laporan praktikum teknologi pati

38
Laporan Praktikum Teknologi Pati, Gula, dan Sukrokimia Hari/Tanggal : Kamis/28 Feb- 21 Mar 2013 Golongan : P3 Dosen : Dr.Ir. Titi Candra Sunarti, MSi Asisten : 1. Ade Damayanti F34090064 2. Duwi Ichsan Yahya F34090128 PEMBUATAN GULA MERAH CETAK, GULA SEMUT, GULA INVERT, DAN PRODUK HIDROLISAT PATI, SERTA ANALISIS MUTU PRODUK GULA Oleh: Balya Al Bashir (F34100097) Hafizah Khaerina (F34100110) DEPARTEMEN TEKONOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013 _________________________________________ I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki perkebunan penghasil gula yang cukup luas dan tersebar di berbagai daerah. Tidak dapat dipungkiri, tersedianya bahan baku baik dari tanaman tebu, kelapa, aren dan lain-lain seharusnya dapat menjadi peluang dalam pasar lokal maupun pasar internasional. Namun

Upload: eka-listiana

Post on 19-Dec-2015

110 views

Category:

Documents


18 download

DESCRIPTION

Teknologi Pati,Gula,dan Sukrokimia

TRANSCRIPT

Laporan Praktikum Teknologi Pati, Gula, dan Sukrokimia

Hari/Tanggal : Kamis/28 Feb- 21 Mar 2013Golongan : P3Dosen : Dr.Ir. Titi Candra Sunarti, MSi

Asisten :1. Ade Damayanti F340900642. Duwi Ichsan Yahya F34090128

PEMBUATAN GULA MERAH CETAK, GULA SEMUT, GULA INVERT, DAN PRODUK HIDROLISAT PATI,SERTA ANALISIS MUTU PRODUK GULA

Oleh:Balya Al Bashir (F34100097)Hafizah Khaerina (F34100110)

DEPARTEMEN TEKONOLOGI INDUSTRI PERTANIANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANINSTITUT PERTANIAN BOGOR2013

_________________________________________

I. PENDAHULUAN

A. Latar BelakangIndonesia merupakan negara yang memiliki perkebunan penghasil gula yang cukup luas dan tersebar di berbagai daerah. Tidak dapat dipungkiri, tersedianya bahan baku baik dari tanaman tebu, kelapa, aren dan lain-lain seharusnya dapat menjadi peluang dalam pasar lokal maupun pasar internasional. Namun kenyataannya, Kurangnya teknologi pengolahan adalah salah satu kendala yang dihadapi di negara ini menyebabkan Indonesia masih melakukan import gula khususnya gula tebu karena permintaan masyarakat yang tinggi. Agroindustri merupakan salah satu bentuk industri berbasis produk-produk pertanian maupun perkebunan. Perekonomian Indonesia memperoleh dukungan yang cukup besar dari sektor industri tersebut. Salah satu produk agroindustri potensial dan telah berperan aktif dalam meningkatkan sumber devisa negara adalah produksi gula., sehingga produk-produk yang dihasilkan dari tebu kurang memiliki nilai kualitas yang tinggi.

Gula merupakan senyawa kimia yang termasuk karbohidrat sehingga memiliki kemampuansebagai sumber energi. Karakteristik gula antara lain mempunyai rasa manis, larut dalam air, dan mempunyai sifat aktif optik. Gula yang paling banyak diperdagangkan sebagai bahan makanan adalah gula sukrosa (saccharose) yang berbentuk kristal putih. Gula sukrosa diproses dari beberapa bahan baku utama yaitu nira aren, nira tebu, dan nira kelapa. Nira secara alami terdapat dalam berbagai macam tanaman yang mengandung gula. Nira adalah cairan bening yang keluar dari bunga kelapa yang pucuknya belum membuka atau pohon penghasil nira lain seperti aren, siwalan, dan lontar yang disadap. Cairan ini merupakan bahan baku untuk pembuatan gula

Jenis gula yang sering ditemui di pasaran yaitu gula merah cetak dan gula pasir, sedangkan gula semut dan gula invert banyak ditemui di industri-industri. Semua jenis gula tersebut memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi suatu peluang usaha. Meningkatnya teknologi yang sekarang sudah berkembang baik dari transportasi hingga prosesnya, seharusnya sudah dapat meningkatkan produktivitas dari industri tersebut. Untuk itu diperlukan pembelajaran untuk para mahasiswa agroindustri untuk mempelajari produk gula ini, baik dari inovasi bahan baku, produk, teknologi prosesnya, hingga produk yang memenuhi keinginan konsumen.

Pembelajaran produk-produk gula ini dimulai dari mengetahui karakteristik gula seperti gula merah, gula invert dan gula semut. Dalam praktikum pati gula ini dipelajari bagaimana cara pembuatan dan analisis produk sehingga dapat diketahui bagaimana mutu gula yang dihasilkan. Analisis produk gula untuk mengetahui sifat fisik dan sifat kimia dari masing-masing produk gula. Hal yang termasuk sifat fisik antara lain kekerasan dan warna produk. Sedangkan hal yang termasuk sifat kimia adalah bagian yang tidak larut dalam air, kadar gula pereduksi dan kadar sukrosa. Sifat-sifat ini yang menentukan kualitas dari produk gula yang dihasilkan dalam suatu industri.

B. Tujuan

Praktikum ini bertujuan untuk mempelajari proses pembuatan gula merah cetak dari nira tebu, mempelajari proses pembuatan gula semut dari gula kelapa dan gula aren, mempelajari proses pembuatan gula invert dengan metode asam tartarat dan metode HCl, mempelajari proses pembuatan produk hidrolisat pati, dan menganalisis sifat fisik dan kimia produk gula merah, gula semut, gula invert, dan produk hidrolisat pati.

_______________________________________

II. METODOLOGI

A. Alat dan Bahan

1. Pembuatan Gula Merah Tebu Pada praktikum pertama, akan dilakukan ekstraksi nira dari tebu dan produksi gula merah dari tebu. Adapun bahan yang digunakan adalah batang tebu, nira tebu yang dihasilkan, kapur, minyak goreng. Alat yang digunakan adalah mesin penggiling tebu, nampan, pisau, saringan, penggorengan, kompor, pengaduk, kertas indicator pH dan cetakan gula.

2. Pembuatan Gula Semut Pada praktikum yang kedua ini, dipelajari proses pembuatan gula palma atau sering disebut dengan gula semut. Bahan baku utama yang digunakan untuk pembentukan gula semut adalah gula cetak dari bahan kelapa dan aren. Sementara bahan tambahan yang digunakan adalah gula pasir, air dan santan kelapa/minyak nabati. Adapun alat yang digunakan pada praktikum ini adalah wajan, saringan, timbangan, kompor, sendok, pisau dan pengaduk kayu.

3. Pembuatan Gula Invert Pada praktikum ketiga ini, dibuat gula invert dari sukrosa. Gula sukrosa yang digunakan berasal dari gula pasir, gula kelapa, gula aren. Bahan kimia yang digunakan sebagai katalis adalah HCl sebagai asam mineral, dan asam tartarat sebagai asam organik. Adapun alat yang digunakan adalah gelas piala, pengaduk, termometer, sendok, dan pemanas/kompor listrik

4. Produksi Hidrolisat Pati Pada praktikum pembuatan produk hidrolisat pati digunakan bahan-bahan sebagai berikut : pati, CaCO3, termamil 60 L (-amylase), amiloglukosidase, iod, HCl 3%, arang aktif, kertas saring, dan kertas pH. Sedangkan alat-alat yang digunakan adalah erlenmeyer, hot stirer, autoclave, pipet tetes, inkubator goyang, corong buchner, penyarig vakum, labu penyaring vakum.

5. Analisis Mutu Produk Gula Pada percobaan ini, diperlukan bahan-bahan sebagai berikut : larutan Luff, KI 20%, H2SO4 24%, Na2S2O5 0,1 N, indikator kanji 0,5%, DNS, NaOH, Potasium Sodium Tartarat, phenol, Sodium Metabiosulfit,dan glukosa. Adapun peralatan yang digunakan adalah pipet ukur, tabung reaksi, gelas piala, spektrofotometer, kuvet, refraktometer, erlenmeyer, pendingin balik, pemanas, labu ukur, gelas ukur, dan buret.

B. Metode......

_____________________________________

III. TINJAUAN PUSTAKA

Tebu biasanya ditanam pada waktu cukup tersedia air (irigasi) atau awal musim hujan sedangkan dipanen pada waktu tebu sudah mencapai kemasakan yaitu pada musim kering. Di daerah yang beririgasi pada saat mendekati musim panen, pertumbuhan dapat ditekan dan kadar sukrosa ditingkatkan dengan menghentikan pemupukan N dan air. Kemasakan adalah proses dari ruas ke ruas dan derajat kemasakan dari masing-masing ruas tergantung daripada umur tebu. Hal ini artinya bahwa pada tebu yang belum masak (tebu muda) kadar gula dari ruas bawah dan ruas atas semakin kecil, dan pada saat kemasakan optimal maka perbedaan kadar gula antara ruas atas dengan ruas bawah semakin tidak nampak, kecuali pada bagian pucuk dan ujung batang dibawah tanah. Rendahnya kadar gula pada bagian pucuk karena ruas pada bagian ini masih belum terbentuk sepenuhnya, sedangkan rendahnya kadar gula pada bagian ujung bawah tanah disebabkan oleh kadar sabut yang tinggi.

Menurut Risvan (2011), proses kemasakan tebu tersebut dapat dicirikan dalam 4 hal sebagai berikut: 1. Pada saat tebu masih muda maka setiap bagian ruas akan bertambah kadar gulanya sejalan dengan umur tanaman.2. Dengan bertambahnya umur tanaman maka perbedaan peningkatan kadar gula di antara bagian batang tebu semakin mengecil. Hal ini disebabkan karena peningkatan kadar gula pada bagian batang yang di bawah tidak lagi secepat bagian batang yang di atas.3. Pada saat tebu mencapai kemasakan maksimal, maka kadar gula batang bagian bawah tidak bertambah lagi. Sedangkan kadar gula batang bagian atas hampir sama dengan batang bagian bawah.4. Pada tebu yang telah kelewat masak , maka batang bagian bawah mulai menurun kadar gulanya kemudian diikuti oleh batang bagian yang lebih atas ,tetapi dengan kecepatan penurunan yang lebih rendah.

Tebu dapat diolah menjadi beberapa produk yang dapat dikonsumsi, seperti gula merah cetak, gula semut, gula invert, dan produk hidrolisat pati. Gula merah adalah gula yang berwarna kekuningan atau kecoklatan. Gula ini terbuat dari cairan nira atau legen yang dikumpulkan dari pohon kelapa, aren, lontar atau tebu. Cairan yang dikumpulkan direbus secara perlahan sehingga mengental lalu dicetak dan didinginkan.

Nira adalah cairan yang disadap dari bunga jantan pohon aren. Cairan ini mengandung gula antara 10-15%. Nira dapat diolah menjadi minuman ringan, maupun beralkohol, sirup aren, gula aren dan nata de arenga. Penyadapan aren tidak sulit dilakukan (Tarwiyah et al 2001). Nira terdapat di dalam bunga tanaman aren, kelapa dan lontar yang pucuknya belum membuka dan diperoleh dengan cara penyadapan. Nira diperoleh dengan menyadap mayang yang belum membuka. Satu buah mayang dapat disadap selama 10-35 hari. Hasil yang diperoleh adalah 0,5-1 liter nira setiap mayang (Suhardiyono 1988).

Nira yang baik bercirikan masih segar, rasa manis, harum, tidak berwarna dan derajat keasaman pH-nya antara 6,0 7,0. Nira yang jelek pHnya >6,0 dan bila digunakan, mutu gulanya akan ikut jelek. Nira yang kurang baik mudah menjadi basi, aroma dan rasanya kecut, dan akan menghasilkan gula kelapa yang mudah lengket. Nira tebu terdiri dari sakarosa sekitar 70 88%, protein 0,5 0,6%, pati 0.001 0.05%, asam organik lainnya adalah bahan organik seperti karbohidrat, asam amino, zat warna dan lemak serta garam mineral. (Risvan 2011).

Proses pembuatan gula merah cetak yang pertama dilakukan adalah menampung nira dari penggilingan tebu, nira yang ditampung adalah nira yang belum rusak atau belum mengalami fermentasi. Kondisi yang terbaik dalam pembuatan gula merah adalah nira yang mengandung kadar gula diatas 12% dan pH 6-7. Untuk menghindari kerusakan nira saat penampungan dapat diberi bahan pengawet berupa kapur sirih. Tahap kedua yaitu nira dituang kedalam wajan kemudian dimasak pada suhu 110-1200C dan terus menerus dilakukan pengadukan agar nira tidak meluap. Untuk menghilangkan buih dapat ditambahkan minyak kelapa. Nira yang telah masak biasanya apabila diteteskan ke dalam air akan mengeras. Nira yang telah masak diaduk terus agar cepat dingin, kemudian nira dituangkan kedalam cetakan yang telah dibasahi dengan air bersih agar mudah dilepaskan. Gula merah yang sudah dingin dikeluarkan dari cetakan untuk dikemas (Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BP2TP) 2010)

Pada saat pembuatan gula merah cetak dilakukan dua macam perlakuan yaitu dengan penambahan kapur dan tanpa penambahan kapur. Penambahan kapur dalam pembuatan gula merah cetak dapat disebut proses pemurnian nira. Proses pemurnian nira merupakan proses untuk membuang atau menghilangkan zat organik dan anorganik yang bukan gula yang terdapat dalam nira gula kasar (crude), sehingga diperoleh nira gula dengan kadar sukrosa yang maksimum dan jernih. Proses pemurnian nira dapat dilakukan dengan penambahan kapur ke dalam cairan nira. Penambahan kapur berfungsi untuk menghambat atau menghentikan aktifitas mikroorganisme dan mengatur agar pH nira menjadi 6,0 sampai 7,0 karena akan berpengaruh terhadap kualitas gula merah cetak yang akan dihasilkan. Nira yang telalu asam susah mengalami pengentalan cairan atau tidak dapat dicetak. Selain itu, penambahan kapur pada saat pemasakan nira bertujuan untuk memperoleh hasil nira yang jernih, namun penambahan kapur yang berlebihan dapat menyebabkan rasa gula merah cetak menjadi kurang enak sehingga akan berpengaruh pada kualitasnya (Setyamidjaja 1984). Gula merah yang dihasilkan dengan penambahan kapur akan terlihat lebih bersih dan memiliki kadar sukrosa maksimum. Selain itu, penambahan kapur akan menghentikan aktifitas mikroorganisme. Sedangkan gula merah tanpa penambahan kapur akan terlihat kurang bersih dan kadar sukrosanya akan lebih rendah.

Selain penambahan kapur, pemasakan juga harus dilakukan pengadukan secara terus menerus agar nira dapat masak secara merata serta tidak menjadi gosong terutama pada bagian bawah dan dapat mengurangi buih yang terbentuk. Ketika sudah mendidih nira mengeluarkan buih dan tampak bercampur dengan kotoran halus, maka ditambahkan minyak. Penambahan minyak dilakukan untuk menghilangkan buih jika selama pemasakan buih yang muncul cukup banyak.

Pada saat pemasakan nira dapat terjadi reaksi karamelisasi dan reaksi browning (pencoklatan). Reaksi karamelisasi pada gula terjadi apabila suatu larutan sukrosa diuapkan maka konsentrasinya akan meningkat, demikian juga titik didihnya. Apabila keadaan tersebut telah tercapai dan pemanasan diteruskan,maka cairan yang ada bukan lagi terdiri dari air tetapi cairan sukrosa yang akan menjadi lebur. Titik lebur sukrosa adalah 1600C. Apabila gula yang telah mencair tersebut dipanaskan terus sehingga suhunya melampaui titik leburnya, misalnya suhu 1700C, maka mulailah terjadi karamelisasi sukrosa. Warna coklat karamel didapat dari pemanasan larutan sukrosa dengan amonium bisulfat seperti yang digunakan pada minuman cola, minuman asam lainnya, produk-produk hasil pemanggangan, sirup, permen, pelet, dan bumbu kering. Terdapat tiga kelompok karamel, yaitu karamelen, dan karamelin yang masing-masing memiliki bobot molekul berbeda (Fennema 1996).

Reaksi browning (pencoklatan) pada gula apabila dipanaskan bersama protein akan bereaksi membentuk gumpalan-gumpalan berwarna gelap yang disebut melanoidin. melanoidin menyerupai karamel dalam hal warna, bau dan rasa. Bila terus dipanaskan maka gumpalan-gumpalan itu akan berubah menjadi hitam dan tidak dapat larut. Sukrosa tidak akan bereaksi dengan protein. Pada umumnya fruktos dan dekstros paling aktif dalam reaksi browning. Pada semua jenis gula, kecuali sukrosa, reaksi browning dapat dipercepat dengan meningkatkan pH. Pengulalian dan browning memiliki peranan penting dalam penentuan warna hasil produksi, terutama pada kulitnya (crust).

Gula semut adalah gula merah yang berbentuk serbuk atau tepung dikenal dengan nama palm sugar. Bahan dasar untuk membuat gula semut adalah nira dari pohon kelapa, aren (enau), nipah, lontar maupun tebu. Kelebihan gula semut dibandingkan gula cetak adalah dapat disimpan dalam waktu kurang lebih dua tahun tanpa mengalami perubahan setelah dikeringkan dan ditutup rapat. Gula semut memiliki kadar air yang lebih rendah dibandingkan dengan gula cetak. Selain itu gula semut mudah larut sehingga sering kali gula semut digunakan sebagai pemanis pada makanan dan minuman serbuk, lebih praktis baik baik penggunaan maupun penyimpanannya, memiliki aroma yang khas, dan memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi.

Menurut LIPI (2000), proses pengolahan gula semut sama dengan pengolahan gula cetak, yaitu tahap pemanasan nira hingga menjadi kental atau dari pencairan gula merah tebu maupun aren. Pada pengolahan gula cetak, setelah diperoleh nira kental, wajan diangkat dari tungku, dilakukan pencetakan, sedangkan pada pengolahan gula semut setelah diperoleh nira kental berwarna coklat hasil pemasakan pada suhu 110-120C. Untuk menghindari busa yang berlebihan, saat pemasakkan ditambahkan minyak kelapa (minyak klentik) dengan perbandingan 10 gram (1 sendok makan) untuk 25 liter nira. Pemasakan dianggap selesai apabila tetesan nira kental bila dimasukkan ke dalam air berbentuk gumpalan atau serabut gula. Kemudian nira dalam wajan didinginkan sambil terus diaduk perlahan-lahan selama kurang lebih 10 menit. Pemasakan didiamkan beberapa saat sampai mengembang. Pengadukan diulangi dengan cepat memakai garpu kayu untuk memperoleh butiran-butiran kristal. Setelah itu dilakukan pengayakan untuk memperoleh butiran-butiran yang seragam dan kemudian dikemas dalam kantong plastik.

Pengkristalan pada nira kental terjadi ketika pengadukan menggunakan garpu kayu. Pengadukan dilakukan secara perlahan-lahan, dan makin lama makin cepat hingga terbentuk serbuk gula (gula semut). Kristalisasi merupakan proses pemisahan dengan cara suatu larutan dipekatkan sampai konsentrasi bahan yang terlarut menjadi lebih besar daripada larutannya pada suhu yang sama. Bahan yang terlarut kemudian dikeluarkan dari larutan dalam bentuk kristal murni. Cara yang paling mudah dalam pelaksanaan untuk memperoleh kristal sukrosa adalah meningkatkan konsentrasi sukrosa pada suhu kamar, yaitu larutan yang sangat lewat jenuh. Kemampuan membentuk kristal diawali dengan kemampuan membentuk inti kristal, dilanjutkan dengan pertumbuhan kristal. Pada kurva lewat jenuh, inti kristal terbentuk secara spontan. Konsentrasi sukrosa larutan kurva lewat jenuh sekitar 80%, hal ini membutuhkan jumlah energi yang sangat besar untuk mencapainya. Dalam industri gula kristal, hal ini sangat sulit untuk dilakukan. Pada daerah metastabil (konsentrasi sukrosa larutan sekitar 60%), bibit gula dalam bentuk kristal ditambahkan pada larutan untuk meningkatkan konsentrasi sukrosa dan kemudian membiarkan kristal tersebut meneruskan pembentukan inti kristal lebih lanjut. Sekali inti terbentuk, baik secara spontan atau dengan penambahan bibit, kristal akan terus tumbuh. Apabila lewat jenuh dipertahankan, inti yang terbentuk akan terus tumbuh dan kristal besar akan terbentuk. Ukuran kristal juga ditentukan oleh proses pendinginan. Pendinginan perlahan-lahan akan menghasilkan lewat jenuh yang sangat kecil yang akan menghasilkan kristal yang besar. Sebaliknya, pendinginan yang cepat akan menghasilkan kristal yang kecil.

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan pembuatan gula semut, yakni suhu pemasakan, pengadukan, dan kualitas nira. Suhu pemasakan sangat berpengaruh dalam pembuatan gula semut karena suhu yang terlalu tinggi akan membuat aroma gula menjadi gosong dan terjadinya karamelisasi yang cepat dan membuat gula sulit menjadi serbuk dan malah menjadi karamel. Proses pengadukan yang menyertai pembuatan gula semut ini harus dilakukan perlahan karena akan mempengaruhi tingkat kehalusan serbuk gula. Setelah nira mengental dan pekat, pengadukan harus dilakukan dengan cepat agar nira tersebut tidak menggumpal dan cepat menjadi serbuk. Kualitas nira yang digunakan untuk membuat gula semut juga haruslah nira dengan kualitas yang baik dan tidak boleh tercemar oleh bakteri. Bakteri akan mengonversi gula menjadi asam dan hal ini akan mempengaruhi pembentukan serbuk pada gula semut. Ketika nira tersebut mulai mengental, nira tersebut malah akan menjadi karamel dan tidak menjadi serbuk.

Gula semut yang dijual secara komersil di pasaran, memiliki syarat mutu yang seharusnya dimiliki agar produk tersebut dinilai berkualitas oleh masayarakat. Syarat mutu gula semut dapat dilihat pada tabel 1.

Gula invert merupakan sukrosa yang dilarutkan dalam air dan dipanaskan, sehingga sebagian sukrosa akan terurai menjadi glukosa dan fruktosa dengan perbandingan yang sama. Invert sukrosa ini terjadi dalam suasana asam. Gula invert ini tidak dapat berbentuk kristal karena kelarutan fruktosa dan glukosa sangat besar (Kirk dan Othmer, 1954). Gula invert merupakan campuran ekuimolar antara -D-glukosa dan -D-fruktosa yang dihasilkan dari hidrolisa sukrosa dengan asam maupun enzim. - D-glukosa dan -D- fruktosa masing-masing biasa disebut dekstrosa dan fruktosa. Persamaan stoikiometri reaksinya adalah :

C12H22O11 + H2O C6H12O6 + C6H12O6 Sukrosa air dekstrosa fruktosa(dekstrosa dan fruktosa yang terbentuk merupakan gula invert.)

Dari persamaan di atas menunjukkan bahwa dari 100 % sukrosa apabila terhidrolisis sempurna, setelah hidrolisis dihasilkan 52.63% dekstrosa dan 52.63% fruktosa. Jadi, dari hasil reaksi ada tambahan padatan terlarut sekitar 5 %. Hal ini tergantung dari derajat inversinya. Selanjutnya, reaksi hidrolisis ini disebut inversi karena terjadi akibat perubahan putaran optik sebagai berikut,

Sukrosa + air D (+) -glukosa + D(-) fruktosa []D = +66.5 []D = +52.5 []D = -92

Gula invert akan mengkatalisis proses inversi sehingga kehilangan gula akan berjalan dengan cepat. Laju inversi sukrosa akan semakin besar pada kondisi pH rendah dan temperatur tinggi dan berkurang pada pH tinggi (pH>7) dan temperature rendah. Laju inversi yang paling cepat adalah pada kondisi pH asam (pH 5) (Winarno 1983).

Gula pereduksi adalah gula yang memiliki gugus aldehid bebas pada struktur kimianya. Kandungan gula pereduksi berperan dalam proses pencoklatan nira tebu. Gula invert yang banyak mengandung gula pereduksi akan lebih mudah mengalami proses pencoklatan sehingga warnanya lebih coklat. Gula pereduksi juga mempengaruhi tingkat kemanisan karena glukosa dan fruktosa mempunyai tingkat kemanisan yang relatif lebih kecil dibandingkan sukrosa sehingga gula invert akan mempunyai tingkat kemanisan yang lebih rendah. Pembentukan gula pereduksi ini ada yang disengaja namun ada juga yang dicegah. Pembentukan gula pereduksi disengaja melalui proses inversi untuk menghasilkan gula invert.

Ada tiga cara untuk memproduksi sirup gula invert, yaitu menggunakan enzim invertase, hidrolisis asam kuat atau asam lemah, dan penggunaan resin penukar ion, pertama asam kemudian basa. Penggunaan asam telah digunakan secara luas baik dalam sistem reaktor curah atau sinambung. Secara komersial asam klorida banyak digunakan untuk menghidrolisis sukrosa karena asam klorida mempunyai daya inversi yang tinggi. Faktor- faktor yang berpengaruh terhadap kesempurnaan hidrolisis asam adalah konsentrasi asam yang ditambahkan, suhu pemanasan, dan waktu pemanasan (Junk dan Pancoast 1980). Semakin tinggi konsentrasi asam yang digunakan dan makin lama waktu pemanasan pada proses hidrolisis kejernihan sirup gula invert akan menurun

Pembuatan sirup gula invert dengan hidrolisis asam lemah dan asam kuat dilakukan dengan dua metode yakni metode asam tartarat dan metode HCl. Pada dasarnya kedua metode tersebut memiliki prosedur yang hampir sama, perbedaannya HCl memiliki daya inversi lebih tinggi dari pada penggunaan asam tartarat. Pada kedua metode tersebut ada penambahan sodium bikarbonat yang berfungsi untuk menetralkan asam sehingga gula invert yang dihasilkan tidak berbahaya terhadap kesehatan konsumen.

Pada metode asam tartarat, sejumlah bahan gula dicampurkan dengan air dan asam tartarat kemudian dipanaskan pada suhu 100C selama 30 menit. Selanjutnya dilakukan penetralan dengan sodum bikarbonat (Na2CO3) dan diaduk cepat hingga menjadi produk gula invert. Pada metode asam klorida (HCl), sejumlah gula dicampur dengan HCl 0.1% kemudian dilakukan pemanasan pada suhu yang lebih rendah, yakni 70C selama 90 menit. Selanjutnya dilakukan penetralan dengan penambahan sodium bikarbonat. Penambahan sodium bikarbonat ini adalah untuk menetralkan larutan gula yang telah dihidrolisis dengan asam sehingga memiliki pH kurang lebih 7. Selanjutnya, larutan diaduk dengan cepat hingga terbentuk gula invert.

Hidrolisis merupakan reaksi pengikatan gugus hidroksil / OH oleh suatu senyawa. Gugus OH dapat diperoleh dari senyawa air. Hidrolisis dapat digolongkan menjadi hidrolisis murni, hidrolisis katalis asam, hidrolisis katalis basa, gabungan alkali dengan air dan hidrolisis dengan katalis enzim. Sedangkan berdasarkan fase reaksi yang terjadi diklasifikasikan menjadi hidrolisis fase cair dan hidrolisis fase uap.

Hidrolisis pati terjadi antara suatu reaktan pati dengan reaktan air. Reaksi ini adalah orde satu karena reaktan air yang dibuat berlebih, sehingga perubahan reaktan dapat diabaikan. Reaksi hidrolisis pati dapat menggunakan katalisator ion H+ yang dapat diambil dari asam. Reaksi yang terjadi pada hidrolisis pati adalah sebagai berikut: (C6H10O5)x + x H2O x C6H12O6. Produk hasil hidrolisa pati sangat banyak digunakan dan diterapkan dalam penggunaan pati pada produk-produk pengolahan hasil pangan. Proses hidrolisa pati menggunakan asam maupun enzim adalah proses yang umum digunakan untuk mengubah pati menjadi molekul yang lebih kecil lagi bahkan hingga mengubah pati menjadi gula sederhana.

Klasifikasi proses hidrolisa dapat dibagi menjadi: (1) Hidrolisa fase gas: sebagai penghidrolisa adalah air dan reaksi berjalan pada fase uap. (2) Hidrolisa fase cair: pada hidrolisa ini, ada 4 tipe hidrolisa, yaitu: (a) Hidrolisa murni: efek dekomposisinya jarang terjadi, tidak semua bahan terhidrolisa. Efektif digunakan pada : reaksi Grigrard dimana air digunakan sebagai penghidrolisa, (b) Hidrolisa bahan-bahan berupa anhidrid asam laktan dan laktanida. Hidrolisa senyawa alkil yang mempunyai komposisi kompleks, hidrolisa asam berair. Pada umumnya dengan HCl dan H2SO4, dimana banyak digunakan pada industri bahan pangan, misal: hidrolisa gluten menjadi monosodium glutamate, hidrolisa pati menjadi glukosa. Sedangkan H2SO4 banyak digunakan pada hidrolisa senyawa organik dimana peranan H2SO4 tidak dapat diganti. (c) Hidrolisa dengan alkali berair: Penggunaan konsentrasi alkali yang rendah dalam proses hidrolisa diharapkan ion H+ bertindak sebagai katalisator sedangkan pada konsentrasi tinggi diharapkan dapat bereaksi dengan asam yang terbentuk. (d) Hidrolisa dengan enzim Senyawa dapat digunakan untuk mengubah suatu bahan menjadi bahan hidrolisa lain. Hidrolisa ini dapat digunakan : hidrolisa molase, beer (pati maltosa/glukosa) dengan enzim amilase.

Pembuatan produk hidrolisat pati sering dilakukan karena produk hidrolisat pati memiliki banyak kegunaan terutama industri pangan. Aplikasi hidrolisa pati banyak digunakan dalam Industri makanan dan minuman menggunakan sirup glukosa hasil hidrolisis pati sebagai pemanis. Produk akhir hidrolisa pati adalah glukosa yang dapat dijadikan bahan baku untuk produksi fruktosa dan sorbitol. Hasil hidrolisis pati juga banyak digunakan dalam industri obat-obatan. Dan juga glukosa yang dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan bioethanol.

Sirup glukosa adalah cairan kental dan jernih dengan komponen utama glukosa yang diperoleh dari hidrolisis pati dengan cara kimia atau enzimatik. Proses hidrolisis pada dasarnya adalah pemutusan rantai polimer pati (C6H12O6)n menjadi unit-unit monosakarida (C6H12O6) (Nuri 2012). Sirup glukosa sering disebut juga dengan gula cair dan merupakan monosakarida, yang terdiri atas satu monomer yaitu glukosa, sedangkan gula pasir atau sukrosa merupakan disakarida, yang terdiri atas ikatan glukosa dan fruktosa.

Proses pembuatan sirup glukosa dapat dibuat dengan cara hidrolisis asam atau dengan cara enzimatis. Pembuatan sirup glukosa ini menggunakan bahan baku yang berasal dari pati umbi-umbian seperti pati dari ubi jalar, ubi ganyong, garut, kimpul, ataupun suweg, yang kurang dimanfaatkan dan dikembangkan di Indonesia. Pembuatan sirup glukosa (gula cair) ini diharapkan menjadi alternatif pengganti gula pasir (sukrosa) untuk memenuhi kebutuhan pokok pangan penduduk Indonesia. Pada saat proses pembuatan sirup glukosa, pemilihan sumber pati harus mempertimbangkan kandungan amilosa dan amilopektinnya. Sumber pati yang mempunyai amilopektin tinggi lebih baik karena memiliki pati ISP (Insoluble Starch Particles) yang dapat dihidrolisis secara asam maupun enzimatik (Nuri 2012).

Bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatan sirup glukosa adalah enzim alfa amilase, glukoamilase, karbon aktif, resin, bahan kimia NaOH dan HCl untuk pengatur pH dan NaHCO3 untuk menstabilkan pH. Proses produksi sirup glukosa meliputi likuifikasi, sakarifikasi, penjernihan, penetralan, dan evaporasi. Tahap likuifikasi adalah proses hidrolisa pati menjadi dekstrin oleh a-amilase pada suhu di atas suhu gelatinisasi dan pH optimum aktivitas a-amilase, selama waktu yang telah ditentukan untuk setiap jenis enzim. Proses likuifikasi berlangsung pada suhu 95oC (aktivitas enzim termofilik), karena itu suhu gelatinisasi pati yang akan dihidrolisis sebaiknya kurang dari 95oC. Di bawah suhu gelatinisasinya, pati tidak akan terurai atau terhidrolisis secara enzimatis maupun asam. Sesudah itu tangki diusahakan pada suhu 105oC dan pH 4,0-7,0 untuk pemasakan sirup sampai semua amilosa dapat terdegradasi menjadi dekstrin. Setiap dua jam, sirup pada tangki dianalisis kadar amilosanya dengan uji iod untuk mengetahui nilai DE (Dextrose Equivalen). Bila iod sudah menunjukkan warna coklat berarti amilosa sudah terdegradasi (nilai DE sekitar 8,0-14,0) maka proses likuifikasi sudah selesai (Nuri 2012).

Pada proses sakarifikasi, dekstrin didinginkan sampai 60oC, pH diatur pada angka 4,0-4,6. Proses ini biasanya berlangsung selama 72 jam dengan pengadukan secara terus-menerus. Proses sakarifikasi dianggap selesai bila sirup telah mencapai nilai DE minimal 94,5%, nilai warna 60%, transmiten dan Brix 30-36. Selanjutnya dilakukan proses pemucatan, penyaringan dan penguapan. Pemucatan bertujuan untuk menghilangkan bau, warna, kotoran, dan menghentikan aktivitas enzim. Proses hidrolisa pati menjadi molekul glukosa secara kimia dapat ditulis (C6H10O5)n n (C6H12O6) (pati).

Maltodekstrin dan sirup glukosa pada saat pembuatannya juga rentan mengalami kegagalan. Faktor yang dapat mempengaruhi kegagalan pembuatan maltodekstrin dan sirup glukosa adalah perbedaan konsentrasi asam klorida dalam perlakuan, asam klorida yang lebih kuat akan lebih kuat mendegradasi polisakarida dalam bahan, pengaruh pengadukan pada saat memasak maltodekstrin dan sirup glukosa, pengadukan yang tidak merata pada saat pemasakan menyebabkan larutan pati yang akan diolah menjadi maltodekstrin dan sirup glukosa akan gosong pada bagian bawah. Selain itu, mutu bahan yang digunakan mungkin sudah tidak bagus lagi karena dalam pembuatan bahan dengan analisis mutu memiliki waktu yang relatif lama.

Penggunaan asam sebagai penghidrolisa menghasilkan biaya produksi yang sedikit, namun produk yang dihasilkan tidak seragam dan banyak senyawa pati yang rusak oleh asam tersebut, sedangkan penggunaan enzim sebagai penghidrolisa menghasilkan produk yang seragam, lebih terkontrol, namun biaya produksi lebih tinggi karena harga dari enzim sendiri lebih mahal jika dibandingkan dengan asam.

Variabel-variabel yang berpengaruh terhadap reaksi hidrolisa :

1. Katalisator Hampir semua reaksi hidrolisa memerlukan katalisator untuk mempercepat jalannya reaksi. Katalisator yang dipakai dapat berupa enzim atau asam sebagai katalisator, karena kerjanya lebih cepat. Asam yang dipakai beraneka ragam mulai dari asam klorida (Agra dkk 1973; Stout & Rydberg Jr. 1939), Asam sulfat sampai asam nitrat. Yang berpengaruh terhadap kecepatan reaksi adalah konsentrasi ion H, bukan jenis asamnya. Meskipun demikian di dalam industri umumnya memakai larutan HCl yang mempunyai konsentrasi asam lebih tinggi dari pada pembuatan sirup. Hidrolisa pada tekanan 1 atm memerlukan asam yang jauh lebih pekat.

2. Suhu dan tekanan Pengaruh suhu terhadap kecepatan reaksi mengikuti persamaan Arhenius.makin tinggi suhu, makin cepat jalannya reaksi. Untuk mencapai konversi tertentu diperlukan waktu sekitar 3 jam untuk menghidrolisa pati ketela rambat pada suhu 100C. tetapi kalau suhunya dinaikkan sampai suhu 135C, konversi yang sebesar itu dapat dicapai dalam 40 menit (Agra dkk1973). Hidrolisis pati gandum dan jagung dengan katalisator asam sulfat memerlukan suhu 160C. karena panas reaksi hampir mendekati nol dan reaksi berjalan dalam fase cair maka suhu dan tekanan tidak banyak mempengaruhi keseimbangan.

3. Pencampuran (pengadukan) Supaya zat pereaksi dapat saling bertumbukan dengan sebaik-baiknya, maka perlu adanya pencampuran. Untuk proses batch, hal ini dapat dicapai dengan bantuan pengaduk atau alat pengocok (Agra dkk 1973). Apabila prosesnya berupa proses alir (kontinyu), maka pencampuran dilakukan dengan cara mengatur aliran di dalam reaktor supaya berbentuk olakan.

4. Perbandingan zat pereaksi Jika salah satu zat pereaksi berlebihan jumlahnya maka keseimbangan dapat menggeser ke sebelah kanan dengan baik. Oleh karena itu suspensi pati yang kadarnya rendah memberi hasil yang lebih baik dibandingkan kadar patinya tinggi. Bila kadar suspensi diturunkan dari 40% menjadi 20% atau 1%, maka konversi akan bertambah dari 80% menjadi 87 atau 99% (Groggins 1958). Pada permukaan kadar suspensi pati yang tinggi sehingga molekul-molekul zat pereaksi akan sulit bergerak. Untuk menghasilkan pati sekitar 20%.

Pada produk hidrolisat pati, dilakukan pengujian dengan menggunakan iod. Uji iod bertujuan untuk mengidentifikasi polisakarida. Reagent yang digunakan adalah larutan iodin yang merupakan I2 terlarut dalam potassium iodide. Reaksi antara polisakarida dengan iodin membentuk rantai poliiodida. Polisakarida umumnya membentuk rantai heliks (melingkar), sehingga dapat berikatan dengan iodin, sedangkan karbohidrat berantai pendek seperti disakarida dan monosakaraida tidak membentuk struktur heliks sehingga tidak dapat berikatan dengan iodin.

Pada hidrolisis sempurna, pati seluruhnya dikonversi menjadi dektrosa, derajat konversi tersebut dinyatakan dengan dextrose equivalent (DE), dari larutan tersebut diberi indeks 100. Dextrose Equivalent (DE) adalah besaran yang menyatakan nilai total pereduksi pati atau produk modifikasi pati dalam satuan persen. DE berhubungan dengan derajat polimerisasi (DP). DP menyatakan jumlah unit monomer dalam satu molekul. Unit monomer dalam pati adalah glukosa sehingga maltosa memiliki DP 2 dan DE 50 (Wurzburg 1989).

Produk yang dihasilkan dari proses hidrolisat pati contohnya adalah maltodekstrin dan sirup glukosa. Maltodekstrin didefinisikan sebagai produk hidrolisis pati yang mengandung unit -D-glukosa yang sebagian besar terikat melalui ikatan 1,4 glikosidik dengan DE kurang dari 20. Rumus umum maltodekstrin adalah [(C6H10O5)nH2O)] . Maltodekstrin merupakan produk dari modifikasi pati salah satunya singkong (tapioka). Maltodekstrin sangat banyak aplikasinya. Seperti halnya pati maltodekstrin merupakan bahan pengental sekaligus dapat sebagai emulsifier. Kelebihan maltodekstrin adalah bahan tersebut dapat dengan mudah melarut pada air dingin. Aplikasinya penggunaan maltodekstrin contohnya pada minuman susu bubuk, minunan berenergi (energen) dan minuman prebiotik.

Proses pembuatannya ada dua, yaitu maltodekstrin dengan hidrolisat asam dan maltodekstrin dengan hidrolisat enzim. Maltodekstrin dengan hidrolisat asam prosesnya cukup sederhana yang pertama larutkan tapioka kedalam air hingga konsentrasi 30%. Kemudian, tambahkan asam (HCL) kedalamnya dan dipanaskan pada suhu antara 80-90C. dalam pemanasan harus selalu diaduk untuk menghindari proses gelatinisasi dari pati. proses berikutnya adalah mengeringkan suspensi tersebut dengan drum drier atau spray drier. jika telah dikeringkan, produk yang masih dalam bentuk kerak digiling menggunakan blander hingga halus. Produk selanjutnya dengan kemasan kering dan disimpan pada tempat kering. Untuk maltodekstrin dengan hidrolisat enzim caranya hampir sama dengan pembuatan maltodekstrin dengan hidrolisat asam hanya mengganti asam yang telah ditambahkan dengan enzim. jika dibandingkan proses pembuatan malto dekstrin dengan hidrolisat enzim akan lebih mudah dengan biaya yang murah daripada pembuatan maltodekstrin dengan hidrolisat enzim.

Pembuatan produk gula seperti gula cetak, gula semut, gula invert, sirup glukosan, dan produk hidrolisat pati diuji mutunya agar memiliki kualitas sesuai dengan standar. Uji yang dilakukan pada produk gula ini meliputi uji warna, uji kekerasan, bagian yang tidak larut dalam air, gula pereduksi metode luff schoorl, gula pereduksi metode DNS, kadar sukrosa metode luff schoorl, dan kandungan total gula dengan metode fenol- asam sulfat.

Warna merupakan sifat produk pangan yang dapat dipandang sebagai sifat fisik (obyektif) dan sifat organoleptik (subyektif). Warna dapat dianalisa secara obyektif dengan instrumen fisik dan secara organoleptik atau subyektif dengan indera manusia. Persepsi warna benda oleh seorang subyek dapat ditetapkan setelah pada benda tersebut dikenai sinar, kemudian sinar yang dipantulkan oleh benda tersebut mengenai retina mata. Retina mempunyai 3 sel reseptor warna Retina mempunyai 3 sel reseptor warna yang disebut dengan cone atau kerucut karena bentuknya yang menyerupai kerucut, yang masing-masing mempunyai respon terhadap spektrum yang berbeda. Warna benda ditentukan oleh: - Adanya sinar sebagai sumber penerangan yang menyinari benda- Sifat absorpsi dan refleksi spektrum dari benda yang disinari- Kondisi lingkungan benda- Kondisi subyek yang melihat benda.

Warna sebagai sifat obyektif merupakan manifestasi dari sifat sebagai fenomena fisik, yaitu sinar atau radiasi gelombang elektromagnetik. Warna mempunyai dua parameter, yaitu panjang gelombang (l) dan intensitas sinar. Panjang gelombang merupakan parameter sinar yang berkaitan dengan warna. Intensitas sinar merupakan tingkat besaran energi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan, dimana sinar dengan intensitas tinggi akan menghasilkan cahaya terang, sebaliknya sinar yang intensitasnya rendah akan menghasilkan cahaya yang redup dan lemah.

Kecerahan warna diukur dengan menggunakan colorimeter berdasarkan metode sistem Hunter/L*,a*,b* (Suyatma 2009). Prosedur penggunaan alat tersebuta adalah sebagai berikut. Alat dihidupkan, dipilih color space L* a* b*, lab ditekan. Lensa fokus (bagian ujung alat) diletakkan pada target sampel. Tombol pengukuran ditekan sampai berbunyi nada beep dan display menunjukkan hasil pengukuran nilai L*, a*, b*. Sistem Notasi Hunter dikembangkan oleh Hunter pada tahun 1952. Sistem warna ini dicirikan dengan 3 parameter warna, yaitu warna kromatik (hue): a* intensitas warna: b*, kecerahan: L*. Keuntungan penggunaan sistem ini adalah pengukuran dapat dilakukan secara obyektif, prosedur pengukuran cepat dan mudah, notasinya dapat diterjemahkan atau dikonversikan dengan sistem notasi lain, seperti I.C.I, serta alat pengukur warna relatif sederhana sehingga harganya relatif rendah. Prinsip pengukuran alat colorimeter didasarkan pada pengukuran secara langsung nilai L*, a* dan b* dari contoh.

Notasi-notasi yang terdapat dalam sistem Hunter, yaitu: Notasi L*: 0 (hitam); 100 (putih) menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik putih, abu-abu dan hitam. Notasi a*: warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai +a* (positif) dari 0 sampai +80 untuk warna merah, sedangkan nilai a* (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Notasi b*: warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai +b* (positif) dari 0 sampai +70 untuk warna kuning, sedangkan nilai b* (negatif) dari 0 sampai -70 untuk warna biru

Menurut Supardi (1993), faktor kekerasan gula merah meliputi kadar air produk, perlakuan selama penyimpanan, penambahan minyak nabati, penundaan pengolahan nira, dan penambahan pati. Semakin rendah kadar air suatu produk, maka kekerasan yang dihasilkan akan semakin tinggi. Kadar air tersebut dipengaruhi oleh lama pemasakkan saat memproduksi gula merah. Perlakuan selama penyimpanan berpengaruh pula terhadap kekerasan gula metah. Kelunakan gula merah selama penyimpanan pada umumnya disebabkan oleh peningkatan kadar air produk, akibat pengikatan air yang berasal dari lingkungan oleh produk. Cara pengemasan yang salah seperti mengemas gula dalam kantung plastik dalam keadaan masih panas, dapat menyebabkan gula menjadi lunakatau basah pada bagian permukaan. Pelunakan terjadi akibat akumulasi atau pengembunan uap air yang berasal dari dalam gula itu sendiri karena tertahan oleh plastik, dan terserap ke permukaan gula.

Dalam menganalisis mutu gula, dilakukan pula analisis sifat kimia yang mencakup bagian yang tidak larut di dalam air, gula pereduksi metode luff schoorl dan metode DNS, kadar sukrosa metode luff schoorl, serta kandungan gula total metode fenol- asam sulfat. Pada umumya, dalam melakukan analisis sifat kimia dilakukan pengenceran pada bahan yang akan diuji. Pengenceran pada prinsipnya hanya menambahkan pelarut saja, sehingga jumlah mol zat terlarut sebelum pengenceran sama dengan jumlah mol zat terlarut sesudah pengenceran atau jumlah gram zat terlarut sebelum pengenceran sama dengan jumlah gram zat terlarut sesudah pengenceran. Rumus sederhana pengenceran adalah M1V1=M2V2, dimana M1 adalah molaritas sebelum pelarutan, V1 adalah volume larutan sebelum pelarutan, M2 adalah molaritas sesudah pelarutan, dan V2 adalah volume larutan sesudah pelarutan.

Bagian gula yang tidak larut air menentukan mutu gula disebabkan pada dasarnya gula murni memiliki karakteristik larut dalam air. Seberapa besar bagian yang tidak larut air dapat menjadi penduga tingkat kemurnian gula, di mana semakin tinggi tingkat kemurnian gula maka bagian tidak larut airnya semakin kecil, begitu pula sebaliknya. Berdasarkan SNI 01-3743-1995, bagian tidak larut air pada gula palma (aren, kelapa, atau siwalan) yang berbentuk gula cetak maksimum sebesar 1% dan gula semut sebesar 0,2%.

Prinsip uji ini dilakukan untuk mengetahui bagian yang terlarut dan tidak terlarut pada proses pembuatan gula, khususnya untuk menentukan bagian tidak terlarut pada gula invert. Umumnya data bagian yang tidak larut atau larut hasilnya bisa lebih tinggi ataupun lebih rendah. Banyaknya kandungan bahan yang tidak terlarut ini dipengaruhi oleh banyak sedikitnya kandungan sukrosa. Seperti yang diketahui, bahwa sukrosa merupakan oligosakarida yang sukar larut dalam air. Maka partikel yang tertinggal dalam kertas saring adalah partikel sukrosa yang disebut bagian tidak larut pada gula.

Metode luff schoorl merupakan suatu cara penentuan monosakarida (gula pereduksi) dengan cara kimiawi. Pada metode ini yang ditentukan bukan kuprooksida yang mengendap, melainkan dengan menentukan kuprioksida dalam larutan sebelum direaksikan dengan gula pereduksi (titrasi blanko) dan sesudah direaksikan dengan sampel gula pereduksi (titrasi sampel). Larutan sampel dan blanko tersebut ditirasi menggunakan Na-tiosulfat. Selisih titrasi blanko dengan titrasi sampel ekuivalen dengan kuprooksida yang terbentuk dan juga ekuivalen dengan jumlah gula pereduksi yang ada dalam sampel bahan.

DNS merupakan larutan yang mengandung 3,5 3,5-dinitrosalicylic acid, potassium sodium tartarate, dan NaOH. DNS berfungsi untuk menghentikan reaksi pada metode deteksi amilase dengan menggunakan metode tersebut. Turunnya kandungan gula yang dilepaskan selama reaksi dan mengukur pati sebagai sumber karbon. Metode DNS ini menggunakan spektrofotometer untuk mengukur absorban dari suatu cairan. Menurut Khopkar (2003), nilai yang dihasilkan oleh spektofotometer bukanlah nilai absoeban (A) tetapi nilai transmitan (T). Nilai absorban adalah besarnya sinar radiasi yang diserap oleh zat, sedangkan nilai transmitan adalah besarnya sinar radiasi yang melewati zat dan ditangkap oleh detektor spektofotometer. Untuk mendapatkan nilai absorban maka diperlukan konversi menggunakan rumus: A = -long %T

Prinsip kerja yang digunakan oleh alat spektrofotometer adalah dengan menggunakan gelombang dengan panjanng tertentu yang diatur guna menembus suatu lautan. Semakin kecil kerapatan yang dimiliki suatu larutan, maka semakin mudah suatu gelombang menembusnya, akhirnya berkorelasi dengan nilai absorban yang semakin kecil pula. Unsur- unsur yang terpenting pada alat ini adalah (1) sumber energi radiasi yang kontinyu dan meliputi daerah spektrum, (2) monokromator, yang merupakan suatu alat untuk mengisolasi suatu berkas sempit dan panjang gelombang dari spektrum luas yang disiarkan oleh sumber, 930 wadah untuk contoh, kuvet yang terbuat dari kuarsa memiliki ketelitian tinggi, (4) detektor yang merupakan transducer yang mengubah energi radiasi menjadi isyarat listrik, (5) penguat dan rangkaian yang bersangkutan yang membuat isyarat listrik cocok untuk diamati, (6) sistem pembacaan yang dapat mempertunjukkan besarnya isyarat listrik (Rohman 2007).

Setelah menggunakan alat spektrofotometer untuk mengetahui absorbansi sesuai dengan konsentrasi blanko yang telah dibuat, tahap selanjutnya adalah pembuatan kurva standar. Kurva ini dibuat dengan membuat deret laturan standar kemudian diukur serapan atau absorbasinya menggunakan spektrofotometer, selanjutnya dibuat kurva kalibrasi antara konsentrasi larutan dengan absorbasi. Kurva inilah yang disebut dengan kurva standar. Dengan membandingkan serapan radiasi oleh sampel terhadap larutan standar yang telah diketahui konsentrasinya, maka konsentrasi sampel yang diuji dapat ditentukan melalui hasil plot kurva standar.

Selain menggunakan metode DNS, kadar gula pereduksi dapat diukur dengan menggunakan uji luff schoorl. Pengujian gula pereduksi menggunakan metode luff schoorl untuk mengukur kadar gula pereduksi, metode luff schoorl ini didasarkan pada reaksi sebagai berikut: R-CHO + 2 Cu2+ R-COOH + Cu2O2 Cu2+ + 4 I- Cu2I2 + I22 S2O32- + I2 S4O62- + 2 I-

Monosakarida akan mereduksikan CuO dalam larutan luff menjadi Cu2O. Kelebihan CuO akan direduksikan dengan KI berlebih, sehingga dilepaskan I2. I2 yang dibebaskan tersebut dititrasi dengan larutan Na2S2O3. Pada dasarnya prinsip metode analisa yang digunakan adalah Iodometri karena kita akan menganalisa I2 yang bebas untuk dijadikan dasar penetapan kadar. Dimana proses iodometri adalah proses titrasi terhadap iodium (I2) bebas dalam larutan. Apabila terdapat zat oksidator kuat (misal H2SO4) dalam larutannya yang bersifat netral atau sedikit asam penambahan ion iodida berlebih akan membuat zat oksidator tersebut tereduksi dan membebaskan I2 yang setara jumlahnya dengan dengan banyaknya oksidator. I2 bebas ini selanjutnya akan dititrasi dengan larutan standar Na2S2O3 sehinga I2 akan membentuk kompleks iod-amilum yang tidak larut dalam air.

Pengujian kadar sukrosa dengan metode luff schoorl, didahului dengan penambahan HCl. Penambahan ini dimaksudkan untuk menghidrolisis kandungan sukrosa yang ada supaya berubah menjadi monosakarida. Monosakarida yang dimaksud adalah glukosa dan fruktosa. Jika larutan Na2S2O3 yang digunakan banyak, maka mengindikasikan banyak kandungan glukosa dan fruktosa dalam larutan. Hal ini juga mengindikasikan gula tersebut mengandung banyak sukrosa yang telah terkonversi secara sempurna. Penggunaan asam pada awal praktikum memang dimaksudkan untuk menghidrolisis sukrosa yang ada pada bahan supaya berubah menjadi glukosa dan fruktosa.

Pengujian gula pereduksi metode fenol dilakukan dengan cara memasukkan 1 ml sampel ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 1 ml larutan fenol 5%. Larutan tersebut kemudian dikocok dengan vorteks. Lalu, dilakukan penambahan H2SO4 sebanyak 5 ml ke dalam larutan. Dibiarkan sampai dingin pada suhu ruang, kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 550 nm. Pengukuran gula pereduksi dengan metode fenol didasarkan pada prinsip bahwa gula sederhana, oligosakarida, polisakarida dan turunannya dapat bereaksi dengan fenol dalam asam sulfat pekat menghasilkan warna oranye yang stabil (Apriyantono, 1989). ________________________________________

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Pengamatan [Hasil pengamatan terlampir]

B. Pembahasan Pada praktikum Teknologi Pati, Gula, dan Sukrokimia, praktikan membuat berbagai macam produk yang berasal dari bahan yang mengandung pati. Produk yang dibuat adalah gula cetak, gula semut, gula invert, dan pemanis berbasis pati atau produk hidrolisat pati. Selain membuat produk, praktikan juga melakuka analisis mutu produk gula. Analisis mutu produk gula ini meliputi uji warna, uji kekerasan, bagian yang tidak larut dalam air, gula pereduksi metode luff schoorl, gula pereduksi metode DNS, kadar sukrosa metode luff schoorl, dan kandungan total gula. Namun pada praktikum ini, tidak dilakukan seluruh jenis analisa mutu produk gula. Praktikan hanya melakukan uji warna pada gula cetak, gula semut, dan gula invert; kadar gula pereduksi metode luff schoorl yang dilakukan pada gula semut dan gula cetak, gula pereduksi metode DNS pada gula invert dan produk hidrolisat pati seperti maltodextrin dan sirup glukosa; kadar sukrosa metode luff schoorl pada gula semut dan gula cetak; dan terakhir kandungan gula total metode fenol- asam sulfat pada gula invert dan produk hidrolisat pati.

B.1 Gula Cetak

Pembuatan gula cetak berasal dari bagian batang tebu yang berbeda, yakni batang tebu bagian atas, dan batang tebu bagian bawah. Pada kelompok 1, 3, dan 5 menggunakan batang tebu bagian atas dan kelompok 2, 4, dan 6 menggunakan batang tebu bagian bawah. Pada kelompok 1 bobot awal 1200 gram, bobot batang 1130 gram, dan bobot bagase 340 gram sehingga volume nira diperoleh sebesar 650 ml dan gula cetak yang diperoleh adalah sebesar 4.76 kg. Pada kelompok 2 bobot awal 1420 gram, bobot batang 1050 gram, dan bobot bagase 270 gram sehingga diperoleh volume nira sebesar 660 ml dan gula cetak yang diperoleh adalah sebesar 4.54 kg. Pada kelompok 3 bobot awal 1260 gram, bobot batang 850 gram, dan bobot bagase 240 gram sehingga diperoleh volume nira 525 ml, dan gula cetak yang diperoleh adalah sebesar 4.04 kg. Pada kelompok 4 bobot awal 1440 gram, bobot batang 840 gram, dan bobot bagase 240 gram sehingga diperoleh volume nira sebesar 463 ml. gula cetak yang dihasilkan sebesar 3.74 kg. Pada kelompok 5 bobot awal 1220 gram, bobot batang 650 gram, dan bobot bagase 150 gram sehingga diperoleh volume nira sebesar 380 ml dan gula cetak yang diperoleh adalah sebesar 2.65 kg. Pada kelompok 6 bobot awal 1430 gram, bobot batang 980 gram, dan bobot bagase 200 gram sehingga diperoleh volume nira 657 ml, sedangkan gula cetak yang dihasilkan tidak dapat diketahui karena ketidaklengkapan data. Tebu bagian bawah menghasilkan kadar gula yang lebih tinggi dibandingkan tebu bagian atas. Perbedaan tersebut disebabkan oleh adanya proses respirasi yang membutuhkan karbohidrat sebagai nutrisi makanan. Hal tersebut menyebabkan nira semakin berkurang pada tebu bagian atas, sedangkan nira pada tebu bagian bawah masih tersimpan dalam jumlah banyak. Sehingga, berat tebu dan volume nira yang terkandung dalam tebu juga berbeda.

Selanjutnya, pada proses pembuatan gula cetak ini dilakukan dua macam perlakuan, yaitu dengan penambahan kapur dan tanpa penambahan kapur. Kelompok yang melakukan perlakuan dengan penambahan kapur yaitu kelompok 3, 4, 5, dan 6. Sedangkan kelompok 1 dan 2 melakukan perlakuan tanpa penambahan kapur. Hasil praktikum menunjukan bahwa pembuatan gula merah cetak dengan penambahan kapur memiliki derajat kemanisan sekitar 10-14 brix, kadar sukrosa gula cetak yang dihasilkan sekitar 30-31%, memiliki warna hijau kecoklatan sampai coklat tua, mempunyai rasa manis, dan pH setelah penambahan kapur meningkat dari pH awal sebesar 5 menjadi 6-7. Sedangkan gula merah tanpa penambahan kapur memiliki derajat kemanisan sebesar 11,6-13 brix, kadar sukrosa gula yang dihasilkan sekitar 28,15%, memiliki warna hijau opaque, hijau kecoklatan, rasa yang dihasilkan adalah manis, dan mempunyai pH yang tidak berubah dari pH awal yaitu sebesar 5. Penambahan kapur mempengaruhi kadar sukrosa dan pH nira yang akan diolah menjadi gula merah cetak. Perubahan pH mempengaruhi proses pembuatan gula cetak karena nira yang telalu asam susah mengalami pengentalan cairan atau tidak dapat dicetak. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan penambahan kapur terhadap nira berdampak positif terhadap: kadar gula total, kadar gula reduksi, pH serta penerimaan panelis terhadap nilai rasa, aroma, warna dan tekstur gula merah cetak yang dihasilkan. Selain itu, penambahan kapur pada saat pemasakan nira bertujuan untuk memperoleh hasil nira gula dengan kadar sukrosa yang maksimum dan jernih, namun penambahan kapur yang berlebihan dapat menyebabkan rasa gula merah cetak menjadi kurang enak sehingga akan berpengaruh pada kualitasnya.

Pengujian warna pada gula cetak hanya menggunakan pengamatan secara visual dan membandingkan kepekatan warnanya. Pada praktikum analisis mutu pengujian warna mendapatkan hasil pada kelompok 1 setelah dilakukan pengamatan warna, diperoleh warna kuning kecoklatan, pada kelompok 2 diperoleh warna coklat atau lebih tua dari warna yang dihasilkan kelompok 1, kelompok 3 memperoleh warna coklat tua atau hamper sama dengan warna pada kelompok 2 . Sedangkan pada kelompok 4 dan 5 tidak terdapat data mungkin disebabkan kelompok 4 dan 5 tidak melakukan pengujian warna, sedangkan kelompok 6 setelah dilakukan pengamatan warna, diperoleh warna kuning kecoklatan. Dari hasil pengamatan didapatkan bahwa pada gula cetak pada bagian bawah lebih gelap daripada warna bagian atas. Warna tersebut muncul karena ada kandungan proteinnya. Semakin tinggi konsentrasi protein, semakin gelap warnaya

Pada praktikum analisa produk gula ini tidak dilakukan uji kekerasan menggunakan penetrometer. Hal ini disebabkan gula cetak yang terlalu keras dan beban untuk menguji kekerasan ini tidak mencukupi bebannya.

Dalam praktikum analisis mutu gula pereduksi (luff schoorl) dengan bahan gula cetak untuk mendapatkan persentasi gula sebelum inversi. Hasil pengamatan menunjukan bahwa sebagian besar kelompok mendapatkan kandungan gula pereduksi pada gula cetak yang diuji,akan tetapi ada satu kelompok praktikum yang tidak mendapatkan kandungan gula pereduksi pada gula cetak yang diuji. peresntase gula pereduksi dengan fp : 0,01 pada setiap kelompok masing-masing mendapatkan hasil 19.87%, - , 34.87%, 24.25%, 43%, 37.37%. Sedangkan dengan penggunaan Na-tiosulfat menggunakan blanko 18.3, pada kelompok 1 mendapatkan kandungan gula pereduksi sebesar 15 ml, kelompok 2 tidak mendapatkan kandungan gula pereduksi mungkin disebabkan kandungan gula pereduksi dalam bahan sudah tidak ada, kelompok 3 mendapatkan kandungan gula pereduksi sebesar 12.6 ml, kelompok 4 mendapatkan kandungan gula pereduksi 14.7 ml, kelompok 5 mendapatkan kandungan gula pereduksi sebesar 11.3 ml, kelompok 6 mendapatkan kandungan gula pereduksi sebesar 12.2 ml. Semakin banyak tiosulfat yang diperlukan untuk titrasi maka semakin banyak I2 bebas. I2 bebas ini merupakan dasar penetapan banyaknya gula monosakarida (pereduksi) dalam bahan.

Selanjutnya adalah uji kadar sukrosa dengan metode luff school. Uji metode ini dilakukan dengan menggunakan 50 ml hasil saringan penetapan gula pereduksi. Gula pereduksi tersebut diencerkan dengan faktor pengenceran sebesar 0.01. Persentase kadar sukrosa gula cetak setelah inverse dari masing- masing kelompok adalah 49.5%, 69%, 67.75%, 56%, dan 50.23%. Sedangkan penggunaan tiosulfat dengan blanko 21 ml, pada masing-masing kelompok mendapatkan hasil 13ml, 10ml, 10.2 ml, 12 ml, 11.8 ml, dan 10 ml. Semakin banyak Na-tiosulfat yang diperlukan untuk titrasi maka semakin banyak I2 bebas. I2 bebas ini merupakan dasar penetapan banyaknya gula monosakarida (pereduksi) dalam bahan. Persentase kadar sukrosa total dari masing-masing kelompok adalah 28.15%, - , 31.24%, 30.16 %, 13.58 %, 30.05%. Pada gula merah cetak dari tebu yang diuji, kadar sukrosa yang tertinggi ada pada kelompok 3(31.24%) yaitu pada bahan tebu bagian atas. Hal ini disebabkan karena sukrosa yang ada belum terkonversi menjadi glukosa dan fruktosa. Sedangkan hasil dari tingkat hidrolisis setelah penambahan asam gula cetak yang paling banyak berubah menjadi monosakarida (glukosa dan fruktosa) pada kelompok 5 (79) dari bahan tebu bagian bawah. Semakin banyak larutan asam yang digunakan maka akan semakin banyak kandungan glukosa dan fruktosa yang dihasilkan dalam larutan. Kadar sukrosa sendiri merupakan faktor mutu yang menentukan, karena berpengaruh pada kadar air dan kandungan gula pereduksi yang selanjutnya mempengaruhi kekerasan gula merah (Nurhayati, 1992).

Dalam praktikum analisis mutu gula cetak yang terakhir adalah total gula. Uji ini dilakukan dengan cara seperti uji kandungan gula pereduksi metode DNS dengan menggunakan alat spektrofotometer. Kurva standar diukur pada konsentrasi 10- 60 ppm dengan absorbansi diukur pada panjang gelombang 490 nm. Persentase kadar sukrosa total dari masing-masing kelompok adalah 47.02%, 65.55%, 64.36%, 53.2 %, 54.43 %, 65.55%. Dari hasil praktikum total gula yang paling tinggi terdapat pada kelompok 2 dan 6 dari bahan tebu bagian atas, sedangkan total gula yang terendah terdapat pada kelompok 1 dari bahan tebu bagian bawah. Dari hasil praktikum sesuai dengan literatur bahwa tebu bagian bawah menghasilkan kadar gula yang lebih tinggi dibandingkan tebu bagian atas. Perbedaan tersebut disebabkan oleh adanya proses respirasi yang membutuhkan karbohidrat sebagai nutrisi makanan. Hal tersebut menyebabkan nira semakin berkurang pada tebu bagian atas, sedangkan nira pada tebu bagian bawah masih tersimpan dalam jumlah banyak.

B.2 Gula Semut

Pada praktikum kali ini, pembuatan gula semut dilakukan dengan bahan baku gula cetak kelapa dan gula cetak aren. Gula semut yang dibuat dari gula cetak kelapa dibuat oleh kelompok 1, 2, dan 3, sedangkan gula semut yang dibuat dari gula cetak aren dibuat oleh kelompok 4, 5, dan 6. Dari hasil pengamatan, rasa gula semut yang terbuat dari gula aren lebih manis dibandingkan dengan gula kelapa. Untuk kelompok 1, 2, dan 3 memiliki tingkat kemanisan masing- masing gula semut adalah 3, sedangkan untuk kelompok 4, 5, dan 6 memiliki tingkat kemanisan masing masing 4, 3, dan 4.

Aroma gula semut aren dan gula semut kelapa adalah khas gula merah dan berwarna coklat muda. Hal ini sesuai dengan syarat mutu gula palma kristal (gula semut) yang dapat dilihat pada tabel 3. Namun, ada beberapa gula semut yang terbuat dari gula kelapa yang memiliki kriteria yang tidak sesuai dengan standar, yakni dari segi penampakan terutama bentuk. Bentuk gula semut kelapa yang dibuat oleh masing- masing kelompok ini tidak berbentuk serbuk, melainkan karamel yang mengeras dan menjadi gulali. Aroma yang diciptakan pun tercium gosong, dan rasanya agak pahit. Kegagalan pembuatan gula semut kelapa ini disebabkan oleh kualitas gula cetak yang tidak bagus atau mungkin gula cetak telah terkontaminasi oleh mikroba pembentuk asam.

Selanjutnya adalah uji gula pereduksi metode luff schoorl pada gula semut. Gula pereduksi yang dikandung oleh gula semut sebanyak 0,4 gram memiliki nilai glukosa yang ditunjukkan oleh banyaknya titrasi yang dilakukan larutan tiosulfat yang kemudian dikonversi menjadi mg glukosa. Persentasi gula pereduksi yang dikandung gula semut masing- masing kelompok adalah 60.52%, 27.75%, 43%, 46.9%, dan 21.13%. Dari hasil pengamatan, gula semut kelapa milik kelompok 1 sudah sesuai dengan literatur, namun gula semut aren kelompok 4 dan 5 ternyata memiliki kandungan gula pereduksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan gula semut kelapa kelompok 2. Hal ini tidak sesuai dengan literatur karena seharusnya kandungan gula pereduksi pada kelapa lebih tinggi dari pada gula pereduksi yang dikandung oleh aren. Komposisi nira yang berasal dari aren dan kelapa, masing- masing memiliki kandungan gula pereduksi sebanyak 2-4 g/l dan 7-10 g/l (Suniarti dkk 2013).

Dari uji gula pereduksi metode luff schoorl, dapat dilanjutkan uji kadar sukrosa metode luff schoorl dengan menggunakan 50 ml hasil saringan penetapan gula pereduksi. Gula pereduksi tersebut diencerkan dengan faktor pengenceran sebesar 0.01. Persentase kadar sukrosa gula semut dari masing- masing kelompok adalah 14.46%, 38%, 23.02%, 28.02%, dan 50.23%. Kadar sukrosa akan menentukan sifat mudah mengkristalnya suatu gula. Semakin tinggi kandungan sukrosa, maka akan semakin tinggi pula kemampuan mengkristalnya. Berdasarkan literatur, komposisi nira yang berasal dari aren dan kelapa, masing- masing memiliki kandungan sukrosa sebanyak 130-170 g/l dan 120-180 g/l. Sehingga gula yang dibuat dari nira kelapa akan lebih mudah mengkristal dibandingkan gula yang dibuat dari nira aren.

B.3 Gula Invert

Pada praktikum kali ini, pembuatan sirup gula invert dengan hidrolisis asam lemah dan asam kuat dilakukan dengan dua metode yakni metode asam tartarat dan metode HCl. Setiap kelompok membuat sirup gula invert dari berbagai macam gula dan metode yang digunakan, dengan kelompok 1 adalah gula pasir dan metode HCl, kelompok 2 adalah gula kelapa dan metode HCl, kelompok 3 adalah gula aren dan metode HCl, kelompok 4 adalah gula pasir dan metode asam tartarat, kelompok 5 adalah gula kelapa dengan metode asam tartarat, dan kelompok 6 dari gula aren dan metode asam tartarat. Banyaknya gula pasir, gula kelapa, dan gula aren yang digunakan masing-masing 100 g, 100 g, dan 500 g.

Dari data hasil praktikum, sirup gula invert yang dihasilkan masing- masing kelompok adalah 110 ml, 105 ml, 109 ml, 89 ml, 100 ml, dan 76 ml. Dapat disimpulkan bahwa gula invert yang dihasilkan dengan metode HCl lebih banyak volumenya dibandingkan dengan metode asam tartarat. Hal ini disebabkan oleh daya inversi asam klorida (100%) yang lebih tinggi dari pada daya inversi asam tartarat (3.00%) (Junk dan Pancoast 1980).

Uji gula pereduksi metode DNS diawali dengan membuat pereaksi DNS dan standar glukosa. Pembuatan kurva standar DNS dibuat dengan membuat larutan glukosa konsentrasi 100 ppm, 150 ppm, 200 ppm, dan 250 ppm. Kemudian, masing- masing sampel dari kelompok 1-6 yang telah diberi pereaksi DNS diuji nilai absorbansi dengan menggunakan spektrofotometer. Dari data hasil pengamatan, nilai absorbansi gula invert dari tiap kelompok adalah -0.041, 0.516, -0.25, 0.544, 0.115, dan 0.103. Dari nilai absorbansi tersebut, dapat digunakan untuk menentukan nilai konsentrasi gula pereduksi yang dikandung oleh gula invert dengan menggunakan kurva standar yang sebelumnya telah dibuat. Sehingga diperoleh nilai kandungan gula pereduksi dari masing- masing kelompok, yakni 33.5 ppm, 232.429 ppm, -41.1429 ppm, 242.429 ppm, 89.214 ppm, dan 84.928 ppm. Terjadi kejanggalan pada nilai kandungan gula pereduksi pada kelompok 3 karena telah menunjukkan hasil yang negatif atau minus dan diduga bahwa terjadi kesalahan pada nilai yang ditunjukkan oleh spektrofotometer.

Kadar gula pereduksi sirup gula invert ditentukan oleh kesempurnaan proses hidrolisis. apabila konsentrasi asam dan waktu hidrolisis berlebihan maka kadar gula pereduksinya akan turun. Hal ini dikarenakan glukosa dan fruktosa yang telah terbentuk selama hidrolisis pada suasana asam dan suhu tinggi dapat terurai menjadi senyawa lain yang tidak diinginkan yaitu hidroksi metil sehingga akan menurunkan kadar gula pereduksi (Hall 1973).

Terakhir, analisa mutu produk gula invert dilakukan dengan menguji kandungan total gula metode fenol- asam sulfat. Uji ini dilakukan dengan cara seperti uji kandungan gula pereduksi metode DNS dengan menggunakan alat spektrofotometer. Kurva standar diukur pada konsentrasi 10-60 ppm dengan absorbansi diukur pada panjang gelombang 490 nm. Dari data pengamatan didapatkan kandungan total gula pada gula semut tiap kelompok adalah 28.54%, 34.87%, 30.01%, 2.95%, 49.27%, dan 67.53% sehingga dapat disimpulkan bahwa kandungan total gula yang dikandung oleh gula semut aren lebih tinggi dibandingkan dengan gula semut kelapa.

Praktikum selanjutnya yaitu uji DE dan DP. Nilai DE diperoleh dari total gula dibagi dengan total gula pereduksi dikali 100, sedangkan nilai DP diperoleh dari total gula dibagi total gula pereduksi. Nilai DE gula invert masing- masing kelompok yaitu 66.67, 72.87, 352.6, 527.68, dan 103. Menurut Tjokroadikoesoemo (1985), konversi asam umumnya terbatas sampai DE 55, konversi diatas 55, DE akan menghasilkan banyak zat warna dan timbulnya rasa pahit. Nilai DE 100 adalah murni dekstrosa sedangkan nilai DE 0 adalah pati alami. Hidrolisat dengan nilai DE 50 adalah maltosa, nilai DE di bawah 20 adalah maltodekstrin, sedangkan hidrolisat dengan DE berkisar antara 20-100 adalah sirup glukosa.

Nilai DP gula invert masing- masing kelompok adalah 1.5, 1.37, 1.26, 0.19, dan 0.79. Nilai DP menurun dari 1,5 0,19, seiring dengan perbedaan perlakuan yang digunakan dalam hidrolisis. Hal ini disebabkan oleh perbedaan konsentrasi asam klorida dalam perlakuan, asam klorida yang lebih kuat akan lebih kuat mendegradasi polisakarida dalam bahan, sehingga nilai DP yang menunjukkan angka rata-rata unit monomer dalam suatu molekul akan menurun dan mutu bahan yang digunakan sudah jelek.

B.4 Produk Hidrolisat Pati

Pada praktikum praktikum kali ini, kelompok 1 membuat maltodekstrin dari tapioka dengan katalis asam, kelompok 2 membuat maltodekstrin dari tapiokadengan katalis enzim alfa amilase, kelompok 3 membuat maltodextrin dari sagu dengan asam, kelompok 4 membuat maltodextrin dari sagu dengan enzim, kelompok 5 membuat sirup glukosa dengan katalis asam, dan kelompok 6 membuat sirup glukosa dengan katalis enzim. Pada praktikum ini dilakukan beberapa uji, antara lain total gula, total gula pereduksi, nilai DE dan nilai DP.

Pada uji total gula diukur dengan menggunakan metode fenol. Dari hasil praktikum uji fenol dilakukan pada sampel gula yang belum mengalami inversi untuk melihat kandungan total gula yang terdapat di dalam larutan gula. Bahan yang digunakan untuk pengujian ini adalah gula invert dan hasil produk hidrolisat pati (maltodekstrin dan sirup glukosa). Diketahui saat nilai blanko (0), Dari data hasil pengamatan, nilai absorbansi produk hidrolisat pati dari tiap kelompok adalah 0,198, 0.26, 0.105, 0.214, 0.57, dan 0.759. Dari nilai absorbansi tersebut, dapat digunakan untuk menentukan nilai konsentrasi total gula yang dikandung oleh produk hidrolisat pati dengan menggunakan kurva standar yang sebelumnya telah dibuat. Sehingga diperoleh nilai kandungan total gula pada saat 40 ppm dan nilai blanko 3.49 dari masing- masing kelompok, yakni 21.66 ppm, 27.34 ppm, 13.13 ppm, 23.13 ppm, 55.79 ppm, dan 73.13 ppm. Produk hidrolisat pati didapatkan nilai absorbansi tertinggi yaitu pada kelompok 6 (0.759) yang dibuat dari sirup glukosa dengan katalis enzim dan yang terendah ada pada kelompok 3 (0.105) yang dibuat dari maltodextrin dari sagu dengan asam. Sedangkan nilai kandungan total gula dari produk hidrolisat pati yang memliki nilai absorbansi tertinggi dimiliki oleh kelompok 6 (73.13) yaitu sirup glukosa dengan enzim dan yang terendah ada pada kelompok 3 (23.13) yang dibuat dari maltodextrin dari sagu dengan asam. Hal ini disebabkan karena nilai absorbansi sebanding dengan kandungan gula pereduksi di dalam suatu larutan dengan asumsi tidak ada senyawa pengotor lain yang tidak diinginkan.

Selanjutnya uji total gula pereduksi dengan menggunakan metode DNS. Dari hasil praktikum uji gula pereduksi (DNS) dilakukan pada setiap sampel produk hidrolisat pati (maltodekstrin dan sirup glukosa). Diketahui saat nilai blanko (0), Dari data hasil pengamatan, nilai absorbansi produk hidrolisat pati dari tiap kelompok adalah -0.049, 0.028, -0.816, 0.09, 0.025, dan 0.064. Dari nilai absorbansi tersebut, dapat digunakan untuk menentukan nilai konsentrasi gula pereduksi yang dikandung oleh produk hidrolisat pati dengan menggunakan kurva standar yang sebelumnya telah dibuat. Sehingga diperoleh nilai kandungan gula pereduksi dari masing- masing kelompok, yakni 30.643 ppm, 58.143 ppm, -243.286 ppm, 80.286 ppm, 57.0714 ppm, dan 71 ppm. Produk hidrolisat pati didapatkan nilai absorbansi tertinggi yaitu pada kelompok 6 (0.064) yang dibuat dari sirup glukosa dengan katalis enzim dan yang terendah ada pada kelompok 3 (-0.816) yang dibuat dari maltodextrin dari sagu dengan asam. Rentang transmitat yang baik adalah diantara 0.2-0.8. Sedangkan hasil kandungan gula pereduksi dari produk hidrolisat pati yang memliki nilai absorbansi tertinggi dimiliki oleh kelompok 4 (80.286) yaitu maltodextrin dari sagu dengan enzim. Terjadi kejanggalan pada nilai kandungan gula pereduksi pada kelompok 3 karena telah menunjukkan hasil yang negatif atau minus dan diduga bahwa terjadi kesalahan pada nilai yang ditunjukkan oleh spektrofotometer.

Praktikum selanjutnya yaitu uji DE dan DP. nilai DE diperoleh dari total gula dibagi dengan total gula pereduksi dikali 100, sedangkan nilai DP diperoleh dari total gula dibagi total gula pereduksi. Nilai DE hidrolisat pati pada kelompok 1 mendapat nilai 78.72, kelompok 2 tidak mendapatkan nilai mungkin karena terjadi kesalahan dalam praktikum sehingga nilai DE tidak didapatkan, kelompok 3 mendapatkan nilai 82.97, kelompok 4 mendapatkan nilai 15.9, kelompok 5 mendapat nilai 110.04, kelompok 6 mendapat nilai 97.1. Menurut Tjokroadikoesoemo (1985), konversi asam umumnya terbatas sampai DE 55, konversi diatas 55, DE akan menghasilkan banyak zat warna dan timbulnya rasa pahit. Nilai DE 100 adalah murni dekstrosa sedangkan nilai DE 0 adalah pati alami. Hidrolisat dengan nilai DE 50 adalah maltosa, nilai DE di bawah 20 adalah maltodekstrin, sedangkan hidrolisat dengan DE berkisar antara 20-100 adalah sirup glukosa.

Uji nilai DP dengan menggunakan bahan produk hidrolisat pati. Mendapatkan hasil pada kelompok 1 mendapat nilai 1.27, kelompok 2 tidak mendapatkan nilai mungkin karena terjadi kesalahan dalam praktikum sehingga nilai DP tidak didapatkan, kelompok 3 mendapatkan nilai 0.79, kelompok 4 mendapatkan nilai 6.047, kelompok 5 mendapat nilai 0.89, kelompok 6 mendapat nilai 1.26. Uji nilai DP mendapatkan nilai menurun dari 6.9047 0.89, seiring dengan perbedaan perlakuan yang digunakan dalam hidrolisis. Hal ini disebabkan oleh perbedaan konsentrasi asam klorida dalam perlakuan, asam klorida yang lebih kuat akan lebih kuat mendegradasi polisakarida dalam bahan, sehingga nilai DP yang menunjukkan angka rata-rata unit monomer dalam suatu molekul akan menurun dan mutu bahan yang digunakan sudah jelek.

__________________________________________

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Warna yang dihasilkan pada saat pengujian sampel relatif sama yaitu coklat. Warna tersebut muncul karena ada kandungan proteinnya. Semakin tinggi konsentrasi protein semakin gelap warnanya. Kadar gula pereduksi tertinggi (% gula sebelum inversi) untuk sampel gula merah yaitu 43% dengan pemakaian tiosulfat 15ml. Semakin banyak tiosulfat yang diperlukan untuk titrasi maka semakin banyak I2 bebas. I2 bebas ini merupakan dasar penetapan banyaknya gula monosakarida (pereduksi) dalam bahan. Kadar sukrosa yang tertinggi (31.24%) pada bahan tebu bagian atas. Sukrosa yang ada belum terkonversi menjadi glukosa dan fruktosa. hasil dari tingkat hidrolisis yang tertinggi (79) pada bahan tebu bawah. Semakin banyak larutan asam yang digunakan maka akan semakin banyak kandungan glukosa dan fruktosa yang dihasilkan dalam larutan. Kadar total gula yang tertinggi bagian bawah.Hal tersebut menyebabkan nira semakin berkurang pada tebu bagian atas, sedangkan nira pada tebu bagian bawah masih tersimpan dalam jumlah banyak. Uji kekerasan tidak dilakukan karena terlalu keras

Selanjutnya adalah pengujian atau analisa mutu gula semut. Rasa gula semut yang terbuat dari gula aren lebih manis dibandingkan dengan gula kelapa. Aroma gula semut aren dan gula semut kelapa adalah khas gula merah dan berwarna coklat muda. Kegagalan pembuatan gula semut kelapa ini disebabkan oleh kualitas gula cetak yang tidak bagus atau mungkin gula cetak telah terkontaminasi oleh mikroba pembentuk asam. Persentasi gula pereduksi yang dikandung gula semut kelapa adalah 60.52%, 27.75%, sedangkan gula semut aren adalah 43%, 46.9%, dan 21.13%. Gula semut aren memiliki kandungan gula pereduksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan gula semut kelapa. Hal ini tidak sesuai dengan literatur karena seharusnya kandungan gula pereduksi pada kelapa lebih tinggi dari pada gula pereduksi yang dikandung oleh aren. Persentase kadar sukrosa gula semut kelapa adalah 14.46%, 38%, sedangkan kadar sukrosa gula semut aren adalah 23.02%, 28.02%, dan 50.23%. Kadar sukrosa akan menentukan sifat mudah mengkristalnya suatu gula, sehingga gula yang dibuat dari nira kelapa akan lebih mudah mengkristal dibandingkan gula yang dibuat dari nira aren.

Pembuatan sirup gula invert dengan hidrolisis asam dilakukan dengan dua metode yakni metode asam tartarat dan metode HCl. Dari hasil pengamatan, gula invert yang dihasilkan dan kandungan gula pereduksi dari bahan gula pasir dengan metode HCl adalah 110 ml dan 33.5 ppm, bahan gula kelapa dengan metode HCl adalah 105 ml dan 232.429 ppm, bahan gula aren dengan metode HCl adalah 109 ml dan -41.1429 ppm, bahan gula pasir dan metode asam tartarat adalah 89 ml dan 242.429 ppm, bahan gula kelapa dengan metode asam tartarat adalah 100 ml dan 89.214 ppm, dan bahan gula aren dengan metode asam tartarat adalah 76 ml dan 84.928 ppm. Gula invert yang dihasilkan dengan metode HCl lebih banyak volumenya dibandingkan dengan metode asam tartarat karena daya inversi HCl yang lebih tinggi dari pada daya inversi asam tartarat.

Pada pengujian gula pereduksi menggunakan DNS, didapatkan nilai adsorbansi tertinggi gula untuk produk hidrolisat pati kelompok 6 (0,064) yang dibuat dari sirup glukosa dengan enzim, dengan rentang transmitat yang baik pada DNS adalah diantara 0,2-0,8, ini mengindikasikan bahwa nilai absorban yang memenuhi kriteria. Sedangkan untuk metode fenol nilai adsorbansi yang tertinggi untuk produk hidrolisat pati terdapat kelompok 6 (0.759) yang dibuat dari sirup glukosa dengan katalis enzim. Pada pengujian nilai DE terjadi peningkatan karena konversi asam umumnya terbatas sampai DE 55, konversi diatas 55, DE akan menghasilkan banyak zat warna dan timbulnya rasa pahit.Uji nilai DP mendapatkan nilai menurun dari 6,9047 0,89. nilai DP yang menunjukkan angka rata-rata unit monomer dalam suatu molekul akan menurun dan mutu bahan yang digunakan sudah jelek

B. Saran

Pada pelaksanaan praktikum kali ini, sebaiknya praktikan membaca dahulu dengan seksama prosedur dari tiap uji yang akan dilakukan. Sehingga praktikum tidak menghabiskan waktu yang cukup lama. Dapat dilihatdari data hasil praktikum, data hasil pengamatan masih terdapat beberapa kejanggalan nilai yang ada. Hal ini disebabkan karena adanya faktor kesalahan yang ditunjukkan akibat perlakuan sampel yang mungkin dibuat tidak sesuai dengan prosedur atau kesalahan perhitungannya. Kemungkinan kedua yang menyebabkan data tidak valid atau janggal adalah kesalahan alat dan kekurangtelitian praktikan dalam menganalisa, khususnya pada saat pengujian yang menggunakan titrasi.

___________________________________________

DAFTAR PUSTAKA

Agra, I.B., Warnijati S, Riyadi R.S. Hydrolisis of Sweet Potato Starch at Atmosphere Pressure, Research Journal, volume 2 (3), 34.

Anonim. 2010. Gula Semut. http://balitka.litbang.deptan.go.id/index.php?option=com_content_view =article&id=148%3Agula-semut-&catid=46%3Apaket-teknologi-pascapanen&Itemid=80& lang=en (diakses pada 29 Maret 2013)

Aprijantono, A., D. Fardiaz, Ni Luh Puspitasari, Soedarnawati, S.Budiyanto. 1989. Analisis Pangan; Petunjuk Laboratorium. Bogor: IPB Press.

Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BP2TP). 2010. Teknologi Gula Cetak dan Gula Semut Dari Nila Kelapa. http://pustaka.litbang.deptan.go.id/agritek/slut0403.pdf. (diakses pada tanggal 26 Maret 2013)

Fennema, OR. 1996. Food Chemistry. New York: Marcell Dekker Inc.

Groggins, P. H. 1950. Unit Process in Organic Synthesis 5 ed. New York: Mc. Graw-Hill Book Company.

Hall, M. N. A. 1973. The Small Scale Manufacture of High and Low Boiled Sweet and Toffees. London: Tropucal Product Institute.

Junk, W.R. dan H. Pancoast. 1980. Handbook of Sugar. Westport, Connecticut: The AV Publishing Co., Inc,

Khopkar, SM. 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI press.

Kirk, R. E. dan O. F. Othmer. 1954. Encyclopedia of Chemical Technology. New York: The Interscience Encyclopedia Inc.

LIPI. 2000. Gula Semut. http://www.dekindo.com/content/teknologi/Pembuatan%20Gula%20Semut. htm (diakses pada 30 Maret 2013).

Nurhayati, Daniah. 1992. Mempelajari Pengaruh Penambahan Pengawet terhadap Daya Simpan Nira Kelapa serta Mutu Gula Semut, Gula Merah, Sirup, dan Gula Pasir yang Dihasilkan. Skripsi. Bogor: FATETA IPB.

Nuri.2012.Pembuatan Sirup Glukosa. http://pustakanuri.blogspot.com/2012/10/kenalan-yuuukkk-sama-sirup-glukosa.html#!/2012/10/kenalan-yuuukkk-sama-sirup-glukosa.html. (diakses pada tanggal 28 maret 2013)

Pusbangtepa. 1991. Buletin Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pangan. Bogor: LP IPB.

Risvan, Kuswurj. 2011. Komposisi Nira Tebu dan Pengaruhnya dalam Proses Pengolahan Gula. http://www.risvank.com/2011/11/29/komposisi-nira-tebu-dan-pengaruhnya-dalam-proses-pengolahan-gula/. (diakses pada tanggal 26 Maret 2013)

Rohman. 2007. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI Press.

Setyamidjaja, Djoehana. 1984. Bertanam Kelapa: Budidaya dan Pengolahannya.Yogyakarta : Penerbit Kanisisus.

Suhardiyono,L. 1988. Tanaman Kelapa Budidaya dan Pemanfaatannya. Yogyakarta: Kanisius.

Sunarti, Titi Candra. 2013. Penuntun Praktikum Teknologi Pati, Gula, dan Sukrokimia. Bogor: Teknologi Industri Pertanian IPB.

Supardi, Didi. 1993.Mempelajari Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Kelunakan Gula Merah Kelapa Kasus di Daerah Cianjur. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian IPB.

Suyatma, Nugraha. 2009. Analisis Warna. Bogor: Fakultas Teknologi Pangan IPB.

Tarwiyah et all. 2001. http://www.warintek.ristek.go.id/pangan/tanaman%20 penghasil%20gula /nira.pdf .(diakses pada tanggal 27 Maret 2013).

Tjokroadikoesoemo S. 1985. HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Wurzburg, O. B. 1989. Modified Starches : Properties and Uses. Florida: CRC Press, Inc.

Winarno, F.G. 1986. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.