kebutuhan psikososial rev

Upload: wiky-wijaksana

Post on 30-Oct-2015

200 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

revisi kebutuhan dasar manusia, KEBUTUHAN PSIKOSOSIAL

TRANSCRIPT

KEBUTUHAN PSIKOSOSIAL Konsep diri KD adalah Semua perasaan, kepercayaan dan nilai yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain. Berkembang secara bertahap, saat bayi mulai mengenal dan membedakan diri dengan orang lain. Pembentukan KD dipengaruhi asuhan orang tua dan lingkungan. Tercapai aktualisasi diri ( Hirarkhi maslow) Perlu KD yang sehat.

Komponen KD : 1. Body Image ( Citra tubuh) Sikap terhadap tubuh secara sadar dan tidak sadar Mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, dan fungsi penampilan tubuh dulu dan sekarang2. Ideal diri Persepsi individu bagaimana harus berprilaku sesuai standar prilaku. Akan mewujudkan cita-cita dan harapan pribadi.3. Harga diri (HD) Penilaian terhadap hasil yang dicapai dengan analisis sejauh mana prilaku memenuhi ideal diri. Sukses HD tinggi, gagal HD rendah HD diperolah dari diri sendiri dan orang lain.4. Peran diri (PD). Pola sikap, prilaku nilai yang diharapkan dari seseorang berdasarkan posisinya di masyarakat.5. Identitas Diri Kesadaran akan dirinya sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian yang merupakan sintesis dari semua aspek dari KD sebagai suatu kesatuan yang utuh.

Faktor yang mempengaruhi KD :

1. Tingkat perkembangan dan kematanganDukungan mental, perlakuan dan pertumbuhan anak2. BudayaUsia anak nilai diadopsi dari orang tua.3. Sumber eksternal dan internalEksternal Dukungan masyarakat, ekonomi yang bagus.Internal humoris, agamis, berpendidikan4.Pengalaman sukses dan gagal meningkatkan/menurunkan KD.5. StresorStresor (perkawinan, pekerjaan baru, ujian, ketakutan, PHK, dll), jika koping tidak efektif depresi, menarik diri dan kecemasan.6. Usia, keadaan sakit dan trauma mempengaruhi persepsi diri

Kriteria Kepribadian sehat :1. Citra tubuh yang positif dan kuat2. ideal dan realitas3. Konsep diri yang positif4. Harga diri yang tinggi5. Kepuasan penampilan peran6. Identitas jelas.

Ciri konsep diri rendah (carpenito, 1995)1. Menghindari sentuhan atau melihat bagian tubuh tertentu.2. Tidak mau berkaca3. Menghindari diskusi tentan topic dirinya.4. Menolak usaha rehabilitasi.5. Melakukan usaha sendiri dengan tidak tepat6. Menginglari perubahan pada dirinya.7. Peningkatan ketergantungan pada orang lain.8. Adanya tanda keresahan seperti marah, putus asa, menangis.9. Menolak berpartisipasi dalam perawatan diri.10. Tingkah laku merusak, seperti penggunaan narkoba.11. Menghindari kontak social.12. Kurang percaya diri.

Kehilangan dan berdukaKehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan ( limbert dan lambert, 1985 ). Kehilangan dibagi menjadi 2 tipe yaitu 1. Actual atau nyata yaitu kehilangan yang mudah dikenal atau diidentivikasi oleh orang lain, misalnya amputasi, kematian orang yang sangat berarti / dicintai. 2. Persepsi hanya dialami oleh seseorang dan sulit untuk dapat dibuktikan, misalnya seseorang yang berhenti bekerja / phk, menyebabkan perasaan kemandirian dan kebebasannya menjadi menurun. Jenis-jenis Kehilangan :Terdapat 5 katagori kehilangan, yaitu: Kehilangan seseorang seseorang yang dicintaiKehilangan seseorang yang dicintai dan sangat bermakna atau orang yang berarti adalah salah satu yang paling membuat stress dan mengganggu dari tipe-tioe kehilangan, yang mana harus ditanggung oleh seseorang.Kematian juga membawa dampak kehilangan bagi orang yang dicintai. Karena keintiman, intensitas dan ketergantungan dari ikatan atau jalinan yang ada, kematian pasangan suami/istri atau anak biasanya membawa dampak emosional yang luar biasa dan tidak dapat ditutupi. Kehilangan yang ada pada diri sendiri (loss of self)Bentuk lain dari kehilangan adalah kehilangan diri atau anggapan tentang mental seseorang. Anggapan ini meliputi perasaan terhadap keatraktifan, diri sendiri, kemampuan fisik dan mental, peran dalam kehidupan, dan dampaknya. Kehilangan dari aspek diri mungkin sementara atau menetap, sebagian atau komplit. Beberapa aspek lain yang dapat hilang dari seseorang misalnya kehilangan pendengaran, ingatan, usia muda, fungsi tubuh. Kehilangan objek eksternalKehilangan objek eksternal misalnya kehilangan milik sendiri atau bersama-sama, perhiasan, uang atau pekerjaan. Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang terhadap benda yang hilang tergantung pada arti dan kegunaan benda tersebut. Kehilangan lingkungan yang sangat dikenalKehilangan diartikan dengan terpisahnya dari lingkungan yang sangat dikenal termasuk dari kehidupan latar belakang keluarga dalam waktu satu periode atau bergantian secara permanen. Misalnya pindah kekota lain, maka akan memiliki tetangga yang baru dan proses penyesuaian baru. Kehilangan kehidupan/ meninggalSeseorang dapat mengalami mati baik secara perasaan, pikiran dan respon pada kegiatan dan orang disekitarnya, sampai pada kematian yang sesungguhnya. Sebagian orang berespon berbeda tentang kematian.

Berduka adalah perasaan takut yang tidak jelas dan tidak didukung oleh situasi. ketika kehilangan dan berduka terjadi, individu merasa tidak nyaman tanpa mengetahui penyebab terancamnya emosi. kehilangan dan berduka akan menjadi masalah jika menggangu perilaku adaptip, menyebabkan gejala visik dan menjadi berat bagi individu.Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas, susah tidur, dan lain-lain.Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. NANDA merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi dan berduka disfungsional.Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu dalam merespon kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan seseorang, hubungan/kedekatan, objek atau ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini masih dalam batas normal.Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu yang responnya dibesar-besarkan saat individu kehilangan secara aktual maupun potensial, hubungan, objek dan ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal, abnormal, atau kesalahan/kekacauan.

Teori dari Proses Berduka

Tidak ada cara yang paling tepat dan cepat untuk menjalani proses berduka. Konsep dan teori berduka hanyalah alat yang hanya dapat digunakan untuk mengantisipasi kebutuhan emosional klien dan keluarganya dan juga rencana intervensi untuk membantu mereka memahami kesedihan mereka dan mengatasinya. Peran perawat adalah untuk mendapatkan gambaran tentang perilaku berduka, mengenali pengaruh berduka terhadap perilaku dan memberikan dukungan dalam bentuk empati.

1. Teori EngelsMenurut Engel (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase yang dapat diaplokasikan pada seseorang yang sedang berduka maupun menjelang ajal. Fase I (shock dan tidak percaya)Seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin menarik diri, duduk malas, atau pergi tanpa tujuan. Reaksi secara fisik termasuk pingsan, diaporesis, mual, diare, detak jantung cepat, tidak bisa istirahat, insomnia dan kelelahan. Fase II (berkembangnya kesadaran)Seseoarang mulai merasakan kehilangan secara nyata/akut dan mungkin mengalami putus asa. Kemarahan, perasaan bersalah, frustasi, depresi, dan kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi. Fase III (restitusi)Berusaha mencoba untuk sepakat/damai dengan perasaan yang hampa/kosong, karena kehilangan masih tetap tidak dapat menerima perhatian yang baru dari seseorang yang bertujuan untuk mengalihkan kehilangan seseorang. Fase IVMenekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan terhadap almarhum. Bisa merasa bersalah dan sangat menyesal tentang kurang perhatiannya di masa lalu terhadap almarhum. Fase VKehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai diketahui/disadari. Sehingga pada fase ini diharapkan seseorang sudah dapat menerima kondisinya. Kesadaran baru telah berkembang.

2. Teori Kubler-RossKerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross (1969) adalah berorientasi pada perilaku dan menyangkut 5 tahap, yaitu sebagai berikut:

a) Penyangkalan (Denial)Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat menolak untuk mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan. Pernyataan seperti Tidak, tidak mungkin seperti itu, atau Tidak akan terjadi pada saya! umum dilontarkan klien.b) Kemarahan (Anger)Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin bertindak lebih pada setiap orang dan segala sesuatu yang berhubungan dengan lingkungan. Pada fase ini orang akan lebih sensitif sehingga mudah sekali tersinggung dan marah. Hal ini merupakan koping individu untuk menutupi rasa kecewa dan merupakan menifestasi dari kecemasannya menghadapi kehilangan.c) Penawaran (Bargaining)Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang halus atau jelas untuk mencegah kehilangan. Pada tahap ini, klien sering kali mencari pendapat orang lain.d) Depresi (Depression)Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari makna kehilangan tersebut. Tahap depresi ini memberi kesempatan untuk berupaya melewati kehilangan dan mulai memecahkan masalah.e) Penerimaan (Acceptance)Reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut. Kubler-Ross mendefinisikan sikap penerimaan ada bila seseorang mampu menghadapi kenyataan dari pada hanya menyerah pada pengunduran diri atau berputus asa.

3. Teori MartocchioMartocchio (1985) menggambarkan 5 fase kesedihan yang mempunyai lingkup yang tumpang tindih dan tidak dapat diharapkan. Durasi kesedihan bervariasi dan bergantung pada faktor yang mempengaruhi respon kesedihan itu sendiri. Reaksi yang terus menerus dari kesedihan biasanya reda dalam 6-12 bulan dan berduka yang mendalam mungkin berlanjut sampai 3-5 tahun.

4. Teori RandoRando (1993) mendefinisikan respon berduka menjadi 3 katagori:1. PenghindaranPada tahap ini terjadi shock, menyangkal dan tidak percaya.2. KonfrontasiPada tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien secara berulang-ulang melawan kehilangan mereka dan kedukaan mereka paling dalam dan dirasakan paling akut.

3. AkomodasiPada tahap ini terjadi secara bertahap penurunan kedukaan akut dan mulai memasuki kembali secara emosional dan sosial dunia sehari-hari dimana klien belajar untuk menjalani hidup dengan kehidupan mereka.PERBANDINGAN EMPAT TEORI PROSES BERDUKA

ENGEL (1964)KUBLER-ROSS (1969)MARTOCCHIO (1985)RANDO (1991)

Shock dan tidak percayaMenyangkalShock and disbeliefPenghindaran

Berkembangnya kesadaranMarahYearning and protest

RestitusiTawar-menawarAnguish, disorganization and despairKonfrontasi

IdealizationDepresiIdentification in bereavement

Reorganization / the out comePenerimaanReorganization and restitutionakomodasi

Sekarat dan kematian1. SekaratBimbingan rohani pasien merupakan bagian integral dari bentuk pelayanan kesehatan dalam upaya pemenuhan kebutuhan bio-Psyco-Socio-Spritual ( APA, 1992 ) yang komprehensif, karena pada dasarnya setiap diri manusia terdapat kebutuhan dasar spiritual ( Basic spiritual needs, Dadang Hawari, 1999 ).Pentingnya bimbingan spiritual dalam kesehatan telah menjadi ketetapan WHO yang menyatakan bahwa aspek agama ( spiritual ) merupakan salah satu unsur dari pengertian kesehataan seutuhnya (WHO, 1984). Oleh karena itu dibutuhkan dokter, terutama perawat untuk memenuhi kebutuhan spritual pasien.Perawat memiliki peran untuk memenuhi kebutuhan biologis, sosiologis, psikologis, dan spiritual klien. Akan tetapi, kebutuhan spiritual seringkali dianggap tidak penting oleh perawat. Padahal aspek spiritual sangat penting terutama untuk pasien yang didiagnosa harapan sembuhnya sangat tipis dan mendekati sakaratul maut dan seharusnya perawat bisa menjadi seperti apa yang dikemukakan oleh Henderson, The unique function of the nurse is to assist the individual, sick or well in the performance of those activities contributing to health or its recovery (or to a peaceful death) that he would perform unaided if he had the necessary strength will or knowledge,maksudnya perawat akan membimbing pasien saat sakaratul maut hingga meninggal dengan damai. Biasanya pasien yang sangat membutuhkan bimbingan oleh perawat adalah pasien terminal karena pasien terminal, pasien yang didiagnosis dengan penyakit berat dan tidak dapat disembuhkan lagi dimana berakhir dengan kematian, seperti yang dikatakan Dadang Hawari (1977,53) orang yang mengalami penyakit terminal dan menjelang sakaratul maut lebih banyak mengalami penyakit kejiwaan, krisis spiritual,dan krisis kerohanian sehingga pembinaan kerohanian saat klien menjelang ajal perlu mendapatkan perhatian khusus. Sehingga, pasien terminal biasanya bereaksi menolak, depresi berat, perasaan marah akibat ketidakberdayaan dan keputusasaan. Oleh sebab itu, peran perawat sangat dibutuhkan untuk mendampingi pasien yang dapat meningkatkan semangat hidup klien meskipun harapannya sangat tipis dan dapat mempersiapkan diri pasien untuk menghadapi kehidupan yang kekal.Dalam konsep islam, fase sakaratul maut sangat menentukan baik atau tidaknya seseorang terhadap kematiannya untuk menemui Allah dan bagi perawat pun akan dimintai pertanggungjawabannya nanti untuk tugasnya dalam merawat pasien di rumah sakit. Dan fase sakaratul maut adalah fase yang sangat berat dan menyakitkan seperti yang disebutkan Rasulullah tetapi akan sangat berbeda bagi orang yang mengerjakan amal sholeh yang bisa menghadapinya dengan tenang dan senang hati.Ini adalah petikan Al-Quran tentang sakaratul maut,, Datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya.(QS.50:19). Alangkah dahsyatnya ketika orang-orang yang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul maut. (QS. 6:93) Dalam Al-hadits tentang sakaratul maut..Al-Hasan berkata bahwa Rasulullah SAW pernah mengingatkan mengenai rasa sakit dan duka akibat kematian. Beliau bertutur, Rasanya sebanding dengan tiga ratus kali tebasan pedang. (HR.Ibn Abi ad-Dunya)Begitu sakitnya menghadapi sakaratul maut sehingga perawat harus membimbing pasien dengan cara-cara,seperti ini:a. Menalqin(menuntun) dengan syahadatSesuai sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, Talqinilah orang yang akan wafat di antara kalian dengan, Laa illaaha illallah. Barangsiapa yang pada akhir ucapannya, ketika hendak wafat, Laa illaaha illallaah, maka ia akan masuk surga suatu masa kelak, kendatipun akan mengalami sebelum itu musibah yang akan menimpanya. Perawat muslim dalam mentalkinkan kalimah laaillallah dapat dilakukan pada pasien muslim menjelang ajalnya terutama saat pasien akan melepaskan nafasnya yang terakhir sehingga diupayakan pasien meninggal dalam keadaan husnul khatimah.

Para ulama berpendapat, Apabila telah membimbing orang yang akan meninggal dengan satu bacaan talqin, maka jangan diulangi lagi. Kecuali apabila ia berbicara dengan bacaan-bacaan atau materi pembicaraan lain. Setelah itu barulah diulang kembali, agar bacaan La Ilaha Illallha menjadi ucapan terakhir ketika menghadapi kematian. Para ulama mengarahkan pada pentingnya menjenguk orang sakaratul maut, untuk mengingatkan, mengasihi, menutup kedua matanya dan memberikan hak-haknya." (Syarhu An-nawawi Ala Shahih Muslim : 6/458)

1. Ciri-ciri pokok pasien yang akan melepaskan nafasnya yang terakhir, yaitu : penginderaan dan gerakan menghilang secara berangsur-angsur yang dimulai pada anggota gerak paling ujung khususnya pada ujung kaki, tangan, ujung hidung yang terasa dingin dan lembab,2. kulit nampak kebiru-biruan kelabu atau pucat. 3. Nadi mulai tak teratur, lemah dan pucat. 4. Terdengar suara mendengkur disertai gejala nafas cyene stokes. 5. Menurunnya tekanan darah, peredaran darah perifer menjadi terhenti dan rasa nyeri bila ada biasanya menjadi hilang. Kesadaran dan tingkat kekuatan ingatan bervariasi tiap individu. Otot rahang menjadi mengendur, wajah pasien yang tadinya kelihatan cemas nampak lebih pasrah menerima.Meninggal dengan membaca syahadat

2. KematianResusitasi mutakhir telah membawa perubahan-perubahan pada definisi kematian. Mati klinis adalah henti nafas (tidak ada gerak nafas spontan) ditambah henti sirkulasi (jantung) total dengan semua aktivitas otak terhenti, tetapi tidak ireversibel. Pada masa dini kematian inilah, pemulaian resusitasi dapat diikuti dengan pemulihan semua fungsi sistem organ vital termasuk fungsi otak normal, asalkan diberi terapi optimal. Mati biologis (kematian semua organ) selalu mengikuti mati klinis bila tidak dilakukan resusitasi jantung paru (RJP) atau bila upaya resusitasi dihentikan. Mati biologis merupakan proses nekrotisasi semua jaringan, dimulai dengan neuron otak yang menjadi nekrotik setelah kira-kira 1 jam tanpa sirkulasi, diikuti oleh jantung, ginjal, paru dan hati yang menjadi nekrotik selama beberapa jam atau hari. Pada kematian, seperti yang biasa terjadi pada penyakit akut atau kronik yang berat, denyut jantung dan nadi berhenti pertama kali pada suatu saat, ketika tidak hanya jantung, tetapi organisme secara keseluruhan begitu terpengaruh oleh penyakit tersebut sehingga tidak mungkin untuk tetap hidup lebih lama lagi. Upaya resusitasi pada kematian normal seperti ini tidak bertujuan dan tidak berarti. Henti jantung (cardiac arrest) berarti penghentian tiba-tiba kerja pompa jantung pada organisme yang utuh atau hampir utuh. Henti jantung yang terus berlangsung sesudah jantung pertama kali berhenti mengakibatkan kematian dalam beberapa menit. Dengan perkataan lain, hasil akhir henti jantung yang berlangsung lebih lama adalah mati mendadak (sudden death). Diagnosis mati jantung (henti jantung ireversibel) ditegakkan bila telah ada asistol listrik membandel (intractable, garis datar pada EKG) selama paling sedikit 30 menit, walaupun telah dilakukan RJP dan terapi obat yang optimal. Mati serebral (kematian korteks) adalah kerusakan ireversibel (nekrosis) serebrum, terutama neokorteks. Mati otak (MO, kematian otak total) adalah mati serebral ditambah dengan nekrosis sisa otak lainnya, termasuk serebelum, otak tengah dan batang otak. Mati sosial (status vegetatif yang menetap, sindroma apalika) merupakan kerusakan otak berat ireversibel pada pasien yang tetap tidak sadar dan tidak responsif, tetapi mempunyai elektroensefalogram (EEG) aktif dan beberapa refleks yang utuh. Ini harus dibedakan dari mati serebral yang EEGnya tenang dan dari mati otak, dengan tambahan ketiadaan semua refleks saraf otak dan upaya nafas spontan. Pada keadaan vegetatif mungkin terdapat daur sadar-tidur.

Kapan seseorang dinyatakan matiBila fungsi jantung dan paru berhenti, kematian sistemik atau kematian sistem tubuh lainnya terjadi dalam beberapa menit, dan otak merupakan organ besar pertama yang menderita kehilangan fungsi yang ireversibel, karena alasan yang belum jelas. Organ-organ lain akan mati kemudian.Sesudah tahun 1960 an, dengan penggunaan ventilasi buatan dan cara-cara bantuan lain pada kasus-kasus kerusakan otak akibat trauma atau sebab lain, bila kemudian kerusakan ini terbukti ireversibel, jantung kadang-kadang dapat terus berdenyut selama 1 pekan atau lebih, atau bahkan sampai 14 hari, dengan sebagian besar otak mengalami dekomposisi. Dengan kondisi seperti ini jantung dapat terus berdenyut sampai 32 hari (pada seorang anak umur 5 tahun). Penghentian ireversibel semua fungsi otak disebut mati otak (MO). Penghentian total sirkulasi ke otak normotermik selama lebih dari 10 menit tidak kompatibel dengan kehidupan jaringan otak. Jadi penghentian fungsi jantung mengakibatkan MO dalam beberapa menit, sedangkan penghentian fungsi otak mengakibatkan kehilangan fungsi jantung dalam beberapa jam atau hari.Kebanyakan kalangan yang berwenang dalam kedokteran dan hukum sekarang ini mendefinisikan kematian dalam pengertian MO walaupun jantung mungkin masih berdenyut dan ventilasi buatan dipertahankan. Akan tetapi banyak pula yang memakai konsep MBO sebagai pengganti MO dalam penentuan mati. Menurut pernyataan IDI 1988, seseorang dinyatakan mati bila a) fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti atau b) telah terbukti terjadi MBO (mati batang otak). Secara klasis dokter menyatakan mati berdasarkan butir a tersebut dan ini dapat dilakukan di mana saja, di dalam atau di luar rumah sakit.Bahwa fungsi spontan nafas dan jantung telah berhenti secara pasti, dapat diketahui setelah kita mencoba melakukan resusitasi darurat. Pada resusitasi darurat, di mana kita tidak mungkin menentukan MBO, seseorang dapat dinyatakan mati bila 1) terdapat tanda-tanda mati jantung atau 2) terdapat tanda-tanda klinis mati otak yaitu bilamana setelah dimulai resusitasi, pasien tetap tidak sadar, tidak timbul pula nafas spontan dan refleks muntah (gag reflex) serta pupil tetap dilatasi selama 15-30 menit atau lebih, kecuali kalau pasien hipotermik, di bawah pengaruh barbiturat atau anestesia umum. Menurut Peraturan Pemerintah RI no 18 tahun 1981, tentang bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis serta transplantasi alat atau jaringan tubuh manusia, meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli-ahli kedokteran yang berwenang bahwa fungsi otak, pernafasan dan denyut jantung seseorang telah berhenti. Menurut penulis, batasan mati ini mengandung 2 kelemahan. Yang pertama, pada henti jantung (cardiac arrest) fungsi otak, nafas dan jantung telah berhenti, namun sebetulnya kita belum dapat menyatakan mati karena pasien masih mungkin hidup kembali bila dilakukan resusitasi. Yang kedua, dengan adanya kata-kata denyut jantung telah berhenti, maka ini justru kurang menguntungkan untuk transplantasi, karena perfusi ke organ-organ telah berhenti pula, yang tentunya akan mengurangi viabilitas jaringan/organ.

Diagnosis MBO Diagnosis MBO barangkali merupakan diagnosis paling penting yang pernah dibuat oleh dokter, karena bila telah dipastikan, normalnya ventilator akan dilepaskan dari pasien dan henti jantung akan terjadi tidak lama kemudian. Jadi, diagnosis ini merupakan ramalan yang terlaksana dengan sendirinya (self-ful filling prophecy). Kebanyakan dokter yang merawat dapat membenarkan dilepaskannya ventilator dari pasien, karena meneruskan ventilasi mekanis memberikan stres bagi famili pasien dan staf perawatan. Selain itu, terapi yang diteruskan secara tidak langsung menyatakan bahwa pemulihan masih dimungkinkan dan memberi famili pasien harapan palsu. Namun ventilasi yang diteruskan selama periode yang singkat sesudah diagnosis MBO memungkinkan perolehan organ kualitas bagus untuk tujuan transplantasi dan seringkali dilakukan.Penerimaan batang otak sebagai sumber kehidupan dan penghentian ventilasi sebagai akibat diagnosis MBO potensial sulit bagi orang awam untuk menerimanya. Tidaklah mudah untuk memberitahu famili pasien, yang berwarna merah, hangat dan kelihatannya bernafas dengan nyaman pada ventilator, mati. Bahkan lebih sulit lagi jika famili pasien melihat gerakan pasien yang dinyatakan dokter timbul pada tingkat spinal dan tidak mengindikasikan fungsi otak. Masyarakat di negara maju seperti Inggris sangat mempercayai dokter dan biasanya tidak dijumpai kesulitan tatkala dibuat diagnosis MBO.Sekarang ini sudah dapat diterima bahwa batang otak, dan bukan seluruh otak, pengatur respirasi dan stabilitas kardiovaskular. Diyakini bahwa untuk mendapatkan kesadaran harus ada kontinyuitas neuronal antara sistem saraf periferal dan korteks. Bila batang otak yang menghubungkan keduanya mati, kontinyuitas sistem yang diaktifkan oleh retikular terganggu dan tidak dapat timbul kesadaran.Diagnosis MBO dan petunjuknya dapat dilihat pada fatwa IDI tentang MBO. Diagnosis MBO mempunyai dua komponen utama. Komponen pertama terdiri dari pemenuhan prasyarat-prasyarat dan komponen kedua adalah tes klinik fungsi batang otak.Prasyarat. Prasyarat-prasyarat dapat dilihat pada tabel 1. Pada hakekatnya sebelum melakukan tes klinis, dokter harus menetapkan tanpa keraguan bahwa pasien komatous dan bergantung pada ventilator dan mempunyai kondisi yang konsisten dengan koma ireversibel dan hilangnya fungsi batang otak. Pasien dengan MBO tidak dapat bernafas. Dokter-dokter yang tidak familiar dengan diagnosis MBO kadang-kadang menyarankan dokter seniornya untuk melakukan testing pada pasien yang tidak bergantung pada ventilator dengan cedera berat. Fenomena ini menonjolkan tiga hal. Pertama dokter-dokter yang bekerja di ICU perlu lebih dahulu mengkaji langkah-langkah untuk menegakkan diagnosis MBO sesuai fatwa IDI yang memang belum tersosialisasikan dengan baik, agar jangan sampai melewatkan langkah-langkah yang harus dijalani sebelum melakukan testing arefleksia batang otak. Kedua adalah adanya kenyataan bahwa beberapa pasien menderita cedera otak berat yang akhirnya inkompatibel dengan kehidupan yang lama, namun kausa kematiannya bukanlah MBO. Beratnya cedera otak pada pasien-pasien ini dapat mengindikasikan keputusan untuk menghentikan terapi aktif atau membatasi terapi aktif. Keputusan penghentian atau limitasi terapi individual untuk tiap pasien dan sangat kontras dengan diagnosis MBO yang identik bagi semua pasien. Hal ketiga adalah perlunya tanpa keraguan memantapkan diagnosis cedera otak ireversibel yang cukup untuk menyebabkan koma apneik. Diagnosis yang kompatibel adalah cedera kepala, perdarahan subarakhnoid, perdarahan intraserebral, tenggelam dan henti jantung. Penegakan diagnosis memerlukan anamnesis yang cukup dan pemeriksaan klinis serta investigasi (biasanya CT Scan). Kausa koma yang reversibel yang menyulitkan diagnosis primer harus pula disingkirkan. Khususnya sedatif, analgetik dan pelumpuh otot hendaknya disingkirkan, sebagai kausa ketidaksadaran atau arefleksia. Pasien hendaknya mempunyai suhu sentral lebih dari 35C. Intoksikasi obat, hipotermia, gangguan metabolik atau endokrin, semua dapat menyebabkan perubahan berat pada fungsi batang otak, namun reversibel. MBO tidak boleh dipertimbangkan bila terdapat kondisi-kondisi ini, baik sebagai penyebab koma primer ataupun faktor penunjang.

Elektrolit, gula darah dan gas darah arterial hendaknya diperiksa dan gangguan yang cukup untuk menyebabkan koma hendaknya diatasi. Selain itu, upaya yang sungguh-sungguh harus sudah dikerjakan untuk mengatasi efek-efek edema serebri, hipoksia dan syok. Sebagai konsekuensi, untuk memenuhi prasyarat-prasyarat, diperlukan waktu dan tidaklah biasa untuk menegakkan diagnosis MBO sebelum 24 jam perawatan di rumah sakit. Seringkali pasien sudah dirawat di rumah sakit jauh lebih lama.

CT Scan bermanfaat tidak saja untuk mengetahui kausa MBO, tetapi juga untuk memperlihatkan efek herniasi lewat tentorium dan foramina magnum. Kompresi arteri dan vena mengakibatkan edema sitotoksik dan tekanan intrakranial dapat meningkat akibat terhalangnya drainase cairan serebrospinal oleh sumbatan aquaduktus atau ruang subarakhnoid. Perubahanperubahan ini menyebabkan herniasi berlanjut dan posisi otak menurun. Penurunan ini begitu besar sehingga cabang-cabang arteri basilaris (yang mendarahi batang otak) teregang dan mengakibatkan perdarahan intraparenkimal dan memperparah edema. Interpretasi perubahanperubahan ini pada seksi aksial tradisional CT Scan memerlukan pengalaman. Herniasi otak, bagi dokter nonradiologis, paling mudah dilihat pada citra CT koronal. Untuk contoh grafik edema otak ireversibel dan herniasi, pembaca dianjurkan untuk membaca buku Plum dan Posner; The Diagnosis of Stupor and Coma. Dalam membuat diagnosis MBO kadang-kadang dijumpai kesukaran (lihat tabel 2). Bila dokter yang bertugas masih ragu-ragu mengenai: a) diagnosis primer, b) kausa disfungsi batang otak yang reversibel (obat atau gangguan metabolik), c) kelengkapan tes klinis, maka hendaknya jangan dibuat diagnosis MBO.Tes klinis. Sebelum melakukan tes formal, kita harus memastikan bahwa pasien tidak menunjukkan postur abnormal (deserebrasi dan dekortikasi) dan tidak mempunyai refleks okulo-sefal aktif (fenomena mata kepala boneka) atau aktivitas kejang. Bila ada salah satu gejala tersebut, pasti terjadi hantaran impuls saraf lewat batang otak dan selanjutnya tes tidak diperlukan dan tidak tepat untuk dilakukan. Batang otak berarti masih hidup. Tes formal fungsi batang otak dilaksanakan di samping tempat tidur dan memerlukan demonstrasi apnea dalam keadaan hiperkarbia dan tidak adanya refleks batang otak. Peralatan canggih tidak diperlukan selain analisis gas darah. Tes ini sendiri mudah dilakukan, hanya memerlukan waktu beberapa menit dan hasilnya jelas. Bila memang tanda-tanda fungsi batang otak yang hilang di atas ada semua, maka hendaknya secara sistematis diperiksa 5 refleks batang otak (lihat tabel 3). Kelima refleks harus negatif sebelum diagnosis MBO ditegakkan. Tes terhadap refleks-refleks batang otak dapat menilai integritas fungsional batang otak dengan cara yang unik. Tidak ada daerah otak lainnya yang dapat diperiksa sepenuhnya seperti ini. Ini menguntungkan karena konsep mati yang baru secara tak langsung menyatakan bahwa semua yang berarti bagi kehidupan manusia bergantung pada integritas jaringan yang hanya beberapa sm ini. Tes ini mencari ada atau tidak ada respons, dan bukan gradasi fungsi. Ini mudah dilakukan dan dapat dimengerti oleh setiap dokter atau perawat yang terlatih. Ini tidak bergantung pada mesin, atau super spesialis.

Tes yang paling pokok untuk fungsi batang otak adalah tes untuk henti nafas (lihat tabel 4).

Namun, apnea dan arefleksia saraf kranial juga terjadi pada keadaan nonfatal lain seperti ensefalitis batang otak dan sindroma Guillain-Barre. Lagi-lagi perlu ditekankan bahwa tes-tes jangan dilakukan bila prasyarat-prasyarat belum dipenuhi. Ini perlu diperhatikan agar jangan sampai terjadi kesalahan prosedur sebab selalu ada saja laporan kasus yang menggambarkan keadaan yang menyerupai MBO tetapi ternyata dapat pulih kembali. Bila setiap kasus didekati secara sistematis, tidak akan terjadi kesalahan.

Masalah masalah pada kebutuhan psikososial1. AnsietasAnsietas adalah fenomena maturasi kritis yang berhubungan dengan perubahan, konflik, dan pengendalian lingkungan yang diterima (Haber at al, 1992).

2. DepresiDepresi adalah gangguan alam perasaan yang dimanifestasikan dalam berbagai cara. Walaupun usia yang paling banyak mengalami depresi adalah usia 24-25 tahun, tapi juga biasa terjadi pada usia dewasa baya dan mungkin banyak memiliki penyebab (Haber at al, 1992).

3. Gangguan harga diri : harga diri rendah4. Isolasi sosial : menarik diri5. Resiko perilaku kekerasan6. Gangguan citra tubuh7. Gangguan identitas personal8. Perubahan penampilan peran9. Ketidakmampuan10. Masalah keperawatan yang dapat diidentifkasi pada penyakit fisik yang berkaitan dengan respons psikologis klien adalah :a. Kerusakan komunikasi verbal b. Koping keluarga inefektif c. Koping individu inefektifd. Harga diri rendahe. Ketidak berdayaanf. Perubahan proses pikir g. Kerusakan interaksi socialh. Perubahan penampilan perani. Distres spiritual j. Konflik peran orang tuaKondisi Terminal

an incurable and irreversible condition that result from injury or illness and that reasonable medical professionals would agree will probably result in death of the person with the injury or illness in six months or less(Legislature of the State of Arizona)

Suatu kondisi dimana seseorang mengalami sakit atau penyakit yang tidak mempunyai harapan untuk sembuh dan menuju pada proses kematian dalam 6 bulan atau kurang

Kematian

Sebagai wujud kehilangan kehidupan dan abadi sifatnya , baik bagi yang tengah menjalani proses kematian maupun bagi yang ditinggalkan . kematian ini dapat bermakna berbeda bagi setiap orang. Wolf (1989:754) mengemukakan bahwa setiap orang mempunyai kesempatan dan hak untuk meninggal secara damai dan nyaman, dan perawat dapat menyediakan bantuan keperawatan yang memungkinkan seseorang untuk meninggal secara damai menurut jalannya Pengalaman dan Kesadaran seseorang dalam menjalani proses kematian (NDEs & NDAs)

Dalam konteks kondisi terminal, NDEs(Near Death Experience) merupakan pengalaman yang dirasakan sejalan dengan perubahan kondisi fisik yang dialami,

Sedangkan NDAs (Near death Awareness) merupakan pengalaman yang signifikan menjelang kematian, dapat terjadi tanpa disertai perubahan kondisi fisik,berfungsi untuk menyiapkan diri menghadapi kematian, dan dialami bila pasien dalam kondisi sadar penuh

Pada proses ini :

Secara sadar yang berssangkutan meriviu pengalaman hidupnya secara mendetil , hal yang menjadi minat utamanya, dan bila memungkinkan berupaya terlibat dalam aktifitas itu.

Yang bersangkutan mengidentifikasi apa yg selama ini telah dipelajarinya dan kontribusi apa yang telah diberikan ke sekelilingnya,maaf memaafkan menjadi kepedulian utama, ybs menyadari ini merupakan aspek penting untuk mengatasi masalah yang tidak dapat diselesaikan

Ybs memulai proses dengan menyatakan selamat berpisah kepada semua aspek kehidupan.. Melepaskannya satu persatu pada waktu yang berbeda, aktifitas, peran, kemandirian/kewenangan dllMasalah yang berkaitan dengan THE DYING Problem fisik, berkaitan dengan kondisi /penyakit terminalnya: nyeri, perubahan berbagai fungsi sistem tubuh, perubahan tampilan fisik Problem psikologis, Ketidak berdayaan : kehilangan kontrol, ketergantungan, kehilangan diri dan harapan Problem social, Isolasi dan keterasingan, perpisahan Problem spiritual, faith,hope,fear of unknown Ketidak-sesuaian, antara kebutuhan dan harapan dengan perlakuan yg didapat (dr,perawat,keluarga dsb)Tahapan Respon Klien Terhadap Dying Process (Kubler Ross,1969) :

Denial penolakan Anger marah Bargaining tawar menawar Depression kesedihan mendalam Acceptance menerima

Denial

Respon dimana klien tidak percaya atau menolak terhadap apa yang dihadapi/ sedang terjadi. YBS tidak siap terhadap kondisi yang dihadapi dan dampaknya.DENIAL berfungsi sebagai buffer setelah mendengar sesuatu yang tidak diharapkan.Ini memungkinkan bagi pasien untuk membenahi diri.. dengan berjalannya waktu, sehingga tidak defensif secara radikal.

Anger

Fase marah terjadi saat fase denial tidak lagi bisa dipertahankan. Rasa kemarahan ini sering sulit dipahami oleh keluarga/orang terdekat oleh karena dapat terpicu oleh hal-hal yang secara normal tidak menimbulkan kemarahan.Rasa marah ini sering terjadi karena rasa tidak berdaya,bisa terjadi kapan saja dan kepada siapa saja tetapi umumnya terarah kepada orang-orang yang secara emosional punya kedekatan hubunga

BargainingKlien mencoba untuk melakukan tawar menawar dengan Tuhan agar terhindar dari kehilangan yang akan terjadi,ini bisa dilakukan dalam diam atau dinyatakan secara terbuka.Secara psikologis tawar menawar dilakukan untuk memperbaiki kesalahan atau dosa masa lalu

DEPRESSIONRasa kesedihan yang mendalam sebagai akibat kehilangan (past loss & impending loss),ekspresi kesedihan ini verbal/non verbal merupakan persiapan terhadap kehilangan/perpisahan abadi dengan apapun dan siapapun

AcceptancePada tahap menerima ini, klien memahami dan menerima keadaannya,yang bersangkutan mulai kehilangan interest dengan lingkungannya,dapat menemukan kedamaian dengan kondisinya, dan beristirahat untuk menyiapkan dan memulai perjalanan panjang

Tingkat Kesadaran (State of awareness) Terhadap kondisi terminal, baik dari sisi pasien atau keluarga harus dikaji untuk menentukan bagaimana perawat harus berkomunikasi dengan pasien dan keluarga .Tingkat kesadaran ini meliputi :

Clossed awarenessdalam hal ini klien dan keluarga tidak menyadari datangnya kematian, tidak tahu mengapa sakit dan percaya akan sembuh

Mutual pretenseDalam hal ini klien,keluarga,team kesehatan tahu bahwa kondisinya terminal tetapi merasa tidak nyaman untuk dan menghindari membicarakan kondisi yang dihadapi klien. Ini berat bagi klien karena tdk dapat mengekspresikan ketakutannya

Open awareness Pada kondisi ini klien dan orang disekitarnya tahu bahwa ia berada diambang kematian sehingga tidak ada kesulitan untuk membicarakannya. Pada tahap ini klien dapat dilibatkan untuk proses intervensi keperawatan

Tujuan keperawatan klien dengan kondisi terminal secara umum :

Menghilangkan/ mengurangi rasa kesendirian,takut dan depresi Mempertahankan rasa aman, harkat dan rasa berguna Membantu klien menerima rasa kehilangan Membantu kenyamanan fisik Mempertahankan harapan (faith and hope)

Intervensi Keperawatan:1. Tahap denialBeri dukungan pada fase awal karena ini berfungsi protektif dan memberi waktu bagi klien untuk melihat kebenaran..bantu untuk melihat kebenaran dengan konfirmasi kondisi a.l. melalui second opinion

2. Tahap anger Bantu klien untuk memahami bahwa marah adalah respon normal akan kehilangan dan ketidak berdayaan..siapkan bantuan berkesinambungan agar klien merasa aman

3. Tahap bargainingAsah kepekaan perawat bila fase tawar menawar ini dilakukan secara diam-diam.. Bargaining sering dilakukan klien karena rasa bersalah atau ketakutan terhapap bayang-bayang dosa masa laluBantu agar klien mampu mengekspresikan apa yang dirasakanapabila perlu refer ke pemuka agama untuk pendampingan

4. Tahap depresiKlien perlu untuk merasa sedih dan beri kesempatan untuk mengekspresikan kesedihannya.Perawat hadir sebagai pendamping dan pendengar

5. Tahap menerimaKlien merasa damai dan tenang..dampingi klien untuk mempertahankan rasa berguna (self worth)..berdayakan pasien untuk melakukan segala sesuatu yang masih mampu dilakukan dengan pendampingan..fasilitasi untuk menyiapkan perpisahan abadiPandangan tentang kematianSeiring waktu, pandangan masyarakat tentang kematian telah mengalami perubahan. Dahulu kematian cenderung dianggap sebagai hal yang menakutkan dan tabu. Kini,kematian telah dipandang sebagai hal yang wajar dan merupakan proses normal kehidupanDulu

sekarang

Tragis dan memilukan Tabu untuk dibicarakan Menimbulkan sindrom kesedihan dan ketakutan Selamanya tidak disukai Anak-anak tidak perlu mengetahui Timbul karena perilaku buruk, pertengkaran, pembalasan, dan hukuman Menjadi hal yang patut di bicarakan Merupakan proses alami kehidupan Tidak menakutkan lebih rasional dan bijak dalam menghadapinya Merupakan proses yang progresif Sesuatu yang harus dihadapi

Tanda - tanda kematian1. Mendekati kematiana. penurunan tonus otot Gerakan ekstermitas berangsur-angsur menghilan,khususnya pada kaki darlujung kaki. Sulit berbicara Tubuh semakin Iemah Aktivitas saluran pencernaan menurun sehingga perut membuncit Otot rahang dan muka mengendur Rahang bawah cenderung turun Sulit menelan, refleks gerakan menurun Mata sedikit terbuka

b. Sirkulasi melemah suhu tubuh pasien tinggi, tetapi kaki, tangan, dan ujung hidung terasa dingin dan lembap Kulit ekstremitas dan ujung hidung tampak kebiruan,kelabu ,atau pucat Nadi mulai tidak teratur,lemah dan cepat Peredaran darah perifer terhenti

c. Kegagalan fungsi sensorik Sensasi nyeri menurun atau hilang Pandangan mata kabur/berkabut Kemampuan indera berangsur-ansur menurun Sensasi panas ,Iapar,dingin,dan tajam menurun d.Penurunan/kegagalan fungsi pernapasan Mengorok(death rattle)/bunyi nafas terdengar kasar Pernapasan tidak teratur dan berlangsung melalui mulut Pernapasan cheyne stokes

2. Saat kematian. Fase ini ditandai dengan : Terhentinya pernapasan ,nadi, tekanan darah, dan fungsi otak (tidak berfungsinya paru,jantung dan otak) Hilangnya respon terhadap stimulus eksternal. Hilangnya kontrol atas sfingter kandung kemih dan rektum (inkontinensia ) akibat peredaran darah yang terhambat ; kaki dan ujung hidung menjadi dingin. Hilangnya kemampuan pancaindera; hanya indera pendengaran yang paling lama berfungsi ( Stevens,dkk 2000) Adanya garis datar pada mesin elektroensefalografi menunjukkan terhentinya aktifitas listrik otak untuk penilaian pasti suatu kematian.

3. Setelah kematian. Fase ini ditandai dengan : Rigormortis (kaku). Tubuh menjadi kaku 2-4 jam setelah kematian. Algor mortis (dingin). Suhu tubuh perlahan-lahan turun. Livor mortis (post-mortem decomposition). Perubahan warna kulit pada daerah yang tertekan;jaringan melunak dan bakteri sangat banyak.Respon menjelang kematianRespon psikologis yang mungkin pada klien menjelang ajal adalah ansietas(kematian). Respon tersebut antara lain;1. Kekhawatiran tentang dampak kematian pada diri orang terdekat2. Ketidak berdayaan terhadap isu yang berhubungan dengan kematian3. Perasaan takut kehilangan kemampuan fisik dan/mental apabila meninggal.4. Kepedihan yang diantisipasi yang berhubungan dengan kematian5. Kesedihan, yang mendalam6. Perasaan takut dalam menjalani proses menjelang ajal7. Kekhawatiran tentang bebang kerja pemberi asuhan akibat sakit terminal dan ketidakmampuan diri8. Kekhawatiran tentang pertemuan dengan sang pencipta atau perasaan ragu tentang keberadaan tuhan atau sang penguasa9. Kehilangan kontrol total terhadap aspek kematian seseorang atau dirinya10. Gambaran negatif tentang kematian atau ,pikiran tidak menyenangkan tentang kejadian yang berhubungan dengan kematian atau proses menjelang ajal11. Ketakutan terhadap kematian yang ditunda12. Ketakutan terhadap kematian dini karena hal itu mencegah upaya pencapaian tujuan hidup yang penting.

Proses keperawatan berhubungan dengan kematian

A.Pengkajian

Pada kasus ini perawat mengkaji seluruh data, Baik subjektif maupun objektif,yang berhubungan dengan proses menjelang ajal dan kematian. Ini bisa dipelajari dari tanda tanda yang muncul dari proses tersebut sesuai dengan tahapnya. Pengkajian dilakukan secara cermat dengan mengamati tanda - tanda klinis klien.antara lain;

1. menjelang kematian. fase ini ditandai dengan;a. perubahan tanda-tanda vital; nadi melemah dan melambat; penurunan tekanan darah; perasaan ireguler dan tersengal sengal melalui mulut

b. sirkulasi melemah; sensasi berkurang; kulit teraba dingin pada akral,ujung hidung,dan telinga. c. tonus otot menghilang; relaksasi otot wajah; kesulitan bicara; gangguan menelan dan perlahan lahan refleks muntah menghilang; penurunan aktivitas sistem pencernaan; penurunan refleks motorik. d. kegagalan sensorik; pandangan kabur;kegalan fungsi indera perasa dan pencemaran.e. tingkat kesadaran. tingkat kesadaran klien bisanya berpariasi, dari sadar, mengantuk, stupor, hinga koma

2. mendekati kematian. Pada tahap ini, manifestasi klinis yang bisa diamati pada klien meliputi:

a. pupil berdilatasi b. refleks menghilang c. frekuensi nadi meningkat, kemudian menurun d. pernapasan cheyne stokes e. tidak bisa bergerak f. klien mengorok atau bunyi nafas yang kasar g. tekanan darah menurun.

3. kematian.pada tahap ini, manifestasi klinis yang dapat diamati pada klien antara lain; a. pernapasan, nadi, dan tekanan darah berhenti b. hilangnya respon terhadap stimulus eksternal

c. pergerakan otot sudah tidak ada d. pada ensefalogram datar (garis otak) berarti aktifitas listrik otak terhenti.

B.diagnosa keperawatan

1. Ketakutan yang berhubungan dengan: pengaruh dini atau jangka panjang yang dirasakan akibat (kehilangan fungsi tubuh atau anggota tubuh; penyakit terminal., disabilitas jangka panjang; gangguan kognitif) Hilangnya kontrol dan hasil akhir yang tidak diperkirakan, sekunder akibat (hospitalisasi;prosedur pembedahan dan hasil akhirnya;lingkungan yang baru; kehilangan orang yang dicintai; perceraian; kegagaian) Perpisahan dari orang tua dan teman sebayanya. Ketakutan terkait-usia (gelap, orang asing, hantu,-monster, binatang) Ketidak pastian tentang (penampitan, dukungan teman,pernikahan, kehamilan, pekerjaan)

2. Keputusasaan yang berhubungan dengan: Kondisi fisik yang kian menurun Gangguan kemampuan fungsional(berjalan, eliminasi, makan) Pengobatan yang berlangsung lama (mis; kemoterapi, radiasi) yang dapat menyebabkan nyeri, mual, ketidaknyamanan) Pengobatan yang lama namun tanpa hasil Ketidak mampuan mencapai tujuan dalam hidup (pernikahan, pendidikan, anakanak) Kehilangan sesuatu atau seseorang yangsangat dicintai(pasangan, anak, teman) Gangguan fungsi tubuh atau kehilangan. aggota tubuh Hambatan dalam hubungan (perpisahan, perceraian) Kehilangan pekerjaan.

C. Perencaan dan implementasi

Indikator untuk diagnosis ketakutan Memperlihatkan penurunan respon viseral(nadi, pernapasan) Membdakan antara kenyataan dan khayalan Menjelaskam pola koping efektif dan tak efektif Mengidentifikasi respon kopingnya sendiri

Proses keperawatan pada masalah kebutuhan psikososialA. Pengkajian

Pengkajian dilakukan untuk mengetahui masalah keperawatan yang terjadi pada klien secepat mungkin sesuai dengan keadaan klien. Pengkajian dapat dilakukan dengan beberapa cara yakini ; wawancara, observasi dan menuju dokumen medik.Pengkajian ini dilakukan denagan melibatkan keluaraga sebagai orang terdekat yang mengetahui tentang masalah kesehatan klien. Format pengkajian yang digunakan adalah format pengkajan pada klien yang dikembangkan sesuia dengan keberadaaan klien. Format pengkajian yang dikembangkan minimal terdiri atas: 1. Data dasar a. Identitasb. Alamatc. Usiad. Pendidikan e. Pekerjaan f. Agama g. Suku bangsa

2. Data biopsikososial spiritualkultural3. Lingkungan 4. Status fungsional5. Fasilitas penunjang kesehatan 6. Pemerikasaaan fisikB. Diagnosa Keperawatan

C. Gangguan proses pikir berhubungan dengan ansietasTujuan: proses pikir pasien akan meningkat dengan terapi ansietas1. Ketidak efektifan koping yang berhubungan dengan ansietasTujuan:pasien akan meningkatkan mekanisme koping untuk mengatasi ansietas.2. Konflik pengambilan keputusan berhubungan dengan ganti karier/ pengunduran diriTujuan:menghubungkan keuntungan-keuntungan dan kerugian-kerugian dari pilihan-pilihan, menceritakan ketakutan dan keprihatinan mengenai pilihan-pilihan dan respons dari orang lain, dan membuat sebuah pilihan yang diketahui/diberitahu.D. Intervensi

Dx 1 1. Kaji pasien secara cermat untuk memastikan bahwa ansietas pasien bukan gejala yang mendasari proses penyakit, seperti nyeri atau hipoksia2. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan dan ketakutannya secara verbal3. Tanyakan pada pasien keterampilan koping yang biasa berhasil digunakan untuk mengatasi stress sebelumnya4. Berikan obat antiansietas sesuai program dan perhatikan efektifitasnya5. Tanyakan pada pasien obat apa yang sedang digunakan. Gejala ansietas dapat diakibatkan penggunaan obat-obatan, mencakup kafein, hormone tiroid, aminofilin, obat antidiabetik oral, obat antiinflamasi nonsteroid, steroid, glikosida jantung, dan inhibitor ambilan ulang serotonin selektif. Lebih baik tanyakan pada dokter untuk mengganti dengan obat yang menghasilkan lebih sedikit efek ansietas daripada menambah obat-obatan lain hanya untuk mengatasi tanda dan gejala ansietas6. Alkohol adalah cara yang biasa digunakan orang untuk pengobatan ansietas, tetapi bukan cara yang baik tidak berbahaya. Pastiakn untuk menanyakan pasien menegani kebiasaannya menggunakan alkohol-jenis apa yang ia minum (bir, anggur, wiski), kira-kira berapa banyak dalam sehari dan sudah berapa lama.

Dx 21. Menetapkan hubungan saling percaya dan berarti yang meningkatkan saling pengertian dan perhatian.2. Memfasilitasi proses pengambilan keputusan yang logisa. Bantu individu dalam mengenali apa masalah-masalahnya dan dengan jelas mengidentifkasi keputusan yang harus dibuatb. Gali apa resiko terhadap apa yang timbul dari tidak membuat keputusanc. Mintalah individu untuk membuat daftar dari semua alternatif atau pilihan yang mungkind. Bantu mengidentifikasi kemungkinan hasil dari berbagai alternativee. Bantu individu untuk menghadapi ketakutanf. Benahi kesalahan informasig. Bantu dalam mengevaluasi alternatif-alternatif berdasarkan pada ancaman potensial atau actual terhadap keyakinan/ nilai-nilaih. Beri dorongan pada individu untuk membuat keputusan3. Beri dorongan pada orang terdekat individu untuk terlibat dalam keseluruhan proses pengambilan keputusan4. Bantu individu dalam proses menggali nilai-nilai dan hubungan pribadi yang mungkin mempunyai dampak pada pengambilan keputusan 5. Dukung individu dalam membuat keputusan yang diketahui meskipun kebutuhan konflik dengan nilai-nilainya sendiria. Rundingkan pemuka agamanya sendiri6. Dengan aktif yakinkan individu bahwa keputusan sepenuhnya ditangan dia dan adalah menjadi haknya untuk melakukan demikian7. Jangan biarkan orang lain untuk merusak rasa percaya individu dalam pengambilan keputusannya sendiri8. Kolaborasikan dengan keluarga untuk mengklarifikasi proses pengambilan keputusan

PERAWATAN JENAZAHPerawatan jenazah adalah suatu tindakan medis melakukan pemberian bahan kimia tertentu pada jenazah untuk menghambat pembusukan serta menjaga penampilan luar jenazah supaya tetap mirip dengan kondisi sewaktu hidup.Perawatan jenazah dapat dilakukan langsung pada kematian wajar, akan tetapi kematian pada tidak wajar pengawetan jenasah baru boleh dilakukan setelah pemeriksaan jenasah atau otopsi dilakukan.Perawatan jenasah dilakukan karena ditundanya penguburan/kremasi, misalnya untuk menunggu kerabat yang tinggal jauh diluar kota/diluar negri.Pada kematian yang terjadi jauh dari tempat asalnya terkadang perlu dilakukan pengangkutan atau perpindahan jenasah dari suatu tempat ketempat lainnya. Pada keadaan ini, diperlukan pengawetan jenasah untuk mencegah pembusukan dan penyebaran kuman dari jenasah kelingkungannya.Jenasah yang meninggal akibat penyakit menular akan cepat membusuk dan potensial menular petugas kamar jenasah. Keluarga serta orang-orang disekitarnya. Pada kasusu semacam ini, kalau pun penguburan atau kremasinya akan segera dilakukan tetap dilakukan perawatan jenasah untuk mencegah penularan kuman atau bibit penyakit disekitarnya.Perawatan jenasah penderita penyakit menular dilaksanakan dengan selalu menerapkan kewaspadaan unifersal tanpa mengakibatkan tradisi budaya dan agama yang dianut keluarganya. Setiap petugas kesehatan terutama perawat harus dapat menasihati keluarga dan mengambil tindakan yangs sesuai agar penanganan jenasah tidak menambah resiko penularan penyakit seperti halnya hepatits/B, AIDS, Kolera dan sebagainya. Tradisi yang berkaitan dengan perlakuan terhadap jenasah tersebut dapat diizinkan dengan memperhatikan hal yang telah disebut diatas, seperti misalnya mencium jenasah sebagai bagian dari upacara penguburan. Perlu diingat bahwa virus HIV hanya dapat hidup dan berkembang dalam manusia hidup, maka beberapa waktu setelah penderita infeksi HIV meninggal, firus pun akan mati.A. Tujuan Perawatan JenasahAdapun tujuan dari perawatan jenasah yaitu : Untuk mencegah terjadinya pembusukan pada jenasah Dengan menyuntikan zat-zat tertentu untuk membunuh kuman seperti pemberian intjeksi formalin murni, agar tidak meningalkan luka dan membuat tubuh menjadi kaku. Dalam injeksi formalin dapat dimasukan kemulut hidung dan pantat jenasah.

B. Tindakan Diluar kamar jenasahAdapun tindakan yang dilakukan diluar kamar jenasah yaitu : Mencuci tangan sebelum memakai sarung tangan Memakai pelindung wajah dan jubah Luruskan tubuh jenasah dan letakan dalam posisi terllentang dengan tangan disisi atau terlipat didada. Tutup kelopak mata atau ditutup dengan kapas atau kasa, begitu pula multu dan telinga. Beri alas kepala dengan kain handuk untuk menampung bila ada rembesan darah atau cairan tubuh lainnya. Tutup anus dengan kasa dan plester kedap air. Lepaskan semua alat kesehatan dan letakan alat bekas tersebut dalam wadah yang aman sesuai dengan kaidah kewaspadaan unifersal. Tutup setiap luka yang ada dengan plester kedap air. Bersihkan tubuh jenasah tutup dengan kain bersih untuk disaksikan olehkeluarga Pasang label identitas pada laki-laki Beritahu petugas kamar jenasah bahwa jenasah adalah penderita penyakit menular Cuci tangan setelah melepas rarung tangan.

C. Tindakan dikamar jenasahAdapun tidakan dikamar jenasah yaitu : Lakukan prosedur baku kewas padaan unifersal yaitu cuci tangan sebelum mamakai sarung tangan. Petugas memakai alat pelindung : Sarung tangan karet yang panjang (sampai kesiku). Sebaiknya memakai sepatu boot sampai lutut Pelindung wajah (masker dan kaca mata) Jubah atau celemek sebaiknya yang kedap air. Jenasah dimadikan oleh petugas kamar jenasah yang telah memahami cara membersihkan atau memandikan jenasah penderita penyakit menular Bungkus jenasah dengan kain kafan atau kain pembungkus lain sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianut. Cuci tangan dengan sabun sebelum memakai sarung tangan dan sesudah melepas sarung tangan Jenasah yang telah dibungkus tidak boleh dibuka lagi. Jenasah tidak boleh dibalsem atau disuntik atau pengawetan kecauli oleh petugas khusus yang telah mahir dalam hal tersebut. Jenasah tidak boleh diotopsi, dalam hal tertentu, otosi dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dari pimpinan rumah sakit dan dilaksanakanoleh petugas rumah sakait yang telah mahir dalam hal tersebut.

D. Perawatan Jenazah Tempatkan dan atur jenazah pada posisianatomis Singkirkan pakaian atau alat tenun Lepaskan semua alat kesehatan Bersihkan tubuh dari kotoran dan noda Tempatkan kedua tangan jenazah di atasabdomen dan ikat pergelangan tangan Tempatkan satu bantal di bawah kepala Tutup kelopak mata Katupkan rahang dan mulut, kemudian di ikat Letakan alas di bawah glutea Tutup sampai sebatas bahu, kepala di tutupdengan kain tipis Catat semua milik px dan berikan kepadakeluarga Beri kartu / tanda pengenal Bungkus jenazah dgn kain panjang

E. Hal-hal yang diperhatikan dalam proses keperawatanAdapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses keperawatan yaitu : Segera mencuci kulit dan permukaan lain dengan air mengalir bila tekenah darah atau cairan tubuh lain. Dilarang memanipulasi alat suntik atau menyarungkan jarum suntik ke tutupnya. Buang semua alat atau bendah tajam dalam wadahyang tahan tusukan Semua permukaan yang terkena percikan atau tumpuahan darah atau cairan tubuh lainnya segera dibersihkan dengancairan klorin 0,5 % Semua peralatan yang akan digunakan kembali harus diproses dengan urutan : dekontaminasi, pembersihan, desinfeksi, atau sterilisai Sampah dan bahan terkontaminasi lainnya ditempatkan dalam kantong plastic Pembuangan sampah dan bahan yang tercemar sesuai pengolah sampah medis.

AtmaDja DS. Perawatan jenasah dan aspek medikolegalnya. Majalah kedokteran Indonesia (Inpress, Agustus 2002)Hamzah A. Hukum acara Pidana Indonesia. Jakarta: CV.Aapta Artha Jaya, 1996 Moeljotno. Kitab Undang-Undang Hukum pidana Jakarta: Bumi Aksara. 1992Kemp & Pillitteri (1984) ,Fundamentals of Nursing, Boston :Little Brown&co Kubler-Ross,E.,(1969) ,On Death and Dying, ,London: Tavistock PublicationKircher & Callanan (2003),Near Death Experiences and DeathAwareness in the Terminally Ill,Connecticut :www.iands orgKozier & Erb (1991),Fundamentals of Nursing,vol.II, 4th ed.,California : Addison-Wisley Publishing Co.Legislature of the State Of Arizona,Medical treatment;Terminal Illness,HB 2001-432R-1 Ver,ALIS onlineNorthern Territory of Australia (1997),Right of the Terminally Ill ActPattison,Mansell (1977), The Experience of Dying, Englewood Cliffs:Prentice- Hall Inc.www.growthhouse.org, Grief,anger and loss : Improving care of the Dying