kolesterol dan perlemakan hati

Upload: mukhammad-harfat-kholid

Post on 01-Mar-2016

57 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

kolesterol dan perlemakan hati

TRANSCRIPT

  • BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Kolesterol

    Kolesterol ada dalam diet semua orang, kolesterol merupakan lipid

    berwarna kekuningan dan berupa seperti lilin yang diproduksi oleh tubuh kita,

    terutama di dalam hati. Kolesterol merupakan zat antara yang diperlukan dalam

    biosintesis hormon steroid. Struktur kolesterol dapat dilihat pada (gambar 2.1).

    Kolesterol memiliki 2 gugus metil yang terikat pada rantai C-13 dan C-10 dengan

    5 ikatan rangkap. Rantai cabang hidrokarbon terikat pada atom C-17, sedangkan

    gugus hidroksil terdapat pada atom C-3. Kolesterol sangat larut dalam lemak tetapi

    hanya sedikit larut dalam air. Kolesterol secara spesifik mampu membentuk ester

    dengan asam lemak. Hampir 70% kolesterol dalam lipoprotein plasma memamng

    dalam bentuk ester kolesterol (Guyton, 2007)

    Gambar 2.1 Struktur molekul kolesterol (Sumber: Zamora A., 2007)

    Kolesterol merupakan bahan perantara pembentuk sejumlah komponen

    penting seperti vitamin D (untuk membentuk tulang), hormon seks (estrogen dan

    testosteron) dan asam empedu (untuk pencernaan). Kolesterol merupakan sterol

    yang banyak terdapat di dalam semua jaringan hewan dan manusia, baik dalam

  • 6

    bentuk kolesterol ataupun terikat sebagai ester kolesterol dan dinyatakan sebagai 3-

    hidroksi-5,6 kolesten (Wirahadikusuma, 1985)

    2.1.1 Pembentukan Kolesterol

    Kolesterol yang ada dalam tubuh berasal dari dua sumber, yaitu dari

    makanan (eksogen) dan kolesterol endogen yang di sintesa oleh tubuh sendiri.

    Kolesterol yang disintesa tubuh manusia setiap hari adalah 1 gram per hari

    sedangkan hasil sintesis dari makanan sekitar 0,3 gram per hari. Setelah kolesterol

    eksogen dicerna dalam usus halus, maka akan bergabung dengan kolesterol

    endogen yang disintesis oleh tubuh kemudian dinding usus halus akan menyerap

    kolesterol tersebut. Dalam sel mukosa usus halus, ester kolesterol, trigliserida dan

    fosfolipid disintesis kembali dan dibungkus dengan protein selanjutnya

    disekresikan dalam bentuk kilomikron. Kolesterol dalam tubuh dikeluarkan melalui

    dua cara, yaitu diubah menjadi empedu sebagai garam-garam kolesterol dan sterol

    netral yang dibuang melalui feses. Awalnya asam empedu disintesa dalam hati

    dengan bahan dasar kolesterol. Asam empedu ini digunakan dalam proses

    pencernaan, khususnya lemak dengan cara pembentukan kilomikron (Soraya,

    2006).

    Menurut Mayes (1995) pembentukan kolesterol dibagi dalam lima tahap

    (Gambar 2.2):

    a. Asetil-CoA membentuk HMG-CoA (3-hidroksi-3-metilglutaril-CoA) dan

    mevalonat. Pada awalnya, 2 molekul asetil-CoA berkondensasi membentuk

    aseto-asetil-CoA dan reaksi kondensasi ini dikatalisis oleh enzim sitosolik

    tiolase. Aseto-astil-CoA berkondensasi dengan moleku asetil-CoA selanjutnya

    untuk membentuk HMG-CoA dan reaksi kondensasi ini dikatalisis oleh enzim

    HMGCoA sintetase. HMG-CoA diubah menjadi mevalonat dalam proses

    reduksi dua tahap oleh NADPH dengan dikatalisis oleh enzim HMG-CoA

    reduktase.

  • 7

    Gambar 2.2 Sintesis Kolesterol dalam Tubuh. (Sumber: Gadbut et al. 1997)

    b. Mevalonat membentuk unit isopronoid yang aktif. Mevalonat mengalami

    fosforisasi oleh ATP untuk membentuk beberapa senyawa terfosforilasi yang

    aktif, dengan bantuan reaksi dekarboksilasi maka akan terbentuk unit isoprenoid

    yang aktif, yakni isopentenilfosfat.

    c. Enam unit soprenoid membentuk skualena. Tiga molekul isopentenilpirofosfat

    mengalami kondensasi membentuk farnesil pirofostat. Proses ini terjadi lewat

    isomerisasi senyawa isopentenilpirofosfat yang meliputi pergeseran ikatan

    rangkap untuk membentuk dimetilalil pirofosfat, diikuti dengan kondensasi

    hingga terbentuk geranil pirofosfat, kondensasi selanjutnya akan membentuk

    farsenil pirofosfat. Dua molekul farsenil pirofosfat berkondensasi dalam suatu

    reaksi eliminasi pirofosfat hingga terbentuk praskualena pirofosfat dan diikuti

    reduksi NADPH serta pirofosfat radikal sisanya. Senyawa yang dihasilkan

    adalah skualena.

  • 8

    d. Skualena diubah menjadi lanosterol. Skualena dubah menjadi skualena 2, 3-

    oksida oleh enzim skualena epoksidase, setelah itu akan terjadi siklisasi oleh

    enzim lanosterolsiklase menjadi lanosterol.

    e. Lanosterol diubah menjadi kolesterol, gugus metil pada C14 dioksidasi menjadi

    CO2 untuk membentuk 14-dismetil lanosterol. Dua gugus metal lagi pada C4

    dikeluarkan untuk untuk membentuk zimosterol, selanjutnya pergeseran ikatan

    rangkap dalam cincin B untuk mengambil posisi diantara C5 dan C6. Akhirnya

    kolesterol akan terbentuk setelah ikatan rangkap pada rantai samping reduksi.

    2.1.2 Lipoprotein

    Lipoprotein adalah bola-bola kecil yang mentranspor lemak dalam

    tubuh dan terdiri dari protein, kolesterol, trigliserida, dan fosfolipid (Zamora A.,

    2007). Lipoprotein berbentuk sferik dan mempunyai inti trigliserid dan kolesterol

    ester dan dikelilingi oleh fosfolipid dan sedikit kolesterol bebas. Setiap lipoprotein

    berbeda dalam ukuran, densitas, komposisi lemak, dan komposisi protein. Dengan

    menggunakan ultrasentrifusi, pada manusia dapat dibedakan enam jenis lipoprotein

    yaitu high density lipoprotein (HDL), low density lipoprotein (LDL), intermediate

    density lipoprotein (IDL), very low density lipoproten (VLDL), kilomikron, dan

    lipoprotein a kecil (Lp(a)) (Adam, 2009).

    Metabolisme lipoprotein dapat dibagi menjadi atas tiga jalur yaitu jalur

    metabolisme endogen, eksogen, dan reverse cholesterol transport. Kedua jalur

    pertama berhubungan dengan metabolisme kolesterol-LDL dan trigliserida, sedang

    jalur reverse cholesterol transport khusus mengenai metabolisme kolesterol-HDL

    (Adam, 2009).

    Jalur metabolisme eksogen dimulai saat makanan berlemak yang kita

    makan terdiri atas trigliserida dan kolesterol. Selain itu, di dalam usus juga terdapat

    kolesterol yang berasal dari hati yang disekresi melalui empedu ke usus halus.

    Keduanya, baik yang berasal dari lemak dan berasal dari hati disebut lemak

    eksogen. Selanjutnya, kolesterol dan trigliserida yang ada dalam usus diserap ke

    dalam enterosit mukosa usus halus. Trigliserida diserap dalam bentuk asam lemak

    bebas sedangkan kolesterol diserap sebagai kolesterol. Dalam usus halus, asam

  • 9

    lemak diubah kembali menjadi trigliserida, sedang kolesterol diubah menjadi

    kolesterol ester melalui proses esterifikasi dan keduanya bersama dengan fosfolipid

    dan protein akan membentuk lipoprotein yang dikenal dengan kilomikron.

    Kemudian kilomikron ini akan masuk ke saluran limfe dan akhirnya melalui duktus

    torasikus akan masuk ke dalam aliran darah. Trigliserida dalam kilomikron akan

    mengalami hidrolisis menjadi asam lemak bebas oleh enzim lipoprotein lipase.

    Asam lemak bebas dapat disimpan sebagai trigliserida kembali ke jaringan lemak,

    tetapi bila terdapat dalam jumlah yang banyak sebagian akan diambil oleh hati

    menjadi bahan untuk pembentukan trigliserida hati (Adam, 2009)

    Jalur metabolisme endogen dimulai saat trigliserida dan kolesterol yang

    disitesis dalam hati disekresi ke aliran darah sebagai VLDL. VLDL akan

    mengalami hidrolisis oleh enzim lipase dan berubah menjadi IDL yang kemudian

    juga akan mengalami hidrolisis menjadi LDL. LDL adalah lipoprotein yang banyak

    mengandung kolesterol. Sebagian dari kolesterol di LDL akan dibawa ke hati dan

    jaringan steroidegenik lainnya seperti kelenjar adrenal, testis, dan ovarium yang

    mempunyai reseptor untuk kolesterol-LDL. Sebagian lagi dari kolesterol-LDL akan

    mengalami oksidasi dan ditangkap oleh reseptor scavenger-A (SR-A) di makrofag

    dan akan menjadi sel busa. Makin banyak kadar kolesterol-LDL dalam plasma

    makin banyak yang akan mengalami oksidasi dan ditangkap oleh sel makrofag

    (Adam, 2009).

    Pada jalur reverse cholesterol transport, HDL dilepaskan sebagai partikel

    kecil miskin kolesterol disebut HDL nascent berbentuk gepeng yang berasal dari

    usus halus dan hati. HDL nascent akan mendekati makrofag dan mengambil

    kolesterol yang tersimpan dalam makrofag. Setelah mengambil kolesterol dari

    makrofag, HDL nascent berubah menjadi HDL dewasa berbentuk bulat.

    Selanjutnya kolesterol bebas akan diesterifikasi oleh lecithin cholesterol

    acyltransferase (LCAT) menjadi kolesterol ester. Sebagian kolesterol ester yang

    dibawa HDL akan mengalami duaa jalur. Jalur pertama akan membawa kolesterol

    ester ke dalam hati. Jalur kedua adalah akan ditukarkan dengan trigliserida dari

    VLDL dan IDL (Adam, 2009).

  • 10

    2.1.3 Kuning Telur

    Dilihat dari aspek gizi , maka telur merupakan salah satu bahan makanan

    yang berasal dari produk ternak unggas yang paling komplit baik dari aspek protein,

    lemak dan kandungan gizi lainnya. Telur terdiri atas tiga bagian utamam, yaitu kulit

    telur dengan bobot sekitar 11%, putih telur dengan bobot sekitar 58%, dan kuning

    telur dengan bobot sekitar 31%. Kandungan dan komposisi gizi masing-masing

    bagian tersebut berbeda satu dengan lainnya. Kuning telur mengandung 60%

    lipoprotein. Lipoprotein kuning telur terdiri atas 85% lemak dan 15% protein. Hasil

    uji coba tentang kandungan kolesterol dalam telur diperoleh kisaran 11,00-12,30

    mg/g kuning telur. Besar kandungan kolesterol tergantung besar kecilnya kuning

    telur (Ariyani, 2006)

    2.2 Hati

    2.2.1 Anatomi Hati

    Hati atau hepar merupakan organ terbesar di dalam tubuh. Hati bertekstur

    lunak dan lentur, serta terletak di bagian atas cavitas abdominalis tepat di bawah

    diaphragma. Sebagian besar hati terletak di bawah arcus costalis dexter, dan

    diaphragma setengah bagian kanan memisahkan hati dari pleura, paru, pericardium,

    dan jantung. Permukaan atas hati yang cembung melengkung di bawah kubah

    diaphragma. Permukaan posteroinferior, atau visceralis membentuk cetakan visera

    yang letaknya berdekatan, karena itu bentuknya menjadi tidak beraturan.

    Permukaan ini berhubungan dengan pars abdominalis oeshopagus, gaster,

    duodenum, flexura coli dextra, ren dexter dan glandula suprarenalis dextra, dan

    vesica biliaris (Snell, 2006).

    Hati dapat dibagi dalam lobus dexter yang besar dan lobus sinister yang

    kecil. Keduanya dipisahkan oleh perlekatan peritoneum yang disebut ligamentum

    falciforme. Lobus dexter terbagi lagi menjadi lobus quadratus dan lobus caudatus,

    namun secara fungsional lobus quadratus dan lobus caudatus merupakan bagian

    dari lobus sinister (Snell, 2006).

  • 11

    Gambar 2.3 Anatomi Hati (Sumber: http://www.netterimages.com/)

    Lobulus hati merupakan suatu unit fungsional dasar hati (Guyton, 2007).

    Secara mikroskopis di dalam hati manusia terdapat 50.000-100.000 lobuli, setiap

    lobulus berbentuk heksagonal yang terdiri atas sel hati yang berbentuk kubus yang

    tersusun radial mengelilingi vena sentralis (Amirudin, 2006). Vena sentralis

    menghimpun semua darah dan menyalurkannya ke vena hepatika, kemudian

    meniggalkan permukaan posterior hati ke vena cava inferior dan dialirkan ke

    jantung untuk diedarkan ke seluruh tubuh (Snell, 2006).

    Hati menerima darah sebanyak 1500 ml/menit, yaitu 28% dari darah yang

    keluar jantung, yang dapat diperinci 1000 ml per menit adalah darah vena yang

    berasal dari lambung, usus halus, dan usus besar, pankreas dan limpa. Darah ini

    mengalir ke hati melalui vena porta. Darah ini kurang mengandung oksigen tetapi

    kaya akan zat-zat gizi dan mungkin mengandung toksin dan bakteri. Sisanya kurang

    lebih 500 ml per menit didapatkan dari arteri hepatika, dimana darah ini memiliki

    saturasi oksigen yang tinggi. Didalam hati juga terdapat saluran empedu. Jika vena

    porta, arteri hepatika, dan saluran empedu terdapat dalam satu daerah maka daerah

    tersebut disebut porta hepatika (Ganong, 2008).

  • 12

    Gambar 2.4 Sistem hepatobiliaris normal (Sumber: Kinanti, 2009)

    2.2.2 Histologi Hati

    Secara histologis, hati tersusun oleh beberapa tipe sel, dimana yang

    terpenting adalah sebagai berikut:

    a. Sel hepatosit

    Sel-sel ini merupakan 70% dari semua sel di hati dan 90% dari berat hati

    total. Bentuknya poligonal dengan 6 atau lebih permukaan, berukuran 20-35 m,

    dengan membran sel yang jelas. Inti sel hepatosit bulat atau lonjong dengan

    permukaan teratur dan besarnya bervariasi dari satu sel dengan lainnya. Masing-

    masing inti bentuknya vesicular dengan granula kromatin tampak jelas dan tersebar,

    dengan satu atau lebih anak inti. Mitokondria kecil-kecil tetapi berjumlah banyak

    di dalam sitoplasma, dan aparat golgi biasanya tampak terletak dekat dengan inti

    atau tepi sel dan dekat kanalikuli biliaris. Hepatosit tersusun dalam unit-unit

    fungsional yang disebut asinus, atau lobulus. Setiap lobulus memiliki sebuah vena

    sentral (vena terminalis) dan traktus portal yang terletak di perifer (Lesson, 1996).

  • 13

    Gambar 2.5 Gambar histologi dari satu sel parenkim hati(Sumber: Kinanti,

    2009)

    Organel-organel sitoplasma yang terdapat pada hepatosit (Lesson, 1996):

    1) Endoplasmik retikulum kasar (ERK)

    Mengandung saccus yang parallel, pipih atau sisternal, disebut kasar

    karena pada permukaan luar melekat poliribosom, tersebar secara acak di

    sitoplasama. ERK dan ribosom bertanggungjawab terhadap sintesa protein. Selain

    itu, ERK ini dapat bekerja sama dengan endoplasmik retikulum halus dalam sintesa

    lipoprotein atau enzim

    2) Endoplasmik retikulum halus (ERH)

    Mempunyai fungsi dalam sintesa trigliserida, detoksikasi obat-obatan, dan

    metabolisme kolesterol. Pada percobaan binatang, ERH tampak meningkat saat

    pembentukan glikogen, sehingga diduga berhubungan dengan sintesa glikogen

    3) Kompleks Golgi

  • 14

    Jumlahnya banyak terletak di permukaan kanalikuli empedu atau di

    samping inti, berkaitan dengan fungsi sekresi

    4) Lisosom

    Mengandung enzim hidrolisis asam, enzim untuk sintesa protein. Setiap

    hepatosit terdapat 15-20% lisosom. Mempunyai fungsi menimbun bahan-bahan

    dari luar, seperti feritin, zat besi, lipofusin, yang tidak dicerna dalam waktu lama

    dan dapat membentuk residual bodies

    5) Perioksisom atau mikrobodies

    Bentuk ovoid, berisi enzim-enzim metabolisme

    6) Mitokondria

    Pada sel hati terdapat kurang lebih 1000. Didapatkan enzim oksidatif

    fosforilase. Lebih banyak didapatkan pada daerah sentrilobuler

    7) Glikogen

    Tampak sebagai granul-granul padat, terdiri dari partikel alfa dan beta,

    diameter 15-30mm. Glikogen ini akan dipecah menjadi glukosa dan kemudian

    masuk sirkulasi.

    b. Sel duktus biliaris

    Sel-sel duktus biliaris membentuk duktulus dalam traktus portal lobulus

    hati. Duktulus dari lobulus-lobulus yang berdekatan menyatu menjadi duktus yang

    berjalan menuju hilus hati, dengan ukuran dan garis tengahnya secara bertahap

    membesar. Duktus-duktus empedu intrahepatik besar membentuk duktus empedu

    ekstrahepatik yang keluar dari hati di hilus hati.

    c. Sel vaskular

    Hati memiliki pendarahan ganda, organ ini menerima darah arteri melalui

    arteri hepatica dan darah vena melalui vena porta. Arteri hepatika dan vena porta

    masuk ke hati di porta hepatika lalu bercabang-cabang menjadi pembuluh-

    pembuluh yang lebih halus berjalan sejajar sampai mencapai traktus. Cabang-

    cabang kecil vena porta dan arteri hepatika bersama-sama dengan duktus empedu

    terbungkus dalam suatu jaringan ikat traktus portal dan dikenal sebagai triad portal.

    Dari traktus portal, darah vena dan arteri masuk ke dalam sinusoid lobulus dan

    mengalir menuju vena terminal, yang merupakan pembuluh utama yang keluar dari

  • 15

    lobulus. Sinusoid dilapisi oleh sel-sel kupfer, yang membentuk suatu lapisan

    berpori tak kontinyu, yang secara tidak sempurna memisahkan ruang darah dari sel-

    sel hati (Mochamad, 2004). Sel kupffer merupakan sel retikuloendotel atau

    makrofag jaringan yang mampu memfagositosis bakteri dan benda asing lain

    (Guyton, 2007). Terdapat sebuah ruang sempit Disse (ruang perisinusoidal) yang

    memisahkan sel kupfer dari sel-sel hati (Mochamad, 2004).

    Gambar 2.6 Struktur mikroskopis hati (Sumber: http://www.britannica.com/)

    Secara kasar asinus hati digambarkan sebagai segitiga yang mempunyai

    cabang-cabang terminal dari arteri hepatika dan vena porta yang memanjang dari

    daerah portal pada basisnya, dan venula-venula hepatik terminal (vena sentralis)

    pada apeksnya (Robbin et al., 2011). Atas dasar kedekatannya pada vena distribusi

    dan kandungan enzim di dalamnya, maka sel-sel dalam asinus hati dapat dibagi

    dalam zona-zona. Sel-sel pada zona 1 adalah daerah elipsoid yeng tepat

    mengelilingi arteriol hepatika dan venul porta terminal, merupakan zona pertama

    yang dipengaruhi oleh darah yang masuk. Pada zona 1 ini paling banyak dijumpai

    enzim yang terlibat dalam metabolisme oksidatif dan glukoneogenesis. Sel-sel zona

    2 yang terletak di tengah merupakan zona yang memberikan respon terhadap darah.

    Disini dijumpai enzim campuran (zona 1 dan 3). Sel-sel zona 3 terletak di dekat

    ujung-ujung asinus. Zona ini mengandung enzim yang terlibat dalam glikolisis,

  • 16

    metabolisme obat dan lipid. Susunan menurut zona ini dapat menerangkan beberapa

    perbedaan kerusakan selektif dari hepatosit oleh berbagai agen toksik atau penyakit

    (Bloom dan Fawcet, 2002).

    Gambar 2.7 Lobulus hati (Sumber: http://www.britannica.com/

    2.2.3 Fungsi Hati

    Hati memiliki berbagai macam fungsi yang komplek dan vital bagi tubuh.

    Fungsi-fungsi utama hati adalah pembentukan empedu, penyimpanan dan

    pelepasan karbohidrat, pembentukan urea, metabolisme kolesterol, metabolisme

    hormon polipeptida, pembentukan protein plasma, reduksi dan konjugasi hormon

    steroid, sintesis asam hidroksikolekalsiferol, detoksikasi obat dan toksin (Ganong,

    2008).

    Sel hati mensintesis albumin, factor pembekuan, yaitu fibrinogen,

    komponen beberapa komplemen, sel-antitripsin, dsb, mengeluarkan berbagai sisa

    buangan produk tubuh, serta bahan yang berpotensi toksik. Sel hati juga terlibat

    dalam metabolisme berbagai obat. Karenanya penyakit hati yang ekstensif akan

    mempengaruhi berbagai fungsi vital dan berpengaruh hebat pada tubuh

    (Underwood, 1999).

    http://www.britannica.com/

  • 17

    Salah satu fungsi penting yang sering menyebabkan kerentanan kerusakan

    sel hati adalah fungsinya sebagai organ tempat metabolisme obat dan zat kimia lain.

    Jalur metabolisme obat dibagi menjadi dua kategori utama, yaitu reaksi fase 1

    (biotransformasi) dan reaksi fase 2 (konjugasi). Reaksi fase 1 mencakup reaksi

    enzimatik oksidasi, hidroksilasi, reduksi dan hidrolisis. Dalam reaksi tersebut,

    gugus baru dimasukkan ke dalam molekul obat menjadi lebih polar dan oleh

    karenanya menjadi lebih mudah diekskresikan. Sedangkan reaksi fase 2 merupakan

    sintesis enzimatik. Di sini suatu gugus fungsional ditutupi (dilindungi) gugus baru

    misalnya asetil, sulfat, asam glukoronat atau beberapa asam amino lain, yang

    meningkatkan kepolaran obat tersebut. Obat yang tahan terhadap enzim

    metabolisme obat atau yang sangat hidrofilik akan diekskresikan sebagian besar

    tanpa berubah (Foye, 1995).

    2.2.4 Kerusakan dan Respon Hati terhadap Jejas

    Hati memiliki kemampuan metabolisme paling kompleks di dalam tubuh,

    tetapi hati juga mudah mengalami cedera karena pengaruh metabolik yang

    dikerjakannya, oleh mikroba, maupun oleh karena neoplastik tertentu. Sebagian

    besar toksikan memasuki tubuh melalui sistem gastrointestinal, dan setelah diserap,

    toksikan dibawa oleh vena porta ke hati. Enzim yang memetabolisme xenobiotik

    dalam hati meningkat terutama sitokrom P450; keadaan ini sebenarnya ditujukan

    untuk mengubah sebagian besar toksikan menjadi kurang toksik dan menjadikan

    lebih mudah diekskresikan karena bahan toksikan tadi menjadi lebih larut dalam

    air. Keadaan tertentu, bisa terjadi efek sebaliknya, beberapa toksikan diaktifkan

    sehingga menimbulkan lesi yang berakibat terjadinya nekrosis dari sel-sel

    hepatosit. Toksikan dapat menyebabkan berbagai efek toksik terhadap sel hati yang

    menyebabkan berbagai jenis kerusakan hati (Lu, 1995).

    Respon hati terhadap jejas secara umum ada lima, yaitu:

    a. Degenerasi dan akumulasi intraseluler

    1) Degenerasi hidrofik

  • 18

    Toksin dan reaksi imunologik dapat menyebabkan pembengkakan

    hepatosit, sel terlihat edem disertai sitoplasma yang irreguler dan ruang-ruang

    kosong.

    2) Akumulasi intrasel

    Beberapa bahan dapat terakumulasi di dalam hepatosit. Penimbunan

    trigliserida abnormal dalam sel parenkim hati disebut dengan perlemakan hati

    (steatosis) (Lu, 1995). Mekanisme yang mendasari akumulasi abnormal trigliserida

    di sel parenkim hati antara lain:

    a) Masuknya asam lemak bebas berlebihan ke dalam hati

    b) Sintesis asam lemak meningkat

    c) Oksidasi asam lemak berkurang

    d) Esterifikasi asam lemak menjadi trigliserid meningkat

    e) Sintesis apoprotein berkurang

    f) Sekresi lipoprotein terganggu dari hati (Robbin et al., 2011)

    Akumulasi droplet-droplet lemak multipel yang tidak sampai menggeser

    inti sel ke tepi dikenal sebagai steatosis mikrovesikuler. Akumulasi droplet lemak

    besar dan tunggal yang menggeser inti ke tepi disebut dengan steanosis

    makrovesikuler. Lemak larut dalam preparasi histologi rutin, meninggalkan ruang

    kosong tidak beraturan yang tidak tercat dalam sitoplasma.

    b. Nekrosis

    Gambar 2.8 Nekrosis hati (Sumber: http://sites.tigroslazuli.com/)

    Semua agen penyebab jejas yang signifikan dapat menyebabkan terjadinya

    nekrosis. Hepatosit yang mengalami nekrosis akibat agen toksik dan reaksi

  • 19

    imunologik menunjukkan gambaran hepatosit yang mengkerut, piknosis, dan

    eosinofilik kuat yang mengandung fragmen-fragmen nukleus. Hepatosit juga dapat

    mengalami pembengkakan dan ruptur yang disebut nekrosis lisis. Nekrosis sering

    terjadi di daerah terminal vena hepatika (nekrosis sentrilobular) (Robbin et al.,

    2006). Mekanisme toksikan tertentu (senyawa radikal bebas) dalam menimbulkan

    nekrosis sel hati adalah dengan mengikat protein dan lemak tak jenuh pada

    membran organel atau membran sel yang menyebabkan peroksidasi lipid dan

    akhirnya terjadi kerusakan sel (Lu, 1995).

    c. Inflamasi

    Jejas pada hati dapat mengakibatkan influks sel-sel radang akut dan kronik

    atau yang disebut dengan hepatitis. Terjadinya inflamasi dapat merupakan onset

    dari adanya nekrosis, dan sebaliknya inflamasi dapat mengakibatkan nekrosis. Sel

    limfosit T yang tersensitisasi dapat menyerang hepatosit-hepatosit sehat yang

    mengakibatkan terjadinya kerusakan hati. Inflamasi dapat terbatas pada daerah

    masuknya leukosit (traktus portal) atau menyebar ke daerah parenkim.

    d. Regenerasi

    Hati mempunyai daya regenerasi tinggi. Proliferasi hepatoseluler ditandai

    dengan mitosis, menebalnya hepatosit cord dan beberapa disorganisasi struktur

    parenkim.

    d. Fibrosis

    Gambar 2.9 Fibrosis hati (Sumber: http://flagshipbio.com//)

    Jaringan fibrosa terbentuk akibat respon terhadap reaksi inflamasi atau

    agen toksik. Fibrosis adalah kerusakan irreversibel. Pembentukan jaringan fibrosa

    ini dapat mengganggu aliran darah dan perfusi hepatosit. Pada stadium awal,

  • 20

    fibrosis berkembang di sekitar traktus portal atau vena hepatika, atau terdeposisi

    langsung di dalam ruang perisinusoidal (dari Disse). Pada stadium lanjut terjadi

    sirosis, yaitu fibrosis membagi hati dalam nodul-nodul yang dikelilingi jaringan

    parut (Robbin et al., 2011).

    2.3 Radikal Bebas

    Para ahli biokimia menyebutkan bahwa radikal bebas merupakan salah

    satu bentuk senyawa oksigen reaktif, yang secara umum diketahui sebagai senyawa

    yang memiliki elektron yang tidak berpasangan. Senyawa ini terbentuk di dalam

    tubuh, dipicu oleh bermacam-macam faktor. Radikal bebas bisa terbentuk,

    misalnya ketika komponen makanan diubah menjadi bentuk energi melalui proses

    metabolisme. Pada proses metabolisme ini, sering kali terjadi kebocoran elektron.

    Dalam kondisi demikian, mudah sekali terbentuk radikal bebas, seperti anion

    superoksida, hidroksi, dll. Radikal bebas juga terbentuk dari senyawa lain yang

    sebenarnya bukan radikal bebas, tetapi mudah berubah menjadi radikal bebas.

    Misalnya hidrogen peroksida H2O2, ozon, dll. Kedua kelompok senyawa tersebut

    sering diistilahkan sebagai senyawa oksigen reaktif (SOR) atau reactive oxygen

    species (ROS) (Winarsi, 2007).

    Radikal bebas memiliki reaktivitas yang sangat tinggi. Elektron yang tidak

    berpasangan dalam radikal bebas cenderung untuk mencari pasangan dengan cara

    mengikat atau menyerang elektron disekelilingnya. Jika elektron yang terikat oleh

    senyawa radikal bebas tersebut bersifat ionik, dampak yang timbul memang tidak

    begitu berbahaya. Akan tetapi, bila elektron yang terikat radikal bebas berasal dari

    senyawa yang berikatan kovalen, akan sangat berbahaya karena ikatan digunakan

    bersama-sama pada orbital terluarnya. Umumnya, senyawa yang memiliki ikatan

    kovalen adalah molekul besar (biomakromolekul), seperti lipid, protein, maupun

    DNA (Winarsi, 2007).

    Semakin besar ukuran biomolekul yang mengalami kerusakan, semakin

    parah akibatnya. Kerusakan sel akan berdampak negatif pada struktur dan

    fungsinya. Secara biologis senyawa biomolekul memiliki fungsi yang sangat

  • 21

    penting. Oleh sebab itu, adanya kerusakan struktur dan fungsi sel akan sangat

    mengganggu sistem kerja organ secara umum (Winarsi, 2007).

    Sebagai akibat dari aktivitas dari radikal bebas akan terbentuk radikal

    bebas baru radikal bebas baru yang berasal dari atom atau molekul yang elektronnya

    diambil untuk berpasangan dengan radikal sebelumnya. Namun, bila dua senyawa

    radikal bertemu, elektron-elektron yang tidak berpasangan dari kedua senyawa

    tersebut akan bergabung dan membentuk ikatan kovalen yang stabil. Sebaliknya,

    bila senyawa radikal bebas bertemu dengan senyawa bukan radikal bebas, akan

    terjadi 3 kemungkinan,

    a. Radikal bebas akan memberikan elektron yang tidak berpasangan (reduktor)

    kepada senyawa bukan radikal bebas.

    b. Radikal bebas menerima elektron (oksidator) dari senyawa bukan radikal bebas.

    c. Radikal bebas bergabung dengan senyawa bukan radikal bebas (Winarsi, 2007).

    Secara umum, tahapan reaksi pembentukan radikal bebas mirip dengan

    rancidity oxidative, yaitu melalui 3 tahapan raksi berikut.

    a. Tahap inisiasi, yaitu tahapan yang menyebabkan terbentuknya radikal bebas.

    b. Tahap propagasi, yaitu tahap dimana radikal bebas cenderung bertambah banyak

    dengan membuat reaksi rantai dengan molekul lain.

    c. Tahap terminasi, apabila terjadi reaksi antara radikal bebas dengan radikal bebas

    lain atau antara radikal bebas dengan suatu senyawa pembasmi radikal

    (scavenger) (Winarsi, 2007)

    2.4 Antioksidan

    Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron atau reduktan.

    Senyawa ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu menginaktivasi

    berkembangnya reaksi oksidasi, dengan cara mencegah terbentuknya radikal.

    Antioksidan juga merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi,

    dengan mengikat radikal bebas. Akibatnya, kerusakan sel dapat dihambat (Winarsi,

    2007).

  • 22

    Berkaitan dengan reaksi oksidasi di dalam tubuh, status antioksidan

    merupakan parameter penting untuk memantau kesehatan seseorang. Tubuh

    manusia memiliki sistem antioksidan untuk menangkal reaktivitas radikal bebas,

    yang secara berkelanjutan dibentuk sendiri oleh tubuh. Bila senyawa oksigen reaktif

    ini melebihi jumlah antioksidan dalam tubuh, kelebihannya akan menyerang

    komponen lipid, protein, maupun DNA sehingga mengakibatkan kerusakan-

    kerusakan yang disebut dengan stres oksidatif. Namun demikian, reaktivitas radikal

    bebas dapat dihambat melalui 3 cara berikut. Yaitu, mencegah atau menghambat

    pembentukan radikal bebas baru, menginaktivasi atau menangkap radikal dan

    memotong propagasi (pemutusan rantai), dan memperbaiki kerusakan oleh radikal

    bebas (Winarsi, 2007).

    Antioksidan dapat berupa enzim (misalnya superoksida dismutase atau

    SOD, katalase, dan glutation peroksidase), vitamin (misalnya vitamin E, C, A, dan

    -karoten), dan senyawa lain (misalnya flavonoid, albumin, bilirubin, dll).

    Antioksdan enzimatis merupakan sistem pertahanan utama (primer) terhadap

    kondisi stres oksidatif. Enzim-enzim tersebut merupakan metaloenzim yang

    aktivitasnya sangat tergantung pada adanya ion logam. Aktivitas SOD bergantung

    pada logam Fe, Cu, Zn, dan Mn, enzim katalase bergantung pada Fe, dan enzim

    glutation bekerja dengan cara mencegah terbentuknya senyawa radikal bebas baru

    (Winarsi, 2007).

    Disamping antioksidan yang bersifat enzimatis, ada juga antioksidan

    nonenzimatis yang dapat berupa senyawa nutrisi maupun nonnutrisi. Kedua

    kelompok antioksidan nonenzimatis ini disebut juga antioksidan eksogen karena

    dapat diperoleh dari bahan makanan, seperti vitamin C, E, A, dan -karoten.

    Glutation, asam urat, bilirubin, albumin, dan flavonoid juga termasuk dalam

    kelompok ini. senyawa- senyawa ini berfungsi menangkap senyawa oksidan serta

    mencegah terjadinya reaksi berantai (Winarsi, 2007).

    Antioksidan nonenzimatis banyak ditemukan dalam sayutran maupun

    buah-buahan, biji-bijian, serta kacang-kacangan. Sering kali bahan-bahan tersebut

    dilupakan oleh anak-anak generasi saat ini. mereka lebih menyenangi produk-

    produk instan. Oleh sebab itu, banyak anak muda terkena berbagai penyakit

  • 23

    degeneratif, diduga karean kurangnya konsumsi sayuran dan buah-buahan yang

    mengandung antioksidan (Winarsi, 2007).

    2.5 Perlemakan Hati Nonalkoholik

    2.5.1 Definisi

    Perlemakan hati nonalkoholik merupakan kondisi yang semakin disadari

    dapat berkembang menjadi penyakit hati lanjut. Dikatakan sebagai perlemakan hati

    apabila kandungan lemak di hati (sebagian besar terdiri atas trigliserida) melebihi

    5% dari seluruh berat hati. Karena pengukuran berat hati sangat sulit dan tidak

    praktis, diagnosis dibuat berdasarkan analisis spesimen biopsi jaringan hati, yaitu

    ditemukannya minimal 5-10% sel lemak dar keseluruhan hepatosit. Kriteria lain

    yang juga sangat penting adalah pengertian nonalkohholik, konsumsi alkohol

    sampai 20gram per hari masih digolongkan sebagai nonalkoholik (Hasan, 2009).

    2.5.2 Patogenesis

    Patogenesis perlemakan hati nonalkoholik belum jelas. Berbagai hipotesis

    menjelaskan mekanisme patogenesis perlemakan hati non alkoholik seperti

    perbedaan distribusi lemak atau sistem antioksidan. Terdapat three hit theory

    yang mengawali patogenesis dan progresifitas dari perlemakan hati non alkoholik.

    Hit yang pertama adalah akumulasi lemak pada penderita obesitas, sementara hit

    yang kedua adalah induksi sitokin inflamasi akibat stres oksidatif, peroksidasi lipid,

    dan endotoksin. Kedua hit ini menyebabkan kematian sel, infiltrasi sel inflamasi,

    dan fibrosis hati yang merupakan hit ketiga (Depner, 2014).

    Makanan yang masuk ke dalam tubuh terdiri atas trigliserida dan

    kolesterol. Selain kolesterol yang berasal dari makanan, dalam usus juga terdapat

    kolesterol dari hati yang disekresi bersama empedu ke usus halus. Baik lemak di

    usus halus yang berasal dari makanan maupun yang berasal dari hati disebut lemak

    eksogen. Trigliserida dan kolesterol dalam usus halus akan diserap ke dalam

    enterosit mukosa usus halus. Trigliserida akan diserap sebagai asam lemak bebas

    sedang kolesterol akan mengalami esterifikasi menjadi kolesterol ester dan

  • 24

    keduanya bersama dengan fosfolipid dan apoliproprotein akan membentuk

    lipoprotein yang dikenal dengan kilomikron (Adam, 2009)

    Kilomikron ini akan masuk ke saluran limfe dan akhirnya melalui duktus

    torasikus akan masuk ke dalam aliran darah. Trigliserida dalam kilomikron akan

    mengalami hidrolisis oleh enzim lipoprotein lipase yang berasal dari endotel

    menjadi asam lemak bebas (free fatty acid (FFA)) = non-esterified fatty acid

    (NEFA). Asam lemak bebas dapat disimpan sebagai trigliserida kembali di jaringan

    lemak, tetapi bila terdapat dalam jumlah yang banyak sakan diambil oleh hati untuk

    pembentukan trigliserida hati (Adam, 2009). Asam lemak bebas yang diambil oleh

    hati dihantarkan melalui sirkulasi darah arteri dan portal. Di dalam hati, asam lemak

    bebas akan mengalami metabolisme lebih lanjut, seperti proses re-esterifikasi

    menjadi trigliserida atau digunakan untuk pembentukan lemak lainnya. (Hasan,

    2009).

    Trigliserida dalam hati akan diubah menjadi VLDL. Proses sintesis VLDL

    dari trigliserida diawali oleh disintesisnya apolipoprotein B oleh ribosom di

    retikulum endoplasma kasar kemudian disatukan dengan lipoprotein di retikulum

    endoplasma halus yang merupakan tapak utama sintesis trigliserida. Lipoprotein

    mengalir lewat aparatus golgi, tempat residu karbohidrat ditambahkan pada

    lipoprotein. Kemudian, VLDL dilepaskan dari sel hati melalui penyatuan vakuola

    sekretorik dengan membran sel (Murray et al, 2002).

    Intake asam lemak bebas yang terus meningkat lama-kelamaan tidak dapat

    diimbangi oleh sintesis VLDL oleh trigliserida hati, kondisi ini yang menyebabkan

    perlemakan hati. Penumpukan lemak dalam hati memicu mitokondria untuk

    beradaptasi menigkatkan respirasi untuk lebih banyak menghasilkan ATP yang

    digunakan untuk sintesis VLDL dari trigliserida. Adaptasi mitokondria terhadap

    perlemakan hati diperankan oleh peroxisome proliferator activated receptor

    coactivator 1 (PGC-1) yang merupakan pengatur mitokondria di kebanyakan sel.

    PGC-1 bertindak sebagai co-activator yang berinteraksi dengan protein-protein

    dan mempengaruhi transkripsi dari DNA mitokondria. PGC-1 telah diketahui

    berikatan dan mengaktivasi banyak faktor-faktor transkripsi termasuk nuclear

    respiratory factor 1 (NRF-1) yang mentranskrip subunit-subunit dari kelima

  • 25

    kompleks respirasi. Keduanya, PGC-1 dan NRF-1 meregulasi adaptasi

    mitokondria. Hasil adaptasi mitokondria ini meningkatakan respirasi mitokondria

    untuk menghasilkan ATP yang digunakan untuk mengubah jumlah trigliserida hati

    yang meningkat menjadi lipoprotein. Perubahan atau adaptasi mitokondria ini

    dalam jangka panjang akan berdampak negatif karena memicu terbentuknya

    senyawa radikal bebas. Senyawa radikal bebas ini merupakan efek samping yang

    timbul akibat meningkatnya respirasi mitokondria (Rubin et al, 2014).

    Senyawa radikal bebas yang terbentuk dari hasil adaptasi mitokondria

    merupakan kompensasi akibat penumpukan lemak yang berlebihan di hati adalah

    aktivasi beta oksidasi asam lemak mitokondria karena aktivitas dari carmitine

    palmitoyltransferase (CPT-I) yang merupakan gerbang yang mengatur masuknya

    asam lemak rantai panjang ke dalam mitokondria. Sebagian beasar elektron-

    elektron berperan dalam rantai respirasi dan bermigrasi sepanjang rantai respirasi

    ke cytochrome c oxidase. Ketidakseimbangan antara input elektron yang tinggi dan

    pembatasan aliran elektron menyebabkan reduksi yang berlebihan pada kompleks

    I dan III rantai respirasi. Hal inilah yang mendasari kompleks-kompleks yang

    tereduksi akan bereaksi dengan oksigen untuk membentuk reactive oxygen species

    (ROS) (Jurnalis, 2014).

    Berkurangnya oksigen pada kompleks I dan III menghasilkan radikal

    anion superoksida yang mengalami dismutasi menjadi hidrogen peroksida (H2O2)

    oleh enzim superoksida dismutase. ROS mengoksidasi asam lemak tidak jenuh

    yang menyebabkan lipid peroksidasi membentuk produk-produk seperti 4-

    hydroxynonenal (HNE) dan malodialdehyde (MDA). ROS dan produk-produk

    reaktif aldehid lipid peroksidasi secara langsung merusak DNA mitokondria dan

    polipeptida rantai respirasi (Jurnalis, 2014).

    Selanjutnya, produksi ROS yang berlebihan meningkatkan ekspresi

    beberapa sitokin-sitokin yang mampu mengaktivasi kaspase dan meningkatnya

    permeabilitas mitokondria, infiltrasi netrofil, dan sintesis kolagen dalam sel hati.

    Bahan-bahan antioksidan terutama glutatin secara cepat dikonsumsi, namun tidak

    dapat mencukupi untuk menetralkan peningkatan kadar ROS sehingga

    mengakibatkan nekroinflamasi. Beberapa sinyal lain yang berasal dari jaringan

  • 26

    adiposa seperti leptin dan TNF- memeperberat proses inflamasi hepatik (Jurnalis,

    2014).

    2.5.3 Gambaran Makroskopis dan Mikroskopis Perlemakan Hati

    Dalam hati, perubahan berlemak ringan dapat tidak berpengaruh pada

    penampakan makro. Bila penimbunan progresif, alat tubuh membesar dan

    bertambah kuning, pada keadaan ekstrim, hati dapat seberat 3 sampai 6 kg dan

    berubah menjadi alat tubuh yang kuning cerah, konsistensinya lunak, permukaan

    halus, tepi tumpul dan berminyak (Robbin et al, 2011).

    Gambar 2.10 Makroskopis dan mikroskopis perlemakan hati (Sumber:

    http://www.liver.ca/)

    http://www.liver.ca/

  • 27

    Gambar 2.11 Perbandingan sel hepatosit (Sumber: http://www.liver.ca/)

    Karakteristik histologis perlemakan hati nonalkoholik adalah

    ditemukannya perlemakan hati dengan atau tanpa inflamasi. Perlemakan umumnya

    didominasi oleh gambaran sel makrovesikuler yang mendesak inti hepatosit ke tepi

    sel. Perubahan berlemak berawal dari timbulnya inklusi kecil terikat selaput

    (lisosom) bertaut erat pada retikulum endoplasma dan mungkin berasal dari

    lisosom. Mula-mula tampak di bawah mikroskop cahaya sebagai vakuol lemak

    kecil dalam sitoplasma di sekitar inti. Pada proses selanjutnya, vakuol melebur

    membentuk ruang jernih yang mendesak inti ke tepi sel atau hepatocyte balloning

    (Robbin et al, 2011). Selain itu, pada biopsi hati ditemukan juga infiltrasi sel

    radang, nukleus glikogen, mallorys hyaline, dan fibrosis. Ditemukannya fibrosis

    pada perlemakan hati nonalkoholik menunjukkan kerusakan hati lebih lanjut dan

    lebih berat. (Hasan, 2009).

    2.6 Tauge / kecambah kacang hijau

    Kecambah adalah tumbuhan kecil yang baru tumbuh dari biji kacang-

    kacangan yang disemaikan atau melaului perkecambahan. Perkecambahan

    merupakasn proses keluarnya bakal tanaman dari lembaga. Proses ini disertai

    dengan mobilisasi cadangan makanan dari jaringan penyimpanan atau keping biji

    http://www.liver.ca/

  • 28

    ke bagian vegetatif. Kecambah yang dibuat dari biji kacang hijau disebut tauge

    (Astawan, 2005).

    Gambar 2.12 Tauge atau kecambah kacang hijau (Sumber:

    http://www.food.detik.com/)

    Taksonomi kacang hijau sebagai berikut:

    Kingdom : Plantae

    Divisi : Spermatophyta

    Subdivisi : Angiospermae

    Kelas : Dicotyledonae

    Ordo : Leguminales

    Famili : Leguminosae

    Genus : Vigna

    Spesies : Vigna radiata (L) R. Wilzcek

    Kandungan zat gizi pada biji sebelum dikecambahkan berada dalam

    bentuk tidak aktif atau terikat. Setelah perkecambahan, bentuk tersebut diaktifkan

    sehinga meningkatkan daya cerna bagi manusia. Peningkatan zat-zat gizi pada

    tauge mulai tampak sekitar 24-48 jam saat perkecambahan. Pada saat

    perkeambahan, terjadi hidrolisis karbohidrat, protein, dan lemak menjadi senyawa-

    senyawa yang lebih sederhana sehingga mudah dicerna tubuh. Walaupun beberapa

    kandungan gizi dalam kecambah memiliki kadar lebih rendah dibandingkan biji

    kacang hijau, tetapi kandungan gizi tersebut dalam bentuk senyawa terlarut yang

    http://www.food.detik.com/

  • 29

    lebih mudah diserap tubuh. Vitamin yang ditemukan dalam jumlah bermakna dalam

    tauge adalah vitamin C, thiamin, riboflavin, niasin, asam pantothenik, vitamin B6,

    folat, kolin, -karoten, vitamin A, vitamin E (-tokoferol), dan vitamin K. mineral

    yang ditemukan dalam jumlah bermakna dalam tauge adalah kalsium (Ca), besi

    (Fe), magnesium (Mg), fosfor (P), potasium (K), sodium (Na), zinc (Zn), tembaga

    (Cu), mangan (Mn), dan selenium (Se) (USDA, 2009).

    Tauge mempunyai kandungan beberapa antioksidan maupun zat yang

    berhubungan dengan antioksidan. Kadar terbanyak kandungan tersebut dalam tauge

    adalah fitosterol dan vitamin E (Winarsi,2007).

    Fitosterol merupakan senyawa sterol tanaman. Senyawa ini sebenarnya

    banyak terkandung dalam minyak nabati yang berhubungan dengan sifat

    hipokolesterolemia. Fitosterol dan komponennya dapat melawan peroksidasi lipid

    yang dapat diakibatkan oleh peningkatan low density lipoprotein (LDL). Fitosterol

    secara kimiawi bertindak sebagai suatu antioksidan, scavenger radikal bebas, dan

    secara fisik sebagai penyetabil membran. Fitosterol juga mempunyai efek protektif

    terhadap penyakit kardiovaskuler maupun kanker kolon dan payudara. Kandugan

    fitosterol dalam tauge diperkirakan sekitar 23 mg/ 100 gram tauge (USDA, 2009).

    Vitamin E adalah salah satu fitonutrien yang secara alami memiliki 8

    isomer, yatu dikelompokkan dalam 4 tokoferol (, , , ). Suplemen vitamin E di

    alam yang terbanyak adalah dalam bentuk -tokoferol. Senyawa ini telah diketahui

    sebagai antioksidan yang mampu mempertahankan integritas membran sel.

    Senyawa ini juga dilaporkan bekerja sebagai scavenger radikal bebas oksigen,

    peroksi lipid, dan oksigen singlet. Sebagai antioksidan, vitamin E berfungsi sebagai

    donor ion hidrogen yang mampu mengubah radikal peroksil menjadi radikal

    tokoferol yang kurang reaktif, sehingga tidak mampu merusak rantai asam lemak.

    Kandungan vitamin E dinilai sebagai kandungan antioksidan yang paling besar

    kadarnya dalam tauge jika ditinjau efek antioksidan yang dapat ditimbulkan.

    Kandungan vitamin E dalam tauge adalah 1,53 mg per 10 gram. Kandungan -

    tokoferol dalam tauge paling tinggi terjadi pada usia perkecambahan 48 jam

    (Winarsi, 2007).

  • 30

    2.7 Kerangka Konseptual

    Gambar 2.12 Kerangka konseptual

    Perlemakan hati dapat digolongkan menjadi alkoholik dan nonalkoholik.

    Batasan seseorang didiagnosa perlemakan hati nonalkoholik apabila konsumsi

    alkohol perhari tidak lebih dari 20 gram/hari. Perlemakan hati nonalkoholik

    merupakan kondisi yang semakin disadari dapat berkembang menjadi penyakit hati

    lanjut.

    Diet tinggi lemak dapat memicu timbulnya perlemakan hati. Kondisi ini

    akan meningkatkan kadar asam lemak bebas dalam darah. Asam lemak bebas akan

    Diet Tinggi Kolesterol

    Kadar FFA

    Trigliserida di Hati

    Respirasi Mitokondria (Adaptasi Mitokondria)

    Radikal Bebas

    Metabolisme Lemak di Hati

    Ekstrak tauge

    (Vigna radiata (L))

    Fitosterol dan Vitamin E

    Antioksidan Eksogen

    Sintesis Lipoprotein dari Trigliserida

    Perlemakan hati

    Merusak Mitokondria

  • 31

    dibawa ke organ hati untuk pembentukan trigliserida hati dan kemudian diubah

    menjadi VLDL dan dikeluarkan kembali ke dalam sirkulasi darah. Sintesis VLDL

    oleh retikulum endoplasma dan aparatus golgi dari trigliserida hati membutuhkan

    ATP yang dihasilkan oleh respirasi mitokondria. Apabila terjadi peningkatan

    trigliserida hati maka akan terjadi peningkatan kebutuhan ATP untuk mensintesis

    lipoprotein. Hal ini memicu adaptasi mitokondria untuk meningkatkan respirasi

    mitokondria. Dalam jangka panjang, adaptasi mitokondria ini menyebabkan

    diproduksinya senyawa radikal bebas yang dapat merusak mitokondria. Akibatnya,

    proses sintesis lipoprotein terganggu sehingga trigliserida akan menumpuk dalam

    sel hepatosit dan menyebabkan perlemakan hati.

    Kecambah adalah tumbuhan kecil yang baru tumbuh dari biji kacang-

    kacangan yang disemaikan atau melaului perkecambahan. Kecambah yang dibuat

    dari biji kacang hijau disebut tauge. Di dalam tauge terkandung berbagai macam

    zat. Diantaranya, tauge tinggi akan kandungan vitamin E dan fitosterol yang

    berfungsi sebagai antioksidan eksogen untuk menangkal radikal bebas.

    Penelitian ini ditujukan untuk membuktikan pengaruh pemberian ekstrak

    tauge (Vigna radiata (L)) terhadap kondisi histopatologi perlemakan hati

    nonalkoholik pada tikus wistar jantan yang diberi diet kuning telur.

    2.8 Hipotesis

    Berdasarkan teori pada latar belakang dan tinjauan pustaka, maka hipotesis

    penelitian yang diajukan adalah ekstrak tauge (Vigna radiata (L)) dapat

    menghambat terjadinya perlemakan hati nonalkoholik pada tikus wistar jantan yang

    diberi diet kuning telur.