kitin & kitosan_agatha dewi christi_13.70.0052_a2_unika soegijapranata

30
1. Materi metode 1.1. Alat dan Bahan 1.1.1. Alat Alat yang digunakan dalam praktikum kitin dan kitosan antara lain adalah oven, blender, ayakan, timbangan analitik, wadah, hot plate, ayakan, gelas ukur, beaker glass, pengaduk, termometer, kain saring, kertas pH. 1.1.2. Bahan Bahan yang digunakan dalam praktikum kitin dan kitosan adalah limbah udang, HCl (0,75 N; 1 N; 1,25 N), dan NaOH (3,5%; 40%; 50%; dan 60%). 1.2. Metode Demineralisai 1 Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengna air panas 2 kali, dan dikeringkan Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh. HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1.Kelompok A1 dan A2 menggunakanHCl 0,75N, A3 dan A4 HCl 1N, dan A5 HCl Kemudian dipanaskan pada suhu 90 o C selama 1 jam.

Upload: praktikumhasillaut

Post on 10-Dec-2015

30 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Praktikum THL bab kitin dan kitosan dilakukan pada tanggal 14 September 2015 di lab rekayasa pangan

TRANSCRIPT

Page 1: Kitin & kitosan_Agatha Dewi Christi_13.70.0052_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

1. Materi metode

1.1. Alat dan Bahan

1.1.1. Alat

Alat yang digunakan dalam praktikum kitin dan kitosan antara lain adalah oven,

blender, ayakan, timbangan analitik, wadah, hot plate, ayakan, gelas ukur, beaker glass,

pengaduk, termometer, kain saring, kertas pH.

1.1.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam praktikum kitin dan kitosan adalah limbah udang, HCl

(0,75 N; 1 N; 1,25 N), dan NaOH (3,5%; 40%; 50%; dan 60%).

1.2. Metode

Demineralisai

1

Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengna air panas 2 kali, dan dikeringkan kembali.

Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh.

HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1.Kelompok A1 dan A2 menggunakanHCl 0,75N, A3 dan A4 HCl 1N, dan A5 HCl 1,25N

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.

Page 2: Kitin & kitosan_Agatha Dewi Christi_13.70.0052_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2

Deproteinasi

Lalu dicuci sampai pH netral.

Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH dengan perbandingan 6:1

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.

Page 3: Kitin & kitosan_Agatha Dewi Christi_13.70.0052_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3

Deasetilasi

Kemudian disaring dan didinginkan

Lalu dicucisampai pH netral.

Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

Chitin yang didapat kemudian ditambahkan NaOH 40% untuk kelompok A1 dan A2, NaOH 50% untuk kelompok A3 dan A4, dan NaOH 60% untuk kelompok A5

Page 4: Kitin & kitosan_Agatha Dewi Christi_13.70.0052_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam

Lalu dicuci sampai pH netral.

Kemudian dikeringkan pada suhu70oC selama 24 jam

Page 5: Kitin & kitosan_Agatha Dewi Christi_13.70.0052_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2. Pembahasan

Hasil pengamatan pada praktikum kitin dan kitosan dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Tabel Pengamatan praktikum kitin kitosan meliputi Rendemen I, Rendemen II, serta

Rendemen kitosan

Kel Pelakuan Rendemen I (%) Rendemen II (%)Rendemen Kitosan

(%)A1 HCl 0,75 N

NaOH 3,5%NaOH 40%

30,00 20,00 10,40

A2 HCl 0,75 NNaOH 3,5%NaOH 40%

45,00 26,67 13,07

A3 HCl 1 NNaOH 3,5%NaOH 50%

35,00 22,22 12,32

A4 HCl 1 NNaOH 3,5%NaOH 50%

20,00 28,57 14,95

A5 HCl 1,25 NNaOH 3,5%NaOH 60%

30,00 25,00 12,40

Pada Tabel 1 di atas dapat dilihat bahwa rendemen I terbanyak ada pada kelompok A2

dengan perlakuan HCl 0,75N; NaOH 3,5%; dan NaOH 40% yaitu 45% rendemen 1.

Sedangkan hasil terendah pada kelompok A4 dengan perlakuan HCl 1,25N; NaOH

3,5%; dan NaOH 60%. Sedangkan pad hasil rendemen II yang terbanyak didapatkan

oleh kelompok A4 dengan pelakuan HCl 1N; NaOH 3,5%; dan NaOH 50% yaitu

sebesar 28,57 %, dan hasil rendemen II yang terendah pada kelompok A1 dengan

perlakuan HCl 0,75N; NaOH 3,5%; dan NaOH 40%. Rendemen kitosan yang terbanyak

ada pada kelompok A4 dengan perlakuan HCl 1N; NaOH 3,5%; dan NaOH 50% yaitu

sebesar 14,95%. Sedangkan rendemen kitosan terendah ada pada kelompok A1 dengan

perlakuan HCl 0,75N; NaOH 3,5%; dan NaOH 40% yaitu sebesar 10,40%.

5

Page 6: Kitin & kitosan_Agatha Dewi Christi_13.70.0052_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3. Pembahasan

Crustacea merupakan hewan laut invertebrata yang mengandung kitin dengan kadar

yang cukup tinggi yaitu 20% - 60%. Limbah yang dihasilkan dari pengolahan crustacea

adalah limbah berwujud cair yang meliputi suspensi air dan kotoran dan juga limbah

yang berwujud padatan yang berupa kepala, kaki, dan kulit. Limbah padat yang

dihasilkan dapat diolah kembali sehingga dapat memiliki nilai ekonomis yang lebih

tinggi (Viarsagh et al., 2010). Kitin dapat ditemukan pada eksoskeleton yang keras.

Kitin juga merupakan salah satu polisakarida yang mengandung nitrogen. Kadar kitin

dalam limbah udang cukup tinggi dengan presentase 30% /berat kering. Kandungan

kitin dalam kepala dan kulit udang juga lebih besar jika dibandingkan dengan bagian

cangkang. Sedangkan kitosan adalah hasil dari deasetilasi kitin dengan menggunakan

larutan basa (Puvvada et al., 2012).

Kandungan kitin pada kulit udang tersusun atas protein 25% sampai dengan 40%, kitin

15% sampai dengan 20%, dan kalsium karbonat 45%sampai dengan 50%. Kitin dapat

berikatan dengan protein, garam organik dan pigmen (Robert, 1992). Kitin sangat sulit

larut dalam air sehingga pemanfaatan kitin terbatas. Struktur kimia dari kitin dapat

dimodifikasi. Sedangkan kitosan merupakan turunan dari kitin. Berbeda dengan kitin,

kitosan mampu larut dalam asam. Kitin memiliki rumus molekul C8H13NO5 merupakan

biopolimer dari unit N-asetil-D-glukosamin yang memiliki ikatan glikosidik β (1,4)

(Khorrami et al., 2012). Berdasar dari penyusun kristalnya, kitin dibedakan menurut

susunan rantai molekul yaitu α-kitin (rantai antipararel), β-kitin (rantai pararel), dan γ-

(rantai campuran). Sedangkan kitosan merupakan senyawa polimer yaitu 2-amino-2-

dioksi-β-D-Glukosa yang dapat dihidrolisis dari kitin dengan larutan basa kuat. Kitosan

memiliki karakteristik yaitu berwarna putih, berbentuk padatan yang amorf, kompatibel,

tidak toksik, serta dapat terdegradasi (Visakh et al., 2012).

Struktur kimia kitin (Dutta et al., 2004)

6

Page 7: Kitin & kitosan_Agatha Dewi Christi_13.70.0052_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

7

Jika kitosan terkena kontak dengan udara maka, kitosan tersebut akan terdekomposisi

sehingga warna dari kitosan akan berubah menjadi kekuningan, dan akan menurunkan

viskositasnya. Kitosan dapat larut pada asam-asam yang encer seperti asam format,

asam sitrat, dan asam asetat. Asam asetat tersebut mampu melarutkan kitosan karena

pada asam asetat terdapat gugus hidroksil sehingga akan terjadi interaksi dengan gugus

amina dari kitosan (Puvvada et al., 2012). Rantai yang dimiliki kitin lebih panjang jika

dibandingkan dengan rantai yang dimiliki oleh kitosan. Kitosan memiliki bentuk seperti

selulosa, yang membedakan adalah pada gugus hidroksi C-2 yaitu disubstitusi dengan

gugus NH2 gugus amino. Karena terdapat gugus amino, maka kitosan dapat

dimanfaatkan sebagai pengawet yang dapat mengikat muatan negatif dari senyawa lain

(Visakh et al., 2012). Cara untuk memperoleh kitosan, kitin diasetilasi menggunakan

larutan basa dengan konsentrasi yang berkisar 40% sampai dengan 50% yang dilakukan

pada suhu 120oC -160oC. Selain itu, kitosan dapat berfungsi sebagai agen penggumpal

karena memiliki sifat polikationik (Purwaningsih, 1994)

Langkah kerja pada praktikum kitin kitosan dibagi menjadi dalam 3 tahapan. Tahap

pertama adalah demineralisasi yang dilakukan dengan pencucian limbah udah terlebih

dahulu. Pencucian tersebut dimaksukan agar kotoran-kotoran pada limbah udang hilang

sehingga hasil yang didapatkan tidak terkontaminasi oleh kotoran yang berasal dari

limbah udang (Suhardi, 1993). Kemudian dilakukan proses pengeringan, setelah itu

dicuci kembali dengan air panas, dan dikeringkan kembali. Proses pengeringan

dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan air hasil dari pencucian yang masih

terdapat pada limbah udang sehingga limbah udang menjadi kering. Setelah itu, limbah

udang yang telah mengering tersebut lalu dihancurkan hingga menjadi serbuk. Proses

penghancuran ini bertujuan agar permukaan limbah udang menjadi semakin luas

sehingga reaksi dengan pelarut yang akan digunakan akan menjadi semakin maksimal.

Setelah berbentuk serbuk, limbah udang kemudian diayak dengan menggunakan ayakan

yang berukuran 40-60 mesh. Tujuan dari proses pengayakan adalah untuk

didapatkannya komponen atau partikel dari limbah udang yang lebih halus. Selain itu,

pengayakan juga bertujuan untuk menyaring limbah dari komponen pengotor yang

berukuran lebih besar (Suhardi, 1993). Setelah dilakukanya proses pengayakan, limbah

udang kemudian dicampur dengan HCl dengan perbandingan 10:1 yaitu HCl 0,75 N

Page 8: Kitin & kitosan_Agatha Dewi Christi_13.70.0052_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

8

untuk kelompok 1 dan 2, 1 N untuk kelompok 3 dan 4, dan 1,25 N untuk kelompok 5.

Sebagai contoh dengan perbandingan 10:1 yaitu 10 gram limbah udang, ditambahkan

dengan 100 ml HCl. Setelah ditambahkan HCl, kemudian dipanaskan 90oC, dan ketika

suhu sudah mencapai 90oC kemudian diaduk selama 1 jam. Penambahan HCl

dimaksudkan agar komponen mineral dalam limbah udang dapat larut dalam HCl.

Mineral yang terkandung dalam limbah udang cukup tinggi dengan persentase 30%

sampai dengan 50%. Beberapa jenis mineral yang terkandung dalam limbah udang

antara lain adalah kalsium fosfat dan kalium karbonat. Dengan banyaknya mineral yang

terkandung, maka sebelum dilakukan proses ekstraksi kitin, mineral tersebut harus

dihilangkan dengan menggunakan larutan asam seperti HCl yang digunakan dalam

praktikum ini, asam sulfat, maupun asam laktat. HCl atau larutan asam tersebut akan

menyebabkan permukaan biopolimer dari kitin akan rusak (Suhardi, 1993). Selain itu,

dilakukan pemanasan hingga mencapai suhu 90oC. pemanasan tersebut berfungsi agar

mineral yang terkandung dalam limbah udang akan rusak sehingga proses pelarutannya

dengan HCl akan menjadi semakin mudah dan lebih cepat. Pengadukan yang dilakukan

bertujuan untuk menghambat terbentuknya gelembung-gelembung udara yang

disebabkan oleh mineral yang terpisah selama dilakukannya tahapan demineralisasi.

Munculnya gelembung gas tersebut disebabkan oleh gas CO2 yang terbentuk akibat

larutan HCl yang bereaksi dengan mineral pada limbah udang yang disertai dengan

proses pemanasan (Fennema, 1985). Selanjutnya, dilakukan proses pencucian hingga

tercapai pH yang netral. Selanjutnya, dikeringkan selama kurang lebih 24 jam pada suhu

80oC. Tahapan demineralisasi dilakukan dengan tujuan agar mineral yang banyak

terkandung dalam limbah udang dapat hilang. Selain itu, tahapan demineralisasi akan

memproduksi beberapa senyawa yaitu asam karbonat, kalsium klorida, serta asam fosfat

yang merupakan hasil dari reaksi yang terjadi antara asam klorida dengan kalsium

karbonat. Namun, senyawa yang dihasilkan tersebut dapat larut dalam pelarut polar,

sehingga senyawa tersebut akan hilang pada saat proses pencucian kitin dilakukan.

Residu yang dihasilkan yaitu yang tidak dapat larut dapat pelarut polar merupakan

ekstrak dari kitin. Sehingga untuk mendapatkan residu tersebut dilakukan proses

penyaringan dengan kain saring yang akan menyisakan residu kitin (Puvvada et al.,

2012).

Page 9: Kitin & kitosan_Agatha Dewi Christi_13.70.0052_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

9

Tahapan selanjutnya setelah dilakukan tahap demineralisasi adalah deproteinasi yang

dilakukan dengan penambahan NaOH 3,5% perbandingan 6:1 pada tepung hasil dari

tahap demineralisasi. Penambahan bertujuan untuk memisahkan kandungan proetin

pada kitin. Kemudian diaduk selama 1 jam. Proses pengadukan selama 1 jam tersebut

dimaksudkan untuk memberi waktu reaksi antara NaOH dan tepung hasil

demineralisasi. Selanjutnya dipanaskan pada suhu 90oC, ketika suhu telah mencapai

90oC, dilakukan pengadukan kembali selama 1 jam. Pemanasan dan pengadukan yang

dilakukan bertujuan agar NaOH yang ditambahkan lebih terkonsentrasi akibat dari

penguapan air sehingga rendemen yang dihasilkan akan maksimal. Selain itu,

pemanasan juga bertujuan agar NaOH yang ditambahkan menjadi semakin larut.

Setelah dipanaskan selama 1 jam, dilakukan proses penyaringan dengan tujuan untuk

mendapatkan residu, dan selanjutnya didinginkan. Setelah dingin, residu dicuci hingga

pH netral. Proses penetralan pH dilakukan untuk meningkatkan efektifitas hidrolisis

basa pada gugus asetamida yang berada pada rantai kitin. Setelah mencapai pH netral,

residu kemudian dikeringkan selama 24 jam pada suhu 80oC selama 24 jam. Pada

tahapan deproteinasi, ion hidroksida dan ion natrium akan tersebut akibat dari NaOH

yang terionisasi di dalam air (Moeljanto, 1992). Tahapan deproteinasi bertujuan untuk

menghilangkan protein pada tepung kitin (Fennema, 1985). Tahapan demineralisasi

dilakukan sebelum tahap deproteinasi dengan tujuan agar rendemen kitin dari hasil

isolasi dari tahap demienralisasi dan deproteinasi menjadi semakin banyak.

Mineral yang terkandung dalam kulit udang akan membentuk semacam pelindung yang

keras dibandingkan dengan senyawa lain seperti protein. Hal tersebut dikarenakan

mineral memiliki struktur yang lebih keras dibanding dengan protein. Tahapan

deproteinasi akan menjadi lebih optimal karena mineral yang terkadung dalam limbah

udang sudah hilang terlebih dahulu pada saat tahap demineralisasi. Hal tersebut yang

menyebabkan bahwa proses demineralisasi dilakukan sebelum tahap deproteinasi

(Moeljanto, 1992).

Tahap ketiga setelah deproteinasi adalah deasetilasi. Proses deasetilasi dilakukan

dengan penambahan larutan NaOH 40% (untuk kelompok 1 dan 2), NaOH 50% (untuk

kelompok 3 dan 4), dan NaOH 60% (untuk kelompok 5). Penambahan NaOH bertujuan

untuk mengoptimalkan proses destilasi. Setelah dilakukan penambahan NaOH,

Page 10: Kitin & kitosan_Agatha Dewi Christi_13.70.0052_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

10

kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 60 menit sambil terus diaduk.

Dilakukannya pengadukan bertujuan agar NaOH yang ditambahkan tercampur dengan

merata. Selain itu, pemanasan yang dilakukan dimaksudkan agar derajat deasetilasi

dapat meningkat dimana peningkatan tersebut dapat terjadi jika suhu yang digunakan

semakin tinggi (Viarsagh et al., 2010). Tujuan lain dari penambahan NaOH dan proses

pemanasan adalah merubah formasi kitin menjadi lebih renggang sehingga enzim dapat

mengurai dan juga mendeasetilasi polemer dari kitin. Selain itu, pemanasan akan

melepaskan gugus asetil sehingga gugus amina dapat berikatan dengan gugus hidrogen.

Setelah dipanaskan, langkah selanjutnya adalah disaring dan residu yang tertinggal

dicuci hingga pH mencapai netral. Proses penyaringan berfungsi untuk memisahkan

komponen-komponen lain yang tidak diinginkan serta mendapatkan residu atau

rendemen kitosan (Suhardi, 1993). Selanjutnya rendemen dioven selama 24 jam pada

suhu 70oC sehingga dihasilkan kitosan yang berwujud serbuk dan berwarna putih sedikit

kekuningan. Proses deasetilasi dilakukan dengan tujuan untuk memutuskan ikatan

kovalen pada gugus nitrogen pada kitin dengan gugus asetil sehingga dapat diubah

menjadi gugus amina (Balley & Ollis, 1977).

Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 1 di atas dapat dilihat bahwa rendemen I

terbanyak ada pada kelompok A2 dengan perlakuan HCl 0,75N; NaOH 3,5%; dan

NaOH 40% yaitu 45% sedangkan hasil terendah pada kelompok A4 dengan perlakuan

HCl 1,25N; NaOH 3,5%; dan NaOH 60%. Hasil tersebut sesuai dengen teori yang

dikatakan oleh Sudarmadji et al., (1989) yaitu konsentrasi asam yang sesuai dapat

melarutkan mineral dengan baik sehingga mineral dalam bahan akan lebih berkurang.

Konsentrasi yang diajurkan untuk pembuatan kitin kitosan adalah 1N. Namun, jika

konsentrasi asam berlebihan akan menyebabkan reaksi berjalan cepat sehingga mineral

tidak terlarut sepenuhnya. Seperti hasil yang didapatkan pada kelompok A5 dengan

konsentrasi HCl sebesar 1,25 N dengan hasil rendemen 30%. Sebaliknya, jika

konsentrasi kurang dari 1N maka pelarutan dari meneral juga tidak berlangsung

sempurna sehingga akan menghasilkan nilai rendemen yang cukup tinggi. Ikatan

mineral akan mudah terlepas ketika bereaksi dengan larutan asam yang dipengaruhin

oleh konsentrasi dari larutan asam dan lamanya waktu yang digunakan (Moeljanto,

Page 11: Kitin & kitosan_Agatha Dewi Christi_13.70.0052_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

11

1992). Pada umunya akan dihasilkan rendemen kitin sebanyak 20% dari limbah udang

yang digunakan (Balley & Ollis, 1977).

Sedangkan pada hasil rendemen II yang terbanyak didapatkan oleh kelompok A4

dengan pelakuan HCl 1N; NaOH 3,5%; dan NaOH 50% yaitu sebesar 28,57 %, dan

hasil rendemen II yang terendah pada kelompok A1 dengan perlakuan HCl 0,75N;

NaOH 3,5%; dan NaOH 40%. Hasil tersebut tidak sesuai dengan pernyataan dari

Supitjah (2004) yang menjelaskan bahwa semakin tinggi konsentrasi NaOH yang

digunakan maka, proses pelarutan protein pada kitin akan berjalan lebih baik. Namu,

jika konsentrasi tersebut terlalu tinggi akan menyebabkan degradasi protin, sebaliknya

jika konsentrasi terlalu rendah maka pelarutan protein akan berjalan tidak sempurna.

Hasil rendemen dari proses deproteinasi juga dangat dipengaruhi oleh hasil rendemen

dari proses demineralisasi. Sehingga dapat dijatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi

NaOH pada batas tertentu, maka rendmen yang dihasilkan akan semakin sedikit karena

protein akan terlaut dan terpisahkan dari kitin. Kitidaksesuaian hasil percobaan dimana

konsentrasni NaOH yang rendah mendapatkan rendemen lebih rendah yaitu pada

kelompok A1, dan konsentrasi NaOH tinggi sedangkan berat rendemen yang tinggi

yaitu pada kelompok A6 dapat disebabkan karena kurang sempurnanya proses

deproteinasi dan juga jumlah rendemen dari hasil demineralisasi yang sudah banyak

atau sudah sedikit. Sebab lain adalah karena terdapat kitin yang ikut terbawa saat

penyaringan maupun penetralan pH, pengeringan kitin yang kurang sempurna, dan juga

masih terdapat mineral yang melindungi protein dari kitin (Robert, 1992). Pelarutan

protein akan lebih efektif dalam larutan basa, sehingga akan dihasilkan rendemen kitin

yang lebih sedikit dibanding dengan rendemen I karena pada rendemen I digunakan

asam sebagai pelarut (Robert, 1992).

Rendemen kitosan yang terbanyak ada pada kelompok A4 dengan perlakuan HCl 1N;

NaOH 3,5%; dan NaOH 50% yaitu sebesar 14,95%. Sedangkan rendemen kitosan

terendah ada pada kelompok A1 dengan perlakuan HCl 0,75N; NaOH 3,5%; dan NaOH

40% yaitu sebesar 10,40%. Hasil tersebut sesuai dengan pendapat Visakh et al., (2012)

yang menjelaskan bahwa pada proses deasetilasi, semakin tinggi konsentrasi NaOH

yang dihasilkan maka derajat deasetilasi pada rendemen kitosan juga akan semakin

Page 12: Kitin & kitosan_Agatha Dewi Christi_13.70.0052_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

12

tinggi. Namun pada konsentrasi NaOH 60% akan menurunkan derajat deastilasi karena

larutan yang dihasilkan menjadi lebih kental sehingga kitin tidak bereaksi sempurna

dengan NaOH. Hal tersebut sesuai dengan hasil percobaan yang didapatkan bahwa pada

kelopok A5 dengan konsentrasi NaOH 60% akan mendapat rendemen kitosan lebih

rendah jika dibanding dengan kelompok A4 dengan konsentrasi NaOH 50%. Proses

deasetilasi yang sempurna adalah ketika gugus fungsional amino semakin aktif untuk

mensubtitusi gugus asetil dalam larutan. Penggunaan NaOH akan menyebabkan

terjadinya depolimerisasi pada rantai molekul. Hal tersebut akan menyebabkan berat

kitosan menurun (Lee et al., 2010). Selain itu, derajat deasetilasi akan mempengaruhi

kualitas dari kitosan. Faktor yang mempengaruhi derajat deasetilasi antara lain adalah

suhu, waktu, konsentrasi alkali, jenis bahan yang digunakan, dan juga mkuutu dari

bahan yang digunakan (Visakh et al., 2012).

Kualitas dari kitin dan kitosan ditentukan oleh beberapa hal seperti bahan baku, proses

ekstraksi, pH saat dilakukannya proses ekstrasi, kondisi saat dilakukannya proses

ekstraksi, waktu yang digunakan untuk proses ekstraksi, dan juga suhu yang digunakan

untuk pengeringan (Purwaningsih, 1994).proses pemanasan dan pengeringan yang

terlalu lama dan pengunaan suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan protein

terdenaturasi. Selain itu, menurut (Khorrami et al., 2012) proses pembuatan kitin dan

kitosan dapat melibatkan mikroorganisme yaitu Lactobacillus plantarum (Khorrami et

al., 2012)

Pada umumnya, warna kitin dan kitosan adalah putih dan berbentuk serbuk (Muzzarelli,

1985). Hasil percobaan sesuai dengan teori yaitu warna kitin ayng dihasilkan adalah

putih. Namun terdapat pula warna putih kekuningan. Hal tersebut disebabkan karena

kitosan disimpan dalam jangka waktu tertentu pada suhu 100oF sehingga akan

menyebabkan kelarutan dan viskositasnya berubah. Selain itu, adanya kontak dengan

udara yang akan menyebabkan dekomposisi sehingga warna akan berubah dari putih

menjadi putih kekuningan (Khorrami et al., 2012).

Kitin dan kitosan dalapat diaplikasikan pada berbagai bidang pangan, farmasi,

bioteknologi dan pada bidang lainnya. Kitin sendiri merupakan hasil pengolahan

Page 13: Kitin & kitosan_Agatha Dewi Christi_13.70.0052_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

13

limbah. Kitin dan kitosan dapat dpalikasikan pada berbagai bidang karena kitin tidak

bersifat toksik, mudah diuraikan, serta merupakan senyawa yang aktif. Sebagai contoh,

kitin dapat digunakan dalam bidang pangan seperti pengawet makanan, antioksidan,

emulsifier, pengental, stabilizer, krioprotectant, penjernih, viscosifier, gelling agent,

meningkatkan flavor, penambahan makanan ikan. Selain bidang pangan kitin juga

digunakan pada bidang obat, farmasi, pengolahan air, industri kertas, bioteknologi dan

sebagainya (Cheba, 2011).

Parameter yang terpenting yang mengkategorikan kitosan dan aplikasinya adalah derajat

dari proses deasetilasi. Dengan menaikkan periode deasetilasi pada suhu yang konstan

dangan konsentrasi NaOH tertentu, dapat menaikkan derajat deasetilasi. Pada larutan

1% asam asetat yang digunakan pada persiapan kitosan dan menaikkan waktu dari

proses deasetilasi 90 sampai dengan 180 menit menghasilkan derajat deasetilasi hingga

7,9% (Viarsagh et al., 2010).

Pengaplikasian kitin dan kitosan semakin dijelaskan oleh Aranas et al (2009)

diantaranya sebagai berikut.:

Agen pengemulsi:

Kitosan dapat memproduksi emulsi dengan jenis water-oil-water tanpa dilakukan

penambahan surfaktan, karena biopolimer tersebut tersusun dari campuran

molekul yang dapat stabil dengan droplet air di dalam droplet minyak

Solid matrix system:

Semakin rendah viskositas dari kitosan maka, efek antioksidan akan semakin

tinggi. Hal ini berhubungan dengan chelation yang lebih rendah pada viskositas

kitosan yang tinggi sebagai gaya tolak menolak intermolekular yang akan

menaikkan volume hidrodinamic dengan menyesuaikan luasan dari rantai. Potensi

antioksidan dari kitosan dapat dievaluasi dengan menggunakan DPPH (1,1-

diphenyl-2-picrylhydrazyl), dan menghambat dari peroksidasi dari lipid.

Peroksidasi dapat dihambat dengan kitosan dengan konsentrasi 0.125 sampai

dengan 1.0mg/mL. Kitin dan kitosan dapat digunakan pada pengaplikasian yang

luas yang diperoleh dari limbah udah yang telah dipreparasi. Reaksi dari peroksida

Page 14: Kitin & kitosan_Agatha Dewi Christi_13.70.0052_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

14

dapat dihambat dengan antioksidan yang terkandung dalam kitosan (Trung dan

Bao, 2015).

Edible film:

Penggunaan pelapisan dengan kitosan sebagai barrier yang melindungi buah dan

sayur selama proses penyimpanan. Penggunaan kitin sebagai coating dapat

menghindari kerusakan dan kehilangan air. Selain itu kitin dapat mencegah

tumbuhnya jamur lebih baik dibanding dengans enyawa thiabendazole.

Pengawet:

Kitosan dapat dijadikan sebagai pengawet dengan berat molekul rendah (5 sampai

dengan 27 kDa) dan berat molekul sedang (48 sampai dengan 78 kDa) yang

diketahui dapat menekan pertumbuhan dari bakteri gram positif dan gram negatif

(Aranas et al, 2009).

Memperkuat warna pada produk (stabilisator warna).

Kitosan yang bereaksi dengan larutan anionic dapat secara instan memproduksi

pewarna yang stabil. Hal tersebut disebabkan oleh larutan anionic seperti

bromocresol yang berwarna ungu merupakan reagen yang digunakan untuk

analisis kualitas dari kitosan. Larutan anionic seperti bromocreaol ungu dan

bromocresol hijau dengan kitosan akan memproduksi produk yang lebih berwarna.

Metode pengikatan warna akan memproduksi produk berwarna dengan jumlah

yang seimbang terkait dengan proporsi kuantitas dari kitosan (Shoer, 2010).

Page 15: Kitin & kitosan_Agatha Dewi Christi_13.70.0052_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4. Kesimpulan

Crustacea merupakan hewan laut invertebrata yang memiliki kandungan kitin yang

tinggi.

Kitin terdapat dalam eksoskeleton, bersifat keras, berwarna putih, serta inelastis.

Kitin C8H13NO5 merupakan biopolimer dengan unit N-asetil-D-glukosamin yang

memiliki ikatan glikosidik β (1,4).

Terdapat 3 tahap etraksi kitin demineralisasi, tahap deproteinasi, dan tahap

deasetilasi.

HCl bertujuan agar permukaan dari biopolimer kitin akan terjadi kerusakan.

Rendemen kitin semakin banyak jika konsentrasi HCl berkonsentrasi tinggi.

Semakin rendah gugus asetil pada kitosan maka derajat deasetilasi tinggi

Konsentrasi asam 1 N sesuai untuk melarutkan mineral lebih efektif.

Asam yang tinggi akan menyebabkan reaksi berjalan terlalu cepat, namun jika

konsentrasi terlalu rendah pelarutan mineral belum sempurna

Pada demineralisasi akan terbentuk asam karbonat, kalsium klorida, serta asam

fosfat dari reaksi asam klorida dengan kalsium karbonat.

Deproteinasi lebih optimal karena mineral sudah hilang lebih dulu dari proses

demineralisasi.

Penggunaan NaOH untuk mengubah formasi kitin menjadi lebih renggang dan

mempermudah enzim bekerja.

Semakin tinggi konsentrasi NaOH dan suhu proses, pemisahan kitin lebih cepat

sehingga rendemen semakin sedikit.

Semakin tinggi derajat deasetilasi, rendemen yang dihasilkan semakin sedikit.

Penghilangan mineral lebih optimal jika proses deproteinasi dilakukan pada

keadaan basa dengan menggunakan NaOH.

Proses deasetilasi dengan cara menghilangkan gugus asetil pada kitin sehingga

menjadi gugus amina.

Kitin serta kitosan dapat digunakan sebagai pengawet makanan, edible film, solid

matrix system, antioksidan, emulsifier, pengental, stabilizer, krioprotectant,

penjernih, viscosifier, gelling agent, meningkatkan flavor , stabilisator warna.

15

Page 16: Kitin & kitosan_Agatha Dewi Christi_13.70.0052_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

16

Semarang, 25 September 2015 Asisten Dosen:- Tjan, Ivana Chandra

Agatha Dewi Christri 13.70.0052

Page 17: Kitin & kitosan_Agatha Dewi Christi_13.70.0052_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

17

5. Daftar Pustaka

Aranash, et al. (2009). Functional Characterization of Chitin and Chitosan. Current Chemical Biology, 2009, 3, 203-230

Balley, J.E., & Ollis, D.F. (1977). Biochemical Engineering Fundamental. Mc. Graw Hill Kogakusha. Tokyo.

Cheba, Ben Amar. (2011). Chitin and Chitosan: Marine Biopolymers with Unique Properties and Versatile Applications. Global Journal of Biotechnology & Biochemistry 6 (3): 149-153, 2011.ISSN 2078-466X

Dutta, Pradip Kumar; Joydeep Dutta; dan V. S. Tripathi. (2004). Chitin and Chitosan: Chemistry, properties, and applications. Journal of Scientific and Industrial Research Vol. 63 January 2004. pp 20-31.

Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry. Second Edition. Marcel Dekker, Inc., New York.

Khorrami, M., G. D. Najafpour, H. Younesi, & M. N. Hosseinpour. (2012). Production of Chitin and Chitosan from Shrimp Shell in Batch Culture of Lactobacillus plantarum. Chem. Biochem. Eng. Q. 26 (3) 217–223 (2012).

Lee, W., Tai-Sun S., S. Ko., & Hoo-Il Oh. (2010). Control of Dongchimi Fermentation with Chitosan Deacetylated by Alkali Treatment to Prevent Over-Ripening. Journal of Food Science. The Society for Food Science & Technology. Vol. 75, Nr. 5, 2010. doi: 10.1111/j.1750-3841.2010.01643.x

Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Muzzarelli, R.A.A. (1985). Chitin in the Polysaccharides Vol. 3. Academic Press Inc. Orlando. San Diego.

Purwaningsih. (1994). Teknologi Pembekuan Udang. PT Penebar Swadaya. Bogor.

Page 18: Kitin & kitosan_Agatha Dewi Christi_13.70.0052_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

18

Puvvada, Y. S., Saikishore V., & Sudheshnababu S. (2012). Extraction Of Chitin From Chitosan From Exoskeleton Of Shrimp For Application In The Pharmaceutical Industry. International Current Pharmaceutical Journal 2012, 1(9): 258-263.

Robert, G.A.F. (1992). Chitin Chemistry. The Macmillan Press Ltd., London.

Shoer, Mohamed Abou. (2010). American Journal of Analytical Chemistry, 2010, 2, 91-94 doi:10.4236/ajac.2010.12012 Published Online August 2010

Sudarmadji, S; B. Haryono; & Suhardi. (1989). Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Liberty. Yogyakarta.

Suhardi. (1993). Khitin dan Khitosan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. PAU UGM. Yogyakarta.

Supitjah, Pipit. (2004). Tingkatan Kualitas Kitosan Hasil Modifikasi Proses Produksi.Buletin Teknologi Hasil Perikanan 56 Vol VII Nomor 1.

Trung and Bao. (2015). Physicochemical Properties and Antioxidant Activity of Chitin and Chitosan Prepared from Pacific White Shrimp Waste. Hindawi Publishing Corporation International Journal of Carbohydrate Chemistry Volume 2015, Article ID 706259, 6 pages

Viarsagh, S. M., Mohsen J., Hamid R. F., & Jafar M. (2010). Chitosan Preparation From Persian Gulf Shrimp Shells And Investigating The Effect Of Time On The Degree Of Deacetylation. Journal Of Paramedical Sciences (Jps). Spring2010 Vol.1, No.2 ISSN 2008-496x.

Visakh, P. M., M. Monti, D. Puglia, M. Rallini, C. Santulli, F. Sarasini, S. Thomas, J. M. Kenny. (2012). Mechanical And Thermal Properties Of Crab Chitin Reinforced

Page 19: Kitin & kitosan_Agatha Dewi Christi_13.70.0052_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

6. Lampiran

6.1. Perhitungan

Rumus :

Rendemen Chitin I =

Rendemen Chitin II =

Rendemen Chitosan =

KelompokA1

Rendemen Chitin I =

= 30,00 %

Rendemen Chitin II =

= 20,00 %

Rendemen Chitosan =

= 10,40 %

KelompokA2

Rendemen Chitin I =

= 45,00 %

Rendemen Chitin II =

19

Page 20: Kitin & kitosan_Agatha Dewi Christi_13.70.0052_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

= 26,67 %

Rendemen Chitosan =

= 13,07 %

20

Page 21: Kitin & kitosan_Agatha Dewi Christi_13.70.0052_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

KelompokA3

Rendemen Chitin I =

= 35,00 %

Rendemen Chitin II =

= 22,22 %

Rendemen Chitosan =

= 12,32 %

KelompokA4

Rendemen Chitin I =

=20,00 %

Rendemen Chitin II =

= 28,57 %

Rendemen Chitosan =

= 14,95 %

KelompokA5

Rendemen Chitin I =

= 30,00 %

21

Page 22: Kitin & kitosan_Agatha Dewi Christi_13.70.0052_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Rendemen Chitin II =

= 25,00 %

Rendemen Chitosan =

= 12,40 %

6.2. Laporan Sementara

6.3. Diagram Alir

6.4. Abstrak jurnal

22