laporan tutorial_sken i_2 kasus kelumpuhan_.docx

46
LAPORAN DISKUSI TUTORIAL BLOK SISTEM SYARAF SKENARIO 1 “KELUMPUHAN ANGGOTA GERAK” KELOMPOK 6 1. Achmad Nurul H. (G0011003) 2. Adya Sitaresmi (G0011005) 3. Atika Sugiarto (G0011043) 4. Dzulfiar N. U. (G0011079) 5. Ery Radiyanti (G0011085) 6. Fery Ardi K. (G0011091) 7. Ratna Sariyatun (G0011165) 8. Rezza Dwi Haryanto (G0011169)

Upload: -

Post on 10-Aug-2015

262 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Tentang penyakit syaraf

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Tutorial_Sken I_2 kasus kelumpuhan_.docx

LAPORAN DISKUSI TUTORIAL

BLOK SISTEM SYARAF

SKENARIO 1

“KELUMPUHAN ANGGOTA GERAK”

KELOMPOK 6

1. Achmad Nurul H. (G0011003)

2. Adya Sitaresmi (G0011005)

3. Atika Sugiarto (G0011043)

4. Dzulfiar N. U. (G0011079)

5. Ery Radiyanti (G0011085)

6. Fery Ardi K. (G0011091)

7. Ratna Sariyatun (G0011165)

8. Rezza Dwi Haryanto (G0011169)

9. Rifqi Hadyan (G0011171)

10. Rizqa Febriliany P. (G0011183)

TUTOR

Adji Suwandono, dr, S.H.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2012

Page 2: Laporan Tutorial_Sken I_2 kasus kelumpuhan_.docx

BAB I

PENDAHULUAN

A. Skenario Pinggangku Nyeri

Seorang dokter puskesmas mendapatkan 2 kasus kelumpuhan:

Kasus 1

Seorang laki-laki 55 tahun dibawa keluarganya karena anggota gerak sisi kanan

mendadak mengalami kelemahan. Cara berbicara menjadi tidak jelas (pelo) dan bila

berjalan menjadi kesulitan. Wajah penderita tersebut juga terlihat merot ke sisi kiri.

Anggota gerak sisi kanan yang lumpuh menjadi kaku (spastik). Reflek fisiologis

meningkat. Penderita masih sadar, tetapi tidak dapat mengontrol kencingnya

(mengompol).

Sejak 3 tahun ini penderita menderita diabetes mellitus dan hipertensi. Menurut

keluarganya pasien gemar makan & minum yang manis, makanan berlemak dan

kurang berolah raga.

Pasien disarankan dirawat di rumah sakit selama 1 minggu untuk mendapat

pengobatan dan menjalani pemulihan dengan latihan berjalan.

Kasus 2

Seorang wanita 40 tahun mengalami kelemahan keempat anggota geraknya sejak

3 hari lalu yang makin lama makin memberat. Kelemahan yang terjadi sifatnya lemas

(flaccid). Reflek fisiologis menurun. Kesadaran baik, cara bicara normal. Riwayat

menderita diare 1 minggu sebelumnya. Penderita dirujuk ke rumah sakit untuk

pemeriksaan lebih lanjut.

B. Rumusan Masalah

Masalah yang muncul dari skenario di atas meliputi:

Kasus 1

1. Laki-laki 55 tahun

2. Anggota gerak sisi kanan mendadak mengalami kelemahan, cara bicara

menjadi tidak jelas, bila berjalan kesulitan, wajah merot ke sisi kiri,

anggota gerak sisi kanan yang lumpuh menjadi kaku, masih sadar dan

mengompol

3. Sejak 3 yahun ini penderita menderita diabetes mellitus dan hipertensi

4. Hasil pemeriksaan dokter: reflex fisiologis meningkat

2

Page 3: Laporan Tutorial_Sken I_2 kasus kelumpuhan_.docx

5. Pasien gemar makan dan minum yang manis, makanan berlemak, dan

kurang berolah raga

6. Pasien dirawat di rumah sakit selama 1 minggu

7. Pasien menjalani terapi pemulihan dengan latihan berjalan

Kasus 2

1. Wanita 40 tahun

2. Mengalami kelemahan keempat anggota geraknya, kesadaran baik, cara

bicara normal

3. sejak 3 hari yang lalu yang makin lama makin meberat

4. hasil pemeriksaan dokter: reflek fisiologis menurun, kelemahan sifatnya

lemas (flaccid)

5. Riwayat menderita diare 1 minggu sebelumnya

6. Pasien dirujuk ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut

C. Rumusan Analisis Masalah

Dari masalah yang telah ditentukan, dapat dibuat analisis masalah sebagai

berikut:

1. Anatomi, histologi,dan fisiologi system saraf pusat dan tepi

2. Perbedaan antara UMN dan LMN

3. Patofisiologi dan patogenesis dari kelainan yang muncul

4. Menjelaskan diagnosis banding

Kasus 1: stroke, hemiplegia, bell’s palsy

Kasus 2: Guillain Barre syndrome (GBS)

5. Epidemiologi stroke

6. Hubungan riwayat penyakit pasien dengan penyakit yang diderita saat ini

7. Pemeriksaan lanjutan untuk kasus 1 dan 2

8. Penatalaksanaan

D. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui anatomi, histologi,dan fisiologi system saraf pusat dan tepi

2. Mengetahui perbedaan antara UMN dan LMN

3. Mengetahui proses patofisiologi dan patogenesis dari kelainan yang

muncul

4. Mengetahui penjelasan diagnosis banding

3

Page 4: Laporan Tutorial_Sken I_2 kasus kelumpuhan_.docx

Kasus 1: stroke, hemiplegia, bell’s palsy

Kasus 2: Guillain Barre syndrome (GBS)

5. Mengetahui epidemiologi stroke

6. Mengetahui hubungan riwayat penyakit pasien dengan penyakit yang

diderita saat ini

7. Mengetahui pemeriksaan lanjutan untuk kasus 1 dan 2

8. Mengetahui penatalaksanaan yang harus dilakukan

E. Manfaat Penulisan

Mahasiswa mampu:

1. Menjelaskan anatomi, histologi,dan fisiologi system saraf pusat dan tepi

2. Menjelaskan perbedaan antara UMN dan LMN

3. Menjelaskan proses patofisiologi dan patogenesis dari kelainan yang

muncul

4. Menjelaskan penjelasan diagnosis banding

Kasus 1: stroke, hemiplegia, bell’s palsy

Kasus 2: Guillain Barre syndrome (GBS)

5. Menjelaskan epidemiologi stroke

6. Menjelaskan hubungan riwayat penyakit pasien dengan penyakit yang

diderita saat ini

7. Menjelaskan pemeriksaan lanjutan untuk kasus 1 dan 2

8. Menjelaskan penatalaksanaan yang harus dilakukan

4

Page 5: Laporan Tutorial_Sken I_2 kasus kelumpuhan_.docx

BAB II

PEMBAHASAN

1. Klarifikasi istilah

- Pelo :

Gejala utama pada stroke ditandai dengan berbicara tidak jelas

- Spastik :

Kelainan neuromuskular yang menyebabkan kelemahan berupa kekakuan

otot, gerakan kaku, dan hipertonik—ciri spasme otot. Tanda ini ditemukan

pada lesi Upper Motor Neuron (UMN).

- Reflek fisiologis :

Gerak refleks yang ditemukan pada orang normal. pemeriks

- Diabetes mellitus :

Kelainan metabolik endokrin yang ditandai oleh tingginya kadar plasma

glukosa (hiperglikemia) yang disebabkan oleh gangguan sekresi insulin,

aksi insulin atau keduanya. Ada dua tipe DM, yakni:

Tipe 1 (IDDM) akibat insuffisiensi insulin karena destruksi sel-sel β

pancreas sering pada remaja/usia balita.

Tipe 2 (NIDDM) tidak tergantung insulin.

Penyakit ini mempunyai kecenderungan risiko yang tinggi pada komplikasi

yang diakibatkannya seperti pada penyakit cerebrovascular yaitu stroke,

hiperternsi, dan lain-lain.

- Hipertensi : Penyakit kelainan jantung dan pembuluh darah yang

ditandai dengan peningkatan tekanan darah.

- Flaccid :

Kelainan neuromuskular yang menyebabkan kelemahan berupa lemas otot,

gerakan lemah, dan hipotonik—ciri kekenduran otot. Tanda ini ditemukan

pada lesi Lower Motor Neuron (LMN)

- Diare :

Keadaan buang air besar berlebihan (sering berupa cairan/encer) yang

merupakan gejala-gejala penyakit tertentu. Diare ini terutama disebabkan

oleh infeksi bakteri pada saluran pencernaan, juga bias karena parasite

maupun virus.

5

Page 6: Laporan Tutorial_Sken I_2 kasus kelumpuhan_.docx

2. Stroke

Stroke adalah sindrom yang terdiri dari tanda dan atau gejala hilangnya

fungsi sistem saraf fokal (atau global) yang berkembang cepat (dalam detik

atau menit) (Ginsberg, 2008). Definisi lain dari stroke adalah setiap

gangguan neurologik mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau

terhentinya aliran darah melalui sistem suplai arteri otak (Price and Wilson,

2006)

Stroke menduduki posisi ketiga di Indonesia setelah jantung dan

kanker. Sebanyak 28.5 persen penderita stroke meninggal dunia. Sisanya

menderita kelumpuhan sebagian maupun total hanya lima belas persen saja

yang dapat sembuh total dari serangan stroke atau kecacatan.Yayasan Stroke

Indonesia (Yastroki) menyebutkan bahwa 63,52 per 100.000 penduduk

indonesia berumur di atas 65 tahun ditaksir menderita stroke.

Penyebab tersering stroke adalah penyakit degeneratif arterial, baik

aterosklerosis pada pembuluh darah besar (dengan tromboemboli) maupun

penyakit pembuluh darah kecil (lipohialinosis). Proses aterotrombotik terjadi

melalui 2 cara yaitu :

1. Aterotrombotik in situ, terjadi akibat adanya plak yang terbentuk

akibat proses aterosklerotik pada dinding pembuluh darah intrakranial,

di mana plak tersebut membesar yang dapat disertai dengan adanya

trombus yang melapisi pembuluh darah arteri tersebut. Apabila proses

tersebut terus berlangsung, maka akan terjadi penyumbatan pembuluh

darah tersebut dan penghentian aliran darah di sebelah distal.

2. Tromboemboli (artery to artery embolus), terjadi akibat lepasnya plak

aterotrombolik yang disebut sebagai emboli yang akan menyumbat

arteri di sebelah distal dari arteri yang mengalami proses aterosklerotik.

(Ginsberg, 2008; Japardi, 2002)

Penyakit Serebrovaskuler

Lesi vaskuler di susunan saraf bisa berarti lesi di otak dan batang otak di satu

pihak dan lesi di medula spinalis di lain pihak. Penyakit dengan lesi vaskuler di otak

dikenal sebagai penyakit serebrovaskuler (CVD = Cerebro Vascular Disease). Stroke

atau manifestasi CVD mempunyai etiologi dan patogenesis yang multikompleks.

Rumitnya mekanisme ini disebabkan oleh adanya integritas tubuh yang sempurna.

Otak tidak bekerja sendiri diluar kerja jantung dan susunan vaskuler, metabolisme

6

Page 7: Laporan Tutorial_Sken I_2 kasus kelumpuhan_.docx

otak tidak berdiri sendiri di luar jangkauan unsur-unsur kimia dan selular darah yang

mempengaruhi seluruh tubuh. Jika integritas itu diputuskan sehingga sebagian otak itu

berdiri sendiri-sendiri diluar lingkup kerja organ-organ tubuh sebagai suatu

keseluruhan, maka dalam keadaan terisolisasi tersebut timbul kekacauan dalam

ekspresi (gerakan) dan persepsi (sensorik dan fungsi luhur) suatu keadaan pada

penderita yang mengidap stroke. Stroke adalah sindrom hemiparesis dan hemiparalisi

akibat lesi vaskuler yang bisa bangkit dalam beberapa detik sampai hari tergantung

jenis penyakit yang menjadi kausanya. Lesi-lesi vaskuler regional yang terjadi di otak

sebagian besar disebabkan oleh proses oklusi pada lumen arteri serebral. Sebagian

lainnya disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah. Penyakit vaskuler utama yang

menimbulkan penyumbatan adalah aterosklerosis dan arteriosklerosis. (Mardjono dan

Sidharta, 2008)

Aterosklerosis dapat menyempitkan lumen sehingga aliran darah distal terhadap

tempat penyempitan lumen tersebut selalu menjadi kecil. Pada permulaan, lesi

aterosklerotik mulai tampak sebagai titik-titik kuning pada intima. Dalam kurun

waktu tertentu, tempat-tempat aterosklerotik sudah banyak dan tersebar difus pada

pembuluh darah serebral. Pada tahap ini, tempat-tempat yang aterosklerotik itu sudah

besar dan dikenal sebagai plaque atherosclerotique yang merupakan penonjolan yang

datar atau seperti gundukan pada intima yang menyempitkan lumen arteri. Intima

arteri yang sudah aterosklerotik memperlihatkan fibrosis. Proses aterosklerosis

dipercepat oleh beberapa factor yaitu hereditas, hipertensi, obesitas, kurang bergerak,

diabetes mellitus, hiperkolesterolemia, dan merokok. Arteri-arteri yang sudah

memiliki plaque atherosclerotique cenderung mendapat komplikasi yang berupa

thrombosis hal ini terjadi karena intima arteri telah rusak dan lumen arteri telah

sempit. Dalam keadaan tersebut mudah timbul turbulensi arus darah, yang lebih

mempermudah lagi pembentukan thrombus. Sebagian dari thrombus ini dapat terlepas

sehingga dapat terjadi embolisasi. Pembentukan thrombus dan embolisasi ini dapat

menyumbat pembuluh darah otak. Bila vasospasmus regional ini bersifat sementara

atau sepintas lalu dinamakan serangan iskemik otak sepintas (TIA = Transient

Ischemic Attack). Namin bila vasospasmus ini berlangsung lama (lebih dari 24 jam)

atau langsung menimbulkan kematian maka disebut stroke iskemik. Selain itu, jika

suatu cabang arteri serebral pecah maka daerah perdarahannya tidak mendapatkan

darah lagi dan darah ekstravasal tertimbun sehingga merupakan proses desak ruang

7

Page 8: Laporan Tutorial_Sken I_2 kasus kelumpuhan_.docx

akut yang dapat menyebabkan iskemia otak (Stroke Hemoragik). (Mansjoer dkk,

2000; Mardjono dan Sidharta, 2008)

Tanpa obat-obat neuroprotektif, sel saraf yang mengalami iskemia 80 % atau

lebih akan mengalami kerusakan ireversibel dalam beberapa menit. Daerah ini disebut

sebagai pusat iskemik yang dikelilingi oleh daerah lain yakni daerah penumbra

iskemik atau zona transisi. Sel-sel neuron di daerah ini berada dalam bahaya tetapi

belum rusak secara ireversibel. Jendela waktu untuk timbulnya penumbra pada stroke

bervariasi dari 12 sampai 24 jam. Secara cepat dalam pusat infark dan beberapa saat

daerah penumbra iskemik dapat terjadi cedera dan kematian sel otak. (Mahanani dkk,

2006)

Tiga tahap yang terjadi pada proses terjadinya kerusakan otak akibat trombosis

serebri yang dikenal dengan kaskade glutamat yaitu:

1. Induksi

Iskemia menyebabkan depolarisasi membran neuron yang menyebabkan

pelepasan glutamat sehingga menyebabkan reseptor NMDA (N-metil D-aspartat) pada

neuron didekatnya tereksitasi berlebihan sehingga terjadi influks ion Ca2+ serta Na+

yang deras abnormal sehingga terjadi cedera atau kematian sel.

2. Amplifikasi

Amplifikasi (penumpukan) ion Ca2+ intrasel lebih lanjut dapat menyebabkan

pelepasan glutamat tambahan sehingga mengeksitasi lebih lanjut neuron di sebelahnya.

3. Ekspresi

Kadar Ca2+ intrasel yang tinggi akan mengaktifkan enzim nuklease-, protease-,

dan fosfolipase- bergantung Ca2+. Penguraian fosfolipid dapat menimbulkan

terbentuknya faktor pengaktif trombosit (PAF, platelet activating factor) dan pelepasan

asam arakidonat, yang metabolismenya bisa menghasilkan eiksanoid; kedua jenis lipid

ini bisa menyebabkan vasokonstriksi yang akan memperburuk keadaan trombosis.

Selain itu, metabolisme eiksanoid menimbulkan pembentukan radikal bebas oksigen

yang menyebabkan kerusakan peroksidatif lipid membran neuron.

(Bani dan Sikumbang, 2003)

Hilangnya kemampuan autoregulasi seperti pada hipertensi kronik merupakan

penyulit stroke yang sangat berbahaya dan dapat memicu terjadinya peningkatan edema

otak, peningkatan TIK (Tekanan Intrakranial), dan semakin luasnya kerusakan neuron.

Dengan hilangnya autoregulasi maka arteriol-arteriol tidak dapat melindungi otak dari

peningkatan dan penurunan tekanan darah. Aliran darah otak sekaran semata-mata

8

Page 9: Laporan Tutorial_Sken I_2 kasus kelumpuhan_.docx

dikendalikan oleh tekanan arteri sistemik rata-rata. Pada hipotensi berat tekanan perfusi

serebrum menurun sehingga terjadi iskemia. Akhirnya karena iskemia dapat

menimbulkan perubahan kimiawi di dalam sel akan terjadi kerusakan akibat

meningkatnya edema serebrum yang semakin menurunkan aliran darah ke otak dalam

suatu sistem beraliran lambat. Sedangkan pada hipertensi terjadi peningkatan perfusi

darak ke otak dan tekanan intrakranial sehingga kapiler-kapiler otak mengalami distensi

dan menjadi permeabel. Proses ini mengakibatkan hilangnya tekanan onkotik di kapiler

serebrum dan terjadinya edema di jaringan interstisium otak. (Mahanani dkk, 2006)

Gejala utama pada stroke adalah munculnya secara mendadak satu atau lebih

defisit neurologi fokal yang mungkin dapat mengalami perbaikan dengan cepat,

perburukan yang progresif dan menetap. Gejala umum berupa baal atau lemas

mendadak di wajah, lengan, atau tungkai, terutama di salah satu sisi tubuh; gangguan

penglihatan seperti penglihatan ganda atau kesulitan melihat di salah satu atau kedua

mata; bingung mendadak; tersandung selagi berjalan, pusing bergoyang, hilangnya

keseimbangan atau konsentrasi; dan nyeri kepala mendadak tanpa kausa yang jelas. Ciri

mula timbulnya gejala pengiring dan pendahulunya menandakan sifat (hemoragik atau

trombotik), lokalisasi, sumber unsur penyumbat pembuluh darah otak, sifat dan

lokalisasi lesi yang terjadi. (Mahanani dkk, 2006; Sidharta, 2008)

Ada beberapa faktor yang menentukan timbulnya manifestasi stroke yang dikenal

dengan faktor risiko stroke yaitu umur (lebih tua lebih mungkin), hipertensi, diabetes

melitus (pengobatan dengan insulin meningkatkan resiko stroke), keturunan, orang

berpenyakit jantung, efek merokok, dan obat anti hamil. (Sidharta, 2008)

Stroke Iskemik

Stroke iskemik terjadi akibat obstruksi atau bekuan di satu atau lebih arteri besar

pada sirkulasi serbrum. Obstruksi dapat disebabkan oleh bekuan (trombus) yang

terbentuk di dalam suatu pembuluh otak atau pembuluh organ distal. Terdapat beragam

penyebab stroke trombotik dan embolik primer, termasuk aterosklerosis, arteritis,

keadaan hiperkoagulasi, dan penyakit jantung struktural. Penyebab lain stroke iskemik

adalah vasospasme, yang sering merupakan respon vaskular reaktif terhadap

perdarahan ke dalam ruang antara lapisan araknoid dan piamater meningen. (Price and

Wilson, 2006)

Sebagian stroke iskemik tidak menimbulkan nyeri, karena jaringan otak tidak

peka terhadap nyeri. namun, pembuluh besar di leher dan batang otak memiliki banyak

9

Page 10: Laporan Tutorial_Sken I_2 kasus kelumpuhan_.docx

reseptor nyeri, dan cedera pada pembuluh-pembuluh ini saat serangan iskemik dapat

menimbulkan nyeri kepala. Dengan demikian, pada pasien dengan stroke iskemik

disertai gambaran klinis berupa nyeri kepala perlu dilakukan uji-uji diagnostik yang

dapat mendeteksi cedera seperti aneurisma disekans di pembuluh leher dan batang otak.

(Price and Wilson, 2006)

Tanda dan gejala infark arteri tergantung dari area vaskular yang terkena.

Berdasarkan area vaskular yang terkena, tanda dan gejala stroke diklasifikasikan

menjadi :

1. Infark total sirkulasi anterior (karotis)

Hemiplegia (kerusakan pada bagian atas traktus kortikospinal)

Hemianopia ( kerusakan pada radiasio optikus)

Defisit kortikal, misalnya disfasia (hemisfer dominan), hilangnya fungsi

visuospasial (hemisfer nondominan)

2. Infark parsial sirkulasi anterior

Hemiplegia dan hemianopia, atau hanya defisit kortikal saja

3. Infark lakunar

Penyakit intrinsik (lipohialinosis) pada arteri kecil profunda menyebabkan

sindrom yang karakteristik, misalnya stroke motorik murni atau stroke sensorik

murni, atau hemiparesis ataksik. Infark lakunar multipel dapat menyebabkan

defisit neurologis multipel termasuk gangguan kognitif (demensia multi-infark)

dan gangguan pola berjalan yang karakteristik seperti langkah-langkah kecil

(marche a petits pas) dan kesulitan untuk mulai berjalan (kegagalan

ignisi)-‘apraksia’ pola berjalan (gait apraxia)

4. Infark sirkulasi posterior (vertebrobasilar)

Tanda-tanda lesi batang otak (misalnya vertigo, diplopia, perubahan kesadaran)

Hemianopia homonim

(Ginsberg, 2008)

5. Infark Medulla spinalis

Pasien yang mengalami gejala berat, misalnya imobilisasi dengan hemiplegia

berat, rentan terhadap komplikasi yang dapat menyebabkan kematian lebih awal, yaitu :

a. Pneumonia, septikemia (akibat ulkus dekubitus atau infeksi saluran kemih)

b. Trombosis vena dalam (deep vein thrombosis) dan emboli paru

c. Infark miokard, aritmia jantung, dan gagal jantung

d. Ketidakseimbangan cairan

10

Page 11: Laporan Tutorial_Sken I_2 kasus kelumpuhan_.docx

(Ginsberg, 2008)

Stroke Hemoragik

Stroke hemoragik dapat terjadi apabila lesi askular intraserebrum mengalami

ruptur sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid atau langsung ke dalam

jaringan otak. Sebagian dari lesi vaskular yang dapat menyebabkan perdarahan

subaraknoid (PSA) adalah aneurisma sakular (Berry) dan malformasi arteriovena

(MAV). Mekanisme lain stroke hemoragik adalah pemakaina kokain atau amfetamin,

karena zat-zat ini dapat menyebabkan hipertensi berat dan perdarahan intraserbrum atau

subaraknoid. (Price and Wilson, 2006)

Perdarahan dapat dengan cepat menimbulkan gejara neurologik karena tekanan

pada sturktur-struktur saraf di dalam tengkorak. Iskemia adalah konsekuensi sekunder

dari perdarahan baik yang spontan maupun traumatik. Mekanisme terjadinya iskemia

tersebut ada dua : tekanan pada pembuluh darah akibat ekstrvasasi darah ke dalam

tengkorak yang volumenya tetap, dan vasospasme reaktif pembuluh-pembuluh darah

yang terpajan ke darah bebas di dalam ruang antara lapisan araknoid dan piameter

meningen. Biasanya stroke hemoragik secara cepat menyebabkan kerusakan fungsi

otak dan kehilangan kesadaran. Namun, apabila perdarahan berlangsung lambat, pasien

kemungkinan besar mengalami nyeri kepala hebat, yang merupakan skenario khas

perdarahan subaraknoid (PSA). Tindakan pencegahan utama perdarahan otak adalah

mencegah cedra kepala dan mengendalikan tekanan darah. (Price and Wilson, 2006)

Perdarahan dapat terjadi di bagian mana saja dari sistem saraf. Secara umum,

perdarahan di dalam tengkorak diklasifikasikan berdasarkan lokasi dalam kaitannya

dengan jaringan otak dan meningen dan oleh tipe lesi vaskuler yang ada. Tipe

perdarahan yang mendasari stroke hemoragik adalah intraserebrum (parnkimatosa),

intraventrikel, dan PSA. Selain lesi vaskular anatomk, penyebab stroke hemoragik

adalah hipertensi, gangguan perdarahan, pemberian antikoagulan yang terlalu agresif

(terutama pada pasien berusia lanjut), dan pemakain amfetamin dan kokain intranasal.

(Price and Wilson, 2006)

Secara  klinis  perbedaan stroke  iskemik  dan  hemoragik adalah  sebagai berikut:

Gejala Hemoragik Iskemik

Onset Sangat akut Subakut/ akut

Saat terjadinya Waktu aktif Tidak aktif

Nyeri kepala Hebat Ringan/ tak ada

Muntah pada awal Sering Tak ada

11

Page 12: Laporan Tutorial_Sken I_2 kasus kelumpuhan_.docx

Kaku kuduk Jarang/ biasa ada Tak ada

Kejang Bisa ada Tak ada

Kesadaran Biasa hilang Hilang

Hubungan hipertensi dengan kejadian stroke

Pola sirkadian tekanan darah merupakan tekanan darah meningkat pada pagi hari

(peningkatan tertinggi terjadi pada pertengahan pagi hari sampai tengah hari). Orang

normal mempunyai suatu sistem autoregulasi arteri serebral. Bila tekanan darah

sistemik meningkat, pembuluh serebral menjadi vasospasme (vasokonstriksi).

Sebaliknya, bila tekanan darah sistemik menurun, pembuluh serebral akan menjadi

vasodilatasi sehingga aliran darah ke otak tetap konstan walaupun terjadi penurunan

tekanan darah sistemik sampai 50 mmHg, autoregulasi arteri serebral masih mampu

memelihara aliran darah ke otak tetap normal. Batas atas tekanan darah sistemik yang

masih dapat ditanggulangi oleh autoregulasi ialah 200 mmHg untuk tekanan sistolik

dan 110 – 120 mmHg untuk tekanan diastolik.

Tekanan darah sistemik meningkat membuat pembuluh serebral akan

berkonstriksi. Derajat konstriksi tergantung pada peningkatan tekanan darah. Bila

tekanan darah meningkat cukup tinggi selama berbulan – bulan atau bertahun – tahun,

akan menyebabkan hialinisasi pada lapisan otot pembuluh serebral yang mengakibatkan

diameter lumen pembuluh darah tersebut akan menjadi tetap. Hal ini berbahaya karena

pembuluh serebral tidak dapat berdilatasi atau berkonstriksi dengan leluasa untuk

mengatasi fluktuasi dari tekanan darah sistemik. Bila terjadi penurunan tekanan darah

sistemik maka tekanan perfusi ke jaringan otak tidak adekuat sehingga akan

mengakibatkan iskemik serebral. Sebaliknya, bila terjadi kenaikan tekanan darah

sistemik maka tekanan perfusi pada dinding kapiler menjadi tinggi yang mengakibatkan

terjadi hiperemia, edema, dan kemungkinan perdarahan pada otak.

Hipertensi kronis dapat terjadi mikroaneurisma dengan diameter 1mm.

Mikroaneurisma ini dikenal dengan aneurisma dari Charcot-Bouchard dan terutama

terjadi pada arteria lentikulostriata. Pada lonjakan tekanan darah sistemik, sewaktu

orang marah atau mengejan, aneurisma bisa pecah. Hipertensi yang kronis merupakan

salah satu penyebab terjadinya disfungsi endotelial dari pembuluh darah.

Endotel menunjukkan fungsi dualistik dalam keadaan normal. Sifat ini secara

simultan mengekspresikan dan melepaskan zat-zat vasokonstriktor (angiotensin II,

endotelin-I, tromboksan A-2, dan radikal superoksida) serta vasodilator (prostaglandin

12

Page 13: Laporan Tutorial_Sken I_2 kasus kelumpuhan_.docx

dan nitrit oksida). Faktor-faktor ini menyebabkan dan mencegah proliferasi sel-sel otot

polos pembuluh darah secara seimbang. Keseimbangan antara sistem antagonis ini

dapat mengontrol secara optimal fungsi dinding pembuluh darah. Akibat disfungsi

endotel, terjadi vasokonstriksi, proliferasi sel-sel otot polos pembuluh darah, agregasi

trombosit, adhesi lekosit, dan peningkatan permeabilitas untuk makromolekul, seperti

lipoprotein,fibrinogen, dan imunoglobulin. Kondisi ini akan mempercepat terjadinya

aterosklerosis yang memegang peranan yang penting untuk terjadinya stroke infark.

Peningkatan tekanan darah menyebabkan peningkatan intraplaque hemorrhage,

sehingga akan memperberat stenosis pembuluh darah yang mengalamiaterosklerosis.

Peningkatan agregasi platelet terjadi pada pagi hari. Viskositas darah mencapai

puncaknya pada pagi hari. Aktivitas endogenous tissue plasminogen activator sangat

rendah pada pagi hari. Hal ini akan mengubah keseimbangan antara trombosis dan

fibrinolisis sehingga thrombosis menjadi lebih dominan.

Hubungan diabetes melitus dengan kejadian stroke

Penelitian mengenai penyakit ini sudah cukup banyak yang membuktikan bahwa

kasus diabetes melitus yang tidak terdiagnosis, memiliki risiko lebih tinggi akan

mengalami stroke, penyakit jantung koroner, dan penyempitan pembuluh darah perifer

dibandingkan dengan orang non – diabetes. Ada 2 macam komplikasi pada diabetes

melitus, yaitu komplikasi akut dan kronik. Komplikasi kronik terbagi menjadi 2,yaitu

komplikasi vaskuler dan non vaskuler. Komplikasi vaskuler dibagi menjadi 2, yaitu

komplikasi mikrovaskuler (retinopati diabetika, nefropati & neuropati) dan komplikasi

makrovaskuler didasari aterosklerosis (PJK, penyakit arteri koroner, penyakit arteri

perifer &penyakit serebrovaskuler).

Diabetes tipe 2 sangat terkait dengan penyakit makrovaskular. Makroangiopati

diabetik mempunyai gambaran histopatologis berupa aterosklerosis. Gabungan dari

gangguan biokimia yang disebabkan oleh insufisiensi insulin dapat menjadi penyebab

jenis penyakit vaskular ini.Gangguan – gangguan ini berupa penimbunan sarbitol dalam

intima vaskular, hiperlipoproteinemia, dan kelainan pembekuan darah. Pada akhirnya,

makroangiopati diabetik ini akan mengakibatkan penyumbatan vascular. Jika mengenai

arteri – arteri perifer, maka dapat mengakibatkan insufisiensi vaskular perifer yang

disertai klaudikasio intermiten dan gangren pada ekstrimitas serta insufisiensi serebral

dan stroke. Jika terkena adalah arteria koronaria dan aorta, maka dapat mengakibatkan

angina dan infark miokardium.

Wajah merot

13

Page 14: Laporan Tutorial_Sken I_2 kasus kelumpuhan_.docx

Wajah merot pada dasarnya merujuk pada kelumpuhan salah satu syaraf wajah

(mononeuropati)yakni syaraf ke-7 (nervus fascialis). Kelumpuhan ini murni disebabkan

jepitan pada syaraf ke-7 bukan daripenyebab lain seperti pembuluh darah pecah atau

tersumbat. Pada pasien stroke, wajah merot tidak hanya menyebabkan kelumpuhan

pada separuh wajah tetapi juga menyebabkan kelumpuhan separuh bagian badan.

Kelumpuhan ini terjadi akibat adanya himpitan yang menekan serabut syaraf ke-7

sehingga tak bisa menyampaikan impuls dari pusat syaraf pada batang otak. Syaraf

yang bekerja pada wajah sebenarnya ada 12 dengan pusat pada batang otak. Masing-

masing memiliki fungsi berbeda. Syaraf ke-7 memiliki keistimewaan, terdapat serabut

panjang dari dalam tempurung kepala ke luar melalui kanal di bawah telinga menuju

sisi wajah. Panjangnya serabut syaraf ke-7 ini menyebabkannya rentan terjepit atau

tertekan. Bila terjadi gangguan, akan menyebabkan kelumpuhan pada otot-otot wajah

sesisi.Sejumlah keluhan wajah merot juga disertai sakit kepala tidak spesifik.

Umumnya wajah merot tidak disertai keluhan lain seperti rasa kebas, karena syaraf

perasa di wajah dipengaruhi syaraf 5, bukan saraf ke-7. Namun, karena terjadi

kekakuan pada otot wajah, penderitanya merasa sedikit tebal pada kulit wajahnya.

Asalkan ditangani tepat dan tak terlambat, bisa sembuh sempurna. Tepat artinya

ditanganikurang dari 2-4 jam setelah serangan (golden period). Dan tidak dilakukan

pengobatan alternatif atau tindakan tanpa pertimbangan medis. Namun, yang terpenting

lagi penderita wajah merot sebaiknya beristirahat atau mengurangi aktivitas wajah

selama beberapa hari setelah terkena serangan (Weiner HL et al., 2001). Dan segera

berkonsultasi ke dokter syaraf selama masih dalam golden period.Bila pengobatan

dengan obat anti inflamasi atau anti-viral tidak menunjukkan hasil, dan setelah

dilakukan MRI tampak adanya penekanan pada syaraf ke-7, pilihan akhir yang diambil

dokter adalah tindakan operasi dekompresi atau pembebasan tekanan. Namun, ini

adalah pilihan terakhir yang jarang sekali diambil. Setelah lewat fase akut 3-4 hari,

barulah bisa dimulai latihan fisioterapi di depan kaca atau mengunyah permen

karet.Sebaiknya fisioterapi tidak terburu-buru dilakukan, karena memicu terjadinya

nerve sprouting atau syaraf tidak kembali sempurna, atau tumbuh melenceng. Nerve

sprouting bisa menyebabkan timbulnya gerakan tidak terkontrol yang menyertai

maksud gerakan pada wajah. Misalnya,kedutan di wajah.Pada penderita diabetes,

kemungkinan untuk sembuh akan berbeda dengan orang tanpa diabetes. Penderita

diabetes yang terserang wajah merot akan sembuh sekitar 60persen saja, karena

14

Page 15: Laporan Tutorial_Sken I_2 kasus kelumpuhan_.docx

kemampuan penyembuhannya relatif tidak sebaik orang tanpa diabetes.Biasanya

wajahnya masih akan terlihat sedikit mencong (Price et al., 2006).

Diagnosis

1. Anamnesis

Proses anamnesis akan ditemukan kelumpuhan anggotagerak sebelah badan,

mulut mencong atau bicara pelo, dan tidak dapat berkomunikasi dengan baik. Keadaan

ini timbul sangat mendadak, dapat sewaktu bangun tidur, sedang bekerja, ataupun

sewaktu istirahat.

2. Pemeriksaan fisik

Penentuan keadaan kardiovaskular penderita serta fungsi vital seperti tekanan

darah kiri dan kanan, nadi, pernafasan, tentukan juga tingkat kesadaran penderita. Jika

kesadaran menurun, tentukan skor dengan skala koma glasglow agar pemantauan

selanjutnya lebih mudah, tetapi seandainya penderita sadar tentukan berat kerusakan

neurologis yang terjadi, disertai pemeriksaan saraf – saraf otak dan motorik apakah

fungsi komunikasi masih baik atau adakah disfasia. Jika kesadaran menurun dan nilai

skala koma glasglow telah ditentukan, setelah itu lakukan pemeriksaan refleks – refleks

batang otak yaitu :

1. Reaksi pupil terhadap cahaya.

2. Refleks kornea.

3. Refleks okulosefalik.

4. Keadaan (refleks) respirasi, apakah terdapat pernafasan Cheyne Stoke,

hiperventilasi neurogen, kluster, apneustik dan ataksik. Setelah itu tentukan

kelumpuhan yang terjadi pada saraf – saraf otak dan anggota gerak. Kegawatan

kehidupan sangat erat hubungannya dengan kesadaran menurun, karena makin dalam

penurunan kesadaran, makin kurang baik prognosis neurologis maupun kehidupan.

Kemungkinan perdarahan intra serebral dapat luas sekali jika terjadi perdarahan –

perdarahan retina atau preretina pada pemeriksaan funduskopi.

3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan Penunjang pada penyakit stroke.

CT scan merupkan pemeriksaan baku emas pada penyakit stroke.

a. CT Scan  berguna untuk menentukan: 

jenis   patologi 

lokasi  lesi  

ukuran  lesi  

15

Page 16: Laporan Tutorial_Sken I_2 kasus kelumpuhan_.docx

menyingkirkan lesi  non  vaskuler 

b. Pemeriksaan  Penunjang lain  

CT Scan  kepala  

MRI Kepala  

pungsi  lumbal        

neurosonografi 

c. Pemeriksaan  Penunjang Rutin 

laboratorium  

rontgen toraks  

elektrokardiografi 

d. Pemeriksaan  Penunjang Khusus  

bila ada  dugaan kelainan hemostasis  

bila ada  dugaan: penyakit lues,  AIDS,  TB 

elektrokardiografi transtorakal  

angiografi  serebral                  

elektroensefalograf

Pencegahan Stroke

a. Pencegahan primer

Menghindari : rokok, stres mental, alkohol, kegemukan, konsumsi garam

berlebihan, obat-obatan golangan amfetamin , kokain dan sejenisnya

Mengurangi : kolesterol dan lemak dalam makanan

Mengendalikan : hipertensi, diabete melitus, penyakit jantung, penyakit

vaskular aterosklerotik lainnya

Menganjurkan : konsumsi gizi seimbang dan olahraga teratur

b. Pencegahan Sekunder

Modifikasi gaya hidup berisiko stroke dan faktor resiko, misalnya : hipertensi,

diabetes melitus, penyakit jantung aritmia nonvalvular, dislipidemia, berhenti

merokok, hindari alkohol, kegemukan, dan kurang gerak, hiperurisemia, dan

polisitemia

Melibatkan peran serta keluarga seoptimal mungkin

Menggunakan terapi farmakologis

Melakukan tindakan invasif jika diperlukan

3. Bell’s Palsy

16

Page 17: Laporan Tutorial_Sken I_2 kasus kelumpuhan_.docx

Bell’s Palsy atau yang dikenal juga sebagai facial palsy, merupakan penyakit

yang menyerang saraf wajah hingga menyebabkan kelumpuhan otot pada salah satu sisi

wajah. Disfungsi saraf yang terjadi berkaitan dengan motorik wajah, termasuk mimik.

Bell’s Palsy disebabkan oleh kerusakan saraf yang disebabkan oleh radang, penekanan,

atau pembengkakan. Sir Charles Bell (1821) adalah  orang yang pertama meneliti

beberapa penderita dengan wajah  asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan n. fasialis

perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell's pals.

Manifestasi klinik BP khas dengan memperhatikan riwayat penyakit dan gejala

kelumpuhan yang timbul.  Perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa tidak enak pada telinga

atau sekitamya sering merupakan gejala awal yang segera diikuti oleh gejala

kelumpuhan otot wajah berupa :

1. Terjadinya asimetri pada wajah

2. Rasa baal/kebas di wajah

3. Air mata tidak dapat dikontrol dan sudut mata turun

4. Kehilangan refleks konjungtiva sehingga tidak dapat menutup mata

5. Rasa sakit pada telinga terutama di bawah telinga

6. Tidak tahan suara keras pada sisi yang terkena

7. Sudut mulut turun

8. Sulit untuk berbicara

9. Air menetes saat minum atau setelah membersihkan gigi

10. Kehilangan rasa di bagian depan lidah

4. Perbedaan UMN dan LMN

UMN (Upper Motor Neuron) adalah kumpulan-kumpulan neuron motorik yang

berasal dari korteks cerebri dan menjulur ke bawah menjadi beberapa bagian,

diantaranya:

a. Traktus kortikobulbaris

Berkas-berkas serat syaraf ini akan berakhir pada batang otak, tepatnya di Nuclei

nervus kranialis

b. Traktus kortikospinalis

Berkas-berkas serat syaraf ini akan menyilang ke bawah medula oblongata dan

terus turun ke dalam medula spinalis. Bagian ini berakhir pada kornu anterior

medula spinalis (berisi neuron motorik) segmen servikal sampai sacral.

17

Page 18: Laporan Tutorial_Sken I_2 kasus kelumpuhan_.docx

Serabut-serabut kortikospinalis yang melalui pyramid medula oblongata

membentuk traktus piramidalis. Serabut-serabut pada traktus ini merupakan penyalur

gerakan voluntary, terutama gerakan halus, disadari, dan mempunyai ciri tersendiri.

Sedangkan LMN (Lower Motor Neuron) adalah kumpulan-kumpulan neuron

motoric yang mencakup nuclei nervus kranialis dan akson-aksonnya serta sel-sel

kornu anterior medula spinalis dan aksonnya. Serabut-serabut motoric keluar melalui

radiks anterior atau motoric medulla spinalis, dan mempersarafi otot-otot.

Lesi Upper Motor Neuron dapat melibatkan korteks motor, kapsul internal,

materi abu-abu sumsum tulang belakang dan struktur lain dari otak yang dilewati oleh

saluran kortikospinal. Jika UMN rusak peristiwa berikut muncul seperti kerusakan

sumsum tulang, dan paralisis. Hal ini dikarenakan tidak adanya pengaruh inhibitor di

UMN sehingga refleks gerakan tidak dihambat dan terjadi refleks tendon yang

hiperaktif, tidak adnya refleks superfisial, dan munculnya refleks patologis seperti

respon Babinski. Adanya kerusakan UMN menimbulkan refleks patologis yang

positif.

Pasien dikatan mengalami lesi LMN jika saraf motorik antara sumsum tulang

belakang dan otot mengalami kerusakan. Hasil dari lesi LMN ini adalah paralisis otot.

Refleks menghilang dan otot menjadi lemah dan atrofi karena tidak digunakan.

18

Page 19: Laporan Tutorial_Sken I_2 kasus kelumpuhan_.docx

Karena hal inilah refleks fisiologi dikatakan menurun namun tidak ditemui adanya

refleks patologis. kelemahan, paralisis dan atrofi dari area otot merupakan tanda dari

penyakit LMN.

Berikut merupakan perbandingan gejala dari lesi UMN dan LMN

Karakteristik UMN (*) LMN (**)

Kekuatan Perese – Paralisis Perese – Paralisis

TonusMeningkat/ Spastik

Clonus (+)Menurun – Flaccid

Refleks Patologi

(Khususnya Babinski)(+) (-)

Refleks Fisiologi Meningkat Menurun

Atropi Disuse Atropi(+)/ atrofi sangat jelas

terlihat

Fasikulasi Tidak ada

klonus Seringkali ditemukan Tidak ada

Keterangan:

(*) : sinonimnya adalah traktus piramidalis (mengacu pada serabut-serabut

piramidalis medulla), traktus kortikospinalis, dan traktus kortikobulbaris

(**) : sinonimnya sel kornu anterior, sel kornu ventralis, bagian somato-motorik

nervus kranialis, jaras akhir bersama (Price et al, 2005)

Inkontinensia urin

Dalam skenario dikatakan bahwa penderita tidak dapat mengontrol kencingnya

meskipun dalam keadaan sadar, cara bicara tidak jelas, dan wajah merot ke sisi kiri.

Kehilangan atau gangguan fungsi motorik sebagian merupakan akibat lesi dari

mekanisme saraf atau otot, juga, dengan analogi, gangguan fungsi sensorik

(kelumpuhan sensorik). Kelumpuhan motorik dapat dinyatakan sebagai lembek,

dalam kasus lesi neuron motor lebih rendah, atau spastik, dalam kasus lesi neuron

motor atas.

Sistem kemih melakukan tugasnya didukung oleh otot dan saraf yang harus

bekerja sama untuk menahan air kencing dalam kandung kemih dan kemudian

melepaskannya pada saat yang tepat. Saraf membawa pesan dari kandung kemih ke

otak untuk memberi tahu kapan kandung kemih penuh. Saraf tersebut juga membawa

pesan dari otak ke otot kandung kemih untuk mengencangkan atau melepas. Saraf

19

Page 20: Laporan Tutorial_Sken I_2 kasus kelumpuhan_.docx

yang bekerja buruk dapat menyebabkan tiga macam masalah kontrol kandung kemih.

Saraf membawa sinyal dari otak ke kandung kemih dan sfingter.

• Kemih terlalu aktif.

Hal ini terjadi karena saraf yang rusak dapat mengirim sinyal ke kandung kemih

pada waktu yang salah, menyebabkan otot untuk memeras tanpa peringatan.

Gejala-gejala kandung kemih terlalu aktif termasuk :

Kemih berfrekuensi didefinisikan sebagai buang air kecil delapan atau lebih kali

sehari atau dua kali atau lebih di malam hari.

Kencing urgensi-kebutuhan, tiba-tiba buang air kecil dengan kuat dan segera.

Kebocoran urin yang mengikuti dorongan, tiba-tiba yang kuat untuk buang air

kecil.

• Kontrol minimal dari otot sfingter, Sfingter otot mengelilingi uretra dan tetap tertutup

untuk menahan air kencing dalam kandung kemih. Jika saraf ke otot-otot sfingter

yang rusak, otot-otot dapat menjadi longgar dan memungkinkan kebocoran atau tetap

ketat saat ingin membuang urin.

Urin retensi. Bagi beberapa orang, kerusakan saraf otot kandung kemih berarti

mereka tidak mendapatkan pesan bahwa sudah waktunya untuk melepaskan urin atau

terlalu lemah untuk sepenuhnya mengosongkan kandung kemih Jika kandung kemih

menjadi terlalu penuh, urin dapat kembali dan meningkatnya tekanan yang dapat

merusak ginjal.. Atau urin yang tetap terlalu lama dapat menyebabkan infeksi di ginjal

atau kandung kemih. Retensi urin juga dapat menyebabkan inkontinensia overflow

(Shidarta et al., 2008).

5. Sindrom Guillain Barre

Definisi

Guillain-Barre syndrome (GBS) adalah gangguan berupa peradangan pada saraf

perifer. Saraf perifer bertugas menyampaikan informasi sensorik (misalnya : nyeri,

temperatur) dari tubuh ke otak dan diaplikasikan dalam bentuk motorik (yaitu :

gerakan). Guillain-Barre syndrome ditandai dengan kelemahan dan mati rasa atau

kesemutan di kaki dan tangan, juga kesulitan bergerak dan kehilangan rasa di kaki,

lengan, tubuh bagian atas, dan wajah.

Insiden

20

Page 21: Laporan Tutorial_Sken I_2 kasus kelumpuhan_.docx

Insidensi lebih tinggi pada perempuan daripada pria dengan perbandingan 2 : 1,

dan lebih banyak terjadi pada usia muda. Sindrom ini dicirikan oleh kelumpuhan otot

ekstremitas yang akut dan progresif, biasanya muncul sesudah infeksi.

Guillain-Barre Syndrome termasuk langka, frekuensi adalah sekitar 1 hingga 2

kasus per 100.000 orang per tahun di Amerika Serikat. Pria dan wanita, tua dan muda,

bisa saja terkena GBS.

Patologi

Terjadi reaksi inflamasi ( infiltrat ) dan edema pada saraf yang terganggu. Infiltrat

terdiri atas sel mononuclear. Sel-sel infiltrat terutama terdiri dari sel limfosit

berukuran kecil, sedang, dan tampak pula makrofag serta sel polimorfonuklear pada

permulaan penyakit. Setelah itu muncul sel plasma dan sel mast. Serabut saraf

mengalami degenerasi segmental dan aksonal

Patofisiologi

21

Page 22: Laporan Tutorial_Sken I_2 kasus kelumpuhan_.docx

Limfosit bermigrasi ke endoneural dank e sekitar serat saraf, tetapi pada tahap ini

selubung myelin dan akson belum mengalami kerusakan

Pada tahap selanjutnya, limfosit mulai lebih banyak bermigrasi, dan sel makrofag

sudah mulai muncul, begitu juga dengan fenomena demilelinasi, dan pada tahap ini

selubung myelin sudah mengalami kerusakan sedangkan akson belun juga mengalami

kerusakan.

Selanjutnya, pada fase ke 3, sudah terjadi kerusakan selubung myelin begitu

juga dengan akson. Kromatolisis sudah terjadi dan badan sel saraf terlibat begitu juga

dengan otot yang mengalami atrofi

Dan terakhir, kerusakan aksonal mulai meluas, beberapa daraf telah rusak

permanen, tetapi ada beberapa fungsi yang masih bisa dipertahankan. Pada tahap ini

respon tubuh kita terhadap suatu impuls mulai berkurang, karena penghantaran impuls

sudah terjadi gangguan.

Etiologi

Guillain-Barre syndrome tidak diturunkan ataupun menular. Apa yang

menyebabkan GBS tidak diketahui, namun pada sekitar separuh dari semua kasus

awalnya dikarenakan infeksi virus atau bakteri, seperti :

Campylobacteriosis (biasanya dari mengkonsumsi unggas dimasak)

22

Page 23: Laporan Tutorial_Sken I_2 kasus kelumpuhan_.docx

Flu (influenza), common cold Flu (influenza)

Gastrointestinal virus infeksi

HIV

Infeksi mononukleosis

Porfiria (penyakit langka dari sel-sel darah merah)

Viral Hepatitis

Sejumlah kecil kasus, terjadi setelah prosedur medis, seperti operasi kecil.

Dahulu, sindrom ini diduga disebabkan oleh infeksi virus. Tetapi akhir-akhir ini

terungkap bahwa ternyata virus bukan sebagai penyebab. Teori yang dianut sekarang

ialah suatu kelainan imunobiologik, baik secara primary immune response maupun

immune mediated process.

Guillain-Barre syndrome mungkin merupakan gangguan autoimun dimana tubuh

menghasilkan antibodi yang merusak selubung myelin yang mengelilingi saraf

perifer. Selubung mielin adalah zat lemak yang mengelilingi akson. Ini

meningkatkan kecepatan sinyal di sepanjang perjalanan saraf.

Dua pertiga penderita berhubungan dengan penyakit infeksi atau kejadian akut.

Interval antara penyakit yang mendahului dengan awitan biasanya antara 1-3 minggu ;

pada beberapa kasus dapat lebih lama. Pada umumnya sindrom ini sering didahului

oleh influenza atau infeksi saluran nafas bagian atas atau saluran pencernaan.

Penyebab infeksi pada umumnya virus dari kelompok herpes. Sindrom ini dapat pula

didahului oleh vaksinasi, infeksi bakteri, gangguan endokrin, tindakan operasi,

anastesi, dan sebagainya.

Gambaran klinik

23

Page 24: Laporan Tutorial_Sken I_2 kasus kelumpuhan_.docx

Tanda dan gejala kelemahan motorik terjadi dengan cepat, tetapi progresifitasnya

akan berhenti setelah berjalan 4 minggu. Lebih kurang 50% akan terjadi kelemahan

menjelang 2 minggu, 80% menjelang 3 minggu, dan lebih dari 90% selama 4 minggu.

Gejala pertama GBS biasanya mati rasa atau kesemutan (paresthesia) di jari-jari

kaki dengan kelemahan progresif di lengan dan kaki selama beberapa hari berikutnya.

Beberapa pasien mengalami paresthesia hanya di kaki dan tungkai, yang lainnya

hanya mengalami gejala pada satu sisi tubuh.

Gejala-gejala dapat menyebabkan kesulitan berjalan, sehingga membutuhkan

tongkat. Namun, terkadang penyakit bersifat progressif, sehingga untuk menyebabkan

kelumpuhan pada lengan dan kaki. Kelumpuhan dapat ringan dan terbatas pada kedua

tungkai saja, dan dapat pula terjadi paralisis total keempat anggota gerak yang terjadi

secara cepat, dalam waktu kurang dari 72 jam. Keadaan ini disebut sebagai ascending

paralysis atau ascending Landry’s paralysis. Kelumpuhan lalu berlanjut hingga dada

dan membuat kaku otot-otot pernapasan, dan membuat pasien bergantung pada

ventilator. Jika otot menelan juga terkena, perlu dipasang NGT.

Kelumpuhan terjadi secara simetris, lebih dari satu anggota gerak, jarang yang

asimetris. Gangguan sensorik pada umumnya ringan. Sensibilitas dalam biasanya

lebih terpengaruh. Hipotoni dan hiporefleksi selalu ditemukan.

Nervi kraniales dapat terkena. Kelemahan otot wajah terjadi pada 50% kasus dan

sering bilateral. Saraf kraniales lainnya dapat pula terkena, khususnya yang mengurus

lidah, otot-otot menelan, dan otot-otot motorik ekstra-okular. Terlibatnya nervi

kraniales dapat merupakan awal sindrom Guillain-Barre.

Fungsi saraf autonom dapat pula terganggu. Takikardia, aritmia jantung, hipotensi

postural, hipertensi, atau gejala-gejala gangguan vasomotor dapat melengkapi gejala

dan tanda klinik sindrom Guillain-Barre.

Proses penyembuhan biasanya mulai setelah 2-4 minggu terhentinya progresivitas

klinik. Namun demikian proses penyembuhn bisa tertunda selama 4 bulan. Secara

klinis banyak penderita yang sembuh secara fungsional. Pada umumnya pemeriksaan

ENMG masih menunjukkan kelainan.

Diagnosis

Karena gejala yang bervariasi dan penyebabnya tidak diketahui, GBS bisa sulit

untuk didiagnosa, tetapi ada 3 kriteria diagnosis untuk GBS ini, yaitu :

Lumbar puncture (spinal tap). Pasien diberi obat bius lokal. Setelah itu tusukan

jarum diantara dua tulang belakang bagian bawah (lumbal) dan sampel cairan

24

Page 25: Laporan Tutorial_Sken I_2 kasus kelumpuhan_.docx

serebrospinal diambil. Tingkat protein yang tinggi tanpa peningkatan jumlah sel darah

putih (leukosit) dalam cairan adalah karakteristik GBS.

Pada cairan serebrospinal (CSS) didapatkan kadar protein yang tinggi, kadang-

kadang dapat sampai 1000 mg%; hal demikian ini tidak sesuai dengan jumlah sel

dalam CSS yang dapat dikatakan tidak mengalami perubahan. Keadaan demikian ini

disebut disosiasi sel-albumin ( albumino-cytologic dissociation ), dan mencapai

puncak-nya pada minggu ke 4-6. Peningkatan protein ini diduga sebagai akibat

inflamasi yang luas.

Electromyogram (EMG). Adalah alat diagnostik efektif karena dapat merekam

aktivitas otot dan dapat menunjukkan hilangnya impuls pada saraf yang dikarenakan

proses respon saraf yang lambat.

Kecepatan konduksi saraf (NCV)-Tes ini dilakukan dengan EMG, dilakukan

bersama-sama, dan sering disebut sebagai EMG / NCV. NCV mencatat kecepatan

perjalanan sinyal di sepanjang saraf. Akan ditemukan sinyal yang melambat pada

GBS.

Laboratorium

Pada pemeriksaan darah tepi bisa diperoleh hasil normal ataupun mungkin

memperlihatkan tanda-tanda radang akut berupa leukositosis.

Terapi

GBS dianggap sebagai darurat medis dan kebanyakan pasien dirawat di rumah

sakit segera setelah diagnosis. Jika napas pasien tampaknya berisiko, ia biasanya

dikelola dalam unit perawatan intensif (ICU).

Untuk yang sindrom Guillain-Barre dapat dikatakan tidak ada drug of choice.

Yang diperlukan adalah kewaspadaan terhadapan kemungkinan memburuknya situasi

sebagai akibat perjalanan klinik yang memberat sehingga mengancam otot-otot

25

Page 26: Laporan Tutorial_Sken I_2 kasus kelumpuhan_.docx

pernafasan. Apabila terjadi keadaan demikian ini, maka penderita harus segera

dirawat di ruang perawatan intensif.

Kebanyakan pasien dengan GBS dan CIDP diberi plasmapheresis atau

imunoglobulin. Manfaat kortikosteroin untuk sindrom Guillain-Barre masi

controversial. Namun demikian, apabila keadaan menjadi gawat akibat terjadinya

paralisis otot-otot pernafasan maka kortikosteroid dosis tinggi dapat diberikan.

Pemberian kortikosteroid ini harus diiringi dengan kewaspadaan terhadap efek

samping yang mungkin terjadi.

Roboransia saraf dapat diberikan, terutama secara parenteral. Apabila terjadi

kesulitan mengunyah dan/atau menelan, sebagai akibat kelumpuhan otot-otot wajah

dan menelan, maka perlu dipasang NGT untuk dapat memenuhi kebutuhan makanan

dan cairan.

Plasmaferesis untuk beberapa penderita dapat memberi manfaat yang besar,

terutama untuk kasus yang akut. Di Negara-negara barat, plasmaferesis mulai sering

dilakukan; namun demikian belum diperoleh kesimpulan yang pasti. Pasien yang

cepat didiagnosis GBS, responnya sangat baik terhadap plasmapheresis. Dalam

prosedur ini, darah ditarik dan melewati serangkaian filter yang memisahkan berbagai

jenis sel darah. Sel-sel ini kemudian disuspensikan atau disintesis dan kembali ke

tubuh pasien. Plasma pasien dibuang.

Plasmapheresis digunakan untuk menghilangkan zat yang dapat merusak mielin.

Sehingga ini dapat mempersingkat jalannya GBS, meringankan gejala, dan dapat

mencegah kelumpuhan.

Pengobatan dengan cara lain, misalnya dengan immunoglobulin dan

immunomodulating pernah dicoba,tetapi hasilnya masih diragukan. Terlepas dari obat

apa yang diberikan, maka perawatan terhadap penderita sindrom Guillain-Barre harus

tetap prima.

Immunoglobin dosis besar yang diberikan secara intravena dapat membantu

mempersingkat durasi gejala. Pengobatan ini sama efektifnya dengan plasmapheresis.

Immunoglobulin lebih disukai dibandingkan dengan plasmapheresis karena tidak

memerlukan pemasangan kateter vena besar.

Secara keseluruhan, sekitar 70% dari pasien memberikan respon terhadap

plasmapheresis atau immunoglobin.

26

Page 27: Laporan Tutorial_Sken I_2 kasus kelumpuhan_.docx

Otot dan nyeri sendi dapat diobati dengan analgesik seperti aspirin. Jika perlu,

obat nyerilebih kuat (misalnya, acetaminophen dengan xanax) dapat diberikan.

Kejang otot dapat dikontrol dengan relaksan seperti diazepam (Valium ®).

Masalah sensorik yang tidak menyenangkan, seperti kesemutan yang

menyakitkan, dapat diobati dengan antidepresan trisiklik atau antikonvulsan seperti

gabapentin (Neurontin ®).

Kortikosteroid, efektif mengobati gejala gangguan autoimun, tetapi sebaiknya

tidak digunakan pada GBS karena sebenarnya memperburuk. Tetapi apabila

plasmaparesis maupun immunoglobulin tidak dapat memberikan hasil, kortikosteroin

bisa dicoba.

Terapi Fisik

Sebelum masa pemulihan dimulai, pelatih menggerakkan tangan dan kaki pasien

untuk mencegah kekakuan. Setelah gejala mereda, tim rehabilitasi akan memberikan

resep latihan aktif rutin untuk membantu mendapatkan kembali kekuatan otot dan

mengembalikan kemandirian. Pelatihan dengan perangkat adaptif, seperti kursi roda,

memberikan mobilitas pasien juga diperlukan.

Hidroterapi

Terapi Whirlpool (hidroterapi) dapat membantu meringankan rasa sakit dan

berguna dalam pelatihan kembali gerakan anggota badan yang terkena.

Konseling

Konseling sering disarankan untuk membantu pasien yang didiagnosis dengan

GBS atau CIDP agar membantu mereka merasa positif tentang pengobatan dan

pemulihan yang sedang dilakukan

Prognosis

Pasien yang memiliki sindrom Guillain-Barre dapat tetap berada di rumah sakit

selama beberapa bulan dan pemulihan dapat memakan waktu selama satu tahun atau

lebih, dengan kecepatan bervariasi. Kebanyakan pasien kira-kira 90& dengan GBS

sembuh sepenuhnya, namun beberapa memiliki kelemahan sisa, mati rasa, dan nyeri

sesekali. Sejumlah kecil pasien tidak mampu untuk melanjutkan kegiatan normal

mereka sehari-hari atau pekerjaan.

Apabila terjadi paralisis otot-otot pernafasan maka prognosis akan lebih buruk.

Hal demikian ini akan lebih diperburuk lagi apabila rumah sakit tidak mempunyai

fasilitas perawatan yang memadai.

27

Page 28: Laporan Tutorial_Sken I_2 kasus kelumpuhan_.docx

Kurang dari 5% pasien GBS mati. Kematian biasanya akibat dari komplikasi

kardiovaskular atau pernafasan. Kematian akibat polyradicalneuropathy demielinasi

kronis inflamasi (CIDP) jarang terjadi.

Prognosis akan lebih baik apabila usia penderita lebih muda, selama sakit tidak

memerlukan pernafasan bantuan, perjalanan penyakit yang lebih lambat, dan tidak

terjadi kelumpuhan total.

28

Page 29: Laporan Tutorial_Sken I_2 kasus kelumpuhan_.docx

BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

1. Diagnosis yang paling mendekati terhadap keluhan pasien pada skenario 1 adalah

stroke dan pada skenario 2 adalah Guillain Bare Syndrom

2. Stroke merupakan penyakit komplikasi akibat dari penyakit lain contohnya

diabetes mellitus dan atherosclerosis . Guillain Bare Syndrom merupakan penyakit

idiopatik atau penyakit demyelinisasi akibat infeksi bakteri.

B. Saran

1. Perlu segera dilakukan penatalaksanaan yang tepat untuk memperbaiki kondisi

dan kualitas hidup pasien

2. Edukasi kepada pasien tentang gaya hidup yang baik untuk mencegah pasien dan

keluarga dari stroke dan penyakit lainnya.

C.

29

Page 30: Laporan Tutorial_Sken I_2 kasus kelumpuhan_.docx

DAFTAR PUSTAKA

Anonim 1. 2007. Hipertensi Baru. http://www.elexmedia.co.id/pdf/EMK170070981%20-

%20Hipertensi.pdf (diakses tanggal 28 November 2012)

Bani, A. P. dan Sikumbang, T. M. N. 2003. Biokimia Harper. Jakarta : EGC. pp: 797

Dorland, W.A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC.

Hartanto, H., Koesoemawati, H., Salim, I.N., Setiawan, L., Valleria, Suparman, W. (eds).

2006. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta : EGC. pp: 401, 980, 982

Japardi, I. 2002. Patofisiologi Stroke Infark Akibat Tromboemboli.

http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi31.pdf (28 November

2012)

Mahanani, D.A., Hartanto, H., Susi, N., Wulansari, P. (eds). 2006. Patofisiologi Konsep

Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 2 Edisi 6. Jakarta : EGC. pp: 1106-1132

Mansjoer, A., Suprohaita, Wardhani, W. I., dan Setiowulan, W. (eds). 2000. Kapita Selekta

Kedokteran Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta: Media Aesculapius.

Mardjono, M. dan Sidharta, P. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat. pp: 269-

301

Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi:Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6

Volume 2. Jakarta: EGC

Sidharta, P. 2008. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Jakarta: Dian Rakyat.

Sumber: http://digilib.unimus.ac.id

Wulandari, N., Hartanto, H., Darmaniah, N.(eds). 2007. Buku Ajar Patologi Robbins Volume

2 Edisi 7. Jakarta : EGC. pp: 366-386, 904-916.

www.strokebethesda.com diakses pada tanggal 2 Desember 2012 12:58

30