kitin kitosan_vannia valentina_13.70.0024_b5_unika soegijapranata

Upload: praktikumhasillaut

Post on 08-Jan-2016

41 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Praktikum Kitin Kitosan dilakukan pada hari Senin pada tanggal 21 September 2015 pukul 15.00 WIB dengan asisten dosen bernama Tjan, Ivana Chandra. Pada praktikum ini, sampel yang digunakan adalah limbah udang.

TRANSCRIPT

16

CHITIN CHITOSAN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh:Nama : Vannia ValentinaNIM : 13.70.0024Kelompok: B5

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANUNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

Acara II

2015

VIPER

1. MATERI DAN METODE

1.1. Materi1.1.1. AlatAlat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah oven, blender, ayakan dan peralatan gelas.

1.1.2. BahanBahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbah udang, HCl 0,75 N; 1 N dan 1,25 N, NaOH 3,5%, NaOH 40%, 50% dan 60%.

1.2. MetodeDemineralisasi

Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jamKemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam. HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1. Kelompok B1 dan B2 menggunakan HCl 0,75N, B3 dan B4 HCl 1N, dan B5 HCl 1,25N Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh. Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengna air panas 2 kali, dan dikeringkan kembali.

DeproteinasiLalu dicuci sampai pH netral.

Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH dengan perbandingan 6:1

Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jamLalu dicuci sampai pH netral.Kemudian disaring dan didinginkan Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.

DeasetilasiChitin yang didapat kemudian ditambahkan NaOH 40% untuk kelompok B1 dan B2, NaOH 50% untuk kelompok B3 dan B4, dan NaOH 60% untuk kelompok B5

3

Kemudian dikeringkan pada suhu 70oC selama 24 jamLalu dicuci sampai pH netral.Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam

4

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan terhadap karakteristik chitin-chitosan dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Chitin-Chitosan KelompokPerlakuanRendemen Kitin I (%)Rendemen Kitin II (%)Rendemen Kitosan (%)

B1HCl 0,75N + NaOH 40% + NaOH 3,5%30,0034,8825,00

B2HCl 0,75N + NaOH 40% + NaOH 3,5%36,0029,40-

B3HCl 1N + NaOH 50% + NaOH 3,5%31,8250,0050,00

B4HCl 1N + NaOH 50% + NaOH 3,5%28,0022,2219,23

B5HCl 1,25N + NaOH 60% + NaOH 3,5%28,5720,00-

Berdasarkan tabel hasil pengamatan di atas dapat dilihat bahwa hubungan antara penggunaan bahan dalam proses demineralisasi, deproteinasi dan deasetilasi berbeda. Kadar yang berbeda menghasilkan % rendemen kitosan yang berbeda-beda pula. Dari hasil pengamatan juga dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan nilai yang tidak stabil antar kelompok yang satu dengan yang lain, bahkan terdapat kelompok yang tidak menghasilkan kitosan.

3. PEMBAHASAN

Chitin merupakan senyawa homopolimer (polimer karbohidrat) dari 2-asetamida-2-deoksi-D-glukosa yang dihubungkan oleh ikatan glikosidik -1,4 dan banyak ditemukan pada eksoskeleton serangga, dinding sel jamur, cangkang crustaceae (udang, kepiting, lobster, dll) serta dapat ditemukan juga pada beberapa jenis koral dan ubur-ubur (Wang et al, 2006). Sedangkan chitosan merupakan senyawa polimer yang didapatkan melalui proses deasetilasi chitin yang merupakan suatu kation polisakarida dengan rantai linier dimana mengandung ikatan -1,4 yang berhubungan dengan rantai utama yaitu 2-asetamida-2-deoksi--D-glukopiranosa dan 2-amino-2-deoksi--D-glukopiranosa (Marthur & Narang, 1990). Kitin dapat diasetilasi menjadi kitosan atau dapat dihidrolisis menjadi diacetylchitobiose dan N-asetilglukosamin oleh mikroorganisme aerobik dan anaerobik. Kitin dapat terdegradasi oleh karena adanya respirasi aerobik, ammonification, dan nitrifikasi menjadi karbon dioksida dan nitrat dalam kondisi oksik yaitu tanpa oksigen (Wieczorek, 2014).

Chitin dan chitosan sangat banyak dimanfaatkan karena memiliki sifat biodegrasi, biokompabilitas, tidak beracun, kemampuan pembentukan lapisan film, antimikroba, sifat pengklat dan absorbsi (Kumirska, 2010). Karena memiliki sifat-sifat tersebut, maka Chitin dan chitosan pada industry pangan digunakan sebagai agen antimikroba, emulsifier, penstabil dan pengental, agen pengklat dan flokulasi maupun sebagai bahan tambahan pada lapisan kemasan (Yen et al, 2009; Jiffy et al, 2013; Dutta et al, 2004). Kitin memiliki stabilitas panas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kitosan, namun stabilitas panas pada kitosan dapat ditingkatkan dengan peningkatan derajat diasetilasinnya (Zakaria, 2012).

Pada praktikum kali ini, bahan yang digunakan adalah limbah undang yang terdiri atas cangkang dan kepala yang merupakan sautu buangan yang bernilai ekonomis rendah dan biasanya hanya dimanfaatkan sebagai pakan ternak (Toan, 2009). Limbah udang mengandung kurang lebih 10% - 20% kalsium, 30% - 65% protein dan 8% - 10% kitin dalam berat keringnya (Rao et al, 1996). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kaya (2014), kelelawar jenis guano juga dapat digunakan sebagai alternative lain untuk menggantikan udang, dimana mengandung 28% kitin yang akan menghasilkan kitosan sebesar 79%. Pengolahan kitin menjadi kitosan pada praktikum ini dapat menggunakan metode ekstraksi dimana terdapat 3 tahap utama yaitu demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi (No & Lee, 1995).

Chitin pada cangkang udang sebagian besar ditemukan dalam keadaan terikat dengan protein atau kandungan mineral penyusun cangkang tersebut. Oleh karena itu, untuk mengekstrak kandungan chitin maka ikatan tersebut harus dipisahkan. Protein dan mineral dapat mengalami presipitasi bila terjadi perubahan pH, sehingga untuk memisahkan protein dan mineral dari kitin, dapat digunakan asam maupun basa kuat (Mazzurelli, 1977; Toan, 2009; Foster & Webber, 1960). Tahap awal pembuatan kitin menjadi kitossan adalah tahap demineralisasi yang merupakan tahap penghilangan kandungan senyawa anorganik dan kandungan mineral terutama kalsium yang merupakan senyawa utama penyusun cangkang udang, dimana banyak ditemukan dalam bentuk kalsium karbonat maupun kalsium fosfat (Rao et al, 1996; Toan, 2009). Demineralisasi dilakukan dengan menggunakan asam kuat seperti asam klorida (HCl). Penambahan senyawa HCl ini dapat menyebebkan senyawa kalsium karbonat bereaksi menjadi kalsium klorida, sedangkan kalsium fosfat akan menghasilkan asam fosfat yang mudah larut dalam pelarut polar seperti air, sehingga pada saat dilakukan pencucian, mineral akan larut sedangkan chitin akan tertinggal (Robert, 1992; Rege & Lawrence, 1999).

Tahap awal demineralisasi pada praktikum ini mula-mula adalah limbah udang dicuci dengan air mengalir, dikeringkan dan dilanjutkan dengan pencucian menggunakan air panas. Pencucian dilakukan untuk memisahkan bahan pengotor yang terdapat dalam limbah padat. Selain itu, pencucian dilakukan agar memudahkan proses demineralisasi mengingat mineral sensitif terhadap perubahan suhu (Roger, 1986). Setelah itu, bahan kering dihancurkan menjadi serbuk agar memudahkan pada saat direaksikan dengan asam. Pada praktikum kali ini, asam yang digunakan adalah HCl dengan normalitas yang berbeda-beda yaitu 0,75 N; 1 N dan 1,25N. Setelah itu dilanjutkan pengadukan dan pemanasan selama 1 jam untuk mengetahui pengaruh kadar asam yang diberikan terhadap kualitas chitin yang dihasilkan. Proses pemanasan juga dilakukan untuk memaksimalkan proses perusakan mineral, dimana telah dikatakan sebelumnya bahwa mineral sensitive terhadap panas (Puspawati & Simpen, 2010). Pengadukan dilakukan untuk menghindari peluapan dari gelembung udara yang timbul selama proses pemanasan (Puspawati & Simpen, 2010).

Pada proses demineralisasi, konsentrasi asam klorida yang digunakan dan lama proses pemanasan yang dilakukan dapat memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap penurunan kadar mineral dalam chitin dan kualitas kitin yang dihasilkan, dimana semakin tinggi normalitas asam klorida dan semakin lama pemanasan maka semakin banyak kadar mineral yang dihilangkan (Martin, 2006). Namun proses pemnasan yang terlalu lama dapat mengakibatkan kerusakan pada kandungan vitamin, sifat viskositas dan sifat fungsionalitas lain yang sensitif terhadap asam dan panas (Martin, 2006; Mahmoud et al, 2007). Tahap akhir dalam proses demineralisasi adalah dengan menetralkan pH chitin cara penyaringan menggunakan air mengalir. Setelah pH netral kemudian dilakukan proses pengeringan sehingga didapatkan chitin yang berbentuk serbuk kering.

Tahapan kedua dalam pengolahan chitin menjadi chitosan adalah tahap deproteinasi. Deproteinasi merupakan tahap penghilangan kandungan protein yang berikatan dengan chitin sehingga ikatan chitin dengan protein dapat terpecah dan dapat diekstrak dengan mudah serta untuk menghindari terjadinya pembusukan. Hal ini dikarenakan salah satu sifat dari protein yang dapat mempercepat pertumbuhan bakteri (Rao et al, 1996; Frazier & Westhoff, 1988). Proses deproteinasi dilakukan dengan menggunakan basa kuat NaOH. NaOH dalam bahan akan terpenetrasi ke dalam jaringan dan bereaksi dengan protein, sehingga menyebabkan kerusakan pada ikatan garam protein (Faigin, 1997). Kerusakan ikatan garam dapat menyebabkan denaturasi dan presipitasi pada protein, sehingga chitin yang berikatan dengan protein tersebut dapat dipisahkan (Toan, 2011). Pengendapan protein terjadi karena ion positif Na+ dari NaOH mengikat ujung rantai protein yang bermuatan negatif, dimana akan membuat protein terekstrak dalam bentuk natrium proteinat (Faigin, 1997).

Pada praktikum ini, tahap deproteinasi diawali dengan penambahan NaOH ke dalam hasil demineralisasi. Kemudian dilanjutkan dengan pemanasan pada suhu 90C selama 1 jam, yang dilanjutkan dengan pengadukan, penyaringan, pendinginan, penetralan dan pengeringan. Mtode ini sudah sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Mizani & Aminlari (2007) dimana tahap deproteinasi dengan menggunakan NaOH pada umumnya menggunakan konsentrasi 3,5 % dengan pemanasan selama 1 jam pada suhu 90 (Mizani & Aminlari, 2007). Proses pemanasan dilakukan untuk membantu pemecahan protein. Pengadukan bertujuan untuk memaksimalkan proses pemanasan supaya perpindahan panas lebih rata dan penguraian protein yang terjadi lebih optimal (Rao et al, 1996). Penyaringan dilakukan untuk memisahkan endapan protein yang dihasilkan, sedangkan netralisasi dan pengeringan memiliki tujuan yang sama seperti yang dilakukan pada tahap demineralisasi (Puspawati & Simpen, 2010). Suhu pemanasan dan konsentrasi basa kuat yang digunakan dapat mempengaruhi kualitas akhir dari produk yang dihasilkan. Kadar NaOH yang berlebih akan menyebabkan terjadinya proses deasetilasi yang terlalu cepat, terjadinya depolimerisasi rantai chitin serta dihasilkannya hidrolisat yang dapat menurunkan kualitas chitin yang dihasilkan (Bastaman, 1989). Semakin kuat ikatan kitin dengan protein maka akan semakin sulit NaOH untuk mempenetrasi dan mempresipitasi protein (Toan, 2011). Dalam penelitian Waldeck et al (2006) metode enzimatis dengan menambahkan ekstrak enzim ataupun biakan mikroba yang menghasilkan enzim proteinase dapat digunakan untuk mendegradasi protein dalam chitin (Waldeck et al, 2006).

Tahapan terakhir dalam pembuatan chitosan adalah proses deasetilasi chitin. Chitin yang telah melewati proses demineralisasi dan deproteinasi, memiliki sifat tidak dapat larut dalam beberapa pelarut kimia (Agustina & Kurniasih, 2013). Hal ini dikarenakan tebalnya struktur sel chitin dan kuatnya ikatan hidrogen antar atom hidrogen dalam gugus amina dan oksigen, serta dalam gugus karbonil dalam struktur intramolekulernya (Mazzurelli, 1977). Deasetilasi dalam praktikum ini dilakukan dengan penambahan basa kuat NaOH, pada tingkat konsentrasi 40%, 50% dan 60% yang bertujuan untuk mengetahui kadar optimalnya. Setelah itu dilakukan pemanasan selama 1 jam. Adanya kombinasi antara perlakuan basa kuat dengan panas dapat menyebabkan hilangnya gugus asetil dalam chitin yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan adanya pemutusan ikatan antara gugus asetil dari gugus N-asetil dalam gugus amin. Pada tahap ini, akan terjadi reaksi hidrolisis chitin (amida) oleh NaOH. Reaksi hidrolisis tersebut diawali dengan adanya reaksi asidi, yang diawali dengan masuknya gugus OH- dalam NaOH kedalam gugus NHCOCH3, yang kemudian dilanjutkan dengan adanya reaksi eliminasi gugus CH3COO yang menghasilkan gugus amina dalam rantai utama yang disebut sebagai chitosan (Kurniasih & Kartika, 2011).

Pada tahap deasetilasi ini gugus NH2 dalam rantai utama akan menigkat, sehingga menyebabkan adanya peningkatan kelarutan sejumlah senyawa kimia dan meningkatnya kemampuan absorbsi dari chitin. Tingginya kemampuan penyerapan chitosan inilah yang kemudian menyebabkan chitosan banyak dimanfaatkan untuk diet, karena dapat menyerap sejumlah lemak terutama kolestrol. Kemampuan penyerapan dan kualitas chitosan sangat dipengaruhi oleh derajat deasetilasi yang dihasilkan, dimana derajat deasetilasi sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti konsentrasi basa kuat, suhu dan waktu pemanasan, serta jenis crustaceae yang digunakan (Dutta et al, 2004). Setelah penambahan basa NaOH dilakukan pengadukan untuk mengoptimalkan penetrasi basa NaOH dalam bahan. Kemudian dilakukan pemanasan untuk menghilangkan gugus asetil kitin (Kurniasih & Kartika, 2011). Lalu dilakukan pencucian dengan penyaringan untuk menetralkan pH dan kemudian kembali dilakukan proses pengeringan dalam oven.

Untuk mengetahui kualitas chitin dan chitosan yang dihasilkan dapat dilihat dari viskositasnya, kelarutannya dalam air, turbiditas atau kekeruhannya, bau, warna, serta berat molekul yang dihasilkan (Jothi, 2013). Pada praktikum ini, hanya dilakukan pengamatan terhadap % rendemen chitin dan chitosan yang ditentukan berdasarkan berat chitin atau chitosan yang dihasilkan terhadap berat bahan baku yang digunakan (Agustina & Kurniasih, 2013).

Rendemen kitin I dalam hasil pengamatan menunjukan besarnya rendemen yang dihasilkan setelah proses demineralisasi sedangkan rendemen kitin II menunjukan besarnya rendemen yang dihasilkan setelah proses deproteinasi. Perbandingan hasil antara rendemen kitin I dan II menunjukan nilai yang berbeda-beda, ada yang lebih besar da nada yang lebih kecil. Seharusnya, hasil yang tepat adalah nilai rendemen kitin II lebih besar dari rendemen kitin I, karena pada rendemen kitin I masih terdapat protein yang berikatan dengan kitin, sehingga ekstrak yang didapatkan relatif lebih sedikit dibandingkan setelah melewati tahapan deproteinasi. Pada % rendemen kitin I dapat dilihat bahwa kelompok B2 memiliki niai tertinggi dengan perlakuan HCl 0,75N. Hal ini kurang sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Martin (2006) dimana kadar HCl 1 N merupakan kadar yang optimal dalam proses demineralisasi.

Pada hasil pengamatan % rendemen kitin II, dapat dilihat bahwa nilai rendemen yang mengalami peningkatan dari nilai rendemen kitin 1 adalah pada kelompok B1 dan B3. Hal ini dikarenakan karena sebagian besar ikatan antara kitin dengan mineral sudah terlepas. Tingginya asam yang digunakan dapat menyebabkan terjadinya denaturasi protein pada saat proses demineralisasi sehingga pada saat proses deproteinasi dilakukan, akan didapatkan lebih banyak % rendemen (Puspawati & Simpen, 2010). Dapat dilihat pula bahwa pada masing-masing kelompok yang menggunakan bahan yang sama mendapatkan hasil yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti penambahan asam atau basa yang tidak sesuai, lamanya proses pengovenan yang tidak sesuai, proses penetralan yang kurang optimal dan adanya bahan kitin atau kitosan yang hilang pada saat pencucian.

14

Pada hasil pengamatan % rendemen kitosan, menunjukan bahwa kelompok B3 memiliki kadar kitosan paling tinggi dibandingkan dengan kelompok lain. Sedangkan pada kelompok B2 dan B5 justru tidak didpatkan rendemen. Hasil rendemen yang rendah dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kombinasi antara konsentrasi asam basa yang digunakan serta suhu dan waktu pemanasan yang kurang optimal. Semakin tinggi konsentrasi basa yang digunakan maka suhu optimal dan waktu optimal pemanasan akan semakin menurun (Sinaga, 2009). Selain itu, penurunan % rendemen juga dapat dipengaruhi karena pencucian kurang tepat sehingga menyebabkan sebagian kitin atau kitosan hilang. Pada dasarnya besar % rendemen kitosan yang didapatkan juga dipengaruhi oleh seberapa banyak % rendemen kitin yang didapatkan. Karena pengujian hanya dilakukan terhadap % rendemen yang dihasilkan, sehingga tidak bisa diketahui secara pasti pada tahap pengolahan manakah yang masih kurang optimal. Selain itu, karena pengujian hanya dilakukan pada satu parameter saja, maka kualitas dari chitin dan chitosan yang dihasilkanpun tidak dapat diketahui.5

4. KESIMPULAN

Chitin merupakan polimer karbohidrat dengan rantai utama 2-asetamida-2-deoksi-D-glukosa yang dihubungkan oleh ikatan glikosidik -1,4 dan banyak ditemukan pada eksoskeleton serangga. Chitosan merupakan senyawa polimer hasil deasetilasi chitin dengan rantai utama 2-amino-2-deoksi--D-glukopiranosa. Pengolahan kitin menjadi kitosan terbagi menjadi 3 tahapan utama yaitu demineralisasi, deproteinasi dan deasetilasi. Tahap demineralisasi adalah tahap untuk menghilangkan mineral yang berikatan dengan chitin dengan menggunakan asam kuat (HCl). Tahap deproteinasi adalah tahap untuk menghilangkan protein yang berikatan dengan kitin, dengan menggunakan basa kuat NaOH. Semakin tinggi kadar HCl dan NaOH yang digunakan maka akan semakin sedikit mineral dan protein yang tersisa, namun dapat menurunkan kualitas dari chitin. Tahap deasetilasi adalah tahap untuk menghilangkan gugus asetil dalam chitin sehingga didapatkan chitosan yang memiliki kemampuan absorbsi yang tinggi. Parameter penentu kualitas chitin-chitosan adalah berat molekul, viskositas, tingkat kelarutan dan turbiditas atau kekeruhannya. Hasil praktikum yang tidak sesuai dengan teori disebabkan karena pencucian dan penetralan yang tidak optimal, penambahan asam basa yang tidak dan kombinasi konsentrasi asam basa dengan pemanasan yang tidak sesuai. Untuk meningkatakan kualitas dari chitin-chitosan dapat dengan melakukan pre-treatment pada saat sebelum dilakukan proses pengolahan seperti pembekuan bahan atau dengan autolisis parsial pada bahan.

Semarang, 5 Oktober 2015Asisten Dosen :- Tjan, Ivana Chandra

Vannia Valentina

13.70.002411

5. DAFTAR PUSTAKA

Agustina, S & R, Kurniasih. (2013). Pembuatan Kitosan dari Cangkang Udang dan Aplikasinya Sebagai Absorben untuk Menurunkan Kadar Logam Cu. Seminar Nasional FMIPA UNDIKSHA. Mataram.Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan From Prawn Shells. Journal of Aeronautical and Chemical Engineering Vol 2(10):188-297.Dutta, P.K, Dutta, J, Tripathi, V.S. (2004). Chitin and Chitosan: Chemistry, Properties and Application. J.Sci.Ind.Res Vol 63:-20-31.Faigin, C.O. (1997). Protein Stability and Stabilization of Protein Function. Landes Bioscience. Texas.Foster, A.B & J.M, Webber. (1960). Advance in Carbohydrate Chemistry. Academic Press Inc. London.Frazier, W.C & D.C, Westhoff. (1988).Food Microbiology 4th Edition. McGraw Hill. New York.Jiffy, P.P, Sharmila, J.J.W & K, Mohan. (2013). Development of Chitosan Based Active Film to Extend the Self Life of Minimally Processed Fish. Engineering & Technology Vol 1(5):15-22. Jothi, N., and R. Kunthavai Nachiyar. (2013). Identification and Isolation of Chitin and Chitosan from Cuttle Bone of Sepia prashadi Winckworth, 1936. 1Department of Biotechnology, Bharathidasan Institute of Technology, Anna University, Tiruchirappalli, 620 024, India.Kaya, Murat, Osman Seyyar, Talat Baran, and Tuncay Turkes. (2014). Bat guano as new and attractive chitin and chitosan source. Department of Biotechnology and Molecular Biology, Faculty of Science and Letters Aksaray University, Aksaray 68100, Turkey.Kumirska, Jolanta, Magorzata Czerwicka, Zbigniew Kaczyski, Anna Bychowska,Krzysztof Brzozowski, Jorg Thming and Piotr Stepnowski. (2010). Application of Spectroscopic Methods for Structural Analysis of Chitin and Chitosan. Faculty of Chemistry, University of Gdansk, Sobieskiego 18/19, PL-80-952 Gdansk, Poland.Kurniasih, M & D, Kartika. (2011). Sintesis dan Karaterisasi Fisika-Kimia Kitosan. Jurnal Inovasi Vol 5(1):42-48.Mahmoud, N.S, Ghaly, N.E, & F, Arab. (2007). Unconventional Approach for Demineralization of Deproteinized Crustacean Shells for Chitin Production. American Journal of Biochemistry and Biotechnology Vol 3(1):1-9.Marthur, N.K & C.K, Narang. (1990). Chitin and Chitosan : Versatile Polysaccharide From Marine Animal. J.Chem.Educ Vol 67:938-942.Martin, X.K.A. (2006). Standardization of Optimum Conditions for the Production of Glucosamine Hydrochloride from Chitin. Thesis Indian Council of Agricultural Research, Chocin University of Science and Technology. Indian. Mazzurelli, R.A.A. (1977). Chitin. Perganon Press. New York.Mizani, A.M & Aminlari, B.M. (2007). A New Process for Deproteinization of Chitin from Shrimp Head Waste. Proceedings of European Congress of Chemical Engineering. Copenhagen.No, H.K & M.Y, Lee. (1995). Isolation of Chitin from Crab Shell Waste. J.Korean.Soc.Food.Nutr Vol 24:105-113.Puspawati, N.M & I.N, Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Kitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood menjadi Kitosan Melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Vol 4(1):79-90.Rao, M.S, Stevens, W.F, Varum, K.M. (1996). The Proceedings of the Second Asia Pasific Chitin and Chitosan Symposium. Thailand. Rege, P.R & H.B, Lawrence. (1999). Chitosan Processing : Influence of Process Parameter During Acidic and Alkaline Hydrolysis and Effect of the Processing Sequence on the Resultan Chitosans Properties. Carbhy.Res Vol 321:235-245Robert. G.A.F. (1992). Preparation of Chitin and Chitosan. The Macmillan Press. London.Roger, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. California Science Publishing Ltd. England.Sinaga. P.A.K. (2009). Perekat Berbasis Kitosan Untuk Papan Isolasi. Skripsi Institut Pertanian Bogor. Bogor. Toan, N.V. (2009). Production of Chitin and Chitosan from Partially Autolyzed Shrimp Shell Material. Open.Biomal.J Vol 1:21-24.Toan, N.V. (2011). Improved Chitin and Chitosan Production from Black Tiger Shrimp Shells Using Salicylic Acid Pretreatment. Open.Biomat.J Vol 3(1):1-3.Wang, S.L, Lin, T.Y, Yen, Y.H, Liao, H.F, & J, Yu. (2006). Bioconversion of Shellfish Chitin Waste for the Production of Bacillus subtilis W-118 Chitinase. Carbhydr.res Vol 341:2501-2515.Wieczorek , A. S., S. A. Hetz, and S. Kolb. (2014). Microbial responses to chitin and chitosan in oxic and anoxic agricultural soil slurries. Department of Ecological Microbiology, University of Bayreuth, Bayreuth, Germany.Yen, M.T, Yang, J.H, Mau, J.L. (2009). Physicochemical Characterization of Chitin and Chitosan from Crab Shells. Carbohydrate Polymer Vol 75:15-21.

Zakaria, Zainoha , Zatil Izzah, Mohammad Jawaid, and Azman Hasaan. (2012). Effect of Degreeof Deacetylation of Chitosan on Thermal Stability and Compatibility of Chitosan Polyamide Blend. Chemistry Department, Faculty of Science, University Teknologi Malaysia.12

6. LAMPIRAN

6.1. PerhitunganKelompok B1Rendemen Kitin I

Rendemen Kitin II

Rendemen Kitosan

Kelompok B2Rendemen Kitin I

Rendemen Kitin II

Rendemen Kitosan

Kelompok B3Rendemen Kitin I

Rendemen Kitin II

Rendemen Kitosan

Kelompok B4Rendemen Kitin I

Rendemen Kitin II

Rendemen Kitosan

Kelompok B5Rendemen Kitin I

Rendemen Kitin II

Rendemen Kitosan

6.2. Laporan Sementara

6.3. Diagram Alir

6.4. Abstrak Jurnal15