kitin kitosan_ chikita eljo_13.70.0010_c3_unika soegijapranata

17
1 1. MATERI METODE 1.1. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah oven, blender, ayakan, peralatan gelas, limbah udang, HCl 0,75 N; 1 N; 1,25 N; NaOH 3,5%; NaOH 40%; 50%; dan 60%. 1.2. Metode Demineralisasi HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1. Kelompok A1 dan A2 menggunakan Kemudian dipanaskan pada suhu 90 o C selama 1 jam & secara kontinu dilakukan pengadukan. Lalu dicuci sampai pH netral. Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengan air panas 2 kali, dan dikeringkan kembali. Limbahudangkemudiandihancurkanhinggamenjadiserbukdandiayakdenganayakan 40- 60 mesh. Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh.

Upload: praktikumhasillaut

Post on 04-Dec-2015

240 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Kitin berwarna putih, keras, inelastis dan merupakan polisakarida yang mengandung nitrogen dan dapat ditemukan dalam eksoskleton dan pada struktur internal invertebrate.

TRANSCRIPT

1

1. MATERI METODE

1.1. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah oven, blender, ayakan,

peralatan gelas, limbah udang, HCl 0,75 N; 1 N; 1,25 N; NaOH 3,5%; NaOH 40%;

50%; dan 60%.

1.2. Metode

Demineralisasi

HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1. Kelompok A1 dan A2 menggunakan

HCl 0,75N, A3 dan A4 HCl 1N, dan A5 HCl 1,25N

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam & secara kontinu dilakukan

pengadukan.

Lalu dicuci sampai pH netral.

Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengan air

panas 2 kali, dan dikeringkan kembali.

Limbahudangkemudiandihancurkanhinggamenjadiserbukdandiayakdenganayakan 40-

60 mesh.

Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan

ayakan 40-60 mesh.

2

2

Deproteinasi

Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH dengan perbandingan 6:1

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.

Kemudian disaring dan didinginkan

Lalu dicuci sampai pH netral.

3

3

Deasetilasi

Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

Chitin yang didapat kemudian ditambahkan NaOH 40% untuk kelompok A1 dan A2,

NaOH 50% untuk kelompok A3 dan A4, dan NaOH 60% untuk kelompok A5

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam

Lalu dicuci sampai pH netral.

Kemudian dikeringkan pada suhu 70oC selama 24 jam

4

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan kitin dan kitosan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kitin dan Kitosan

Kel Perlakuan

Rendemen

Kitin I

(%)

Rendemen

Kitin II

(%)

Rendemen

Kitosan

(%)

C1 HCl 0,75 N + NaOH 40% +

NaOH 3,5%

23,45 30,00 27,43

C2 HCl 0,75 N + NaOH 40% +

NaOH 3,5%

37,82 44,00 27,38

C3 HCl 1 N + NaOH 50% +

NaOH 3,5%

41,67 54,55 32,16

C4 HCl 1 N + NaOH 50% +

NaOH 3,5%

40,00 58,30 24,30

C5 HCl 1,25 N + NaOH 60% +

NaOH 3,5%

21,19 40,32 11,25

Pada tabel di atas diketahui, perlakuan C1 dengan penambahan HCl 0,75 N; NaOH

40%; dan NaOH 3,5% memberikan hasil terendah untuk rendemen kitin II sebesar

30,00%. Perlakuan kelompok C3 dengan penambahan HCl 1 N; NaOH 50%; dan NaOH

3,5% memberikan hasil tertinggi untuk rendemen kitin I sebesar 41,67% dan hasil

rendemen kitosan sebesar 32,16%. Perlakuan kelompok C4 dengan penambahan HCl 1

N; NaOH 50%; dan NaOH 3,5% memberikan hasil tertinggi untuk rendemen kitin II

sebesar 58,30%. Perlakuan kelompok C5 memberikan hasil terendah untuk rendemen

kitin I sebesar 21,19% dan terendah untuk rendemen kitosan sebesar 11,25%. Perbedaan

perlakuan pada setiap kelompok memberikan hasil yang berbeda antar kelompok.

5

3. PEMBAHASAN

Kitin dan kitosan dalam praktikum teknologi hasil laut dihasilkan dari limbah

crustaceans untuk dapat menghasilkan value-added by product. Kitin adalah hasil

pengolahan kulit udang yang bernilai ekonomis tinggi (Shahidi et al., 1999). Kitin

merupakan polisakarida dengan berat molekul tinggi yang tersusun dari N-

asetilglukosamin yang terikat dengan ikatan kovalen glikosidik (Mizani, 2007). Secara

lebih rinci kitin tersusun atas beta (1,4) linked 2-acetamido-2-deoxy-geta-D-glucose.

Kitin berwarna putih, keras, inelastis dan merupakan polisakarida yang mengandung

nitrogen dan dapat ditemukan dalam eksoskleton dan pada struktur internal invertebrata.

Kitin merupakan polimer alam yang dapat ditemukan pada kulit hewan golongan

Crustaceae seperti kepiting dan udang (Wang et al., 2010). Menurut Sandford &

Hutchins (1978) dalam Hossain & Iqbal (2014) menyatakan bahwa produk kitosan

diproduksi dari limbah udang dengan metode kimia seperti demineralisasi, deproteinasi

dan deasetilasi. Praktikum yang telah dilakukan sesuai dengan pendapat tersebut,

dengan penggunaan bahan dasar pembuatan kitin dan kitosan dari kulit udang.

Struktur kimia kitin (Dutta et al., 2004)

Kitosan merupakan hasil deasetilasi kitin. Kitosan memiliki beberapa keuntungan

karena mudah didapat, prosedur isolasi mudah, tidak beracun dan tidak berbahaya.

Kitosan mempunyai beberapa sifat yang menguntungkan yaitu hydrophilicity,

biocompatibility, biodegradability, sifat anti bakteri dan afinitas yang besar terhadap

enzim. Kitosan adalah senyawa poli N-amino-2 deoksi β-D-glukopiranosa atau

glukosamin hasil deasetilasi kitin atau poli N-asetil-2-amino-2 deoksi β-D-

glukopiranosa. Menurut Lertsutthiwong et al., (2002) dalam Khorrami et al., (2012),

kitosan dapat dibuat dengan mendeasetilasi N dari kitin dengan alkali cair (NaOH) 40-

6

50% pada suhu 120-160°C Hal ini sesuai dengan yang telah dilakukan dalam

pembuatan kitosan, yaitu menambahkan larutan alkali dalam bentuk NaOH dengan

perbedaan konsentrasi yaitu 40%, 50% dan 60% dengan dilakukan pada suhu tinggi.

Kelarutan kitosan dalam larutan asam serta viskositasnya tergantung dari derajat

deasetilasi dan derajat degradasi polimer. Bila kitosan disimpan lama dalam keadaan

terbuka dan terjadi kontak dengan udara maka akan terjadi dekomposisi, warnanya

menjadi kekuningan dan viskositas larutan menjadi berkurang (Krissetiana, 2004).

Kitin dan kitosan secara struktural serupa dengan heparin, kondroitin sulfat dan asam

hialuronat yang semuanya merupakan mukopolisakarida penting dalam mamalia

(Sashiwa & Aiba, 2004). Kitin dan kitosan bersifat sebagai bahan pengemulsi dan

koagulasi. Sifat kitin lebih fleksibel dan lebih mudah larut dalam asam encer, asam

pekat seperti asam nitrit, asam sulfat tetapi tidak larut dalam air, asam organik, asam

anorganik encer, pelarut organik dan alkali pekat. Dalam asam pekat kitin akan

terdegradasi menjadi monomernya dan memutuskan gugus asetil.

Dalam praktikum ini, penggunaan kulit udang sebagai bahan dasar pembuatan kitin dan

kitosan ini, menurut Hargono, et al., (2008) dikarenakan kulit udang mengandung 20-

30% senyawa kitin, 21% protein, dan 40-50% mineral. Tujuan dari penggunaan limbah

kulit udang ini, menurut Sandford & Hutchins (1978) selain dapat mengurangi

pencemaran lingkungan, juga dapat menggunakan limbah untuk diolah sehingga

menghasilkan produk olahan yang memiliki nilai fungsional yang lebih tinggi. Proses

pembuatan kitin dan kitosan ini dilakukan dengan 3 tahap yaitu demineralisasi,

deproteinasi dan deasetilasi. Tujuan demineralisasi adalah untuk menghilangkan

mineral, kalsium karbonat, dan kalsium fosfat. Pada tahap demineralisasi pertama-tama

limbah kulit udang dicuci dengan air mengalir, kemudian dikeringkan. Kemudian

dilakukan pencucian dengan air panas sebanyak 2 kali lalu dikeringkan kembali. Hasil

kulit udang yang telah dikeringkan kemudian dihaluskan hingga menjadi serbuk dan

diayak dengan ayakan 40-60 mesh. Hasil ayakan lalu dicampur dengan HCl (10:1)

dengan konsentrasi yang berbeda antar kelompok. Penggunaan HCl dalam tahap

demineralisasi ini, menurut teori Peter (1995) adalah untuk melarutkan ion Ca2+

dalam

cangkang udang, sehingga berikatan dan menghasilkan CaCl2 yang memiliki sifat larut

7

dalam air, sedangkan produk sampingan yang lainnya adalah gas CO2 dan air, serta

asam pospat yang larut air. Selain itu, hampir seluruh ion-ion logam dapat membentuk

garam-garam klorida yang sifatnya larut dalam air. Selanjutnya, dipanaskan di atas

hotplate dengan suhu 90oC, ketika larutan diukur suhunya dengan thermometer sudah

menunjukkan suhu mendekati 90oC, pengadukan selama 1 jam dimulai. Menurut

Johnson & Peterson (1974), pemanasan ini bertujuan untuk mempercepat proses

perusakan mineral dimana tujuan dari proses demineralisasi adalah untuk

menghilangkan mineral, kalsium karbonat, dan kalsium fosfat. Pengadukan juga

bertujuan untuk menghindari meluapnya gelembung-gelembung udara yang dihasilkan

karena pemisahan mineral selama proses demineralisasi. Lalu, sampel disaring dan

dicuci dengan air hingga pH-nya netral, selanjutnya dikeringkan selama 24 jam dengan

suhu 80oC. Mekawati, et al., (2000) mengatakan bahwa pencucian yang dilakukan

selain untuk menetralkan pH juga untuk menghindari resiko degradasi selama proses

pengeringan, juga berfungsi untuk melarutkan CaCl2 dan asam pospat yang bersifat

larut dalam air. Tahapan demineralisasi ini sesuai dan didukung dengan teori yang

dikemukakan oleh Prasetiyo (2006) yang menyatakan bahwa setiap tahapan yang

dilakukan dalam percobaan mulai dari penggunaan campuran antara HCl dengan sampel

kulit udang yang digunakan yaitu 10:1 dan dengan pemanasan yang digunakan adalah

juga 800C selama 24 jam.

Tahap demineralisasi menghasilkan rendemen kitin I yang berbeda antar tiap kelompok.

Hal ini terjadi karena adanya perlakuan yang dibedakan antar kelompok. Kelompok C1

dan C2 dengan penambahan HCl 0,75 N, menghasilkan kadar rendemen kitin I secara

berurutan sebesar kelompok 23,45% dan 37,82%. Kelompok C3 dan C4 dengan

penambahan HCl 1 N, menghasilkan kadar rendemen kitin I secara berurutan sebesar

kelompok 41,67 % dan 40,00%. Kelompok C5 dengan penambahan HCl 1,25 N,

menghasilkan kadar rendemen kitin I sebesar 21,19%. Berdasarkan hasil tersebut

rendemen yang paling tinggi adalah pada kelompok C3 dengan penambahan HCl 1 N

yaitu 41,67% dan yang paling rendah adalah pada kelompok C5 dengan penambahan

HCl 1,25 N yaitu sebesar 20%. Konsentrasi asam yang sesuai akan melarutkan mineral

dengan sempurna sehingga kadar mineral limbah berkurang. Konsentrasi asam yang

sesuai adalah 1 N. Pada konsentrasi asam yang terlalu tinggi akan menyebabkan reaksi

8

akan berjalan terlalu cepat, dimana terdapat komponen mineral yang belum terlepas

dengan sempurna, sedangkan konsentrasi di bawah 1 N terdapat kemungkinan pelarutan

mineral belum sempurna sehingga nilai rendemen tinggi. Hasil yang didapat tidak

sesuai dengan teori karena seharusnya nilai rendemen terendah diperoleh kelompok

yang menggunakan HCl 1 N, karena mineral telah terlarut sempurna. Ketidaksesuaian

ini bisa disebabkan karena pada saat penetralan, pencucian dan penyaringan banyak

kitin yang terbuang. Selain itu bisa juga disebabkan karena adanya kotoran dalam kitin

yang terhitung sebagai rendemen (Sudarmadji, et al., 1989).

Tahap pembuatan kitin dan kitosan selanjutnya adalah deproteinasi. Tujuan proses ini

adalah menghilangkan kandungan protein pada limbah kulit udang dengan larutan yang

bersifat basa (Lehninger, 1975). Proses ini dimulai dengan melarutkan serbuk (tepung)

hasil demineralisasi dengan NaOH 3,5%. Perbandingan NaOH dengan tepung kitin

adalah 6:1. Dalam tahap ini juga ditambahkan NaOH 3,5% yang bertujuan untuk

memperbesar volume partikel bahan, sehingga ikatan antar komponen menjadi

renggang dan mampu menghidrolisis gugus asetil pada kitin dan kitin akan mengalami

deasetilasi sehingga berubah menjadi kitosan yang akan menyebabkan kadar kitin

berkurang. Setelah ditambahkan NaOH, kemudian larutan dipanaskan di atas hotplate

hingga mencapai suhu 70oC lalu diaduk selama 1 jam. Tujuan pemanasan larutan ini

adalah supaya protein dapat terdenaturasi sehingga protein lebih mudah dipisahkan,

sedangkan pengadukan juga berfungsi untuk meratakan proses denaturasi protein oleh

larutan NaOH (Patil, et al., 2000). Dengan pemanasan dan pengadukan dapat

mengkonsentrasikan NaOH, sehingga hasil kitin yang diperoleh lebih optimal (Patil et

al, 2000). Kemudian setelah proses pengadukan, larutan didinginkan selama 30 menit

ini bertujuan untuk mengendapkan kitin pada bagian dasar larutan sehingga ketika

dilakukan pencucian kitin tidak terbuang. Setelah itu, kitin dicuci dengan air mengalir

secara berulang-ulang hingga tercapai pH netral, dan pencucian ini bertujuan untuk

menurunkan kondisi basa larutan menjadi pH normal. Setelah dicuci kitin dikeringkan

kembali dalam dehumidifier pada suhu 80ºC selama 24 jam yang bertujuan dari

pengeringan ini untuk menguapkan air yang masih tersisa selama proses pencucian

sehingga diperoleh produk kitin akhir yang kering (Rogers, 1986).

9

Setelah proses deproteinasi diperoleh hasil rendemen kitin II, pada kelompok C1

diperoleh hasil kadar rendemen terendah yaitu sebanyak 30,00%, dan hasil kadar

rendemen tertinggi diperoleh kelompok C4 yaitu sebesar 58,30%. Semakin tinggi

konsentrasi NaOH dan suhu proses maka pemisahan kitin dari gugus protein lebih

efektif. Berarti rendemen yang dihasilkan akan semakin sedikit karena protein terlepas

dan terbawa keluar dari kitin. Apabila konsentrasinya terlalu rendah maka reduksi gugus

protein kurang sempurna sedangkan pada konsentrasi terlalu tinggi dapat terjadi

degradasi protein. Hasil yang diperoleh memiliki keberagaman data, karena hasil

rendemen kitin II dipengaruhi oleh hasil rendemen kitin I dari proses demineralisasi

(Supitjah, 2004).

Tahap terakhir pada pembuatan kitin dan kitosan ini adalah tahap deasetilasi. Tahap

deasetilasi adalah proses transformasi kitin menjadi kitosan dilakukan dengan proses

penghilangan gugus asetil dari kitin menjadi amina pada kitosan (Ramadhan, et al.,

2010). Chitin dari tahap deproteinasi, ditambah dengan larutan basa (NaOH) sebanyak

20:1 yaitu NaOH 40% untuk kelompok C1 dan C2, 50%, untuk kelompok C3 dan C4,

dan 60% untuk kelompok C5. Penambahan larutan NaOH bertujuan sebagai pelarut,

dan digunakan untuk menghidrolisa kitin dari gugus asetamida menjadi gugus amina

(Ramadhan et al., 2010). Martinou (1995) berpendapat bahwa larutan NaOH mampu

merubah pembentukan kitin yang sangat rapat menjadi renggang sehingga enzim lebih

mudah terekspos untuk mendeasetilasi polimer kitin. Larutan tersebut dipanaskan di

atas hotplate sampai suhu 90oC, kemudian diaduk selama 1 jam, dengan suhu dijaga

tetap 90oC. Menurut Reece, et al., (2003) bahwa proses pengadukan ini berguna untuk

meratakan antara kitin dengan NaOH sehingga proses dapat berjalan baik ketika

pemanasan. Setelah dipanaskan, kemudian didinginkan selama 30 menit. Proses

pemanasan bertujuan untuk mempercepat proses deasetilasi, sedangkan proses

pendinginan bertujuan agar bubuk kitosan pada larutan dapat mengendap dibawah,

sehingga tidak terbuang saat pencucian. Naiknya suhu reaksi menyebabkan derajat

deasetilasi kitosan yang diperoleh juga meningkat maka pH yang didapatkan akan

menjadi basa. Kemudian disaring, dan dilakukan pencucian dengan air mengalir untuk

menetralkan kembali pH yang menjadi basa. Ketika jumlah ion hidroksida yang

ditambahkan sama dengan jumlah ion hidrogen maka larutan menjadi netral, jika ion

10

hidroksida ditambahkan lebih banyak maka larutan akan bersifat basa (Rogers, 1986).

Kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 70°C selama 24 jam, pengeringan ini

bertujuan untuk menguapkan seluruh kandungan air, sehingga dapat ditimbang berat

kering rendemen kitosan.

Hasil akhir kadar rendemen kitosan diperoleh kadar tertinggi pada kelompok C3

sebanyak 32,16% dengan penambahan HCl 1,25 N pada proses demineralisasi, NaOH

3,5% pada proses deproteinasi, dan NaOH 50% pada proses deasetilasi. Kadar

rendemen kitosan terendah pada kelompok C5 sebanyak 11,25% dengan penambahan

HCl 1,25 N pada proses demineralisasi, NaOH 3,5% pada proses deproteinasi, dan

NaOH 60% pada proses deasetilasi. Hasil tersebut sesuai dengan teori Alamsyah, et al.,

(2007) yang menyatakan bahwa penambahan NaOH pada konsentrasi 60%, larutan

menjadi lebih kental, akibatnya proses pengadukan menjadi tidak sempurna artinya ada

bagian kitin tidak bereaksi sempurna dengan larutan NaOH sehingga gugus amino yang

terbentuk sedikit.

Franco et al., (2004) dalam Krishnaveni & Ragunattan (2015), mengatakan bahwa

pembuatan kitin dan kitosan, selain berguna untuk memanfaatkan limbah udang, dapat

dimanfaatkan dalam beberapa bidang, seperti kosmetik, industri pangan, pertanian dan

pengelolaan lingkungan. Kitosan juga dapat digunakan sebagai makanan kesehatan

yang dapat menurunkan kolesterol dalam tubuh. Muzarrelli et al., (1999) dalam

Younnes & Rinnaudo (2015) menambahkan bahwa potensi kitosan dapat dijadikan

bahan antimikrobia karena mengandung enzim lisozim dan gugus aminopolisakarida

yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Kitin dan kitosan dapat digunakan

sebagai pewarna makanan karena dapat mengikat air dan lemak. Mikrokristalin kitin

dapat berfungsi sebagai pengembang, pengental dan pengemulsi. Pada pemanasan yang

tinggi kitin dapat berpotensi sebagai penambah cita rasa. Selain itu kitosan dapat

menurunkan kadar asam pada buah-buahan karena dapat bereaksi dengan asam, bahkan

dapat juga digunakan sebagai penjernih jus apel. Menurut Suseno, (2006) kitosan juga

berfungi sebagai pengawet karena merupakan polisakarida dan mudah didegradasi

secara biologis, contohnya adalah pada pengawetan ikan asin yang bisa bertahan sampai

3 bulan.

11

4. KESIMPULAN

Kitin merupakan makromolekul yang memiliki bentuk berupa padatan amorf atau

kristal yang berwarna putih, dapat ditemukan dalam komponen struktural

eksoskeleton dari serangga dan crustacea.

Kitin memiliki sifat lebih fleksibel, lebih mudah larut dalam asam encer, larut

dalam asam pekat, tidak larut dalam air, asam organik, asam anorganik encer,

pelarut organik dan alkali pekat.

Pembuatan kitin dan kitosan menggunakan limbah udang (kulit) yang sudah

dipisahkan dari dagingnya yang melalui proses demineralisasi, deproteinasi dan

deasetilasi.

Ekstraksi kitin secara kimiawi dilakukan melalui proses deproteinasi dengan

menggunakan basa kuat, dan proses demineralisasi dengan menggunakan senyawa

asam, baik asam kuat atau asam lemah.

Pencucian bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang masih menempel yang

dapat mencemari ektraksi kitin.

Keuntungan kitosan yaitu mudah didapat, prosedur isolasinya mudah, tidak

beracun, dan tidak membahayakan.

Penggunaan NaOH sebagai pelarut dikarenakan NaOH merupakan alkali yang

digunakan untuk menghidrolisa kitin sehingga terjadi proses deasetilasi dari gugus

asetamida menjadi gugus amina.

Proses transformasi kitin menjadi kitosan dilakukan dengan proses penghilangan

gugus asetil dari kitin menjadi amina pada kitosan yang dikenal dengan proses

deasetilasi.

Proses pemanasan bertujuan untuk mengoptimalkan proses pendeasetilan N dari

kitin.

Proses pencucian hingga pH-nya netral mempengaruhi sifat penggembungan kitin

dengan alkali oleh karena itu efektivitas proses hidrolisis basa terhadap gugus

asetamida pada rantai kitin semakin baik.

Proses pengeringan dimaksudkan untuk menghilangkan kadar air yang masih

tersisa saat pencucian sehingga ketika dihitung rendemennya hanya ada kitosan

saja.

12

Faktor yang mempengaruhi proses pembuatan kitin adalah jenis bahan baku dan

proses ekstraksi kitin.

Faktor yang mempengaruhi pembuatan kitosan adalah konsentrasi enzim, pH dan

suhu proses.

Semarang, 22 Oktober 2015

Praktikan, Asisten Dosen,

Chikita Eljo Brilliarien M. Tjan, Ivana Chandra

13.70.0110

13

5. DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah, Rizal; et al. (2007). Pengolahan Kitosan Larut dalam Air dari Kulit Udang

sebagai Bahan Baku Industri. Bandung.

Dutta, Pradip Kumar; Joydeep Dutta; dan V. S. Tripathi. (2004). Chitin and Chitosan:

Chemistry, properties, and applications. Journal of Scientific and Industrial

Research Vol. 63 January 2004. pp 20-31.

Hargono; Abdullah & Indro Sumantri. (2008). Pembuatan Kitosan Dari Limbah

Cangkang Udang Serta Aplikasinya Dalam Mereduksi Kolesterol Lemak

Kambing. Reaktor, Vol. 12 No. 1, Juni 2008, Hal. 53-57. Fakultas Teknik

UNDIP. Semarang.

Hossain, M. S., Iqbal A. (2014). Production and Characterization of Chitosan from

Shrimp Waste. Journal Food Technology and Agriculture. J. Agril. Univ. 12(1):

153–160. ISSN 1810-3030. Bangladesh.

Johnson, A.H. dan M.S. Peterson. (1974). Encyclopedia of Food Technology Vol. II.

The AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.

Khorrami M., Najafpour, Younesi,H., Hosseinpour M. N. (2012). Production of Chitin

and Chitosan from Shrimp Shell in Batch Culture of Lactobacillus plantarum.

Journal Chemistry Biochemistry. Vol 26 (3) 217–223. Faculty of Chemical

Engineering, Noushirvani University of Technology. Babol. Iran.

Krishnaveni S., Ragunattan K. P. 2015. Immobilization of Dithizone onto Chitin

Isolated from Prawn Seawater Shells (P. merguensis) and its Preliminary Study

for the Adsorption of Cd(II) Ion. Journal of Physical Science, Vol. 19 (1), 36-78,

2008.

Krissetiana. 2004. Concurrent production of chitin from shrimp shells and fungi.

Elsevier Science Ltd. Singapore.

Lehninger, A.L. (1975). Biochemistry. 2nd Ed. Worth Publisher Inc., New York.

Mekawati, Fachriyah, E. dan Sumardjo, D., (2000), Aplikasi Kitosan Hasil Tranformasi

Kitin Limbah Udang (Penaeus merguiensis) untuk Adsorpsi Ion Logam Timbal,

Jurnal Sains and Matematika, FMIPA Undip, Semarang, Vol. 8 (2), hal. 51-54.

Mizani, A.Maryam dan B.Mahmood Aminlari. (2007). A New Process for

Deproteinization of Chitin from Shrimp Head Waste. Proceedings of European

14

Congress of Chemical Engineering (ECCE-6) Copenhagen, 16-20 September

2007.

Muzarelli, R.A.A. (1977). Chitin. Faculty of Medicine, University of Ancona. Ancona

Italy 60100. Pergamon Press.

Patil, R. S., V. Chormade, and M. V. Desphande. 2000. Chitinolytic enzymes an

exploration. Enz Microb Technol 26:473-483.

Peter, Martin G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and

Chitosan. Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., Germany. Hlm.

629-639.

Prasetiyo, Kurnia Wiji. (2006). UPT Balai Litbang Biomaterial, Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

Ramadhan, L. O. A. N.; C. L. Radiman; D. Wahyuningrum; V. Suendo; L. O. Ahmad;

dan S.Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya

terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa Molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia

Vol. 5 (1), 2010, 4. 17-21. Diakses tanggal 13 September 2014.

Reece, C., dan Mitchell. (2003). Biologi, Edisi kelima-jilid 2. Penerbit Erlangga. Jakarta

Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company.

California.Science Published Ltd., England.

Sandford T.A., and Hutchins, H.S., (1978), “Reporting Degree of Deacetylation values

of Chitosan”, J. Pharm Pharmaceut Sci. Vol. 5(3), pp 205-212.

Sashiwa, H & Sei-Ichi, A. (2004). Chemically modified chitin and chitosan as

biomaterials. Diakses tanggal 13 September 2014.

Shahidi F, Arachchi JKV, and Jeon Y-J. (1999). Food Applications of Chitin and

Chitosans. Trends in Food Science and Technology 10 : 37- Slepecky, R. A. and

H. E. Hemphill. 1991. The genus Bacillius-nonmedical the prokaryotes. In

Balows, A. (ed). The Procaryotes, 2nd. Edn., Chapter 76, pp. 1663-1696. Springer

Verlag. NY.

Sudarmadji, S; B. Haryono; & Suhardi. (1989). Analisa Bahan Makanan dan Pertanian.

Penerbit Liberty. Yogyakarta.

15

Suhardi. (1992). Kitin dan Kitosan, Pusat Antar Universitas pangan dan Gizi, PAU

UGM. Yogyakarta.

Supitjah, Pipit. (2004). Tingkatan Kualitas Kitosan Hasil Modifikasi Proses

Produksi.Buletin Teknologi Hasil Perikanan 56 Vol VII Nomor 1.

Suseno, H.S. 2006. Pelatihan Pembuatan Pengawet Alami dari Kitosan dan Teknik

Aplikasinya pada Pengolahan Ikan. Institut Pertanian Bogor. 11 hal.

16

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

Rumus :

Rendemen Chitin I =

Rendemen Chitin II =

Rendemen Chitosan =

Kelompok C1

Rendemen Chitin I =

= 23,45 %

Rendemen Chitin II =

= 30,00 %

Rendemen Chitosan =

= 27,43 %

Kelompok C2

Rendemen Chitin I =

= 37,82 %

Rendemen Chitin II =

= 44 %

Rendemen Chitosan =

= 27,38 %

Kelompok C3

Rendemen Chitin I =

= 41,67 %

Rendemen Chitin II =

= 54,55 %

Rendemen Chitosan =

= 32,16 %

17

Kelompok C4

Rendemen Chitin I =

=40,00 %

Rendemen Chitin II =

= 58,3 %

Rendemen Chitosan =

= 24,30 %

Kelompok C5

Rendemen Chitin I =

= 21,19 %

Rendemen Chitin II =

= 40,32 %

Rendemen Chitosan =

= 11,25 %

6.2. Laporan Sementara

6.3. Diagram Alir

6.4. Abstrak Jurnal