lap 7
TRANSCRIPT
1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hidroakustik merupakan suatu teknologi yang digunakan untuk
pendeteksian bawah air dengan menggunakan perangkat akustik. Teknologi ini
memanfaatkan perambatan suara atau bunyi untuk melakukan pendeteksian.
Keunggulan komparatif metode akustik antara lain: berkecepatan tinggi (great
speed), sehingga sering disebut “quick assesment method”, memungkinkan
memperoleh dan memproses data secara real time, akurasi dan ketepatan
(accuracy and precision), dilakukan dengan jarak jauh (remote sensing) tanpa
perlu adanya kontak langsung dengan objek. Teknologi Hidroakustik dapat
dimanfaatkan untuk mengetahui sebaran ikan yang ada di perairan baik dekat
permukaan (surface), kolom perairan (pelagic), maupun dekat dasar (bottom).
Teknologi akustik merupakan salah satu metode yang sangat efektif dan
berguna untuk eksplorasi dasar laut. Pengambilan data dasar perairan seringkali
memiliki kendala, misalnya dengan metode grab, yang hanya dapat digunakan
pada wilayah kedalaman yang terbatas dengan waktu yang tidak singkat. Dengan
menggunakan metode hidroakustik, pengambilan data atau informasi tentang
dasar perairan menjadi lebih mudah. Dengan metode ini kita dapat mengetahui
tipe dasar dari suatu perairan dengan menggunakan nilai Backscattering volume
dasar perairan/substrat.
1.2 Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah memberi pengetahuan kepada mahasiswa
agar mengetahui cara pengolahan data echogram untuk mengetahui nilai
backscattering dasar perairan dan mengklasifikasikan tipe dasar perairan
berdasarkan nilai Backscattering volume (Sv) yang dipantulkan substrat. Dimana
semakin besar nilai E1 dan E2 menggambarkan jenis sedimen suatu perairan
sebagian besar berupa substrat keras dan sebagian besar memiliki kenampakan
megaskopis.
2
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Metode Akustik untuk Pendeteksian Target
Metode akustik adalah teori tentang gelombang suara dan perambatannya di
suatu medium dalam hal ini mediumnya adalah air. Akustik kelautan merupakan
proses pembentukan gelombang (pulsa) suara dan sifat-sifat perambatannya serta
proses-proses selanjutnya yang dibatasi oleh air laut (Burczynski, 1982).
Gambar 1. Prinsip kerja metode hidroakustik (MacLennan dan Simmonds, 1992)
Instrumen akustik perikanan yang disebut echosounder merupakan
instrumen yang memancarkan dan membangkitkan gelombang suara pada
frekuensi tertentu ke kolom perairan. Gelombang suara tersebut melintasi air
hingga membentur obyek baik di kolom air maupun dasar laut kemudian
gelombang suara tersebut dipantulkan kembali untuk diterima oleh echosounder
(FAO, 1984).
Pendugaan survei akustik terhadap sekelompok ikan, biasanya didasarkan
pada asumsi mengenai intensitas nilai total echo dari sekelompok target sama ke
perhitungan aritmatik pada kontribusi echo dari ikan tunggal (Johannesson dan
Mitson, 1983). Metode akustik yang digunakan untuk memperoleh data
kelimpahan ikan dapat menggunakan metode dasar berupa echo counting dan
echo integration. Echo counting dapat menghitung densitas ikan pada saat volume
yang disampling rendah, dimana nilai echo dari ikan tunggal dapat dengan mudah
dipisahkan dan dihitung satu persatu. Metode echo counting jarang digunakan
dalam menduga kelimpahan ikan yang bergerombol. Hal ini disebabkan karena
3
densitas ikan tidak homogen dan pada umumnya tinggi, sehingga akan
menyebabkan terjadinya overlap dari echo ikan. Echo dari ikan yang berada di
dasar perairan memiliki sinyal yang lebih kuat dibandingkan dengan ikan yang
berada di seabed (MacLennan dan Simmonds, 1992)
Pada metode echo integrator dapat diketahui jumlah kumpulan ikan
dan volume sampel yang relevan dengan ikan. Kelimpahan total dapat
diperkirakan dari densitas rata - rata dikalikan dengan volume air di daerah
tertentu (MacLennan et al., 2002). Masing – masing individu target merupakan
sumber dari reflected sound wave, jadi output dari integrasi akan proporsional
dengan kuantitas ikan dalam kelompok. Kelimpahan ikan yag bergerombol dapat
dihitung dengan menggunakan echo integrator, dimana total biomassa dari ikan
tunggal dan ganda dapat dipisahkan, sehingga kemungkinan terjadinya overlap
akan semakin rendah. Pada dasarnya echo integrator berguna untuk mengubah
energi total dari echo ikan menjadi densitas ikan dalam ikan/m3 atau kg/m3
(MacLennan dan Simmonds, 1992).
2.2 Threshold
Treshold (ambang batas) merupakan limit sinyal level atau nilai yang
membatasi suatu sinyal input yang akan diproses, sehingga sinyal lain yang diluar
dari limit tersebut akan dihilangkan. Salah satu fungsi treshold yaitu dapat
mengurangi noise ketika pemrosesan data dan hanya memproses data yang berada
dalam limit. Pemilihan limit dari treshold disesuaikan dengan tujuan pemrosesan
data sehingga output dari data yang diproses sesuai yang diinginkan.
Pada dasarnya ambang sinyal diterapkan untuk menghapus suara atau sinyal
yang tidak diinginkan dari sinyal yang dihasilkan oleh echosounder, baik itu
kebisingan yang berasal dari listrik di peralatan, akustik gaung atau gema
gabungan dari non target spescies plankton misalnya dalam kasus survei ikan.
Apapun sumber, mengaburkan suara gema yang lebih kecil dengan ukuran
keinginan. Ketika sebuah sinyal threshold diterapkan, setiap gema lebih kecil
daripada ambang batas juga diabaikan. Bias tergantung pada rasio amplitudo
sinyal dan noise (SNR) (McLennan dan Simmonds, 1992).
2.3 Sedimen Dasar Laut
4
Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui
proses hidrologi dari suatu tempat ke tempat yang lain, baik secara vertikal
maupun secara horizontal. Seluruh permukaan dasar laut ditutupi oleh partikel-
partikel sedimen yang diendapkan secara perlahan-lahan dalam jangka waktu
berjuta-juta tahun (Garrison, 2005).
Ukuran-ukuran partikel sedimen merupakan salah satu cara yang mudah
untuk menentukan klasifikasi sedimen. Klasifikasi berdasarkan ukuran
partikelnya menurut Wentworth (1922) dalam Dale dan William (1989) dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi sedimen berdasarkan ukuran
Sumber: Dale dan William (1989)
Chester (1993) membagi sedimen menjadi 2 kelompok yaitu:
Nearshore sediment, sebagian besar endapan sedimen berada di dasar
laut yang dipengaruhi kuat oleh kedekatannya dengan daratan sehingga
mengakibatkan kondisi fisika kimia dan biologi di sedimen ini lebih
bervariasi dibandingkan dengan sedimen laut dalam.
Deep-sea sediment, sebagian besar mengendap di perairan dalam di atas
500 m dan banyak faktor seperti jauhnya dari daratan, reaksi antara
komponen terlarut dalam kolom perairan serta hadirnya biomassa khusus
yang mendominasi lingkungan laut dalam yang menyebabkan sedimen ini
merupakan habitat yang unik dan memiliki karakteristik yang sangat
berbeda dengan daerah dekat laut.
5
Karakteristik sedimen dapat menentukan morfologi fungsional, tingkah
laku dan kendali terhadap distribusi hewan bentos. Adaptasi terhadap tipe substrat
akan menentukan morfologi, cara makan dan adaptasi fisiologi organisme
terhadap suhu, salinitas dan faktor kimia lainnya (Hutabarat dan Stewart, 2000).
Klasifikasi sedimen dapat dilakukan dengan menggunakan diagram pasir,
lumpur dan tanah liat seperti pada Gambar 2.
Gambar 1. Diagram Sand, Silt and Clay (Blott dan Kenneth, 2001)
2.4 Acoustic Backscattering Dasar Laut
Jackson et al. (1986) menjelaskan bahwa terdapat faktor dependensi yang
lemah dari nilai backscattering yang dihasilkan terhadap sedimen yang relatif
halus. Stanic et al. (1989) mengatakan dimana nilai backscattering yang
dihasilkan dari empat tipe sedimen: lumpur, pasir, kerikil dan batu menunjukan
korelasi dengan ukuran butiran. Pemodelan akustik yang lebih lanjut diperlukan
guna mendapatkan hubungan antara sifat-sifat fisik sedimen dan sifat-sifat
akustik.
Dasar perairan memiliki karakteristik menghamburkan kembali
gelombang suara seperti halnya permukaan perairan atau laut. Namun efek yang
dihasilkan lebih kompleks karena sifat dasar laut yang tersusun atas beragam
unsur mulai dari bebatuan yang keras hingga lempung yang halus dan tersusun
atas lapisan-lapisan yang memiliki komposisi yang berbeda-beda (Urick, 1983).
6
Nilai backscattering yang diberikan oleh dasar perairan biasanya memiliki
intensitas tertentu, namun diperlukan threshold agar nilai backscattering dari
dasar laut yang ingin diamati dapat terekam dengan baik. Orlowski (2007)
menyebutkan bahwa batas minimum deteksi (threshold) echo yang kembali dari
dasar perairan adalah -60 dB dengan mengacu pada standar instrumen
hidroakustik EY500. Backscattering pada dasar berbatu memberikan nilai yang
lebih besar dibandingkan dengan dasar berlumpur. Hal ini dijadikan sebagai suatu
landasan untuk mengaitkan backscattering dari dasar laut terhadap tipe dasar lain,
seperti lumpur, lempung, pasir, batu.
Urick (1983) menjelaskan bahwa pada dasarnya tidak terdapat hubungan
yang kuat antara frekuensi yang digunakan dengan nilai backscattering strength
yang dihasilkan dari dasar laut dengan tipe batu dan pasir berbatu dan pasir yang
mengandung cangkang kerang. Hal ini diakibatkan oleh tekstur permukaan dasar
yang cenderung lebih kasar sehingga energi suara yang mengenai dasar tersebut
akan terhamburkan. Jenis dasar dan sedimen yang lebih halus, penggunaan
frekuensi diatas 10 kHz akan memperlihatkan kecenderungan adanya hubungan
antara frekuensi dan jenis dasar perairan.
Pada kasus sedimen berpasir, nilai backscattering yang didapatkan
cenderung meningkat dengan meningkatnya frekuensi (Greenlaw et al. 2004).
Penggunaan frekuensi tinggi memberikan nilai backscattering yang dominan
dihasilkan oleh permukaan sedimen dibandingkan backscattering yang diberikan
oleh volume sedimen. Pada frekuensi yang lebih rendah nilai backscattering yang
diperoleh dipengaruhi juga oleh backscattering dari volume sedimen
(Chakraborty et al., 2007; Mulhearn, 2000).
2.5 Klasifikasi Dasar Perairan (Bottom Classification)
Informasi mengenai tipe dasar, sedimen dan vegetasi perairan secara umum
dapat digambarkan pada sinyal echo dimana sinyal ini dapat disimpan dan
diperoleh secara bersamaan dengan menggunakan data GPS. Sinyal echo ini dapat
diuraikan sehingga informasi mengenai dasar perairan dapat diproyeksikan ke
suatu tabel digital. Dalam verifikasi hasil, sampel fisik dasar perairan harus
diobservasi melalui penyelaman atau dengan menggunakan kamera bawah air
7
(underwater camera) yang harus direkam bersamaan dengan akuisisi data akustik
sehingga pada saat verifikasi kembali data yang ada dapat digunakan untuk
membandingkan tipe dasar perairan yang belum diketahui (Burczynski, 2002)
Nilai dari sinyal echo selain tergantung dari tipe dasar perairan (khususnya
kekasaran dan kekerasan) tetapi tergantung juga dari parameter alat (misalnya
frekuensi dan transducer beamwidth) (Burczynski, 2002). Oleh karena itu,
verifikasi hasil akan sah hanya untuk sistem akustik yang telah digunakan untuk
Kloser verifikasi.et al. (2001) dan Schlagintweit (1993) mengamati
klasifikasi dasar laut dengan frekuensi akustik yang berbeda. Dasar perairan yang
memiliki ciri-ciri yang sama, perbedaan indeks kekasaran diamati berdasarkan
perbedaan dua frekuensi yang mereka gunakan. Selanjutnya, Schlagintweit (1993)
menemukan bahwa perbedaan yang timbul dari frekuensi 40 dan 208 kHz
disebabkan oleh perbedaan penetrasi dasar laut berdasarkan frekuensi pada
berbagai tipe dasar perairan.
2.6 E1 (Roughness) dan E2 (Hardness)
Sistem Pemroses Sinyal Hidroakustik RoxAnn adalah bagian penting dari
perangkat penginderaan hidroakustik. Saat disambungkan pada single beam
echosounder, sistem ini akan mendengarkan dan memproses sinyal yang kembali
transducer. Sinyal yang kembali ini disederhanakan ke dalam first echo (E1) dan
second echo (E2). Echo yang pertama (first echo)adalah ukuran hambur balik
substrat yang terdefinisi sebagai kekasaran (roughness). Second echo adalah
ukuran dariimpedansi akustik dari substrat.
Gambar 3. Tekhnik Pemroses Sinyal Echo
8
Setelah informasi dari E1 dan E2 telah didapatkan, maka nilai dari first echo
dan second echo akan diplotkan dalam grafik kartesian, dimana E1 (index of
roughness) diplotkan sebagai sumbu-Y dan E2 diplotkan sebagai sumbu-X.
Karena setiap substrat mempunyai range yang berbeda dari nilai E1 dan E2, maka
area dari grafik kartesian tersebut dikotak-kotakkan atau diklasifikasi dengan
penambahan warna.
2.4 Echoview
Echoview adalah perangkat lunak untuk pengolahan data dari echosounder
dan sonar. Perangkat lunak ini diaplikasikan untuk akustik perikanan. Echoview
dikembangkan dan didukung oleh staf Myriax Software di Hobart, Australia.
Myriax Software adalah anak perusahaan yang dimiliki sepenuhnya oleh Myriax
Pty Ltd, bermarkas di Tazmania dan memiliki kantor di San Diego, California dan
Shimonoseki, Jepang.
Manfaat dari penggunaan perangkat lunak echoview adalah untuk klasifikasi
tipe dasar perairan sehingga dapat dideskripsikan habitat (studi ekosistem
biologis), pemantauan struktur dasar perairan untuk keperluan proyek teknik sipil
dan bangunan, menghitung dan pendeteksian ikan, mengetahui karakterisasi
sekumpulan ikan dan zooplankton untuk studi ekosistem dan estimasi ikan dan
zooplankton biomas untuk perikanan dan tujuan pengelolaan ekosistem perairan
(www.echoview.com).
9
3. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada pukul 16.30 – 18.00 WIB hari Jumat, 29
April 2011 di Laboratorium komputer, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
3.2 Perangkat dan Data
Perangkat dan data yang digunakan pada praktikum ini antara lain:
1) Personal Computer (PC)
2) Perangkat lunak Echoview 4, EP500
3) Data
3.3 Metode
Pertama-tama buka software Echoview, kemudian ambil data yang
diinginkan dari direktori dengan menggunakan Add Data Files. Pilih Echogram
untuk menampilkan echogram data hasil sounding. Untuk membuat batasan target
yang dipilih dengan memakai New Editable Line. Setelah itu klik Variable
Properties, atur batas garis target pada pilihan Analysis. Selanjutnya tentukan
batas maksimum dan minimum Threshold seperti yang biasa dilakukan pada
praktikum sebelumnya. Untuk melihat nilai Sv dan Depth mean pada petak yang
sudah kita pilih, klik kanan, pilih Integrate Cell. Langkah pengolahan data
ditunjukkan oleh diagram alir pada Gambar 4.
Gambar 4. Diagram alir langkah pengolahan data
10
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Nilai Energy of the 1st bottom echo (E1) dan Energy of the 2nd bottom
echo (E2)
-100 -90 -80 -70 -60 -50 -40 -30
-40
-35
-30
-25
-20
-15
-10
-5
0
Grafik Perbandingan Nilai E1 dan E2
E1 dan E2
E2
E1
Gambar 5. Grafik perbandingan nilai E1 dan E2
Gambar diatas merupakan grafik hubungan antara nilai Backscattering
volume (Sv) Energy of the 1st bottom echo (E1) dan nilai Energy of the 2nd
bottom echo (E2). E1 (Roughness) atau yang dapat berarti energi yang pertama
kali memantul dari dasar (energy of the first echo) sedangkan E2 (Hardness) atau
yang dapat berarti energi yang kedua kali memantul dari dasar (energy of the
second echo). Dengan melihat nilai SV max untuk suatu kedalaman kita dapat
menduga suatu jenis sedimen apa yang berada di perairan tersebut. Umumnya
nilai SV semakin kecil, tipe substrat didominasi oleh lumpur berpasir dan lumpur.
Hal ini dikarenakan endapan lumpur merupakan proses sedimentasi yang terjadi
akibat banyaknya sungai yang bermuara ke laut. Sungai-sungai ini membawa
partikel-partikel yang berasal dari daratan. Hal ini sesuai dengan hasil dari
Siwabessy (2001) dalam Irfania yang menjelaskan bahwa nilai backscattering
dari dasar perairan yang lebih keras akan lebih besar dibandingkan nilai
backscattering dari dasar perairan yang lunak.
11
Menurut Ostrand et al.,(2005) dalam Riantoro, hubungan antara E1
(Roughness) dan E2 (Hardness) dapat memperlihatkan jenis/tipe sedimen yang
terdapat di suatu perairan dimana semakin besar kedua nilai tersebut maka jenis
sedimen pada suatu perairan sebagian besar berupa substrat keras dan sebagian
besar memiliki kenampakan megaskopis.
Berdasarkan gambar 5 dengan melihat keterangan gamar 6, perbandingan
antara nilai Energy of the 1st bottom echo (E1) dan nilai Energy of the 2nd bottom
echo (E2) merupakan jenis substrat yang dominan coarse sand dan fine sand, hal
ini berarti apabila nilai Sv semakin kecil, tipe substrat didominasi oleh pasir kasar
dan pasir halus. Untuk E1 yang berada pada nilai -15 sampai -25 dB dan E2 yang
berada pada nilai -40 dB sampai -80 dB diklasifikasikan kedalam substrat pasir
kasar (coarse sand). Untuk E1 yang berada pada nilai -25 sampai -35 dB dan E2
yang berada pada nilai -60 dB sampai -90 dB diklasifikasikan kedalam substrat
pasir halus (fine sand). Untuk lebih jelas dalam pengklsifikasian tipe dasar
perairan dapat dilihat gambar 6 di bawah ini.
Gambar 6. Tipe Dasar Perairan Berdasarkan E1 dan E2
12
-2 -1.8 -1.6 -1.4 -1.2 -1 -0.8 -0.6 -0.40
100000200000300000
400000500000600000
700000800000900000
1000000
Grafik Nilai Sa
seg 1seg 2seg 3seg 4seg 5seg 6
Gambar 7. Grafik nilai Sa
13
5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dengan melihat nilai SV max untuk suatu kedalaman kita dapat menduga
jenis sedimen apa yang berada di perairan tersebut. Umumnya nilai SV semakin
kecil, tipe substrat didominasi oleh lumpur berpasir dan lumpur. Hal ini
dikarenakan endapan lumpur merupakan proses sedimentasi yang terjadi akibat
banyaknya sungai yang bermuara ke laut yang terbawa oleh pengaruh arus dan
angin.
5.2 Saran
Dalam data hidroakustik untuk pengklasifikasian tipe substrat maka
diperlukan data sampling dasar perairan di daerah tersebut, data sampling sedimen
ini dapat diambil menggunakan ekman grab, sehingga sampling sedimen ini dapat
digunakan sebagai data pendukung suatu penelitian.
14
DAFTAR PUSTAKA
Arrhenius, F., BJA. Benneheij., Rudstam LG, Boisclair D. 1998. Can stationary
bottom split-beam hydroacoustics be used to measure fish swimming speed
in situ?. Fisheries Research (45): 31-41p.
Blott, J. S dan Kenneth P. 2001. Gradistat: A Grain Size Distribution and
Statistics Package for The Analysis of Unconsolidated Sediments. Royal
Holloway University of London.
Burczynski, JJ. 1982. Introduction to the Use of Sonar System for estimating Fish
Biomass. FAO. Fisheries Technical Paper No. 191 Revision 1.
_____________. 2002. Bottom Classification. BioSonics, Inc. (8 Maret 2009).
www.BioSonics.com
Chakraborty, B, Mahale V, Navelkar G, Rao B. R., Prabhudesai, R. G, Ingole, B.,
Janakiraman, G. 2007. Acoustic characterization of seafloor habitats on the
western continental shelf of India. – ICES Journal of Marine Science, 64(3):
551-558
Chester, R. 1993. Marine Geochemistry. Unwin Hyman Ltd. London.
Dale, E. I and William, J. W. 1989. Oceanography : An Introduction. 3th Edition.
Wadsworth Publishing Company Belmart. California.
Food and Agriculture Organization (FAO). 1983. An Annonate and Illustrated
Catalogue of Tunas, Mackarels, Bonitos and Related Species Known to
Date. Food and Agriculture Organization. Vol.2. Rome p:32-36.
Foote, KG. 1987. On Representing the Length Dependence of Acoustic Target
Strength of Fish. J. Fish. Res. Board Can. 36(12):1490-6.
Garrison, T. 2005. Oceanography: An Invitation to Marine Science. 5ed. Thomson
Learning, Inc. USA.
Greenlaw, C. F, Holliday D.V, McGehee, D. E. 2004. High-Frequency Scattering
from
Gregg, MC. and JK. Horne. 2006. Turbulence, Acoustic Backscatter and Pelagic
Necton in Monterey Bay. Applied Physics Laboratory. Univ. of
Washington, Seattle. Washington DC.
Hutabarat, S dan Stewart, M. E. 2000. Pengantar Oseanografi. Jakarta.
15
Jackson, D.R, Baird A.M, Crisp J. J, Thompson P. A. 1986. High-Frequency
bottom backscatter measurement in shallow water, J. Acoust. Soc. Am.
80(4): 118-1199.
Johannesson, KA. and RB. Mitson. 1983. Fisheries Acoustic A Practical Manual
for Aquatic Biomass Estimation. FAO. Fisheries Technical Paper. Roma.
Kloser, R. J., Bax, N. J., Ryan, T., Williams, A. dan Baker, B. A. (2001). Remote
sensing of seabed types in the Australian South East Fishery – development
and application of normal incident acoustic techniques and associated
ground truthing. Journal of Marine and Freshwater Research 552: 475-489.
MacLennan, DN. and EJ. Simmonds. 1992. Fisheries Acoustic. Chapman and
Hall. London.
MacLennan DN, GP. Fernandes, J. Dalen. 2002. A Consistent Approach to
Definitions And Symbols in Fisheries Acoustic. ICES Journal of Marine
Science (59): 365–369.
Mulhearn P. J. 2000. Modelling Acoustic Backscatter From Near-Normal
Incidence Echosounder – Sensitivity Analysis of the Jackson Model DSTO-
TN-0304 Aeronautical and Maritime Research Laboratory. DSTO-
Departement of Defence. Australia.
Orlowski, A. 2007. Acoustic seabed classification applied to Baltic benthic habitat
studies: a new approach. OCEANOLOGIA, 49 (2), 2007. pp. 229-243.
Shen, H. and TJ. Quinn. 2008. Using Acoustic to Evaluate the Effect of Fishing
on School Characteristic of Walleye Pollock, Resiliency of Gadid Stocks to
Fishing and Climate Change 125 Alaska Sea Grant College Program.
University of Alaska Fairbanks, Juneau Centre, School of Fisheries and
Ocean Science, Juneau, Alaska.
Schlagintweit, G. E. O. 1993. Real-time acoustic bottom classification: a field
evaluation of RoxAnn. Proceedings of Ocean ’93: 214-219
Stanic, S., Briggs K. B., Fleischer P, Sawyer WB, Ray RI. 1989. High-Frequency
Acoustic Backscattering from a Coarse Shell Ocean Bottom. J. Acoust. Soc.
Am., 85, p 125-136
Urick, R.J. 1983. Principle of Underwater Sound. Peninsula Publishing, Los
Altos, California.
16
Laporan Praktikum ke-7 Hari/Tanggal: Jumat/6 Mei 2011
m.k. Akustik Kelautan Asisten: Sri Ratih Deswati, S.Pi, M.Si
Asep Ma’mun, S.Pi
Obed Agtapura, S.Pi
INTEGRASI BACKSCATTERING AKUSTIK DASAR PERAIRAN
Disusun Oleh:
Neira Purwanty Ismail C54070029
BAGIAN AKUSTIK DAN INSTRUMENTASI KELAUTAN
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011