lap bioqmm
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. JUDUL PRAKTIKUM
Pemeriksaan Methemoblobin
B. TANGGAL
Senin, 17 Mei 2010
C. TUJUAN
1. Mahasiswa akan dapat mengukur kadar methehemoglobin dalam
darah dengan menggunakan spektrofometer.
2. Mahasiswa akan dapat menyimpulkan hasil pemeriksaan
methehemoglobin pada saat praktikum setelah membandingkanya dengan
nilai normal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DASAR TEORI
Methemoglobin (MetHb) adalah suatu hasil oksidasi hemoglobin yang
yang tidak mempunyai kemampuan lagi untuk mengangkut oksigen. Banyak
zat misalnya amin aromatik, senyawa nitro aromatic, klorat, serta senyawa
nitrit dapat menyebabkan pembentukan metHb. Mekanismenya adalah karena
terjadi oksidasi Fe dalam Hb dari ferro menjadi ferri. Oksidasi ini mengubah
warna Hb menjadi coklat kehitaman. MetHb dalam darah adalah < 4 %
(WHO, 1997 dalam Sumirat 2003). Bila kadar MetHb meningkat sampai 15
%, contohnya pada keracunan nitrit, maka kulit akan menjadi kebiruan
(sianosis) yang timbul sebagai gejala kekurangan oksigen. Keracunan nitrit
pada bayi dengan kadar MetHb > 11 % akan menyebabkan penyakit “blue
Babies” atau methehemoglobinemia. Hal ini disebabkan karena system enzim
(NADH – NADPH) masih belum sempurna.
Hemoglobin yang berikatan dengan CO kandungan besi yang
terkandung di dalalamnya akan berubah dari besi ferro (Fe+2) menjadi ferri
(Fe+3). Hemoglobin merupakan suatu protein yang kompleks, tersusun dari
protein globin dan suatu senyawa bukan protein yang dinamakan hem. Hem
tersusun dari suatu senyawa lingkar yang bernama porfirin, bagian pusatnya
ditempati oleh logam besi ( Fe). Jadi hem adalah senyawa porfirin-besi (Fe-
porfirin), sedangkan hemoglobin adalah kompleks antara globin-hem. Satu
molekul hem mengandung satu atom besi, demikian pula 1 protein globin
hanya mengikat 1 molekul hem. Jadi, dalam tiap molekul hemoglobin
terkandung 4 atom besi. (Murray, 2003)
Protein tetramer komplek yang ada di dalam hemoglobin berikatan 4
atom oksigen dan atom oksigen ini terikat pada atom Fe2+ yang terdapat pada
hem. Besi yang berada dalam molekul hemoglobin sangat penting untuk
menjalan fungsi pelepasan dan pengikatan oksigen. Bila tubuh kekurangan zat
besi, maka jumlah hemoglobin akan berkurang sehingga jumlah oksigen yang
dibawa juga berkurang. Misalnya dalam keadaan defisiensi besi yang
menimbulkan kekurangan darah atau anemia (tepat disebutkan sebagai
kekurangan hemoglobin). Adanya besi ini dalam hemoglobin dapat dituliskan
sebagai Hb(Fe). Untuk dapat menjalankan fungsi mengikat oksigen, besi yang
terkandung dalam molekul hemoglobin harus dalam valensi rendah atau
tereduksi (Fe2+ atau ferro). Reaksi pengikatan oksigen oleh hemoglobin :
Hb(Fe2+ ) + O2 ↔ Hb(Fe2+ )O2 .Hemoglobin dengan besi dalam keadaan
tereduksi disebut hemoglobin tereduksi. Tetapi ion besi mempunyai valensi
yang lebih tinggi sehingga bisa terjadi reaksi oksidasi dan besi dalam keadaan
teroksidasi : Fe2+ → Fe3+ + e- . Sehingga terbentuk hemoglobin teroksidasi atau
methemoglobin. Dalam keadaan teroksidasi, methemoglobin ini tidak dapat
menjalankan fungsinya untuk mengikat oksigen. (Murray, 2003) Peningkatan
tingkat dari nitrit dalam darah dapat memicu oksidasi hemoglobin,
menyebabkan methemoglobinemia (1, 2). Mekanisme oksidasi nitrit-
tergantung dari deoxyhemoglobin (deoxyHb) 2 dalam kondisi anaerobik, dan
potensi fisiologis dalam vasodilasi hipoksia baru-baru ini telah didirikan (,3-
5). Namun, mekanisme reaksi antara oksihemoglobin (oxyHb) dan nitrit
belum sepenuhnya ditetapkan. (Barbara P, 2008)
Untuk mengetahui kadar normal dalam darah dapat dilakukan perhitungan
dengan rumus :
Kadar MetHb
Dimana :
Methb : Methemoglobin
OksiHb : Oksihemoglobin
DeoksiHb : Deoksihemoglobin
BAB III
METODE PRAKTIKUM
A. ALAT DAN BAHAN
1. Alat
a. Spuit 3 cc
b. Tourniket
c. Plakon
d. Tabung reaksi
e. Rak tabung reaksi
f. Erlenmeyer 25 cc
g. Mikropipet (10 µl – 100 µl)
h. Yellow tip
i. Kuvet
j. Spektrofometer
2. Bahan
a. Sample darah
b. EDTA
c. Na Nitrit
d. Aquadest
B. TATA URUTAN KERJA
Penetapan Oksihemoglobin
1. Ambil darah probandus menggunakan spuit, lalu masukan ke dalam
plakon yang telah di beri EDTA sebanyak satu spatula, untuk mencegah
penggumpalan.
2. Masukan aquadest 20 cc dalam erlenmeyer 25 cc.
3. Tambahkan plasma pada aquadest sebanyak 10 µl, homogenkan.
4. Masukan pada kuvet sebanyak 5 cc untuk dibaca absorbansinya pada
spektofometer dengan panjang gelombang 546 nm dan nilai faktor 100
Penetapan Deoksihemoglobin
1. Ambil darah probandus menggunakan spuit, lalu masukan ke dalam
plakon yang telah di beri EDTA sebanyak satu spatula, untuk
mencegah penggumpalan.
2. Masukan aquadest 20 cc dalam erlenmeyer 25 cc.
3. Tambahkan plasma pada aquadest sebanyak 10 µl, homogenkan.
4. Lalu tambahkan Na Nitrit hingga warna kecoklatan.
5. Masukan pada kuvet sebanyak 5 cc untuk dibaca absorbansinya pada
spektofometer dengan panjang gelombang 546 nm dan nilai faktor 100
C. NILAI NORMAL
Kadar MetHb dalam darah < 4 %
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL
Identitas Probandus
Nama : Unggul Anugrah Pekerti
NIM : G1A009121
Umur : 18 tahun
Jenis Kelamin : Laki – laki
Kadar : Oksihemoglobin : 4
Deoksihemoglobin : 2
MetHb = (absorb oksi – absorb deoksi) × 100 %
= 4 % - 2 %
= 2 %
Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan, dapat diketahui probandus dalam keadaan
normal karena kadar MetHb 2 % < 4 %.
Oksihemoglobin
+
Aquadest 20 cc Whole Blood 10 µl Homogenkan
Kuvet 5 cc
Di baca absorbansinya dalam spektrofotometer ( λ 546 nm)
Deoksihemoglobin
+
Aquadest 20 cc Wole Blood 10µl Homogenkan + Na nitrit
Kuvet 5 cc
B. PEMBAHASAN
Praktikum pemeriksaan MetHb (Methemoglobin) dalam darah, diawali
dengan pengambilan darah probandus dengan menggunakan spuit sebayak 3 cc.
Setelah diambil, darah dimasukan ke dalam tabung EDTA sebanyak ± 2,5 cc
untuk dilakukan sentrifugasi yang akan digunakan untuk praktikum selanjutnya.
Masukan sisa darah ± 0,5 cc yang berada di sepet ke dalam plakon yang
sudah diberi EDTA (Etilen Diamin Tetra Acetic Acid) sebanyak satu spatula
agar darah tidak menggumpal. Ambil tabung reaksi dua buah lalu isi dengan
aquadest masing – masing 20 ml yang dimana tabung satu untuk pengukuran
oksihemoglobin dan tabung dua untuk pengukuran deoksihemoglobin.
Untuk pengukuran oksihemoglobin yang pertama dilakukan adalah
masukan Whole Blood (darah yang telah ditambah EDTA) sebanyak 10 µl
dengan menggunakan mikro pipet ke dalam tabung satu, lalu homogenkan.
Di baca absorbansinya dalam spektrofotometer ( λ 546 nm)
Setelah itu masukan sebanyak 5 cc ke dalam kuvet untuk dilakukan pengukuran
absorbansi oksihemoglobin di spektrofometer dengan panjang gelombang 546
nm dengan nilai faktor 100.
Sedangkan untuk pengukuran deoksihemoglobin sedikit berbeda yaitu,
setelah dilakukan pencampuran aquadest dengan whole blood dan
dihomogenkan pada tabung dua, ditambahkan Na nitrit sampai berwarna jernih.
Dalam hal ini, Na Nitrit berperan sebagai katalisator untuk mengoksidasi Fe2+
menjadi Fe3+, sehingga terbentuk methemoglobin. Lalu masukan ke dalam kuvet
sebanyak 5 cc. Kemudian, dilakukan pengukuran absorbansi deoksihemoglobin
dengan menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 546 nm
dengan nilai faktor 100.
C. APLIKASI KLINIS
Keadaan MetHb yang tidak normal dalam darah dapat membuat kadar
oksigen yang terikat dalam hemoglobin darah (oksihemoglobin) juga tidak
normal, dengan kata lain keduanya saling berkaitan. Berikut beberapa kelainan
mengenai MetHb :
1. Sianosis
Hemoglobin reduksi mempunyai warna gelap , dan bila konsentrasi
hemoglobin reduksi di dalam darah kapiler lebih besar dari 5 gr/dl, terlihat
warna biru kehitaman pada jaringan, yang disebut sianosis. Terlihatnya
sianosis bergantung pada jumlah total hemoglobin dalam darah, jumlah
hemoglobin yang tidak tersaturasi, serta derajat konstriksi kapiler dalam
sirkulasi. Sianosis paling mudah dilihat pada kuku dan membran mukosa
serta pada cuping telinga, pipi dan jari-jari yaitu pada bagian kulit tertipis.
Sianosis tidak tampak pada:
a.Hipoksia anemia, karena kandungan hemoglobin total yang rendah
b. Pada keracunan karbon monoksida, karena warna hemoglobin reduksi
tertutup oleh warna merah-ceri dari karbon monoksihemoglobin
c.Hipoksia histotoksik, karena kandungan gasa dalam darah normal.
Kadar methemoglobin pada orang yang menderita sianosis lebih
tinggi dari kadar toleransi methemoglobin dalam tubuh. Peningkatan
methemoglobin ini terjadi karena adanya proses oksidasi besi.
2. Methemoglobinemia
Methemoglobinemia dapat diklasifikasikan sebagai keadaan yang
diturunkan atau didapat melalui pemberian obat dan zat kimia tertentu.
Kedua tipe methemoglobinemia ini jarang dijumpai. Penggunaan beberapa
obat tertentu (misal, golongan sulfonamida) atau zat kimia tertentu (misal,
anilin) dapat menyebabkan methemoglobinemia
Methemoglobinemia dapat terjadi jika bila kadar methemoglobin
>11 %. Hal ini disebabkan karena sistem enzim (NADH-NADPH) masih
belum sempurna. Enzim mengalami defisiensi yang menyebabkan kadar
metHb tinggi dan kadar Hb rendah sehingga menghambat pengikatan
oksigen dan terjadi pemupukan karbondioksida.
Methemoglobinemia pada bayi atau yang sering dikenal dengan
penyakit “ Blue Babies “ dapat terjadi bila kadar methemogolobin >11%.
Hal ini disebabkan karena system enzim (NADH-NADPH) masih belum
sempurna. Enzim mengalami defisiensi yang menyebabkan kadar MetHb
tinggi sehingga menghambat pengikatan oksigen dan terjadi penumpukan
karbon dioksida yang memunculkan warna kebiruan.
3. Hipoksia
Hipoksia adalah kadaan dimana tubuh kekurangan oksigen, hal ini
dapat terjadi karena ketidak mampuan sel untuk mengikat oksigen. Kadar
hemoglobin dan MetHb pada orang yang mengalami hipoksia sangat
bervariasi, tergantung jenis hipoksia yang diderita. Kadar hemoglobin
tidak normal (kurang) pada jenis hipoksia anemia.
Hipoksia adalah kekurangan O2 ditingkat jaringan. Hipoksia dibagi
menjadi 4 jenis, yaitu
a. Hipoksia hipoksik (anoksia anoksik), Yaitu apabila PO2 darah
arteri berkurang
b. Hipoksia anemia, yaitu apabila PO2darah arteri normal tetapi
jumlah hemoglobin yang tersedia untuk mengangut O2 berkurang.
c. Hipoksia stagnan atau iskemik, bila aliran darah menuju jaringan
Sangay rendah sehingga tidak cukup O2 diantarkan ke jaringan
meskipun PO2 dan konsentrasi hemoglobin normal.
d. Hipoksia Histotoksik, bila jumlah O2 yang dihantarkan ke jaringan
memadai, tetapi oleh karena kerja suatu agen toksik, sel jaringan tidak
mampu menggunakan O2 yang diantarkan.
4. Anoksia
Istilah hipoksia lebih tepat dibandingkan anoksia , sebab jarang
dijumpai bahwa benar-benar tidak ada O2 tertinggal pada jaringan. Anoksia
adalah suatu keadaan dimana tubuh kehabisan O2 yang berada pada
jaringan. Kehabisan oksigen ini dapat disebabkan oleh berbagai macam
sebab. Salah satunya adalah karena hemoglobin tidak dapat mengikat O2
sehingga sel kekurangan O2. (Guyton & Hall, 1997)
BAB V
KESIMPULAN
1. Dari hasil pemeriksaan MetHb, oksiHb 4 dan deoksiHb 2 maka probandus
memiliki kadar MetHb 2 % yang merupakan kadar normal, karena < 4 %
2. MetHb merupakan hasil oksidasi hemoglobin yang dimana tidak dapat
mengikat oksigen kembali.
3. MetHb dapat diakibatkan oleh Na nitrit yang merupakan senyawa nitrit,
amin aromatik, nitro aromatik dan zat – zat lain yang dapat mengoksidasi
hemoglobin.
4. Aplikasi klinis untuk MetHb antara lain :
a. Sianosis
b. Methemoglobinemia
c. Hipoksia
d. Anoksia
DAFTAR PUSTAKA
Agnes Keszler,Barbora Piknova,Alan N.Schechter et Neil Hogg.2008.The
Reaction between Nitrite and Oxyhemoglobin.America.The Journal of
Biological Chemistry.(Online),vol 283,no.15, (http://www.jbc.org,
diakses 19 Mei 2010).
Enika Nagababu et all.2003.Active Nitric Oxide Produced in the Red Cell under
Hypoxic Conditions by Deoxyhemoglobin-mediated Nitrite Reduction.
America: The Journal of Biological Chemistry.(Online). Available on
URL : http://www.jbc.org
Guyton, Arthur C. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC
Maria .T Salgado, Enika Nagababu et Joseph .M Rifkind. 2009.Quantification
of Intermediates Formed during the Reduction of Nitrite by
Deoxyhemoglobin. America.: The Journal of Biolobical Chemistry.
(Online). Available on URL : http://www.jbc.org
Murray, Robert K., et.al. 2003. Biokimia Harper. Jakarta:EGC.
Soemirat,Juli.2003.Toksikologi Lingkungan. Bandung : Gajah Mada University
Press
BAB I
PENDAHULUAN
A. JUDUL
Pemeriksaan Karboksihemoglobin (Metode Hinsberg – Lang)
B. TANGGAL
Senin, 17 Mei 2010
C. TUJUAN
1. Mahasiswa akan dapat mengukur kadar hemoglobin
dengan metode Hindsberg – Lang.
2. Mahasiswa akan dapat menyimpulkan hasil
pemeriksaan karboksihemoglobin dalam darah pada saat praktikum setelah
membandingkanya dengan nilai normal.
3. Mahasiswa akan dapat melakukan pemeriksaan
penunjang untuk membantu menegakan diagnosa dangan bantuan hasil
praktikum yang dilakukan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DASAR TEORI
Hemoglobin merupakan protein yang terdapat dalam sel darah merah
(SDM) dan berfungsi antara lain untuk :
1. Mengikat dan membawa oksigen dari paru – paru ke seluruh jaringan
tubuh.
2. Mengikat dan membawa karbondioksida dari seluruh jaringan tubuh ke
paru – paru.
3. Memberi warna merah pada darah.
4. Mempertahankan asam – basa tubuh.
Sel – sel darah merah (eritrosit) mampu mengkonsentrasikan
hemoglobin dalam cairan sel sampai sekitar 34 gm/dl sel. Konsentrasi ini tidak
pernah meningkat dari nilai tersebut, karena merupakan batas metabolik dari
mekanisme pembentukan hemoglobin sel.
Hemoglobin merupakan protein tetramet komplek yang setiap
monomernya terikat pada gugus prostetik hem dan keseluruhan mempunyai
berat molekul 64.450 dalton. Darah mengandung 7,8 – 11,2 mmol hemoglobin
monomer 12,6 – 18,4 mol, tergantung pada umur dan jenis kelamin suatu
individu.
Pigmen merah hemoglobin dalam keadaan normal akan mengikat O2
dengan membentuk ikatan oksihemoglobin atau HbO2. Oksigen menempel
pada Fe2+ dalam heme, sedangkan pada orang yang keracunan CO maka
tempat hemoglobin mengikat O2 akan digantikan oleh CO sehingga
membentuk ikatan karbon monoksihemoglobin (karboksihemoglobin). Ikatan
karboksihemoglobin dapat mengantikan ikatan oksihemoglobin karena afinitas
O2 untuk hemoglobin jauh lebih rendah daripada afinitas karbon monoksida
oleh karena itu akan menurunkan kapasitas darah sebagai pengangkut oksigen.
Karbon dan Oksigen dapat bergabung membentuk senyawa karbon
monoksida (CO) sebagai hasil pembakaran yang tidak sempurna dengan
tekanan dan temperatur yang tinggi, seperti pembakaran bensin, batu bara
maupun asap rokok. Karbon monoksida merupakan senyawa yang tidak
berbau, tidak berasa dan pada suhu udara normal berbentuk gas yang tidak
berwarna. Gas CO juga merupakan pencemar yang amat berbahaya dan dapat
meracuni manusia karena ikatannya terhadap hemoglobin membentuk ikatan
karboksihemoglobin (HbCO). Ikatan HbCO lebih besar 200 kali dibandingkan
dengan ikatan Hb dengan oksigen. Jadi aliran oksigen dalam darah ke seluruh
tubuh dihambat oleh adanya gas CO. Gejala keracunan CO adalah sesuai
dengan gejala hipoksia dalam jaringan. Terdapat dua cara untuk megukur
kadar CO, yaitu dengan mengukur kadar karboksi hemoglobin dalam darah
dan mengukur kadar CO dalam udara ekspirasi. Pada keracunan CO yang
berat, akan terbentuk HbCO tinggi yang memberikan tanda sifat merah jambu
pada wajah penderita. Pengangkutan CO memerlukan media yang akan
mengikat dan mendistribusikannya ke seluruh tubuh. Satu komponen utama
eritrosit yang berperan dalam hal tersebut adalah Hb. Molekul Hb terdiri dari
2 bagian yaitu globin dan gugus hem. Globin merupakan protein yang
terbentuk dari 4 rantai polipeptida yang sangat berlipat-lipat. Gugus hem
adalah gugus nitrogenosa nonprotein yang mengandung besi, yang masing-
masing terikat ke satu polipeptida. Selain dengan oksigen juga berikatan
dengan CO2 , bagian ion hidrogen asam dari asam karbonat yang terionisasi,
dan CO (Sherwood, 2001).
Muatan Fe2+ dapat berubah menjadi Fe3+, hal ini dikarenakan oksidasi
oleh senyawa – senyawa pengoksidasi. Hemoglobinya disebut Methemoglobin
(MetHb) atau (HbFe3+) yang dimana hemoglobin dalam bentuk tersebut tidak
dapat mengikat oksigen kembali atau kehilangan afinitasnya dengan oksigen
yang dimana oksigen sangat diperlukan untuk semua sel tubuh. Pengenceran
dapat dilakukan untuk membedakan derivat dari hemoglobin misalnya
oksiHb, Hb dan HbCO yang dimana setiap pengenceran tersebut memiliki ciri
yang khas. OksiHb jika diencerkan akan berwarna merah kakuning –
kuningan, Hb berwarna merah kecoklatan dan HbCO berwarna terang
(carmine tint). Untuk lebih jelasnya lagi dapat dilakukan pengukuran dengan
spektrofometer.
Mayoritas CO endogen diproduksi dalam reaksi dikatalisis oleh enzim
heme oxygenase (HO). Diinduksi HO (HO-1) dan HO konstitutif (HO-2)
sebagian besar diakui untuk peran mereka dalam oksidasi heme dan produksi
CO dan biliverdin. Jaringan distribusi jenis khusus dari HO isoform sebagian
besar terkait dengan tindakan biologis khusus CO pada sistem yang berbeda.
CO berfungsi sebagai molekul sinyal dalam sistem saraf, yang melibatkan
pengaturan neurotransmiter dan melepaskan neuropeptide, pembelajaran dan
memori, dan adaptasi bau respon dan banyak kegiatan saraf lainnya. (Ling
Yun Wu & Rui Wang, 2005)
BAB III
METODE PRAKTIKUM
A. ALAT DAN BAHAN
1. Alat
a. Spuit 3 cc
b. Tourniquet
c. Plakon
d. Pipet ukur 5 ml
e. Mikro pipet (10 µl – 100 µl)
f. Yellow tip
g. Erlenmeyer 50 ml
h. Spatula
i. Tabung reaksi 10 ml
j. Rak tabung reaksi
k. Kuvet
l. Spektrofometer
2. Bahan
a. Sampel darah
b. EDTA
c. Amonia 0,1 %
d. Sodium dithionit
B. TATA URUTAN KERJA
1. Siapkan sampel darah probandus berupa whole blood (darah 1 cc +
EDTA) di dalam plakon.
2. Masukan ammonia 0,1 % sebanyak 20 ml ke dalam erlenmeyer 50 ml.
3. Ambil whole blood sebanyak 10 µl dengan menggunakan mikro pipet dan
yellow tip.
4. Masukan ke dalam erlenmeyer yang berisi ammonium 0,1 %
5. Kemudian bagi menjadi dua ke dalam tabung reaksi, masing – masing
sebanyak 10 ml.
a. Tabung 1 : tanpa ditambahkan sodium dithionit.
b. Tabung 2 : ditambahkan sodium dithionit sebanyak satu spatula.
6. Inkubasi selama 5 menit,
7. Masukan kedua campuran tersebut ke dalam kuvet secukupnya,
8. Lalu ukur absorbansinya pada spektrofometer dengan panjang gelombang
546 nm dan nilai faktor 6,08.
C. NILAI NORMAL
CO endogen : 0,7 %
HbCO : < 1 %
Batas toleransi HbCO : 2 % - 4 %
5 % : mulai timbul gejala / tidak normal / keracunan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL
Identitas Probandus
Nama : Unggul Anugrah Pekerti
NIM : G1A009121
Umur : 18 tahun
Jenis Kelamin : Laki – laki
Hasil pengukuran :
a. Tabung 1 : tanpa ditambah sodium dithionit = 0,06 BR (A)
b. Tabung 2 : dengan ditambah sodium dithionit = 0,02 %
Dari hasil pengukuran sampel darah probandus didapatkan kadar HbCO 0,02
% yaitu kadar HbCO dalam darah probandus dalam keadaan normal, karena
kadar HbCO < 1 %.
Tabung 1
+
Whole Blood Ammonia 0,1 % Homogenkan Tabung 210 µl 20 ml
+ Sodium dithionit
inkubasi kuvet
Spektrofometer ( gel 546 nm )
B. PEMBAHASAN
Pada praktikum pemeriksaan HbCO, menggunakan sampel darah
probandus yang diambil menggunakan spuit. Darah yang telah diambil lalu
dimasukan ke dalam plakon yang telah di beri EDTA (Etilen Diamin Tetra
Acetic Acid) sebanyak satu spatula agar tidak menggumpal. Whole blood
(darah + EDTA) diambil sebanyak 10 µl dengan menggunakan mikro pipet
dan yellow tip, lalu masukan ke dalam erlenmeyer yang telah diisi dengan
ammonia 0,1 % sebanyak 20 ml, homogenkan.
Campuran whole blood dengan ammonia yang telah dihomogenkan
dibagi menjadi dua pada tabung reaksi satu dan dua yang masing – masing 10
ml. Pemberian amonium salisilat pada saat praktikum bertujuan untuk
melarutkan HbCO dan membuat ikatan antara Hb dan CO menjadi lebih
renggang. Pada tabung reaksi satu tidak ditambahkan dengan sodium dithionit
sedangkan pada tabung reaksi dua ditambahkan sodium dithionit sebanyak
satu spatula untuk mengukur kadar HbCO, lalu diinkubasi selama 5 menit.
Setelah diinkubasi kemudian tuang campuran pada tabung satu dan tabung dua
ke dalam masing – masing kuvet secukupnya, untuk dilakukan pengukuran
absorbansi dengan menggunakan alat spektrofometer.
Hemoglobin yang berikatan dengan CO kandungan besi yang
terkandung di dalalamnya akan berubah dari besi ferro (Fe+2) menjadi ferri
(Fe+3). Hemoglobin merupakan suatu protein yang kompleks, tersusun dari
protein globin dan suatu senyawa bukan protein yang dinamakan hem. Hem
tersusun dari suatu senyawa lingkar yang bernama porfirin, bagian pusatnya
ditempati oleh logam besi ( Fe). Jadi hem adalah senyawa porfirin-besi (Fe-
porfirin), sedangkan hemoglobin adalah kompleks antara globin-hem. Satu
molekul hem mengandung satu atom besi, demikian pula 1 protein globin
hanya mengikat 1 molekul hem. Jadi, dalam tiap molekul hemoglobin
terkandung 4 atom besi.
Protein tetramer komplek yang ada di dalam hemoglobin berikatan 4
atom oksigen dan atom oksigen ini terikat pada atom Fe2+ yang terdapat pada
hem. Besi yang berada dalam molekul hemoglobin sangat penting untuk
menjalan fungsi pelepasan dan pengikatan oksigen. Bila tubuh kekurangan zat
besi, maka jumlah hemoglobin akan berkurang sehingga jumlah oksigen yang
dibawa juga berkurang. Misalnya dalam keadaan defisiensi besi yang
menimbulkan kekurangan darah atau anemia (tepat disebutkan sebagai
kekurangan hemoglobin). Adanya besi ini dalam hemoglobin dapat dituliskan
sebagai Hb(Fe)4. Untuk dapat menjalankan fungsi mengikat oksigen, besi
yang terkandung dalam molekul hemoglobin harus dalam valensi rendah atau
tereduksi (Fe2+ atau ferro). Reaksi pengikatan oksigen oleh hemoglobin :
Hb(Fe2+ ) + O2 ↔ Hb(Fe2+ )O2 .Hemoglobin dengan besi dalam keadaan
tereduksi disebut hemoglobin tereduksi. Tetapi ion besi mempunyai valensi
yang lebih tinggi sehingga bisa terjadi reaksi oksidasi dan besi dalam keadaan
teroksidasi : Fe2+ → Fe3+ + e- . Sehingga terbentuk hemoglobin teroksidasi atau
methemoglobin. Dalam keadaan teroksidasi, methemoglobin ini tidak dapat
menjalankan fungsinya untuk mengikat oksigen. (Murray, 2003)
C. APLIKASI KLINIS
1. Sickle Sell (anemia bulan sabit)
Pada penderita penyakit ini, hemoglobin yang umum ditemukan
bukan HbA, melainkan hemoglobin khusus bernama HbS. Globin β dalam
HbS berbeda dengan yang ada dalam HbA. Asam amino ke 6 dari globin β
tersebut tidak lagi asam glutamat melainkan sudah digantikan dengan
asam amino lain, yaitu valin. Walaupun perubahan ini sangat kecil, hanya
1 asam amino dari 574 asam amino molekul hemoglobin utuh (0,17 %),
tetapi dampaknya sangat besar. HbS menjadi sukar larut bila telah
melepaskan oksigen dan mengikat H+. Akibatnya, bentuk sel darah merah
yang mengandung HbS tidak lagi bikonkaf melainkan seperti sabit.
Perubahan ini terjadi terutama ketika sel darah merah tersebut berada
dalam pembuluh kapiler. Sel yang berubah bentuk ini juga dengan cepat
dihancurkan oleh sel-sel fagosit, sehingga dalam jangka panjang terjadilah
anemia.
Mutasi pada salah satu amino yang mengakibatkan terjadinya Hb
tidak lazim tidak selalu menyebabkan anemia. Anemia baru akan terjadi
jika Hb tidak lazim yang terbentuk mengalami perubahan sifat-sifat
fisikokimia sehingga terlacak oleh sel-sel fagosit sebagai suatu benda
asing atau sebagai sel darah merah yang sudah menua sehingga harus
disingkirkan.
2. Thalasemia
Seperti yang telah diketahui, molekul hemoglobin merupakan
heterotetramer (tetramernya tidak seragam) dan tersusun dari dua macam
protein globin. Pada penyakit ini, sel bakal darah merah tidak mampu
mensintesis salah satu globin tersebut, biasanya globin β. Akibatnya,
sebagai imbangannya dibuatlah globin γ dalam jumlah yang tidak
mencukupi, atau bahkan hanya globin α. Dalam keadaan yang terakhir ini,
hemoglobin yang terbentuk bukan lagi heteritetramer melainkan
homotetramer, berupa α4. Hemoglobin seperti ini tidak stabil dan mudah
dioksidasi oksigen yang dibawanya sendiri. Akibatnya, hemoglobin
tersebut rusak karena teroksidasi menjadi methemoglobin dan sel darah
merah yang mengandung hemoglobin yang teroksidasi dan rusak tersebut
dengan cepat dihancurkan oleh sel-sel fagosit. Dengan demikian terjadilah
anemia.
3. Hipoksia
Suatu keadaan insufisiensi O2 tingkat sel. Ada 4 macam kategori
hipoksia yaitu hipoksia hipoksik, hipoksia anemik, hipoksia sirkulasi, dan
hipoksia hiptotoksik. Salah satu dari jenis hipoksia yang berkaitan
dengan penurunan kapasitas darah dalam mengangkut O2 yaitu hipoksia
anemik. Salah satu penyebabnya adalah keracunan CO. CO
menyebabkan Hb tidak bisa mengikat O2 sehingga sel mengalami
kekurangan O2 sehingga gagal dalam proses pembentukan ATP. Selain
CO, penyebab hipoksia anemik diantaranya adalah penurunan jumlah
eritrosit dalam sirkulasi dan jumlah Hb yang tidak adekuat untuk
mengikat O2. Pada umumnya, hipoksia anemik memiliki kondisi dengan
tekanan O2 normal, namun kandungan O2 arteri lebih rendah karena Hb
yang tersedia tidak adekuat (Sherwood, 2001).
BAB V
KESIMPULAN
1. Hasil pengukuran sampel darah probandus didapatkan kadar HbCO
0,02 % yaitu kadar HbCO dalam darah probandus dalam keadaan normal,
karena kadar HbCO < 1 %.
2. Gas karbonmonoksida (CO) merupakan gas yang berbahaya,
karena karakteristiknya yang dapat mengikat Hb 200 kali lebih kuat dari
pada dengan oksigen (O2) tidak berbau, tidak berasa dan tidak berwarna
sehingga sulit untuk diidentifikasi dan dapat menimbulkan kematian.
3. Manifestasi klinik antara lain yaitu :
a. Sickle Sell (anemia bulan sabit)
b. Thalasemia
c. Hipoksia
DAFTAR PUSTAKA
Agnes Keszler,Barbora Piknova,Alan N.Schechter et Neil Hogg.2008.The
Reaction between Nitrite and Oxyhemoglobin.America.The Journal of
Biological Chemistry.(Online),vol 283,no.15, (http://www.jbc.org,
diakses 19 Mei 2010).
Ling Yun Wu et Rui Wang. 2005. Carbon Monoxide: Endogenous Production,
Physiological Functions, and Pharmacological Applications. America:
Pharmacology and Experimental Therapeutics.(online). Available on
URL : http://pharmrev.aspetjournals.org
Maria .T Salgado, Enika Nagababu et Joseph .M Rifkind. 2009.Quantification
of Intermediates Formed during the Reduction of Nitrite by
Deoxyhemoglobin. America.: The Journal of Biolobical Chemistry.
(Online). Available on URL : http://www.jbc.org
Murray, Robert K., et.al. 2003. Biokimia Harper. Jakarta:EGC.
Sherwood, Lauralle.2001.Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta : EGC.
Guyton, Arthur C. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC
Soemirat, Juli.2003.Toksikologi Lingkungan. Bandung : Gajah Mada Unoversity
Press
BAB I
PENDAHULUAN
A. JUDUL
Pemeriksaan Asetilkolinesterase (Metode DGKC – New)
B. TANGGAL
Senin, 17 Mei 2010
C. TUJUAN
1. Mahasiswa akan dapat mengukur kadar enzim asetilkolinesterase dengan
metode DGKC new.
2. Mahasiswa akan dapat menyimpulkan hesil pemeriksaan enzim
asetilkolinesterase pada saat praktikum setelah membandingkanya dengan
nilai normal.
3. Mahasiswa akan dapat melakukan diagnosa dini penyakit apa saja yang
ditandai oleh hasil aktivitas enzim asetilkolinesterase abnormal / patologis
melalui bantuan hasil praktikum yang dilakukan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DASAR TEORI
Asetilkolin (Ach) merupakan zat yang dilepaskan oleh nervus yang
terkena rangsang. Dalam ujung saraf kolinergik, Ach disimpan dalam
gelembung sinaps yang dilepaskan oleh NAP (Nervus Action Potencial).
Sebagai transmitter asetilkolin harus diinaktifkan dalam waktu yang cepat.
Pada sambungan saraf otot, Ach dirusak secara cepat dalam waktu kurang dari
satu milidetik. Kolinesterase yang tersebar luas di berbagai jaringan dan cairan
tubuh, menghidrolisis Ach menjadi kolin dan asam asetat. Ada dua macam
kolinesterase yaitu asetilkolinesterase (AchE) dan butirilkolinesterase
(BuchE). Asetilkolinesterase terutama terdapat pada tempat transmisi
kolinergik pada membran pra maupun post sinaps dan AchE merupakan
kolinesterase sejati yang terutama berfungsi memecah Ach. Sedangkan
butirilkolinesterase (BuchE) berfungsi dalam mengeliminasi suksinilkolin
yaitu suatu obat relaksan otot rangka dan fungsi fisiologis lainya belum
diketahui, lalu AchE menghidrolisis metakolin.
Enzim AchE menghentikan transmisi kolinergik sehingga
penghambatan terhadap enzim ini misal oleh suatu senyawa organophospat
(sejenis insektisida) menyebabkan aktifitas kolinergik yang berlebihan dan
perangsangan reseptor kolinergik secara terus menerus yang diakibatkan oleh
penumpukan Ach yang tidak dihidrolisis oleh kolinesterase. Zat yang
menghambat Ach dikenal sebagai antikolinesterase (anti AchE). Dalam urutan
kekuatan yang meningkat dikenal senyawa – senyawa anti AchE sebagai
berikut : fisostigmin, prostigmin, diisoprophil fluoro phospat (DFP) dan
senyawa – senyawa insektisida organophospat seperti malation, paration, dll.
Kontraksi otot terjadi dimana jika suatu potensial aksi berjalan di
sepanjang saraf motorik sampai ke ujung dan pada setiap ujung saraf
mengekskresi substansi neurotransmiter, yaitu asetilkolin. Asetilkolin bekerja
pada area setempat pada membran serat otot untuk membuka banyak gerbang
asetilkolin. Potensial aksi terjadi bila natrium masuk melalui gerbang
asetilkolin yang terbuka dan berjalan di sepanjang membran serat otot
sehingga menimbulkan depolarisasi. Pada tempat dimana potensial aksi
retikulum sarkoplasma melepaskan sejumlah besar ion kalsium yang
menimbulkan kekuatan yang menarik antara filamen aktin dan miosin yang
menyebabkan gerak bersama – sama dan menghasilkan proses kontraksi.
(Guyton & Hall, 1997)
Inaktivasi ACh disebabkan oleh adanya enzim asetilkolinesterase yang
terdapat pada membran motor end plate. Enzim ini mengontrol kontraksi otot
dengan menghentikan aktvitas listrik di serat otot jika tidak ada sinyal.
Kontraksi otot terjadi karena ACh berkontak dengan motor end plate sehingga
aliran Na+ dan K+ tetap ada untuk menimbulkan energi potensial. Jika kerja
ACh ini terus dibiarkan maka otot akan terus bekerja hingga kelelahan
walaupun tidak ada potensial aksi lebih lanjut di neuron motorik (Sherwood,
2001).
Dengan tidak adanya aktivitas otot postsynaptic atau menimbulkan
pelepasan neurotransmitter saraf presynaptic, penyisipan AChE mengalami
penurunan secara signifikan, sedangkan stimulasi langsung dari otot
dipulihkan sepenuhnya penyisipan AChE untuk mengendalikan jumlahnya.
AChE bergantung ditengahi oleh kalsium intraselular. Pada otot dirangsang
dengan adanya blocker saluran Ca2 + atau chelator + kalsium-permeabel Ca2,
penyisipan AChE ke sinapsis menurun, sedangkan ryanodine atau ionofor
A12387 pengobatan diblokir dan unstimulated sinapsis penyisipan AChE
mengalami peningkatan yang signifikan. Ini menunjukkan bahwa aktivitas
sinaptik sangat penting untuk dimasukkan AChE dan menunjukkan kenaikan
kalsium intraselular kalsium baik melalui saluran tegangan gated atau dari
toko intraseluler sangat penting untuk dimasukkan AChE tepat ke sinaps
dewasa. (Martinez et all, 2005)
BAB III
METODE PRAKTIKUM
A. ALAT DAN BAHAN
1. Alat
a. Spuit 3 cc
b. Tourniquet
c. Plakon
d. Eppendorf
e. Sentrifugator
f. Mikro pipet (10 µl – 1000 µl)
g. Yellow tip
h. Pipet ukur 5 ml
i. Kuvet
j. Spektrofometer
2. Bahan
a. Darah
b. EDTA
c. Reagen 1 (buffer kolinesterase)
d. Reagen 2 (substrat butiril kolin)
B. TATA URUTAN KERJA
1. Persiapan sampel (plasma) :
a. Ambil darah probandus sebanyak 3 cc menggunakan spuit.
b. Masukan darah ke dalam tabung eppendorf yang sebelumya telah
diberi EDTA dan didiamkan selama 10 menit dalam suhu ruangan.
c. Darah yang sudah diberi EDTA kemudian disentrifuge dengan
kecepatan 4000 rpm selama 10 menit.
2. Persiapan working reagen :
Reagen 1 (buffer kolinesterase) dicampur dengan reagen 2 (substrat
butirilkolin) dengan perbandingan 4 : 1, kemudian diambil sebanyak 1000
µl untuk dilakukan pengujian.
3. Working reagen sebanyak 1000 µl dicampur dengan 10 µl
plasma pada kuvet, lalu diinkubasi selama 3 menit.
4. Setelah inkubasi kemudian dilakukan pengukuran pada
spektofometer dengan panjang gelombang 405 nm dan nilai faktor 13160
dalam satu menit.
C. NILAI NORMAL
Laki – laki : 5100 – 11700 U/l
Permpuan : 4000 – 12600 U/l
Aktivasi kolinterase = X × 100 %
Nilai normal (min)
Ket :
X : hasil pengukuran ×10
Aktivasi :
≥ 75 % : normal
50 – 74 % : ringan
25 – 49 % : sedang
< 25 % : berat
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL
Identitas Probandus
Nama : Unggul Anugrah Pekerti
NIM : G1A009121
Umur : 18 tahun
Jenis Kelamin : Laki – laki
Setelah diukur menggunakan spektofometer menunjukan hasil : 915,21
Jadi X = 915,21 × 10
= 9152,1
Ini menunjukan bahwa probandus memiliki kadar kolinterase normal, karena
dalam rentang 5.100 – 11.700.
Sedangkan untuk aktivasi kolinterase didapat :
Aktivasi kolinterase = X × 100 % Nilai normal (min)
= 9152,1 × 100 %
5.100
= 179,45 %
Berdasarkan dari hasil perhitungan aktivasi kolinterase, probandus dalam
keadaan normal karena ≥ 75 %.
Plasma
Darah Serum
Sentrifuge 10 menit pada 4000 rpm
Plasma 10 µl Beaker glass Tabung reaksi
+
Reagen 1 Reagen 2 Kuvet 4 ml 1 ml
Spektrofometer 405 nm
B. PEMBAHASAN
Pada pemeriksaan asetilkolinesterase (AchE) yang pertama dilakukan
adalah mengambil darah probandus dengan menggunakan spuit sebanyak 3 cc.
Tetapi pada pemeriksaan sebelumnya telah dilakukan pengambilan darah
probandus sebanyak 3 cc, dan telah digunakan pada pemeriksaan MetHb dan
HbCO sebanyak 0,5 cc sehingga tersisa darah 2,5 cc. Darah tersebut telah
dimasukan ke dalam tabung eppendorf lalu disentrifuge pada 4000 rpm selama
10 menit.
Setelah 10 menit, pada tabung eppendorf tampak plasma dan serum
darah. Plasma pada bagian atas berwarna kuning jernih sedangkan serum di
bagian bawah berwarna merah gelap. Pada praktikum ini yang digunakan
adalah plasma darah. Ambil plasma sebanyak 10 µl dengan menggunakan
mikro pipet dan yellow tip, lalu masukan ke dalam tabung reaksi yang telah
berisi reagen 1 (buffer kolinterase) dan reagen 2 (substrat butirilkolin) dengan
pebandingan 4 : 1 setelah itu homogekan dan inkubasi selama 3 menit.
Setelah diinkubasi tuang campuran ke dalam kuvet untuk dilakukan
pengukuran pada spektrofometer. Setelah dilakukan pengukuran dihasilkan
angka 915,21 pada spektrofometer. Untuk mengukur kadar asetilkolinesterase
dilakukan perhitungan perkalian dengan 10 maka dihasilkan kadar
asetilkolinesterase 9152,1.
C. APLIKASI KLINIS
1. Botulism
Botulism merupakan penyakit yang diakibatkan oleh toksin
Clostridium botulinum yang dimana bakteri tersebut hidup anaerob. Gejala
awal pada botulism adalah mata tidak dapat berfokus dan kelemahan otot yang
terakhir dengan paralisis tungkai. (Sumirat, 2003)
Toksin yang dihasilkan sangat mematikan, karena dalam satu miligram
toksin murni dapat mematikan satu juta hewan uji. Toksin ini merupakan
protein dengan berat molekul 1500.000. Toksisitas terjadi apabila toksin
berikatan dengan membran pre-sinaptik pada sinaps neuro-muskuler, dan
memblokir pengeluaran (eksositosis) enzim asetilkolin. Dengan tidak adanya
asetilkolin, maka impuls saraf tidak dapat diteruskan pada otot dan kontraksi
otot tidak terjadi sehingga terjadi kelumpuhan. (Sumirat, 2003)
2. Miastenia Gravis
Miastenia gravis merupakan kelumpuhan ketidak mampuan
sambungan neuro muskular untuk menghantarkan sinyal dari serat syaraf ke
serat otot. Secara patologis, di dalam darah penderita terlihat antibodi yang
menyerang protein transpor bergerbang asetilkolin. Pada penyakit ini ada
anggapan bahwa orang yang mengalami miastenia gravis adalah akibat reaksi
autoimun, karena pada penderita terbentuk antibodi yang melawan saluran ion
teraktivasi asetilkolin miliknya sendiri. Apabila penyakit cukup parah,
penderita meninggal akibat paralisis, terutama paralisis otot pernapasan.
Biasanya penyakit ini dapat disembuhkan dengan pemberian neostigmin atau
beberapa obat antikolinesterase lainya. (Guyton & Hall, 1997)
BAB V
KESIMPULAN
1. Hasil pengukuran AchE pada probandus didapatkan kadar 9152,1 dalam
keadaan normal, karena dalam rentang 5.100 – 11.700 U/l. Untuk aktivasi
AchE didapatkan 179,45 %.
2. Enzim AchE merupakan enzim yang amat penting untuk mengatur kadar
neurotransmiter.
3. Dalam jumlah yang tidak normal Ach maupun AchE dapat menimbulkan
gejala patologis seperti gemetar.
4. Aplikasi klinis antara lain :
a. Botulism
b. Miastenia Gravis
DAFTAR PUSTAKA
Deschenes, Julie et all. 2005. The RNA-binding Protein HuR Binds to
Acetylcholinesterase Transcripts and Regulates Their Expression in
Differentiating Skeletal Muscle Cells. America: The Journal of Biological
Chemistry. (online). Available on URL : http://www.jbc.org
Carlos .A Ruiz et Richard .L Rotundo.2009. Dissociation of Transcription,
Translation, and Assembly of Collagen-tailed Acetylcholinesterase in
Skeletal Muscle. America: The Journal of Biological Chemistry. (online).
Available on URL : http://www.jbc.org
Guyton, Arthur C. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC
Martinez, Isabel et all. 2005. In Vivo Regulation of Acethylcolinesterase
Insertion at The Neuro Muscular Junction. America: The Journal of
Biological Chemistry. (online). Available on URL : http://www.jbc.org
Murray, Robert K., et.al. 2003. Biokimia Harper. Jakarta:EGC.
Sherwood, Lauralle.2001.Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta : EGC.
Soemirat, Juli.2003.Toksikologi Lingkungan. Bandung : Gajah Mada University
Press