makalah psikososial

55
  LAPORAN TUGAS I MASALAH PSIKOSOSIAL (Disusun untuk memenuhi tugas Neurobehaviour System in Nursing II) Disusun oleh: Erik Perdian 22011012000 6  Nurviana Novianti 220110120018 Laura Oktavia 22011012004 2 Abdul Aziz 22011012005 4 Euis Yulianti 220110120078 Anggi Putri Ary ani 22011012010 2 FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS PADJADJARAN 2014 

Upload: miftah-noor-fath-shidiq

Post on 08-Oct-2015

792 views

Category:

Documents


101 download

DESCRIPTION

kesehatan

TRANSCRIPT

  • LAPORAN TUGAS I

    MASALAH PSIKOSOSIAL

    (Disusun untuk memenuhi tugas Neurobehaviour System in Nursing II)

    Disusun oleh:

    Erik Perdian 220110120006

    Nurviana Novianti 220110120018

    Laura Oktavia 220110120042

    Abdul Aziz 220110120054

    Euis Yulianti 220110120078

    Anggi Putri Aryani 220110120102

    FAKULTAS KEPERAWATAN

    UNIVERSITAS PADJADJARAN

    2014

  • i

    DAFTAR ISI

    DAFTAR ISI .................................................................................................. i

    BAB I TEORI PSIKOSOSIAL .................................................................... 1

    A. TEORI PERKEMBANGAN FREUD ......................................... 1

    B. TEORI PERKEMBANGAN ERIK H ERIKSON ....................... 4

    C. RESPON BIOLOGIS TERHADAP STRESSOR ....................... 7

    BAB II MASALAH PSIKOSOSIAL ............................................................ 9

    A. GANGGUAN CITRA TUBUH .................................................. 9

    B. KECEMASAN ............................................................................ 11

    C. KETIDAKBERDAYAAN .......................................................... 20

    D. HARGA DIRI RENDAH SITUASIONAL ................................ 23

    E. KEPUTUSASAAN ..................................................................... 27

    F. DUKACITA ................................................................................ 30

    G. PENYALAHGUNAAN NAPZA ............................................... 34

    BAB III RESUME ANALISIS KASUS ......................................................... 46

    DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 53

  • 1

    BAB I

    TEORI PSIKOSOSIAL

    A. TEORI PERKEMBANGAN FREUD

    Perkembangan merupakan perubahan psikologis atau mental yang

    dialami individu dalam proses menjadi dewasa. Perubahan tersebut membuat

    semakin terdeferensiasinya seluruh aspek kepribadian individu, dan segala

    aspek yang berkembang tersebut terorganisasi menjadi satu totalitas.

    Sigmund Freud menyatakan bahwa perkembangan kepribadian seseorang

    dapat mengalami gangguan. Bila gangguan tersebut menyebabkan seseorang

    berprilaku seperti pada tahap perkembangan sebelumnya maka akan terjadi

    regresi (perilaku kembali ke masa yang lebih muda dari masa sekarang).

    Sedangkan bila gangguan itu menyebabkan perkembangan terhambat sehingga

    untuk suatu periode tertentu pola perilaku tidak berubah maka terjadi fiksasi

    (perilaku menetap yang dibawa dari kecil hingga perjalanannya menuju

    dewasa), akan tetapi tidak semua aspek perilaku dapat terulang kembali.

    Teori psikoanalisis mendukung gagasan bahwa semua perilaku manusia

    ada penyebabnya dan dapat dijelaskan. Freud yakin bahwa banyak perilaku

    manusia di motivasi oleh impuls dan naluri seksual yang di keluarkan dari alam

    sadar. Freud mengonseptualisasi struktur kepribadian menjadi 3 komponen

    (Videbeck, 2008):

    1. Id merupakan bagian sifat individu yang mencerminkan naluri dasar atau

    bawaan seperti perilaku mencari kesenangan, agresi dan impuls seksual. Id

    mencari kesenangan instan yang menyebabkan perilaku impulsit dan tidak

    dipikirkan juga tidak mematuhi aturan atau konvensi sosial.

    2. Super ego merupakan bagian sifat individu yang mencerminkan konsep

    moral, etis, nilai, serta harapan sosial dan orangtua. Oleh karena itu super

    ego berlawanan dengan id.

    3. Ego merupakan kekuatan pengimbang atau penengah antara id dan super

    ego. Ego dapat menunjukan perilaku dewasa dan adaptif yang

    memungkinkan individu berhasil menjalankan fungsinya di dunia. Ansietas

    di yakini timbul akibat dari upaya ego menyeimbangkan naluri impuls id

    dengan aturan ketat super ego. Freud yakin ego menggunakan mekanisme

  • 2

    pertahanan ego yang merupakan metode untuk berupaya melindungi diri

    dan mengatasi dorongan dasar atau pikiran, perasaan, atau peristiwa yang

    menyakitkan secara emosional. Mekanisme pertahanan tersebut diantaranya

    adalah :

    1) Kompensasi, adalah pencapaian berlebihan dalam suatu area untuk

    menutupi kekurangan yang dirasakan di area lain.

    2) Konversi, ekspresi konflik emosional dalam bentuk gejala fisik yang

    biasanya bersifat sensori motor.

    3) Denial, yaitu kegagalan mengakui kondisi yang tidak dapat ia terima.

    4) Pengalihan, pengungkapan perasaan yang kuat kepada individu yang

    kurang mengancam. Bukan pada invidu yang menimbulkan perasaan

    tersebut.

    5) Diasoiasi, menghadapi konflik emosional melalui perubahan kesadaran

    atau identitas untuk sementara.

    6) Fiksasi, menetapnya suatu kepribadian yang terjadi akibat

    ketidakbersilan menyelesaikan tugas pada suatu tahap perkembangan

    tertentu.

    7) Identifikasi, meniru tindakan dan opini orang lain yang sangat

    berpengaruh dalam pencarian identitasnya.

    8) Introjeksi, menerima sikap keyakinan dan nilai orang lain seperti

    miliknya sendiri.

    9) Proyeksi, menyalahkan tanpa sadar pikiran yang tidak dapat diterima

    pada objek eksternal.

    10) Rasionalisai, menoleransi perilaku diri sendiri untuk menghindari rasa

    bersalahnya, tanggung jawab, konflik, ansietas, dan kehilangan

    kehormatan diri.

    11) Formasi reaksi, perilaku sebaliknya dari apa yang dipikirkan atau

    dirasakan.

    12) Regresi, kembali ke tahap perkembangan sebelumnya utnuk

    mendapatkan rasa aman atau memenuhi kebutuhan.

    13) Represi, menyingkirkan secara emosional pikiran dan perasaan yang

    menimbulkan ansietas atau menyedihkan dari alam sadar

  • 3

    14) Resistensi, antagonisme yang nyata atau tersembunyi dalam mengingat

    atau memproses informasi yang menghasilkan ansietas.

    15) Sublimasi, mengganti impuls yang tidak dapat diterima dengan

    aktivitas yang dapat diterima oleh masyarakat.

    16) Substitusi, mengganti kepuasan yang diharapkan dengan sesuatu yang

    lebih mudah dilakukan.

    17) Supresi, menyingkirkan secara sadar pikiran dan perasaan yang tidak

    dapat diterima dalam alam sadar.

    18) Undoing, memperlihatkan perilaku yang dapat diterima untuk

    mengganti atau menghilangkan perilaku yang tidak dapat diterima.

    Teori perkembangan menurut Sigmund Freud yang terkenal adalah teori

    perkembangan psikoseksual (1856-1938). Ia menjelaskan bahwa fase-fase

    individu didorong oleh energi psikis yang disebut libido. Libido adalah energi

    psikis yang bersifat seksual dan sudah ada sejak bayi. Setiap tahap

    perkembangan ditandai dengan berfungsinya dorongan-dorongan tersebut pada

    daerah tubuh tertentu. Freud membagi perkembangan menjadi lima fase

    psikoseksual (Suliswati, 2005).

    1. Fase Oral (0-1 tahun)

    Pada fase ini anak memperoleh kepuasan dan kenikmatan yang bersumber

    pada mulutnya. Hubungan sosial pada fase ini bersifat fisik. Objek sosial

    terdekat adalah ibu terutama saat menyusu. Contohnya bila anak tidak

    menyusu ia akan memperoleh kepuasan oral dengan memasukan jarinya ke

    mulut.

    2. Fase Anal (1-3 tahun)

    Pada fase ini pusat fase kenikmatan terletak pada anus terutama saat

    defekasi. Fase ini merupakan saat yang tepat untuk mengajarkan disiplin

    termasuk toilet training karena anak sudah mulai mampu bertanggung jawab

    terhadap kegiatan tertentu.

    3. Fase Falik (3-5 tahun)

    Pusat kepuasan pada fase ini terletak pada daerah kelamin anak sudah lebih

    tertarik pada perbedaan anatomis antara laki-laki dan perempuan. Pada laki-

  • 4

    laki keterdekatan pada ibunya menimbulkan gairah seksual dan perasaan

    cinta yang disebut oedipus kompleks. Tapi perasaan ini kemudian diikuti

    oleh kecemasan kostrasi (takut dipotong kelaminnya) sehingga anak akan

    lebih menurut dan meniru perilaku ayahnya yang dianggap saingannya.

    Konfik ini akan terselesaikan jika anak sudah bisa menerima dan

    mengagumi sosok ayah sehingga menjadi model perilakunya yang disebut

    egio ideal.

    4. Periode Laten (5-12 tahun)

    Fase ini adalah masa tenang kecemasan dan ketakutan yang timbul pada

    masa sebelumnya dapat ditekan. Anak lebih sering bergaul dengan teman

    sejenis sehingga fase ini disebut sebagai periode homoseksual alamiah.

    Anak akan mencari figur ideal orang dewasa yang berjenis kelamin sama

    dengannya.

    5. Fase genital (lebih dari 12 tahun)

    Pada fase ini alat-alat reproduksi sudah mulai matang dan pusat kenikmatan

    berada di daerah kelamin. Libido diarahkan untuk hubungan heteroseksual.

    Rasa cintanya pada anggota keluarga dialihkan pada orang lain yang

    berlawanan jenis.

    B. TEORI PERKEMBANGAN ERIK H. ERIKSON

    Erikson meneliti pengaruh proses sosial pada pengembangan

    kepribadian. Ia menggambarkan 8 tahap siklus kehidupan selama individu

    mengalami krisis perkembangan. Keberhasilan dari setiap tingkat

    perkembangan ini dapat menjadi pendukung bagi ego seseorang, sedangkan

    kegagalan pencapaian dapat merugikan. Erikson menyatakan, walaupun satu

    tahap dapat dicapai seseorang mungkin gagal pada tahap berikutnya sehingga

    perlu upaya penyelesaian (Suliswati, 2005).

    1. Masa Usia 0-1,5 tahun

    Terjadi konflik antara kepercayaan mendasar dan ketidakpercayaan

    mendasar (basic trust-basic mistrust)

    Perilaku yang menunjukan basic trust:

    1) Bersedia meminta dan mengharapkan bantuan

  • 5

    2) Menyatakn secara verbal rasa percaya kepada orang lain.

    Perilaku yang menunjukan basic mistrust:

    1) Membatasi percakapan dengan orang lain hanya pada hal-hal yang

    sepele.

    2) Menolak memberikan informasi pada orang lain.

    2. Masa Usia 1,5-3 tahun

    Terjadi konflik antara otonomi dan malu, ragu-ragu (otonomy-ashame-

    doubt)

    Perilaku yang menunjukan berkembangnya otonomi:

    1) Menerima peraturan dalam kelompok, tetapi juga mampu

    mengekspresikan ketidaksetujuan bila dipandang perlu

    2) Mampu mengekspresikan pendapatnya sendiri.

    Perilaku yng menunjukan malu dan ragu-ragu:

    1) Tidak mampu menyatakan keinginan

    2) Tidak mampu menytakan pendapatnya sendiri ketika ditentang

    3. Masa Usia 3-4 tahun

    Terjadi konflik antara inisiatif dan rasa bersalah (initiative-guilt)

    Perilaku yang menunjukan inisiatif:

    1) Berinisiatif memulai suatu tugas dengan keinginan yang benar.

    2) Banyk ingin tahu segala sesuatu

    Perilaku yang menunjukan rasa bersalah:

    1) Lebih suka meniru orang lain daripada mengembangkan ide-idenya

    sendiri

    2) Meminta maaf secara berlebihan dan menjadi sangat malu hanya karena

    kesalahan kecil

    4. Masa usia 6-12 tahun

    Terjadi konflik antara industri dan inferioritas (industry-inferiority)

    Perilaku yang menunjukan industri:

    1) Mampu menyelesaikan tugas dengan tuntas

    2) Dapat bekerjasama dengan orang lain

    Perilaku yang menunjukan perilaku inferioriti:

    1) Tidak mampu menyelesaikan tugas dengan tuntas

  • 6

    2) Tidak bisa bekerjasama dengan orang lain

    5. Masa Usia 12-20 tahun

    Terjadi konflik antara identitas dan kebingungan peran (identity-role

    confusion)

    Perilaku yang menunjukan identitas:

    1) Dalam menjalin hubungan dengan sesama jenis dan dengan lawan jenis

    2) Mampu mandiri

    Kegagalan tahap perkembangan ini berakhir terjadi kebingungan peran:

    1) Tidak mampu bertanggung jawab terhadap perbuatannya sendiri

    2) Tidak mempunyai tujuan hidup yang pasti

    6. Masa Usia 20-40 tahun

    Terjadi konflik antara intimasi dan isolasi (intimacy-isolation)

    Perilaku yang menunjukan intimasi:

    1) Menjalin hubungan yang intin dan intenif dengan pasangan hidup

    (menikah)

    2) Mengekspresikan perilaku seksual esuai jenis kelamninnya

    Perilaku yang menunjukan isolasi:

    1) Menyendiri

    2) Berperangai berlawann dengan jenis kelaminnya

    7. Masa Usia 40-64 tahun

    Terjadi konflik antara generativitas dan stagnasi (generativity-stagnation).

    Keberhasilan tahap perkembangan ini individu akan mencapai

    generativitas:

    1) Mau membagi pengalaman, pikiran dan pendapat dengan orang lain.

    2) Bersedia memberi pengarahan kepada orang lain

    Kegagalan dalam perkembangan ini berakibat individu mengalami stagnas:

    1) Lebih banyak menceritakan dirinya sendiri daripada mendengarkan orang

    lain

    2) Menunjukan perhatian pada diri sendiri secara berlebihan dan seakan-

    akan tidak membutuhkan orang lain

    8. Masa usia < 65 tahun

    Terjadi konflik antara integritas dan putus asa (integrity-despair).

  • 7

    Perilaku yang menunjukan tercapainya intergritas:

    1) Bersedia menggunakan pengalamannya untuk membantu orang lain

    2) Masih produktif dalam beberapa area kehidupan

    Individu yang tidak mencapai kepuasan dalam tahap ini akan mengalami

    keputusasaan hidup:

    1. Menangis dan apatis

    2. Meminta perhatian dan bantuan yang berlebihan dari orang lain.

    C. RESPON BIOLOGIS TERHADAP STRESS

    Pada tahun 1936, Selye merumuskan stress sebagai general adaptation

    syndrom (GAS). Selye membagi reaksi umum tubuh terhadap stress dalam tiga

    tahap yaitu tahap waspada, tahap melawan dan tahap kelelahan.

    Bila faktor penyebab stres tidak dapat diatasi dan faktor penyebabnya

    terlalu bear maka reaksi tubuh yaitu GAS mulai bekerja untuk melindungi

    individu. GAS pada dasarnya merupakan reaksi fisiologis terhadap rangsangan

    fisik dan psikososial. Bila individu terancam oleh stres, iyaratnya akan dikirim

    ke otak dan otak mengirim informasi ke hipotalamus sehingga sistem saraf

    otonom dan endokrin terstimulasi. Akibatnya terjadi suatu perubahan fisiologis

    berupa gejala dari sistem saraf otonom dan sistem endokrin.

    1. Tahap Reaksi Waspada

    Tahap ini melibatkan pengerahan mekanisme pertahanan dari tubuh dan

    pikiran untuk menghadapi stressor. Reaksi psikologis fight or flight dan

    reaksi fisiologis. Stres menstimulasi pesan fisiologis tubuh dari hipotalamus

    ke kelenjar (misalnya, kelenjar adrenal untuk mengirim adrenalin dan

    norepinefrin sebagai pembangkit emosi) dan organ-organ (misalnya, hati

    untuk mengubah kembali simpanan glikogen menjadi glukosa sebagai

    makanan) untuk mempersiapkan kebutuhan pertahanan potensial.

    Karenanya banyak organ tubuh yang terpengaruh maka gejala stres akan

    memengaruhi denyut nadi, ketegangan otot. Pada saat yang sama daya tahan

    tubuh berkurang.

  • 8

    2. Tahap reaksi melawan

    Pada tahap ini individu mencoba berbagai mekanisme penanggulangan

    psikologis dan pemecahan masalah erta mengatur strategi untuk menghadapi

    stressor tersebut. Tubuh berusaha menyeimbangkan proses fisiologis yang

    terpengaruh selama reaksi waspada gar berusaha kembali normal dan

    berusaha mengatasi faktor-faktor penyebab stres. Jika stresor berjalan terus

    dan tidak dapat diatasi mak ketahan tubuh akan habis.

    3. Tahap reaksi kelelahan

    Terjadi karena perpanjangan tahap awal stres, energi penyesuaian terkuras

    sehingga individu tidak dapat lagi menyesuaikan diri dengan stres yang

    diahadapi.Tahap kelelahan terjadi ketika individu berespon negatif terhadap

    ansietas dan stres, cadangan tubuh berkurang atau komponen emosional

    berubah sehingga timbul respon fisiologis yang berkelanjutan dan kapasitas

    cadangan menjadi sedikit.

  • 9

    BAB II

    MASALAH PSIKOSOSIAL

    A. GANGGUAN CITRA TUBUH

    Citra tubuh adalah sikap, persepsi, keyakinan, dan pengetahuan individu

    secara sadar atau tidak sadar terhadap tubuhnya yaitu ukuran, bentuk struktur,

    fungsi keterbatasan, serta makna dan objek yang kontak secara terus-menerus

    (anting, make up, kontak lensa, pakaian, kursi roda) baik masa lalu maupun

    sekarang. (Dalami dkk dalam Fitria dkk., 2013)

    Tanda dan Gejala:

    1. Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah.

    2. Tidak menerima perubahan tubuh yang telah terjadi/akan terjadi.

    3. Menolak penjelasan perubahan tubuh.

    4. Persepsi negatif pada tubuh.

    5. Preokupasi dengan bagian tubuh yang hilang.

    6. Mengungkapkan keputusaaan.

    7. Mengungkapkan ketakutan.

    Tanda dan gejala lain yang mungkin muncul:

    1. Citra yang mengalami distorsi, melihat diri sebagai gemuk, meskipun pada

    keadaan berat badan normal atau angat kurus.

    2. Penolakan bahwa adanya masalah dengan berat badan yang rendah.

    3. Kesulitan menerima penguatan positif.

    4. Kegagalan untuk mengambil tanggung jawab menurut diri sendiri.

    5. Tidak berpartisipasi terhadap terapi.

    6. Perilaku merusak diri sendiri, muntah yang dibuat sendiri; penyalahgunaan

    obat-obatan pencahar dan diuretik, penolakan untuk makan.

    7. Kontak mata hilang.

    8. Alam peraaan yang tertekan dan pikiran-pikiran yang mencela diri sendiri

    setelah episode dari pesta dan memicu perut.

    9. Perenungan yang mendalam tentang penampilan diri dan bagaimana orang-

    orang lain melihat diri mereka.

  • 10

    Masalah Keperawatan dan Data yang Perlu Dikaji

    Masalah keperawatan yang mungkin timbul (Fitria dkk, 2013):

    1. Gangguan citra tubuh.

    2. Koping individu tidak efektif.

    3. Gangguan identitas personal.

    4. Keputusasaan/ketidakberdayaan.

    5. Harga diri rendah situaional.

    Data yang perlu dikaji untuk masalah gangguan citra tubuh adalah sebagai

    berikut:

    1. Data Subjektif

    Contoh:

    Saya tidak mau mendengarkan penjelasan perawat setelah payudara saya

    dioperasi

    Saya tidak mau menyentuh payudara saya sekarang

    Payudara saya tidak bia berfungsi sediakala, saya malu.

    2. Data Objektif

    a. Klien menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang telah

    dioperasi.

    b. Klien menolak penjelasan perubahan tubuh yang telah terjadi.

    c. Klien berpersepsi negatif terhadap tubuhnya.

    Rencana Tindakan Keperawatan (Fitria dkk, 2013)

    Diagnosa

    Keperawatan Tujuan Intervensi

    Gangguan

    citra tubuh

    Tujuan Jangka Panjang :

    Klien menerima apa adanya

    perubahan tubuhnya secara

    positif.

    Tujuan Jangka Pendek :

    1. Meningkatkan

    keterbukaan dan rasa

    saling percaya.

    2. Melibatkan peran serta

    klien sesuai dengan

    kemampuan yang

    1. Membina hubungan

    perawat-klien yang

    terapeutik.

    2. Berikn pendidikan

    kesehatan sesuai dengan

    kebutuhan klien.

    3. Dorong klien untuk

    merawat diri dan berperan

    dalam proses keperawatan

    secara bertahap dan

    berlanjut.

  • 11

    dimiliki.

    3. Mengidentifikasi

    perubahan citra tubuh.

    4. Menerima peraaan dan

    pikirannya.

    5. Menetapkan masalah yang

    dihadapinya.

    6. Mengidentifikasi

    kemampuan koping dan

    sumber pendukung lain.

    7. Melakukan tindakan yang

    dapat mengembangkan

    integritas diri.

    4. Tingkatkan peran serta

    kelompok sesama klien

    yang memiliki masalah

    sama namun telah

    menyelesaikan

    masalahnya dengan baik.

    5. Tingkatkan dukungan

    keluarga klien terutama

    pasangan klien.

    6. Bantu klien memutuskan

    alternatif tindakan yang

    dapat mengurangi

    seminimal mungkin

    perubahan citra tubuh.

    7. Lakukan rehabilitasi

    bertahap untuk

    beradaptasi terhadap

    perubahan.

    B. KECEMASAN (ANSIETAS)

    Ansietas adalah suatu perasaan tidak santai yang samar-samar karena

    ketidaknyamanan atau rasa takut yang disertai suatu respons(sumber seringkali

    tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu); suatu perasaan takut akan

    terjadi sesuatu yang diebabkan oleh antisipasi bahaya. Hal ini merupakan

    sinyal yang menyadarkan bahwa peringatan tentang bahaya yang akan datang

    dan memperkuat individu dengan mengambil tindakan menghadapi ancaman

    (NANDA, 2009, dalam Fitria dkk, 2013)

    Tingkatan Ansietas

    Tingkat ansietas menurut Stuart dan Sundeen (2007) adalah sebagai berikut

    (Fitria dkk, 2013):

    1. Ansietas Ringan.

    Tingkat ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-

    hari dan menyebabkan seseorang waspada dan meningkatkan lahan

  • 12

    persepsinya. Ansietas memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan

    dan kreativitas.

    2. Ansietas Sedang

    Tingkat sedang memungkinkan seeorang untuk memusatkan pada hal yang

    penting dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang mengalami

    perhatian yang selektif namun dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah.

    3. Ansietas Berat

    Tingkat berat sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang

    cenderung untuk memusatkan pada suatu yang terinci, spesifik, dan tidak

    dapat berpikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi

    ketegangan. Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat

    memusatkan pada area lain.

    4. Tingkat Panik

    Tingkat ini berhubungan degan terperangah, ketakutan dan teror. Rincian

    terpecah dari proporsinya, tidak mampu melakukan sesuatu walaupun

    dengan pengarahan. Panik melibatkan disorganisasi kepribadian. Terjadi

    peningkatkan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan berhubungan

    dengan orang lain, persepsi menyimpang, dan kehilangan pemikiran

    rasional.

    Secara praktis kita dapat membedakan tingkatan ansietas ini dalam kehidupan

    sehari-hari seperti berikut ini (Fitria dkk, 2013):

    1. Tingkat Ringan: seseorang yang menghadapi suatu masalah mencoba

    menjadikan stressor yang ada sebagai media untuk meningkatkan koping

    dirinya dengan cara menghadapi dan menyelesaikan masalah walaupun

    perlu beberapa waktu secara mandiri untuk menghadapinya. Dalam kondisi

    ini individu tida memerlukan oranglain yang membantu dirinya menghadapi

    masalah.

    2. Tingkat Sedang: seseorang mencoba menghadappi dan menyelesaikan

    masalah dengan bantuan oranglain yang menjadi orang kepercayaan bagi

    dirinya, misalnya sahabat, orangtua, dosen, dan lain-lain.

  • 13

    3. Tingkat Berat : seseorang tidak sanggup mengahadapi dan menyelesaikan

    masalah walaupun dengan bantuan orang lain yang sudah dipercaya. Dirinya

    merasa tidak mampu dan hilang pengharapan untuk menyelesaikan masalah.

    4. Tingkat Panik: merupakan kelanjutan dari tingkat berat yang sudah

    mengalami gangguan perilaku motorik misalnya mengamuk dan melakukan

    perilaku kekerasan pada orang lain. Kondisi tersebut sudah semestinya

    memerlukan bantuan dari pihak medis untuk menurunkan tingkat

    kecemasan karena secara umum aktivitas sehari-hari sudah terganggu.

    Faktor Predisposisi

    Menurut Stuart dan Sundeen (2007) terdapat beberapa teori yang dapat

    menjelaskan ansietas, di antaranya sebagai berikut (Fitria dkk, 2013):

    1. Pandangan Psikoanalitik.

    Teori ini beranggapan bahwa ansietas terjadi apabila konflik emosional

    yang terjadi antara dua elemen kepribadian, yaitu id dan superego. Id

    mewakili dorongan insting dan impuls primitif, sedangkan superego

    mencermikan hati nurani dan dikendalikan oleh norma-norma budaya

    seseorang. Ego berfungsi menengahi tuntutan dari kedua elemenyang

    bertentangan, sedangkan fungsi ansietas adalah mengingatkan ego bahwa

    ada bahaya.

    2. Pandangan Interpersonal

    Teori ini beranggapan bahwa ansietas timbul dari perasaan takut terhadap

    tidak adanya penerimaan dan penolakan interpersonal. Ansietas

    berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti perpisahan dan

    kehilangan yang menimbulkan kelemahan spesifik. Orang yang mengalami

    harga diri rendah mudah mengalami perkembangan ansietas yang tepat.

    3. Pandangan Perilaku.

    Teori ini beranggapan bahwa ansietas merupakan produk frustasi yaitu

    segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai

    tujuan yang diinginkan. Pakar perilaku menganggap bahwa sebagai

    dorongan belajar berdasarkan keinginan dari dalam untuk menghindari

    kepedihan. Individu yang terbiasa dengan kehidupan dini dihadapkan pada

  • 14

    ketakutan berlebihan, lebih sering menujukkan ansietas dalam kehidupan

    selanjutnya.

    4. Kajian Keluarga.

    Teori ini beranggapan ansietas merupakan hal yang biasa ditemui dalam

    keluarga. Ada tumpang tindih dalam gangguan ansietas dan antara gangguan

    ansietas dengan depresi.

    5. Kajian Biologis.

    Menurut kajian secara biologis, otak mengandung reseptor khusus untuk

    benzodiapine. Reseptor ini membantu mengatur ansietas. Penghambat

    GABA juga berperan utama dalam mekanisme biologis berhubungan

    dengan ansietas sebagaimana halnya dengan endofrin. Ansietas mungkin

    disertai dengan gangguan fisik dan selanjutnya menurunkan kapasitas

    seseorang untuk mengatasi stresor.

    Faktor Presipitasi

    Faktor presipitasi dibedakan menjadi hal-hal berikut (Fitria dkk, 2013):

    1. Ancaman terhadap integritas seseorang, meliputi ketidakmampuan fisiologis

    yang akan dating atau menurunnya kapasitas untuk melakukan aktivitas

    hidup sehari-hari.

    2. Ancaman terhadap system diri, seseorang dapat membahayakan identitas,

    harga diri, dan fungsi social yang terintegraso seseorang.

    Strategi Koping

    Tingkat ansietas sedang dan berat menimbulkan dua jenis strategi koping

    sebagai berikut (Fitria dkk, 2013):

    1. Reaksi yang Berorientasi pada Tugas

    Reaksi yang berorientasi pada tugas berupa upaya yang disadari dan

    berorientasi pada tindakan untuk memenuhi secara realitas tuntutan situasi

    stress, misalnya perilaku menyerang untuk mengubah atau mengatasi

    hambatan pemenuhan kebutuha, menarik diri untuk memindahkan dari

    sumber stress, kompromi untuk mengganti tujuan, atau mengorbankan

    kebutuhan personal.

  • 15

    2. Mekanisme Pertahanan Ego

    Mekanisme koping ini akan membantu mengatasi ansietas ringan dan

    sedang, tetapi berlangsung tidak sadar dan melibatkan penipuan diri, serta

    distorsi realitas dan bersifat maldaptif.

    Data Yang Perlu Dikaji (Nanda, 2009-2011, dalam Fitria dkk, 2013)

    1. Perilaku.

    Produktivitas menurun, mengamati dan waspada, kontak mata buruk,

    gelisah, melihat sesuatu, pergerakan berlebihan (seperti: foot shuffing,

    pergerakan tangan/lengan) , ungkapan perhatian berkaitan dengan

    mengubah peristiwa dalam hidup, insomnia, dan perasaan gelisah.

    2. Afektif

    Menyesal, iritiabel, kesedihan mendalam, takut, gugup, sukacita berlebihan,

    nyeri dan ketidakberdayaan meningkat secara menetap, gemertak,

    ketidakpastian, kekhawatiran meningkat, fokus pada diri sendiri, perasaan

    tidak adekuat, ketakutan, tertekan, dan perasaan gelisah.

    3. Fisiologis

    Suara bergetar, gemetar/tremor tangan, bergoyang-goyang, respirasi

    meningkat (simpatis), kesegaran berkemih (parasimpatis), nadi meningkat

    (simpatis), dilatasi pupil (simpatis), reflex-refleks meningkat (simpatis),

    nyeri abdomen (parasimpatis), gangguan tidur (parasimpatis), perasaan geli

    pada ekstermitas (parasimpatis), eksitasi kardiovaskular (simpatis), peluh

    meningkat, wajah tegang, anoreksia, jantung berdebar-debar (simpatis),

    diare (parasimpatis), keragu-raguan berkemih (parasimpatis), kelelahan

    (parasimpatis), mulut kering (simpatis), kelemahan (simpatis), nadi

    berkurang (parasimpatis), wajah bergejolak (simpatis), vasokonstriksi

    superfisial (parasimpatis), berkedutan (simpatis), tekanan darah menurun

    (parasimpatis), mual (parasimpatis), keseringan berkemih (parasimpatis),

    pingsan (parasimpatis), sukar bernapas (simpatis), tekanan darah meningkat

    (parasimpatis).

  • 16

    4. Kognitif

    Hambatan berpikir, bingung, preokupasi, pelupa, perenungan, perhatian

    lemah, lapang persepsi menurun, takut akibat yang tidak khas, cenderung

    menyalahkan orang lain, sukar berkonsentrasi, kemampuan berkurang untuk

    memecahkan masalah dan belajar, serta kewaspadaan terhadap gejala

    fisiologis.

    Faktor Yang Berhubungan

    Terpapar toksin, konflik tidak disadari tentang pentingnya nilai-nilai/tujuan

    hidup, hubungan kekeluargaan/ keturunan, kebutuhan yang tidak terpenuhi,

    interpersonal transmisi/penularan, krisis situasional/maturasi, ancaman

    kematian, ancaman terhadap atau perubahan dalam: status peran , status

    kesehatan, pola interaksi, fungsi peran, lingkungan, dan status ekonomi (Fitria

    dkk, 2013).

    Masalah Keperawatan Dan Data Yang Perlu Dikaji

    Masalah keperawatan yang dapat timbul antara lain sebagai berikut (Fitria dkk,

    2013):

    1. Kecemasan/ansietas

    2. Ketidakefektifan koping.

    3. Gangguan citra tubuh.

    4. Kurangnya pengetahuan.

    5. Harga diri rendah situasional.

    6. Gangguan pola tidur.

    Data yang perlu dikaji adalah sebagai berikut.

    1. Data Subjektif

    Contoh:

    Perasaan saya tidak enak saat menghadapi ujian sidang skripsi minggu

    depan

    Badan saya terasa gemuk saat bangun tidur

    Saya merasa sulit berkonsentrasi belajar, apalagi harus menuntaskan

    proposal penelitian yang harus selelsai minggu ini

  • 17

    2. Data Objektif.

    a. Laju (rate) respirasi klien di atas batas normal (RR = 30x/menit).

    b. Klien terlihat lesu dan tidak bersemangat dalam mengikuti aktivitas.

    c. Klien tidak mampu menjawab pertanyaan perawat mengenai resume dari

    topik yang telah dibicarakan dengan perawat.

    Rencana Tindakan Asuhan Keperawatan Berdasarkan Tingkatan

    Kecemasan

    No.

    Tingkat

    Kecem

    asan

    Tujuan

    Jangka

    Panjang

    Tujuan

    Jangka

    Pendek

    Intervensi

    1. Berat

    dan

    panik

    Klien dapat

    mengurangi

    kecemasann

    ya sampai

    tingkat

    sedang atau

    ringan

    1. Membina

    hubungan

    saling

    percaya

    1. Dengarkan keluhan klien.

    2. Dukung klien untuk

    mendiskusikan perasaannya.

    3. Jawab pertanyaan klien secara

    langsung.

    4. Tanyakan sikap menerima klien

    tanpa pamrih.

    5. Hargai pribadi klien

    2. Menyad

    ari dan

    mengont

    rol

    perasaan

    sendiri.

    1. Bersikap terbuka

    2. Terima perasaan positif maupun

    negatif termasuk perkembangan

    kecemasannya.

    3. Pahami perasaan klien dengan

    cara yang terapeutik.

    3. Meyakin

    kan

    klien

    tentang

    manfaat

    mekanis

    me

    koping

    yang

    bersifat

    melindu

    nginya.

    1. Terima dan berikan dukungan

    pada klien tanpa menentang

    keyakinannya.

    2. Sadari tentang keyakinan rasa

    sakit yang dikaitkan dengan

    mekanisme koping.

    3. beri umpan balik pada klien

    mengenai perilaku stresor,

    penilaian dan sumber koping

    4. Beri batasan perilaku maladaptif

    dengan cara yang mendukung.

  • 18

    4. Mengide

    ntifikasi

    situasi

    yang

    dapat

    menyeba

    bkan

    kecemas

    an.

    1. Tunjukkan sikap yang tenang

    perawat di depan klien.

    2. Ciptakan situasi dan lingkungan

    yang tenang.

    3. Batasi interaksi klien lain untuk

    mengurangi rangsangan yang

    dapat menimbulkan kecemasan.

    4. Identifikasi dan modifikasi

    situasi yang tepat.

    5. Beri bantuan terapi fisik seperti

    mandi, dipijat/masase.

    5. Menganj

    urkan

    klien

    meningk

    atkan

    aktivitas

    sehari-

    hari

    1. Beri aktivitas yang bersifat

    mendukung atau menguatkan

    perilaku sosial yang produktif.

    2. Beri latihan fisik sesuai bakat

    dan kemampuan.

    3. Rencanakan jadwal aktivitas

    yang dapat dilakukan sehari-

    hari.

    4. Libatkan keluarga dan system

    pendukung lainnya.

    6. Meningk

    atkan

    kesehata

    n fisik

    dan

    kesejaht

    eraan

    pasien

    1. Kolaborasi dengan dokter

    pemberian obat untuk

    menurunkan kondisi tidak

    nyaman pada klien.

    2. Amati efek samping obat.

    3. Berikan pendidikan kesehatan

    pada klien mengenai obat yang

    telah diberikan.

    2. Sedang Klien dapat

    menyelesaik

    an

    masalahnya

    dan

    mengatasi

    stress

    1. Menjalin

    dan

    mempert

    ahankan

    hubunga

    n saling

    percaya.

    1. Jadilah pendengar yang baik

    bagi klien

    2. Beri waktu yang cukup pada

    klien untuk berespons.

    3. Berikan dukungan pada klien

    untuk mengeksplorasi perasaam

    dirinya.

    2. Memban

    tu klien

    untuk

    menyada

    ri dan

    mengena

    1. Kenali perasaan klien.

    2. Identifikasi pola perilaku klien

    yang dapat menimbulkan

    perasaan negative akibat

    pendekatan perawat.

    3. Bersama dengan klien, gali

  • 19

    l stress. perilaku maldaptif sehingga

    klien dapat belajar dan

    berkembang.

    3. Memban

    tu

    dirinya

    untuk

    mengena

    l

    kecemas

    annya.

    1. Bantu klien mengidentifikasi

    dan mengungkapkan

    perasaannya.

    2. Kaitkan perilaku klien dengan

    perasaannya.

    3. Validasi kesimpulan dan asumsi

    klien.

    4. Gunakan teknik konfrontasi

    yang positif.

    4. Memperl

    uas

    kesadara

    nnya

    terhadap

    perkemb

    angan

    kecemas

    an.

    1. Bantu klien dalam menjelaskan

    situasi dan interaksi yang

    mendahului timbulnya

    kecemasan.

    2. Bersama dengan klien tinjau

    kembali penialain klien

    terhadap stressor yang dapat

    mengancam dan menimbulkan

    konflik.

    3. Kaitkan pengalaman sekarang

    dengan pengalaman masa lalu

    klien yang sesuai.

    5. Memban

    tu

    dirinya

    mempela

    jari

    respon

    koping

    baru

    yang

    efektif.

    1. Gali klien mengenai cara untuk

    mengurangi kecemasan yang

    terjadi pada masa lalu.

    2. Gali klien mengenai tindakan

    apa yang harus dilakukan pada

    masa lalu untuk mengurangi

    kecemasan

    3. Tunjukan akibat perilaku

    maladaptif dan dekstruktif dari

    respon koping sekarang.

    4. Beri dorongan pada klien untuk

    menggunakan respon koping

    adaptif di masa lalu.

    5. Pusatkan tanggung jawab pada

    perubahan dari klien.

    6. Terima peran aktif klien.

    7. Bantu klien mengidentifikasi

  • 20

    cara untuk menyusun kembali

    pikiran dan modifikasi perilaku.

    8. Gunakan sumber koping dan

    mencoba respon koping yang

    baru.

    9. Latih klien untuk mengahadapi

    masalah dengan kecemasan

    ringan untuk aspek

    perkembangan diri.

    10. Berikan aktivitas fidik untuk

    menyalurkan energi.

    11. Libatkan pihak yang

    berkepentingan sebagai sumber

    dan dukngan sosialdalam

    membantu klien menggunakan

    koping respons yang baru.

    6. Meningk

    atkan

    respons

    relaksasi

    .

    1. Gunakan teknik relaksasi untuk

    mengurangi kecemasan klien.

    2. Ajarkan klien latiuhan relaksasi

    untuk meningkatkan control dan

    rasa percaya diri.

    C. KETIDAKBERDAYAAN (POWERLESSNESS)

    Ketidakberdayaan adalah keadaan dimana individu tidak mampu

    mengontrol dirinya sendiri pada kejadian atau situasi apa pun (Muttaqin, 2010,

    dalam Fitria dkk, 2013). Ketidakberdayaan juga merupakan persepsi individu

    bahwa segala tindakannya tidak akan mendapat hasil atau suatu keadaan

    diamana individu kurang dapat mengendalikan kondisi tertentu atau jika yang

    baru dirasakan.

    Tanda dan Gejala

    - Menutupi segala ekspresi dirinya yang merasa tidak puas atay

    ketidakmampuan mengontrol situasi miasalnya pekerjaan, prognosis,

    perawatan, tingkat penyembuhan yang dapat mengganggu pandangan,

    tujuan, dan gaya hidup (tanda mayor)

  • 21

    - Apatis, cemas, marah, perilaku kekerasan, depresi, perilaku buruk,

    kegelisahan, isolasi sosial dna pasif (minor).

    Masalah Keperawatan dan Data yang Perlu Dikaji

    Masalah keperawatan yang mungkin dapat timbul adalah sebagai berikut:

    1. Ketidakberdayaan.

    2. Mekanisme koping tidak efektif.

    3. Harga diri rendah situasional.

    4. Kecemasan.

    5. Isolasi sossial.

    6. Risiko tinggi perilaku kekerasan.

    Data yang perlu dikaji adalah sebagai berikut.

    1. Data Subjektif

    Contoh:

    Saya tidak mampu mengendalikan situasi ini

    Saya tidak sanggup mempengaruhi situasi ini

    Saya tidak dapat mnghasilkan sesuatu yang berharga buat keluarga saya

    2. Data objektif.

    a. Klien tidak mau berpartisipasi dalam pengambilan keputusan walaupun

    adanya kesempatan.

    b. Klien segan mengekspresikan perasaan yang sebenarnya.

    c. Klien apatis/pasif.

    d. Ekspresi muka klien murung.

    e. Bicara dan gerakan klien lambat.

    f. Nafsu makan tidak ada atau berlebihan.

    g. Pola tidur klien berlebihan.

    h. Klien berusaha menghindari orang lain.

    Diagnosis Keperawatan Berdasarkan Prioritas

    1. Risiko tinggi perilaku kekerasan.

    2. Ketidakberdayaan.

    3. Mekanisme koping tidak efektif.

  • 22

    4. Harga diri rendah situasional.

    5. Kecemasan.

    6. Isolasi sosial.

    Rencana Tindakan Keperawatan

    Diagnosa

    Keperawatan Tujuan Intervensi

    Ketidakberda

    yaan

    Tujuan :

    1. Klien dapat

    melakukan cara

    pengambilan

    keputusan yang

    efektif untuk

    mengendalikan

    situasi

    kehidupannya.

    2. Klien dapat

    mengenali dan

    mengekspresikan

    emosi.

    3. Klien dapat

    memodifikasi pola

    kognitif yang

    bersifat negatif.

    4. Klien dapat

    berpartisipasi

    dalam

    pengambilan

    keputusan yang

    berkenan dengan

    perawatannya.

    5. Pasien dapat

    termotivasi aktif

    untuk mencapai

    tujuan yang

    realistis

    1. Lakukan pendekatan yang hangat,

    emnerima klien apa adanya dan

    bersifat empati.

    2. Mawas diri dan cepat

    mengendalikan perasaan dan

    reakdi diri perawat sendiri

    (misalnya: rasa marah, frustasi

    dan simpati).

    3. Sediakan waktu untuk berdiskusi

    dan bina hubungan yang sifatnya

    suportif.

    4. Beri waktu untuk klien

    memberikan respon terhadap

    kejadian yang dialaminya.

    5. Diskusikan tentang masalah yang

    dihadapi tanpa memintanya untuk

    menyimpulkan.

    6. Identifikasi pemikiran yang

    negative dan bantu untuk

    menurunkannya melalui interupsi

    atau subtitusi.

    7. Bantu klien untuk meningkatkan

    pemikiran yang positif..

    8. Evaluasi ketepatan persepsi,

    logika, dan kesimpulan yang

    dibuat klien.

    9. Kurangi penilaian negative klien

    terhadap dirinya.

    10. Bantu klien untuk menyadari nilai

    yang dimilikinya atau perilakunya

    dan perubahan yang terjadi.

    11. Diskusikan tentang masalah yang

    dihadapi tanpa memintanya untuk

  • 23

    menyimpulkan.

    12. Identifikasi pemikiran yang

    negative dan bantu untuk

    menurunkannya melalui interupsi

    atau subtitusi.

    13. Bantu klien untuk meningkatkan

    pemikiran yang positif..

    14. Evaluasi ketepatan persepsi,

    logika, dan kesimpulan yang

    dibuat klien.

    15. Kurangi penilaian negative klien

    terhadap dirinya.

    16. Bantu klien untuk menyadari

    nilai yang dimilikinya atau

    perilakunya dan perubahan yang

    terjadi.

    17. Libatkan klien dalam menetapkan

    tujuan-tujuan perawtannya yang

    ingin dicapai.

    18. Motivasi klien untuk membuat

    jadwal aktivitas perawatan

    dirinya.

    19. Bantu klien untuk menetapkan

    tujuan-tujuan yang realistis.

    20. Fokuskan kegiatan pada saat ini

    bukan pada kegiatan masa lalu.

    D. HARGA DIRI RENDAH SITUASIONAL

    Gangguan harga diri dapat dijabarkan sebagai perasaan yang negatif

    terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, serta merasa gagal mencapai

    keinginan sebagai respon terhadap hilangnya atau berubahnya perawatan diri

    seseorang yang sebelumnya mempunyai evaluasi diri positif. Misalnya,

    seseorang yang mengalami kecelakaan, cerai, putus sekolah, perasaan malu

    karena sesuatu, dsb. Harga diri rendah situasional bila tidak diatasi dapat

    menyebabkan harga diri rendah kronis (Fitria dkk, 2013).

  • 24

    Faktor Penyebab

    1. Faktor predisposisi

    a. Faktor yang memengaruhi harga diri diantaranya adalah penolakan orang

    tua, harapan orang tua yang tidak realistis, ketergantungan pada orang

    lain dan ideal diri yang tidak realistis.

    b. Faktor yang memengaruhi performa peran adalah steriotif peran gender,

    tuntutan peran kerja, nilai-nilai budaya yang tidak dapat diikuti oleh

    individu.

    c. Faktor yang memengaruhi identitas pribadi adalah ketidakpercayaan

    orang tua, tekanan dari kelompok sebaya dan perubahan struktur sosial.

    2. Faktor Presipitasi

    a. Trauma, seperti mengalami hal yang tidak menyenangkan atau

    menyaksikan peristiwa yang mengancm kehidupan.

    b. Ketegangan peran, individu mengalami frustasi ketika dihadapkan

    dengan situasi yang berhubungan dengan peran atau posisi yang

    diharapkan. Ada tiga jenis transisi peran :

    1) Transisi peran perkembangan, perubahan normatif terkait dengan

    pertumbuhan. Perubahan ini termasuk tahap perkembangan dalam

    kehidupan individu, keluarga, nilai dan norma budaya, serta tekanan

    untuk menyesuaikan diri.

    2) Transisi peran situasi, perubahan karena bertambah atau berkurangnya

    anggota keluarga.

    3) Transisi peran sehat-sakit, perubahan yang terjadi akibat dari keadaan

    sehat menjadi sakit. Dapat dicetuskan oleh hal-hal seperti kehilangan

    bagian tubuh, perubahan penampilan dan fungsi tubuh, serta prosedur

    medis dan keperawatan.

    Tanda dan Gejala

    1. Perasaan malu terhadap diri sendiri, misalnya karena perubahan fisik yang

    disebabkan oleh penyakit.

    2. Rasa bersalah terhadap diri sendiri, menyalahkan, mengkritik, mengejek diri

    sendiri.

  • 25

    3. Merendahkan martabat diri sendiri.

    4. Gangguan hubungan social.

    5. Kurang percaya diri, sukar mengambil keputusan.

    6. Mencederai diri.

    7. Mudah marah, mudah tersinggung.

    8. Apatis, bosan, jenuh dan putus asa.

    9. Kegagalan menjalankan peran sehingga menjadi proyeksi (menyalahkan

    orang lain).

    Proses seseorang mengalami harga diri rendah situasional biasanya

    diakibatkan oleh koping seseorang yang tidak efektif dalam mengahadapi

    gangguan citra tubuh atau gangguan identitas personal. Bila harg diri rendah itu

    tidak teratasi seseorang terebut akan merasa tidak berdaya dan timbul

    keputusasaan.

    Data yang Perlu Dikaji

    1. Data Subjektif

    Saya merasa malu dan tidak percaya diri setelah tangan saya diamputasi

    Saya tidak dapat menjadi kepala keluarga yang berguna setelah saya

    mengalami kelumpuhan

    Saya merasa bodoh karena saya tidak bisa lagi sekolah akibat penyakit

    yang saya alami

    2. Data Objektif

    a. Perasaan negatif terhadap diri sendiri

    b. Menarik diri dari kehidupan

    c. Kritik terhadap diri sendiri

    d. Destruktif terhadap diri sendiri dan orang lain

    e. Mudah tersinggung dan marah

    f. Produktivitas menurun

    g. Penolakan terhadap diri sendiri

    h. Keluhan fisik

  • 26

    Diagnosa Keperawatan

    1. Harga diri rendah situasional

    2. Ketidakefektifan koping

    3. Gangguan citra tubuh

    4. Gangguan identitas personal

    5. Ketidakberdayaan

    6. Keputusasaan

    Rencana Tindakan Keperawatan

    Diagnosa

    Keperawatan Tujuan Intervensi

    Harga diri

    rendah

    situasional

    Tujuan Jangka Panjang:

    Harga diri klien

    meningkat dalam

    menghadapi masalah

    berat yang dialami klien.

    Tujuan Jangka Pendek :

    1. Klien dapat

    mengidentifikasi

    kemampuan dan

    aspek positif yang

    dimiliki.

    2. Klien dapat menilai

    kemampuan diri yang

    dapat digunakan.

    3. Klien dapat memilih

    kegiatan sesuai

    kemampuan.

    4. Klien dapat melatih

    kegiatan yang telah

    dipilih

    1. Mengidentifikasikan

    kemampuan dan aspek positif

    yang masih dimiliki pasien

    dan membantu pasien

    menilai kemampuannya

    2. Membantu pasien dalam

    memilih kegiatan sesuai

    kemampuan pasien

    3. Melatih kegiatan yang sudah

    pasien pilih sesuai dengan

    kemampuannya

    4. Membantu pasien agar dapat

    merencanakan kegiatan yang

    sudah dipilih dan dilatih oleh

    pasien dan beri kesempatan

    pada pasien untuk

    mencobanya.

    5. Mengidentifikasikan

    kemampuan dan aspek positif

    yang masih dimiliki pasien

    dan membantu pasien

    menilai kemampuannya

    6. Membantu pasien dalam

    memilih kegiatan sesuai

    kemampuan pasien

  • 27

    7. Melatih kegiatan yang sudah

    pasien pilih sesuai dengan

    kemampuannya

    8. Membantu pasien agar dapat

    merencanakan kegiatan yang

    sudah dipilih dan dilatih oleh

    pasien dan beri kesempatan

    pada pasien untuk

    mencobanya

    E. KEPUTUSASAAN

    Keputusasaan merupakan keadaan subjektif seorang individu yang

    melihat keterbatasan atau tidak adanya alternatif atau pilihan pribadi yang

    tersedia dan tidak dapat memobilisasi energi yang dimilikinya (Fitria dkk,

    2013).

    Tanda dan Gejala

    1. Ungkapan klien tentang situasi kehidupan tanpa harapan dan terasa hampa.

    2. Klien tampak mengeluh dan murung.

    3. Klien berbicara seperlunya.

    4. Klien menunjukan kesedihan, afek datar atau tumpul.

    5. Klien mengisolasi diri.

    6. Kontak mata klien kurang.

    7. Klien masa bodoh terhadap situasi yang ada.

    8. Klien menunjukan gejala kecemasan.

    9. Nafsu makan klien berkurang.

    10. Peningkatan waktu tidur klien.

    11. Klien tidak mau terlibat dalam perawatan.

    12. Klien mengalami penurunan perhatian.

  • 28

    Faktor Penyebab

    1. Faktor Predisposisi

    a. Teori kehilangan, berhubungan dengan faktor perkembangan seperti

    kehilangan orang tua pada masa anak-anak. Teori ini menjelaskan bahwa

    seseorang tidak berdaya dalam mengatasi kehilangan.

    b. Teori kepribadian, ada kepribadian seseorng yang menyebabkan

    seseorang rentan terhadap rasa putus asa.

    c. Model kognitif, putus asa merupakan masalah kognitif yang didominasi

    oleh penilaian negatif seseorang terhadap diri sendiri, lingkungan dan

    masa depan.

    d. Model belajar ketidakberdayaan, putus asa dimulai dari hilangnya

    kendali diri yang kemudian menjadi pasif dan tidak mampu

    menyelesaikan masalah. Setelah itu , akan timbul keyakinan akan

    ketidakmampuan mengendalikan kehidupan sehingga individu menjadi

    tidak berupaya untuk mengembangkan respon yang adaptif.

    e. Model perilaku, putus asa terjadi karena kurangnya pujian positif selama

    berinteraksi dengan lingkungan.

    f. Model biologis, dalam tubuh seseorang terjadi penurunan zat kimiawi

    yaitu katekolamin, tidak berfungsinya endokrin dan terjadi peningkatan

    sekresi dari kortisol.

    2. Faktor Presipitasi

    a. Faktor biologis, putus asa dapat terjadi jika seseorang mengalami

    gangguan fisik yang diakibatkan penyakit tertentu atau pengobatan yang

    berlangsung lama.

    b. Faktor psikologis, putus asa dapat terjadi jika seseorang kehilangan kasih

    sayang dari seseorang yang dicintainya atau kehilangan harga dirinya.

    c. Faktor sosial budaya, putus asa terjadi jika seseorang mengalami

    kehilangan peran, misalnya karena perceraian atau kehilangan pekerjaan.

    Klien yang mengalami keputusasaan akan menampilkan perasaan diri

    negatif terhadap diri sendiri maupun lingkungan sekitar akibat dari

    keyakinan akan ketidakmampuan diri dalam menghadapi kehidupan. Jika

  • 29

    lingkungan eksternal kemudian tidak memberikan dukungan akan

    menyebabkan reaksi mengisolasi diri dan reiko tinggi bunuh diri.

    Data yang Perlu Dikaji

    1. Data Subjektif

    Hidup saya sudah tidak ada artinya lagi karena dia meninggalkan saya

    Saya tidak dapat melakukan pekerjaan itu lagi, pada akhirnya saya akan

    gagal

    Kalau tidak ada lagi yang peduli pada saya, saya pergi saja dari sini

    2. Data Objektif

    a. Klien tampak mengeluh dan murung

    b. Klien berbicara seperlunya

    c. Klien menunjukan kesedihan, afek datar dan tumpul.

    d. Klien mengisolasi diri

    e. Kontak mata klien kurang

    f. Klien menunjukan gejala kecemasan

    g. Nafsu makan berkurang

    h. Peningkatan waktu tidur klien

    i. Klien tidak mau terlibat dalam perawatan

    j. Klien mengalami penurunan perhatian

    Diagnosa Keperawatan

    1. Keputusasaan

    2. Resiko bunuh diri

    3. Kehilangan

    4. Harga diri rendah situaional

    5. Isolasi sosial

    Rencana Tindakan Keperawatan

    Diagnosa

    Keperawatan Tujuan Intervensi

    Keputusasaan

    Tujuan Jangka Panjang :

    Klien tidak mengalami

    1. Bina hubungan saling percaya

    2. Bantu klien mengenal masalah

  • 30

    keputusasaan

    Tujuan Jangka Pendek :

    1. Klien menyampaikan

    penderitaan yang

    dialami secara terbuka

    dan konstruktif.

    2. Klien dapat

    mengenang dan

    mengulas

    kehidupannya yang

    positif.

    3. Klien dapat

    mempertimbangkan

    nilai-nilai dan makna

    kehidupannya.

    4. Klien dapat

    mengungkapkan

    perasaan optimis

    tentang kehidupan.

    5. Klien dapat menjalin,

    membina dan

    mempertahankan

    hubungan yang positif

    dengan orang lain.

    6. Klien dapat

    mengekspresikan

    keyakinan spiritual.

    keputusasaannya

    3. Bantu klien untuk

    mengungkapkan perasaan

    sedih dan keputusasaannya

    4. Bantu klien berpartisipasi

    dalam segala aktivitas yang

    positif

    5. Dukung klien untuk

    mengungkapkan pengalaman

    yang mendukung pikiran dan

    perasaan positif

    6. Libatkan keluarga klien

    sebagai sistem pendukung

    klien

    7. Identifikasi masalah yang

    dialami keluarga terkait

    kondisi putus asa klien

    8. Dengarkan perasaan klien

    dengan seksama dan

    perlakukan ia sebagai seorang

    individu

    9. Bantu klien mempelajari

    keterampilan koping yang

    efektif.

    F. DUKA CITA

    Dukacita merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. Ada dua

    tipe dari berduka yaitu (Fitria dkk, 2013):

    a. Dukacita adaptif, pengalaman individu dalam merespon kehilangan yang

    aktual ataupun yang dirasakan seseorang atau ketidakmampuan fungsional

    tetapi dukacita masih dalam batas normal.

    b. Dukacita maladaptif, pengalaman individu berupa respon yang dibesar-

    besarkan saat mengalami kehilangan secara aktual maupun potensial.

    Dukacita ini dapat mengarah pada kesalahan/kekacauan.

  • 31

    Fase Berduka dari Berbagai Teori (Fitria dkk, 2013)

    1. Teori Engels (1964)

    a. Fase I : Syok dan tidak percaya.

    b. Fase II : Berkembangnya kesadaran.

    c. Fase III : Restitusi (mengalihkan kehilangan).

    d. Fase IV : Rasa bersalah dan menyesal.

    e. Fase V : Sudah menerima kondisinya, berkembang kesadaran baru.

    2. Teori Kubler- Ross (1969)

    a. Penyangkalan (Denial)

    b. Kemarahan (Anger)

    c. Tawar-menawar (Bargaining)

    d. Depresi (Depression)

    e. Penerimaan (Acceptance)

    3. Teori Martocchio (1985)

    Menggambarkan 5 fase kesedihan yang tumpang tindih dan tidak dapat

    diharapkan. Durasi kesedihan bervariasi dan bergantung pada faktor yang

    mempengaruhi respon kesedihan. Reaksi kesedihan bisa reda dalam 6-12

    bulan dan berduka yang mendalam mungkin berlanjut sampai 3-5 tahun.

    4. Teori Rando (1993)

    a. Penghindaran : syok, menyangkal dan tidak percaya.

    b. Konfrontasi : luapan emosi kuat untuk melawan kehilangan.

    c. Akomodasi : penurunan kedukaan dan kembali ke kehidupan sosial.

    Jenis Berduka

    Jenis berduka menurut Worden tahun 1982 (Fitria dkk, 2013):

    T : To accept the realityof the loss (menerima realita dari kehilangan).

    E : Experience the pain of the loss (mengalami kepedihan akibat kehilangan).

    A : Adjust the new environment without the lost object (menyesuaikan

    lingkungan baru tanpa objek yang hilang tersebut).

    R : Reinvest in the new reality (memberdayakan kembali energi emosional

    kepada hubungan yang baru).

  • 32

    Respon Berduka

    1. Dukacita adaptif (dukacita fungsional) termasuk proses berkabung, koping,

    interaksi, perencanaan dan pengenalan psikososial. Dukacita adaptif terjadi

    pada mereka yang menerima diagnosis yang mempunyai efek jangka

    panjang pada fungsi tubuh. Klien saat didiagnosis mungkin akan merasa

    sehat, tetapi mulai berduka ketika merespon informasi tentang kehilangan

    yang akan ia alami di masa mendatang berkaitan dengan penyakitnya.

    Dalam situasi ini dukacita adaptif dapat mendalam dan terbuka, dukacita

    adaptif tersebut mencakup melepas harapan, impian, dan harapan terhadap

    masa depan jangka panjang. Dukacita adaptif bagi klien menjelang ajal

    memiliki akhir yang pasti dan akan menghilang seirirng dengan kematian

    klien.

    2. Dukacita terselubung (Dukacita disfungional), terjadi ketika seseorang

    mengalami rasa berduka yang tidak dapat dikenali, rasa berkabung yang

    luas dan didukung secara sosial. Dukacita terselubung juga bisa diartikan

    sebagai seuatu respon terhadap kehilangan yang nyata maupun yang

    dirasakan. Individu menjadi terfiksasi pada satu tahap berduka untuk suatu

    periode waktu yang terlalu lama atau gejala berduka menjadi berlebihan

    hingga mengganggu fungsi kehidupan.

    Klien yang mengalami dukacita kemungkinan diakibatkan oleh

    koping individu yang tidak efektif dalam menghadapi masalah yang ada.

    Dukacita merupakan respon dari kehilangan dan bisa ditampilkan dalam

    bentuk dukacita adaptif dan maladaptif. Bila dukacita ini tidak diatasi, klien

    akan mengalami masalah-masalah lainnya eperti gangguan pola tidur,

    distres spiritual, isolasi sosial dan resiko tinggi bunuh diri.

    Data yang Perlu Dikaji

    1. Data Subjektif

    Saya tidak percaya hal menyedihkan seperti ini terjadi pada saya

    Mengapa hanya saya saja yang mengalaminya, mengapa bukan orang

    lain?

  • 33

    Saya tidak bisa tidur dan tidak semangat beraktivitas lagi

    2. Data Objektif

    a. Klien tampak menarik diri

    b. Klien duduk malas atau pergi tanpa tujuan

    c. Denyut jantung klien cepat

    Diagnosa Keperawatan

    a. Dukacita

    b. Resiko tinggi bunuh diri

    c. Ketidakefektifan koping

    d. Gangguan pola tidur

    e. Distress spiritual

    f. Isolasi sosial

    g. Resiko tinggi bunuh diri

    Rencana Tindakan Keperawatan

    Diagnosa

    Keperawatan Tujuan Intervensi

    Dukacita Tujuan Jangka Panjang :

    1. Klien mampu

    menyatakan secara

    verbal perilaku yang

    berhubungan dengan

    tahap berduka yang

    normal.

    2. Klien mampu

    mengakui posisinya

    sendiri dalam proses

    berduka sehingga

    mampu memecahkan

    masalah sendiri

    3. Klien mampu melalui

    proses dukacita dan

    menerima kehilangan

    Tujuan Jangka Pendek :

    1. Klien dapat membina

    hubungan saling

    1. Identifikasi tahapan

    berduka klien yang

    terfiksasi dan perilakunya.

    2. Bina hubungan saling

    percaya dengan klien

    3. Perlihatkan sikap menerima

    dan membiarkan klien

    mengekspreikan

    perasaannya secara terbuka.

    4. Dorong pasien untuk

    mengekspresikan rasa

    marah dan bantu

    mengeksplorasi rasa

    marahnya.

    5. Bantu pasien mengarahkan

    rasa marahnya kepada

    aktivitas motorik kasar.

    6. Bantu pasien untuk

    mengerti perasaan yang

  • 34

    percaya

    2. Klien mengenali

    peristiwa dukacita

    dan kehilangan

    3. Klien dapat

    mengidentifikasi

    cara-cara mengatasi

    dukacita yang

    dialaminya

    4. Klien dapat

    memanfaatkan faktor

    pendukung untuk

    menghadapi

    dukacitanya

    dirasakan sesuai tahapannya

    dan beri pengertian bahwa

    perasaan itu wajar dalam

    proses dukacita.

    7. Bantu pasien dalam

    menentukan metode-metode

    koping yang efektif dan

    lebih adaptif terhadap

    pengalaman kehilangan

    untuk memecahkan

    masalahnya

    8. Dorong pasien untuk

    mendapatkan dukungan

    spiritual

    G. PENYALAHGUNAAN NAPZA

    Penyalahgunaan zat adalah penggunaan zat secara terus menerus bahkan

    sampai setelah terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang

    parah dan sering dianggap sebagai penyakit. Adiksi umumnya merujuk pada

    perilaku psikososial yang berhubungan dengan ketergantungan zat. Gejala

    putus zat terjadi karena kebutuhan biologik terhadap obat. Toleransi adalah

    peningkatan jumlah zat untuk memperoleh efek yang diharapkan. Gejala putus

    zat dan toleransi merupakan tanda ketergantungan fisik (Stuart & Sundeen,

    1998, dalam Fitria dkk, 2013).

    Rentang Repon Penyalahgunaan NAPZA (Fitria dkk, 2013)

    1. Eksperimental: Kondisi pengguna taraf awal, yang disebabkan rasa ingin

    tahu dari remaja. Sesuai kebutuan pada masa tumbuh kembangnya, klien

  • 35

    biasanya ingin mencari pengalaman yang baru atau sering dikatakan taraf

    coba-coba.

    2. Rekreasional: Penggunaan zat adiktif pada waktu berkumpul dengan teman

    sebaya, misalnya pada waktu pertemuan malam mingguan, acara ulang

    tahun. Penggunaan ini mempunyai tujuan rekreasi bersama teman-

    temannya.

    3. Situasional: Mempunyai tujuan secara individual, sudah merupakan

    kebutuhan bagi dirinya sendiri. Seringkali penggunaan ini merupakan cara

    untuk melarikan diri atau mengatasi masalah yang dihadapi. Misalnya

    individu menggunakan zat pada saat sedang mempunyai masalah, stres, dan

    frustasi.

    4. Penyalahgunaan: Penggunaan zat yang sudah cukup patologis, sudah mulai

    digunakan secara rutin, minimal selama 1 bulan, sudah terjadi

    penyimpangan perilaku mengganggu fungsi dalam peran di lingkungan

    sosial, pendidikan, dan pekerjaan.

    5. Ketergantungan: Penggunaan zat yang sudah cukup berat, telah terjadi

    ketergantungan fisik dan psikologis. Ketergantungan fisik ditandai dengan

    adanya toleransi dan sindroma putus zat (suatu kondisi dimana individu

    yang biasa menggunakan zat adiktif secara rutin pada dosis tertentu

    menurunkan jumlah zat yang digunakan atau berhenti memakai, sehingga

    menimbulkan kumpulan gejala sesuai dengan macam zat yang digunakan.

    Sedangkan toleransi adalah suatu kondisi dari individu yang mengalami

    peningkatan dosis (jumlah zat), untuk mencapai tujuan yang biasa

    diinginkannya.

    Jenis-Jenis NAPZA (Fitria dkk, 2013)

    1. Narkotika

    Narkotika adalah suatu obat atau zat alami, sintetis maupun sintetis yang

    dapat menyebabkan turunnya kesadaran, menghilangkan atau mengurangi

    hilang rasa atau nyeri dan perubahan kesadaran yang menimbulkan

    ketergantungna akan zat tersebut secara terus menerus. Contoh narkotika

    yang terkenal adalah seperti ganja, heroin, kokain, morfin, amfetamin, dan

  • 36

    lain-lain. Narkotika menurut UU No. 22 tahun 1997 adalah zat atau obat

    berbahaya yang berasal dari tanaman ataubukan tanaman baik sintesis

    maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan maupun

    perubahan kesadaran, hilangnya rasa,mengurangi sampai menghilangkan

    rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan (Wresniwiro dkk. 1999).

    Golongan narkotika berdasarkan bahan pembuatannya adalah (Fitria dkk,

    2013):

    1) Narkotika alami yaitu zat dan obat yang langsung dapat dipakai sebagai

    narkotik tanpa perlu adanya proses fermentasi, isolasi dan proses lainnya

    terlebih dahulu karena bisa langsung dipakai dengan sedikit proses

    sederhana. Bahan alami tersebut umumnya tidak boleh digunakan untuk

    terapi pengobatan secara langsung karena terlalu berisiko. Contoh

    narkotika alami yaitu seperti ganja dan daun koka.

    2) Narkotika sintetis adalah jenis narkotika yang memerlukan proses yang

    bersifat sintesis untuk keperluan medis dan penelitian sebagai penghilang

    rasa sakit/analgesik. Contohnya yaitu seperti amfetamin, metadon,

    dekstropropakasifen, deksamfetamin, dan sebagainya.

    Narkotika sintetis dapat menimbulkan dampak sebagai berikut:

    a. Depresan : membuat pemakai tertidur atau tidak sadarkan diri.

    b. Stimulan : membuat pemakai bersemangat dalam beraktivitas

    kerja dan merasa badan lebih segar.

    c. Halusinogen : dapat membuat si pemakai jadi berhalusinasi yang

    mengubah perasaan serta pikiran.

    3) Narkotika semi sintetis yaitu zat/obat yang diproduksi dengan cara

    isolasi, ekstraksi, dan lain sebagainya seperti heroin, morfin, kodein,dan

    lain-lain.

    2. Psikotropika

    Menurut Kepmenkes RI No. 996/MENKES/SK/VIII/2002, psikotropika

    adalah zat atau obat, baik sintesis maupun semisintesis yang berkhasiat

    psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang

  • 37

    menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Zat yang

    tergolong dalam psikotropika (Hawari, 2006) adalah: stimulansia yang

    membuat pusat syaraf menjadi sangat aktif karena merangsang syaraf

    simpatis. Termasuk dalam golongan stimulan adalah amphetamine, ektasy

    (metamfetamin), dan fenfluramin. Amphetamine sering disebut dengan

    speed, shabu-shabu, whiz, dan sulph. Golongan stimulan lainnya adalah

    halusinogen yang dapat mengubah perasaan dan pikiran sehingga perasaan

    dapat terganggu. Sedative dan hipnotika seperti barbiturat dan

    benzodiazepine merupakan golongan stimulan yang dapat mengakibatkan

    rusaknya daya ingat dan kesadaran, ketergantungan secara fisik dan

    psikologis bila digunakan dalam waktu lama.

    3. Zat Adiktif Lainnya

    Zat adiktif lainnya adalah zat, bahan kimia, dan biologi dalam bentuk

    tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan

    lingkungan hidup secara langsung dan tidak langsung yang mempunyai sifat

    karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif, dan iritasi. Bahanbahan

    berbahaya ini adalah zat adiktif yang bukan termasuk ke dalam narkotika

    dan psikoropika, tetapi mempunyai pengaruh dan efek merusak fisik

    seseorang jika disalahgunakan (Wresniwiro dkk. 1999). Adapun yang

    termasuk zat adiktif ini antara lain: minuman keras (minuman beralkohol)

    yang meliputi minuman keras golongan A (kadar ethanol 1% sampai 5%)

    seperti bir, green sand; minuman keras golongan B (kadar ethanol lebih dari

    5% sampai 20%) seperti anggur malaga; dan minuman keras golongan C

    (kadar ethanol lebih dari 20% sampai 55%) seperti brandy, wine, whisky.

    Zat dalam alkohol dapat mengganggu aktivitas sehari-hari bila kadarnya

    dalam darah mencapai 0,5% dan hampir semua akan mengalami gangguan

    koordinasi bila kadarnya dalam darah 0,10% (Marviana dkk. 2000). Zat

    adiktif lainnya adalah nikotin, votaile, dan solvent/inhalasia.

  • 38

    Faktor Penyebab Penyalahgunaan NAPZA (Fitria dkk, 2013)

    1. Faktor Internal

    a. Faktor Kepribadian

    Kepribadian seseorang turut berperan dalam perilaku ini. Hal ini

    cenderung lebih banyak terjadi pada usia remaja. Remaja yang menjadi

    pecandu biasanya memiliki konsep diri yang negatif dan harga diri yang

    rendah. Perkembangan emosi yang terhambat, yang ditandai oleh

    ketidakmampuan mengekspresikan emosinya secara wajar, mudah

    cemas, pasif, agresif, dan cenderung depresi. Selain itu, kemampuan

    untuk memecahkan masalah secara adekuat berpengaruh terhadap cara

    mudah yang dilakukan untuk mencari pemecahan masalah, yaitu dengan

    cara melarikan diri.

    b. Inteligensia

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa inteligensia pecandu yang datang

    untuk melakukan konseling di klinik rehabilitasi pada umumnya berada

    pada taraf di bawah rata-rata dari kelompok usianya.

    c. Usia

    Mayoritas pecandu narkoba adalah remaja. Alasan remaja menggunakan

    narkoba adalah karena kondisi sosial, psikologis yang membutuhkan

    pengakuan, pencarian identitas dan kelabilan emosi; sementara pada usia

    yang lebih tua, narkoba digunakan sebagai obat penenang.

    d. Dorongan kenikmatan dan perasaan ingin tahu

    Narkoba dapat memberikan kenikmatan yang unik dan tersendiri.

    Mulanya perasaan enak diperoleh dari coba-coba dan ingin tahu atau

    ingin merasakan seperti yang diceritakan oleh teman-teman sebayanya.

    Lama kelamaan akan menjadi satu kebutuhan yang utama.

    e. Pemecahan masalah

    Pada umumnya para pecandu narkoba menggunakan narkoba untuk

    menyelesaikan persoalan. Hal ini disebabkan karena pengaruh narkoba

    dapat menurunkan tingkat kesadaran dan membuatnya lupa pada

    permasalahan yang ada.

  • 39

    2. Faktor Eksternal

    a. Keluarga

    Keluarga merupakan faktor yang paling sering menjadi penyebab

    seseorang menjadi pengguna narkoba. Berdasarkan hasil penelitian tim

    UKM Atma Jaya dan Perguruan Tinggi Kepolisian Jakarta pada tahun

    1995, terdapat beberapa tipe keluarga yang berisiko tinggi anggota

    keluarganya terlibat penyalahgunaan narkoba, yaitu:

    1) Keluarga yang memiliki riwayat (termasuk orang tua) mengalami

    ketergantungan narkoba.

    2) Keluarga dengan manajemen yang kacau, yang terlihat dari

    pelaksanaan aturan yang tidak konsisten dijalankan oleh ayah dan ibu

    (misalnya ayah bilang ya, ibu bilang tidak).

    3) Keluarga dengan konflik yang tinggi dan tidak pernah ada upaya

    penyelesaian yang memuaskan semua pihak yang berkonflik. Konflik

    dapat terjadi antara ayah dan ibu, ayah dan anak, ibu dan anak,

    maupun antar saudara.

    4) Keluarga dengan orang tua yang otoriter. Dalam hal ini, peran orang

    tua sangat dominan, dengan anak yang hanya sekedar harus menuruti

    apa kata orang tua dengan alasan sopan santun, adat istiadat, atau

    demi kemajuan dan masa depan anak itu sendiri tanpa diberi

    kesempatan untuk berdialog dan menyatakan ketidaksetujuannya.

    5) Keluarga yang perfeksionis, yaitu keluarga yang menuntut anggotanya

    mencapai kesempurnaan dengan standar tinggi yang harus dicapai

    dalam banyak hal.

    6) Keluarga yang neurosis, yaitu keluarga yang diliputi kecemasan

    dengan alasan yang kurang kuat, mudah cemas dan curiga, sering

    berlebihan dalam menanggapi sesuatu.

    b. Faktor kelompok teman sebaya (peer group)

    Kelompok teman sebaya dapat menimbulkan tekanan kelompok,

    yaitu cara teman-teman atau orang-orang seumur untuk mempengaruhi

    seseorang agar berperilaku seperti kelompok itu. Peer group terlibat

    lebih banyak dalam delinquent dan penggunaan obat-obatan. Dapat

  • 40

    dikatakan bahwa faktor-faktor sosial tersebut memiliki dampak yang

    berarti kepada keasyikan seseorang dalam menggunakan obat-obatan,

    yang kemudian mengakibatkan timbulnya ketergantungan fisik dan

    psikologis.

    Sinaga (2007) melaporkan bahwa faktor penyebab penyalahgunaan

    NAPZA pada remaja adalah teman sebaya (78,1%). Hal ini menunjukkan

    betapa besarnya pengaruh teman kelompoknya sehingga remaja

    menggunakan narkoba. Hasil penelitian ini relevan dengan studi yang

    dilakukan oleh Hawari (1990) yang memperlihatkan bahwa teman

    kelompok yang menyebabkan remaja memakai NAPZA mulai dari tahap

    coba-coba sampai ketagihan.

    c. Faktor kesempatan

    Ketersediaan narkoba dan kemudahan memperolehnya juga dapat disebut

    sebagai pemicu seseorang menjadi pecandu. Indonesia yang sudah

    menjadi tujuan pasar narkoba internasional, menyebabkan obat-obatan

    ini mudah diperoleh. Bahkan beberapa media massa melaporkan bahwa

    para penjual narkotika menjual barang dagangannya di sekolah-sekolah,

    termasuk di Sekolah Dasar. Pengalaman feel good saat mencoba drugs

    akan semakin memperkuat keinginan untuk memanfaatkan kesempatan

    dan akhirnya menjadi pecandu. Seseorang dapat menjadi pecandu karena

    disebabkan oleh beberapa faktor sekaligus atau secara bersamaan. Karena

    ada juga faktor yang muncul secara beruntun akibat dari satu faktor

    tertentu.

    Tanda dan Gejala (Fitria dkk, 2013)

    Tanda Dan Gejala Intoksikasi

    Opiat Ganja Sedatif

    Hipnotik Alkohol Amfetamin

    eforia

    mengantuk

    bicara

    cadel

    konstipasi

    penurunan

    eforia

    mata

    merah

    mulut

    kering

    banyak

    pengendalian

    diri berkurang

    jalan

    sempoyongan

    mengantuk

    memperpanjan

    mata merah

    bicara cadel

    jalan

    sempoyong

    an

    perubahan

    selalu

    terdorong

    untuk

    bergerak

    berkering

    at

  • 41

    kesadaran bicara dan

    tertawa

    nafsu

    makan

    meningkat

    gangguan

    persepsi

    g tidur

    hilang

    kesadaran

    persepsi

    penurunan

    kemampuan

    menilai

    gemetar

    cemas

    depresi

    paranoid

    Tanda Dan Gejala Putus Zat

    Opiat Ganja Sedatif

    Hipnotik Alkohol Amfetamin

    * nyeri

    * mata dan

    hidung

    berair

    * perasaan

    panas dingin

    * diare

    * gelisah

    * tidak bisa

    tidur

    jarang

    ditemukan

    cemas

    tangan

    gemetar

    perubahan

    persepsi

    gangguan

    daya ingat

    tidak bisa

    tidur

    cemas

    depresi

    muka

    merah

    mudah

    marah

    tangan

    gemetar

    mual

    muntah

    tidak bisa

    tidur

    cemas

    depresi

    kelelahan

    energi

    berkurang

    kebutuhan

    tidur

    meningkat

    Dampak Penyalahgunaan NAPZA (Fitria dkk, 2013)

    Penyalahgunaan NAPZA mempunyai dampak yang sangat luas bagi

    pemakainya (diri sendiri), keluarga, pihak sekolah (pendidikan), serta

    masyarakat, bangsa, dan negara.

    Bagi diri sendiri. Penyalahgunaan NAPZA dapat mengakibatkan terganggunya

    fungsi otak dan perkembangan moral pemakainya, intoksikasi (keracunan),

    overdosis (OD), merupakan hal-hal yang dapat menyebabkan kematian karena

    terhentinya pernapasan dan perdarahan otak. Selain itu NAPZA juga dapat

    menyebabkan kekambuhan, gangguan perilaku (mental sosial), gangguan

    kesehatan, menurunnya nilai-nilai, dan masalah ekonomi serta hukum.

    Sementara itu, dari segi efek dan dampak yang ditimbulkan pada para pemakai

    narkoba dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) golongan/jenis: 1) Upper yaitu jenis

    narkoba yang membuat si pemakai menjadi aktif seperti sabu-sabu, ekstasi dan

  • 42

    amfetamin, 2) Downer yang merupakan golongan narkoba yang dapat

    membuat orang yang memakai jenis narkoba itu jadi tenang dengan sifatnya

    yang menenangkan/sedatif seperti obat tidur (hipnotik) dan obat anti rasa

    cemas, dan 3) Halusinogen adalah napza yang beracun karena lebih menonjol

    sifat racunnya dibandingkan dengan kegunaan medis.

    Bagi keluarga. Penyalahgunaan NAPZA dalam keluarga dapat mengakibatkan

    suasana nyaman dan tentram dalam keluarga terganggu. Dimana orang tua

    akan merasa malu karena memilki anak pecandu, merasa bersalah, dan

    berusaha menutupi perbuatan anak mereka. Stres keluarga meningkat, merasa

    putus asa karena pengeluaran yang meningkat akibat pemakaian narkoba

    ataupun melihat anak yang harus berulangkali dirawat atau bahkan menjadi

    penghuni di rumah tahanan maupun lembaga pemasyarakatan.

    Bagi pendidikan atau sekolah. NAPZA akan merusak disiplin dan motivasi

    yang sangat tinggi untuk proses belajar. Penyalahgunaan NAPZA berhubungan

    dengan kejahatan dan perilaku asosial lain yang menganggu suasana tertib dan

    aman, rusaknya barang-barang sekolah dan meningkatnya perkelahian.

    Bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Penyalahgunaan NAPZA

    mengakibatkan terciptanya hubungan pengedar narkoba dengan korbannya

    sehingga terbentuk pasar gelap perdagangan NAPZA yang sangat sulit

    diputuskan mata rantainya. Masyarakat yang rawan narkoba tidak memiliki

    daya tahan dan kesinambungan pembangunan terancam.

    Klien yang mengalami penyalahgunaan NAPZA kemungkinn dikarenakan

    koping individu tidak efektif dalam menghadapi masalah yang ada. Bila

    penyalahgunaan NAPZA ini tidak segera diatasi maka akan timbul masalah-

    masalah lain seperti resiko tinggi perilaku kekerasan, perubahan persepsi

    sensori, kecemasan, dan isolasi sosial.

    Data yang Perlu Dikaji

    1. Kaji situasi kondisi penggunaan zat

    a. Kapan zat digunakan

    b. Kapan zat menjadi lebih sering digunakan/mulai menjadi masalah

    c. Kapan zat dikurangi/dihentikan, sekalipun hanya sementara

  • 43

    2. Kaji risiko yang berkaitan dengan penggunaan zat

    a. Berbagi peralatan suntik

    b. Perilaku seks yang tidak nyaman

    c. Menyetir sambil mabuk

    d. Riwayat over dosis

    e. Riwayat serangan (kejang) selama putus zat

    3. Kaji pola penggunaan

    a. Waktu penggunaan dalam sehari (pada waktu menyiapkan makan

    malam)

    b. Penggunaan selama seminggu

    c. Tipe situasi (setelah berdebat atau bersantai di depan TV)

    d. Lokasi (timbul keinginan untuk menggunakan NAPZA setelah berjalan

    melalui rumah bandar)

    e. Kehadiran atau bertemu dengan orang-orang tertentu (mantan pacar,

    teman pakai)

    f. Adanya pikiran-pikiran tertentu (Ah, sekali nggak bakal ngerusak atau

    Saya udah nggak tahan lagi nih, saya harus make)

    g. Adanya emosi-emosi tertentu (cemas atau bosan)

    h. Adanya faktor-faktor pencetus (jika capek, labil, lapar, tidak dapat tidur

    atau stres yang berkepanjangan)

    4. Kaji hal baik/buruk tentang penggunaan zat maupun tentang kondisi bila

    tidak menggunakan.

    Diagnosa Keperawatan (Fitria dkk, 2013)

    1. Penyalahgunaan NAPZA

    2. Resiko tinggi perilaku kekerasan

    3. Perubahan persepsi sensori : halusinasi

    4. Gangguan pola tidur

    5. Kecemasan

    6. Isolasi sosial

    7. Koping individu tidak efektif

  • 44

    Rencana Tindakan Keperawatan (Fitria dkk, 2013)

    Diagnosa

    Keperawatan Tujuan Intervensi

    Penyalahgun

    aan NAPZA

    Tujuan Jangka Panjang :

    1. Klien mampu

    menyelesaikan

    masalahnya dengan

    koping yang adaptif.

    2. Klien dapat merapkan

    cara hidup yang sehat

    3. Klien patuh pada

    pengobatan

    Tujuan Jangka Pendek :

    1. Klien dapat mengetahui

    dampak NAPZA

    2. Klien mampu

    meningkatkan motivasi

    untuk berhenti

    menggunakan NAPZA

    3. Klien dapat mengontrol

    keinginan untuk

    menggunakan NAPZA

    Fase pencegahan :

    1. Berikan informasi dan

    pendidikan yang efektif

    tentang NAPZA

    2. Pantau perubahan perilaku

    klien

    Fase pengobatan :

    1. Lakukan detoksifikasi

    tanpa subtitusi yaitu

    penggunaan zat langsung

    diberhentikan atau dengan

    detokifikasi substitusi yaitu

    penggunaan zat

    diberhentikan secara

    bertahap dengan

    pengurangan dosis

    Fase rehabilitasi :

    1. Kolaborasi untuk

    melakukan terapi

    detoksifikasi dan

    konsultasi medis selama 1

    minggu.

    2. Fasilitasi klien untuk

    melakukan proses

    pascadetokifikasi selama 2

    minggu

    3. Fasilitasi klien untuk

    menjalani rehabilitas

    berupa rehabilitasi

    psikososial (persiapan

    untuk kembali ke

    masyarakat), rehabilitasi

    kejiwaan (merubah

    perilaku maladaptif

    menjadi adaptif),

    rehabilitasi komunitas

    (melatih keterampilan

    mengelola waktu dan

  • 45

    perilaku secara efektif di

    komunitas) dan rehabilitasi

    keagamaan (pendalaman,

    penghayatan dan

    pemahaman terhadap

    agama dan keimanan)

    4. Saat rasa nagih datang

    usahakan untuk

    mengalihkan perhatian

    klien dengan aktivitas lain

    atau libatkan teman

    terdekat klien untuk

    mengalihkannya

    5. Libatkan keluarga untuk

    membantu merawat klien

  • 46

    BAB III

    RESUME ANALISIS KASUS

    Lanjut atau Tidak ?

    Saya X, 21 tahun, mahasiswa tingkat akhir di sebuah Universitas Swasta

    di Kota Bandung. Meskipun berat, saya sangat menikmati proses perkuliahan

    yang berlangsung di awal perkuliahan. Berbagai tugas dan masalah yang melanda

    dapat saya lalui dengan baik. Pada tahun ke-3 masa perkuliahan lalu, saya

    mendapat cobaan yang sangat berat untuk dihadapi. Ayah saya yang merupakan

    tulang punggung keluarga mengalami sakit parah. Sehingga, keluarga saya

    mengalami kesulitan ekonomi.

    Kenyataan ini membuat saya bimbang untuk melanjutkan kuliah atau

    berhenti ditengah jalan. Tapi, saya bersyukur karena cobaan berat ini mampu saya

    lewati dengan adanya bantuan beasiswa dari pihak kampus. Beasiswa ini sangat

    membantu keberlanjutan pendidikan saya. Di sisi lain, beasiswa ini juga menjadi

    beban bagi saya karena banyak hal yang harus dipenuhi. Salah satu beban terberat

    yaitu beasiswa yang mensyaratkan untuk lulus tepat waktu dengan IPK minimal

    3,3. Hal tersebut mengharuskan saya untuk mencapai target dengan belajar lebih

    baik lagi. Tapi, hal ini berbanding terbalik dengan kenyataan karena saya

    mengalami penurunan IPK secara drastis. Sehingga, saya mendapat SP 1 dari

    bantuan beasiswa yang saya dapatkan. Bagi saya, sangat mustahil untuk mengejar

    syarat IPK tersebut karena beban SKS yang tersisa hanya sedikit lagi. Saya

    menjadi sulit berkonsentrasi dalam menjalani perkuliahan dan mengerjakan

    skripsi dan apabila target IPK tersebut tidak bisa dicapai, maka uang yang telah

    diberikan oleh pihak kampus tersebut harus dikembalikan oleh penerima

    beasiswa.

    1. Hasil Pengkajian

    1) Identitas Klien

    Nama/Jenis Kelamin : Nn. X / P Umur : 21 tahun

    Tanggal masuk RS : - No CM : -

    Alamat : Bandung Suku : Sunda

    Status perkawinan : Belum menikah Pekerjaan : Mahasiswi

  • 47

    Sumber data : Wawancara Bentuk tubuh : Ideal

    2) Faktor Penyebab

    a. Faktor Predisposisi

    Berdasarkan teori Stuart dan Sundeen, terdapat beberapa teori yang dapat

    menjelaskan ansietas, yaitu pandangan psikoanalitik, pandangan

    interpersonal, pandangan perilaku, kajian keluarga, dan kajian biologis.

    Ansietas yang terjadi dalam kasus terjadi karena faktor kajian keluarga ;

    ayah klien yang merupakan tulang punggung keluarga mengalami sakit

    parah ketika klien kuliah di tahun ke-3 masa perkuliahan sehingga

    keadaan ekonomi keluarga klien jatuh, faktor pandangan perilaku ;

    beban-beban tugas di awal perkuliahan tetapi mekanisme koping (tahap

    melawan) klien cukup bagus untuk masalah yang satu ini karena tidak

    ada gangguan pada masa usia 6 12 tahun (konflik industry

    inferiority), dan faktor pandangan interpersonal ; pada masa usia 12

    20 tahun menurut teori perkembangan Erik H. Erikson klien mengalami

    konflik antara identitas dan kebingungan peran. Klien merasa optimis

    masuk PTN karena klien berprestasi di masa sekolah dulu. Tapi

    kenyataannya klien tidak lolos masuk PTN dan akhirnya masuk

    Universitas swasta di kota Bandung.

    b. Faktor Presipitasi

    Penurunan IPK secara drastis yang mengancam pemberhentian beasiswa

    dan pengembalian seluruh biaya beasiswa yang telah diberikan oleh

    pihak kampus. Selain itu beberapa bulan yang lalu, adik klien mengalami

    kecelakaan motor yang menyebabkan korban jiwa.

    3) Komponen Pengkajian Psikososial

    1. Konsep diri

    a. Citra Tubuh

    Klien tidak mengeluh dengan keadaan tubuhnya.

  • 48

    b. Peran Diri

    Klien merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Saat ini, klien

    tercatat sebagai mahasiswi tingkat akhir yang mengalami

    kebimbangan mengenai pembiayaan kuliah karena ayahnya sakit

    parah.

    c. Ideal Diri

    Klien berharap dapat mencapai target dari persyaratan beasiswa yang

    dia dapatkan.

    d. Harga Diri

    Klien memiliki hubungan yang baik dengan keluarga maupun teman-

    temannya.

    2. Kecemasan

    Kecemasan merupakan pengalaman subjektif dari individu dan tidak

    dapat diobservasi secara langsung serta merupakan suatu keadaan emosi

    tanpa objek yang spesifik (Suliswati, 2005). Pada kasus ini, klien merasa

    cemas terhadap keberlangsungan perkuliahannya karena apa yang

    diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Hal yang

    memperparah kondisi kecemasan klien yaitu mengenai pengembalian

    seluruh uang beasiswa yang telah pihak kampus berikan apabila tidak

    memenuhi syarat yang ada. Sedangkan beban SKS yang tersisa tinggal

    sedikit. Klien merasa mustahil untuk mencapai target tersebut. Sehingga,

    klien tidak dapat berkonsentrasi penuh dalam menjalani perkuliahan dan

    mengerjakan skripsi di semester tujuh. Klien mengalami ansietas tingkat

    berat karena klien memusatkan hanya pada pencapaian target beasiswa

    tersebut dan tidak dapat memikirkan hal lainnya. Klien juga mengalami

    kehilangan harapan untuk mencapai target karena beban SKS yang

    tersisa tinggal sedikit.

    3. Depresi

    Klien belum mengalami fase depresi karena klien masih bisa

    berkomunikasi dan mengutarakan pendapatnya dengan baik.

  • 49

    4. Hubungan sosial

    1) Klien menganggap orang paling berarti dalam kehidupannya yaitu

    orangtua nya. Ia selalu mencurahkan segala masalah yang ia hadapi

    kepada mereka. Tetapi, hal ini tidak membantu penyelesaian masalah

    klien.

    2) Klien tidak mengikuti organisasi apapun baik di internal maupun

    eksternal kampus karena klien ingin fokus terhadap target yang ingin

    dicapainya.

    3) Klien tidak mengalami hambatan dalam berhubungan dengan orang

    lain.

    5. Pendidikan dan pekerjaan

    Klien saat ini berstatus sebagai mahasiswa di salah satu Universitas

    swasta di Kota Bandung.

    1) Gaya hidup

    Sebelum masalah melanda, klien selalu fokus dalam menjalani

    perkuliahan. Namun setelah masalah muncul, klien mulai tidak fokus

    dengan apa yang dijalaninya.

    2) Budaya

    Klien tidak mengalami konflik dalam dirinya yang berhubungan

    dengan budayanya dalam menghadapi masalah.

    6. Spiritual

    Masalah yang dialami klien belum mengganggu segi spiritual klien.

    Semua masih dalam tahap normal.

    2. Rumusan Diagnosa Keperawatan

    Data subjektif: saya sulit berkonsentrasi dalam menjalani perkuliahan dan

    mengerjakan skripsi karena apabila saya tidak bisa mencapai target IPK yang

    ditentukan saya harus mengganti semua uang yang telah diberikan pihak

    kampus

    Data objektif: klien terlihat lesu dan tidak bersemangat saat proses wawancara

    berlangsung.

    Diagnosa keperawatan: Kecemasan

  • 50

    3. Tindakan Keperawatan

    No

    Tingkat

    Kecema

    san

    Tujuan

    Jangka

    Panjang

    Tujuan

    jangka

    Pendek

    Intervensi

    1. Berat Klien dapat

    mengurangi

    kecemasann

    ya sampai

    tingkat

    sedang atau

    ringan

    1. Membina

    hubungan

    saling

    percaya

    a. Dengarkan keluhan klien

    b. Dukung klien untuk

    mendiskusikan perasaannya

    c. Jawab pertanyaan klien secara

    langsung

    d. Tanyakan sikap menerima

    klien tanpa pamrih

    e. Hargai pribadi klien

    2. Menyadari

    dan

    mengontrol

    perasaan

    sendiri

    a. Bersikap terbuka

    b. Terima perasaan positif

    maupun negatif termasuk

    perkembangan kecemasannya

    c. Pahami perasaan klien dengan

    cara terapeutik

    3. Meyakinkan

    klien

    tentang

    manfaat

    mekanisme

    koping

    yang

    bersifat

    melindungi

    nya

    a. Terima dan berikan dukungan

    pada klien tanpa menentang

    keyakinannya

    b. Sadari keyakinan tentang rasa

    sakit yang dikaitkan dengan

    mekanisme koping

    c. Beri umpan balik pada klien

    mengenai perilaku stresor

    d. Beri batasan perilaku

    maladaptif dengan cara yang

    mendukung

    4.Mengidentifi

    kasi situasi

    a. Tunjukkan sikap yang tenang

    perawat di depan klien

  • 51

    yang dapat

    menyebabk

    an

    kecemasan

    b. Ciptakan situasi dan

    lingkungan yang tenang

    c. Batasi interaksi klien lain untuk

    mengurangi rangsangan yang

    dapat menimbulkan

    kecemasan

    d. Identifikasi dan modifikasi

    situasi yang dapat

    menyebabkan kecemasan

    e. Beri bantuan terapi fisik seperti

    mandi, massase

    5.Menganjurka

    n klien

    meningkatk

    an aktivitas

    sehari-hari

    a. Beri aktifitas yang bersifat

    mendukung perilaku sosial

    yang produktif

    b. Beri latihan fisik sesuai bakat

    dan kemampuan

    c. Rencanakan jadwa