laporan farmako
DESCRIPTION
perbedaan pemberian obat secara per-oral dan intraperitonealTRANSCRIPT
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Farmakologi adalah ilmu yang mempelajari pengetahuan obat dengan seluruh
aspeknya, baik sifat kimiawi maupun fisikanya, kegiatan fisiologi, resorpsi, dan
nasibnya dalam organisme hidup. Dalam arti luas, farmakologi ialah ilmu mengenai
pengaruh senyawa terhadap sel hidup, lewat proses kimia khususnya reseptor.
Senyawa ini biasanya disebut obat dan lebih menekankan pengetahuan yang
mendasari manfaat dan risiko penggunaan obat. Farmakologi terutama terfokus pada
dua sub, yaitu farmakokinetik dan farmakodinamik.16
Farmakokinetik atau kinetika obat adalah nasib obat dalam tubuh atau efek
tubuh terhadap obat. Farmakokinetik mencakup 4 proses, yaitu proses absorpsi,
distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Metabolisme atau biotransformasi dan ekskresi
bentuk utuh atau bentuk aktif merupakan proses eliminasi obat. Beberapa konsep
penting dari farmakokinetik adalah waktu paruh atau half life (t1/2) obat, ikatan obat
pada protein, dan bioavailabilitas obat.18
Sedangkan farmakodinamika adalah mempelajari kegiatan obat terhadap
organisme hidup, terutama cara dan mekanisme kerjanya, reaksi fisiologis, serta efek
terapeutik yang ditimbulkan. Singkatnya, farmakodinamika mencakup semua efek
yang dilakukan oleh obat terhadap tubuh.17
Bentuk sediaan dan cara pemberian merupakan penentu dalam
memaksimalkan proses absorbsi obat oleh tubuh karena keduanya sangat menentukan
efek biologis suatu obat seperti absorpsi, kecepatan absorpsi dan bioavailabilitas
(total obat yang dapat diserap), cepat atau lambatnya obat mulai bekerja (onset of
action), lamanya obat bekerja (duration of action), intensitas kerja obat, respons
farmakologik yang dicapai serta dosis yang tepat untuk memberikan respons
tertentu.18
2. Tujuan :
1. Mengetahui cara pemberian obat secara per-oral dan parenteral.
2. Membandingkan mula kerja obat antara pemberian per-oral dan parenteral.
3. Menjelaskan perbedaan yang terjadi antara dua cara tersebut.
1
3. Alat :
1. Alat suntik
2. Sonde
3. Spidol
4. 2 buah stopwatch
Bahan :
1. 2 ekor mencit sebagai hewan coba
2. Diazepam (obat penenang)
4. Cara Kerja :
1. Menyiapkan dua ekor mencit yang akan digunakan sebagai hewan coba.
Memberi tanda yang berbeda menggunakan spidol di bagian ekornya.
2. Mencit pertama diberi Diazepam secara per-oral dengan menggunakan sonde.
Obat dimasukkan melalui mulutnya. Pemberian obat per-oral harus hati-hati,
jangan sampai masuk ke paru-paru.
3. Mencit kedua diberi obat secara intra-peritoneal, yaitu dengan menyuntikkan
obat tersebut di daerah dekat perut.
4. Mencatat waktu pemberian obat pada masing-masing mencit tersebut,
kemudian mengamati efek obat yang terjadi. Stopwatch mulai dinyalakan saat
obat mulai diberikan pada masing-masing mencit.
5. Memperhatikan lamanya waktu pemberian obat sampai timbulnya efek.
Mencatat waktu saat obat tersebut mulai menimbulkan efek.
2
5. Hasil praktikum
Tabel 1. Hasil percobaan pemberian obat secara per-oral dan intraperitoneal.
Kelompok Per-
Oral
Sedatif Hipnotik IP Sedatif Hipnotik
1 07.55 08.15 - 08.33 08.35 09.03
2 07.55 08.25 - 08.28 08.30 08.39
3 07.55 08.18 - 08.28 08.35 -
4 07.55 08.30 - 08.28 08.35 -
5 07.55 08.24 - 08.30 08.32 08.38
6 07.55 08.30 - 08.30 08.45 -
7 07.55 08.17 - 08.31 08.34 08.55
Tabel 2. Perbandingan onset of action pemberian obat secara per-oral dan intraperitoneal.
3
Kelompokonset of action
Per-oral
onset of action
Intraperitoneal
1 20 2
2 30 2
3 23 7
4 35 7
5 29 2
6 35 15
7 22 3
Rata-rata 27,7 5,43
Pada tabel diatas menunjukkan onset of action pemberian obat secara
intraperitoneal lebih cepat dibandingkan dengan pemberian obat secara per-oral.
6. Landasan teori
6.1. Diazepam
6.1.1. Pengertian
Diazepam atau valium merupakan sebuah turunan narkoba dan merupakan
suatu jenis obat benzodiazepine. Diazepam dapat diberikan sebagai tablet, injeksi
sirup, atau larutan dubur (enema), tergantung pada kondisi pasien dan kecepatan
respon yang diperlukan. 1,2
Diazepam merupakan turunan benzodiazepin dengan struktur kimia 7-kloro-
1,3-dihidro-1-methyl-5-fenil-2H-1,4-benzodiazepin-2-1. Diazepam adalah senyawa
kristal yang tidak berwarna dan tidak larut dalam air. 2
Gambar 1. Struktur kimia diazepam
6.1.2.Fungsi
Diazepam yang bersifat sedative-hipnotic, mempengaruhi zat kimia dalam otak.
Ketidakseimbangan zat kimia dalam otak dapat menyebabkan kecemasan. Diazepam
digunakan untuk meringankan kecemasan, kejang otot, kejang-kejang dan juga dapat
mengontrol agitasi yang disebabkan oleh alkohol.1
Diazepam memiliki beberapa penggunaan. Pertama, dapat digunakan untuk
menenangkan kecemasan parah pada penyakit jiwa dan gangguan afektif bipolar.
Bentuk-bentuk oral diazepam juga digunakan untuk perawatan jangka pendek
kecemasan parah yang terkait dengan insomnia, serta tidur-berjalan pada anak-anak.
Diazepam mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk tertidur serta meningkatkan
jumlah waktu yang dihabiskan untuk tidur.
4
Namun, ini hanya cocok untuk perawatan jangka pendek insomnia dan kecemasan
karena memiliki potensi tinggi menyebabkan ketergantungan dan kecanduan.2
Penggunaan diazepam lainnya adalah mengontrol kejang-kejang, misalnya
akibat keracunan, maupun yang berhubungan dengan demam pada anak-anak. Obat
ini sangat berguna untuk mengendalikan epilepsi dan sesuai untuk pasien yang tidak
sadar (status epilepticus). Obat ini juga dapat digunakan sebagai pre-medikasi untuk
menginduksi sedasi, anxiolysis atau amnesia sebelum prosedur medis tertentu
(misalnya, endoskopi). 2
6.1.3. Mekanisme Kerja
Diazepam bekerja pada reseptor dalam otak yang disebut reseptor GABA. Hal
ini menyebabkan pelepasan neurotransmitter yang disebut GABA di otak.
Neurotransmitter adalah zat kimia yang tersimpan dalam sel-sel saraf di otak dan
sistem syaraf. Obat ini terlibat dalam transmisi signal antar sel-sel saraf. GABA
adalah neurotransmitter yang bertindak sebagai saraf penenang yang membantu
menjaga keseimbangan aktivitas saraf di otak. Diazepam meningkatkan aktivitas
GABA yang membantu otak menenangkan aktivitas saraf berupa aliran listrik
berlebihan yang menyebabkan kejang.1 Diazepam menyebabkan peningkatan
pembukaan saluran ion klorida ketika GABA mengikat situsnya pada reseptor
GABAA. Hal ini menyebabkan banyak ion klorida yang memasuki neuron
meningkatkan efek depresan sistem saraf pusat. Diazepam mengikat secara non-
selektif untuk α1, α2, α3 dan α5 subunit mengandung GABAA reseptor. Karena peran
diazepam sebagai positif modulator alosterik dari GABA, ketika mengikat reseptor
benzodiazepin terjadi efek penghambatan. Hal ini timbul dari membran post-sinaps
yang hiperpolarisasi karena kontrol yang diberikan atas ion klorida negarif oleh
reseptor GABAA.2
6.1.4. Efek Samping
5
Diazepam umumnya hanya cocok untuk penggunaan jangka pendek. Jika
digunakan dalam waktu lama atau dalam dosis tinggi, toleransi dan ketergantungan
pada obat dapat meningkat.
Efek samping yang serius dari diazepam yaitu : 2
a. Berbahaya bagi perkembangan janin. Hal ini sangat penting selama
trimester pertama dan ketiga kehamilan dan sebelum atau selama
persalinan. Penggunaan diazepam selama kehamilan harus dihindari,
karena bayi dapat menjadi tergantung pada obat dan kemudian menderita
gejala penarikan setelah melahirkan. Jika obat ini digunakan pada akhir
kehamilan atau selama persalinan dapat menyebabkan floppiness, suhu
tubuh rendah dan kesulitan makan pada bayi setelah lahir.
b. Pikiran bunuh diri atau menyakiti diri sendiri;
c. Hiperaktif, gelisah, agitasi, permusuhan;
d. Halusinasi;
e. Napas yang lemah dan dangkal;
f. Tremor, otot berkedut;
g. Demam, menggigil, nyeri tubuh, gejala flu;
h. Menguningnya kulit atau mata;
i. Buang air kecil kurang dari biasanya atau tidak sama sekali.
Efek yang biasa terjadi yaitu: 2
a. Mengantuk, merasa lelah, kelemahan otot dan terganggunya konsentrasi
dan kewaspadaan.
b. Pusing, sensasi berputar;
c. Penglihatan kabur;
d. Mual, muntah, sembelit;
e. Mulut kering.
6.2. Pemberian Obat Per-oral
6
6.2.1.Pengertian dan Tujuan
Diazepam yang diberikan melalui jalur per-oral akan melewati saluran
pencernaan, hepar, dan diekskresi melalui ren. Diazepam akan diabsorbsi melalui
intestinum selanjutnya akan dimetabolisme oleh hepar. Diazepam mudah diserap oleh
intestinum karena sifat kelarutannya dalam lemak tinggi sehingga memudahkan
senyawa tersebut menembus membran sel. Selanjutnya senyawa tersebut
didistribusikan menuju hepar melalui peredaran darah. Pada hasil praktikum
didapatkan efek obat terjadi lambat dikarenakan diazepam baru akan aktif setelah
dimetabolisme di hepar. Sehingga harus melalui proses yang panjang mengikuti
saluran pencernaan.5
Pemberian obat per oral merupakan cara yang paling banyak dipakai karena ini
merupakan cara yang paling mudah, murah, aman, dan nyaman bagi pasien. Berbagai
bentuk obat dapat diberikan secara oral baik dalam bentuk tablet, sirup, kapsul atau
puyer. Untuk membantu absorsi, maka pemberian obat per oral dapat disertai dengan
pemberian setengah gelas air atau cairan yang lain.3
Tujuan penggunaan obat melalui oral adalah untuk memperoleh efek sistemik,
yaitu obat masuk ke dalam pembuluh darah dan beredar ke seluruh tubuh setelah
terjadi absorpsi obat pada bermacam-macam permukaan sepanjang saluran
pencernaan. Ada juga obat yang ditelan dengan tujuan memperoleh efek lokal karena
obat tidak larut atau tidak diabsorpsi dalam rute ini, misalnya obat cacing dan obat
antasida untuk menetralkan kelebihan asam lambung.4
6.2.2. Kelebihan dan Kelemahan
Dibandingkan dengan rute lain, rute oral lebih menyenangkan, murah, serta
aman walaupun responnya lebih lambat dan absorpsinya tidak teratur karena
tergantung pada beberapa faktor, yaitu4 :
a. Jumlah dan jenis makanan yang ada di dalam saluran lambung.
7
b. Kemungkinan obat dapat rusak karena reaksi asam lambung atau enzim-
enzim pencernaan.
c. Keadaan penderita muntah-muntah atau koma.
d. Kerja awal yang cepat dikehendaki sehingga tidak memungkinkan
pemberian secara oral.
e. Mengalami first pass effect sehingga absorpsi tidak sempurna.
Kerugian lain dari penggunaan obat rute peroral yaitu beberapa jenis obat dapat
mengiritasi sistem gastrointestinal,dan untuk obat iritatif penggunaannya terbatas.
Kecepatan absorpsi obat secara oral tergantung pada ketersediaan obat terhadap ciran
biologis yang disebut bioavialibility atau ketersediaan hayati, yaitu persentase obat
yang diabsorpsi tubuh dari suatu dosis yang diberikandan tersedia untuk
menghasilkan efek terapeutiknya yang dinyatagan dalam mg%. Urutan besar
ketersediaan hayati bentuk-bentuk sediaan obat adalah larutan-suspensi oral-emulsi-
kapsul-tablet-tablet bersalut. Faktor yang berperan menentukan ketersediaan hayati
meliputi bentuk kimiawi obat tersebut (misal, membentuk suatu garam dengan bahan
kimia lain), bahan lain yang digunakan untuk membuat tablet atau obat cair, bentuk
fisik obat dan seberapa mudah obat hancur dan larut oleh proses pencernaan normal,
dan kapasitas penyerapan usus pasien.4
6.3. Pemberian Obat Parenteral (Intra-peritoneal)
6.3.1.Pengertian dan Tujuan
Pemberian obat parenteral memiliki kelebihan tersendiri jika dibandingkan
dengan pemberian per-oral karena bioavalaibilitasnya jauh lebih baik. Pada hasil
praktikum dimana efek obat lebih cepat bekerja bila dibandingkan dengan pemberian
obat per-oral.
Pemberian obat rute parenteral yang utama adalah intravena, intramuscular,
dan subkutan. Namun pada praktikum kali ini digunakan rute intra-peritoneal. Rute
intra-peritoneal leih sering digunakan untuk hewan dibandingkan untuk manusia.
Pada hewan, pemberian obat dilakukan dengan rute ini karena kemudahan distribusi
obat ke sistemik dibanding dengan rute lain. Dapat dilihat dari hasil praktikum, pada
8
pemberian obat secara peritoneal lebih cepat menimbulkan efek dibanding dengan
pemberian per-oral. Pemberian obat ke dalam sistem sirkulasi darah melalui rute
apapun, kecuali rute intra arteri, dapat mengalami eliminasi lintas pertama di dalam
paru-paru sebelum terdistribusi ke bagian tubuh lainnya. Paru-paru berperan sebagai
tempat penyimpanan sementara sejumlah zat, khususnya obat yang bersifat basa
lemah dan sebagian besar tak terionisasi pada pH darah, kemungkinan melalui
partisinya ke dalam lipid.6
Injeksi peritoneal adalah injeksi di bagian kuadran bawah andomen untuk
memasukkan substansi ke dalam rongga peritoneal (rongga abdomen). Suntikan cara
ini tidak lazim dilakukan pada manusia, tetapi sering dilakukan pada hewan
laboratorium terutama mencit dan tikus. Pada umumnya, injeksi intraperitoneal dapat
digunakan ketika dibutuhkan penggantian darah pada jumlah yang besar, tekanan
darah rendah, atau masalah lain yang membuat substansi tidak dapat di injeksi kan
melalui intravena.7
Injeksi intraperitoneal berarti pemberian obat dengan cara injeksi ke dalam
ruang selaput perut. Pemberian obat secara parenteral (berarti di luar usus) biasanya
dipilih bila diinginkan efek yang cepat, kuat, dan lengkap atau untuk obat yang
merangsang atau dirusak getah lambung (hormon), atau tidak diresorpsi usus
(streptomisin). Begitu pula pada pasien yang tidak sadar atau tidak mau bekerja
sama.8
Pada hewan, injeksi intraperitoneal sering digunakan untuk memberikan obat
pada hewan dan untuk menguji suatu obat. Pada manusia, metode ini biasa digunakan
untuk memasukaan obat kemoterapi kedalam tubuh untuk terapi kanker, khususnya
kanker ovarium.7 Pada hewan, injeksi intraperitoneal dilakukan pada ilmu kedokteran
hewan dan pengujian obat dan cairan sistemik pada hewan untuk membandingkan
dengan metode parenteral lainnya. Pada manusia, metode ini digunakan untuk
pengobatan kemoterapi kanker.9
Rongga peritoneum mempunyai permukaan absorbsi yang sangat luas sehingga
obat dapat masuk ke dalam sirkulasi sistemik secara cepat. Cara ini banyak dilakukan
di laboratorium tetapi jarang dipakai di klinik karena adanya bahaya infeksi dan
9
perlengketan peritoneum.10 Injeksi intraperitoneal dilakukan agar penyerapan obat
berlangsung lebih cepat dan sempurna.9
6.3.2. Teknik Injeksi Intraperitoneal
Teknik pemberian obat parenteral, yaitu dengan merobek atau menusuk kulit
dengan jarum tajam, ditengah ada lobang jarum tempat saluran memasukan obat atau
cairan ke dalam tubuh. Pelaksanaannya melakukannya harus steril. Kulit disterilkan
dengan alkohol 70 %, spuit juga harus steril. Suatu persyaratan steril mutlak
dilakukan.
Pemberian injeksi pada hewan coba dilakukan sedemikian rupa11:
a. Pegang mencit pada tengkuknya sedemikian hingga posisi abdomen
lebih tinggi dari kepala.
b. Suntikan larutan obat ke dalam abdomen bawah dari tikus disebelah
garis midsagital.
6.3.3. Kelebihan dan Kekurangan Injeksi Intraperitoneal
Rute pemberian yang cukup efektif adalah intra peritoneal (i.p.) karena
memberikan hasil kedua paling cepat setelah intravena. Namun suntikan i.p. tidak
dilakukan pada manusia karena bahaya injeksi dan adhesi terlalu besar. (Linus, 2011).
Injeksi intraperitoneal sering digunakan pada studi toksikologi karena jumlah voluma
yang dapat ditransmisikan lebih bakan. Absorbsi peritoneal sangat efisien, dengan
adanya mixing yang adekuat dari injeksi.12
Kekurangannya adalah cara ini lebih mahal dan nyeri serta sukar digunakan
oleh pasien sendiri. Selain itu, ada pula bahaya terkena infeksi kuman (harus steril)
dan bahaya merusak pembuluh atau saraf jika tempat suntikan tidak dipilih dengan
tepat.8
6.4. Mula Kerja Obat (Onset of Action)
Onset of action adalah lamanya waktu yang diperlukan obat untuk menjadi
efektif mulai dari pemberian obat sampai obat memberikan efek atau
respon tertentu yang dapat diamati.12,13,14
10
Dengan benzodiazepin, durasi tindakan terapeutik ditentukan terutama
oleh tingkat dan luasnya distribusi obat bukan oleh laju eliminasi. Distribusi
benzodiazepin sangat ditentukan oleh lipofilisitasnya. Diazepam, yang memiliki half-
life lebih lama daripada lorazepam, memiliki durasi tindakan klinis lebih singkat
setelah dosis tunggal. Alasan untuk ini adalah bahwa diazepam, karena kelarutan lipid
yang lebih besar, lebih luas didistribusikan ke daerah perifer, terutama untuk jaringan
lemak. Akibatnya, perpindahan darah menjadi lebih cepat dan otak menjadi situs
penyimpanan yang tidak aktif dan efek dari sistem saraf pusat nya (SSP) lebih cepat
berakhir. Sebaliknya, benzodiazepin kurang lipofilik, menjaga konsentrasi efektif
otak mereka lebih lama karena mereka kurang luas didistribusikan ke daerah perifer.15
6.5. Diskusi Hasil
Cara pemberian obat merupakan salah satu penentu dalam memaksimalkan
proses absorbsi obat oleh tubuh karena sangat menentukan efek biologis suatu obat
seperti absorpsi, kecepatan absorpsi dan bioavailabilitas (total obat yang dapat
diserap), cepat atau lambatnya obat mulai bekerja (onset of action), lamanya obat
bekerja (duration of action), intensitas kerja obat, respons farmakologik yang dicapai
serta dosis yang tepat untuk memberikan respons tertentu.
Berdasarkan hasil yang didapat, pemberian obat secara intra-peritoneal secara
umum akan memberikan efek lebih cepat dibandingkan pemberian obat secara per-
oral. Hal ini disebabkan banyak pembuluh darah pada daerah perut mencit sehingga
obat mudah diserap ke dalam system peredaran darah. Sedangkan pemberian secara
per-oral, obat harus melalui tahap absorbsi pada lambung dan usus sehingga banyak
obat yang tidak sampai pada target.
Pada percobaan kali ini, dilakukan perbandingan pengaruh obat yang diberikan
kepada mencit secara per-oral dengan obat yang diberikan secara intra-peritoneal
terhadap mula kerja obat. Data hasil menunjukkan bahwa pemberian obat secara
intra-peritoneal dapat menimbulkan mula kerja obat yang lebih cepat dibandingkan
pemberian obat secara per-oral.
11
Cara per-oral merupakan cara pemberian obat yang paling umum dilakukan
karena mudah, aman, dan murah. Kerugiannya adalah beberapa jenis obat dapat rusak
oleh adanya enzim saluran cerna, perlu kerjasama dari penderita, tidak dapat
dilakukan bila pasien koma, dan banyak faktor yang dapat mempengaruhi
bioavailibilitasnya. Bioavailibilitas adalah jumlah obat, dalam persen terhadap dosis,
yang mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh maupun aktif.
Pada pemberian secara oral, sebelum obat masuk ke peredaran darah dan
didistribusikan ke seluruh tubuh, obat terlebih dahulu harus mengalami absorbsi pada
saluran cerna. Absorpsi obat melalui saluran cerna pada umumnya berlangsung secara
difusi pasif sehingga absorpsi obat mudah terjadi bila obat dalam bentuk non-ion dan
mudah larut dalam lemak (lipid soluble). Absorpsi obat pada usus halus selalu lebih
cepat daripada lambung karena luas penampang permukaan epitel usus halus lebih
besar daripada lambung. Selain itu, lambung dilapisi oleh lapisan mukus yang tebal
dan tahanan listrik yang tinggi. Oleh karena itu, peningkatan kecepatan pengosongan
lambung biasanya akan meningkatkan kecepatan absorpsi obat dan sebaliknya.
Absorpsi obat dalam usus halus secara transpor aktif berlaku bagi obat-obatan yang
memiliki struktur kimia mirip dengan zat-zat makanan.
Ada obat-obat yang diabsorpsi dari tempat pemberian dan tidak semuanya akan
mencapai sirkulasi sistemik. Sebagian akan dimetabolisme oleh enzim di hati dan di
dinding usus pada lintasan pertamanya melalui organ-organ tersebut (metabolisme
atau eliminasi lintas pertama). Hal ini akan menyebabkan bioavailibilitas obat
tersebut berkurang sehingga mula kerja obat pun menjadi lambat. Metabolisme lintas
pertama ini dapat dihindari atau dikurangi dengan cara pemberian parenteral (intra-
vena, intra-arteri, intra-muscular, intra-peritonial), sublingual, dan rectal.
Pada pemberian obat secara intra-peritoneal, obat diinjeksikan pada rongga
perut tanpa terkena usus atau terkena hati. Di dalam rongga perut ini obat akan
langsung diabsorpsi pada sirkulasi portal dan akan dimetabolisme di dalam hati
sebelum mencapai sirkulasi sistemik. Namun karena pada mesentrium banyak
mengandung pembuluh darah, maka absorpsi berlangsung lebih cepat dibandingkan
per-oral sehingga mula kerja obat pun menjadi lebih cepat. Pemberian secara intra-
12
vena (IV) tidak mengalami tahap absorpsi sehingga kadar obat dalam darah diperoleh
secara cepat, tepat dan dapat disesuaikan langsung dengan respons penderita. Larutan
tertentu yang iritatif hanya dapat diberikan dengan cara ini karena dinding pembuluh
darah relatif tidak sensitif dan bila obat disuntikkan perlahan akan diencerkan oleh
darah. Namun pemberian intra-vena ini tidak dapat ditarik kembali setelah
diinjeksikan dan efek toksik mudah terjadi karena kadar obat sudah langsung
mencapai darah dan jaringan. Penyuntikan intra-vena harus perlahan sambil melihat
respon penderita.
Keuntungan pemberian secara suntikan atau parenteral adalah timbulnya efek
lebih cepat dan teratur dibandingkan dengan pemberian per oral, dapat diberikan pada
penderita yang tidak sadar, tidak kooperatif atau keadaan muntah-muntah. Selain itu
juga berguna pada saat keadaan darurat. Kerugian yang mungkin ditimbulkan adalah
membutuhkan cara yang asepsis, menyebabkan rasa nyeri, bahaya penularan hepatitis
serum, sukar dilakukan oleh penderita dan tidak ekonomis. 4
7. Diskusi Pertanyaan
8. Simpulan
1. Pemberian obat secara intraperitoneal memiliki onset of action yang lebih
cepat dibandingkan dengan pemberian obat secara per-oral.
2. Pemberian diazepam tidak selalu menyebabkan efek hipnotik.
9. Daftar Pustaka
13
3. Fulmer, T., Foreman, M., Zwicker, D. 2003. Medication in Older Adults. 1st Ed. Spiringer Pub.
Comp.
4. Diunduh dari: http://www.netdoctor.co.uk
5. Priharjo,robert.1995.Teknik Dasar Pemberian Obat bagi Perawat:Jakarta.EGC
6. Sacher R.A., McPherson R.A. 2000. Widmann’s Clinical Interpretation of Laboratory Test. 11th
ed. USA: Davis Company.
7. (Nindya W, Arief and Anwar Djaelani, Muhammad and Suprihatin, Teguh (2011) Rasio Bobot
Hepar-Tubuh Mencit (Mus musculus L.) setelah Pemberian Diazepam, Formalin, dan Minuman
Beralkohol. Anatomi Fisiologi, XIX (1). pp. 16-27. ISSN 0854-5367)
8. (Goodman and Gilman. 2007. Dasar Farmakologi Terapi, Edisi 10. Jakarta: EGC.)
9. Swart AM, Burdett S, Ledermann J, Mook P, Parmar MK. 2008. Why i.p. therapy cannot yet be
considered as a standard of care for the first-line treatment of ovarian cancer: a systematic review.
19 (4): 688–95.
10. Tan Hoan Tjay, Kirana Rahardja. 2007. Obat-obat Penting. PT Elex Media Komputindo: Jakarta
p.17
11. A. M. C. Swart , S. Burdett, J. Ledermann, P. Mook, M. K. B. Parmar. 2008. Why i.p. therapy
cannot yet be considered as a standard of care for the first-line treatment of ovarian cancer: a
systematic review. Ann Oncol (2008) 19 (4): 688-695
12. Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. 2009.
Kumpulan Kuliah Farmakologi Ed. 2. Buku Kedokteran EGC: Jakarta p.26
13. Linus Seta Adi Nugraha. 2011. Cara dan Rute Pemberian Obat pada Hewan Percobaan Mencit.
Laboratorium Farmakologi Akademi Farmasi Theresiana: Semarang
14. Riviere JE, Papich MG. 2009. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. Willey-Blackwell:
USA p.27 Mosby's Medical Dictionary, 8th edition. © 2009, Elsevier.
15. McGraw-Hill. Concise Dictionary of Modern Medicine. © 2002 by The McGraw-Hill
Companies, Inc.
16. Medical Dictionary for the Health Professions and Nursing © Farlex 2012
17. Schatzberg AF, Nemeroff CB. 2009. The American Psychiatric Publishing Textbook of
Psychopharmacology. 4th Edition. American Psychiatric Publishing, Inc. Arlington.
18. Amir Syarif, dkk, Farmakologi dan Terapi, 2007
19. Tjay TH dan Rahardja K, 2007. Obat-obat penting: Khasiat Penggunaan dan Efek-Efek
Sampingnya. Jakarta. Elex Media Komputindo. hal: 4
20. Zaman-Joenoes N, 2001. Ars Prescribendi Resep yang Rasional. Jilid 3 Edisi 2. Surabaya.
Airlangga University Press Hal: 5
14