kebutuhan psikososial
DESCRIPTION
kebutuhan dasar manusia, KEBUTUHAN PSIKOSOSIALTRANSCRIPT
1. KEBUTUHAN PSIKOSOSIAL
Konsep diri
o KD adalah Semua perasaan, kepercayaan dan nilai yang diketahui individu tentang
dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain.
o Berkembang secara bertahap, saat bayi mulai mengenal dan membedakan diri
dengan orang lain.
o Pembentukan KD dipengaruhi asuhan orang tua dan lingkungan.
o Tercapai aktualisasi diri ( Hirarkhi maslow) → Perlu KD yang sehat.
Komponen KD :
1. Body Image ( Citra tubuh)
o Sikap terhadap tubuh secara sadar dan tidak sadar
o Mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, dan fungsi penampilan
tubuh dulu dan sekarang
2. Ideal diri
o Persepsi individu → bagaimana harus berprilaku sesuai standar prilaku.
o Akan mewujudkan cita-cita dan harapan pribadi.
3. Harga diri (HD)
o Penilaian terhadap hasil yang dicapai dengan analisis → sejauh mana prilaku
memenuhi ideal diri.
o Sukses → HD tinggi, gagal → HD rendah
o HD diperolah dari diri sendiri dan orang lain.
4. Peran diri (PD).
o Pola sikap, prilaku nilai yang diharapkan dari seseorang berdasarkan posisinya di
masyarakat.
5. Identitas Diri
o Kesadaran akan dirinya sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian yang
merupakan sintesis dari semua aspek dari KD sebagai suatu kesatuan yang utuh.
Faktor yang mempengaruhi KD :
1. Tingkat perkembangan dan kematangan
Dukungan mental, perlakuan dan pertumbuhan anak
2. Budaya
Usia anak → nilai diadopsi dari orang tua.
3. Sumber eksternal dan internal
Eksternal → Dukungan masyarakat, ekonomi yang bagus.
Internal → humoris, agamis, berpendidikan
4. Pengalaman sukses dan gagal → meningkatkan/menurunkan KD.
5. Stresor
Stresor (perkawinan, pekerjaan baru, ujian, ketakutan, PHK, dll), jika koping tidak
efektif → depresi, menarik diri dan kecemasan.
6. Usia, keadaan sakit dan trauma → mempengaruhi persepsi diri
Kriteria Kepribadian sehat :
1. Citra tubuh yang positif dan kuat
2. ideal dan realitas
3. Konsep diri yang positif
4. Harga diri yang tinggi
5. Kepuasan penampilan peran
6. Identitas jelas.
Ciri konsep diri rendah (carpenito, 1995)
1. Menghindari sentuhan atau melihat bagian tubuh tertentu.
2. Tidak mau berkaca
3. Menghindari diskusi tentan topic dirinya.
4. Menolak usaha rehabilitasi.
5. Melakukan usaha sendiri dengan tidak tepat
6. Menginglari perubahan pada dirinya.
7. Peningkatan ketergantungan pada orang lain.
8. Adanya tanda keresahan seperti marah, putus asa, menangis.
9. Menolak berpartisipasi dalam perawatan diri.
10. Tingkah laku merusak, seperti penggunaan narkoba.
11. Menghindari kontak social.
12. Kurang percaya diri.
Kehilangan dan berduka
Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang
sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan
( limbert dan lambert, 1985 ).
Berduka adalah perasaan takut yang tidak jelas dan tidak didukung oleh situasi. ketika
kehilangan dan berduka terjadi, individu merasa tidak nyaman tanpa mengetahui
penyebab terancamnya emosi. kehilangan dan berduka akan menjadi masalah jika
menggangu perilaku adaptip, menyebabkan gejala visik dan menjadi berat bagi individu.
Kehilangan dibagi menjadi 2 tipe yaitu
1. Actual atau nyata yaitu kehilangan yang mudah dikenal atau diidentivikasi oleh orang
lain, misalnya amputasi, kematian orang yang sangat berarti / dicintai.
2. Persepsi hanya dialami oleh seseorang dan sulit untuk dapat dibuktikan, misalnya
seseorang yang berhenti bekerja / phk, menyebabkan perasaan kemandirian dan
kebebasannya menjadi menurun.
Sakarat dan kematian
1. Sakarat
Bimbingan rohani pasien merupakan bagian integral dari bentuk pelayanan kesehatan
dalam upaya pemenuhan kebutuhan bio-Psyco-Socio-Spritual ( APA, 1992 ) yang komprehensif,
karena pada dasarnya setiap diri manusia terdapat kebutuhan dasar spiritual ( Basic spiritual
needs, Dadang Hawari, 1999 ).
Pentingnya bimbingan spiritual dalam kesehatan telah menjadi ketetapan WHO yang
menyatakan bahwa aspek agama ( spiritual ) merupakan salah satu unsur dari pengertian
kesehataan seutuhnya (WHO, 1984). Oleh karena itu dibutuhkan dokter, terutama perawat
untuk memenuhi kebutuhan spritual pasien.
Perawat memiliki peran untuk memenuhi kebutuhan biologis, sosiologis, psikologis, dan
spiritual klien. Akan tetapi, kebutuhan spiritual seringkali dianggap tidak penting oleh perawat.
Padahal aspek spiritual sangat penting terutama untuk pasien yang didiagnosa harapan
sembuhnya sangat tipis dan mendekati sakaratul maut dan seharusnya perawat bisa menjadi
seperti apa yang dikemukakan oleh Henderson, “The unique function of the nurse is to assist the
individual, sick or well in the performance of those activities contributing to health or its recovery
(or to a peaceful death) that he would perform unaided if he had the necessary strength will or
knowledge”,maksudnya perawat akan membimbing pasien saat sakaratul maut hingga
meninggal dengan damai.
Biasanya pasien yang sangat membutuhkan bimbingan oleh perawat adalah pasien
terminal karena pasien terminal, pasien yang didiagnosis dengan penyakit berat dan tidak dapat
disembuhkan lagi dimana berakhir dengan kematian, seperti yang dikatakan Dadang Hawari
(1977,53) “orang yang mengalami penyakit terminal dan menjelang sakaratul maut lebih
banyak mengalami penyakit kejiwaan, krisis spiritual,dan krisis kerohanian sehingga pembinaan
kerohanian saat klien menjelang ajal perlu mendapatkan perhatian khusus”. Sehingga, pasien
terminal biasanya bereaksi menolak, depresi berat, perasaan marah akibat ketidakberdayaan
dan keputusasaan. Oleh sebab itu, peran perawat sangat dibutuhkan untuk mendampingi pasien
yang dapat meningkatkan semangat hidup klien meskipun harapannya sangat tipis dan dapat
mempersiapkan diri pasien untuk menghadapi kehidupan yang kekal.
Dalam konsep islam, fase sakaratul maut sangat menentukan baik atau tidaknya
seseorang terhadap kematiannya untuk menemui Allah dan bagi perawat pun akan dimintai
pertanggungjawabannya nanti untuk tugasnya dalam merawat pasien di rumah sakit. Dan fase
sakaratul maut adalah fase yang sangat berat dan menyakitkan seperti yang disebutkan
Rasulullah tetapi akan sangat berbeda bagi orang yang mengerjakan amal sholeh yang bisa
menghadapinya dengan tenang dan senang hati.
Ini adalah petikan Al-Quran tentang sakaratul maut,, ” Datanglah sakaratul maut
dengan sebenar-benarnya.”(QS.50:19). “ Alangkah dahsyatnya ketika orang-orang yang zalim
(berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul maut.” (QS. 6:93) Dalam Al-hadits tentang sakaratul
maut..
Al-Hasan berkata bahwa Rasulullah SAW pernah mengingatkan mengenai rasa sakit dan
duka akibat kematian. Beliau bertutur, “Rasanya sebanding dengan tiga ratus kali tebasan
pedang.” (HR.Ibn Abi ad-Dunya)
Begitu sakitnya menghadapi sakaratul maut sehingga perawat harus membimbing
pasien dengan cara-cara,seperti ini:
a. Menalqin(menuntun) dengan syahadat
Sesuai sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Talqinilah orang yang akan wafat di
antara kalian dengan, “Laa illaaha illallah”. Barangsiapa yang pada akhir ucapannya, ketika
hendak wafat, ‘Laa illaaha illallaah’, maka ia akan masuk surga suatu masa kelak, kendatipun
akan mengalami sebelum itu musibah yang akan menimpanya.” Perawat muslim dalam
mentalkinkan kalimah laaillallah dapat dilakukan pada pasien muslim menjelang ajalnya
terutama saat pasien akan melepaskan nafasnya yang terakhir sehingga diupayakan pasien
meninggal dalam keadaan husnul khatimah.
Para ulama berpendapat,” Apabila telah membimbing orang yang akan meninggal dengan satu
bacaan talqin, maka jangan diulangi lagi. Kecuali apabila ia berbicara dengan bacaan-bacaan
atau materi pembicaraan lain. Setelah itu barulah diulang kembali, agar bacaan La Ilaha Illallha
menjadi ucapan terakhir ketika menghadapi kematian. Para ulama mengarahkan pada
pentingnya menjenguk orang sakaratul maut, untuk mengingatkan, mengasihi, menutup kedua
matanya dan memberikan hak-haknya." (Syarhu An-nawawi Ala Shahih Muslim : 6/458)
1. Ciri-ciri pokok pasien yang akan melepaskan nafasnya yang terakhir, yaitu :
penginderaan dan gerakan menghilang secara berangsur-angsur yang dimulai pada anggota
gerak paling ujung khususnya pada ujung kaki, tangan, ujung hidung yang terasa dingin dan
lembab,
2. kulit nampak kebiru-biruan kelabu atau pucat.
3. Nadi mulai tak teratur, lemah dan pucat.
4. Terdengar suara mendengkur disertai gejala nafas cyene stokes.
5. Menurunnya tekanan darah, peredaran darah perifer menjadi terhenti dan rasa nyeri bila
ada biasanya menjadi hilang. Kesadaran dan tingkat kekuatan ingatan bervariasi tiap
individu. Otot rahang menjadi mengendur, wajah pasien yang tadinya kelihatan cemas
nampak lebih pasrah menerima.
Meninggal dengan membaca syahadat
b. Hendaklah mendo’akannya dan janganlah mengucapkan dihadapannya kecuali kata-kata yang
baik
Berdasarkan hadits yang diberitakan oleh Ummu Salamah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah bersabda. Artinya : “Apabila kalian mendatangi orang yang sedang sakit atau orang
yang hampir mati, maka hendaklah kalian mengucapkan perkataan yang baik-baik karena para
malaikat mengamini apa yang kalian ucapkan.” Maka perawat harus berupaya memberikan
suport mental agar pasien merasa yakin bahwa Allah Maha Pengasih dan selalu memberikan
yang terbaik buat hambanya, mendoakan dan menutupkan kedua matanya yang terbuka saat roh
terlepas dari jasadnya.
c. Berbaik Sangka kepada Allah
Perawat membimbing pasien agar berbaik sangka kepada Allah SWT, seperti di dalam hadits
Bukhari“ Tidak akan mati masing-masing kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah
SWT.” Hal ini menunjukkan apa yang kita pikirkan seringkali seperti apa yang terjadi pada kita
karena Allah mengikuti perasangka umatNya
d. Membasahi kerongkongan orang yang sedang sakaratul maut
Disunnahkan bagi orang-orang yang hadir untuk membasahi kerongkongan orang yang sedang
sakaratul maut tersebut dengan air atau minuman. Kemudian disunnahkan juga untuk
membasahi bibirnya dengan kapas yg telah diberi air. Karena bisa saja kerongkongannya kering
karena rasa sakit yang menderanya, sehingga sulit untuk berbicara dan berkata-kata. Dengan air
dan kapas tersebut setidaknya dapat meredam rasa sakit yang dialami orang yang mengalami
sakaratul maut, sehingga hal itu dapat mempermudah dirinya dalam mengucapkan dua kalimat
syahadat. (Al-Mughni : 2/450 milik Ibnu Qudamah)
e. Menghadapkan orang yang sakaratul maut ke arah kiblat
Kemudian disunnahkan untuk menghadapkan orang yang tengah sakaratul maut kearah kiblat.
Sebenarnya ketentuan ini tidak mendapatkan penegasan dari hadits Rasulullah Saw., hanya saja
dalam beberapa atsar yang shahih disebutkan bahwa para salafus shalih melakukan hal tersebut.
Para Ulama sendiri telah menyebutkan dua cara bagaimana menghadap kiblat :
1. Berbaring terlentang diatas punggungnya, sedangkan kedua telapak kakinya dihadapkan
kearah kiblat. Setelah itu, kepala orang tersebut diangkat sedikit agar ia menghadap kearah
kiblat.
2. Mengarahkan bagian kanan tubuh orang yang tengah sakaratul maut menghadap ke kiblat.
Dan Imam Syaukai menganggap bentuk seperti ini sebagai tata cara yang paling benar.
Seandainya posisi ini menimbulkan sakit atau sesak, maka biarkanlah orang tersebut
berbaring kearah manapun yang membuatnya selesai.
2. Kematian
Resusitasi mutakhir telah membawa perubahan-perubahan pada definisi kematian.
Mati klinis adalah henti nafas (tidak ada gerak nafas spontan) ditambah henti sirkulasi
(jantung) total dengan semua aktivitas otak terhenti, tetapi tidak ireversibel. Pada
masa dini kematian inilah, pemulaian resusitasi dapat diikuti dengan pemulihan
semua fungsi sistem organ vital termasuk fungsi otak normal, asalkan diberi terapi
optimal.
Mati biologis (kematian semua organ) selalu mengikuti mati klinis bila tidak
dilakukan resusitasi jantung paru (RJP) atau bila upaya resusitasi dihentikan. Mati
biologis merupakan proses nekrotisasi semua jaringan, dimulai dengan neuron otak
yang menjadi nekrotik setelah kira-kira 1 jam tanpa sirkulasi, diikuti oleh jantung,
ginjal, paru dan hati yang menjadi nekrotik selama beberapa jam atau hari.
Pada kematian, seperti yang biasa terjadi pada penyakit akut atau kronik yang berat,
denyut jantung dan nadi berhenti pertama kali pada suatu saat, ketika tidak hanya
jantung, tetapi organisme secara keseluruhan begitu terpengaruh oleh penyakit
tersebut sehingga tidak mungkin untuk tetap hidup lebih lama lagi. Upaya resusitasi
pada kematian normal seperti ini tidak bertujuan dan tidak berarti.
Henti jantung (cardiac arrest) berarti penghentian tiba-tiba kerja pompa jantung pada
organisme yang utuh atau hampir utuh. Henti jantung yang terus berlangsung sesudah
jantung pertama kali berhenti mengakibatkan kematian dalam beberapa menit.
Dengan perkataan lain, hasil akhir henti jantung yang berlangsung lebih lama adalah
mati mendadak (sudden death). Diagnosis mati jantung (henti jantung ireversibel)
ditegakkan bila telah ada asistol listrik membandel (intractable, garis datar pada
EKG) selama paling sedikit 30 menit, walaupun telah dilakukan RJP dan terapi obat
yang optimal.
Mati serebral (kematian korteks) adalah kerusakan ireversibel (nekrosis) serebrum,
terutama neokorteks. Mati otak (MO, kematian otak total) adalah mati serebral
ditambah dengan nekrosis sisa otak lainnya, termasuk serebelum, otak tengah dan
batang otak.
Mati sosial (status vegetatif yang menetap, sindroma apalika) merupakan kerusakan
otak berat ireversibel pada pasien yang tetap tidak sadar dan tidak responsif, tetapi
mempunyai elektroensefalogram (EEG) aktif dan beberapa refleks yang utuh. Ini
harus dibedakan dari mati serebral yang EEGnya tenang dan dari mati otak, dengan
tambahan ketiadaan semua refleks saraf otak dan upaya nafas spontan. Pada keadaan
vegetatif mungkin terdapat daur sadar-tidur.
Kapan seseorang dinyatakan mati
Bila fungsi jantung dan paru berhenti, kematian sistemik atau kematian sistem
tubuh lainnya terjadi dalam beberapa menit, dan otak merupakan organ besar pertama
yang menderita kehilangan fungsi yang ireversibel, karena alasan yang belum jelas.
Organ-organ lain akan mati kemudian.
Sesudah tahun 1960 an, dengan penggunaan ventilasi buatan dan cara-cara
bantuan lain pada kasus-kasus kerusakan otak akibat trauma atau sebab lain, bila
kemudian kerusakan ini terbukti ireversibel, jantung kadang-kadang dapat terus
berdenyut selama 1 pekan atau lebih, atau bahkan sampai 14 hari, dengan sebagian besar
otak mengalami dekomposisi. Dengan kondisi seperti ini jantung dapat terus berdenyut
sampai 32 hari (pada seorang anak umur 5 tahun).
Penghentian ireversibel semua fungsi otak disebut mati otak (MO). Penghentian
total sirkulasi ke otak normotermik selama lebih dari 10 menit tidak kompatibel dengan
kehidupan jaringan otak. Jadi penghentian fungsi jantung mengakibatkan MO dalam
beberapa menit, sedangkan penghentian fungsi otak mengakibatkan kehilangan fungsi
jantung dalam beberapa jam atau hari.
Kebanyakan kalangan yang berwenang dalam kedokteran dan hukum sekarang ini
mendefinisikan kematian dalam pengertian MO walaupun jantung mungkin masih
berdenyut dan ventilasi buatan dipertahankan. Akan tetapi banyak pula yang memakai
konsep MBO sebagai pengganti MO dalam penentuan mati. Menurut pernyataan IDI
1988, seseorang dinyatakan mati bila a) fungsi spontan pernafasan dan jantung telah
berhenti secara pasti atau b) telah terbukti terjadi MBO. Secara klasis dokter menyatakan
mati berdasarkan butir a tersebut dan ini dapat dilakukan di mana saja, di dalam atau di
luar rumah sakit.
Bahwa fungsi spontan nafas dan jantung telah berhenti secara pasti, dapat
diketahui setelah kita mencoba melakukan resusitasi darurat. Pada resusitasi darurat, di
mana kita tidak mungkin menentukan MBO, seseorang dapat dinyatakan mati bila 1)
terdapat tanda-tanda mati jantung atau 2) terdapat tanda-tanda klinis mati otak yaitu
bilamana setelah dimulai resusitasi, pasien tetap tidak sadar, tidak timbul pula nafas
spontan dan refleks muntah (gag reflex) serta pupil tetap dilatasi selama 15-30 menit atau
lebih, kecuali kalau pasien hipotermik, di bawah pengaruh barbiturat atau anestesia
umum.
Menurut Peraturan Pemerintah RI no 18 tahun 1981, tentang bedah mayat klinis
dan bedah mayat anatomis serta transplantasi alat atau jaringan tubuh manusia,
meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli-ahli kedokteran yang
berwenang bahwa fungsi otak, pernafasan dan denyut jantung seseorang telah berhenti.
Menurut penulis, batasan mati ini mengandung 2 kelemahan. Yang pertama, pada henti
jantung (cardiac arrest) fungsi otak, nafas dan jantung telah berhenti, namun sebetulnya
kita belum dapat menyatakan mati karena pasien masih mungkin hidup kembali bila
dilakukan resusitasi. Yang kedua, dengan adanya kata-kata “denyut jantung telah
berhenti”, maka ini justru kurang menguntungkan untuk transplantasi, karena perfusi ke
organ-organ telah berhenti pula, yang tentunya akan mengurangi viabilitas
jaringan/organ.
Diagnosis MBO
Diagnosis MBO barangkali merupakan diagnosis paling penting yang pernah
dibuat oleh dokter, karena bila telah dipastikan, normalnya ventilator akan dilepaskan
dari pasien dan henti jantung akan terjadi tidak lama kemudian. Jadi, diagnosis ini
merupakan ramalan yang terlaksana dengan sendirinya (self-ful filling prophecy).
Kebanyakan dokter yang merawat dapat membenarkan dilepaskannya ventilator dari
pasien, karena meneruskan ventilasi mekanis memberikan stres bagi famili pasien dan
staf perawatan. Selain itu, “terapi” yang diteruskan secara tidak langsung menyatakan
bahwa pemulihan masih dimungkinkan dan memberi famili pasien harapan palsu. Namun
ventilasi yang diteruskan selama periode yang singkat sesudah diagnosis MBO
memungkinkan perolehan organ kualitas bagus untuk tujuan transplantasi dan seringkali
dilakukan.
Penerimaan batang otak sebagai sumber kehidupan dan penghentian ventilasi
sebagai akibat diagnosis MBO potensial sulit bagi orang awam untuk menerimanya.
Tidaklah mudah untuk memberitahu famili pasien, yang berwarna merah, hangat dan
kelihatannya bernafas dengan nyaman pada ventilator, mati. Bahkan lebih sulit lagi jika
famili pasien melihat gerakan pasien yang dinyatakan dokter timbul pada tingkat spinal
dan tidak mengindikasikan fungsi otak. Masyarakat di negara maju seperti Inggris sangat
mempercayai dokter dan biasanya tidak dijumpai kesulitan tatkala dibuat diagnosis
MBO.
Sekarang ini sudah dapat diterima bahwa batang otak, dan bukan seluruh otak,
pengatur respirasi dan stabilitas kardiovaskular. Diyakini bahwa untuk mendapatkan
kesadaran harus ada kontinyuitas neuronal antara sistem saraf periferal dan korteks. Bila
batang otak yang menghubungkan keduanya mati, kontinyuitas sistem yang diaktifkan
oleh retikular terganggu dan tidak dapat timbul kesadaran.
Diagnosis MBO dan petunjuknya dapat dilihat pada fatwa IDI tentang MBO.
Diagnosis MBO mempunyai dua komponen utama. Komponen pertama terdiri dari
pemenuhan prasyarat-prasyarat dan komponen kedua adalah tes klinik fungsi batang
otak.
Prasyarat. Prasyarat-prasyarat dapat dilihat pada tabel 1. Pada hakekatnya
sebelum melakukan tes klinis, dokter harus menetapkan tanpa keraguan bahwa pasien
komatous dan bergantung pada ventilator dan mempunyai kondisi yang konsisten dengan
koma ireversibel dan hilangnya fungsi batang otak. Pasien dengan MBO tidak dapat
bernafas. Dokter-dokter yang tidak familiar dengan diagnosis MBO kadang-kadang
menyarankan dokter seniornya untuk melakukan testing pada pasien yang tidak
bergantung pada ventilator dengan cedera berat. Fenomena ini menonjolkan tiga hal.
Pertama dokter-dokter yang bekerja di ICU perlu lebih dahulu mengkaji langkah-langkah
untuk menegakkan diagnosis MBO sesuai fatwa IDI yang memang belum
tersosialisasikan dengan baik, agar jangan sampai melewatkan langkah-langkah yang
harus dijalani sebelum melakukan testing arefleksia batang otak. Kedua adalah adanya
kenyataan bahwa beberapa pasien menderita cedera otak berat yang akhirnya
inkompatibel dengan kehidupan yang lama, namun kausa kematiannya bukanlah MBO.
Beratnya cedera otak pada pasien-pasien ini dapat mengindikasikan keputusan untuk
menghentikan terapi aktif atau membatasi terapi aktif. Keputusan penghentian atau
limitasi terapi individual untuk tiap pasien dan sangat kontras dengan diagnosis MBO
yang identik bagi semua pasien. Hal ketiga adalah perlunya tanpa keraguan memantapkan
diagnosis cedera otak ireversibel yang cukup untuk menyebabkan koma apneik.
Diagnosis yang kompatibel adalah cedera kepala, perdarahan subarakhnoid, perdarahan
intraserebral, tenggelam dan henti jantung. Penegakan diagnosis memerlukan anamnesis
yang cukup dan pemeriksaan klinis serta investigasi (biasanya CT Scan). Kausa koma
yang reversibel yang menyulitkan diagnosis primer harus pula disingkirkan. Khususnya
sedatif, analgetik dan pelumpuh otot hendaknya disingkirkan, sebagai kausa
ketidaksadaran atau arefleksia. Pasien hendaknya mempunyai suhu sentral lebih dari
35C. Intoksikasi obat, hipotermia, gangguan metabolik atau endokrin, semua dapat
menyebabkan perubahan berat pada fungsi batang otak, namun reversibel. MBO tidak
boleh dipertimbangkan bila terdapat kondisi-kondisi ini, baik sebagai penyebab koma
primer ataupun faktor penunjang.
Elektrolit, gula darah dan gas darah arterial hendaknya diperiksa dan gangguan
yang cukup untuk menyebabkan koma hendaknya diatasi. Selain itu, upaya yang
sungguh-sungguh harus sudah dikerjakan untuk mengatasi efek-efek edema serebri,
hipoksia dan syok. Sebagai konsekuensi, untuk memenuhi prasyarat-prasyarat,
diperlukan waktu dan tidaklah biasa untuk menegakkan diagnosis MBO sebelum 24 jam
perawatan di rumah sakit. Seringkali pasien sudah dirawat di rumah sakit jauh lebih lama.
CT Scan bermanfaat tidak saja untuk mengetahui kausa MBO, tetapi juga untuk
memperlihatkan efek herniasi lewat tentorium dan foramina magnum. Kompresi arteri
dan vena mengakibatkan edema sitotoksik dan tekanan intrakranial dapat meningkat
akibat terhalangnya drainase cairan serebrospinal oleh sumbatan aquaduktus atau ruang
subarakhnoid. Perubahan–perubahan ini menyebabkan herniasi berlanjut dan posisi otak
menurun. Penurunan ini begitu besar sehingga cabang-cabang arteri basilaris (yang
mendarahi batang otak) teregang dan mengakibatkan perdarahan intraparenkimal dan
memperparah edema. Interpretasi perubahan–perubahan ini pada seksi aksial tradisional
CT Scan memerlukan pengalaman. Herniasi otak, bagi dokter nonradiologis, paling
mudah dilihat pada citra CT koronal. Untuk contoh grafik edema otak ireversibel dan
herniasi, pembaca dianjurkan untuk membaca buku Plum dan Posner; The Diagnosis of
Stupor and Coma.
Dalam membuat diagnosis MBO kadang-kadang dijumpai kesukaran (lihat tabel
2). Bila dokter yang bertugas masih ragu-ragu mengenai: a) diagnosis primer, b) kausa
disfungsi batang otak yang reversibel (obat atau gangguan metabolik), c) kelengkapan tes
klinis, maka hendaknya jangan dibuat diagnosis MBO.
Tes klinis. Sebelum melakukan tes formal, kita harus memastikan bahwa pasien
tidak menunjukkan postur abnormal (deserebrasi dan dekortikasi) dan tidak mempunyai
refleks okulo-sefal aktif (fenomena mata kepala boneka) atau aktivitas kejang. Bila ada
salah satu gejala tersebut, pasti terjadi hantaran impuls saraf lewat batang otak dan
selanjutnya tes tidak diperlukan dan tidak tepat untuk dilakukan. Batang otak berarti
masih hidup. Tes formal fungsi batang otak dilaksanakan di samping tempat tidur dan
memerlukan demonstrasi apnea dalam keadaan hiperkarbia dan tidak adanya refleks
batang otak. Peralatan canggih tidak diperlukan selain analisis gas darah. Tes ini sendiri
mudah dilakukan, hanya memerlukan waktu beberapa menit dan hasilnya jelas. Bila
memang tanda-tanda fungsi batang otak yang hilang di atas ada semua, maka hendaknya
secara sistematis diperiksa 5 refleks batang otak (lihat tabel 3). Kelima refleks harus
negatif sebelum diagnosis MBO ditegakkan. Tes terhadap refleks-refleks batang otak
dapat menilai integritas fungsional batang otak dengan cara yang unik. Tidak ada daerah
otak lainnya yang dapat diperiksa sepenuhnya seperti ini. Ini menguntungkan karena
konsep mati yang baru secara tak langsung menyatakan bahwa semua yang berarti bagi
kehidupan manusia bergantung pada integritas jaringan yang hanya beberapa sm ini. Tes
ini mencari ada atau tidak ada respons, dan bukan gradasi fungsi. Ini mudah dilakukan
dan dapat dimengerti oleh setiap dokter atau perawat yang terlatih. Ini tidak bergantung
pada mesin, atau super spesialis.
Tes yang paling pokok untuk fungsi batang otak adalah tes untuk henti nafas (lihat tabel
4).
Namun, apnea dan arefleksia saraf kranial juga terjadi pada keadaan nonfatal lain
seperti ensefalitis batang otak dan sindroma Guillain-Barre’. Lagi-lagi perlu ditekankan
bahwa tes-tes jangan dilakukan bila prasyarat-prasyarat belum dipenuhi. Ini perlu
diperhatikan agar jangan sampai terjadi kesalahan prosedur sebab selalu ada saja laporan
kasus yang menggambarkan keadaan yang menyerupai MBO tetapi ternyata dapat pulih
kembali. Bila setiap kasus didekati secara sistematis, tidak akan terjadi kesalahan.
Masalah – masalah pada kebutuhan psikososial
Proses keperawatan pada masalah kebutuhan psikososial