring lebih kecil dengan cara menyeret jaring trawl dengan kapal. Berdasarkan pengamatan Riyanto (2005), trawl memiliki produktivitas yang tinggi, karena : (1) bersifat aktif yaitu mengejar target ikan, (2) perairan tempat operasi merupakan perairan dangkal sehingga bukaan mulut pukat udang masih dapat menyapu sebagian besar kolom perairan, (3) perairan yang dangkal merupakan tempat ikan mencari makan (feeding ground), pemijahan (spawning ground), dan pemeliharaan (nursery ground), sehingga banyak ikan-ikan muda yang tertangkap, (4) dasar perairan merupakan habitat bagi jenis ikan demersal; dan (5) pengoperasian pukat udang tidak diikuti pemasangan Alat Pemisah Ikan (API). Namun, secara umum efektifitas penangkapan dengan trawl tergantung pada pemilihan fishing ground yang tepat, kedalaman perairan, lama waktu towing, dan kecepatan towing.

Tingginya produktivitas trawl menjadi penyebab maraknya penggunaan alat tangkap tersebut. Secara teknis maraknya penggunaan trawl tersebut disebabkan oleh faktor-faktor: (1) mudah dalam pengoperasian dan kompak, (2) pengoperasian dapat dilakukan sepanjang hari serta sepanjang waktu, (3) dapat dibuat dengan cepat, dan (4) biaya pembuatan murah.

Salah satu problem pengoperasian trawl adalah adanya ikan hasil tangkap sampingan (By-catch/HTS) yang cukup banyak. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, salah satu cara adalah dengan mempergunakan Alat Pemisah Ikan (API) atau By-catch Reducer Device (BRD), yang bentuknya sangat bervariasi. Namun, faktanya penggunaan API/BRD ini belum sepenuhnya dapat berjalan. Seharusnya HTS ini dibuang kembali ke laut sebagai ikan buangan atau discard fish, tetapi dengan meningkatnya biaya operasi, sebagian HTS tidak dibuang (retained by-catch) melainkan diolah atau dijual.

Purbayanto (2003) menyatakan, penggunaan BRD efektif mengurangi HTS, tetapi hal itu berdampak pada berkurangnya hasil tangkapan udang. Oleh karena itu, untuk lebih mengoptimalkan penggunaan perangkat BRD dalam mengurangi volume HTS guna mempertahankan tangkapan udang serta menjaga keberlanjutan sumberdaya dan lingkungan, maka sebaiknya dilakukan pengaturan jarak antarkisi dengan tetap mempertimbangkan ukuran udang sebagai target spesies.

Secara teknis operasional trawl tidak menimbulkan masalah, namun pada kenyataannya sering terjadi persinggungan fishing ground dengan alat tangkap lain, terutama untuk fishing ground yang mempunyai kepadatan alat tangkap tinggi. Oleh karena itu, dengan melihat pesatnya perkembangan jumlah dan modifikasi alat tangkap trawl, maka perlu dilakukan pengendalian jumlah alat tangkap dengan memperhitungkan swept area.

4.2. Aspek Sumberdaya dan Lingkungan.Secara umum, setiap alat tangkap mempunyai dampak yang berbeda terhadap dasar perairan laut (Kaiser et.all,

2003). Isu keterkaitan antara pengoperasian alat tangkap trawl dengan kelestarian sumber daya perairan, sampai dengan saat ini masih terjadi perdebatan. Merujuk pada sistem pengoperasiannya yang ditarik pada seluruh lapisan, trawl mempunyai potensi berinteraksi atau bersinggungan dengan seluruh ekosistem perairan. Beberapa isu yang terkait dengan lingkungan adalah adanya isu kerusakan terumbu karang, tangkapan sampingan yang dibuang (by catch), dan tertangkapnya ikan atau biota perairan lainnya yang berukuran kecil (biasanya belum pada kondisi dewasa) serta pengurasan sumberdaya yang menyebabkan menurunnya stok sumber daya ikan.

Pada usaha perikanan tangkap yang mengoperasikan alat tangkap trawl (terutama bottom trawl), pengoperasian alat tangkap tersebut dapat mempengaruhi kondisi organisme bentik, yang bervariasi tergantung pada bentuk alat tangkap, tipe sedimen, kedalaman air dan faktor-faktor lain (Kaiser, et.all., 2003). Secara empiris, pengaruh pengoperasian alat tangkap trawl masih menyisakan dualisme pendapat yaitu pengaruh positif maupun negatif terhadap habitat dasar (Purbayanto, 2007). Pengaruh negatif didasarkan pada pengoperasian trawl dasar (khususnya untuk penangkapan udang), bersifat mengaduk substrat dasar sehingga dapat berakibat pada perubahan ekosistem benthic (organisme dasar laut) yang dapat mengakibatkan matinya biota renik. Pandangan positif justru didasarkan pada pemikiran bahwa proses pengadukan substrat tersebut sebaliknya dapat menyebabkan pengkayaan unsur hara pada ekosistem dasar perairan yang dibutuhkan oleh biota-biota dasar.

Secara umum, pengaruh beam trawl lebih besar dibandingkan dengan otter trawl yang lebih ringan (Kaiser et.al., 2003). Kontak langsung antara alat tangkap dengan substrat dapat mendorong resuspensi sedimen (resusupension of sediment) dan potongan karang dan biogenic lainnya, yang dapat melepaskan nutrien dalam sedimen (Duplisea et al. 2002), tereksposnya lapisan exposure anoxis, terlepasnya kontaminan (Olive 1993), meningkatnya biological oxygen demand (BOD) (Reimann and Holman 1991), menutup organ makan (feeding organs) dan pernapasan.

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 882

Lokkerberg (2005) dengan mengumpulkan hasil pada studi-studi empiris sebelumnya menyatakan bahwa pengaruh fisik otter-trawl pada dasar perairan yang lunak (soft and muddy bottom) lebih banyak diakibatkan adanya penggunaan pintu (bukaan) yang digunakan dalam pengoperasiannya (lihat juga Kaiser et.all., 2003), bukan oleh jaring trawl. Sebaliknya, beam-trawl terlihat berpengaruh secara fisik pada dasar perairan yang keras dan berpasir, yaitu meratakan dasar perairan yang tidak beraturan termasuk didalamnya soft coral, ripples, bioturbation mounds dan faunal tubes. Akan tetapi Collie et.al. (2000) dalam Lokkeberg (2005) menyatakan bahwa telah banyak penelitian tentang dampak pengoperasian alat tangkap trawl terhadap lingkungan dasar, namun masih sangat sedikit kesimpulan umum tentang pengaruh alat tangkap tersebut.

Secara biologis, Lokkerberg (2005) menyatakan bahwa dampak biologis pengoperasian otter-trawl pada dasar perairan yang lembut, bersifat tidak konsisten, yang terindikasi pada beberapa hasil studi, dimana bukti yang konsisten dan jelas belum ditemukan. Penelitian pada laut lepas menunjukan bahwa perubahan struktur bentik pada dasar perairan tidak permanen dan cenderung bersifat natural dan perubahan tersebut bukan disebabkan oleh operasi trawl. Sebaliknya pengoperasian otter-trawl pada dasar perairan yang keras menunjukan penurunan jumlah kelimpahan biota invertebrata sesil (seperti sponges dan karang) akibat proses operasi otter-trawl. Secara khusus disebutkan bahwa habitat yang didominasi oleh fauna besar kecil kemungkinannya dapat terpengaruh oleh adanya gangguan akibat operasi trawl. Dalam hal pengoperasian beam-trawl, Lokkerberg (2005) juga menyimpulkan bahwa dampak pengoperasian beam trawl menunjukan adanya pengaruh yang intensif pada struktur komunitas dalam jangka pendek karena berkurangnya kelimpahan epifauna dan infauna. Namun, dalam jangka panjang dampak ini masih belum terlihat. Sementara itu, penelitian empiris yang representatif tentang dampak perikanan trawl pada habitat dasar untuk kasus perikanan Indonesia belum dilakukan.

Dalam kasus Indonesia, apabila dikaitkan dengan teknik pengoperasiannya trawl yang ditarik dengan energi besar, maka mensyaratkan adanya kondisi lapang yang tidak adanya penghalang. Oleh karena itu, penggunaan trawl tidak atau jarang sekali dioperasikan di daerah dasar berkarang (Purbayanto, 2007; Pet-Soedo and Ermann, 2000). Kerusakan karang masih jauh lebih tinggi diakibatkan oleh parktek perikanan yang tidak bertanggung jawab seperti blast-fishing atau pengeboman (Pet soedo and Erman, 2000).

Pengoperasian trawl secara global telah dianggap menjadi penyebab meningkatnya kematian dan buangan (discard) (Stergiou et.al., 1998; Hall, 1999 dalam Matchias et.al. (2000). Naamin (1984) menyatakan hasil tangkapan sampingan terdiri atas lebih dari 60 jenis ikan, namun sebagian besar adalah ikan yang berkualitas dan bernilai niaga rendah. Sumiono dan Sadhotomo (1985) mengemukakan penggantian alat tangkap trawl oleh pukat udang dapat menekan volume hasil tangkapan sampingan hingga mencapai 42,5 % dan ikan hidangan (hasil tangkapan yang dibawa oleh ABK selain target spesies) berkurang 50 %. HTS trawl di laut Arafura meningkat dengan perbandingan udang : ikan pada tahun 1978 1:5, tahun 1985 adalah 1:8 dan tahun 2000 1:14. (Nurhakim, 2004), dengan volume ukuran ikan kecil meningkat. Namun, Azis (1996) menyatakan bahwa matinya hasil tangkapan sampingan yang diperoleh merupakan langkah yang bijaksana dalam pengosongan ruang ekosistem. Sehingga pengosongan ikan yang bernilai rendah dapat memberikan kesempatan yang lebih besar bagi udang yang bernilai lebih tinggi untuk menempati ruangan yang lebih luas dan untuk memperoleh makanan yang lebih banyak. Isu hasil tangkap sampingan sekarang ini terjadi pada operasi penangkapan trawl besar dan tidak ditemukan pada alat tangkap trawl kecil seperti jaring arad di Pantai Utara Jawa (Taryono, 2003). Untuk mengatasi masalah HTS, disamping penggunaan API/BRD, juga perlu diatur besarnya mata jaring terutama pada bagian kantong jaring (cod-end).

4.3. Aspek UsahaBerdasarkan hasil kunjungan lapang dan studi literatur didapatkan bahwa pilihan investasi nelayan pada usaha

perikanan dilandasi oleh beberapa faktor yaitu motif ekonomi, budaya kerja dan rendahnya keterampilan di sektor lain. Motif ekonomi dilandasi kepercayaan nelayan bahwa usaha penangkapan masih menguntungkan. Motif budaya lebih didasari oleh mengakarnya budaya ekonomi yang berbasiskan bahari dalam diri seseorang atau komunitas. Rendahnya keterampilan nelayan artisanal (laut pesisir) untuk berproduksi di bidang yang lain, secara ekonomis menyebabkan profitabilitas usaha penangkapan rendah. Meskipun kondisi sumberdaya alam mengalami deplesi, nelayan artisanal akan tetap eksis di perikanan tangkap karena tidak ada pilihan lain.

Secara faktual, termasuk dalam perikanan tangkap yang menggunakan alat tangkap trawl terutama yang kecil atau modifikasinya, ketergantungan pada pemilik modal cukup tinggi. Hal ini juga didasari oleh adanya faktor ekonomi maupun sosial insurance. Faktor ekonomi yang utama, pemilik modal sekaligus pembeli yang mengindikasikan jaminan pasar, yang disebabkan oleh kontraktual dan adanya informasi pasar yang bersifat asimetris. Posisi ini yang menjadikan sebagian besar nelayan sebagai absolut price taker. Pada sisi lain, secara sosial nelayan juga mendapatkan jaminan terutama pada saat produktivitas rendah, dimana pemilik modal menjadi katup pengaman sosial bagi nelayan.

Secara struktural, Bahan Bakar Minyak (BBM) menjadi komponen terbesar pada biaya operasi penangkapan bagi nelayan termasuk jaring arad. Biaya BBM menyerap 60-70%, sementara perbekalan 12-21%, perlengkapan 3-8%, perawatan 3-4%, dan penyusutan 5-8% dari total biaya penangkapan. Dengan demikian, kenaikan harga BBM akan sangat signifikan implikasinya bagi nelayan trawl dan modifikasinya mengingat trawl adalah alat tangkap yang aktif.

83I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

Hal yang menarik adalah meskipun trawl secara ekonomis mempunyai beberapa resiko, tetapi pada faktanya mengalami perkembangan yang sangat pesat. Penelusuran lebih lanjut berdasar survei lapang didapatkan adanya unsur baik intangible maupun tangible yang mempengaruhi perkembangannya secara ekonomis sebagai berikut: (1.) investasi (relatif ) rendah, (2) biaya operasi relatif rendah karena operasinya yang singkat, (3) adanya jaminan pendapatan dalam jangka pendek walaupun tidak besar, (4) target spesies alat tangkap adalah udang yang merupakan komoditas ekonomis bernilai tinggi.

4.4. Aspek Kelembagaan dan Pengaturan Secara yuridis, pengoperasian trawl dilarang di Indonesia, tetapi faktanya di lapangan terdapat ha-hal kontradiktif

sebagai berikut: (1) adanya operasi trawl secara illegal, (2) alat tangkap bukan trawl tetapi operasinya mirip trawl, (3) pro dan kontra terhadap Keppres No.39/1980 dan (4) Keppres No.39/1980 mampu meredam konflik di awal tapi belum mampu meningkatkan kesejahteraan nelayan (Manggabarani, 2003).

Secara kelembagaan sebenarnya pernah dilakukan analisis dalam FKPPS Nasional (Forum Koordinasi Pengelolaan dan Pengendalian Sumberdaya Ikan) tahun 1980 tentang efektivitas Keppres 39/1980 yang menghasilkan pandangan secara prinsip menyetujui revisi atau peninjauan kembali peraturan tersebut. Akan tetapi, bagi pelaksana di daerah memunculkan tanggapan yang pro dan kontra dari Dinas Perikanan dan Kelautan tingkat Provinsi. Hal yang perlu untuk dielaborasi adalah dalam forum FKPPS tersebut telah diberikan rambu-rambu pengoperasian trawl diantaranya seperti ukuran kapal (panjang dan tonase), kepemilikan, wilayah dan waktu operasi, dan tempat labuh. Secara substantif, rambu-rambu tersebut sangat berharga untuk pengaturan alat tangkap trawl yang lebih komprehensif.

Periodisasi peraturan tentang trawl dapat dilakukan dengan batas pelarangan trawl atau periode sebelum tahun 1980 dan sesudah tahun 1980. Secara umum peraturan tentang trawl dapat dianalisis dengan pengelompokan substansi dan hirarkis. Secara substantif, aturan tentang trawl dapat dikelompokan menjadi: (a) pembatasan daerah dan jalur tangkapan, (b) larangan-larangan penggunaan alat tangkap trawl; dan (c) pemberdayaan eks-trawl.

Pembatasan daerah dan jalur penangkapan (termasuk trawl) dikeluarkan sebelum keputusan pelarangan trawl, sehingga secara periodisasi peraturan ini dikeluarkan sebelum tahun 1980. Setelah dikeluarkan pelarangan, pengaturan jalur dan daerah penangkapan tidak lagi dilakukan, karena trawl sudah dinyatakan sebagai alat tangkap terlarang. Sementara pelarangan trawl dikeluarkan pada tahun 1980 (Keppres No.39/1980), serta peraturan operasionalnya seperti Instruksi Persiden, Keputusan Menteri atau Keputusan Direktur Jenderal Perikanan pada masa itu. Sedangkan pemberdayaan nelayan eks-trawl dilakukan terutama setelah dikeluarkannya Keppres No. 85/1982 tentang pengoperasian pukat udang.

Secara hirarki, peraturan tentang trawl merujuk pada peraturan-peraturan di atasnya yang sudah dinyatakan tidak berlaku, baik berupa peraturan pemerintah (PP) dan undang-undang (UU). Peraturan tentang trawl (Keppres 39/1980, Keppres 84/1982 dan peraturan operasionalnya) merujuk pada Stb 1920 No. 396 tentang perlindungan ikan, Stb 1927 No. 144 tentang perikanan pantai, PP No. 64/1957 tentang penyerahan urusan pemerintah, UU No. 4/1960 tentang Perairan Indonesia dan UU No.4/1982 tentang lingkungan hidup. Peraturan-peraturan tersebut telah diamandemen, sehingga sebagian tidak berlaku lagi. Namun, karena dalam struktur hirarki perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, amandemen peraturan di atasnya tidak serta merta menggugurkan peraturan di bawahnya yang dianggap tidak bertentangan dengan peraturan baru tersebut, sehingga peraturan tersebut tetap berlaku.

Secara faktual peraturan tersebut tidak berlaku efektif di lapangan. Secara hukum dan kelembagaan hal ini dapat dilihat adanya faktor: (1) kurang efektifnya penegakan hukum (law enforcement), (2) kurang jelasnya batasan pengertian alat tangkap trawl, dan (3) adanya fakta efektivitas alat tangkap trawl sehingga mendorong penggunaannya oleh nelayan. Ketidakefektifan peraturan tersebut disebabkan oleh unsur peraturan yang belum sempurna, implementasi yang belum optimal serta dinamika masyarakat yang berkembang. Oleh karena itu, perlu dilakukan peninjauan kembali atas Keppres tersebut. Berdasarkan konvensi hukum, peninjauan kembali peraturan harus didasarkan pada 3 (tiga) landasan utama yaitu landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Landasan filosofis adalah pasal 33 ayat 3 UUD 1945, pasal 9 UU No. 31/2004 tentang perikanan dan landasan sosiologis adalah kurang efektifnya implementasi Keppres No.39/1980 dan adanya konflik di lapangan.

4.5. Analisis Strategi Kebijakan Simulasi kebijakan berbasis Analytical Hirarcial Process (AHP), dilakukan dengan mensimulasikan dua tujuan

kebijakan yaitu; meningkatkan kesejahteraan nelayan dan menjamin kelestarian sumberdaya perikanan. Berdasarkan analisis AHP, tujuan menjamin kelestarian sumberdaya mempunyai bobot 0,531 yang sedikit lebih besar dibandingkan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan sumberdaya (0,469).

Elemen masalah yang dimasukkan dalam struktur hirarki meliputi aspek teknis, ekologis, ekonomis, sosial budaya dan kelembagaan. Seperti halnya tercermin dalam analisis tujuan, pada elemen masalah, aspek ekologis menempati prioritas tertinggi baik untuk tujuan menjamin kelestarian sumberdaya atau peningkatan kesejahteraan. Sementara aspek ekonomi merupakan masalah tertinggi untuk meningkatkan kesejahteraan dan aspek teknis menjadi prioritas kedua untuk menjamin kelestarian sumberdaya.

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 884

Berdasarkan hasil simulasi pada 3 (tiga) alternatif kebijakan, maka kebijakan yang dinilai paling optimum adalah melakukan pelarangan terbatas (Tabel 2). Kebijakan ini juga menunjukkan bahwa pemberian ijin operasi untuk alat tangkap trawl di wilayah-wilayah tertentu yang tidak dilarang.

Tabel 2 . Analisis Vertikal Alternatif Kebijakan Tentang Trawl di Indonesia.

No. Alternatif Bobot Ranking

1. Pelaksanaan sesuai peraturan sekarang 0,263 2

2. Melakukan pelarangan terbatas 0,594 1

3. Diijinkan beroperasi di seluruh Indonesia 0,143 3

Rasio Inkonsistensi (RI) = 0,01

Sumber : Hasil Analisis Data Primer, 2007.

Secara empiris, Malaysia pernah melakukan pelarangan alat tangkap trawl pada awal tahun 1964. Kemudian dicabut kembali pelarangan ini pada Oktober 1964 (Abu Talib and Alias, 1997). Pemberian ijin kembali didahului oleh penelitian untuk menyempurnakan peraturan dan kemudian diijinkan secara terbatas di wilayah di Kuala Kedah (1965), dan di Penang dan Pulau Pangkor (1966). Selanjutnya, ketika disusun Fisheries (Marine) Regulation 1967, trawl tetap diatur dan lebih jelas, yang mencakup ukuran mata jaring pada bagian kantong, jarak penangkapan dari wilayah pantai, lokasi pendaratan sampai dengan waktu operasi penangkapan.

4.5.1. Strategi dan Kebijakan Secara umum trawl digunakan untuk usaha perikanan (khususnya udang) yang utama di negara-negara lain. Hal

yang menarik adalah pada negara-negara tersebut jauh lebih sedikit terjadi konflik. Setidaknya terdapat beberapa alasan, yaitu: Pertama, adalah adanya zonasi yang jelas, sehingga jelas pula di mana wilayah operasi trawl. Kejelasan zonasi tersebut penting untuk meminimumkan dampak sosial maupun ekologi. Kedua, kuatnya enforcement untuk menjaga zonasi tersebut. Pelanggaran zonasi jarang terjadi, sehingga konflik antar nelayan pun dapat diminimalisasi. Ketiga, di negara maju nelayan pada umumnya memiliki kelas yang relatif sama sehingga tidak menimbulkan konflik kelas. Keempat, negara lain memiliki instrumen lain untuk memulihkan sumberdaya melalui restocking (pengkayaan stok ikan), dan mengantisipasi problem sumberdaya misalnya melalui ketentuan teknis seperti ukuran mata jaring atau waktu penangkapan. Lengkapnya instrumen tersebut membuat pemanfaatan sumberdaya melalui trawl dapat berjalan, sehingga sumberdaya perikanan dapat mendatangkan manfaat ekonomi yang besar. Namun, sekarang mulai diakui sudah mulai terasa dampak ekologis dari pengoperasian trawl, yaitu adanya kecenderungan berkurangnya sumberdaya ikan.

Untuk dapat mengimplementasikan kebijakan pemberian ijin operasi trawl secara terbatas, diperlukan strategi-strategi kebijakan sebagai prasyarat implementasi kebijakan tersebut. Strategi tersebut mencakup aspek ekologis, teknis serta sosial dan kelembagaan, termasuk peraturannya.

Secara ekologis yang diperlukan adalah menentukan daerah operasi yang diharapkan tidak merusak habitat dasar perairan. Oleh karena itu, perlu dilakukan (1) Pemetaan dan zonasi dasar perairan yang berkarang; dan (2) Perlunya penambahan peralatan (device) yang dapat mencegah/meminimalisir terjadinya kontak alat tangkap trawl dengan substrat dasar. Dengan dua kebijakan ini diharapkan dapat menentukan daerah operasi trawl yang mampu meningkat jaminan pengurangan perusakan habitat dasar.

Secara teknis, kebijakan yang diperlukan adalah pengaturan teknis alat tangkap dan operasi penangkapan yang pada umumnya sudah berlaku secara umum di negara-negara lain. Kebijakan yang diperlukan adalah (1) pembatasan ukuran kapal; (2) penegakan aturan pembatasan ukuran mata jaring (mesh size) pada kantong jaring (cod-end); (3) penutupan area dan musim penangkapan; dan (4) pengaturan dan penegakan peraturan penggunaan API/BRD.

Sedangkan secara sosial dan kelembagaan, kebijakan yang diperlukan adalah (1) perlunya mengembangkan modal sosial (social capital) pada tingkat masyarakat; (2) memperkuat kemampuan pengelolaan perikanan pada tingkat pemerintah daerah; (3) penyusunan rencana pengelolaan perikanan pada wilayah regional (WPP) dengan peraturan yang jelas; serta (4) melakukan peninjauan kembali Keppres No.39/1980.

85I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 8

5 Kesimpulan dan Rekomendasi

5.1. Kesimpulan

1) Tingkat penerimaan terhadap alat tangkap trawl bervariasi di setiap daerah, dan sangat dipengaruhi formasi sosial setempat serta status asal nelayan. Dalam formasi sosial tradisional, dan pelaku alat tangkap trawl adalah nelayan lokal, maka dapat diterima oleh masyarakat setempat dan konflik pun bisa dihindari. Demikian pula dalam formasi sosial modern dan pelaku adalah nelayan lokal maka tidak terlalu bermasalah. Sementara itu dalam formasi sosial campuran dimana nelayan modern dan tradisional relatif seimbang, maka sering terjadi konflik kelas, dan inilah yang mendorong nelayan tradisional untuk menolak kehadiran trawl.

2) Dampak sosial penggunaan alat tangkap trawl umumnya terkait dengan konflik nelayan, meskipun sebenarnya trawl bukanlah faktor utama penyebab konflik nelayan. Dari berbagai kasus yang diteliti, terdapat tiga tipe konflik nelayan, yakni konflik kelas, konflik pengelolaan sumberdaya, dan konflik alat tangkap. Sedangkan secara ekonomis, alat tangkap trawl merupakan salah satu alat tangkap yang mempunyai tingkat efisiensi tinggi, karena tingginya tingkat produktivitas. Secara ekologis masih belum terjadi pemahaman yang sama antar ahli didunia tentang dampak pengoperasian alat tangkap trawl pada lingkungan, dan khusus di Indonesia belum juga dilakukan kajian secara komprehensif.

3) Peraturan dan kebijakan tentang trawl di Indonesia secara umum meliputi periodisasi sebelum dan sesudah tahun 1980. Substansi peraturan tentang trawl mencakup pembatasan daerah dan jalur tangkapan, larangan penggunaan dan pemberdayaan nelayan trawl. Implementasi peraturan tersebut masih belum konsisten karena adanya tekanan masyarakat, penafsiran peraturan yang berbeda, dan substansi peraturan yang belum sinkron antara satu dengan yang lainnya.

4) Berdasarkan analisis dan simulasi, kebijakan yang paling optimum adalah dengan memberikan ijin operasi terbatas pada seluruh wilayah Indonesia, khususnya pada wilayah diluar yang telah dioperasikan sesuai dengan kriteria wilayah dengan memperhatikan faktor sosial, teknis-ekologis dan kelembagaannya.

5.2. Rekomendasi

Untuk mendukung usaha pemberian ijin operasi trawl secara terbatas, maka diperlukan : (1) pemetaan dan zonasi dasar perairan yang berkarang, (2) mewajibkan penggunaan peralatan yang dapat mencegah masuknya non target species dan mencegah/meminimalisasi terjadinya kontak alat tangkap trawl dengan substrat dasar, (3) pembatasan ukuran kapal, (4) penegakan peraturan pembatasan ukuran minimum mata jaring kantong, (5) sosialisasi dan penegakan kewajiban penggunaan Alat Pemisah Ikan- API (By-catch Reduction Devices- BRD), (6) penutupan area dan musim penangkapan (closing area and closing season), (7) mengembangkan modal sosial (social capital) pada tingkat masyarakat, (8) memperkuat kapasitas kelembagaan pengelolaan perikanan pada tingkat pemerintah daerah (kabupaten/kota dan propinsi), dan pada tingkat pusat, pemerintah harus menyusun rencana pengelolaan perikanan untuk skala regional (Wilayah Pengelolaan Perikanan/WPP) yang dilengkapi dengan peraturan yang jelas, dan (9) melakukan revisi Keppres N0.39/1980 tentang Penghapusan Alat Tangkap Trawl dengan pasal-pasal yang lebih jelas menjadi pelarangan terbatas, dan tindak lanjut peraturan operasionalnya.

DAFTAR PUSTAKA

Aziz, K.A. 1996. Pukat Harimau Sebagai Salah Satu Alat Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Makalah dalam Diskusi Ilmiah Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di ZEE Indonesia dan Permasalahan Pukat Harimau di Indonesia. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor, Bogor. 8 Januari 1996. 9 hal.

Aziz, K.A. 2003. Pukat Udang, Alat Penangkapan Udang dan Sumberdaya Ikan Demersal Lainnya yang Paling Efisien. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal 46-51.

Bailey, C. 1997. Lesson Learn from Indonesian Trawl Ban. Marine Policy. Barani, Husni Mangga, 2003. “Kebijakan Pembangunan Perikanan Tangkap dan Pengelolaan Sumberdaya Udang serta Alat

Tangkap Trawl”, Makalah pada Diskusi Nasional Pengelolaan Trawl, tanggal 25 Oktober 2003 yang diselenggarakan oleh Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK-IPB, hlm 8.

Dasgupta, Partha. 2005. The Economics of Social Capital. An expanded version of the A.C. Mills Lecture, delivered at the Annual Conference of Australian Economists, held at the University of Sydney, September 2004. Forthcoming Economic Record.

I n f o K a j i a n B A P P E N A S | V o l . 5 | N o . 2 | D e s e m b e r 2 0 0 886

Fridman, AL and Carrothers. 1988. Perhitungan dalam merancang alat penangkapan ikan (edisi terjemahan oleh Tim Penerjemah BPPI Semarang). Koperasi Serba Usaha Perikanan, Balai Pengembangan Penangkapan Ikan, Semarang. 304 hal.

Kaiser, Michel J., Jeremy S Collie, Stephen J Hall, Simon Jennings and Ian R Poiner. Modification of Marine Habitats by Trawling Activities: Prognosis and Solutions. FISH and FISHERIES, 2002, 3, 114-136.

Løkkeborg, Svein. 2005. Impacts of trawling and scallop dredging on benthic habitats and communities. FAO FISHERIES TECHNICAL PAPER 472. FOOD AND AGRICULTURE ORGANIZATION OF THE UNITED NATIONS. Rome, 2005

Machias, A., V. Passilopoulou, D. Vatsos, P. Bekas, A. Kallianiotis, C. Papakonstantinou and N. Tsimenides. 2000. Bottom Trawl Discard in the Northeastern Mediteranian Sea.Fisheries Research 53 (2001) 181-195. Elsevier.

Mathew, S. 1990. Fishing legislation and gear conflicts in coastal waters A case study of selected Asian countries. Samudra Monograph. Belgium.

Morgan, G.R and D.J. Staples. 2006. The History of Industrial Marine Fisheries in Southeast Asia. FAO of the UN Regional Office For Asia and The Pacific. Bangkok.

Naamin, N. 1984. Dinamika Populasi Udang Jerbung (Penaeus merguiensis de Man) di Perairan Arafura dan Alternatif Pengelolaannya. Disertasi. Fakultas Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. 281 hal.

Pet-Soede, L and M.Erdmann. 2000. An overview and comparison of destructive fishing practices in Indonesia. Purbayanto, A. 2003. Trawl ramah lingkungan dalam prosiding diskusi nasional pengelolaan trawl. Bogor. Himafarin dan

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.Purbayanto, A. 2007. Tinjauan Teknis Pengoperasian Trawl di Indonesia. Makalah dalam Diskusi Panel Analisa Kebijakan

Pengoperasian Alat Tangkap Pukat Harimau (Trawl), BAPPENAS. Jakarta. 16 Hal.Riyanto, M. 2005. Pengoperasian pukat udang pada siang dan malam hari pengaruhnya terhadap hasil tangkap

sampingan di Laut Arafura. Skripsi. Bogor. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor.

Sumiono, B. dan B. Sadhotomo. 1985. Perbedaan Hasil Tangkapan Pukat Udang dan Trawl di Perairan Teluk Bintuni, Irian Jaya. Laporan Penelitian Perikanan Laut No. 33. Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta. Hal. : 61-64.

Von Brandt, A. 1984. Fish catching methods of the world. Fishing News Books Ltd. Farnham, Surrey, England. 418p.