kitin kitosan_auw, elyzabeth d.a_12.70.0060_b1_unika soegijapranata

Upload: reed-jones

Post on 02-Jun-2018

232 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata

    1/23

    Acara II

    CHITIN & CHITOSAN

    LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

    TEKNOLOGI HASIL LAUT

    Disusun oleh:

    Auw, Elyzabeth D.A

    12.70.0060

    Kelompok B1

    PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

    FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

    UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

    SEMARANG

    2014

  • 8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata

    2/23

    1

    1. HASIL PENGAMATAN

    Hasil pengamatan chitin dan chitosan dapat dilihat pada Tabel 1.

    Tabel 1. Chitin dan Chitosan

    Kel Perlakuan Rendemen

    Chitin I (%)

    Rendemen

    Chitin II (%)

    Rendemen

    Chitosan (%)

    B1 Kulit udang +

    HCl 0,75 N +

    NaOH 3,5% +

    NaOH 40%

    54,000 28,600 20,109

    B2 Kulit udang +

    HCl 0,75 N +NaOH 3,5% +

    NaOH 40%

    29,800 29,213 20,648

    B3 Kulit udang +

    HCl 1 N +

    NaOH 3,5% +

    NaOH 50%

    12,720 14,330 13,187

    B4 Kulit udang +

    HCl 1 N +

    NaOH 3,5% +

    NaOH 50%

    24,000 18,500 10,752

    B5 Kulit udang +HCl 1,25 N +

    NaOH 3,5% +

    NaOH 60%

    23,020 15,950 10,600

    B6 Kulit udang +

    HCl 1,25 N +

    NaOH 3,5% +

    NaOH 60%

    32,380 41,300 27,500

    Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa pada kelompok B1-B2 perlakuan yang diberikan

    pada kulit udang adalah penambahan HCl 0,75 N; NaOH 3,5% dan NaOH 40%.

    Kelompok B3-B4 perlakuan yang diberikan pada kulit udang yaitu dengan penambahan

    HCl 1 N; NaOH 3,5% ; NaOH 50% dan untuk kelompok B5-B6 perlakuan yang

    diberikan dengan menambah HCl 1,25 N; NaOH 3,5%; NaOH 60%. Hasil rendemen

    kitin I, kitin II dan rendemen kitosan berturut-turut untuk kelompok B1 adalah

    54,000%; 28,600%; 20,109%, untuk kelompok B2 adalah 29,800%; 29,213%; 20,648%,

    untuk kelompok B3 yaitu 12,720%; 14,330%; 13,187%, pada kelompok B4 hasilnya

  • 8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata

    3/23

    2

    adalah 24,000; 18,500; 10,752%, pada kelompok B5 adalah 23,020%; 15,950%;

    10,600%, dan untuk kelompok B6 adalah 32,380%; 41,300%; 27,590%.

  • 8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata

    4/23

    3

    2. PEMBAHASAN

    Limbah kulit udang merupakan salah satu sumber pembuatan kitin dan kitosan. Indonesia

    dapat dikatakan sebagai sumber limbah cangkang keras hewan invertebrata (crustaceae)

    laut yang banyak mengandung kitin. Kandungan yang terdapat dalam kulit udang adalah

    protein (25-40%), kitin (15-20%) dan kalsium karbonat (45-50%). Jenis udang dan

    lingkungan tempat hidup udang merupakan faktor yang mempengaruhi kandungan pada

    udang tersebut. Dalam industri pembuatan kitin dan kitosan, kulit udang adalah salah satu

    sumber biopolimer yang sangat berpotensi (Marganov, 2003). Kitin adalah salah satu

    senyawa yang tidak biasa berada sendiri di alam sehingga harus bergabung dengan senyawa

    lain (Suhardi, 1992). Kitin akan berada pada crustaceandan kitin akan bergabung dengan

    garam anorganik (CaCO3), protein dan pigmen. Pada cangkang udang windhu kandungan

    kitin cukup tinggi sebesar 99,1% (Prasetiyo, 2006). Kitin termasuk golongan polisakarida

    yang cukup melimpah ada di alam setelah selulosa. Dalam serangga dan crustacean, kitin

    akan berada pada struktural eksoskeleton dan pada ragi serta jamurkitin berada di dinding

    sel sekitar 30-60%. Kitin dapat dimanfaatkan untuk pendukung bahan seperti enzim papain,

    kimotripsin, glukosa isomerase, laktase dan asam fosfatase. Pemanfaatan kitin terbanyak

    adalah pada industri kosmetik dan industri pangan (Peter, 1995). Sifat kitin yang sukar larut

    dalam pelarut polar seperti air membuat penggunaannya menjadi terbatas. Denganmemodifikasi kitin secara kimiawi sehingga didapatkan turunan kitin yang mempunyai sifat

    kimia baik. Turunan yang baik tersebut adalah kitosan, dimana kitosan larut dalam asam

    juga mempunyai viskositas yang bergantung pada derajat degradasi polimer dan derajat

    diasetilasi.

    Kitosan yang sudah kering tidak mempunyai titik lebur karena jika disimpan terlalu lama,

    viskositas dan kelarutannya akan berubah. Kitosan juga harus disimpan dalam wadah

    tertutup agar tidak kontak dengan oksigen atau udara. Jika kontak dengan udara, kitosan

    akan terdekomposisi, warna berubah kekuningan dan terjadi penurunan viskositas. Kitosan

    bersifat larut dalam asam encer seperti asam format, asam asetat dan asam sitrat. Dalam

    asetat terkandung gugus karboksil dimana gugus ini akan membuat pelarutan kitosan

    menjadi lebih mudah karena gugus amina dan gugus karboksil dari kitosan akan bereaksi

  • 8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata

    5/23

    4

    dengan hidrogen (Dunn et al., 1997).

    Kitin dengan rumus kimia (C8H13NO5)n adalah biopolimer yang berasal dari unit penyusun

    N-asetil-D-glukosamin yang berikatan dengan (1,4) (Muzzarelli, 1985). Kitosan

    mempunyai rumus kimia polimer 2-amino-2-dioksi--D-Glukosa yang merupakan hasil

    dari proses hidrolisis kitan dengan basa kuat. Karakteristik dari kitosan antara lain :

    o Bentuk padatan yang amorf

    o Berwarna putih

    o Mempunyai struktur kristal tetap seperti bentuk kitin awal yang murni

    o

    Rantainya lebih pendek dibanding kitin

    Kitosan memiliki bentuk yang hampir sama dengan selulosa bedanya ada pada gugus

    hidroksi C ke dua, dimana gugus itu diganti dengan gugus amino (NH2) (Robert, 1992).

    Adanya gugus amino ini membuat kitin dijadikan sebagai pengawet, karena mempunyai

    muatan positif yang dapat berikatan dengan muatan negatif yang berasal dari senyawa lain.

    Dibandingkan dengan kitosan yang memmpunyai muatan netral, kitosan tidak mempunyai

    muatan netral. Kitosan terletak pada dinding sel fungi dan insekta. Kitin yang diberi

    perlakuan deasetilasi dengan larutan basa 40-50% dalam suhu 120-160oC akan dihasilkan

    kitosan. Kelebihan kitosam sebagai bahan biomaterial antara lain tidak toksik, mudah

    terdegradasi dan antithromboganicdan kompatibel (Radhakumary et al., 2005).

    Kitin yang ada pada tubuh organisme dibagi menjadi tiga bentuk kristal berdasarkan

    susunan rantai molekul yang ada dalam struktur kristalnya yaitu rantai antipararel (-kitin),

    rantai pararel (-kitin) dan rantai campuran (-kitin) (Abun et al., 2007). Kitosan dapat

    dipakai sebagai agen penggumpal dalam menangani limbah yang mengandung senyawa

    protein karena adanya sifat kitosan seperti polikationik (Subianto, 2001 dalam Hartati et al.,

    2002). Kitosan jika diberikan penambahan crosslinked agent seperti glioksial, glutaraldehid

    dan kation Cu2+

    dapat membentuk ikatan crosslink (Cahyaningrum et al., 2007). Kitin dan

    kitosan saat ini banyak dipakai dalam industri pertanian, farmasi, pangan, kesehatan dan

  • 8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata

    6/23

    5

    lingkungan (Balley, et al, 1977). Berikut adalah contoh struktur kimia dari kitin dan kitosan

    :

    Gambar 1. Struktur Kimia Kitin (Abun et al., 2007).

    Gambar 2. Struktur Kimia Kitosan (Muzzarelli, 1985).

    Kitin dapat diturunkan menjadi berbagai macam produk seperti chito-olygosaccharides,

    kitosan dan glukosamin. Selain itu kitin dapat dimanfaatkan untuk bahan pembuatan

    bioplastik. Kitin dan kitosan mempunyai karakteristik unik yang dapat membentuk

    polyixysalt dalam membentuk film juga berguna untuk mengkelat ion logam karena adanya

    struktur optik. Berat molekul dan derajat deasetilasi berpengaruh terhadap karakteristik dari

    kitosan seperti reologi, kelarutan dan sifat fisiknya (Zaku et al., 2011). Sifat kelarutan dari

    kitosan juga dipengaruhi oleh gugus amino yang mengalami proteinasi pada rantai polimer

    sehingga dihasilkan glukosamin yang terasetilasi dan glukosamin yang tidak terasetilasi

    (Alvarenga, et al., 2010). Limbah udang yang dipakai dalam praktikum ini diberikan

    perlakuan demineralisasi dan deproteinasi untuk dihasilkan kitin dan setelah kitin didapat

    dilakukan proses deasetilasi untuk mendapatkan kitosan.

    2.1. Pembuatan Kitin (Demineralisasi)

    Langkah awal proses pembuatan kitin ini dengan mencuci limbah kulit udang dengan air

    mengalir. Pencucian limbah kulit udang ini menurut Bastaman (1989) dimaksudkan untuk

    membersihkan kulit dari kotoran yang masih ada sehingga tidak membuat ektraksi kitin

    menjadi tercemar. Setelah dicuci dengan air mengalir, limbah kulit udang dicuci lagi tapi

  • 8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata

    7/23

    6

    menggunakan air panas. Penggunaan air panas menurut Bastaman (1989) yaitu untuk

    mensterilkan kulit udang agar tidak terkontaminasi oleh mikroorganisme. Setelah dicuci

    dengan air panas, kulit udang harus dikeringkan agar kadar air yang ada pada kulit udang

    dapat hilang dan dihasilkan kulit udang dalam kondisi yang sudah kering. Kulit udang yang

    sudah kering selanjutnya di haluskan atau dihancurkan agar luas permukaan bahan menjadi

    semakin luas sehingga mempermudah kontak pelarut dengan bahan. Setekah hancur, bahan

    di ayak untuk memisahkan padatan berdasarkan ukurannya sampai didapatkan serbuk

    dengan ukuran 40-60 mesh (Prasetyo, 2006).

    Langkah selanjutnya yaitu mengambil serbuk kulit udang sebesar 10 gram dan diberikan

    tambahan HCl dengan perbandingan 10:1 (pelarut:kulit). Penambahan HCl ini dibagi

    menjadi tiga konsentrasi, kelompok B1-B2 dengan konsentrasi HCl 0,75 N; kelompok B3-

    B4 dengan konsentrasi HCl 1 N dan kelompok B5-B6 dengan konsentrasi HCl 1,25 N.

    Penggunaan HCl yang ditambahkan ini adalah untuk merusak permukaan biopolimer pada

    kitin sehingga komponen mineral dapat terekstrak keluar dari kulit udang (Mudasir, 2008).

    Kandungan mineral dalam kulit udang sebesar 30-50% dari berat kering. Kalsium karbonat

    dan kalsium fosfat adalah mineral utama pada kulit udang atau kitin kasar. Mineral tersebut

    harus disingkiran saat ektraksi kitin dilakukan. Menghilangkan mineral tersebut dapat

    dilakukan dengan menambahkan asam encer sperti yang dilakukan dalam praktikum iniyaitu HCl. Asam encer lain yang dapat digunakan adalah H2SO4, atau asam laktat

    (Bastaman, 1989).

    Setelah HCl ditambahkan, langkah berikutnya yaitu mengaduk kitin pada suhu 90oC selama

    satu jam. Dengan menggunakan suhu panas, mineral pada kitin akan semakin cepat dirusak.

    Sedangkan perlakuan pengadukan ini, dimaksudkan agar saat dipanaskan tidak terjadi

    luapan gelembung udara sebagai akibat dari proses pemisahan mineral pada proses

    demineralisasi (Puspawati et al., 2010). Hendy (2008) juga mengatakan bahwa saat proses

    demineralisasi akan dihasilkan gelembung CO2karena adanya pemisahan mineral dengan

    HCl. Berikut ini reaksi yang terjadi :

    CaCO3(s) + 2HCl(l)CaCl2(s) + H2O(l) + CO2(g).

  • 8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata

    8/23

    7

    Kemudian langkah berikutnya yang dilakukan adalah mencuci kitin dengan air mengalir

    sampai pH nya menjadi netral. Dalam mengukur pH kitin ini digunakan kertas pH meter

    dan kitin siap untuk dikeringkan pada suhu 800C selama 24 jam. Metode demineralisasi ini

    memiliki tujuan untuk menghilangkan mineral pada kitin seperti kalsium karbonat (CaCO3)

    dan garam anorganik (Hargono & Haryani, 2004). Dengan metode ini CaCO3 akan berekasi

    dengan HCl sehingga akan terbentuk CaCl, asam fosfat dan asam karbonat yang dapat larut

    air. Sedangkan residu yang tidak larut air inilah yang disebut kitin. Itulah sebabnya

    penetralan pH kitin dilakukan agar mineral yang larut air dapat terpisah dari residu yang

    berupa kitin (Bastaman, 1989).

    Dari hasil pengamatan diperoleh hasil bahwa persen rendemen kitin yang dihasilkan dari

    proses demineralisasi ini berkisar pada 12,720-54,000%. Hasil rendemen kitin I terendah

    didapat oleh kelompok B3 dengan konsentrasi HCl 1 N sebesar 12,720% dan hasil

    rendemen kitin I tertinggi ada pada kelompok B1 dengan konsentrasi HCl 0,75 N sebesar

    54,000%. Penambahan asam seperti HCl ini dengan konsentrasi tinggi dalam proses waktu

    yang lama akan membuat ikatan protein dan mineral juga bahan organik pada kitin menjadi

    lepas dan renggang (Johnson dan Peterson, 1974). Jika konsentrasi HCl yang ditambahkan

    semakin besar maka rendemen kitin yang akan dihasilkan juga semakin banyak. Hal

    tersebut dikarenakan kandungan mineral pada serbuk udang semakin mudah untuk dilepas(Laila & Hendri, 2008). Hasil pengamatan yang didapat kurang sesuai dengan teori

    seharusnya kelompok B5 dan B6 mendapatkan hasil rendemen kitin yang lebih besar

    dibanding kelompok B1-B4. Ketidak sesuaian ini menurut Lehninger (1975) disebabkan

    karena adanya pengadukan dalam pemanasan setelah diberikan tambahan HCl sehingga

    hasil rendemen akan meningkat. Selain itu ketidakcocokaan hasil dengan teori dapat juga

    dikarenakan saat proses pencucian untuk menetralkan pH masih ada residu kitin yang

    terbawa larut sehingga mempengaruhi hasil nilai rendemen kitin. Dalam hal ini, pelarut

    yang baik dalam proses demineralisasi kitin ini adalah HCl dengan konsentrasi 1 N

    (Ramadhan et al., 2010).

  • 8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata

    9/23

    8

    2.2. Pembuatan Kitin (Deproteinasi)

    Langkah berikutnya setelah dilakukan proses demineralisasi adalah deproteinasi. Langkah

    pertama yang dilakukan yaitu mencampur tepung kitin dari proses sebelumnya dengan

    NaOH perbandingan 6:1. Selanjutnya larutan yang sudah tercampur tadi diaduk selama satu

    jam pada suhu 900C. Dengan menambah basa seperti NaOH dapat membantu

    menghilangkan kandungan proteinnya. Sedangkan pemanasan yang dilakukan adalah untuk

    membuat NaOH menjadi terkonsentrat dan menghilangkan air yang terkandung didalamnya

    sehingga kitin yang diperoleh akan lebih maksimal. Pengadukan yang diberikan saat

    dipanaskan ini bertujuan agar proses berjalannya deproteinasi dapat berjalan dengan lancar

    (Puspawati et al., 2010). Selanjutnya, residu kitin dicuci dengan air sampai pHnya netral.

    Sama dengan proses sebelumnya yaitu demineralisasi, penetralan pH ini dimaksudkan

    untuk memberikan efek penggembungan kitin dengan basa atau alkali. Dengan begitu,

    proses hidrolisis oleh basa terhadap gugus asetamida yang ada pada rantai kitin dapat lebih

    efektif (Rogers, 1986). Setelah dinetralkan, residu kitin dikeringkan dengan suhu 800C

    selama satu malam. Larutan NaOH yang digunakan dalam proses ini akan mengalami

    ionisasi dengan air sehingga akan terbentuk ion hidroksida dan ion natrium. Penambahan

    larutan basa tersebut perlahan ke dalam larutan asam akan membentuk molekul air dari ion

    hidroksida dan ion hidrogen. Larutan akan menjadi bersifat asam jika ion hidrogen berada

    dalam larutan tersebut, sedangkan jika ion hidrogen yang ada jumlahnya sama dengan

    penambahan ion hidroksida akan membuat larutan menjadi netral (Rogers, 1986).

    Pada metode deproteinasi ini dilakukan dengan tujuan memisahkan antara kitin dengan

    protein. Metode ini dilakukan setelah proses demineralisasi. Hal ini sesuai dengan teori

    yang diungkapkan Alamsyah et al. (2007) bahwa pengisolasian kitin pada tahap

    demineralisasi sampai tahap deproteinasi ini dapat menghasilkan rendemen kitin yang

    banyak dibandingkan dengan mengisolasi kitin tanpa kedua tahap tersebut. Hal tersebut

    dikarenakan mineral akan melindungi kulit udang dimana pelindung itu bersifat keras.

    Mineral mempunyai struktur yang lebih keras jika dibanding dengan protein hal inilah yang

    menjadi alasan mineral harus dihilangkan terlebih dahulu agar pada tahapan deproteinasi

    berjalan maksimal (Alamsyah et al., 2007).

  • 8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata

    10/23

    9

    Dari hasil yang sudah diperoleh, rendemen kitin II berkisar pada persentase 14,330-

    41,300%. Hasil rendemen kitin II terendah didapatkan oleh kelompok B3 sebesar 14,330%

    dan hasil rendemen kitin II terbesar ada pada kelompok B6 sebesar 41,300%. Kitin yang

    bersumber dari limbah kulit udang biasanya menghasilkan rendemen kitin >20%

    (Puspawati et al., 2010). Sesuai dengan teori Puspawati et al. (2010) untuk kelompok B1,

    B2 dan B6 hasil rendemen kitin menunjukkan lebih dari 20%. Sedangkan untuk kelompok

    B3-B5 kitin yang dihasilkan

  • 8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata

    11/23

    10

    mentransform kitin menjadi kitosan (Robert, 1992). Pada tahapan deasetilasi ini gugus

    asetil akan dihilangkan dari kitin dan mengubah menjadi amina hingga dihasilkan kitosan

    (Ramadhan et al., 2010). Besarnya gugus asetil yang dapat dihilangkan dari rendemen kitin

    dan kitosan ini dijadikan sebagai seberapa baik mutu kitosan. Standart mutu kitosan ini

    disebut derajat deasetilasi. Semakin tinggi gugus asetil kitosan maka semakin rendah

    derajat deasetilasi kitosan sehingga dapat membuat ikatan antar ion dengan ikatan hidrogen

    menjadi semakin kuat (Knoor, 1984). Tahapan deasetilasi ini akan memutus ikatan kovalen

    yang ada pada gugus asetil dengan gugus asetamida yang mengandung nitrogen sehingga

    akan diubah menjadi gugus amina terdeasetilasi (Azhar et al., 2010). Berikut ini adalah

    proses penghilangan gugus asetil :

    Gambar 3. Penghilangan gugus asetil menjadi gugus amina (Azhar et al., 2010)

    Kitosan dapat dimanfaatkan untuk bahan antimikrob karena kitosan mengandung sejumlah

    gugus aminopolisakarida dan enzim lisozim yang berperan dalam mencegah pertumbuhan

    mikroorganisme. Kefektifan kitosan sebagai bahan anti mikrob ini dipengaruhi oleh faktor

    konsentrasi dari pelarut kitosan. Kitosan hanya efektif dalam menurunkan pertumbuhan

    kapang dan bakteri (Cahyaningrum, 2007). Dalam tahapan deasetilasi ini, kitin dari hasil

    proses sebelumnya ditambah dengan NaOH dengan konsentrasi yang berbeda-beda tiap

    kelompoknya. Konsentrasi NaOH yang digunakan kelompok B1 dan B2 adalah 40%.

    Untuk kelompok B3 dan B4 digunakan konsentrasi 50% sedangkan untuk kelompok B5

    dan B6 menggunakan konsentrasi NaOH sebesar 60%. Penggunaan NaOH ini sesuai

    dengan teori Hirano (1989) jika NaOH dapat mengubah struktur kitin menjadi renggang

    sehingga enzim akan semakin mudah bekerja dan polimer kitin terdeasetilasi. Adanya

  • 8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata

    12/23

    11

    ikatan yang kuat antara gugus karboksil dengan ion nitrogen pada strutur kristal kitin akan

    dihasilkan kitosan dengan penambahan NaOH pada konsentrasi 40-50% dalam suhu tinggi.

    Semakin tinggi konsentrasi alkali maka ikatan gugus karboksil dengan ion nitrogen akan

    semakin mudah diputus (Martinou, 1995). Jika konsentrasi NaOH yang ditambahkan

    semakin tinggi maka kitosan dengan derajat asetilasi yang dihasilkan juga meningkat. Hal

    tersebut dikarenakan gugus asetil yang disubstitusi oleh gugus amino menjadi semakin aktif

    dalam larutan sehingga deastilasi akan berjalan baik. Adanya pemakaian suhu tinggi juga

    menjadi faktor lepasnya guus asetil dari kitin (Mekawati et al., 2000).

    Langkah berikutnya setelah ditambahkan NaOH yaitu dengan pengadukan dan pemanasan

    selama 1 jam dan didiamkan 30 menit. Setelah itu dipanaskan pada suhu 900C selama 60

    menit tanpa pengadukan. Suhu akan mempengaruhi derajat deasetilasi pada kitosan. Suhu

    yang digunakan semakin tinggi, semakin tinggi derajat deasetilasi kitosan. Sedangkan

    perlakuan pengadukan ini bertujuan untuk mencampur kitin dengan larutan basa NaOH

    menjadi lebih homogen sehingga proses perlakuan deasetilasi juga dapat berjalan optimal

    (Puspawati et al., 2010). Pendiaman selama 30 menit adalah dengan tujuan agar serbuk

    kitosan dalam larutan dapat mengendap sempurna sehingga tidak terbuang saat dicuci

    (Rogers, 1986). Setelah disaring, residu dicuci dengan menggunakan air sampai pHnya

    netral. Selanjutnya kitosan dikeringkan selama 24 jam pada suhu 70

    0

    C. Warna akhir daribubuk kitosan adalah putih kekuningan / krem, hal ini tepat dengan teori Ramadhan et

    al.(2010) bahwa kitosan mempunyai warna putih kekuningan.

    Dari hasil pengamatan diperoleh data bahwa rendemen kitosan berkisar pada 10,600-

    27,590%. Hasil tertinggi rendemen kitosan dengan perlakuan penambahan NaOH 60%

    adalah 27,590% pada kelompok B6 dan hasil rendemen kitosan terendah dengan

    penambahan NaOH 60% sebesar 10,600% oleh kelompok B5. Dengan penggunaan

    konsentrasi yang sama sebesar 60% NaOH hasil rendemen kitosan yang didapatkan dua

    kelompok berbeda jauh. Seharusnya semakin tinggi konsentrasi penggunaan NaOH maka

    hasil rendemen kitosan yang didapat akan semakin rendah atau berbanding terbalik. Hal ini

    dikarenakan adanya tambahan NaOH mengakibatkan depolimerisasi rantai pada molekul

    kitosan sehingga berat dari kitosan akan semakin menurun (Hong et al., 1989). Ketidak

  • 8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata

    13/23

    12

    sesuaian hasil pengamatan rendemen kitosan dengan teori yang ada dapat disebabkan dari

    jenis udang yang digunakan dan dari proses penetralan yang tidak sempurna sehingga saat

    dinetralkan dengan air, ada kitosan yang terlarut dan terbuang bersama air.

    Pada jurnal mengenai ekstraksi kitin kitosan dari B.cereus, kitin merupakan polisakarida

    yang ada pada kulit crustacea. Bacillus cereus mempunyai enzim protease yang dapat

    dipakai untuk ekstraksi kitin dari limbah kulit udang Metapenaeus Monoceros. Sedangkan

    kitosan didapat melalui tahapan N-deasetilase sehingga dapat diketahui aktivitas dari

    aktivasi antibakteri pada kitosan. Produksi oksidan dan protease dari B. Cereus SV 1 saat

    ditumbuhkan dalam media yang mengandung limbah udang berbentuk bubuk dapat

    dijadikan sebagai sumber karbon. Kitin juga diperoleh dari proses deproteinisasi limbah

    udang dengan enzim SV 1 protease atau dengan ekstraksi menggunakan senyawa kimia.

    Limbah udang sebelum diberikan perlakuanpre-treatment mempunyaki kandungan protein

    yang cukup besar. Sedangkan untuk proses demineralisasi dimaksudkan untuk mengurangi

    kandungan mineral yang masih ada dalam kitin. Dari hasil penelitian didapatkan hasil

    bahwa kandungan abu yang terdapat dalam kitin sudah sangat rendah, hal ini berarti bahwa

    kalsium karbonat yang ada pada kitin dan mineral lain yang ada pada kitin sudah

    dihilangkan atau diminimalisir. Namun berbeda dengan kandungan protein yang ada pada

    kitin masih sangat tinggi dengan perlakuan isolasi enzim deproteinisasi. Meskipunpersentase deproteinisasi lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan kimia, proses

    deproteinisasi secara enzimatik harus tetap dilakukan untuk menghindari adanya senyawa

    kimia yang akan kembali ke kitin seperti residu logam berat, hidrolisis yang berlebihan,

    pemecahan kitin dan lain sebagainya. Kitosan jika berada dalam kondisi asam dapat

    berfungsi sebagai antibakteri. Kitosan ini merupakan hasil konversi kitin yang mengalami

    proses enzimatik dan deproteinisasi alkali. Kitosan menunjukkan aktivitas yang tinggi

    dalam menghambat bakteri sepertiE.coli (Manni et al., 2010).

    Jurnal berikutnya membahas tentang pemanfaatan biopolimer dari kitin dan kitosan. Kitin

    dan kitosan merupakan biopolimer yang saat ini diaplikasikan pada berbagai bidang seperti

    untuk koagulan pengolahan air limbah, bahan pertanian, pengawet makanan, bahan untuk

    membuat kosmetik dan lain sebagainya. Adanya unit monomer penyusun kitosan seperti

  • 8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata

    14/23

    13

    glukosamin berpengaruh terhadap kesehatan dalam mengobati penyakit osteoarthritis.

    Selama proses isolasi, kelompok N-asetil akan hilang dan dihasilkan kitin dengan derajat

    N-asetilasi sebesar 0,9. Adanya degradasi rantai utama dengan asam hidroklorat

    menghasilkan kitin dengan berat molekul yang rendah. Kitin yang sudah kering tidak bisa

    larut dalam air sehingga harus disimpan dalam larutan dispersi didalam refrigerator.

    Perlakuan itin dan kitosan dengan penggunaan asam hidroklorat pada suhu tinggi akan

    menyebabkan terjadi proses hidrolisis dan didapatkan monomer gula berupa glukosamin.

    Kemampuan udang dalam menyerap logam sangat berpengaruh terhadap proses asetilasi.

    Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan menyerap logam tidak hanya karena kandungan

    asam amino bebas dalam udang tetapi juga karena adanya sifat hidrofilik dari molekul

    adsorbent yang digunakan untuk menghilangkan senyawa toksik.

    Kemudian jurnal yang dibahas selanjutnya adalah tentang purifikasi pada kitin yang

    menggunakan limbah kulit atau cangkang udang. Kitin merupakan hasil purifikasi dari

    cangkang Penaeus monodon dan Crangon dengan menggunakan dua tahapan fermentasi

    yaitu deproteinasi anaerob dengan dekalsifikasi melalui homofermentatif atau fermentasi

    asam laktat. Selam proses pembuatan kitin dibutuhkan suhu tinggi saat proses perlakuan

    dengan asam kuat dan basa kuat. Suhu tinggi ini dibutuhkan untuk menghilangkan

    kandungan protein dan mineral. Kegunaan senyawa kimia seperti asam dan basa kuat iniuntuk memicu terjadinya depolimerisasi dari kitin yang akan mempengaruhi berat molekul

    dan viskositas dari kitin. Dalam memproduksi kitin ini dilakukan menggunakan

    bioteknologi. Dengan bioteknologi ini kitin dan kitosan yang dihasilkan akan memiliki

    viskositas yang tinggi dan dapat digunakan untuk industri farmasi dan biomedicine.

    Pemanfaatan untuk farmasi ini boleh dilakukan karena pada kitin mempunyai kelarutan

    yang rendah. Sedangkan kitosan atau yang merupakan hasil deasetilasi kitin memiliki

    kelarutan yang bersifat larut dalam asam organik. Keefektifan dekalsifikasi dengan

    menggunakan asam laktat bakteri didasarkan pada jumlah karbon yang ditambahkan.

    Dimana karbon tersebut berasal dari proses fermentasi (homofermentatif) (Xu, 2008).

  • 8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata

    15/23

    14

    Jurnal selanjutnya dikatakan bahwa ekstraksi secara kimia dari limbah kulit udang Egyptian

    menghasilkan kitin. Kitin yang dihasilkan ini akan berubah menjadi kitosan yang lebih

    bersifat larut. Limbah kulit udang merupakan salah satu sumber kitosan yang baik. Kitosan

    lebih efektif dalam mereduksi atau mengurangi luka pada akar tomat dibandingkan dengan

    kitin. Kitosan bersifat non toksik dan merupakan polimer bidegradasi dan dapat

    berpengaruh terhadap aktivitas estisida pada mikroorganisme. Kitin dan kitosan yang

    merupakan turunan dari limbah kulit udang bereperan dalam meningkatkan struktur tanah

    dengan stimulasi fertilisasi dan memicu pertumbuhan tanaman (Radwan, 2012).

    Untuk jurnal terakhir, kitosan, kitin, kitin-glukan dan kitin glukan hidrolisat yang berasal

    dari fungi diuji untuk menghilangkan mineral seperti Fe, Pb dan Cd juga senyawa organik

    yang dapat mengkontaminasi wine. Kitosan, kitin, kitin-glukan dan kitin glukan hidrolisat

    ini ternyata efektif dalam mencegah anggur dari kontaminasi fungi dan dapat membuat

    warna anggur menjadi lebih bening karena kandungan logam berat seperti Pb, Cd, Fe dan

    mikotoksin menjadi berkurang. Dengan penambahan polisakarida juga dapat mengurangi

    konsentrasi dari logam berat pada anggur. pH pada anggur atau wine juga berpengaruh

    terhadap pengurangan kadar logam. pH optimal untuk mengurangi cemaran logam ini

    berkisar pada ph 3,1 sampai 4,1. Kandungan asam sitrat pada wine menjadi iron yang baik

    karena iron ini berperan dalam mengkelat polisakrida pada wine. Semakin meningkatkandungan polisakarida pada wine maka semakin banyak kandungan logam yang

    dikurangi. Biopolimer seperti kitosan, kitin glukan dan kitin hidrolisat glukan memang

    mengurangi level kandungan logam pada wine sehingga wine akan aman untuk dijadikan

    sebagai beverages (Bornet, 2008).

  • 8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata

    16/23

    15

    3. KESIMPULAN

    Limbah kulit udang mengandung senyawa kitin dan kitosan.

    Kitin merupakan biopolimer yang tersusun dari unit monomer N-asetil-D-

    glukosamin yang berikatan dengan ikatan (1,4).

    Kitosan mempunyai rumus kimia 2-amino-2-dioksi--D-Glukosa.

    Dalam tahapan demineralisasi dan deproteinasi akan dihasilkan rendemen kitin.

    Pada tahapan deasetilasi kitin akan diubah menjadi kitosan.

    Sifat kelarutan dalam asam dan viskositas kitosan dipengaruhi oleh faktor derajat

    deasetilasi dan derajat degradasi polimer.

    Kitosan diperoleh dari penghilangan gugus asetil pada kitin menjadi gugus amina. Konsentrasi HCl yang semakin tinggi digunakan akan menghasilkan kitin yang

    semakin banyak.

    Larutan HCl yang digunakan pada tahapan demineralisasi berfungsi melarutkan

    kandungan mineral pada limbah kulit udang.

    Dalam tahapan deproteinasi NaOH 3,5% yang ditambahkan berfungsi untuk

    menghilangkan kandungan mineral dan protein pada kitin secara optimal.

    Adanya NaOH dapat menyebabkan proses depolimerisasi rantai molekul pada

    kitosan dan akibatnya berat molekul kitosan menjadi turun.

    Tingginya konsentrasi NaOH yang ditambahkan pada tahapan deasetilasi akan

    membuat rendemen kitosan yang dihasilkan semakin rendah.

    Semarang, 1 Oktober 2014 Asisten Dosen :

    Praktikan : - Stella Gunawan

    Auw, Elyzabeth D.A

    12.70.0060

  • 8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata

    17/23

    16

    4. DAFTAR PUSTAKA

    Abun, Tjitjah Aisjah, dan Deny Saefulhadjar. (2007). Pemanfaatan Limbah Cair

    Ekstraksi Kitin dari Kulit Udang Produk Proses Kimiawi dan Biologis Sebagai ImbuhanPakan dan Implikasinya terhadap Pertumbuhan Ayam Broiler.

    http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/10/pemanfaatan_limbah_cair_ekstra

    ksi_kitin1.pdf.

    Alamsyah, Rizal., et al.. (2007). Pengolahan Khitosan Larut dalam Air dari Kulit Udang

    sebagai Bahan Baku Industri.http://www.bbia.go.id/ringkasan.pdf.

    Alvarenga, E. S; Cristiane P.; amd Carlos Roberto. (2010). An Approach to

    Understanding the Deacetylation Degree of Chitosan. Carbohydrate Polymers 80 1155-

    1160.

    Azhar, M., Jon Efendi, Erda S., Rahma M. L, dan Sri Novalina. (2010). Pengaruh

    Konsentrasu NaOH dan KOH Terhadap Derajat Deasetilasi Kitin dari Limbah Kulit

    Udang.EKSAKTA Vol. 1 Tahun XI.

    Balley, J.E., & Ollis, D.F. (1977). Biochemical Engineering Fundamental. Mc. Graw

    Hill Kogakusha. Tokyo.

    Bastaman, S. (1989). Studies on Degradationb and Extraction of Chitin and Chitosan

    from Prawn Shells. Thesis. The Depatment of Mechanical. Manufacturing Aeronautical

    and Chemical Engineering. The Queen's University. Belfast.

    Bornet, A. Teissedre, P.L. (2008). Chitosan, chitin-glucan and chitin eVects on minerals

    (iron, lead, cadmium) and organic (ochratoxin A) contaminants in wines. Eur Food Res

    Technol 226:681689

    Cahyaningrum, S. E., Agustini, Herdyastuti. (2007). Pemakaian Kitosan Limbah Udang

    Windu sebagai Matriks Pendukung pada Imobilisasi Papain. Jurusan Kimia, FMIPA,

    Universitas Negeri Surabaya. Jurnal Akta Kimindo Vol. 2 No. 2 Oktober 2007: 93-98.

    Dunn, E.T., E.W. Grandmaison & M.F.A. Goosen. (1997). Applications and Properties

    of Chitosan. Technomic Pub, Basel, p 3-30.

    http://www.bbia.go.id/ringkasan.pdfhttp://www.bbia.go.id/ringkasan.pdfhttp://www.bbia.go.id/ringkasan.pdfhttp://www.bbia.go.id/ringkasan.pdf
  • 8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata

    18/23

    17

    Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry.Second Edition.Marcel Dekker, Inc., New

    York.

    Hargono, S dan Haryani D (2004). Pengaruh Konsentrasi Zat Pelarut dalam ProsesDemineralisasi, Deproteinasi, dan Deasetilasi terhadap Kualitas Khitosan. Universitas

    Indonesia, Jakarta.

    Hartarti, F.K., Susanto, T., Rakhmadiono, S., dan Lukito, A.S. (2002). Faktor-Faktor

    yang Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi Menggunakan Enzim Protease dalam

    Pembuatan Khitin dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). BIOSAIN, VOL. 2,

    NO. 1 : 68-77.

    Hartarti, F.K., Susanto, T., Rakhmadiono, S., dan Lukito, A.S. (2002). Faktor-Faktor

    yang Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi Menggunakan Enzim Protease dalam

    Pembuatan Khitin dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). BIOSAIN, VOL. 2,

    NO. 1 : 68-77.

    Hirano. (1989). Production and Aplication on Chitin and Chitosan in Japan.Jepang.

    Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin

    from crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.

    Johnson, A.H. dan M.S. Peterson.(1974). Encyclopedia of Food Technology Vol. II.

    The AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.

    Knoor. (1984). Faktor- Faktor yang Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi

    Menggunakan Enzim Protease dalam Pembuatan Khitin dari Cangkang Rajungan

    (Portunus pelagicus). BIOSAIN, VOL. 2, NO. 1 : 68-77.

    Kurita, K. (2006). Chitin and Chitosan: Functional Biopolymers from Marine

    Crustaceans. Marine Biotechnology Vol 8, 203-226.

    Laila, A & Hendri, J. (2008).Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media

    Pendukung Amobilisasi Enzim -Amilase. http://lemlit.unila.ac.id

    /file/arsip%202009/SATEK%202008/VERSI%20PDF/bidang%203/41.pdf

    Lehninger, A.L. (1975). Biochemistry. 2nd Ed. Worth Publisher Inc., New York.

  • 8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata

    19/23

    18

    Manni, L. Bellaj, O.G. Jellouli, K. Younes, I. Nasri, M. (2010). Extraction and

    Characterization of Chitin, Chitosan, and Protein Hydrolysates Prepared from Shrimp

    Waste by Treatment with Crude Protease from Bacillus cereus SV1. Appl Biochem

    Biotechnol 162:345357

    Marganov. (2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal,

    Kadmium, dan Tembaga) di Perairan. http://rudyct.topcities.com/pps702_71034/

    marganof.htm.

    Martinou, A.D., D. Kafetzopoulos dan V. Bouriotis. (1995).Chitin deacetylation by

    enzymatic means.

    Mekawati, Fachriyah, E. dan Sumardjo, D. (2000).Aplikasi Kitosan Hasil tranformasi

    Kitin Limbah Udang (Penaeus merguiensis) untuk Adsorpsi Ion Logam Timbal.Jurnal

    Sains and Matematika, FMIPA Undip, Semarang, Vol. 8 (2), hal. 51-54.

    Mudasir. (2008). Immobilization of Dithizone onto Chitin Isolated from Prawn

    Seawater Shells (P. merguensis) and its Preliminary Study for the Adsorption of Cd(II)

    Ion. Chemistry Department, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Gadjah

    Mada University. Yogyakarta.

    Muzzarelli, R.A.A. (1985). Chitin in the Polysaccharides Vol. 3. Academic Press Inc.

    Orlando. San Diego.

    Peter, Martin G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and

    Chitosan.Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., Germany. Hlm. 629-

    639.

    Prasetyo, Kurnia Wiji. (2006). UPT Balai Litbang Biomaterial, Lembaga Ilmu

    Pengetahuan Indonesia. terbit di KOMPAS

    Puspawati, N. M dan I. N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit

    Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui

    Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Vol 4 hal 7990.

    http://rudyct.topcities.com/pps702_71034/%20marganof.htmhttp://rudyct.topcities.com/pps702_71034/%20marganof.htmhttp://rudyct.topcities.com/pps702_71034/%20marganof.htmhttp://rudyct.topcities.com/pps702_71034/%20marganof.htmhttp://rudyct.topcities.com/pps702_71034/%20marganof.htm
  • 8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata

    20/23

    19

    Radhakumary, C., P.D. Nair, S. Mathew, C.P.R. Nair. (2005). Biopolymer Composite

    of Chitosan and Methyl Methacrylate for Medical Applications. Trends Biomater. Artif.

    Organs. Vol 18(2) : 117-124.

    Radwan, M.A. Farrag, S.A.A. Elamayem, M.M.A. Ahmed, N.S. (2012). Extraction,

    characterization, and nematicidal activity of chitin and chitosan derived from shrimp

    shell wastes. Biol Fertil Soils 48:463468

    Ramadhan, L.O.A.N., C.L. Radiman, D. Wahyuningrum, V. Suendo, L.O. Ahmad, S.

    Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap

    Derajat Deasetilasi serta Massa molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia. Vol 5 : 17-21.

    Robert, G.A.F. (1992). Chitin Chemistry. The Macmillan Press Ltd., London.

    Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company.

    California.

    Suhardi, U. Santoso dan Sudarmanto. (1992). Limbah Pengolahan Udang untuk

    Produksi Kitin, Laporan penelitian, BAPPINDO-FTP UGM. Yogyakarta.

    Xu, Y. Gallert, C. Winter, J. (2008). Chitin Purification from Shrimp Wastes byMicrobial Deproteination and Decalcification. Appl Microbiol Biotechnology 79: 687-

    697

    Zaku, S. G.; S.A. Emmanuel; O. C. Aguzue; and S.A. Thomas. (2011). Extraction and

    Characterization of Chitin; a Functional Biopolymer Obtained from Scales of Common

    Carp Fish (Cyprinus carpio I.) : A lesser known source. African Journal of Food

    Science Vol 5(8), pp 478-483.

  • 8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata

    21/23

    20

    5. LAMPIRAN

    5.1.

    Perhitungan

    Perhitungan Chitin Chitosan

    Rumus :

    Rendemen Chitin I =

    Rendemen Chitin II =

    Rendemen Chitosan =

    Kelompok B1

    Rendemen Chitin I =

    = 54,000 %

    Rendemen Chitin II =

    = 28,600 %

    Rendemen Chitosan =

    = 20,109 %

    Kelompok B2

    Rendemen Chitin I =

    = 29,800 %

    Rendemen Chitin II =

    = 29,313 %

    Rendemen Chitosan =

  • 8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata

    22/23

    21

    = 20,648 %

    Kelompok B3

    Rendemen Chitin I =

    = 12,720 %

    Rendemen Chitin II =

    = 14,330 %

    Rendemen Chitosan =

    = 13,187 %

    Kelompok B4

    Rendemen Chitin I =

    = 24,000 %

    Rendemen Chitin II =

    = 18,500 %

    Rendemen Chitosan =

    = 10,752 %

    Kelompok B5

    Rendemen Chitin I =

    = 23,020 %

    Rendemen Chitin II =

    = 15,952 %

  • 8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata

    23/23

    22

    Rendemen Chitosan =

    = 10,600 %

    Kelompok B6

    Rendemen Chitin I =

    = 32,380 %

    Rendemen Chitin II =

    = 41,300 %

    Rendemen Chitosan =

    = 27,590 %

    5.2. Laporan Sementara

    5.3. Diagram Alir