lapsus ok new

27
LAPORAN KASUS SIALOLITHIASIS GLANDULA SALIVA SUBMANDIBULA SINISTRA Pembimbing : Dr. I Gede Ardita, SpB, FINACS Disusun oleh : I Gusti Putu Yoga Kusmawan (H1A011069) Made Ayu Candramawati (H1A011042) Faridatun Hasanah (H1A 010 021) DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA 1

Upload: yoga-kusmawan

Post on 27-Jan-2016

262 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

Sialolithiasis

TRANSCRIPT

Page 1: Lapsus Ok NEW

LAPORAN KASUS

SIALOLITHIASIS GLANDULA SALIVA SUBMANDIBULA SINISTRA

Pembimbing :

Dr. I Gede Ardita, SpB, FINACS

Disusun oleh :

I Gusti Putu Yoga Kusmawan (H1A011069)

Made Ayu Candramawati (H1A011042)

Faridatun Hasanah (H1A 010 021)

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

BAGIAN/SMF BEDAH

RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

2014

1

Page 2: Lapsus Ok NEW

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Sialolithiasis adalah pembentukan batu (kalkulus) pada kelenjar saliva, sialolithiasis

diduga karena penumpukan bahan degeneratif yang diproduksi oleh kelenjar saliva dan

mengalami proses kalsifikasi hingga terbentuk batu. Dimana komposisi batu terbentuk dari

kalsium dan fosfat yang bersifat sebagai heteropik kalsifikasi, namun kadar serum kalsium dan

fosfat didalam darah dalam batas normal, hal tersebut diketahui sebagai “idiopatik kalsifikasi“

(Mouli dan Kumar, 2011).

2.2 Epidemiologi

Sialolithiasis merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada kelenjar saliva,

diperkirakan terdapat 1,2% dalam populasi di eropa. Perbandingan angka kejadian pada laki-laki

dan perempuan adalah 1,04 banding 1, dan usia paling banyak terjadi antara 25 tahun sampai 50

tahun. 80-90% sialolithiasis sering ditemukan pada kelenjar submandibula (warthon’s duct)

karena struktur anatomi duktus dan karakteristik kimiawi dari sekresi kelenjar saliva. Dua faktor

penting tersebut yang menjadi alasan tingginya kejadian sialolithiasis pada kelenjar

submandibula. Pertama, sifat saliva yang dihasilkan oleh kelenjar submandibula mengandung

banyak musin, bahan organik, enzim fosfatase, garam kalsium, fosfat, pH alkali, karbon dioksida

rendah. Kedua, faktor anatomi dimana warthon’s duct panjang dan berkelok, posisi orifisium

lebih tinggi dari duktusnya dan ukuran duktus lebih kecil dari lumennya, sedangkan 6% pada

kelenjar parotis, 2% pada kelenjar sublingual, dan 2% ditemukan pada kelenjar liur minor (Zenk

dan Constantinidis, 2011).

Kasus terjadinya sialoltihiasis billateral pada kedua kelenjar sangat jarang terjadi dengan

angka kejadian kurang dari 3 % kasus, dan dilaporkan 88% kalkulus adalah kurang dari 10 mm,

dan sisa nya bisa melebihi dari 15 mm namun sangat jarang terjadi, dan sialolthiasis dapat terjadi

pada semua umur namun pada anak-anak sangat jarang, dan pada dewasa antara umur 30 tahun

sampai 60 tahun yang paling sering terjadi (Fowell dan MacBean, 2012).

2.3 Etiologi Dan Patofisiologi

Meskipun penyebab pasti sialolithiasis masih belum jelas, beberapa batu saliva mungkin

berhubungan dengan infeksi kronis (Staphylococcus aureus , Streptococcus viridans) dari

kelenjar, peningkatan kalsium, dehidrasi yang meningkatkan viskositas saliva; asupan makanan

1

Page 3: Lapsus Ok NEW

berkurang atau obat yang menurunkan produksi saliva, termasuk anti histamin tertentu, anti

hipertensi (diuretik) dan anti psikotik, tetapi dalam banyak kasus dapat timbul secara idiopatik

(Becker, 2001).

Sialolithiasis terjadi akibat deposisi garam kalsium disekitar nidus organic awal yang

terbentuk akibat stasis musin, bakteri, dan sel epitel terdeskuamasi. Stasis yang berulang

mengakibatkan perubahan komposisi elemen mukoid pada saliva yang membentuk gel, nantinya

gel tersebut merupakan dasar bagi deposisi garam kalsium dan fosfat (Shatish, 2012).

Pembentukan batu terbagi atas 2 fase, pembentukan inti dan lapisan batu, pusat batu mengandung

bahan organik pada pusat batunya, serta organic dan anorganik pada lapisan batunya. Bahan

organik antara lain glikoprotein, mukopolisakarida, dan debris sel. Bahan anorganik yang utama

adalah kalsium karbonat dan kalsium fosfat. Sedangkan ion kalsium, magnesium, dan fosfat

sekitar 20-25%. Pada batu submandibular, nidus pembentuk batu biasanya terbentuk dari mucus,

sedangkan nidus pembentuk batu pada batu parotid terbentuk dari sel-sel inflamasi dan sel-sel

epitel (Shatish, 2012).

Beberapa patogenesis dapat digunakan untuk menjelaskan terjadinya penyakit

Sialolithiasis. Pertama, adanya ekresi dari intrasellular mikrokalkuli ke dalam saluran duktus dan

menjadi nidus kalsifikasi. Kedua, dugaan adanya substansi dan bakteri dari rongga mulut yang

migrasi ke dalam duktus salivari dan menjadi nidus kalsifikasi. Kedua hipotesis ini sebagai

pemicu nidus organik yang kemudian berkembang menjadi penumpukan substansi organik dan

inorganic (Marchal dan Dulgeorov P, 2003).

Pembentukan Sialolithiasis Submandibular lebih sering terjadi karena beberapa alasan

yaitu sebagai berikut (Shatish, 2012):

Saliva yang terbentuk lebih alkali

Saliva pada kelenjar submandibular lebih banyak mengandung kalsium dan fosfat

Memiliki kandungan mucus yang lebih tinggi dibanding saliva yang dihasilkan pada

kelenjar parotid dan sublingual

Duktus pada kelenjar submandibular lebih panjang dan besar serta berkelok

Aliran saliva pada duktus submandibular melawan arah gravitasi

2.4 Anatomi Kelenjar Saliva

Kelenjar saliva dapat dibedakan atas kelenjar parotidea, kelenjar submandibularis,

kelenjar lingualis, dan kelenjar assesorius.

2

Page 4: Lapsus Ok NEW

Kelenjar saliva mayor terdiri dari :

Gambar 1. Kelenjar Saliva Mayor

a. Kelenjar parotis

Terletak dibagian bawah telinga dibelakang ramus mandibula (antara prossesus mastoideus

dan ramus mandibula)

Mengandung sejumlah besar enzim antara lain amilase lisozim, fosfatase asam, aldolase,

dan kolinesterase. Merupakan kelenjar serous pada manusia dewasa sekresi yang kaya

akan air. Pada anak-anak masih mengandung kelenjar mukus. Saliva terdiri dari 25%

sekresi kelenjar parotis

Merupakan kelenjar terbesar dibandingkan dengan kelenjar saliva lainnya dengan berat

20-30 gram, panjang duktus 35-40 mm, dengan diameter 3 mm

Terletak dibagian bawah telinga dibelakang ramus mandibula meluas ke lengkung

zygomaticum di depan telinga dan mencapai dasar dari musculus masseter

Duktus parotis yakni duktus stensen yang berjalan menyilang permukaan otot masseter.

Duktus kelenjar ini berjalan menembus pipi dan bermuara pada vestibulum oris pada

lipatan antara mukosa pipi dan gusi dihadapan molar 2 atas.

Kelenjar parotis terletak pada bagian samping, di atas m. masseter. Bagian inferior

menempel pada m. sternocleidomastoideus, dan pada bagian posterior, kelenjar ini terletak

di atas venter posterior m.digastricus. Kelenjar ini dipisahkan dari kelenjar submandibularis

oleh ligamentum stylomandibularis, sedangkan bagian dalam, yaitu perluasan

retromandibular berhubungan dengan rongga parafaringeal. Cabang dan terminal n.facialis

berjalan di dalam substansi kelenjar tersebut. Duktus parotikus, misalnya duktus stensen,

dengan panjang 5 sampai 6 cm, bermula dari aspek anterior kelenjar, melintasi m. masseter,

menembus m. buccinator, dan memasuki rongga mulut pada regio molar pertama atau

3

Page 5: Lapsus Ok NEW

molar kedua rahang atas (Benjamin dan Michael,2006).

b. Kelenjar Submandibularis

Kelenjar Submandibularis (Drake, 2010)

Kelenjar submandibula terletak di segitiga submandibula yang dibatasi oleh

muskulus digastrikus anterior – posterior dan inferior dari os. mandibula. Posisi kelenjar

submandibula terletak di medial dan inferior ramus mandibula. Bagian posterior kelenjar

submandibula sebagian berada di atas dan sebagian di bawah dari mandibula posterior.

Kelenjar ini berbentuk seperti huruf “C” mengelilingi batas anterior dari muskulus

milohioid kemudian menjadi dua lobus, superfisial dan profunda. Lobus bagian profunda

lebih besar dari lobus superfisialisnya(Benjamin dan Michael,2006).

Kelenjar submandibula mendapatkan inervasi dari dua sumber, yaitu simpatis dan

para simpatis. Inervasi saraf simpatis dari ganglion cervikalis superior melalui n.

lingualis, dan inervasi saraf parasimpatis dari ganglion submandibula yang diberi makan

oleh arteri lingualis. Bagian dalam kelenjar submandibula mendapat vaskularisasi dari

cabang submental arteri dan vena fasialis yang kemudian berjalan sampai bagian

superfisial melalui tepi inferior mandibula. Limfonodi pada kelenjar submandibula terdiri

dari; superfisial, anterior, posterior, dan submental. Duktus submandibula (wharton’s

duct) berada di permukaan medial dari kelenjar dan berjalan di antara lateral muskulus

milohioid dan muskulus hioglosus dan di atas muskulus genioglosus, membentuk belokan

tajam di lateral m.milohioid (sering menjadi tempat kalkulus). Duktus ini bermuara ke

dalam rongga mulut, lateral dari frenulum lingualis yang terlihat di bagian depan dasar

mulut. Panjangnya rata-rata sekitar 5 cm. Duktus Submandibula mendapat inervasi dari n.

lingualis dan n. hipoglosus yang berjalan di bawah dan mengikuti duktus(Benjamin dan

Michael, 2006).

4

Page 6: Lapsus Ok NEW

c. Kelenjar Sublingualis

Terletak dibawah lidah dan dibawah membran mukosa mulut

Merupakan kelenjar terkecil dari kelenjar saliva mayor

Kelenjar ini bentuknya memanjang dengan berat 2-3 gram

Duktus kelenjar ini yaitu duktus Bartholin

Kelenjar sublingual hampir seluruhnya mukus dengan sedikit serosa

Kelenjar sublingual menempati rongga sublingual bagian anterior dan karena itu hampir

memenuhi dasar mulut. Aliran dari sublingualis memasuki rongga mulut melalui sejumlah muara

yang terdapat sepanjang plika sublingualis. yaitu suatu mukosa anteroposterior di dasar mulut

yang menunjukkan alur dan duktus submandibularis atau melalui duktus utama yaitu duktus

bartholin) yang berhubungan dengan duktus mandibularis (Benjamin dan Michael,2006).

Kelenjar saliva minor dalam jumlah besar terletak pada submukosa atau mukosa bibir,

permukaan lidah bagian bawah, bagian posterior palatum durum dan mukosa bukal. Pengetahuan

atau pengenalan lokasi kelenjar minor ini dibutuhkan karena banyak proses penyakit yang

terdapat di kelenjar saliva mayor juga rnengenai kelenjar assesorius ini Kemungkinan terjadinya

penyakit kelenjar saliva memberikan diagnosis altematif untuk patologis yang terbadap pada

regio ini (Benjamin dan Michael, 2006).

2.5 Fisiologi Kelenjar Saliva

Produksi Saliva

Kelenjar saliva berperan memproduksi saliva, dimulai dari proksimal oleh asinus dan

kemudian dimodifikasi di bagian distal oleh duktus. Kelenjar saliva memiliki unit sekresi yang

terdiri dari asinus, tubulus sekretori, dan duktus kolektivus. Sel-sel asini dan duktus proksimal

dibentuk oleh sel-sel mioepitelial yang berperan untuk memproduksi sekret. Sel asini

menghasilkan saliva yang akan dialirkan dari duktus interkalasi menuju duktus interlobulus,

kemudian duktus intralobulus dan berakhir pada duktus kolektivus (Kontis & Jhons, 2001).

Kelenjar submandibula dan parotis mempunyai sistem tubuloasiner, sedangkan kelenjar

sublingual memiliki sistem sekresi yang lebih sederhana. Kelenjar parotis hanya memiliki sel-sel

asini yang memproduksi sekret yang encer, sedangkan kelenjar sublingual memiliki sel-sel asini

mukus yang memproduksi sekret yang lebih kental. Kelenjar submandibula memiliki kedua jenis

sel asini sehingga memproduksi sekret baik serosa maupun mukoid. Kelenjar saliva minor juga

memiliki kedua jenis sel asini yang memproduksi kedua jenis secret (Al-abri & Marshal, 2010).

5

Page 7: Lapsus Ok NEW

Inervasi Autonom Dan Sekresi Saliva

Sistem saraf parasimpatis menyebabkan stimulasi pada kelenjar saliva sehingga

menghasilkan saliva yang encer. Kelenjar parotis mendapat persarafan parasimpatis dari nervus

glosofaringeus (n.IX). Kelenjar submandibula dan sublingualis mendapatkan persarafan

parasimpatis dari korda timpani (cabang n.VII).1,2,3 Sedangkan serabut saraf simpatis yang

menginervasi kelenjar saliva berasal dari ganglion servikalis superior dan berjalan bersama

dengan arteri yang mensuplai kelenjar saliva. Serabut saraf simpatis berjalan bersama dengan

arteri karotis eksterna yang memberikan suplai darah pada kelenjar parotis, dan bersama arteri

lingualis yang memberikan suplai darah ke kelenjar submandibula, serta bersama dengan arteri

fasialis yang memperdarahi kelenjar sublingualis. Saraf ini menstimulasi kelenjar saliva untuk

menghasilkan sekret kental yang kaya akan kandungan organik dan anorganik (Mosier, 2009).

Pengeluaran saliva sekitar 0,5 sampai 1,5 liter per hari tergantung pada tingkat

perangsangan. Kecepatan aliran bervariasi dari 0,1 sampai 4 ml/menit. Pada kecepatan 0,5

ml/menit sekitar 95% saliva disekresi oleh kelenjar parotis (saliva encer) dan kelenjar

submandibularis (saliva kaya akan musin); sisanya disekresi oleh kelenjar sublingual dan

kelenjar-kelenjar di lapisan mukosa mulut (Despopoulos dan Silbernagl, 2000). Sekresi saliva

yang bersifat spontan dan kontinu, bahkan tanpa adanya rangsangan yang jelas, disebabkan oleh

stimulasi konstan tingkat rendah ujung-ujung saraf parasimpatis yang berakhir di kelenjar saliva.

Sekresi basal ini penting untuk menjaga agar mulut dan tenggorokan tetap basah setiap waktu

(Sherwood, 2001).

Selain sekresi yang bersifat konstan dan sedikit tersebut, sekresi saliva dapat ditingkatkan

melalui dua jenis refleks saliva yang berbeda: (1) refleks saliva sederhana, atau tidak terkondisi,

dan (2) refleks saliva didapat, atau terkondisi. Refleks saliva sederhana (tidak terkondisi) terjadi

sewaktu kemoreseptor atau reseptor tekanan di dalam rongga mulut berespon terhadap adanya

makanan. Sewaktu diaktifkan, reseptor-reseptor tersebut memulai impuls di serat saraf aferen

yang membawa informasi ke pusat saliva di medula batang otak. Pusat saliva kemudian

mengirim impuls melalui saraf otonom ekstrinsik ke kelenjar saliva untuk meningkatkan sekresi

saliva. Tindakan-tindakan gigi mendorong sekresi saliva walaupun tidak terdapat makanan

karena adanya manipulasi terhadap reseptor tekanan yang terdapat di mulut. Pada refleks saliva

didapat (terkondisi), pengeluaran saliva terjadi tanpa rangsangan oral. Hanya berpikir, melihat,

membaui, atau mendengar suatu makanan yang lezat dapat memicu pengeluaran saliva melalui

refleks ini (Sherwood, 2001).

6

Page 8: Lapsus Ok NEW

Gambar 2.1 Kontrol Sekresi Saliva (Sherwood, 2001).

Pusat saliva mengontrol derajat pengeluaran saliva melalui saraf-saraf otonom yang

mempersarafi kelenjar saliva. Tidak seperti sistem saraf otonom di tempat lain, respon simpatis

dan parasimpatis di kelenjar saliva tidak saling bertentangan. Baik stimulasi simpatis maupun

parasimpatis, keduanya meningkatkan sekresi saliva, tetapi jumlah, karakteristik, dan mekanisme

yang berperan berbeda. Rangsangan parasimpatis, yang berperan dominan dalam sekresi saliva,

menyebabkan pengeluaran saliva encer dalam jumlah besar dan kaya enzim. Stimulasi simpatis,

di pihak lain, menghasilkan volume saliva yang jauh lebih sedikit dengan konsistensi kental dan

kaya mukus. Karena rangsangan simpatis menyebabkan sekresi saliva dalam jumlah sedikit,

mulut terasa lebih kering daripada biasanya selama keadaan saat sistem simpatis dominan,

misalnya pada keadaan stres (Sherwood, 2001). Jalur saraf parasimpatis untuk mengatur

pengeluaran saliva terutama dikontrol oleh sinyal saraf parasimpatis sepanjang jalan dari nukleus

salivatorius superior dan inferior batang otak (Guyton dan Hall, 2008). Obyek-obyek lain dalam

mulut dapat menggerakkan refleks saliva dengan menstimulasi reseptor yang dipantau oleh

nervus trigeminal (V) atau inervasi pada lidah dipantau oleh nervus kranial VII, IX, atau X.

Stimulasi parasimpatis akan mempercepat sekresi pada semua kelenjar saliva, sehingga

menghasilkan produksi saliva dalam jumlah banyak (Martini, 2006; Tortora dan Derrickson,

2009).

7

Page 9: Lapsus Ok NEW

Gambar 2.2 Pengaturan sekresi saliva melalui saraf (Guyton dan Hall, 2008)

Fungsi Saliva

Saliva adalah sekresi yang berkaitan dengan mulut, diproduksi oleh tiga pasang kelenjar

saliva utama: kelenjar sublingual, submandibula, dan parotis, yang terletak di luar rongga mulut

dan menyalurkan saliva melalui duktus-duktus pendek ke dalam mulut (Sherwood, 2001; Irianto,

2004). Pada saliva mengandung beberapa elektrolit (Na+ , K+ , Cl- , HCO3-, Ca2+, Mg2+,

HPO4 2-, SCN- , dan F- ), protein (amilase, musin, histatin, cystatin, peroxidase, lisozim, dan

laktoferin), immunoglobulin (sIgA, Ig G, dan Ig M), molekul organik (glukosa, asam amino,

urea, asam uric, dan lemak), dan komponen-komponen yang lain seperti Epidermal growth factor

(EGF), insulin, cyclic adenosine monophosphatebinding protein, dan serum albumin (Nanci,

2003; Rai, 2007).

Fungsi saliva adalah memulai pencernaan karbohidrat di mulut melalui kerja amilase

saliva, yang merupakan suatu enzim yang memecah polisakarida menjadi disakarida; saliva

8

Page 10: Lapsus Ok NEW

mempermudah proses menelan dengan membasahi partikel-partikel makanan, sehingga mereka

saling menyatu, serta dengan menghasilkan pelumasan karena adanya mukus, yang kental dan

licin; memiliki efek antibakteri melalui efek ganda, pertama oleh lisozim, suatu enzim yang

melisiskan atau menghancurkan bakteri tertentu, dan kedua dengan membilas bahan yang

mungkin digunakan bakteri sebagai sumber makanan; berfungsi sebagai pelarut untuk molekul-

molekul yang merangsang papil pengecap; membantu kita berbicara dengan mempermudah

gerakan bibir dan lidah. Kita sulit berbicara apabila mulut kita kering. Saliva berperan penting

dalam higiene mulut dengan membantu menjaga kebersihan mulut dan gigi. Aliran saliva yang

terus menerus membantu membilas residu makanan, melepaskan sel epitel, dan benda asing.

Penyangga bikarbonat di saliva menetralkan asam di makanan serta asam yang dihasilkan oleh

bakteri di mulut, sehingga membantu mencegah karies gigi (Amerongen, 1992 ; Sherwood, 2001;

Nanci, 2003; Setiadi, 2007).

2.6 Diagnosis Klinis

Penegakan Diagnosis

Anamnesis:

a. Asimptomatik pada obstruksi parsial

b. Nyeri pada kelenjar yang bersifat intermitten

c. Pembengkakan yang bersifat makin membesar

d. Gejala nyeri dan pembengkakan terkait dengan selera dan waktu makan (mealtime

syndrome)

Pada saat selera makan muncul sekresi saliva meningkat, sedangkan drainase

melalui duktus mengalami obstruksi sehingga terjadilah stagnasi yang

menimbulkan rasa nyeri dan pembengkakan kelejar (Dalkiz, Dogan, Beydemir,

2001).

e. Terkadang disertai infeksi sistemik

a. Stagnasi yang berlangsung lama menimbulkan infeksi, sehingga sering dijumpai

sekret yang supuratif dari orifisium duktus di dasar mulut.

b. Terkadang timbul gejala infeksi sistemik.

c. Pada fase lanjut stagnasi menyebabkan atropi pada kelenjar saliva yang

menyebabkan hiposalivasi

d. Palpasi bimanual di dasar mulut arah posterior ke anterior sering mendapatkan

kalkulus pada duktus submandibula, juga dapat meraba pembesaran duktus dan

kelenjar.

e. Palpasi masa pada tumor submandibula konsistensi biasanya padat kenyal, pada

9

Page 11: Lapsus Ok NEW

perabaan masa terasa mobile.

Pemeriksaan Penunjang

Teknik imaging yang ada untuk menilai kelenjar dan duktus kelenjar saliva antara

lain Plain-film Radiography, Computed Tomography Scan (CTScan), Sialography,

Magnetic Resonance Imaging (MRI), Diagnostic Ultrasound. Masing-masing memiliki

kelebihan dan keterbatasan tertentu dalam mengevaluasi pasien dengan nyeri, bengkak dan

keluhan lainnya yang berkaitan dengan gangguan kelenjar saliva, seperti pada Sialolithiasis

Submandibula (Becker ,2001).

Stagnasi yang berlangsung lama menimbulkan infeksi, sehingga sering dijumpai sekret

yang supuratif dari orifisium duktus di dasar mulut. Kadang-kadang juga timbul gejala infeksi

sistemik. Pada fase lanjut stagnasi menyebabkan atropi pada kelenjar saliva yang menyebabkan

hiposalivasi, dan akhirnya terjadi proses fibrosis( Palpasi bimanual di dasar mulut arah posterior

ke anterior sering mendapatkan kalkulus pada duktus submandibula, juga dapat meraba

pembesaran duktus dan kelenjar. Perabaan ini juga berguna untuk mengevaluasi fungsi kelenjar

saliva (hipofungsional atau non-fungsional).. Studi imaging sangat berguna untuk diagnosis

sialolithiasis, radiografi oklusal berguna dalam menunjukkan batu radiopaque (Bar et al.,2007).

2.6 Penatalaksanaan

a. Tanpa pembedahan

Pengobatan klasik silolithiasis (medical treatment) adalah penggunaan antibiotik dan anti

inflamasi, dengan harapan batu keluar melalui caruncula secara spontan. pengobatan yang

diberikan adalah simptomatik, nyeri diobati dengan NSAID (e.g ibuprofen, 600 mg setiap 8 jam

selama 7 hari) dan infeksi bakteria diobati dengan antibiotik golongan penicillin dan

sefalosporin, (875 mg amoxicillin dan asam klavulanat 125 mg setiap 8 jam untuk jangka waktu

satu minggu) atau augmentin, cefzil, ceftin, nafcillin, diet kaya protein dan cairan asam termasuk

makanan dan minuman juga dianjurkan untuk menghindari pembentukan batu lebih lanjut dalam

kelenjar saliva, sialologues (lemon tetes yang merangsang salivasi), batu dikeluarkan dengan

pijat atau masase pada kelenjar. Sering kali batu masih tersisa terutama bila berada di bagian

posterior Warthon’s duct, sehingga pendekatan konservatif jarang diterapkan(Marschal dan

Dulgerov,2003).

b. Pembedahan

Sebelum teknik endoskopi dan lithotripsi berkembang pesat, terapi untuk mengeluarkan

batu pada sialolithiasis submandibula delakukan dengan pembedahan, terutama pada kasus

10

Page 12: Lapsus Ok NEW

dengan diameter batu yang besar (ukuran terbesar sampai 10 mm), atau lokasi yang sulit. Bila

lokasi batu di belakang ostium duktus maka bisa dilakukan tindakan simple sphincterotomy

dengan anestesi lokal untuk mengeluarkannya. Pada batu yang berada di tengah-tengah duktus

harus dilakukan diseksi pada duktus dengan menghindari kerusakan pada n. lingualis. Hal ini

bisa dilakukan dengan anestesi lokal maupun general anastesi. Pada beberapa kasus dimana batu

berada di wharton papillae, dapat dilakukan tindakan sialodochoplasty (Katz dan Banzille,

2004).

Tindakan pembedahan:

Posisi penderita telentang  sedikit “head-up” (20-25 0 ) dan kepala menoleh kearah

kontralateral, ekstensi (perubahan posisi   kepala setelah didesinfeksi).

Desinfensi intraoral dengan Hibicet setelah dipasang tampon steril di orofaring.

Desinfeksi lapangan operasi luar dengan Hibitane-alkohol 70%  1:1000

Mulut dibuka dengan menggunakan spreader mulut, untuk memudahkan mengeluarkan

lidah/ dijulurkan maka bisa dipasang teugel pada lidah dengan benang sutera 0/1.

Lakukan eksisi bentuk elips pada mukosa dasar mulut yang bombaan akibat kista tersebut

dan pilih yang paling sedikit vaskularisasinya, kemudian rawat perdarahan yang terjadi,

lakukan sondase atau palpasi, sebab kadang ada sedimentasi/sialolithiasis, atau sebab lain

sehingga menimbulkan sumbatan pada  saluran kelenjar liur sublingual. Tepi eksisi dijahit

marsupialisasi dengan Dexon 0/3 agar tidak menutup lagi.

Pada batu yang cukup besar setelah dievaluasi tidak ada batu lagi maka bisa dipasang

tampon pita sampai keujungnya dipertahankan sampai 5 hari sebagai tuntunan

epitelialisasi.

11

Page 13: Lapsus Ok NEW

BAB II

LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. LB

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 29 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta

Status pernikahan : Menikah

Suku : Samawa

Agama : Islam

Alamat : Sumbawa

Tanggal periksa : 2 Desember 2015

1.2 ANAMNESIS

Keluhan utama : Benjolan pada rahang bawah kiri

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan terdapat benjolan di rahang bawah kiri, benjolan tersebut

dirasakan muncul sejak 2 tahun sebelumnya. Awalnya benjolan tersebut berukuran kecil,

namun semakin lama semakin membesar saat pasien berada di Arab Saudi 1 tahun yang lalu,

serta tidak pernah mengecil hingga saat ini. Benjolan tidak pernah terasa panas maupun

berwarna kemerahan, nyeri pada benjolan disangkal. Gangguan menelan pernah dirasakan

pada awal mula timbulnya benjolan, namun dirasakan hanya sebentar (2-3 hari), setelah itu

pasien tidak pernah merasakan gangguan menelan lagi. Gangguan mengunyah tidak pernah

dirasakan. Pasien tidak pernah merasa kering pada mulut, menurut pasien produksi air liurnya

tidak ada perbedaan baik sebelum timbul benjolan maupun sesudah timbul benjolan. Pasien

juga tidak pernah mengeluhkan adanya demam maupun penurunan berat badan, nafsu makan

pasien dirasakan tidak pernah berkurang.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat darah tinggi (-), penyakit jantung (-), kencing manis (-), asma (-), hepatitis (-), batuk

lama (-), riwayat dehidrasi (-).

12

Page 14: Lapsus Ok NEW

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat penyakit pada keluarga dengan keluhan serupa (-), darah tinggi (-), penyakit jantung

(-), kencing manis (-),asma (-), hepatitis (-), TBC (-).

Riwayat Pengobatan

Satu tahun lalu saat pasien berada di Arab Saudi sebagai TKW, pasien memeriksakan

benjolan di rahangnya. Saat itu pasien disarankan untuk dilakukan operasi, namun pasien

menolak. Pasien tidak pernah mengkonsumsi obat-obatan antihipertensi, obat antihistamin,

maunpun antipsikotik.

Riwayat Alergi

Pasien mengatakan tidak mempunyai alergi terhadap obat–obatan dan makanan tertentu.

Riwayat Nutrisi

Pasien sempat tinggal di Arab Saudi setahun yang lalu selama 1 tahun. Selama tinggal disana,

pasien mengaku lebih jarang makan karena kurang menyukai makanannya. Pasien mengaku

jarang minum selama tinggal di Arab Saudi.

1.3 PEMERIKSAAN FISIK

1. Status Generalis

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Compos mentis

GCS : E4V5M6

TD : 120/80 mmHg

Nadi : 88 x/menit

Respirasi : 18 x/menit

Suhu : 36,0 °C

2. Pemeriksaan Fisik Umum

a. Kepala – leher

Kepala : Bentuk dan ukuran kepala normal

Mata :Konjungtiva palpebra anemis -/-, sklera ikterik -/-, reflek pupil +/+, pupil bulat

isokor diameter 3mm/3mm

Telinga : Deformitas (-), otorrhea (-), massa (-), tanda peradangan (-)

Hidung : Deformitas (-), rinorrhea (-), deviasi septum (-), sekret (-)

Mulut : Mukosa bibir agak kering, sianosis (-), stomatitis (-)

Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)

13

Page 15: Lapsus Ok NEW

Massa (+) pada submandibula kiri berjumlah 2 buah, massa pertama berukuran

8x5 cm, konsistensi padat kenyal, tidak mobile, tidak nyeri dan tidak ada tanda-

tanda radang. Massa kedua berukuran 1x1 cm, konsistensi padat, mobile, tidak

nyeri dan tidak terdapat tanda-tanda peradangan.

b. Thoraks

Inspeksi : Bentuk simetris, gerakan dinding dada simetris, pelebaran sela iga (-),

tipe pernafasan thorakoabdominal, Iktus cordis tampak di ICS V midclavicula line

sinistra.

Palpasi : Pengembangan dinding dada simetris, fremitus raba sama, nyeri tekan (-),

krepitasi (-), iktus cordis teraba ICS V midclavikula line sinistra.

Perkusi :

- Pulmo : Sonor pada seluruh lapang paru. Batas paru hepar : Inspirasi ICS VI,

Ekspirasi ICS IV (ekskursi 2 ICS).

- Cor : batas kanan jantung pada ICS II parasternal line dextra, batas kiri pada

ICS V midklavikula line sinistra.

Auskultasi :

- Pulmo : Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-

- Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)

c. Abdomen

Inspeksi :

- Kulit : sikatriks (-), striae (-), vena yang berdilatasi (-), luka bekas

operasi (-),

- Umbilikus : inflamasi (-), hernia (-)

- Kontur Abdomen : distensi (+), darm contour (+), darm steifung (+), massa (-)

Auskultasi : Bising usus (+) 15 kali/menit, borborigmy (-),metalic sound (-)

Perkusi : timpani (+) di seluruh lapang abdomen, shifting dullnes (-)

Palpasi : nyeri tekan (-) di seluruh lapang abdomen, hepar, lien dan ginjal tidak

teraba, defans muscular (-), test undulasi (-)

d. Extremitas atas

Inspeksi : warna kulit coklat, tidak tampak warna kemerahan, pergerakan normal,

deformitas (-), clubbing finger (-), edema -/-

Palpasi : akral hangat +/+, nyeri tekan (-/-)

e. Extremitas bawah

14

Page 16: Lapsus Ok NEW

Inspeksi : warna kulit coklat, tidak tampak warna kemerahan, pergerakan normal,

deformitas (-), clubbing finger (-), edema +/+

Palpasi : akral hangat +/+, nyeri tekan (-/-)

1.4 RESUME

Wanita usia 29 tahun mengeluhkan terdapat benjolan di rahang bawah kiri,

benjolan tersebut dirasakan muncul dan semakin membesar sejak 2 tahun sebelumnya.

Benjolan tidak pernah terasa panas maupun berwarna kemerahan, nyeri pada benjolan

disangkal. Pasien tidak pernah mengeluhkan benjolan terasa nyeri atau membesar saat

pasien mencium bau makanan maupun makan. Pasien juga tidak pernah mengeluhkan

adanya demam maupun penurunan berat badan, nafsu makan pasien dirasakan tidak

pernah berkurang.

Penderita dalam keadaan umum baik, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 88x/

menit, pernapasan: 18x/ menit, Suhu axilla : 36,0°C. Ditemukan massa (+) pada

submandibula kiri berjumlah 2 buah, massa pertama berukuran 8x5 cm, konsistensi padat

kenyal, tidak mobile, tidak nyeri dan tidak ada tanda-tanda radang. Massa kedua

berukuran 1x1 cm, konsistensi padat, mobile, tidak nyeri dan tidak terdapat tanda-tanda

peradangan.

1.5 DIAGNOSIS :

Diagnosis Kerja : Tumor Submandibularis Sinistra

Diagnosis Banding : Sialolithiasis glandula saliva submandibula sinistra

Viral Sialedenitis, Acute Bacterial Sialedenitis

Sjogrens Disease

1.6 PLANNING DIAGNOSTIK

Darah lengkap

Kimia darah

Foto skull AP Lateral

USG

15

Page 17: Lapsus Ok NEW

1.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah lengkap (01/12/2015)

Parameter Hasil Normal

HGB 14,5 13,0 – 18,0[g/dL]

RBC 4,92 4,5– 5,5 [106/µL)

HCT 43,8 40 – 50 [%]

MCV 89,0 82,0 – 92,0 [fL]

MCH 29,5 27,0 – 31,0 [pg]

MCHC 33,1 32,0 – 37,0 [g/dL]

WBC 9,21 3,5 – 10,0 [103/µL]

PLT 328 150 – 400 [103/µL]

Kimia darah (01/12/2015)

Parameter Hasil Normal

GDS 100 < 160 mg/dl

SGOT 11 < 40 mg/dl

SGPT 8 < 41 mg/dl

Waktu pembekuan (01/12/2015)

Elektrolit Nilai Normal

BT 3,15 1-6 menit

CT 7,00 < 15 menit

Rontgen skull AP/Lat

Pada foto skull proyeksi AP/lateral posisi erect terlihat adanya gambaran radioopak

multiple dengan tepi rata pada submandibular sinistra.

Kesan : Sialolithiasis Submandibular Sinistra

DD : Viral Sialedenitis – mumps, Acute bacterial Sialedenitis

1.8 PLANNING TERAPI

Terapi operatif :

Pro biopsi eksisi

1.9 PROGNOSIS

Dubia ad bonam

16

Page 18: Lapsus Ok NEW

Pasien telah dioperasi pada tanggal 3 Desember 2015. Temuan intra operasi sebagai

berikut:

Massa putih dengan diameter 2 mm – 0,5 cm multiple (sebanyak 16 buah) pada

kelenjar saliva submandibula kiri.

Massa kelenjar kesan normal

17

Page 19: Lapsus Ok NEW

DAFTAR PUSTAKA

Al-Abri R, Marshal F. 2010. Sialoendoscopy in the old patients: a new tool or revolution. JEurger. 1:95-8. 3.

Amerongen, A.V.N. 1992. Ludah dan Kelenjar Ludah;Arti Bagi Kesehatan Gigi. Yogyakarta:Gadjah Mada University Press.

Bar T, et al. 2007. Calcifications Simulating Sialolithiasis of Major Salivary Glands. Dentomaxillofacial Radiology journal; 36: 59-62

Becker M, et al. 2000. Sialolithiasis and Salivary Ductal Stenosis: Diagnostic Acuracy of MR Sialography with a Three Dimensional Extended Phase Conjugate Symmetry Rapid Spin-Echo Sequence. RSNA Radiology; 17: 347-58.

Benjamin & Michael M. 2006. Anatomy and Physiology of Salivary Glands. Byron J Bailey Head and Neck Otolarungology.

Dalkiz M, Dogan N, Beydemir B. Sialolithiasis (salivary stone). Turk J Med Sci. 2001; 31:177-179.

Drake, et al. 2010. Gray’s Anatomy for Students, 2nd Edition. Philadephia: Elsenvier.

Fowell C, Macbean A. 2012. Giant Salivary Calculi of submandibular gland. Journal of surgical case reports.9:6

Guyton AC & Hall JE. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed.11. EGC: Jakarta.

Katz D, Banville RT. 2004. Two Non Surgical Therapies of Salivary Lithiasis. IEFGS Paris-France; 7: 5017

Kontis TC, Johns ME. 2001. Anatomy and physiology of the salivary gland. In: Baily BJ, ed.Head and neck surgeryotolaryngology. Philadelphia: Lippincott. p. 429-36. 2.

Marchal F, et al. 2001. Retrograde theory in sialolithiasis formation. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. Jan; 127(1):66-8.

Martini, F.H. 2006. Fundamental of Anatomy & Phisiology. Seventh Edition. San Francisco:Pearson.

Mosier KM. 2009. Diagnostic radiographic imaging for salivary endoscopy. Otolaryngol ClinNorth Am. 42:949-72.

Mouli C, et al. 2011. Sialolith: Case report with review Of Litherature. Indian journal of multidisciplinary Densitry.

Nanci, A. 2003. Oral Histology:Development, Structure, and Function. Philadelphia: Mosby.

Rai, B. 2007. Oral Fluid in Toxicology, The Internet Journal of Toxicology. Vol.3 No.2.

Setiadi. 2007. Anatomi dan Fisiologi Manusia. Ed.Pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia;dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta : EGC.

18

Page 20: Lapsus Ok NEW

Tortora, G.J., & Derrickson, B., 2006. An Introduction to The Human Body. Principles ofAnatomy and Physiology. 11th ed. USA: John Wiley & Sons, Inc, 4-7.

Zenk J, Benzel W, Iro H. (2001) New modalities in the management of human sialolithiasis. Minimally invasive therapy 1994; 3: 275–284. 8.

19