lap tut sken 6
DESCRIPTION
dsf vTRANSCRIPT
BLOK 17 :
NEUROPSIKIATRI
Tutor: dr. Dinie Ramdhani Kusuma
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MATARAM
2011
Laporan Tutorial 6
KELOMPOK 4
Skenario 6 : “KEJANG”
Lalu Kharisma Aditya
Ika Nurfitria Tauhida
Fairuz Syahfi Imam
Dwi Putri Miftahulhuda
Oktaviana Nurma
Muliastuti
Riri Kumalasari
Septia Nindi Fariani
Ni Kadek Pranita
1
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami bisa menyelesaikan laporan ini
tepat pada waktunya.
Laporan ini kami susun untuk memenuhi tugas akhir dari berbagai rangkaian kegiatan
yang kami lakukan pada tutorial ke-6 kami, dengan skenario yang berjudul “Kejang”. Secara
keseluruhan, kami melaporkan hasil yang kami peroleh pada pembahasan learning objectives,
setelah private study yang dilakukan oleh masing-masing anggota kelompok.
Kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
bantuan serta dukungan, sehingga terselesaikannya laporan ini, terutama bagi tutor kami yaitu
dr. Dinie Ramdhani Kusuma. Kami dari kelompok 4, menyadari sepenuhnya bahwa laporan
ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik serta saran
yang bersifat membangun, demi penyempurnaan laporan-laporan kami selanjutnya di masa
yang akan datang.
Mataram, 6 Juni 2011
Penyusun
KELOMPOK 4
2
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................... 1
DAFTAR ISI....................................................................................................................... 2
SKENARIO......................................................................................................................... 3
MIND MAPPING................................................................................................................ 4
LEARNING OBJECTIVES (LO)....................................................................................... 5
PEMBAHASAN
Analisis Skenario........................................................................................................... 6
Kejang pada Anak ........................................................................................................ 12
Kejang Demam.............................................................................................................. 17
Epilepsi........................................................................................................................... 28
Meningitis ...................................................................................................................... 45
Ensefalitis ..................................................................................................................... 50
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................... 56
KELOMPOK 4
3
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
SKENARIO 6
Natasa, 1 tahun, pada suatu malam dibawa orang tuanya ke UGD RSU karena kejang-
kejang. Bibirnya sampai biru, dari mulutnya keluar busa dan dia tidak sadarkan diri. Menurut
orang tua Natasa, putri mereka pertama kali mengalami kejang waktu umur Natasa 1 bulan.
Saat itu Natasa pilek dan demam tinggi. Sejak serangan kejang itu, setiap deman, Natasa
selalu kejang, dan ini sudah yang ke 8 kalinya dia kejang. Namun kejang yang saat ini,
Natasa tidak demam, dan kejangnya tidak hilang walaupun telah diberikan obat kejang dari
dokter yang dimasukkan melalui duburnya. Orang tuanya khawatir sekali dengan kondisi
Natasa, khawatir anaknya cacat otak. Mereka mengharapkan dokter memberikan pengobatan
yang akan menyembuhkan penyakit Natasa selamanya.
KELOMPOK 4
4
Natasha, 1 tahun
KEJANG-KEJANG
Kejang yang ke-8Bibir sampai biruMulut keluar busaTidak sadarkan diriTidak demamTidak hilang dengan obat kejang
RPD:1 kali kejang waktu umur 1 bulan, disertai pilek dan demam tinggi.Sejak serangan pertama, setiap demam selalu kejang.
KEJANG DEMAM
KEJANG TANPA DEMAMKemungkinan progresifitas penyakit
EPILEPSI
EVALUASI & TATALAKSANA AWAL
PENEGAKKAN DIAGNOSIS PASTI
TERAPI DEFINITIF
PROGNOSIS & KOMPLIKASI
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
MIND MAPPING
KELOMPOK 4
5
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
LEARNING OBJEKTIF
1. Perbandingan Kejang Demam dan Kejang Tanpa Demam
a. Definisi & Epidemiologi
b. Etiologi & Faktor Risiko
c. Patofisiologi
d. Gambaran Klinis & Penegakkan Diagnosis
e. Penatalaksanaan
f. Prognosis & Komplikasi
2. Analisis Skenario
KELOMPOK 4
6
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
ANALISIS SKENARIO
Berdasarkan skenario, ditemukan beberapa daftar masalah yang dapat mengarahkan
ke suatu diagnosis untuk pasien yang mengalaminya. Adapun daftar masalah yang ditemukan
adalah :
1. Kejang-kejang
2. Bibirnya biru, mulutnya keluar busa
3. Tidak sadarkan diri
4. Setiap demam selalu kejang
5. Kejangnya tidak hilang walaupun diberikan obat kejang melalui duburnya
Untuk menilai bahwa anak ini benar-benar, mengalami kejang atau hanya gejala
menyerupai kejang dapat dilihat pada table perbedaan berikut :
Mekanisme terjadinya beberapa masalah yaitu kejang-kejang, bibirnya biru, keluar
busa dari mulut, tidak sadarkan diri dapat dilihat dalam bagan berikut :
Sebelumnya perlu diketahui terlebih dahulu penyebab utama yang mengakibatkan
seseorang mengalami kejang-kejang dapat dilihat dari faktor genetik (Channelopathy, mutasi
rantai GABA Y2), faktor metabolik (hipoksia, hipoglikemi), dan faktor toksik metabolik
KELOMPOK 4
7
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
(infeksi). Di bawah ini merupakan bagan yang menjelaskan pathogenesis dari kejang yang
diawali oleh penyebab utama kejang tersebut.
Penjelasan faktor mutasi genetik untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada bagan berikut :
KELOMPOK 4
Gangguan fungsi inhibisi
Influks ion berkepanjanganFase inaktif memanjangChannelopathy
MUTASI
Eksitasi meningkat
GABA-A subunit Y2
8
Nekrosis selProtease, lipase, mitokondria
Ca2+ intrasel ↑Ca2+ influksReseptor NMDAAs.glutamat
SEL MATI
konsumsi O2 , glukosa uptake Kardiak output
Hipertensi, takikardi
30-60 mnt
Metabolism Respirasi Kardiovaskuler
KEJANG
Hipotensi , CBF
CBF
As.laktat , udem serebri
Hipoksia ATP
Suplai O2
30 menit
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
Dampak yang ditimbulkan akibat kejang yang berulang-ulang, seperti yang ada pada
pasien di skenario yaitu 8 kalinya dia mengalami kejang adalah :
1. Dampak yang terjadi pada otak
2. Dampak yang terjadi di sistemik
Dampak kejang pada otak inilah yang menimbulkan pasien tidak sadar, sedangkan
untuk gejala pasien bibirnya biru dapat dilihat pada mekanisme dampak yang ditimbulkan
kejang secara sistemik. Untuk keluarnya busa dari mulut dapat terjadi karena pasien
mengalami kejang (kemungkinan kejang tonik) maka saliva yang ada di dalam mulut pasien
diduga terkocok-kocok sehingga menimbulkan saliva yang berbusa yang keluar dari mulut.
KELOMPOK 4
9
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
Hubungan demam dengan kejang terkait dengan riwayat penyakit dahulu pasien yang
menyatakan bahwa setiap demam akan selalu kejang dapat dilihat pada bagan mekanisme
berikut ini :
KELOMPOK 4
10
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
Kejang demam dicirikan kejang yang disertai dengan demam, sering pada usia 3
bulan-5 tahun, tidak ada kelainan intracranial. Patofisiologi kejang demam yang telah
dijabarkan pada bagan di atas sebenarnya sangat erat kaitannya dengan tiga factor berikut :
KELOMPOK 4
11
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
Faktor Usia
Usia 3 bulan sampai dengan 5 tahun merupakan masa development window
(umumnya < 2 tahun), yang terjadi adalah sebagai berikut :
a. Reseptor asam glutamate padat dan aktif
b. Reseptor GABA kurang aktif
c. Kadar Cortikotropin Releasing Hormon meningkat
d. Kanal Neuron Na+/K+ ATPase kurang
Semua hal ini akan mengakibatkan eksitabilitas sel neuron meningkat
sehingga terjadi kejang. Apabila diteliti dengan seksama, semua anak/balita akan
selalu melewati masa ini, namun kenapa tidak semuanya mengalami kejang? Ada
beberapa hal yang mempengaruhi tinggi atau rendahnya kejadian kejang pada anak
yang usianya < 2 tahun, factor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :
a. Non Spesifik Predispossing Factor ( NPF ) yang membedakan seseorang peka
tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap orang sebetulnya
dapat dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan dosis rangsangan berbeda-
beda.
b. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini dapat
diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas timbulnya
epileptiform activity di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi merupakan kerja sama
SED dan NPF.
c. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan
epilepsy pada penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang yang
rendah, PF dapat membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada.
Faktor demam
Hal-hal yang terjadi pada saat tubuh demam adalah sebagai berikut:
a. Peningkatan metabolism: menurunkan stok energi tubuh
b. Merusak GABA-ergik: menurunkan fungsi inhibisi
c. Peningkatan asam glutamat, penurunan glutamine
d. Peningkatan mobilitas ion Na: depolarisasi membran sel
KELOMPOK 4
12
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
Pada anak-anak yang mengalami demam, tidak semua dibarengi dengan
kejadian kejang. Jadi, ketiga hal yang telah dijelaskan sebelumnya juga berperan
penting.
Faktor genetik
Untuk mekanisme faktor genetik dapat menimbulkan demam, telah dijelaskan
pada bagan sebelumnya.
Permasalahn yang timbul pada pasien yang terakhir adalah tidak berhentinya kejang
dengan pemberian obat antikejang rectal (kemungkinan diazepam rektal) ini kemungkinan
dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain sebagai berikut :
1. Diagnosis
Kemungkinan diagnosis pada pasien belum dapat dipastikan, sehingga
penanganannya pun belum dapat secara tepat diberikan. Pada pasien yang tidak
bereaksi dengan obat ini, bisa diberikan obat lain yang lebih paten dengan
memperhatikan resiko keuntungan dan kerugiannya
2. Drugs
Sama halnya dengan diagnosis. Apabila diagnosis belum ditegakkan secara
pasti, obatnya pun belum dapat diberikan secara pasti.
3. Dosage
Jika diagnosis dan obatnya telah tepat diberikan, kadang kala hal yang dapat
menimbulkan obat itu tidak dapat bereaksi adalah tingkat pemberiannya atau yang
disebut dosis obat tidak maksimal. Oleh karena itu, pada pasien di scenario, apabila
belum menimbulkan efek bisa diberi pengulangan dosis dengan cara yang sama
ataupun yang berbeda.
Untuk hasil kesimpulan dari analisis scenario 6 ini, dilihat dari penjabaran assessment
yang telah dijelaskan di atas, diagnosis differential yang paling mungkin adalah Epilepsi dan
Kejang Demam dengan etiologi yang belum dapat ditentukan karena keterbatasan informasi
yang diberikan pada skenario.
KEJANG PADA ANAK
KELOMPOK 4
13
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
Kejang merupakan suatu manifestasi klinis yang sering dijumpai di ruang gawat
darurat. Hampir 5% anak berumur di bawah 16 tahun setidaknya pernah mengalami sekali
kejang selama hidupnya. Kejang penting sebagai suatu tanda adanya gangguan neurologis.
Keadaan tersebut merupakan keadaan darurat. Kejang mungkin sederhana, dapat berhenti
sendiri dan sedikit memerlukan pengobatan lanjutan, atau merupakan gejala awal dari
penyakit berat, atau cenderung menjadi status epileptikus.
Tatalaksana kejang seringkali tidak dilakukan secara baik. Karena diagnosis yang
salah atau penggunaan obat yang kurang tepat dapat menyebabkan kejang tidak terkontrol,
depresi nafas dan rawat inap yang tidak perlu.
Langkah awal dalam menghadapi kejang adalah memastikan apakah gejala saat ini
kejang atau bukan. Selanjutnya melakukan identifikasi kemungkinan penyebabnya.
Patofisiologi
Kejang adalah manifestasi klinis khas yang berlangsung secara intermitten dapat
berupa gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik, dan atau otonom yang
disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang berlebihan di neuron otak. Status epileptikus
adalah kejang yang terjadi lebih dari 30 menit atu kejang berulang lebih dari 30 menit tanpa
disertai pemulihan kesadaran.
Mekanisme dasar terjadinya kejang adalah peningkatan aktifitas listrik yang
berlebihan pada neuron-neuron dan mampu secara berurutan merangsang sel neuron lain
secara bersama-sama melepaskan muatan listriknya. Hal tersebut diduga disebabkan oleh:
1. Kemampuan membran sel sebagai pacemaker neuron untuk melepaskan muatan
listrik yang berlebihan
2. Berkurangnya inhibisi oleh neurotransmitter asam gama amino butirat (GABA)
3. Meningkatnya eksitasi sinaptik oleh transmitter asam glutamat dan aspartat melalui
jalur eksitasi yang berulang
Status epileptikus terjadi oleh karena proses eksitasi yang berlebihan berlangsung
terus menerus, di samping akibat ilnhibisi yang tidak sempurna.
Kriteria Kejang
KELOMPOK 4
14
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
Diagnosis kejang ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan penunjang,
sangat penting membedakan apakah serangan yang terjadi adalah kejang atau serangan yang
menyerupai kejang. Perbedaan diantara keduanya adalah sebagai berikut:
Klasifikasi
Setelah diyakini bahwa serangan ini adalah kejang, selanjutnya perlu ditentukan
jenis kejang. Saat ini klasifikasi kejang yang umum digunakan adalah berdasarkan Klasifikasi
International League Against Epilepsy of Epileptic Seizure (ILAE) 1981, yaitu sebagai
berikut:
KELOMPOK 4
15
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
Etiologi
Langkah selanjutnya, setelah diyakini bahwa serangan saat ini adalah kejang
adalah mencari penyebab kejang. Penentuan faktor penyebab kejang sangat menentukan
untuk tatalaksana selanjutnya, karena kejang dapat diakibatkan berbagai macam etiologi.
Adapun etiologi kejang yang tersering pada anak yaitu sebagai berikut :
Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik diperlukan untuk memilih
pemeriksaan penunjang yang terarah dan tatalaksana selanjutnya. Anamnesis dimulai dari
riwayat perjalanan penyakit sampai terjadinya kejang, kemudian mencari kemungkinan
adanya faktor pencetus atau penyebab kejang. Ditanyakan riwayat kejang sebelumnya,
kondisi medis yang berhubungan, obat-obatan, trauma, gejala-gejala infeksi, keluhan
neurologis, nyeri atau cedera akibat kejang.
Pemeriksaan fisik dimulai dengan tanda-tanda vital, mencari tanda-tanda trauma
akut kepala dan adanya kelainan sistemik, terpapar zat toksik, infeksi, atau adanya kelainan
neurologis fokal. Bila terjadi penurunan kesadaran diperlukan pemeriksaan lanjutan untuk
mencari faktor penyebab.
Untuk menentukan faktor penyebab dan komplikasi kejang pada anak, diperlukan
beberapa pemeriksaan penunjang yaitu, laboratorium, pungsi lumbal, elektroensefalografi,
dan neuroradiologi. Pemilihan jenis pemeriksaan penunjang disesuaikan dengan kebutuhan.
Pemeriksaan yang dianjurkan pada pasien dengan kejang pertama adalah kadar glukosa
darah, elektrolit, dan hitung jenis.
KELOMPOK 4
16
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
Tatalaksana
Status epileptikus pada anak merupakan suatu kegawatan yang mengancam jiwa
dengan resiko terjadinya gejala sisa neurologis. Makin lama kejang berlangsung makin sulit
menghentikannya, oleh karena itu tatalaksana kejang umum yang lebih dari 5 menit adalah
menghentikan kejang dan mencegah terjadinya status epileptikus.
Penghentian Kejang
0 - 5 menit
Yakinkan bahwa aliran udara pernafasan baik
Monitoring tanda vital, pertahankan perfusi oksigen ke jaringan, berikan oksigen
Bila keadaan pasien stabil, lakukan anamnesis terarah, pemeriksaan umum dan
neurologi secara cepat
Cari tanda-tanda trauma, kelumpuhan fokal, dan tanda-tanda infeksi
5 – 10 menit
Pemasangan akses intarvena
Pengambilan darah untuk pemeriksaan darah rutin, glukosa, elektrolit
Pemberian diazepam 0,2 – 0,5 mg/kgbb secara intravena, atau diazepam rektal 0,5
mg/kgbb (berat badan < 10 kg = 5 mg; berat badan > 10 kg = 10 mg)
Dosis diazepam intravena atau rektal dapat diulang satu – dua kali setelah 5–10 menit
Jika didapatkan hipoglikemia, berikan glukosa 25% 2ml/kgbb
10 – 15 menit
Cenderung menjadi status konvulsivus
Berikan fenitoin 15 – 20 mg/kgbb intravena diencerkan dengan NaCl 0,9%
Dapat diberikan dosis ulangan fenitoin 5 – 10 mg/kgbb sampai maksimum dosis 30
mg/kgbb
30 menit
Berikan fenobarbital 10 mg/kgbb, dapat diberikan dosis tambahan 5-10 mg/kg dengan
interval 10 – 15 menit
Pemeriksaan laboratorium sesuai kebutuhan, seperti analisis gas darah, elektrolit, gula
darah. Lakukan koreksi sesuai kelainan yang ada. Awasi tanda-tanda depresi
pernafasan
KELOMPOK 4
17
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
Bila kejang masih berlangsung siapkan intubasi dan kirim ke unit perawatan intensif
Algoritma Penanganan Kejang
KELOMPOK 4
18
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
KEJANG DEMAM
Epidemiologi
Insidensi prevalensi dan rekurensi secara umum
Sekitar 2-4% anak mengalami satu atau lebih episode kejang demam pada usia lima
tahun. Beberapa penelitian membuktikan bahwa angka kejadian terjadi lebih tinggi pada laki-
laki dibandingkan wanita. Prevalensi kejang demam di Amerika mencapai 3,5% pada kulit
putih dan 4,2% pada kulit hitam. Terdapat perbedaan angka kejadian pada letak geografis
yang berbeda, 8,3% di Tokyo sedangkan 6,9% di Finlandia.
Usia
Kejang demam lebih sering terjadi pada tahun kedua kehidupan. Anak-anak yang
memiliki risiko tinggi adalah anak usia 6 bulan dan 3 tahun. Onset usia kejang demam
bervariasi dari antara usia 2 bulan dan 7 tahun .
Tipe kejang demam
Berdasarkan studi yang dilakukan pada populasi, mencakup anak yang tidak dirawat
di rumah sakit menunjukkan bahwa serangan kejang demam awal merupakan kejang tipe
kompleks, 18 % pada Amerika, 22% pada Inggris dan 8,6% pada Scandinavia.
Rekurensi serangan
Rekurensi dalam konteks ini berarti episode kejang demam lebih dari satu episode,
sedangkan serangan multiple berarti serangan konvulsi lebih dari satu kali selama satu
episode demam. Pada penelitian yang telah dilakukan, risiko rekurensi kejang demam sebesar
34,3%. Onset pada usia muda (kurang dari 1 tahun) dan riwayat keluarga kejang demam
dapat memprediksi adanya peningkatan risiko terjadinya rekurensi. Seringkali rekurensi
terjadi selama tiga tahun pertama kehidupan.
Etiologi dan Faktor Risiko
Faktor genetik
KELOMPOK 4
19
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
Beberapa penelitian membuktikan bahwa riwayat keluarga berperan penting dalam
meningkatkan risiko terjadinya kejang demam. Kejang demam dapat diturunkan sebagai sifat
autosomal dominan. Gen kausatif belum ditemukan, namun telah diperkirakan 6 lokus yang
dicurigai sebagai etiologi gen pada kromosom 8, 19, 2, 5, 6 dan 18. Mutasi pada gen subunit
kanal sodium alfa-1, alfa-2 dan beta-1 (SCN1A dan SCN1B) and the GABA(A) receptor
gamma-2 subunit gene (GABRG2) telah diidentifikasi pada keluarga dengan epilepsy
generalisata dengan febrile seizure plus (GEFS+). Lokus genetik dari kejang demam dan
epilepsy telah ditemukan yaitu pada kromosom 328 dan kini lokus keenam dari GEFS+ telah
ditemukan pada kromosom 8p23-p2129.
Faktor prenatal
Kesehatan maternal, sub-fertilitas parental, paparan rokok dan alcohol dalam rahim
telah dikaitkan dengan kejadian kejang demam. Dari penelitian tidak ditemukan bukti yang
kuat terhadap faktor social dan maternal. Pada berbagai bentuk monogenic kejang demam
pasien memiliki peningkatan risiko terjadinya epilepsy dibandingkan dengan populasi umum.
Pasien dengan GEFS+ dapat mengalami kejang demam yang diikuti oleh serangan kejang
afebris (sering kali generalisata).
Faktor perinatal
Kehamilan abnormal atau riwayat kehamilan merupakan predisposisi kejang demam
pada anak.
Faktor presipitasi
Tingginya atau durasi dari demam berperan penting dalam kejadian kejang demam,
namun biasanya terjadi kesulitan dalam pengukuran suhu pada saat serangan karena biasanya
serangan kejang terjadi di rumah. Sintesis imunoglobuliln pada cairan serebrospinal pada
anak dengan kejang demam telah ditemukan, yang menunjukkan bahwa ensefalitis kadang
kala dapat terjadi dan tidak berhasil ditemukan. Terdapat bukti bahwa virus herpes 6
berkaitan dengan exanthem subitum, yaitu kondisi yang seringkali merupakan komplikasi
dari kejang demam. Beberapa penelitian belakangan ini menunjukkan bahwa infeksi HHV-6
akut merupakan penyebab sering terjadinya kejang demam pada anak dan sering kali tanpa
gejala exanthema subitum. Infeksi bakteri dapat pula berkaitan dengan kejang demam, seperti
infeksi saluran kemih, shigella dan pneumokokus. Anak dengan meningitis bakteri kadang
kala mengalami kejang dan penting hal ini ditentukan untuk menentukan perlunya dilakukan
KELOMPOK 4
20
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
pungsi lumbal. Telah ditemukan terjadinya peningkatan risiko kejang demam pada hari anak
tersebut mendapatkan vaksin DPT dan 8-14 hari setelah menerima vaksin MMR, namun
nampaknya tidak berkaitan dengan risiko jangka panjang terjadinya epilepsy.
Patofisiologi
Peranan demam
Telah diterima secara umum bahwa demam berperan penting dalam mencetuskan
eksitasi epileptic di otak. Pada awalnya asumsi para ahli adalah peningkatan temperature
yang mengakibatkan terjadinya hal tersebut, bukannya tinggi/rendahnya temperature. Hal itu
berdasarkan atas eksperimen pada anak kucing yang hipertermia. Demam, berbeda dengan
hipertermia dalam hal mekanisme mengakibatkan peningkatan suhu tubuh dan respon tubuh
yang diregulasi hipotalamus. Pada demam, tubuh beradaptasi pada set poin baru dan akan
menghasilkan panas untuk meningkatkan temperature tubuh. Pada hipertermia, temperature
tubuh meningkat diatas set poin dan tubuh merespon dengan berkeringat untuk menurunkan
temperature ke bawah set poin. Pada penelitian lain, Millichap secara kimia menginduksi
peningkatan suhu tubuh dan menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara rasio
peningkatan temperature dengan risiko kejang demam. Penelitian selanjutnya membuktikan
bahwa terdapat korelasi antara tingginya demam dibandingkan dengan kecepatan
peningkatan suhu pada kejang demam.
Peningkatan risiko terjadinya kejang pada anak terkait dengan imaturitas otak pada
anak tersebut.Kerentanan seseorang terhadap serangan kejang ditentukan oleh ambang kejang
yang bervariasi pada setiap individu. Ambang ini biasanya lebih tinggi pada anak-anak dan
lansia. Ambang kejang dapat didefinisikan sebagai keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi
neuron. Gangguan dari keseimbangan inilah yang akan mengakibatkan kejang. Dari
penelitian dengan menggunakan mencit, ditemukan bahwa pada mencit yang diinduksi
hipertermia, terjadin peningkatan konsentrasi glutamate pada korteks serebri dan penurunan
ambang kejang. Efek dari GABA bahkan lebih kompleks, meskipun GABA secara primer
berperan sebagai neurotransmitter inhibitori, GABA dapat membalikkan efek inhibitorinya
mengakibatkan terjadinya eksitasi. Pada penelitian yang dilakukan Chen et al, terjadi
peningkatan inhibisi GABAergik pada hipokampus, yang kemungkinan dimediasi oleh
stimulasi cAMP-dependent protein kinase ).
KELOMPOK 4
21
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
Demam sendiri dapat menginduksi terjadinya konvulsi, dan lebih sering terjadi pada
individu yang mengalami sindrom familial seperti malignan hyperthermia, hyper-IgD
syndrome dan familial Mediterranean fever.
Jadi, tingginya demam berkaitan dengan risiko terjadinya kejang demam, namun
faktor yang berperan dalam menimbulkan kejang demam tidak hanya demam saja, berkaitan
juga dengan kerentanan seseorang terhadap kejang yang dipengaruhi oleh perubahan
metabolic intracranial, genetik dan lain-lain.
Peranan sitokin
Respon demam dimediasi oleh pirogen yang diproduksi oleh sel host yang teraktivasi,
yang disebut pirogen endogen atau sitokin pirogen. Aktivasi dari host sel ini diinduksi oleh
beberapa faktor eksternal yang disebut dengan pirogen eksogen, biasanya adalah agen
infeksius, dapat berupa komponen dinding sel bakteri gram negative (lipopolisakarida) atau
bakteri gram positif (peptidoglikan), toksin bakteri, fungal mannan dan komponen glukan,
serta RNA virus. Berbagai sitokin berperan dalam respon inflamatori, termasuk TNF-α,
interleukin-1 (IL-1 α dan IL-1β), IL-6 dan interferon ϒ yang berperan utama dalam regulasi
suhu.
Area preoptikus hipotalamus merupakan area pusat pengaturan suhu. Area ini terdiri
dari neuron-neuron yang sensitive terhadap perubahan suhu inti (core temperature) tubuh.
Bagian ini juga menerima sinyal dari kemoreseptor di seluruh bagian tubuh termasuk
reseptor panas dan dingin di kulit. Sinyal ini diteruskan ke area preoptikus melalui jaras
spinotalamikus. Dengan cara inilah bagian ini dapat membandingkan suhu tubuh perifer
dengan suhu tubuh inti sehingga dapat mengontrol respon output sebagai termoregulator.
Dianggap bahwa pirogen endogen (PE) dapat mempengaruhi neuron pada regio
preoptikus. PE masuk ke sawar darah otak melalui transport aktif atau dapat masuk dengan
cara merangsang elemen sensoris di atau di dekat organum vasculosum laminae terminalis
(OVLT) yang dapat mengakibatkan transduksi sinyal, karena OVLT tidak memiliki sawar.
Penelitian membuktikan bahwa sel yang menyusun sawar darah otak memiliki reseptor
terhadap IL-1 β. Injeksi intravena dari IL-1 β dapat menginduksi COX-2 dan prostaglandin E
sintase pada sel ini, yang berarti bahwa sel ini dapat mensintesis prostaglandin E2 (PGE2).
PGE2 merupakan senyawa yang larut dalam lemak dan dapat melewati sawar darah otak. Di
dalam otak, senyawa ini dapat meningkatkan eksitabilitas neuron dan mengaktivasi sintesis
KELOMPOK 4
22
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
IL-1 β oleh microglia. Hal ini dapat menjelaskan bagaimana bisa ditemukan sitokin dalam
system saraf pusat sebagai respon terhadap inflamasi sistemik. Meskipun beberapa jaras
berperan dalam masuknya PE ke system saraf pusat, PGE2 merupakan substansi utama yang
mentransduksi sinyal ke otak. PGE2 dapat secara langsung dilepaskan dari OVLT dan
langsung mencapai region preoptik dengan melewati sawar darah otak. Jaras pirogen yang
paling langsung bukan humoral (melalui sitokin yang bersirkulasi), melainkan melalui
mekanisme neuronal (gambar 1A). Kemungkinan jaras ini dimediasi oleh neuron afferent
hepatic vagal dan melewati sekumpulan sel dependen noradrenergic, kemudian bersama
dengan serabut noradrenergic ventral ke regio preoptikus. Jaras ini dapat menjelaskan
terjadinya respon cepat dari fase awal demam. Fase kedua demam disebabkan oleh sitokin
(butuh waktu yang lebih lama).
KELOMPOK 4
23
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
Pada infeksi system saraf pusat, terjadi reaksi peradangan local (intraserebral) yang
dimediasi oleh sitokin. IL-1 dan TNF-α dapat diproduksi oleh astrosit, microglia dan sel
endotel system saraf pusat. Pada percobaan dengan mencit, ditemukan bahwa sel microglia
dan astrosit mensekresi IL-6 ketika terjadi infeksi virus stomatitis vesicular, yang akan
mengakibatkan T-cell independent acute esefalitis. Terjadi peningkatan sitokin pirogen pada
cairan serebrospinal pasien infeksi SSP, seperti meningitis bacterial dan ensefalitis akut. Pada
meningitis bacterial, TNF-α, IL-1, IL-6 dan IL-8 dapat ditemukan pada cairan serebrospinal
pada awal serangan karena terjadinya peningkatan leukosit yang akan mendukung pelepasan
KELOMPOK 4
24
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
produk ini oleh sel pada SSP. Tingginya kadar sitokin pada cairan serebrospinal dapat
dikaitkan oleh komplikasi neurologis pasien infeksi SSP, yaitu kejang.
Diagnosis
Diagnosis kejang ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Anamnesis dimulai dari riwayat perjalanan penyakit sampai
terjadinya kejang, kemudian mencari kemungkinan adanya faktor pencetus atau penyebab
kejang. Ditanyakan riwayat kejang sebelumnya, kondisi medis yang berhubungan, obat-
obatan, trauma, gejala-gejala infeksi, keluhan neurologis, nyeri atau cedera akibat kejang.
Sangat penting membedakan apakah serangan yang terjadi adalah kejang atau serangan yang
menyerupai kejang. Perbedaan diantara keduanya pada tabel berikut.
Setelah diyakini bahwa serangan ini adalah kejang, selanjutnya perlu ditentukan jenis
kejang dan mencari penyebab kejang. Penentuan faktor penyebab kejang sangat menentukan
untuk tatalaksana selanjutnya, karena kejang dapat diakibatkan berbagai macam etiologi.
Jenis kejang ditentukan berdasarkan klasifikasi kejang berikut ini.
KELOMPOK 4
25
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
Pemeriksaan fisis dimulai dengan tanda-tanda vital, mencari tanda-tanda trauma akut
kepala dan adanya kelainan sistemik, terpapar zat toksik, infeksi, atau adanya kelainan
neurologis fokal. Bila terjadi penurunan kesadaran diperlukan pemeriksaan lanjutan untuk
mencari faktor penyebab.
Untuk menentukan faktor penyebab dan komplikasi kejang pada anak, diperlukan
beberapa pemeriksaan penunjang yaitu: laboratorium, pungsi lumbal, elektroensefalografi
(EEG), dan neuroradiologi. Pemilihan jenis pemeriksaan penunjang disesuaikan dengan
kebutuhan. Pemeriksaan yang dianjurkan pada pasien dengan kejang pertama adalah kadar
glukosa darah, elektrolit, dan hitung jenis. Pemeriksaan penunjang lainnya seperti
pemeriksaan EEG tidak begitu diperlukan, terutama pada pasien kejang demam yang bersifat
simpleks. Namun pemeriksaan ini dapat membantu evaluasi pada pasien kejang demam
kompleks, dan dapat memperlihatkan resiko untuk terjadinya epilepsi setelah kejang demam.
Apabila ada tanda-tanda dehidrasi, perlu dilakukan pemeriksaan serum elektrolit dan
toxicology, untuk menyingkirkan penyebab lain dari kejang. Sedangkan, pungsi lumbal
hanya dikerjakan bila ada indikasi seperti berikut ini :
Diindikasikan pada anak dengan kejang demam dibawah usia 12 bulan.
Perlu dipikirkan pada anak usia 12 – 18 bulan dengan kejang kompleks atau
sensorium tidak membaik setelah periode postictal.
Dilakukan pada anak berusia >18 bulan bila terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP.
Tatalaksana
Tatalaksana kejang umum yang lebih dari 5 menit bertujuan menghentikan kejang dan
mencegah terjadinya status epileptikus.
a) 0 - 5 menit:
KELOMPOK 4
26
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
Yakinkan bahwa aliran udara pernafasan baik
Monitoring tanda vital, pertahankan perfusi oksigen ke jaringan, berikan oksigen
Bila keadaan pasien stabil, lakukan anamnesis terarah, pemeriksaan umum dan
neurologi secara cepat
Cari tanda-tanda trauma, kelumpuhan fokal dan tanda-tanda infeksi
b) 5 – 10 menit:
Pemasangan akses intarvena
Pengambilan darah untuk pemeriksaan: darah rutin, glukosa, elektrolit
Pemberian diazepam 0,2 – 0,5 mg/kgbb secara intravena, atau diazepam rektal 0,5
mg/kgbb (berat badan < 10 kg = 5 mg; berat badan > 10 kg = 10 mg). Dosis diazepam
intravena atau rektal dapat diulang satu – dua kali setelah 5 – 10 menit.
Jika didapatkan hipoglikemia, berikan glukosa 25% 2ml/kgbb.
c) 10 – 15 menit
Cenderung menjadi status konvulsivus
Berikan fenitoin 15 – 20 mg/kgbb intravena diencerkan dengan NaCl 0,9%
Dapat diberikan dosis ulangan fenitoin 5 – 10 mg/kgbb sampai maksimum dosis 30
mg/kgbb.
d) 30 menit
Berikan fenobarbital 10 mg/kgbb, dapat diberikan dosis tambahan 5-10 mg/kg dengan
interval 10 – 15 menit.
Pemeriksaan laboratorium sesuai kebutuhan, seperti analisis gas darah, elektrolit, gula
darah. Lakukan koreksi sesuai kelainan yang ada. Awasi tanda-tanda depresi
pernafasan.
Bila kejang masih berlangsung siapkan intubasi dan kirim ke unit perawatan intensif.
Selain tatalaksana kejang saat serangan seperti di atas, tatalaksana kejang juga dapat
dilakukan berdasarkan jenis kejang pada anak.
a. Kejang demam simpleks
Menejemen rutin untuk kejang demam simpleks adalah mencari penyebab demam, dan
edukasi terhadap orang tua. Karena kejang diinduksi oleh demam, maka penanganan
untuk mencegah kejang adalah pengontrolan demam pasien. Dalam hal ini dapat diberi
KELOMPOK 4
27
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
antipiretik, dan obat-obat lainnya untuk mengontrol demam dan mengurangi
ketidaknyamanan pasien, walaupun pemberian antipiretik ini tidak dapat mencegah
terjadinya kejang berulang. Pada kejang yang memanjang (>15 menit), dapat diterapi
dengan pemberian diazepam 0,3 mg/kg secara intramuskular atau intravena, atau 0,6
mg/kg melalui rektal.
b. Kejang demam kompleks berulang
Pada kejang kompleks yang berulang, diberikan diazepam gel perektal saat terjadinya
kejang dengan dosis 0,5 mg/kg untuk anak usia 2-5 tahun. Pemberian diazepam ini dapat
mencegah terjadinya kejang selama 12 jam.
c. Untuk mencegah rekurensi
Untuk mencegah terulangnya kejang, diberikan diazepam oral 1 mg/lg/24 jam selama
masih sakit (demam). Efek samping pemberian diazepam ini dapat berupa letargi,
iritabilitas, dan ataksia, dapat dihindari dengan penyesuaian dosis.
Prognosis Dan Komplikasi
Kematian
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, tidak ditemukan / sedikit ditemukan
kematian yang secara langsung berkaitan dengan kejang demam.
Risiko terjadinya serangan kejang afebril
Insidensi
Pada penelitian yang telah dilakukan, angka kejadian kejang tanpa demam dan atau
epilepsy bervariasi dari 7-40%.
Faktor predisposisi terjadinya serangan kejang afebril
Riwayat keluarga epilepsy
Menurut penelitian NCPP menunjukkan bahwa riwayat kejang tanpa demam
pada orang tua atau saudara akan meningkatkan risiko tiga kali lipat terhadap
epilepsy. Namun hal ini masi controversial.
Usia onset terjadinya kejang demam
KELOMPOK 4
28
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
Menurut penelitian NCPP, terdapat peningkatan rasio epilepsy pada usia 7
tahun pada anak yang kejang demamnya dimulai pada tahun pertama kehidupan
(terutama pada 6 bulan pertama kehidupan).
Status perkembangan atau neurologi abnormal
Pada penelitian yang dilakukan NCPP pada anak menunjukkan terdapat
abnormalitas neurologis atau perkembangan sebelum usia kejang demam tiga kali
lipat lebih sering untuk menjadi epilepsy pada usia 7 tahun.
Karakteristik kejang demam
Kejang afebris terjadi dengan peningkatan frekuensi setelah kejang yang
kompleks. Prognosis juga bergantung dari tipe kejang kompleksnya, apabila kejang
awal merupakan kejang yang prolong, multiple atau dengan gejala fokal,epilepsy
dapat terjadi pada 71/1000 populasi. Risiko kejang tanpa provokasi bervariasi antara
2,4% antara populasi yang mengalami kejang demam simple, 6-8% pada kejang
demam kompleks yang single, 17-22% pada kejang demam dengan dua manifestasi
kompleks dan 49% pada kejang demam dengan tiga manifestasi kompleks.
Episode kejang demam berulang
Peningkatan kejang demam berulang berkaitan dengan peningkatan risiko
terjadinya epilepsy.
Tipe kejang afebril setelah kejang demam
Kejang demam dapat mengakibatkan kerusakan pada lobus temporal, yang
mengakibatkan kejang afebril kompleks parsial. Anak dengan kejang demam
memiliki peningkatan risiko terjadinya serangan kejang afebril parsial dibandingkan
dengan generalisata. Faktor prognosis dari kejang parsial dan generalisata berbeda.
Kejang demam yang fokal, berulang dan prolong seringkali berkaitan dengan kejang
afebril parsial, dan hanya beberapa kasus yang berkaitan dengan kejang generalisata.
Gangguan neurologi
Tidak ada anak yang mengalami hemiplegic atau deficit motorik persisten langsung
setelah kejang demam asimptomatik. Pada penelitian yang dilakukan oleh CHES terhadap
398 anak yang mengalami kejang demam, 19 orang (4,8%) memiliki episode kejang > 30
menit (pada grup ini tidak terdapat klinis neurologis pada anak yang memang sebelum
KELOMPOK 4
29
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
serangan statusnya normal. Pada anak dengan status epileptikus (konvulsi hingga > 30 menit)
ditemukan bahwa tidak ada anak yang meninggal atau mengalami deficit neurologis setelah
terjadinya serangan.
Intelektual
Pada penelitian yang telah ditemukan, tidak didapatkan perbedaan IQ pada anak yang
telah mengalami kejang demam, terutama kejang dengan durasi <30 menit, namun apabila
anak tersebut tidak mengalami abnormalitas neurologi
Perilaku
Perubahan perilaku langsung / jangka pendek telah dilaporkan pada 35% kasus
setelah kejang demam
KELOMPOK 4
30
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
EPILEPSI
Epilepsi berasal dari kata Yunani “epilambanein” yang berarti “serangan” dan
menunjukkan, bahwa “ sesuatu dari luar badan seseorang menimpanya, sehingga ia jatuh”.
Epilepsy tidak dianggap sebagai penyakit, akan tetapi sebabnya diduga sesuatu di luar badan
si penderita.
Definisi
Gangguan kronik otak dengan cirri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam
serangan-serangan, berulanng-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel
saraf otak, yang bersifat reversible dengan berbagai etiologi.
Etiologi
Merupakan gejala yang dapat timbul karena suatu penyakit. Ditinjau dari
penyebabnya epilepsy dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu: 1) epilepsy primer atau
epilepsy idiopatik yang hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, dan 2) epilepsy sekunder
yang penyebabnya diketahui.
Epilepsi primer
Tidak dapat ditemukan kelainan pada jaringan otak
Kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dalam sel-sel saraf pada area
jaringan otak yang abnormal.
Gangguan keseimbangan kimiawi
Epilepsi skunder
Akibat dari adanya kelainan pada jaringan otak
Kelainan structural pada otak
Penyebab spesifik dari epilepsi
Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu
menelan obat-obatan tertentu yang dapat merusak otak janin.mengalami infeksi,
minum alcohol atau mengalami cedera (trauma) atau mendapat penyinaran.
Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang mengalir
ke otak, kerusakan karena tindakan, atau trauma lain pada otak bayi.
KELOMPOK 4
31
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
Cedera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak. Kejang-kejang
dapat timbul pada saat terjadi cedera kepala, atau baru terjadi 2-3 tahun kemudian.
Bila serangan terjadi berulang pada saat yang berlainan baru dinyatkan sebagai
epilepsy.
Tumor otak merupakan penyebab epilepsy yang tidak umum, terutama pada anak-
anak.
Radang atau infeksi. Radang selaput otak atau radang otak dapat menyebabkan
epilepsy.
Penyakit keturunan seperti fenilketonuria (FKU), sklerosis tuberose dan
neurofibromatosis dapat menyebabkan timbulnya kejang-kejang yang berulang.
Kecendrungan timbulnya epilepsy yang diturunkan. Hal ini disebabkan karena
ambang rangsang serasngan yang lebih rendah dari normal dirunkan pada anak.
Kecendrungan timbulnya epilepsy yang diturunkan biasanya terjadi pada masa
kanak-kanak. Bila salah satu orang tuanya atau saudara kandungnya menyandang
epilepsy, maka kesempatan mendapat epilepsy pada nak adalah 5%, tetapi bila
kedua orang tuanya menyandang epilepsy, maka kesempatan mendapat anak
dengan epilepsy adalah lebih besaryaitu sekitar 10%.
Gangguan metabolic : hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia, hipernatremia
Kelainan pembuluh darah, malformasi, penyakit kolagen
Keracunan: timbale (Pb), kapur barus, fenotiazin
Faktor Presipitasi
Faktor sensoris : cahaya yang berkedip-kedip, bunyi-bunyi yang mengejutkan, air
panas
Faktor sistemis: demam, penyakit infeksi, obat-obat tertentu misalnya golongan
fenotiazin, klorpropamid, hipoglikemia, kelelahan fisik.
Faktor mental : stress, gangguan emosi.
Kurang tidur: mengganggu aktivitas sel-sel otak sehingga dapat mencetuskan
serangan.
Alkohol : dapat menghilangkan factor penghambat terjadinya serangan. Biasanya
prang yang minum alcohol biasanya kurang tidur sehingga dapat meningkatkan terjadi
serangan.
KELOMPOK 4
32
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
Klasifikasi
Pengertian serangan parsial terutama didasarkan atas ada atau tidak adanya gangguan
kesadaran selama serangan. Bila kesadaran tetap baik maka serangan disebut sebagai parsial
sederhana atau simpleks. Sebaliknya, bila kesadarannya menurun maka disebut parsial
kompleks. Penurunan kesadaran dapat muncul pada awal serangan, atau parsial sederhana
dapat berkembang menjadi parsial kompleks. Pada penderita dengan penurunan kesadaran
maka dapat terjadi perubahan tingkah laku misalnya automatisme, semenntara itu, serangan
partial sderhana dapat berkembang menjadi serangan motorik umum. Serangan parsial
sederhana biasanya bersumber pada satu hemisfer dan serangan parsial kompleks seringkali
melibatkan hemisfer bilateral.
Patofisiologi
KELOMPOK 4
33
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
Menurunnya potensial membaran sel saraf akibat proses patologik dalam otak, gaya
mekanik atau toksik, yang selanjutnya menyebabkan terlepasnya muatan listrik dari sel saraf
tersebut. Gangguan lepas muatan listrik tersebut dapat disebabkan oleh berbagai keadaan
yang mempengaruhi metabolism neuron-neuron otak. Beberapa penyelidikan menunjukkan
peranan asetilkolin sebagai zat yang merendahkan potensial membrane postsinaptik dalam
hal terlepasnya muatan listrik yang terjadi sewaktu-waktu sehingga manifestasi klinisnya pun
muncul sewaktu-waktu. Bila asetilkolin sudah cukup tertimbun dipermukaan otak, maka
pelepasan muatan listrik sel-sel saraf kortikal dipermudah. Asetilkolin diproduksi oleh sel-sel
saraf kolinergik dan merembes keluar dari permukaan otak. Potensial membrane neuron
bergantung pada permeabilitas selektif membrane neuron, yakni membrane sel mudah dilalui
oleh ion Ca, Nam dan Cl, sehingga di dalam sel terdapat konsentrasi tinggi ion K dan
konsentrasi rendah ion Ca, Na dan Cl. Sedangkan keadaan sebaliknya terdapat di ruang
ekstraselular.
Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron yang ikut terkena dalam proses
sinkronisasi inilah yang secara klinik menimbulkan manifestasi yang berbeda dari jenis-
jenis serangan epilepsy dapat disimpulkan bahwa untuk timbulnya kejang sebenarnya ada
tiga kejadian yang saling terkait :
Perlu adanya “pacemaker cells” yaitu kemampuan intrinsic dari sel untuk
menimbulkan bangkitan.
Hilangnya “postsynaptic inhibitory controle” sel neuron.
Perlunya sinkronisasi dari “epileptic discharge” yang timbul
Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal, bermuatan
listrik berlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai fokus epileptogenesis (fokus pembangkit
serangan kejang).
Fokus epileptogenesis dari sekelompok neuron akan mempengaruhi neuron sekitarnya
untuk bersama dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang. bila ada
rangsangan pencetus seperti hipertermia, hipoksia, hipoglikemia, hiponatremia, stimulus
sensorik dan lain-lain.
Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang memudahkan
depolarisasi atau lepas muatan listrik atau neurotransmitter inhibisi yang menimbulkan
hipopolarisasi, sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan muatan listrik.
Diantara neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamate, aspartat dan asetilkolin,
KELOMPOK 4
34
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal adalah GABA dan Glisin. Keadaan lain
yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsy terhenti adalah kelelahan neuron-neuron
akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak, diantaranya Oksigen, ATP, keratin
fosfat dan neurotransmitter serta timbulnya zat-zat yang dapat menyebabkan inhibisi seperti
CO2, sisa-sisa metabolism dan zat asam amino.
Jenis Serangan Epilepsi
Kejang
Bentuk kejang pada epilepsy bukan hanya kejang pada seluruh tubuh. Kejang
focal dapat pula terjadi. Kejang seluruh tubuh pada umumnya terjadi pada
epilepsy grand mal. Epilepsy jenis inilah yang paling mudah dikenal. Gambaran
klasik dari epilepsy grand mal adalah sebagai berikut: penderita mendadak kejang
tonik kemudian jatuh ambruk: sifat kejang kemudian berubah menjadi tonik-
klonik yang disertai penurunan kesadaran, kejang pada otot wajah, kedua bola
mata melirik ke satu arah, napas tertahan, mulut berbuih, ngompol.
Kejang fokal dapat bersifat murni dan dapat pula merupakan awal dari kejang
umum tubuh. Kejang fokal dapat terjadi ditangan, tungkai atau otot wajah dan
leher. Seifat kejang pada umumnya mendadak.
Gangguan aktivitas dan gerakan abnormal
Serangan epilepsy dapat berupa gangguan aktivitas, gerakan abnormal atau
gerakan yang aneh. Jenis serangan ini kadang-kadang membuat orang disekitar
penderita menjadi heran atau bingung. Epilepsy petit mal atau lena adalah contoh
yang klasik. Sianak pada awalnya aktf seperti biasa tetapi kemuadian anak
tersebut berhenti aktivitasnya, badan menjadi diam, keadaan bola mata seakan
melihat sesuatu yang jauh. Keadaan ini berlangsung hanya sementara dan
beberapa detik.
Sering jatuh tanpa sebab.
Anak yang sering memukul
Dapat secara mendadak diam, kemudian kepala dimiringkan dan berputar ke satu
arah, disertai mata melirik kea rah yang sama.
Mulut berkomat kamit dan lidah berkecap-kecap
Salam epilepsy
KELOMPOK 4
35
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
Seradan.
Gangguan atau gerakan abnormal pada mata
Bola mata berkedip tidak wajar
Gerakan leher memutar kesatu arah
Kelopak mata tidak berkedip tetapi ptosis secara mendadak
Terkadang disertai nyeri kepala yang hebat dan muntah.
Nyeri
Nyeri kepala yang hebat (migren)
Nyeri ujung jari
Nyeri punggung
Nyeri didaerah ulu hati
Gangguan berbicara
Penderita mendadak terdiam
Mulut komat kamit seakan mau melanjutkan pembicaraan
Halusinasi
Kesalahan indera
Hakusinasi visual, penghiduan dan perabaan
Beberapa keadaan yang mirip dengan epilepsy
Breathholding spells : anak yang kecewa atau ketakutan mula-mula menangis dan
menghentikan pernapasannya pada saat berakhirnya ekspirasi
Night terror : gangguan tidur yang sangat mendadak
Tics : gerakan involnter yang berulang-ulang, terkoordinasi dan gerak bentuk
yang selalu sama
Syncope : hilangnya kesadaran secara mendadak yang disebabkan oleh
menurunnya aliran darah di otak.
Narcolepsy : suatu kelainan yang di cirikan oleh jatuh tertidur secara mendadak,
tak tertahankan oleh penderita, dan terjadi berulangkali.
Histeri atau pseudo-epilepsy: produk dari situasi stress yang spesifik. Kejang yang
timbul bermakna ganda.
EPILEPSI GENERAL
Dapat dibagi menjadi:
KELOMPOK 4
36
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
Absent
Penghentian aktivitas motorik atau suara dengan ekspresi kosong dengan mata
mengedip, biasanya tidak berhubungan dengan adanya aura. Paling banyak terjadi pada
wanita. Jarang juga terjadi pada usia lebih dari 5 tahun.
General Tonik-klonik
Merupakan serangan dengan kehilangan kesadaran tanpa adanya aura atau tanda
bahaya. Biasanya dengan gejala yang tidak spesifik. Terdapat beberapa fase yaitu
1) Tidak ada tanda bahaya atau peringatan.
2) Fase tonik: kehilangan kesadaran, kontraksi tonik(ekstremitas ekstensi dan
melengkungnya tubuh) selama 10-30 detik, tidak bernapas, sianosis.
3) Fase klonik: masih tidak sadar, gerakan kejang, melukai diri sendiri, inkontinesia alvi
dan urin, pernapasan yang tidak teratur.
4) Sianosis. Biasanya terjadi dalam beberapa menit.
5) Koma: tetap tidak sadar, flaksid, pernapasan teratur, perbaikan warna kulit.
6) Dalam beberapa jam akan mengalami kebingungan dan nyeri kepala.
7) Dalam beberapa hari pasien akan merasa lidahnya sakit atau adanya luka pada lidah
dan juga. sakit pada ekstermitas.
KELOMPOK 4
37
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
KELOMPOK 4
38
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
Tonik
Peningkatan mendadak tonus otot (kaku dan konstraksi) pada wajah dan tubuh
bagian atas, fleksi lengan dan tungkai. Mata dan kepala berputar ke satu sisi .juga terjadi
henti napas
Klonik
Gerakan menyentak, repetitif,tajam, lambat dan tunggal atau multipel, pada
lengan tungkai dan torso.
Mioklonik
Konstraksi mirip syok mendadak yang terbatas di beberapa otot atau tungkai atau
memiliki distribusi yang lebih umum lagi. Waktunya singkat. Kejang mioklonik ini
KELOMPOK 4
39
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
idiopatik, atau berhubungan dengan gangguan neurodegenerative herediter yang jarang
seperti penyakit Unverricht-Lundborg, penyakit tubuh Lafora, lipofusinosis seroid
neuronal (bentuk late infantile, juvenile, dan dewasa), sialidosis, dan ensepalomiopati
mitokondrial (epilepsi mioklonus dengan serat merah kasar pada biopsi otot skelet).
Atonik
Hilang mendadaknya tonus otot, kadang diikuti oleh sentakan mioklonik yang
dapat mengakibatkan terjatuh.
Perbandingan tiap tipe kejang general
Penampakan Kejang AbsenKejang
MioklonikKejang Atonik
Kejang Tonik-Klonik
Kesadaran MenurunTidak
terpengaruhiMenurun Menurun
DurasiBeberapa detik
(≤30 detik)1-5 detik
Beberapa detik
1-3 menit
Gejala dan Tanda
Absent singkat, tatapan dan
kejapan kosong diikuti oleh
kembalinya mental dengan segera; automatisasi
(menampar bibir, mengunyah,
menggesek, dan meraba-raba)
Tiba-tiba, sentakan sinkron
bilateral pada tangan dan kaki; sering
muncul dalam
rangkaian
Kehilangan tiba-tiba dari
tonus otot menyebabkan terjatuh berat
Menangis awalnya; terjatuh (kehilangan
tonus otot); henti napas; sianosis;
kejang tonik kemudian klonik;
relaksasi otot diikuti oleh tidur dalam.
Tergiigitnya lidah, inkontinensia urin
dan feses
UmurAnak-anak dan
dewasaAnak-anak dan dewasa
Bayi dan anak-anak
Beberapa usia
Gambaran EEG
Bilateral regular 3 (2-4) Hz
gelombang paku
Gelombang polispike,
gelombang paku, atau gelombang tajam dan
lambat
Gelombang polispike, aktifitas mendatar
atau aktifitas cepat
tegangan rendah
Sering tak jelas oleh otot
KELOMPOK 4
40
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
KELOMPOK 4
41
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
Penegakan Diagnosa
Anamnesis
- Karakteristik bangkitan kejang
Gambaran lengkap mengenai pola serangan agar diketahui fokus dan
klasifikasinya
keadaan selama selama serangan ( dimana atau bagaimana kejang dimulai,
bagaimana penjalarannya)
keadaan sesudah kejang (parese Todd, nyeri kepala, segera sadar, mengacau
kesadaran menurun)
lama “duration” masing masing keadaan tersebut, waktu serangan ( pagi, siang
hari, waktu akan tidur, sedang tidur, mau bangun, atau sedang bangun)
Interval kejang (baik interval antar kejang terpanjang dan terpendek)
Usia saat bangkitan pertama dan bangkitan-bangkitan selanjutnya
Rangsangan tertentu yang dapat memprovokasi serangan seperti meliaht
televisi, bernafas dalam, lapar, letih, menstruasi, obat-obatan tertentu
- Adanya penyakit penyerta (gejala prodormal, aura)
- Faktor risiko (trauma kepala, infeksi CNS, factor presipitan)
- Riwayat Keluarga untuk mencari faktor hereditas (apakah ada anggota keluarga
yang menderita kejang, penyakit saraf dan lainnya)
- Riwayat masa lau “past history”
Keadaan ibu saat hamil (Riwayat Kehamilan) seperti penyakit yang
dideritanya, perdarahan pervaginam, obat yang diminum
Riwayat kelahiran : apakah letak kepala, letak sungsang, mudah atau sukar,
apakah digunakan cunam atau ekstraksi atau seksio caesaria, apakah terdapat
perdarahan antepartum, ketuban pecah dini, afiksia
Penyakit yang pernah diderita : trauma kapasitis, radang selaput otak, ikterus,
reaksi terhadap imunisasi, kejang demam
Perkembangn motorik dan mental anak
Pemeriksaan Jasmani
- Dilakukan pemeriksaan yang meliputi pemeriksaan secara pediatris dan neurologi.
Bila perlu dikonsulkan ke Bagian Mata, THT, Hematologi, Endokrin dan
KELOMPOK 4
42
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
sebagainya. Pemeriksaan ini menapis sebab-sebab terjadinya bangkitan dengan
menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan misalnya:
trauma kepala
infeksi telinga atau sinus
gangguan congenital
gangguan neurologik fokal atu difus
kecanduan alcohol atau obat terlarang
- Keadaan umum, meliputi : tanda-tanda vital, jantung,paru, abdomen, hati dan
limpa, serta anggota gerak
- Pada pemeriksaan neurologis, diperhatikan :
kesadaran
perkembangan motorik dan mental
tingkah laku
berbagai gejala proses intrakranium
fundus okuli
pengelihatan & pendengaran
sistem motorik (kelumpuhan, trofik, tonus, gerakan tidak terkendali,
koordinasia, anestesia)
refleks fisiologis & patologis
“tap subdural” pada anak-anak yang masih terbuka ubun ubun untuk
melihat adanya hematoma subdural atau efusi subdural dan pung si lumbal
untuk memperoleh cairan serebrospinalis.
Pemeriksaan Laboratorium
- Pemeriksaan darah tepi rutin dilakukan, pemeriksaan lain sesuai dengan indikasi ,
seperti pemeriksaan gula darah dan elektrolit
- Pemeriksaan cairan serebrospinaluntuk mengetahui tekanan, warna, kejernihan,
berdarah, xantokrom, jumlah sel, hitung jenis sel, kadar protein, gula, NaCL dan
pemeriksaan lain atas indikasi
Pemeriksaan EEG
Membantu untuk menegakan diagnosa epilepsi dimana kelainan sering dijumpai
berupa epilepsi discharge atau eilepsi activity seperti spike, sharp wave, spike and wave
KELOMPOK 4
43
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
dan paroxsmal slow activity. Kadang-kadang rekaman EEG dapat menentukan fokus dan
jenis epilepsi, apakah fokal, multifokal, kortikal, subkortikal, misalnya petit mal
mempunyai gambaran ‘ 3 cps spike’ dan wave dan spasme infantil mempunyai gambaran
hipsaritmia.
Pemeriksaan EEG harus dilakukan secara berkala. Perlu diingatkan bahwa 8-12%
penderita epilepsi mempunyai rekaman EEG yang normal.
Pemeriksaan psikologis dan psikiatris
Tidak jarang pada penderita epilepsi mempunyai yingkat kecerdasan yang rendah
atau gangguan tingkah laku, retardasi mental, gangguan emosi dan hiperaktif. Hal ini
harus mendapatkan perhatian yang wajar agar anak dapat berkembang secara optimal
sesuai dengan kemampuannya. Hubungan antara orang tua dan penderita perlu
mendapatkan perhatian yaitu apakah terdapat proteksi yang berlebihan, rejeksi atau over
axietas. Bila perlu harus mendapatkan petolongan dari psikolog atau psikiater
Pemeriksaan radiologis
Pada foto thoraks diperlihatkan simetri tulang tengkorak, dekstruksi tulng, dan
kalsifikasi intrakranium yang abnormal (yang dapat disebabkan oleh tumorm hematoma
menahun, tuberkulosis, tocxoplasmosis, anomali vaskuler, hemangioma). Dimana
peninggian tekanan intrakranial ditandai dengan pelebaran sutura, erosi sela tursika.
Pneumoencephalography dan ventrikulography dilakukan dengan indikasi tertentu
antara lain: melihat gambaran sistem ventrikel, sisterna, rongga sub arachnoid, serta
gambaran otak. Tujuan dilakukan pemeriksaan ini untuk mengetahui adanya atrofi otak,
tumor serebri, hidrosefalus, arachnoiditis. Pada pneumoencephalography udara
dimasukkan zat kontras melalui pungsi lumbal dan pada ventrikulography udara
dimasukkan zat kontras melalui pungsi ventrikel. Sedangkan pada penderita dengan
tekanan intrakranial meninggi dilakukan ventrikulography, sedangkan pada penderita
yang tekanan intrakranial yang tidak meninggi dapat dilakukan pneumoencephalography.
Sedangkan arteriografi dengan memasukkan kontras dalam pembuluh darah
dilakukan untuk melihat keadaan pembuluh darah di otak apakah ada neoplasma,
hematoma, abses, trombosis, hidrosefalus
KELOMPOK 4
44
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
Tatalaksana
A. Terapi Awal/Umum SE
Tujuan terapi SE dalam 5 menit pertama sejak dimulainya serangan adalah
menstabilkan kerja cardiopulmonary dan temperature, terminasi seizure dan identifikasi
penyebab serangan, prevensi berulangnya seizure dan mengurangi pengobatan akibat
morbiditas atau komplikasi SE.
Tabel obat-obat yang digunakan dalam menejemen kejang:
Obat Bentuk Kejang Dosis (mg/kg/BB)
Fenobarbital Semua bentuk kejang 3-8
KELOMPOK 4
45
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
Dilantin
(difenilhidantoin)
Semua bentuk kejang
kecuali bangkitan petit
mal, mioklonik atau
kinetik
5-10
Myosoline (primidon) Semua bentuk kejang,
kecuali petit mal
12-25
Zarontin ( etosuksimid) Petit mal 20-60
Diazepam Semua bentuk kejang 0,2-0,5
Diamox (asetasolamid) Semua bentuk kejang 10-90
Prednisone Spasme infatil 2-3
Deksamentason Spasme infatil 0,2-0,3
Adrenokortikotropin Spasme infatil 2-4
Rekomendasi Perawatan Untuk Pasien Status Epilepticus
• Airway
• Breathing
• Circulation
• Drugs
• jangan berikan bolus diazepam per IV, diazepam per rectal, 0.2–0.5 mg/kg
• akses IV diberikan saat stabil: lorazepam, IV, 0.1 mg/kg at 2 mg/min
Disertai Dengan
• Fosphenytoin, IV, 20 mg PE/kg at 3 mg/kg/min (max rate: 150 mg/min) *
• jika seizures kembali segera: intubation, dan anesthesia
• Midazolam, IV, 0.2 mg/kg, then continuous infusion 1–10 μg/kg/min
Atau
• Pentobarbital, IV, 5–15 mg/kg, then continuous infusion 1–5 mg/kg/h
• Evaluasi: vital signs, anamnesa riwayat serangan SE, pemeriksaan Fisik untuk mengetahui
disability,dan pemilihan uji laboratorium, seperti
IV, intravenous; max, maximum; PE, phenytoin equivalent; SE, status epilepticus.
KELOMPOK 4
46
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
*Jika fosphenytoin tidak efektif segera ganti dengan alternative anesthesia lainnya seperti
valproic acid, IV, 20–40 mg/kg, lalu lanjutkan infuse 5 mg/kg/h (pada nonconvulsive SE)
atau phenobarbital, IV, 20 mg/kg, lalu tambahkan 10 mg/kg boluses (biasanya pada
neonatal SE).
Pemberian anticonvulsant harus segera diberikan, sembari melakukan pmeriksaan lainnya
yang diperlukan untuk diagnosis:
Vital signs:
Tekanan darah: untuk mengeksklusi hypertensive encephalopathy dan shock
Suhu : untuk mengeklusi hyperthermia
Nadi : untuk memastikan tidak terjadi cardiac arrhythmia yang mengancam nyawa
Ambil,darah vena untuk mengukur serum glucose, calcium, electrolytes, fungsi hepar dan
renal, complete blood count, erythrocyte sedimentation rate, dan toxicology
Masukan intravenous line
berikan glucose (50 mL, 50% dextrose) melalui Intravena
Anamnesa riwayat kejang
Pemeriksaan fisik dengan cepat, terutama untuk mencari:
Tanda-tanda trauma
Tanda-tanda iritasi meningeal dan infeksi sistemik lainnya
Papilledema
Focal neurologic signs
Bukti adanya metastasis, atau kegagalan fungsi hepar dan renal
Arterial blood gases
Lumbar puncture, dilakukan jika penyebab seizure telah diketahui atau adanya tanda-tanda
peningkatan tekanan intracranial dari gejala neurologis fokal.
ECG/EKG
Hitung serum osmolality: 2 (serum sodium concentration) + serum glucose/20 + serum urea
nitrogen/3 (normal range: 270–290)
Jika terdapat indikasi intoksikasi lakukan pemeriksaan Urinalisis untuk mencari tanda-tanda
toxicology
KELOMPOK 4
47
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
Penghentian Pengobatan
Bila menghentikan pengobatan, setelah penserita bebas dari serangan dalam jangka
waktu tertantu, maka factor yang penting untuk selalu diingat adalah diagnosis, identifikasi
sendrom epilepsy seringkali menunjukkan prognosis.
Serangan yang muncul pada tahun pertama mempunyai tingkat kekambuhan yang
tinggi apabila OAE dihentikan.
Jenis serangan dapat pula dipakai untuk memperkirakan tingkat kekambuhan apabila
OAE dihentikan. Tingkat kekambuhan yang paling rendah adalah jenis serangan
absence yang khas, kemudian berturut-turut maka tinggi tingkat kekambuhannya
adalah: klonik atau mioklonik, kejang tonik-klonik primer, parsial sederhana dan
parsial kompleks, serangan yang lebih dari satu jenis, dan epilepsy Jackson.
Kambuhnya epilepsy lebih sering terjadi pada penderita dengan disfungsi neurologic
dan serangan yng sudah lama terjadi sebelum memperoleh pengobatan.
Fenobarbital, primidon, dan benzodiazepine apabila dihentikan dapat memacu
terjadinya serangan ulang. Sefat yang demikian tadi tidak diketahui secara jelas pada
fetitoin, karbamazepin, dan valproat. Apabila terjadi serangan selama penghentian
obat dan pola serangannya tidak sama dengan serangan yang selama ini terjadi, maka
serangan tadi bersifat reaktif dan bukan suatu kontraindikasi untuk menghentikan
pengobatan secara bertahap.
Konsep penghentian obat sesudah minimal 2 tahun terbebas dari serangan pada
umumnya dapat diterima oleh kalangan praktisi. Penghentian obat dilaksanakan
secara bertahap, disesuaikan degna keadaan klinis penderita.
Prognosis
Prognosis epilepsy bergantung pada beberapa hal, di antaranya jenis epilepsy, factor
penyebab, saat pengobatan dimulai dan ketaatan minum obat. Pada umumnya prognosis
epilepsy cukup menggembirakan. Pada 50 – 70% penderita epilepsy serangan dapat dicegah
dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu akan dapat berhenti minum obat.
Mengenai prognosis social dapat dikatakan, bahwa bagian besar penderita dapat bekerja
KELOMPOK 4
48
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
sesuai dengan bakat, pendidikan dan keterampilannya.. dalam menentukan apakah seorang
penderita epilepsy dapat melakukan suatu pekerjaanm pada banyak kasus keadaan mental si
penderita merupakan kriterium lebih penting dari pada ada atau tidak adanya serangan.
KELOMPOK 4
49
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
MENINGITIS
MENINGITIS VIRUS
(Meningitis Non-Purulenta, Meningitis Aseptik)
DEFINISI
Meningitis virus adalah suatu sindrom infeksi virus susunan saraf pusat yang akut
dengan gejala rangsangan meningeal, pleiositosis dalam likuor serebrospinalis dengan
diferensiasi terutama limfosit, perjalanan penyakit tidak lama dan self limited tanpa
komplikasi.
ETIOLOGI
Sindrom ini sebagian besar disebabkan oleh virus seperti enterovirus (poliomyelitis,
Coxcakie A dan B), echovirus, “mumps”, virus herpes simplex, varisela, herpes zoster,
arbovirus, virus limfositik koriomeningitis, virus hepatitis, dan adenovirus.
EPIDEMIOLOGI
Meningitis virus lebih sering dijumpai pada anak-anak daripada orang dewasa.
Dinegeri tropis dan subtropics tingginya frekuensi meningitis virus tidak tergantung kepada
musim seperti di negeri beriklim dingin yang angka kejadian tertingginya dijumpai pada
musim panas dan musim rontok.
PATOGENESIS
Umumnya virus secara hematogen (viremia) sampai ke selaput otak. Enterovirus
berkembang biak dalam traktus digestivus menjalar ke kelenjar getah bening regional dan
kemudian menimbulkan viremia. Pada percobaan ditemukan bahwa virus herpes dapat juga
menjalar melalu serabut saraf.
MANIFESTASI KLINIS
Umumnya permulaan penyakit berlangsung mendadak, walaupun kadang-kadang
didahului dengan panas untuk beberapa hari. Gejala yang ditemukan pada anak besar ialah
panas dan nyeri kepala yang mendadak yang disertai dengan kaku kuduk. Gejala lain yang
KELOMPOK 4
50
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
dapat timbul adalah nyeri tenggorok, nausea, muntah, kesadaran menurun, nyeri pada kuduk
dan punggung, fotofobia, parastesia, dan mialgia.
Gejala pada bayi tidak khas. Bayi mudah terangsang dan menjadi gelisah. Mual dan
muntah sering dijumpai tetapi gejala kejang jarang dilihat. Bila penyebabnya echovirus atau
virus coxsacie maka dapat disertai ruam dengan panas yang akan menghilang setelah 4-5
hari.
Pada pemeriksaan ditemukan kaku kuduk, tanda Kernig dan Brudzinsky kadang-
kadang positif. Likuor serebrospinalis berwarna jernih dengan jumlah sel 20 sampai beberapa
ribu per mm3. Pada permulaan penyakit yang dini dapat dijumpai jumlah sel
polimorfonukleus lebih banyak daripada limfosit, tetapi biasanya dalam beberapa hari
keadaan ini berubah dan akan ditemukan terutama mononukleus pada diferensiasi. Kadar
glukosa dan protein normal atau sedikit meninggi.
DIAGNOSIS
Diagnosis etiologi hanya dapat dibuat dengan isolasi virus. Dalam praktek,
pemeriksaan serologis tidak dikerjakan berhubung dengan banyaknya jenis virus yang dapat
menyebabkan penyakit ini.
Diagnosis biasanya dibuat berdasarkan gejala klinis, kelainan likuor serebrospinalis
dan perjalanan penyakit yang self limited. Biakan likuor terhadap kemungkinan penyebab
mikroorganisme lain harus dikerjakan (fungus, leptospira, mikobakteria) agar kemungkinan
mikroorganisme tersebut sebagai penyebabnya dapat disingkirkan.
Selain biakan likuor, pemeriksaan lain seperti uji tuberculin, foto rontgen thorax,
mencari sumber tuberculosis harus dikerjakan agar dapat menyingkirkan kemungkinan
meningitis tuberculosis.
TERAPI
Terapinya berupa istirahat dan pengobatan simptomatis. Likour serebrospinalis yang
dikeluarkan untuk keperluan diagnosis dapat mengurangi gejala kepala nyeri.
PROGNOSIS
Penyakit ini self limited dan penyembuhannya sempurna dijumpai setelah 3-4 hari
pada kasus ringan dan setelah 7-14 hari pada keadaan yang berat.
KELOMPOK 4
51
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
MENINGITIS TUBERKULOSA
Definisikan sebagai radang selaput otak akibat komplikasi tuberculosis primer.
EPIDEMIOLOGI
Meningitis tuberkulosa masih banyak ditemukan di Indonesia karena morbiditas
tuberculosis anak masih tinggi. Angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak terutama bayi
dan anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih rendah.
PATOGENESIS & PATOLOGI
Terjadi sebagai akibat komplikasi penyebaran tuberculosis primer, biasanya dari paru.
Terjadinya meningitis bukanlah karena terinfeksinya selaput otak langsung oleh penyebaran
hematogen, melainkan biasanya sekunder melalui pembentukan tuberkel pada permukaan
otak, sumsum tulang belakang atau vertebra yang kemudian pecah ke dalam rongga araknoid.
Kadang-kadang dapat juga terjadi per-kontinuitatum dari mastoiditis atau spondilitis.
Pada pemeriksaan histologis, meningitis tuberkulosa ternyata merupakan
meningoensefalitis. Peradangan ditemukan sebagian besar pada dasar otak, terutama pada
batang otak (brain stem) tempat terdapat eksudat dan tuberkel. Eksudat yang serofibrinosa
dan gelatinosa dapat menimbulkan obstruksi pada sisterna basalis dan mengakibatkan
hidrosefalus serta kelainan pada saraf otak. Tampak juga kelainan pada pembuluh darah
seperti arteritis dan flebitis yang menimbulkan penyumbatan. Akibat penyumbatan ini dapat
terjadi infark otak yang kemudian akan mengakibatkan pelunakan otak.
MANIFESTASI KLINIS
Secara klinis kadang-kadang belum terdapat gejala meningitis nyata walaupun selaput
otak sudah terkena. Hal demikian terdapat pada tuberculosis miliaris, sehingga pada
penyebaran miliar sebaiknya dilakukan pungsi lumbal walaupun gejala meningitis belum
tampak.
Gejala biasanya didahului oleh stadium prodromal berupa iritasi selaput otak.
Meningitis biasanya mulai perlahan-lahan tanpa panas atau hanya terdapat kenaikan suhu
yang ringan, jarang terjadi akut dengan panas yang tinggi. Sering dijumpai anak mudah
KELOMPOK 4
52
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
terangsang atau anak menjadi apatis dan tidurnya sering terganggu. Anak besar dapat
mengeluh nyeri kepala. Anoreksia, obstipasi dan muntah juga sering ditemukan.
Stadium ini kemudian disusul dengan stadium transisi dengan kejang. Gejala di atas
menjadi lebih berat dan gejala rangsangan meningeal mulai nyata, kaku kuduk, seluruh tubuh
menjadi kaku dan timbul opistotonus. Reflex tendon menjadi lebih tinggi, ubun-ubun
menonjol dan umumnya juga terdapat kelumpuhan urat saraf mata sehingga timbul gejala
strabismus dan nistagmus. Sering tuberkel terdapat di koroid. Suhu tubuh menjadi lebih
tinggi dan kesadaran lebih menurun hingga timbul stupor.
Stadium terminal berupa kelumpuhan-kelumpuhan, koma menjadi lebih dalam, pupil
melebar dan tidak bereaksi sama sekali. Nadi dan pernafasan menjadi tidak teratur, kadang-
kadang terjadi pernafasan Cheyne-Stokes. Hiperpireksia timbul dan anak meninggal tanpa
kesadarannya pulih kembali.
Tiga stadium di atas biasanya tidak mempunyai batas yang jelas antara satu dengan
yang lainnya, namun jika tidak diobati umumnya berlangsung 3 minggu sebelum anak
meninggal.
DIAGNOSIS
Ditentukan atas dasar gambaran klinis serta yang terpenting ialah gambaran likuor
serebrospinalis.
Diagnosis pasti hanya dapat dibuat bila ditemukan kuman tuberculosis dalam cairan
otak. Uji tuberculin yang positif, kelainan radiologis yang tampak pada foto toraks dan
terdapatnya sumber infeksi dalam keluarga hanya dapat menyokong diagnosis. Uji tuberculin
pada meningitis tuberkulosa sering negative karena anergi, terutama dalam stadium
terminalis.
Laboratorium
Pungsi lumbal penting sekali untuk pemeriksaan bakteriologik dan laboratorium
lainnya. Likuor serebrospinalis berwarna jernih, opalesen atau kekuning-kuningan
(santokrom). Tekanan dan jumlah sel meninggi namun umumnya jarang melebihi 1.500/3
mm3 dan terdiri terutama dari limfosit. Kadar protein meinggi sedangkan kadar glukosa dan
klorida total menurun. Bila cairan otak didiamkan maka akan timbul fibrinous web (pelikel),
tempat yang sering ditemukannya basil tuberculosis.
KELOMPOK 4
53
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
TERAPI
Dasar pengobatan meningitis tuberkulosa ialah pemberian kombinasi obat anti-
tuberkulosis dan ditambah dengan kortikosteroid, pengobatan simptomatik bila terjadi
kejang, koreksi dehidrasi akibat masukan makanan yang kurang atau muntah-muntah dan
fisioterapi. Umumnya dipakai kombinasi Streptomisin, PAS dan INH.
Bila ada resistensi terhadap salah satu obat tersebut maka dapat diganti dengan
reserve drugs. Streptomisin diberikan dengan dosis 30-50 mg/kgbb/hari selama 3 bulan atau
jika perlu diteruskan 2 kali seminggu selama 2-3 bulan lagi, sampai likuor serebrospinalis
menjadi normal. PAS dan INH diteruskan paling sedikit sampai 2 tahun. Kortikosteroid
biasanya diberikan berupa prednisone dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari dibagi 3 dosis selama
2-4 minggu, kemudian diturunkan 1 mg/kgbb/hari setiap 1-2 minggu.
Pemberian kortikosteroid seluruhnya selam 3 bulan dan dihentikan bertahap untuk
menghindarkan terjadinya rebound phenomenon.
KOMPLIKASI
Dapat terjadi akibat pengobatan yang tidak sempurna atau pengobatan yang terlambat.
Dapat terjadi cacat neurologis berupa paresis, paralisis sampai deserebrasi, hidrosefalus
akibat sumbatan, resorpsi berkurang atau produksi berlebihan dari likuor serebrospinalis.
Anak juga dapat menjadi buta atau tuli dan kadang-kadang timbul retardasi mental.
PROGNOSIS
Dengan obat-obat anti tuberculosis, mortalitas dapat diturunkan walaupun masih
tinggi yaitu berkisar antara 10-50%. Penyembuhan sempurna dapat juga terlihat. Gejala sisa
masih tinggi pada anak yang dapat mengatasi penyekit ini, terutama bila datang berobat
dalam stadium yang lanjut. Saat permulaan pengobatan umumnya menetukan hasil
pengobatan.
KELOMPOK 4
54
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
ENSEFALITIS
Definisi
Ensefalitis adalah radang jaringan otak yang disebabkan oleh bakteri, cacing,
frotozoa, jamur, ricketsia, atau virus.
Klasifikasi
ENSEFALITIS SUPURATIVA
Bakteri penyebab ensefalitis supurativa adalah : staphylococcus aureus,
streptococcus, E.coli dan M.tuberculosa.
Patogenesis
Peradangan dapat menjalar ke jaringan otak dari otitis
media,mastoiditis,sinusitis,atau dari piema yang berasl dari radang, abses di dalam paru,
bronchiektasi, empiema, osteomeylitis cranium, fraktur terbuka, trauma yang menembus
ke dalam otak dan tromboflebitis. Reaksi dini jaringan otak terhadap kuman yang
bersarang adalah edema, kongesti yang disusul dengan pelunakan dan pembentukan
abses. Disekeliling daerah yang meradang berproliferasi jaringan ikat dan astrosit yang
membentuk kapsula. Bila kapsula pecah terbentuklah abses yang masuk ventrikel.
Manifestasi klinis
Secara umum gejala berupa trias ensefalitis ;
1. Demam
2. Kejang
3. Kesadaran menurun
Bila berkembang menjadi abses serebri akan timbul gejala-gejala infeksi umum,
tanda-tanda meningkatnya tekanan intracranial yaitu : nyeri kepala yang kronik dan
progresif,muntah, penglihatan kabur, kejang, kesadaran menurun, pada pemeriksaan
mungkin terdapat edema papil.Tanda-tanda deficit neurologist tergantung pada lokasi dan
luas abses.
KELOMPOK 4
55
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
ENSEFALITIS SIPHYLIS
Patogenesis
Disebabkan oleh Treponema pallidum. Infeksi terjadi melalui permukaan tubuh
umumnya sewaktu kontak seksual. Setelah penetrasi melalui epithelium yang terluka,
kuman tiba di sistim limfatik, melalui kelenjar limfe kuman diserap darah sehingga terjadi
spiroketemia. Hal ini berlangsung beberapa waktu hingga menginvasi susunansaraf pusat.
Treponema pallidum akan tersebar diseluruh korteks serebri dan bagianbagian lain
susunan saraf pusat.
Manifestasi klinis
Gejala ensefalitis sifilis terdiri dari dua bagian :
1. Gejala-gejala neurologist
Kejang-kejang yang datang dalam serangan-serangan, afasia, apraksia,
hemianopsia, kesadaran mungkin menurun,sering dijumpai pupil Agryll-
Robertson,nervus opticus dapat mengalami atrofi. Pada stadium akhir timbul
gangguanan-gangguan motorik yang progresif.
2. Gejala-gejala mental
Timbulnya proses dimensia yang progresif, intelgensia yang mundur perlahan-
lahan yang mula-mula tampak pada kurang efektifnya kerja, daya konsentrasi
mundur, daya ingat berkurang, daya pengkajian terganggu.
ENSEFALITIS VIRUS
Virus yang dapat menyebabkan radang otak pada manusia :
1. Virus RNA
Paramikso virus : virus parotitis, irus morbili
Rabdovirus : virus rabies
Togavirus : virus rubella flavivirus (virus ensefalitis Jepang B, virus
dengue)
Picornavirus : enterovirus (virus polio, coxsackie A,B,echovirus)
KELOMPOK 4
56
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
Arenavirus : virus koriomeningitis limfositoria
2. Virus DNA
Herpes virus : herpes zoster-varisella, herpes simpleks, sitomegali virus,virus
Epstein-barr
Poxvirus : variola, vaksinia
Retrovirus : AIDS
Manifestasi klinis
Dimulai dengan demam, nyeri kepala, vertigo, nyeri badan, nausea, kesadaran
menurun, timbul serangan kejang-kejang, kaku kuduk, hemiparesis dan paralysis bulbaris.
ENSEFALITIS KARENA PARASIT
Malaria serebral
Plasmodium falsifarum penyebab terjadinya malaria serebral. Gangguan utama
terdapat didalam pembuluh darah mengenai parasit. Sel darah merah yang terinfeksi
plasmodium falsifarum akan melekat satu sama lainnya sehingga menimbulkan
penyumbatan-penyumbatan. Hemorrhagic petechia dan nekrosis fokal yang tersebar
secara difus ditemukan pada selaput otak dan jaringan otak. Gejala-gejala yang timbul :
demam tinggi.kesadaran menurun hingga koma. Kelainan neurologik tergantung pada
lokasi kerusakan-kerusakan.
Toxoplasmosis
Toxoplasma gondii pada orang dewasa biasanya tidak menimbulkan gejalagejala
kecuali dalam keadaan dengan daya imunitas menurun. Didalam tubuh manusia parasit
ini dapat bertahan dalam bentuk kista terutama di otot dan jaringan otak.
Amebiasis
Amuba genus Naegleria dapat masuk ke tubuh melalui hidung ketika berenang di
air yang terinfeksi dan kemudian menimbulkan meningoencefalitis akut. Gejala-gejalanya
adalah demam akut, nausea, muntah, nyeri kepala, kaku kuduk dan kesadaran menurun.
Sistiserkosis
KELOMPOK 4
57
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
Cysticercus cellulosae ialah stadium larva taenia. Larva menembus mukosa dan
masuk kedalam pembuluh darah, menyebar ke seluruh badan. Larva dapat tumbuh
menjadi sistiserkus, berbentuk kista di dalam ventrikel dan parenkim otak. Bentuk
rasemosanya tumbuh didalam meninges atau tersebar didalam sisterna. Jaringan akan
bereaksi dan membentuk kapsula disekitarnya. Gejaja-gejala neurologik yang timbul
tergantung pada lokasi kerusakan.
ENSEFALITIS KARENA FUNGUS
Fungus yang dapat menyebabkan radang antara lain : candida albicans,
Cryptococcus neoformans,Coccidiodis, Aspergillus, Fumagatus dan Mucor mycosis.
Gambaran yang ditimbulkan infeksi fungus pada sistim saraf pusat ialah meningo-
ensefalitis purulenta. Faktor yang memudahkan timbulnya infeksi adalah daya imunitas
yang menurun.
Riketsiosis Serebri
Riketsia dapat masuk ke dalam tubuh melalui gigitan kutu dan dapat
menyebabkan Ensefalitis. Di dalam dinding pembuluh darah timbul noduli yang terdiri
atas sebukan sel-sel mononuclear, yang terdapat pula disekitar pembuluh darah di dalam
jaringan otak. Didalam pembuluh darah yang terkena akan terjadi trombosis. Gejala-
gejalanya ialah nyeri kepala, demam, mula-mula sukar tidur, kemudian mungkin
kesadaran dapat menurun. Gejala-gejala neurologik menunjukan lesi yang tersebar.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukn pada kasus ensefalitis supuratif akut adalah
pemeriksaan yang biasa dilakukan pada kasus-kasus infeksi lainnya. Di samping itu dapat
juga dilakukan pemeriksaan elektroensefalogram (EEG), foto rontgen kepala, bila
mungkin CT-scan otak, atau arteriografi. Pungsi lumbal tidak dilakukan bila terdapat
edema papil. Bila dilakukan pemeriksaan cairan serebrospinal, maka dapat diperoleg hasil
berupa peningkatan tekanan intrakranial, pleiositosis polinuklearis, jumlah protein yang
lebih besar daripada normal dan kadar klorida dan glukosa dalam batas-batas normal.
KELOMPOK 4
58
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
Diagnosis Banding
Pada kasus ensefalitis supuratif akut diagnosis bandingnya adalah neoplasma,
hematoma subdural kronik, tuberkuloma, hematoma intraserebri.
Penatalaksanaan
Enefalitis supurativa
- Ampisillin 4 x 3-4 g per oral selama 10 hari.
- Cloramphenicol 4 x 1g/24 jam intra vena selama 10 hari.
Ensefalitis syphilis
- Penisillin G 12-24 juta unit/hari dibagi 6 dosis selama 14 hari
- Penisillin prokain G 2,4 juta unit/hari intra muskulat + probenesid 4 x 500mg oral
selama 14 hari.
Bila alergi penicillin:
- Tetrasiklin 4 x 500 mg per oral selama 30 hari
- Eritromisin 4 x 500 mg per oral selama 30 hari
- Cloramfenicol 4 x 1 g intra vena selama 6 minggu
- Seftriaxon 2 g intra vena/intra muscular selama 14 hari.
Ensefalitis virus
- Pengobatan simptomatis
Analgetik dan antipiretik : Asam mefenamat 4 x 500 mg
Anticonvulsi : Phenitoin 50 mg/ml intravena 2 x sehari.
- Pengobatan antivirus diberikan pada ensefalitis virus dengan penyebab herpes
zoster-varicella. Asiclovir 10 mg/kgBB intra vena 3 x sehari selama 10 hari atau
200 mg peroral tiap 4 jam selama 10 hari.
Ensefalitis karena parasit
- Malaria serebral : Kinin 10 mg/KgBB dalam infuse selama 4 jam, setiap 8 jam
hingga tampak perbaikan.
- Toxoplasmosis
Sulfadiasin 100 mg/KgBB per oral selama 1 bulan
KELOMPOK 4
59
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
Pirimetasin 1 mg/KgBB per oral selama 1 bulan
Spiramisin 3 x 500 mg/hari
- Amebiasis
Rifampicin 8 mg/KgBB/hari.
Ensefalitis karena fungus
- Amfoterisin 0,1- 0,25 g/KgBB/hari intravena 2 hari sekali minimal 6 minggu
- Mikonazol 30 mg/KgBB intra vena selama 6 minggu.
Riketsiosis serebri
- Cloramphenicol 4 x 1 g intra vena selama 10 hari
- Tetrasiklin 4x 500 mg per oral selama 10 hari.
Prognosis
Prognosis ensefalitis supuratif akut buruk karena angka kematian mencapai 50%.
KELOMPOK 4
60
Laporan Tutorial Skenario 6 BLOK 17
DAFTAR PUSTAKA
Burg. 2006. Current Pediatric Therapy, 18th Edition. USA: Elsevier Saunders.
Fitri, Octaviana. 2008. Epilepsi: Permasalahan di Reseptor atau Neurotransmitter.
Medicinus Scientific Journal Of Pharmaceutical Development and Medical
Application Vol.21. Accessed at: http://www.lib.ui.com/
Harsono. 2008. Buku Ajar Neurologi Klinis. Gadjah Mada University Press: Jogjakarta.
Kania Nia. 2007. Kejang pada Anak. Accessed at:
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/02/kejang_pada_anak.pdf
Nicholas, DG. 2008. Roger's Textbook of Pediatric Intensive Care, 4th Edition. USA:
Lippincott Williams & Wilkins.
Raharjo, Tri Budi. 2007. Faktor-Faktor Risiko Epilepsi Pada Anak Di Bawah Usia 6 Tahun
(Risk Factors Of Epilepsy On Children Below 6 Years Age). Accessed at:
http:// www.undip.ac.id/
Sidharta, Priguna. 2008. Neurologi Klinis dalam Praktek Umum. Dian Rakyat : Jakarta.
Smith DF, et.al. 1998. An Atlas of Epilepsy, 1st ed. The Parthenon Publishing Group: New
York.
Verity, Christopher M. Febrile Convultion – A Practical guide. Accessed at :
http://www.epilepsysociety.org.uk/Forprofessionals/Articles-1/Thespectrumofepileps
y/main_content/Chapter8FebrileConvulsionsPracticalGuide.pdf
Zeijl, J.H. Van. 2003. Viruses and Febrile Seizures. Accessed at :
http://repository.ubn.ru.nl/bitstream/2066/58644/1/58644_viruanfes.pdf
KELOMPOK 4