lapsus new candida
DESCRIPTION
lapsusTRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Vulvovaginitis merupakan infeksi vagina wanita yang disebabkan oleh
jamur khususnya genus kandida. Keluarnya discharge, rasa membakar, dan
pruritus adalah gejala yang paling umum, disertai dengan tanda-tanda iritasi
vulva seperti eritema dan ekskoriasi dari kulit vulva (Omnia, 2012).
Secara normal, Candida merupakan spesies yang menjadi bagian
ekosistem di dalam saluran genitalia bawah wanita akan tetapi dapat bersifat
patogen jika kondisi lingkungan berubah. Vulvovaginal kandidiasis biasanya
sering terjadi pada usia dewasa, 50 % wanita usia kuliah akan mengalami
setidaknya sekali serangan, dan sebanyak 75 % wanita premenopause
dilaporkan memiliki setidaknya sekali serangan dan 45 % wanita mengalami dua
episode serangan. Vulvovaginal kandidiasis jarang terjadi pada wanita
postmenopause, kecuali jika mereka sedang menjalani terapi estrogen (Sobel,
2012).
Di Amerika serikat, sekitar 50 % wanita usia pelajar memiliki episode
vulvovaginal kandidiasis. Candida albican yang menjadi penyebab terhadap 80
sampai 92 % episode serangan vulvovaginal kandidiasis dan beberapa kasus
dilaporkan terjadi peningkatan serangan dari spesies candida yang lain seperti
Candida glabarta. Hal ini terjadi dikarenakan penggunaan obat over the counter
yang berlebihan, penggunaan jenis azole dalam jangka waktu lama dan
penggunaan obat antijamur dalam jangka waktu pendek tidak sampai tuntas
(Sobel, 2012).
Selain beberapa faktor diatas, faktor yang menyebabkan seringnya terjadi
pada wanita usia muda yaitu penggunaan deodoran, sabun antiseptik yang keras
atau cairan pewangi untuk menghilangkan bau didaerah kewanitaan. Hal
tersebut kuranglah tepat dilakukan karena, pada vagina sehat, hidup berbagai
bakteri dan organisme yang membentuk ekosistem seimbang. Dengan adanya
zat-zat kimia tersebut, maka keseimbangan kondisi lingkungan vagina dapat
berubah sehingga dapat memungkinkan terjadinya infeksi. Oleh karena itu
1
diperlukan adanya pemahaman yang benar terkait dengan vulvovaginal
kandidiasis dan cara pengobatan serta pencegahannya.
Dalam laporan kasus ini, akan dipaparkan kasus vulvovaginal kandidiasis
dari seorang pasien di RSSA Malang. Serta masalah yang ada pada pasien ini
dan bagaimana pemecahan masalah tersebut.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Genital / vulvovaginal candidiasis (VVC) yang kadang juga disebut
sebagai infeksi jamur. Hal ini merupakan infeksi umum yang terjadi ketika ada
pertumbuhan berlebihan jamur genus Candida.Candida terdapat dalam tubuh
normal dalam jumlah yang kecil. Akan tetapi, ketika terjadi ketidakseimbangan,
misalnya ketika keasaman normal vagina berubah atau ketika perubahan
keseimbangan hormon, Candida dapat bermultiplikasi. Ketika hal itu terjadi,
maka gejala akan muncul (Center for Disease Control and Prevention, 2012).
2.2 Epidemologi
Hampir 75 % wanita akan mengalami vulvovaginal candidiasis setidaknya
sekali dalam seumur hidup dan sekitar 5 % dari wanita ini kan mengalami infeksi
berulang. Insidensi vulvovaginal candidiasis tertinggi terjadi pada wanita usia 20-
40 tahun. Hal ini jarang terjadi pada prepubertal dan wanita postmenopause.
Vulvovaginal candidiasis sebagian besar disebabkan oleh Candida albicans.
(Sheary, 2005).
Di Amerika serikat, sekitar 50 % wanita usia pelajar memiliki episode
vulvovaginal kandidiasis. Candida albican yang bertanggung jawab terhadap 80
sampai 92 % episode serangan vulvovaginal kandidiasis dan beberapa kasus
dilaporkan terjadi peningkatan serangan dari spesies candida yang lain seperti
Candida glabarta. Hal ini terjadi dikarenakan penggunaan obat over the counter
yang berlebihan, penggunaan jenis azole dalam jangka waktu lama dan
penggunaan obat antijamur dalam jangka waktu pendek tidak sampai tuntas
(Sobel, 2012).
2.3 Etiologi
Kandidiasis vulvovaginal dapat menjadi kondisi yang akut, kronis,
berulang, atau terus-menerus yang dapat melibatkan vulva, vagina. Agen
penyebab spesifik adalah genus Candida. Organisme ini ditemukan di hampir
semua manusia dan hewan. Sekitar 10-50 % diperkirakan usia wanita reproduksi
3
Amerika dianggap pembawa oportunistik. Baru-baru ini, sebuah peningkatan
frekuensi spesies Candida lainnya telah dilaporkan, seperti Candida glabrata,
Candida tropicalis, dan Candida krusei. Munculnya spesies Candida lainnya
mungkin karena meluasnya penggunaan over-the-counter obat, penggunaan
jangka panjang suppresive azole dan penggunaan obat antijamur yang singkat
dan terlalu sering sehingga meningkatkan resistensi (Omnia, 2012).
2.4 Faktor Resiko
Kolonisasi Candida terjadi pada 3-4 persen wanita prepubertas. Infeksi
candida sering terjadi pada anak-anak yang mendapatkan terapi antibiotik, atau
pada atau juga pada anak yang menggunakan popok (Sobel, et.al, 2012).
Setiap faktor host yang mempengaruhi lingkungan vagina atau cairan
vagina dapat memainkan peran dalam terjadinya vulvovaginal kandidiasis.
Kehamilan adalah salah satu faktor predisposisi yang paling umum. Penelitian
telah menunjukkan bahwa sampai sepertiga dari wanita hamil di seluruh dunia
dapat terpengaruh. Tingginya tingkat hormon reproduksi dan peningkatan
kandungan glikogen dalam lingkungan vagina menciptakan lingkungan yang
menguntungkan bagi spesies Candida. Dalam kombinasi, 2 perubahan ini
menyediakan sumber berlimpah karbon untuk pertumbuhan candida,
perkecambahan, dan kepatuhan. Selain itu, keasaman flora vagina hamil
memberikan efek penekanan pertumbuhan mikroorganisme lain, dimana secara
normal dapat menghambat pertumbuhan Candida (Omnia, 2012).
Kadar estrogen yang tinggi juga dapat membuat wanita rentan terhadap
vulvovaginal kandidiasis. Hal ini terlihat dengan adanya peningkatan insidensi
pada wanita yang hamil dan wanita post menopause yang menggunakan hormon
terapi. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa wanita dengan penggunaan
kontraseptif estrogen oral memiliki kolonisasi candida lebih tinggi. Estrogen
mengakibatkan peningkatan kadar glikogen vagina, sehingga memiliki efek
langsung pada pertumbuhan candida dan peningkatan adhesi pada eptiel
vagina (Sheary, 2005).
Di sisi lain adanya gangguan pada respon imun, seperti AIDS dan diabtes
mellitus, juga menjadi faktor resiko Candida vulvovaginitis. Selain itu antimikroba
juga memiliki peran pada keadaan candida vulvovaginitis yaitu dengan
mengurangi jumlah bakteri vagina protektif. Antibiotik yang biasanya memiliki
4
efek ini yaitu antibiotik spektrum luas seperti tetrasiklin, sefalosporin, dan
ampisilin (Omnia, 2012).
2.5 Patofisiologi
Dalam kondisi fisiologis yang normal, vagina mempertahankan
keseimbangan antara mikroorganisme yang membentuk flora normal vagina.
Mikroorganisme ini berperan dalam mengatur kelembaban dan pH vagina. Flora
normal vagina didominasi oleh Lactobacilus dan Corynebacteria. Lactobacillus
yang terdapat di vagina adalah Lactobacillus crispatus, Lactobacillus jensenii dan
Lactobacillus iners (Falagas, 2006). Biasanya, spesies Candida ditemukan dalam
jumlah kecil di vagina, dan bersifat asimptomatis untuk pasien. Organisme lain
yang ditemukan di vagina dalam jumlah yang lebih rendah termasuk
Streptokokus, Bacteroides, Staphylococcus dan Peptostreptococcus. Flora
normal vagina mempertahankan pH vagina antara 3,8 dan 4,2 pada wanita sehat
mulai waktu menarche hingga premenopause. PH dalam kisaran ini diperlukan
untuk menghambat dan mencegah pertumbuhan berlebih dari Candida dan
bakteri lainnya. Dalam VVC, perubahan pH dapat menyebabkan pertumbuhan
berlebih dari Candida, mengakibatkan gejala yang simptomatis. Lingkungan
lembab vagina dipertahankan oleh keringat dan kelenjar apokrin ditemukan di
epitel vagina dan kelenjar leher rahim. Sel dari epitel vagina menyimpan
glikogen, yang juga membantu untuk mempertahankan pH rendah vagina.
Laktobasilus dan Corynebacterium mempertahankan pH dengan mengubah
glikogen menjadi asam laktat (Fidler, 2007).
Candida terdapat dalam 2 bentuk yaitu bentuk sel (spora) dan bentuk
miselia (hifa). Koloni jamur tumbuh secara aktif menjadi miselia dan umumnya
ditemukan dalam keadaan patogenik. Proses penyakit diduga dimulai dari
perlekatan spora candida pada epithel vagina kemudian tumbuh menjadi bentuk
miselia (Murtiastutik, 2008). Faktor penentu Patogenitas dari spesies Candida
adalah sebagai berikut:
1. Spesies
Dari 200 spesies Candida, terdapat 7 spesies yang mempunyai
patogenitas tertinggi adalah Candida albicans, Candida steloidea,
Candida Glabrata, Candida tropicalis, Candida parapsirosis, Candida
kyfer, Candida guiliermondii, Candida crusei (Murtiastutik, 2008).
5
Spesies Candida non albican (C. parapsilosis, C. tropicalis, C. kefyr,
C. krusei, dan C. glabrata) walaupun jarang menyebabkan VVP,
biasanya lebih resisten terhadap terapi konvensional (Faro, 1997)
2. Daya lekat
Perlekatan spesies Candida pada sel epitel vagina merupakan faktor
virulensi terpenting. Bagian terpenting untuk perlekatan adalah
glikoprotein permukaan yaitu mannoprotein. Sifat hidrofibisitas
mannoprotein akan mempengaruhi perlekatan Candida terhadap sel
epitel vagina. Pada suhu 24oC, daya lekat Candida akan lebih kuat
daripada suhu 37oC, karena pada saat suhu 24oC Candida akan lebih
bersifat hidrofobik sehingga memiliki daya lekat lebih kuat
(Murtiastutik, 2008). Hormon estrogen dan kondisi hiperglikemik dapat
meningkatkan daya perlekatan Candida, itulah sebabnya mengapa
VVC lebih umum terjadi pada penderita diabetes mellitus dan pada
ibu hamil (Nwokolo, 2000; Donders, 2002).
3. Dimorfisme
C. albicans adalah jamur dimorfik yang terutama ada dan menyebar
melalui fenotipe blastosporanya (juga disebut blastoconidia).
Blastospora berbentuk oval, mono-nukleus sel dan memperbanyak
diri melalui sel tunas (Braun, 1997). Apabila terdapat sinyal pada
lingkungan, C. albicans dapat berubah menjadi salah satu dari dua
bentuk berfilamen: psuedohyphae dan hifa. Sel ellipsoidal panjang
yang melekat satu sama lain yang disebut sebagai psuedohyphae,
sedangkan sel yang dianggap hifa sejati ditandai dengan morfologi
seluler silinder dan dipisahkan oleh dinding septum tegak lurus.
Bentuk-bentuk hifa terdiri dari sel-sel gabungan yang dibagi oleh
dinding septum dan tidak membentuk anyaman. Baik morfologi
psuedohyphal dan hifa disebut sebagai filamen.
Blastospora diperlukan untuk memulai suatu lesi pada jaringan,
karena memerlukan enzim hidrolitik yang merusak jaringan yaitu
fosfolipase dan proteinase. Sedangkan bentuk hifa penting untuk
infeksi jaringan (Murtiastutik, 2008).
6
2.6 Gejala Klinis
Keluhan subjektif penderita dapat bervariasi dari ringan hingga berat.
Gejala yang ringan didapatkan pada infeksi karena Candida albicans, sedangkan
pada Candida non-albicans, terutama Candida grablata memberikan gejala yang
lebih berat, relative lebih resisten terhadap pengobatan dan sering terjadi
rekurensi (Murtiastutik, 2008)
Pada kandidiasis vulvovaginal akut, pruritus dan rasa panas pada vulva
merupakan gejala utama. Pasien biasanya mengeluhkan kedua gejala tersebut
setelah hubungan seksual atau saat buang air kecil. Temuan fisik meliputi
eritema dan edema dari vestibulum, labia majora, dan minora. Ruam dapat
menyebar ke paha dan perineum. Biasanya terdapat keputihan berwarna putih
kental seperti krim susu/keju. Namun, gambaran klinis dari kandidiasis persisten
kronis berbeda dibandingkan pada kandidiasis vulvovaginal akut. Edema dan
lichenifikasi dari vulva dengan batas tidak jelas sering ditemukan. Seringkali
terdapat lapisan keabu-abuan yang terdiri dari sel-sel epitel dan organisme
menutupi daerah vulva. Gejala termasuk pruritus parah, rasa panas, iritasi, dan
nyeri. Kelompok pasien ini biasanya lebih tua, gemuk, dan sering memiliki
diabetes mellitus kronis (Nyirjesi, 2011).
2.7 Terapi
Tujuan dari tatalaksana infeksi kandidiasis vulvovaginitis adalah meliputi:
menghilangkan gejala, mengeradikasi penyebab infeksi, membangun kembali
flora normal, dan pencegahan kekambuhan. Jangka waktu yang diinginkan dari
penggunaan antijamur tanpa resep dokter adalah mengurangi gejala-gejala
dalam waktu tiga hari, pemberantasan infeksi dalam waktu tujuh hari, dan
mencegah kekambuhan dalam waktu dua bulan. Produk yang digunakan dalam
pengobatan iritasi vagina non-infeksius harus dapat meringankan gejala dalam
beberapa hari, namun tidak boleh digunakan selama lebih dari tujuh hari (Fidler,
2007).
Lima derivat imidazol yang tersedia untuk pengobatan kandidiasis
tersedia dalam beberapa formulasi topikal yaitu clotrimazole, ekonazol,
fenticonazole, ketoconazole dan miconazole. Nistatin topikal juga dapat
digunakan namun memiliki masa penggunaan selama 14-hari pengobatan dan
bisa menodai pakaian menjadi kuning. Namun, nystatin dapat berguna pada
7
wanita dengan kandidiasis yang belum berespon terhadap pengobatan dengan
imidazoles. Selain itu, beberapa sediaan dari clotrimazole, miconazole dan
povidone iodine biasanya digunakan untuk pengobatan infeksi campuran (yaitu
bakteri dan jamur) (Denning, 1995).
Obat-obaan yang dapat diberikan yaitu: clotrimazole krim 1% intravagina
7-14 hari, clotrimazole 100 mg tablet vagina 7 hari, clotrimazole 100 mg tablet
vagina diberikan 2 tablet selama 3 hari, clotrimazole 500 mg intravagina
diberikan dosis tunggal, nystatin tablet vagina 100.000 u tiap hari selama 12-14
hari, ampothesirin B talet vagina 50 mg (kombinasi dengan tetrasiklin 100 mg)
diberikan 1-2 tablet/ hari selama 7-14 hari. Untuk obat oral dapat diberikan
ketoconazole 2 x 200 mg per hari selama 5 hari, fluconazole 150 mg dosis
tunggal atau 50 mg per hari selama 7 hari, itroconazole 100 mg 2 x sehari
selama 2 hari atau 2 x 200 mg selama sehari selang 8 jam (Murtiastutik, 2008).
2.8 Komplikasi
Kandidiasis vulvovaginalis memiliki prognosis yang cukup baik dan jarang
menimbulkan komplikasi pada penderita yang immunokompeten. Komplikasi
yang paling mengganggu adalah adanya infeksi berulang terutama pada
penderita yang memiliki presdiposisi terjadinya infeksi. Pada kehamilan
walaupun sering terjadi rekurensi, jarang menimbulkan infeksi yang serius. Bayi
yang lahir dari ibu yang menderita kandidiasis vulvovaginitis dapat terinfeksi
melalui kontak langsung dengan cairan amnion atau jalan lahir. Beberapa
komplikasi yang pernah dilaporkan adalah kandidiasis oral dan kutis congenital,
abortus spontan, kandidiasis intrauterine, chorioamnionitis, sepsis, abses otak,
dan peritonitis (murtiastutik, 2008).
8
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
3.1.1 Identitas Pasien
Nama : Ny.R
Register : 12081403xx
Usia : 39 tahun
Alamat : Ds.Karangrejo RT3/3 Kromengan, Malang
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SMP
Menikah : 1 kali
Lama Menikah: 18 tahun
MRS : 14 Augustus 2012
Nama : Tn. X
Usia : SMP
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan : SMP
Paritas : P4004 Ab000
Riwayat KB : KB suntik (tapi sudah tidak disuntik sejak 2 tahun yll)
HPHT : 13 Juli 2012
3.2 Subyektif
Anamnesa
Keluhan utama : Keputihan
Riwayat Penyakit :
Pasien datang dengan keluhan keputihan sejak 2 minggu yang lalu.
Keputihan dirasakan muncul setelah menstruasi. Cairan yang keluar
berwarna putih seperti susi agak cair tidak begitu kental. Tidak berbau. Tidak
ada darah. terdapat rasa gatal, terutama ketika berkeringat. Selama muncul
gejala ini, pasien belum memeriksakan dan memberikan obat. Hanya di
sabun dengan sabun kewanitaan.
9
Sebelumnya pasien sudah mempunyai riwayat hipertensi sejak ±2
tahun yang lalu. Tidak kontrol rutin. Riwayat menderita sakit diabetes
mellitus disangkal oleh pasien. Riwayat penurunan berat badan,
berkurangnya nafsu makan juga disangkal. Riwayat sering terjadi sariawan,
diare berulang kali tanpa sebab yang jelas juga disangkal pasien. Riwayat
pemakaian antibiotik dalam jangka waktu yang lama (-), pemakaian jamu-
jamuan/steroid (-), kebiasaan menggunakan sabun kewanitaan (+) hanya
beberapa kali.
Riwayat menstruasi teratur, setiap bulan, lama 5-7hari, ganti
pembalut 1-2 kali/hari. Buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK)
dalam batas normal. Riwayat anyang-anyangen (-). Riwayat instrumentasi
(-). Riwayat persalinan: P4004 Ab000 At. 4tahun. HPHT: 13 – 07 – 2012.
Riwayat KB suntik tapi tidak diikut selama 2 tahun.
3.3 Obyektif
3.3.1 Pemeriksaan Fisik (diperiksa tanggal 14 Agustus 2012 jam 10.00 WIB)
(A) Status Interna
Keadaan umum : baik
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 130/80 mmHg (Hipertensi ±2 tahun)
Nadi : 88 x/menit, reguler
RR : 20 x/menit
Temp axila : 36,4 0C
Temp rectal : 36,6 0C
Kepala dan leher : Anemis - / - , Ikterus – / –
Thorax : Cor/ S1S2 tunggal, murmur (-)
Pulmo/v v Rh - - Wh - -
v v - - - -
v v - - - -
Abdomen : flat, supel, BU (+) normal, Meteorismus (-)
FU tidak teraba
Ekstremitas : edema =|=
10
(B) Status Obstetri
Genitalia Eksterna : fluxus (-), fluor (-)
Inspekulo : fluxus (-), fluor minimal (+)
portio tertutup, mukosa merah berlendir
Vaginal Touche : fluxus (-),fluor (+) minimal
POMP tertutup, anteflexi
CUAF ~ dbn, massa (-), nyeri (-)
AP D/S massa (-), nyeri (-)
Cavum Douglasi dalam batas normal
3.4 Diagnosa Kerja
Vulvovaginitis e.c bacterial vulvovaginitis dd candidiasis
3.5 Planning Diagnosa (14 Augusus 2012)
vvp
pap smear
Hasil VVP
Variabel Hasil Satuan Nilai Normal
Trichomonas V Negatif LPB Negatif
Jamur + LPB Negatif
Eritrosit Negatif LPB Negatif
Leukosit ++ LPB 1-3
Epitel + LPB Positif
Sperma Negatif LPB Positif/negatif
Lain-lain Negatif LPB
CoccobacilTidak
DitemukanLPB >30
Clue cellTidak
ditemukanLPB Negatif
Lain-lainBatang Gram
Negatif ++LPB
11
3.6 Planning Therapy
Fluconazole single dose
KIE
Rob 1x1
3.7 Monitoring
Fluor
Keluhan subjektif penderita
3.8 Edukasi
Menjelaskan tentang kondisi pasien saat ini
Menjelaskan faktor resiko dari penyakit yang diderita pasien
Menjelaskan pengobatan yang akan dilakukan pada pasien ini
Menjelaskan pencegahan yang mungkin terjadi pada pasien ini
Menjelaskan prognosis penyakit yang diderita oleh pasien ini
12
BAB 4
PERMASALAHAN
Permasalahan yang didapatkan dalam kasus ini adalah:
1. Mengapa terjadi vulvovaginitis candidasis pada pasien ini
2. Bagaimana cara agar dapat mencegah atau meminimalisir kejadian
berulang di kemudian hari?
3. Bagaimana cara KIE pada pasien agar pasien tersebut dapat
mengetahui secara dini bila terjadi vulvovaginal candidiasis berulang
pada dirinya ?
13
BAB 5
PEMBAHASAN
Vulvovaginal candidiasis (VVC)merupakan infeksi umum pada vagina
yang terjadi ketika ada pertumbuhan berlebihan jamur genus Candida. Candida
merupakan jamur yang secara normal terdapat di dalam vagina dengan jumlah
yang sedikit. Akan tetapi ketika terjadi perubahan keseimbangan, misalnya
tingkat keasaman berubah atau perubahan keseimbangan hormon, maka jamur
candida dapt bermultiplikasi. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan penunjang pada pasien ini didapatkan diagnosis vulvovaginitis e.c
candidiasis.
Dari hasil anamnesis, keluhan yang diutarakan pasien adalah adanya
keputihan sejak 2 , berwarna putih seperti susu agak cair tidak begitu kental.
Tidak berbau. Tidak ada darah. Dan pada pemeriksaan fisik didapatkan fluor
minimal. Hal ini terjadi karena terdapatnya respon inflamasi pada tubuh.
Pasien juga mengeluhkan gatal bertambah terasa ketika pasien dalam
keadaan berkeringat. Rasa ini dipicu karena pada saat berkeringat terjadi
perubahan pH tubuh, sehingga membuat kondisi yang mendukung jamur
berkembang biak dengan cepat dan menimbulkan reaksi inflamasi sehingga
menimbulkan sensasi gatal dan pad apemeriksaan fisik juga ditemukan adanya
kemerahan pada mukosa vagina.
5.1 Kemungkinan Faktor Penyebab
Terdapat beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan seseorang menjadi
rentan terinfeksi jamur.
Mengikut Sheary (2005), insidensi vulvovaginal candidiasis tertinggi
terjadi pada wanita usia 20-40 tahun. Mode pakaian ketat dan pakaian dalam
yang dibuat dari serat sintetis rnenyebabkan panas, kulit lembab, mengelupas
dan permukaan mukosa genital sangat rentan terhadap infeksi kandida. Efek ini
14
diperberat oleh kegemukan. Hal ini ditambah dengan serbuk pencuci yang gagal
membunuh jamur yang mengkontaminasi pakaian dalam. Kulit yang sensitif
terhadap spray vagina, deodoran dapat menimbulkan kerusakan integritas epitel
vagina dan merupakan predisposisi dan infeksi. Candidiasis vaginitis dapat
ditularkan melalui hubungan seksual. Apabila persiapan hubungan seksual tidak
adekuat, vagina relatif kering merupakan predisposisi terjadinya trauma
mukokutaneus yang mempermudah terjadinya infeksi .
5.2 Upaya Pencegahan
Penanganan vulvaginitis candidis yang rekuren mengemukakan 2
teori tentang sumber dari organisme penyebab pada infeksi yang rekuren. Teori
reinfeksi mengatakan bahwa organisme penyebab menginfeksi kembali kedalam
vagina. Sumber dari infeksi adalah dari saluran pencernaan atau dari hubungan
kelamin. Sedangkan menurut teori relaps mengatakan bahwa terjadi kegagalan
dalam mengeradifikasi kandida dari vagina terjadi kegagalan terapi. Adanya
kandida persisten dalam lumen vagina yang sulit dideteksi dengan swab vagina,
kemudian infeksi muncul kembali dalam beberapa minggu atau bulan setelah
pengobatan dihentikan. Pengobatannya adalah sebagai berikut:
Ketokenazole 400 mg tiap hari selama 14 hari dilanjutkan 100 mg setiap hari
selama 6 bulan efektif untuk mengurangi kekambuhan menjadi hanya 5%
Clotrimazole 500 mg vagina supositoria diberikan tiap minggu selama 6 bulan
hanya sedikit lebih efektif dibandingkan dengan plasebo .
Flukonazole 150 mg diberikan dosis tunggal setiap bulan 1 – 4 hari sesuda-h—
menstruasi selama 12 bulan. Selama phase pencegahan dengan 6% pasien
mengalami kandidiasis vagina yang rekuren, sedangkan yang diberikan plasebo
mengalami rekuren 18% .
Pengobatan pada suaminya dilakukan bila didapatkan balanopostitis.
Pengobatan ini memakai krim nistatin sekali sehari selama 2 minggu.
5.3 KIE
Untuk mengetahui secara dini bila terjadi vulvovaginal candidiasis berulang pada
dirinya, pasien ini harus KIE dengan:-
15
(a) Gejala klinis
Pada kandidiasis vulvovaginal akut, pruritus dan rasa panas pada vulva
merupakan gejala utama. Pasien biasanya mengeluhkan kedua gejala tersebut
setelah hubungan seksual atau saat buang air kecil. Biasanya terdapat keputihan
berwarna putih kental seperti krim susu/keju. Gejala termasuk pruritus parah,
rasa panas, iritasi, dan nyeri. Kelompok pasien ini biasanya lebih tua, gemuk,
dan sering memiliki diabetes mellitus kronis.
(b) Komplikasi
Kandidiasis vulvovaginalis jarang menimbulkan komplikasi pada penderita yang
immunokompeten. Komplikasi yang paling mengganggu adalah adanya infeksi
berulang terutama pada penderita yang memiliki presdiposisi terjadinya infeksi.
Beberapa komplikasi yang pernah dilaporkan adalah kandidiasis oral dan kutis
congenital, abortus spontan, kandidiasis intrauterine, chorioamnionitis, sepsis,
abses otak, dan peritonitis.
(c) Prognosis
Kandidiasis vulvovaginitis memiliki prognosis yang cukup baik dan selalunya
sembuh dalam waktu 1-2 minggu setelah mengambil pengobatan. Kalau
penyembuhannya mengambil masa yang lebih lama, hal ini bisa disebabkan
karena system imunnya yang kurang baik.
16
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Kasus Ny R, umur 39 tahun, rujukan bidan dengan keluhan utama keluar
keputihan.
2. Faktor predisposisi dari vulvovaginitis candidiasis adalah
kehamilan, imunosupresi, gangguan metabolik, pengobatan
antibiotika dan kontrasepsi oral.
3. Vulvovaginitis candidiasis mempunyai gejala utama adalah gatal
pada vagina, vulva seperti terbakar, disuri, dispareunia, adanya
cairan vagina yang kental seperti keju.
4. Untuk menegakan diagnosis vulvovaginitis candidiasis perlu
dilakukan pemeriksaan mikioskopis untuk mencari adanya candida
albicans.
17
5. Penanganan vulvovaginitis candidiasis yang penting adalah
mengoreksi faktor lokal dan sistemik untuk mencegah rekurensi
penyakit.
6.2 Saran
Vulvovaginitis candidiasis adalah salah satu kasus ginekologi yang sering
terjadi. Untuk itu diperlukan ketepatan dan ketelitian dalam melakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik, sehingga akan didapatkan data yang tepat,
spesifik dan lengkap, dan pasien dapat dirujuk atau mendapatkan terapi yang
tepat sedini mungkin sebelum terjadi komplikasi dan rekurensi.
DAFTAR PUSTAKA
DenningDW. Fortnightlyreview: managementofgenitalcandidiasis(working group of the British Society for Medical Mycology). BMJ 1995;310:1241–4.
Murtiastutik, D. Buku Ajar Infeksi Menular Seksual. Surabaya. Airlangga University Press, 2008.
Nyirjesy P, Leigh RD, Mathew L, Lev-Sagie A, Culhane JF. Chronic Vulvovaginitis in Women Older Than 50 Years: Analysis of a Prospective Database. J Low Genit Tract Dis. Sep 29 2011
Braun B.R., Johnson A.D. Control of Filament Formation in Candida albicans by the Transcriptional Repressor TUP1. (1997) Science. 277:105-109
Nwokolo NC, Boag FC. Chronic vaginal candidiasis: management in the postmenopausal patient. Drugs Aging 2000;16:335–9.
Donders GGG, Prenen H, Verbeke G, et al. Impaired tolerance for glucose in women with recurrent vaginal candidiasis. Gynecol 2002;187:989–93.
18
Fidler, B. D., Diagnosis and Treatment of Vulvovaginal Candidiasis. USA, Lebhar-Friedman Inc. 2007.
Faro S., Appuzio, J., Bohannon, N., et. al. Treatment Considerations in Vulvovaginal Candidiasis. The Female Patient, Vol. 22, 1997.
Sobel, Jack D et. Al. 2012. Candida Vulvovaginitis. http://www.uptodate.com/contents/candida-vulvovaginitis. Wolter kluwer Health
Latif Omnia, M Samra. 2012. Vulvovaginitis. www.medscape.com Diakses tanggal 22 Agustus 2012
Sheary, Belinda.2005. Reccurent Vulvovaginal Candidiasis. Australian Family Physician Vol. 34, No. 3)
Center for Disease Control and Prevention. 2012. Candidiasis. http://www.cdc.gov/fungal/Candidiasis/genital/definition.html Diakses tanggal 26 Agustus 20120
19