lap farmako
TRANSCRIPT
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI
“PENGARUH OBAT TERHADAP JANTUNG”
Asisten:
Alfian Tagar A. D
G1A009064
Kelompok 3 :
TESA AGRAWITA G1A010002
INDRASTI BANJARANSARI G1A010020
MAYUNDA RIANI A G1A010022
ANGKAT PRASETYA A.N G1A010038
DANNY AMANATI AISYA G1A010050
YUNI PURWATI G1A010059
LINA SUNAYYA G1A010075
PROVITA RAHMAWATI G1A010082
DICKY BRAMANTYO A.P. G1A010113
BLOK KARDIOVASKULERJURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2012
LEMBAR PENGESAHAN
Oleh :
Kelompok 3
Tesa Agrawita G1A010002
Indrasti Banjaransari G1A010020
Mayunda Riani A G1A010022
Angkat Prasetya A.N G1A010038
Danny Amanati Aisya G1A010050
Yuni Purwati G1A010059
Lina Sunayya G1A010075
Provita Rahmawati G1A010082
Dicky Bramantyo A.P. G1A010113
disusun untuk memenuhi persyaratan
mengikuti ujian praktikum Farmakologi Blok Kardiovaskuler
Jurusan Kedokteran
Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan
Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto
diterima dan disahkan
Purwokerto, 24 April 2012
Asisten,
Alfian Tagar A. D
NIM. G1A009064
BAB I
PENDAHULUAN
I. JUDUL PRAKTIKUM
Pengaruh Obat Terhadap Jantung
II. WAKTU PRAKTIKUM
Hari/tanggal : Sabtu, 21 April 2012
Waktu : Pukul 07.00 – 09.00
III. TUJUAN INSTRUKSIONAL
1. Umum
Menjelaskan pengaruh obat sulfas atropin terhadap jantung katak.
2. Khusus
Menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi pada jantung katak setelah
dilakukan pemberian sulfas atropin.
IV. DASAR TEORI
Pemeliharaan homeostasis bergantung pada zat-zat esensial, misalnya
Oksigen dan nutrien yang secara terus menerus diserap dari lingkungan eksternal
dan disalurkan ke sel dan pada pengeluaran zat-zat sisa yang berlangsung
kontinyu. Homeostasis juga bergantung pada pemindahan hormon, yang
merupakan zat perantara kimiawi penting, dari tempat produksinya ke tempat
kerjanya. Sistem sirkulasi, yang berperan dalam homeostasis dengan berfungsi
sebagai sistem transportasi tubuh, terdiri jantung, pembuluh darah dan darah.
Semua jaringan tubuh selalu bergantung pada aliran darah yang disalurkan
kepada mereka oleh kontraksi atau denyut jantung (Sherwood, 2001).
Faktor-faktor yang mempengaruhi denyut jantung diantaranya :
1. Usia
Frekuensi denyut jantung pada berbagai usia, dengan usia antara bayi
sampai dengan usia dewasa. Denyut jantung paling tinggi ada pada bayi
kemudian frekuensi denyut jantung menurun seiring dengan pertambahan
usia.
Usia Frekuensi Jantung (Denyut / Menit)
< 1 bulan
< 1 tahun
2 tahun
6 tahun
10 tahun
14 tahun
> 14 tahun
90 – 170
80 – 160
80 – 120
75 – 115
70 – 110
65 – 100
60 – 100
Sumber : Evelyn C. Pearce 2004
Frekuensi jantung secara bertahap akan menetap memenuhi kebutuhan
oksigenselama pertumbuhan. Pada masa remaja, denyut jantung menetap
dan iramanya teratur. Pada orang dewasa efek fisiologi usia dapat
berpengaruh pada sistem kardiovaskuler. Pada usia yang lebih tua lagi dari
usia dewasa penentuan jantung kurang dapat dipercaya.
2. Jenis Kelamin
Denyut jantung yang tepat dicapai pada kerja maksimum sub
maksimum padawanita lebih tinggi dari pada pria. Pada laki-laki muda
dengan kerja 50% maksimalrata-rata jantung kerja mencapai 128 denyut
per menit, pada wanita 138 denyut per menit.Pada kerja maksimal pria
rata-rata jantung kerja mencapai 154 denyut per menit dan padawanita 164
denyut per menit (Astrand and Rodahl, 2006).
3. Ukuran Tubuh
Ukuran tubuh yang penting adalah berat badan untuk ukuran tubuh
seseorang yaitu dengan menghitung IMT (Indeks Masa Tubuh) dengan
Rumus :BB(Kg)IMT=TB(m) X TB(m)Keteranan :IMT = Indek Masa
Tubuh BB = Berat BadanTB = Tinggi Badan (Supariasa, 2001).
4. Kehamilan
Frekuensi jantung meningkat secara progresif selama masa kehamilan
danmencapai maksimal sampai masa aterm yang frekuensinya berkisar
20% diataskeadaan sebesar hamil (Ganong, 2003).
5. Keadaan Kesehatan
Pada orang yang tidak sehat dapat terjadi perubahan irama atau
frekuensi jantung secara tidak teratur. Kondisi seseorang yang baru
sembuh dari sakit maka frekuensi jantungnya cenderung meningkat
(Mahawati, 2004).
6. Riwayat kesehatan
Riwayat seseorang berpenyakit jantung, hipertensi, atau hipotensi akan
mempengaruhi kerja jantung. Demikian juga pada penderita anemia akan
mengalami peningkatan kebutuhan oksigen sehingga Cardiac output
meningkat yang mengakibatkan peningkatan denyut jantung (Mahawati,
2004).
7. Rokok dan Kafein
Rokok dan kafein juga dapat meningkatkan denyut jantung. Pada suatu
studi pada orang yang merokok sebelum bekerja denyut jantungnya
meningkat 10 sampai 20 denyut permenit dibanding dengan orang yang
dalam bekerja tidak didahului merokok. Sedangkan pada konsumsi kafein,
secara statistik tidak ada perubahan yang signifikan pada variable
metabolic kardiovaskuler kerja maksimal dan sub maksimal (Astrand and
Rodahl, 2006).
8. Intensitas dan Lama Kerja
Berat atau ringannya intensitas kerja berpengaruh terhadap denyut
jantung. Lama kerja, waktu istirahat, dan irama kerja yang sesuai dengan
kapasitas optimal manusia akan ikut mempengaruhi frekuensi jantung
sehingga tidak melampaui batas maksimal. Batas kesanggupan kerja sudah
tercapai bila bilangan jantung kerja (rata-rata jantung selama kerja)
mencapai angka 30 denyut per menit dan di atas bilangan jantungistirahat.
Sedang jantung kerja tersebut tidak terus menerus menanjak dan sehabis
kerjapulih kembali pada jantung istirahat sesudah ± 15 menit (Astrand
dkk, 2006)
9. Sikap Kerja
Posisi atau sikap kerja juga mempengaruhi tekanan darah. Posisi
berdiri mengakibatkan ketegangan sirkulasi lebih besar dibandingkan
dengan posisi kerja duduk (Ganong, 2003).
10. Faktor Fisik dan Kondisi Psikis
Kebisingan merupakan suatu tekanan yang merusak pendengaran.
Selama itu dapat meningkatkan denyut jantung, dan mempengaruhi
parameter fisiologis yang lain yang dapat menurunkan kemampuan dalam
kerja fisik. Selain itu, penerangan yang buruk juga dapat menimbulkan
ketegangan mata, hal ini mengakibatkan kelelahan mata yang berakibat
pada kelelahan mental dan dapatmemperberat beban kerja (Suma’mur,
1989).
Cuaca kerja baik cuaca kerja panas atau dingin juga akan
mempengaruhi sistem sirkulasi dan denyut jantung. Cuaca kerja panas
dapat menyebabkan beban tambahan pada jantung dan sirkulasi darah.
Pada waktu melakukan pekerjaan fisik yang berat dilingkungan panas,
maka darah akan mendapat beban tambahan karena harus membawa
oksigen ke bagian otot yang sedang bekerja. Disamping itu, jantung juga
harus membawa panas dari dalam tubuh ke permukaan kulit. Hal demikian
juga merupakan beban tambahan bagi jantung yang harus memompa darah
lebih banyak lagi. Akibat dari pekerjaan ini, maka frekuensi denyut
jantung pun akan lebih banyak lagi atau meningkat (Santoso, 2005).
Faktor lain yang dapat mempengaruhi irama jantung antara lain (1) sistem
konduktivitas jantung. Pada umumnya gangguan sistem listrik jantung akan
menimbulkan perubahan irama jantung menjadi terlalu lambat (bradiaritmia,Jantung
berdenyut kurang dari 60 kali permenit) atau terlalu cepat (takiaritmia), Jantung
berdenyut lebih dari 100 kali permenit), dan (2) saraf simpatis dan parasimpatis.
Irama jantung dapat meningkat karena rangsangan simpatis atau obat yang bekerja
sinergistik denganya, sebaliknya akan menurun bila karena rangsangan
parasimpatis atau obat yang memiliki efek seperti parasimpatis, seperti neostigmin
dan lain-lainnya (Price, 2006).
Heart rate recovery (HRR) merupakan prediktor independen kematian pada
pasien penyakit jantung. Faktor-faktor yang mempengaruhi HRR pada pasien yang
menjalani uji latih jantung dan beban adalah usia, jenis kelamin, ada tidaknya
hipertensi, konsumsi penyekat reseptor beta, antagonis kalsium dan aspirin, serta hasil
uji itu sendiri (Jurnal Kardiologi Indonesia, 2007).
Terdapat korelasi negatif antara usia dengan HRR, dimana makin tinggi usia,
semakin rendah HRR pasca latihan. Laki-laki juga menunjukkan HRR yang lebih
rendah dibanding wanita.Ada hubungan bermakna pada hipertensi dan HRR. Aktivasi
sistem renin-angiotensin pada penderita hipertensi yang terjadi diduga menimbulkan
gangguan HRR (Jurnal Kardiologi Indonesia, 2007).
Kadar kolesterol HDL, LDL, dan trigliserida berhubungan bermakna dengan
HRR. Gula darah puasa yang abnormal menjadi prediktor kematian karena resistensi
insulin yang sudah menimbulkan gangguan fungsi saraf otonom (Jurnal Kardiologi
Indonesia, 2007).
Gagal jantung merupakan suatu sindroma klinik yang kompleks akibat kelainan
struktural dan fungsional jantung yang mengganggu kemampuan ventrikel untuk diisi
dengan darah atau untuk mengeluarkan darah. Manifestasi gagal jantung yang utama
adalah (1) sesak napas dan rasa lelah yang membatasi kemampuan melakukan
kegiatan fisik, dan (2) retensi cairan yang menyebabkan kongesti paru dan edema
perifer (FKUI, 2007).
New York Heart Association (NYHA) membuat gradasi keparahan gagal jantung
dalam 4 kelas fungsional berdasarkan jumlah aktivitas fisik yang diperlukan untuk
menimbulkan gejala-gejalanya, sebagai berikut :
Kelas 1 : Tidak ada limitasi aktivitas fisik. Tidak timbul sesak napas, rasa
lelah, atau palpitasi dengan aktivitas fisik biasa.
Kelas 2 : Sedikit limitasi aktivitas fisik. Timbul rasa lelah, paslpitasi, dan sesak
napas dengan aktivitas fisik biasa, tetapi nyaman ketika beristirahat.
Kelas 3 : Aktivitas fisik sangat terbatas. Aktivitas fisik kurang dari biasa sudah
menimbulkan gejala, tetapi nyaman sewaktu beristirahat.
Kelas 4 : Gejala-gejala sudah ada sewaktu istirahat, dan aktivitas fisik sedikit
saja akan memperberat gejala (FKUI, 2007).
Pada pengobatan gagal jantung, tujuan primernya adalah mencegah terjadinya
gagal jantung dengan cara mengobati kondisi-kondisi yang menuju terjadinya gagal
jantung, terutama hipertensi dan/atau penyakit arteri koroner. Obat- obat gagal
jantung yang sering digunakan adalah sebagai berikut :
1. Penghambat ACE
Penghambat ACE terbukti dapat mengurangi mortalitas dan morbiditas pada
semua pasien gagal jantung sistolik (semua derajat keparahan termasuk yang
asimtomatik). Penghambat ACE menghambat konversi angiotensin (Ang I)
menjadi angiotensin II (Ang II). Obat ini juga bekerja menghambat aktivitas Ang
II di reseptor AT I atau AT II sehingga hipertrofi miokard dan preload bisa
menurun dan progresi remodelling jantung dapat diminimalkan. Efek samping obat
antara lain batuk, hipotensi, gangguan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan lain-lain.
Obat yang sering digunakan antara lain kaptopril, enalapril, lisinopril, ramipiril,
kuinapril, dan lain-lain.
2. Antagonis Angiotensin II
Obat ini tidak menimbulkan efek samping batuk kering, tetapi menumbulkan
angioedema meskipun kasusnya jarang terjadi. Pada pasien dengan disfungsi
sistolik ventrikel kiri adalah dapat digunakan sebagai alternatif penghambat ACE,
dapat juga digunakan sebagai kombinasi dengan penghambat ACE pada pasien
yang masih asimtomatik. Contoh AT 1 Blocker yang biasa digunakan antara lain
kandesartan, losartan, dan valsartan.
3. Diuretik
Diuretik merupakan obat utama untuk mengatasi gagal jantung akut yang
selalu disertai dengan overload cairan dan bermanifestasi pada kongesti paru atau
edema. Diuretik harus diberikan dalam kombinasi dengan penghambat ACE
karena penggunaannya tidak mengurangi mortalitas. Diuretik tidak boleh diberikan
pada gagal jantung yang asimtomatik maupun yang tidak ada overload cairan.
Contoh diuretik yang sering dipakai antara lain diuretik kuat (furosemid,
bumetanid), tiazid (HCT, klortalodion), diuretik hemat Kalium (amilorid,
triamteren).
4. Antagonis Aldosteron
Aldosteron memicu remodelling dan disfungsi ventrikel melalui peningkatan
preload dan efek langsung yang menyebabkan fibrosis miokard dan proliferasi
fibroblas. Karena itu, efek antagonisasi aldosteron akan mengurangi progresi
remodelling jantung sehingga dapat mengurangi mortalitas dan morbiditas akibat
gagal jantung. Pada saat ini, ada 2 antagonis aldosteron yakni spironolakton dan
eplerenon.
5. Beta Blocker
Berbagai uji klinik telah membuktikan bahwa beta blocker dapat
memperbaiki gejala-gejala, mengurangi hospitalisasi dan mortalitas pada pasien
gagal jantung ringan dan sedang. Pemberian beta blocker pada gagal jantung
sistolik akan mengurangi kejadian iskemia miokard, mengurangi stimulasi sel-sel
automatik jantung dan efek aritmia lainnya, sehingga mengurangi resiko
terjadinya aritmia jantung, dan mengurangi resiko terjadinya kematian mendadak
atau kematian kardiovaskuler.
6. Vasodilator Lain
Vasodilator lain dari penghambat ACE dan antagonis AII yang digunakan
untuk pengobatan gagal jantung adalah hidralazin-isosorbid dinitrat, Na
nitroprusid I.V, nitrogliserin I.V, dan nesiritid I.V.
7. Glikosida Jantung
Glikosida jantung yang digunakan saat ini hanyalah digoksin. Efek digoksin
adalah inotropik positif (meningkatkan kontraktilitas otot jantung), kronotropik
negatif (mengurangi frekuensi denyut vebtrikel pada takikardia atau vibrilasi
ventrikel), dan mengurangi aktivasi saraf simpatis.
8. Inotropik Lain
Inotropik lain yang digunakan pada gagal jantung adalah dopamin dan
dobutamin I.V, serta penghambat fosfodiesterase I.V. Dopamin mempunyai
penggunaan yang terbatas pada pengobatan pasien dengan kegagalan sirkulasi
kardiogenik, sedangkan dobutamin merupakan agonis beta terpilih untuk pasien
gagal jantung dengan disfungsi sistolik. Penghambat fosfodiesterase I.V
mencakup inamrinon dan milirinon yang merupakan penghambat fosfodiesterase
kelas III digunakan sebagai penunjang sirkulasi jangka pendek pada gagal
jantung yang parah.
9. Antitrombotik
Antitrombotik yang dipakai adalah warfarin (antikoagulan oral) yang
diindikasikan pada gagal jantung dengan fibrilasi atrial, riwayat trombo embolik
sebelumnya, atau adanya trombus di ventrikel kiri, untuk mencegah stroke atau
tromboembolisme.
10. Anti Aritmia
Anti aritmia yang biasa digunakan hanya beta blocker dan amiodaron. Beta
blocker mengurangi kematian mendadak pada gagal jantung dan amiodaron
hanya digunakan pada gagal jantung jika disertai dengan fibrilasi atrial dan ritme
sinus (FKUI, 2007).
Salah satu obat yang digunakan dalam pengobatan gagal jantung ini adalah
Sulfas Atrophine. Berikut ini merupakan paparan terkait sulfat Atropin :
A. Obat antimuskarinik
Obat antimuskarinik contohnya yaitu atropin. Obat golongan
antimuskarinik bekerja dengan menyekat reseptor muskarinik yang
menyebabkan hambatan semua fungsi muskarinik namun selain itu obat ini
juga menyekat sedikit perkecualian neuron simpatis yang juga kolinergik,
seperti saraf simpatis yang menuju kelenjar keringat. Obat golongan ini
menguntungkan karena tidak menyekat reseptor nikotinik sehingga obat
golongan ini tidak mempengaruhi sambungan saraf otot rangka atau ganglia
otonom (Mycek, 2009).
B. Reseptor Muskarinik
Reseptor muskarinik mengikat asetilkolin dan muskarin, yaitu suatu
alkaloid yang dikandung oleh jamur beracun tertentu. Reseptor muskarinik ini
menunjukan afinitas lemah terhadap nikotin. Reseptor muskarinik dibagi
menjadi beberapa subklas yaitu M1, M2, M3, M4, dan M5. Reseptor muskarinik
dijumpai dalam ganglia sistem saraf tepi dan organ efektor otonom, seperti
jantung, otot polos, otak, dan kelenjar eksokrin. Secara khusus walaupun
kelima subtype reseptor muskarinik terdapat dalam neuron, namun reseptor
M1 ditemukan pula dalam sel parietal lambung, dan reseptor M2 terdapat
dalam otot jantung dan otot polos, dan reseptor M3 dalam kelenjar eksokrin
dan otot polos (Mycek, 2009).
C. Sumber dan kimiawi
Atropin (hiosiamin) ditemukan dalam tumbuhan atropaa Belladonna
Atropin (hiosiamin) ditemukan dalam tumbuhan Atropa Belladonna, atau
Tirai Malam Pembunuh, dan dalam Datura Stramonium, atau dikenal sebagai
biji jimson (biji Jamestown) atau apel berduri. Atropin alam adalah l(-)
hiosiamin, tetapi senyawanya sudah campuran (rasemik), sehingga material
komersilnya adalah rasemik d, l-hiosiamin. Anggota tersier kelas atropin
sering dimanfaatkan efeknya untuk mata dan sistem saraf pusat (Ozyurt,
2003).
D. Farmakokinetik
1. Absorbsi
Alkaloid alam dan kebanyakan obat-obat antimuskarinik tersier
diserap dengan baik di usus dan dapat menembus membran konjunktiva.
Reabsobsinya diusus cepat dan lengkap, begitu pula di mukosa.
2. Distribusi
Didistribusikan ke seluruh tubuh dengan baik. Atropin dan senyawa
tersier lainnya didistribusikan meluas kedalam tubuh. Penyerapan kadar
tertentu dalam susunan saraf pusat (SSP) dicapai dalam 30 menit sampai
1 jam, dan mungkin membatasi toleransi dosis bila obat digunakan untuk
memperoleh efek perifernya. Terdistribusi secara luas dalam badan,
menembus plasenta; masuk dalam air susu; menembus sawar darah otak.
3. Metabolisme dan Ekskresi
Metabolisme atropin terjadi di hepar (hati). Atropin cepat
menghilang dari darah setelah diberikan dengan masa paruh sekitar 2 jam.
Kira-kira 60% dari dosis diekskresikan ke dalam urin dalam bentuk utuh.
Efeknya pada fungsi parasimpatis pada semua organ cepat menghilang
kecuali pada mata. Efek pada iris dan otot siliaris dapat bertahan sampai
72 jam atau lebih. Ekskresi melalui ginjal, yang separuhnya dalam
keadaan utuh. Plasma t1/2 nya 2-4 jam. Ekskresi di urin (30% hingga 50%
dalam bentuk obat yang tidak berubah dan metabolitnya) (Katzung,
2004).
E. Farmakodinamik
Atropin memblok aksi kolinomimetik pada reseptor muskarinik secara
reversibel (tergantung jumlahnya) yaitu, hambatan oleh atropin dalam dosis
kecil dapat diatasi oleh asetilkolin atau agonis muskarinik yang setara dalam
dosis besar. Hal ini menunjukan adanya kompetisi untuk memperebutkan
tempat ikatan. Hasil ikatan pada reseptor muskarinik adalah untuk mencegah
aksi seperti pelepasan IP3 dan hambatan adenilil siklase yang diakibatkan oleh
asetilkolin atau antagonis muskarinik lainnya. Penambahan adrenalin pada
atropin akan memperpanjang masa kerja obat serta meningkatkan penyebaran
molekul yang masuk ke SSP (Matsum, 2007).
F. Indikasi
Meringankan gejala gangguan pada gastrointestinal yang ditandai
dengan spasme otot polos (antispasmodik); mydriasis dan cyclopedia pada
mata; premedikasi untuk mengeringkan sekret bronchus dan saliva yang
bertambah pada intubasi dan anestesia inhalasi; mengembalikan bradikardi
yang berlebihan; bersama dengan neostigmin untuk mengembalikan
penghambatan non-depolarising neuromuscular, antidote untuk keracunan
organophosphor; cardiopulmonary resucitation, Merelaksasi otot dari organ
urogenital dengan efek dilatasi dari rahim dan kandung kemih, Sebagai
spasmolitikum (pereda kejang otot) dari saluran lambung-usus, saluran
empedu, dan organ urogenital (Jay, 2002).
G. Kontraindikasi
Antimuskarinik kontraindikasi pada angle-closure glaukoma (glaukoma
sudut sempit), myasthenia gravis (tetapi dapat digunakan untuk menurunkan
efek samping muskarinik dari antikolinesterase), paralytic ileus, pyloric
stenosis, pembesaran prostat (Jay, 2002). Selain itu obat antimuskarinik juga
dikontraindikasikan dengan pasien yang diketahui memiliki hipersensitif
terhadap obat, pasien dengan takikardia, pasien dengan infark miokard, dan
pasien yang memiliki kelainan jantung kongenital (yang biasanya sering
ditemui dengan bradikardia) (Roach, 2008).
H. Dosis, Cara Pemberian dan Lama Pemberian
Premedikasi, injeksi intra vena 300 – 600 mcg, segera sebelum induksi
anestesia, anak-anak 20 mcg/kg (maksimal 600 mcg). Pemberian injeksi
subcutan atau intramuscular 300 – 600 mcg 30 – 60 menit sebelum induksi;
anak-anak 20 mcg/kg (maksimal 600 mcg). Intra-operative bradicardia,
pemberian injeksi intravena, 300 – 600 mcg (dosis yang lebih besar pada
kondisi emergensi); anak-anak (unlicensed indication) 1- 12 tahun 10 -20
mcg/kg Untuk mengendalikan efek muskarinik pada penggunaan neostigmin
dalam melawan penghambatan neuromuskular kompetitif , pemberian injeksi
intravena 0,6 – 1,2 mg; anak-anak di bawah 12 tahun (tetapi jarang
digunakan) 20 mcg/kg (maksimal 600 mcg) dengan neostigmin 50 mcg/kg
(Jay, 2002).
I. Stabilitas Penyimpanan
Atropin sulfat secara lambat dipengaruhi oleh cahaya. Simpan injeksi
pada suhu ruang yang terkontrol pada suhu 15°C hingga 30°C (59°F hingga
86°F), hindari dari suhu dingin dan lindungi dari cahaya. Jika dicampur pada
syringe yang sama pada suhu kamar, injeksi atropin sulfat dilaporkan secara
fisik kompatibel sedikitnya selama 15 menit dengan injeksi berikut:
chlorpromazine hydrochloride, cimetidine hydrochloride, dimenhydrinate,
diphenhydramine hydrochloride, droperidol, fentanyl citrate, glycopyrrolate,
hydroxyzine hydrochloride, hydroxyzine hydrochloride dengan meperidine
hydrochloride, meperidine hydrochloride, meperidine hydrochloride dengan
promethazine hydrochloride, morphine supfate, opium alkaloid hydrochloride,
pentazocine lactate, pentobarbital sodium, prochlorperazineedisylate,
promazine hydrochloride, promethazine hydrochloride, propiomazine
hydrochloride atau scopolamine hydrobromide. Kompatibilitas dengan larutan
injeksi lain tergantung dari beberapa faktor seperti konsentrasi obat, pH akhir
larutan dan temperatur. Atropin sulfat injeksi dilaporkan secara fisik
incompatible dengan norepinephrine bitartrate, sodium bicarbonate dan
metaraminol bitartrate. Kerusakan atau endapan terjadi dalam 15 menit jika
atropin sulfate dicampur dengan larutan methohexital sodium (Jay, 2002).
J. Efek pada sistem organ
1. Susunan Saraf Pusat
Pada dosis lazim, atropin merupakan stimulan ringan terhadap SSP,
terutama pada pusat parasimpatis medula, dan efek sedatif yang lama dan
lambat pada otak. Efek pemacu Vagal pusat seringkali cukup untuk
menimbulkan bradikardia. Atropin juga menimbulkan kegelisahan,
agitasi, halusinasi, dan koma.
2. Mata
Otot konstriktor pupil tergantung pada aktivitas kolinoseptor
muskarinik. Aktivitas ini secara efektif dihambat oleh atropin topical dan
obat antimuskarinik tersier. Efek penting kedua pada mata dari obat
antimuskarinik adalah kelumpuhan otot siliaris, atau sikloplegia
(ketidakmampuan memfokus untuk penglihatan dekat). Akibat
sigloplegia ini terjadi penurunan kemampuan untuk mengakomodasi;
mata yang teratropinisasi penuh tidak dapat memfokus untuk melihat
dekat. Kedua efek midriasis dan sigloplegia berguna dalam oftalmologi.
Namun efek ini juga cukup berbahaya karena dapat menimbulkan gejala
glaukoma akut. Efek ketiga dari obat antimuskarinik pada mata adalah
mengurangi sekresi air mata. Kadang-kadang pasien akan merasa
matanya kering atau mata “berpasir” bila diberikan obat anti muskarinik
dalam dosis besar.
3. Sistem Kardiovaskular
Atrium dipersyarafi oleh serabut syaraf parasimpatis (n.vagus), dan
oleh karena itu nodus SA peka terhadap hambatan reseptor muskarinik.
Bila diberikan dosis terapi sedang sampai tinggi, maka efek takikardi
nampaknya dapat menetap pada pasien tertentu. Namun, dalam dosis
kecil justru memacu pusat parasimpatis dan sering menimbulkan gejala
brakikardia awal sebelum efek hambatan terhadap vagus perifer menjadi
jelas. Pada keadaan tonus vagus yang meninggi, maka pemberian atropin
dapat menurunkan interval PR dalam EKG dengan memblok reseptor
muskarinik jantung (Katzung, 2004).
Atropin menimbulkan efek divergen pada sistem kardiovaskular,
tergantung pada dosis. Pada dosis kecil akan menyebabkan aktivasi
sentral dari keluaran eferen vagal yang dimungkinkan peningkatan
pelepasan asetilkolin yang akan berefek pada penurunan denyut jantung
(bradikardia). Sedangkan pada dosis tinggi, reseptor jantung pada nodus
SA disekat dan denyut jantung akan sedikit bertambah (takikardia). Dosis
hingga timbul efek ini sedikitnya 1mg atropin. Pada tingkatan biasa
tekanan darah arterial tidak dipengaruhi tapi pada tingkat toksik, atropin
dapat mendilatasi pembuluh darah di kulit (Mycek, 2009).
4. Sistem Pernafasan
Baik otot polos atau sel kelenjar sekresi pada saluran pernafasan
dipersarafi oleh vagus dan mengandung reseptor muskarini. Bahkan pada
individu normal, maka efek bronkodilatasi dan pengurangan sekresi
setelah menelan atropin dapat diukur. Efek demikian lebih dramatis pada
pasien saluran pernafasan terganggu, walaupun obat antimuskarinik ini
tidak sebaik pemacu beta-adrenoseptor pada pengobatan asma.
5. Saluran Cerna
Hambatan reseptor muskarinik menimbulkan efek dramatis terhadap
motilitas dan beberapa fungsi sekresi pada saluran cerna. Seperti pada
organ lainnya, pacuan muskarinik eksogen lebih efektif dihambat
dibanding efek dari aktivitas saraf simpatis (vagal) (Katzung, 2004).
6. Kelenjar Keringat
Termoregulasi keringat ditekan pula oleh atropin. Reseptor
muskarinik pada kelenjar keringat ekkrin dipersarafi oleh serabut
kolinergik simpatetik dan dapat dipengaruhi oleh obat antimuskarinik.
Hanya pada dosis tinggi efek antimuskarinik pada orang dewasa akan
menimbulkan peninggian suhu tubuh. Sedangkan pada bayi dan anak-
anak maka dalam dosis biasapun sudah menimbulkan demam atropin
(atropin fever) (Katzung, 2004).
K. Efek Samping Obat
Terhadap kehamilan, penggunaan obat pada ibu hamil tidak diketahui
apakah membahayakan, produsen menyarankan penggunaan dengan
peringatan (hati-hati). Atropin dapat menembus plasenta manusia.
1. Terhadap ibu menyusui: Obat terdapat pada air susu dalam jumlah
sedikit, produsen menyarankan penggunaan dengan peringatan (hati-
hati) AAP rates compatible.
2. Terhadap anak-anak: Digunakan dengan peringatan (hati-hati) pada
anak-anak (Fleming, 2005).
V. ALAT, BAHAN, DAN HEWAN COBA
a. Alat
1. Alat perusak otak katak
2. Beaker glass
3. Pinset
4. Gunting
5. Spuit tuberkulin
6. Jarum suntik no. 22
b. Bahan
1. Sulfas atropine
2. NaCl Fisiologis
c. Binatang percobaan
Dua ekor katak
VI. CARA KERJA
1. Katak pertama (A) akan digunakan untuk mempelajari pengaruh sulfas atropin
pada jantung, dan katak kedua (B) digunakan sebagai kontrol.
2. Rusak SSP katak dengan cara menusuk melalui foramen magnumnya.
3. Letakkan katak dan buka bagian ventralnya hingga tampak jantungnya.
4. Jagalah jantung tetap basah dengan meneteskan NaCl fisiologis.
5. Catatlah denyut jantung masing-masing katak, amati:
a. Kekuatan denyut jantung.
b. Irama jantung
c. Frekuensi denyut jantung per menit
d. Warna jantung
6. Jantung katak A ditetesi dengan sulfas atropin pada menit pertama, NaCl
fisiologis pada menit kedua sampai menit ke sepuluh.
7. Jantung katak B ditetesi dengan NaCl fisiologis pada tiap menit selama
sepuluh menit.
8. Amati dan catat perubahan yang terjadi tiap menit setelah diberi perlakuan.
9. Buatlah grafik dengan detak jantung permenit sebagai ordinat dan waktu
sebagai aksis.
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL
Menit ke-Denyut
(kali/ menit)
kontraktilitas Keteraturan Irama
warna
Menit 1 59Kuat reguler Merah pekat
jantung normal
Menit 2 58Kuat ireguler Merah pekat
jantung normalMenit 3 39 Semakin kuat reguler Merah pucatMenit 4 45 Kuat reguler Merah pucatMenit 5 42 Kuat reguler Merah pucat
Menit 6 40 Tidak kuat ireguler Merah pucat
Menit 7 57 Kuat ireguler Merah pucatMenit 8 34 Tidak kuat ireguler Merah pucatMenit 9 30 Tidak kuat ireguler Merah gelapMenit 10 42 Tidak kuat ireguler Merah gelap
1. Hasil percobaan pada katak A, katak yang ditetesi sulfat atropine.
Denyut (kali/ menit)
Kontraktilitas Keteraturan Irama
Warna
Menit 1 57Kuat reguler Merah pekat
jantung normal
Menit 2 66Semakin Kuat reguler Merah pekat
jantung normal
Menit 3 64Kuat ireguler Merah pekat
jantung normal
Menit 4 64Kuat reguler Merah pekat
jantung normal
Menit 5 56Kuat ireguler Merah pekat
jantung normal
Menit 6 62Kuat ireguler Merah pekat
jantung normal
Menit 7 60Kuat ireguler Merah pekat
jantung normal
Menit 8 63 Kuat ireguler Merah pucatMenit 9 60 Tidak kuat ireguler Merah pucatMenit 10 63 Tidak kuat ireguler Merah pucat
2. Hasil percobaan pada katak B, sebagai kontrol
Sehingga, grafik pada Denyut Jantung Katak digambarkan sebagai berikut:
1 2 3 4 5 6 7 8 9 100
10
20
30
40
50
60
70
Katak AKatak B
Ket : katak A diberi sulfat atropine
B. PEMBAHASAN
1. Warna Jantung
Pada katak A, yakni katak yang diberi perlakuan diteteskan sulfas
atropin dan katak B, yakni katak yang hanya berlaku sebagai kontrol, pada
keduanya sama-sama mengalami perubahan warna, dimana pada warna
jantung katak A, dari warna jantung merah pekat normal berubah menjadi
pucat pada menit ke 3 paska pemberian obat, kemudian warna berubah
menjadi semakin gelap pada menit ke 9, hingga menit-menit berikutnya.
semakin berwarna merah gelap. Hal ini terjadi disebabkan karena sulfas
atropine bersifat konotropik negatif, artinya obat ini menyebabkan penurunan
frekuensi jantung, sehingga dengan hal ini berimbas pada warna jantung pada
katak A akan cenderung berwarna lebih pucat hingga gelap.
Pada katak B, warna jantung merah pekat normal berubah menjadi
pucat pada menit ke 5 paska pemberian obat, hingga menit-menit berikutnya.
semakin berwarna merah gelap, hal ini normal terjadi dan memang merupakan
kondisi respon fisiologis.
2. Kontraktilitas
Kontraktilitas jantung pada katak A terlihat beberapa kali melemah pada
menit ke 6 hingga menit-menit selanjutnya. Namun pada beberapa saat,
kontraktilitas jantung pada katak A kembali kuat bahkan semakin kuat pada
menit ke 3 pasca pemberian sulfas atropine. Hal ini terjadi akibat rangsangan
n. Vagus (serabut saraf parasimpatis) yang akan menurunkan kontraktilitas
dengan cara meningkatkan pembukaan kanal K sehingga kalium banyak yang
keluar dari sel sehingga menyebabkan periode refrakter yang memanjang
karena repolarisasi yang semakin lama sehingga kontraktilitasnya menurun
(Sherwood, 2001).
Praktikan berasumsi, bahwa peningkatan kontraktilitas jantung pada katak
A di menit ke 3 terjadi akimat efek farmakokinetik obat yang dipengaruhi
oleh peristiwa absobsi obat, metabolisme, dan distribusi obat, serta efek
farmakodinamik obat yang dipengaruhi oleh dosis obat.
3. Frekuensi
Secara umum, berat badan katak B lebih massive dari katak A dan dari
hasil praktikum, didapatkan bahwa frekuensi denyut jantung pada katak A
lebih sedikit daripada katak B, sehingga hal ini terjadi sesuai dengan teori
yang berlaku, yakni bahwa semakin kecil berat badan, maka frekuensi denyut
jantung juga semakin kecil. Sebaliknya, semakin besar berat badan, frekuensi
denyut jantungnya juga semakin besar (Adisuwirjo, 2001). Selain itu ada
beberapa faktor dari praktikan yang mempengaruhi hasil yaitu ketepatan
dalam pemberian dosis cairan fisiologis dan sulfat atropine serta kecermatan
praktikan dalam menghitung frekuensi denyut jantung tiap menitnya.
4. Irama
Irama jantung pada katak A berkali-kali mengalami fase kontraksi
regular dan sering juga mengalami fase yang ireguler. Hal ini terjadi akibat
mekanisme kompensasi dari dari jantung secara fisiologis, dan respon pasca
pemberian sulfat atropine. Sedangkan irama jantung pada katak B terlihat
lebih teratur diawal-awal menit, kemudian berubah menjadi ireguler pada
menit-menit terakhir. Hal ini kemungkinan diakibatkan kesalahan dari
praktikan saat mengamati irama jantung katak B yang tidak diberikan
atrophine atau sebagai kontrol sehingga irama yang seharusnya teratur.
Nodus SA sangat peka terhadap hambatan reseptor muskarinik. Dosis
teraupetik atropine yang sedang sampai tinggi menyebabkan takikardia pada
jantung dengan menghambat perlambatan vagus. Namun, dosis yang
diturunkan sering menimbulkan bradikardia awal sebelum efek hambatan
vagus perifer. perlambatan ini mungkin disebabkan oleh hambatan reseptor
prejunctional M1 pada serabut vagus pasca ganglion, dalam keadaan normal
membatasi pelepasan pada nodus sinus dan jaringan lain (katzung, 2011).
C. APLIKASI KLINIS
1. Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik adalah kelainan jantung primer yang mengakibatkan
perfusi jaringan tidak cukup untuk mendistribusi bahan-bahan makanan dan
pengambilan sisa-sisa metabolisme. Dari segi hemodinamik syok kardiogenik
adalah kelainan jantung primer yang mengakibatkan hal-hal berikut :
a. Tekanan arterial sistole < 90 mmHg (hipotensi absolut) atau paling tidak
60 mmHg di bawah tekanan basal (hipotensi relatif).
b. Gangguan aliran darah ke organ-organ penting (kesadaran menurun,
vasokonstriksi perifer, oliguria (urine < 30 ml/jam) ).
c. Tidak adanya gangguan preload atau proses non-miokardial sebagai
etiologi syok (aritmia, asidosis atau depresan jantung secara
farmakologik maupun fisiologik).
d. Adanya gangguan miokardial primer secara klinik dan laboratorik
(Baradero, 2008).
Syok kardiogenik biasanya disebabkan oleh karena gangguan
mendadak fungsi jantung atau akibat penurunan fungsi kontraktil jantung
kronik. Secara praktis syok kardiogenik timbul karena gangguan mekanik atau
miopatik, bukan akibat gangguan elektrik primer (Baradero, 2008).
2. Angioedema
yang juga disebut dengan Quincke's edema, adalah pembengkakan
yang terjadi di jaringan bawah permukaan kulit. Penyakit kulit yang biasanya
merupakan reaksi alergi terhadap obat-obatan atau makanan. Terjadinya
Angioedema juga harus diberikan perhatian khusus karena dapat
menunjukkan kondisi yang mendasari penyakit yang lebih serius seperti
leukemia atau penyakit Hodgkin (Staub NB, 2007).
Dalam dunia medis, ada dua divisi dasar atau klasifikasi dari
Angioedema. Pertama, angioedema turunan atau HAE (hereditary
angioedema). Angioedema ini diperoleh secara genetik atau bawaan, dan
akan cenderung untuk terus berulang meskipun dengan pengobatan intensif.
Jenis yang lainnya disebut acquired angioedema atau AAE yang diperoleh
melalui cara lain di luar faktor genetic (Staub NB, 2007).
Angioedema membutuhkan waktu hitungan menit atau bahkan berjam-jam
untuk berkembang sempurna. Satu hal menarik tentang angioedema adalah
bahwa ia dapat menulari atau mempengaruhi satu sisi atau bagian dari tubuh,
sementara sisi lainnya atau bagian lainnya tidak terpengaruh. Hal ini penting
untuk mengetahui fakta yang mendasari, pencegahan dan pengobatan
angioedema karena penyakit kulit ini bisa berakibat fatal jika tidak diobati
(Staub NB, 2007).
Manifestasi klinis yang terjadi pada angioedema mirip dengan
urtikaria yakni muncul gatal-gatal, bekas merah (pembengkakan atau bercak)
dari berbagai ukuran, yang tiba-tiba muncul dan menghilang pada kulit.
Angioedema merupakan jenis bengkak, bilur-bilur besar dan melibatkan
lapisan kulit yang lebih dalam, terutama di dekat bibir dan mata (Staub NB,
2007).
Dalam kebanyakan kasus angioedema tidak berbahaya, dan bahkan
tanpa memerlukan pengobatan, dan tidak meninggalkan bekas pada kulit
setelah sembuh. Dalam kasus pembengkakan dari angioedema dapat
menyebabkan tenggorokan atau lidah menghalangi jalan napas dan
menyebabkan kehilangan kesadaran, yang dapat mengancam nyawa (Streeten,
1999).
3. Gagal Jantung
Gagal jantung terjadi jika curah jantung tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan tubuh akan O2. Gagal jantung adalah suatu sindroma klinik yang
kompleks akibat kelainan struktural dan fungsional jantung yang mengganggu
kemampuan ventrikel untuk diisi dengan darah atau untuk mengeluarkan
darah. Manifestasi gagal jantung yang utama adalah (1) sesak napas dan rasa
lelah, yang membatasi kemampuan melakukan kegiatan fisik; dan (2) retensi
cairan, yang menyebabkan kongesti paru dan edema perifer (Syarif, 2011).
Gagal jantung didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung tidak lagi
dapat memompakan cukup darah ke jaringan tubuh. Keadaan ini dapat timbul
dengan atau tanpa penyakit jantung. Gangguan fungsi jantung dapat berupa
gangguan fungsi diastolik atau sistolik, gangguan irama jantung, atau
ketidaksesuaian preload dan afterload. Gagal jantung dapat dibagi menjadi
gagal jantung kiri dan gagal jantung kanan. Gagal jantung juga dapat dibagi
menjadi gagal jantung akut, gagal jantung kronis dekompensasi, serta gagal
jantung kronis (Mariyono, 2007).
Pada gagal jantung kiri terdapat bendungan paru, hipotensi, dan
vasokonstriksi perifer yang mengakibatkan penurunan perfusi jaringan. Gagal
jantung kanan ditandai dengan adanya edema perifer, asites, dan peningkatan
tekanan vena jugularis. Gagal jantung kongestif adalah gabungan kedua
gambaran tersebut (Muttaqin, 2009).
Faktor-faktor yang mengganggu pengisian ventrikel seperti stenosis
katup atrioventrikularis dapat menyebabkan gagal jantung. Gagal jantung
paling sering disebabkan oleh gagal kontraktilitas miokard, seperti yang
terjadi pada infark miokard, hipertensi yang lama atau kardiomiopati.
Keadaan-keadaan seperti perikarditis konstriktif dan tamponade jantung
mengakibatkan gagal jantung melalui gabungan beberapa efek seperti
gangguan pada pengisian ventrikel dan ejeksi ventrikel. Dengan demikian
jelas sekali bahwa tidak ada satupun mekanisme fisiologis atau gabungan
berbagai mekanisme yang bertanggungjawab atas terjadinya gagal jantung,
efektivitas jantung sebagai pompa dapat dipengaruhi oleh berbagai gangguan
patofisiologis. Faktor-faktor yang dapat memicu perkembangan gagal jantung
melalui penurunan sirkulasi yang mendadak dapat berupa (1) aritmia, (2)
infeksi sistemis dan infeksi paru-paru, dan (3) emboli paru (Muttaqin, 2009).
Salah satu obat yang digunakan untuk gagal jantung adalah obat
digoksin yang merupakan golongan glikosida jantung. Secara umum digoksin
merupakan obat yang diperoleh dari tumbuhan Digitalis lanata. Digoksin
digunakan terutama untuk meningkatkan kemampuan memompa (kemampuan
kontraksi) jantung dalam keadaan kegagalan jantung. Obat ini juga digunakan
untuk membantu menormalkan beberapa dysrhytmias (jenis abnormal denyut
jantung). Obat ini bekerja secara inotropik positif dimana akan menaikkan
kontraktilitas jantung dan secara kronotopik negatif yang akan menurunkan
denyut jantung (Brashers, 2008).
Digoksin tidak menyebabkan perubahan curah jantung pada subjek
normal karena curah jantung ditentukan tidak hanya oleh kontraktilitas namun
juga oleh beban dan denyut jantung. Pada gagal jantung, digoksin dapat
memperbaiki kontraktilitas dan menghilangkan mekanisme kompensasi
sekunder yang dapat menyebabkan gejala (Gray, 2003).
KESIMPULAN
1. Obat gagal jantung adalah obat yang diberikan untuk mencegah terjadinya
gagal jantung dan mengurangi manifestasi klinis dengan cara
memperbaiki keadaan yang menuju terjadinya gagal jantung terutama
hipertensi dan atau penyakit arteri coroner.
2. Beberapa contoh golongan obat gagal jantung, antara lain: Penghambat
ACE, Beta blocker, Antagonis angiotensin II, Diuretik, Antagonis
aldosterone, Vasodilator lain, Digoksin, Obat Inotropik lain,
Antitrombotik, dan Antiaritmia.
3. Secara garis besar, pemberian atrhopin menghasilkan perubahan-
perubahan pada jantung, diantaranya frekuensi dan irama jantung,
kontraktilitas jantung, serta warna jantung.
4. Pada katak A, yakni katak yang ditetesi sulfat athropin, secara umum
irama jantung menjadi tidak teratur, warna jantung berubah pucat lalu
menghitam, dan kontraktilitasnya melemah.
5. Pada katak B, yakni irama jantung berangsur menjadi kurang teratur,
warna jantung merah pucat,dan kontraktilitasnya melemah.
6. Aplikasi klinis yang berkaitan dengan praktikum kali ini antara lain: Syok
Kardiogenik, Angioedema, dan Gagal jantung.
DAFTAR PUSTAKA
Astrand, P; Rodahl, K. 2006. Texbook of Work Physiology, USA: Hill Book Company
Baradero, Mary. 2008. Klien Gangguan Kardiovaskular. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Brashers, L, Valentina. 2008. Aplikasi Klinis Patofiologi Pemeriksaan dan Manajemen. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Eni Mahawati, 2004. Perbedaan Kenaikan Frekuensi Denyut Nadi Penjahit padaSikap Kerja Ergonomis dan tidak Ergonomis di Industri Konveksi RumahTangga Desa Loran Wetan Kecamatan Jati Kabupaten Kudus, Semarang:Sripsi Universitas Diponegoro.
Evelyn C Pearce. 2004. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT. Gramedia.
FK UI, 2007. Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta. Balai Penerbit FK UI.
Fleming, Bethany. Mc Collough Maureen. Handerson, Sean. 2005. Atropin Should be Administered before Succinylcholine for neonatal and pediatric intubation. JCMU volume 7 (2): 114-117.
Ganong, W.F. 2003. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Gray, Huon, H., dkk. 2003. Lecture Notes Kardiologi, Edisi Keempat. Jakarta: Erlangga.
Henry, A.P Pakpahan et all. 2007. Factors Affect Heart Rate Recovery After Symptom-limited Exercise Stress Testing. Jurnal Kardiologi Indonesia.
Jay, Than Hoon dan Kirana, Raharja. 2002. Obat-Obat Penting. Jakarta: Gramedia.
Katzung, Betram G. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Matsum. 2007. Buku Penuntun Praktikum Farmakolologi. Medan: Departemen Farmakologi dan Terapetik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Muttaqin, Arif. 2009. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika.
Mycek, Mary J. 2009. Lippincott’s Illustrated Reviews Pharmacology. New York: Lippincott Willian and Wilkins.
Ozyurt, Gurayten. Bilgin, Hulya. Kutsal, Melda Gedik. 2003. Atropin Aerosol Spray (AAS) by Nasal Aplication in Organophosphate Poisoning. J Med Chem Def volume 1: 1-10.
Price, Sylvia A; Lorraine M Wilson. 2006. Patofisiologi Volume 1 Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Roach, Sally S. 2008. Introductory Clinical Pharmacology. New York: Lippincott William and Wilkins.
Santoso, Anwar. 2007. Gagal Jantung, Volume 8 Nomor 3. Denpasar: FK Unud.http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/9_gagal%20jantung.pdf
Santoso. 2005. Higiene Perusahaan Panas. Solo: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Staub NB, Taylor. 2007. Edema. Newyork : Reaven Press.
Streeten. 1999. Idiopathic edema: Pathogenesis, Clinical features, and Treatment
Supariasa , I Dewa Nyoman. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Syarif, Amir, dkk. 2011. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.