kitin&kitosan_hans christian p.s._13.70.0013_e5_unika soegijapranata

Upload: praktikumhasillaut

Post on 07-Mar-2016

10 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Proses pembuatan kitin dan kitosan

TRANSCRIPT

  • Acara II

    CHITIN & CHITOSAN

    LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

    TEKNOLOGI HASIL LAUT

    Disusun oleh:

    Nama: Hans Christian P.S.

    NIM: 13.70.0013

    Kelompok: E5

    PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

    FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

    UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

    SEMARANG

    2015

  • 1

    1. MATERI METODE

    1.1. Materi

    1.1.1. Alat

    Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah oven, blender, ayakan, dan

    peralatan gelas.

    1.1.2. Bahan

    Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbah udang, HCl 0,75 N; 1 N; dan

    1,25 N, NaOH 3,5%, serta NaOH 40%; 50%; dan 60%.

    1.2. Metode

    1.2.1. Demineralisasi

    Limbah udang dicuci menggunakan air mengalir dan dikeringkan

    Dicuci dengan air panas sebanyak 2x dan dikeringkan

    Bahan dihancurkan dan diayak menggunakan ayakan 40-60 mesh dan

    ditimbang

  • 2

    1.2.2. Deproteinasi

    Dicampur dengan HCl 0,75N, 1N dan 1,25N dengan perbandingan

    10:1

    Dipanaskan hingga suhu 80oC dan diaduk selama 1 jam

    Dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 90oC selama 24

    jam

    Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH 3,5% dengan

    perbandingan 6:1

  • 3

    1.2.3. Deasetilasi

    Dipanaskan pada suhu 70oC selama 1 jam dan dilakukan pengadukan

    Residu disaring dan dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 90oC

    selama 24 jam dan dihasilkan chitin

    Hasil deproteinasi dicampur dengan NaOH 40%, 50% dan 60%

    dengan perbandingan 20:1

  • 4

    Dipanaskan pada suhu 80oC selama 1 jam dan dilakukan pengadukan

    Residu dicuci dan disaring hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu

    90oC selama 24 jam dan dihasilkan chitosan

  • 5

    2. HASIL PENGAMATAN

    Hasil pengamatan kitin dan kitosan dapat dilihat pada Tabel 1.

    Tabel 1. Hasil Pengamatan Kitin dan Kitosan

    Kel Perlakuan Rendemen

    Kitin I (%)

    Rendemen

    Kitin II (%)

    Rendemen

    Kitosan (%)

    E1 HCl 0,75 N + NaOH 3,5% +

    NaOH 40%

    26,32 28,57 32

    E2 HCl 0,75 N + NaOH 3,5% +

    NaOH 40%

    37,93 27,78 17,23

    E3 HCl 1 N + NaOH 3,5% +

    NaOH 50%

    23,53 30,77 28,89

    E4 HCl 1 N + NaOH 3,5% +

    NaOH 50%

    35 18,18 15,33

    E5 HCl 1,25 N + NaOH 3,5% +

    NaOH 60%

    29,17 25 42,5

    Pada Tabel 1, didapati nilai rendemen dari setiap kelompok. Terdapat 3 kelompok besar

    perlakuan yang berbeda dari 5 kelompok kloter E. Kelompok E1 dan E2 menggunakan

    perlakuan yang menambahkan HCl 0,75 N, NaOH 3,5%, dan NaOH 40% dalam larutan.

    Pada kelompok E3 dan E4 konsentrasi yang ditambahkan meliputi HCl 1 N, NaOH 3,5%,

    dan NaOH 50%. Sementara itu kelompok E5 menggunakan perlakuan yang

    menambahkan larutan HCl 1,25 N, NaOH 3,5%, dan NaOH 60%. Presentase rendemen

    kitin I tertinggi didapat oleh kelompok E2, sedangkan kelompok E3 mendapat persentase

    rendemen kitin I yang terendah. Pada parameter persentase rendaman kitin II tertinggi

    didapat oleh kelompok E3, sedangkan kelompok E4 mendapat persentase rendemen kitin

    II terendah. Pada tabel hasil pengamatan didapati persentase rendemen kitosan tertinggi

    diperoleh kelompok E5, sedangkan persentase rendemen kitosan terendah didapat

    kelompok E4.

  • 6

    3. PEMBAHASAN

    Kitin dan kitosan adalah produk yang berbahan baku dari kulit atau cangkang crustaceae,

    seperti udang, lobster, dan kepiting. Dalam kulit udang terdapat kandungan protein

    sebesar 25-40%, kalsium karbonat 45-50%, dan kitin 15-20%, akan tetapi besarnya

    kandungan komponen tersebut dapat berbeda beda tergantung dari jenis udang dan

    tempat hidupnya (Marganov, 2003). Kitin (C8H13NO5)n adalah komponen biopolimer

    dari unit N-asetil-D-glukosamin yang mempunyai ikatan (1,4). Kitin dapat diolah lebih

    lanjut menjadi kitosan yang memiliki rumus kimia polimer (2-amino-2-dioksi--D-

    Glukosa). Kitosan terbentuk oleh karena adanya proses hidrolisis kitin menggunakan basa

    kuat (Muzzarelli, 1985).

    Langkah kerja dalam proses pembuatan kitin dan kitosan terbagi dalam 3 tahapan yaitu

    demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi. Pada tahap demineralisasi pertama tama

    limbah udang dicuci dengan air mengalir. Bahan baku yang digunakan dalam praktikum

    ini sesuai dengan teori Tarafdar et al., (2013), dimana kulit udang dapat digunakan untuk

    membuat kitosan yang berguna sebagai komponen antibacterial dan anti jamur. Proses

    pencucian menurut Bastaman (1989) bertujuan agar komponen-komponen pengotor pada

    kulit udang dapat dihilangkan sehingga dapat mencegah kemungkinan terjadinya

    kontaminasi pada produk kitin. Setelah itu, limbah dikeringkan dalam dehumidifier agar

    kadar air dalam limbah udang berkurang. Selanjutnya limbah dicuci dengan air panas

    sebanyak dua kali lalu dikeringkan kembali. Limbah udang yang sudah kering lalu

    dihancurkan hingga menjadi bentuk serbuk dan diayak menggunakan ayakan berukuran

    40-60 mesh. Pengayakan dilakukan untuk mendapatkan partikel kecil yang seragam

    sehingga ekstraksi kitin mudah dilakukan. Sebanyak 10 gram hasil ayakan lalu

    ditambahkan HCl dengan perbandingan 10:1. Penambahan HCl antar kelompok berbeda

    beda yaitu konsentrasi 0,75 N (kelompok E1 dan E2), konsentrasi 1 N (kelompok E3

    dan E4), dan konsentrasi 1,25 N (kelompok E5). Menurut Bastaman (1989), penambahan

    asam klorida (HCl) bertujuan agar komponen mineral (kalsium fosfat dan kalsium

    karbonat) pada kulit udang dapat dihilangkan. Kalsium karbonat (CaCO3) dalam kulit

    udang jika diberi penambahan HCl akan bereaksi membentuk kalsium klorida, asam

    fosfat, dan asam karbonat dimana ketiga komponen tersebut termasuk dalam garam larut

  • 7

    air. Dengan begitu ketika dilakukan proses pencucian, maka hanya kitin saja yang

    tertinggal dalam rendemen karena sifatnya yang tidak larut air (Alistair et al., 2006).

    Setelah ditambahkan HCl, larutan kemudian dipanaskan pada suhu 80C selama 1 jam

    yang diiringi dengan pengadukan. Proses pengadukan perlu dilakukan untuk menghindari

    meluapnya gelembung-gelembung udara yang dihasilkan akibat proses demineralisasi

    (Puspawati et al., 2010). Sedangkan menurut Bastaman (1989), pemanasan dilakukan

    agar komponen mineral cepat terurai. Langkah berikutnya adalah pencucian larutan

    hingga pH larutan menjadi netral. Menurut teori dari Johnson & Peterson (1974), pH dari

    larutan yang bersifat asam atau basa akan mendegradasi protein ketika dikeringkan. Oleh

    karena itu, larutan kitin sebisa mungkin berada dalam kondisi pH netral. Larutan yang

    telah dinetralkan kemudian ditimbang beratnya. Selanjutnya kitin dikeringkan dalam

    oven dengan suhu 90C selama 24 jam. Tujuan dari pengeringan ini adalah untuk

    mengurangi kadar air pada kitin yang telah dicuci atau dinetralkan pHnya. (Winarno et

    al., 1980). Setelah selesai dikeringkan, kitin ditimbang kembali lalu digunakan untuk

    proses selanjutnya. Presentase rendemen kitin I dapat dihitung dengan rumus berat kering

    per berat basah I lalu dikali 100 %.

    Dari tabel hasil pengamatan didapati nilai rendemen kitin I (hasil akhir tahap

    demineralisasi) tiap kelompok yang berbeda beda walaupun menggunakan perlakuan

    yang sama. Hal tersebut tidak sesuai dengan teori yang ada dimana menurut Supitjah

    (2004), semakin tinggi konsentrasi HCl yang ditambahkan akan membuat persentase

    rendemen kitin I semakin kecil. Hal tersebut dikarenakan larutan HCl akan melarutkan

    komponen mineral larut air limbah kulit udang. Ketidaksesuaian hasil pengamatan

    dengan teori yang ada dapat disebabkan oleh ketidaktelitian praktikan dalam

    menambahkan larutan perlakuan maupun kurang bersihnya pencucian yang dilakukan.

    Winarno et al., (1980) menambahkan bahwa hasil rendeman kitin dipengaruhi oleh

    beberapa faktor seperti suhu, tekanan udara, luas permukaan, dan aliran udara ketika

    proses pengeringan. Proses demineralisasi bertujuan untuk untuk menghilangkan mineral

    pada limbah udang. Menurut Islam et al., (2011) proses demineralisasi yang baik akan

    membuat kadar abu dalam larutan menjadi sedikit (sekitar 1%). Hal tersebut

    membuktikan bahwa kandungan mineral dalam bahan benar benar telah berkurang

    secara signifikan.

  • 8

    Setelah limbah udang diproses demineralisasi, selanjutnya rendemen kitin I hasil

    demineralisasi akan dideproteinasi. Deproteinasi rendemen kitin I berguna untuk

    mengurangi kandungan protein dalam rendemen yang ada (Puvvada et al., 2012). Tahap

    awal proses deproteinasi adalah dengan menambahkan NaOH 3,5% pada tepung limbah

    udang yang telah didemineralisasi dengan perbandingan 6:1. Menurut Puspawati et al.

    (2010) larutan NaOH yang bersifat alkali dapat menghidrolisis gugus asetil pada tepung

    kitin I sehingga kada protein dapat berkurang. Selanjutnya larutan dipanaskan pada suhu

    80C selama 1 jam dengan disertai pengadukan. Proses pemanasan bertujuan agar kadar

    air dapat dikurangi atau teruapkan dan mempercepat proses penghilangan protein,

    sedangkan proses pengadukan dilakukan untuk membantu pelarutan sehingga proses

    deproteinasi berjalan secara baik. Selanjutnya, residu dicuci agar pH pada larutan netral.

    Netralisasi bertujuan agar larutan tidak lagi mengandung komponen NaOH yang dapat

    mengganggu proses selanjutnya (Hargono & Djaeni, 2003). Larutan yang telah

    dinetralkan kemudian ditimbang beratnya. Langkah selanjutnya adalah pengeringan

    dalam oven dengan suhu 90C selama 24 jam. Tujuan dari pengeringan ini adalah untuk

    mengurangi kadar air pada kitin yang telah dicuci atau dinetralkan pHnya. (Winarno et

    al., 1980). Setelah selesai dikeringkan, tepung kitin ditimbang kembali lalu digunakan

    untuk proses selanjutnya. Presentase rendemen kitin II dapat dihitung dengan rumus berat

    kitin per berat basah II lalu dikali 100 %.

    Dari tabel hasil pengamatan, didapati nilai rendemen kitin II (hasil akhir tahap

    deproteinasi) tertinggi diperloeh kelompok E3 sedangkan yang terendah ada pada

    kelompok E4. Hasil pengamatan tersebut kurang sesuai dengan teori dimana seharusnya

    menurut Fennema (1985), semakin tinggi konsentrasi NaOH maka persentase rendemen

    yang dihasilkan akan semakin kecil. Hal tersebut dikarenakan larutan NaOH akan

    memisahkan protein yang ada pada kitin. Hasil pengamatan kurang sesuai berada pada

    kelompok E3 dan E4 dimana ditemui data yang berebeda jauh meskipun menggunakan

    perlakuan yang sama. Menurut Puspawati & Simpen (2010) jika dibandingkan antara

    rendemen kitin I dengan rendemen kitin II, seharusnya hasil pada rendemen kitin II

    memiliki nilai yang lebih kecil dibanding rendemen kitin I. Hal tersebut dikarenakan

    hilangnya protein pada tahap deproteinasi. Teori tersebut juga tidak sesuai dengan hasil

  • 9

    pengamatan yang didapat (hanya kelompok E2 dan E5 yang sesuai teori).

    Ketidaksesuaian dengna teori dapat disebabkan karena proses deproteinasi yang

    dilakukan tidak berjalan dengan baik maupun larutan tidak berada dalam kondisi yang

    netral.

    Setelah melalui proses deproteinasi, selanjutnya tepung kitin II akan dideasetilasi

    sehingga dapat diperoleh kitosan dari kitin. Tahap deasetilasi dimulai dengan

    penambahan NaOH pada kitin hasil deproteinasi dengan perbandingan 20:1. Konsentrasi

    NaOH yang ditambahkan antar kelompok juga berbeda dimana konsentrasi NaOH 40%

    digunakan kelompok E1 dan E2), konsentrasi 50% untuk kelompok E3 dan E4, dan

    konsentrasi 60% bagi kelompok E5. Penambahan NaOH dilakukan karena menurut

    Hirano (1989), larutan NaOH akan membuat struktur kitin menjadi renggang yang akan

    mempermudah enzim menghilangkan kandungan gugus asetil polimer kitin. Selanjutnya

    larutan dipanaskan pada suhu 80C selama 1 jam dengan disertai pengadukan. Proses

    pemanasan bertujuan agar kadar air dapat dikurangi atau teruapkan dan mempercepat

    proses ekstraksi kitosa. sedangkan proses pengadukan dilakukan untuk membantu

    pelarutan sehingga proses deasetilasi berjalan secara baik. Selanjutnya, residu dicuci agar

    pH pada larutan netral. Netralisasi bertujuan agar larutan tidak lagi mengandung

    komponen NaOH (Hargono & Djaeni, 2003). Larutan yang telah dinetralkan kemudian

    ditimbang beratnya. Langkah selanjutnya adalah pengeringan dalam oven dengan suhu

    90C selama 24 jam. Tujuan dari pengeringan ini adalah untuk mengurangi kadar air pada

    kitin yang telah dicuci atau dinetralkan pHnya sehingga kitosan mempunyai masa simpan

    yang lebih panjang (Winarno et al., 1980). Menurut Patria (2013), suhu dan lama waktu

    yang digunakan untuk pengeringan dapat mempengaruhi yield kitosan yang dihasilkan.

    Semakin tinggi suhu yang diberikan maka hasil kitosan akan semakin sedikit. Hal tersebut

    diakibatkan rantai molekul kitosan terdepolimerasi sehingga mengurangi berat molekul

    kitosan. Setelah selesai dikeringkan, tepung kitosan ditimbang dan diukur persentase

    rendemannya. Presentase rendemen kitosan dapat dihitung dengan rumus berat kitosan

    per berat basah III lalu dikali 100 %.

    Dari tabel hasil pengamatan didapati nilai rendemen kitosan tertinggi didapat kelompok

    E5, sedangkan rendemen kitosan terendah didapat kelompok E4. Hwang et al., (1997)

  • 10

    mengatakan jika konsentrasi NaOH yang ditambahkan semakin tinggi, maka akan

    membuat berat molekul kitosan semakin rendah akibat reaksi depolimerasi rantai kitosan.

    Dengan kata lain, semakin tinggi konsentrasi NaOH yang ditambahkan maka akan

    semakin rendah presentase rendeman kitosan yang diperoleh. Hasil pengamatan yang

    diperoleh sangat bertolak belakang dengan teori yang ada. Ketidaksesuaian hasil

    pengamatan dengan teori dapat disebabkan oleh faktor penetralan dan pencucian yang

    tidak sempurna. Banyaknya larutan kitosan yang terbuang atau tidak tersaring selama

    proses penetralan dapat mengakibatkan endapan yang diperoleh menjadi lebih sedikit

    Selain itu, pengeringan yang tidak merata dapat mempengaruhi berat kering kitosan yang

    diperoleh (Rogers,1986).

    Kitin dan kitosan dapat diaplikasikan dalam berbagai hal dalam dunia industri. Kitin dan

    kitosan dapat digunakan untuk industry tekstil, kertas, kosmestik, hingga farmasi. Olahan

    kitin dan kitosan juga dapat diaplikasikan pada industri kopi untuk membantu proses

    menurunkan kadar tanin dan asam dalam kopi. Kitosan dapat berfungsi sebagai bahan

    penjernih dalam minuman beer, jus buah, dan wine (Sarjono et al.,2008). Menurut Satuhu

    (2003), kitin dan kitosan dapat membantu untuk mencegah aktivitas mikroorganisme

    sehingga dapat digunakan sebagai senyawa anti mikroba pada produk pangan. Kitosan

    dapat digunakan untuk melapisi daging ikan yang akan di freezer. Pelapisan tersebut

    terbukti dapat mengurangi jumlah bakteri psychrophilic secara efektif (Abdou et al.,

    2012).

  • 11

    4. KESIMPULAN

    Pembuatan kitin dan kitosan dapat menggunakan bahan baku dari kulit udang

    Proses demineralisasi dan deproteinasi dilakukan untuk membuat kitin

    Proses deasetilasi dilakukan untuk mendapatkan kitosan.

    Pengayakan dilakukan untuk memperoleh partikel dengan luas permukaan yang

    seragam sehingga memudahkan proses ekstraksi.

    Proses pencucian bertujuan agar larutan tidak lagi mengandung HCl maupun NaOH

    yang dapat mengganggu proses ekstraksi.

    Larutan HCl yang ditambahkan pada tahap demineralisasi berguna untuk melarutkan

    komponen mineral pada kulit udang.

    Larutan NaOH yang ditambahkan pada tahap deproteinasi bertujuan agar kandungan

    protein dapat dihilangkan pada kitin.

    Larutan NaOH yang ditambahkan pada tahap deasetilasi berguna untuk membuat

    struktur kitin menjadi renggang agar enzim dapat mendegradasi gugus asetil polimer

    kitin.

    Semakin tinggi konsentrasi HCl dan NaOH yang digunakan, maka nilai rendemen

    yang dihasilkan semakin rendah.

    Nilai rendemen kitin II lebih rendah dibandingkan nilai rendemen kitin I.

    Kitin dapat digunakan sebagai bahan tambahan makanan dan senyawa anti mikroba.

    Semarang, 1 November 2015

    Praktikan Asisten Dosen

    - Tjan, Ivana Chandra

    Hans Christian P.S.

    13.70.0013

  • 12

    5. DAFTAR PUSTAKA

    Abdou, Entsar S., Osheba, A.S., and Sorour, M. A. (2012). Effect of Chitosan and

    Chitosan-Nanoparticles as Active Coating on Microbiological Characteristics of

    Fish Fingers. International Journal of Applied Science and Technology. Vol. 2

    No. 7; August 2012.

    Alistair, M. Stephen; Glyn O. Phillips; & Peter A. Williams. (2006). Food

    Polysaccharides and Their Applications. CRC Press.

    Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from

    Prawn Shells. Thesis. The Depatment of Mechanical. Manufacturing Aeronautical

    and Chemical Engineering. The Queen's University. Belfast.

    Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry. Second Edition. Marcel Dekker, Inc. New York.

    Hargono & M. Djaeni. (2003). Utilization of Chitosan Prepared from Shrimp Shell as Fat

    Diluent. Journal of Coastal Development; 7(1):31-37.

    Hirano. (1989). Production and Aplication on Chitin and Chitosan in Japan. Jepang.

    Hwang J.; S. Hong & C. Kim. (1997). Effect of molecular weight and NaCl concentration

    on dilute solution properties of chitosan. J. Food Sci. Nutr.; 2:1-5.

    Islam, Monarul Md.; Shah Md. Masum; M. Mahbubur Rahman; Md. Ashraful Islam

    Molla; A. A. Shaikh; S.K. Roy. (2011). Preparation of Chitosan from Shrimp

    Shell and Investigation of Its Properties. International Journal of Basic & Applied

    Sciences IJBAS-IJENS Vol: 11 No: 01. Bangladesh.

    Johnson, A.H. dan M.S. Peterson. (1974). Encyclopedia of Food Technology Vol. II.

    The AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.

    Marganov. (2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal,

    Kadmium, dan Tembaga) di Perairan. http://rudyct.topcities.com/pps702_71034/

    marganof.htm. Diakses tanggal 1 November 2015.

    Muzzarelli, R.A.A. (1985). Chitin in the Polysaccharides Vol. 3. Academic Press Inc.

    Orlando. San Diego.

    Patria, Anshar. (2013). Production and Characterization of Chitosan From Shrimp Shells

    Waste. AACL Bioflux, 2013, Volume 6, Issue 4.

  • 13

    Puspawati, N.M. & I. N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang

    dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui

    Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia; 4:79-90.

    Puvvada, Y.S., Vankayalapati, S., Sukhavasi, S. (2012). Extraction of Chitin

    FromChitosan From Exoskeleton of Shrimp for Application in The

    PharmaceuticalIndustry. Puvvada et al., International Current Pharmaceutical

    Journal 2012,1(9): 258-263.

    Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company.

    California.Science Published Ltd., England.

    Sarjono, P.R.; N.S. Mulyani; & N. Wulandari. (2008). Uji Antibakteri Kitosan dari Kulit

    Udang Windu (Peneaus monodon) Dengan Metode Difusi Cakram Kertas.

    Universitas Diponegoro.

    Satuhu, S. (2003). Penanganan dan Pengolahan Buah. Penebar Swadaya. Jakarta .

    Supitjah, Pipit. (2004). Tingkatan Kualitas Kitosan Hasil Modifikasi Proses Produksi.

    Buletin Teknologi Hasil Perikanan 56 Vol VII Nomor 1.

    Tarafdar, A. and Biswas, G. (2013). Extraction of Chitosan from Prawn Shell Wastes and

    Examination of its Viable Commercial Applications. ISSN : 2319-3182, Volume-

    2, Issue-3, 2013.

    Winarno, F.G.; S. Fardiaz; & D. Fardiaz. (1980). Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia,

    Jakarta.

  • 14

    6. LAMPIRAN

    6.1. Perhitungan

    Kelompok E1

    Rendemen kitin I

    =berat kering

    berat basah I 100%

    =5

    19 100% = 26,32%

    Rendemen kitin II

    =berat kering

    berat basah I 100%

    =2

    7 100% = 28,57%

    Rendemen kitin III

    =berat kering

    berat basah I 100%

    =1,76

    5,5 100% = 32%

    Kelompok E2

    Rendemen kitin I

    =berat kering

    berat basah I 100%

    =5,5

    14,5 100% = 37,93%

    Rendemen kitin II

    =berat kering

    berat basah I 100%

    =2,5

    9 100% = 27,78%

    Rendemen kitin III

    =berat kering

    berat basah I 100%

    =1,12

    6,5 100% = 17,23%

  • 15

    Kelompok E3

    Rendemen kitin I

    =berat kering

    berat basah I 100%

    =4

    17 100% = 23,53 %

    Rendemen kitin II

    =berat kering

    berat basah I 100%

    =2

    6,5 100% = 30,77%

    Rendemen kitin III

    =berat kering

    berat basah I 100%

    =1,3

    4,5 100% = 28,89%

    Kelompok E4

    Rendemen kitin I

    =berat kering

    berat basah I 100%

    =3,5

    10 100% = 35 %

    Rendemen kitin II

    =berat kering

    berat basah I 100%

    =2

    11 100% = 18,18%

    Rendemen kitin III

    =berat kering

    berat basah I 100%

    =0,23

    1,5 100% = 15,33%

  • 16

    Kelompok E5

    Rendemen kitin I

    =berat kering

    berat basah I 100%

    =3,5

    12 100% = 29,17%

    Rendemen kitin II

    =berat kering

    berat basah I 100%

    =2

    8 100% = 25%

    Rendemen kitin III

    =berat kering

    berat basah I 100%

    =0,85

    2 100% = 42,5%

    6.2. Laporan Sementara

    6.3. Diagram Alir

    6.4. Abstrak Jurnal