laporan tutor skenario 2 kgd
DESCRIPTION
KESEHATANTRANSCRIPT
BAB I
KASUS
‘’ BENCANA BINTARO’’
Sepuluh menit yang lalu, anda mendapatkan telepon bahwa akan ada pasien
datang dengan kecelakaan kereta api. Tidak lama kemuduian Ambulan datang ke IGD
SUMBER WARAS dengan membawa korban kecelakaan kereta api. Sesampainya di RS
dilakukan pengkajian oleh petugas Triage, didapatkan hasil pengkajian seperti berikut :
a. Mr. Bron, 52 tahun terdapat open fraktur femoral sinistra, GCS 3 4 3, hemorrage
pada daerah luka, deformitas, crepitasi pada os tibia sinistra, laserasi klavikula
sinistra, sprain pada deltoideus sinistra. Cyanosis dan akral dingin pada daerah
ekstermitas, CRT > 3 detik. TTV : TD= 100/70 mmhg, N = 122x/mnt, RR = 32x/mnt,
suhu = 35,3C.
b. Ms. Sarly, 33 tahun didapatkan amputasi pada 3 jari sinistra pada angkle dextra,
GCS 222, terdengan snoring, racoon eyes, klien mengalami shock hipovolemik
dengan tanda TTV TD : 70/45 mmhg, N= 74x/mnt, RR = dispnea, palpitasi,
bradikardi, perdarahan dari area ankle, retraksi intercostea, S 35,3 C, akral dingin
dengan cyanosis, laserasi pada temporal dextra, hasil ABG abnormal.
c. Mr. El, 35 tahun terdapat vulnus laceratum, hemorragi dan sprain pada Achilles
sinistra dan ligament talo fibular posterior, sedangkan extermitas dextra terdapat
strain area hamstring, contusio, edema, GCS 4 5 6, TD : 140/90, N : 102x/mnt, RR :
30x/mnt, S : 35,2 C, skala nyeri 9, grimace +.
d. Ms. Dil 21 tahun berteriak mengeluhkan adanya nyeri pada area ankle, terdapat
deformitas, contusion, tenderness, instability, pada area ankle extremitas dextra.
GCS 4 5 6, akral hangat, edema (-), skala nyeri ±7, N : 120x/mnt, CRT 2 detik, TD :
130/80 mmhg, RR : 36,9C, fraktur (-).
1
Daftar Pertanyaan
Kata Sulit :
1. Open fraktur femoral sinistra
2. Hemorrage
3. Deformitas
4. Krepitasi Os Tibia Sinistra
5. Laserasi klavikula sinistra
6. Vulnus laseratum
7. Sprain
8. Contusion
9. Tenderness
10. Racoon eyes
11. Snoring
12. Retraksi intercostea
13. Palpitasi
14. Shock hypovolemic
15. Ligament talo fibular posterior
16. Instability
17. Hamstring
18. Ankle extremitas dextra
2
Daftar Pertanyaan kasus
1. Apa saja penanganan fraktur, multiple fraktur, amputasi, dislokasi , nyeri,
perdarahan, cidera ligament, dispnea, bradikardi, strain,
2. Bagaimana tanda gejala fraktur, dislokasi, amputasi, strain?
3. Apa saja prinsip dan tujuan penanganan fraktur?
4. Apa saja pemeriksaan penunjang pada fraktur?
5. Mengapa pada kasus fraktur bisa terjadi sianosis ekstermitas?
6. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi?
7. Bagaimana klasifikasi Trias di Rumah sakit?
8. Bagaimana prognosis pada kasus?
9. Apa saja kesulitan yang dialami perawat UGD dalam menangani pasien?
10. Mengapa bisa terjadi snoring ( kasusu 2)?
11. Pada kasus 2, apa penyebab ABG yang abnormal?
Bagaimana nilai norman ABG?
12. Bagaimana algoritma pada setiap kasus?
13. Apa saja Pengkajian yang dilakukan di perawatan gawat darurat?
14. Apa saja diagnose dan intervensi keprawatan musculoskeletal pada kasus?
BAB II3
PEMBAHASAN
Jawaban Kata Sulit :
1. Open fraktur femoral sinistra :
1) Fraktur dimana terdapat hubungan fragme fraktur dengan dunia luar, baik
ujung fragmen fraktur tersebut yang menembus dari dalam hingga
kepermukaan kulit atau kulit dipermukaan yang mengalami penetrasi suatu
objek yang tajam dari luar hingga kedalam ( Salter, 1994).
2) Golden period fraktur terbuka ketika waktu yang optimal untuk bertindak
sebelum 6-7 jam dari kecelakaan (Muchlik Ramli, 2002).
2. Hemorrage :
1) Kebocoran darah dari pembuluh dara atau perdarahan (Dorland, 2012).
2) Kondisi dimana terjadi perdarahan yang banyak dalam waktu singkat (Alton,
2009).
3. Deformitas :
1) Perubahan bentuk tubuh atau bagian tubuh secara umum (Dorland, 2012).
2) Penyimpangan struktural permanen dari bentuk atau ukuran normal, yang
menghasilkan suatu kesalahan bentuk, dapat bersifat kongenital atau didapat
(Stedman, 2005).
4. Krepitasi Os Tibia Sinistra :
1) Pada saat ekstermitas dikaji di periksa dan tangan meraba adanya derik tulang
(Barh, 2003).
2) Suara berderak, seperti bila kita menggesekkan ujung-ujung tulang yang patah
yang terjadi pada os tibia sinistra yaitu tulang tungkai di bawah lutut sebelah
dalam dan yang berukuran lebih besar pada bagian kiri ( Dorland, 2012).
4
5. Laserasi klavikula sinistra :
Luka yang disebabkan oleh robekan, bukan bentuk yang teratur seperti sayatan
bedah. Laserasi biasanya hanya merujuk pada luka kulit yang cukup dalam sehingga
memerlukan jahitan (Kamus kesehatan, 2009).
6. Vulnus laseratum : Vulnus laceratum adalah terjadinya gangguan kontinuitas
suatu jaringan sehingga terjadi pemisahan jaringan yang semula normal, luka robek
terjadi akibat kekerasan yang hebat sehingga memutuskan jaringan ( Narendra,
2013).
7. Sprain : Cedera pada ligamen jika sendi mengalami gerakan luaas yang
lebih besar daripada normal, tetapi tanpa dislokasi atau fraktur, menyebabkan
regangan pada sendi ( Stedman, 2005).
8. Contusion : Memar atau keadaan cedera yang terjadi pada jaringan ikat di
bawah kulit ( Barh, 2003).
9. Tenderness : Keadaan sangat sensitive terhadap sentuhan atau tekanan
(Dorland, 2012).
10. Racoon eyes : Ekimosis bilateral di daerah periorbital yang timbul tidak akibat
dari trauma jaringan lunak muka. Biasanya raccoon eyes ini merupakan indikator
dari fraktur basis cranii, yang terjadi ketika fraktur mengenai meningens dan
mengakibatkan sinus-sinus vena berdarah ke vili arakhnoid. Racoon eyes ini bisa
jadi merupakan satu-satunya tanda dari fraktur tulang tengkorak yang tidak terlihat
di foto roentgen tengkorak.Jika ditemukan tanda ini, butuh pendekatan klinis
secepatnya sebab fraktur basis cranii dapat mengakibatkan cedera nervus cranial,
pembuluh darah dan batang otak (Kamus kesehatan, 2012).
11. Snoring : gejala adanya sumbatan jalan napas dan menyebabkan
terganggunya masuknya udara oleh karena penyempitan jalan napas ( Damayanti,
2007).
12. Retraksi intercostea : Menyusut, ditarik kembali atau memisahkan. Pada interval
antara iga-iga, ditempati oleh muskulus, nervus, arteria dan vena intercostalis
(Stedman, 2005).5
13. Palpitasi : Perasaan berdebar-debar atau denyut jantung tidak teratur yang
sifatnya subjektif (Dorland, 2012).
14. Shock hypovolemic : Kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan
cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ (Kamus
kesehatan, 2009).
15. Ligament talo fibular posterior : Ligamen yang mengikat antara tulang talus dan
fibula bagian posterior (Dorland, 2011).
16. Instability : ketidakstabilan karena adanya suatu perubahan
17. Hamstring : Tendon yang melintas pada daerah poplitea / 3 buah otot
pada paha bagian posterior yang terdiri dari biceps femoris, semitendinosus,
semimembranosus (Kamus keperawatan Maya W.).
18. Ankle extremitas dextra :
a. Ekstremitas : anggota gerak
Ankle : sendi tibia dan fibula pada tungkai dengan talus pada kaki
Dextra : bagian kanan (Mosby, 2009).
6
Jawaban Pertanyaan :
1. Penanganan dan jenis fraktur :
A. Penanganan fraktur terbuka
a. Life saving
Dalam hal ini, menjelaskan bahwa semua penderita patah tulang terbuka harus
diingat sebagai penderita dengan kemungkinan besar mengalami cedera
ditempat lain yangn serius. Hal ini ditekankan untuk mengingat bahwa
terjadinya patah tulang tidak hanya berakibat total tetapi multi organ. Yang
harus ditegakkan dan ditangani terlebih dahulu dalam hal ini adalah yang
mengancam jiwa, berupa airway, breathing dan circulation.
b. Semua patah tulang terbuka adalah yang memerlukan penanganan segera,
meliputi pembidaian, menghentikan perdarahan dengan perban tekan,
menghentikan pendarahan dengan klem.
c. Pemberian antibiotika
Mikroba yang ada pada patah tulang terbuka sangan bervariasi, tergantung dari
dimana patah tulang itu terjadi. Pemberian antibiotika yang tepat sukar
ditentukan, tetapi sebaliknya antibiotika dengan spektrum luas untuk kuman
gram positif maupun negatif.
d. Debridement dan irigasi
Debridement Untuk membuang semua jaringan mati pada darah patah terbuka,
baik berupa benda asing maupun jaringan lokal yang mati. Irigasi bertujuan
untuk mengurangi kepadatan kuman dengan cara mencuci luka dengan larutan
fisologis dalam jumlah banyak baik dengan tekanan maupun tanpa tekanan.
e. Stabilisasi
Untuk penyembuhan luka dan tulang sangat diperlukan stabilisasi fragmen
tulang, cara stabilisasi tulang tergantung pada derajat patah tulang terbukanya
dan fasilitas yang ada.
7
f. Penutup luka
Penutup luka primer dapat dipertimbangkan, pada patah tulang derajat I dan II
tidak dianjurkan penutupan luka pprimer. Hanya saja kalau memungkinkan,
tulang yang nampak diusahakan ditutup dengan jaringan lunak (otot) untuk
memperkuat hidupnya.
g. Rehabilitasi dini
Perlu dilaksanankan sebab dengan demikian maka keadaan umum penderita
akan sangat baik dengan fungsi anggota gerak yang diharapkan kembali secara
normal.
Fraktur tertutup
a. Pertolongan darurat
Pemasangan bidai, indikasi untuk:
1) Mencegah kerusakan jaringan lebih lanjut
2) Mengurai rasa nyeri
3) Menekan kemungkinan terjadinya emboli dan syok
4) Memudahkan transportasi dan penganbilan foto
b. Pengobatan definitif
Reposisi secara tertutup
1) Memanipulasi secara tertutup untuk mereposisi terbatas hanya pada patah
tulang tertentu
2) Traksi dengan melakukan tarikan ekstremitas bagian distal Imobilisasi
3) Gibs
8
4) Traksi secara continue
5) Reposisi secara terbuka
Melakukan reposisi kemudian imobilisasi dengan menggunakan fiksasi
interna berupa plat, pen dan kawat.
c. Rehabilitasi
Tujuan umum:
1) Mempertahankan ruang gerak sendi
2) Mempertahankan kekuatan otot
3) Mempercepat proses penyembuhan fraktur
4) Mempercepat pengambilan fungsi penderita (Mutakim, 2007)
B. cidera pada ligament :
Cedera ini tidak dipandang sendiri karena berhubungan dengan fraktur
maleolus. Penatalaksanaanya :
1. Penting untuk membedakan robek ligamen sebagian (terkilir) dari robek
ligamen keseluruhan. Hal ini merupakan masalah pertimbangan klinis
didasarkan pada tingkat nyeri, pembengkakan, kelembekan, dan
ketidakstabilan.
2. Jika ada robekan keseluruhan, memerlukan pengobatan bedah seperti cedera
fraktur yang tidak stabil.
3. Robekan sendi tibia fibula inferior melebarkan pembukaan sambungan sendi
kaki (diastasis), ini dapat menyebabkan ketidakstabilan kronik dan
menyebabkan pertumbuhan osteo artrosis sekunder. Keadaan ini dapat
dicegah dengan memasukkan sekurp kompresi melintang melalui fibula
kedalam tibia tepat diatas pelebaran maleolus lateralis dan memperbaiki
ligamen medial.9
4. Hematom dan pembengkakan yang besar sejak semula harus dikurangi
dengan memasukkan penderita ke rumah sakit. Mengangkat tungkai dengan
memasang pembalut kompresi berulang.
5. Robekan ligamen keseluruhan, dan sendirian harus diobati dalam plester
yang dilewatkan dibawah lutut, yang berupa bantalan ringan dan sesuai
ukuran.
6. Robekan ligamen sebagian atau terkilir dapat juga diatasi dengan plester,
asalkan dipasang dengan benar. Kaki harus ditempatkan pada arah yang
berlawanan dari kaki yang cedera. Pengikatan harus dipertahankan selama
tiga minggu (Stedman, 2005).
7. Di berikan pertolongan RICE:
a. R : rest adalah istirahatkan pada bagian yang ceera
b. I : adalah dinginkan dengan ice pada bagian yang cedera sekitar 10-15
menit
c. C : compres adalah balut tekan pada bagian yang ceera dengan bahan
yang elastis.
d. E : adalah di tinggikan bagian yang cedera ( Chairun rajad, 2008)
C. Amputasi :
Criteria amputasi :
1. Penyakit-penyakit perifer
2. Kecelakaan-kecelakaan
3. Infeksi
4. Tumor ganas yang belum bermetastasis
5. Kelainan congenital.
10
Tindakan segera perlu pada amputasi untuk kasus kecelakaan; gangrene
progresif meluas pada ekstermitas; dan infeksi yang mengancam
kehidupan (Purwandianto, 1979).
Cara menangani amputasi :
Pada korban kecelakaan kerja atau kecelakaan lalu lintas dimana terjadi
terpotongnya jari tangan, telapak tangan, pergelangan tangan, perlu
diperhatikan perawatan potongan tangan tersebut.
a. Potongan tangan dibersihkan dari kotoran dengan NaXl atau air bersih,
potongan tangan dibungkus dengan kain bersih/ kassa dan dimasukan
kedalam kantong plastic, kemudian udara kantong plastic dikeluarkan dan
diikat
b. Kantong plastik yang sudah diikat dimasukkan kedalam tempat yang berisi
balok-balok es. Dengan teknik pendinginan ini dapat diharapkan terjadi
cold ischaemic sehingga dapat memperpanjang masa penyambungan
kuranglebih 24 jam dengan hasil yang baik
c. Setelah semua tersebut diatas dilakukan, penderita kemudian dikirim ke
rumahsakit dengan menggunakan alat transportasi yang memadahi
(ambulans). (Ramli, 2002)
d. Semua cedera TEA harus dipertimbangkan berpotensimengancam nyawa,
dan protocol bantuan hidup trauma/jantung lanjut (ATLS/ACLS) harus
cepat dilakukan. Usaha resusitasi harus agresif, dan survey primer dan
sekunder secara lengkap harus diselesaikan tepat waktu dan efisien.
Konsultasi bedah on-site harus diperoleh secepat mungkin
e. Penyambungan kembali dan revaskularisasi seringkali tidak diindikasikan,
terutama jika pada cedera avulsi atau remuk berat yang mengenai banyak
jaringan dan luka sangat terkontaminasi. Pemendekan ekstermitas setelah
penyambungan kembali dapat menimbulkan kecacatan yang lebih berat
daripada penggunaan prostetik yang tepat pascacidera, meskipun
11
kenyataan ini mungkin tidak diterima secara mudah oleh pasien dan
keluarganya pada periode segera setelah terjadinya cedera ( Ramli, 2002).
D. Penanganan multiple fraktur :
a. Cervical collar ( trauma kepala)
b. Traksi ( mereposisi dan mengimobilisasi fraktur)
c. Gips ( imobilisasi deformitas, dislokasi, fiksasi fraktur yang telah direduksi,
serta kondisi trauma lainnya)
d. Bidai ( fiksasi fraktur)
e. Pemberian terapi cairan pada kondisi hipovolemik
f. Pemberian analgesic dan antibiotic.
g. Sinar Rontgent : menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma
h. Bone graft: Penempatan jaringan tulang untuk mempercepat penyembuhan,
stabilisasi dan mengganti tulang yang terkena penyakit.
i. Total Joint Replacement: mengganti kedua artikular sendi dg logam/sintetik.
j. Transfer tendon: Insersi tendon untuk memperbaiki fungsi ( Wilkinson,
2006).
E. Penanganan strain dan sprain
(a) Sprain/strain tingkat satu
Pada keadaan ini, bagian yang mengalami cedera cukup diistirahatkan untuk
memberi kesempatan regenerasi.
(b) Sprain/strain tingkat dua
Pada keadaan ini penanganan yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip
RICE (Rest,Ice, Compession and Elevation). Tindakan istirahat yang dilakukan
sebaiknya dalam bentuk fiksasi dan imobilisasi (suatu tindakan yang
diberikan agar bagian yang cedera tidak dapat digerakan) dengan cara balut
12
tekan, spalk maupun gibs. Tindakan imobilisasi dilakukan selama 3-6
minggu. Terapi dingin yang dilakukan dilakukan pada fase awal cedera. Pada
fase lanjut terapi dingin digantikan dengan terapi panas. Pada keadaan
subkronis dimana tanda tanda peradangan sudah menurun dilakukan terapi
manual berupa massage. Pada fase akhir dapat dilakukan terapi latihan
untuk memaksimalkan proses penyembuhan.
(c) Sprain/strain tingkat tiga
Pada keadaan ini, penderita diberi pertolongan pertama dengan metode
RICE dan segera diikirim kerumah sakit untuk dijahit dan menyambung
kembali robekan ligamen, otot maupun tendon.
F. Penanganan nyeri pada kasus :
a. Melakukan imobilisasi secara cepat dan tepat.
b. Pemberian kompres dingin pada daerah yang mengalami pebengkakan.
c. Melakukan teknik distraksi dan relaksasi pada nyeri yang berskala rendah.
d. Pemberian analgesic (buprenorphine 0,4 mg sublingual atau morfin 5 mg,
Opioid, obat anti-inflamasinon-steroid (NSAID), dan acetaminophen) ( Jalili,
2011).
G. Penanganan dispnea dan bradikardi :
Penanganan dypsnea , yaitu ;
Mengurangi sensasi usaha dan meningkatkan fungsi otot pernapasan
b. Penghematan energy
c. Strategi bernapas (purse lip breathing)
d. Posisi (misalnya bersandar)
e. Koreksi obesitas atau malnutrisi
f. Latihan otot pernapasan
13
g. Mengistirahatkan otot inspirasi (nasal ventilation, oksigen transtrakeal)
h. Obat (misalnya teofilin) (Paul, 2008).
H. Mengatasi perdarahan
a. Hentikan perdarahannya.
b. pemberian oksigen dan perbaiki jalan nafas.
c. Berikan terapi cairan/ obat-obatan intravena : cairan fisiologis atau ringer
laktat dan transfuse darah.
d. Monitor volume sirkulasi melalui :
1. Kesadaran
2. TTV
3. Kondisi ekstremitas
4. Jumlah output urine yang keluar.
5. Pemeriksaan elektrolit dan hematokrit (Paula, dkk, 2011).
2. Tanda dan gejala
Jenis – jenis fraktur :
a. Fraktur tertutup, yaitu suatu patah tulang bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar.
b. Fraktur terbuka, yaitu suatu patah tulang bila terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan (Mutakim, 2007).
14
1) Tanda gejala fraktur :
Dikenal dengan sebutan DOTS :
a. D ( deformity) : adanya perbedaan antara bagian yang mengalami cidera
dengan bagian lain yang sehat.
b. O ( open wound) : ada luka terbuka yang disebabkan karena trauma.
c. T ( tenderness) : adanya nyeri tekan di daerah trauma.
d. S ( swelling) : adanya pembengkakan di daerah trauma ( Alton, 2009)
Menurut Rahmad, 2008 meliputi :
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang.
b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan cenderung
bergerak secara alamiah (gerakan luar biasa). Pergeseran fragmen pada
fraktur lengan dan tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun
teraba) ektremitas yang bisa diketahui dengan membandingkannya dengan
ektremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena
fungsi normal otot tergantung pada integritasnya tulang tempat
melekatnya otot.
c. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen
sering saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai
2 inci).
d. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
15
dengan lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan
lunak yang lebih berat.
2) Tanda gejala dislokasi :
a. Deformitas
b. Nyeri pada daerah trauma
c. Pembengkakan
d. Tidak mampu menggunakan atau menggerakkan bagian yang cidera ( Alton,
2009).
3) Klasifikasi strain :
1. Strain Tingkat I
Pada strain tingkat I, terjadi regangan yang hebat, tetapi belum sampai
terjadi robekan pada jaringan otot maupun tendon.
2. Strain Tingkat II
Pada strain tingkat II, terdapat robekan pada otot maupun tendon. Tahap ini
rasa nyeri dan sakit sehingga terjadi penurunan kekuatan otot.
3. Strain Tingkat III
Pada strain tingkat III, terjadi robekan total pada unit musculo tendineus.
Biasanya hal ini membutuhkan tindakan pembedahan, kalau diagnosis dapat
ditetapkan. Adapun strain dan sprain yang mungkin terjadi dalam cabang
olahraga renang yaitu punggung, dada, pinggang, bahu, tangan, lutut, siku,
pergelangan tangan dan pergelangan kaki (Bahr, 2003).
16
Klasifikasi Strain menurut The Permanente Medical Group, 2008 :
a. Derajat I/Mild Strain (Ringan) : adanya cidera akibat penggunaan yang
berlebihan pada penguluran unit muskulotendinous yang ringan
berupa stretching/kerobekan ringan pada otot/ligament.
a) Gejala yang timbul : Nyeri local, meningkat apabila bergerak/bila
ada beban pada otot.
b) Tanda-tandanya : Adanya spasme otot ringan, bengkak, gangguan
kekuatan otot.
c) Terapi : Biasanya sembuh dengan cepat dan pemberian
istirahat,kompresi dan elevasi,terapi latihan yang dapat membantu
mengembalikan kekuatan otot.
b. Derajat II/Medorate Strain (Ringan): adanya cidera pada unit
muskulotendinous akibat kontraksi/pengukur yg berlebihan.
a) Gejala yang timbul : Nyeri local, meningkat apabila
bergerak/apabila ada tekanan otot, spasme otot sedang, bengkak,
tenderness, gangguan kekuatan otot dan fungsi sedang
b) Terapi : Impobilisasi pada daerah cidera, istirahat, kompresi,
elevasi.
c. Derajat III/Strain Severe (Berat) : adax tekanan/penguluran mndadak
yg ckup berat. Berupa robekan penuh pada otot & ligament yg
menghasilkan ketidakstabilan sendi.
a) Gejala : Nyeri yang berat, adanya stabilitas, spasme, kuat, bengkak,
tenderness, gangguan fungsi otot .
b) Terapi : Imobilisasi dengan kemungkinan pembedahan untuk
mengembalikan fungsinya.
17
3. Prinsip dan tujuan penanganan fraktur :
Prinsip penanganan fraktur disebut 4R
a. Recognisi : mengenali lokasi, penyebab, kondisi dan mekanisme trauma.
b. Reduksi : mengembalikan jaringan atau fragmen ke posisi semula
c. Retaining : menstabilisasi dengan melakukan fiksasi
d. Rehabilitasi : mengembalikan fungsi sesuai posisi dan fungsi anatomis
(Maharta, 2005).
4. Pemeriksaan penunjang pada fraktur :
1) Rontgen sinar-x pada bagian yang sakit merupakan parangkat diagnostic
definitif yang digunakan untuk menentukan adanya fraktur.
a. Minggu ke empat diharapkan tulang sudah menyatu walau belum
sempurna dan pasien dapat berjalan walau dengan bantuan tingkat
b. Pada proses Penyembuhannya bergantung pada beberapa faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan tulang tersebut, antara lain utamanya ialah
usia dan zat makanan yang dikonsumsi sehari-harinya sebaiknya yang
banyak mengandung kalsium dan vitamin D (Revees, Roux, Lockhart,
2001).
2) Pemeriksaan penunjang yang diperlukan antara lain laboratorium
meliputi darah rutin, faktor pembekuan darah, golongan darah, cross-test, dan
urinalisa. Pemeriksaan radiologis untuk lokasi fraktur harus menurut rule of
two: dua gambaran, anteroposterior (AP) dan lateral, memuat dua sendi di
proksimal dan distal fraktur, memuat gambaran foto dua ekstremitas, yaitu
ekstremitas yang cedera dan yang tidak terkena cedera (pada anak) dan dua
kali, yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan (Helmi,2011).
5. Pada kasus fraktur bisa terjadi sianosis ekstermitas :
18
Pada kasus fraktur terbuka dapat terjadi peristiwa hemmorage dimana darah
keluar dengan cepat yang menyebabkan suplay darah pada sel berkurang. Dimana
peran darah juga membawa oksigen dan nutrisi yang dibuthkan sel. Saat sel
kekurangan oksigen, tubuh member alarm awal dengan gejala sianosis pada ujung
ekstermitas dengan pemeriksaac CRT ( Alton, 2009).
6. Komplikasi yang dapat terjadi :
a. Komplikasi amputasi meliputi perdarahan, infeksi dan kerusakan kulit.
Karena adanya pembuluh darah yang besar yang dipotong, dapat terjadi
perdarahan massif. Infeksi merupakan infeksi pada semua pembedahan,
dengan peredaran darah buruk atau terkontaminasi luka setelah amputasi
traumatika, dimana risiko infeksi meningkat. Penyembuhan luka yang buruk
dan iritasi akibat prostetis dapat menyebabkan kerusakan kulit (Suzane &
Brenda, 2001).
b. Open fraktur dipersulit oleh infeksi, osteomyelitis, non-union (patah tulang
yang tidak menyambung kembali), dan delayed union (penyatuan tulang).
Tulang dan jaringan lunak dibawahnya dapat mengalami devakularisasi luas
yang memerlukan amputasi. Karena kekuatan besar yang menyebabkan open
fraktur, seringkali terjadi mionekrosis dan rabdomiolisis.
c. Komplikasi pada dislokasi, Awal pengurangan mengurangi jumlah waktu yang
saraf yang meregang. Setelah dislokasi hip, pasien dengan waktu lebih lama
untuk pengurangan telah cedera saraf buruk (Chairuddin Rasjad, 2008).
7. Klasifikasi Trias di Rumah sakit
Triase dilakukan tidak lebih dari 60 detik/pasien dan setiap pertolongan harus
dilakukan sesegera mungkin.
PROSEDUR:
1. Penderita datang diterima petugas / paramedis UGD.19
2. Diruang triase dilakukan anamnese dan pemeriksaan singkat dan cepat
(selintas) untuk menentukan derajat kegawatannya. Oleh paramedis yang
terlatih / dokter.
3. Namun bila jumlah penderita/korban yang ada lebih dari 50 orang, maka
triase dapat dilakukan di luar ruang triase (di depan gedung IGD).
4. Penderita dibedakan menurut kegawatnnya dengan memberi kode warna :
a. Kasus 1 : merah/ P1
Adanya perdarahan daerah luka
RR : 32x/menit
CRT > 3 detik
Luka terbuka
b. Kasus 2 : merah/ P1
Shock hipovolemic
Hemmorage
GCS 2 2 2
Cidera kepala ( racoon eyes)
Dispnea, ABG abnormal
Luka amputasi
c. Kasus 3 : kuning/ P3, bisa menjadi merah bila hemmogare tidak segera
ditangani
Vulnus laceratum
Sprain, strain pada ligament
GCS 4 5 6
20
d. Kasus 4 : hijau/ P4
Berteriak minta tolong, GCS 4 5 6
Tidak ada fraktur atau hemmorage (Darwis, dkk, 2005).
8. Prognosis pada kasus :
a. Semua patah tulang terbuka adalah kasus gawat darurat. Dengan terbukanya
barier jaringan lunak, maka patah tulang tersebut terancam untuk terjadinya
infeksi. Seperti kita ketahui bahwa periode 6 jam sejak patah tulang terbuka, luka
yang terjadi masih dalam stadium kontaminasi (golden periode) dan setelah
waktu tersebut, luka berubah menjadi luka infeksi. Oleh karena itu penanganan
patah tulang terbuka harus dilakukan sebelum golden periode terlampaui agar
sasaran akhir penanganan patah tulang terbuka tercapai walaupun ditinjau dari
segi prioritas penanganannya, tulang secara primer menempati urutan prioritas
ke 6 (Sjamsuhidajat, 2005).
b. Dislokasi : Prognosis tergantung pada sendi tertentu dislokasi dan cedera
jaringan sekitarnya. Cedera saraf dan arteri di sekitar sendi memiliki prognosis
buruk. Dislokasi sendi memiliki prognosis buruk. Ketidak seimbangan otot-otot
disekitarnya. Pada pasien yang aktif, operasi dini mungkin dapat membantu
dalam mencegah ketidakstabilan kronis. Dislokasi sendi umumnya tidak
mengancam jiwa, tetapi memerlukan tindakan emergensi karena apabila tidak
dilakukan tindakan secepatnya akan menimbulkan gangguan pada bagian distal
sehingga mungkin terpaksa dilakukan Amputasi (Sjamsuhidajat, 2005).
9. Kesulitan yang dialami perawat UGD dalam menangani pasien :
a. Keterbatasan alat dan obat obatan
b. Kebingungan, chaos, krisis, dan gagal koordinasi
c. Ruangan tidak mencukupi
21
d. Jumlah pasien yang terlalu banyak, seperti kasus peperangan atau bencana
alam
( freedy, 2011).
10. Terjadi snoring ( kasus 2) dikarenakan,
Tulang pada foramen magnum mengalami keretakan, sehingga menyebabkan
kerusakan saraf dan pembuluh darah. Pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga
darah meresap ke jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan
berwarna merah kebiruan. Luka memar pada otak terjadi apabila otak menekan
tengkorak. Jika pembengkakan cukup besar dapat mengubah tingkat kesadaran
sehingga bisa terjadi oerlemasan ludan yang akhirnya jatuh menutupi saluran
pernapasan (Corrigan, 2004).
11. Penyebab ABG yang abnormal dan nilai normal ABG?
a. Gangguang pada respirasi ( hipoventilasi/ hiperventilasi).
b. Gangguan asam basa ( asidosis/ alkalosis).
c. Perubahan suhu tubuh.
d. Gangguan metabolisme ( ketoasidosis).
e. Kemampuan darah mengikat oksigen ( hipovolemi).
f. Ketidakseimbangan kadar BE/ tingginya kadar BE ( cidera kepala).
g. Obat-obatan dapat meningkatkan pH darah: sodium bikarbonat.
h. Kegagalan untuk mengeluarkan semua udara dari spuit akan menyebabkan
nilai PaCO2 yang rendah dan nilai PaO2 meningkat ( Gupte, 2003).
Nilai normal
22
pH : 7, 35-7, 45
TCO2 : 23-27 mmol/L
PCO2 : 35-45 mmHg
BE : 0 ± 2 mEq/L
PO2 : 80-100 mmHg
Saturasi O2 : 95 % atau lebih
HCO3 : 22-26 mEq/L
12. Algoritma pada setiap kasus. Terlampir
13. Pengkajian yang dilakukan di perawatan gawat darurat :
A. Survey primer pada klien fraktur
1) Airway (A)
Penilai kelancaran airway pada klien yang mengalami fraktur, meliputi
pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda
asing, fraktur wajah, fraktur mandibula dan maksila, fraktur laring atau
trakea. Tindakan yang bisa dilakukan yatu head tilt chin lift tapi tidak boleh
mengakibatkan hiperekstensi. Bisa juga menggunakan face-mask, atau
oropharyngeal airway, naso-phyaryngeal airway.
2) Breathing (B)
Kita harus mengethaui apakah pasien jalan nafasnya baik atau tidak, serta
menjamin ventilasi yang baik sehingga pasien bisa melakukan pertukaran
gas yang baik. Dada klien harus dibuka untuk melihat pernafasan yang baik.
Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknya udara kedalam paru.
Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau darah dalam rongga
pleura. Inspeksi dan palpasi dapat mengetahui kelainan dinding dada yang
mungkin mengganggu ventilasi.
23
3) Circulation (C)
Control pendarahan vena dengan menekan langsung sisi area perdarahan
bersamaan dengan tekanan jari pada arteri paling dekat pada area
perdarahan. Pertahankan tekanan darah dengan infuse intra vena, berikan
oksigen untuk mensuplai oksigen pada jarigan yang collapse sirkulasi.
Berikan analgesic sesuai ketentuan untuk mengontrol nyeri.
4) Disability (D)
Menjelang akhir survey primer dievaluasi keadaan neurologis secara cepat,
yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran, dan reaksi pupil. GCS adalah
sitem scoring yang sederhana dan dapat meramal tingkat kesadaran klien.
5) Exposure (E)
Dilakukan di rumah sakit, tetapi jika perlu dapat mem buka pakaian,
misalnya membuka baju untuk melakukan pemeriksaan fisik thorax. Di RS
klien harus dibuka keseluruhan pakaiannya untuk eveluasi klien.
B. Survey sekunder
a) Kaji riwayat trauma
Sangat penting untuk mengetahui riwayat trauma, karena penampilan luka
terkadang tidak sesuai dengan parahnya cedera.
b) Kaji seluruh tubuh dengan pemeriksaan fisik dari kepala sampai kaki secara
sistematis, inspeksi adanya laserasi, bengkak, dan deformitas.
c) Kaji kemungkinan adanya fraktur multiple.
14. Diagnose dan intervensi keprawatan musculoskeletal pada kasus
Terlampir
24
No Data Etiology Masalah keperawatan
Mr.bron
DS: -
DO:
1. open fraktur femoral
sinistra
2. , GCS 343 ,
3. Hemorage pada daerah
luka , deformitas ,
4. Crepitasi pada Os tibia
sinistra ,
5. Laserasi clavikula sinistra ,
6. sprain pada deltoideus
sinistra ,
7. Cyanotic dan akral dingin
pada daerah extremitas ,
8. CRT > 3 detik .
9. TTV : TD = 100/70 mmHg ,
N = 122x/menit , RR= 32x/
menit , Suhu = 35,3’S
Impaired tissue integrity b.d
fraktur terbuka
Impaired tissue
integrity (00044)
Domain 11
Class 2
Axis 1: tissue integrity
Axis 2: individual
Axis 3: impaired
Axis 4: tissue
Axis 5: adult
Axis 6: acute
Axis 7:actual
Acute pain b.d spasme tot ,
pergeseran fragmen tulang
Acute pain (00132)
Domain 12
Class 3
Axis 1: pain
Axis 2: individual
Axis 3: -
Axis 4: tissue
25
Axis 5: adult
Axis 6: acute
Axis 7:actual
Impaired physical mobility b.d
cedera jaringan sekitar fraktur,
kerusakan rangka
neuromuskuler
Impaired physical
mobility (00085)
Domain 4
Class 2
Axis 1: mobility
Axis 2: individual
Axis 3: impaired
Axis 4: tissue
Axis 5: adult
Axis 6: acute
Axis 7:actual
Ms. Sarly
DO :
1. perdarahan di area ankle
2. didapatkan amputasi pada 3
jari sinistra dan pada ankle
dextra,
3. TTV : TD: 70/45 mmHg , N:
74x/menit , RR dyspnea ,
palpitasi , bradicardi ,
Deficient fluid volume Deficient fluid volume
(00028)
Domain 2
Class 5
Axis 1: fluid volume
Axis 2: individual
26
4. Klien mengalami shock
hypovolemic
Axis 3: deficient
Axis 4: -
Axis 5: adult
Axis 6: acute
Axis 7: actual
1. Amputasi pada 3 jari sinistra
dan pada ankle dextra
Impaired physical mobility b.d
amputation
Impaired physical
mobility (00085)
Domain 4
Class 2
Axis 1: mobility
Axis 2: individual
Axis 3: impaired
Axis 4: tissue
Axis 5: adult
Axis 6: acute
Axis 7:actual
1. GCS 222 ,
2. terdengar snoring , raccoon
eyes (diduga ada kerusakan
basis krani),
3. lacerasi pada temporal
dextra ,
Risk for ineffective cerebral
tissue perfusion
(00201)
Domain 4
Class 4
Axis 1: tissue
27
4. shock hypovolemic perfusion
Axis 2: individual
Axis 3: impaired
Axis 4: cerebral
Axis 5: adult
Axis 6: acute
Axis 7: risk
1. lacerasi pada temporal dextra Acute painb.dpeningkatan TIK (00132)
Domain 12
Class 3
Axis 1: pain
Axis 2: individual
Axis 3: -
Axis 4: tissue
Axis 5: adult
Axis 6: acute
Axis 7:risk
1. retraksiintercostae ,
2. S 35,3’C, akraldingindan
cyanotic
3. hasil ABG abnormal. ( asidosis
metabolism)
Ineffective breathing pattern (00032)
Domain 4
Class 4
28
4. RR dyspnea
Axis 1: btreathing
pattern
Axis 2: individual
Axis 3: ineffective
Axis 4:
cardiopulmonal
Axis 5: adult
Axis 6: acute
Axis 7: actual
Mr. El
DO :
1. skalanyeri 9 , grimace (+)
2. TD : 140/90 mmHg , N:
102x/menit , RR: 30x/menit
3. Terdapat vulnus laceratum
4. Hemoragi dan sprain pada
area archiles sinistra dan
ligament talo fibular posterior
,
5. Extremitas dextra terdapat
strain pada area harmstring ,
contusion , edema ,
Acute Pain (00132)
Domain 12
Class 3
Axis 1: pain
Axis 2: individual
Axis 3: -
Axis 4: tissue
Axis 5: adult
Axis 6: acute
Axis 7:actual
6. GCS 456 , , S: 35,2’C, Impaired tissue integrity (00044)29
7. Terdapat vulnus laceratum
8. Hemoragi dan sprain pada
area archiles sinistra dan
ligament talo fibular posterior
,
9. Extremitas dextra terdapat
strain pada area harmstring ,
contusion , edema ,
Domain 11
Class 2
Axis 1: tissue integrity
Axis 2: individual
Axis 3: impaired
Axis 4: tissue
Axis 5: adult
Axis 6: acute
Axis 7:actual
Ms. Dil
DS :
1. Berteriak mengeluh adanya
nyeri pada area ankle,
DO:
2. Terdapat deformitas ,contusio
, tenderness , instability , pada
area ankle extrimitesdextra.
3. GCS 456,
4. Akral hangat , edema (-) ,
5. skalanyeri 7 .
6. N : 120x/menit , CRT 2 detik
TD : 130/80 mmHg, RR
Acute Pain (00132)
Domain 12
Class 3
Axis 1: pain
Axis 2: individual
Axis 3: -
Axis 4: tissue
Axis 5: adult
Axis 6: acute
Axis 7:actual
30
36,9’C,
7. fracture (-)
INTERVENSI KEPERAWATAN
No KodeDx Noc Nic
1 (00044) Wound healing:secondary
intention
1. Foul wound odor
2. Decrease wound size
3. Formation scar
4. Granulation
Bone healing
1. Cellular proliferation
2. Callus formation
3. Intak peripheral circulation
4. Retruns skeletal function
5. Infection in surrounding
tissue
Emergency care
Fluid/electrolyte
management
Analgesic
administration
Wound care
Surgical preparation
31
6. Infection in bone
(00085) Skeletal function
1. Bone integrity
2. Bone density
3. Skeletal alightment
4. Join stability
Physical restraint
Bed rest care
Traction /
immobilization care
Cast care:wet
Cast care : maintenance
2 (00028) Blood lost severity
1. Decrease systolic blood
pressure
2. Decrease diastolic blood
pressure
3. Lost body heat
4. Decrease hemoglobin
Fluid/ electrolyte
menegement
Acid –base management:
metabolic acidosis
Electrolyte monitoring
(00201) Tissue perfusion cerebral
1. Intracranial pressure
2. Impaired cognition
3. Systolic blood pressure
4. Diastolic blood pressure
5. Mean blood pressure
Bleeding reduction :
wound
Hemorrhage control
Shock management :
volume
Fluid monitoring
32
6. Cerebral angiogram finding
33
DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W.A. Newman.(2011). Kamus Saku Kedokteran Dorlnd Ed.28. Jakarta : EGC.
Krisanty paula. 2012. Asuhan keperawatan gawat darurat. Jakarta. Trans info media
Purwadianto, Agus. 2000. Kedaruratan Medik. Jakarta : Binarupa Aksara.
The Permanente Medical Group, Inc. 2008. Regional Health Education.011061-199
(Revised 11-10) RL 7.2
Thygerson, Alton. 2009. First Aid. Jakarta : Erlangga.
34