kitin dan kitosan_beatrix r restiani_13.70.0182_c5_unika soegijapranata

18
Acara II CHITIN & CHITOSAN LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT Disusun oleh: Nama : Beatrix Riski Restiani NIM : 13.70.0182 Kelompok C5 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG 2015

Upload: praktikumhasillaut

Post on 04-Dec-2015

248 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Praktikum ini dilakukan dengan mengekstraksi kitin dan kitosan dari limbah udang. Prinsip nya adalah dengan demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi

TRANSCRIPT

Page 1: Kitin Dan Kitosan_Beatrix R Restiani_13.70.0182_C5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Acara II

CHITIN & CHITOSAN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

TEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh:

Nama : Beatrix Riski Restiani

NIM : 13.70.0182

Kelompok C5

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

SEMARANG

2015

Page 2: Kitin Dan Kitosan_Beatrix R Restiani_13.70.0182_C5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

1

1. MATERI DAN METODE

1.1. Materi

1.1.1. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah oven, beaker glass, pengaduk,

kain saring, hot plate, gelas ukur dan neraca analitik.

1.1.2. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbah udang, HCl 0,75 N; 1

N dan 1,25 N, NaOH 3,5%, NaOH 40%, 50% dan 60%.

1.2. Metode

1.2.1. Demineralisasi

10 gram limbah dan HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1. Kelompok A1 dan

A2 menggunakan HCl 0,75N, A3 dan A4 HCl 1N, dan A5 HCl 1,25N

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam & secara kontinu dilakukan

pengadukan.

Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengan air

panas 2 kali, dan dikeringkan kembali.

Limbahudangkemudiandihancurkanhinggamenjadiserbukdandiayakdenganayakan 40-

60 mesh.

Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan

ayakan 40-60 mesh.

Page 3: Kitin Dan Kitosan_Beatrix R Restiani_13.70.0182_C5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

2

1.2.2. Deproteinase

Lalu dicuci sampai pH netral.

Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH dengan perbandingan 6:1

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.

Kemudian disaring dan didinginkan

Page 4: Kitin Dan Kitosan_Beatrix R Restiani_13.70.0182_C5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

3

Deasetilasi

1.2.3. Deasetilasi

Lalu dicuci sampai pH netral.

Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

Chitin yang didapat kemudian ditambahkan NaOH 40% untuk kelompok A1 dan A2,

NaOH 50% untuk kelompok A3 dan A4, dan NaOH 60% untuk kelompok A5

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam

Lalu dicuci sampai pH netral.

Kemudian dikeringkan pada suhu 70oC selama 24 jam

Page 5: Kitin Dan Kitosan_Beatrix R Restiani_13.70.0182_C5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

4

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan kitin dan kitosan dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Kitin dan Kitosan

Kelompok Perlakuan Rendemen

Kitin I (%)

Rendemen

Kitin II (%)

Rendemen

Kitosan (%)

C1 HCl 0,75N + NaOH 40% +

NaOH 3,5% 23,45 30,00 27,43

C2 HCl 0,75N + NaOH 40% +

NaOH 3,5% 37,82 44,00 27,38

C3 HCl 1N + NaOH 50% + NaOH

3,5% 41,67 54,55 32,16

C4 HCl 1N + NaOH 50% + NaOH

3,5% 40,00 58,30 24,30

C5 HCl 1,25N + NaOH 60% +

NaOH 3,5% 21,19 40,32 11,25

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa pada Kitin I, rendemen tertinggi akan dihasilkan jika

menggunakan larutan HCl 1 N yaitu pada kelompok C3 dan C4 sebesar 41,67% dan 40,00%

sedangkan yang paling kecil adalah rendemen pada kelompok C5 sebesar 21,19% yang

menggunakan HCl 1,25 N. Pada Kitin II rendemen yang dihasilkan paling tinggi oleh

kelompok C3 dan C4 sebesar 54,55% dan 58,30%, dan yang paling sedikit adalah kelompok

C1 sebesar 30,00%. Pada Rendemen Kitosan, hasil tertinggi dimiliki oleh kelompok C3 yang

menggunakan NaOH konsentrasi 50% sebesar 32,16 % sedangkan yang paling rendah adalah

pada kelompok C5 yang menggunakan NaOH konsentrasi 60% yaitu sebesar 11,25%.

Page 6: Kitin Dan Kitosan_Beatrix R Restiani_13.70.0182_C5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

5

3. PEMBAHASAN

Udang adalah produk yang cukup sering diperdagangkan secara internasional. Seringkali

udang diperjualbelikan dalam kondisi beku dimana bagian kepala dan kulitnya telah

dipisahkan dan menjadi limbah dalam industri ini. Kepala dan kulit udang ini memiliki nilai

ekonomis yang rendah, oleh karena itu perlu diolah menjadi bahan lain sehingga mempunyai

nilai tambah dan bernilai ekonomis lebih tinggi (Hossain & Iqbal, 2014).

Kulit udang memiliki presentasi yang cukup besar sekitar 30-40% dari berat keseluruhan

udang (Hargonoet al., 2008). Kulit udang dapat dimanfaatkan menjadi produk lain karena di

dalamnya terkandung kalsium karbonat dengan presentasi tertinggi sebesar 45-50%, protein

sebesar 25-40%, dan kitin sebesar 15-20% (Marganov, 2003). Pengolahan dengan mengubah

limbah udang menjadi kitin dan kitosan sangat membantu karena kitin dan kitosan sering

digunakan dalam bidang pertanian, kosmetik, biokimia, mikrobiologi, obat-obatan serta

tekstil (Moeljanto, 1992).

Kitin adalah homopolimer yang tersusun atas N-asetil-D-glukosamine yang terikat dengan

ikatan beta 1,4 (Deshpande, 1986 dalam Khrisnaveni & Ragunathan, 2012). Kitin memiliki

warna putih bersifat keras dan inelastis. Kitin adalah poliakarida yang di dalamnya

terkandung nitrogen. Selain terkandung dalam limbah udang, kitin secara umum dapat

ditemukan dalam eksoskeleton dan pada struktur internal dari golongan invertebrate. Kitin

juga dapat ditemukan dalam Crustacea lain selain udang seperti kepiting (Wang et al., 2010).

Kitin dan kitosan juga dapat ditemukan dalam fungi F.solani CBNR BKRR yang didapatkan

dari tanah sedimentasi di lautan (Krishnaveni & Ragunathan, 2015).

Gambar 1. Struktur kimia kitin (Dutta et al., 2004)

Kitin bersifat fleksibel dan larut dalam larutan asam (encer ataupun pekat) seperti asam nitrit

dan asam sulfat. Namun kitin tidak dapat larut dalam air, asam organik dan asam anorganik

Page 7: Kitin Dan Kitosan_Beatrix R Restiani_13.70.0182_C5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

6

encer, pelarut organik serta alkali pekat. Karena larut dalam asam pekat, kitin akan terputus

gugus asetilnya dan terdegradasi menjadi monomer-monomernya (Ornum, 1992).

Kitosan adalah produk turunan dari kitin yang didapatkan dari proses deasetilasi kitin.

Kitosan tersusun atas N-amino-2 deoksi beta-Dglukopiranosa (Tang et al., 2007). Sifat

kitosan adalah tidak larut dalam air dan tidak beracun (Dunn et al., 1997), dapat didegradasi,

hidrofilik, biokompatibel, antibakteri serta mempunyai afinitas terhadap enzim yang tinggi

(Cahyaningrum et al., 2007). Sifat kelarutan kitosan dipengaruhi oleh derajat deasetilasinya

(Dunn et al., 1997). Derajat deasetilasi juga mempengaruhi berat molekul kitosan. Jika

derajat deasetilasinya tinggi atau gugus asetil banyak yang terputus maka interaksi antar ion

dan ikatan hydrogen di dalam kitosan akan semakin kuat (Tang et al., 2007).

Gambar 2. Struktur Kimia Kitosan (Abun et al., 2007)

Pada praktikum kitin dan kitosan ini, langkah pertama adalah menyiapkan bahan yang akan

diekstraksi. Saat praktikum telah disediakan limbah udang yang telah halus. Penggunaan

bahan yang telah dihaluskan bertujuan agar didapatkan sampel yang representatif,

mempunyai luas kontak yang besar dengan pereaksi dan membuat pereaksi dan waktu

pereaksi menjadi lebih efisien (Arpah, 1993). Kemudian bahan ditimbang sebanyak 10 gram

dan ditambahkan dengan 100 ml HCl. HCl yang digunakan oleh setiap kelompok berbeda

konentrasinya. Fungsi larutan HCl adalah untuk melarutkan ion Ca2+

yang ada di dalam kulit

udang sehingga akan terbentuk CaCl2. CaCl2 ini mempunyai sifat larut dalam air (Peter,

1995). Selain itu HCl juga akan melarutkan komponen mineral yang lain sehingga kandungan

mineral dalam bahan akan berkurang (Bastaman, 1989). Perbedaan konsentrasi HCl

dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh perbedaan konsentrasi terhadap kemampuan

mengekstraknya. Keberadaan HCl dalam proses demineralisasi ini akan menyebabkan

terjadinya reaksi berikut :

CaCO3(s) + 2HCl(aq) CaCl2(aq) + H2O + CO2(g)

Page 8: Kitin Dan Kitosan_Beatrix R Restiani_13.70.0182_C5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

7

Ca3(PO4)2(s) + 4 HCl(aq) 2CaCl2(aq) + Ca(H2PO4)2(aq)

(Azhar et al., 2010)

Proses penghilangan mineral ini sesuai dengan pendapat Hossain & Iqbal (2014) bahwa salah

satu langkah dalam proses pembuatan kitosan adalah dengan menghilangkan mineral yang

terkandung di dalam limbah udang atau disebut dengan proses demineralisasi. Namun, dalam

penelitian yang dilakukan oleh Hosain & Iqbal (2014) sebelum masuk ke dalam proses

demineralisasi ada proses lain yaitu proses autolisis dimana limbah dibiarkan di dalam plastik

polietilen pada suhu tertentu selama 24 jam agar terjadi ekstraksi kimia kitosan secara alami.

Proses ini akan membantu meningkatkan kualitas kitosan yang dihasilkan.

Setelah itu larutan dipanaskan pada suhu 90 o

C selama 1 jam. Tujuan pemanasan adalah

untuk mempercepat terjadinya proses perusakan mineral yang ada di dalam kulit udang

seperti kalsium karbonat dan kalsium fosfat (Puspawati & Simpen, 2010). Dengan adanya

pemanasan maka mineral akan lebih cepat terpisah dari limbah udang. Pemanasan juga akan

menghasilan pirazine yang dapat menambah cita rasa (Muzzarelli, 1997). Pemanasan akan

mempercepat proses hilangnya mineral karena jika dibandingkan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Hosain & Iqbal (2014) terlihat bahwa tanpa pemanasan proses demineralisasi

yang dilakukan bia terjadi selama 16 jam. Selama pemanasan juga dilakukan pengadukan.

Hal ini bertujuan untuk menghomogenkan larutan agar panas terbagi secara merata dan juga

untuk mencegah meluapnya gelembung-gelembung udara (CO2) yang dihasilkan saat proses

pemisahan mineral terjadi (Laila & Hendri, 2008).

Setelah itu bahan kemudian dituang keatas kain saring dan dicuci dengan air sampai pH nya

netral. Tujuan pencucian adalah untuk mencapai pH netral dan mencegah terjadinya

degradasi dalam proses selanjutnya (pengeringan) (Mekawati et al., 2000). Pencucian dan

penyaringan yang dilakukan dimaksudkan untuk memisahkan mineral yang telah terekstrak

ke dalam HCl agar terpisah dari bahan kitin I. Seperti telah diketahui bahwa dengan

penambahan HCl akan terbentuk CaCl2 yang larut dalam air (Peter, 1995), sehingga

pencucian akan menghilangkan CaCl2 dari bahan. Pencucian juga akan membantu

melarutkan mineral yang masih ada dalam limbah udang. Pengecekan pH sampai netral

dilakukan dengan kertas pH.

Kemudian bahan tersebut dikeringkan di dalam oven selama 24 jam pada suhu 80 o

C.

Pengeringan dilakukan untuk menguapkan air yang masih tersisa di dalam bahan kitin I.

Pengeringan juga bertujuan untuk menghasilkan bahan menjadi bentuk tepung. Secara umum,

Page 9: Kitin Dan Kitosan_Beatrix R Restiani_13.70.0182_C5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

8

langkah-langkah yang dilakukan dalam praktikum ini telah sesuai dengan pendapat Prasetiyo

(2006) bahwa proses demineralisasi dilakukan dengan cara mereaksikan HCl dengan kulit

udang dalam perbandingan 10:1 dan kemudian dilakukan pemanasan 800C selama 24 jam.

Setelah kering tepung hasil tahap pertama itu kemudian ditimbang. Kedalamnya ditambahkan

NaOH 3,5%. Perbandingan antara NaOH dan tepung adalah 6:1. Jumlah NaOH yang

digunakan disesuaikan dengan hasil tepung yang didapatkan dari tahap 1. Tujuan

penambahan NaOH adalah untuk merenggangkan ikatan antar komponen di dalam kitin

sehingga saat proses selanjutnya gugus asetil dapat terhidrolisis. Perenggangan dapat terjadi

karena NaOH akan menyebabkan volume dari partikel substrat membesar. Penggunaan

NaOH dengan konsentrasi 3,5% telah sesuai dengan pendapat Suharto (1984) bahwa dalam

proses deproteinasi NaOH 3,5% adalah larutan dan konsentrasi yang efektif. Penggunaan

NaOH juga disebabkan karena kelarutan protein dan mineral pada suasana yang basa akan

lebih besar jika dibandingkan dengan uasana asam (Fennema, 1985).

Kemudian larutan dipanaskan sambil di aduk selama 1 jam pada suhu 70 o

C. Pemanasan

dilakukan dengan tujuan untuk membuat protein yang terkandung di dalam bahan akan

terdenaturasi sehingga dapat terpisahkan dari bahan. Pengadukan yang dilakukan selama

pemanasan bertujuan untuk membuat NaOH lebih terkonsentrat dan hasil yang di dapatkan

akan lebih optimal (Ramadhan et al., 2010). Lalu bahan didnginkan terlebih dahulu, dicuci

diatas kain saring sambil disaring untuk menetralkan pH bahan. Pendinginan dilakukan agar

kitin yang dihasilkan dapat mengendap dan berada pada dasar larutan. Pencucian dan

penyaringan dilakukan untuk menetralkan larutan dan memisahkan komponen yang tidak

diinginkan dari bahan. Pencucian juga akan mempengaruhi sifat penggembungan kitin

dengan alkali dimana pencucian akan membuat proses hidrolisis gugus asetamida pada kitin

oleh basa dapat berlangsung dengan efektif. Bahan kemudian dikeringkan kembali selama 24

jam pada suhu 80 o

C. Hasil akhir dari tahap ini adalah kitin. Pengeringan dilakukan untuk

menghilangkan air yang masih ada pada kitin (Roger, 1986). Proses yang dilakukan dengan

penambahan NaOH 3,5% ini adalah proses deproteinasi dimana pada proses ini protein akan

dilarutkan atau dihilangkan dari bahan dengan menggunakan basa (Lehninger, 1975).

Kitin kemudian akan diubah menjadi kitosan. Caranya adalah menambahkan kitin dengan

NaOH. Kitin dan NaOH ditambahkan dengan perbandingan 20:1 tergantung dari berat kitin

yang dihasilkan. Tujuan penambahan NaOH adalah untuk memutuskan ikatan gugus

karboksil dengan atom nitogen sehingga akan terjadi deasetilasi dimana gugus asetamida

Page 10: Kitin Dan Kitosan_Beatrix R Restiani_13.70.0182_C5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

9

berubah menjadi gugus amida (Ramadhan et al., 2010). NaOH yang digunakan antar

kelompok memiliki konsentrasi yang berbeda. Tujuannya adalah untuk mengetahui

konsentrasi mana yang paling baik dalam menghasilkan kitosan yang berkualitas. NaOH

yang digunakan memiliki konsentrasi 40%, 50% dan 60% hal ini sesuai dengan pendapat

Angka dan Suhartono (2000) bahwa NaOH dengan konentrasi lebih dari 40% sudah dapat

memutuskan ikatan antara gugus karboksil dengan nitrogen sehingga dapat terjadi proses

deasetilasi. Kemudian larutan dipanaskan selama 1 jam pada suhu 90 o

C. Tujuan pemanasan

adalah untuk meningkatkan proses deasetilasi karena derajat deasetilasi akan semakin

meningkat jika suhu semakin tinggi. Pengadukan juga dilakukan selama pemanasan agar

pemanasan berlangsung secara merata (Reece dan Mitchell, 2003). Bahan lalu disaring

sambil dicuci dengan air untuk menetralkan pH. Pencucian dan penyaringan juga dilakukan

untuk memisahkan bahan dari komponen yang ingin dipisahkan. Bahan kemudian dioven

selama 24 jam pada suhu 70 o

C. Pengeringan dilakukan untuk menghilangkan air dari bahan

(Roger, 1986). Hasil akhir inilah yang disebut kitosan.

Secara umum, langkah-langkah yang dilakukan dalam praktikum ini telah sesuai dengan

pendapat Bastaman (1989) dimana proses produksi kitosan dilakukan dengan proses

deasetilasi balik (refluks) kitin dalam larutan NaOH dengan perbandingan NaOH dan kitin

adalah 20:1. Proses ini dilakukan pada suhu 60C dengan waktu selama 8 jam dan pada suhu

100oC dalam aktu 4 jam. Namun lama waktu pemanasan pada praktikum ini tidak sesuai

dengan teori karena memperhitungkan efisiensi waktu. Perbedaan waktu ini akan

mempengaruhi rendemen kitosan yang dihasilkan.

Produksi kitin dan kitosan yang dilakukan dalam praktikum ini dilakukan secara kimiawi.

Namun produksi kitin dan kitosan juga dapat dilakukan secara mikrobiologi menggunakan

bakteri Lactobacillus plantarum. Tahap-tahapnya tetap melewati proses demineralisasi dan

deproteinasi tetapi proses ini dilakukan oleh asam organic dan enzim protease yang

dihasilkan oleh bakteri selama inkubasi. Namun perubahan dari kitin menjadi kitosan tetap[

dilakukan dengan larutan NaOH (Khorrami et al., 2012).

Dari hasil pengamatan dapat dilihat bahwa pada Kitin I, rendemen tertinggi akan dihasilkan

jika menggunakan larutan HCl 1 N yaitu pada kelompok C3 dan C4 sebesar 41,67% dan

40,00% sedangkan yang paling kecil adalah rendemen pada kelompok C5 sebesar 21,19%

yang menggunakan HCl 1,25 N. Hasil yang paling tinggi dengan menggunakan larutan HCl 1

N ini sesuai dengan pendapat Ramadhan et al., (2010) bahwa dalam proses demineralisasi

Page 11: Kitin Dan Kitosan_Beatrix R Restiani_13.70.0182_C5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

10

pelarut yang baik adalah HCl 1 N. Nilai rendemen kitin I pada HCl 0,75 N lebih kecil dari

rendemen kitin I dengan HCl 1 N sesuai dengan pendapat Laila & Hendri (2008) bahwa

konsentrasi HCl yang lebih besar akan menghasilkan rendemen yang lebih besar karena

dengan konsentrasi HCl yang tinggi mineral akan semakin mudah larut. Hasil yang paling

kecil didapatkan oleh kelompok yang menggunakan HCl 1,25 N. Hal ini tidak sesuai dengan

teori Laila dan Hendri (2008) bahwa semakin tinggi konsentrasi HCl maka rendemen

semakin tinggi. Namun, menurut Ramadhan et al. (2010) konsentrasi HCl yang paling

optimal adalah HCl 1 N, maka konsentrasi HCl yang lebih dari 1 N dalam proses ini akan

menjadi tidak optimal sehingga rendemen yang dihasilkannya pun akan lebih kecil. Hal ini

terjadi karena konsentrasi HCl terlalu tinggi akan menyebabkan proses berlangsung secara

cepat namun ada beberapa mineral yang masih belum terlepas. Rendemen yang di dapatkan

pada kitin I dengan konsentrasi yang optimal (HCl 1 N) adalah 41,67% dan 40,00%. Hal ini

sesuai dengan pendapat Marganov (2003) dimana di dalam kulit udang presentasi tertinggi

adalah mineralnya yaitu kalsium karbonatnya sebesar 45-50% sehingga sebagian besar

presentasi bahan akan hilang karena mineralnya sudah hilang. Rendemen kitin 1 yang

berkisar antara 41,67% dan 40,00% menunjukan bahwa sebagian besar mineral dalam bahan

limbah kulit udang telah hilang. Nilai yang rendah pada rendemen dengan penggunaan HCl

konsentrasi 0,75 N dan 1,25 N disebabkan karena proses penghilangan mineral tidak

berlangsung secara optimal.

Pada Kitin II rendemen yang dihasilkan paling tinggi oleh kelompok C3 dan C4 sebesar

54,55% dan 58,30%, dan yang paling sedikit adalah kelompok C1 sebesar 30,00%. Namun

secara umum nilai yang dihasilkan berkisar antara 30-50%. Nilai ini telah sesuai dengan

pendapat Marganov (2003) dimana dikatakan bahwa protein dalam limbah udang berkisar

antara 25-40% sedangkan kitin berkisar antara 15-20%. Sehingga dapat dikatakan bahwa dari

rendemen kitin I maka sebagian besar protein akan hilang dan menyisakan kitin. Rendemen

kitin II berkisar antara 30-50% karena sisanya yaitu protein telah hilang saat proses

deproteinasi. Pada proses ini larutan yang digunakan memiliki konsentrasi yang sama yaitu

NaOH 3,5%. Karena sama, maka tidak ada pengaruh konsentrasi dalam proses ini. Rendemen

yang dihasilkan akan dipengaruhi oleh nilai rendemen sebelumnya yaitu nilai rendemen kitin

I.

Pada Rendemen Kitosan, hasil tertinggi dimiliki oleh kelompok C3 yang menggunakan

NaOH konsentrasi 50% sebesar 32,16 % sedangkan yang paling rendah adalah pada

kelompok C5 yang menggunakan NaOH konsentrasi 60% yaitu sebesar 11,25%. Penggunaan

Page 12: Kitin Dan Kitosan_Beatrix R Restiani_13.70.0182_C5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

11

NaOH 40% menghasilkan rendemen yang lebih rendah dari penggunaan NaOH 50% hal ini

sesuai dengan pendapat Hong et al., (1989) bahwa semakin tinggi konsentrasi NaOH maka

rendemen kitosan yang dihasilkan akan semakin tinggi karena pemutusan ikatannya akan

lebih banyak. Namun, pada penggunaan konsentrasi NaOH 60% malah menghasilkan

rendemen kitosan yang kecil. Hal ini tidak sesuai dengan teori. Hal ini dapat terjadi karena

berbagai faktor seperti kurangnya pengadukan yang dilakukan sehingga suhu dan derajat

deasetilasi tidak meningkat dan rendemen yang dihasilkan pun sedikit (Reece & Mitchell,

2003). Kitosan yang dihasilkan dari kitin pada praktikum ini yang paling tinggi adalah

sebesar 32,16%. Nilai ini agak berbeda dengan hasil yang didapatkan Hossain & Iqbal (2014)

dalam penelitiannya dimana didapatkan kitosan sebesar 15,40%. Sedangkan dalam penelitian

yang dilakukan oleh Rumengan et al., (2014) dimana dalam penelitian ini dilakukan

pengolahan kitin dan kitosan dari zooplankton B. rotundiformis dan dari 4,6% kitin dapat

dihasilkan 52,7% kitosan. Perbedaan hasil ini dipengaruhi oleh proses dan larutan yang

digunakan. Jika larutan yang digunakan memiliki konsentrasi yang semakin tinggi, maka

rendemen yang dihasilkan pun akan semakin tinggi.

Kitin dan kitosan dapat dimanfaatkan dalam industri pangan sebagai antimikrobia, untuk

koagulasi dan untuk pembentukan film atau lapisan tipis (Khorrami et al., 2012). Sebagai

antimikrobia, kitosan memiliki beberapa keuntungan seperti aktivitas antimikroba yang lebih

tinggi, spektrum yang lebih luas, dan toksisitas yang rendah terhadap mamalia. Belum ada

teori yang jelas yang mampu menjelaskan kemampuan kitosan dalam antimikrobia ini,

namun dicurigai kitosan dapat bersifat sebagai antimikrobia karena dapat mengubah

permeabilitas sel bakteri. Sifat antimikrobia ini dapat dimanfaatkan juga dalam membuat film

antimikrobia yang berperan dalam pengemasan makanan. Film yang terbuat dari kitin dan

kitosan juga dapat bersifat edible dan biodegradable. Pembuatan kemasan dari kitin dan

kitosan mempunyai sifat barrier yang bagus (Younes & Rinaudo, 2015).

Sifat koagulasi atau penggumpalan yang dimiliki oleh kitosan bermanfaat dalam proses

pengolahan limbah terutama limbah yang mengandung protein tinggi. Kitosan akan mampu

mengendapkan padatan-padatan terlarut dalam limbah tersebut. Kemampuan koagulasi ini

disebabkan karena adanya gugus amina bebas yang terssa saat terjadi deasetilasi kitin

menjadi kitosan. Gugus amina bebas ini menyebabkan kitosan mempunyai sifat polikationik

dan dapat mempunyai sifat sebagai agen koagulan (Subianto, 2001 dalam Hartati et al.,

2002).

Page 13: Kitin Dan Kitosan_Beatrix R Restiani_13.70.0182_C5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

12

Dalam produksi kitin dan kitosan ada beberapa hal yang mempengaruhi yaitu tahapan yang

dilakukan (urutan antara demineraliasi atau deproteinasi dan kondisi proses setiap tahap.

Kondisi proses yang dimaksudkan disini adalah konsentrasi larutan, lama waktu reaksi, suhu,

pH dan pengadukan (Laila & Hendri, 2008). Konsentrasi larutan yang tinggi akan

menyebabkan proses ekstraksi akan berjalan dengan baik dan akan semakin banyak mineral

dan protein yang terlepas. Namun untuk beberapa proses sudah ada konsentrasi larutan yang

optimal. Semakin lama waktu reaksi antara larutan dengan bahan maka akan semakin banyak

protein dan mineral yang larut dan akan menghasilkan kitin dalam jumlah banyak. Suhu

tinggi juga akan mempercepat laju ekstraksi (Lehninger, 1975). Pengadukan yang cepat akan

menyebabkan suhu dan derajat deasetilasi meningkat dan rendemen yang dihasilkan pun

banyak (Reece & Mitchell, 2003).

Warna kitin kitosan yang dihasilkan adalah putih kekuningan. Padahal menurut Wang et al.

(2010) warna pada kitin adalah putih. Warna yang tidak sesuai ini dapat disebabkan karena

kesemua tahapan proses belum terjadi secara maksimal. Misalnya pada tahap dimana proses

produksi kitosan dilakukan dengan proses deasetilasi balik (refluks) kitin dalam larutan

NaOH dengan perbandingan NaOH dan kitin adalah 20:1. Proses ini dilakukan pada suhu

60C dengan waktu selama 8 jam dan pada suhu 100oC dalam waktu 4 jam (Bastaman,

1989).. Namun lama waktu pemanasan pada praktikum ini tidak sesuai dengan teori karena

memperhitungkan efisiensi waktu. Perbedaan waktu ini akan mempengaruhi optimalisasi

kitosan yang diekstrak dan juga karena masih ada protein dan mineral yang belum hilang

maka warnanya masih kekuningan. Selain itu kebersihan alat-alat yang digunakan juga

mempengaruhi warna akhir kitin dan kitosan. Jika masih terdapat kotoran yang melekat

dalam peralatan yang digunakan maka dapat mempengaruhi warna produk.

Page 14: Kitin Dan Kitosan_Beatrix R Restiani_13.70.0182_C5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

13

4. KESIMPULAN

Limbah udang dapat diubah menjadi kitin dan kitosan yang mempunyai nilai ekonomis

lebih tinggi.

Kulit udang dapat dimanfaatkan menjadi produk lain karena di dalamnya terkandung

kalsium karbonat dengan presentasi tertinggi sebesar 45-50%, protein sebesar 25-40%,

dan kitin sebesar 15-20%.

Kitin adalah homopolimer yang tersusun atas N-asetil-D-glukosamine yang terikat

dengan ikatan beta 1,4

Kitosan adalah polisakarida hasil deatilasi kitin yang tersusun atas N-amino-2 deoksi

beta-D glukopiranosa

Tahap-tahap pembuatan kitin dan kitosan adalah demineralisasi, deproteinasi, dan

deasetilasi.

Fungsi HCl dalam proses demineralisasi adalah untuk menghilangkan mineral dalam

limbah dengan cara berikatan dengan limbah dan mengubahnya menjadi bentuk CaCl2.

Fungsi NaOH 3,5% dalam tahap deproteinasi adalah untuk merenggangkan ikatan antar

komponen di dalam kitin sehingga saat proses selanjutnya gugus asetil dapat terhidrolisis.

Fungsi NaOH dalam tahap deasetilasi adalah untuk memutuskan ikatan gugus karboksil

dengan atom nitogen sehingga akan terjadi deasetilasi dimana gugus asetamida berubah

menjadi gugus amida.

Konsentrasi HCl optimum adalah 1 N.

Semakin tinggi konsentrasi NaOH maka rendemen kitosan akan semakin tinggi

Semakin tinggi suhu proses maka proses akan berlangsung dengan lebih cepat dan

optimal.

Semakin tinggi konsentrasi larutan rendemen kitin dan kitosan yang dihasilkan akan

semakin tinggi.

Warna kitin dan kitosan adalah putih kekuningan.

Semarang, 20 Oktober 2015

Praktikan Asisten Dosen

Beatrix R Restiani Tjan, Ivana Chandra

13.70.0182

Page 15: Kitin Dan Kitosan_Beatrix R Restiani_13.70.0182_C5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

14

5. DAFTAR PUSTAKA

Abun, Tjitjah Aisjah, dan Deny Saefulhadjar. (2007). Pemanfaatan Limbah Cair Ekstraksi

Kitin dari Kulit Udang Produk Proses Kimiawi dan Biologis Sebagai Imbuhan Pakan

dan Implikasinya terhadap Pertumbuhan Ayam Broiler.

http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/10/pemanfaatan_limbah_cair_eks

traksi_kitin1.pdf.

Angka SI dan Suhartono MT. 2000. Bioteknologi Hasil-hasil Laut. Bogor : PKSPL-IPB.

Arpah, M. (1993). Pengawasan Mutu Pangan. Tarselo. Bandung

Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan From

Prawn shell (Nephropsnorregicus). Thesis. The Departement of

Mechanical,Manufacturing, Aeronautical and Chemical Engineering. The Queen’s

University.Belfast. 143 p.

Cahyaningrum, S. E., Agustini, Herdyastuti. (2007). Pemakaian Kitosan Limbah Udang

Windu sebagai Matriks Pendukung pada Imobilisasi Papain. Jurusan Kimia, FMIPA,

Universitas Negeri Surabaya. Jurnal Akta Kimindo Vol. 2 No. 2 Oktober 2007: 93-

98.

Deshpande MV. (1986). Enzymatic degradation of chitin and its biological applications. J.

Sci. Ind. Res. 45, 273-281

Dunn, ET., EW. Grandmaison dan MFA. Goosen. (1997). Applications and properties of

chitosan. Di dalam MFA. Goosen (ed). Applications of Chitin and Chitosan.

Technomic Pub, Basel, p 3-30.

Dutta, Pradip Kumar; Joydeep Dutta; dan V. S. Tripathi. (2004). Chitin and Chitosan:

Chemistry, properties, and applications. Journal of Scientific and Industrial Research

Vol. 63 January 2004. pp 20-31.

Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry. Second Edition. Marcel Dekker, Inc., New York

Hargono; Abdullah & Indro Sumantri. (2008). Pembuatan Kitosan Dari Limbah Cangkang

Udang Serta Aplikasinya Dalam Mereduksi Kolesterol Lemak Kambing. Reaktor,

Vol. 12 No. 1, Juni 2008, Hal. 53-57. Fakultas Teknik UNDIP. Semarang.

Hartati, F.K., Susanto, T., Rakhmadiono, S., dan Lukito, A.S. (2002). Faktor- Faktor

yangBerpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi Menggunakan Enzim Protease

dalam Pembuatan Kitin dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). BIOSAIN,

VOL. 2, NO. 1 : 68-77.

Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin from

crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.

Hossain M. S & Iqbal A. (2014). Production and characterization of chitosan from shrimp

waste. J. Bangladesh Agril. Univ. 12(1): 153–160. ISSN 1810-3030

Page 16: Kitin Dan Kitosan_Beatrix R Restiani_13.70.0182_C5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

15

Khorrami M, Najafpour,G. D, Younesi H, dan Hosseinpour M. N. (2012). Production of

Chitin and Chitosan from Shrimp Shell in Batch Culture of Lactobacillus plantarum.

Chem. Biochem. Eng. Q. 26 (3) 217–223

Krishnaveni B. & Ragunathan R.(2015). Extraction and Characterization of Chitin and

Chitosan from F.solani CBNR BKRR, Synthesis of their Bionanocomposites and

Study of their Productive Application. Journal of Pharmaceutical Science and

Research. Vol 7(4), 197-205. ISSN:0975-1459

Laila, A & Hendri, J. (2008). Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media Pendukung

Amobilisasi Enzim α-Amilase.http://lemlit.unila.ac.id

/file/arsip%202009/SATEK%202008/VERSI%20PDF/bidang%203/41.pdf.

Lehninger, A.L. (1975). Biochemistry. 2nd Ed. Worth Publisher Inc., New York.

Marganov. (2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal,

Kadmium dan Tembaga) di Perairan. Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702),

Program Pasca Sarjana / S3, Institut Pertanian Bogor.

Mekawati, Fachriyah, E. dan Sumardjo, D. (2000). Aplikasi Kitosan Hasil tranformasi Kitin

Limbah Udang (Penaeus merguiensis) untuk Adsorpsi Ion Logam Timbal. Jurnal

Sains and Matematika, FMIPA Undip, Semarang, Vol. 8 (2), hal. 51-54 monitoring

of deacetylation processes.” J. Carbohyd. Res., 273:235-242

Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Muzzarelli, R. A. A. & M. G. Peter. (1997). Chitin Handbook. Eds., Atec, Grottammare,

Italy. ISBN 88-86889-01-1.

Ornum JV. (1992). Shrimp waste must it be wasted? Infofish (6)92.

Peter, Martin G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and Chitosan.

Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., Germany. Hlm. 629-639.

Prasetiyo, Kurnia Wiji. (2006). UPT Balai Litbang Biomaterial, Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia. Jakarta.

Puspawati, N. M dan I N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan

Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood menjadi Khitosan melalui Variasi

Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Volume 4. Halaman 70 – 90.

Ramadhan, L. O. A. N.; C. L. Radiman; D. Wahyuningrum; V. Suendo; L. O. Ahmad; dan

S.Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap

Derajat Deasetilasi serta Massa Molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia Vol. 5 (1),

2010, 4. 17-21.

Reece, C., dan Mitchell. (2003). Biologi, Edisi kelima-jilid 2. Penerbit Erlangga. Jakarta

Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company.

Page 17: Kitin Dan Kitosan_Beatrix R Restiani_13.70.0182_C5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

16

Rumengan I.F.M., Suryanto,E., Modaso R, Wullur

S, Tallei T.E, dan Limbong D. (2014).

Structural Characteristics of Chitin and Chitosan Isolated from the Biomass of

Cultivated Rotifer, Brachionus rotundiformis. International Journal of Fisheries and

Aquatic Sciences 3(1): 12-18, 2014 ISSN: 2049-8411

Subianto Y. (2001). Isolasi dan pemilahan bakteri termofilik penghasil enzim kitinase dan

kitin deasetilase dari isolate beberapa daerah di Indonesia [Skripsi]. Fateta IPB

Suharto, B. (1984). Pengaruh Perlakuan 1,5 % NaOH dan Pengukusan Terhadap Nilai Gizi

Bahan Pakan Berserat Kasar Tinggi. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan Universitas

Gadjah Mada, Yogyakarta.

Tang ZX, Shi L, Qian J. (2007). Neutral Lipase from Aqueous Solutions on Chitosan nano

particles. Journal Biochemical Engineering 34: 217-223.

Wang, Zhengke; Qiaoling Hu; Lei Cai. (2010). Chitin Fiber and Chitosan 3D Composite

Rods. International Journal of Polymer Science Volume 2010, Article ID 369759, 7

pages.

Younes Islem & Rinaudo Marguerite. (2015). Review : Chitin and Chitosan Preparation from

Marine Sources. Structure, Properties and Applications. Mar. Drugs, 13, 1133-1174

Page 18: Kitin Dan Kitosan_Beatrix R Restiani_13.70.0182_C5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

17

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

Rumus :

Rendemen Chitin I =

Rendemen Chitin II =

Rendemen Chitosan =

Kelompok C1

Rendemen Chitin I =

= 23,45 %

Rendemen Chitin II =

= 30,00 %

Rendemen Chitosan =

= 27,43 %

Kelompok C2

Rendemen Chitin I =

= 37,82 %

Rendemen Chitin II =

= 44 %

Rendemen Chitosan =

= 27,38 %

Kelompok C3

Rendemen Chitin I =

= 41,67 %

Rendemen Chitin II =

= 54,55 %

Rendemen Chitosan =

= 32,16 %

Kelompok C4

Rendemen Chitin I =

=40,00 %

Rendemen Chitin II =

= 58,3 %

Rendemen Chitosan =

= 24,30 %

Kelompok C5

Rendemen Chitin I =

= 21,19 %

Rendemen Chitin II =

= 40,32 %

Rendemen Chitosan =

= 11,25 %

6.2. Laporan Sementara

6.3. Diagram Alir

6.4. Abstrak Jurnal