kelainan anatomi hidung, fisiologi, komplikasi rhinosinusitis

15
A. Kelainan Hidung Akibat Kelainan Anatomi 1. Deviasi Septum Bentuk septum normal adalah lurus di tengah dan memisahkan dua jalan aliran udara pada hidung tetapi pada orang dewasa biasanya septum tidak lurus di tengah. Deviasi septum adalah suatu keadaan dimana ada pergeseran septum dari garis tengah. Deviasi septum yang ringan (1 atau 2 mm) masih dalam batas normal dan tidak akan mengganggu, akan tetapi bila deviasi itu cukup berat, akan menyebabkan penyempitan pada salah satu sisi hidung Etiologi dan Patogenesis Etiologi yang paling lazim adalah trauma, yang mungkin intrauterus atau timbul selama persalinan atau bahkan selama masa kanak-kanak dini atau lebih lanjut1. Cedera selama masa pertumbuhan dan perkembangan mempunyai dampak yang lebih besar dibandingkan cedera serupa yang dialami setelah dewasa3. Penyebab lainnya adalah ketidakseimbangan pertumbuhan. Tulang rawan septum nasi terus tumbuh, meskipun batas superior dan inferior telah menetap. Diagnosis Diagnosis abnormalitas septum nasi dibuat berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis1. Gejala-gejala deformitas septum dapat tak ada atau bervariasi dari sangat ringan sampai obstruksi saluran pernapasan hidung bilateral yang nyata disertai pernapasan melalui mulut dan gambaran yang jauh dari hidung, termasuk tidur yang gelisah, mengorok, iritabilitas, dan gangguan kesejahteraan1. Pada anamnesis, keluhan yang paling sering muncul adalah sumbatan hidung1. Sumbatan bisa unilateral, dapat pula bilateral, sebab pada sisi deviasi terdapat hipotrofi konka, sedangkan pada sisi sebelahnya terjadi hipertrofi konka sebagai akibat mekanisme kompensasi. Perlu ditanyakan pada setiap orang yang menderita obstruksi saluran pernapasan hidung yang kronis, seberapa jauh keadaan tersebut mempengaruhi kehidupannya1. Penurunan aliran udara di dalam rongga hidung sebagai akibat adanya obstruksi menyebabkan gangguan penciuman2. Epitaksis (perdarahan dari hidung) juga merupakan manifestasi umum dari gangguan aliran udara di dalam cavum nasi. Hal ini terjadi sebagai akibat peningkatan turbulensi udara dan kecenderungan cavum nasi untuk menjadi kering sehingga memudahkan terjadinya perdarahan. Keluhan lainnya adalah rasa nyeri di kepala meskipun jarang terjadi1, dan nyeri di sekitar mata1. Pada pemeriksaan fisis, Tampilan luar dari hidung dapat memberikan petunjuk tentang apa yang terjadi pada struktur bagian dalam. Inspeksi pada rongga hidung akan memberikan kesan pergeseran septum ke salah satu sisi sehingga terjadi obstruksi pada salah satu sisi. Ujung kaudal septum atau area 1 dapat dilihat dan dipalpasi tanpa menggunakan peralatan yang mahal. Area 2

Upload: maisyah-nelzima

Post on 14-Dec-2014

181 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

telinga, hidung, tenggorok, kelAINan anatomi hidung, komplikasi rhinosinusitis, tht

TRANSCRIPT

Page 1: Kelainan Anatomi Hidung, Fisiologi, Komplikasi Rhinosinusitis

A. Kelainan Hidung Akibat Kelainan Anatomi

1. Deviasi Septum

Bentuk septum normal adalah lurus di tengah dan memisahkan dua jalan aliran

udara pada hidung tetapi pada orang dewasa biasanya septum tidak lurus di tengah.

Deviasi septum adalah suatu keadaan dimana ada pergeseran septum dari garis tengah.

Deviasi septum yang ringan (1 atau 2 mm) masih dalam batas normal dan tidak akan

mengganggu, akan tetapi bila deviasi itu cukup berat, akan menyebabkan penyempitan

pada salah satu sisi hidung

Etiologi dan Patogenesis

Etiologi yang paling lazim adalah trauma, yang mungkin intrauterus atau timbul

selama persalinan atau bahkan selama masa kanak-kanak dini atau lebih lanjut1. Cedera

selama masa pertumbuhan dan perkembangan mempunyai dampak yang lebih besar

dibandingkan cedera serupa yang dialami setelah dewasa3. Penyebab lainnya adalah

ketidakseimbangan pertumbuhan. Tulang rawan septum nasi terus tumbuh, meskipun

batas superior dan inferior telah menetap.

Diagnosis

Diagnosis abnormalitas septum nasi dibuat berdasarkan anamnesis dan

pemeriksaan fisis1. Gejala-gejala deformitas septum dapat tak ada atau bervariasi dari

sangat ringan sampai obstruksi saluran pernapasan hidung bilateral yang nyata disertai

pernapasan melalui mulut dan gambaran yang jauh dari hidung, termasuk tidur yang

gelisah, mengorok, iritabilitas, dan gangguan kesejahteraan1.

Pada anamnesis, keluhan yang paling sering muncul adalah sumbatan hidung1.

Sumbatan bisa unilateral, dapat pula bilateral, sebab pada sisi deviasi terdapat hipotrofi

konka, sedangkan pada sisi sebelahnya terjadi hipertrofi konka sebagai akibat mekanisme

kompensasi. Perlu ditanyakan pada setiap orang yang menderita obstruksi saluran

pernapasan hidung yang kronis, seberapa jauh keadaan tersebut mempengaruhi

kehidupannya1. Penurunan aliran udara di dalam rongga hidung sebagai akibat adanya

obstruksi menyebabkan gangguan penciuman2. Epitaksis (perdarahan dari hidung) juga

merupakan manifestasi umum dari gangguan aliran udara di dalam cavum nasi. Hal ini

terjadi sebagai akibat peningkatan turbulensi udara dan kecenderungan cavum nasi untuk

menjadi kering sehingga memudahkan terjadinya perdarahan. Keluhan lainnya adalah rasa

nyeri di kepala meskipun jarang terjadi1, dan nyeri di sekitar mata1.

Pada pemeriksaan fisis, Tampilan luar dari hidung dapat memberikan petunjuk

tentang apa yang terjadi pada struktur bagian dalam. Inspeksi pada rongga hidung akan

memberikan kesan pergeseran septum ke salah satu sisi sehingga terjadi obstruksi pada

salah satu sisi. Ujung kaudal septum atau area 1 dapat dilihat dan dipalpasi tanpa

menggunakan peralatan yang mahal. Area 2 atau area katup dapat diobservasi hanya

dengan menggunakan ujung spekulum hidung atau melihat dengan cahaya lampu senter ke

dalam regio katup. Abnormalitas lainnya pada area dan seperti deviasi, obstruksi,

Page 2: Kelainan Anatomi Hidung, Fisiologi, Komplikasi Rhinosinusitis

impaksi, dan kompresi konka media dapat mudah dilihat setelah dilakukan dekongesti

topikal atas struktur intranasal1.

Diagnosis Banding

Sebagai diagnosis banding adalah sejumlah keadaan yang menyebabkan obstruksi

saluran pernapasan yang bersifat kronik diantaranya pembesaran mukosa hidung, rinitis

alergi kronik, risitis kronik vasomotor, polip hidung, sinusitis kronik, atresia koana,

adenoiditis kronik, dan deformitas hidung yang terkait dengan trauma

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan bervariasi dari tidak melakukan apa-apa bila pada hakekatnya

pasien asimtomatik, pemberian analgesik bila pasien menderita sakit kepala, dekongestan

untuk mengurangi sekret, antibiotik untuk mencegah infeksi sampai pembedahan septum

yang luas1. Aspek pentingnya seberapa jauhgejala tersebut mengganggu pasien1. Operasi

ini harus dilakukan oleh ahli yang mengetahui cara pembedahan saluran pernapasan

hidung1.

Pembedahan deviasi septum mempunyai indikasi primer obstruksi saluran

pernapasan hidung. Indikasi-indikasi lain timbul pada pasien yang mengalami epistaksis;

pada kasus ini septum perlu dioperasi untuk membuang deformitas dan mencapai lokasi

perdarahan1. Suatu operasi mungkin diperlukan karena deformitas ini merupakan

predisposisi bagi rinosinusitis berulang atau karena abnormalitas bermakna yang tidak

hanya mengganggu fungsi saluran pernapasan hidung dengan menimbulkan obstruksi

hidung tetapi juga menyebabkan gejala-gejala seperti nyeri kepala dan nyeri wajah1.

Indikasi lain bagi operasi septum nasi adalah untuk mencapai os sphenoidalis bagi lesi-lesi

di sinus sphenoidalis, atau untuk mencapai sella tursika dan kelenjar pituitaria. Lebih

lanjut, indikasi terpenting pembedahan septum nasi adalah obstruksi saluran pernapasan

hidung sewaktu bernapas1.

2. Polip Nasi

Polip yang multipel dapat timbul pada anak-anak dengan sinusitis kronik, rhinitis

alergi,fibrosis kistik atau sinuisitis jamur alergi. Polip sangat bervariasi pada setiap

individu, polip dapat berupa polip antro-koanal, polip jinak yang besar ataupun polip

multipel yang dapatmerupakan lesi jinak atau merupakan suatu keganasan seperti: glioma,

hemangioma,papiloma, limfoma, neuroblastoma, sarcoma, karsinoma nasofaring dan

papiloma inverted.

Tumbuhnya polip terutama di bagian-bagian sempit di bagian atas hidung, di bagian

lateralkonka media, dan sekitar muara sinus maksila dan sinus etmoid. Di tempat inilah

mukosahidung saling berdekatan. Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan endoskop,

mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat. Dari penelitian Stammberger didapati

80% polip nasi berasaldari celah antara prosesus unsinatus, konka media dan

infundibulum.

Etiologi

Page 3: Kelainan Anatomi Hidung, Fisiologi, Komplikasi Rhinosinusitis

Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau reaksi

alergi padamukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan polip hidung belum

diketahui denganpasti tetapi ada keragu-raguan bahwa infeksi dalam hidung atau sinus

paranasal seringkaliditemukan bersamaan dengan adanya polip. Polip berasal dari

pembengkakan lapisanpermukaan mukosa hidung atau sinus, yang kemudian menonjol dan

turun ke dalam ronggahidung oleh gaya berat. Polip banyak mengandung cairan

interseluler dan sel radang(neutrofil dan eosinofil) dan tidak mempunyai ujung saraf atau

pembuluh darah. Polip biasanya ditemukan pada orang dewasa dan jarang pada anak-anak.

Pada anak-anak, polipmungkin merupakan gejala dari kistik fibrosis.

Yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya polip antara lain :

- Alergi terutama rinitis alergi

- Sinusitis kronik.

- Iritasi.

- Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan hipertrofi

konka

Diagnostik

Anamnesis

Keluhan utama penderita polip nasi ialah hidung rasa tersumbat dari yang ringan

sampai berat, rinore mulai yang jernih sampai purulen, hiposmia atau anosmia. Mungkin

disertai bersin-bersin, rasa nyeri pada hidung disertai sakit kepala di daerah frontal. Bila

disertai infeksi sekunder mungkin didapati post nasal drip dan rinore purulen. Gejala

sekunder yang dapat timbul ialah bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis,

gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup.

Pemeriksaan Fisik

Polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung

tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior

terlihat sebagai massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah

digerakkan.

Penatalaksanaan

Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi ialah menghilangkan keluhan-

keluhan yang dirasakan oleh pasien. Selain itu juga diusahakan agar frekuensi infeksi

berkurang, mengurangi/menghilangkan keluhan pernapasan pada pasien yang disertai

asma, mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip.

Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga polipektomi

medikamentosa. Untuk polip stadium 1 dan 2, sebaiknya diberikan kortikosteroid

intranasal selama 4-6 minggu. Bila reaksinya baik, pengobatan ini diteruskan sampai polip

atau gejalanya hilang. Bila reaksinya terbatas atau tidak ada perbaikan maka diberikan

juga kortikosteroid sistemik. Perlu diperhatikan bahwa kortikosteroid intranasal mungkin

harganya mahal dan tidak terjangkau oleh sebagian pasien, sehingga dalam keadaan

Page 4: Kelainan Anatomi Hidung, Fisiologi, Komplikasi Rhinosinusitis

demikian langsung diberikan kortikosteroid oral. Kasus polip yang tidak membaik dengan

terapi medikamentosa atau polip yang sangat masif dipertimbangkan untuk terapi bedah. 

3. Hipertrofi Konka

Etiologi

Penyebab hipertrofi konka adalah rhinitis alergi dan non alergi (vasomotor rhinitis)

dan kompensasi dari

septum deviasi kontralateral.

Patofisiologi

Pada edema mukosa nasal berperan sitem saraf simpatis dan parasimpatis dari

nervus vidian yang juga berperan dalam memproduksi sekret. Nervus vidian berasal dari

nervus petrosal superfisial untuk komponen parasimpatis, sedangkan komponen simpatis

berasal dari nervus petrosal profunda.

Diagnostik

Hipertrofi konka dapat dinilai dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Gejala pada hipertrofi konka adalah hidung tersumbat.

Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior didapatkan hipertrofi konka. Sistem simpatis

mengatur aliran darah ke mukosa hidung dengan mengatur resistensi pembuluh darah.

Peningkatan resistensi pembuluh darah akan mengakibatkan aliran darah sedikit ke

mukosa dan menyebabkan dekongesti. Tekanan simpatis ke pembuluh darah hidung

sebagian dipengaruhi oleh tekanan parsial karbon dioksida (pCO2) melalui kemoreseptor

karotis dan aorta. Sedangkan parasimpatis mengatur volume darah pada mukosa hidung

dengan mempengaruhi kapasitas pembuluh darah. Rangsangan parasimpatis merelaksasi

pembuluh darah dan kongesti dan bahkan edema pada jaringan lunak.

Tatalaksana

Penatalaksanaan hipertrofi konka dapat berupa terapi medikamentosa dan

pembedahan. Pada kasus akut dimana pembesaran konka terjadi karena pengisian dari

sinus venosus sehingga pembesaran konka dapat dikecilkan dengan pemberian

dekongestan topikal. Terapi medikamentosa meliputi pemberian antihistamin,

dekongestan, kortikosteroid, sel mast stabilizer dan imunoterapi.

B. Fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah:

Fisiologis Hidung

1. Fungsi Respirasi

Page 5: Kelainan Anatomi Hidung, Fisiologi, Komplikasi Rhinosinusitis

Udara inspirasi yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Misalnya, pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada musim dingin sebaliknya. Suhu udara yang melalui hidung diatur hingga berkisar 37°C. Hal ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas. Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring di hidung oleh : a) rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, b) silia, c) palut lendir. Dengan gerakan silia ke arah anterior posterior, material yang tidak dibutuhkan yang telah menempel pada palut lendir akan dibawa ke oropharynx.

2. Fungsi Penghidu

Bagian sel olfaktori yang memberi respons terhadap rangsangan kimia olfaktori adalah silia. Substansi yang berbau mula-mula menyebar difus pada mucus yang menutupi silia. Aktivasi reseptor oleh bau dapat mengaktivasi kompleks protein-G. Hal ini kemudian mengaktivasi banyak molekul adenilil siklase di dalam membrane sel olfaktori, yang kemudian menyebabkan pembentukan banyak molekul cAMP sampai berkali-kali. Dan akhirnya, cAMP membuka saluran ion Natrium yang masih banyak tersisa. Pembukaan saluran ion tersebut menyebabkan depolarisasi sel sehingga terbentuk potensial aksi yang segera dibawa ke susunan saraf pusat untuk diartikan. Syarat substansi yang dapat merangsang sel-sel olfaktori antara lain mudah menguap, harus bersifat larut dalam air, dan sedikit sekali larut dalam lemak.

3. Fungsi Fonetik 

Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan

menyanyi, Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang

sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).

4. Refleks Nasal 

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan nafas berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pancreas.

Fisiologi Sinus Paranasal

Fisiologi dan fungsi dari sinus banyak menjadi penelitian. Sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka.

Page 6: Kelainan Anatomi Hidung, Fisiologi, Komplikasi Rhinosinusitis

Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi dari sinus paranasal antara lain:

1. Sebagai pengatur kondisi udara (air connditioning).

Sinus berfungsi sebagai ruangan tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata tidak terdapat pertukaran udara di dalam sinus dan rongga hidung. Volume pertukaran dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 voulume sinus tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.

2. sebagai penahan suhu (thermal isolators)

Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berbeda-beda. Akan tetapi kenyataannya sinus-sinus tidak terletak diantara hidung dan organ-organ yang dilindunginya.

3. Membantu keseimbangan kepala.

Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak bermakna.

4. Meresonansi suara.

Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Lagipula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.

5. Peredam perubahan tekanan udara.

Fungsi ini berjalan jika ada perubahan tekanan yang beasar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin dan mebuang ingus.

6. Membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung.

Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal jumlahnya kesil bila dibandingkan dengan mukus yang dihasilkan dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus media, tempat yang paing strategis.

C. Komplikasi Rhinosinusitis

1. Komplikasi lokal

Page 7: Kelainan Anatomi Hidung, Fisiologi, Komplikasi Rhinosinusitis

a. OsteomielitisInfeksi sinus dapat menjalar hingga struktur tulang mengakibatkan osteomielitis baik di

anterior maupun posterior dinding sinus. Penyebaran infeksi dapat berasal langsung atau dari vena yang berasal dari sinus. Osteomielitis paling banyak ditemukan pada dinding sinus frontal. Sekali tulang terinfeksi, bisa menyebabkan erosi pada tulang tersebut dan mempermudah terjadinya penyebaran infeksi di bawah subperiosteum yang berujung pembentukan abses subperiosteal. Erosi bisa mempengaruhi bagian anterior atau posterior dari dasar sinus yang mempermudah terjadinya penyebaran ekstrakranial atau intrakranial. Jika abses subperiosteal berbatasan dengan dasar anterior dari tulang frontal itudisebut dengan Pott`s puffy tumor. Pasien dengan Pott`s puffy tumor selalu muncul pada usia lebih dari 6 tahun karena sinus frontalis belum terbentuk padausia di bawah 6 tahun.

a. EtiologiOsteomielitis yang disebabkan karena komplikasi dari sinusitis memiliki

organisme yang sama dengan penyebab sinusitis itu sendiri. Organisme tersering adalah Staphylococcus, Streptococcus dan bakteri anaerob.

b. Gejala KlinisGejala klinis antara lain nyeri dan nyeri tekan dahi setempat sangat berat,gejala

sistemik berupa sakit kepala, malaise, demam, dan menggigil. Pembengkakan diatas alis mata juga lazim terjadi dan bertambah hebat bilaterbentuk abses subperiosteal, terbentuk edema supraorbita dan mata menjaditertutup. Timbul fluktuasi dan tulang menjadi sangat nyeri tekan. Jika disertaidengan Pott`s puffy tumor juga ditemukan penonjolan pada dahi

c. DiagnosisDiagnosis ditegakkan dengan gambaran radiografi dimana tidak hanyauntuk

mengkonfirmasi, tapi juga untuk mencari komplikasi intrakranial.Radiogram dapat memperlihatkan erosi batas-batas tulang dan hilangnya septaintrasinus dalam sinus yang keruh. Pada stadium lanjut, radiogram memperlihatkan gambaran seperti “digerogoti rayap” pada batas-batas sinus,menunjukkan infeksi telah meluas melampaui sinus. Dekstruksi tulang dan pembengkakan jaringan lunak, demikian pula cairan atau mukosa sinus yang membengkak paling baik dilihat dengan CT scan. Tes darah rutin seperti hitung sel memiliki nilai yang rendah dan tidak spesifik, tapi peningkatan laju endap darah mungkin mengindikasikan adanya osteomielitis.

d. PenatalaksanaanPenatalaksanaan dari osteomielitis adalah pemberian antibiotik intravenaselama

6-8 minggu. Antibiotik yang dipilih adalah antibiotik yang bisamengeradikasi kuman aerob dan anaerob. Terapi empirik yang biasa digunakanadalah kombinasi generasi

Page 8: Kelainan Anatomi Hidung, Fisiologi, Komplikasi Rhinosinusitis

ketiga sefalosporin (ceftriaxon) dan metronidazol atau klindamisin, dan dapat ditambahkan vankomisin, atau linezolid jika ada Streptococcus pneumonia yang telah resisten. Terapi oral dengan amoxicillin-clavulanat atau kombinasi cefixime dan metronidazol atau klindamisin juga bisadigunakan. Terapi pilihan sebaiknya sesuai dengan kultur. Jika ada abses, drainaseabses adalah terapi pilihan.

.b. Mukokel

Mukokel adalah penyakit kronis berupa lesi kistik yang mengandung mukus pada sinus paranasal. Mukokel tumbuh secara perlahan memakan waktut ahunan untuk menimbulkan keluhan. Dan keluhan berhubungan dengan bertambah besarnya mukokel. Sesuai dengan pertambahan besarnya, mukokel dapat menekan dinding sinus sehingga mengawali erosi tulang. Setelah terjadi erosi pada dinding sinus, mukokel dapat mengenai seluruh struktur. Mukokel kebanyakan terjadi pada sinus frontalis, diikuti dengan sinus etmoid dan maksila.Gejala dari sinus frontal atau etmoid dapat menyebabkan sakit kepala, diplopiadan proptosis. Bola mata yang proptosis secara khas berpindah ke arah bawah dan luar. Mukokel sinus maksilaris biasanya ditemukan secara tidak sengaja pada foto rongent sinus. Mukokel pada lokasi ini jarang menyebabkan gejala karena sinus maksilaris luas dan mukokel jarang menjadi cukup besar untuk menyebabkan kelainan pada tulang. Mukokel sinus maksilaris dapat menimbulkan gejala, jika menghambat ostium sinus maksilaris.

Mukokel dapat bergejala pada setiap sinus ketika mukokel terinfeksi membentuk mukopyocele. Gejalanya hampir samadengan mukokel meskipun lebih akut dan lebih berat. Diagnosis ditegakkan oleh CT scan sinus. Mukokel yang mempunyai gejala ditatalaksana dengan tindakan bedah mengangkat mukokel dan membersihkan sinus. Eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat semua mukosa yang terinfeksi dan berpenyakit serta memastikan suatu drainase yang baik, atau obliterasi sinus merupakan prinsip- prinsip terapi

 2. Infeksi OrbitaInfeksi orbita disebabkan oleh penetrasi ruang orbita saat operasi atau trauma,

kebanyakan disebabkan oleh bakteri yang menyebar dari sinus yangterinfeksi. Oleh karena ruang orbita dibatasi oleh beberapa sinus, seperti sinusfrontalis, etmoid, dan maksilaris, infeksi dari sinus tersebut berpotensial menyebar hingga ruang orbita. Sinus etmoid sangat mempengaruhi penyebaran infeksi keruang orbita. Hal ini dipengaruhi karena sangat eratnya hubungan antara dinding sinus dengan orbita. Dinding yang tipis menyebabkan infeksi lebih mudah menyebar. Sinus etmoid mempunyai dinding yang paling tipis, disebut lamina papyracea yang batas lateral dan medialnya adalah orbita. Sehingga infeksi pada orbita biasanya dimulai dari bagian medial. Walaupun jarang terjadi dinding sinus yang lebih tebal dapat juga menyebabkan infeksi orbita. Sekali infeksi menyebar melalui dinding sinus, batas periosteal dinding sinus berperan sebagaiBarrier tambahan untuk memproteksi orbita dari penyebaran infeksi. Jika terbentuk abses di antara dinding dengan periosteum, disebut abses subperiosteal. Jika periosteum rusak maka akan terbentuk abses orbita.

Page 9: Kelainan Anatomi Hidung, Fisiologi, Komplikasi Rhinosinusitis

DiagnosisPada sebuah artikel Chandler menyampaikan sebuah sistem klasifikasi dariinfeksi orbita

yang masih dapat digunakan hingga kini. Infeksi orbita dibagimenjadi lima grup berdasarkan progresifitasnya menjadi infeksi serius, yaitu :1.Selulitis preseptal (selulitis periorbita),

Yaitu simple cellulitis dari kelopak mata yang menyebabkan pembengkakan kelopak mata. Infeksi terbatas pada kulit di depan septum orbita. Terjadi peradangan atau reaksi edema yang ringan akibat infeksi sinus etmoidalis di dekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus etmoidalis seringkali merekah pada kelompok umur ini

2. Selulitis orbitaTerlihat sebagai edema difus dari garis batas orbita dan bakteritelah secara aktif

menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk. Selulitisini menyebabkan kelopak mata bengkak dan nyeri ketika otot ekstra okular bergerak. 3. Abses subperiosteal,

Ditandai oleh edema dari garis batas orbita dengan pengumpulan pus diantara periorbita dan dinding tulang orbita. Secara klinis pasien dengan kondisi ini mirip dengan grup dua, tetapi terdapat proptosisyang menonjol dan kemosis. 4. Abses orbita

Ditandai adanya abses pada rongga orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita. Pada tahap ini disertai gejala sisaneuritis optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokuler mata yang terserang dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.

5. Trombosis sinus kavernosus. Komplikasi ini merupakan akibat penyebaran bakteri melalui saluran vena ke dalam sinus

kavernosus di mana selanjutnya terbentuk suatu tromboflebitis septik. Secara patognomonik trombosis sinuskavernosus terdiri dari oftalmoplegia, kemosis konjungtiva, gangguan penglihatan yang berat, kelemahan pasien dan tanda-tanda meningitis olehkarena letak sinus kavernosus yang berdekatan dengan saraf kranial II, III, IV,dan VI, serta berdekatan juga dengan otak

Page 10: Kelainan Anatomi Hidung, Fisiologi, Komplikasi Rhinosinusitis

Gambar klasifikasi komplikasi infeksi orbita pada sinusitis

3. Komplikasi IntrakranialKomplikasi intrakranial sangat jarang, terjadi, hanya satu hingga 3 kalisetiap tahunnya.

Penggunaan antibiotik menurunkan insiden komplikasi ini.Komplikasi dari intrakranial meliputi (1) meningitis, (2) abses epidural, (3) absessubdural, (4) abses otak. Pasien pada umumnya memiliki lebih dari satu komplikasi intrakranial, seperti abses epidural/subdural terjadi bersamaan dengan abses otak atau meningitis.

Banyak studi yang telah memperlihatkan bahwa sejumlah besar komplikasi ini lebih sering terjadi pada pria (lebih dari 3 : 1 pria/wanita). Penyebab hal ini tidak diketahui secara pasti , tapi berlaku bahwa pada setiap golongan umur dan mungkin terkait dengan jenis kelamin, memiliki perbedaan anatomi dan drainase vena sinus.

Page 11: Kelainan Anatomi Hidung, Fisiologi, Komplikasi Rhinosinusitis

Gambar Lokasi komplikasi intrakranial dari sinusitis

e. PatogenesisPatogenesis dari komplikasi intrakranial ini mirip dengan terjadinya komplikasi

pada infeksi infraorbital. Infeksi intrakranial bisa berkembang dari penyebaran luas melalui invasi dinding sinus menuju tulang yang terkontaminasi,dan kemudian ke struktur intrakranial melalui osteitis atau cacat congenital ataudefek traumatik. Berbeda dengan infeksi orbital, metode tersering dari komplikasi intrakranial ini adalah melalui penyebaran emboli septik via vena diploik kalvaria dan tidak adanya katup pada sistem vena juga bertanggung jawab terhadap drainase dari wajah bagian tengah dan sinus paranasal.

Walaupun banyak komplikasi ini muncul bersamaan dengan pansinusitis, beberapa infeksi intrakranial muncul dari peradangan sinus yang spesifik. Meningitis sering muncul dari sinusitis etmoid atau sfenoid. Trombosis sinuscavernous juga berhubungan dengan sinusitis etmoidalis atau sfenoidalis. Sinusitis frontalis paling sering berhubungan dengan perkembangan abses ekstra aksial dan intraserebral.

f. Manifestasi KlinisManifestasi klinis komplikasi intrakranial sangat sulit untuk ditentukan,karena

biasanya penderita memiliki lebih dari satu komplikasi. Disamping itu,tanda dan gejala rinosinusitis juga saling tumpang tindih dengan gejala infeksiintrakranial. Sakit kepala di daerah frontal atau retro-orbital gejala yang palingsering muncul, terjadi kira-kira 70 % pada penderita dengan komplikasiintrakranial yang muncul akibat sinusitis. Kebanyakan dari pasien mengalamidemam (>38,5 C). Pasien juga memilki gejala peningkatan tekanan intrakranial,antara lain perubahan fungsi mental, muntah, dan fotofobia. Iritasi araknoidmungkin akan memperlihatkan adanya kekakuan nuchal. Gejala neurologik

Page 12: Kelainan Anatomi Hidung, Fisiologi, Komplikasi Rhinosinusitis

yangselanjutnya muncul akibat komplikasi ini adalah kejang, paresis fokal, dan palsi nervus kranial. Berikut ini beberapa gejala/tanda yang muncul dari infeksiintrakranial sebagai akibat dari komplikasi sinusitis.

g. DiagnosisSebelum menggunakan teknik neuroimaging dengan CT scan atau MRI,diagnosis

lesi desak ruang dari infeksi intrakranial pertama kali ditegakkan dari evaluasi gejala kilinik. CT scan dan MRI merupakan teknik pelengkap, dimanamasing-masingnya membantu memberikan informasi diagnostik dan jugamanajemen utama dari komplikasi intrakranial. CT scan bisa mendemonstrasikankebanyakan kasus supuratif intrakranial dan merupakan suatu teknik pilihan untukmengevaluasi keterlibatan tulang. CT scan merupakan modalitas imaging pertama untuk mengevaluasi dari komplikasi intrakranial yang berasal dari sinusitis. Danuntuk perencanaan dalam bedah sinus, karena CT scan memiliki kemampaunyang lebih untuk menggambarkan air-bone, dan air–soft tissues.

Di sisi lain, MRI memiliki resolusi yang lebih baik untuk patologi intrakranial dan memiliki akurasidiagnostik yang lebih tinggi dalam mendiagnostik infeksi intrakranial. Dalam salah satu studi yang membandingkan CT scan dan MRI dalam mendiagnostik komplikasi intrakranial dari sinusitis, CT scan mendiagnostik 36 dari 39 kasus(92%), sedangkan MRI 100 %. MRI juga mampu mendeteksi meningitis pada 17 kasus sedangkan CT scan hanya 3 kasus.

Penggunaan kontras pada CT scan merupakan kontraindikasi pada pasien dengan insufisiensi ginjal atau pada penderita yang alergi. Oleh karena itu MRImerupakan metode pertama yang digunakan sebagai alat diagnostik pada penderita insufisiensi ginjal atau penderita yang alergi terhadap kontras. Jika pada pasien tersebut MRI merupakan kontraindikasi, seperti adanya implantasi alat-alatyang bersifat magnetik atau kontraindikasi lainnya, pasien insufisiensi ginjal bisadiberikan terlebih dahulu renal protective sebelum penggunaan kontras.