laporan farmako fix

20
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI KEDOKTERAN PENGARUH OBAT TERHADAP JANTUNG Asisten : Alfian Tagar Aditya Purnomo G1A009064 Kelompok 8 : Himatun Istijabah G1A010007 Ratih Paringgit G1A010023 Rinda Puspita A. G1A010033 Shofa Sabrina G1A010051 Eviyanti Ratna G1A010063 Tsalasa Agustina G1A010078 Celestia Wongihati G1A010089 Handika Rheza A G1A010100 Eka Rizki Febryanti G1A010111 Libra Hendra P G1A007071 BLOK KARDIOVASKULER JURUSAN KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2012

Upload: rinda-puspita-angguningtyas

Post on 21-Jul-2015

295 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI KEDOKTERAN PENGARUH OBAT TERHADAP JANTUNG

Asisten : Alfian Tagar Aditya Purnomo G1A009064

Kelompok 8 :

Himatun Istijabah Ratih Paringgit Rinda Puspita A. Shofa Sabrina Eviyanti Ratna Tsalasa Agustina Celestia Wongihati Handika Rheza A Eka Rizki Febryanti Libra Hendra P

G1A010007 G1A010023 G1A010033 G1A010051 G1A010063 G1A010078 G1A010089 G1A010100 G1A010111 G1A007071

BLOK KARDIOVASKULER JURUSAN KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO

2012

LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI KEDOKTERAN PENGARUH OBAT TERHADAP JANTUNG

Oleh : Kelompok 8

Himatun Istijabah Ratih Paringgit Rinda Puspita A. Shofa Sabrina Eviyanti Ratna Tsalasa Agustina Celestia Wongihati Handika Rheza A Eka Rizki Febryanti Libra Hendra P

G1A010007 G1A010023 G1A010033 G1A010051 G1A010063 G1A010078 G1A010089 G1A010100 G1A010111 G1A007071

Disusun untuk memenuhi persyaratan tugas praktikum Farmakologi Kedokteran Blok Kardiovaskuler Jurusan Kedokteran Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

Diterima dan disahkan Purwokerto, April 2012 Asisten,

Alfian Tagar Aditya Purnomo NIM. G1A009064

BAB I PENDAHULUAN

A. Judul Praktikum Pengaruh Obat Terhadap Jantung B. Waktu Praktikum Hari/tanggal Waktu : Rabu, 25 April 2012 : Pukul 15.00 - 17.00 WIB

C. Tujuan Instruksional 1. Umum Setelah menyelesaikan praktikum mahasiswa dapat menjelaskan pengaruh digitalis pada jantung katak. 2. Khusus Setelah menyelesaikan praktikum mahasiswa dapat menjelaskan

perubahan - perubahan yang terjadi pada jantung katak setelah dilakukannya pemberian digitalis pada jantung katak.

BAB II DASAR TEORI

Penelitian dilakukan mengenai respon hormonal dan kardiovaskular terhadap atropin dan latihan intensitas rendah pada 7 orang remaja. Growth hormone (GH) tidak meningkat pada pemberian atropin. Kortisol (CORT) tidak berubah pada pemberian atropin intramuskular saat istirahat, namun meningkat pada pemberian atropin 90 menit sebelum latihan berselang. Plasma luteinizing hormone (LH) tidak terpengaruh pada semua percobaan. Plasma prolactin (PRO) menunjukkan peningkatan yang berarti pada pemberian atropin 90 menit sebelum latihan berselang. Norepinephrine (NE) tidak terpengaruh pada pemberian atropin intramuskular saat istirahat, namun menunjukkan peningkatan yang berarti pada pemberian atropin 90 menit sebelum latihan berselang. Denyut jantung (HR) dan rate pressure product (RPP) menunjukkan peningkatan yang berarti pada semua percobaan. Pemberian atropin 90 menit sebelum latihan intensitas rendah dapat meningkatkan kortisol, prolaktin, norepinefrin, menurunkan growth hormone, dan meningkatkan tekanan kardiovaskular (Kamimori, 2009).

Sulfas Atropin 1. Sediaan: Ampul 250 g/ml x 1 ml x 30 2. Dosis dewasa: a) 250-1000 g secara subkutan. b) Dosis 1 mg IV bolus dapat diulang dalam 3-5 menit sampai dosis total 0,030,04 mg/kg BB, untuk bradikardi 0,5 mg IV bolus setiap 3-5 menit maksimal 3 mg. 3. Farmakokinetik dan Farmakodinamik Merupakan obat yang mempunyai efek antikolinergik kuat dan merupakan antagonis khusus dari efek musakarinik Ach. Atropine memiliki daya kerja atas SSP (antara lain sedative) dan daya bronchodilatasi ringan berdasarkan peredaan otot polos bronchi. Merupakan antikolinergik, bekerja menurunkan tonus vagal dan memperbaiki sistimkonduksi AtrioVentrikuler. Atropin

merupakan agen preanestesi yang digolongkan sebagai antikolinergik atau parasimpatolitik. Atropin sebagai prototip antimuskarinik mempunyai kerja menghambat efek asetilkolin pada syaraf postganglionik kolinergik dan otot polos. Hambatan ini bersifat reversibel dan dapat diatasi dengan pemberian asetilkolin dalam jumlah berlebihan atau pemberian antikolinesterase. Termasuk dalam golongan glikosida jantung atau digitalis yang cara kerjanya memperkuat daya kontraksi otot jantung yang lemah sehingga memperkuat fungsi pompa. Digitalis digoksin mempunyai efek inotropik positif yakni

memperkuat kontraksi jantung, hingga volume pukulan, volume menit dan diuretic diperbesar, serta jantung membesar mengecil lagi. Frekuensi denyutnya juga diturunkan hal ini termasuk dalam efek kronotropik negatif akibat dari nervus vagus. Resobsi sulfas atropine di usus cepat dan lengkap, begitu pula dari mukosa. Selain itu resopsi dapat melalui kulit dan sulit direabsorpsi lewat mata. Distribusi keseluruh tubuh baik dan ekskresi dilakukan melalui ginjal (Katzung, 2001). 4. Indikasi Atropin dapat mengurangi sekresi dan merupakan obat pilihan utama untuk mengurangi efek bronchial dan kardial yang berasal dari perangasangan parasimpatis, baik akibat obat atau anestesi maupun tindakan lain dalam operasi. Disamping itu efek lainya adalah melemaskan tonus otot. Selain itu obat ini bisa digunakan untuk spasme/kejang pada kandung empedu, kandung kemih dan usus, keracunan fosfororganik, asistole atau PEA lambat (kelas II B), bradikardi (kelas II A) selain AV blok derajat II tipe 2 atau derajat III (hati-hati pemberian atropine pada bradikardi dengan iskemi atau infark miokard), keracunan organopospat (atropinisasi) (Setiabudy, 2008). 5. Kontraindikasi Pemberian harus hati hati pada penderita dengan suhu diatas normal dan pada penderita dengan penyakit jantung khususnya fibrilasi aurikuler selain itu harus hati-hati dengan pasien bradikardi dengan irama EKG AV blok derajat II tipe 2 atau derajat III (Setiabudy, 2008).

6. Efek samping Peningkatan tekanan intraokular, sikloplegia (kelumpuhan iris mata), midriasis, mulut kering, pandangan kabur, kemerahan pada wajah dan leher, hesitensi dan retensi urin, takikardi, dada berdebar, konstipasi/sukar buang air besar, peningkatan suhu tubuh, peningkatan rangsang susunan saraf pusat, ruam kulit, muntah, fotofobia (kepekaan abnormal terhadap cahaya) (Setiabudy, 2008).

BAB III METODE PRAKTIKUM

I. II.

Binatang Percobaan / Orang Percobaan 2 ekor katak Alat dan Bahan A. Alat 1. Pisau bedah 2. Pinset 3. Gunting lurus 4. Pipet tetes 5. Alat perusak otak katak 6. Papan 7. Beker glass 8. Alat pengukur waktu B. Bahan 1. NaCl fisiologis 2. Sulfas Atropin (Ampule)

III.

Cara Kerja 1. Rusak otak katak dengan menggunakan alat perusak otak katak melalui foramen magnum. 2. Letakkan katak dalam posisi terlentang di atas papan. 3. Bedah bagian ventral katak mulai dari kulit, otot, kemudian robek pericardium katak. 4. Amati : a. Kekuatan denyut jantung b. Irama jantung c. Frekuensi denyut jantung d. Warna jantung 5. Katak A : a. Menit 1 tetesi dengan sulfas atropine b. Menit 2 sampai menit 15 tetesi dengan NaCl fisiologis Katak B : menit 1-15 tetesi dengan NaCl fisiologis.

6. Amati : a. Kekuatan denyut jantung b. Irama jantung c. Frekuensi denyut jantung d. Warna jantung 7. Catat hasilnya

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Pengamatan dilakukan menggunakan 2 ekor katak yaitu katak A dan B. Katak A ditetesi dengan sulfas atropin, sedangkan katak B digunakan sebagai kontrol. Hasil pengamatan perbedaan irama, warna, dan frekuensi denyut kedua katak selama 15 menit adalah sebagai berikut: Tabel 1. Hasil percobaan pada katak A dan katak B Frekuensi (x/menit) Katak A 57 50 38 41 64 37 32 36 44 25 43 43 45 43 39 Katak B 42 49 51 60 57 59 55 45 45 40 49 45 40 42 40

Irama Waktu (menit) Katak A 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 teratur teratur teratur teratur teratur Tidak teratur Tidak teratur Tidak teratur Tidak teratur Tidak teratur Tidak teratur Tidak teratur Tidak teratur Tidak teratur Tidak teratur Katak B teratur teratur teratur teratur teratur teratur teratur teratur teratur teratur teratur teratur teratur teratur teratur

Warna Katak A Ungu Ungu Ungu Ungu Ungu Pucat Pucat Pucat Pucat Pucat Pucat Pucat Pucat Pucat Pucat Katak B Ungu Ungu Ungu Ungu Pucat Pucat Pucat Pucat Pucat Pucat Pucat Pucat Pucat Pucat Pucat

Keterangan hewan percobaan : Katak A = diberikan sulfas atropine Katak B = sebagai kontrol

Grafik Frekuensi Detak Jantung Katak A dan Katak B 70 60 50 40 30 20 10 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Waktu (menit)

Frekuensi

Katak A Katak B

B. Pembahasan Sulfas atropin merupakan obat yang tergolong anti muskarinik yang berfungsi untuk menghambat saraf parasimpatis dan terutama selektif di reseptor M1 (Ganglia, beberapa kelenjar), M2 (Jantung), M3 (Otot polos dan kelenjar), dan M4 atau M5. Antagonis muskarinik akan memblok efek asetilkolin yang dilepaskan dari terminal saraf parasimpatis pascaganglion. Sulfas atropin termasuk stimulan sentral yang lemah yang apabila diberikan dalam dosis besar akan menyebabkan takikardi sedangkan dosis rendah

menyebabkan bradikardi. Dalam percobaan kali ini, dosis sulfas atropin yang digunakan sebanyak 0,2 cc. Dosis tersebut lebih kecil daripada yang seharusnya sehingga menimbulkan brakikardi pada jantung katak. Katak A mengalami perubahan frekuensi detak jantung yang mecolok pada menit ke-6. Hal ini menunjukkan bahwa obat sulfat atropine yang telah diberikan pada jantung katak A telah bekerja pada reseptor muskarinik dan menyebabkan frekuensi denyut jantungnya berkurang. Namun frekuensi denyut jantung tidak menurun secara terus menerus, ada saat di mana frekuensi denyut jantung kembali meningkat. Hal ini mungkin dapat disebabkan oleh dosis sulfas atropin yang kecil sehingga efek obat hanya didapatkan sesaat atau minimal. Sedangkan pada katak B frekuensi denyut

jantung sempat meninggi namun akhirnya kembali turun secara bertahap di menit ke-4. Walaupun sempat mengalami kenaikan frekuensi, perbedaannya tidak terlalu jauh. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil percobaan kali ini di antaranya adalah: a. Faktor Alat dan Bahan 1. Dosis obat tidak sesuai sehingga efek yang dinginkan tidak dapat dicapai 2. Obat yang digunakan sudah rusak dan tidak dapat dipakai lagi sehingga tidak menimbulkan efek yang diinginkan b. Faktor Kesalahan Manusia 1. Cara pemberian sulfas atropine yang tidak sesuai pada tempat pemberian obat yang seharusnya sehingga obat tidak bekerja pada jantung atau dosis yang mencapai jantung tidak sesuai. 2. interpretasi praktikan yang berbeda-beda dalam membedakan

perbedaan warna dan irama jantung katak 3. Ketelitian praktikan dalam menghitung denyut jantung dalam 1 menit.

C. Aplikasi Klinis 1. Gangguan Kardiovaskular Congestive heart failure (CHF) adalah kelainan klinis yang disebabkan oleh kongesti pembuluh pulmoner dan penurunan cardiac output. CHF harus dibedakan dengan diagnosis pada pasien usia lanjut yang mirip misalnya dispnea dan/atau gagal nafas. Diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan dengan anamnesis yang baik, pemeriksaan fisik, dan hasil pemeriksaan radiologi yang khas. Echocardiografi juga dapat mendukung dalam penegakan diagnosis gagal jantung. Pengobatan pada CHF bertujuan untuk mengembalikan fisiologi normal pada sirkulasi

jantungpulmoner dan menurunkan keadaan hiperadregenik (Figueroa, 2006). Gagal Jantung merupakan suatu sindrom klinis yang ditandai oleh sesak nafas dan fatigue, baik saat beraktivitas maupun saat beristirahat, yang

disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung. Gagal jantung diawali oleh inadekuatnya daya kontraktilitas yang dimiliki oleh ventrikel, sehingga sebagai kompensasinya, terjadi pengaktivasian dari sistem saraf adrenergic, sistem renin angiotensin aldosteron (RAA), dan sistem sitokin. Dalam jangka pendek, homeostasis sistem kardiovaskular masih bisa dipertahankan, sehingga pasien cenderung asimtomatik. Namun, lamakelamaan aktivasi sistem-sistem tersebut menyebabkan kerusakan organ sekunder, terutama pada ventrikel, yaitu semakin memburuknya

remodeling ventrikel dan dekompensasi dari subsekuens jantung. Manifestasi klinis dari penyakit ini diantaranya, orthopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea, cheyne-stokes respiratory dan gejala-gejala

gastrointestinal (Sudoyo, dkk., 2009; Longo, dkk., 2008). 2. Gangguan Susunan Saraf Pusat Parkinson merupakan suatu kelainan fungsi otak yang disebabkan oleh proses dgeneratif progresif sehubungan dengan proses penuaan sel-sel substansia nigra pars compacta (SNc), dan karakteristik ditandai dengan tremor waktu istirahat, kekakuan otot dan sendi, kelambanan gerak dan bicara, dan instabilisasi posisi tegak.Sampai saat ini, penyebab kematian sel-sel substansia nigra pars compacta belum diketahui secara pasti, namun beberapa penelitian menduga bahwa kelainan ini disebabkan oleh faktor genetik, faktor lingkungan, proses menua, ras, cedera kranioserebral dan stres emosional. Hipotesis terbaru menyatakan bahwa proses patologi yang mendasari proses degenerasi neuron SNc adalah stres oksidatif. Stres oksidatif menyebabkan terbentuknya formasi oksiradikal, seperti

dopamine quinon yang dapat bereaksi dengan alfa sinuklein. Formasi ini menimpuk, tidak hanya di degradasi oleh unbiquitin-proteasomal pathway, sehingga menyebabkan kematian sel-sel SNc (Sudoyo, dkk., 2009). 3. Saluran Napas Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan allergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi

paparan ulangan dengan allergen spesifik tersebut. Antigen asing yang masuk ke dalam tubuh menyebabkan terjadinya reaksi: a. Respon primer Terjadi proses elminasi dan fagositosis antigen. Reaksi ini bersifat non-spesifik dan dapat berakhir. Namun, apabila antigen tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder. b. Respon sekunder Reaksi bersifat spesifik, memungkinkan pengaktivasian sistem imunitas selular, humoral, atau keduanya. Bila antigen berhasil dieliminasi pada tahap ini, maka reaksi selesai. Jika antigen masih ada atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier. c. Respon tersier Reaksi ini tidak menguntungkan bagi tubuh, dapat bersifat sementara maupun menetap, tergantung daya eliminasi oleh tubuh. Gejala rhinitis alergi yang khas ialah terdapatnya bersin berulang. Gejala lain yang menyertai yaitu keluar rinorae yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata yang keluar (Soepardi, dkk., 2007).

BAB V KESIMPULAN

1. Sulfas atropin merupakan obat yang tergolong anti muskarinik yang berfungsi untuk menghambat saraf parasimpatis. 2. Pada katak A yang diberikan sulfas atropin dengan dosis rendah mengalami penurunan frekuensi detak jantung dibandingkan dengan katak B yang tidak diberikan sulfas atropin. 3. Aplikasi klinisnya antara lain: Congestive Heart Failure, Parkinson, dan Rhinitis alergi

Daftar Pustaka

Figueora, Mchael S. 2006. Congestive Heart Failure: Diagnosis, Pathophysiology, Therapy, and Implications for respiratory Care. www.rtjournalonline.com/chf.pdf April 2006 Vol 51 No 4. Daedalus Enterprises. Kamimori, G. H.; Bellar, D.; Fein, H. G.; Smallridge, R. C. (2009). Hormonal and Cardiovascular Response to Low-Intensity Exercise With Atropine Administration. Military Medicine International Journal of AMSUS, Volume 174 (Number 3), pp 253-258(6). Katzung, Bertram G. 2001. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta:Salemba Medika. Longo, Dan L., dkk. 2008. Harrisons Principles of Internal Medicine. USA: Mc Graw-Hill Inc. Setiabudy, Rianto. 2008. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta : FKUI. Soepardi, Efiaty Arsyad. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. Sudoyo, Aru W., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing.

LAMPIRAN