laporan kasus ket

47
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehamilan ektopik adalah suatu kehamilan dimana sel telur yang dibuahi berimplantasi dan tumbuh diluar endometrium kavum uteri. Kehamilan ektopik dapat mengalami abortus atau ruptur pada dinding tuba dan peristiwa ini disebut sebagai kehamilan ektopik terganggu. Kehamilan ektopik terganggu (KET) adalah kegawatdaruratan obstetrik yang mengancam nyawa ibu dan kelangsungan hidup janin, serta merupakan salah satu penyebab utama mortalitas ibu, khususnya pada trimester pertama (Astaqauliyah, 2006). Insiden kehamilan ektopik terganggu semakin meningkat pada semua wanita terutama pada mereka yang berumur lebih dari 30 tahun. Selain itu, adanya kecenderungan pada kalangan wanita untuk menunda kehamilan sampai usia yang cukup lanjut menyebabkan angka kejadiannya semakin berlipat ganda. Di masa lampau KET hampir selalu fatal, namun berkat

Upload: lili-suriani

Post on 12-Aug-2015

244 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Kasus Ket

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kehamilan ektopik adalah suatu kehamilan dimana sel telur yang dibuahi

berimplantasi dan tumbuh diluar endometrium kavum uteri. Kehamilan ektopik

dapat mengalami abortus atau ruptur pada dinding tuba dan peristiwa ini disebut

sebagai kehamilan ektopik terganggu. Kehamilan ektopik terganggu (KET) adalah

kegawatdaruratan obstetrik yang mengancam nyawa ibu dan kelangsungan hidup

janin, serta merupakan salah satu penyebab utama mortalitas ibu, khususnya pada

trimester pertama (Astaqauliyah, 2006).

Insiden kehamilan ektopik terganggu semakin meningkat pada semua wanita

terutama pada mereka yang berumur lebih dari 30 tahun. Selain itu, adanya

kecenderungan pada kalangan wanita untuk menunda kehamilan sampai usia yang

cukup lanjut menyebabkan angka kejadiannya semakin berlipat ganda. Di masa

lampau KET hampir selalu fatal, namun berkat perkembangan alat diagnostik yang

canggih morbiditas maupun mortalitas akibat KET jauh berkurang. Meskipun

demikian, kehamilan ektopik masih merupakan salah satu masalah utama dalam

bidang obstetri. Dalam dua dasawarsa ini terjadi peningkatan angka kejadian

kehamilan ektopik terganggu. Walaupun demikian, angka kejadian kehamilan

ektopik terganggu masih sulit untuk diperkirakan secara tepat (Suparman, 2007).

Sebagian besar kehamilan ektopik terganggu berlokasi di tuba terutama di

ampula dan isthmus. Sangat jarang terjadi di ovarium, rongga abdomen, maupun

uterus. Keadaan-keadaan yang memungkinkan terjadinya kehamilan ektopik adalah

Page 2: Laporan Kasus Ket

penyakit radang panggul, pemakaian antibiotika pada penyakit radang panggul,

pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim IUD (Intra Uterine Device), riwayat

kehamilan ektopik sebelumnya, infertilitas, kontrasepsi yang memakai progestin

dan tindakan aborsi (Wibowo, 2002).

Gejala yang muncul pada kehamilan ektopik terganggu tergantung lokasi

implantasi. Dengan adanya implantasi dapat meningkatkan vaskularisasi di tempat

tersebut dan berpotensial menimbulkan ruptur organ, terjadi perdarahan masif,

infertilitas, dan kematian. Hal ini dapat mengakibatkan meningkatnya angka

mortalitas dan morbiditas ibu jika tidak mendapatkan penanganan secara tepat dan

cepat (Wibowo, 2002).

Di masa lampau kehamilan ektopik terganggu hampir selalu fatal, namun

berkat perkembangan alat diagnostik yang canggih morbiditas maupun mortalitas

akibat kehamilan ektopik terganggu jauh berkurang. Meskipun demikian,

kehamilan ektopik masih merupakan salah satu masalah utama dalam bidang

obstetri termasuk di RSU Provinsi NTB, berikut ini dilaporkan sebuah kasus

dengan Kehamilan Ektopik Terganggu di RSU Mataram.

Page 3: Laporan Kasus Ket

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Kehamilan ektopik adalah kehamilan dimana hasil konsepsi mengalami

implantasi dan pertumbuhan diluar endometrium kavum uteri (Mansjoer, 1999).

Kehamilan ektopik merupakan istilah yang lebih luas daripada kehamilan

ekstrauterin karena istilah ini mencakup gestasi pada pars intersisialis tuba,

kehamilan kornu (gestasi pada kornu uteri yang rudimenter), kehamilan servikalis

(gestasi dalam kanalis servikalis), kehamilan abdominal, kehamilan ovarial dan

kehamilan tuba (Taber, 1994).

Kehamilan ektopik terganggu ialah kehamilan ektopik yang mengalami

abortus atau rupture apabila masa kehamilan berkembang melebihi kapasitas

ruang implantasi (Saifuddin, 2000).

Lokasi kehamilan ektopik terganggu paling banyak terjadi di tuba sebesar

90-95% khususnya di ampula tuba 78% dan isthmus 2%. Pada daerah fimbrae

5%, intersisial 2-3%, abdominal 1-2%, ovarium 1%, servikal 0,5% (Cunningham,

2005).

2.2 Epidemiologi

Di negara-negara berkembang khususnya di Indonesia, prevalensi

kehamilan ektopik terganggu terjadi peningkata. Di RSUPN Cipto Magunkusumo

Jakarta pada tahun 2000-2001 frekuensinya sekitar 1:24 kelahiran normal

(Prawirohardjo, 2005), sedangkan di RSUP Manado pada tahun 2000-2001

Page 4: Laporan Kasus Ket

dilaporkan frekuensinya sekitar 1:67 kelahiran kelahiran normal (Suparman,

2007).

Dari penelitian yang dilakukan Budiono Wibowo di RSUP Cipto

Mangunkusumo (RSUPCM) Jakarta pada tahun 1987 dilaporkan 153 kehamilan

ektopik terganggu dalam 4007 persalinan atau 1 dalam 26 persalinan. Ibu yang

mengalami kehamilan ektopik terganggu tertinggi pada kelompok umur 20-40

tahun dengan umur rata-rata 30 tahun. Frekuensi kehamilan ektopik yang berulang

dilaporkan berkisar antara 1% sampai 14.6% (Prawirohardjo, 2005).

2.3 Patogenesis

Proses implantasi ovum di tuba pada dasarnya sama dengan yang terjadi di

kavum uteri. Telur di tuba bernidasi secara kolumnar atau interkolumnar. Pada

nidasi secara kolumnar telur bernidasi pada ujung atau sisi jonjot endosalping.

Perkembangan telur selanjutnya dibatasi oleh kurangnya vaskularisasi dan

biasanya telur mati secara dini dan direabsorbsi. Pada nidasi interkolumnar, telur

bernidasi antara dua jonjot endosalping. Tempat nidasi tertutup maka ovum

dipisahkan dari lumen oleh lapisan jaringan yang menyerupai desidua dan

dinamakan pseudokapsularis. Pembentukan desidua di tuba kadang-kadang sulit

dilihat vili khorealis menembus endosalping dan masuk kedalam otot-otot tuba

dengan merusak jaringan dan pembuluh darah. Perkembangan janin selanjutnya

tergantung dari beberapa faktor yaitu tempat implantasi, tebalnya dinding tuba dan

banyaknya perdarahan yang terjadi oleh invasi trofoblas (Wibowo, 2002).

Di bawah pengaruh hormon estrogen dan progesteron dari korpus luteum

graviditi dan tropoblas, uterus menjadi besar dan lembek, endometrium dapat

berubah menjadi desidua (Wibowo, 2002). Beberapa perubahan pada

Page 5: Laporan Kasus Ket

endometrium yaitu sel epitel membesar, nukleus hipertrofi, hiperkromasi, lobuler,

dan bentuknya ireguler. Polaritas menghilang dan nukleus yang abnormal

mempunyai tendensi menempati sel luminal. Sitoplasma mengalami vakuolisasi

seperti buih dan dapat juga terkadang ditemui mitosis. Perubahan endometrium

secara keseluruhan disebut sebagai reaksi Arias-Stella ( Rachimhadhi, 2005).

Setelah janin mati, desidua dalam uterus mengalami degenerasi kemudian

dikeluarkan secara utuh atau berkeping-keping. Perdarahan yang dijumpai pada

kehamilan ektopik terganggu berasal dari uterus disebabkan pelepasan desidua

yang degeneratif (Prawirohardjo, 2005).

Sebagian besar kehamilan tuba terganggu pada umur kehamilan antara 6

sampai 10 minggu. Karena tuba bukan tempat pertumbuhan hasil konsepsi, tidak

mungkin janin tumbuh secara utuh seperti dalam uterus. Beberapa kemungkinan

yang mungkin terjadi adalah:

1. Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi

Pada implantasi secara kolumna, ovum yang dibuahi cepat mati karena

vaskularisasi yang kurang dan dengan mudah diresobsi total.

2. Abortus ke dalam lumen tuba

Perdarahan yang terjadi karena terbukanya dinding pembuluh darah oleh

vili korialis pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan mudigah

dari dinding tersebut bersama-sama dengan robeknya pseudokapsularis.

Segera setelah perdarahan, hubungan antara plasenta serta membran terhadap

dinding tuba terpisah bila pemisahan sempurna, seluruh hasil konsepsi

dikeluarkan melalui ujung fimbrae tuba ke dalam kavum peritonium. Dalam

keadaan tersebut perdarahan berhenti dan gejala-gejala menghilang.

Page 6: Laporan Kasus Ket

3. Ruptur dinding tuba

Penyebab utama dari ruptur tuba adalah penembusan dinding vili korialis

ke dalam lapisan muskularis tuba terus ke peritoneum. Ruptur tuba sering

terjadi bila ovum yang dibuahi berimplantasi pada isthmus dan biasanya

terjadi pada kehamilan muda. Sebaliknya ruptur yang terjadi pada pars-

intersisialis pada kehamilan lebih lanjut. Ruptur dapat terjadi secara spontan

atau yang disebabkan trauma ringan seperti pada koitus dan pemeriksaan

vagina (Mansjoer, 2001; Prawirohardjo, 2005; Wibowo, 2002).

2.4 Etiologi

Etiologi kehamilan ektopik terganggu telah banyak diselidiki tetapi

sebagian besar penyebabnya tidak diketahui. Rachimhadhi dalam bukunya

menjelaskan beberapa faktor yang berhubungan dengan penyebab kehamilan

ektopik terganggu :

1. Faktor mekanis

Hal-hal yang mengakibatkan terhambatnya perjalanan ovum yang dibuahi ke

dalam kavum uteri, antara lain:

a) Salpingitis, terutama endosalpingitis yang menyebabkan aglutinasi silia

lipatan mukosa tuba dengan penyempitan saluran atau pembentukan

kantong-kantong buntu

b) Berkurangnya silia mukosa tuba sebagai akibat infeksi juga menyebabkan

implantasi hasil zigot pada tuba falopii

c) Adhesi peritubal setelah infeksi pasca abortus/ infeksi pasca nifas,

apendisitis, atau endometriosis, yang menyebabkan tertekuknya tuba atau

penyempitan lumen

Page 7: Laporan Kasus Ket

d) Kelainan pertumbuhan tuba terutama divertikulum, ostium asesorius dan

hipoplasi tetapi ini jarang terjadi

e) Bekas operasi tuba memperbaiki fungsi tuba atau terkadang kegagalan usaha

untuk memperbaiki patensi tuba pada sterilisasi

f) Tumor yang merubah bentuk tuba seperti mioma uteri dan adanya benjolan

pada adneksia

g) Penggunaan IUD

2. Faktor Fungsional

a) Migrasi eksternal ovum terutama pada kasus perkembangan duktus mulleri

yang abnormal

b) Refluks menstruasi

c) Berubahnya motilitas tuba karena perubahan kadar hormon estrogen dan

progesteron

3. Peningkatan daya penerimaan mukosa tuba terhadap ovum yang dibuahi

4. Hal lain seperti riwayat KET dan riwayat abortus induksi sebelumnya

(Rachimhadhi, 2005).

2.5 Klasifikasi

Klasifikasikan kehamilan ektopik berdasarkan lokasinya antara lain :

1. Tuba Fallopii

a) Pars-intersisialis

b) Isthmus

c) Ampula

d) Infundibulum

e) Fimbrae

Page 8: Laporan Kasus Ket

2. Uterus

a) Kanalis servikalis

b) Divertikulum

c) Kornu

d) Tanduk rudimenter

3. Ovarium

4. Intraligamenter

5. Abdominal

a) Primer

b) Sekunder

6.Kombinasi kehamilan dalam dan luar uterus

(Prawirohardjo, 2005; Cunnningham, 2005).

Gambar 2. 2 Lokasi Kehamilan Ektopik (Farlex, 2007).

2.6 Gambaran Klinik

Gambaran klinik dari kehamilan ektopik terganggu tergantung pada

lokasinya . Tanda dan gejalanya sangat bervariasi tergantung pada ruptur atau

tidaknya kehamilan tersebut (Wibowo, 2002).

Adapun gejala dan hasil pemeriksaan laboratorium antara lain :

Page 9: Laporan Kasus Ket

1. Keluhan gastrointestinal

Keluhan yang paling sering dikemukakan oleh pasien kehamilan ektopik

terganggu adalah nyeri pelvis. Dorfman menekankan pentingnya keluhan

gastrointestinal dan vertigo atau rasa pening. Semua keluhan tersebut

mempunyai keragaman dalam hal insiden terjadinya akibat kecepatan dan taraf

perdarahannya di samping keterlambatan diagnosis.

2. Nyeri tekan abdomen dan pelvis

Nyeri tekan yang timbul pada palpasi abdomen dan pemeriksaan

khususnya dengan menggerakkan servik, dijumpai pada lebih dari tiga per

empat kasus kehamilan ektopik sudah atau sedang mengalami ruptur tetapi

kadang-kadang tidak terlihat sebelum ruptur terjadinya.

3. Amenore

Riwayat amenore tidak ditemukan pada seperempat kasus atau lebih. Salah

satu sebabnya adalah karena pasien menganggap perdarahan pervaginam yang

lazim pada kehamilan ektopik sebagai periode haid yang normal dengan

demikian memberikan tanggal haid terakhir yang keliru.

4. Spotting atau perdarahan vaginal

Selama fungsi endokrin plasenta masih bertahan, perdarahan uterus

biasanya tidak ditemukan namun bila dukungan endokrin dari endometrium

sudah tidak memadai lagi, mukosa uterus akan mengalami perdarahan.

Perdarahan tersebut biasanya sedikit-sedikit, berwarna cokelat gelap dan dapat

terputus-putus atau terus-menerus.

Page 10: Laporan Kasus Ket

5. Perubahan Uterus

Uterus pada kehamilan etopik dapat terdorong ke salah satu sisi oleh masa

ektopik tersebut. Pada kehamilan ligamentum latum atau ligamentum latum

terisi darah, uterus dapat mengalami pergeseran hebat. Uterine cast akan

dieksresikan oleh sebagian kecil pasien mungkin 5% atau 10% pasien. Eksresi

uterine cast ini dapat disertai oleh gejala kram yang serupa dengan peristiwa

ekspulsi spontan jaringan abortus dari kavum uteri.

6. Hipovolemi

Penurunan nyata tekanan darah dan kenaikan denyut nadi dalam posisi

duduk merupakan tanda yang paling sering menunjukkan adanya penurunan

volume darah yang cukup banyak. Semua perubahan tersebut mungkin baru

terjadi setelah timbul hipovolemi yang serius.

7. Suhu tubuh

Setelah terjadi perdarahan akut, suhu tubuh dapat tetap normal atau bahkan

menurun. Suhu yang lebih tinggi jarang dijumpai dalam keadaan tanpa adanya

infeksi. Karena itu panas merupakan gambaran yang penting untuk

membedakan antara kehamilan tuba yang mengalami ruptura dengan salpingitis

akut, dimana pada keadaan ini suhu tubuh umumnya diatas 38oC.

8. Masa pelvis

Masa pelvis dapat teraba pada 20% pasien. Masa tersebut mempunyai

ukuran, konsistensi serta posisi yang bervariasi. Biasanya masa ini berukuran 5-

15 cm, sering teraba lunak dan elastis. Dengan terjadinya infiltrasi dinding tuba

yang luas oleh darah masa tersebut dapat teraba keras. Hampir selalu masa

pelvis ditemukan di sebelah posterior atau lateral uterus. Keluhan nyeri dan

Page 11: Laporan Kasus Ket

nyeri tekan kerap kali mendahului terabanya masa pelvis dalam tindakan

palpasi.

9. Hematokel pelvik

Pada kehamilan tuba, kerusakan dinding tuba yang terjadi bertahap akan

diukuti oleh perembesan darah secara perlahan-lahan ke dalam lumen tuba,

kavum peritonium atau keduanya. Gejala perdarahan aktif tidak terdapat dan

bahkan keluhan yang ringan dapat mereda, namun darah yang terus merembes

akan berkumpul dalam panggul, kurang lebih terbungkus dengan adanya

perlekatan dan akhirnya membentuk hematokel pelvis (Cunningham, 2005).

2.7 Diagnosis

Diagnosis kehamilan ektopik terganggu dapat ditegakkan dengan

anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Kehamilan ektopik

terganggu harus dipikirkan bila seorang pasien dalam usia reproduktif

mengeluhkan nyeri perut bawah yang hebat dan tiba-tiba, ataupun nyeri perut

bawah yang gradual disertai keluhan perdarahan per vaginam setelah

keterlambatan haid dan pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda akut

abdomen, kavum Douglas menonjol, nyeri goyang porsio, atau teraba massa di

samping uterus. Adanya riwayat penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim IUD

(Intra Uterine Device), infeksi alat kandungan, penggunaan pil kontrasepsi

progesteron dan riwayat operasi tuba serta riwayat faktor-faktor risiko lainnya

memperkuat dugaan kehamilan ektopik terganggu. Namun sebagian besar pasien

menyangkal adanya faktor-faktor risiko tersebut di atas (Lozeau, 2005).

Page 12: Laporan Kasus Ket

Berikut ini merupakan jenis pemeriksaan penunjang untuk membantu

diagnosis kehamilan ektopik:

1. HCG-β

Kadar hCG membantu penegakan diagnosis meskipun tidak ada konsensus

mengenai kadar hCG yang sugestif untuk kehamilan ektopik. Kehamilan

ektopik dapat dibedakan dari kehamilan normal dengan pemeriksaan kadar

hCG secara serial. Pada usia gestasi 6-7 minggu, kadar hCG serum meningkat

dua kali lipat setiap 48 jam pada kehamilan intrauterin normal. Peningkatan

yang subnormal (< 66%) dijumpai pada 85% kehamilan yang nonviable dan

peningkatan sebanyak 20% sangat prediktif untuk kehamilan nonviable.

Fenomena ini bila disertai dengan terdeteksinya kavum uteri yang kosong,

mengindikasikan adanya kehamilan ektopik. Secara klinis, penegakan diagnosis

KET dengan pemantauan kadar hCG serial tidak praktis karena dapat

mengakibatkan keterlambatan diagnosis. Selain itu peningkatan kadar hCG

serum dua kali lipat setiap 48 jam tidak lagi terjadi setelah minggu ke-7

kehamilan. Oleh sebab itu umumnya yang diperiksakan adalah hCG kualitatif

untuk diagnosis cepat kehamilan.

2. Kuldosintesis

Tindakan kuldosintesis atau punksi Douglas. Adanya darah yang diisap

berwarna hitam (darah tua) biar pun sedikit membuktikan adanya darah di

kavum Douglasi.

3. Ultrasonografi

Bila pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan kantong gestasi dengan

denyut jantung janin dengan kavum uteri yang kosong maka diagnosis pasti

Page 13: Laporan Kasus Ket

dapat ditegakkan. USG transvaginal dapat mendeteksi tubal ring (massa

berdiameter 1-3 cm dengan pinggir ekhogenik yang mengelilingi pusat yang

hipoekhoik) gambaran tersebut cukup spesifik untuk kehamilan ektopik.

Keunggulan cara pemerikssan ini terhadap laparoskopi ialah tidak invasif

artinya tidak perlu memasukkan rongga dalam rongga perut. Dapat dinilai

kavum uteri, kosong atau berisi, tebal endometrium, adanya massa di kanan kiri

uterus dan apakah kavum Douglas berisi cairan.

Gambar 2.3 Ultrasonografi pada KET

4. Tes Oksitosin

Pemberian oksitosin dalam dosis kecil intravena dapat membuktikan

adanya kehamilan ektopik lanjut. Dengan pemeriksaan bimanual, di luar

kantong janin dapat diraba suatu tumor.

5. Foto Rontgen

Tampak kerangka janin lebih tinggi letaknya dan berada dalam letak

paksa. Pada foto lateral tampak bagian-bagian janin menutupi vertebra Ibu.

Page 14: Laporan Kasus Ket

6. Histerosalpingografi

Memberikan gambaran kavum uteri kosong dan lebih besar dari biasa

dengan janin diluar uterus. Pemeriksaan ini dilakukan jika diagnosis kehamilan

ektopik terganngu sudah dipastikan dengan USG (Ultra Sono Graphy) dan MRI

(Magnetic Resonance Imagine) (Moehtar, 1998; Prawirohardjo, 2005; Wibowo,

2002; Lozeau, 2005).

7. Laparaskopi

Laparaskopi hanya digunakan sebagai alat bantu diagnosis terakhir

apabila hasil-hasil penilaian prosedur diagnostik lain untuk kehamilan ektopik

terganggu meragukan. Pada beberapa dekade terakhir alat ini juga dipakai

untuk terapi.

2.8 Diagnosis Diferensial

1. Infeksi pelvis

Gejala yang menyertai infeksi pelvik biasanya timbul waktu haid dan

jarang setelah mengenai amenore. Nyeri perut bagian bawah dan tahanan yang

dapat diraba pada pemeriksaaan vaginal pada umumnya bilateral. Pada infeksi

pelvik perbedaan suhu rektal dan ketiak melebihi 0,5 0C, selain itu leukositosis

lebih tinggi daripada kehamilan ektopik terganggu dan tes kehamilan

menunjukkan hasil negatif.

2. Abortus iminens/ Abortus inkomplit

Dibandingkan dengan kehamilan ektopik terganggu perdarahan lebih

merah sesudah amenore, rasa nyeri yang sering berlokasi di daerah median dan

adanya perasaan subjektif penderita yang merasakan rasa tidak enak di perut

lebih menunjukkan ke arah abortus imminens atau permulaan abortus incipiens.

Page 15: Laporan Kasus Ket

Pada abortus tidak dapat diraba tahanan di samping atau di belakang uterus, dan

gerakan servik uteri tidak menimbulkan rasa nyeri.

3. Tumor/Kista ovarium

Gejala dan tanda kehamilan muda, amenore, dan perdarahan pervaginam

biasanya tidak ada. Tumor pada kista ovarium lebih besar dan lebih bulat

dibanding kehamilan ektopik terganggu.

4. Appendisitis

Pada apendisitis tidak ditemukan tumor dan nyeri pada gerakan servik uteri

seperti yang ditemukan pada kehamilan ektopik terganggu. Nyeri perut bagian

bawah pada apendisitis terletak pada titik McBurney (Wibowo, 2002).

2.9 Terapi

Penanganan kehamilan ektopik pada umumnya adalah laparotomi. Pada

laparotomi perdarahan selekas mungkin dihentikan dengan menjepit bagian dari

adneksa yang menjadi sumber perdarahan. Keadaan umum penderita terus

diperbaiki dan darah dalam rongga perut sebanyak mungkin dikeluarkan. Dalam

tindakan demikian, beberapa hal yang harus dipertimbangkan yaitu kondisi

penderita pada saat itu, keinginan penderita akan fungsi reproduksinya, lokasi

kehamilan ektopik. Dilakukan pemantauan terhadap kadar HCG kuantitatif.

Peninggian kadar HCG yang berlangsung terus menandakan masih adanya

jaringan ektopik yang belum terangkat (Astaqauliyah, 2006).

Apabila kondisi pasien buruk atau syok dapat dilakukan salpingektomi.

Jika fungsi reroduksi ingin dipertahankan biasanya hanya dilakukan salpingostomi

atau reanastomosis tuba. Kehamilan ektopik terganggu dapat juga ditatalaksana

dengan melakukan laparoskopi, fimbrial evacuaton, dan partial salpingectomy.

Page 16: Laporan Kasus Ket

Optimalisasi keadaan umum ibu dengan transfusi, infus, oksigen atau kalau

dicurigai ada infeksi diberikan juga antibiotika (Soenarto, 2008).

Seorang pasien yang terdiagnosis dengan kehamilan tuba dan masih dalam

kondisi baik dan tenang memiliki 3 pilihan yaitu penatalaksanaan ekspektasi

(expectant management), penatalaksanaan medis dan penatalaksanaan bedah.

1. Penatalaksanaan Ekspektasi

Penatalaksanaan ekspektasi didasarkan pada fakta bahwa sekitar 75%

pasien dengan kehamilan ektopik akan mengalami penurunan kadar -hCG.

Pada penatalaksanaan ekspektasi, kehamilan ektopik dini dengan kadar -hCG

stabil atau cenderung turun diobservasi ketat. Oleh sebab itu, tidak semua

pasien dengan kehamilan ektopik dapat menjalani penatalaksanaan seperti ini.

Penatalaksanaan ekspektasi dibatasi pada keadaan kehamilan ektopik dengan

kadar -hCG yang menurun, kehamilan tuba, tidak ada perdarahan

intraabdominal atau ruptur, dan diameter massa ektopik tidak melebihi 3.5 cm.

Dikatakan bahwa penatalaksanaan ekspektasi ini efektif pada 47-82%

kehamilan tuba (Lipscomb et al, 2000).

2. Penatalaksanaan Medis

Pada penatalaksanaan medis digunakan zat-zat yang dapat merusak

integritas jaringan dan sel hasil konsepsi. Tatalaksana medis harus memiliki

syarat-syarat berikut ini; keadaan hemodinamik yang stabil, bebas nyeri perut

bawah, tidak ada aktivitas jantung janin, tidak ada cairan bebas dalam rongga

abdomen dan kavum Douglas, harus teratur menjalani terapi, harus

menggunakan kontrasepsi yang efektif selama 3-4 bulan pascaterapi, tidak

Page 17: Laporan Kasus Ket

memiliki penyakit-penyakit penyerta, sedang tidak menyusui, tidak ada

kehamilan intrauterin yang koeksis, memiliki fungsi ginjal, hepar dan profil

darah yang normal, serta tidak memiliki kontraindikasi terhadap pemberian

methotrexate. Berikut ini akan dibahas beberapa metode terminasi kehamilan

ektopik secara medis (Lipscomb et al, 2000).

3. Penatalaksanaan Bedah

Penatalaksanaan bedah dapat dikerjakan pada pasien-pasien dengan

kehamilan tuba yang belum terganggu maupun yang sudah terganggu. Tentu

saja pada kehamilan ektopik terganggu, pembedahan harus dilakukan secepat

mungkin. Pada dasarnya ada 2 macam pembedahan untuk menterminasi

kehamilan tuba, yaitu pembedahan konservatif di mana integritas tuba

dipertahankan dan pembedahan radikal di mana salpingektomi dilakukan.

Pembedahan konservatif mencakup 2 teknik yang kita kenal sebagai

salpingostomi dan salpingotomi. Selain itu, macam-macam pembedahan

tersebut di atas dapat dilakukan melalui laparotomi maupun laparoskopi.

Namun bila pasien jatuh ke dalam syok atau tidak stabil maka tidak ada tempat

bagi pembedahan per laparoskopi.

a. Salpingostomi

Salpingostomi adalah suatu prosedur untuk mengangkat hasil konsepsi

yang berdiameter kurang dari 2 cm dan berlokasi di sepertiga distal tuba

fallopii. Pada prosedur ini dibuat insisi linear sepanjang 10-15 mm pada tuba

tepat di atas hasil konsepsi, di perbatasan antimesenterik. Setelah insisi hasil

konsepsi segera terekspos dan kemudian dikeluarkan dengan hati-hati.

Perdarahan yang terjadi umumnya sedikit dan dapat dikendalikan dengan

Page 18: Laporan Kasus Ket

elektrokauter. Insisi kemudian dibiarkan terbuka (tidak dijahit kembali)

untuk sembuh sekunder. Prosedur ini dapat dilakukan dengan laparotomi

maupun laparoskopi. Metode per laparoskopi saat ini menjadi gold standard

untuk kehamilan tuba yang belum terganggu.

Penelitian Zilber dan kawan-kawan membandingkan salpingostomi per

laparoskopi dengan injeksi methotrexate perlaparoskopi. Durasi pembedahan

pada grup salpingostomi lebih lama daripada durasi pembedahan pada grup

methotrexate, namun grup salpingostomi menjalani masa rawat inap yang

lebih singkat dan insidens aktivitas trofoblastik persisten pada grup ini lebih

rendah. Meskipun demikian angka keberhasilan terminasi kehamilan tuba

dan angka kehamilan intrauterine setelah kehamilan tuba pada kedua grup

tidak berbeda secara bermakna.

b. Salpingotomi

Pada dasarnya prosedur ini sama dengan salpingostomi kecuali bahwa

pada salpingotomi insisi dijahit kembali. Beberapa literatur menyebutkan

bahwa tidak ada perbedaan bermakna dalam hal prognosis, patensi dan

perlekatan tuba pascaoperatif antara salpingostomi dan salpingotomi.

c. Salpingektomi

Reseksi tuba dapat dikerjakan baik pada kehamilan tuba yang belum

maupun yang sudah terganggu dan dapat dilakukan melalui laparotomi

maupun laparoskopi. Salpingektomi diindikasikan pada keadaan kehamilan

ektopik yang mengalami ruptur (terganggu), pasien tidak menginginkan

fertilitas pascaoperatif, terjadi kegagalan sterilisasi, telah dilakukan

rekonstruksi atau manipulasi tuba sebelumnya, pasien meminta dilakukan

Page 19: Laporan Kasus Ket

sterilisasi, perdarahan berlanjut pascasalpingotomi, kehamilan tuba berulang,

kehamilan heterotopik, dan massa gestasi berdiameter lebih dari 5 cm.

Reseksi massa hasil konsepsi dan anastomosis tuba kadang-kadang dilakukan

pada kehamilan pars ismika yang belum terganggu. Metode ini lebih dipilih

daripada salpingostomi sebab salpingostomi dapat menyebabkan jaringan

parut dan penyempitan lumen pars ismika yang sebenarnya sudah sempit.

Pada kehamilan pars interstitialis, sering kali dilakukan pula histerektomi

untuk menghentikan perdarahan masif yang terjadi. Pada salpingektomi,

bagian tuba antara uterus dan massa hasil konsepsi diklem, digunting, dan

kemudian sisanya (stump) diikat dengan jahitan ligasi. Arteria tuboovarika

diligasi, sedangkan arteria uteroovarika dipertahankan. Tuba yang direseksi

dipisahkan dari mesosalping.

d. Evakuasi Fimbrae dan Fimbraektomi

Bila terjadi kehamilan di fimbrae, massa hasil konsepsi dapat dievakuasi

dari fimbrae tanpa melakukan fimbraektomi. Dengan menyemburkan cairan

di bawah tekanan dengan alat aquadisektor atau spuit, massa hasil konsepsi

dapat terdorong dan lepas dari implantasinya. Fimbraektomi dikerjakan bila

massa hasil konsepsi berdiameter cukup besar sehingga tidak dapat diekspulsi

dengan cairan bertekanan (Fujishita et al, 2004; Tulandi, 1999; Zilber, 1996).

.2.10 Prognosis

Kematian karena kehamilan ektopik terganggu cenderung turun dengan

diagnosis dini dengan persediaan darah yang cukup. Hellman dkk pada tahun

1971 melaporkan 1 kematian dari 826 kasus dan Willson dkk pada tahun 1971

melaporkan 1 kematian diantara 591 kasus. Tetapi bila pertolongan terlambat,

Page 20: Laporan Kasus Ket

angka kematian dapat tinggi. Sjahid dan Martohoesodo pada tahun 1970

mendapatkan angka kematian 2 dari 120 kasus. Penderita mempunyai

kemungkinan yang lebih besar untuk mengalami kehamilan ektopik kembali.

Selain itu, kemungkinan untuk hamil akan menurun. Kemungkinan melahirkan

bayi cukup bulan adalah sekitar 50% (Astaqauliah, 2006).

Kehamilan ektopik merupakan sebab kematian yang penting maka

diagnosa harus dapat ditentukan dengan cepat hanya 60 % dari wanita yang

pernah mengalami kehamilan ektopik terganggu menjadi hamil lagi walaupun

angka kemandulannya akan lagi lebih tinggi (Setiawan,2007).Umumnya

penyebab kehamilan ektopik (misalnya penyempitan tuba atau pasca penyakit

radang panggul) bersifat bilateral. Setelah pernah mengalami kehamilan ektopik

pada tuba satu sisi, kemungkinan pasien akan mengalami kehamilan ektopik lagi

pada tuba sisi yang lain (Shafariah,2008).

Ibu yang pernah mengalami kehamilan ektopik terganggu mempunyai

resiko 10% untuk terjadinya kehamilan ektopik terganggu berulang. Ibu yang

sudah mengalami kehamilan ektopik terganggu sebanyak dua kali terdapat

kemungkinan 50% mengalami kehamilan ektopik terganggu berulang

(Schwart,2000).

Ruptur dengan perdarahan intraabdominal dapat mempengaruhi fertilitas

wanita. Dalam kasus-kasus kehamilan ektopik terganggu terdapat 50-60%

kemungkinan wanita steril. Dari sebanyak itu yang menjadi hamil kurang lebih

10% mengalami kehamilan ektopik berulang (Pawirohardjo,2005).

Page 21: Laporan Kasus Ket

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1. IDENTITAS PASIEN

Nama Pasien: Ny. N H Nama Suami : Tn. R

Umur : 29 th Umur : 32 th

Agama : Islam Agama: Islam

Suku : Sasak Suku : Sasak

Pendidikan: SMA Pendidikan: PT

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Pekerjaan: Wiraswasta

Alamat : Jln. Cendana no.12 Mataram

Tanggal/Jam Masuk RSU Mataram : 19 November 2009 / 12.30 wita.

3.2. ANAMNESIS

Keluhan Utama

Nyeri perut kanan

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien kiriman Klinik Swasta (dr. Rusdhy SpOG) dengan KET

Pasien datang ke Klinik Swasta jam 11.30, mengeluh nyeri perut sejak 4 hari yang

lalu terutama jika perut ditekan.

HPHT : Lupa

Siklus haid : 28 hari

Lama haid : 5-6 hari

Riwayat Penyakit Dahulu

Page 22: Laporan Kasus Ket

Pasien mengaku tidak pernah menderita penyakit berat seperti Kencing Manis,

Hypertensi, Asma dan penyakit Jantung

Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien mengaku bahwa dalam keluarga tidak ada yang menderita penyakit berat.

Riwayat KB

Pasien mengaku tidak pernah menggunakan KB apapun, dan berencanakan akan

mengunakan KB suntik 3 bulan

Riwayat Persalinan

1. Ini

Riwayat Perkawinan

Pasiuen mengaku menikah 1x, dengan suami sekarang dan berlangsung selama 8

bulan

3.3. STATUS GENERALIS

Keadaan Umum : Baik

Kesadaran : Compos Mentis

Tinggi Badan : 164 cm

Berat Badan : 52 kg

Tek. Darah : 110/70 mmHg

FN : 80 x/mnt

FP : 20 x/mnt

Suhu : 36,5 °C

Mata : An (-), Ikterus (-)

Jantung : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)

Paru : Ves +/+, Rh -/-, Wh -/-

Page 23: Laporan Kasus Ket

Ekstremitas : edema (-),

Abdomen : nyeri tekan (+), kembung (+)

3.4. STATUS GINEKOLOGI

a. Inspeksi : vulva normal

b. Inspekulo : porsio licin, massa (-), perdarahan (+), keputihan (-)

c. VT : CD (-), fluksus (-), nyeri goyang (+), cavum douglas menonjol (+)

3.5. DIAGNOSIS

Kehamilan Ektopik Terganggu.

3.6. PEMERIKSAAN PENUNJANG

PPT : (+)

DL: Hb 9,6 g%

Leu 12.000 /mm3

Tromb 326.000 /mm3

HCT 30.9

HBsAg (-)

3.7. PENATALAKSANAAN

Laparatomi

3.8. PENEMUAN OPERASI

- Uterus, ovarium kiri dan tuba falopii kiri normal

- Ovarium kanan normal

- Tuba falopii kanan terdapat gestasi dengan berat sekitar 200 gram

- Perdarahan pada tuba falopii

Page 24: Laporan Kasus Ket

3.9. FOLLOW UP

19 November 2009

Pk. 12.30 wita S : Nyeri perut

O: - TD : 110/70 mmHg

- FN : 88 x/menit

- FP : 20 x/menit

- Suhu: 36,5 ‘C

A: KET

P : Persiapan Operasi (Infus, DC)

Laparatomi dimulai

Pk. 13.00 S : Kaki terasa berat

O : KU : baik

TD : 120/80 mmHg

Nadi : 80x/menit

P : 20x/menit

Suhu : 36,8 ‘C

A : Post SOD

P : Observasi kesra ibu

Observasi Vital sign

Observasi Perdarahan

Cek Laboratorium

Pk. 14.00 S : -

O : KU : baik

TD : 110/80 mmHg

Page 25: Laporan Kasus Ket

Nadi : 78x/menit

P : 20x/menit

Suhu : 36,5’C

Hasil Laboratorium: Hb : 8,6 g%

Leukosit: 10.100/mm3

Trombosit: 270.000/mm3

Hematocrit: 30,2

A : Post SOD

P : Observasi kesra ibu

Observasi Vital sign

Observasi Perdarahan

Pk. 15.00 S : -

O : KU : baik

TD : 120/80 mmHg

Nadi : 80x/menit

P : 20x/menit

Suhu : 36,8 ‘C

A : Post SOD

P : Observasi kesra ibu

Observasi Vital sign

Observasi Perdarahan

Pk. 16.00 S : -

O : KU : baik

TD : 120/80 mmHg

Page 26: Laporan Kasus Ket

Nadi : 80x/menit

P : 20x/menit

Suhu : 36,8 ‘C

A : Post SOD

P : Observasi kesra ibu

Observasi Vital sign

Observasi Perdarahan

3.10. RESUME

Pasien 29 tahun hamil 2 bulan, Islam, Suku Sasak, kiriman dari Klinik

Swasta (dr. Rusdhy SpOG) dengan KET. Pasien mengeluh nyeri perut sebelah

kanan. Dari pemeriksaan fisik didapatkan status generalis dalam batas normal.

Hasil pemeriksaan ginekologi didapatkan:

a. Inspeksi : vulva normal

b. Inspekulo : porsio licin, massa (-), perdarahan (+), keputihan (-)

c. VT : CD (-), fluksus (-), nyeri goyang (+), cavum douglas menonjol (+)

Page 27: Laporan Kasus Ket

BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien Ny. N H usia 29 tahun datang ke RSU Mataram tanggal 19 Desember

2009 pada pukul 12.30 wita, didiagnosis KET berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan ginekologi dimana didapatkan nyeri tekan abdomen, nyeri goyang portio,

dan cavum douglas menonjol. Pasien mengeluh nyeri perut sejak 4 hari yang lalu.

Pemeriksaan fisik sangat penting terutama pemeriksaan abdomen karena nyeri tekan

abdomen, nyeri goyang portio dan penonjolan cavum douglas merupakan tanda khas

dari KET, selain itu perdarahan pervagina juga merupakan tanda khas dari KET. Hal

tersebut diatas akan mempengaruhi prognosis, komplikasi infeksi dan penanganan. Pada

kasus ini pasien didiagnosis KET sesuai dengan hasil pemeriksaan yaitu nyeri tekan

abdomen, nyeri goyang portio dan penonjolan cavum douglas, tetapi tidak disertai

perdarahan. Idealnya diagnosis KET ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan fisik,

ginekologi, dan USG serta PPT, namun pada kasus ini pasien tidak dilakukan

pemeriksaan USG di RSUP Mataram, tetapi sudah dilakukan di Klinik Swasta.

Berdasarkan pengakuan pasien, mengaku hamil 2 bulan berdasarkan hasil

pemeriksaan PPT dan riwayat haid. Dengan adanya gangguan merupakan indikasi untuk

dilakukan terminasi kehamilan dengan laparatomi guna mencegah terjadinya

komplikasi terhadap ibu. Dari pemeriksaan status generalis pasien tampak normal dan

pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan kadar Hb 9,6 g% (agak turun), hal ini

menunjukkan bahwa tidak terjadi komplikasi lebih jauh terhadap ibu. Pemeriksaan

inspekulo diperoleh perdarahan dan portio licin. Pemeriksaan dalam (VT) pada pasien

ini dilakukan ketika baru datang dan didapatkan nyeri goyang portio, cavum douglas

Page 28: Laporan Kasus Ket

menonjol. Pemeriksaan dalam dilakukan hanya sekali karena dapat menyakitkan pasien.

Pada pasien ini segera dilakukan laparatomi untuk mencegah komplikasi terhadap ibu.

Kehamilan ektopik pada dasarnya disebabkan segala hal yang menghambat

perjalanan zigot menuju kavum uteri. Faktor-faktor mekanis yang menyebabkan

kehamilan ektopik antara lain: riwayat operasi tuba, salpingitis, perlekatan tuba akibat

operasi non-ginekologis seperti apendektomi, pajanan terhadap diethylstilbestrol,

salpingitis isthmica nodosum (penonjolan-penonjolan kecil ke dalam lumen tuba yang

menyerupai divertikula), dan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR). Hal-hal tersebut

secara umum menyebabkan perlengketan intra- maupun ekstraluminal pada tuba,

sehingga menghambat perjalanan zigot menuju kavum uteri. Selain itu ada pula faktor-

faktor fungsional, yaitu perubahan motilitas tuba yang berhubungan dengan faktor

hormonal dan defek fase luteal. Dalam hal ini gerakan peristalsis tuba menjadi lamban,

sehingga implantasi zigot terjadi sebelum zigot mencapai kavum uteri (Wibowo, 2002).

Page 29: Laporan Kasus Ket

DAFTAR PUSTAKA

Astaqauliyah. 2006. Kehamilan Ektopik Terganggu.available from:

http://www.astaqauliyah.com (Accessed: 2009, Desember 10).

Cunningham FG, Macdonald PC, Gant NF. 2005. Kehamilan Ektopik. Dalam Obstetri

William (William’s Obstetri). Edisi XVIII. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran

EGC.

Farlex. 2007. The Free Dictionary. Available from:

http://www.medicaldictionary.thefreedictionary.com (Accessed: 2009,

Desember 2).

Fujishita A, Masuzaki H, Khan KN, Kitajima M, Hiraki K, Ishimaru T. 2004.

Laparoscopic salpingotomy for tubal pregnancy: comparison of linear

salpingotomy with and without suturing. Hum Repro; 19(5):1195-1200 abstract

Guvendag Guven ES, Dilbaz S, Dilbaz B, Ozdemir DS, Akdag D, Haberal A. 2007.

Comparison of the effect of single-dose and multiple-dose methotrexate therapy

on tubal patency. Fertil Steril; 15(5):405-411

Harold E. 2006. Clinical Anatomy, Applied anatomy for students and junior doctors.

11th ed. USA: Blackwell Publishing.

Jones HW. 1997. Ectopic Pregnancy. In: Novak’s Text Book of Gynecology. 3rd

Edition. Balltimore, Hongkong, London, Sydney: William & Wilkins.

Lipscomb GH, McCord ML, Stovall TG, Huff G, Portera SG, Ling FW. 1999.

Predictors of Success of Methotrexate Treatment in Women with Tubal Ectopic

Pregnancies. NEJM;341(26):1974-1978

Page 30: Laporan Kasus Ket

Lipscomb GH, Stovall TG, Ling FW. 2000. Nonsurgical Treatment of Ectopic

Pregnancy. NEJM ;343(18):1325-1329

Lozeau AM, Potter B. 2005. Diagnosis and Management of Ectopic Pregnancy.

American Academy of Family Physician; 72(9):1707-1714

Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R. 2001. Kehamilan Ektopik. Dalam Kapita Selekta

Kedokteran Jilid I. Edisi III. Jakarta: Media Aesculapius.

Manuaba, I.B.G. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana

Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC.

Medicine health. 2005. Ectopic Pregnancy. Available from:

http://www.emedicinehealth.com (Accessed: 2009, Desember 2).

Moechtar R. 1998. Kelainan Letak Kehamilan (Kehamialan Ektopik). Dalam: Sinopsis

Obstetri, Obstetri Fisiologis dan Obstetri Patologis. Edisi II. Jakarta: Penerbit

Buku kedokteran EGC.

Moore K L, Dalley F. 2006. Cinically Oriented Anatomy. 5th ed. USA: Lippincott

Williams & Wilkins Publisher.

Motazedian S.2000.Surgical Treatment of Ectopic Pregnancy.Irn J Med Sci;25(1):76-80

Prawirohardjo S, Hanifa W. 2005. Gangguan Bersangkutan dengan Konsepsi. Dalam

Ilmu Kandungan. Edisi II. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono

Prawiroharjo.

Rachimhadhi T. 2005. Kehamilan Ektopik. Dalam Ilmu Bedah Kebidanan. Edisi I.

Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.

Robin F, Lecuru F, Bernard JP, MacCordick C, Boucaya V, Taurelle R.1998.

Methotrexate Provides Significant Cost Savings for the Treatment of Unruptured

Ectopic Pregnancy. Clin Drug Invest; 15(5):405-411

Page 31: Laporan Kasus Ket

Sadan O, Ginath S, Debby A, Rotmensch S, Golan A, Zakut H, Glezerman M.

2001.Methotrexate versus hyperosomolar glucose in the treatment of

extrauterine pregnancy. Arch Gynecol Obstet; 265(2):82-4 abstract

Saifuddin, A.B.dkk. 2000. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kessehatan Maternal dan

Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Shafariyah. 2008. Kehamilan Ektopik Terganggu. Available From:

h ttp:// www. Shafamedica. w ordpress. c om (Accessed: 2009, Desember 10).

Soenarto. 2008. Kehamilan Ektopik Terganggu. Available from:

http://www.healthisforall.blogspot.com (Accessed: 2009, Desember 7).

Suparman E, Suryawan A. 2007. Kehamilan Ektopik di RSUP Manado Selama 2 Tahun

(1 januari 2000-31 Desember 2001). Manado: Fakultas Kedokteran Universitas

Sam Ratulangi.

Taber, B. 1994. Kapita Selekta Kedokteran Obstetri dan Ginekologi. Jakarta : EGC.

Schwart SI, Shires TS. 2000. Kehamilan Ektopik. Dalam Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu

Bedah. Edisi VI. Editor: Spencer FC. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Tulandi T, Saleh A. 1999. Surgical management of ectopic pregnancy. Clinical Obstet

Gynecol;42:31 abstract

Wibowo B, Rachimhadhi T. 2002. Kehamilan Ektopik. Dalam Ilmu Kebidanan. Edisi

III. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.

Zilber U, Pansky M, Bukovsky I, Golan A. 1996. Laparoscopic Salpingostomy versus

Laparoscopic Local Methotrexate Injection in the Management of Unruptured

Ectopic Gestation. Am J Obstet Gynecol;175(3):600-602.