laporan farmako mei

24
Tujuan Percobaan : 1. Menguji dan Mengamati Efek pada Beberapa Obat Analgesik 2. Mengamati Efek Samping pada Beberapa Obat Analgesik Sasaran belajar : 1. Mampu melakukan praktikum tersamar ganda atau double blind clinical trial. 2. Mampu melakukan observasi efek analgesik dari beberapa jenis analgesik. 3. Mampu melakukan observasi pada efek samping yang mungkin timbul pada masing-masing analgesik. 4. Mampu mancatat hasil praktikum dan membuat laporan yang baik. Alat-alat yang diperlukan : 1. Tensimeter, stetoskop, termometer kulit, termometer kimia, penggaris. 2. Baskom plastik berisi bongkahan es + air dengan suhu 3 derajat Celcius. 3. Obat-obat analgesik : Parasetamol 600 mg Kodein 30 mg Ibuprofen 600 mg Tramadol 50 mg Plasebo Yang dikemas dalam kapsul yang sama bentuk, besar dan warnanya. Persiapan 1

Upload: meidalenaab

Post on 14-Aug-2015

36 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Farmako Mei

Tujuan Percobaan :

1. Menguji dan Mengamati Efek pada Beberapa Obat Analgesik

2. Mengamati Efek Samping pada Beberapa Obat Analgesik

Sasaran belajar :

1. Mampu melakukan praktikum tersamar ganda atau double blind clinical trial.

2. Mampu melakukan observasi efek analgesik dari beberapa jenis analgesik.

3. Mampu melakukan observasi pada efek samping yang mungkin timbul pada masing-

masing analgesik.

4. Mampu mancatat hasil praktikum dan membuat laporan yang baik.

Alat-alat yang diperlukan :

1. Tensimeter, stetoskop, termometer kulit, termometer kimia, penggaris.

2. Baskom plastik berisi bongkahan es + air dengan suhu 3 derajat Celcius.

3. Obat-obat analgesik : Parasetamol 600 mg

Kodein 30 mg

Ibuprofen 600 mg

Tramadol 50 mg

Plasebo

Yang dikemas dalam kapsul yang sama bentuk, besar dan warnanya.

Persiapan

1. Tiap kelompok mahasiswa menyediakan 2 orang percobaan (o.p.) yang siap dalam

keadaan puasa 4 jam sebelum percobaan. Hal ini perlu dipahami oleh mahasiswa, agar

absorbsi obat cepat dan sempurna, maka sebaiknya lambung dalam keadaan kosong.

Untuk praktikum analgesik tidak ada kontra indikasi khusus, dimana mahasiswa tidak

boleh menjadi orang percobaan, hanya hati-hati pada mahasiswa yang pernah punya

riwayat ulkus peptikum atau gastritis kronis.

2. Instruktur telah mempersiapkan obat-obat diatas dengan kemasan (kapsul) yang sama

bentuk, besar dan warnanya, dan telah diberi kode tertentu, dicatat dan disimpan oleh

salah satu instruktur. Karena percobaan ini adalah tersamar ganda, dimana para

instruktur dan para orang percobaan tidak dapat memilih sendiri obat yang akan

1

Page 2: Laporan Farmako Mei

diberi/diminum, dengan tujuan untuk menghindari faktor subyektivitas yang akan

mempengaruhi keabsahan hasil pengamatan.

3. Tiap kelompok telah menyiapkan alat-alat yang diperlukan diatas.

Tatalaksana

1. Mintalah orang percobaan yang telah dipilih oleh masing-masing kelompok untuk

berbaring di meja praktikum.

2. Lakukan pengukuran tanda vital (tekanan darah, denyut nadi, frekuensi nafas, suhu

kulit, dan diameter pupil mata, serta gejala subyektif; seperti pusing, demam, mual,

dll). Pengukuran sehu tubuh dilakukan dengan termometer kulit yang diletakkan pada

leher depan di bawah dagu (daerah flushing).

Pengukuran pupil mata dilakukan dengan penggaris dalam keadaan mata orang

percobaan menatap lurus ke atas, pada saat berbaring.

Lakukan pengukuran diatas 2 kali, dan diambil rata-ratanya, dan catat sebagai

parameter dasar.

3. Untuk membangkitkan rasa sakit maka dilakukan :

a. Untuk orang percobaan pertama, dalam keadaan duduk, celupkan tangan kanan

sampai pergelangan tangan dan dalam keadaan jari-jari terkepal ke dalam baskom

plastik berisi air es dengan suhu 2-3 derajat Celsius. Catatlah waktu tangan

dimasukkan sampai terasa sakit yang tidak dapat ditahan lagi.

Lakukan dengan tangan kiri, dan ambilah rata-rata waktu antara tangan kanan dan

kiri sebagai parameter dasar.

b. Untuk orang percobaan lain, dalam keadaan berbaring pasanglah manset tensi

meter pada lengan kanan atas, pompalah sampai 180 mmHg, lalu tutuplah kunci

air raksanya, mintalah orang percobaan melakukan gerakan membuka dan

menutup jari-jari (mengepal) tiap detik sampai rasa nyeri yang tak tertahankan

lagi. Catat waktu saat mulai gerakan sampai rasa sakit yang tak tertahankan.

Lakukan pada lengan yang satu dan ambil rata-rata waktu ke dua lengan sebagai

parameter dasar.

4. Mintalah obat pada instruktur, dan tiap orang percobaan minum obatnya setelah

kawannya mencatat kode obat yang diminumnya.

5. Orang percobaan berbaring tenang selama 60 menit, sedang kawan-kawannya tetap

berada di sisinya dan mendiskusikan tentang obat analgesik.

2

Page 3: Laporan Farmako Mei

6. Setelah 60 menit, lakukanlah kembali pengukuran parameter; tanda vital, suhu kulit,

diameter pupil mata, dan waktu timbulnya rasa nyeri.

7. Berdasarkan hasil observasi anda, diskusikan dan tentukan obat apa yang diminum

teman anda tadi, dan cocokkan dengan instruktur yang memegang kode obat tadi. Bila

anda melakukan semua dengan tatalaksana dengan baik maka ‘tebakan’ obat yang

diminum kawan anda sama dengan yang tertera di kodenya.

8. Tanyakan dan catatlah gejala-gejala lain yang dirasakan orang percobaan misalnya :

ngantuk, demam, gatal-gatal, sakit kepala, perih ulu hati, berkeringat, mual, muntah,

dll. Mintalah orang percobaan juga melaporkan gejala-gejala yang timbul selama 24

jam setelahnya : misalnya konstipasi, dll.

9. Akhirnya diskusikan dalam kelompok apakah hasil observasi yang dilakukan sesuai

dengan sifat-sifat analgesik yang diminum orang percobaan. Kalau tidak sesuai

kenapa hal itu dapat terjadi?

10. Buatlah laporan mengenai praktikum ini sesuai dengan percobaan yang telah

dikemukakan dalam buku ini.

Landasan Teori

PEMERIKSAAN METODE TERSAMAR GANDA1

Merupakan metode penelitian terhadap efek dan efek samping obat dimana baik

peneliti maupun penderita tidak mengetahui obat yang akan diberikan.

NON STEROIDAL ANTI INFLAMATORY DRUGS (NSAID)2

Berdasarkan mekanisme kerjanya NSAID digolongkan menjadi dua golongan, yaitu

sebagai inhibitor COX-Nonselektif dan inhibitor COX-2 Selektif. Yang termasuk dalam

golongan golongan inhibitor COX-Nonselektif diantaranya adalah turunan asam salisilat

(aspirin, natrium salisilat, kolin magnesium triasilat, salsalat, diflunisal, sulfasalazin,

olsalazin), turunan para-aminofenol (asetaminofen), asam asetat indol dan inden

(indometasin, sulindak), asam asetat heteroaril (tolmetin, diklofenak, ketorolak), asam

arilpropionat (ibuprofen, naproksen, flubiprofen, ketoprofen, fenoprofen, oksaprozin), asam

antranilat/fenamat (asam mefenamat, asam meklofenamat), asam enolat (oksikam;

piroksikam dan meloksikam), dan alkanon (nabumeton). Sedangkan yang termasuk dalam

golongan inhibitor COX-2 selektif diantaranya adalah furanon tersubstitusi diaril

3

Page 4: Laporan Farmako Mei

(rofekoksib), pirazol tersubstitusi diaril (selokoksib), asam asetat indol (Etodolak), dan

sulfonanilid (nimesulid).

Aktivitas Terapeutik dan Efek Samping Umum NSAID

Efek terapeutik. Semua NSAID, termasuk inhibitor COX-2 selektif, merupakan

antipiretik, analgesik, dan antiradang, satu kekecualian adalah asetaminofen, yang merupakan

antipiretik dan analgesik tetapi tidak memiliki aktivitas antiradang. Hal ini dapat dijelaskan

bahwa asetaminofen hanya dapat bekerja pada lingkungan dengan peroksid yang rendah,

sedangkan pada daerah peradangan di jaringan perifer yang mengalami peradangan

mengandung jumlah peroksid yang cukup tinggi.

Jika digunakan sebagai analgesik, obat-obat ini biasanya hanya efektif terhadap nyeri

dengan intensitas rendah hingga sedang. Walaupun efek maksimalnya jauh lebih rendah, obat

ini tidak mempunyai efek samping opioid yang tidak diinginkan terhadap sistem saraf pusat

(SSP) seperti depresi pernapasan dan berkembangnya ketergantungan fisik. Sebagai

antipiretik, NSAID menurunkan suhu tubuh pada keadaan demam.

Penggunaan klinis utama NSAID adalah sebagai antiradang dalam penanganan

gangguan otot rangka, seperti artritis rematoid, osteoartritis, dan spondilitis ankilosa. Pada

umumnya, NSAID hanya memberikan peredaan simptomatik pada nyeri dan peradangan

yang menyertai penyakit dan tidak menghentikan berlangsungnya cedera patologis pada

jaringan.

Efek samping terapi NSAID. Selain memiliki banyak aktivitas terapeutik yang sama,

NSAID mempunyai beberapa efek samping yang tidak diinginkan yang sama. Yang paling

umum adalah kecenderungan menginduksi ulser lambung dan usus yang kadang-kadang

mungkin disertai dengan anemia akibat kehilangan darah. Efek samping lain obat-obat ini

yang merupakan akibat blokade sintesis prostaglandin dan tromboksan A2 endogen mencakup

gangguan fungsi platelet, perpanjangan masa hamil atau persalinan spontan, penutupan dini

saluran yang terbuka dan tidak tersumbat, serta perubahan fungsi ginjal.

TURUNAN PARA-AMINOFENOL : ASETAMINOFEN2

Asetaminofen (parasetamol; N-asetil-p-aminofenol; TYLE-NOL, dan lain-lain)

merupakan metabolit aktif dari fenasetin. Asetaminofen merupakan obat lain pengganti

aspirin yang efektif sebagai obat analgesik-antipiretik. Karena asetaminofen ditoleransi

4

Page 5: Laporan Farmako Mei

dengan baik, banyak efek samping aspirin tidak dimilki oleh asetaminofen, dan dapat

diperoleh tanpa resep, obat ini mendapat tempat yang menonjol sebagai analgesik yang

umum di rumah tangga. Namun, overdosis akut menyebabkan kerusakan hati yang fatal.

Sifat farmakologis. Asetaminofen memiliki sifat analgetik dan antipiretik yang tidak

berbeda secara signifikan dengan aspirin. Ketidakmampuan asetaminofen memberikan efek

antiradang mungkin berkaitan dengan fakta bahwa asetaminofen hanya merupakan inhibitor

siklooksigenase yang lemah dengan adanya peroksida konsentrasi tinggi yang ditemukan

pada lesi radang. Sebaliknya efek antipiretiknya dapat dijelaskan dengan kemampuannya

menghambat siklooksigenase di otak, yang tonus peroksidanya rendah. Selain itu,

asetaminofen tidak menghambat aktivasi neutrofil, sedangkan NSAID lain menghambat

aktivitas tersebut. Asetaminofen dosis terapeutik tunggal atau berulang tidak berefek terhadap

sistem kardiovaskular dan sistem pernapasan. Perubahan asam-basa tidak terjadi, dan juga

tidak menyebabkan iritasi, erosi atau perdarahan lambung yang mungkin terjadi setelah

pemberian salisilat. Asetaminofen tidak memiliki efek terhadap platelet, waktu perdarahan,

atau ekskresi asam urat.

Farmakokinetik dan Metabolisme. Asetaminofen diabsorpsi dengan cepat dan hampir

sempurna dari saluran cerna. Konsentrasi dalam plasma mencapai kadar puncak dalam 30

sampai 60 menit, waktu paruh dalam plasma sekitar 2 jam setelah dosis terapeutik.

Asetaminofen terdistribusi relatif seragam hampir di seluruh cairan tubuh. Pengikatan obat ini

pada protein plasma beragam; hanya 20% sampai 50% yang mungkin terikat pada

konsentrasi yang ditemukan selama intoksikasi akut. Setelah dosis terapeutik, 90% sampai

100% obat ini mungkin ditemukan dalam urin selama hari pertama.

Penggunaan Terapeutik. Asetaminofen merupakan pengganti aspirin yang cocok

untuk penggunaan analgesik-antipiretik; obat ini sangat bermanfaat bagi pasien yang

dikontraindikasikan menggunakan aspirin misalnya pasien ulser lambung atau jika

perpanjangan waktu perdarahan akibat aspirin akan merugikan. Dosis oral asetaminofen yang

biasa sebesar 325 – 1000 mg (secara rectal 650 mg); dosis harian tidak boleh melebihi 4000

mg. Untuk anak-anak dosis tunggal sebesar 40 – 480 mg, bergantung pada usia dan bobot

badan; tidak boleh lebih dari lima dosis diberikan dalam 24 jam. Dosis 10mg/kgBB juga bisa

digunakan.

Efek toksik. Pada dosis terapeutik yang dianjurkan, asetaminofen biasanya ditolerir

dengan baik. Kadang-kadang terjadi ruam kulit dan alergi lain. Ruam tersebut biasanya

5

Page 6: Laporan Farmako Mei

berupa eritema atau urtikaria, tetapi kadang-kadang lebih parah dan mungkin disertai demam

obat dan lesi mukosa. Pasien yang menunjukkan reaksi hipersensitivitas terhadap

asetaminofen. Pada kasus tertentu, penggunaan asetaminofen menyebabkan neutropenia,

trombositopenia, dan pansitopenia. Efek merugikan yang paling serius akibat overdosis

asetaminofen akut berupa nekrosis hati yang mungkin fatal dan tergantung dosis. Nekrosis

tubulus ginjal dan koma hipoglikemik mungkin juga terjadi. Pada orang dewasa hepatotoksik

dapat terjadi setelah penggunaan asetaminofen dosis tunggal 10-15 g; dosis 20 sampai 25 g

atau lebih kemungkinan menyebabkan kematian. Pecandu alkohol dapat mengalami

hepatotoksik dengan dosis yang jauh lebih rendah, bahkan dengan dosis pada rentang

terapeutik.

TURUNAN ASAM PROPIONAT2

Turunann asam arilpropionat merupakan suatu golongan NSAID yang efektif dan

berguna. Senyawa-senyawa ini mungkin menawarkan keuntungan yang bermakna melebihi

aspirin dan indometasin untuk banyak pasien, karena senyawa ini biasanya ditoleransi lebih

baik. Namun, turunan asam propionat ini memiliki semua sifat buruk keseluruhan golongan

tersebut. Indikasi yang diizinkan untuk penggunaan salah satu turunan asam propionat adalah

penanganan simtomatik artritis reumatoid, osteoartritis, spondilitis ankilosa, dan artritis pirai

akut; senyawa ini juga digunakan sebagai analgesik, untuk tendinitis, dan bursitis akut, dan

untuk dismenore primer.

Sifat farmakodinamik turunan-turunan asam propionat tidak berbeda secara signifikan.

semua merupakan inhibitor siklooksigenase yang efektif, walaupun potensinya sangat

beragam. Kemungkinan interaksi obat yang merugikan dengan turunan asam propionat yang

sangat mengkhawatirkan disebabkan oleh derajat ikatannya yang tinggi terhadap albumin

dalam plasma. Namun, turunan asam propionat tidak mengubah efek obat hipoglikemik oral

atau warfarin.

IBUPROFEN. Ibuprofen tersedia berupa tablet yang mengandung 200 sampai 800 mg,

hanya tablet 200 mg dapat diperoleh tanpa resep. Untuk RA dan OA, dapat diberikan dosis

harian sampai 3200 mg dalam dosis terbagi, walaupun dosis total lazimnya sampai 1200 mg

sampai 1800 mg. Juga memungkinkan mengurangi dosis untuk pemeliharaan. Untuk nyeri

yang ringan sampai sedang, terutama dismenore primer, dosis lazimnya 400 mg setiap 4

sampai 6 jam sesuai keperluan. Obat ini dapat diberikan dengan susu atau makanan untuk

meminimalkan efek samping saluran cerna.

6

Page 7: Laporan Farmako Mei

Farmakokinetik dan Metabolisme. Ibuprofen diabsorpsi dengan cepat setelah

pemberian oral, dan konsentrasi puncak dalam plasma teramati setelah 15 sampai 30 menit.

Waktu paruh dalam plasma sekitar 2 jam. Ibuprofen banyak (99%) terikat pada protein

plasma, tetapi obat ini hanya menduduki sebagian dari seluruh tempat ikatan obat pada

konsentrasi biasa. Ibuprofen melintas dengan lambat ke dalam ruang sinovial dan mungkin

tetap berada pada konsentrasi tinggi jika konsentrasi dalam plasma menurun. Pada percobana,

ibuprofen dan metabolitnya dengan mudah melintasi plasenta. Ekskresi ibuprofen cepat dan

sempurna. Lebih dari 90% dosis yang teringesti diekskresikan dalam urin sebagai metabolit

atau konjugatnya. Metabolit utamnya adalah suatu senyawa hidroksilasi dan senyawa

terkarboksilasi.

Efek toksik. Ibuprofen telah digunakan pada pasien dengan riwayat intoleransi saluran

cerna terhadap NSAID lain. efek samping saluran cerna dialami oleh 5% sampai 15% pasien

yang menggunakan ibuprofen; nyeri epigastrik, mual, nyeri ulu hati, dan rasa ‘penuh’ di

saluran cerna merupakan gangguan umum. Namun insiden efek samping ibuprofen ini lebih

sedikit daripada dengan aspirin atau indometasin. Efek samping lain yang lebih jarang

ditemui, yaitu trombositopenia, ruam kulit, salit kepala, pusing, dan penglihatan kabur, dan

pada beberapa kasus, ambliopia toksik, retensi cairan dan edema. Ibuprofen tidak dianjurkan

untuk digunakan pada ibu hamil maupun menyusui.

ANALGESIK OPIOID2

Efek opioid yang digunakan secara klinis.Morfin dan kebanyakan agonis opioid lain

yang digunakan secara klinis memberikan efeknya melalui reseptor opioid μ. Obat ini

mempengaruhi system fisiologis secara luas. Obat ini menyebabkan analgesia,

mempengaruhi mood dan perilaku puas, dan mengubah fungsi pernpasan, kardiovaskular,

gartrointestinal, dan neurendokrin.

Analgesia. Pada manusia, obat mirip morfin menyebabkan analgesia, mengantuk,

perubahan mood, dan gangguan mental. Analgesia terjadi tanpa hilangnya kesadaran, yang

merupakan ciri khasnya. Bila morfin dosis terapeutik diberikan pada pasien yang mengalami

nyeri, pasien tersebut melaporkan bahwa nyerinya menjadi berkurang, semakin berkurang,

atau hilang sama sekali; mengantuk umumnya terjadi. Selain meredakan penderitaan,

beberapa pasien mengalami euphoria.

7

Page 8: Laporan Farmako Mei

Bila morfin dalam dosis yang sama diberikan pada individu normal yang tidak

mengalami nyeri, akibatnya mungkin tidak menyenangkan. Mual adalah hal yang umum, dan

muntah juga dapat terjadi. Mungkin ada perasaan mengantuk, kesulitan aktivitas mental,

apati, dan aktivitas fisik berkurang. Dengan meningkatnya dosis, maka efek subjektif,

analgesic, dan toksik, termasuk depresi pernapasan, semakin jelas. Morfin tidak memiliki

aktivitas antikonvulsan dan biasanya tidak menyebabkan gangguan bicara, labilitas

emosional, atau inkoordinasi motorik yang signifikan.

Peredaan nyeri oleh opioid mirip morfin relative selektif, artinya persepsi sensori

lainya tidak terpengaruh. Pasien seringkali melaporkan bahwa nyeri tersebut masih ada, tetapi

merasa lebih nyaman. Nyeri yang ringan dan terus menerus diredakan secara lebih efektif

dibandingkan nyeri yang tajam dan berselang, tetapi dengan jumlah opioid yang cukup, nyeri

yang parah dapat diredakan bahkan mungkin nyeri parah yang disebabkan kolik renal atau

empedu.

KODEIN1,2

Berbeda dengan morfin, keefektifan kodein oral sekitar 60% pemberian parenteralnya,

baik sebagai analgesic maupun sebagai depresan pernapasan. Kodein, sama seperti

levorfanol, oksikodon, dan metadon, memiliki perbandingan potensi oral terhadap parenteral

yang tinggi. Begitu diabsorpsi, kodein dimetabolisme di hati, dan metabolitnya diekskresi

terutama di urin, sebagian besar dalam bentuk tidak aktif. Sebagian kecil kodein yang

diberikan mengalami O-demetilasi membentuk morfin, dan baik morfin bebas maupun

morfin yang terkonjugasi dapat ditemukan di urin setelah pemberian kodein dosis terapeutik.

Kodein memiliki afinitas yang luar biasa rendah untuk reseptor opioid, dan efek analgesiknya

disebabkan oleh konversinya menjadi morfin. Akan tetapi, kerja antitusifnya mungkin

melibatkan reseptor khusus yang mengikat kodein sendiri. Waktu paruh kodein dalam plasma

adalah 2 sampai 4 jam.

Konversi kodein menjadi morfin dipengaruhi oleh enzim sitokrom P450 CYP2D6.

Polimorfisme genetic pada CYP2D6 yang telah terkarakterisasi dengan baik menyebabkan

ketidakmampuan untuk mengkonversi kodein menjadi morfin, sehingga menjadikan kodein

tidak efektif sebagai analgesic pada sekitar 10% dari populasi kaukasia. Polimorfisme lain

dapat menyebabkan peningkatan sensitivitas terhadap efek kodein. Menariknya, tampaknya

ada keragaman dalam efisiensi metabolic di antara kelompok etnis yang berbeda. Sebagai

contoh, orang Cina memproduksi lebih sedikit morfin dari kodein dibanding dengan orang

8

Page 9: Laporan Farmako Mei

Kaukasia dan juga kurang sensitive terhadap efek morfin daripada orang Kaukasia.

Penurunan sensitivitas terhadap morfin mungkin disebabkan oleh penurunan produksi morfin

6-glukuronid. Jadi, penting untuk mempertimbangkan kemungkinan polimorfisme enzim

metabolic pada setiap pasien yang tidak memperoleh analgesia yang memadai dari kodein

atau tidak memberikan suatu respons yang memadai terhadap prodrug lain yang diberikan.

Indikasi. Kodein digunakan untuk terapi simptomatis batuk non-produktif. Kodein

merupakan obat reference standard dalam penelitian obat batuk lain. Dalam dosis antitusif

biasa, kodein memiliki efek analgesik ringan dan efek sedatif. Efek analgesik kodein ini

dapat dimanfaatkan untuk batuk yang disertai dengan nyeri dan ansietas.

Farmakokinetik. Kodein diserap baik pada pemberian oral dan puncak efeknya

ditemukan 1 atau 2 jam , dan berlangsung selama 4-6 jam. Metabolisme terutama di hepar,

dan diekskresi komplet setelah 24 jam. Dalam jumlah kecil ditemukan dalam air susu ibu.

Sedian. Kodein terdapat dalam bentuk tablet kodein sulfat atau kodein fosfat berisi 10,

15, 20 mg. Dosis biasa dewasa : 10-30 mg setiap 4-6 jam. Dosis yang lebih besar tidak lagi

menambah besar efek secara proporsional. Dosis anak : 1-1,5 mg/kgBB/hari dalam dosis

terbagi.

Efek samping dan dosis berlebihan. Dosis kecil (10-30 mg) kodein sering digunakan

sebagai obat batuk, jarang ditemukan efek samping, kalau ada tidak lebih tinggi dari plasebo.

Efek samping dapat berupa mual, pusing, sedasi, anoreksia, dan sakit kepala. Dosis lebih

tinggi (60-80mg) dapat menimbulkan kegelisahan, hipotensi ortostatik dan vertigo. Dosis

lebih besar lagi (100-500 mg) dapat menimbulkan nyeri abdomen dan konstipasi. Kadang-

kadang timbul reaksi alergi, seperti dermatitis, hepatitis, trombositopenia, dan anafilaksis.

Depresi pernapasan dapat terlihat pada dosis 60 mg dan depresi nyata terjadi pada dosis 120

mg setiap beberapa jam. Oleh karena itu, dosis tinggi berbahaya untuk penderita dengan

kelemahan pernapasan, khususnya pada penderita dengan retensi CO2. Dosis fatal kodein

ialah 800-1000 mg. Untuk dapat menimbulkan ketergantungan fisik, kodein harus diberikan

dalam dosis tinggi setiap beberapa jam untuk jangka waktu lama, mungkin 1 bulan atau lebih.

TRAMADOL2

Tramadol adalah suatu analog kodein sintetik yang merupakan suatu agonis reseptor

agonis µ yang lemah. Sebagian efek analgesiknya dihasilkan oleh penghambatan ambilan

norepinefrin dan serotonin. Tramadol tampaknya sama efektifnya dengan opioid lemah

9

Page 10: Laporan Farmako Mei

lainnya. Dalam penanganan nyeri ringan sampai sedang. Tramadol sama efektifnya dengan

morfin atau meperidin. Akan tetapi, untuk penanganan nyeri parah atau kronis, tramadol

kurang efektif. Tramadol sama efektifnya dengan meperidin dalam penanganan nyeri

persalinan dan dapat menyebabkan depresi pernapasan neonatal yang lebih kecil.

Ketersediaan hayati tramadol 68% setelah dosis oral tunggal dan 100% bila diberikan

secara intramuscular. Afinitasnya terhadap reseptor opioid µ hanya 1/6000 afinitas morfin.

Akan tetapi, metabolit utama dari tramadol yang mengalami O-demetilasi 2 sampai 4 kali

lebih kuat daripada obat induknya dan dapat menjadi penyebab sebagian efek analgesic.

Senyawa ini mengalami metabolism hepatic dan ekskresi ginjal. Dengan waktu paruh

eliminasi selama 6 jam untuk tramadol dan 7,5 jam untuk metabolit aktifnya. Analgesia

bermula dalam 1 jam setelah pemberian dosis oral, dan efeknya memuncak dalam 2 sampai 3

jam. Durasi analgesianya sekitar 6 jam. Dosis harian maksimum yang dianjurkan adalah 400

mg.

Efek samping tramadol yang umum meliputi nausea, muntah, pusing, mulut kering,

sedasi, dan sakit kepala. Depresi pernapasan tampak lebih kecil daripada morfin dalam dosis

analgesia yang sama, dan tingkat konstipasinya lebih kecil daripada yang teramati setelah

pemberian kodein dalam dosis yang setara. Tramadol dapat menyebabkan seizure dan

mungkin memperparah seizure pada penderita yang memiliki faktor rentan. Analgesianya

yang diinduksi tramadol tidak sepenuhnya dapat dipulihkan dengan nalokson, sedangkan

dperesi pernapasan yang diinduksi tramadol dapat dipulihkan dengan nalokson. Namun,

penggunaan nalokson meningkatkan resikmo seizure. Ketergantungan fisik dan

penyalahgunaan tramadol pernah dilaporkan. Walaupun potensi penyalahgunaan tramadol

tidak jelas, tramadol mungkin harus dihindari pada pasien yang memiliki riwayat adiksi.

Karena efek penghambatannya pada ambilan serotonin, tramadol tidak boleh diguakan pada

pasien yang menggunakan inhibitor monoamin aksodase (MAO).

PLASEBO1,3

Sebagian pasien cenderung memberikan respons yang positif terhadap tiap tindakan

terapeutik yang dilakukan oleh petugas medis yang penuh perhatian. Manifestasi fenomena

ini pada subjek disebut respons plasebo dan melibatkan perubahan biokimiawi dan fisiologik

yang objektif seperti halnya perubahan pada keluhan subjektif yang berhubungan dengan

penyakit. Dalam bahasa latin “plasebo” berarti “I shall please”. Pada mulanya suatu plasebo

adalah suatu formulasi senyawa yang tidak aktif secara farmakologik dan diberikan kepada

10

Page 11: Laporan Farmako Mei

penderita yang hanya untuk menyenangkan. Namun, penggunaan istilah plasebo di zaman

modern menjadi lebih luas. Sekarang, plasebo dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu (a)

plasebo inert (yang tidak mengandung senyawa aktif secara farmakologik), dan (b) palsebo

aktif (yang mengandung persenyawaan yang memiliki aktivitas farmakologik). Berbagai efek

samping dan toksisitas plasebo juga dapat terjadi tetapi biasanya melibatkan berbagai efek

subjektif: nyeri perut, insomnia, sedasi, dan lainnya.

Penggunaan plasebo inert

Plasebo inert paling sering digunakan sebagai suatu “dummy medication” untuk kontrol

terhadap pengobabtan yang sesungguhnya dalam suatu uji klinik, dengan tujuan mengurangi

faktor bias subjektif. Kadang-kadang plasebo inert diberikan pada pasien yang mengeluh rasa

nyeri secara berlebihan/tampaknya dibesar-besarkan. Kira-kira sepertiga dari seluruh

popukasi manusia adalah “placebo reactor” sehingga dengan plasebo inert dapat

menghilangkan rasa nyeri pada 20-40% penderita dengan keluhan nyeri. Namun, cara

penggunaan ini tidak dibenarkan karena apabila penderita benar-benar asakit dan kebeulan

seorang “placebo reactor”, akan terjadi kelambatan diagnosis dari suatu penyakit yang dapat

diobati.

Penggunaan “Plasebo Aktif”

Untuk mengakhiri suatu kunjungan pasien, kadang-kadang seorang dokter meresepkan

suatu obat yang tidak ada hubungannya dengan keluhan penderita, misalnya menuliskan

sedian vitamin dengan menjelaskan kepada pasien bahwa itu adalah obat penguat tubuh.

Hasil Percobaan

Orang Percobaan A

Sebelum Minum Obat Setelah Minum Obat

TD Nadi RR/ Suhu(d)

pupil

Waktu

timbul

nyeri

TD Nadi RR/ Suhu(d)

pupil

Waktu

timbul

nyeri

110/70 76x 22x 35,8o0,5

cm

2

menit

6 detik

95/60 72x 19x 36,3o0,5

cm

2

menit

Dalam nilai rata-rata

11

Page 12: Laporan Farmako Mei

Kode Obat 140 : PARACETAMOL

Gejala Subjektif Sebelum Minum Obat : Pusing dan mengantuk ringan

Gejala Subjektif Setelah Minum Obat :

Wajah memerah, merasa demam dan gejala pusing masih ada serta membaik ketika dalam

posisi berbaring.

Orang Percobaan B

Sebelum Minum Obat Setelah Minum Obat

TD Nadi RR/ Suhu(d)

pupil

Waktu

timbul

nyeri

TD Nadi RR/ Suhu(d)

pupil

Waktu

timbul

nyeri

118/78 72x 15x 37o0,5

cm

55

detik110/70 72x 20x 37o

0,4

cm

42

detik

Dalam nilai rata-rata

Kode Obat 32 : CODEIN

Gejala Subjektif Sebelum Minum Obat : Mengantuk ringan

Gejala Subjektif Setelah Minum Obat :

Perasaannya menjadi senang dan selama 24 jam pemantauan ditemukan efek samping

konstipasi.

Analisis Data

Dalam percobaan dengan penggunaan metode tersamar ganda ini, peneliti dan orang

percobaan sama sekali tidak mengetahui obat analgesic jenis apa yang diberikan, sehingga

dapat meminimalisir penilaian subjektivitas dari orang percobaan tersebut.

Dari hasil pemeriksaan tanda-tanda vital orang percobaan pertama didapatkan hasil

dimana nilai rata-rata dari tekanan darah sedikit dibawah tekanan darah normal, sedangkan

frekuensi pernapasan, suhu kulit sedikit diatas angka normal. Pengukuran nadi dan diameter

pupil dalam batas normal seperti yang terlihat dalam tabel hasil percobaan. Dimana nilai suhu

12

Page 13: Laporan Farmako Mei

kulit dalam keadaan normal atau nyaman berkisar pada 340C serta diameter pupil pada

keadaan normal adalah 0,4-0,6 cm.4

Tahapan selanjutnya adalah memberikan rangsangan nyeri pada orang percobaan.

Orang percobaan pertama diberikan rangsangan nyeri berupa pembendungan darah pada

bagian lengan dengan manset sambil memintanya untuk membuka dan mengepalkan

tangannya. Rangsangan nyeri yang didapatkan dengan cara ini adalah akibat anoksia jaringan

perifer, terutama pada bagian tangan dan jari-jari tangan. Dari hasil percobaan, waktu yang

dibutuhkan untuk menimbulkan rasa nyeri yang tidak tertahankan adalah sekitar 2 menit 6

detik.

Sebelum mengkonsumsi obat yang diberikan oleh peneliti, OP mengaku sudah

merasakan pusing karena kurang tidur pada malam sebelumnya. Oleh karena itu keluhan

pusing yang muncul pada saat setelah mengkonsumsi obat yang diberikan menjadi tidak

signifikan sebagai efek samping dari konsumsi obat tersebut. Keadaan lain yang terlihat pada

OP adalah munculnya kemerahan pada bagian wajah dan terasa sedikit lebih hangat

dibanding sebelumnya. OP mengatakan bahwa dirinya merasa demam.

Setelah 50 menit waktu berselang. OP kembali diukur tanda-tanda vital, serta diameter

pupilnya. Dari hasil pemeriksaan didapatkan hasil penurunan tekanan darah menjadi 95/60

mmHg disertai dengan penurunan denyut nadi dan penurunan frekuensi pernapasan, namun

keduanya masih dalam batas ambang normal. Diameter pupil tidak berubah, suhu kulit

mengalami peningkatan menjadi 36,3oC hampir mendekati suhu tubuh.

OP kembali diberikan rangsangan nyeri yang sama seperti yang telah dilakukan

sebelumnya. Rangsangan ini kembali diberikan untuk melihat apakah efek analgesik dari obat

yang dikonsumsi tersebut menunjukkan hasil positif. Dari hasil pemeriksaan didapatkan

pengurangan waktu timbulnya nyeri yang semula 2 menit 6 detik menjadi 2 menit. Penurunan

waktu timbulnya nyeri yang tidak terlalu besar ini, kemungkinan disebabkan karena penilaian

subjektif dari OP terhadap rasa nyeri yang di rasakannya.

Dari hasil pengamatan didapatkan adanya reaksi alergi yang ditandai dengan

munculnya kemerahan pada wajah disertai peningkatan suhu kulit yang menjadi salah satu

efek samping dari paracetamol dalam dosis terapeutik seperti yang telah dibahas sebelumnya.

Apabila dibandingkan dengan hasil dari kelompok lain yang menerima obat yang sama, hasil

13

Page 14: Laporan Farmako Mei

pengukuran tanda-tanda vital mengalami penuruan khususnya pada tekanan darah, dan

peningkatan suhu tubuh. Sedangkan pengukuran lainnya masih dalam batas normal.

Dalam dosis toksiknya paracetamol dapat menunjukkan terjadinya penurunan tekanan

darah/hipotensi. Namun dalam percobaan kali ini dosis yang diberikan merupakan dosis

teraupetik sehingga efek hipotensi dari obat tersebut seharusnya tidak nyata terlihat walaupun

pada kenyataannya terdapat penurunan tekanan darah pada OP.

Sama halnya dengan orang percobaan pertama, pengukuran pada tanda-tanda vital dan

diameter pupil dari OP kedua juga dilakukan. Dari pengukuran didapatkan hasil yang normal

kecuali pada suhu kulit, dimana hasil pengukuran menunjukkan peningkatan suhu kulit diatas

suhu kulit yang nyaman, yaitu 37oC.

Pada orang percobaan kedua diberikan suatu rangsangan nyeri dengan memasukkan

tangan OP pada baskom berisi air bersuhu 3oC sambil menutup dan mengepalkan tangannya

seperti yang dilakukan oleh OP pertama. Rasa nyeri pada percobaan ini didapatkan akibat

aktivitas vasokonstriksi dari pembuluh darah perifer di bagian tangan.

Sebelum OP diminta mengkonsumsi obat, OP mengeluh merasa ngantuk karena OP

kurang tidur pada malam sebelumnya. Oleh sebab itu, rasa ngantuk yang kemudian timbul

dalam pengamatan efek dan efek samping obat menjadi tidak signifikan sebagai efek samping

dari obat yang diberikan. Setelah OP mengkonsumsi obat dan diamati dalam selang waktu

yang cukup panjang, OP mengeluh kantuk yang dirasakannya bertambah dan merasa sedikit

pusing. Dengan inisiatif mengajak OP berbicara, ternyata rasa kantuk yang dirasakannya

dapat sedikit ditahan dan OP terlihat senang dan lebih sering tertawa.

Setelah 50 menit berlalu, kembali pengukuran tanda-tanda vital dilakukan dan hasil

yang didapatkan menunjukkan perbedaan yang tidak mencolok. Kembali rangsang nyeri

diberikan, dan dari hasil pemeriksaan didapatkan penurunan waktu nyeri sekitar 7 detik.

Dengan adanya penurunan waktu nyeri dan tidak ditemukannya keluhan lain selain keluhan

yang disebutkan sebelum mengkonsumsi obat, membuat plasebo menjadi obat pilihan yang

diduga diberikan kepada OP kedua ini.

Namun pada kenyataannya justru obat yang diberikan adalah kodein. Efek samping

sedasi yang seharusnya dapat ditimbulkan oleh kodein tersamarkan oleh keluhan mengantuk

yang dirasakan OP sebelum mengkonsumsi obat. Selain itu efek analgesik pada nyeri ringan

yang berulang yang diberikan oleh analgesik opiod juga tidak terlihat pada OP. Justru yang

14

Page 15: Laporan Farmako Mei

terjadi adalah penurunan waktu timbulnya nyeri. Salah satu efek yang juga sudah disebutkan

sebelumnya dapat dihasilkan oleh analgesik opiod ini adalah rasa senang dan perbaikan

mood, hal inilah yang mungkin menjadi alasan OP lebih sering tertawa dan merasa senang.

Depresi nafas dan penurunan diameter pupil tidak jelas terlihat karena dosis yang

digunakan dalam percobaan kali ini adalah dosis terapeutik dalam pengobatan batuk non

produktif. Sehingga dari hasil pengukuran diameter pupil setelah mengkonsumsi obat masih

dalam keadaan normal. Namun dari hasil percobaan kelompok lainnya yang mendapatkan

tramadol, efek miosis ditunjukkan dengan adanya perubahan diameter pupil hingga 0,3 cm.

Efek samping lainnya setelah beberapa jam mengkonsumsi codein adalah adanya keluhan

konstipasi yang dirasakan oleh OP.

Kesimpulan

Dari keseluruhan hasil pemeriksaan yang didapatkan, pada sebagian percobaan yang

dilakukan oleh tiap-tiap kelompok didapati waktu timbulnya nyeri sebelum dan sesudah

mengkonsumsi obat analgesik yang mengalami penurunan. Kondisi ini tidak sesuai dengan

harapan, dimana setelah pemberian obat analgesik diharapkan waktu timbulnya nyeri akan

memanjang. Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor subjektivitas dari masing-masing orang

untuk merasakan rangsangan nyeri yang diberikan tidak dapat secara mutlak sama dari satu

waktu ke waktu yang lainnya walaupun diberikan rangsangan nyeri dengan intensitas dan

kadar nyeri yang sama.

Daftar Pustaka

1. Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.

Kumpulan kuliah farmakologi. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit Buku Kedokteran EGC.

2009. h. 62-3

2. Hardman JG, Limbird LE. Editors. Goodman & Gilman dasar farmakologi terapi. Edisi

ke-10 (1). Jakarta: Balai Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2008. h.553-691

3. Katzung BG. Farmakologi dasar dan klinik. Edisi ke-10. Jakarta: Balai Penerbit Buku

Kedokteran EGC. 2012. h. 70

4. Cameron JR, Skofronick JG, Grant RM. Fisika tubuh manusia. Jakarta: Balai Penerbit

Buku Kedokteran EGC. 2006. h. 31

15