Download - Laporan Farmako Mei
Tujuan Percobaan :
1. Menguji dan Mengamati Efek pada Beberapa Obat Analgesik
2. Mengamati Efek Samping pada Beberapa Obat Analgesik
Sasaran belajar :
1. Mampu melakukan praktikum tersamar ganda atau double blind clinical trial.
2. Mampu melakukan observasi efek analgesik dari beberapa jenis analgesik.
3. Mampu melakukan observasi pada efek samping yang mungkin timbul pada masing-
masing analgesik.
4. Mampu mancatat hasil praktikum dan membuat laporan yang baik.
Alat-alat yang diperlukan :
1. Tensimeter, stetoskop, termometer kulit, termometer kimia, penggaris.
2. Baskom plastik berisi bongkahan es + air dengan suhu 3 derajat Celcius.
3. Obat-obat analgesik : Parasetamol 600 mg
Kodein 30 mg
Ibuprofen 600 mg
Tramadol 50 mg
Plasebo
Yang dikemas dalam kapsul yang sama bentuk, besar dan warnanya.
Persiapan
1. Tiap kelompok mahasiswa menyediakan 2 orang percobaan (o.p.) yang siap dalam
keadaan puasa 4 jam sebelum percobaan. Hal ini perlu dipahami oleh mahasiswa, agar
absorbsi obat cepat dan sempurna, maka sebaiknya lambung dalam keadaan kosong.
Untuk praktikum analgesik tidak ada kontra indikasi khusus, dimana mahasiswa tidak
boleh menjadi orang percobaan, hanya hati-hati pada mahasiswa yang pernah punya
riwayat ulkus peptikum atau gastritis kronis.
2. Instruktur telah mempersiapkan obat-obat diatas dengan kemasan (kapsul) yang sama
bentuk, besar dan warnanya, dan telah diberi kode tertentu, dicatat dan disimpan oleh
salah satu instruktur. Karena percobaan ini adalah tersamar ganda, dimana para
instruktur dan para orang percobaan tidak dapat memilih sendiri obat yang akan
1
diberi/diminum, dengan tujuan untuk menghindari faktor subyektivitas yang akan
mempengaruhi keabsahan hasil pengamatan.
3. Tiap kelompok telah menyiapkan alat-alat yang diperlukan diatas.
Tatalaksana
1. Mintalah orang percobaan yang telah dipilih oleh masing-masing kelompok untuk
berbaring di meja praktikum.
2. Lakukan pengukuran tanda vital (tekanan darah, denyut nadi, frekuensi nafas, suhu
kulit, dan diameter pupil mata, serta gejala subyektif; seperti pusing, demam, mual,
dll). Pengukuran sehu tubuh dilakukan dengan termometer kulit yang diletakkan pada
leher depan di bawah dagu (daerah flushing).
Pengukuran pupil mata dilakukan dengan penggaris dalam keadaan mata orang
percobaan menatap lurus ke atas, pada saat berbaring.
Lakukan pengukuran diatas 2 kali, dan diambil rata-ratanya, dan catat sebagai
parameter dasar.
3. Untuk membangkitkan rasa sakit maka dilakukan :
a. Untuk orang percobaan pertama, dalam keadaan duduk, celupkan tangan kanan
sampai pergelangan tangan dan dalam keadaan jari-jari terkepal ke dalam baskom
plastik berisi air es dengan suhu 2-3 derajat Celsius. Catatlah waktu tangan
dimasukkan sampai terasa sakit yang tidak dapat ditahan lagi.
Lakukan dengan tangan kiri, dan ambilah rata-rata waktu antara tangan kanan dan
kiri sebagai parameter dasar.
b. Untuk orang percobaan lain, dalam keadaan berbaring pasanglah manset tensi
meter pada lengan kanan atas, pompalah sampai 180 mmHg, lalu tutuplah kunci
air raksanya, mintalah orang percobaan melakukan gerakan membuka dan
menutup jari-jari (mengepal) tiap detik sampai rasa nyeri yang tak tertahankan
lagi. Catat waktu saat mulai gerakan sampai rasa sakit yang tak tertahankan.
Lakukan pada lengan yang satu dan ambil rata-rata waktu ke dua lengan sebagai
parameter dasar.
4. Mintalah obat pada instruktur, dan tiap orang percobaan minum obatnya setelah
kawannya mencatat kode obat yang diminumnya.
5. Orang percobaan berbaring tenang selama 60 menit, sedang kawan-kawannya tetap
berada di sisinya dan mendiskusikan tentang obat analgesik.
2
6. Setelah 60 menit, lakukanlah kembali pengukuran parameter; tanda vital, suhu kulit,
diameter pupil mata, dan waktu timbulnya rasa nyeri.
7. Berdasarkan hasil observasi anda, diskusikan dan tentukan obat apa yang diminum
teman anda tadi, dan cocokkan dengan instruktur yang memegang kode obat tadi. Bila
anda melakukan semua dengan tatalaksana dengan baik maka ‘tebakan’ obat yang
diminum kawan anda sama dengan yang tertera di kodenya.
8. Tanyakan dan catatlah gejala-gejala lain yang dirasakan orang percobaan misalnya :
ngantuk, demam, gatal-gatal, sakit kepala, perih ulu hati, berkeringat, mual, muntah,
dll. Mintalah orang percobaan juga melaporkan gejala-gejala yang timbul selama 24
jam setelahnya : misalnya konstipasi, dll.
9. Akhirnya diskusikan dalam kelompok apakah hasil observasi yang dilakukan sesuai
dengan sifat-sifat analgesik yang diminum orang percobaan. Kalau tidak sesuai
kenapa hal itu dapat terjadi?
10. Buatlah laporan mengenai praktikum ini sesuai dengan percobaan yang telah
dikemukakan dalam buku ini.
Landasan Teori
PEMERIKSAAN METODE TERSAMAR GANDA1
Merupakan metode penelitian terhadap efek dan efek samping obat dimana baik
peneliti maupun penderita tidak mengetahui obat yang akan diberikan.
NON STEROIDAL ANTI INFLAMATORY DRUGS (NSAID)2
Berdasarkan mekanisme kerjanya NSAID digolongkan menjadi dua golongan, yaitu
sebagai inhibitor COX-Nonselektif dan inhibitor COX-2 Selektif. Yang termasuk dalam
golongan golongan inhibitor COX-Nonselektif diantaranya adalah turunan asam salisilat
(aspirin, natrium salisilat, kolin magnesium triasilat, salsalat, diflunisal, sulfasalazin,
olsalazin), turunan para-aminofenol (asetaminofen), asam asetat indol dan inden
(indometasin, sulindak), asam asetat heteroaril (tolmetin, diklofenak, ketorolak), asam
arilpropionat (ibuprofen, naproksen, flubiprofen, ketoprofen, fenoprofen, oksaprozin), asam
antranilat/fenamat (asam mefenamat, asam meklofenamat), asam enolat (oksikam;
piroksikam dan meloksikam), dan alkanon (nabumeton). Sedangkan yang termasuk dalam
golongan inhibitor COX-2 selektif diantaranya adalah furanon tersubstitusi diaril
3
(rofekoksib), pirazol tersubstitusi diaril (selokoksib), asam asetat indol (Etodolak), dan
sulfonanilid (nimesulid).
Aktivitas Terapeutik dan Efek Samping Umum NSAID
Efek terapeutik. Semua NSAID, termasuk inhibitor COX-2 selektif, merupakan
antipiretik, analgesik, dan antiradang, satu kekecualian adalah asetaminofen, yang merupakan
antipiretik dan analgesik tetapi tidak memiliki aktivitas antiradang. Hal ini dapat dijelaskan
bahwa asetaminofen hanya dapat bekerja pada lingkungan dengan peroksid yang rendah,
sedangkan pada daerah peradangan di jaringan perifer yang mengalami peradangan
mengandung jumlah peroksid yang cukup tinggi.
Jika digunakan sebagai analgesik, obat-obat ini biasanya hanya efektif terhadap nyeri
dengan intensitas rendah hingga sedang. Walaupun efek maksimalnya jauh lebih rendah, obat
ini tidak mempunyai efek samping opioid yang tidak diinginkan terhadap sistem saraf pusat
(SSP) seperti depresi pernapasan dan berkembangnya ketergantungan fisik. Sebagai
antipiretik, NSAID menurunkan suhu tubuh pada keadaan demam.
Penggunaan klinis utama NSAID adalah sebagai antiradang dalam penanganan
gangguan otot rangka, seperti artritis rematoid, osteoartritis, dan spondilitis ankilosa. Pada
umumnya, NSAID hanya memberikan peredaan simptomatik pada nyeri dan peradangan
yang menyertai penyakit dan tidak menghentikan berlangsungnya cedera patologis pada
jaringan.
Efek samping terapi NSAID. Selain memiliki banyak aktivitas terapeutik yang sama,
NSAID mempunyai beberapa efek samping yang tidak diinginkan yang sama. Yang paling
umum adalah kecenderungan menginduksi ulser lambung dan usus yang kadang-kadang
mungkin disertai dengan anemia akibat kehilangan darah. Efek samping lain obat-obat ini
yang merupakan akibat blokade sintesis prostaglandin dan tromboksan A2 endogen mencakup
gangguan fungsi platelet, perpanjangan masa hamil atau persalinan spontan, penutupan dini
saluran yang terbuka dan tidak tersumbat, serta perubahan fungsi ginjal.
TURUNAN PARA-AMINOFENOL : ASETAMINOFEN2
Asetaminofen (parasetamol; N-asetil-p-aminofenol; TYLE-NOL, dan lain-lain)
merupakan metabolit aktif dari fenasetin. Asetaminofen merupakan obat lain pengganti
aspirin yang efektif sebagai obat analgesik-antipiretik. Karena asetaminofen ditoleransi
4
dengan baik, banyak efek samping aspirin tidak dimilki oleh asetaminofen, dan dapat
diperoleh tanpa resep, obat ini mendapat tempat yang menonjol sebagai analgesik yang
umum di rumah tangga. Namun, overdosis akut menyebabkan kerusakan hati yang fatal.
Sifat farmakologis. Asetaminofen memiliki sifat analgetik dan antipiretik yang tidak
berbeda secara signifikan dengan aspirin. Ketidakmampuan asetaminofen memberikan efek
antiradang mungkin berkaitan dengan fakta bahwa asetaminofen hanya merupakan inhibitor
siklooksigenase yang lemah dengan adanya peroksida konsentrasi tinggi yang ditemukan
pada lesi radang. Sebaliknya efek antipiretiknya dapat dijelaskan dengan kemampuannya
menghambat siklooksigenase di otak, yang tonus peroksidanya rendah. Selain itu,
asetaminofen tidak menghambat aktivasi neutrofil, sedangkan NSAID lain menghambat
aktivitas tersebut. Asetaminofen dosis terapeutik tunggal atau berulang tidak berefek terhadap
sistem kardiovaskular dan sistem pernapasan. Perubahan asam-basa tidak terjadi, dan juga
tidak menyebabkan iritasi, erosi atau perdarahan lambung yang mungkin terjadi setelah
pemberian salisilat. Asetaminofen tidak memiliki efek terhadap platelet, waktu perdarahan,
atau ekskresi asam urat.
Farmakokinetik dan Metabolisme. Asetaminofen diabsorpsi dengan cepat dan hampir
sempurna dari saluran cerna. Konsentrasi dalam plasma mencapai kadar puncak dalam 30
sampai 60 menit, waktu paruh dalam plasma sekitar 2 jam setelah dosis terapeutik.
Asetaminofen terdistribusi relatif seragam hampir di seluruh cairan tubuh. Pengikatan obat ini
pada protein plasma beragam; hanya 20% sampai 50% yang mungkin terikat pada
konsentrasi yang ditemukan selama intoksikasi akut. Setelah dosis terapeutik, 90% sampai
100% obat ini mungkin ditemukan dalam urin selama hari pertama.
Penggunaan Terapeutik. Asetaminofen merupakan pengganti aspirin yang cocok
untuk penggunaan analgesik-antipiretik; obat ini sangat bermanfaat bagi pasien yang
dikontraindikasikan menggunakan aspirin misalnya pasien ulser lambung atau jika
perpanjangan waktu perdarahan akibat aspirin akan merugikan. Dosis oral asetaminofen yang
biasa sebesar 325 – 1000 mg (secara rectal 650 mg); dosis harian tidak boleh melebihi 4000
mg. Untuk anak-anak dosis tunggal sebesar 40 – 480 mg, bergantung pada usia dan bobot
badan; tidak boleh lebih dari lima dosis diberikan dalam 24 jam. Dosis 10mg/kgBB juga bisa
digunakan.
Efek toksik. Pada dosis terapeutik yang dianjurkan, asetaminofen biasanya ditolerir
dengan baik. Kadang-kadang terjadi ruam kulit dan alergi lain. Ruam tersebut biasanya
5
berupa eritema atau urtikaria, tetapi kadang-kadang lebih parah dan mungkin disertai demam
obat dan lesi mukosa. Pasien yang menunjukkan reaksi hipersensitivitas terhadap
asetaminofen. Pada kasus tertentu, penggunaan asetaminofen menyebabkan neutropenia,
trombositopenia, dan pansitopenia. Efek merugikan yang paling serius akibat overdosis
asetaminofen akut berupa nekrosis hati yang mungkin fatal dan tergantung dosis. Nekrosis
tubulus ginjal dan koma hipoglikemik mungkin juga terjadi. Pada orang dewasa hepatotoksik
dapat terjadi setelah penggunaan asetaminofen dosis tunggal 10-15 g; dosis 20 sampai 25 g
atau lebih kemungkinan menyebabkan kematian. Pecandu alkohol dapat mengalami
hepatotoksik dengan dosis yang jauh lebih rendah, bahkan dengan dosis pada rentang
terapeutik.
TURUNAN ASAM PROPIONAT2
Turunann asam arilpropionat merupakan suatu golongan NSAID yang efektif dan
berguna. Senyawa-senyawa ini mungkin menawarkan keuntungan yang bermakna melebihi
aspirin dan indometasin untuk banyak pasien, karena senyawa ini biasanya ditoleransi lebih
baik. Namun, turunan asam propionat ini memiliki semua sifat buruk keseluruhan golongan
tersebut. Indikasi yang diizinkan untuk penggunaan salah satu turunan asam propionat adalah
penanganan simtomatik artritis reumatoid, osteoartritis, spondilitis ankilosa, dan artritis pirai
akut; senyawa ini juga digunakan sebagai analgesik, untuk tendinitis, dan bursitis akut, dan
untuk dismenore primer.
Sifat farmakodinamik turunan-turunan asam propionat tidak berbeda secara signifikan.
semua merupakan inhibitor siklooksigenase yang efektif, walaupun potensinya sangat
beragam. Kemungkinan interaksi obat yang merugikan dengan turunan asam propionat yang
sangat mengkhawatirkan disebabkan oleh derajat ikatannya yang tinggi terhadap albumin
dalam plasma. Namun, turunan asam propionat tidak mengubah efek obat hipoglikemik oral
atau warfarin.
IBUPROFEN. Ibuprofen tersedia berupa tablet yang mengandung 200 sampai 800 mg,
hanya tablet 200 mg dapat diperoleh tanpa resep. Untuk RA dan OA, dapat diberikan dosis
harian sampai 3200 mg dalam dosis terbagi, walaupun dosis total lazimnya sampai 1200 mg
sampai 1800 mg. Juga memungkinkan mengurangi dosis untuk pemeliharaan. Untuk nyeri
yang ringan sampai sedang, terutama dismenore primer, dosis lazimnya 400 mg setiap 4
sampai 6 jam sesuai keperluan. Obat ini dapat diberikan dengan susu atau makanan untuk
meminimalkan efek samping saluran cerna.
6
Farmakokinetik dan Metabolisme. Ibuprofen diabsorpsi dengan cepat setelah
pemberian oral, dan konsentrasi puncak dalam plasma teramati setelah 15 sampai 30 menit.
Waktu paruh dalam plasma sekitar 2 jam. Ibuprofen banyak (99%) terikat pada protein
plasma, tetapi obat ini hanya menduduki sebagian dari seluruh tempat ikatan obat pada
konsentrasi biasa. Ibuprofen melintas dengan lambat ke dalam ruang sinovial dan mungkin
tetap berada pada konsentrasi tinggi jika konsentrasi dalam plasma menurun. Pada percobana,
ibuprofen dan metabolitnya dengan mudah melintasi plasenta. Ekskresi ibuprofen cepat dan
sempurna. Lebih dari 90% dosis yang teringesti diekskresikan dalam urin sebagai metabolit
atau konjugatnya. Metabolit utamnya adalah suatu senyawa hidroksilasi dan senyawa
terkarboksilasi.
Efek toksik. Ibuprofen telah digunakan pada pasien dengan riwayat intoleransi saluran
cerna terhadap NSAID lain. efek samping saluran cerna dialami oleh 5% sampai 15% pasien
yang menggunakan ibuprofen; nyeri epigastrik, mual, nyeri ulu hati, dan rasa ‘penuh’ di
saluran cerna merupakan gangguan umum. Namun insiden efek samping ibuprofen ini lebih
sedikit daripada dengan aspirin atau indometasin. Efek samping lain yang lebih jarang
ditemui, yaitu trombositopenia, ruam kulit, salit kepala, pusing, dan penglihatan kabur, dan
pada beberapa kasus, ambliopia toksik, retensi cairan dan edema. Ibuprofen tidak dianjurkan
untuk digunakan pada ibu hamil maupun menyusui.
ANALGESIK OPIOID2
Efek opioid yang digunakan secara klinis.Morfin dan kebanyakan agonis opioid lain
yang digunakan secara klinis memberikan efeknya melalui reseptor opioid μ. Obat ini
mempengaruhi system fisiologis secara luas. Obat ini menyebabkan analgesia,
mempengaruhi mood dan perilaku puas, dan mengubah fungsi pernpasan, kardiovaskular,
gartrointestinal, dan neurendokrin.
Analgesia. Pada manusia, obat mirip morfin menyebabkan analgesia, mengantuk,
perubahan mood, dan gangguan mental. Analgesia terjadi tanpa hilangnya kesadaran, yang
merupakan ciri khasnya. Bila morfin dosis terapeutik diberikan pada pasien yang mengalami
nyeri, pasien tersebut melaporkan bahwa nyerinya menjadi berkurang, semakin berkurang,
atau hilang sama sekali; mengantuk umumnya terjadi. Selain meredakan penderitaan,
beberapa pasien mengalami euphoria.
7
Bila morfin dalam dosis yang sama diberikan pada individu normal yang tidak
mengalami nyeri, akibatnya mungkin tidak menyenangkan. Mual adalah hal yang umum, dan
muntah juga dapat terjadi. Mungkin ada perasaan mengantuk, kesulitan aktivitas mental,
apati, dan aktivitas fisik berkurang. Dengan meningkatnya dosis, maka efek subjektif,
analgesic, dan toksik, termasuk depresi pernapasan, semakin jelas. Morfin tidak memiliki
aktivitas antikonvulsan dan biasanya tidak menyebabkan gangguan bicara, labilitas
emosional, atau inkoordinasi motorik yang signifikan.
Peredaan nyeri oleh opioid mirip morfin relative selektif, artinya persepsi sensori
lainya tidak terpengaruh. Pasien seringkali melaporkan bahwa nyeri tersebut masih ada, tetapi
merasa lebih nyaman. Nyeri yang ringan dan terus menerus diredakan secara lebih efektif
dibandingkan nyeri yang tajam dan berselang, tetapi dengan jumlah opioid yang cukup, nyeri
yang parah dapat diredakan bahkan mungkin nyeri parah yang disebabkan kolik renal atau
empedu.
KODEIN1,2
Berbeda dengan morfin, keefektifan kodein oral sekitar 60% pemberian parenteralnya,
baik sebagai analgesic maupun sebagai depresan pernapasan. Kodein, sama seperti
levorfanol, oksikodon, dan metadon, memiliki perbandingan potensi oral terhadap parenteral
yang tinggi. Begitu diabsorpsi, kodein dimetabolisme di hati, dan metabolitnya diekskresi
terutama di urin, sebagian besar dalam bentuk tidak aktif. Sebagian kecil kodein yang
diberikan mengalami O-demetilasi membentuk morfin, dan baik morfin bebas maupun
morfin yang terkonjugasi dapat ditemukan di urin setelah pemberian kodein dosis terapeutik.
Kodein memiliki afinitas yang luar biasa rendah untuk reseptor opioid, dan efek analgesiknya
disebabkan oleh konversinya menjadi morfin. Akan tetapi, kerja antitusifnya mungkin
melibatkan reseptor khusus yang mengikat kodein sendiri. Waktu paruh kodein dalam plasma
adalah 2 sampai 4 jam.
Konversi kodein menjadi morfin dipengaruhi oleh enzim sitokrom P450 CYP2D6.
Polimorfisme genetic pada CYP2D6 yang telah terkarakterisasi dengan baik menyebabkan
ketidakmampuan untuk mengkonversi kodein menjadi morfin, sehingga menjadikan kodein
tidak efektif sebagai analgesic pada sekitar 10% dari populasi kaukasia. Polimorfisme lain
dapat menyebabkan peningkatan sensitivitas terhadap efek kodein. Menariknya, tampaknya
ada keragaman dalam efisiensi metabolic di antara kelompok etnis yang berbeda. Sebagai
contoh, orang Cina memproduksi lebih sedikit morfin dari kodein dibanding dengan orang
8
Kaukasia dan juga kurang sensitive terhadap efek morfin daripada orang Kaukasia.
Penurunan sensitivitas terhadap morfin mungkin disebabkan oleh penurunan produksi morfin
6-glukuronid. Jadi, penting untuk mempertimbangkan kemungkinan polimorfisme enzim
metabolic pada setiap pasien yang tidak memperoleh analgesia yang memadai dari kodein
atau tidak memberikan suatu respons yang memadai terhadap prodrug lain yang diberikan.
Indikasi. Kodein digunakan untuk terapi simptomatis batuk non-produktif. Kodein
merupakan obat reference standard dalam penelitian obat batuk lain. Dalam dosis antitusif
biasa, kodein memiliki efek analgesik ringan dan efek sedatif. Efek analgesik kodein ini
dapat dimanfaatkan untuk batuk yang disertai dengan nyeri dan ansietas.
Farmakokinetik. Kodein diserap baik pada pemberian oral dan puncak efeknya
ditemukan 1 atau 2 jam , dan berlangsung selama 4-6 jam. Metabolisme terutama di hepar,
dan diekskresi komplet setelah 24 jam. Dalam jumlah kecil ditemukan dalam air susu ibu.
Sedian. Kodein terdapat dalam bentuk tablet kodein sulfat atau kodein fosfat berisi 10,
15, 20 mg. Dosis biasa dewasa : 10-30 mg setiap 4-6 jam. Dosis yang lebih besar tidak lagi
menambah besar efek secara proporsional. Dosis anak : 1-1,5 mg/kgBB/hari dalam dosis
terbagi.
Efek samping dan dosis berlebihan. Dosis kecil (10-30 mg) kodein sering digunakan
sebagai obat batuk, jarang ditemukan efek samping, kalau ada tidak lebih tinggi dari plasebo.
Efek samping dapat berupa mual, pusing, sedasi, anoreksia, dan sakit kepala. Dosis lebih
tinggi (60-80mg) dapat menimbulkan kegelisahan, hipotensi ortostatik dan vertigo. Dosis
lebih besar lagi (100-500 mg) dapat menimbulkan nyeri abdomen dan konstipasi. Kadang-
kadang timbul reaksi alergi, seperti dermatitis, hepatitis, trombositopenia, dan anafilaksis.
Depresi pernapasan dapat terlihat pada dosis 60 mg dan depresi nyata terjadi pada dosis 120
mg setiap beberapa jam. Oleh karena itu, dosis tinggi berbahaya untuk penderita dengan
kelemahan pernapasan, khususnya pada penderita dengan retensi CO2. Dosis fatal kodein
ialah 800-1000 mg. Untuk dapat menimbulkan ketergantungan fisik, kodein harus diberikan
dalam dosis tinggi setiap beberapa jam untuk jangka waktu lama, mungkin 1 bulan atau lebih.
TRAMADOL2
Tramadol adalah suatu analog kodein sintetik yang merupakan suatu agonis reseptor
agonis µ yang lemah. Sebagian efek analgesiknya dihasilkan oleh penghambatan ambilan
norepinefrin dan serotonin. Tramadol tampaknya sama efektifnya dengan opioid lemah
9
lainnya. Dalam penanganan nyeri ringan sampai sedang. Tramadol sama efektifnya dengan
morfin atau meperidin. Akan tetapi, untuk penanganan nyeri parah atau kronis, tramadol
kurang efektif. Tramadol sama efektifnya dengan meperidin dalam penanganan nyeri
persalinan dan dapat menyebabkan depresi pernapasan neonatal yang lebih kecil.
Ketersediaan hayati tramadol 68% setelah dosis oral tunggal dan 100% bila diberikan
secara intramuscular. Afinitasnya terhadap reseptor opioid µ hanya 1/6000 afinitas morfin.
Akan tetapi, metabolit utama dari tramadol yang mengalami O-demetilasi 2 sampai 4 kali
lebih kuat daripada obat induknya dan dapat menjadi penyebab sebagian efek analgesic.
Senyawa ini mengalami metabolism hepatic dan ekskresi ginjal. Dengan waktu paruh
eliminasi selama 6 jam untuk tramadol dan 7,5 jam untuk metabolit aktifnya. Analgesia
bermula dalam 1 jam setelah pemberian dosis oral, dan efeknya memuncak dalam 2 sampai 3
jam. Durasi analgesianya sekitar 6 jam. Dosis harian maksimum yang dianjurkan adalah 400
mg.
Efek samping tramadol yang umum meliputi nausea, muntah, pusing, mulut kering,
sedasi, dan sakit kepala. Depresi pernapasan tampak lebih kecil daripada morfin dalam dosis
analgesia yang sama, dan tingkat konstipasinya lebih kecil daripada yang teramati setelah
pemberian kodein dalam dosis yang setara. Tramadol dapat menyebabkan seizure dan
mungkin memperparah seizure pada penderita yang memiliki faktor rentan. Analgesianya
yang diinduksi tramadol tidak sepenuhnya dapat dipulihkan dengan nalokson, sedangkan
dperesi pernapasan yang diinduksi tramadol dapat dipulihkan dengan nalokson. Namun,
penggunaan nalokson meningkatkan resikmo seizure. Ketergantungan fisik dan
penyalahgunaan tramadol pernah dilaporkan. Walaupun potensi penyalahgunaan tramadol
tidak jelas, tramadol mungkin harus dihindari pada pasien yang memiliki riwayat adiksi.
Karena efek penghambatannya pada ambilan serotonin, tramadol tidak boleh diguakan pada
pasien yang menggunakan inhibitor monoamin aksodase (MAO).
PLASEBO1,3
Sebagian pasien cenderung memberikan respons yang positif terhadap tiap tindakan
terapeutik yang dilakukan oleh petugas medis yang penuh perhatian. Manifestasi fenomena
ini pada subjek disebut respons plasebo dan melibatkan perubahan biokimiawi dan fisiologik
yang objektif seperti halnya perubahan pada keluhan subjektif yang berhubungan dengan
penyakit. Dalam bahasa latin “plasebo” berarti “I shall please”. Pada mulanya suatu plasebo
adalah suatu formulasi senyawa yang tidak aktif secara farmakologik dan diberikan kepada
10
penderita yang hanya untuk menyenangkan. Namun, penggunaan istilah plasebo di zaman
modern menjadi lebih luas. Sekarang, plasebo dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu (a)
plasebo inert (yang tidak mengandung senyawa aktif secara farmakologik), dan (b) palsebo
aktif (yang mengandung persenyawaan yang memiliki aktivitas farmakologik). Berbagai efek
samping dan toksisitas plasebo juga dapat terjadi tetapi biasanya melibatkan berbagai efek
subjektif: nyeri perut, insomnia, sedasi, dan lainnya.
Penggunaan plasebo inert
Plasebo inert paling sering digunakan sebagai suatu “dummy medication” untuk kontrol
terhadap pengobabtan yang sesungguhnya dalam suatu uji klinik, dengan tujuan mengurangi
faktor bias subjektif. Kadang-kadang plasebo inert diberikan pada pasien yang mengeluh rasa
nyeri secara berlebihan/tampaknya dibesar-besarkan. Kira-kira sepertiga dari seluruh
popukasi manusia adalah “placebo reactor” sehingga dengan plasebo inert dapat
menghilangkan rasa nyeri pada 20-40% penderita dengan keluhan nyeri. Namun, cara
penggunaan ini tidak dibenarkan karena apabila penderita benar-benar asakit dan kebeulan
seorang “placebo reactor”, akan terjadi kelambatan diagnosis dari suatu penyakit yang dapat
diobati.
Penggunaan “Plasebo Aktif”
Untuk mengakhiri suatu kunjungan pasien, kadang-kadang seorang dokter meresepkan
suatu obat yang tidak ada hubungannya dengan keluhan penderita, misalnya menuliskan
sedian vitamin dengan menjelaskan kepada pasien bahwa itu adalah obat penguat tubuh.
Hasil Percobaan
Orang Percobaan A
Sebelum Minum Obat Setelah Minum Obat
TD Nadi RR/ Suhu(d)
pupil
Waktu
timbul
nyeri
TD Nadi RR/ Suhu(d)
pupil
Waktu
timbul
nyeri
110/70 76x 22x 35,8o0,5
cm
2
menit
6 detik
95/60 72x 19x 36,3o0,5
cm
2
menit
Dalam nilai rata-rata
11
Kode Obat 140 : PARACETAMOL
Gejala Subjektif Sebelum Minum Obat : Pusing dan mengantuk ringan
Gejala Subjektif Setelah Minum Obat :
Wajah memerah, merasa demam dan gejala pusing masih ada serta membaik ketika dalam
posisi berbaring.
Orang Percobaan B
Sebelum Minum Obat Setelah Minum Obat
TD Nadi RR/ Suhu(d)
pupil
Waktu
timbul
nyeri
TD Nadi RR/ Suhu(d)
pupil
Waktu
timbul
nyeri
118/78 72x 15x 37o0,5
cm
55
detik110/70 72x 20x 37o
0,4
cm
42
detik
Dalam nilai rata-rata
Kode Obat 32 : CODEIN
Gejala Subjektif Sebelum Minum Obat : Mengantuk ringan
Gejala Subjektif Setelah Minum Obat :
Perasaannya menjadi senang dan selama 24 jam pemantauan ditemukan efek samping
konstipasi.
Analisis Data
Dalam percobaan dengan penggunaan metode tersamar ganda ini, peneliti dan orang
percobaan sama sekali tidak mengetahui obat analgesic jenis apa yang diberikan, sehingga
dapat meminimalisir penilaian subjektivitas dari orang percobaan tersebut.
Dari hasil pemeriksaan tanda-tanda vital orang percobaan pertama didapatkan hasil
dimana nilai rata-rata dari tekanan darah sedikit dibawah tekanan darah normal, sedangkan
frekuensi pernapasan, suhu kulit sedikit diatas angka normal. Pengukuran nadi dan diameter
pupil dalam batas normal seperti yang terlihat dalam tabel hasil percobaan. Dimana nilai suhu
12
kulit dalam keadaan normal atau nyaman berkisar pada 340C serta diameter pupil pada
keadaan normal adalah 0,4-0,6 cm.4
Tahapan selanjutnya adalah memberikan rangsangan nyeri pada orang percobaan.
Orang percobaan pertama diberikan rangsangan nyeri berupa pembendungan darah pada
bagian lengan dengan manset sambil memintanya untuk membuka dan mengepalkan
tangannya. Rangsangan nyeri yang didapatkan dengan cara ini adalah akibat anoksia jaringan
perifer, terutama pada bagian tangan dan jari-jari tangan. Dari hasil percobaan, waktu yang
dibutuhkan untuk menimbulkan rasa nyeri yang tidak tertahankan adalah sekitar 2 menit 6
detik.
Sebelum mengkonsumsi obat yang diberikan oleh peneliti, OP mengaku sudah
merasakan pusing karena kurang tidur pada malam sebelumnya. Oleh karena itu keluhan
pusing yang muncul pada saat setelah mengkonsumsi obat yang diberikan menjadi tidak
signifikan sebagai efek samping dari konsumsi obat tersebut. Keadaan lain yang terlihat pada
OP adalah munculnya kemerahan pada bagian wajah dan terasa sedikit lebih hangat
dibanding sebelumnya. OP mengatakan bahwa dirinya merasa demam.
Setelah 50 menit waktu berselang. OP kembali diukur tanda-tanda vital, serta diameter
pupilnya. Dari hasil pemeriksaan didapatkan hasil penurunan tekanan darah menjadi 95/60
mmHg disertai dengan penurunan denyut nadi dan penurunan frekuensi pernapasan, namun
keduanya masih dalam batas ambang normal. Diameter pupil tidak berubah, suhu kulit
mengalami peningkatan menjadi 36,3oC hampir mendekati suhu tubuh.
OP kembali diberikan rangsangan nyeri yang sama seperti yang telah dilakukan
sebelumnya. Rangsangan ini kembali diberikan untuk melihat apakah efek analgesik dari obat
yang dikonsumsi tersebut menunjukkan hasil positif. Dari hasil pemeriksaan didapatkan
pengurangan waktu timbulnya nyeri yang semula 2 menit 6 detik menjadi 2 menit. Penurunan
waktu timbulnya nyeri yang tidak terlalu besar ini, kemungkinan disebabkan karena penilaian
subjektif dari OP terhadap rasa nyeri yang di rasakannya.
Dari hasil pengamatan didapatkan adanya reaksi alergi yang ditandai dengan
munculnya kemerahan pada wajah disertai peningkatan suhu kulit yang menjadi salah satu
efek samping dari paracetamol dalam dosis terapeutik seperti yang telah dibahas sebelumnya.
Apabila dibandingkan dengan hasil dari kelompok lain yang menerima obat yang sama, hasil
13
pengukuran tanda-tanda vital mengalami penuruan khususnya pada tekanan darah, dan
peningkatan suhu tubuh. Sedangkan pengukuran lainnya masih dalam batas normal.
Dalam dosis toksiknya paracetamol dapat menunjukkan terjadinya penurunan tekanan
darah/hipotensi. Namun dalam percobaan kali ini dosis yang diberikan merupakan dosis
teraupetik sehingga efek hipotensi dari obat tersebut seharusnya tidak nyata terlihat walaupun
pada kenyataannya terdapat penurunan tekanan darah pada OP.
Sama halnya dengan orang percobaan pertama, pengukuran pada tanda-tanda vital dan
diameter pupil dari OP kedua juga dilakukan. Dari pengukuran didapatkan hasil yang normal
kecuali pada suhu kulit, dimana hasil pengukuran menunjukkan peningkatan suhu kulit diatas
suhu kulit yang nyaman, yaitu 37oC.
Pada orang percobaan kedua diberikan suatu rangsangan nyeri dengan memasukkan
tangan OP pada baskom berisi air bersuhu 3oC sambil menutup dan mengepalkan tangannya
seperti yang dilakukan oleh OP pertama. Rasa nyeri pada percobaan ini didapatkan akibat
aktivitas vasokonstriksi dari pembuluh darah perifer di bagian tangan.
Sebelum OP diminta mengkonsumsi obat, OP mengeluh merasa ngantuk karena OP
kurang tidur pada malam sebelumnya. Oleh sebab itu, rasa ngantuk yang kemudian timbul
dalam pengamatan efek dan efek samping obat menjadi tidak signifikan sebagai efek samping
dari obat yang diberikan. Setelah OP mengkonsumsi obat dan diamati dalam selang waktu
yang cukup panjang, OP mengeluh kantuk yang dirasakannya bertambah dan merasa sedikit
pusing. Dengan inisiatif mengajak OP berbicara, ternyata rasa kantuk yang dirasakannya
dapat sedikit ditahan dan OP terlihat senang dan lebih sering tertawa.
Setelah 50 menit berlalu, kembali pengukuran tanda-tanda vital dilakukan dan hasil
yang didapatkan menunjukkan perbedaan yang tidak mencolok. Kembali rangsang nyeri
diberikan, dan dari hasil pemeriksaan didapatkan penurunan waktu nyeri sekitar 7 detik.
Dengan adanya penurunan waktu nyeri dan tidak ditemukannya keluhan lain selain keluhan
yang disebutkan sebelum mengkonsumsi obat, membuat plasebo menjadi obat pilihan yang
diduga diberikan kepada OP kedua ini.
Namun pada kenyataannya justru obat yang diberikan adalah kodein. Efek samping
sedasi yang seharusnya dapat ditimbulkan oleh kodein tersamarkan oleh keluhan mengantuk
yang dirasakan OP sebelum mengkonsumsi obat. Selain itu efek analgesik pada nyeri ringan
yang berulang yang diberikan oleh analgesik opiod juga tidak terlihat pada OP. Justru yang
14
terjadi adalah penurunan waktu timbulnya nyeri. Salah satu efek yang juga sudah disebutkan
sebelumnya dapat dihasilkan oleh analgesik opiod ini adalah rasa senang dan perbaikan
mood, hal inilah yang mungkin menjadi alasan OP lebih sering tertawa dan merasa senang.
Depresi nafas dan penurunan diameter pupil tidak jelas terlihat karena dosis yang
digunakan dalam percobaan kali ini adalah dosis terapeutik dalam pengobatan batuk non
produktif. Sehingga dari hasil pengukuran diameter pupil setelah mengkonsumsi obat masih
dalam keadaan normal. Namun dari hasil percobaan kelompok lainnya yang mendapatkan
tramadol, efek miosis ditunjukkan dengan adanya perubahan diameter pupil hingga 0,3 cm.
Efek samping lainnya setelah beberapa jam mengkonsumsi codein adalah adanya keluhan
konstipasi yang dirasakan oleh OP.
Kesimpulan
Dari keseluruhan hasil pemeriksaan yang didapatkan, pada sebagian percobaan yang
dilakukan oleh tiap-tiap kelompok didapati waktu timbulnya nyeri sebelum dan sesudah
mengkonsumsi obat analgesik yang mengalami penurunan. Kondisi ini tidak sesuai dengan
harapan, dimana setelah pemberian obat analgesik diharapkan waktu timbulnya nyeri akan
memanjang. Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor subjektivitas dari masing-masing orang
untuk merasakan rangsangan nyeri yang diberikan tidak dapat secara mutlak sama dari satu
waktu ke waktu yang lainnya walaupun diberikan rangsangan nyeri dengan intensitas dan
kadar nyeri yang sama.
Daftar Pustaka
1. Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Kumpulan kuliah farmakologi. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2009. h. 62-3
2. Hardman JG, Limbird LE. Editors. Goodman & Gilman dasar farmakologi terapi. Edisi
ke-10 (1). Jakarta: Balai Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2008. h.553-691
3. Katzung BG. Farmakologi dasar dan klinik. Edisi ke-10. Jakarta: Balai Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2012. h. 70
4. Cameron JR, Skofronick JG, Grant RM. Fisika tubuh manusia. Jakarta: Balai Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2006. h. 31
15