kitin & kitosan_agatha dewi christi_13.70.0052_a2_unika soegijapranata
DESCRIPTION
Praktikum THL bab kitin dan kitosan dilakukan pada tanggal 14 September 2015 di lab rekayasa panganTRANSCRIPT
1. Materi metode
1.1. Alat dan Bahan
1.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum kitin dan kitosan antara lain adalah oven,
blender, ayakan, timbangan analitik, wadah, hot plate, ayakan, gelas ukur, beaker glass,
pengaduk, termometer, kain saring, kertas pH.
1.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum kitin dan kitosan adalah limbah udang, HCl
(0,75 N; 1 N; 1,25 N), dan NaOH (3,5%; 40%; 50%; dan 60%).
1.2. Metode
Demineralisai
1
Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengna air panas 2 kali, dan dikeringkan kembali.
Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh.
HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1.Kelompok A1 dan A2 menggunakanHCl 0,75N, A3 dan A4 HCl 1N, dan A5 HCl 1,25N
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.
2
Deproteinasi
Lalu dicuci sampai pH netral.
Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam
Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH dengan perbandingan 6:1
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.
3
Deasetilasi
Kemudian disaring dan didinginkan
Lalu dicucisampai pH netral.
Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam
Chitin yang didapat kemudian ditambahkan NaOH 40% untuk kelompok A1 dan A2, NaOH 50% untuk kelompok A3 dan A4, dan NaOH 60% untuk kelompok A5
4
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam
Lalu dicuci sampai pH netral.
Kemudian dikeringkan pada suhu70oC selama 24 jam
2. Pembahasan
Hasil pengamatan pada praktikum kitin dan kitosan dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Tabel Pengamatan praktikum kitin kitosan meliputi Rendemen I, Rendemen II, serta
Rendemen kitosan
Kel Pelakuan Rendemen I (%) Rendemen II (%)Rendemen Kitosan
(%)A1 HCl 0,75 N
NaOH 3,5%NaOH 40%
30,00 20,00 10,40
A2 HCl 0,75 NNaOH 3,5%NaOH 40%
45,00 26,67 13,07
A3 HCl 1 NNaOH 3,5%NaOH 50%
35,00 22,22 12,32
A4 HCl 1 NNaOH 3,5%NaOH 50%
20,00 28,57 14,95
A5 HCl 1,25 NNaOH 3,5%NaOH 60%
30,00 25,00 12,40
Pada Tabel 1 di atas dapat dilihat bahwa rendemen I terbanyak ada pada kelompok A2
dengan perlakuan HCl 0,75N; NaOH 3,5%; dan NaOH 40% yaitu 45% rendemen 1.
Sedangkan hasil terendah pada kelompok A4 dengan perlakuan HCl 1,25N; NaOH
3,5%; dan NaOH 60%. Sedangkan pad hasil rendemen II yang terbanyak didapatkan
oleh kelompok A4 dengan pelakuan HCl 1N; NaOH 3,5%; dan NaOH 50% yaitu
sebesar 28,57 %, dan hasil rendemen II yang terendah pada kelompok A1 dengan
perlakuan HCl 0,75N; NaOH 3,5%; dan NaOH 40%. Rendemen kitosan yang terbanyak
ada pada kelompok A4 dengan perlakuan HCl 1N; NaOH 3,5%; dan NaOH 50% yaitu
sebesar 14,95%. Sedangkan rendemen kitosan terendah ada pada kelompok A1 dengan
perlakuan HCl 0,75N; NaOH 3,5%; dan NaOH 40% yaitu sebesar 10,40%.
5
3. Pembahasan
Crustacea merupakan hewan laut invertebrata yang mengandung kitin dengan kadar
yang cukup tinggi yaitu 20% - 60%. Limbah yang dihasilkan dari pengolahan crustacea
adalah limbah berwujud cair yang meliputi suspensi air dan kotoran dan juga limbah
yang berwujud padatan yang berupa kepala, kaki, dan kulit. Limbah padat yang
dihasilkan dapat diolah kembali sehingga dapat memiliki nilai ekonomis yang lebih
tinggi (Viarsagh et al., 2010). Kitin dapat ditemukan pada eksoskeleton yang keras.
Kitin juga merupakan salah satu polisakarida yang mengandung nitrogen. Kadar kitin
dalam limbah udang cukup tinggi dengan presentase 30% /berat kering. Kandungan
kitin dalam kepala dan kulit udang juga lebih besar jika dibandingkan dengan bagian
cangkang. Sedangkan kitosan adalah hasil dari deasetilasi kitin dengan menggunakan
larutan basa (Puvvada et al., 2012).
Kandungan kitin pada kulit udang tersusun atas protein 25% sampai dengan 40%, kitin
15% sampai dengan 20%, dan kalsium karbonat 45%sampai dengan 50%. Kitin dapat
berikatan dengan protein, garam organik dan pigmen (Robert, 1992). Kitin sangat sulit
larut dalam air sehingga pemanfaatan kitin terbatas. Struktur kimia dari kitin dapat
dimodifikasi. Sedangkan kitosan merupakan turunan dari kitin. Berbeda dengan kitin,
kitosan mampu larut dalam asam. Kitin memiliki rumus molekul C8H13NO5 merupakan
biopolimer dari unit N-asetil-D-glukosamin yang memiliki ikatan glikosidik β (1,4)
(Khorrami et al., 2012). Berdasar dari penyusun kristalnya, kitin dibedakan menurut
susunan rantai molekul yaitu α-kitin (rantai antipararel), β-kitin (rantai pararel), dan γ-
(rantai campuran). Sedangkan kitosan merupakan senyawa polimer yaitu 2-amino-2-
dioksi-β-D-Glukosa yang dapat dihidrolisis dari kitin dengan larutan basa kuat. Kitosan
memiliki karakteristik yaitu berwarna putih, berbentuk padatan yang amorf, kompatibel,
tidak toksik, serta dapat terdegradasi (Visakh et al., 2012).
Struktur kimia kitin (Dutta et al., 2004)
6
7
Jika kitosan terkena kontak dengan udara maka, kitosan tersebut akan terdekomposisi
sehingga warna dari kitosan akan berubah menjadi kekuningan, dan akan menurunkan
viskositasnya. Kitosan dapat larut pada asam-asam yang encer seperti asam format,
asam sitrat, dan asam asetat. Asam asetat tersebut mampu melarutkan kitosan karena
pada asam asetat terdapat gugus hidroksil sehingga akan terjadi interaksi dengan gugus
amina dari kitosan (Puvvada et al., 2012). Rantai yang dimiliki kitin lebih panjang jika
dibandingkan dengan rantai yang dimiliki oleh kitosan. Kitosan memiliki bentuk seperti
selulosa, yang membedakan adalah pada gugus hidroksi C-2 yaitu disubstitusi dengan
gugus NH2 gugus amino. Karena terdapat gugus amino, maka kitosan dapat
dimanfaatkan sebagai pengawet yang dapat mengikat muatan negatif dari senyawa lain
(Visakh et al., 2012). Cara untuk memperoleh kitosan, kitin diasetilasi menggunakan
larutan basa dengan konsentrasi yang berkisar 40% sampai dengan 50% yang dilakukan
pada suhu 120oC -160oC. Selain itu, kitosan dapat berfungsi sebagai agen penggumpal
karena memiliki sifat polikationik (Purwaningsih, 1994)
Langkah kerja pada praktikum kitin kitosan dibagi menjadi dalam 3 tahapan. Tahap
pertama adalah demineralisasi yang dilakukan dengan pencucian limbah udah terlebih
dahulu. Pencucian tersebut dimaksukan agar kotoran-kotoran pada limbah udang hilang
sehingga hasil yang didapatkan tidak terkontaminasi oleh kotoran yang berasal dari
limbah udang (Suhardi, 1993). Kemudian dilakukan proses pengeringan, setelah itu
dicuci kembali dengan air panas, dan dikeringkan kembali. Proses pengeringan
dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan air hasil dari pencucian yang masih
terdapat pada limbah udang sehingga limbah udang menjadi kering. Setelah itu, limbah
udang yang telah mengering tersebut lalu dihancurkan hingga menjadi serbuk. Proses
penghancuran ini bertujuan agar permukaan limbah udang menjadi semakin luas
sehingga reaksi dengan pelarut yang akan digunakan akan menjadi semakin maksimal.
Setelah berbentuk serbuk, limbah udang kemudian diayak dengan menggunakan ayakan
yang berukuran 40-60 mesh. Tujuan dari proses pengayakan adalah untuk
didapatkannya komponen atau partikel dari limbah udang yang lebih halus. Selain itu,
pengayakan juga bertujuan untuk menyaring limbah dari komponen pengotor yang
berukuran lebih besar (Suhardi, 1993). Setelah dilakukanya proses pengayakan, limbah
udang kemudian dicampur dengan HCl dengan perbandingan 10:1 yaitu HCl 0,75 N
8
untuk kelompok 1 dan 2, 1 N untuk kelompok 3 dan 4, dan 1,25 N untuk kelompok 5.
Sebagai contoh dengan perbandingan 10:1 yaitu 10 gram limbah udang, ditambahkan
dengan 100 ml HCl. Setelah ditambahkan HCl, kemudian dipanaskan 90oC, dan ketika
suhu sudah mencapai 90oC kemudian diaduk selama 1 jam. Penambahan HCl
dimaksudkan agar komponen mineral dalam limbah udang dapat larut dalam HCl.
Mineral yang terkandung dalam limbah udang cukup tinggi dengan persentase 30%
sampai dengan 50%. Beberapa jenis mineral yang terkandung dalam limbah udang
antara lain adalah kalsium fosfat dan kalium karbonat. Dengan banyaknya mineral yang
terkandung, maka sebelum dilakukan proses ekstraksi kitin, mineral tersebut harus
dihilangkan dengan menggunakan larutan asam seperti HCl yang digunakan dalam
praktikum ini, asam sulfat, maupun asam laktat. HCl atau larutan asam tersebut akan
menyebabkan permukaan biopolimer dari kitin akan rusak (Suhardi, 1993). Selain itu,
dilakukan pemanasan hingga mencapai suhu 90oC. pemanasan tersebut berfungsi agar
mineral yang terkandung dalam limbah udang akan rusak sehingga proses pelarutannya
dengan HCl akan menjadi semakin mudah dan lebih cepat. Pengadukan yang dilakukan
bertujuan untuk menghambat terbentuknya gelembung-gelembung udara yang
disebabkan oleh mineral yang terpisah selama dilakukannya tahapan demineralisasi.
Munculnya gelembung gas tersebut disebabkan oleh gas CO2 yang terbentuk akibat
larutan HCl yang bereaksi dengan mineral pada limbah udang yang disertai dengan
proses pemanasan (Fennema, 1985). Selanjutnya, dilakukan proses pencucian hingga
tercapai pH yang netral. Selanjutnya, dikeringkan selama kurang lebih 24 jam pada suhu
80oC. Tahapan demineralisasi dilakukan dengan tujuan agar mineral yang banyak
terkandung dalam limbah udang dapat hilang. Selain itu, tahapan demineralisasi akan
memproduksi beberapa senyawa yaitu asam karbonat, kalsium klorida, serta asam fosfat
yang merupakan hasil dari reaksi yang terjadi antara asam klorida dengan kalsium
karbonat. Namun, senyawa yang dihasilkan tersebut dapat larut dalam pelarut polar,
sehingga senyawa tersebut akan hilang pada saat proses pencucian kitin dilakukan.
Residu yang dihasilkan yaitu yang tidak dapat larut dapat pelarut polar merupakan
ekstrak dari kitin. Sehingga untuk mendapatkan residu tersebut dilakukan proses
penyaringan dengan kain saring yang akan menyisakan residu kitin (Puvvada et al.,
2012).
9
Tahapan selanjutnya setelah dilakukan tahap demineralisasi adalah deproteinasi yang
dilakukan dengan penambahan NaOH 3,5% perbandingan 6:1 pada tepung hasil dari
tahap demineralisasi. Penambahan bertujuan untuk memisahkan kandungan proetin
pada kitin. Kemudian diaduk selama 1 jam. Proses pengadukan selama 1 jam tersebut
dimaksudkan untuk memberi waktu reaksi antara NaOH dan tepung hasil
demineralisasi. Selanjutnya dipanaskan pada suhu 90oC, ketika suhu telah mencapai
90oC, dilakukan pengadukan kembali selama 1 jam. Pemanasan dan pengadukan yang
dilakukan bertujuan agar NaOH yang ditambahkan lebih terkonsentrasi akibat dari
penguapan air sehingga rendemen yang dihasilkan akan maksimal. Selain itu,
pemanasan juga bertujuan agar NaOH yang ditambahkan menjadi semakin larut.
Setelah dipanaskan selama 1 jam, dilakukan proses penyaringan dengan tujuan untuk
mendapatkan residu, dan selanjutnya didinginkan. Setelah dingin, residu dicuci hingga
pH netral. Proses penetralan pH dilakukan untuk meningkatkan efektifitas hidrolisis
basa pada gugus asetamida yang berada pada rantai kitin. Setelah mencapai pH netral,
residu kemudian dikeringkan selama 24 jam pada suhu 80oC selama 24 jam. Pada
tahapan deproteinasi, ion hidroksida dan ion natrium akan tersebut akibat dari NaOH
yang terionisasi di dalam air (Moeljanto, 1992). Tahapan deproteinasi bertujuan untuk
menghilangkan protein pada tepung kitin (Fennema, 1985). Tahapan demineralisasi
dilakukan sebelum tahap deproteinasi dengan tujuan agar rendemen kitin dari hasil
isolasi dari tahap demienralisasi dan deproteinasi menjadi semakin banyak.
Mineral yang terkandung dalam kulit udang akan membentuk semacam pelindung yang
keras dibandingkan dengan senyawa lain seperti protein. Hal tersebut dikarenakan
mineral memiliki struktur yang lebih keras dibanding dengan protein. Tahapan
deproteinasi akan menjadi lebih optimal karena mineral yang terkadung dalam limbah
udang sudah hilang terlebih dahulu pada saat tahap demineralisasi. Hal tersebut yang
menyebabkan bahwa proses demineralisasi dilakukan sebelum tahap deproteinasi
(Moeljanto, 1992).
Tahap ketiga setelah deproteinasi adalah deasetilasi. Proses deasetilasi dilakukan
dengan penambahan larutan NaOH 40% (untuk kelompok 1 dan 2), NaOH 50% (untuk
kelompok 3 dan 4), dan NaOH 60% (untuk kelompok 5). Penambahan NaOH bertujuan
untuk mengoptimalkan proses destilasi. Setelah dilakukan penambahan NaOH,
10
kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 60 menit sambil terus diaduk.
Dilakukannya pengadukan bertujuan agar NaOH yang ditambahkan tercampur dengan
merata. Selain itu, pemanasan yang dilakukan dimaksudkan agar derajat deasetilasi
dapat meningkat dimana peningkatan tersebut dapat terjadi jika suhu yang digunakan
semakin tinggi (Viarsagh et al., 2010). Tujuan lain dari penambahan NaOH dan proses
pemanasan adalah merubah formasi kitin menjadi lebih renggang sehingga enzim dapat
mengurai dan juga mendeasetilasi polemer dari kitin. Selain itu, pemanasan akan
melepaskan gugus asetil sehingga gugus amina dapat berikatan dengan gugus hidrogen.
Setelah dipanaskan, langkah selanjutnya adalah disaring dan residu yang tertinggal
dicuci hingga pH mencapai netral. Proses penyaringan berfungsi untuk memisahkan
komponen-komponen lain yang tidak diinginkan serta mendapatkan residu atau
rendemen kitosan (Suhardi, 1993). Selanjutnya rendemen dioven selama 24 jam pada
suhu 70oC sehingga dihasilkan kitosan yang berwujud serbuk dan berwarna putih sedikit
kekuningan. Proses deasetilasi dilakukan dengan tujuan untuk memutuskan ikatan
kovalen pada gugus nitrogen pada kitin dengan gugus asetil sehingga dapat diubah
menjadi gugus amina (Balley & Ollis, 1977).
Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 1 di atas dapat dilihat bahwa rendemen I
terbanyak ada pada kelompok A2 dengan perlakuan HCl 0,75N; NaOH 3,5%; dan
NaOH 40% yaitu 45% sedangkan hasil terendah pada kelompok A4 dengan perlakuan
HCl 1,25N; NaOH 3,5%; dan NaOH 60%. Hasil tersebut sesuai dengen teori yang
dikatakan oleh Sudarmadji et al., (1989) yaitu konsentrasi asam yang sesuai dapat
melarutkan mineral dengan baik sehingga mineral dalam bahan akan lebih berkurang.
Konsentrasi yang diajurkan untuk pembuatan kitin kitosan adalah 1N. Namun, jika
konsentrasi asam berlebihan akan menyebabkan reaksi berjalan cepat sehingga mineral
tidak terlarut sepenuhnya. Seperti hasil yang didapatkan pada kelompok A5 dengan
konsentrasi HCl sebesar 1,25 N dengan hasil rendemen 30%. Sebaliknya, jika
konsentrasi kurang dari 1N maka pelarutan dari meneral juga tidak berlangsung
sempurna sehingga akan menghasilkan nilai rendemen yang cukup tinggi. Ikatan
mineral akan mudah terlepas ketika bereaksi dengan larutan asam yang dipengaruhin
oleh konsentrasi dari larutan asam dan lamanya waktu yang digunakan (Moeljanto,
11
1992). Pada umunya akan dihasilkan rendemen kitin sebanyak 20% dari limbah udang
yang digunakan (Balley & Ollis, 1977).
Sedangkan pada hasil rendemen II yang terbanyak didapatkan oleh kelompok A4
dengan pelakuan HCl 1N; NaOH 3,5%; dan NaOH 50% yaitu sebesar 28,57 %, dan
hasil rendemen II yang terendah pada kelompok A1 dengan perlakuan HCl 0,75N;
NaOH 3,5%; dan NaOH 40%. Hasil tersebut tidak sesuai dengan pernyataan dari
Supitjah (2004) yang menjelaskan bahwa semakin tinggi konsentrasi NaOH yang
digunakan maka, proses pelarutan protein pada kitin akan berjalan lebih baik. Namu,
jika konsentrasi tersebut terlalu tinggi akan menyebabkan degradasi protin, sebaliknya
jika konsentrasi terlalu rendah maka pelarutan protein akan berjalan tidak sempurna.
Hasil rendemen dari proses deproteinasi juga dangat dipengaruhi oleh hasil rendemen
dari proses demineralisasi. Sehingga dapat dijatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi
NaOH pada batas tertentu, maka rendmen yang dihasilkan akan semakin sedikit karena
protein akan terlaut dan terpisahkan dari kitin. Kitidaksesuaian hasil percobaan dimana
konsentrasni NaOH yang rendah mendapatkan rendemen lebih rendah yaitu pada
kelompok A1, dan konsentrasi NaOH tinggi sedangkan berat rendemen yang tinggi
yaitu pada kelompok A6 dapat disebabkan karena kurang sempurnanya proses
deproteinasi dan juga jumlah rendemen dari hasil demineralisasi yang sudah banyak
atau sudah sedikit. Sebab lain adalah karena terdapat kitin yang ikut terbawa saat
penyaringan maupun penetralan pH, pengeringan kitin yang kurang sempurna, dan juga
masih terdapat mineral yang melindungi protein dari kitin (Robert, 1992). Pelarutan
protein akan lebih efektif dalam larutan basa, sehingga akan dihasilkan rendemen kitin
yang lebih sedikit dibanding dengan rendemen I karena pada rendemen I digunakan
asam sebagai pelarut (Robert, 1992).
Rendemen kitosan yang terbanyak ada pada kelompok A4 dengan perlakuan HCl 1N;
NaOH 3,5%; dan NaOH 50% yaitu sebesar 14,95%. Sedangkan rendemen kitosan
terendah ada pada kelompok A1 dengan perlakuan HCl 0,75N; NaOH 3,5%; dan NaOH
40% yaitu sebesar 10,40%. Hasil tersebut sesuai dengan pendapat Visakh et al., (2012)
yang menjelaskan bahwa pada proses deasetilasi, semakin tinggi konsentrasi NaOH
yang dihasilkan maka derajat deasetilasi pada rendemen kitosan juga akan semakin
12
tinggi. Namun pada konsentrasi NaOH 60% akan menurunkan derajat deastilasi karena
larutan yang dihasilkan menjadi lebih kental sehingga kitin tidak bereaksi sempurna
dengan NaOH. Hal tersebut sesuai dengan hasil percobaan yang didapatkan bahwa pada
kelopok A5 dengan konsentrasi NaOH 60% akan mendapat rendemen kitosan lebih
rendah jika dibanding dengan kelompok A4 dengan konsentrasi NaOH 50%. Proses
deasetilasi yang sempurna adalah ketika gugus fungsional amino semakin aktif untuk
mensubtitusi gugus asetil dalam larutan. Penggunaan NaOH akan menyebabkan
terjadinya depolimerisasi pada rantai molekul. Hal tersebut akan menyebabkan berat
kitosan menurun (Lee et al., 2010). Selain itu, derajat deasetilasi akan mempengaruhi
kualitas dari kitosan. Faktor yang mempengaruhi derajat deasetilasi antara lain adalah
suhu, waktu, konsentrasi alkali, jenis bahan yang digunakan, dan juga mkuutu dari
bahan yang digunakan (Visakh et al., 2012).
Kualitas dari kitin dan kitosan ditentukan oleh beberapa hal seperti bahan baku, proses
ekstraksi, pH saat dilakukannya proses ekstrasi, kondisi saat dilakukannya proses
ekstraksi, waktu yang digunakan untuk proses ekstraksi, dan juga suhu yang digunakan
untuk pengeringan (Purwaningsih, 1994).proses pemanasan dan pengeringan yang
terlalu lama dan pengunaan suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan protein
terdenaturasi. Selain itu, menurut (Khorrami et al., 2012) proses pembuatan kitin dan
kitosan dapat melibatkan mikroorganisme yaitu Lactobacillus plantarum (Khorrami et
al., 2012)
Pada umumnya, warna kitin dan kitosan adalah putih dan berbentuk serbuk (Muzzarelli,
1985). Hasil percobaan sesuai dengan teori yaitu warna kitin ayng dihasilkan adalah
putih. Namun terdapat pula warna putih kekuningan. Hal tersebut disebabkan karena
kitosan disimpan dalam jangka waktu tertentu pada suhu 100oF sehingga akan
menyebabkan kelarutan dan viskositasnya berubah. Selain itu, adanya kontak dengan
udara yang akan menyebabkan dekomposisi sehingga warna akan berubah dari putih
menjadi putih kekuningan (Khorrami et al., 2012).
Kitin dan kitosan dalapat diaplikasikan pada berbagai bidang pangan, farmasi,
bioteknologi dan pada bidang lainnya. Kitin sendiri merupakan hasil pengolahan
13
limbah. Kitin dan kitosan dapat dpalikasikan pada berbagai bidang karena kitin tidak
bersifat toksik, mudah diuraikan, serta merupakan senyawa yang aktif. Sebagai contoh,
kitin dapat digunakan dalam bidang pangan seperti pengawet makanan, antioksidan,
emulsifier, pengental, stabilizer, krioprotectant, penjernih, viscosifier, gelling agent,
meningkatkan flavor, penambahan makanan ikan. Selain bidang pangan kitin juga
digunakan pada bidang obat, farmasi, pengolahan air, industri kertas, bioteknologi dan
sebagainya (Cheba, 2011).
Parameter yang terpenting yang mengkategorikan kitosan dan aplikasinya adalah derajat
dari proses deasetilasi. Dengan menaikkan periode deasetilasi pada suhu yang konstan
dangan konsentrasi NaOH tertentu, dapat menaikkan derajat deasetilasi. Pada larutan
1% asam asetat yang digunakan pada persiapan kitosan dan menaikkan waktu dari
proses deasetilasi 90 sampai dengan 180 menit menghasilkan derajat deasetilasi hingga
7,9% (Viarsagh et al., 2010).
Pengaplikasian kitin dan kitosan semakin dijelaskan oleh Aranas et al (2009)
diantaranya sebagai berikut.:
Agen pengemulsi:
Kitosan dapat memproduksi emulsi dengan jenis water-oil-water tanpa dilakukan
penambahan surfaktan, karena biopolimer tersebut tersusun dari campuran
molekul yang dapat stabil dengan droplet air di dalam droplet minyak
Solid matrix system:
Semakin rendah viskositas dari kitosan maka, efek antioksidan akan semakin
tinggi. Hal ini berhubungan dengan chelation yang lebih rendah pada viskositas
kitosan yang tinggi sebagai gaya tolak menolak intermolekular yang akan
menaikkan volume hidrodinamic dengan menyesuaikan luasan dari rantai. Potensi
antioksidan dari kitosan dapat dievaluasi dengan menggunakan DPPH (1,1-
diphenyl-2-picrylhydrazyl), dan menghambat dari peroksidasi dari lipid.
Peroksidasi dapat dihambat dengan kitosan dengan konsentrasi 0.125 sampai
dengan 1.0mg/mL. Kitin dan kitosan dapat digunakan pada pengaplikasian yang
luas yang diperoleh dari limbah udah yang telah dipreparasi. Reaksi dari peroksida
14
dapat dihambat dengan antioksidan yang terkandung dalam kitosan (Trung dan
Bao, 2015).
Edible film:
Penggunaan pelapisan dengan kitosan sebagai barrier yang melindungi buah dan
sayur selama proses penyimpanan. Penggunaan kitin sebagai coating dapat
menghindari kerusakan dan kehilangan air. Selain itu kitin dapat mencegah
tumbuhnya jamur lebih baik dibanding dengans enyawa thiabendazole.
Pengawet:
Kitosan dapat dijadikan sebagai pengawet dengan berat molekul rendah (5 sampai
dengan 27 kDa) dan berat molekul sedang (48 sampai dengan 78 kDa) yang
diketahui dapat menekan pertumbuhan dari bakteri gram positif dan gram negatif
(Aranas et al, 2009).
Memperkuat warna pada produk (stabilisator warna).
Kitosan yang bereaksi dengan larutan anionic dapat secara instan memproduksi
pewarna yang stabil. Hal tersebut disebabkan oleh larutan anionic seperti
bromocresol yang berwarna ungu merupakan reagen yang digunakan untuk
analisis kualitas dari kitosan. Larutan anionic seperti bromocreaol ungu dan
bromocresol hijau dengan kitosan akan memproduksi produk yang lebih berwarna.
Metode pengikatan warna akan memproduksi produk berwarna dengan jumlah
yang seimbang terkait dengan proporsi kuantitas dari kitosan (Shoer, 2010).
4. Kesimpulan
Crustacea merupakan hewan laut invertebrata yang memiliki kandungan kitin yang
tinggi.
Kitin terdapat dalam eksoskeleton, bersifat keras, berwarna putih, serta inelastis.
Kitin C8H13NO5 merupakan biopolimer dengan unit N-asetil-D-glukosamin yang
memiliki ikatan glikosidik β (1,4).
Terdapat 3 tahap etraksi kitin demineralisasi, tahap deproteinasi, dan tahap
deasetilasi.
HCl bertujuan agar permukaan dari biopolimer kitin akan terjadi kerusakan.
Rendemen kitin semakin banyak jika konsentrasi HCl berkonsentrasi tinggi.
Semakin rendah gugus asetil pada kitosan maka derajat deasetilasi tinggi
Konsentrasi asam 1 N sesuai untuk melarutkan mineral lebih efektif.
Asam yang tinggi akan menyebabkan reaksi berjalan terlalu cepat, namun jika
konsentrasi terlalu rendah pelarutan mineral belum sempurna
Pada demineralisasi akan terbentuk asam karbonat, kalsium klorida, serta asam
fosfat dari reaksi asam klorida dengan kalsium karbonat.
Deproteinasi lebih optimal karena mineral sudah hilang lebih dulu dari proses
demineralisasi.
Penggunaan NaOH untuk mengubah formasi kitin menjadi lebih renggang dan
mempermudah enzim bekerja.
Semakin tinggi konsentrasi NaOH dan suhu proses, pemisahan kitin lebih cepat
sehingga rendemen semakin sedikit.
Semakin tinggi derajat deasetilasi, rendemen yang dihasilkan semakin sedikit.
Penghilangan mineral lebih optimal jika proses deproteinasi dilakukan pada
keadaan basa dengan menggunakan NaOH.
Proses deasetilasi dengan cara menghilangkan gugus asetil pada kitin sehingga
menjadi gugus amina.
Kitin serta kitosan dapat digunakan sebagai pengawet makanan, edible film, solid
matrix system, antioksidan, emulsifier, pengental, stabilizer, krioprotectant,
penjernih, viscosifier, gelling agent, meningkatkan flavor , stabilisator warna.
15
16
Semarang, 25 September 2015 Asisten Dosen:- Tjan, Ivana Chandra
Agatha Dewi Christri 13.70.0052
17
5. Daftar Pustaka
Aranash, et al. (2009). Functional Characterization of Chitin and Chitosan. Current Chemical Biology, 2009, 3, 203-230
Balley, J.E., & Ollis, D.F. (1977). Biochemical Engineering Fundamental. Mc. Graw Hill Kogakusha. Tokyo.
Cheba, Ben Amar. (2011). Chitin and Chitosan: Marine Biopolymers with Unique Properties and Versatile Applications. Global Journal of Biotechnology & Biochemistry 6 (3): 149-153, 2011.ISSN 2078-466X
Dutta, Pradip Kumar; Joydeep Dutta; dan V. S. Tripathi. (2004). Chitin and Chitosan: Chemistry, properties, and applications. Journal of Scientific and Industrial Research Vol. 63 January 2004. pp 20-31.
Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry. Second Edition. Marcel Dekker, Inc., New York.
Khorrami, M., G. D. Najafpour, H. Younesi, & M. N. Hosseinpour. (2012). Production of Chitin and Chitosan from Shrimp Shell in Batch Culture of Lactobacillus plantarum. Chem. Biochem. Eng. Q. 26 (3) 217–223 (2012).
Lee, W., Tai-Sun S., S. Ko., & Hoo-Il Oh. (2010). Control of Dongchimi Fermentation with Chitosan Deacetylated by Alkali Treatment to Prevent Over-Ripening. Journal of Food Science. The Society for Food Science & Technology. Vol. 75, Nr. 5, 2010. doi: 10.1111/j.1750-3841.2010.01643.x
Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Muzzarelli, R.A.A. (1985). Chitin in the Polysaccharides Vol. 3. Academic Press Inc. Orlando. San Diego.
Purwaningsih. (1994). Teknologi Pembekuan Udang. PT Penebar Swadaya. Bogor.
18
Puvvada, Y. S., Saikishore V., & Sudheshnababu S. (2012). Extraction Of Chitin From Chitosan From Exoskeleton Of Shrimp For Application In The Pharmaceutical Industry. International Current Pharmaceutical Journal 2012, 1(9): 258-263.
Robert, G.A.F. (1992). Chitin Chemistry. The Macmillan Press Ltd., London.
Shoer, Mohamed Abou. (2010). American Journal of Analytical Chemistry, 2010, 2, 91-94 doi:10.4236/ajac.2010.12012 Published Online August 2010
Sudarmadji, S; B. Haryono; & Suhardi. (1989). Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Liberty. Yogyakarta.
Suhardi. (1993). Khitin dan Khitosan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. PAU UGM. Yogyakarta.
Supitjah, Pipit. (2004). Tingkatan Kualitas Kitosan Hasil Modifikasi Proses Produksi.Buletin Teknologi Hasil Perikanan 56 Vol VII Nomor 1.
Trung and Bao. (2015). Physicochemical Properties and Antioxidant Activity of Chitin and Chitosan Prepared from Pacific White Shrimp Waste. Hindawi Publishing Corporation International Journal of Carbohydrate Chemistry Volume 2015, Article ID 706259, 6 pages
Viarsagh, S. M., Mohsen J., Hamid R. F., & Jafar M. (2010). Chitosan Preparation From Persian Gulf Shrimp Shells And Investigating The Effect Of Time On The Degree Of Deacetylation. Journal Of Paramedical Sciences (Jps). Spring2010 Vol.1, No.2 ISSN 2008-496x.
Visakh, P. M., M. Monti, D. Puglia, M. Rallini, C. Santulli, F. Sarasini, S. Thomas, J. M. Kenny. (2012). Mechanical And Thermal Properties Of Crab Chitin Reinforced
6. Lampiran
6.1. Perhitungan
Rumus :
Rendemen Chitin I =
Rendemen Chitin II =
Rendemen Chitosan =
KelompokA1
Rendemen Chitin I =
= 30,00 %
Rendemen Chitin II =
= 20,00 %
Rendemen Chitosan =
= 10,40 %
KelompokA2
Rendemen Chitin I =
= 45,00 %
Rendemen Chitin II =
19
= 26,67 %
Rendemen Chitosan =
= 13,07 %
20
KelompokA3
Rendemen Chitin I =
= 35,00 %
Rendemen Chitin II =
= 22,22 %
Rendemen Chitosan =
= 12,32 %
KelompokA4
Rendemen Chitin I =
=20,00 %
Rendemen Chitin II =
= 28,57 %
Rendemen Chitosan =
= 14,95 %
KelompokA5
Rendemen Chitin I =
= 30,00 %
21
Rendemen Chitin II =
= 25,00 %
Rendemen Chitosan =
= 12,40 %
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak jurnal
22