lapkas reren anestesi.docx

64
BAB I PENDAHULUAN Di Amerika cedera kepala merupakan penyebab kematian terbesar. Cedera kepala dapat dibagi tiga kelompok berdasarkan nilai GCS, (Glasgow Coma Scale) yaitu: 1. Cedera kepala ringan GCS > 13 Tidak terdapat kelainan pada CT Scan otak Tidak memerlukan tindakan operasi Lama dirawat di RS < 48 jam 2. Cedera kepala sedang GCS 9-13 Ditemukan kelainan pada CT Scan otak Memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial Dirawat di RS setidaknya 48 jam 3. Cedera kepala berat Bila dalam waktu 48 jam setelah trauma, nilai GCS < 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1

Upload: arizal-abdullah

Post on 22-Dec-2015

234 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: lapkas reren anestesi.docx

BAB I

PENDAHULUAN

Di Amerika cedera kepala merupakan penyebab kematian terbesar. Cedera kepala

dapat dibagi tiga kelompok berdasarkan nilai GCS, (Glasgow Coma Scale) yaitu:

1. Cedera kepala ringan

GCS > 13

Tidak terdapat kelainan pada CT Scan otak

Tidak memerlukan tindakan operasi

Lama dirawat di RS < 48 jam

2. Cedera kepala sedang

GCS 9-13

Ditemukan kelainan pada CT Scan otak

Memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial

Dirawat di RS setidaknya 48 jam

3. Cedera kepala berat

Bila dalam waktu 48 jam setelah trauma, nilai GCS < 9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pendahuluan

Cedera kepala bertanggung-jawab atas separuh kematian karena

cedera. Merupakan komponen yang paling sering pada cedera

multipel. Ditemukan pada 75 % korban tewas karena kecelakaan

lalu-lintas. Untuk setiap kematian, terdapat dua kasus dengan

cacad tetap, biasanya sekunder terhadap cedera kepala. 

Masalah yang biasa dihadapi adalah jauhnya, ketersediaan

fasilitas serta tingkat kompetensi bedah saraf setempat, serta

lambatnya tindakan definitif, organisasi kegawat-daruratan, dan

1

Page 2: lapkas reren anestesi.docx

2

profil cedera. Yang terpenting adalah pengelolaan ventilasi dan

hipovolemia yang berperan dalam menimbulkan kerusakan otak

sekunder yang bisa dicegah. Transfer pasien yang memenuhi sarat

dengan segera akan mengurangi kesakitan dan kematian.

Transfer tidak boleh diperlambat oleh tindakan diagnostik.

Penyebab kecacadan atau kematian yang dapat dicegah antara

lain adalah keterlambataan resusitasi atas hipoksia, hiperkarbia

dan hipotensi, keterlambatan tindakan definitif terutama

terhadap hematoma intrakranial yang berkembang cepat, serta

kegagalan mencegah infeksi.

Anatomi, fisiologi dan patofisiologi

Kranium merupakan kerangka kaku yang berisi tiga komponen :

otak, cairan serebro-spinal dan darah yang masing-masing tidak

dapat diperas. Kranium hanya mempunyai sebuah lubang keluar

utama yaitu foramen magnum. Ia juga memiliki tentorium kaku

yang memisahkan hemisfer serebral dari serebelum. Otak tengah

terletak pada hiatus dari tentorium.

Fenomena otoregolasi cenderung mempertahankan aliran darah

otak (ADO) stabil bila tekanan darah rata-rata 50-160 mmHg

(untuk pasien normotensif, dan bergeser kekanan pada pasien

hipertensif dan sebaliknya). Dibawah 50 mmHg ADO berkurang

bertahap, dan diatas 160 mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh

otak dengan akibat peninggian tekanan intrakranial. Otoregulasi

dapat terganggu pada cedera otak dengan akibat ADO tergantung

secara linear terhadap tekanan darah. Oleh karena hal-hal

tersebut, sangat penting untuk mencegah syok atau hipertensi

(perhatikan tekanan darah pasien sebelum cedera).

Volume total intrakranial harus tetap konstan ( Doktrin Monro-

Kellie : K = V otak + V css + V darah + V massa ). Kompensasi

atas terbentuknya lessi intrakranial adalah digesernya css dan

darah vena hingga batas kompensasi, untuk selanjutnya tekanan

Page 3: lapkas reren anestesi.docx

3

intrakranial akan naik secara tajam.

Pada lesi yang membesar cepat seperti hematoma, perjalanan

klinik dapat diprediksi. Bila fase kompensasi terlewati, tekanan

intrakranial meningkat. Pasien nyeri kepala yang memburuk oleh

hal yang meninggikan TIK seperti batuk, membungkuk dan

terlentang, kemudian mulai mengantuk. Kompresi atau

pergeseran batang otak berakibat peninggian tekanan darah,

sedang denyut nadi dan respirasi menjadi lambat. Pupil sisi massa

berdilatasi, bisa dengan hemiparesisi sisikontralateral massa.

Selanjutnya pasien jadi tidak responsif, pupil tidak bereaksi dan

berdilatasi, serta refleks batang otak hilang. Akhirnya fungsi

batang otak berhenti, tekanan darah merosot, nadi lambat,

respirasi lambat dan tidak teratur untuk akhirnya berhenti.

Penyebab akhir kegagalan otak adalah iskemia. Peninggian TIK

mempengaruhi ADO akibat kompresi arterial, regangan atau

robekan arteria dan vena batang otak serta gangguan perfusi.

ADO konstan 50 ml/100 gr/menit pada otoregulasi normal. Jadi

ADO dipengaruhi oleh tekanan darah arterial, tekanan

intrakranial, otoregulasi, stimulasi metabolik serta distorsi atau

kompresi pembuluh darah oleh massa atau herniasi. Pada

kenyataannya, banyak akibat klinis dari peninggian TIK adalah

akibat pergeseran otak dibanding tingkat TIK sendiri. 

Edema otak yang terjadi oleh sebab apapun akan meninggikan

TIK yang berakibat gangguan ADO yang berakibat memperberat

edema sehingga merupakan lingkaran setan. TIK lebih dari 15

mm Hg harus ditindak.

Triad klasik nyeri kepala, edema papil dan muntah ditemukan

pada duapertiga pasien. Sisanya hanya dua gejala. Tidak satupun

khas untuk peninggian TIK, kecuali edema papil, namun

memerlukan waktu yang lama untuk timbulnya. Simtom lebih

banyak tergantung penyebab dari pada tingkat tekanan. Tidak

Page 4: lapkas reren anestesi.docx

4

ada korelasi konsisten antara tingkat tekanan dengan beratnya

gejala.

Penurunan kesadaran adalah ciri cedera otak. Dua jenis cedera

otak yaitu cedera korteks bilateral serta cedera pada sistem

pengaktif retikuler batang otak disamping peninggian TIK dan

penurunan ADO dapat menurunkan tingkat kesadaran.

Klasifikasi

Didasarkan pada aspek :

a. Mekanisme trauma

(1). Tumpul : kecepatan tinggi, kecepatan rendah

(2). Tajam : cedera peluru, bacok, dll

b. Beratnya

Didasarkan pada Glasgow Coma Scale (GCS)

(1). Cedera kepala ringan (bila GCS 14-15)

(2). Cedera kepala sedang (bila GCS 9-13)

(3). Cedera kepala berat (bila GCS 3-8)

c. Berdasar morfologi :

(1). Fraktura tengkorak.

(a). Kalvaria :

1. Linier atau stelata.

2. Terdepres atau tidak terdepres.

(b). Basiler :

1. Anterior.

2. Media.

3. Posterior.

(2). Lesi intrakranial.

(a). Fokal :

(1). Perdarahan meningeal :

1. Epidural.

2. Subdural.

3. Sub-arakhnoid.

Page 5: lapkas reren anestesi.docx

5

(2). Perdarahan dan laserasi otak :

Perdarahan intraserebral dan atau kontusi. 

Benda asing, peluru tertancap.

(b). Difusa :

1. Konkusi ringan.

2. Konkusi klasik.

3. Cedera aksonal difusa.

Semua penatalaksanaan disesuaikan dengan pembagian ini.

GCS ditentukan pasca resusitasi.

Catatan : Digolongkan kedalam cedera kepala berat disamping

GCS ≤ 8, adalah bila : perburukan neurologis, fraktura tengkorak

terdepres, pupil atau motor tidak ekual, cedera kepala terbuka

dengan bocornya CSS atau tampaknya jaringan otak.

Dari riwayat dan pemeriksaan, akan diketahui area anatomi, tipe

cedera (akselerasi, deselerasi, impak lokal, tembus atau crush),

patologi cedera serta evolusi cedera ( perburukan akan merubah

saat melakukan tindakan spesifik).

BERDASAR MEKANISME

Cedera kepala secara luas diklasifikasikan sebagai tertutup dan

penetrating. Sebetulnya tidak benar-benar dapat dipisahkan.

Misalnya fraktura tengkorak terdepres dapat dimasukkan kesalah

satu golongan tersebut, tergantung kedalaman dan parahnya

cedera tulang. Istilah cedera kepala tertutup biasanya

dihubungkan dengan kecelakaan kendaraan, jatuh dan pukulan,

dan cedera kepala penetrating lebih sering dikaitkan dengan luka

tembak dan luka tusuk.

BERDASAR BERATNYA

Jennett dan Teasdale menentukan koma sebagai ketidakmampuan

untuk menuruti perintah, mengucapkan kata-kata dan membuka

mata. Pada pasien yang tidak mempunyai ketiga aspek pada

definisi tersebut tidak dianggap sebagai koma. 90% pasien dengan

Page 6: lapkas reren anestesi.docx

6

skor total delapan atau kurang, dan tidak untuk yang mempunyai

skor 9 atau lebih, dijumpai dalam keadaan koma sesuai dengan

definisi tsb. Untuk kegunaan praktis, skor total GCS 8 atau

kurang didefinisi sebagai pasien koma. Skor 9 hingga 13

dikelompokkan sebagai cedera kepala sedang, dan skor GCS 14

hingga 15 sebagai ringan.

BERDASAR MORFOLOGI

Walau pasien tertentu yang mengalami perburukan secara cepat

mungkin dioperasi tanpa CT scan, kebanyakan pasien cedera

berat sangat diuntungkan oleh CT scan sebelum dioperasi.

Karenanya tindak lanjut CT scan berulang sangat penting karena

gambaran morfologis pada pasien cedera kepala sering mengalami

evolusi yang nyata dalam beberapa jam pertama, bahkan

beberapa minggu setelah cedera.

Fraktura Tengkorak

Mungkin tampak pada kalvaria atau basis, mungkin linear atau

stelata, mungkin terdepres atau tidak terdepres. Fraktura

tengkorak basal sulit tampak pada foto sinar-x polos dan biasanya

perlu CT. Adanya tanda klinis membantu identifikasinya.

Fraktura terdepres lebih dari ketebalan tengkorak memerlukan

operasi elevasi. Fraktura tengkorak terbuka atau compound

berakibat hubungan langsung antara laserasi kulit kepala dan

permukaan serebral karena duranya robek, dan fraktura ini

memerlukan operasi perbaikan segera.

Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma

intrakranial sebesar 400 kali pada pasien sadar dan 20 kali pada

pasien tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak

mengharuskan pasien untuk dirawat.

Lesi Intrakranial 

Kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal

termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi

Page 7: lapkas reren anestesi.docx

7

(atau hematoma intraserebral). Cedera otak difusa, menunjukkan

CT scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium atau

bahkan koma dalam

Lesi Fokal

Hematoma Epidural. Klot terletak diluar dura. Paling sering

diregio temporal atau temporal-parietal dan sering akibat

robeknya pembuluh meningeal media, namun mungkin sekunder

dari perdarahan vena/sinus pada sepertiga kasus, terutama

diregio parietal-oksipital atau fossa posterior. Tidak terlalu sering

(0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala),

namun harus selalu diingat dan ditindak segera. Bila ditindak

segera, prognosis biasanya baik karena cedera otak disekitarnya

biasanya masih terbatas. Outcome langsung bergantung pada

status pasien sebelum operasi. Mortalitas dari hematoma epidural

sekitar 0% pada pasien tidak koma, 9% pada pasien obtundan,

dan 20% pada pasien koma dalam.

Hematoma Subdural. Lebih sering dari hematoma epidural, pada

30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi akibat

robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus

draining, laserasi permukaan atau substansi otak. Kerusakan otak

yang mendasari jauh lebih berat dan prognosisnya lebih buruk

dari hematoma epidural. Mortalitas 60%, diperkecil oleh tindakan

operasi yang sangat segera

Kontusi dan hematoma intraserebral. Kontusi serebral cukup

sering, hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural.

Majoritas dilobus frontal dan temporal, walau dapat pada setiap

tempat. Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral

traumatika tidak jelas batasannya. Lesi jenis salt and pepper

klasik pada CT jelas kontusi, dan hematoma yang besar jelas

bukan. Terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat

Page 8: lapkas reren anestesi.docx

8

laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari. Ingat,

kontusi bukan diagnosis klinis.

 

Cedera difusa

Cedera otak difusa membentuk kerusakan otak berat progresif

yang berkelanjutan, disebabkan cedera akselerasi-deselerasi otak,

adalah jenis cedera kepala yang paling sering.

Konkusi Ringan. Konkusi (cerebral concussion) ringan :

kesadaran tidak terganggu, terdapat suatu tingkat disfungsi

neurologis temporer. Sering terjadi dan karena ringan, sering

tidak dibawa kepusat medik. Bentuk paling ringan, berakibat

konfusi dan disorientasi tanpa amnesia. Pulih sempurna tanpa

disertai sekuele major. Yang sedikit lebih berat menyebabkan

konfusi dengan amnesia retrograd maupun post traumatika.

Konkusi Serebral Klasik. Konkusi serebral klasik : hilangnya

kesadaran. Selalu disertai amnesia retrograd dan post traumatika,

dan lamanya amnesia post traumatika adalah pengukur atas

beratnya cedera. Hilangnya kesadaran sementara, sadar

sempurna dalam enam jam, walau biasanya sangat awal. Tidak

Page 9: lapkas reren anestesi.docx

9

mempunyai sekuele kecuali amnesia atas kejadian terkait cedera,

namun beberapa mempunyai defisit neurologis yang berjalan

lama, walau kadang-kadang sangat ringan.

Cedera Aksonal Difusa (CAD). CAD (Diffuse Axonal Injury,

DAI) : koma pasca trauma yang lama(lebih dari enam jam), tidak

dikarenakan lesi massa atau kerusakan iskhemik. Dibagi menjadi

kategori ringan, sedang dan berat. CAD ringan jarang, koma

berakhir pada 6 hingga 24 jam, dan pasien mulai dapat ikut

perintah setelah 24 jam. CAD sedang, koma yang berakhir lebih

dari 24 jam tanpa tanda-tanda batang otak. Bentuk CAD paling

sering dan merupakan 45% dari semua pasien dengan CAD. 

CAD berat biasanya terjadi pada kecelakaan kendaraan dan

paling mematikan. 36% dari semua pasien dengan CAD. Koma

dalam dan menetap untuk waktu yang lama. Sering menunjukkan

tanda dekortikasi atau deserebrasi dan cacad berat menetap bila

penderita tidak mati, disfungsi otonom seperti hipertensi,

hiperhidrosis dan hiperpireksia dan sebelumnya tampak

mempunyai cedera batang otak primer. CAD umumnya lebih

banyak berdasarkan pada fisiologi atas gambaran klinik yang

terjadi.

Pemeriksaaan GCS

Dilakukan dengan memeriksa respon dari 3 area : membuka

mata, respon verbal dan respon motorik. Skor terendah 3 dan

tertinggi 15. Respon motorik dinilai yang terbaik dari kedua sisi.

Respon membuka mata (eye)

(4). Spontan dengan adanya kedipan

(3). Dengan suara

(2). Dengan nyeri

(1). Tidak ada reaksi

Respon bicara (verbal)

(5). Orientasi baik

Page 10: lapkas reren anestesi.docx

10

(4). Disorientasi (mengacau/bingung)

(3). Keluar kata-kata yang tidak teratur

(2). Suara yang tidak berbentuk kata

(1). Tidak ada suara

Respon bicara (verbal) untuk anak-anak

(5). Kata-kata bermakna, senyum, mengikuti objek

(4). Menangis, tapi bisa diredakan

(3). Teriritasi secara menetap

(2). Gelisah, teragitasi

(1). Diam saja

Respon motorik (motor)

(6). Mengikuti perintah

(5). Melokalisir nyeri

(4). Menarik ekstremitas yang dirangsang

(3). Fleksi abnormal (dekortikasi)

(2). Ekstensi abnormal (decerebrasi)

(1). Tidak ada gerakan

Nilai GCS = (E+V+M) = 15 (terbaik) dan 3 (terburuk)

PENGELOLAAN PRA RUMAH SAKIT RUJUKAN

(DENGAN SARANA BEDAH SARAF)

Ikuti protokol trauma.

CEDERA KEPALA RINGAN

Definisi: Pasien bangun, dan mungkin bisa berorientasi (GCS 14-

15). 

(Tidak termasuk pasien sadar kelompok cedera kepala berat).

Pengelolaan setelah pasien distabilkan :

1. Riwayat: Jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran,

amnesia, 

nyeri kepala, perdarahan hidung/mulut/telinga, kejang

2. Pemeriksaan umum untuk menegakkan cedera sistemik

3. Pemeriksaan neurologis

Page 11: lapkas reren anestesi.docx

11

Kriteria Transport ke Rumah Sakit Non Pusat Trauma:

1. Amnesia post traumatika jelas 

2. Riwayat kehilangan kesadaran 

3. Penurunan tingkat kesadaran

4. Nyeri kepala sedang hingga berat

5. Intoksikasi alkohol atau obat

6. Tanda-tanda Fraktura tengkorak 

7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea (cedera kepala berat)

8. Kejang

9. Cedera penyerta yang jelas

10. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung-

jawabkan

Dipulangkan :

1. Pasien tidak memiliki kriteria rujuk

2. Beritahukan untuk kerumah sakit bila timbul masalah dan

jelaskan 

tentang 'lembar peringatan'

3. Rencanakan untuk kontrol kerumah sakit dalam 1 minggu

CEDERA KEPALA SEDANG

Definisi: Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap

mampu untuk mengikuti perintah sederhana (GCS 9-13).

Pengelolaan setelah pasien distabilkan : 

1. Riwayat: jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran,

perdarahan 

hidung/mulut/telinga, kejang

2. Pemeriksaan umum guna menyingkirkan cedera

sistemik

3. Pemeriksaan neurologis

4. Transport ke pusat trauma/bedah saraf.

CEDERA KEPALA BERAT

Definisi: Pasien tidak mampu mengikuti bahkan perintah

Page 12: lapkas reren anestesi.docx

12

sederhana karena gangguan kesadaran (GCS ≤ 8). (Tidak

termasuk disini kelompok cedera kepala berat dengan GCS > 8).

PENILAIAN CEDERA KEPALA BERAT

1. OKSIGENASI DAN TEKANAN DARAH

Hipoksemia (saturasi Oksigen Hb arterial < 90%) atau hipotensi

(tekanan darah sistolik <90 mm Hg*) adalah parameter yang

nyata berkaitan dengan outcome yang buruk

Oksigenasi darah : Prosentase saturasi oksigen darah diukur

dengan oksimeter denyut nadi (bila ada).

Tekanan darah sistolik dan diastolik diperiksa sesering yang

dimungkinkan dan dimonitor secara berkelanjutan.

Kerusakan otak sekunder pada cedera kepala berat sering terjadi

dan sangat mempengaruhi outcome.

*) 0-1 tahun : <65; 2-5 tahun : < 75; 6-12 tahun : <80; 13-16

tahun : < 90.

2. SKOR SKALA KOMA GLASGOW

GCS adalah indikator beratnya cedera kepala terutama dalam

kaitannya dengan perbaikan atau perburukan pada pemeriksaan

berulang. Penilaian tunggal GCS tidak dapat memprediksi

outcome, namun perburukan 2 poin dimana GCS sembilan atau

kurang menunjukkan cedera serius. Skor 3-5 : outcome buruk.

GCS didapat dengan berinteraksi dengan pasien, secara verbal

atau pada pasien yang tidak ikut perintah dengan rangsang nyeri

pada pangkal kuku atau anterior ketiak dll. GCS dinilai lagi

setelai penilaian inisial (pada penilaian inisial dapat digunakan

AVPU : cepat, namun tidak menampilkan kuantitas motorik),

setelah jalan nafas terkontrol, setelah resusitasi ventilatori dan

respiratori. Hipoksemi dan hipotensi berdampak negatif terhadap

GCS. GCS dinilai pula sebelum pemberian sedatif atau agen

paralitik, dan setelah obat-obat tsb. dimetabolisasi.

GCS inisial 3-5, atau perburukan dua poin atau lebih

Page 13: lapkas reren anestesi.docx

13

memprediksikan outcome buruk. 20 % dengan GCS 3-5 hidup, 8-

10 % dengan hidup yang fungsional.

3. PUPIL

Pupil asimetri : perbedaan kiri dan kanan ≥ 1 mm. Pupil yang

tidak bereaksi terhadap cahaya : reaksi tidak ada atau kurang

dari 1 mm. Perhatikan pula adanya trauma orbital.

Nilai apakah pupil satu atau kedua sisi tidak bereaksi terhadap

cahaya. Apakah satu atau kedua sisi berdilatasi. Apakah satu atau

kedua sisi tidak bereaksi terhadap cahaya dan berdilatasi. Pupil

dinilai lagi setelah resusitasi dan stabilisasi.

Pemeriksaan pupil inisial bersama dengan GCS merupakan dasar

evaluasi. Kelainan pupil membantu menentukan tindakan,

terutama bila berdilatasi unilateral atau, berdilatasi dan tidak

bereaksi terhadap cahaya bilateral, mengarahkan pada herniasi

otak yang memerlukan tindakan darurat untuk menurunkan

tekanan intrakranial. Konstriksi terhadap cahaya adalah fungsi

simpatik. Rangsang cahaya berakibat respons direk (ipsilateral)

dan respons konsensual (kontralateral), tergantung intaknya

sistem aferen yang membawa sinyal dari retina ke otak tengah,

serta sistem eferen parasimpatik pada bagian luar saraf ketiga

dari otak tengah ke pupil. Nuklei saraf ketiga di otak tengah

terletak dekat area yang mengatur kesadaran dibatang otak.

Karenanya pemeriksaan pupil sangat penting pada pasien dengan

gangguan kesadaran. Saraf ketiga keluar dari otak tengah

dibawah unkus, bagian lobus temporal, dan terancam untuk

terkompresi sebagai akibat edema, perdarahan intrakranial, dan

hematoma epidural atau subdural. Kompresi saraf ketiga

unilateral menekan jalur eferen refleks pupil, menghambat

respons cahaya langsung, disaat respons konsensual utuh.

Hipoksemia, hipotensi dan hipotermia juga berhubungan dengan

dilatasi serta reaksi cahaya pupil. Trauma langung pada saraf

Page 14: lapkas reren anestesi.docx

14

ketiga disertai tidak adanya trauma intrakranial yang nyata bisa

menyebabkan kelainan pupil walau biasanya disertai dengan

kelainan motorik saraf ketiga. 70 % pasien dengan pupil

berdilatasi bilateral mengalami outcome buruk. Peneliti lain

mendapatkan 91 % tewas. 54 % pasien dengan refleks cahaya

negatif pulih dengan baik.

TINDAKAN TERHADAP CEDERA KEPALA BERAT

1. JALAN NAFAS, VENTILASI DAN OKSIGENASI

Hipoksemia (apnea, sianosis atau saturasi oksigen Hb arterial

[SaO2] < 90 %) harus dicegah atau segera dikoreksi. Bila ada,

saturasi oksigen dimonitor sesering mungkin atau berkelanjutan.

Hipokesemia dikoreksi dengan memberikan oksigen suplemen.

Jalan nafas harus diamankan pada GCS < 9, ketidakmampuan

mempertahankan jalan nafas adekuat, atau bila hipoksia tidak

terkoreksi dengan oksigen suplemen. Intubasi endotrakheal paling

efektif mempertahankan jalan nafas. 

Hiperventilasi profilaksis rutin harus dicegah. Indikasi dilapangan

hanya bila terjadi herniasi otak seperti posturing ekstensor atau

kelainan pupil (asimetrik atau tidak bereaksi) yang masih tampak

setelah hipotensi atau hipoksemia dikoreksi. Normal ventilasi

(dengan intubasi dan ventilator bila ada) sekitar 10 X/menit untuk

dewasa, 15-20 X/menit pada anak-anak, dan 20-30 X/menit bagi

bayi. Hiperventilasi ditentukan sebagai 20 X/menit bagi dewasa,

30 X/menit bagi anak-anak dan 35-40 X/menit bagi bayi.

Hiperventilasi dianjurkan sebagai tindakan primer dilapangan

karena mudah dilakukan dan berefek segera. Hiperventilasi

menurunkan tekanan parsial arterial dioksida karbon (PaCO2)

dengan akibat vasokonstriksi, menurunkan aliran darah serebral

(CBF) dan menurunkan tekanan intrakranial (ICP). Namun

hiperventilasi dini profilaktik tidak lagi dianjurkan sebagai

tindakan rutin, karena pada pasien cedera otak traumatika

Page 15: lapkas reren anestesi.docx

15

biasanya aliran darah serebral turun menjadi dua pertiga dari

normal dan hiperventilasi lebih menurunkan aliran darah

serebral hingga berpotensi mencapai titik iskemia otak, hingga

memperburuk perfusi otak dan outcome pasien. Hiperventilasi

dilakukan hanya sementara sampai pasien tiba di pusat bedah

saraf dimana analisis gas darah akan menuntun tingkat ventilasi.

2. RESUSITASI CAIRAN

Resusitasi cairan pada pasien cedera otak traumatika adalah

untuk mencegah hipotensi dan / atau membatasinya pada durasi

sesingkat mungkin. Hipotesi adalah bila tekanan darah sistolik ≤

90 mm Hg. Pada anak dengan cedera otak traumatika berat usia

0-1 tahun : < 65; usia 2-5 tahun : < 75; usia 6-12 : < 80 dan usia 13-

16 < 90 mm Hg.

Terapi cairan diberikan untuk menunjang kinerja kardiovaskuler

untuk mempertahankan tekanan perfusi serebral yang adekuat

dan mengurangi peluang kerusakan otak sekunder. Paling umum

di pra rumah sakit digunakan kristaloid isotonik. Diberikan

sejumlah yang dibutuhkan dalam mempertahankan tekanan

darah normal. Volume cairan yang tidak adekuat atau dibawah

daya resusitasi dapat mempresipitasi hipotensi mendadak hingga

harus dicegah. Resusitasi hipertonik dengan salin hipertonik

dengan atau tanpa dekstran memberikan hasil menggembirakan.

Tidak ada bukti bahwa mannitol bermanfaat pra rumah sakit,

kecuali pada pasien dengan peninggian tekanan intrakranial jelas.

Di UGD, tekanan perfusi serebral tidak dapat dihitung karena di

pra rumah sakit tekanan arterial rata-rata (MAP) dan tekanan

intrakranial (ICP) tidak dihitung. (Bahkan mungkin juga di UGD

nya sendiri). Frekuensi denyut jantung dan tekanan darah

digunakan sebagai pengukur indirek pengangkutan oksigen pada

fase pra rumah sakit dan juga pada evaluasi inisial di UGD.

Pengukuran ini kasar hingga sering tidak menunjukkan

Page 16: lapkas reren anestesi.docx

16

hubungan yang baik dengan kehilangan darah, namun tidak ada

tindakan lain yang dapat menilai kehilangan darah secara akurat.

Otoregulasi sering gagal pada cedera kepala, meningkatkan

keterancaman otak atas berkurangnya preload. Bila gagal curah

jantung, pengangkutan oksigen juga gagal. Intervensi resusitatif

dimulai segera untuk mencegah turunnya tekanan darah.

Kehilangan darah sulit dinilai hingga tampil hipotensi. Sayangnya

hipotensi tidak jelas bisa ditentukan, misalnya bagi kebanyakan

orang 90 mm Hg, bagi orang lain mungkin 80 atau 100.

Karena penyebab hipotensi umumnya sekunder atas perdarahan

atau kehilangan cairan lainnya, maka volume intravaskuler

tampaknya cara terbaik untuk memperbaiki tekanan darah.

Kristaloid untuk memperkuat preload jantung, mempertahankan

curah jantung (CO), tekanan darah dan pengangkutan oksigen

perifer. Dianjurkan infus cepat 2 liter RL atau salin normal

sebagai bolus inisial pada dewasa. Pada pasien tanpa cedera

kepala, pikirkan bahwa resusitasi tanpa hemostasis bedah

menyebabkan kehilangan darah sekunder akibat bergesernya klot

hemostatik. Begitu pula hemodilusi yang terjadi dapat

memperburuk keadaan pada trauma tertentu seperti trauma

penetrasi torso. Karenanya resusitasi cairan ideal adalah tidak

menyebabkan kehilangan darah sekunder dan hemodilusi. 

3. TINDAKAN TERHADAP OTAK

Herniasi serebral : Tanda-tandanya adalah gangguan kesadaran

serta tidak adanya respons, termasuk posturing ekstensor, pupil

berdilatasi, tidak bereaksi terhadap cahaya atau perburukan

neurologis progresif (penurunan GCS lebih dari dua poin dari

sebelumnya pada pasien dengan GCS inisial < 9). Hiperventilasi

adalah intervensi jalur pertama terhadap pasien tersangka

ancaman herniasi otak. Status neurologis memerlukan penilaian

berulang dan bila diikuti hilangnya tanda-tanda herniasi otak,

Page 17: lapkas reren anestesi.docx

17

hiperventilasi dihentikan.

Mannitol pra rumah sakit untuk herniasi otak.

Tindakan saat transport pasien : Sedasi, analgesia, dan blok

neuromuskuler (sesuai sarana tersedia) berguna dalam

mengoptimalkan transport pasien cedera kepala.

Penyebab lain perubahan status kesadaran : Hipoglikemia

dilaporkan sebagai pencetus trauma. Hipoglikemia bisa tampil

dengan perubahan kesadaran dengan atau tanpa defisit neurologis

lain. Dianjurkan pasien dengan penurunan kesadaran yang tidak

jelas etiologinya ditentukan glukosanya secara cepat atau

diberikan glukosa secara empiris.

Cedera neuronal bisa akibat trauma inisial (cedera primer) atau

akibat mekanisme indirek (cedera sekunder) seperti hipoksemia,

hipotensi dan edema serebral. Juga bisa akibat keadaan yang

bersamaan seperti hipoglikemia atau keracunan obat. Tujuan

resusitasi adalah mempertahankan perfusi otak dan

meminimalkan cedera neuronal. 

Mannitol efektif mengurangi tekanan intrakranial dan dianjurkan

untuk mengontrol peninggian tekanan intrakranial. Namun belum

jelas manfaatnya pada pasien tanpa tanda-tanda herniasi otak.

Walau mekanisme kerjanya kontroversi, manfaatnya adalah

bahwa mannitol merupakan plasma expander kerja cepat dan

efek osmotik diuretiknya. Sebagai plasma expander ia akan

menurunkan hematokrit dan viskositas darah dengan akibat

meningkatkan aliran darah otak dan meningkatkan pengangkutan

oksigen ke otak yang merupakan dasar resusitasi otak. Efek

osmotiknya pada awalnya mengurangi edema intraseluler hingga

menurunkan tekanan intrakranial. Onsetnya setelah 15-30 menit

namun bertahan 90 menit hingga 6 jam. Mannitol bisa

terakumulasi diotak dengan akibat reverse osmotic shift yang

berpotensi meninggikan tekanan intrakranial (karenanya

Page 18: lapkas reren anestesi.docx

18

dirumah sakit lebih baik diberikan berulang dari pada infus

kontinyu untuk mengurangi kemungkinan komplikasi ini). Potensi

komplikasi mannitol lainnya adalah gagal ginjal. Perhatikan juga

bahwa mannitol berpotensi menimbulkan hipotensia.

Lidokain intravena mencegah peninggian tekanan intrakranial

saat intubasi endotrakheal. Namun tidak ada bukti peninggian

tekanan intrakranial transien saat manipulasi intubasi

berpengaruh pada outcome. Berikan lidokain 1.5 mg/kg beberapa

menit sebelum laringoskopi dan dianjurkan diberikan bersama

pelindung saraf pusat lain seperti fentanyl (50 ųg, q2-3 menit) atau

thiopental (3-5 mg/kg).

Sedasi dan analgesia adalah kunci penting dalam pengelolaan pra

rumah sakit, terutama bila perjalanan memerlukan waktu

panjang. Langkah pertama terhadap pasien gelisah atau

mengamuk adalah menilai dan mengoreksi hipotensi, hipoksemia,

hipoglikemia dan ketidaknyamanan. Bebat mekanik tidak

dianjurkan dan meletakkan pasien pada risiko kerusakan fisik.

Karena kooperasi pasien penting dalam transport yang aman,

berikan agen farmakologis termasuk blok neuromuskuler (bila

sarana tersedia).

Benzodiazepin (lorazepam 2-5 mg IV ) dan fenothiazin umum

digunakan. Pra rumah sakit bisa diberikan droperidol 5 mg

intravena. Blok neuromuskuler aksi singkat aman digunakan pra

rumah sakit. Rangsang nyeri akan meninggikan tekanan

intrakranial, hingga pemberian sedasi, analgesia dan blok

neuromuskuler bisa dipertimbangkan, walau bukan tanpa risiko

disamping mempengaruhi GCS.

Kadar gula darah kurang dari 80 mg/dl mulai bergejala.

Hipoglikemia ringan tampil dengan diaphoresis, nyeri kepala dan

kelemahan pada 75 % pasien. Defisit neurologis fokal dan kejang

bisa terjadi. Kadar 30 mg/dl tampil dengan konfusi atau delir.

Page 19: lapkas reren anestesi.docx

19

Kadar dibawah 10 mg/dl dengan koma dalam yang mungkin

irreversibel. Kontroversi terjadi pada akurasi strip pemeriksa,

dampak perfusi perifer yang buruk terhadap strip pemeriksa,

serta potensi kerusakan akibat pemberian glukosa secara empirik.

Dianjurkan memeriksa kadar gula dari pada memberikan terapi

empirik, kecuali bila kadar gula tidak bisa didapat dan pasien

mengalami gangguan status mental tanpa disertai defisit fokal.

TRANSPORTASI

Semua pasien dengan cedera otak traumatika dengan GCS < 9

langsung dirujuk kefasilitas yang berkemampuan pemeriksaan

CT segera, fasilitas bedah saraf memadai, dan fasilitas pengamat

tekanan intrakranial (bila ada) serta kemampuan menindak

hipertensi intrakranial.

Pasien dengan GCS 9-13 berpotensi mengalami cedera

intrakranial dan tindakan bedah saraf, hingga harus dirujuk

kepusat bedah saraf.

Sebagian kematian akibat cedera adalah tanggung-jawab cedera

kepala. Transportasi merupakan bagian penting yang

mempengaruhi outcome. Langkah yang berpengaruh pra rumah

sakit adalah :

Informasi lengkap yang dikumpulkan petugas pra rumah sakit

dan yang diminta petugas rumah sakit rujukan seperti apakah

pasien sadar, dapat berbicara, membuka mata, atau

menggerakkan ekstremitas dapat membantu menentukan adanya

cedera otak.

Penilaian pra rumah sakit atas mekanisme, jenis dan beratnya

cedera (parahnya kerusakan kendaraan, benturan kaca depan,

penggunaan sabuk pengaman dan alat pengaman lain), kejadian,

dan khususnya pemeriksaan pasien penting untuk menilai situasi

neurologis keseluruhan. Tanda-tanda vital dan oksimetri denyut

nadi bila ada, membantu menemukan hipotensi dan hipoksemia.

Page 20: lapkas reren anestesi.docx

20

Skor GCS dan kondisi pupil memberikan informasi beratnya

cedera otak. 

Berdasar penilaian pasien, intervensi pra rumah sakit dimulai

untuk mencegah hipotensi atau hipoksemia serta potensi yang

mengancam hidup atau kecacadan lainnya. Disini tingkat

keterampilan penolong sangat menentukan mutu intervensi.

Rumah sakit penerima juga menentukan outcome.

Beberapa faktor berpengaruh pada tindakan yang optimal. Untuk

perkotaan, waktu tanggap pendek, rumah sakit banyak, waktu

transport singkat, berakibat tindakan lebih cepat dan dekat.

Namun dikota UGD lebih sibuk, jalanan macet, dan protokol

mungkin tidak mengizinkan jalan pintas kepusat trauma lain.

Didaerah yang jauh dari pusat trauma, petugas harus diberi

kemudahan memanfaatkan alat transportasi yang lebih cepat. Bila

sarana bedah saraf tidak tersedia, bawa dulu kefasilitas terdekat

untuk stabilisasi pasien, untuk selanjutnya tergantung kebutuhan.

Lakukan penilaian neurologis berulang untuk mengevaluasi atau

menemukan setiap perubahan kondisi dan status neurologis

pasien selama perjalanan.

ALGORITMA PENILAIAN DAN TINDAKAN TERHADAP

CEDERA OTAK TRAUMATIKA (COT) PRA RUMAH SAKIT

(DENGAN FASILITAS BEDAH SARAF).

Nilai, stabilkan dan tindak pasien berdasar protokol resusitasi

dengan memprioritaskan penilaian dan tindakan atas jalan nafas,

pernafasan dan sirkulasi.

Setelah stabilisasi ABC, nilai pasien dengan bertanya : “Kenapa

anda”.

Bila pasien bisa membuka mata, periksa GCS. COT moderat

(GCS 9-13) dan COT berat (GCS 3-8) harus ditransport kepusat

trauma.

Page 21: lapkas reren anestesi.docx

21

Bila pasien tidak membuka mata, tekan pangkal kuku atau cubit

kulit anterior aksila untuk merangsang buka mata.

Bila dengan rangsang nyeri tsb. pasien membuka mata, nilai seksi

verbal dan motor dari GCS untuk mendapatkan skor total.

Pasien yang tidak responsif dengan GCS 3-8 harus ditransport ke

pusat trauma dengan kemampuan :

CT scan 24 jam.

Sarana bedah saraf dan kamar operasi 24 jam.

Kemampuan monitor tekanan intrakranial (bila ada) dan

tindakan terhadap peninggian tekanan intrakranial.

Pasien GCS 14-15 ditransport ke rumah sakit non pusat trauma,

dengan UGD berkemampuan resusitasi segera pasien kritis.

Pasien yang tidak membuka mata terhadap rangsang nyeri

langsung ditransport ke pusat trauma tsb.

Pasien yang tidak responsif namun bereaksi atas rangsang nyeri

pada pangkal kuku dengan posturing ekstensor, atau pasien yang

flaksid, amankan jalan nafas (usahakan intubasi) dan

hiperventiasi (20X/menit untuk dewasa, 30X/menit untuk anak-

anak, 35-40X/menit untuk bayi).

Pasien yang tidak responsif namun bereaksi atas rangsang nyeri

pada pangkal kuku atau cubitan ketiak dengan fleksi abnormal

atau respons motor GCS lebih tinggi, namun dengan pupil

asimetris dan atau berdilatasi dan tidak bereaksi cahaya, lakukan

hiperventilasi sda.

Semua pasien COT nilai oksigenasinya tiap 5 menit serta saturasi

O2 nya dipertahankan > 90. Tekanan darah sistolik

dipertahankan diatas 90 mm Hg pada dewasa dan usia 12-16; 80

mm Hg bagi usia 5-12; 75 mm Hg bagi usia 1-5; dan 65 mm Hg

untuk bayi kurang dari 1 tahun.

Karena status neurologis bisa berubah, nilai pasien secara lengkap

setiap 5 menit dan tindak atau ubah tindakan bila perlu.

Page 22: lapkas reren anestesi.docx

22

PENGELOLAAN PASIEN DIRUMAH SAKIT RUJUKAN

(DENGAN FASILITAS BEDAH SARAF)

Ikuti protokol trauma.

CEDERA KEPALA RINGAN

Definisi: Pasien bangun, dan mungkin bisa berorientasi (SKG 14-

15). 

(Tidak termasuk pasien sadar kelompok cedera kepala berat).

Pengelolaan setelah pasien distabilkan :

1. Riwayat: Jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran,

amnesia, 

nyeri kepala, perdarahan hidung / mulut / telinga, kejang

2. Pemeriksaan umum untuk menegakkan cedera sistemik

3. Pemeriksaan neurologis

4. Radiografi tengkorak

5. Radiografi servikal dan lain-lain atas indikasi

6. Kadar alkohol darah serta urin untuk skrining toksik (bila ada).

7. CT scan idealnya dilakukan bila didapatkan tujuh pertama dari

kriteria 

rawat.

Algoritma Pasien COT

Penilaian dan Tindakan padaCedera Otak Traumatika (COT) Pra

Rumah Sakit Rujukan.

Nilai, Tindak, Stabilkan ABC.

Page 23: lapkas reren anestesi.docx

23

Apa Pasien Membuka MataTerhadap “Kenapa Anda?” 

Nilai Pasien Apa Pasien MembukaMata Terhadap Cubitan

Ketiak/Penekanan Pangkal kuku. Amankan jalan nafas (Intubasi

bila tersedia), Hiperventilasi. Nilai Oksigenasi. Pastikan SaO2 >

90% (Bila tersedia). Nilai Tekanan Darah. Pastikan TDS > 90 mm

Hg

Kriteria Rawat:

1. Amnesia post traumatika jelas (lebih dari 1 jam)

2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)

3. Penurunan tingkat kesadaran

4. Nyeri kepala sedang hingga berat

Page 24: lapkas reren anestesi.docx

24

5. Intoksikasi alkohol atau obat

6. Fraktura tengkorak 

7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea (cedera kepala berat)

8. Cedera penyerta yang jelas

9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung-

jawabkan

10. CT scan abnormal

Dipulangkan dari UGD:

1. Pasien tidak memiliki kriteria rawat

2. Beritahukan untuk kembali bila timbul masalah dan jelaskan

tentang 

'lembar peringatan'

3. Rencanakan untuk kontrol dalam 1 minggu

Majoritas pasien yang datang ke UGD dengan cedera

kepala berada pada kategori ini. Pasien dalam keadaan bangun

saat diperiksa dokter namun mungkin amnestik atas kejadian

sekitar saat cedera. Mungkin terdapat riwayat kehilangan

kesadaran sebentar yang mungkin dikacaukan oleh alkohol atau

intoksikans lain. 3% pasien secara tidak disangka memburuk dan

gawat neurologis bila kelainan status mentalnya tidak segera

diketahui. 

Sinar-x tengkorak dilakukan untuk mencari keadaan : fraktura

tengkorak linear atau depressed, posisi kelenjar pineal bila

mengalami kalsifikasi, level air-udara dalam sinus, pneumosefalus,

fraktura fasial, dan benda asing, mengikuti panel yang dirancang

berdasarkan pada tingkat risiko:

1. Untuk kelompok dengan risiko rendah, dengan tanda-tanda dan

gejala-gejala minimal seperti nyeri kepala, pusing, atau laserasi

kulit kepala : pulangkan kelingkungan yang dapat dipertanggung-

jawabkan untuk pengamatan, dengan tidak memerlukan

radiografi tengkorak.

Page 25: lapkas reren anestesi.docx

25

2. Untuk kelompok dengan risiko sedang, dengan muntah,

intoksikasi alkohol atau obat, amnesia post traumatika, atau

tanda-tanda fraktura basiler atau depressed : pengamatan ketat,

pertimbangan untuk CT scan atau radiografi foto polos serta

konsultasi bedah saraf.

3. Untuk kelompok dengan risiko tinggi, dengan gejala-gejala

serius seperti tingkat kesadaran yang tertekan atau menurun,

tanda-tanda neurologis fokal atau cedera tembus : konsultasi

bedah saraf dan CT scan emergensi.

Tiga perempat pasien cedera kepala tidak memerlukan sinar-x

tengkorak, tidak berarti menyingkirkan pertimbangan klinis.

Tanda klinis basis yang fraktur, hematoma orbital, rhinorrhea

atau otorrrhea CSS, hemotimpanum, atau tanda Battle, harus

dianggap bukti fraktura basal dan mengharuskan pasien untuk

dirawat.

Idealnya, CT scan dilakukan pada semua pasien, walau

prakteknya serta biayanya, tidak mungkin. Bila pasien alert serta

dibawah pengawasan selama 12-24 jam, dapat ditunda atau bila

perlu dibatalkan. 

Tidak ada obat-obatan yang dianjurkan kecuali analgesik non

narkotik seperti parasetamol. Toksoid tetanus diberikan bila

terdapat luka terbuka. Tes darah rutin tidak perlu bila tidak ada

cedera sistemik. 

Cedera kepala ringan dengan CT scan normal dipulangkan bila

ada yang bertanggung jawab dirumah dan dengan menyertakan

'lembar peringatan' untuk menempatkan pasien dalam

pengamatan ketat sekitar 12 jam dan kembali bila sesuatu terjadi.

Bila tidak memiliki relasi yang bertanggung-jawab, pasien tetap di

UGD 12 jam dengan pemeriksaan neurologis setiap setengah jam

dan kemudian dipulangkan bila stabil.

Bila ditemukan lesi pada CT scan, pasien harus dirawat dan

Page 26: lapkas reren anestesi.docx

26

dikelola sesuai perjalanan neurologisnya. CT scan berikutnya bila

terjadi perburukan neurologis.

CEDERA KEPALA SEDANG

Definisi: Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap

mampu untuk mengikuti perintah sederhana (SKG 9-13).

Pengelolaan:

Di Unit Gawat Darurat:

1. Riwayat: jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran,

perdarahan 

hidung / mulut / telinga, kejang

2. Pemeriksaan umum guna menyingkirkan cedera sistemik

3. Pemeriksaan neurologis

4. Radiograf tengkorak bila diduga trauma tembus

5. Radiograf tulang belakang leher dan lain-lain bila ada indikasi

6. Kadar alkohol darah dan skrining toksik dari urin 

7. Contoh darah untuk penentuan golongan darah

8. Tes darah dasar dan EKG

9. CT scan kepala

10. Rawat untuk pengamatan bahkan bila CT scan normal

Setelah dirawat:

1. Pemeriksaan neurologis setiap setengah jam

2. CT scan bila ada perburukan neurologis

Walau pasien ini tetap mampu mengikuti perintah sederhana,

mereka dapat memburuk secara cepat. Karenanya harus ditindak

hampir seperti halnya terhadap pasien cedera kepala berat, walau

mungkin dengan kewaspadaan yang tidak begitu akut terhadap

urgensi.

CEDERA KEPALA BERAT

Definisi: Pasien tidak mampu mengikuti bahkan perintah

sederhana karena gangguan kesadaran (SKG ≤ 8). (Tidak

termasuk disini kelompok cedera kepala berat dengan GCS > 8).

Page 27: lapkas reren anestesi.docx

27

PENGELOLAAN INISIAL CEDERA KEPALA BERAT

Prioritas pertama pada pasien cedera kepala adalah resusitasi

fisiologis yang lengkap dan cepat. Tidak ada tindakan spesifik

untuk hipertensi intrakranial yang tidak disertai tanda-tanda

herniasi tentorial atau perburukan neurologis progresif yang tidak

diakibatkan oleh kelainan ekstrakranial. Bila tanda-tanda herniasi

transtentorial atau perburukan neurologis yang bukan disebabkan

kelainan ekstrakranial tampil, pikirkan bahwa hipertensi

intrakranial terjadi dan segera tindak dengan agresif.

Hiperventilasi segera lakukan. Mannitol disukai namun dibawah

keadaan resusitasi cairan yang adekuat.

Sedasi dan blok neuromuskuler dapat berguna untuk

mengoptimalkan transport, namun masing-masing mempengaruhi

pemeriksaan neurologis. Jenis sedatif terserah masing-masing

dokter. Blok neuromuskuler digunakan bila sedasi saja tidak

adekuat. Gunakan aksi pendek.

Hipertensi intrakranial berpotensi memperburuk outcome, sayang

semua jenis tindakan terhadap hipertensi intrakranial bukan saja

bisa berkomplikasi serius, namun beberapa berpengaruh langsung

terhadap resusitasi, seperti misalnya diuretika.

1). PENGELOLAAN PADA PASIEN TANPA TANDA-

TANDA 

HERNIASI

Sedasi dan relaksan farmakologis bila perlu untuk transport

seperti dijelaskan terdahulu. Mannitol profilaktik tidak diberikan

karena efek deplesi volume oleh kerja diuretiknya. Parameter

ventilatori adalah oksigenisasi optimal dan ventilasi normal.

2). PENGELOLAAN PADA PASIEN DENGAN TANDA-

TANDA 

HERNIASI

Tindakan seperti dijelaskan terdahulu. Hiperventilasi mudah

Page 28: lapkas reren anestesi.docx

28

dicapai dengan menambah tingkat ventilatori dan tidak

tergantung atau terpengaruh oleh keberhasilan resusitasi volume.

Karena hipotensi bisa berakibat perburukan neurologis dan

hipertensi intrakranial, mannitol kurang disukai kecuali resusitasi

cairan sudah tercapai. Mannitol diberikan bolus seperti telah

dijelaskan. Pasien segera ditranport.

Tujuan resusitasi adalah perbaikan volume sirkulasi, tekanan

darah, oksigenasi dan ventilasi. Tekanan intrakranial harus dijaga

tetap rendah tanpa mempengaruhi tindakan resusitasi. Mannitol

dan hiperventilasi bisa membangkitkan lagi iskemia intrakranial

atau mempengaruhi resusitasi hingga dicadangkan hanya untuk

herniasi atau perburukan seperti telah dijelaskan.

1. RESUSITASI TEKANAN DARAH DAN OKSIGENASI

Hipotensi (TDS < 90 mm Hg) atau hipoksia (apnea, sianosis, atau

saturasi oksigen < 90 % atau PaO2 < 60 mmHg) harus dimonitor

dan dicegah, atau dikoreksi segera. MAP harus dipertahankan

diatas 90 mm Hg dengan infus cairan untuk menjaga tekanan

perfusi serebral (CPP) diatas 70 mm Hg. Pasien dengan GCS < 9,

atau jalan nafas tidak dapat dipertahankan atau bagi yang tetap

hipoksemik walau suplemen oksigen diberikan, memerlukan

intubasi endotrakheal.

Cairan resusitasi seperti RL, salin normal, salin hipertonis serta

mannitol seperti pada tindakan pra rumah sakit rujukan. Sekali

monitor TIK terpasang (bila ada), manipulasi tekanan darah

disesuaikan dengan pengelolaan tekanan perfusi serebral.

Pengelolaan Inisial Cedera Kepala Berat, GCS ≤ 8

Page 29: lapkas reren anestesi.docx

29

Diagnostik / Terapi Emergensi. Evaluasi Trauma Umum.

Intubasi Endotrakheal. Resusitasi Cairan. Ventilasi (PaCO2 35

mm Hg). Oksigenasi. Sedasi. ± Paralisis Farmakologis (aksi

pendek).

Herniasi ?* ± Hiperventilasi *

Perburukan ?* ± Mannitol 1 g/kg *

* Hanya bila ada tanda-tanda herniasi atau perburukan

neurologis progresif tidak karena kelainan ekstrakranial.

2. INDIKASI MONITORING TEKANAN

INTRAKRANIAL (TIK)

Bila ada, dilakukan terhadap cedera kepala berat dengan CT

abnormal. Cedera kepala berat adalah bila GCS 3-8 setelah

resusitasi kardiopulmoner. CT abnormal adalah bila dijumpai

hematoma, kontusi (memar), edema atau sisterna basal yang

Page 30: lapkas reren anestesi.docx

30

terkompres. Bila CT normal, monitor dilakukan bila dijumpai dua

atau lebih hal berikut : usia diatas 40 tahun, posturing motor uni

atau bilateral, tekanan darah sistolik < 90 mm Hg. Monitoring

tidak rutin bagi cedera kepala ringan atau moderat, kecuali untuk

adanya lesi massa traumatika tertentu.

Sebagian kerusakan otak terjadi akibat impak trauma, namun

kerusakan sekunder bisa beberapa jam hingga beberapa hari

kemudian. Kematian dan kesakitan dapat dikurangi dengan

pengelolaan intensif seperti intubasi, transportasi, resusitasi, CT

dan evakuasi lesi massa intrakranial segera, serta perawatan ICU.

TIK (ICP) normal adalah 0-10 mm Hg (0-136 mm air). Umumnya

diatas 20 mm Hg dianggap batas untuk mulai tindakan. Namun

tekanan perfusi serebral (CPP) lebih penting dari TIK semata.

(CPP=MAP-ICP). Monitoring TIK adalah untuk mengawasi

perfusi otak. Pada pasien hipotensif, peninggian TIK ringan saja

dapat berbahaya. Monitoring TIK saat ini tidak umum dilakukan

kecuali pada pusat cedera kepala yang besar, karena berisiko,

makan waktu, perlu tenaga terlatih dan mahal.

3. HIPERVENTILASI

Bila tidak ada tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial,

hiperventilasi jangka panjang (PaCO2 ≤ 25 mm Hg) setelah

cedera otak traumatika harus dicegah.

Hiperventilasi profilaktik (PaCO2 ≤ 35 mm Hg) 24 jam pertama

setelah cedera otak traumatika harus dicegah karena

memperburuk perfusi saat aliran darah serebral berkurang.

Hiperventilasi mungkin perlu untuk masa yang singkat bila

terjadi perburukan neurologis akut, atau untuk jangka yang lebih

lama pada hipertensi intrakranial yang kebal terhadap sedatif,

paralisis, drainase cairan serebrospinal dan diuretik osmotik.

4. MANNITOL

Efektif mengontrol peninggian tekanan intrakranial pada cedera

Page 31: lapkas reren anestesi.docx

31

kepala berat dengan dosis 0,25-1 g/kg BB. Indikasi adalah herniasi

transtentorial dan perburukan neurologis yang bukan disebabkan

kelainan ekstrakranial. Cegah hipovolemik dengan penggantian

cairan. Osmolalitas serum harus dibawah 320 mOsm/l agar tidak

terjadi gagal ginjal. Euvolemia dipertahankan dengan

penggantian cairan adekuat. Kateter foley sangat penting. Bolus

intermitten lebih efektif dibanding infus kontinu.

Mannitol penting pada pasien cedera kepala, terutama fase akut

bila diduga atau nyata ada peninggian tekanan intrakranial.

5. BARBITURAT

Dosis tinggi dipertimbangkan bagi pasien cedera kepala berat

dengan hipertensi intrakranial dan hemodinamik stabil, yang

refrakter terhadap tindakan medis atau bedah untuk menurunkan

tekanan intrakranial. Namun risiko dan komplikasi membatasi

penggunaannya bagi keadaan yang ekstrim dan dilakukan dengan

memonitor hemodinamik secara ketat untuk mencegah atau

menindak ketidakstabilan hemodinamik. Pentobarbital diberikan

dengan dosis awal (loading) 10 mg/kg dalam 30 menit atau 5

mg/kg setiap jam untuk 3 pemberian, diikuti dosis pemeliharaan 1

mg/kg/jam. Tidak diberikan untuk profilaksi. Bila dilakukan

koma barbiturat, awasi saturasi oksigen arteriovenosa karena

beberapa pasien bisa mengalami hipoksia otak.

6. STEROID

Steroid termasuk methilprednisolon tidak terbukuti bermanfaat

memperbaiki outcome atau menurunkan tekanan intrakranial,

karenanya tidak dianjurkan.

7. ANTI KEJANG PROFILAKTIF

Dianjurkan pada kasus dengan risiko kejang tinggi :

GCS < 10.

Kontusi (memar) kortikal, lihat dari CT.

Fraktur tengkorak terdepres.

Page 32: lapkas reren anestesi.docx

32

Hematoma subdural.

Hematoma epidural.

Hematoma intraserebral.

Cedera tembus tengkorak.

Kejang dalam 24 jam sejak cedera.

Alasan pemberian anti kejang adalah bahwa bahwa insidens

kejang pasca trauma relatif tinggi hingga pemberian anti kejang

akan memberikan manfaat karena kejang akan meninggikan

tekanan intrakranial, perubahan tekanan darah, perubahan

pengangkutan oksigen, dan meningkatkan pelepasan

neurotransmiter. Kejang juga berakibat cedera aksidental, efek

psikologis serta hilangnya kemampuan kontrol. Dipercaya bahwa

pencegahan kejang dini mencegah epilepsi kronik karena terbukti

kejang pertama membentuk fokus kejang permanen. Namun anti

kejang juga mempunyai berbagai efek samping hingga hanya

diberikan pada keadaan tsb. dan diberikan tidak lebih dari satu

minggu. Berikan Fenitoin atau carbamazepin seperta pra rumah

sakit.

8. INDIKASI OPERASI

Lesi massa harus dioperasi bila pergeseran garis tengah 5 mm

atau lebih. Setiap pergeseran dapat dilihat pada CT scan,

angiografi, atau ventrikulografi. Semua hematoma epidural,

subdural, atau intraserebral yang mempunyai pergeseran garis

tengah 5 mm atau lebih harus dievakuasi secara operatif.

Hematoma kecil dengan pergeseran ringan tanpa kelainan

neurologi, lakukan pendekatan konservatif, namun bisa terjadi

perburukan, dan pengamatan yang ketat sangat diperlukan. Bila

terjadi perburukan, CT ulang harus dilakukan segera.

Semua lesi massa dengan pergeseran 5 mm atau lebih harus

dioperasi, kecuali pasien dalam mati otak. Dasar pemikiran ini

adalah terbukti bahwa beberapa pasien dengan pupil yang non

Page 33: lapkas reren anestesi.docx

33

reaktif bilateral, gangguan respons okulosefalik, dan postur

deserebrasi sekalipun dapat mengalami perbaikan. 

Pasien kontusi dengan sisterna basal terkompres memerlukan

operasi segera. Hematoma lobus temporal besar ( lebih dari 30 cc)

mengharuskan operasi dini.

Bila CT scan tidak dapat dilakukan segera, keputusan operasi

berdasarkan ventrikulografi dan pengamatan TIK. Dari

angiogram, temuan berikut ini indikasi operasi :

1. Massa intra atau ekstra aksial menyebabkan pergeseran

pembuluh 

serebral anterior menyeberang garis tengah sejauh 5 mm atau

lebih.

2. Massa ekstra aksial lebih dari 5 mm terhadap tabula interna,

bila ia 

berhubungan dengan pergeseran arteri serebral anterior atau

media 

berapapun jauhnya.

3. Massa ekstra aksial bilateral lebih dari 5 mm terhadap tabula 

interna. Kecuali untuk pasien dengan atrofi otak yang jelas, setiap 

massa intrakranial akan menyebabkan peninggian TIK.

4. Massa lobus temporal menyebabkan pengangkatan arteria

serebral 

media atau pergeseran garis tengah. Pasien ini berada dalam

posisi 

paling berbahaya, karena pembengkakan ringan dapat

menyebabkan 

herniasi tentorial dengan sangat cepat.

Indikasi operasi emergensi lain adalah bila terjadi interval lucid

serta bila terjadi herniasi unkal (pupil / motorik tidak ekual) bila

CT tidak tersedia, fraktura terdepres terbuka, dan fraktura

terdepres tertutup yang lebih dari 1 tabula atau lebih dari satu

Page 34: lapkas reren anestesi.docx

34

sentimeter kedalamannya. Operasi juga dipertimbangkan bila

pergeseran garis tengah serta massa ekstra aksial yang kurang

dari 5 mm namun mengalami perburukan atau sisterna basal

terkompres. Operasi tidak dilakukan bila telah terjadi mati

batang otak.

Jalur kritis Mengatasi Hipertensi Intrakranial

Pasang Monitor TIK (bila ada). Pertahankan CPP > 70 mm

Hg.

Hipertensi Intrakranial? Ambang tindakan 20-25 mm Hg atau

secara klinis (lihat teks).

Kandidat operasi segera dibawa keruang operasi. Bila

tidak, pasien dibawa ke ICU. Bila pasien memiliki lesi massa,

mannitol (1 hingga 2 g/kg) harus diberikan dalam perjalanan

keruang operasi. Sebagai tambahan, pasien dapat dihiperventilasi

hingga didapat PCO2 arterial 25 hingga 30 mmHg. Untuk semua

tindakan, waktu adalah essensi. Makin cepat lesi massa

dievakuasi, makin besar kemungkinan untuk pemulihan yang

lebih baik. 

Page 35: lapkas reren anestesi.docx

35

JALUR KRITIS DALAM MENGATASI HIPERTENSI

INTRAKRANIAL

Algoritma dibuat dengan mempertimbangkan manfaat dan risiko.

Beberapa tindakan dilakukan bersamaan segera. Termasuk

mengontrol suhu tubuh, pencegahan kejang, peninggian kepala

tempat tidur, pencegahan obstruksi vena juguler, sedasi dengan

atau tanpa paralisis, mempertahankan oksigenasi arterial yang

adekuat, serta resusitasi volume lengkap hingga tekanan perfusi

serebral 70 mm Hg atau lebih. 

Bila kateter ventrikuler digunakan, drainase cairan serebrospinal

harus merupakan tindakan pertama menurunkan tekanan

intrakranial. Ventilasi dilakukan dengan PaCO2 pada batas

bawah eukapnia (35 mm Hg). Bila gagal, pikirkan tindakan lain.

Bila drain cairan serebrospinal tidak tersedia, tingkat ventilasi

ditingkatkan hingga PaCO2 30-35 mm Hg, 0-5 mm Hg dibawah

ambang bawah eukapnia. Bila ada, lakukan monitor aliran darah

serebral dan saturasi vena juguler bila hiperventilasi ditingkatkan.

Bila hipokapnia ringan tidak efektif, berikan mannitol dengan

batas osmolalitas serum 320 mOsm/l. Volume diamati ketat dan

dipertahankan euvolemia atau hipervolemia ringan dengan

penggantian cairan. Selama tindakan tetap waspada akan

kemungkinan terjadinya massa yang perlu tindakan bedah.

Bila tindakan tsb. gagal, pikirkan pilihan sekunder yang terbukti

efektif namun dengan komplikasi nyata seperti barbiturat, atau

yang efektif namun belum terbukti memperbaiki outcome seperti

hiperventilasi hingga PaCO2 dibawah 30 mm Hg serta terapi

hipertensif.

RUJUKAN

Chesnut, RM. : Evaluation and Management of Severe Closed

Head Injury. In : George T. Tindall, ed. The Practice of

Neurosurgery. Baltimore : Williams and Wilkins, 1996. 1401-1424.

Page 36: lapkas reren anestesi.docx

36

Austin, RT. : Head Injury. In : George T. Tindall, ed. The Practice

of Neurosurgery. Baltimore : Williams and Wilkins, 1996. 1611-

1622.

Narayan, RK. : Head Injury. In : Robert G Grossman, ed.

Principles of Neorosurgery. New York : Raven Press, 1991. 235-

291.

Guidelines for Prehospital Management of Traumatic Brain

Injury. Brain Trauma Fondation, New York. © 2000, Brain

Trauma Fondation.

Management and Prognosis of severe traumatic head injury. Part

I : Guidelines for the Management of Severe Traumatic Brain

Injury. A joint project of the Brain Trauma Fondation – American

Association of Neurological Surgeons, Joint Section on

Neurotrauma and Critical Care. © 2000, Brain Trauma

Fondation.

Kelly, FD, Nikas, DL and Becker, DP : Diagnosis and Treatment

of Moderate and Severe Head Injuries in Adult. In : Youmans, ed.

Neurological Surgery. Philadelphia : WB Saunders, 1996. 1618-

1718

Tomio Ohta : Head Injury. In : Tomio Ohta, ed. Illustrated

Neurosurgery. Kyoto : Kinpodo, 1996. 51-81.

BAB III

PENYAJIAN KASUS

Tn. S 27 tahun datang ke Rumah sakit dengan keluhan utama muntah

Primary survey

Page 37: lapkas reren anestesi.docx

37

Airway

Penilaian : Bersih, tidak ada sumbatan

Breathing

Penilaian : Pernafasan 20 x/ menit

Circulation

Penilaian : Nadi 92 kali/menit, reguler, akral hangat, CRT <2 detik,

Disability

GCS 15, pupil isokor, refleks cahaya positif

Exposure

Hematoma oksipital

Prioritas 3

Secondary survey

Nama : Tn.S

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 27 tahun

Alamat : Jl. Sepakat 1

Pekerjaan : Swasta

Keluhan utama

Muntah

Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang dengan keluhan muntah yang berisi cairan yang dirasakan

timbul secara mendadak, pasien muntah lebih dari 10 kali setelah pasien

bangun dari pingsan akibat terjatuh dengan kepala bagian belakang

membentur semen. Diantara muntah pasien masih dapat minum air putih.

pasien saat ini mengeluhkan nyeri kepala dan pusing berputar serta benjol

dibagian kepala yang terbentur

Rasa pusing menghilang ketika pasien menutup mata

Pemeriksaanfisik

Status Generalis

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos Mentis E4V5M6

Page 38: lapkas reren anestesi.docx

38

TTV :

RR : 20 x/menit

HR : 92 x/menit

TD : 120/80 mmHg

Suhu : 36,3 C

Paru

pengembangan dada simetris, fremitus taktil normal, sonor

Jantung

Batas jantung dalam batas normal

Ictus cordis teraba di SIC 5 MCS

S1/S2 regular

Gallop (-) Murmur (-)

Abdomen

Datar, jaringan parut (-), BU (+) 8x/menit, Timpani, Massa(-)

hepar lien tidak teraba, soefl

NT Abdomen (-)

Ekstremitas: akral hangat, crt < 2”, pitting edema (-)

BAB IV

PEMBAHASAN

Seorang pasien datang ke RS Anton soedjarwo dengan keluhan muntah yang

berisi cairan yang dirasakan timbul secara mendadak, pasien muntah lebih dari 10

kali setelah pasien bangun dari pingsan akibat terjatuh dengan kepala bagian

belakang membentur semen. Diantara muntah pasien masih dapat minum air

Page 39: lapkas reren anestesi.docx

39

putih. pasien saat ini mengeluhkan nyeri kepala dan pusing berputar serta benjol

dibagian kepala yang terbentur. Rasa pusing menghilang ketika pasien menutup

mata

Pasien ini berumur 27 tahun dengan keluhan berupa luka putus jari-jari

tangan kiri, dengan diagnosis Vulnus amputatum a.r digiti II, III, IV phalange

proksimal dan a.r digiti V phalange medial sinistra Untuk menentukan teknik

atau prosedur yang akan dilakukan selama proses anestesi maka dilakukan

anamnesis dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang sebelum proses

anestesi dilakukan.

Dari data anamnesis yang dilakukan terhadap pasien, pasien menyangkal

adanya riwayat alergi serta penyakit sistemik seperti diabetes mellitus, hipertensi,

asma atau sesak napas serta penyakit jantung. Namun pasien mengaku pernah

menderita Gastritis yang sudah lama tidak kambuh. Penilaian riwayat penyakit ini

penting untuk mengetahui pemilihan obat apa yang tepat serta mempertimbangkan

pemilihan teknik anestesi untuk mengurangi kemungkinan terburuk, baik selama

operasi maupun pasca operasi.

Selain anamnesis, dilakukan pemeriksaan fisik pada pasien dan didapatkan

keadaan dalam batas normal, baik tanda-tanda vital, keadaan mulut dan leher,

thorax, abdomen maupun ekstremitas. Berdasarkan klasifikasi dari ASA , pasien

ini termasuk dalam ASA I dimana pasien dalam keadaan sehat, kelainan bedah

terlokalisir tanpa adanya kelainan sistemik lainnya.

Pada pasien dipilih untuk dilakukan tindakan anestesi umum dengan

intubasi endotrakeal napas terkendali dengan pertimbangan gagalnya metode

anestesi blok. Keuntungan dari tindakan ini antara lain: jalan nafas yang aman dan

terjamin karena terpasang ETT, pasien akan merasa lebih nyaman karena dalam

keadaan tertidur dan terhindar dari trauma terhadap operasi serta kondisi pasien

lebih mudah dikendalikan sesuai dengan kebutuhan operasi, dimana pada operasi

ini pasien dalam keadaan supinasi.

Untuk mencapai trias anestesi yaitu , hypnosis, analgesi dan relaksasi otot

maka setelah dipasang jalur intravena dengan cairan RL (ringer Laktat) sebagai

loading mulai dimasukkanlah obat-obat premedikasi, midazolam 5 mg bertujuan

Page 40: lapkas reren anestesi.docx

40

untuk memberikan efek sedasi dan amnesia retrograde, fentanyl 3cc sebagai

analgetik opioid, propofol 40 mg sebagai obat induksi anestesia, muscle relaksan

dengan golongan non-depolarisasi jenis intermediete acting yaitu atrakurium dosis

20 mg. Sebagai obat anestesi maintenance diberikan isofluran 1,5 vol % dengan

tambahan O2 2 lpm dan N2O 2 lpm.

Setelah operasi selesai, pasien segera diperiksa nilai kesadarannya

menggunakan Aldrette score. Penilaian tersebut mencakup penilaian terhadap

kesadaran, warna kulit, aktivitas, kardiovaskuler dan respirasi.

Nilai 2 1 0

Kesadaran Sadar, orientasi

baik

Dapat

dibangunkan

Tak dapat

dibangunkan

Warna kulit Merah muda

Tanpa O2

SaO2>92%

Pucat atau

kehitaman

Perlu O2 agar

SaO2 > 90

Sianosis

Dengan O2

SaO2 tetap < 90

Aktivitas 4 ekstremitas

bergerak

2 ekstremitas

bergerak

Tak ada yang

bergerak

Respirasi Dapat napas

dalam

Batuk

napas dangkal

sesak napas

apneu atau

obstruksi

Kardiovaskuler tekanan darah

berubah < 20%

Berubah 20-30

%

berubah 50 %

Pasien ini mendapat nilai 9/10 yang berarti pasien dapat dipindahkan ke ruang

perawatan.

Pemberian obat-obatan analgesik tetap dilanjutkan hingga pasien kembali

di ruangan untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri pada luka pasca operasi. Selain

obat-obatan, terapi cairan juga diberikan secara tepat untuk mengoreksi

kehilangan darah selama operasi.

a. Defisit cairan karena puasa 6 jam 2 x 45 x 6 = 540 cc

Page 41: lapkas reren anestesi.docx

41

b. Kebutuhan cairan selama operasi (2 jam 45 menit) = kebutuhan dasar

selama operasi + kebutuhan operasi (2 x 45x 2,75) + (6 cc x45 x 2,75) =

247,5 cc + 742,5 cc = 990 cc

c. Perdarahan yang terjadi kira-kira 250 cc

EBV = 70 cc x 45 = 3150 cc.

Darah yang hilang = 250/3150 x 100% = 7,9 % EBV

Bila perdarahan 10% dari EBV maka dapat diberikan kristaloid subsitusi

dengan perbandingan 1 : 2-4 ml cairan kristaloid. Jadi pada pasien ini :

= 1 : 2-4 ml

= 250 : 500 cc – 1000 cc kristaloid

Jadi perdarahan saat operasi yang keluar sekitar 250 cc dapat diganti

dengan kristaloid sebesar 500 cc-1000 cc

d. Kebutuhan cairan total = 540 +990 + (500-1000) =2030cc – 2530 cc

e. Cairan yang sudah diberikan

- Pra anestesi = 500 cc

- Saat operasi = 1500 cc

f. Total cairan yang masuk = 2000 cc

Jadi kekurangan cairan sebesar 30 cc – 530 cc, maka penambahan cairan

masih diperlukan saat pasien dibangsal ditambah kebutuhan cairan per hari

selama 24 jam.

g. Terapi cairan pasca bedah

Memenuhi kebutuhan air, elektrolit nutrisi

Melanjutkan penggantian defisit pre operatif dan durante operatif

Koreksi gangguan keseimbangan karena terapi cairan

Kebutuhan elektrolit anak dan dewasa

Na+ = 2 - 4 mEq / kgBB

= (2 x 45) – (4 x 45) = 90 – 180 mEq

Page 42: lapkas reren anestesi.docx

42

K+ = 1 – 2 mEq / kgBB

= (1 x 45) – (2x45) = 45 – 90 mEq

DAFTAR PUSTAKA

Pike, Rockville. 2001. Amputation- Traumatic.

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000006.html

Reksoprodjo, Soelarto, dalam Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah “amputasi”. Jakarta,

Binarupa Aksara Publisher.

Page 43: lapkas reren anestesi.docx

43

Samsuhidrajat R., De JongW. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC.

Joenoerham dan Latief, 2004. Anestesia Umum dalam Muhardi, M., et al. 1989.

Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif FKUI.

Undang-undang No. 3 tahun 1992