kitin kitosan_liem_pamela_lukito_13.70.0014_e3_unika soegijapranata

33
Acara II CHITIN & CHITOSAN LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT Disusun oleh: Nama: Liem Pamela Lukito NIM: 13.70.0014 Kelompok: E3

Upload: praktikumhasillaut

Post on 04-Feb-2016

20 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Kitin dan kitosan merupakan produk olahan dari limbah crustacea atau limbah udang yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi.

TRANSCRIPT

Page 1: Kitin Kitosan_Liem_Pamela_Lukito_13.70.0014_E3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Acara II

CHITIN & CHITOSAN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh:

Nama: Liem Pamela Lukito

NIM: 13.70.0014

Kelompok: E3

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2015

Page 2: Kitin Kitosan_Liem_Pamela_Lukito_13.70.0014_E3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

1. MATERI METODE

1.1. ALAT DAN BAHAN

1.1.1. Alat

Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah oven, blender, ayakan, dan peralatan

gelas.

1.1.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbah udang, HCl 0,75 N; 1 N dan

1,25 N, NaOH 3,5%, NaOH 440%, 50%, dan 60%.

1.2. METODE

1.2.1. Demineralisasi

1

Limbah udang dicuci menggunakan air mengalir dan dikeringkan

Dicuci dengan air panas sebanyak 2x dan dikeringkan

Bahan dihancurkan dan diayak menggunakan ayakan 40-60 mesh dan

ditimbang

Page 3: Kitin Kitosan_Liem_Pamela_Lukito_13.70.0014_E3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2

Dicampur dengan HCl 0,75N, 1N dan 1,25N dengan perbandingan

10:1

Dipanaskan hingga suhu 80oC dan diaduk selama 1 jam

Dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 90oC selama 24

jam

Page 4: Kitin Kitosan_Liem_Pamela_Lukito_13.70.0014_E3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3

1.2.2. Deproteinasi

Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH 3,5% dengan

perbandingan 6:1

Dipanaskan pada suhu 70oC selama 1 jam dan dilakukan pengadukan

Residu disaring dan dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 90oC selama

24 jam dan dihasilkan chitin

Page 5: Kitin Kitosan_Liem_Pamela_Lukito_13.70.0014_E3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4

1.2.3. Deasetilasi

Dipanaskan pada suhu 80oC selama 1 jam dan dilakukan pengadukan

Residu dicuci dan disaring hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu

90oC selama 24 jam dan dihasilkan chitosan

Hasil deproteinasi dicampur dengan NaOH 40%, 50% dan 60%

dengan perbandingan 20:1

Page 6: Kitin Kitosan_Liem_Pamela_Lukito_13.70.0014_E3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan percobaan kitin dan kitosan dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Kitin dan Kitosan

Kel PerlakuanRendemen Kitin I (%)

Rendemen Kitin II (%)

Rendemen Kitosan (%)

E1HCl 0,75 N + NaOH 3,5% +

NaOH 40%26,32 28,57 32

E2HCl 0,75 N + NaOH 3,5% +

NaOH 40%37,93 27,78 17,23

E3HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH

50%23,53 30,77 28,89

E4HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH

50%35 18,18 15,33

E5HCl 1,25 N + NaOH 3,5% +

NaOH 60%29,17 25 42,5

Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh, dapat dilihat bahwa perlakuan asam dan

basa dengan konsentrasi yang berbeda mempengaruhi rendemen kitin dan kitosan yang

dihasilkan. Secara garis besar, semakin tinggi konsentrasi asam dan basa yang

digunakan maka rendemen yang dihasilkan cenderung lebih sedikit. Selain itu jika

dicermati lebih jauh lagi, presentase berat rendemen kitin I cenderung lebih besar

daripada presentase berat rendemen kitin II dan kitosan.

5

Page 7: Kitin Kitosan_Liem_Pamela_Lukito_13.70.0014_E3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3. PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini dilakukan proses pembuatan kitin dan kitosan dari limbah

crustaceans di mana dihasilkan value-added by product yang diamati karakteristik

rendemennya. Menurut Dutta et al. (2004) limbah udang (termasuk crustaceans)

memiliki kandungan protein dan mineral tinggi, provitamin A berupa astaxanthin yang

berguna untuk memberi warna. Rochima (2005) menyatakan bahwa limbah crustacea

memiliki kandungan kitin yang tinggi, yaitu 20-60%. Dutta et al. (2004) lebih

menjelaskan lagi bahwa di dalam limbah udang terdapat kitin sebanyak 30% dari berat

kering. Kitin dan kitosan merupakan salah satu usaha untuk memanfaatkan limbah

sehingga dihasilkan produk yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi, di mana menurut

Uno et al. (2012) kitin adalah polisakarida yang terdiri dari unit N-asetil-D-glukosamin

yang saling berikatan melalui ikatan β (1, 4). Sedangkan kitosan adalah produk turunan

dari hasil deasetilasi kitin yang banyak dimanfaatkan dalam berbagai bidang, seperti

farmasi, kosmetik dan pangan. Wang et al. (2010) menambahkan bahwa sifat dari kitin

adalah berwarna putih dengan tekstur keras sehingga tidak elastis, memiliki kandungan

nitrogen. Biasanya kitin dapat ditemukan dalam kulit udang. Sedangkan menurut

Suhardi dan Sudarmanto (1992) kitosan memiliki sifat tidak toksik dan biodegradable

di mana ia bisa diuraikan dengan mudah sehingga banyak sekali aplikasinya dalam

berbagai bidang industri.

Pada praktikum kali ini digunakan limbah udang yang merupakan salah satu dari

curstacea yang memiliki kandungan kitin yang tinggi. Menurut Prasetyo (2006) di

dalam kulit udang terdapat 25-40% protein, 45-50% kalsium karbonat, dan 15-20%

kitin yang besarnya kandungan komponen tersebut tergantung jenis udang dan habitat

hidup udang tersebut. Pada jenis crustacea kitin berada dalam bentuk berikatan dengan

senyawa lain, seperti protein, garam organik (CaCO3) dan pigmen.

Metode yang dilakukan meliputi demineralisasi, deproteinasi dan deasetilasi kitin

menjadi kitosan. Hal ini sesuai dengan Mizani dan Mahmood (2007) dan Tarafdar serta

Abhrajyoti dan Gargi (2013) bahwa dalam proses pembuatan kitin diakukan ekstraksi

limbah kulit udang melalui 2 tahapan yaitu demineralisasi dengan melibatkan asam,

deproteinasi dengan melibatkan basa. Proses demineralisasi diawali dengan limbah

6

Page 8: Kitin Kitosan_Liem_Pamela_Lukito_13.70.0014_E3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

7

udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan. Kemudian dicuci lagi dengan air

panas sebanyak 2 kali dan dikeringkan kembali. Pencucian limbah udang dilakukan

untuk memisahkan zat pengotor yang ada sehingga limbah menjadi semakin murni.

Pencucian kedua dilakukan untuk menghilangkan bahan-bahan larut air. Namun

pencucian tidak akan menghilangkan kitin karena kitin memiliki sifat tidak larut air

(Bastaman, 1989). Pengeringan dilakukan pula untuk menurunkan kadar air dari limbah

udang sehingga diperoleh bahan yang kering dan mudah dihancurkan. Lalu dihancurkan

hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan. Menurut Prasetyo (2006) proses

penghancuran yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan luas permukaan bahan

sehingga ekstraksi dapat berjalan optimal sebagai akibat dari kontak permukaan dengan

pelarut ekstraksi yang semakin meningkat. Pengayakan juga merupakan salah satu

usaha untuk memperkecil ukuran partikel sehingga luas permukaan meningkat dan

proses ekstraksi menjadi lebih mudah.

Selanjutnya dicampur dengan HCl 0,75 N; 1 N; dan 1,25 N dengan perbandingan 10:1.

Variasi konsentrasi asam yang digunakan ditujukan supaya diketahui pengaruh

konsentrasi asam yang berbeda terhadap hasil rendemen kitin. Menurut Trung et al.

(2006) dalam Yateendra et al. (2012) penambahan larutan HCl dimaksudkan supaya

mineral yang terikat pada kitin seperti garam organik dan kalsium karbonat dapat

dihilangkan. Kalsium karbonat akan bereaksi dengan asam klorida membentuk kalsium

klorida, asam karbonat dan juga asam fosfat yang larut dalam air, sehingga rendemen

kitin yang dihasilkan lebih murni. Hasil yang diinginkan dari proses tersebut adalah

hilangnya semua mineral yang ada pada kitin. Oleh karena itu digunakan HCl yang

banyak (10:1). Austin et al. (1981) menambahkan juga bahwa mineral pada kitin, yaitu

kalsium karbonat cenderung lebih mudah dipisahkan dengan menggunakan asam

klorida, di mana asam tersebut selanjutnya dianggap efektif untuk menghilangkan

mineral. Namun efek samping dari pengunaan HCl adalah kitin mengalami

depolimerisasi. Lalu dipanaskan pada suhu 80⁰C dan setelah mencapai suhu tersebut

baru dilakukan pengadukan selama 1 jam. Puspawati et al. (2010) menambahkan pula

bahwa proses pengadukan dapat membuat larutan asam bereaksi dengan garam mineral

yang ada pada kitin. Sedangkan pemanasan dapat memaksimalkan proses pemisahan

atau penghilangan mineral dari kitin. Tanda-tanda ketika mineral sudah terpisah dari

Page 9: Kitin Kitosan_Liem_Pamela_Lukito_13.70.0014_E3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

8

kitin adalah terbentuknya gas karbon dioksida yang ditandai dengan gelembung udara,

saat HCl dituangkan ke dalam sampel dan terjadi reaksi antara kalsium karbonat dengan

HCl. Oleh karena itu juga dilakukan pengadukkan bersamaan dengan pemanasan

supaya bahan tidak terlalu meluap-luap (akibat gelembung) saat dipanaskan. Selain itu

pengadukan bersamaan dengan pemanasan bertujuan untuk lebih mencampurkan atau

menghomogenkan larutan dan meningkatkan kontak area HCl dengan mineral.

Setelah itu hasil yang diperoleh dicuci dengan mengunakan kain saring sampai pH

netral dan dikeringkan di dalam oven pada suhu 90ºC selama 1 malam. Menurut

Bastaman (1989) proses penyaringan bersamaan dengan proses penetralan pH

digunakan untuk menghilangkan mineral pada kitin yang pada dasarnya larut air

sehingga didapatkan kitin murni dan untuk mengcegah degradasi dari kitin selama

proses pengeringan (Austin, 1981). Winarno et al. (1980) menyatakan bahwa

dilakukannya pengeringan di dalam oven bertujuan untuk menurunkan kadar air dalam

bahan sehingga diperoleh rendemen dalam bentuk kering. Namun di dalam pengeringan

sendiri ada beberapa faktor yang mempengaruhi, seperti suhu, luas permukaan, aliran

udara dan tekanan udara.

Tahap kedua adalah deproteinasi yang menurut Hagono dan Djaeni (2008) bertujuan

untuk memisahkan protein dari limbah kulit udang halus didasarkan pada fakta bahwa

kandungan protein dalam limbah kulit udang masih berkisar 30% (cukup tinggi).

Deproteinsasi dilakukan setelah demineralisasi karena mineral memberi bentuk yang

keras pada kulit udang dan struktur mineral lebih keras daripada protein, sehingga

apabila mineral sudah dihilangkan terlebih dahulu maka proses deproteinasi akan

berjalan optimal. Selain itu isolasi kitin dengan tahapan proses demineralisasi-

deproteinasi akan menghasilkan rendemen kitin yang cenderung lebih besar daripada

tahapan deproteinasi-demineralisasi. Hasil dari proses demineralisasi dicampur dengan

NaOH 3,5% dengan perbanidngan 6:1. Menurut Rogers (1986) dan Rochima (2005)

digunakannya larutan basa, yaitu NaOH bertujuan untuk menghilangkan protein dalam

kitin sehingga kitin dapat diolah lebih lanjut menjadi kitosan. Ion Na+ dari NaOH akan

bereaksi dengan ujung rantai protein (muatan negatif) dan menghasilkan endapan.

Kemudian diaduk selama 1 jam setelah suhu mencapai 70⁰C. Menurut No (1989)

Page 10: Kitin Kitosan_Liem_Pamela_Lukito_13.70.0014_E3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

9

pemanasan dan pengadukan dilakukan untuk menghilangkan protein yang ada dalam

limbah udang. Selanjutnya larutan disaring menggunakan kain saring bersamaan dengan

penetralan pH dengan cara mencuci. Tujuan proses tersebut dengan yang dilakukan

pada proses demineralisasi sama. Selain itu menurut Rogers (1986) penetralan pH akan

berakibat pada sifat penggembungan kitin dengan adanya alkali. Setelah itu dikeringkan

lagi di dalam oven dengan suhu 90ºC selama 1 malam dan dihasilkan kitin.

Selanjutnya proses terakhir adalah pembuatan kitosan dari deasetilasi kitin

menggunakan basa. Menurut Ramadhan et al. (2010) deasetilasi yang dimaksud adalah

proses peerubahan gugus asetil atau asetamida yang ada dalam kitin menjadi amina

pada kitosan. Derajat deasetilasi adalah banyaknya kandungan gugus asetil pada

kitosan, di mana derajat ini menentukan mutu dari kitosan. Knorr (1984) menambahkan

bahwa kitosan yang baik memiliki karakteristik derajat deasetilasi yang tinggi, dimana

presentase kehilangan gugus asetil tinggi sehingga kandungan gugus asetil dalam

kitosan rendah yang mengakibatkan interaksi ion-ion dan ikatan hidrogen bertambah

kuat.

Basa yang digunakan adalah NaOH 40%,50%dan 60% dengan perbandingan 20:1.

Variasi konsentrasi basa yang digunakan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruhnya

terhadap rendemen kitosan yang dihasilkan, di mana menurut Martinou dan Bouriotis

(1995) semakin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan maka struktur kitin menjadi

lebih renggang sehingga enzim akan keluar untuk mendeasetilasi polimer kitin menjadi

kitosan. Menurut Bastaman (1989) deasetilasi kitin dapat dilakukan dengan destilasi

balik kitin mengunakan larutan basa NaOH 50% dengan perbandingan antara larutan

basa dan padatan 20:1.

Kemudian kitin dipanaskan hingga 90ºC dan diaduk selama 1 jam. Aplikasi panas

bersamaan dengan adanya NaOH ini mmenurut Hirano (1989) bertujuan untuk

memperoleh kitosan dari hasil deasetilasi kitin. Puspawati et al. (2010) menambahkan

bahwa pemanasan juga bertujuan untuk meningkatkan derajat deasetilasi dari kitosan.

Anshar P (2013) menyatakan juga bahwa temperatur yang tinggi menyebabkan

depolimerisasi rantai molekul kitosan sehingga berat molekulnya menurun. Menurut

Page 11: Kitin Kitosan_Liem_Pamela_Lukito_13.70.0014_E3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

10

Islam M. Md et al. (2011) derajat deasetilasi ini sangat penting dalam menentukan

kelarutan, reaktivitas kimiawi, dan biodegradability. Namun seringkali jarang dijumpai

kitosan dengan derajat deasetilasi 100%. Abhrajyoti dan Gargi (2013) menambahkan

bahwa derajat deasetilasi juga menentukan kemampuan aktivitas antimikroba yang

dimiiliki kitosan, yaitu kitosan lebih dapat menghambat bakteri gram negatif

dibandingkan gram positif. Pengadukan sendiri bertujuan untuk meningkatkan kontak

antara kitin dengan NaOH sehingga proses perubahan menjadi kitosan semakin optimal.

Selanjutnya dilakukan penyaringan dengan kain saring sambil dicuci sampai pH netral.

Penyaringan dilakukan supaya rendemen kitosan dapat dipisahkan dari bahan lainnya.

Selanjutnya dioven pada suhu 90ºC selama 1 malam dan dihasilkan kitosan. Menurut

Ramadhan et al. (2010) rendemen kitosan yang dihasilkan adalah serbuk berwarna putih

kekuningan. Yateendra et al. (2012) menambahkan bahwa setelah kitosan dihasilkan

dari proses deasetilasi, maka kitosan dapat lebih dimurnikan kembali dengan

menghilangkan bahan-bahan tidak larut dengan filtrasi, mengendapkan kembali kitosan

dengan NaOH 1 N dan demetalisasi dari kitosan.

3.1. Hasil Pengamatan

Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh rendemen kitin I cenderung mengalami

penurunan presentase berat seiring dengan peningkatan konsentrasi asam HCl yang

digunakan. Hal ini sudah sesuai dengan pernyataan Supitjah (2004) bahwa semakin

tinggi konsentrasi larutan asam yang digunakan maka berat rendemen kitin yang

dihasilkan akan semakin kecil. Hal ini dikarenakan mineral dalam konsentrasi HCl yang

rendah belum terlalu banyak terlarut sehingga rendemen yang dihasilkan lebih banyak.

Aplikasi penambahan asam konsentrasi tinggi dengan waktu pengadukan dan

pemanasan yang lama berakibat pada ikatan kitin dengan protein dan mineral yang

semakin renggang sehingga berat akan berkurang.

Selain itu penggunaan konsentrasi NaOH dalam proses deproteinasi yang semakin

tinggi menunjukkan penurunan presentase berat rendemen kitin II. Hal ini sesuai dengan

teori Supitjah (2004) bahwa semakin tinggi konsentrasi larutan NaOH yang digunakan

disertai dengan pemanasan yang tinggi maka presentase berat rendemen akan semakin

menurun. Hal ini disebabkan karena adanya peningkatan kemampuan pemisahan kitin

Page 12: Kitin Kitosan_Liem_Pamela_Lukito_13.70.0014_E3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

11

dari protein sehingga sebagian protein tidak terikat lagi pada kitin. Selain itu dapat

dilihat bahwa rendemen kitin dari proses demineralisasi cenderung lebih tinggi daripada

rendemen kitin dari proses deproteinasi. Hal ini menurut Puspawati et al. (2010)

diakibatkan karena pada rendemen hasil demineralisasi, masih ada protein yang melekat

di kitin sehingga meningkatkan berat rendemennya.

Selanjutnya penggunaan NaOH dengan konsentrasi 50% pada proses deasetilasi

menghasilkan rendemen kitosan yang lebih rendah daripada penggunaan NaOH

konsentrasi 40%. Namun penggunaan NaOH dengan konsentrasi 60% menghasilkan

rendemen kitosan yang paling tinggi, yaitu sebesar 42,5%. Menurut Hwang et al. (1997)

adanya NaOH dengan konsentrasi yang semakin tinggi akan menurunkan rendemen

kitosan yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena adanya depolimerisasi rantai

molekul kitosan sehingga berat molekulnya menurun juga (Anshar P., 2013). Selain itu

Hong et al. (1989) juga sependapat dengan menyatakan bahwa semakin tinggi

konsentrasi NaOH yang digunakan dalam deasetilasi ini maka akan semakin

mendegradasi struktur kitin (gugus asetil lepas) sehingga rendemen kitosan semakin

rendah. Jika ditinjau dari presentase rendemen kitosan terhadap rendemen kitin I dan

rendemen kitin II maka akan diperoleh hasil presentase rendemen kitosan yang

cenderung lebih kecil daripada rendemen kitin I dan kitin II. Hal ini disebabkan karena

adanya mineral, protein dan gugus asetil yang hilang seiring dengan proses yang

dilakukan sehingga beratnya semakin menurun. Mutu dari kitosan yang terbentuk

ditentukan oleh derajat deasetilasinya, di mana derajat deasetilasi ditentukan oleh jenis

dan kualitas bahan dasar yang digunakan serta kondisi proses yang digunakan (Suhardi

dan Sudarmanto, 1992). Ketika derakat deastilasi tinggi maka semakin rendah gugus

asetil di dalam kitosan sehingga interaksi ion dengan ikatan hidrogen dalam kitosan

semakin meningkat (Winarti et al., 2008 dalam Anshar P., 2013)

Selain itu dilakukan peninjauan dari parameter warna kitin dan kitosan yang terbentuk.

Beberapa sampel kitin memiliki warna putih kekuningan, namun ada juga yang

berwarna kecoklatan. Menurut Emma et al. (2010) warna dari kitin yang dihasilkan dari

proses demineralisasi dan deproteinasi ini akan menunjukkan tanda-tanda kehilangan

warna dari merah oranye menjadi warna putih kekuningan. Wang et al. (2010)

Page 13: Kitin Kitosan_Liem_Pamela_Lukito_13.70.0014_E3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

12

menambahkan bahwa sifat dari kitin adalah berwarna putih dengan tekstur keras

sehingga tidak elastis, memiliki kandungan nitrogen. Sedangkan warna dari kitosan

yang terbentuk adalah putih kekuningan. Hal ini sudah sesuai dengan teori Sugita

(2009) bahwa kitosan merupakan padatan amorf yang memiliki karakteristik berwarna

putih kekuningan.

Ketidaksesuaian yang terjadi dikarenakan proses pencucian dan penimbangan berat

yang tidak benar, masih tertinggalnya sisa residu di kain saring. Adanya pengeringan

yang tidak merata sempurna juga merupakan salah satu faktor yang penting dalam

pembuatan kitin dan kitosan. Menurut Winarno et al. (1980) faktor-faktor yang

menentukan efektivitas pengeringan adalah suhu, tekanan udara, aliran udara dan luas

kontak bahan dengan udara.

3.2. Aplikasi Kitin dan Kitosan dalam Bidang Industri

Menurut Robert (1992) kitosan adalah produk biopolimer alam yang reaktif sehingga

mampu mengadakan perubahan-perubahan kimia. Kitosan ternyata dapat bermanfaat

sebagai penggumpal ion logam, pengkelat ion logam. Selain itu pada industri tekstil

pasta kitosan digunakan untuk substitusi ”malam” atau wax dalam pembatikan. Industri

fotografi ternyata memanfaatkan penambahan tembaga kitosan untuk meningkatkan

mutu film yang dihasilkan, yaitu peningkatan fotosensitivitasnya. Di dalam bidang

kesehatan dan kedokteran, kitin dan kitosan berperan dalam mempercepat penyembuhan

luka bakar, bahan baku garam glukosamin dan sebagai dietary fiber yang berfungsi

untuk melancarkan BAB. Selanjutnya pada industri Fungisida, kitosan dengan

konsentrasi 0,4% dapat menghilangkan virus tobacco mozaik pada tomat. Pada industri

kosmetik, shampoo dan lotion sudah menggunakan garam kitosan dengan kelebihan

membuat rambut berkilau sebagai akibat dari interaksi antara polimer kitosan dengan

protein rambut.

Kemudian tidak kalah pentingnya adalah pmanfaatannya dalam industri pangan, yaitu

mikrokristalin kitin digunakan sebagai bahan pengembang roti tawar, pengental dan

pengemulsi yang baik daripada mikrokristalin selulosa. Selain itu kitin dapat

meningkatkan cita rasa ketika ada pemanasan yang menghasilkan pyrazine. Kitosan

Page 14: Kitin Kitosan_Liem_Pamela_Lukito_13.70.0014_E3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

13

dapat bereaksi dengan asam sehingga dapat menurunkan kadar asam pada buah, sayur

dan ekstrak kopi. Kitosan juga sudah terbukti mampu menjernihkan jus apel lebih baik

daripada penggunaan bentonite dan gelatin. Dalam industri pengolahan limbah, kitosan

dimanfaatkan untuk menggumpalkan limbah dengan protein yang tinggi yang

selanjutnya dimanfaatkan sebagai makanan ternak. Kemudian dalam pengolahan limbah

cair, kitosan digunakan untuk agen pengkelat yang mampu menyerap logam toksin

seperti mercuri, tembaga, pluranium, uranium dan timah dan dapat mengikat zat warna

tekstil dalam air limbah (Krissetiana, H., 2004).

Cahyaningrum et al. (2007) juga menambahkan bahwa kitosan mampu berperan dalam

menghambat pertumbuhan mikroorganisme karena adanya enzim lysosim dan gugus

aminopolisakarida dalam kitosan. Kemampuan antimikroba dari kitosan ditentukan oleh

konsentrasi pelarut kitosan. Kitosan mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan

kapang (Liman et al., 2011). Abhrajyoti dan Gargi (2013) menambahkan bahwa sifat

antibakteri dan antifungal dari kitosan dapat diterapkan sebagai biofertilizer dan

biopesticides. Entsar et al. (2012) berpendapat bahwa kitosan bermuatan positif mampu

mengikat permukaan sel bakteri dan mengganggu fungsi dari membran dengan cara

membocorkan kompone intraseluler atau menghambat transfer nutrien ke dalam sel.

Selain itu pertumbuhan mikroba dapat dihambat dengan kitosan karena kitosan mampu

mengkelat nutrien dan logam esensial bagi bakteri. Berdasarkan paparan di atas Entsar

et al. (2012) menyampaikan bahwa kitosan berpotensi sebagai edible coating

didasarkan pada perannya yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri yang mungkin

tumbuh dalam makanan.

Selain itu kitosan mampu berperan sebagai antioksidan yang dapat digunakan sebagai

bahan tambahan alami yang dapat menggantikan bahan tambahan sintetik di kemudian

hari. Islam M.Md et al. (2011) menambahkan bahwa sifat kitosan yang termasuk bahan

biocompability, biodegradability, non-toxic, dapat membentuk film, pengkelat,

penyerap dan berperan dalam aktivitas antimikroba maka pemanfaatan kitosan semakin

tinggi. Sifat fungsional yang dimiliki kitosan sendiri dipengaruhi oleh viskositas atau

berat molekulnya, di mana kitosan dengan berat molekul lebih tinggi dapat digunakan

untuk pengawet makanan daripada kitosan dengan berat molekul yang lebih rendah.

Page 15: Kitin Kitosan_Liem_Pamela_Lukito_13.70.0014_E3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4. KESIMPULAN

Kulit udang merupakan salah satu limbah curstacea yang memiliki kandungan kitin

yang tinggi sehingga dapat dimanfaatkan dalam pembuatan kitin dan kitosan.

Kitin adalah polisakarida yang terdiri dari unit N-asetil-D-glukosamin yang saling

berikatan melalui ikatan β (1, 4).

Sifat dari kitin adalah berwarna putih dengan tekstur keras sehingga tidak elastis,

memiliki kandungan nitrogen

Kitosan adalah produk turunan dari hasil deasetilasi kitin yang berbentuk padatan

amorf dan berwarna putih kekuningan.

Tahapan pembuatan kitin dan kitosan adalah demineralisasi, deproteinasi dan

deasetilasi kitin menjadi kitosan.

Pada tahap demineralisasi dilakukan penambahan HCl yang berfungsi untuk

menghilangkan mineral dari kulit udang.

Pada tahap deproteinasi dilakukan penambahan NaOH yang berfungsi untuk

melepaskan ikatan protein dengan kitin.

Pada tahap deasetilasi dilakukan penambahan NaOH yang berfungsi untuk

merenggangkan kitin sehingga enzim akan tersekresi dan mereduksi gugus asetil

pada kitin.

Semakin tinggi konsentrasi HCl dan NaOH yang ditambahkan akan menghasilkan

presentase berat rendemen yang semakin rendah.

Presentase berat rendemen proses demineralisasi lebih tinggi dari pada proses

deproteinasi.

Kitin dan kitosan bermanfaat dalam berbagai bidang industri, mulai dari tekstil,

fotografi, pangan hingga pengolahan limbah.

14

Semarang, 29 Oktober 2015

Liem, Pamela Lukito13.70.0014

Asisten Dosen:Tjan, Ivana Chandra

Page 16: Kitin Kitosan_Liem_Pamela_Lukito_13.70.0014_E3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

5. DAFTAR PUSTAKA

Abhrajyoti T., Gargi B. (2013). Extraction of Chitosan from Prawn Shell Wastes and Examination of its Viable Commercial Applications. International Journal on Theoretical and Applied Research in Mechanical Engineering. Volume 2 Issue 3.

Anshar Patria. (2013). Production and Characterization of Chitosan from Shrimp Shells Waste. International Journal of The Bioflux Society. Volume 6, Issue 4.

Austin, P.R., Brine, C.J., Castle, J.E. & Zikakis, J.P. (1981). Chitin: New facets of research. Science, 212(4496), 749–753.

Bastaman, S., (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from Prawn Shell. The Queen’s University of Befast. England.

Cahyaningrum, S. E., Agustini, Herdyastuti. (2007). Pemakaian Kitosan Limbah Udang Windu sebagai Matriks Pendukung pada Imobilisasi Papain. Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Surabaya. Jurnal Akta Kimindo Vol. 2 No. 2 Oktober 2007: 93-98.

Dutta, Pradip Kumar., Joydeep Dutta.,& V.S.Tripathi. (2004). Chitin and Chitosan : Chemistry, Properties and Applications. Journal of Scientific and Industrial Research.

Emma, S., Soeseno, N., Adiarto, T., 2010. Sintesis Kitosan, Poli (2-amino-2-deoksi-D-Glukosa), Skala Pilot Project dari Limbah Udang sebagai Bahan Baku Alternatif Pembuatan Biopolimer, Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia.

Entsar S.A., Osheba. A.S., M.A.Sorour. (2012) Effect of Chitosan and Chitosan-Nanoparticles as Active Coating on Microbiological Characteristics of Fish Fingers. International Journal of Applied Science and Technology. Vol.2 No.7; August 2012.

Hargono; dan M. Djaeni (2008). Pembuatan Kitosan dari Limbah Cangkang Udang serta Aplikasinya dalam Mereduksi Kolesterol Lemak Kambing.Kitosan dan Glukosamin”. LIPI kawasan PUSPITEK, Serpong.

Hirano. (1989). Production and Aplication on Chitin and Chitosan in Japan.Jepang.

Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin from crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.

15

Page 17: Kitin Kitosan_Liem_Pamela_Lukito_13.70.0014_E3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

16

Hwang J., S. Hong dan C. Kim. (1997). Effect of molecular weight and NaCl concentration on dilute solution properties of chitosan. J. Food Sci. Nutr., 2:1-5

Islam Monarul, Shah Masum, M. Mahbubur R., Md Ashraful Islam Molla, A.A. Shaikh, S.K. Roy. (2011). Preparation of Chitosan from Shrim Shell and Investigation of Its Properties. International Journal of Basic & Applied Sciences. Vol 11 No: 01.

Knorr, D. (1984). Use of Chitinous Polymer in Food. Food Technology 39 (1) : 85

Krissetiana, H. (2004). Kitin dan Kitosan dari Limbah Udang. Suara Merdeka. (http://www.suaramerdeka.com/harian/0405/31/ragam4.htm). Diakses tanggal 29 Oktober 2015.

Limam, Zouhour., Salah Selmi., Saloua Sadok., & Amor El Abed. (2011). Extraction and Characterization of Chitin and Chitosan from Crustacean by-Products : Biological and Physicochemical Properties. African Journal of Biotechnology Vol. 10 (4), pp. 640-647.

Martinou, A.D., D. Kafetzopoulos & V. Bouriotis. (1995). Chitin Deacetylation by Enzymatic Means.

Mizani, Maryam dan Mahmood Aminlari. (2007). A New Process for Deproteinization of Chitin from Shrimp Head Waste. Proceeding of European Congress of Cjemical Engineering. Copenhagen.

No., H.K., (1989). Isolation and Characterization of Chitin from Craw Fish Shell Waste. Vol. 37 No. 3. Agriculture and Food Chemistry.

Prasetyo, Kurnia Wiji. (2006). UPT Balai Litbang Biomaterial, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. terbit di KOMPAS pada tanggal 15 Mei 2006.

Puspawati, N. M dan I. N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Vol 4 hal 79 – 90.

Ramadhan, L.O.A.N.; C. L. Radiman; D.Wahyuningrum; V. Suendo; L. O. Ahmad; and S. Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia. Vol. 5 (1), 2010, h. 17-21.

Robert, G.A.F. (1992). Chitin Chemistry. The Macmillan Press Ltd., London.

Page 18: Kitin Kitosan_Liem_Pamela_Lukito_13.70.0014_E3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

17

Rochima, Emma. (2005). Karakterisasi Kitin dan Kitosan Asal Limbah Rajungan Cirebon Jawa Barat.

Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.

Sugita, P., (2009), Kitosan : Sumber Biomaterial Masa Depan, IPB Press, Bogor

Suhardi, U. Santoso dan Sudarmanto. (1992). Limbah Pengolahan Udang untuk Produksi Kitin, Laporan penelitian. BAPPINDO-FTP UGM. Yogyakarta.

Supitjah, Pipit. (2004). Tingkatan Kualistas Kitosan Hasil Modifikasi Proses Produksi. Buletin Teknologi Hasil Perikanan 56 Vol VII Nomor 1.

Uno, K., Higashimoto, Y., Chaweepack, T., and Ruangpan,L. (2012). Effect of Chitin Extraction Processes on Residual Antimicrobials in Shrimp Shells. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 12: 89-94 (2012).

Wang, Zhengke; Qiaoling Hu; Lei Cai. (2010). Chitin Fiber and Chitosan 3D Composite Rods. International Journal of Polymer Science Volume 2010, Article ID 369759, 7 pages.

Winarno, F.G.; S. Fardiaz; dan D. Fardiaz. (1980). Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia, Jakarta.

Yateendra S.P., Saikishore V., Sudheshnababu S. (2012). International Current Pharmaceutical Journal. 1(9): 258-263.

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

Kelompok E1

Rendemen kitin I

¿ berat keringberat basah I

× 100 %

¿ 519

×100 %=26,32 %

Rendemen kitin II

Page 19: Kitin Kitosan_Liem_Pamela_Lukito_13.70.0014_E3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

18

¿ berat keringberat basah I

× 100 %

¿ 27

×100 %=28,57 %

Rendemen kitin III

¿ berat keringberat basah I

× 100 %

¿ 1,765,5

×100 %=32 %

Kelompok E2

Rendemen kitin I

¿ berat keringberat basah I

× 100 %

¿ 5,514,5

×100 %=37,93 %

Rendemen kitin II

¿ berat keringberat basah I

× 100 %

¿ 2,59

×100 %=27,78 %

Rendemen kitin III

¿ berat keringberat basah I

× 100 %

¿ 1,126,5

×100 %=17,23 %

Kelompok E3

Rendemen kitin I

¿ berat keringberat basah I

× 100 %

¿ 417

×100 %=23,53 %

Rendemen kitin II

¿ berat keringberat basah I

× 100 %

Page 20: Kitin Kitosan_Liem_Pamela_Lukito_13.70.0014_E3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

19

¿ 26,5

×100 %=30,77 %

Rendemen kitin III

¿ berat keringberat basah I

× 100 %

¿ 1,34,5

× 100%=28,89 %

Kelompok E4

Rendemen kitin I

¿ berat keringberat basah I

× 100 %

¿ 3,510

×100 %=35 %

Rendemen kitin II

¿ berat keringberat basah I

× 100 %

¿ 211

×100 %=18,18 %

Rendemen kitin III

¿ berat keringberat basah I

× 100 %

¿ 0,231,5

×100 %=15,33 %

Kelompok E5

Rendemen kitin I

¿ berat keringberat basah I

× 100 %

¿ 3,512

×100 %=29,17 %

Rendemen kitin II

¿ berat keringberat basah I

× 100 %

¿ 28

×100 %=25 %

Page 21: Kitin Kitosan_Liem_Pamela_Lukito_13.70.0014_E3_UNIKA SOEGIJAPRANATA

20

Rendemen kitin III

¿ berat keringberat basah I

× 100 %

¿ 0,852

×100 %=42,5 %

6.2. Laporan Sementara

6.3. Diagram Alir

6.4. Abstrak Jurnal