konsep dasar epilepsi

Upload: nita-pratiwi

Post on 14-Oct-2015

59 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

epilepsi

TRANSCRIPT

KONSEP DASAR EPILEPSI

A. Definisi

Epilepsi merupakan sindrom yang ditandai oleh kejang yang terjadi berulang- ulang. Diagnose ditegakkan bila seseorang mengalami paling tidak dua kali kejang tanpa penyebab Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik.

B. Etiologi

Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (idiopatik), sering terjadi pada:

1. Trauma lahir, Asphyxia neonatorum

2. Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf

3. Keracunan CO, intoksikasi obat/alcohol

4. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)

5. Tumor Otak

6. Kelainan pembuluh darah (Tarwoto, 2007).

C. Tanda dan gejalaa. Manifestasi klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan penginderaan

b. Kelainan gambaran EEG

c. Bagian tubuh yang kejang tergantung lokasi dan sifat fokus epileptogen

d. Dapat mengalami aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik (aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tidak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya)

e. Napas terlihat sesak dan jantung berdebar

f. Raut muka pucat dan badannya berlumuran keringat

g. Satu jari atau tangan yang bergetar, mulut tersentak dengan gejala sensorik khusus atau somatosensorik seperti: mengalami sinar, bunyi, bau atau rasa yang tidak normal seperti pada keadaan normalh. Individu terdiam tidak bergerak atau bergerak secara automatik, dan terkadang individu tidak ingat kejadian tersebut setelah episode epileptikus tersebut lewat

i. Di saat serangan, penyandang epilepsi terkadang juga tidak dapat berbicara secara tiba- tiba

j. Kedua lengan dan tangannya kejang, serta dapat pula tungkainya menendang- menendang

k. Gigi geliginya terkancing

l. Hitam bola matanya berputar- putar

m. Terkadang keluar busa dari liang mulut dan diikuti dengan buang air kecilD. Patofisiologi

Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran. Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx natrium ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di luar membrane sel itu masuk ke dalam membran sel sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik. Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :

1) Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.

2) Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.

3) Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).

4) Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik. Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh terutama karena pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh berlebihan) selama aktivitas kejang.

E. Klasifikasi kejang pada epilepsi berdasarkan penyebabnya

1. Epilepsi idiopatik : bila tidak di ketahui penyebabnya

2. Epilepsi simtomatik : bila ada penyebabnya

Berdasarkan letak focus epilepsi atau tipe bangkitan:

1. Epilepsi partial (lokal, fokal)

2. Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan kesadaran tetap normal F. Pencegahan Epilepsi

Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi (konvulsi: spasma atau kekejangan kontraksi otot yang keras dan terlalu banyak, disebabkan oleh proses pada system saraf pusat, yang menimbulkan pula kekejangan pada bagian tubuh) yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan.

Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan ini.G. Pemeriksaan penunjang 1. Pungsi LumbarPungsi lumbar adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada di otak dan kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis. Pemeriksaan ini dilakukan setelah kejang demam pertama pada bayi.-Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh : kaku leher)-Mengalami complex partial seizure-Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam 48 jam sebelumnya)-Kejang saat tiba di IGD (instalasi gawat darurat)-Keadaan post-ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk hingga sekitar 1 jam setelah kejang demam adalah normal.-Kejang pertama setelah usia 3 tahunPada anak dengan usia > 18 bulan, pungsi lumbar dilakukan jika tampak tanda peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan kecurigaan infeksi sistem saraf pusat. Pada anak dengan kejang demam yang telah menerima terapi antibiotik sebelumnya, gejala meningitis dapat tertutupi, karena itu pada kasus seperti itu pungsi lumbar sangat dianjurkan untuk dilakukan.

1. EEG (electroencephalogram)

EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan gelombang. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam yang baru terjadi sekali tanpa adanya defisit (kelainan) neurologis. Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa EEG yang dilakukan saat kejang demam atau segera setelahnya atau sebulan setelahnya dapat memprediksi akan timbulnya kejang tanpa demam di masa yang akan datang. Walaupun dapat diperoleh gambaran gelombang yang abnormal setelah kejang demam, gambaran tersebut tidak bersifat prediktif terhadap risiko berulangnya kejang demam atau risiko epilepsi.

2. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit, kalsium, fosfor, magnesium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam pertama. Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan untuk mencari sumber demam, bukan sekedar sebagai pemeriksaan rutin.

3. Neuroimaging

Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain adalah CT-scan dan MRI kepala. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada kejang demam yang baru terjadi untuk pertama kalinya.4. CT Scan

Untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral

5. Magnetik resonance imaging (MRI)

6. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darahI. Penatalaksanaan

Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan diberikan obat antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis serangan. Penggunaan obat dalam waktu yang lama biasanya akan menyebabkan masalah dalam kepatuhan minum obat (compliance) serta beberapa efek samping yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi, mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll.

1. Fenitoin (PHT)

Fenitoin dapat mengurangi masuknya Na ke dalam neuron yang terangsang dan mengurangi amplitudo dan kenaikan maksimal dari aksi potensial saluran Na peka voltase fenitoin dapat merintangi masuknya Ca ke dalam neuron pada pelepasan neurotransmitter.

2. Karbamazepin (CBZ)

Karbamazepin dapat menghambat saluran Na . Karbamazepin dapat memperpanjang inaktivasi saluran Na .juga menghambat masuknya Ca ke dalam membran sinaptik.

3. Fenobarbital (PB)

Fenobarbital adalah obat yang digunakan secara luas sebagai hipnotik, sedatif dan anastetik. Fenobarbital bekerja memperkuat hambatan GABAergik dengan cara mengikat ke sisi kompleks saluran reseptor Cl- pada GABAA. Pada tingkat selular, fenobarbital memperpanjang potensial penghambat postsinaptik, bukan penambahan amplitudonya. Fenobarbital menambah waktu buka jalur Cl- dan menambah lamanya letupan saluran Cl- yang dipacu oleh GABA. Seperti fenitoin dan karbamazepin, fenobarbital dapat memblokade aksi potensial yang diatur oleh Na . Fenobarbital mengurangi pelepasan transmitter dari terminal saraf dengan cara memblokade saluran Ca peka voltase.

4. Asam valproat (VPA)

VPA menambah aktivitas GABA di otak dengan cara menghambat GABA-transaminase dan suksinik semialdehide dehidrogenase, enzim pertama dan kedua pada jalur degradasi, dan aldehide reduktase.

5. Gabapentin (GBP)

Cara kerja: mengikat pada reseptor spesifik di otak, menghambat saluran Na peka voltase, dapat menambah pelepasan GABA.

6. Lamotrigin (LTG)

Cara kerja: Menghambat saluran Na peka voltase.

7. Topiramate (TPM)

Cara kerja: Menghambat saluran Na , menambah kerja hambat dari GABA.118. Tiagabine (TGB)

Cara kerja: menghambat kerja GABA dengan cara memblokir uptake-nya.Selain pemilihan dan penggunaan optimal dari AED, harus diingat akan efek jangka panjang dari terapi farmakologik. Karbamazepin, fenobarbital, fenitoin, primidone, dan asam valproat dapat menyebabkan osteopenia, osteomalasia, dan fraktur. Fenobarbital dan primidone dapat menyebabkan gangguan jaringan ikat, mis frozen shoulder da kontraktur Dupuytren. Fenitoin dapat menyebabkan neuropati perifer. Asam valproat dapat menyebabkan polikistik ovari dan hiperandrogenisme.

Konsep Asuhan KeperawatanA. Pengkajian

Perawat mengumpulkan informasi tentang riwayat kejang pasien. Pasien ditanyakan tentang faktor atau kejadian yang dapat menimbulkan kejang. Asupan alkohol dicatat. Efek epilepsi pada gaya hidup dikaji: Apakah ada keterbatasan yang ditimbulkan oleh gangguan kejang? Apakah pasien mempunyai program rekreasi? Kontak sosial? Apakah pengalaman kerja? Mekanisme koping apa yang digunakan?

1. IdentitasIdentitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa,alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan diagnosa medis.

2. Keluhan utamaMerupakan kebutuhan yang mendorong penderita leukimia untuk masuk RS. keluhan utama pada penderita leukemia yaitu perasaan lemah, nafsu makan turun, demam, perasaan tidak enak badan, nyeri pada ektremitas.

3. Riwayat penyakit sekarangMerupakan riwayat klien saat ini meliputi keluhan, sifat dan hebatnya keluhan, mulai timbul. Biasanya ditandai dengan anak mulai rewel, kelihatan pucat, demam, anemia, terjadi pendarahan ( ptekia, ekimosis, pitaksis, pendarah gusi dan memar tanpa sebab), kelemahan tedapat pembesaran hati, limpa, dan kelenjar limpe, kelemahan. nyeri tulang atau sendi dengan atau tanpa pembengkakan.

4. Riwayat penyakit dahulu Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan keadaan penyakit sekarang perlu ditanyakan.5. Riwayat kehamilan dan kelahiran.Dalam hal ini yang dikaji meliputi riwayat prenatal, natal dan post natal. Dalam riwayat prenatal perlu diketahui penyakit apa saja yang pernah diderita oleh ibu. Riwayat natal perlu diketahui apakah bayi lahir dalam usia kehamilan aterm atau tidak karena mempengaruhi sistem kekebalan terhadap penyakit pada anak. Trauma persalinan juga mempengaruhi timbulnya penyakit contohnya aspirasi ketuban untuk anak. Riwayat post natal diperlukan untuk mengetahui keadaan anak setelah6. Riwayat penyakit keluarga Merupakan gambaran kesehatan keluarga, apakah ada kaitannya dengan penyakit yang dideritanya. Pada keadaan ini status kesehatan keluarga perlu diketahui, apakah ada yang menderita gangguan hematologi, adanya faktor hereditas misalnya kembar monozigot. Obsevasi dan pengkajian selama dan setelah kejang akan membantu dalam mengindentifikasi tipe kejang dan penatalaksanaannya.

1. Selama serangan :

-Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan.

-Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.

-Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.

-Apakah disertai komponen motorik seperti kejang tonik, kejang klonik, kejang tonik-klonik, kejang mioklonik, kejang atonik.

-Apakah pasien menggigit lidah.

-Apakah mulut berbuih.

-Apakah ada inkontinen urin.

-Apakah bibir atau muka berubah warna.

-Apakah mata atau kepala menyimpang pada satu posisi.

-Berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah pada satu sisi atau keduanya.

2. Sesudah serangan

-Apakah pasien : letargi , bingung, sakit kepala, otot-otot sakit, gangguan bicara

-Apakah ada perubahan dalam gerakan.

-Sesudah serangan apakah pasien masih ingat apa yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan.

-Apakah terjadi perubahan tingkat kesadaran, pernapasan atau frekuensi denyut jantung.

-Evaluasi kemungkinan terjadi cedera selama kejang.3. Riwayat sebelum serangan

-Apakah ada gangguan tingkah laku, emosi.

-Apakah disertai aktivitas otonomik yaitu berkeringat, jantung berdebar.

-Apakah ada aura yang mendahului serangan, baik sensori, auditorik, olfaktorik maupun visual.

4. Riwayat Penyakit

-Sejak kapan serangan terjadi.

-Pada usia berapa serangan pertama.

- Frekuensi serangan.

-Apakah ada keadaan yang mempresipitasi serangan, seperti demam, kurang tidur, keadaan emosional.

-Apakah penderita pernah menderita sakit berat, khususnya yang disertai dengan gangguan kesadaran, kejang-kejang.

-Apakah pernah menderita cedera otak, operasi otak

-Apakah makan obat-obat tertentu

-Apakah ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga

Pemeriksaan fisika. Aktivitas

Gejala : kelelahan, malaise, kelemahan.

Tanda : kelemahan otot, somnolen.

b. Sirkulasi

Gejala : palpitasi.

Tanda : Takikardi, membrane mukosa pucat.

c. Eliminasi

Gejala : diare, nyeri, feses hitam, darah pada urin, penurunan haluaran urine.

d. Makanan / cairan

Gejala : anoreksia, muntah, penurunan BB, disfagia.

Tanda : distensi abdomen, penurunan bunyi usus, hipertropi gusi (infiltrasi gusi mengindikasikan leukemia monositik akut).

e. Integritas ego

Gejala : perasaan tidak berdaya / tidak ada harapan.

Tanda : depresi, ansietas, marah.

f. Neurosensori

Gejala : penurunan koordinasi, kacau, disorientasi, kurang konsentrasi, pusing, kesemutan.

Tanda : aktivitas kejang, otot mudah terangsang.

g. Nyeri / kenyamanan

Gejala : nyeri abdomen, sakit kepala, nyeri tulang / sendi, kram otot.

Tanda : gelisah, distraksi.

h. Pernafasan

Gejala : nafas pendek dengan kerja atau gerak minimal.

Tanda : dispnea, takipnea, batuk.

i. Keamanan

Gejala : riwayat infeksi saat ini / dahulu, jatuh, gangguan penglihatan, perdarahan spontan, tak terkontrol dengan trauma minimal.

Tanda : demam, infeksi, purpura, pembesaran nodus limfe, limpa atau hati.B. Diagnosa Keperawatan

1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan

2. Perfusi jaringan serebral tidak efektif

3. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan perubahan kesadaran, kerusakan kognitif selama kejang, atau kerusakan mekanisme perlindungan diri.

4. Nyeri berhubungan dengan perubahan metabolisme, ditandai dengan : klien secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili rasa sakit yang dialami,menangis wajah meringis

5. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang pemajanan, atau kesalahan interpretasi informasi.

6. Termoregulasi tidak efektif

7. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan intoleransi aktivitas

8. Defisit perawatan diri

9. Gangguan persepsi sensori auditori

C. Intervensi

1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan

Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 124 jam pasien tidak mengalami gangguan pola napas dengan kriteria hasil :

-RR dalam batas normal sesuai umur

-Nadi dalam batas normal sesuai umurIntervensiRasional

1. Tanggalkan pakaian pada daerah leher/dada, abdomen

2. Masukkan spatel lidah/jalan napas buatan

3. Lakukan penghisapan sesuai sesuai indikasi

Kolaborasi

1. Berikan tambahan O21. Memfasilitasi usaha bernapas/ekspansi dada

2. Dapat mencegah tergigitnya lidah, dan memfasilitasi saat melakukan penghisapan lendir, atau memberi sokongan pernapasan jika diperlukan

3. Menurunkan risiko aspirasi atau asfiksia

Kolaborasi

1. Dapat menurunkan hipoksia serebral

2. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan perubahan kesadaran, kerusakan kognitif selama kejang, atau kerusakan mekanisme perlindungan diri.

Kriteria hasil :

Dapat mengurangi risiko cidera pada pasien

Kriteria pengkajian fokus makna klinis

Riwayat kejang

Tingkatan kejangnya

IntervensiRasional

1. Kaji karakteristik kejangUntuk mngetahui seberapa besar tingkatan kejang yang dialami pasien sehingga pemberian intervensi berjalan lebih baik

2. Jauhkan pasien dari benda benda tajam / membahayakan bagi pasienBenda tajam dapat melukai dan mencederai fisik pasien

3. Segera letakkan sendok di mulut pasien yaitu diantara rahang pasienDengan meletakkan sendok diantara rahang atas dan rahang bawah, maka resiko pasien menggigit lidahnya tidak terjadi dan jalan nafas pasien menjadi lebih lancer

4. Kolaborasi dalam pemberian obat anti kejangObat anti kejang dapat mengurangi derajat kejang yang dialami pasien, sehingga resiko untuk cidera pun berkurang