kitin&kitosan_hans christian p.s._13.70.0013_e5_unika soegijapranata
DESCRIPTION
Proses pembuatan kitin dan kitosanTRANSCRIPT
-
Acara II
CHITIN & CHITOSAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh:
Nama: Hans Christian P.S.
NIM: 13.70.0013
Kelompok: E5
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2015
-
1
1. MATERI METODE
1.1. Materi
1.1.1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah oven, blender, ayakan, dan
peralatan gelas.
1.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbah udang, HCl 0,75 N; 1 N; dan
1,25 N, NaOH 3,5%, serta NaOH 40%; 50%; dan 60%.
1.2. Metode
1.2.1. Demineralisasi
Limbah udang dicuci menggunakan air mengalir dan dikeringkan
Dicuci dengan air panas sebanyak 2x dan dikeringkan
Bahan dihancurkan dan diayak menggunakan ayakan 40-60 mesh dan
ditimbang
-
2
1.2.2. Deproteinasi
Dicampur dengan HCl 0,75N, 1N dan 1,25N dengan perbandingan
10:1
Dipanaskan hingga suhu 80oC dan diaduk selama 1 jam
Dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 90oC selama 24
jam
Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH 3,5% dengan
perbandingan 6:1
-
3
1.2.3. Deasetilasi
Dipanaskan pada suhu 70oC selama 1 jam dan dilakukan pengadukan
Residu disaring dan dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 90oC
selama 24 jam dan dihasilkan chitin
Hasil deproteinasi dicampur dengan NaOH 40%, 50% dan 60%
dengan perbandingan 20:1
-
4
Dipanaskan pada suhu 80oC selama 1 jam dan dilakukan pengadukan
Residu dicuci dan disaring hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu
90oC selama 24 jam dan dihasilkan chitosan
-
5
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan kitin dan kitosan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Kitin dan Kitosan
Kel Perlakuan Rendemen
Kitin I (%)
Rendemen
Kitin II (%)
Rendemen
Kitosan (%)
E1 HCl 0,75 N + NaOH 3,5% +
NaOH 40%
26,32 28,57 32
E2 HCl 0,75 N + NaOH 3,5% +
NaOH 40%
37,93 27,78 17,23
E3 HCl 1 N + NaOH 3,5% +
NaOH 50%
23,53 30,77 28,89
E4 HCl 1 N + NaOH 3,5% +
NaOH 50%
35 18,18 15,33
E5 HCl 1,25 N + NaOH 3,5% +
NaOH 60%
29,17 25 42,5
Pada Tabel 1, didapati nilai rendemen dari setiap kelompok. Terdapat 3 kelompok besar
perlakuan yang berbeda dari 5 kelompok kloter E. Kelompok E1 dan E2 menggunakan
perlakuan yang menambahkan HCl 0,75 N, NaOH 3,5%, dan NaOH 40% dalam larutan.
Pada kelompok E3 dan E4 konsentrasi yang ditambahkan meliputi HCl 1 N, NaOH 3,5%,
dan NaOH 50%. Sementara itu kelompok E5 menggunakan perlakuan yang
menambahkan larutan HCl 1,25 N, NaOH 3,5%, dan NaOH 60%. Presentase rendemen
kitin I tertinggi didapat oleh kelompok E2, sedangkan kelompok E3 mendapat persentase
rendemen kitin I yang terendah. Pada parameter persentase rendaman kitin II tertinggi
didapat oleh kelompok E3, sedangkan kelompok E4 mendapat persentase rendemen kitin
II terendah. Pada tabel hasil pengamatan didapati persentase rendemen kitosan tertinggi
diperoleh kelompok E5, sedangkan persentase rendemen kitosan terendah didapat
kelompok E4.
-
6
3. PEMBAHASAN
Kitin dan kitosan adalah produk yang berbahan baku dari kulit atau cangkang crustaceae,
seperti udang, lobster, dan kepiting. Dalam kulit udang terdapat kandungan protein
sebesar 25-40%, kalsium karbonat 45-50%, dan kitin 15-20%, akan tetapi besarnya
kandungan komponen tersebut dapat berbeda beda tergantung dari jenis udang dan
tempat hidupnya (Marganov, 2003). Kitin (C8H13NO5)n adalah komponen biopolimer
dari unit N-asetil-D-glukosamin yang mempunyai ikatan (1,4). Kitin dapat diolah lebih
lanjut menjadi kitosan yang memiliki rumus kimia polimer (2-amino-2-dioksi--D-
Glukosa). Kitosan terbentuk oleh karena adanya proses hidrolisis kitin menggunakan basa
kuat (Muzzarelli, 1985).
Langkah kerja dalam proses pembuatan kitin dan kitosan terbagi dalam 3 tahapan yaitu
demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi. Pada tahap demineralisasi pertama tama
limbah udang dicuci dengan air mengalir. Bahan baku yang digunakan dalam praktikum
ini sesuai dengan teori Tarafdar et al., (2013), dimana kulit udang dapat digunakan untuk
membuat kitosan yang berguna sebagai komponen antibacterial dan anti jamur. Proses
pencucian menurut Bastaman (1989) bertujuan agar komponen-komponen pengotor pada
kulit udang dapat dihilangkan sehingga dapat mencegah kemungkinan terjadinya
kontaminasi pada produk kitin. Setelah itu, limbah dikeringkan dalam dehumidifier agar
kadar air dalam limbah udang berkurang. Selanjutnya limbah dicuci dengan air panas
sebanyak dua kali lalu dikeringkan kembali. Limbah udang yang sudah kering lalu
dihancurkan hingga menjadi bentuk serbuk dan diayak menggunakan ayakan berukuran
40-60 mesh. Pengayakan dilakukan untuk mendapatkan partikel kecil yang seragam
sehingga ekstraksi kitin mudah dilakukan. Sebanyak 10 gram hasil ayakan lalu
ditambahkan HCl dengan perbandingan 10:1. Penambahan HCl antar kelompok berbeda
beda yaitu konsentrasi 0,75 N (kelompok E1 dan E2), konsentrasi 1 N (kelompok E3
dan E4), dan konsentrasi 1,25 N (kelompok E5). Menurut Bastaman (1989), penambahan
asam klorida (HCl) bertujuan agar komponen mineral (kalsium fosfat dan kalsium
karbonat) pada kulit udang dapat dihilangkan. Kalsium karbonat (CaCO3) dalam kulit
udang jika diberi penambahan HCl akan bereaksi membentuk kalsium klorida, asam
fosfat, dan asam karbonat dimana ketiga komponen tersebut termasuk dalam garam larut
-
7
air. Dengan begitu ketika dilakukan proses pencucian, maka hanya kitin saja yang
tertinggal dalam rendemen karena sifatnya yang tidak larut air (Alistair et al., 2006).
Setelah ditambahkan HCl, larutan kemudian dipanaskan pada suhu 80C selama 1 jam
yang diiringi dengan pengadukan. Proses pengadukan perlu dilakukan untuk menghindari
meluapnya gelembung-gelembung udara yang dihasilkan akibat proses demineralisasi
(Puspawati et al., 2010). Sedangkan menurut Bastaman (1989), pemanasan dilakukan
agar komponen mineral cepat terurai. Langkah berikutnya adalah pencucian larutan
hingga pH larutan menjadi netral. Menurut teori dari Johnson & Peterson (1974), pH dari
larutan yang bersifat asam atau basa akan mendegradasi protein ketika dikeringkan. Oleh
karena itu, larutan kitin sebisa mungkin berada dalam kondisi pH netral. Larutan yang
telah dinetralkan kemudian ditimbang beratnya. Selanjutnya kitin dikeringkan dalam
oven dengan suhu 90C selama 24 jam. Tujuan dari pengeringan ini adalah untuk
mengurangi kadar air pada kitin yang telah dicuci atau dinetralkan pHnya. (Winarno et
al., 1980). Setelah selesai dikeringkan, kitin ditimbang kembali lalu digunakan untuk
proses selanjutnya. Presentase rendemen kitin I dapat dihitung dengan rumus berat kering
per berat basah I lalu dikali 100 %.
Dari tabel hasil pengamatan didapati nilai rendemen kitin I (hasil akhir tahap
demineralisasi) tiap kelompok yang berbeda beda walaupun menggunakan perlakuan
yang sama. Hal tersebut tidak sesuai dengan teori yang ada dimana menurut Supitjah
(2004), semakin tinggi konsentrasi HCl yang ditambahkan akan membuat persentase
rendemen kitin I semakin kecil. Hal tersebut dikarenakan larutan HCl akan melarutkan
komponen mineral larut air limbah kulit udang. Ketidaksesuaian hasil pengamatan
dengan teori yang ada dapat disebabkan oleh ketidaktelitian praktikan dalam
menambahkan larutan perlakuan maupun kurang bersihnya pencucian yang dilakukan.
Winarno et al., (1980) menambahkan bahwa hasil rendeman kitin dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti suhu, tekanan udara, luas permukaan, dan aliran udara ketika
proses pengeringan. Proses demineralisasi bertujuan untuk untuk menghilangkan mineral
pada limbah udang. Menurut Islam et al., (2011) proses demineralisasi yang baik akan
membuat kadar abu dalam larutan menjadi sedikit (sekitar 1%). Hal tersebut
membuktikan bahwa kandungan mineral dalam bahan benar benar telah berkurang
secara signifikan.
-
8
Setelah limbah udang diproses demineralisasi, selanjutnya rendemen kitin I hasil
demineralisasi akan dideproteinasi. Deproteinasi rendemen kitin I berguna untuk
mengurangi kandungan protein dalam rendemen yang ada (Puvvada et al., 2012). Tahap
awal proses deproteinasi adalah dengan menambahkan NaOH 3,5% pada tepung limbah
udang yang telah didemineralisasi dengan perbandingan 6:1. Menurut Puspawati et al.
(2010) larutan NaOH yang bersifat alkali dapat menghidrolisis gugus asetil pada tepung
kitin I sehingga kada protein dapat berkurang. Selanjutnya larutan dipanaskan pada suhu
80C selama 1 jam dengan disertai pengadukan. Proses pemanasan bertujuan agar kadar
air dapat dikurangi atau teruapkan dan mempercepat proses penghilangan protein,
sedangkan proses pengadukan dilakukan untuk membantu pelarutan sehingga proses
deproteinasi berjalan secara baik. Selanjutnya, residu dicuci agar pH pada larutan netral.
Netralisasi bertujuan agar larutan tidak lagi mengandung komponen NaOH yang dapat
mengganggu proses selanjutnya (Hargono & Djaeni, 2003). Larutan yang telah
dinetralkan kemudian ditimbang beratnya. Langkah selanjutnya adalah pengeringan
dalam oven dengan suhu 90C selama 24 jam. Tujuan dari pengeringan ini adalah untuk
mengurangi kadar air pada kitin yang telah dicuci atau dinetralkan pHnya. (Winarno et
al., 1980). Setelah selesai dikeringkan, tepung kitin ditimbang kembali lalu digunakan
untuk proses selanjutnya. Presentase rendemen kitin II dapat dihitung dengan rumus berat
kitin per berat basah II lalu dikali 100 %.
Dari tabel hasil pengamatan, didapati nilai rendemen kitin II (hasil akhir tahap
deproteinasi) tertinggi diperloeh kelompok E3 sedangkan yang terendah ada pada
kelompok E4. Hasil pengamatan tersebut kurang sesuai dengan teori dimana seharusnya
menurut Fennema (1985), semakin tinggi konsentrasi NaOH maka persentase rendemen
yang dihasilkan akan semakin kecil. Hal tersebut dikarenakan larutan NaOH akan
memisahkan protein yang ada pada kitin. Hasil pengamatan kurang sesuai berada pada
kelompok E3 dan E4 dimana ditemui data yang berebeda jauh meskipun menggunakan
perlakuan yang sama. Menurut Puspawati & Simpen (2010) jika dibandingkan antara
rendemen kitin I dengan rendemen kitin II, seharusnya hasil pada rendemen kitin II
memiliki nilai yang lebih kecil dibanding rendemen kitin I. Hal tersebut dikarenakan
hilangnya protein pada tahap deproteinasi. Teori tersebut juga tidak sesuai dengan hasil
-
9
pengamatan yang didapat (hanya kelompok E2 dan E5 yang sesuai teori).
Ketidaksesuaian dengna teori dapat disebabkan karena proses deproteinasi yang
dilakukan tidak berjalan dengan baik maupun larutan tidak berada dalam kondisi yang
netral.
Setelah melalui proses deproteinasi, selanjutnya tepung kitin II akan dideasetilasi
sehingga dapat diperoleh kitosan dari kitin. Tahap deasetilasi dimulai dengan
penambahan NaOH pada kitin hasil deproteinasi dengan perbandingan 20:1. Konsentrasi
NaOH yang ditambahkan antar kelompok juga berbeda dimana konsentrasi NaOH 40%
digunakan kelompok E1 dan E2), konsentrasi 50% untuk kelompok E3 dan E4, dan
konsentrasi 60% bagi kelompok E5. Penambahan NaOH dilakukan karena menurut
Hirano (1989), larutan NaOH akan membuat struktur kitin menjadi renggang yang akan
mempermudah enzim menghilangkan kandungan gugus asetil polimer kitin. Selanjutnya
larutan dipanaskan pada suhu 80C selama 1 jam dengan disertai pengadukan. Proses
pemanasan bertujuan agar kadar air dapat dikurangi atau teruapkan dan mempercepat
proses ekstraksi kitosa. sedangkan proses pengadukan dilakukan untuk membantu
pelarutan sehingga proses deasetilasi berjalan secara baik. Selanjutnya, residu dicuci agar
pH pada larutan netral. Netralisasi bertujuan agar larutan tidak lagi mengandung
komponen NaOH (Hargono & Djaeni, 2003). Larutan yang telah dinetralkan kemudian
ditimbang beratnya. Langkah selanjutnya adalah pengeringan dalam oven dengan suhu
90C selama 24 jam. Tujuan dari pengeringan ini adalah untuk mengurangi kadar air pada
kitin yang telah dicuci atau dinetralkan pHnya sehingga kitosan mempunyai masa simpan
yang lebih panjang (Winarno et al., 1980). Menurut Patria (2013), suhu dan lama waktu
yang digunakan untuk pengeringan dapat mempengaruhi yield kitosan yang dihasilkan.
Semakin tinggi suhu yang diberikan maka hasil kitosan akan semakin sedikit. Hal tersebut
diakibatkan rantai molekul kitosan terdepolimerasi sehingga mengurangi berat molekul
kitosan. Setelah selesai dikeringkan, tepung kitosan ditimbang dan diukur persentase
rendemannya. Presentase rendemen kitosan dapat dihitung dengan rumus berat kitosan
per berat basah III lalu dikali 100 %.
Dari tabel hasil pengamatan didapati nilai rendemen kitosan tertinggi didapat kelompok
E5, sedangkan rendemen kitosan terendah didapat kelompok E4. Hwang et al., (1997)
-
10
mengatakan jika konsentrasi NaOH yang ditambahkan semakin tinggi, maka akan
membuat berat molekul kitosan semakin rendah akibat reaksi depolimerasi rantai kitosan.
Dengan kata lain, semakin tinggi konsentrasi NaOH yang ditambahkan maka akan
semakin rendah presentase rendeman kitosan yang diperoleh. Hasil pengamatan yang
diperoleh sangat bertolak belakang dengan teori yang ada. Ketidaksesuaian hasil
pengamatan dengan teori dapat disebabkan oleh faktor penetralan dan pencucian yang
tidak sempurna. Banyaknya larutan kitosan yang terbuang atau tidak tersaring selama
proses penetralan dapat mengakibatkan endapan yang diperoleh menjadi lebih sedikit
Selain itu, pengeringan yang tidak merata dapat mempengaruhi berat kering kitosan yang
diperoleh (Rogers,1986).
Kitin dan kitosan dapat diaplikasikan dalam berbagai hal dalam dunia industri. Kitin dan
kitosan dapat digunakan untuk industry tekstil, kertas, kosmestik, hingga farmasi. Olahan
kitin dan kitosan juga dapat diaplikasikan pada industri kopi untuk membantu proses
menurunkan kadar tanin dan asam dalam kopi. Kitosan dapat berfungsi sebagai bahan
penjernih dalam minuman beer, jus buah, dan wine (Sarjono et al.,2008). Menurut Satuhu
(2003), kitin dan kitosan dapat membantu untuk mencegah aktivitas mikroorganisme
sehingga dapat digunakan sebagai senyawa anti mikroba pada produk pangan. Kitosan
dapat digunakan untuk melapisi daging ikan yang akan di freezer. Pelapisan tersebut
terbukti dapat mengurangi jumlah bakteri psychrophilic secara efektif (Abdou et al.,
2012).
-
11
4. KESIMPULAN
Pembuatan kitin dan kitosan dapat menggunakan bahan baku dari kulit udang
Proses demineralisasi dan deproteinasi dilakukan untuk membuat kitin
Proses deasetilasi dilakukan untuk mendapatkan kitosan.
Pengayakan dilakukan untuk memperoleh partikel dengan luas permukaan yang
seragam sehingga memudahkan proses ekstraksi.
Proses pencucian bertujuan agar larutan tidak lagi mengandung HCl maupun NaOH
yang dapat mengganggu proses ekstraksi.
Larutan HCl yang ditambahkan pada tahap demineralisasi berguna untuk melarutkan
komponen mineral pada kulit udang.
Larutan NaOH yang ditambahkan pada tahap deproteinasi bertujuan agar kandungan
protein dapat dihilangkan pada kitin.
Larutan NaOH yang ditambahkan pada tahap deasetilasi berguna untuk membuat
struktur kitin menjadi renggang agar enzim dapat mendegradasi gugus asetil polimer
kitin.
Semakin tinggi konsentrasi HCl dan NaOH yang digunakan, maka nilai rendemen
yang dihasilkan semakin rendah.
Nilai rendemen kitin II lebih rendah dibandingkan nilai rendemen kitin I.
Kitin dapat digunakan sebagai bahan tambahan makanan dan senyawa anti mikroba.
Semarang, 1 November 2015
Praktikan Asisten Dosen
- Tjan, Ivana Chandra
Hans Christian P.S.
13.70.0013
-
12
5. DAFTAR PUSTAKA
Abdou, Entsar S., Osheba, A.S., and Sorour, M. A. (2012). Effect of Chitosan and
Chitosan-Nanoparticles as Active Coating on Microbiological Characteristics of
Fish Fingers. International Journal of Applied Science and Technology. Vol. 2
No. 7; August 2012.
Alistair, M. Stephen; Glyn O. Phillips; & Peter A. Williams. (2006). Food
Polysaccharides and Their Applications. CRC Press.
Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from
Prawn Shells. Thesis. The Depatment of Mechanical. Manufacturing Aeronautical
and Chemical Engineering. The Queen's University. Belfast.
Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry. Second Edition. Marcel Dekker, Inc. New York.
Hargono & M. Djaeni. (2003). Utilization of Chitosan Prepared from Shrimp Shell as Fat
Diluent. Journal of Coastal Development; 7(1):31-37.
Hirano. (1989). Production and Aplication on Chitin and Chitosan in Japan. Jepang.
Hwang J.; S. Hong & C. Kim. (1997). Effect of molecular weight and NaCl concentration
on dilute solution properties of chitosan. J. Food Sci. Nutr.; 2:1-5.
Islam, Monarul Md.; Shah Md. Masum; M. Mahbubur Rahman; Md. Ashraful Islam
Molla; A. A. Shaikh; S.K. Roy. (2011). Preparation of Chitosan from Shrimp
Shell and Investigation of Its Properties. International Journal of Basic & Applied
Sciences IJBAS-IJENS Vol: 11 No: 01. Bangladesh.
Johnson, A.H. dan M.S. Peterson. (1974). Encyclopedia of Food Technology Vol. II.
The AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.
Marganov. (2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal,
Kadmium, dan Tembaga) di Perairan. http://rudyct.topcities.com/pps702_71034/
marganof.htm. Diakses tanggal 1 November 2015.
Muzzarelli, R.A.A. (1985). Chitin in the Polysaccharides Vol. 3. Academic Press Inc.
Orlando. San Diego.
Patria, Anshar. (2013). Production and Characterization of Chitosan From Shrimp Shells
Waste. AACL Bioflux, 2013, Volume 6, Issue 4.
-
13
Puspawati, N.M. & I. N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang
dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui
Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia; 4:79-90.
Puvvada, Y.S., Vankayalapati, S., Sukhavasi, S. (2012). Extraction of Chitin
FromChitosan From Exoskeleton of Shrimp for Application in The
PharmaceuticalIndustry. Puvvada et al., International Current Pharmaceutical
Journal 2012,1(9): 258-263.
Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company.
California.Science Published Ltd., England.
Sarjono, P.R.; N.S. Mulyani; & N. Wulandari. (2008). Uji Antibakteri Kitosan dari Kulit
Udang Windu (Peneaus monodon) Dengan Metode Difusi Cakram Kertas.
Universitas Diponegoro.
Satuhu, S. (2003). Penanganan dan Pengolahan Buah. Penebar Swadaya. Jakarta .
Supitjah, Pipit. (2004). Tingkatan Kualitas Kitosan Hasil Modifikasi Proses Produksi.
Buletin Teknologi Hasil Perikanan 56 Vol VII Nomor 1.
Tarafdar, A. and Biswas, G. (2013). Extraction of Chitosan from Prawn Shell Wastes and
Examination of its Viable Commercial Applications. ISSN : 2319-3182, Volume-
2, Issue-3, 2013.
Winarno, F.G.; S. Fardiaz; & D. Fardiaz. (1980). Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia,
Jakarta.
-
14
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Kelompok E1
Rendemen kitin I
=berat kering
berat basah I 100%
=5
19 100% = 26,32%
Rendemen kitin II
=berat kering
berat basah I 100%
=2
7 100% = 28,57%
Rendemen kitin III
=berat kering
berat basah I 100%
=1,76
5,5 100% = 32%
Kelompok E2
Rendemen kitin I
=berat kering
berat basah I 100%
=5,5
14,5 100% = 37,93%
Rendemen kitin II
=berat kering
berat basah I 100%
=2,5
9 100% = 27,78%
Rendemen kitin III
=berat kering
berat basah I 100%
=1,12
6,5 100% = 17,23%
-
15
Kelompok E3
Rendemen kitin I
=berat kering
berat basah I 100%
=4
17 100% = 23,53 %
Rendemen kitin II
=berat kering
berat basah I 100%
=2
6,5 100% = 30,77%
Rendemen kitin III
=berat kering
berat basah I 100%
=1,3
4,5 100% = 28,89%
Kelompok E4
Rendemen kitin I
=berat kering
berat basah I 100%
=3,5
10 100% = 35 %
Rendemen kitin II
=berat kering
berat basah I 100%
=2
11 100% = 18,18%
Rendemen kitin III
=berat kering
berat basah I 100%
=0,23
1,5 100% = 15,33%
-
16
Kelompok E5
Rendemen kitin I
=berat kering
berat basah I 100%
=3,5
12 100% = 29,17%
Rendemen kitin II
=berat kering
berat basah I 100%
=2
8 100% = 25%
Rendemen kitin III
=berat kering
berat basah I 100%
=0,85
2 100% = 42,5%
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal