laporan fix

Upload: selvia-anggraeni

Post on 06-Jan-2016

12 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

tutor

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAHSeorang dokter harus menguasai dan memahami sepenuhnya Metabolisme obat dalam tubuh. Dengan pengetahuan itu seorang dokter dapat memberikan dan menggunakan obat dengan tepat yang pada hakikatnya obat merupakan zat toksik bagi tubuh. Obat dapat didefinisikan sebagai senyawa yang digunakan untuk mencegah, mengobati, mendiagnosis penyakit atau gangguan terhadap tubuh. Metabolisme obat bermacam-macam tergantung pada jenis obatnya. Untuk mengetahui Metabolisme setiap obat tidak terlepas dari ilmu farmakologi. Farmakologi terutama terfokus kepada dua subdisiplin, yaitu farmakokinetik dan farmakodimanik. Dalam kedua subdisiplin ilmu tersebut akan dipelajari tentang metabolisme obat dalam tubuh dan efek obat terhadap tubuh (Farmakologi dan Terapi UI). Dengan mengetahui metabolisme obat dalam tubuh, dokter juga dapat menentukan dosis yang tepat yang seharusnya diberikan, memperkirakan sekaligus mencegah efek samping, dan mempertimbangkan hubungan genetika dalam bidang pengobatan.

B. MASALAH1. Umur 30 tahun, obese2. Minum obat sebelum makan3. Tidak bisa tidur, muntah-muntah, diare, kulit merah, gatal4. Anak yang disusui menderita muntah, gatal, gelisah5. SGOT 125 IU, SPGT 200 IU6. Temannya minum, tetapi tidak bermasalah

C. PERUMUSAN MASALAH 1. Kenapa ibu itu minum teh pelangsing?2. Apa zat yang trkandung dalam teh pelangsing?3. Mengapa obat tersebut dapat melangsingkan?4. Bagaimana cara kerja obat pelangsing?5. Mengapa diminum sebelum makan?6. Mengapa ibu mengalami gejala seperti itu?7. Mengapa anak yang disususi mengalami gejala seperti itu/8. Apakah ada hubungan antara gejala yang diderita oleh ibu dan anak?9. Mengapa SGOT, SPGT meningkat dari normal?10. Mengapa teman ibu tidak menderita sakit padahal meminum obat yang sama?

D. TUJUAN 1. Mengetahui zat-zat apa saja yang terkandung dalam teh pelangsing.2. Mengetahui mengapa obat tersebut dapat melangsingkan.3. Mengetahui cara kerja obat pelangsing.4. Mengetahui alasan teh pelangsing diminum sebelum makan.5. Mengetahui apa yang menjadi penyebab ibu tersebut mengalami gejala seperti itu.6. Mengetahui mengapa anak yang disusui mengalami muntah, gatal, menderita (rewel)7. Mengetahui apakah ada hubungan antara gejala yang diderita oleh ibu dan anak.8. Mengetahui mengapa nilai SGPT dan SGOT ibu tersebut meningkat dari normal.9. Mengetahui alasan mengapa teman ibu tersebut tidak mengalami gejala penyakit seperti yang diderita olehnya.

E. MANFAAT1. Mahasiswa mampu memahami metabolisme obat dalam tubuh yang meliputi farmakodinamik, farmakokinetik, farmakogenetik, dan interaksi dari obat yang akan diberikan pada pasien.2. Mahasiswa mampu menentukan pemberian obat yang tepat dengan memperhatikan efek yang ditimbulkan dan interaksi antara obat satu dengan yang lain.3. Mahasiswa mampu memahami pengaruh zata yang tergandung dalam suatu obat yang dapat menyebabkan efek samping tertentu

F. KASUSUntuk menunjang blok metabolisme nutrisi dan obat dihadapkan sebuah kasus: Ny. S, 30 tahun, obese, dirawat di RS. Penderita tidak bias tidur, muntah-muntah, diare, serta kulit terlihat merah dan gatal-gayal. Sebelumnya selama satu minggu Ny. S mengonsumsi obat teh pelangsing yang diminum sebelum makan. Ny. S masih menyusui. Anak yang disusui juga menderita muntah, gatal, dan gelisah (rewel).Pemeriksaan klinis pada Ny. S didapatkan: kulit kemerahan, berat badan 80 kg, tinggi 150 cm, tensi 110/70 mmHg. Pemeriksaan laboratorium: SGOT 125 IU (Normal: 40 IU); SPGT 200 IU (Normal: 40 IU).Teman Ny. S juga minum obat serupa dan dapat menurunkan berat badan tetapi tidak ada keluhan berarti.

G. HIPOTESISTubuh ibu sangat responsif terhadap obat yang diminum.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

FarmakokinetikObat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian pada umumnya mengalami absorpsi, distribusi, dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek. Kemudian, dengan atau tanpa biotransformasi, obat diekskresi dari dalam tubuh. Seluruh proses ini disebut dengan farmakokinetik. (Arini Setiwati,Zunilda SB dan F.D Suyatna, 2003).Absorpsi obat melalui saluran cerna pada umumnya terjadi secara difusi pasif, karena itu absorpsi mudah terjadi bila obat dalam bentuk non ion dan mudah larut dalam lemak. Peningkatan kecepatan pengosongan lambung biasanya akan meningkatkan kecepatan absorpsi obat, dan sebaliknya. (Arini Setiwati,Zunilda SB dan F.D Suyatna, 2003).Setelah di absorpsi, obat akan didistribusi ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah. Distribusi obat tergantung dari aliran darah dan sifat fisikokimianya. Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam sel, sedangkan obat yang tidak larut dalam lemak akan sulit menembus membran sel sehingga distribusinya terbatas terutama di cairan ekstrasel. Obat dapat terakumulasi dalam sel jaringan karena ditransport secara aktif, atau lebih sering karena ikatannya dengan komponen intrasel yaitu protein, fosfolipid, atau nukleoprotein. (Arini Setiwati,Zunilda SB dan F.D Suyatna, 2003). Terikatnya obat pada protein plasma membatasi konsentrasinya dalam jaringan dan di tempat kerja obat karena hanya obat tak terikat saja yang terdapat dalam kesetimbangan antarmembran. Dengan demikian, setelah kesetimbangan distribusi tercapai, konsentrasi obat yang aktif dan tidak terikat di dalam air intrasel sama besarnya dengan obat di plasma kecuali jika melibatkan transpor yang diperantarai pembawa. (Grant R. Wilkinson,2008).Setelah melalaui tahap distribusi, kemudian obat mengalami tahap metabolisme atau biotransformasi. Biotransformasi atau metabolisme obat merupakan proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalisis oleh enzim. Pada proses ini, molekul obat diubah menjadi lebih polar (lebih mudah larut dalam air dan kurang larut dalam lemak) sehingga lebih mudah diekskresi melalui ginjal. Reaksi biokimia yang terjadi dapat dibedakan atas reaksi fase I dan fase II. Reaksi fase I mengubah obat menjadi metabolit yang lebih polar, yang dapat bersifat inaktif, kurang aktif, atau lebih aktif daripada bentuk aslinya. Yang termasuk fase I adalah oksidasi, reduksi dan hidrolisis. Sedangkan fase II merupakan konyugasi obat atau metabolit hasil reaksi fase I dengan sbustrat endogen. Hasil konyugasi ini bersifat polar dan lebih mudah terionisasi, sehingga lebih mudah diekskresi. (Arini Setiwati,Zunilda SB dan F.D Suyatna, 2003).Sifat khas metabolisme obat adalah variabilitas antarindividu yang besar yang seringkali memberikan perbedaan tingkat metabolisme yang menonjol yang menghasilkan laju eliminasi obat dan profil khas konsentrasi obat dalam plasma darah sebagai fungsi waktu. Variabilitas tersebut memberikan penjelasan penting mengapa pasien memberikan respons yang berbeda terhadap suatu dosis obat yang sama dan dalam hal tersebut harus menjadi pertimbangan dalam menentukan dosis optimal bagi pasien tertentu. Kombinasi dari faktor genetik, lingkungan, dan kondisi penyakit akan mempengaruhi proses metabolisme obat. (Grant R.Wilkinson,2008).Metabolisme obat akan terganggu bila terjadi kerusakan parenkim hati misalnya oleh adanya zat hepatotoksik atau pada sirosis hepatis. Dalam hal ini, dosis obat yang eliminasinya terutama melalui metabolisme di hati harus disesuaikan atau dikurangi. Selain itu, penurunan alir darah hepar oleh obat, gangguan kardiovaskular, atau latihan fisik berat akan mengurangi metabolisme obat tertentu di dalam hati. (Arini Setiwati,Zunilda SB dan F.D Suyatna, 2003).Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar diekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi melalui paru. Ekskresi obat melalui ginjal menurun pada gangguan fungsi ginjal sehingga dosis perlu diturunkan atau interval pemberian perlu diperpanjang. Bersihan kreatin dapat dijadikan patokan dalam menyesuaikan dosis atau interval pemberian obat. Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, air liur, air mata, air susu, dan rambut, tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran obat(Arini Setiwati,Zunilda SB dan F.D Suyatna, 2003). Obat yang diekskresi melalui air susu dipengaruhi oleh konsentrasi obat di dalam plasma darah. Karena air susu lebih asam dari pH plasma, senyawa basa dapat terkonsentrasi lebih besar di dalam air susu dan konsentrasi senyawa asam di dalam air susu akan lebih rendah dari plasma. Senyawa non elektrolit seperti etanol dan urea, mudah masuk ke dalam air susu dan akan mencapai konsentrasi yang sama seperti di dalam plasma, tidak tergantung pada pH air susu.(Grant R.Wilkinson,2008).

FarmakodinamikFarmakodinamik mempelajari efek biokimiawi dan fisiologi obat serta mekanisme kerjanya. Tujuannya untuk meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel dan mengetahui urutan peristiwa serta spektrum efek dan respons yang terjadi. (Arini Setiwati,Zunilda SB dan F.D Suyatna, 2003). Efek obat umumnya dihasilkan dari interaksinya dengan komponen makromolekul organisme. Interaksi ini mengubah fungsi komponen yang bersangkutan dan mencetuskan perubahan biokimiawi dan fisiologis yang merupakan respons khasnya terhadap obat.(Goodman&Gilman,2008). Reseptor obat merupakan komponen makromolekul fungisional yang mencakup dua konsep penting yaitu obat dapat mengubah kecepatan kegaiatan faal tubuh, dan obat tidak menimbulkan suatu fungsi baru. (Arini Setiwati,Zunilda SB dan F.D Suyatna, 2003).Obat yang mempunyai efek serupa dengan senyawa endogen disebut agonis. Sebaliknya, yang menghambat disebut antagonis. Antagonisme dalam farmakodinamik dibagi 2, yaitu reseptor fisiologis(reseptor beda, fisiologis sama) dan antagonisme pada reseptor(reseptor sama). Reseptor obat yang paling penting adalah protein. Dapat juga berupa asam nukleat. Ikatan obat-reseptor tersebut biasanya adalah ikatan kovalen, ion, hydrogen,dan van der walls. Namun pada umumnya merupakan campuran berbagai ikatan tersebut. (Arini Setiwati,Zunilda SB dan F.D Suyatna, 2003).

FarmakogenetikFarmakogenetika merupakan salah satu bidang dalam farmakologi klinik yang mempelajari keanekaragaman respons obat yang dipengaruhi atau disebabkan oleh karena faktor genetik. Secara umum bentuk keanekaragaman genetik, khususnya polimorfisme genetik dalam pengaruh obat dapat terjadi dalam berbagai tingkat proses biologik obat dalam tubuh, yakni proses farmakokinetik (absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat) dan proses farmakodinamik (dalam proses interaksi antara molekul obat dengan reseptornya, di mana terdapat kepekaan reseptor yang abnormal terhadap molekul obat (kepekaan reseptor obat)). (Bagian Farmakologi Klinik FK UGM,2007).Tiap organisme akan memberikan pengaruh yang tidak sama terhadap suatu obat. Di samping perbedaan genetik, juga harus disadari bahwa individu yang sakit tidak sama reaksinya terhadap obat dibandingkan individu yang sehat dan normal. Belum lagi pengaruh lain, misalnya interaksi dengan obat lain, makanan, lingkungan hidup sehari-hari yang kesemuanya ini dapat mempengaruhi absorpsi, distribusi, biotransformasi maupun ekskresi obat. (Widianto, 1985)Polimorfisme genetik dalam proses absorpsi, distribusi, dan ekskresi obat, tidak banyak dijumpai dan diketahui.a. Proses AbsorpsiKemungkinan polimorfisme genetik dalam proses absorpsi dapat diperkirakan kalau individu individu dengan ciri-ciri genetik tertentu, tidak dapat mengabsorpsi obat, nutriensia atau vitamin-vitamin karena tidak mempunyai faktor pembawa (carrier) spesifik untuk obat atau nutriensia atau vitamin yang bersangkutan. Jadi, ada kekurangan atau defect dalam absorpsi pada mekanisme transport aktifnya. Namun, ini secara teoritik, dalam kenyataannya tidak banyak yang dijumpai atau diketahui. Tidak jelas apakah malabsorpsi vitamin B-12 karena tidak adanya faktor intrinsik untuk absorpsi pada individu-individu tertentu juga masuk dalam polimorfisme genetik dalam proses absorpsi ini.b. Proses DistribusiPolimorfisme genetik dalam proses distribusi secara teoritik kemungkinan dapat terjadi apabila ada abnormalitas ikatan protein terhadap obat tertentu oleh suatu fraksi protein tertentu. Atau distribusi obat ke organ/jaringan tertentu (misalnya uptake iodium oleh kelenjar tiroid) dengan suatu pembawa spesifik, mengalami gangguan dan gangguan ini disebabkan oleh karena faktor genetik. Dalam kenyataannya hal ini belum dilaporkan dalam pustaka-pustaka standard.c. Proses MetabolismeBentuk-bentuk plimorfisme genetik yang banyak dikenal adalah dalam proses metabolisme oleh karena adanya keanekaragaman enzim yang berperan dalam metabolisme obat, baik secara kuntitatif atau secara kualitatif. Umumnya karena adanya perbedaan secara kuantitatif enzim oleh karena sintesis enzim yang dipengaruhi oleh faktor genetik, misalnya perbedaan antara asetilator cepat dan asetilator lambat lebih banyak dikarenakan perbedaan aktifitas enzim asetil-transferase karena jumlahnya yang berbeda.d. Proses Ekskresi Kemungkinan adanya gangguan sekresi aktif di tubuli renalis karena tidak adanya pembawa spesifik secara teoritik dapat terjadi. Tetapi polimorfisme genetik dalam bentuk terganggunya proses sekresi obat ini belum dikenali dan dilaporkan dalam pustaka. (Bagian Farmakologi Klinik FK UGM,2007).

Teh PelangsingDewasa ini, banyak teh yang digunakan sebagai metode penurunan berat badan, salah satunya adalah teh hijau. Berdasarkan berita yang dirangkum dari Care Fair, Kamis (22/10/2009), ada dua jenis teh pelangsing. Yaitu, teh yang menjadi perangsang, dan teh yang "mencuci perut".(Adhini Amaliafitri,2009).Kinerja dari teh perangsang terjadi pada saat menyantap makanan. Kandungan yang ada di dalam teh jenis ini dapat menyerap kalori makanan lebih banyak sehingga, tubuh memiliki kalori yang tak terlalu banyak. Biasanya, teh jenis ini diminum sebelum waktu makan tiba. Efek yang diterima oleh tubuh pun berbeda-beda. Ada yang mengalami penurunan bobot dengan mudah, ada yang kehilangan nafsu makan, bahkan ada yang metabolisme tubuhnya naik saat rutin mengonsumsi teh jenis ini. Sering pusing, merasa nervous tanpa sebab, dan susah tidur juga termasuk dampak lain saat seseorang terlalu sering mengonsumsi teh pelangsing jenis perangsang. (Adhini Amaliafitri,2009).Sedangkan teh yang bekerja untuk menguras isi usus, sudah bisa ditebak kinerjanya pada tubuh. Banyak penelitian mengungkapkan, bahwa minuman pencuci perut dapat menyebabkan tubuh dehidrasi. Bukan hanya membuat tubuh lemas, tapi bisa membahayakan kesehatan. Teh ini menurunkan bobot tubuh sangat cepat di awal-awal Anda mengonsumsinya. Bobot tubuh dengan cepat berangsur-angsur turun. Namun sifatnya sementara, bila tidak diimbangi dengan olahraga rutin. Biasanya, teh jenis ini dapat membuat tubuh kecanduan. Dampak lainnya, Anda dapat kesulitan bernapas, kekurangan cairan, pingsan, sampai berujung pada kematian.(Adhini Amaliafitri,2009).Baik teh biasa maupun teh pelangsing yang menonjol adalah sifat diuretiknya. Orang yang mengkonsumsi produk tersebut, menurut dr. Leane, MSc., seorang ahli gizi, akan sering buang air kecil sehingga sel ikut mengecil karena cairan sel berkurang. Berkurangnya air dari dalam tubuh memang dapat menyusutkan bobot badan. Badan pun jadi langsing. (Anonim, 2008).Minum teh atau teh hijau memang bermanfaat untuk tubuh, namun ada masa dimana minum teh perlu dikurangi. Mirip dengan anjuran orang-orang tua untuk mengurangi atau meniadakan minum kopi, Ibu-ibu yang sedang hamil harus berhati-hati dalam mengkonsumsi teh hijau karena kandungan kafeinnya sangat besar. Sementara ibu-ibu yang sedang menyusui, juga disarankan agar tidak mengkonsumsi kopi dan teh hijau karena dapat menimbulkan restlessness (sukar diam), sukar tidur, anemia dan effect negatif lainnya pada anak-anak yang sedang disusuinya. (Anonim, 2009)

Kelainan Fungsi HeparHepar adalah organ utama dalam metabolisme obat, terutama obat-obat per oral. Pada dasarnya enzim hepar merubah obat menjadi bahan yang lebih polar dan mudah larut dalam air sehingga, mudah diekskresi melalui ginjal dan empedu. Hepar adalah organ utama dalam metabolisme obat, terutama obat-obat per oral. Pada dasarnya enzim hepar merubah obat menjadi bahan yang lebih polar dan mudah larut dalam air sehingga, mudah diekskresi melalui ginjal dan empedu.(dr. Bambang Suasono, 1985).SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) dan SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase) adalah enzim intrasel yang terutama berada di jantung, hati, dan jaringan skeleton. (Dorland, 2002). Peningkatan enzim aminotransferase (juga dikenal sebagai transaminase), SGPT dan SGOT, biasanya mengarah pada perlukaan hepatoselular atau inflamasi. Pada hepatitis kronik aktif kerusakan hepatoselularnya lebih berat. SGOT dan SGPT dapat meningkat sampai 5-10 kali normal di atas angka normal. Pada perlemakan hati dapat ditemukan peninggian transaminase 2-3 kali normal. (Sudoyo, dkk, 2006).Penyakit hati mengurangi metabolisme obat di hati dan sintesis protein plasma sehingga meningkatkan kadar obat, terutama kadar bebasnya, dalam darah dan jaringan. Akibatnya terjadi respons yang berlebihan atau efek toksik. Tetapi perubahan respons ini baru terjadi pada penyakit hati yang parah, dan tidak terlihat pada penyakit hati yang ringan karena hati mempunyai kapasitas cadangan yang besar. (Arini Setiwati,Zunilda SB dan F.D Suyatna, 2003).

BAB IIIPEMBAHASAN

Obat yang masuk dalam tubuh mengalami suatu proses kinetika yang disebut farmakokinetik. Farmakokinetik ini mencakup 4 proses yakni proses absorpsi, distribusi, metabolisme ( biotransformasi ) dan ekskresi. Absorpsi sendiri merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah. Dalam darah obat akan diikat oleh protein plasma dengan berbagai ikatan lemah yang disebut proses distribusi. Metabolisme obat terjadi di hati, proses ini bertujuan untuk mengubah obat yang non polar menjadi polar agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu. Proses metabolisme terdiri dari fase I dan fase II. Selanjutnya adalah proses ekskresi, obat diekskresi melalui ginjal dalam bentuk utuh maupun bentuk metabolitnya. Ekskresi dalam bentuk utuh atau bentuk aktif merupakan cara eliminasi obat melalui ginjal. Ekskresi melalui ginjal melibatkan 3 proses yakni filtrasi glomerulus, sekresi aktif di tubulus proksimal dan reabsorbsi pasif di sepanjang tubulus.Diketahui dalam skenario bahwa nyonya S telah mengunakan produk obat berupa teh pelangsing. Dimana obat tersebut mengandung caffeine (menyebabkan kecemasan, disorientasi dan mual), amphetamine (menyebabkan kesusahan tidur), diuretic (menyebabkan hiperglukemia, hiperalkaloidemia serta kulit kemerahan), teofilin (menyebabkan mual, muntah, tachycardia dan aritmia). Kandungan-kandungan tersebut itulah yang dapat menurunkan berat badan si ibu (mengurangi intake, memperbanyak atau mempercepat ekskresi, menaikkan metabolisme tubuh, cairan dalam tubuh berkurang sehingga sel-sel mengecil) . Teh pelangsing ini diminum sebelum makan yang bertujuan untuk menekan nafsu makan si ibu.SGOT dan SGPT naik disebabkan adanya gangguan pada hati. SGOT dan SGPT adalah enzim yang dipakai oleh hati dalam pekerjaannya, biasanya enzim ini ditahan dalam hati. Akan tetapi bila terjadi kelainan pada hati semakin banyak enzim ini masuk ke aliran darah. Tingkat enzim ini dalam darah dapat diukur dan tingkatannya menunjukkan tingkat kerusakan pada hati. Biasanya kadar SGPT dan SGOT dianggap masalah apabila sudah mencapai 3 kali lipat kadar normal. Sedangkan bayi si ibu mengalami hal yang sama karena mendapatkan asupan ASI dari ibu. Padahal, kandungan ASI adalah kandungan nutrisi dalam darah ibu. Sehingga zat-zat yang dapat menimbulkan gejala pada ibu masuk ke dalam tubuh anak dan menimbulkan efek yang sama. Ekskresi dalam ASI meskipun sedikit, penting artinya karena dapat menimbulkan efek samping pada bayi yang menyusu pada ibunya. ASI lebih asam dari pada plasma, maka lebih banyak obat-obat basa dan lebih sedikit obat-obat asam terdapat dalam ASI daripada dalam plasma.Dalam kasus ini, teman Ny. S yang meminum obat serupa dapat menurunkan berat badan tetapi tidak mengalami keluhan yang berarti. Hal ini mungkin disebabkan fisiologis manusia berbeda-beda, setiap orang mempunyai respon yang berbeda-beda terhadap obat yang diminum.

BAB IVKESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN1. Kerusakan hati yang diderita Ny. S menyebabkan gangguan metabolisme obat, diperparah dengan konsumsi obat pelangsing.2. Anaknya mengaami gejala yang sama karena mengonsumsi ASI yang merupakan ekskresi ibu.3. Kandungan obat memiliki efek samping bagi Ny. S.

B. SARAN1. Seorang dokter harus memiliki pengetahuan tentang efek samping obat sehingga dokter bisa mengenal tanda dan gejala yang disebabkan obat.2. Seorang dokter juga dituntut menguasai dan memahami sepenuhnya Metabolisme obat dalam tubuh serta farmakokinetik dan farmakodinamik setiap jenis obat.3. Sebelum memberikan obat, perhatikan aspek lain yang mungkin berpengaruh terhadap metabolisme obat seperti alergi, genetik, dan sebagainya.4. Bila muncul efek samping dari suatu obat turunkan dosisnya jika masih dimungkinkan, namun bila efek samping tetap muncul maka yangg harus dilakukan adalah segera hentikan dan ganti dengan obat lainnya yang memiliki kesamaan fungsi namun tidak mengandung bahan yang mengakibatkan efek samping yang sama dengan obat sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Bambang Suasono. 1985. Obat Hepatotoksik pada Anak. Cermin Dunia Kedokteran: Jakarta.Dorland, W.A Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC.Setiawati , Arini, Zunilda SB dan F.D Suyatna. 2003. Pengantar Farmakologi. Farmakologi dan Terapi edisi 4. Jakarta : Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Sudoyo, dkk. 2006.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV . FKUI: Jakarta.Wilkinson, Grant R. 2008. Goodman & Gilman, Dasar Farmakologi Terapi Volume 1 Edisi 10 (Farmakokinetika, Dinamika Absorpsi Obat, Distribusi, dan Eliminasi). Jakarta : EGCWidianto, Mathilda B. 1985. Bagaimana Pengaruh Tubuh Terhadap Obat. Bandung: Cermin Dunia Kedokteran.Amaliafitri, Adhini. 2009. Teh Pelangsing, Berbahayakah?. http://lifestyle.okezone.com/read/2009/10/22/27/268248/27/teh-pelangsing-berbahayakah.Anonim. 2008. Untung Rugi Minum Teh Pelangsing. http://sehatmania.blogspot.com/2008/04/untung-rugi-minum-teh-pelangsing.htmlAnonim. 2009. Bahaya teh hijau untuk ibu hamil dan menyusui. http://scrapman.wordpress.com/2009/11/08/bahaya-teh-hijau-untuk-ibu-hamil-dan-menyusui/Bagian Farmakologi Klinik FK UGM. 2007. www.farklin.com/images/multirow3f1e1d0fb4b43.pdf

13