lap 7

24
1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hidroakustik merupakan suatu teknologi yang digunakan untuk pendeteksian bawah air dengan menggunakan perangkat akustik. Teknologi ini memanfaatkan perambatan suara atau bunyi untuk melakukan pendeteksian. Keunggulan komparatif metode akustik antara lain: berkecepatan tinggi (great speed), sehingga sering disebut “quick assesment method”, memungkinkan memperoleh dan memproses data secara real time, akurasi dan ketepatan (accuracy and precision), dilakukan dengan jarak jauh (remote sensing) tanpa perlu adanya kontak langsung dengan objek. Teknologi Hidroakustik dapat dimanfaatkan untuk mengetahui sebaran ikan yang ada di perairan baik dekat permukaan (surface), kolom perairan (pelagic), maupun dekat dasar (bottom). Teknologi akustik merupakan salah satu metode yang sangat efektif dan berguna untuk eksplorasi dasar laut. Pengambilan data dasar perairan seringkali memiliki kendala, misalnya dengan metode grab, yang hanya dapat digunakan pada wilayah kedalaman yang terbatas dengan waktu yang tidak singkat. Dengan menggunakan metode hidroakustik, pengambilan data atau informasi tentang dasar perairan menjadi lebih mudah. Dengan metode ini kita dapat mengetahui tipe dasar dari suatu perairan

Upload: nerangel-lv

Post on 03-Jul-2015

232 views

Category:

Documents


21 download

TRANSCRIPT

Page 1: Lap 7

1

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hidroakustik merupakan suatu teknologi yang digunakan untuk

pendeteksian bawah air dengan menggunakan perangkat akustik. Teknologi ini

memanfaatkan perambatan suara atau bunyi untuk melakukan pendeteksian.

Keunggulan komparatif metode akustik antara lain: berkecepatan tinggi (great

speed), sehingga sering disebut “quick assesment method”, memungkinkan

memperoleh dan memproses data secara real time, akurasi dan ketepatan

(accuracy and precision), dilakukan dengan jarak jauh (remote sensing) tanpa

perlu adanya kontak langsung dengan objek. Teknologi Hidroakustik dapat

dimanfaatkan untuk mengetahui sebaran ikan yang ada di perairan baik dekat

permukaan (surface), kolom perairan (pelagic), maupun dekat dasar (bottom).

Teknologi akustik merupakan salah satu metode yang sangat efektif dan

berguna untuk eksplorasi dasar laut. Pengambilan data dasar perairan seringkali

memiliki kendala, misalnya dengan metode grab, yang hanya dapat digunakan

pada wilayah kedalaman yang terbatas dengan waktu yang tidak singkat. Dengan

menggunakan metode hidroakustik, pengambilan data atau informasi tentang

dasar perairan menjadi lebih mudah. Dengan metode ini kita dapat mengetahui

tipe dasar dari suatu perairan dengan menggunakan nilai Backscattering volume

dasar perairan/substrat.

1.2 Tujuan

Tujuan dari praktikum ini adalah memberi pengetahuan kepada mahasiswa

agar mengetahui cara pengolahan data echogram untuk mengetahui nilai

backscattering dasar perairan dan mengklasifikasikan tipe dasar perairan

berdasarkan nilai Backscattering volume (Sv) yang dipantulkan substrat. Dimana

semakin besar nilai E1 dan E2  menggambarkan jenis sedimen suatu perairan

sebagian besar berupa substrat keras dan sebagian besar memiliki kenampakan

megaskopis.

Page 2: Lap 7

2

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Metode Akustik untuk Pendeteksian Target

Metode akustik adalah teori tentang gelombang suara dan perambatannya di

suatu medium dalam hal ini mediumnya adalah air. Akustik kelautan merupakan

proses pembentukan gelombang (pulsa) suara dan sifat-sifat perambatannya serta

proses-proses selanjutnya yang dibatasi oleh air laut (Burczynski, 1982).

Gambar 1. Prinsip kerja metode hidroakustik (MacLennan dan Simmonds, 1992)

Instrumen akustik perikanan yang disebut echosounder merupakan

instrumen yang memancarkan dan membangkitkan gelombang suara pada

frekuensi tertentu ke kolom perairan. Gelombang suara tersebut melintasi air

hingga membentur obyek baik di kolom air maupun dasar laut kemudian

gelombang suara tersebut dipantulkan kembali untuk diterima oleh echosounder

(FAO, 1984).

Pendugaan survei akustik terhadap sekelompok ikan, biasanya didasarkan

pada asumsi mengenai intensitas nilai total echo dari sekelompok target sama ke

perhitungan aritmatik pada kontribusi echo dari ikan tunggal (Johannesson dan

Mitson, 1983). Metode akustik yang digunakan untuk memperoleh data

kelimpahan ikan dapat menggunakan metode dasar berupa echo counting dan

echo integration. Echo counting dapat menghitung densitas ikan pada saat volume

yang disampling rendah, dimana nilai echo dari ikan tunggal dapat dengan mudah

dipisahkan dan dihitung satu persatu. Metode echo counting jarang digunakan

dalam menduga kelimpahan ikan yang bergerombol. Hal ini disebabkan karena

Page 3: Lap 7

3

densitas ikan tidak homogen dan pada umumnya tinggi, sehingga akan

menyebabkan terjadinya overlap dari echo ikan. Echo dari ikan yang berada di

dasar perairan memiliki sinyal yang lebih kuat dibandingkan dengan ikan yang

berada di seabed (MacLennan dan Simmonds, 1992)

Pada metode echo integrator dapat diketahui jumlah kumpulan ikan

dan volume sampel yang relevan dengan ikan. Kelimpahan total dapat

diperkirakan dari densitas rata - rata dikalikan dengan volume air di daerah

tertentu (MacLennan et al., 2002).  Masing – masing individu target merupakan

sumber dari reflected sound wave, jadi output dari integrasi akan proporsional

dengan kuantitas ikan dalam kelompok. Kelimpahan ikan yag bergerombol dapat

dihitung dengan menggunakan echo integrator, dimana total biomassa dari ikan

tunggal dan ganda dapat dipisahkan, sehingga kemungkinan terjadinya overlap

akan semakin rendah. Pada dasarnya echo integrator berguna untuk mengubah

energi total dari echo ikan menjadi densitas ikan dalam ikan/m3 atau kg/m3

(MacLennan dan Simmonds, 1992).

2.2 Threshold

Treshold (ambang batas) merupakan limit sinyal level atau nilai yang

membatasi suatu sinyal input yang akan diproses, sehingga sinyal lain yang diluar

dari limit tersebut akan dihilangkan. Salah satu fungsi treshold yaitu dapat

mengurangi noise ketika pemrosesan data dan hanya memproses data yang berada

dalam limit. Pemilihan limit dari treshold disesuaikan dengan tujuan pemrosesan

data sehingga output dari data yang diproses sesuai yang diinginkan.

Pada dasarnya ambang sinyal diterapkan untuk menghapus suara atau sinyal

yang tidak diinginkan dari sinyal yang dihasilkan oleh echosounder, baik itu

kebisingan yang berasal dari listrik di peralatan, akustik gaung atau gema

gabungan dari non target spescies plankton misalnya dalam kasus survei ikan.

Apapun sumber, mengaburkan suara gema yang lebih kecil dengan ukuran

keinginan. Ketika sebuah sinyal threshold diterapkan, setiap gema lebih kecil

daripada ambang batas juga diabaikan. Bias tergantung pada rasio amplitudo

sinyal dan noise (SNR) (McLennan dan Simmonds, 1992).

2.3 Sedimen Dasar Laut

Page 4: Lap 7

4

Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui

proses hidrologi dari suatu tempat ke tempat yang lain, baik secara vertikal

maupun secara horizontal. Seluruh permukaan dasar laut ditutupi oleh partikel-

partikel sedimen yang diendapkan secara perlahan-lahan dalam jangka waktu

berjuta-juta tahun (Garrison, 2005).

Ukuran-ukuran partikel sedimen merupakan salah satu cara yang mudah

untuk menentukan klasifikasi sedimen. Klasifikasi berdasarkan ukuran

partikelnya menurut Wentworth (1922) dalam Dale dan William (1989) dapat

dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi sedimen berdasarkan ukuran

Sumber: Dale dan William (1989)

Chester (1993) membagi sedimen menjadi 2 kelompok yaitu:

Nearshore sediment, sebagian besar endapan sedimen berada di dasar

laut yang dipengaruhi kuat oleh kedekatannya dengan daratan sehingga

mengakibatkan kondisi fisika kimia dan biologi di sedimen ini lebih

bervariasi dibandingkan dengan sedimen laut dalam.

Deep-sea sediment, sebagian besar mengendap di perairan dalam di atas

500 m dan banyak faktor seperti jauhnya dari daratan, reaksi antara

komponen terlarut dalam kolom perairan serta hadirnya biomassa khusus

yang mendominasi lingkungan laut dalam yang menyebabkan sedimen ini

merupakan habitat yang unik dan memiliki karakteristik yang sangat

berbeda dengan daerah dekat laut.

Page 5: Lap 7

5

Karakteristik sedimen dapat menentukan morfologi fungsional, tingkah

laku dan kendali terhadap distribusi hewan bentos. Adaptasi terhadap tipe substrat

akan menentukan morfologi, cara makan dan adaptasi fisiologi organisme

terhadap suhu, salinitas dan faktor kimia lainnya (Hutabarat dan Stewart, 2000).

Klasifikasi sedimen dapat dilakukan dengan menggunakan diagram pasir,

lumpur dan tanah liat seperti pada Gambar 2.

Gambar 1. Diagram Sand, Silt and Clay (Blott dan Kenneth, 2001)

2.4 Acoustic Backscattering Dasar Laut

Jackson et al. (1986) menjelaskan bahwa terdapat faktor dependensi yang

lemah dari nilai backscattering yang dihasilkan terhadap sedimen yang relatif

halus. Stanic et al. (1989) mengatakan dimana nilai backscattering yang

dihasilkan dari empat tipe sedimen: lumpur, pasir, kerikil dan batu menunjukan

korelasi dengan ukuran butiran. Pemodelan akustik yang lebih lanjut diperlukan

guna mendapatkan hubungan antara sifat-sifat fisik sedimen dan sifat-sifat

akustik.

Dasar perairan memiliki karakteristik menghamburkan kembali

gelombang suara seperti halnya permukaan perairan atau laut. Namun efek yang

dihasilkan lebih kompleks karena sifat dasar laut yang tersusun atas beragam

unsur mulai dari bebatuan yang keras hingga lempung yang halus dan tersusun

atas lapisan-lapisan yang memiliki komposisi yang berbeda-beda (Urick, 1983).

Page 6: Lap 7

6

Nilai backscattering yang diberikan oleh dasar perairan biasanya memiliki

intensitas tertentu, namun diperlukan threshold agar nilai backscattering dari

dasar laut yang ingin diamati dapat terekam dengan baik. Orlowski (2007)

menyebutkan bahwa batas minimum deteksi (threshold) echo yang kembali dari

dasar perairan adalah -60 dB dengan mengacu pada standar instrumen

hidroakustik EY500. Backscattering pada dasar berbatu memberikan nilai yang

lebih besar dibandingkan dengan dasar berlumpur. Hal ini dijadikan sebagai suatu

landasan untuk mengaitkan backscattering dari dasar laut terhadap tipe dasar lain,

seperti lumpur, lempung, pasir, batu.

Urick (1983) menjelaskan bahwa pada dasarnya tidak terdapat hubungan

yang kuat antara frekuensi yang digunakan dengan nilai backscattering strength

yang dihasilkan dari dasar laut dengan tipe batu dan pasir berbatu dan pasir yang

mengandung cangkang kerang. Hal ini diakibatkan oleh tekstur permukaan dasar

yang cenderung lebih kasar sehingga energi suara yang mengenai dasar tersebut

akan terhamburkan. Jenis dasar dan sedimen yang lebih halus, penggunaan

frekuensi diatas 10 kHz akan memperlihatkan kecenderungan adanya hubungan

antara frekuensi dan jenis dasar perairan.

Pada kasus sedimen berpasir, nilai backscattering yang didapatkan

cenderung meningkat dengan meningkatnya frekuensi (Greenlaw et al. 2004).

Penggunaan frekuensi tinggi memberikan nilai backscattering yang dominan

dihasilkan oleh permukaan sedimen dibandingkan backscattering yang diberikan

oleh volume sedimen. Pada frekuensi yang lebih rendah nilai backscattering yang

diperoleh dipengaruhi juga oleh backscattering dari volume sedimen

(Chakraborty et al., 2007; Mulhearn, 2000).

2.5 Klasifikasi Dasar Perairan (Bottom Classification)

Informasi mengenai tipe dasar, sedimen dan vegetasi perairan secara umum

dapat digambarkan pada sinyal echo dimana sinyal ini dapat disimpan dan

diperoleh secara bersamaan dengan menggunakan data GPS. Sinyal echo ini dapat

diuraikan sehingga informasi mengenai dasar perairan dapat diproyeksikan ke

suatu tabel digital. Dalam verifikasi hasil, sampel fisik dasar perairan harus

diobservasi melalui penyelaman atau dengan menggunakan kamera bawah air

Page 7: Lap 7

7

(underwater camera) yang harus direkam bersamaan dengan akuisisi data akustik

sehingga pada saat verifikasi kembali data yang ada dapat digunakan untuk

membandingkan tipe dasar perairan yang belum diketahui (Burczynski, 2002)

Nilai dari sinyal echo selain tergantung dari tipe dasar perairan (khususnya

kekasaran dan kekerasan) tetapi tergantung juga dari parameter alat (misalnya

frekuensi dan transducer beamwidth) (Burczynski, 2002). Oleh karena itu,

verifikasi hasil akan sah hanya untuk sistem akustik yang telah digunakan untuk

Kloser verifikasi.et al. (2001) dan Schlagintweit (1993) mengamati

klasifikasi dasar laut dengan frekuensi akustik yang berbeda. Dasar perairan yang

memiliki ciri-ciri yang sama, perbedaan indeks kekasaran diamati berdasarkan

perbedaan dua frekuensi yang mereka gunakan. Selanjutnya, Schlagintweit (1993)

menemukan bahwa perbedaan yang timbul dari frekuensi 40 dan 208 kHz

disebabkan oleh perbedaan penetrasi dasar laut berdasarkan frekuensi pada

berbagai tipe dasar perairan.

2.6 E1 (Roughness) dan E2 (Hardness)

Sistem Pemroses Sinyal Hidroakustik RoxAnn adalah bagian penting dari

perangkat penginderaan hidroakustik. Saat disambungkan pada single beam

echosounder, sistem ini akan mendengarkan dan memproses sinyal yang kembali

transducer. Sinyal yang kembali ini disederhanakan ke dalam first echo (E1) dan

second echo (E2). Echo yang pertama (first echo)adalah ukuran hambur balik

substrat yang terdefinisi sebagai kekasaran (roughness). Second echo adalah

ukuran dariimpedansi akustik dari substrat.

Gambar 3. Tekhnik Pemroses Sinyal Echo

Page 8: Lap 7

8

Setelah informasi dari E1 dan E2 telah didapatkan, maka nilai dari first echo

dan second echo akan diplotkan dalam grafik kartesian, dimana E1 (index of

roughness) diplotkan sebagai sumbu-Y dan E2 diplotkan sebagai sumbu-X.

Karena setiap substrat mempunyai range yang berbeda dari nilai E1 dan E2, maka

area dari grafik kartesian tersebut dikotak-kotakkan atau diklasifikasi dengan

penambahan warna.

2.4 Echoview

Echoview adalah perangkat lunak untuk pengolahan data dari echosounder

dan sonar. Perangkat lunak ini diaplikasikan untuk akustik perikanan. Echoview

dikembangkan dan didukung oleh staf Myriax Software di Hobart, Australia.

Myriax Software adalah anak perusahaan yang dimiliki sepenuhnya oleh Myriax

Pty Ltd, bermarkas di Tazmania dan memiliki kantor di San Diego, California dan

Shimonoseki, Jepang.

Manfaat dari penggunaan perangkat lunak echoview adalah untuk klasifikasi

tipe dasar perairan sehingga dapat dideskripsikan habitat (studi ekosistem

biologis), pemantauan struktur dasar perairan untuk keperluan proyek teknik sipil

dan bangunan, menghitung dan pendeteksian ikan, mengetahui karakterisasi

sekumpulan ikan dan zooplankton untuk studi ekosistem dan estimasi ikan dan

zooplankton biomas untuk perikanan dan tujuan pengelolaan ekosistem perairan

(www.echoview.com).

Page 9: Lap 7

9

3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Praktikum ini dilaksanakan pada pukul 16.30 – 18.00 WIB hari Jumat, 29

April 2011 di Laboratorium komputer, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan,

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Perangkat dan Data

Perangkat dan data yang digunakan pada praktikum ini antara lain:

1) Personal Computer (PC)

2) Perangkat lunak Echoview 4, EP500

3) Data

3.3 Metode

Pertama-tama buka software Echoview, kemudian ambil data yang

diinginkan dari direktori dengan menggunakan Add Data Files. Pilih Echogram

untuk menampilkan echogram data hasil sounding. Untuk membuat batasan target

yang dipilih dengan memakai New Editable Line. Setelah itu klik Variable

Properties, atur batas garis target pada pilihan Analysis. Selanjutnya tentukan

batas maksimum dan minimum Threshold seperti yang biasa dilakukan pada

praktikum sebelumnya. Untuk melihat nilai Sv dan Depth mean pada petak yang

sudah kita pilih, klik kanan, pilih Integrate Cell. Langkah pengolahan data

ditunjukkan oleh diagram alir pada Gambar 4.

Gambar 4. Diagram alir langkah pengolahan data

Page 10: Lap 7

10

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Nilai Energy of the 1st bottom echo (E1) dan Energy of the 2nd bottom

echo (E2)

-100 -90 -80 -70 -60 -50 -40 -30

-40

-35

-30

-25

-20

-15

-10

-5

0

Grafik Perbandingan Nilai E1 dan E2

E1 dan E2

E2

E1

Gambar 5. Grafik perbandingan nilai E1 dan E2

Gambar diatas merupakan grafik hubungan antara nilai Backscattering

volume (Sv) Energy of the 1st bottom echo (E1) dan nilai Energy of the 2nd

bottom echo (E2). E1 (Roughness) atau yang dapat berarti energi yang pertama

kali memantul dari dasar (energy of the first echo) sedangkan E2 (Hardness) atau

yang dapat berarti energi yang kedua kali memantul dari dasar (energy of the

second echo). Dengan melihat nilai SV max untuk suatu kedalaman kita dapat

menduga suatu jenis sedimen apa yang berada di perairan tersebut. Umumnya

nilai SV semakin kecil, tipe substrat didominasi oleh lumpur berpasir dan lumpur.

Hal ini dikarenakan endapan lumpur merupakan proses sedimentasi yang terjadi

akibat banyaknya sungai yang bermuara ke laut. Sungai-sungai ini membawa

partikel-partikel yang berasal dari daratan. Hal ini sesuai dengan hasil dari

Siwabessy (2001) dalam Irfania yang menjelaskan bahwa nilai backscattering

dari dasar perairan yang lebih keras akan lebih besar dibandingkan nilai

backscattering dari dasar perairan yang lunak.

Page 11: Lap 7

11

Menurut Ostrand et al.,(2005) dalam Riantoro, hubungan antara E1

(Roughness) dan E2 (Hardness) dapat memperlihatkan jenis/tipe sedimen yang

terdapat di suatu perairan dimana semakin besar kedua nilai tersebut maka jenis

sedimen pada suatu perairan sebagian besar berupa substrat keras dan sebagian

besar memiliki kenampakan megaskopis.

Berdasarkan gambar 5 dengan melihat keterangan gamar 6, perbandingan

antara nilai Energy of the 1st bottom echo (E1) dan nilai Energy of the 2nd bottom

echo (E2) merupakan jenis substrat yang dominan coarse sand dan fine sand, hal

ini berarti apabila nilai Sv semakin kecil, tipe substrat didominasi oleh pasir kasar

dan pasir halus. Untuk E1 yang berada pada nilai -15 sampai -25 dB dan E2 yang

berada pada nilai -40 dB sampai -80 dB diklasifikasikan kedalam substrat pasir

kasar (coarse sand). Untuk E1 yang berada pada nilai -25 sampai -35 dB dan E2

yang berada pada nilai -60 dB sampai -90 dB diklasifikasikan kedalam substrat

pasir halus (fine sand). Untuk lebih jelas dalam pengklsifikasian tipe dasar

perairan dapat dilihat gambar 6 di bawah ini.

Gambar 6. Tipe Dasar Perairan Berdasarkan E1 dan E2

Page 12: Lap 7

12

-2 -1.8 -1.6 -1.4 -1.2 -1 -0.8 -0.6 -0.40

100000200000300000

400000500000600000

700000800000900000

1000000

Grafik Nilai Sa

seg 1seg 2seg 3seg 4seg 5seg 6

Gambar 7. Grafik nilai Sa

Page 13: Lap 7

13

5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dengan melihat nilai SV max untuk suatu kedalaman kita dapat menduga

jenis sedimen apa yang berada di perairan tersebut. Umumnya nilai SV semakin

kecil, tipe substrat didominasi oleh lumpur berpasir dan lumpur. Hal ini

dikarenakan endapan lumpur merupakan proses sedimentasi yang terjadi akibat

banyaknya sungai yang bermuara ke laut yang terbawa oleh pengaruh arus dan

angin.

5.2 Saran

Dalam data hidroakustik untuk pengklasifikasian tipe substrat maka

diperlukan data sampling dasar perairan di daerah tersebut, data sampling sedimen

ini dapat diambil menggunakan ekman grab, sehingga sampling sedimen ini dapat

digunakan sebagai data pendukung suatu penelitian.

Page 14: Lap 7

14

DAFTAR PUSTAKA

Arrhenius, F., BJA. Benneheij., Rudstam LG, Boisclair D. 1998. Can stationary

bottom split-beam hydroacoustics be used to measure fish swimming speed

in situ?. Fisheries Research (45): 31-41p.

Blott, J. S dan Kenneth P. 2001. Gradistat: A Grain Size Distribution and

Statistics Package for The Analysis of Unconsolidated Sediments. Royal

Holloway University of London.

Burczynski, JJ. 1982. Introduction to the Use of Sonar System for estimating Fish

Biomass. FAO. Fisheries Technical Paper No. 191 Revision 1.

_____________. 2002. Bottom Classification. BioSonics, Inc. (8 Maret 2009).

www.BioSonics.com

Chakraborty, B, Mahale V, Navelkar G, Rao B. R., Prabhudesai, R. G, Ingole, B.,

Janakiraman, G. 2007. Acoustic characterization of seafloor habitats on the

western continental shelf of India. – ICES Journal of Marine Science, 64(3):

551-558

Chester, R. 1993. Marine Geochemistry. Unwin Hyman Ltd. London.

Dale, E. I and William, J. W. 1989. Oceanography : An Introduction. 3th Edition.

Wadsworth Publishing Company Belmart. California.

Food and Agriculture Organization (FAO). 1983. An Annonate and Illustrated

Catalogue of Tunas, Mackarels, Bonitos and Related Species Known to

Date. Food and Agriculture Organization. Vol.2. Rome p:32-36.

Foote, KG. 1987. On Representing the Length Dependence of Acoustic Target

Strength of Fish. J. Fish. Res. Board Can. 36(12):1490-6.

Garrison, T. 2005. Oceanography: An Invitation to Marine Science. 5ed. Thomson

Learning, Inc. USA.

Greenlaw, C. F, Holliday D.V, McGehee, D. E. 2004. High-Frequency Scattering

from

Gregg, MC. and JK. Horne. 2006. Turbulence, Acoustic Backscatter and Pelagic

Necton in Monterey Bay. Applied Physics Laboratory. Univ. of

Washington, Seattle. Washington DC.

Hutabarat, S dan Stewart, M. E. 2000. Pengantar Oseanografi. Jakarta.

Page 15: Lap 7

15

Jackson, D.R, Baird A.M, Crisp J. J, Thompson P. A. 1986. High-Frequency

bottom backscatter measurement in shallow water, J. Acoust. Soc. Am.

80(4): 118-1199.

Johannesson, KA. and RB. Mitson. 1983. Fisheries Acoustic A Practical Manual

for Aquatic Biomass Estimation. FAO. Fisheries Technical Paper. Roma.

Kloser, R. J., Bax, N. J., Ryan, T., Williams, A. dan Baker, B. A. (2001). Remote

sensing of seabed types in the Australian South East Fishery – development

and application of normal incident acoustic techniques and associated

ground truthing. Journal of Marine and Freshwater Research 552: 475-489.

MacLennan, DN. and EJ. Simmonds. 1992. Fisheries Acoustic. Chapman and

Hall. London.

MacLennan DN, GP. Fernandes, J. Dalen. 2002. A Consistent Approach to

Definitions And Symbols in Fisheries Acoustic. ICES Journal of Marine

Science (59): 365–369.

Mulhearn P. J. 2000. Modelling Acoustic Backscatter From Near-Normal

Incidence Echosounder – Sensitivity Analysis of the Jackson Model DSTO-

TN-0304 Aeronautical and Maritime Research Laboratory. DSTO-

Departement of Defence. Australia.

Orlowski, A. 2007. Acoustic seabed classification applied to Baltic benthic habitat

studies: a new approach. OCEANOLOGIA, 49 (2), 2007. pp. 229-243.

Shen, H. and TJ. Quinn. 2008. Using Acoustic to Evaluate the Effect of Fishing

on School Characteristic of Walleye Pollock, Resiliency of Gadid Stocks to

Fishing and Climate Change 125 Alaska Sea Grant College Program.

University of Alaska Fairbanks, Juneau Centre, School of Fisheries and

Ocean Science, Juneau, Alaska.

Schlagintweit, G. E. O. 1993. Real-time acoustic bottom classification: a field

evaluation of RoxAnn. Proceedings of Ocean ’93: 214-219

Stanic, S., Briggs K. B., Fleischer P, Sawyer WB, Ray RI. 1989. High-Frequency

Acoustic Backscattering from a Coarse Shell Ocean Bottom. J. Acoust. Soc.

Am., 85, p 125-136

Urick, R.J. 1983. Principle of Underwater Sound. Peninsula Publishing, Los

Altos, California.

Page 16: Lap 7

16

Laporan Praktikum ke-7 Hari/Tanggal: Jumat/6 Mei 2011

m.k. Akustik Kelautan Asisten: Sri Ratih Deswati, S.Pi, M.Si

Asep Ma’mun, S.Pi

Obed Agtapura, S.Pi

INTEGRASI BACKSCATTERING AKUSTIK DASAR PERAIRAN

Disusun Oleh:

Neira Purwanty Ismail C54070029

BAGIAN AKUSTIK DAN INSTRUMENTASI KELAUTAN

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011