kebijakan pendidikan era otonomi daerah

106
KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH Kata Pengantar: Prof. Dr. Conny R. Semiawan

Upload: aim-pungpang-masohi

Post on 18-Jan-2016

79 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAHKata Pengantar:Prof. Dr. Conny R. Semiawan

TRANSCRIPT

Page 1: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

Kata Pengantar:

Prof. Dr. Conny R. Semiawan

Page 2: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

1. DESENTRALISASI PENDIDIKAN MELALUI UNDANG-NDANG

OTONOMI DAERAH

A. Pendahuluan

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah

Otonomi Daerah mengisyaratkan kepada kita semua mengenai kemungkinan-

kemungkinan pengembangan suatu wilayah dalam suasana yang lebih

kondusif dan dalam wawasan yang lebih demokratis. Termasuk pula di

dalamnya, berbagai kemungkinan pengelolaan dan pengembangan bidang

pendidikan. Pemberlakuan undang-undang tersebut menuntut adanya perubahan

pengelolaan pendidikan dari yang bersifat sentralistik kepada yang lebih bersifat

desentralistik.

Tilaar bahkan mempertegas bahwa desentralisasi pendidikan merupakan suatu

keharusan. Menurutnya, ada tiga hal yang berkaitan dengan urgensi desentralisasi

pendidikan. Ketiga hal tersebut adalah: (a) pembangunan masyarakat demokrasi;

(b) pengembangan social capital; dan (c) peningkatan daya saing bangsa.' Ketiga hal

tersebut sudah lebih dari cukup untuk dijadikan alasan mengapa desentralisasi

pendidikan harus dilakukan oleh bangsa Indonesia.

Ketika bendungan kekuasaan Negara Orde Baru (NOB) yang sangat bersifat

hegemonik otoritarianisme tersebut hancur, kita bisa membayangkan, ke mana

arah air tersebut "muncrat" atau mengalir? Sistem pemerintahan NOB yang

sangat sentralistik tersebut, tiba-tiba karena alasan tertentu, lalu berubah

menjadi desentralistik.2 Pada kenyataannya, kita akan menemukan berbagai sikap

yang ditunjukkan oleh pemerintahan daerah, ada yang "muncrat" tidak

terkendali, ada yang mengalir deras sehingga membuat jalur aliran tersendiri,

ada yang mengalir damai pada jalurnya, dan lain sebagainya. Pemerintah pusat,

sebagai pihak eksekutif, yang ditugaskan DPR RI untuk menjalankan undang-

undang otonomi di atas, berusaha agar tidak terdapat daerah yang menyikapi

kondisi ini, secara "muncrat" liar tidak terkendali, atau mengalir dengan derasnya

di luar jalur yang ada sehingga menghantam habis setiap rintangan. Kondisi yang

Page 3: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

dijelaskan terakhir, sering disebut dengan istilah reformasi yang "kebablasan".

Kalau mau jujur dengan diri sendiri, sebenarnya, masih banyak daerah di

Indonesia ini yang tidak atau belum siap untuk menerima berbagai kewenangan,

termasuk menjalankan kewenangan bidang pendidikan ini. Alasan yang sering

terdengar yang digunakan oleh daerah tersebut, di antaranya; (a) sumber daya

manusia (SDM) mereka belum memadai; (b) sarana dan prasarana mereka belum

tersedia; (c) anggaran pendapatan ash daerah (PAD) mereka sangat rendah; (d)

secara psikologis, mental mereka2Kata "tiba-tiba" dimaksudkan untuk menunjukkan betapa cepatnya

perubahan saat itu.

terhadap sebuah perubahan belum siap, (e) mereka juga gamang atau takut

terhadap upaya pembaruan.3

B. Permasalahan

Dengan memerhatikan latar belakang di atas, dapat dirumuskan berbagai

pertanyaan permasalahan berikut ini.

1. Mengapa masih terdapat beberapa daerah (pemerintahan

provinsi/kota/kabupaten) yang belum siap menerima desentralisasi

pendidikan?

2. Bagaimana pemerintahan provinsi/kota/kabupaten menyikapi konsep

desentralisasi pendidikan ini?

3. Masih berapa besarkah keinginan pemerintah pusat mempertahankan

kewenangan di dunia pendidikan ini?

4. Apakah dampak yang ditimbulkan dari kebijakan desentralisasi pendidikan

ini?

C. Realitas di Lapangan

Setelah memerhatikan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, berikut

ini merupakan upaya untuk menjawab permasalahan tersebut.

Page 4: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

1. Kesiapan Daerah

Secara empiris dan realitas di lapangan, harus diakui bahwa masih

terdapat daerah tertentu yang belum siap menerima kewenangan dari

pemerintah pusat, khususnya dalam bidang pendidikan ini. Pada bagian

latar belakang telah dijelaskan berbagai kemungkinan yang

menyebabkan daerah tertentu belum siap menerima desentralisasi

pendidikan ini.

a. Sumber Daya Manusia (SDM) belum memadai. Maksud SDM yang

kurang yaitu berhubungan dengan kuantitas dan juga kualitas.

Terdapat daerah tertentu yang kualitas SDM-nya belum dapat

dengan baik memahami, menganalisis, serta mengaplikasikan

konsep desentralisasi pendidikan ini. Demikian pula halnya yang

berkaitan dengan kuantitas atau jumlah SDM yang ada. Daerah

tertentu melihat bahwa dari segi jumlah SDM mereka masih sangat

terbatas. Kalaupun ada yang telah menyelesaikan program

magisternya, jumlahnya tidak mencukupi atau tidak memadai.

b. Sarana dan prasarana belum tersedia secara cukup dan memadai. Hal

ini berhubungan erat dengan ketersediaan dana yang ada di setiap

daerah. Selama ini, mungkin daerah-daerah tertentu asyik dan terlena

dengan sistem dropping yang diterapkan oleh pemerintah pusat.

Mereka sangat terkejut (future shock) ketika tiba-tiba memperoleh

kewenangan untuk mengelola secara mandiri sebagian besar urusan

pendidikan di daerahnya. Untuk itu, mereka belum siap dengan

segala bentuk sarana dan prasarana yang diperlukan. Jika dalam

waktu singkat mereka dipersyaratkan untuk melengkapi segala

sarana dan prasarana tersebut, mereka akan mengalami kesulitan

besar. Kecuali, jika pemerintah pusat masih bersedia membantu

atau menyediakan segala bentuk sarana dan prasarana yang

dibutuhkan untuk mengimplementasikan kebijakan desentralisasi

Page 5: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

pendidikan tersebut.

c. Anggaran Pendapatan Ash Daerah (PAD) mereka sangat rendah.

Beberapa daerah yang selama ini kita kenal dengan daerah

tertinggal, merasa berkeberatan untuk langsung menerima beban

kewenangan kebijakan desentralisasi pendidikan ini. Pem-biayaan

pembangunan yang mereka lakukan selama ini banyak ditunjang oleh

pusat atau provinsi. Pendapatan Ash Daerah (PAD) mereka tergolong

masih sangat rendah. Oleh karena itu, jika memungkinkan, mereka

masih berharap dapat diberi kesempatan untuk menunda

pengimplementasian kebijakan tersebut di daerah mereka. Bila

memungkinkan, mereka dapat bekerja sama dengan pemerintah daerah

lainnya yang memiliki PAD yang lebih besar, yang membuat mereka

bisa mendapatkan sistem subsidi silang.

d. Secara psikologis, mental mereka belum siap menghadapi sebuah

perubahan. Perubahan merupakan sebuah keniscayaan. Namun, tidak

semua orang memiliki pandangan dan sikap yang sama terhadap

sebuah perubahan. Sebagian di antara mereka melihat perubahan

sebagai sesuatu yang samar-samar, tidak jelas, tidak pasti, bahkan

sesuatu yang mengkhawatirkan. Hal ini tidak tertutup akan terjadi

pada sebagian aparat atau masyarakat di daerah tertentu. Ketakutan

akan masa depan yang diakibatkan oleh perubahan yang terjadi,

membuat mereka tidak siap secara mental menghadapi

perubahan tersebut.

e. Mereka juga gamang atau takut terhadap upaya pembaruan. Salah satu

bentuk perubahan yang sering dipakai yaitu upaya pembaruan.

Pembaruan dalam bidang pendidikan saat ini kita kenal dengan

sebutan pembaruan kurikulum. Setiap kali terjadi pembaruan

kurikulum, para guru kembali disibukkan dengan berbagai kegiatan,

seperti penataran, uji coba model, uji coba mekanisme, sosialisasi

Page 6: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

kurikulum, dan sebagainya. Semuanya itu ditangkap oleh sebagian

personil guru kita sebagai sebuah `malapetaka' atau setidaknya

menjadi beban yang cukup berat bagi mereka.

2. Sikap Daerah

Berbagai sikap yang direpresentasikan oleh beberapa pemda dalam

menghadapi implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan, di

antaranya sebagai berikut.

a. Sebagian di antara mereka menunjukkan kegembiraan karena hal itu

sudah lama mereka tunggu-tunggu.

b. Ada pula yang menyikapi kebijakan itu dengan biasa-biasa saja.

Mereka menganggap konsep desentralisasi merupakan sebuah

konsekuensi dari perubahan sistem politik atau pemerintahan,

c. Sikap lain yang dapat dibaca dari masyarakat Indonesia yaitu sikap

pesimistis. Mereka menganggap kebijakan tersebut sebagai wujud

ketidakberdayaan pemerintah pusat dalam mengelola masyarakat

daerah.

d. Sikap skeptis yang ditunjukkan oleh sebagian pemda atau

masyarakat memperlihatkan ketidakpercayaan mereka akan maksud

baik pemerintah pusat. Mereka melihat dan masih membaca adanya

keinginan-keinginan tersembunyi dari pemerintah pusat. Mereka juga

masih merasakan ketidakikhlasan pemerintah pusat dalam melepaskan

sebagian wewenangnya kepada pemda.

e. Sikap lain yang diperlihatkan oleh sebagian pemda yaitu sikap

khawatir dan rasa takut. Hal ini dilakukan karena berkaitan dengan

ketersediaan dana, prasarana, dan sarana yang mendukung,

kurang mereka miliki. Apabila hal ini dipaksakan pada daerah mereka,

hanya akan menambah banyak orang yang kurang bahagia. Rasa takut

ini juga berhubungan dengan ketidakyakinan mereka akan

Page 7: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

kemampuan mereka dalam mengimplementasikan kebijakan

tersebut.

3. Bentuk Kewenangan Pusat

Pemerintah pusat masih saja mempertahankan bentuk-bentuk

kewenangan di dunia pendidikan. Hal ini terlihat jelas pada Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang

kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonomi,

khususnya pada Pasal 2, butir 11, bidang pendidikan tercantum 10 butir

kewenangan yang masih dipegang oleh pemerintah pusat, di antaranya

terdapat tujuh hal yang penetapannya masih digenggam oleh pusat.

Kewenangan lainnya berhubungan dengan pemanfaatan hasil penelitian,

pengaturan dan pengembangan pendidikan jarak jauh, serta sekolah

internasional. Termasuk pula di dalamnya melakukan pembinaan dan

pengembangan bahasa dan sastra Indonesia. Mengenai tujuh hal yang

penetapannya masih di bawah kewenangan pusat, di antaranya

berhubungan dengan standar kompetensi siswa serta pengaturan

kurikulum nasional dan penilaian secara nasional; standar materi

pelajaran pokok; gelar akademik; biaya penyelenggaraan pendidikan;

penerimaan, perpindahan, sertifikasi siswa/mahasiswa; benda cagar

budaya; dan kalender akademik.

4. Dampak Kebijakan

Dampak yang ditimbulkan dari kebijakan desentralisasi

pendidikan adalah sebagai berikut.

a. Kemungkinan daerah akan memanfaatkan kondisi yang ada untuk

mendapatkan atau memperoleh pendapatan daerah. Tentu saja, hal

ini sangat riskan dilakukan karena berhubungan langsung dengan

masyarakat atau rakyat kecil "akar rumput" (grass roots) yang

Page 8: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

semestinya mendapatkan pendidikan gratis dari pemerintah.

b. Desentralisasi pendidikan ini memberi peluang kekuasaan yang

cukup kuat dan besar bagi para kepala dinas pendidikan. Hal ini

membuka peluang bagi terciptanya raja-raja kecil di daerah,

khususnya ketika kontrol pemerintah provinsi dan pusat tidak lagi

berperan dalam pengambilan keputusan. Dengan demikian, para

kepala dinas pendidikan pemerintahan kota atau kabupaten

tersebutlah yang secara individual memiliki kekuasaan dan

kewenangan dalam pengambilan keputusan decision making.

c. Kebijakan ini juga ada kemungkinan akan menimbulkan jurang

yang semakin lebar antara si kaya dan si miskin. Hal ini bisa terjadi

karena daerah-daerah dengan PAD besar akan memberikan porsi dana

pendapatannya itu untuk kesejahteraan guru-gurunya. Sementara

daerah lainnya tidak mungkin melaksanakannya. Hal itu sampai

terjadi karena mereka tidak memiliki dana yang cukup besar untuk

menambah insentif bagi para guru-guru mereka.

d. Desentralisasi pendidikan ini juga bisa berdampak negatif terhadap

pemerataan pendistribusian tenaga guru. Dengan kata lain, daerah-

daerah kaya akan menyedot tenaga guru yang berkualitas,

sekaligus secara kuantitas guru-guru itu akan berkumpul di daerah

yang kaya tersebut. Bagaimana halnya dengan daerah-daerah yang

PAD-nya sangat kecil? Mereka akan ditinggalkan oleh guru-guru

mereka. Akhirnya tempat-tempat tertentu di Indonesia ini akan

kelebihan tenaga guru, sementara daerah lainnya akan mengalami

kekurangan tenaga guru.

e. Ada juga yang mengatakan bahwa desentralisasi ini hanya akan

memindahkan praktik-praktik kotor korupsi, kolusi, dan nepotisme

(KKN) dari pusat ke daerah. Praktik KKN di bidang pendidikan

yang selama ini banyak dilakukan oleh para penguasa orde baru,

Page 9: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

ada kemungkinan akan bergerak secara perlahan, tetapi pasti

menuju daerah-daerah yang 'basah' dan kaya. Bila daerah-daerah

tersebut membuka peluang untuk mereka menjalankan misi dan visi

malingnya, tidak akan mustahil KKN akan menjadi semakin "sukses"

berkembang di daerah tersebut

f. Selain penjelasan di atas, kita dapat juga memprediksi tentang

kemungkinan beragamnya hasil belajar siswa. Hal ini disebabkan

pembuatan silabus materi pembelajaran dibuat berdasarkan

kebutuhan siswa, keadaan sekolah, dan kondisi daerah. Perbedaan-

perbedaan tersebut memberi kemungkinan terjadinya keberagaman

hasil belajar siswa. Kalau kondisi sudah menjadi begini rupa,

akan sulit bagi kita untuk mendapatkan angka-angka yang dapat

berbicara dalam skala nasional. Pada akhirnya, kondisi ini akan

mengarah pada tidak meratanya mutu/kualitas hasil belajar/tamatan

siswa kita.

D. Analisis SWOT

1. Kekuatan Kebijakan Desentralisasi

Kekuatan-kebijakan desentralisasi pendidikan adalah:

a. sudah merupakan kebijakan yang populis;

b. mendapat dukungan yang kuat dari berbagai pihak, khususnya dari

para wakil rakyat yang menduduki kursi DPR-RI;

c. Sebagai hal yang telah lama ditunggu tunggu menyusul adanya

perubahan sosial politik;

d. Kesiapan anggaran yang cukup dengan ditetapkannya anggaran

pendidikan sebesar 20 persen dari APBN tahun 2003;

e. Efisiensi perjalanan anggaran sebagai wujud pemangkasan birokrasi.

Oleh karena itu, sudah merupakan kebijakan yang populis,

desentralisasi pendidikan pasti didukung oleh berbagai lapisan

Page 10: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

masyarakat, khususnya masyarakat pendidikan di daerah. Kekuatan lain

yang juga amat mendukung bagi lahirnya kebijakan ini adalah dukungan

dari pihak legislatif. Kekuatan lainnya adalah kesadaran yang tinggi

dari masyarakat untuk mengbadapi perubahan. Termasuk dalam hal

ini adalah kesadaran masyarakat menyikapi desentralisasi pendidikan.

Anggota masyarakat amat dituntut partisipasinya dalam menjalani

perubahan tersebut.

Kekuatan yang tidak kalah pentingnya adalah dukungan dana anggaran

pendidikan yang cukup tinggi dibandingkan anggaran sebelumnya yaitu

kurang dari 4%. Kita berharap anggaran pendidikan yang disepakati 20%

dari APBN dijadikan prioritas utama sebelum penganggaran bidang

lainnya.

2. Kelemahan Kebijakan Desentralisasi

Adapun kelemahan yang mungkin timbul dalam implementasi

kebijakan desentralisasi'pendidikan melalui UU Otonomi Daerah adalah:

a. Kurang siapnya SDM daerah terpencil;

b. Tidak meratanya pendapatan asli daerah (PAD), khususnya daerah-

daerah miskin;

c. Mental korup yang telah membudaya dan mendarah daging;

d. Menimbulkan raja-raja kecil di daerah surplus;

e. Dijadikan komoditas;

f. Belum jelasnya pos-pos pendidikan, sehingga akan cukup

merepotkan Depdiknas dalam mengalokasikannya. Walhasil akan

menguntungkan departemen-departemen lain yang mengelola

pendidikan atau pelatihan, padahal departemen lain telah

memperoleh dana dari APBN. Sementara itu, hasilnya masih diragukan

karena ditangani bukan oleh para ahli/ profesional pendidikan.

Kelemahan-kelemahan di atas tentu harus dicarikan jalan keluarnya

Page 11: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

agar dapat diminimalisasi keberadaannya.

3. Peluang Implementasi Kebijakan

Setelah melihat kekuatan sekaligus kelemahan dari kebijakan

desentralisasi pendidikan, harus dicarikan celah peluang keberhasilan

dalam pelaksanaannya. Mengingat kebijakan ini lahir dari arus paling

bawah (grass roots), walaupun baru terlaksana sekarang di era

reformasi, kebijakan ini memiliki peluang yang cukup signifikan

dalam hal keberhasilan pelaksanaannya karena telah menjadi fokus

perhatian dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dukungan dan kontrol

dari masyarakat dapat terus berjalan selama kebijakan ini digunakan.

4. Tantangan Implementasi

Adapun tantangan yang harus diperhitungkan dalam peng-

implemetasian kebijakan ini adalah munculnya individu-individu/

lembaga-lembaga serakah yang mencari kesempatan dalam

kesempitan. Sekali lagi bagaimanapun harus diwaspadai mentalmental

korup haus uang.

Tantangan lainnya adalah memberi pengertian kepada lembaga di

luar Depdiknas yang selama ini memperoleh budget dari Depdiknas

untuk kepentingan kegiatan pelatihan/pendidikan. Hal ini harus

dipertegas sehingga tidak terjadi dualisme dalam anggaran pendidikan

yang pada akhirnya merugikan Depdiknas. Tentu ini akan mengurangi

jatah bagi biaya pendidikan yang akan merugikan sekaligus

mempengaruhi proses pembangunan masyarakat madani.

E. Temuan-temuan

Implem ntasi kebijakan desentralisasi pendidikan melalui undang-

undang otonomi daerah, pada kenyataannya menunjukkan bahwa terdapat

proses implementasi kebijakan yang tidak melibatkan seluruh stakeholders,

khususnya daerah-daerah yang secara finansial belum memiliki

Page 12: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

kemampuan untuk turut mengimplementasikan kebijakan tersebut. Daerah-

daerah tertinggal ini harusnya menjadi bagian integral dalam proses

pengimplementasian kebijakan.

1. Sampai Kapan jadi Parasit?

Memang, dalam Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 telah

ditegaskan bahwa bagi daerah yang belum memiliki kemampuan untuk

melaksanakan kebijakan desentralisasi pendidikan ini, dapat bekerja

sama dengan pemerintahan kota/kabupaten lainnya, atau dengan

pemerintahan provinsi, atau menyerahkan kewenangan itu kepada

pemerintahan provinsi.' Pasal ini memang membuka peluang bagi daerah

yang belum memiliki kesanggupan melaksanakan kebijakan ini.

Temuan dalam tulisan ini, dan patut dipermasalahkan terus yaitu

sampai kapan daerah itu akan "menyusu" terus? Atau dalam batas

waktu berapa lama suatu daerah menjadi "parasit" bagi daerah

lainnya? Dalam bilangan satuan waktu apakah suatu daerah masih

tetap ikhlas "ditebengi" atau "digelayuti" oleh daerah lain yang belum

memiliki kemampuan tersebut? Sistem subsidi silang yang seperti apakah

yang dijadikan pegangan dalam kerja sama kedua pemerintahan daerah

tersebut? Selama pertanyaanpertanyaan tersebut tidak mendapat

kejelasan, selama itu pula salah satu dari kedua belah pihak yang

bekerja sama itu merasa senantiasa menjadi pihak yang dirugikan,

menjadi pihak yang terus-menerus dikorbankan.

2. Kontrol Pusat Belum Efektif

Selain itu, kontrol dan monitoring yang diberikan atau

dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah yang

sedang melaksanakan kebijakan desentralisasi pendidikan ini dapat

dikatakan belum berjalan dengan baik. Daerah daerah yang melakukan

Page 13: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

pelanggaran atau menyimpang dari aturan main yang ada tidak pernah

mendapat teguran, bahkan terkesan pemerintah pusat "takut", hingga

akhirnya, membiarkan saja perbuatan pelanggaran itu terjadi. Mengapa

pemerintah pusat terlihat seperti "takut"? Apakah teguran-teguran yang

akan diberikan itu menjadi sesuatu yang tidak lagi populis? Apakah ada

unsur-unsur politis yang berada di belakang tindakan pemerintah

pusat tersebut? Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus mendapat jawaban,

hal itu dibuat bukan untuk sekadar hiasan retorika, tetapi berangkat dari

suatu pemikiran.

3. Masih Ada Agenda Tersembunyi

Di samping itu, kalau dicermati lebih lanjut, terutama yang

berhubungan dengan Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 2000, khususnya

bidang pendidikan, terlihat dengan jelas bahwa pemerintah pusat masih

memiliki agenda agenda lain yang tersembunyi. Dari sepuluh butir

kewenangan pusat tersebut, sebenarnya, sudah sepantasnya tidak lagi

harus digenggam atau dikangkangi oleh pusat, terutama bagi daerah-

daerah yang telah memiliki kemampuan untuk itu. Dalam hal ini, dapat

diibaratkan, pemerintah pusat hendak memberi seekor kambing kepada

pemerintah daerah, tetapi ekornya masih tetap dipegang olehh pusat.

F. Kesimpulan

1. Harus diakui bahwa kebijakan desentralisasi pendidikan ini merupakan

suatu keniscayaan. Hal itu harus diimplementasikan pada tataran

praktis, tidak hanya sebagai sebuah wacana.

2. Implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan ini memiliki

kekuatan dan sekaligus kelemahan dalam proses

pengimplementasiannya.

3. Konsep desentralisasi pendidikan, dapat dikatakan "agak terganggu"

Page 14: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

dengan adanya PP No. 25 Tahun 2000, tentang kewenangan pemerintah

dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonomi. Ada kesan

mendalam yang terbaca bahwa pemerintah belum ikhlas memberikan

kewenangannya kepada pemerintah provinsi/kota/kabupaten.

4. Pemerintah belum dapat berlaku tegas terhadap bentuk¬bentuk

pelanggaran yang dilakukan pemerintah provinsi/ kota/ kabupaten yang

melakukan pelanggaran/penyimpangan dari aturan main yang ada.

G. Saran dan Rekomendasi

1. Harus ada kerja sama dari seluruh stakeholders dalam implementasi

kebijakan desentralisasi pendidikan.

2. Pemerintah secepatnya mengeluarkan keputusan presiden yang

mengatur lebih jelas pelaksanaan tentang desentralisasi pendidikan.

3. Pemerataan SDM, khususnya guru ke desa-desa terpencil dan miskin,

dengan memberikan insentif yang memadai dan wajar.

4. Pemerintah harus memprioritaskan bantuan dana kepada daerah-

daerah tertinggal dan terpencil.

Page 15: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

DAFTAR PUSTAKA

Budiarjo, Syukur. 2 Mei 2002. "Kurikulum dan Manusia di Balik Senjata"

Kompas.

6 September 2002. "Otonomi Guru Harus Diperjuangkan" Kompas.

Dunn, William N. 1998. Analisa Kebijaksanaan Publik (Alih Bahasa: Muhajir

Darwin). Yogyakarta: Hannindita.

Eric, Lanerjan. 1991. The Public Sector: Concepts, Modls, and Aproaches.

London: Sage Publication.

Gunawan, Ary H. 2002. Sosiologi Pendidikan: Suatu Analisis Sosiologi tentang

Pelbagai Problem Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Mulyasa, E. 2002. Manajamen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi, dan

Implementasi. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Puskur. Juni 2002. Pengembangan Silabus Kurikulum Berbasis Kompetensi.

Jakarta: Balitbang Depdiknas.

_. Mei 2002. Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah. Jakarta:

Balitbang Depdiknas.

_Juni 2002. Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta:

Balitbang Depdiknas.

_. Mei 2002. Kurikulum dan Hasil Belajar. Jakarta: Balitbang Depdiknas.

Salam, Burhanuddin. 1997. Pengantar Pedagogik (Dasar-dasar Ilmu

Mendidik). Jakarta: Rineka Cipta.

Sihombing, Umberto. 2002. Menuju Pendidikan Bermakna melalui

Pendidikan Berbasis Masyarakat. Jakarta: Multiguna.

Page 16: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

2. PROBLEMATIKA SEPUTAR PENDIDIKAN MORAL DAN BUDI

PEKERTI

A. Pendahuluan

Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia sebagaimana tertuang dalam

Undang-Undang No. 2/89 Sistem Pendidikan Nasional dengan tegas

merumuskan tujuannya pada Bab II, Pasal 4, yaitu mengembangkan manusia

Indonesia seutuhnya. Maksud manusia Indonesia seutuhnya yaitu manusia yang

beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti

luhur.' Di samping itu, juga memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat

jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa

tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.2

Sebenarnya tujuan yang terdapat dalam sistem pendidikan nasional kita

sudah sangat lengkap untuk membentuk anak didik menjadi pribadi utuh yang

dilandasi akhlak dan budi pekerti luhur.

Namun, pada kenyataannya, tujuan yang mulia tersebut tidak diimbangi

pada tataran kebijakan pemerintah yang mendukung tujuan tersebut. Hat ini

terbukti pada kurikulum sekolah tahun 1984 yang secara eksplisit telah

menghapuskan mata pelajaran budi pekerti dari daftar mata pelajaran sekolah.

Oleh karena itu, aspek-aspek yang berkaitan dengan budi pekerti menjadi

kurang disentuh bahkan ada kecenderungan tidak ada sama sekali.

Jika penghapusan mata pelajaran budi pekerti tersebut karena dianggap telah

cukup tercakup dalam mata pelajaran agama, tentu hal itu tidak demikian adanya.

Walaupun budi pekerti merupakan bagian dari mata pelajaran agama yang

salah satu bahasannya adalah akhlak/budi pekerti, pembahasan mengenai hal

tersebut pasti memperoleh porsi yang amat kecil. Hal ini mengingat cukup

banyak aspek yang dibahas dalam mata pelajaran agama .dengan alokasi waktu

yang amat minim yaitu dua jam dalam seminggu. Oleh karena itu, sentuhan

aspek moral/akhlak/budi pekerti menjadi amat kurang. Demikian pula,

Page 17: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

sentuhan agama yang salah satu cabang kecilnya adalah akhlak/budi pekerti

menjadi amat tipis dan tandus. Padahal zaman terus berjalan, budaya terus

berkembang, teknologi berlari pesat. Arus informasi manta negara bagai tidak

berbatas.

Hasilnya, budaya luar yang negatif mudah terserap tanpa ada filter yang

cukup kuat. Gaya hidup modern yang tidak didasari akhlak/budi pekerti cepat

ditiru. Perilaku negatif seperti tawuran menjadi budaya baru yang dianggap

dapat mengangkat jati diri mereka. Premanisme ada di mana-mana, emosi

meluap-luap, cepat marah dan tersinggung, ingin menang sendiri menjadi

bagian hidup yang akrab dalam pandangan sebagian dari diri masyarakat kita

sendiri.

Hal lain yang juga menunjukkan adanya indikator budi pekerti/moral

yang gersang adalah banyaknya terjadi kasus pelecehan seksual yang

dilakukan oleh anak sekolah di bawah umur.3 Dalam hal ini, bisa saja terjadi

pelaku dan korban pelecehan tersebut adalah anak anak. Tindak kejahatan

mencuri, menodong, bahkan membajak bus umum semua pelakunya adalah

pelajar sekolah.

Fenomena-fenomena seperti dipaparkan di atas tentu tidak boleh dibiarkan.

Akan menjadi generasi seperti apa kelak anak-anak jika dibiarkan dalam kondisi

tersebut. Jika tidak dapat dicarikan jalan keluarnya, akan terbentuk generasi yang

bermoral/berbudi pekerti rusak. Jika generasi kini rusak, bagaimana dengan

pemimpin bangsa di masa mendatang.

Oleh karena itulah, penulis merasa tertarik untuk membahas akibat-akibat

yang ditimbulkan dari kurang/minimnya penanaman moral/budi pekerti/akhlak.

Khususnya dalam kurikulum sekolah sebagai benteng penangkal hal-hal negatif.

Termasuk juga usaha yang dapat dilakukan untuk menjawab permasalahan di

seputar penanaman budi pekerti tersebut.

Tujuan yang ingin dicapai melalui tulisan ini adalah:

1. Ingin mendeskripsikan lebih jauh tentang peran pemerintah dalam

Page 18: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

menangani permasalahan budi pekerti anak, khususnya anak sekolah;

2. Ingin mendeskripsikan peran orang tua dalam pembentukan budi pekerti

yang baik bagi anak;

3. Ingin mendeskripsikan peran masyarakat dalam menyikapi budi pekerti

anak.

B. Realitas di Lapangan

1. Pendidikan Budi Pekerti di Rumah

Semenjak empat tahun terakhir Indonesia tergolek lemah bahkan

dapat dikatakan sekarat akibat krisis panjang yang tak kunjung usai.

Kondisi ini diperburuk oleh krisis moral dan budi pekerti para pemimpin

bangsa yang juga berimbas pada generasi muda. Perilaku buruk sebagian

siswa berseragam sekolah dapat dikatakan ada di kota mana saja di

Indonesia.

Tawuran pelajar tidak hanya ada di kota-kota besar, tetapi merambah

juga sampai ke pelosok-pelosok. Bahkan perilaku seks bebas dan lunturnya

tradisi, budaya, tata nilai kemasyarakatan, norma etika dan budi pekerti

luhur merambah ke desa-desa.4

Krisis yang terjadi ini salah satu indikator penyebab terbesarnya adalah

kegagalan dari dunia pendidikan baik pendidikan formal, nonformal,

maupun informal. Padahal ketiga sektor tersebut memegang peranan

yang sangat penting dalam rangka membentuk anak berbudi pekerti

luhur. Aris Muthohar dalam bukunya Tata Krama di Rumah, Sekolah, dan

Masyarakat mengatakan tentang pentingnya ketiga lembaga tersebut

menanamkan nilai-nilai tata krama budi pekerti luhur. Jika ketiga lembagaini

Baling mengisi, diharapkan akan dapat membentuk anak yang berbudi pekerti

luhur.5

Untuk memaparkan ketiga lembaga yang berkaitan dengan pltnbentukan

budi pekerti luhur ini, berikut ini akan dijelaskan Utu per satu. Sebagai

Page 19: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

tempat awal seorang anak memperoleh pendidikan, berikut ini akan

disajikan realita pendidikan budi pekerti di rumah sebagai lembaga

pendidikan informal.

Untuk memaparkan pendidikan budi pekerti di rumah/ keluarga, harus

dilihat dahulu kenyataan bahwa di Indonesia tsrdapat lebih dari 11 juta

anak putus sekolah dan 6 juta di Mltaranya menjadi pekerja anak. Dari 6

juta pekerja anak, sekitar 1 Juta anak bekerja dalam kondisi yang sangat

membahayakan, bilk fisik maupun mentalnya.

Jika dilihat dari persentase jumlah anak yang ada di Indonesia, Wu sekitar

12 persen yang dapat mengikuti program wajib `elajar. Selebihnya tidak

memperoleh kesempatan belajar yang flelayaknya. Dapat dibayangkan

jumlah yang tersisa masih sekitar 18% justru menjadi pekerja anak untuk

membantu ekonomi keluarga. Jika mereka membantu orang tua berarti

mereka sendiri tidak mempunyai kesempatan belajar di rumah, khususnya

belajar penanaman nilai-nilai budi pekerti yang luhur.

Akibat tuntutan kebutuhan hidup keluarga yang sangat mendesak,

jangankan memberi pendidikan bagi anak, masalah kesehatan dan

keselamatan kerja bagi anak pun menjadi hal yang dlabaikan orang tua. Orang

tua tidak peduli jika anaknya dieksploitasi dengan upah yang sangat murah,

bahkan yang sangat parah, orang tua justru kadang melanggar HAM anak

dengan menyiksa anak kandung sendiri jika bekerja tidak mencapai target.

Umumnya orang tua yang sanggup membiayai pendidikan anaknya

adalah para orang tua yang bekerja. Orang tua bekerja dengan waktu

yang cukup panjang meninggalkan anaknya di rumah di bawah asuhan

para pembantu rumah tangga yang juga', sering kali sangat rendah tingkat

pendidikannya. (RCTI, November': 2002).

Saat pulang dari bekerja, para orang tua sudah sangat lelah. Anak-anak

pun sudah tertidur ditemani pembantu rumah tangga. Akibatnya, orang

tua/keluarga semacam ini pun tak pernah sempat menanamkan nilai-nilai

Page 20: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

positif, khususnya nilai budi pekerti yang luhur.

Kalaupun ada keluarga yang memiliki kesadaran yang cukup tinggi

dengan menanamkan nilai-nilai positif, khususnya nilai-nilai agama sejak dini

yang notabene sudah termasuk nilai akhlak/budi pekerti di dalamnya,

dapat dikatakan jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari. Anak-anak

yang berbahagia memperoleh kesempatan seperti ini di keluarganya

dibandingkan dengan yang tidak memperolehnya bagai segelas air di

danau. Sudah barang tentu problematika yang muncul dari danaulah yang

mencuat. Padahal sudah seharusnya ataupun merupakan hak anak untuk

memperoleh itu semua.'

2. Pendidikan Budi Pekerti di Masyarakat

Penanaman nilai-nilai budi pekerti di masyarakat pun menjadi sangat

kurang sebagai akibat dari himpitan ekonomi. Semua sibuk memikirkan

pemenuhan kebutuhan hidup. Kontrol sesame pasyarakat menjadi kurang,

bahkan tidak ada. Semua serba lpdividualistis.

Kondisi kacau di masyarakat seperti ini justru yang sangat berpengaruh

pada penanaman nilai-nilai budi pekerti yang luhur. KIluarga yang anaknya

terbebas/tak terpengaruh sisi negatif tunturnya nilai-nilai budi pekerti

seperti narkoba, tawuran, seks Was, dan lain-lain tidak peduli pada

tetangga/keluarga lain yang 1 Cara kebetulan mengalaminya, yang terpenting

keluarga sendiri pflcbih dahulu.

3. Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah

Sementara itu, penanaman nilai-nilai budi pekerti di sekolah, Mntuk saat

ini memang sudah mengalami kemunduran. Data IMpiris membuktikan

bahwa para guru pun sudah merasa enggan menegur anak didik yang

berlaku tidak sopan di sekolah. Anak didik sering kali berperilaku tidak

sopan terhadap guru, melecehkan sesama teman, bahkan ada sekolah

Page 21: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

yang tidak berani mengeluarkan anak didik yang sudah jelas-jelas

menggunakan 1larkoba.

Belum lagi posisi materi budi pekerti yang sejajar dengan kUrikulum

mulok9 sampai saat ini memang tidak berdiri sendiri. Mated tersebut

diintegrasikan ke dalam dua mata pelajaran, yaitu PPKn clan agama.10

Kalaupun pada akhirnya diintegrasikan pula k0 dalam enam mata pelajaran

lainnya, yaitu matematika, IPA, IPS, Kesenian, Bahasa Indonesia, dan

Olahraga, rasanya masi'' kurang mengingat tingkat budi pekerti yang telah

amat mahal d. langka di masa kini.

C. Permasalahan

Berdasarkan realitas di lapangan, penulis merumuskaii, identifikasi

masalah sebagai berikut.

1. Mengapa pada masa sekarang ini moral dan budi pekerti anak

demikian merosot?

2. Bagaimana peran orang tua dalam menanamkan nilai-nliai moral dan

budi pekerti yang baik?

3. Bagaimana peran sekolah dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan

moral dan budi pekerti bagi anak didik?

4. Bagaimana peran masyarakat dalam membangun generasi yang

bermoral dan berbudi pekerti yang baik?

5. Apa saja usaha pemerintah untuk mengatasi permasalahan

merosotnya moral dan budi pekerti yang baik pada anak?

Dari sejumlah identifikasi masalah di atas, pembahasan akan lebih

dikonsentrasikan pada permasalahan nomor 2, 3, dan 4 sebagai berikut.

1. Bagaimana peran orang tua dalam menanamkan nilai-nilai moral dan

budi pekerti yang baik?

2. Bagaimana peran sekolah dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan

moral dan budi pekerti bagi anak didik?

Page 22: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

3. Bagaimana peran masyarakat dalam membangun generasi yang

bermoral dan berbudi pekerti yang baik?

D. Analisis SWOT

1. Kekuatan Pendukung: Tersedianya Kebijakan Makro

Upaya mengatasi kemerosotan moral dan budi pekerti anak dapat

dilakukan atas dasar adanya kekuatan yang mendukung, yaltu: di samping

telah dituangkan dalam Sistem Pendidikan Nwional UU No. 2/89. Bab 11

Pasal 4 yaitu untuk mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu

manusia yang beriman dan Ortakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan

berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan

jasmani dan ltohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa

tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan." Juga terdapat pada

rundang-undangan yang lain, yaitu: TAP MPR No. X/MPR/1998 tentang

pokok-pokok reformasi pembangunan pada Bab IV huruf D.

a. Butir 1 F: Peningkatan akhlak mulia dan budi pekerti luhur

dilaksanakan melalui pendidikan budi pekerti di sekolah.

b. Butir 2 H : Meningkatkan pembangunan akhlak mulia dan moral

luhur masyarakat melalui pendidikan agama untuk

mencegah/menangkal tumbuhnya akhlak tidak terpuji.

1. TAP MPR NO. IV/MPR/1999, tentang GBHN Bab IV Huruf D mengenai

agama butir 1:

a. Menetapkan fungsi, peran, dan kedudukan agama sebagai landasan

moral, spiritual, dan etika dalam penyeleng garaan negara.

Perundang-undangan tidak bertentang. dengan moral agama.

b. Meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependiC; dikan

sehingga mampu berfungsi secara optimal terutama' dalam

meningkatkan pendidikan watak dan budi peke agar dapat

mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga.

Page 23: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

2. UU No. 2/1989 Penjelasan Pasal 39 ayat (2): menyatakan' bahwa

pendidikan pancasila mengarahkan perhatian padg; moral yang

diharapkan diwujudkan ke dalam kehidupar sehari-hari.

3. Komitmen masyarakat dalam berbagai lapisan terhadap etika

bermasyarakat berbangsa, dan bernegara, ditengarai budi pekerti

sebagai salah satu dimensi substansi pendidikan' nasional yang perlu

diintegrasikan ke mata pelajaran yang relevan.

2. Kelemahan Implementasi: Krisis di Segala Bidang

Kelemahan yang muncul dalam rangka upaya memecahkan atau

menanggulangi masalah kemerosotan moral dan budi pekerti anak di

antaranya adalah sebagai berikut.

a. Pada tataran pemerintah, baru hanya sebatas membuat peraturan,

belum sampai pada upaya optimal dalam menanggulangi

kemerosotan moral dan budi pekerti anak.

b. Kondisi ekonomi di Indonesia yang terpuruk menimbulkan krisis di segala

bidang termasuk bidang pendidikan.

c. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia juga memberi dampak yang

cukup signifikan dalam tuntutan ekonomi keluarga sehingga para

orang tua walaupun mengerti tentang pentingnya menanamkan nilai-

nilai moral dan budi pekerti pada anak, kurang dapat menerapkannya

pada anak.

d. Era globalisasi sangat berpengaruh pada pergeseran nilaiii, nilal

moral dan budi pekerti anak. Hal ini diiringi oleh tingkat kemajuan

teknologi informatika yang bergerak maju dalam hitungan detik. Pada

era ini, kejadian di belahan dunia yang satu akan dapat langsung

diikuti dan diketahui oleh belahan dunia lainnya. Dunia menjadi tanpa

pembatas ruang atau waktu. Pada kondisi inilah anak globalisasi

hidup. Dia menjadi tahu segala. Batas-batas moral menjadi demikian

Page 24: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

tipis. Anak menjadi demikian kritis akan nilai-nilai moral yang

diajarkan oleh keluarga atau yang diperlihatkan oleh para elit birokrat

atau pemerintahnya.

e. Teladan para birokrat atau elit politik terasa demikian kurang.

Nilai-nilai moral yang mereka pertunjukan di depan mata anak-anak

bangsa sedemikian riskan dan vulgar diketahui oleh para anak tersebut.

Kondisi ini menjadi titik lemah yang cukup fatal bagi usaha para pendidik

baik di sekolah maupun di rumah untuk menanamkan nilai-nilai moral

atau budi pekerti yang agung.

3. Peluang: Munculnya Kesadaran Kolektif

Peluang yang diharapkan dapat digunakan dalam rangka

mengatasi kemerosotan moral dan budi pekerti anak di Indonesia, di

antaranya adalah pada dasarnya tingkat kesadaran masyarakat iudah

cukup tinggi untuk menanggulangi kemerosotan moral dan budi pekerti

anak.

Para orang tua pada umumnya berlomba-lomba menanamkan nllai-

nilai moral dan budi pekerti luhur melalui pendidikan agama sejak usia

dini. Penanaman pendidikan agama sejak usia dini akan secara otomatis

tertanam nilai-nilai moral dan budi pekerti luhur yang akan berdampak

sangat positif bagi perkembangan jiwa anak hingga dewasa. Ini

terjadi karena moral dan budi pekerti merupakan bagian dari

pendidikan agama yang disebut pendidikan akhlak.

Hal ini sejalan dengan pendapat pemikir Islam sekaligus

pendidik Al-Ghazali yang dalam salah satu bukunya menyoroti sistem

pendidikan Islam. Ia mengatakan bahwa budi pekerti itu akan kuat jika

banyak dipraktikkan, dipatuhi, dan diyakini sebagai suatu yang baik dan

direstui.

Jika saja kesadaran menanamkan nilai-nilai agama muncul pada

Page 25: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

setiap orang tua di masyarakat, dengan menyingkirkan jauhjauh rasa

pesimistis dalam menghadapi tantangan dari luar, diharapkan

kemerosotan moral dan budi pekerti akan dapat diatasi sedikit demi

sedikit namun serempak. Dalam agama Islam ada beberapa kata

mutiara yang dapat dijadikan pegangan setiap orang untuk memulai

suatu kebaikan, di antaranya:

a. mulailah dari dirimu sendiri terlebih dahulu (Ibda' binafsika);

b. berlomba-lombalah kamu dalam berbuat kebaikan (fastabiqul

khairat);

c. janganlah menunda-nunda berbuat kebaikan.

Usaha yang dilakukan oleh para penentu kebijakan (decision

maker) pun sangat populis, artinya mengena di hati masyarakat.

Menteri Pendidikan Nasional pada waktu itu Yahya Muhaimin

mengatakan bahwa selama ini pihaknya sudah berupaya melakukan

antisipasi teknis dalam rangka pembentukan karakter dan daya nalar

anak didik yang diyakini dapat menanggulangi kemerosotan moral dan

budi pekerti. Di antaranya ialah pembentukan karakter yang berbudi

pekerti luhur sejak tingkat sekolah dasar (SD).

4. Tantangan Pendidikan Budi Pekerti

Tantangan yang akan menghadang dalam upaya menanggulangi

kemerosotan moral dan budi pekerti anak antara lain sebagai berikut.

a. Arus globalisasi dengan teknologinya yang berkembang pesat

merupakan tantangan tersendiri di mana informasi baik positif

maupun negatif dapat langsung diakses dalam kamar atau rumah. Tanpa

adanya bekal yang kuat dalam penanaman agama (yang telah tercakup

di dalamnya nilai moral dan budi pekerti) hal itu akan berdampak

negatif Jika tidak disaring dengan benar.

b. Pola hidup dan perilaku yang telah bergeser sedemikian serempaknya

Page 26: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

di tengah-tengah masyarakat juga merupakan tantangan yang tidak

dapat diabaikan.

c. Moral para pejabat/birokrat yang memang sudah amat melekat seperti

"koruptor", curang/tidak jujur, tidak peduli pada kesusahan orang

lain, dan lain-lain, ikut menjadi tantangan tersendiri karena bila

mengeluarkan kebijakan, diragukan ketulusan dan keseriusannya

mengimplementasikan secara benar.

d. Kurikulum sekolah mengenai dimasukkannya materi moral dan budi

pekerti ke dalam setiap mata pelajaran juga cukup sulit. Ini terjadi

karena ternyata tidak semua guru dapat mengaplikasikan model

integrated learning tersebut ke dalam mata pelajaran lain yang sedang

diajarkannya atau yang diampunya.

e. Kondisi ekonomi Indonesia juga menjadi tantangan yang tidak dapat

diabaikan begitu saja. Oleh karena itu, bagaimanapun, setiap ada

kebijakan pasti memerlukan dana yang tidak sedikit.

E. Temuan: Kondisi Objektif

Berdasarkan pada masalah yang timbul akibat dari merosotnya nilai-nilai

moral dan budi pekerti anak dan setelah dianalisis berdasarkan realitas di

lapangan, dijumpai beberapa temuan sebagai berikut.

1. Perhatian pemerintah dapat dikatakan cukup serius, terutama bagi

pembentukan manusia yang utuh, yaitu manusia yang agamis dan mandiri

sebagaimana termaktub dalam Tap MPR/1999 dan didukung oleh

peraturan dan ketetapan yang lainnya. Namun, pelaksanaan tidak semudah

perencanaannya. Kondisi ekonomi di Indonesia yang sedang terpuruk saat

ini sangat berpengaruh dalam menanggulangi kemerosotan nilai nilai moral

dan budi pekerti bangsa Indonesia, khususnya anak.

2. Arus globalisasi yang hampir menjangkau seluruh dunia juga ikut

berpengaruh pada perilaku anak yang sering bertentangan dengan nilai-nilai

Page 27: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

atau norma-norma adat istiadat, agama, dan nilai-nilai ketimuran anak di

Indonesia.

F. Kesimpulan

Kesimpulan makalah ini adalah sebagai berikut.

1. Peran aktif orang tua atau keluarga sangat dituntut dalam upaya

menanggulangi kemerosotan moral dan budi pekerti anak.

2. Sekolah telah mencoba memasukkan materi moral dan budi pekerti ini

secara terpadu (integrated) ke dalam setiap matac pelajaran. Namun,

tentu saja hal ini masih belum efektif dan belum maksimal, mengingat

tidak semua guru mampu mengaplikasikannya.

3. Peran masyarakat masih sangat kurang bahkan tidak ada usaha sama

sekali untuk turut menanggulangi kemerosotan moral dan budi pekerti

anak, terutama, dalam bentuk kontrol. Namun, upaya penanaman agama

sejak usia dini telah disiapkan oleh masing-masing keluarga.

4. Pemerintah belum maksimal menangani dan menanggulangi kemerosotan

moral dan budi pekerti anak. Hal ini diakibatkan oleh kondisi atau

ekonomi negara saat ini.

5. Era globalisasi dengan ciri teknologi yang terus berkembang pesat turut

memberi andil terjadinya kemerosotan moral dan budi pekerti anak.

G. Saran dan Rekomendasi

1. Pemerintah diharapkan lebih serius menangani kemerosotan moral dan

budi pekerti anak, tidak hanya sebatas menetapkan kebijakan. Hal ini

dapat dilakukan dengan (a) mengalokasikan anggaran pelatihan bagi para

guru dalam melakukan integrasi materi moral dan budi pekerti ke dalam

setiap mata pelajaran, (b) memasukkan kembali materi moral dan

budi pekerti menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri.

2. Bagi orang tua yang berkecukupan diharapkan tidak hanya mengejar

Page 28: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

materi dan karier, tetapi diharapkan lebih memberikan perhatian

kepada anak-anak mereka, yaitu dengan cara ,memberikan penanaman

nilai-nilai agama sejak dini. Sementara itu, bagi orang tua yang

kurang mampu diharapkan tidak terlalu membebani anak dengan

tuntutan bekerja, sementara mengabaikan hak mereka untuk

mendapatkan pendidikan, khususnya pendidikan moral dan budi

pekerti.

3. Kepada organisasi keagamaan diharapkan turut peduli dengan upaya

penanggulangan kemerosotan moral dan budi pekerti anak.

4. Seluruh lapisan masyarakat melakukan kontrak sosial agar

kemerosotan moral dan budi pekerti tidak semakin bertambah.

Page 29: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

DAFTAR PUSTAKA

Budiarjo, Syukur. Jumat, 24 Mei 2002. "Kurikulum" dan "Manusia di Balik

Senjata," Kompas.

Dunn, William N. 1998. Analisa Kebijaksanaan Publik (Disadur Oleh Muhadjir

Darwin). Jogjakarta: Hanindita.

Eric, Lanerjan.1991. The Publik Sector: Concepts, Models, and Approaches.

London: Sage Publication.

Gunawan, Ary H. Mei 2002. Sosiologi Pendidikan: Suatu Analisis Sosiologi Tentang

Pelbagai Problem Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Harsono, Eko B. 2 Mei 2001. "Membawa Pendidikan Budi Pekerti ke

Sekolah". Suara Pembaharuan.

Muthohor, M. Aris. 2001. Tata Krama di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat.

Jakarta: SIC.

Puskur. Juni 2002. Pengembangan Silabus Kurikulum Berbasis Kompetensi.

Jakarta: Balitbang Depdiknas.

Salam, Barhanuddin. 1997. Pengantar Pedagogik (Dasar-dasar Ilmu Mendidik).

Jakarta: Rineka Cipta.

Sulaiman, Fathiyah Hasan. 2000. Sistem Pendidikan menurut AlGhazali:

Solusi Menghadapi Tantangan Zaman. Jakarta: Dea Pers. Tarwiyah, Tuti, dkk.

2002. "Masalah Hak Azasi Anak dalam Pendi

dikan" Makalah Seminar Kelas Program Doktor Pascasarjana Univer-sitas

Negeri Jakarta.

Tilaar, H.A.R. 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka

Cipta.

_. April 2002. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.

Widodo. 2 Mei 2002. "Reaktualisasi Pendidikan Budi Pekerti" Suara

Pembaharuan.

Page 30: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

3. ISU SEPUTAR EVALUASI PENDIDIKAN SECARA NASIONAL

A. Pendahuluan

Kebijakan Menteri Pendidikan Nasional yang berani dan inovativ menghapus

ebtanas secara bertahap, SD tahun 2002 dan ILTP/SMU tahun 2003

mendatang, menunjukkan kemauan emerintah (political will) untuk memutus

persoalan-persoalan filosof dan teknik di seputar penyelenggaraan ebtanas

dengan praktik-praktik penyelenggaraan yang menyeleweng dan berbiaya tinggi,

serta untuk mengatasi berbagai kelemahan yang ditemui dalam sistem

ebtanas dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan dan peran sumber

daya manusia lebih efektif.'

Hal mendasar yang menjadi landasan pemikiran dihapuskannya sistem

evaluasi pendidikan melalui ebtanas, salah satunya adalah dalam rangka

memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ditemui dalam sistem ebtanas.

Di samping itu juga untuk menyempurnakan penilaian pendidikan yang lebih

realistis untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, khususnya pada

jenjang pendidikan dasar dan menengah.

Panduan ujian akhir sekolah sebagai ganti ebtanas merupakan langkah

pertama yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional, diikuti

dengan sosialisasi ke tingkat daerah. Kepala Pusat Pengujian Departemen

Pendidikan Nasional, Sunardi mengatakan bahwa terdapat dua hal penting yang

menjadi prinsip pelaksanaan Ujian Akhir Nasional (UAN), yaitu prinsip

memberdayakan sekolah dan prinsip desentralisasi. Satu hal yang paling

mendasar dalam UAN ini terkandung filosofi bahwa nilai ujian akhir berfungsi

sebagai alat seleksi ke jenjang pendidikan lebih tinggi.2 Tentu saja, dalam hal

ini, dari tingkat SD ke SLTP atau dari tingkat SLTP ke SMU.

Dengan mengikutsertakan daftar nilai UAN yang tertera dalam sertifikasi

"tamat" yang dapat dijadikan alat seleksi masuk ke jenjang pendidikan lebih

tinggi terutama ke SLTP/SMU, menunjukkan bahwa sistem UAN, prosesnya

Page 31: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

cukup efisien dari segi waktu. Selain itu objektivitas nilai yang ada pada UAN

pun sangat terkontrol. Artinya, nilai yang diperoleh anak benar-benar meng-

gambarkan kemampuannya. Hal ini terjadi karena UAN sangat menekankan

objektivitas dan kejujuran sebagaimana Mendiknas menyatakan bahwa dunia

pendidikan harus berani menegakkan prinsip kebenaran kepada masyarakat

secara jujur. Jujur kepada diri sendiri, kepada masyarakat, kepada anak-anak.

Dengan tegas pemerintah akan menghapus praktik-praktik mark up nilai yang

selama ini terjadi.3

Berkaitan dengan penilaian yang terdapat dalam Kurikulum Berbasis

Kompetensi 2004 yang sedang diujicobakan, terdapat ketentuan penilaian yang

disebut dengan benchmarking.4 Benchmarking merupakan suatu penilaian

terhadap proses dan hasil untuk menuju ke suatu unggulan yang memuaskan.

Untuk ukuran keunggulan ini dapat ditentukan di berbagai tingkat, yaitu sekolah,

daerah, atau nasional. Penilaian dilaksanakan secara berkesinambungan

sehingga siswa dapat mencapai suatu tahap keunggulan pembelajaran yang

sesuai dengan kemampuan, usaha, dan keuletannya mulai dari tingkat

sekolah, daerah, dan pada akhirnya tingkat nasional.

Untuk dapat memperoleh data dan informasi tentang pencapaian

benchmarking tertentu, dapat diadakan penilaian secara nasional yang

dilaksanakan pada akhir satuan pendidikan. Hasil dari penilaian itu bermanfaat

ganda, yaitu pertama, dapat dipakai untuk menilai kompetensi siswa dan kedua,

dapat dipakai untuk memberikan peringkat sekolah, yaitu untuk dasar

pembinaan guru dan kinerja sekolah. Jadi, selalu ada monitor sekaligus umpan

balik (feed back).

Kurikulum Berbasis Komptensi (KBK) 2004 juga memberikan peluang untuk

melakukan penilaian program secara berkala dan terus-menerus oleh

Departemen Pendidikan Nasional dan Dinas Pendidikan Nasional. Penilaian

program dilakukan untuk mengetahui kesesuaian kurikulum dengan dasar,

fungsi, dan tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan tuntutan

Page 32: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

perkembangan yang sedang terjadi di dalam masyarakat. Jadi, sekolah tidak

seperti menara gading.

Pukur Balitbang Depdiknas. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi

Untuk mengatasi kemungkinan terjadinya kesenjangan kompetensi mutu

antara sekolah di Jawa dan luar Jawa, pemerintah memiliki batas toleransi.

Pemerintah ke depan akan menjadi fasilitator untuk menjembataninya.

Caranya adalah dengan membantu pihak sekolah memberikan pelajaran

matrikulasi tambahan sebagai prakondisi untuk mencapai kualitas pendidikan

yang memadai.

Berkaitan dengan penilaian, dalam KBK 2004 dikenal ada penilaian Akhir

Satuan Pendidikan dan Sertifikasi. Pada setiap akhir semester dan tahun

pelajaran, diselenggarakan kegiatan penilaian guna mendapatkan gambaran

secara utuh dan menyeluruh pencapaian ketuntasan belajar siswa dalam satuan

waktu tertentu. Di dalam lingkungan sekolah, penilaian ini Bering dikenal

dengan nama Ujian Akhir Sekolah (UAS). Hal seperti di atas merupakan

bagian dari program manajemen berbasis sekolah

(school based management).

Berdasarkan pada latar belakang di atas, ditetapkan tujuan dalam penulisan

ini sebagai berikut.

Pertama, mencari tahu alasan dihapuskannya ebtanas.

Kedua, mencari tahu tentang kesiapan sekolah dan guru dalam menjalankan hak

dan kewenangannya untuk menilai siswanya sendiri, di mana sekolah

dan guru bertanggung jawab terhadap proses pendidikan mulai dari

penerimaan siswa, proses pembelajaran, sampai dengan penentuan

kelulusan. Untuk hal ini tidak ada campur tangan pusat.

Ketiga, mencari tahu apakah ada keterkaitan antara evaluasi pendidikan secara

nasional dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi(KBK 2004), terutama

mengenai normanorma penilaian pendidikan.

Keempat, mencari tahu apakah pemerintah menyediakan pedoman standar mutu

Page 33: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

pendidikan nasional, penyelenggaraan UAN, dan pedoman

pengembangan tes standar dalam rangka evaluasi pendidikan secara

nasional.

B. Realitas di Lapangan

1. Kelemahan Ebtanas

Penggantian ebtanas dengan Ujian Akhir Nasional adalah untuk

menyempurnakan ebtanas yang sarat dengan berbagai kekurangan, baik

segi akademis maupun segi teknis penyelenggaraan. Selama ebtanas

digunakan banyak terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan.

Sebagaimana yang penulis kemukakan di atas bahwa sistem penilaian

pendidikan atau hasil belajar ebtanas selama ini mengandung banyak sekali

kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut antaralain:

1) ebtanas tidak mampu mengukur pencapaian prestasi akademik secara

komprehensif, tetapi hanya terhadap sejumlah tujuan instruksional

tertentu;

2) pengujiannya hanya dilakukan secara temporal dan dalam waktu yang

singkat;

3) hanya mampu mengumpulkan informasi yang terkait dengan kemampuan

kognitif sementara yang nonkognitif tidak dapat dievaluasi;

4) validitas dan reliabilitas instrumen rendah (seperti bidang studi PPKn);

5) banyak menimbulkan bias perlakuan terhadap skor; dan

6) banyak nuruting effect yang menyebabkan tereduksinya proses1, misalnya

proses pembelajaran yang berorientasi pada ebtanas,"> persekolahan yang

didominasi oleh transfer of knowladge, dan tidak transfer of values,

siswa hanya terajar bukan terdidik.' Siswa hanya terlatih menghafal,

tanpa memahami apalagi mengaplikasikannya dalam dunia nyata. Siswa

bagai robot.

Page 34: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

2. Ebtanas: Proyek Pejabat?

Secara teknis terdapat kesan bahwa selama ini penyelenggaraan ebtanas

lebih sarat dengan muatan proyek memperkaya diri pejabat. Hal ini

tampak pada pos-pos pembiayaan pelaksanaaa ebtanas yang hares

mendapatkan "jatah" melalui pos pemerintahan provinsi,

kabupaten/kota/kecamatan/rayon, dan sekolah. Selairn', itu, untuk

penggandaan naskah, pengiriman sampai pengamanan soal ebtanas hingga

ke tangan peserta di masing-masing sekolah. Kebocoran lebih sering

dijumpai daripada keamanan, manipulasi koreksi yang dilakukan oleh

oknum evaluator ebtanas, daftar' NEM aspal (asli tetapi palsu). Pendek

kata pelaksanaan ebtanas selama ini dikategorikan sebagai ekonomi berbiaya

tinggi.

3. Ebtanas: Proses Pengerdilan

Secara akademis, tujuan ebtanas untuk menyeragamkan kualitas tidak

tercapai. Hal yang terjadi dalam pelaksanaan ebtanas selama ini terkesan

sekadar main-main dan tidak bersungguhsungguh. Proses pembelajaran di

sekolah bukan lagi penguasaan dan pendalaman ilmu, melainkan proses

pengerdilan supaya dapat mengerjakan soal-soal ebtanas sehingga orientasi

sekolah hanya mengejar NEM. Hasil analisis ebtanas yang dilakukan oleh Oey

Gardiner dan Peter Gardiner menemukan bahwa jumlah peserta ebta, rata-

rata nilai yang diperoleh, jumlah pengeluaran, dan rasio kelulusan siswa

SD/MI negeri dan swasta 1998/1999. )Ymlah peserta ebtanas 2.346.326

siswa, lulus 2.315.116 siswa, rata-rata nilai yang diperoleh 5,48 dan rasio

kelulusan 98,5 persen. limpulan analisis ini adalah bahwa selama ini

pendidikan di donesia mengalami sucsess story dalam kualitas karena

dari 1,346.326 siswa yang mengikuti ebtanas, hanya 31.210 yang tidak

lulus (15%). Namun, yang dinyatakan lulus pun sebenarnya tidak lulus

semuanya karena nilai yang diperoleh rata-rata 5,8, padahal patokan nilai

Page 35: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

6,0. Dan bahkan kenyataan di lapangan pienunjukkan bahwa semua siswa

yang mengikuti ebtanas dijamin jujus asal ikut ebtanas.s Tidak ada

sejarahnya selama ini siswa yang ikut ebtanas tidak lulus selama

persyaratan administrative penuhi.

4. Ujian Akhir Nasional Masih Relevan

Soal mutu pendidikan, Tubagus Surahmad menilai bahwa V Ian akhir

nasional masih sangat dibutuhkan dan relevan dengan >kenyataan.

Masalahnya sekarang, output pendidikan,nasional masih sangat

memprihatinkan. Pada desakan globalisasi dan pasar babas dituntut lahirnya

manusia profesional dari berbagai sekolah yang ada. Sentralisasi pendidikan

masa lalu ternyata melahirkan 1ambodohan dan pemasungan kreativitas anak.

Terbukti berdasarkan j#urvei UNDP tahun 2000 bangsa Indonesia berada pada

peringkat A dari 47 negara untuk kategori daya saing. Sementara itu, Human

yDevelopment Indeks (HDI) Indonesia berada pada urutan 109 dari

174 negara. Angka pengangguran pun mencapai 40 juta dan 35 persen

terdidik

BPS memprediksikan angka pengangguran tahun 2000 akan naik

menjadi 6,7 hingga 7 persen di tahun 2001.' Sejak awal krisis ekonomi

pada tahun 1997 hingga tahun 2001 hampir seluruh sumber daya manusia dan

upaya pembangunan terkonsentrasi pada penanganan masalah jangka pendek.

Padahal, untuk penyelamatan pendidikan nasional perlu komitmen seluruh

stakeholders pendidikan, tidak dapat mengandalkan hanya pada satu atau dua

instansi.

Kebijakan pemerintah menghapus evaluasi tahap akhir nasional

(ebtanas) pada tahun 2002 merupakan terobosan baru dalam inovasi

pendidikan. Tujuan utamanya adalah untuk menghapus kelemahan-

kelemahan akademis dan praktik penyelenggaraan EBTA yang tidak terpuji.

Kekuatan-kekuatan apakah yang dimiliki oleh sistem penyelenggaraan Ujian

Page 36: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

Akhir Nasional yang diluncurkan pemerintah sebagai pengganti sistem ebtanas.

Kelemahan apa yang mungkin dimiliki oleh sistem Ujian Akhir Sekolah,

tantangan dan peluang apakah yang akan didapatkan di masa mendatang.

Berikut ini analisisnya.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang dan realitas sosial, dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut.

Pertama, mengapa ebtanas dihapuskan?

Kedua, apakah ada kaitan antara evaluasi pendidikan secara nasional dengan

kurikulum KBK 2004, khususnya mengenai norma-norma penilaian

pendidikan?

Ketiga, apakah pemerintah menyediakan pedoman standar mutu pendidikan

nasional, penyelenggaraan UAN, dan pengembangan tes standar

dalam rangka evaluasi pendidikan secara nasional?

Keempat, bagaimana kesiapan sekolah dan guru dalam menjalankan hak dan

kewenangannya dalam menilai siswanya sendiri sesuai dengan sistem

UAN sebagaimana yang diterapkan sekarang?

Masalah-masalah tersebut akan dianalisis tidak dibagi satu per satu,

melainkan akan dianalisis secara keseluruhan yang tidak terpisahkan dengan

selalu mengacu pada harapan dan kenyataan yang sebenarnya terjadi di

lapangan. Juga akan selalu dicermati mengenai kekuatan, kelemahan, peluang,

dan hambatannya.

D. Analisis SWOT

1. Desentralisasi Pendidikan: Sebuah Alternatif

Pada latar belakang di awal telah dikatakan bahwa mutu pendidikan

pada umumnya menjadi lebih baik jika dilakukan dengan menggunakan

proses desentralisasi. Berbagai studi di negara berkembang, terutama di

Page 37: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

Amerika Latin, menunjukkan keberhasilan desentralisasi bagi peningkatan

mutu pendidikan meskipun di beberapa negara lain dilaporkan terjadi

kegagalan desentralisasi pendidikan. Untuk hal ini tentu saja harus dise -

suaikan dengan kondisi yang ada di Indonesia apabila ingin menerapkannya.

Proses desentralisasi pendidikan meliputi dua konsep utama. Pertama,

pemindahan kewenangan kebijakan pendidikan dari pemerintah pusat ke

pemerintahan daerah. Untuk hal ini telah jelas, bahkan dalam kurikulum

1994 pun telah ada. Kedua, segi yang lebih spesifik adalah pemindahan

berbagai keputusan mengenai sektor pendidikan dari pemerintah kepada

masyarakat. Gagasan dasar yang melandasi konsep kedua ini adalah bahwa

masyarakat sebagai penerima manfaat pendidikan seyogyanya memiliki

kemampuan untuk memutuskan pendidikan seperti apa yang mereka inginkan.

Menurut Fiske, Burnet, dan Word Bank, sebagaimana dikutip Pokja

Anggaran Pendidikan, desentralisasi pendidikan merupakan kegiatan politis.

Pasalnya, pendidikan merupakan hajat hidup orang banyak yang melibatkan

kebijakan dari berbagai tingkat pemerintahan. Di negara maju anggota OECD,

sekolah biasanya memiliki kewenangan dalam sistem pembelajaran seperti

penentuan buku teks, metode belajar, sistem pemberian nilai siswa, dan

sebagainya. Namun, keputusan mengenai manajemen personalia, khususnya

guru, biasanya dipegang oleh pemerintah pusat. Desentralisasi pendidikan kerap

mengemuka dalam konteks desentralisasi yang lebih besar. Hal ini sekarang

menjadi kenyataan di Indonesia, namun masih ada saja tarik-menarik antara

berbagai kepentingan. Akibatnya proses desentralisasi di bidang pendidikan

menjadi begitu alot dan belum sepenuhnya memenuhi kriteria desentralisasi

pada umumnya sebagaimana terjadi di negara lain.

2. Kekuatan Ujian Akhir Nasional dalam KBK 2004

Kekuatan yang ada bagi terlaksananya desentralisasi pendidikan

khususnya mengenai pelaksanaan Ujian Akhir Nasional yang menjadi ciri khas

Page 38: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

Kurikulum KBK 2004 antara lain sebagai berikut.

Pertama, persiapan yang cukup matang dengan menekankan penilaian

berbasis kelas. Berbasis kelas, maksudnya adalah penilaian yang dilakukan

oleh guru untuk mengetahui kemajuan hasil belajar (kompetensi) siswa,

mendiagnosis kesulitan belajar, memberikan umpan balik/perbaikan (feed

back) proses belajar mengajar dan menentukan kenaikan kelas. Penilaian kelas

terdiri dari ulangan harian, pemberian tugas, dan ulangan umum yang semua

bahan/materinya dikembangkan berdasarkan pada kompetensi anak. Di

samping berbasis kelas, penilaian juga didasarkan pada basis reformasi.

Dikatakan berbasis reformasi karena penilaian dimaksudkan untuk

memperoleh informasi hasil belajar dari keberagaman atau dari hal yang multi.

Kedua, UAN, merupakan instrumen untuk memperoleh Informasi

tentang pencapaian benchmarking, yaitu penilaian proses dan hasil untuk menuju

keunggulan yang memuaskan.

Penghapusan ebtanas akan memunculkan kedaulatan dan otonomi

sekolah yang benar-benar solid dan kredibel. Dengan demikian, otonomi

sekolah dapat mendorong peningkatan kreativitas guru dan kepala sekolah

untuk pengelolaan proses pembelajaran.

3. Kelemahan Ebtanas: Menuju UAN yang Kredibel

Menurut penilaian Mendiknas, sistem penilaian pendidikan diubah dengan

Ujian Akhir Nasional karena ebtanas mengandung banyak kelemahan. Ebtanas

telah mematikan kreativitas pendidikan. Soal-soal tes biasanya dijadikan acuan

guru dalam pembelajaran kepada murid. Bahkan, guru akan menambah les-les

tambahan ; untuk mengejar nilai ebtanas.

Dari segi akademis, sistem penilaian ebtanas memiliki kelemahan-

kelemahan sebagai berikut.

1) Penilaian evaluasi tahap akhir nasional (ebtanas) tidak menunjukkan

penilaian yang sebenarnya. Penilaian yang diterapkan hanya mengukur

Page 39: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

kemampuan kognitif dan melupakan proses pembelajaran yang bermakna dan

pembudayaan kemampuan nilai dan sikap. Ebtanas tidak_memberikan makna

apa pun untuk mengembangkan karakter bangsa, padahal karakter bangsa

merupakan faktor yang penting untuk menilai keberhasilan pendidikan.

Penilaian yang dilakukan hanya untuk melihat sejauh mana siswa dapat

menuangkan kembali pelajaran yang telah diajarkan guru. Menurut

Sudjiarto, sistem pembelajaran yang baik harus memperhatikan empat

pilar belajar. Keempat pilar itu menyangkut bagaimana peserta didik

memperoleh kemampuan belajar; melatih dan mengembangkan kemampuan

berpikir; melatih dan mengembangkan kemampuan memeahkan masalah;

dan pusat pembudayaan nilai sikap dan kemampuan.

Sayangnya; sistem pendidikan di Indonesia telah melupakan proses

pembelajaran yang bermakna dan proses pembudayaan kemampuan serta

sikap. Buktinya, sistem evaluasi yang diterapkan tidak pernah melihat

bagaimana peserta didik memeahkan masalah, memahami sesuatu,

ataupun kemampuan berinteraksi dengan sesamanya. Acuan yang digunakan

melulu pada kemampuan kognitifnya saja. Tanpa dikembangkan dan

dilaksanakan sistem penilaian dengan memerhatikan empat pilar tersebut,

maka proses belajar mengajar yang ada tidak akan pernah efektif untuk

menunjang proses pembelajaran membentuk karakter bangsa, khususnya

generasi mendatang yang sudah harus disiapkan sedini mungkin.

2) Sistem penilaian melalui ebtanas menghambat kreativitas berpikir anak

dan kreativitas guru dalam mengembangkan bahan ajar serta metode

mengajarnya. Guru lebih banyak memfokuskan perhatiannya untuk

menyiapkan anak menghadapi ebtanas. Strategi pembelajaran demikian

akan menghambat kreativitas anak. Sistem ebtanas juga melemahkan sekolah,

yang berakibat kentalnya budaya menunggu juknis dan juklak.

3) Sistem ebtanas juga berdampak melahirkan kesenjangan antarsekolah

yang berada di Jawa dan luar Jawa.

Page 40: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

4) hasil penilaian yang dilakukan tidak relevan dengan kenyataan9 karena

banyak campur tangan berbagai kepentingan tidak semua daerah/kota siap

terutama SDM-nya.

Selama ini sekolah dan para guru selalu melaksanakan peniIaian seperti

ulangan harian, ulangan catur wulan, dan ebtanas, tetapi secara empiris

perolehan nilai siswa tidak menggambarkan prestasi belajar anak yang

sesungguhnya. Hasil belajar yang menggembirakan, ketika anak diukur dengan

soal-soal yang dikembangkan oleh sekolah, tetapi tidak ketika soal

dikoordinasi di tingkat kabupaten/kota. Perolehan nilai yang dicapai oleh

siswa langat tidak memuskan, karena memang tidak mengukur sesuai dengan

keadaan yang sesungguhnya. Nilai siswa mencapai kebalikannya. Yang lebih

mengecewakan lagi adalah ketika nilai ebtanas murni (NEM) digelar melalui

daftar kolektif NEM (dakonem). Sungguh amat memprihatinkan.

4. Kompetensi Guru dalam Menyusun Butir-butir Tes

Seorang peneliti menjelaskan mengapa sampai terjadi demikian.

Sebabnya adalah ketidaksiapan guru dalam menyusun soal secara baik dan

benar. Guru gagal merancang, merakit, serta menyusun soal. Standar mutu

soal yang setara dengan ebtanas ternyata belum dimiliki oleh guru.

Kemampuan untuk itu dapat diasah melalui pelatihan. Namun, pelatihan

guru, seminar dan . lokakarya pun sering kali tidak menyentuh hakikat

penilaian. Kegiatan tersebut sering terjadi juga karena mengejar target

proyek. Jadi, sosialisasi penilaian yang seharusnya dirasakan masih belum

proporsional dibanding dengan sosialisasi kurikulum, pendekatan metode,

dan materi yang esensial. Bahkan, kemudian dikenalkan buku pegangan guru,

pegangan siswa, buku pelengkap dari penerbit-penerbit. Sebaliknya, justru hal

yang paling mendasar dan prinsip seperti penilaian sering diabaikan. Hal

mendasar itu misalnya bagaimana guru tidak hanya piawai memberikan

materi secara menarik dari buku acuan, tetapi mahir pula menyusun tes

Page 41: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

sesuai dengan keperluan. Hal ini yang belum ada pada guru.

Ditinjau dari aspek orang tua, kelemahan sistem penilaian ebtanas

menghadapi hambatan. Di antaranya, orang tua cenderung merasa keberatan

karena ebtanas identik dengan biaya yang besar berkaitan dengan membeli

buku soal menghadapi ebtanas, les privat, atau bimbingan belajar yang

diwajibkan oleh sekolah.

5. Peluang Bagi Pelaksanaan UAN

Peluang bagi pelaksanaan UAN, secara yuridis memiliki kekuatan

hukum, yaitu dengan ditetapkannya SK mendiknas No. 012/U/2002 yang

mengatur tentang sistem Penilaian SD dan Sederajat.

Peluang lainnya adalah dengan adanya desentralisasi pendidikan dan

dukungan SDM, terutama guru, khususnya kepala sekolah di daerah, dapat

dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk bersama-sama menyelenggarakan

pendidikan di daerah masingmasing menjadi lebih bermutu.

Peluang berikut yaitu dukungan orang tua, dan masyarakat stakeholders

yang tinggi terhadap kebijakan pendidikan harus dimanfaatkan, juga anggaran

pendidikan yang saat ini sebesar 20 persen.

6. Tantangan Bagi Pelaksanaan UAN

Tantangan bagi pelaksanaan evaluasi pendidikan secara nasional ini,

khususnya berkaitan dengan penilaian berdasar KBK 2004, adalah:

a. moral/mentalitas birokrasi tingkat pusat, daerah, dan sekolah yang

tidak berubah terhadap perbedaan ujian akhir dengan ebtanas;

b. mentalitas guru yang berangapan ujian akhir sekloah mem

bebani guru sebagaimana penilaian dalam sistem ebtanas;

c. kualitas SDM guru yang tidak merata antara kota dan daerah.

Ketiga tantangan yang sangat mungkin terjadi itu diantisipasi sejak saat

sekarang. Pertama, melalui pendekatan pengubahan mentalitas

Page 42: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

penyelenggara pendidikan itu sendiri. Kedua, melalui upaya perundang-

undangan yang jelas dan kredibel. Ketiga, sosialisasi yang menyeluruh,

konsisten, dan terus-menerus serta diberikan pelatihan-pelatihan yang

bertanggung jawab bagi para guru.

E. Temuan: Kondisi Objektif

Berdasar pada realitas di lapangan dan analisis SWOT, penulis

mendapatkan beberapa temuan sebagai berikut.

1. Selalu saja terjadi kebocoran soal ebtanas, manipulasi koreksi yang

dilakukan oleh oknum korektor ebtanas, serta daftar NEM yang tidak asli.

2. Banyak terjadi penyimpangan dana ebtanas, terutama terjadi di sekolah-

sekolah daerah.

3. Campur tangan pemerintah pusat masih dominan.

4. Orientasi sekolah hanya mengejar NEM.

5. Politisasi ebtanas menjadi alat untuk mengangkat sekolahsekolah negeri agar

terkesan berkualitas dengan menggunakan NEM sebagai seleksi masuk

sekolah selanjutnya.

F. Kesimpulan

Berdasar pada analisis terhadap masalah-masalah evaluasi pendidikan dan

beberapa temuan di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.

Pertama, ebtanas sudah tidak relevan lagi dilaksanakan saat ini.

Kedua, ada keterkaitan dan kesamaan misi antara UAN dengan norma-norma

penilaian yang ada dalam KBK 2004.

Ketiga, SDM guru dan kepala sekolah belum siap sepenuhnya di daerah untuk

melaksanakan pengganti ebtanas, dalam arti, perlu sosialisasi yang terus

menerus dilakukan oleh pusat

Page 43: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

G. Saran dan Rekomendasi

Berdasarkan temuan dan kesimpulan di atas, dapat disarankan hal-hal

berikut.

Pertama, para penyelenggara pendidikan pusat dan daerah hendaknya

berpegang pada pinsip kejujuran, bertanggung jawab dan lebih mengutamakan

kepentingan peserta didik dan tidak memberi tempat pada kepentingan

penguasa dan atau kepentingan para pemilik modal.

Kedua, orang tua dan masyarakat hendaknya menaruh kepercayaan yang

tinggi terhadap upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan

dengan memberikan dukungan positif dan membantu menciptakan iklim yang

edukatif.

Page 44: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

DAFTAR PUSTAKA

Kompas, 21 Januari 2002. "Ebtanas bertentangan dengan Program Wajar

Sembilan Tahun".

Kompas, 1 Februari 2002. "Efisiensi Penghapusan Ebtanas".

Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas. 2002 Kurikulum Berbasis Kompetensi.

Jakarta. Puskur.

Republika, 21 Januari 2002. "Siswa Sekolah Dasar dan Madradsah Ibtidaiyah

(SD/MI) tidak perlu Ebtanas".

Surat Keputusan Mendiknas Nomor 011/U/2002. Tentang Penghapusan Ebtanas

SD, SDLB, dan MI. Jakarta: Depdiknas.

Page 45: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

4. KEBIJAKAN TENTANG KUANTITAS DAN KUALITAS GURU

A. Pendahuluan

Penyertaan pendidikan dalam usaha pembangunan di berbagai bidang jelas

diperlukan. Stimulasi dan penyertaan upaya pendidikan pada masyarakat yang

sedang membangun ternyata memberikan hasil yang memuaskan di dalam

mengatasi persoalan-persoalan dan hajat hidup orang banyak, baik di bidang

perbaikan sistem politik, sosial ekonomi, maupun sosial budaya.'

Seorang tokoh pendidikan Jepang mengatakan bahwa pembaruan yang

menyeluruh terjadi di Jepang karena adanya pengaruh investasi pendidikan.

Seorang tokoh pendidikan lain dari Jerman setelah perang dunia II mengatakan

bahwa pembaruan adalah berkat investasi sistem pendidikan. Tokoh dari Jepang

dan Jerman tersebut selaku anggota komisi internasional pengembangan

pendidikan akhirnya menyimpulkan mengenai peran pendidikan yaitu sebagai

berikut: "for all those who wout to make the world as it is to day a better

place, and to prepare for the future, educat is a capital, universal subject."'.

Tidak dapat disangkal lagi tentang besarnya arti pendidika sebagai faktor

universal yang mutlak ada dan harus diperhatikan; secara khusus. Tidak

berlebihan jika posisi pendidikan seharusnya, dijadikan sebagai "public good".

Termasuk juga di Indonesia, sudah seharusnya pendidikan;' diprioritaskan

pengembangannya. Jika mencermati sudut political' will pemerintah, gagasan

untuk itu telah diwujudkan melalui'; kebijakan pemerintah pada sektor

pendidikan yaitu kurikulum' 2004 yang penekanannya lebih pada dasar-dasar

kompetensi atau dengan kata lain kurikulum berbasis kompetensi.

Ujung tombak dari setiap kebijakan atau yang berkaitan dengan

pendidikan, akhirnya berpulang pada makhluk yang' bernama guru. Gurulah

yang akan melaksanakan secara operasional segala bentuk pola, gerak, dan

geliatnya perubahan kurikulum tersebut. Seperti saat ini, ketika berbagai

model pembelajaran' yang berkaitan dengan kurikulum berbasis kompetensi

Page 46: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

(KBK sedang diujicobakan, gurulah yang sangat berperan dalam melak-

sanakannya. Masukan dari para guru tersebut akan dijadikanr sebagai bagian

perbaikan, terutama pada model pembelajaran itu sendiri dan jugs pada

komponen atau unsur-unsur kurikulum lainnya yang terkait dengan uji coba

tersebut.

Melihat peran yang begitu besar dari para guru, lalu kitabertanya:

Apakah guru-guru di Indonesia ini memiliki kualifikasi yang memadai untuk itu?

Apakah guru-guru tersebut mempunyai kualitas profesional ke arah itu? Selain

itu, secara profesional spakah guru-guru kita memiliki kemauan dan

komitmen dalam upaya perbaikan kurikulum ini? Yang menjadi kekhawatiran

dan kegalauan kita ialah dari sekian guru yang jumlahnya jutaan terlebut, apakah

persentase terbesar dari mereka itu lebih mengarah pada kualitas yang kurang

memadai? Secara kuantitas, cukupkah f umlah guru sekarang ini dan apakah

mereka tersebar secara merata di seluruh Indonesia?

B. Permasalahan

Untuk lebih memfokuskan permasalahan, penulis mencoba membatasinya

sebagai berikut:

1. Bagaimana kesejahteraan guru sebagai ujung tombak pencetak SDM di masa

mendatang?

2. Bagaimana kuantitas dan kualitas guru yang ada sekarang ini, cukup

memadaikah untuk menjawab persoalan pendidikan dewasa ini?

3. Bagaimana mutu guru yang ideal?

4 . Bagaimana mengatasi persoalan pendidikan di Indonesia?

C. Realitas di Lapangan

Sebagaimana telah dikemukakan pada latar belakang, bahwa ujung

tombak dari semua persoalan pendidikan pada akhirnya akan kembali pada

guru. Seorang guru dituntut untuk memberikan perhatian sebesar-besarnya bagi

Page 47: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

mutu pendidikan, rasanya tidak adil jika kesejahteraannya diabaikan. Begitu

santernya mitos tentang status sosial guru sebagai pahlawan tanpa tanda

jasa, seolah-olah guru pekerja sosial tanpa imbalan, dan guru merupakan pekerjaan

orang dungu

1. Lagi-lagi Tentang Kesejahteraan Guru

Gaji guru saat ini, untuk golongan tertinggi saja hanya t

Rp2.400.000,00 itu pun dengan masa kerja puluhan tahun. Bagaimana gaji

guru yang hanya berada di tingkat bawah? Dari hasil wawancara dengan guru-guru

SD dan SLTP mengenai gaji yang mereka terima. Umumnya hanya cukup untuk

biaya hidup selama ± 10 hari pada tiap bulannya. Lantas, ke mana mereka

mencari uang lainnya untuk mencukupi kebutuhan keluarganya?

Fenomena seperti ini tentu amat memprihatinkan, guru sebagai profesi

yang dipandang sebagai `prang suci"4 harus mengais-ngais mencari tambahan

lain bagi pemenuhan kebutuhan keluarganya. Jika ada keinginan pemerintah

menaikkan gaji guru, baik berita maupun baru keinginan, harga-harga telah

melambung tinggi mendahului kenaikan sesungguhnya yang masih saja tetap

tidak memadai. Ditambah lagi dengan efek berita kenaikan gaji yang menyodok

meningkatnya kenaikan harga. Alhasil, kadangkadang justru dengan kenaikan

gajinya, kesejahteraan guru bukan semakin membaik malah semakin memburuk.

Sekali lagi amat menyedihkan melihat kesejahteraan guru sebagai orang

yang seharusnya dihormati, tingkat kesejahteraannya begitu rendah. Kadang-

kadang untuk menutupi kekurangan gajinya dan untuk memenuhi kebutuhan

keluarganya, seorang guru ada yang mencari pekerjaan sampingan sebagai tukang

ojek. Pekerjaan ojek bukanlah pekerjaan hina, tetapi secara status sosial dan secara

psikis, jauh di lubuk dan beribu rasa yang tidak nyaman. Namun, tuntutan

kebutuhan hidup tak dapat diabaikan. Akhirnya untuk menghibur diri, berkatalah

guru yang mempunyai kerja sampingan sebagai pengojek, "Tak apalah, yang

penting halal".

Page 48: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

Masih beruntung Negara dan Bangsa Indonesia yang memiliki guru dengan

tingkat kesejahteraan rendah, para gurunya hanya bergelut di koridor

pekerjaan "yang penting halal". Bagaimana seandainya pada guru yang

akibat himpitan ekonorni mulai melirik dan mengambil pekerjaan sampingan

yang berlabel "yang penting saya bekerja" tanpa mengindahkan nilai-nilai moral?

Bukankah hal demikian bisa saja terjadi?

2. Penyebaran Jumlah dan Mutu Guru

Masalah kuantitas dan kualitas guru saat ini, juga merupakan hal yang

dilematis. Secara objektif jumlah guru saat ini memang kurang memadai,

namun hal ini tidak dapat dipukul rata begitu saja karena ternyata jumlah yang

sedikit ini salah satu indikatornya adalah masalah pemerataan guru.

Idealnya dalam satu sekolah, katakanlah SD, memiliki enam orang guru

kelas, dua guru bidang studi, satu kepala sekolah, dan satu pesuruh.s Paling tidak

sepuluh orang. Kenyataannya di banyak pedesaan, jumlah guru sekolah hanya

ada sekitar 3-4 orang. Bahkan ada yang satu guru untuk satu sekolah, juga

pesuruh.

Sementara itu, di daerah perkotaan yang sarana dan prasarananya bagus,

terjadi penumpukan guru. Dalam satu SD dapat dijumpai 11-14 orang guru,

termasuk diantaranya kepala sekolah. Kalau sudah seperti itu dan ditanyakan

ke pejabat Dinas Diknas, ; hal tersebut dikatakan logis karena SD yang

disebutkan tadi merupakan SD inti sehingga mengajarnya per bidang studi.

Tentu saja jawaban tersebut sebagai pembenaran atas kebijakan mutasi guru

yang lebih pada politik uang.

Oleh karena itu, sampai saat ini sekolah yang maju di perkotaan dapat terus

bertahan dengan kemajuannya, sementara sekolah yang kekurangan guru di

pedesaan/daerah terpencil semakin; terisolasi dan semakin terpuruk/menurun

kualitasnya.

Jadi, sekali lagi posisi guru amat rentan. Dari segi kuantitas yang amat

Page 49: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

dilematis (ada banyak sekolah yang kekurangan guru sementara ada sekolah

yang kelebihan guru) jika digeneralisasi atau dipersentase memang masih

banyak kekurangan guru. Untuk hal ini pemerintah mengeluarkan kebijakan

akan dibukanya peluang guru kontrak pada tahun ajaran 2003. Setelah

dikalkulasi ternyata anggaran untuk menggaji guru kontrak menjadi hampir tiga

kali lipat dari alternatif lain yang tidak menjadi perhatian pemerintah.

Ternyata, amat kompleks problema untuk menjadikan pendidikan sebagai

panglima di negeri ini.

Belum lagi berbicara mengenai •kualitas guru. Seorang guru yang memiliki

posisi strategi dalam usaha tercapainya kualitas pendidikan yang semakin

baik amat dituntut kemampuan profesionalnya. Skill dan kemampuan

profesional ini harus selalu ditingkatkan, terutama dalam menyiapkan SDM

yang mampu menghadapi persaingan dunia menjelang tahun 2020 nanti.

Dilihat dari kesejahteraan guru, bagaimana seorang guru dapat

konsentrasi/fokus/serius dalam mengajar. Belum lagi masalah pelatihan-

pelatihan yang seharusnya menjadi hak guru, pada kenyataannya di lapangan

jika ada kegiatan-kegiatan yang berupaya meningkatkan skill dan

profesionalisme, guru pula yang harus mengeluarkan biaya. Akhirnya, guru

enggan mengikuti pelatihan yang bertujuan meningkatkan SDM guru karena

harus mengeluarkan/menyisihkan gajinya yang memang sudah amat kecil

tersebut.

D. Analis is SWOT

1. Kekuatan: Niat Baik Pemerintah

Kekuatan bagi peningkatan dan penambahan kuantitas dan kualitas guru

adalah adanya niat baik pemerintah pusat untuk dapat melakukan

pemerataan jumlah guru dengan sistem "guru kontrak" dan mengadakan

perubahan kurikulum dengan berbasis pada kompetensi (KBK). Hal ini merupakan

good will dari pemerintah terhadap dunia pendidikan.

Page 50: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

Kekuatan lain bagi peningkatan mutu guru sebagai salah satu tuntutan

dalam penciptaan SDM yang bermutu melalui kegiatan pendidikan yang lebih

berkualitas adalah dengan dinaikkannya anggaran pendidikan menjadi 20% dari

APBN. Hal yang tak kalah pentingnya adalah kesadaran yang cukup tinggi dari

tokoh-tokoh dunia pendidikan untuk menyongsong abad baru ini dengan

pendidikan yang lebih berkualitas, termasuk di dalamnya kepedulian wakil-wakil

rakyat di DPR dalam menyuarakan dan mendorong perhatian yang lebih serius

pada dunia pendidikan.

2. Kelemahan Implementasi

Kelemahan-kelemahan yang bakal timbul dalam rangka menambah

jumlah guru melalui sistem kontrak adalah masalah kualitas guru yang

dikontrak. Artinya, guru kontrak dapat saja merupakan guru kagetan, asal-

asalan..Ditinjau dari sudut anggaran/dana pun menjadi berlipat dibandingkan

membiayai dalam bentuk lain untuk tujuan yang sama.

3. Peluang bagi Profesionalitas Guru

Pada dasarnya peluang untuk membuat guru di Indonesia profesional

dalam bidangnya itu ada. Tinggal bagaimana (political will) pemerintah

melaksanakannya. Hal ini telah didukung dengan adanya kebijakan pemerintah

menaikkan anggaran pendidikan ; sebesar 20 persen dari APBN. Kalau ini

benar-benar dinomorsatukan dan dilaksanakan tanpa harus menunggu

pengalokasian bidang lain, diharapkan pembinaan guru dapat ditingkatkan

melalui anggaran tersebut.

Budaya top down untuk hal-hal yang positif pun tidak ada salahnya.

Sebagai contoh, pemerintah pusat menginginkan adanya pembinaan guru-guru

untuk meningkatkan skill agar lebih profesional dan bermutu. Di tingkat atas

tinggal rnenginformasikan pada level yang lebih rendah sampai kepada guru.

Guru-guru akan senang mendapat pembinaan dan pelatihan dalam rangka

Page 51: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

mening katkan kemampuannya.

Peluang lain dalam rangka meningkatkan kualitas guru adalah perhatian

yang besar dari berbagai pihak termasuk bantuan dari luar negeri. Selama

dalam pengimplementasiannya tidak dijamah dan dikotori tangan-tangan jahil,

jalan dan mengalirnya bantuan tak terhambat, upaya meningkatkan SDM guru

diharapkan dapat ,

tercapai. Pada akhirnya guru akan lebih berdedikasi dalam mendidik

putra-putri bangsa yang akan menjadi pemimpin di masa depan.

4. Tantangan Implementasi

Tantangan yang membentang luas justru pada level implementasi. Sudah

tidak asing lagi bahwa departemen dengan cap paling koruptor kedua adalah

justru Departemen Pendidikan Nasional. Kita masih saja merasa was-was

kalau-kalau rencana baik dan manis yang telah digariskan hanya sebatas

wacana, tidak sampai implementasi (planning without implementation). Kalaupun

ada implementasi, dikhawatirkan terjadi kebocoran di mana-mana sehingga pada

akhirnya kebijakan yang diharapkan dapat mengalir hingga target group,

kenyataannya hanya menetes saja.

E. Temuan-temuan

1. Problema Guru Daerah Terpencil

Berdasar pada realitas di lapangan mengenai kuantitas dan kualitas guru,

diperoleh temuan-temuan sebagai berikut. Dilihat dari jumlah guru secara

keseluruhan dan dibagi rata, memang ada fakta kita kekurangan guru. Namun,

jika dilihat lebih cermat ternyata masalah kekurangan guru hanya terjadi di

daerah-daerah terpencil karena sarana prasarana yang tidak menunjang dan

memadai.

Oleh karena itu, pemerintah harus membuat terobosan dalam

membangun. Artinya, harus ada pemerataan di bidang pembangunan. Hal ini

Page 52: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

barangkali dapat diatasi dengan adanya UU mengenai otonomi daerah. Di

samping itu, pemerintah baik pusat maupun daerah, juga harus membuat

program menstimulus lagi guru-guru yang mau mengabdi di daerah-daerah

terpencil. Misalnya, ada semacam tunjangan khusus bagi guru yang mau

mengabdikan dirinya bagi daerah/desa yang masuk kategori terpencil sehingga

ada semacam ukuran cost dan benefit bagi guru dari sudut rasional dan tuntutan

sosial.

Pemerintah tidak perlu ragu dalam memberi umpan demi terjadi

pemerataan, pendidikan yang bermutu. Kalau dahulu guru dapat menolak

ditempatkan di daerah terpencil karena yang terbayang padanya hidupnya

akan susah dengan keterbatasan fasilitas sarana prasarana. Belum lagi gaji yang

terlambat datang. Diharapkan kini dengan adanya kebijakan yang antisipatif

yang sebesar-besarnya memperhatikan kesejahteraan guru plus tawaran

kompensasi tinggal di daerah terpencil, para guru akan berpikir dua kali untuk

menolak tawaran yang sangat manusiawi dan menjanjikan.

Mengenai kualitas guru, memang sudah seharusnya menjadi prioritas yang

diutamakan dalam rangka menyiapkan guru yang berkompeten, memiliki

skill/kemampuan yang tinggi. Pemerintah tidak perlu ragu untuk

mengalokasikan dana bagi peningkatan kualitas guru karena tidak dapat

disangkal lagi bahwa guru merupakan ujung tombak bagi keberhasilan dunia

pendidikan. Apalagi kita sadari bersama bahwa indikasi dari carut marutnya/chaos-

nya kondisi di Indonesia saat ini salah satunya adalah karena kegagalan

pendidikan mencetak pemimpin negara yang andal, yang moralis, dan berbudi

luhur.

2. Masalah Investasi Masa Depan

Kita tidak boleh menutup sebelah mata bahwa keberhasilan Jepang setelah

dibom pada Perang Dunia II, keberhasilan Jerman, Korea, bahkan Malaysia yang

pada beberapa puluh tahun lalu (± 15 tahun) masih berguru ke Indonesia, kini

Page 53: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

menjadi negara yang cukup maju. Keberhasilan mereka sebagaimana laporan

komisi UNESCO semata-mata karena negara-negara tersebut amat concern

terhadap dunia pendidikan. Negara-negara tersebut tidal pernah merasa takut

rugi mengeluarkan dana yang besar bagi kepentingan pendidikan. Bagi mereka

hal tersebut merupakan investasi bagi masa mendatang (human investment).

Mereka tidak perlu menunggu waktu lama, kini mereka tengah memetik hasilnya.

Kalau negara lain bisa melakukan hal tersebut, tidak pernah ada kata terlambat

untuk itu, atau kita akan kehilangan sama sekali kesempatan memperbaiki

generasi yang akan datang. Beranikah kita menghadapi lost generation bagi anak

cucu kita?

Pendidikan yang bermutu memerlukan dana karena itu jangan hitung

benefit demi keuntungan pribadi. Hitunglah cost benefit sebesar-besarnya untuk

kepentingan bangsa ini.

F. Kesimpulan dan Rekomendasi

Berdasar pada realitas dan pembahasan isu mengenai kuantitas dan

kualitas guru di Indonesia, dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Sudah waktunya pemerintah mengkaji ulang dan mencermati tentang

pemerataan guru agar terjadi pemerataan dalam dunia pendidikan, baik di

pusat maupun daerah.

2. Pemerintah harus mencari terobosan agar para guru tidak lagi enggan jika

ditempatkan di daerah terpencil.

3. Pemerintah tidak menghitung cost benefit di masa kini melainkan cost benefit di

masa yang jauh ke depan.

4. Pemerintah harus memerhatikan kesejahteraan guru, tidak hanya sebagai

kebijakan yang tanpa pelaksanaan (planning without implementation), tetapi

benar-benar dilaksanakan, dimonitoring, dan dievaluasi pelaksanaannya.

5. Seluruh stakeholders harus mendukung kebijakan pemerintah mengenai

kenaikan anggaran pendidikan yang akan berimbas pada peningkatan mutu

Page 54: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

pendidikan dengan sebelumnya meningkatkan mutu guru sebagai ujung

tombak pelaksanaan pendidikan.

Page 55: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

5. ISU KEBIJAKAN PENDIDIKAN KELUARGA DI PERKOTAAN

A. Pendahuluan

Pendidikan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan

manusia yang selalu ingin berkembang dan berubah. Pendidikan mutlak ada dan

selalu diperlukan selama ada kehidupan.

Hal ini senada dengan batasan resmi mengenai pendidikan, yaitu usaha

yang dijalankan dengan sengaja, teratur, dan berencana dengan maksud

mengubah tingkah laku manusia ke arah yang diinginkan' sebagai suatu usaha

yang dilakukan dengan sengaja, teratur, dan berencana. Sudah barang tentu

apa yang namanya pendidikan tidak dapat dilakukan secara sambil lalu dan

serampangan.

Apabila dalam proses pendidikan tidak terjadi perubahan tingkah

laku/perilaku peserta didik, gagallah pendidikan itu.2 Jadi, yang terpenting

dalam pendidikan adalah bagaimana terjadinya perubahan perilaku dari

tidak tahu menjadi tahu, dari tidak bisa menjadi bisa, dari tahu sedikit

menjadi tahu banyak yang semuanya dapat dilihat dari tiga aspek. Ketiga aspek

terse' adalah kognitif, afektif, dan psikomotorik sebagaimana dikem y kakan oleh

Bloom.'

Berbicara mengenai pendidikan, kita tidak dapat bertump hanya pada

pendidikan formal (sekolah), tetapi harus mencaku r` aktivitas pendidikan

terjadi. Pendidikan dapat dilakukan di man saja. Pihak yang bertanggung jawab

terhadap pendidikan buk. hanya guru di sekolah, melainkan juga keluarga, ini

merupak. yang terpenting. Pendidikan di mana anak berada yaitu pendidikan`' di

lingkungan masyarakat .4

Pendidikan yang berupaya untuk "memanusiakan manusia",S menurut

Sudjana merupakan bentuk kelebihan manusia dari: makhluk lain yang

mampu mengembangkan diri. Kemampuarl: mengembangkan diri dilakukan

melalui interaksi dengan ling; kungannya, balk lingkungan fisik maupun

lingkungan sosial.

Page 56: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

Sebagai makhluk sosial, manusia terikat dalam satu sistem sosial dengan

segala komponennya, seperti pranata sosial, tatanan hidup bermasyarakat yang

disangga oleh nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut berupa nilai agama, moral,

budaya, adat, dan lain-lain.

Sebagaimana telah diungkapkan bahwa yang bertanggung jawab terhadap

pendidikan adalah orang tua, sekolah/pemerintah, dan masyarakat. Ketiga

komponen tersebut harus bergotongroyong (bersinergi)6 mempersiapkan

anak menjadi manusia mandiri dalam konteks kehidupan pribadinya,

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bemegara, serta berkehidupan sebagai

makhluk yang berketuhanan (beragama).

Oleh karena itu, manusia Indonesia yang diharapkan dan harus

diupayakan melalui pendidikan adalah manusia yang bcrmoral, berilmu,

berkepribadian, dan beramal bagi kepentingan manusia, masyarakat, bangsa, dan

agama.' Tujuan yang ideal ini merupakan tuntutan yang tidak dapat ditawar lagi.

Artinya, segala upaya akan diarahkan pada tujuan tersebut, baik oleh pemerintah,

masyarakat, maupun orang tua.

Pihak yang paling menentukan bagi pendidikan anak tentu laja dimulai dari

scope mikro, yaitu keluarga. Jika pendidikan di keluarga baik, di sekolah, dan di

masyarakat diharapkan akan balk pula, selama kondisinya kondusif. Jika

pendidikan di keluarga raja sudah jelek, jangan berharap anak akan baik di

sekolah maupun di masyarakat mengingat nilai-nilai moral dan budi

pekertinya zaman sekarang yang telah bergeser. Khususnya moral dan budi pekerti

masyarakat di perkotaan yang notabene terpolusi oleh teknologi canggih yang

serba instan.

Oleh karena itulah, pada bab ini akan dibahas lebih jauh mengenai

pendidikan keluarga di perkotaan.

Page 57: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

B. Tujuan

Tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. ingin membahas lebih jauh mengenai pendidikan keluarga di perkotaan;

2. ingin mencari solusi/kiat mendidik anak di perkotaan;

3. ingin mendata hambatan keluarga dalam mendidik anak perkotaan.

C. Kenyataan di Lapangan

1. Kondisi Anak Indonesia

Hari ini jutaan anak di negeri ini sedang terpuruk dalam kehidupan

yang mengerikan. Terserak di jalan-jalan berdebu sebagai pengemis,

pengamen, bahkan pencopet. Terkapar di tenda-tenda pengungsian, di Aceh,

Palangka Raya, Sumenep, Makassar, atau di Medan. Belum terhitung mereka

yang menjadi pekerja paksa di pabrik-pabrik, mulai pabrik sepatu, pabrik tahu,

sampai jermal penangkapan ikan di tengah laut lepas. Apa yang dialami buruh

anak di sana, tidak lebih baik daripada rekan-rekan mereka di tenda pengungsian

maupun di kolong jembatan.e

Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini lebih dari sebelas juta anak

mengalami putus sekolah dan enam juta di antaranya menjadi pekerja anak.9 Anak

yang putus sekolah berarti tidak memperoleh haknya dalam mengenyam

pendidikan formal. Jika pendidikan formal saja tidak diperoleh, apalagi

pendidikan nonformal: Asumsi ini didasarkan pada data empiris bahwa anak

yang putus sekolah, terutama disebabkan oleh himpitan ekonomi atau tuntutan

kebutuhan keluarga. Oleh karena itulah, anak yang telah dapat membantu orang

tuanya akan meninggalkan bangku sekolahnya.10

Untuk lebih jelasnya, data dari kantor Menteri Negara Pemberdayaan

Perempuan 2001 menyebutkan bahwa:

a. anak jalanan di Indonesia tercatat 40.000-50.000;

b. anak yang menjadi buruh di Indonesia ada 1,6 juta;

c. anak korban eksploitasi seksual di Indonesia 40.000-70.000;

Page 58: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

d. anak pengungsian di Indonesia ada 400.000;

e. anak korban kekerasan ada 871 orang;

f. anak putus sekolah 11,7 juta.

Yang lebih parah adalah adanya indikasi pemaksaan orang tua terhadap

anaknya untuk berhenti bersekolah. Hal seperti ini terjadi karena orang tua

menuntut anaknya untuk bekerja ekstra keras demi menutupi kebutuhan

ekonominya."

Hal tersirat dari yang tersurat di atas, khususnya tentang anak-anak

yang putus sekolah demi membantu kelangsungan hidup keluarga. Padahal

seharusnya itu menjadi tanggung jawab orang tua mereka. Jangankan

memberikan pendidikan anaknya di keluarga, para orang tua lebih terfokus pada

pemenuhan kebutuhan makan keluarga sehingga mereka tidak terbersit

sedikit pun mengenai pendidikan anaknya, walaupun tanpa biaya di rumah.

Akibatnya, anak-anak yang seharusnya menikmati masa kecilnya

dengan hal-hal positif membentuk tumbuh kembang, justru mengalami masa

yang teramat sulit. Mereka harus bekerja, bekerja, dan bekerja. Tidak ada sedikit

pun sentuhan pendidikan.

Potret seperti di atas, bukan barang baru pada keluarga miskin di Indonesia.

Anak dieksploitasi untuk bekerja seberat mungkin

demi membantu perekonomian keluarga. Ini merupakan realita yang terjadi

umumnya di kota-kota besar atau di perkotaan. Kota bagi hampir seluruh orang

tua merupakan surga yang menjanjikan.12 Segala sesuatu mudah didapat, ladang

pekerjaan terbuka lebar hampir di semua sektor. Akan tetapi, bagi siapa? Untuk

siapa? Bagaimana caranya?

Untuk mendapat dan menggapai mimpi tersebut ada syaratnya dan bagi yang

ingin mendapatkannya, tentu harus memenuhi syarat tersebut. Mereka

umumnya adalah orang-orang yang memiliki legalitas lulusan pendidikan

formal. Akhirnya, jadilah mereka bekerja sesuai dengan latar belakang

kapasitas mereka. Tidak cukup sampai di situ, setelah memperoleh lahan

Page 59: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

tempat menginap mereka membawa serta keluarga mereka, ke perkotaan. Jadilah

mereka semua sebagai kaum urban yang keberadaannya amat merepotkan

pemerintah dan sifatnya amat dilematis.

Korban paling utama dalam situasi seperti ini pastilah anak. Mereka tidak

terjamah pendidikan formal di sekolah, dan yang lebih menyedihkan mereka tak

tersentuh pendidikan informal di rumahnya karena tekanan ekonomi. Jadi,

hampir dapat dipastikan keluarga-keluarga miskin di perkotaan umumnya tidak

memperoleh pendidikan secara baik di keluarganya.

2. Problema Keluarga Berada

Realitas lain yang juga cukup menyedihkan adalah realitas yang terjadi pada

keluarga kaya di perkotaan. Mereka umumnya bersekolah di lembaga formal,

bahkan di tempat-tempat bonafide. Namun, pada umumnya orang tua mereka

sibuk sekali. Pada level ini orang tua justru hanya memikirkan materi yang telah

mereka miliki. Mereka selalu merasa kurang sehingga harus selalu

menambah dan menambah materi.13

Pada kondisi seperti di atas, para orang tua tidak kekurangan materi. Materi

mereka justru berlebih. Mereka memberi fasilitas kepada anak-anak mereka

selengkap mungkin, bahkan apa pun keinginan anak dituruti. Anak menjadi

manja. Pada setiap tindak negatif anak, orang tua cenderung sangat toleran

dan mudah memaafkan. Anak-anak amat kurang dalam mendapatkan nilainilai

pendidikan di keluarga yang seharusnya banyak mengiringinya dengan nilai

agama yang di dalamnya termasuk pendidikan moral dan budi pekerti.14

3. Problema Broken Home

Akibat pendidikan yang kurang, bahkan tidak ada sama sekali di dalam

keluarga karena orang tua terlalu sibuk, membuat anak merasa kesepian dan

dicampakkan. Anak merasa tidak diperhatikan; anak menjadi frustasi. Lalu

sebagai bentuk kompensasi dan protes terhadap orang tua, anak-anak

Page 60: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

membuat ulah, anakanak mencari perhatian dengan berbuat hal-hal yang

bertentangan dengan nilai-nilai leluhurnya, berkurangnya nilai agama dan nilai

moral.

Banyak hal yang dapat menyebabkan anak berperilaku negatif akibat

kurang harmonisnya keluarga. Anak-anak akan mencari pelarian keluar

rumah. Kalau pelarian keluarnya itu berada pada lingkungan yang baik

dan mendukung, anak akan

selamat. Meskipun begitu anak akan tetap merasa tidak nyaman di rumah.

Padahal, salah satu hak anak di rumah adalah memperoleh kenyamanan dan

ketenangan.

4. Problema Kekerasan dan Pornografi

Akibat lain diabaikannya pendidikan anak di rumah khususnya rumah-rumah

di perkotaan adalah masalah pornografi dan kekerasan.15 Berita mengenai

kekerasan atau sajian film-film kekerasan dan pornografi menjadi santapan anak

sehari-hari. Mereka dihadapkan pada hal-hal yang belum pantas ditonton.

Akhirnya, tindak negatif tersebut membekas. Maka, tidak jarang perilaku anak

sekarang secara moral dan budi pekerti bahkan agama sudah amat jauh. Pada

saat berpacaran, atau pada saat bergaul mereka sudah jauh bergeser dari norma-

norma. Mereka melakukan tindakan negatif tersebut karena hal itu

merupakan hal yang biasa bagi mereka.

Anak-anak dalam kondisi ketidaktahuan dan ketidakmengertian nalar

mereka terpaksa hidup di jalan, di tempat pengungsian dan "terpaksa" menjadi

bagian kejahatan.l6 Sekali lagi, hal itu terjadi karena mereka kurang dibekali

pendidikan di keluarga.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada realita di lapangan, rumusan permasalahan tulisan ini

adalah sebagai berikut.

Page 61: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

1. Bagaimana bentuk pendidikan keluarga di perkotaan?

2. Apa saja yang menjadi hambatan pendidikan keluarga di perkotaan?

3. Bagaimana kiat pendidikan keluarga di perkotaan?

E. Analisis SWOT

1. Kekuatan Pendidikan Keluarga di Perkotaan

a. Konvensi internasional mengenai hak anak sudah diratifikasi Indonesia

sejak 1990. "Indah" tampaknya isi konvensi tersebut, namun bagi mereka

yang punya mata dan hati nurani, semua itu tidak ada artinya tanpa

diikuti oleh pelaksanaan di lapangan yang benar-benar menjadi solusi

bagi anak yang menderita. Konvensi internasional tentang anak telah juga

memberikan perhatian yang khusus dalam masalah hak anak. Misalnya

tentang hak hidup (secara fisik), hak identitas (termasuk agama), hak

kesejahteraan sosial, hak kesejahteraan ekonomi, hak berserikat dan

berkumpul, hak menyatakan pendapat, hak mendapatkan informasi, juga

hak mendapatkan perawatan kesehatan.17 Hak identitas anak salah

satunya adalah hak mendapat pendidikan.

b. Dalam UUD 1945 pun telah termaktub hak bangsa Indonesia, khususnya

anak untuk memperoleh pendidikan.

c. Kekuatan lain dalam rangka mengangkat bentuk pendidikan anak dalam

keluarga adalah adanya hak anak dalam pandangan agama Islam. Penulis

sengaja mengangkat ini karena penduduk Indonesia mayoritas Islam. Jika

yang mayoritas diberi keleluasaan untuk mengatur pendidikan keluarga

berdasar Islam dan berhasil baik, dapat dikatakan pendidikan keluarga

di Indonesia berhasil. Bicara tentang hak anak dalam Islam, pertama

sekali secara umum dibicarakan dalam apa yang disebut sebagai

dharuriyatu khamsin (hak asasi dalam Islam). Hak itu adalah lima hal

yang perlu dipelihara sebagai hak setiap orang: (1) pemeliharaan atas

hak beragama (hifdzud dien); (2) pemeliharaan atas jiwa (hifdzun nafs);

Page 62: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

(3) pemeliharaan atas akal (hifdzul aql); (4) pemeliharaan atas harta

(hifdzul mal); (5) pemeliharaan atas keturunan/nasab (hifdzun nasl), dan

kehormatan (hifdzul 'ird).

Jika merinci hak-hak anak yang diperolehnya dari orang tua atau

otoritas lain yang menggantikan orang tua, akan kita dapati bahwa

hak-hak tersebut merupakan penjabaran dari dharuriyatu khamsin tadi.

Misalnya, hak anak untuk mendapatkan nama dan keturunan nasab, itu

ada dalam pemeliharaan atas nasab dan kehormatan, hak untuk

mendapatkan pendidikan yang layak, dapat dimasukkan ke dalam

pemeliharaan atas agama (mendapatkan pendidikan akhlaqul karimah)

dan pemeliharaan atas akal, dan seterusnya.

Islam amat teliti dan amat banyak menjelaskan mengenai pendidikan bagi

anak. Islam mengajarkan bagaimana seorang harus berbakti kepada orang

tua, menyayangi anak kecil, hormat kepada yang lebih tua,

memindahkan duri/paku dari tengah jalan agar pengendara/orang yang

lewat terhindar dari kecelakaan, sopan santun di meja makan, dan lain-

lain.

Ketelitian dalam pendidikan kepribadian anak dalam Islam

sedemikian rupa hingga Nabi Muhammad Saw. melarang keras

seseorang berbohong kepada anak.18 Diriwayatkan pernah seorang ibu

berkata kepada anaknya di hadapan Rasul Saw., "Mari sini, Nak akan

kuberi sesuatu." Kemudian Rasul Saw. berkomentar, "Apakah engkau

akan memberi sesuatu? Jika tidak, niscaya engkau akan dicatat sebagai

pendusta."

Begitu juga Islam, perhatian terhadap kemaslahatan perkembangan

kepribadian anak sangat besar. Sebab, kepribadian Muslim yang kuat

baik dalam keimanan, kejiwaan, maupun akhlak merupakan modal

utama anak itu untuk hidup dan berhasil dunia akhirat kelak. Dalam

Islam tidak ada perbedaan yang mendasar. Letak perbedaannya ter-

Page 63: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

dapat pada butir-butir rincian dan landasan berpikirnya. Hak anak

dalam Islam dirinci dalam contoh-contoh keseharian pada hadis-hadis

Nabi Saw., sedangkan Konvensi Hak Anak merinci dalam bahasa hukum

positif.

Hak anak dalam Islam berlandaskan Manhaj Rabbaniyah (ketuhanan

Allah Swt.) dengan segala kelengkapan hukum dosa dan pahala bagi

yang taat atau melanggar. Sementara itu, konvensi hak anak

berlandaskan kesepakatan manusia dan bernapaskan humanisme (yang

penting adalah kemaslahatan manusia di dunia) dan bersandar pada

hukum-hukum buatan manusia dalam mengatur kehidupannya sendiri.

d. Mutu kesadaran pendidikan agama Islam di keluarga sudah mulai

muncul di kota-kota besar. Artinya, walaupun orang tua kurang baik

agamanya, pendidikan untuk anaknya telah dipersiapkan. Sayangnya,

orang tua hanya bisa mengarahkan tanpa memberi teladan, padahal

mendidik yang baik harus dengan contoh sebagaimana cara mendidik

dalam agama Islam."

2. Kelemahan Pelaksanaan Pendidikan Keluarga di

Perkotaan

a. Kelemahan bagi terlaksananya pendidikan keluarga di perkotaan

dengan baik adalah faktor ekonomi keluarga akibat himpitan

perekonomian negara Indonesia sendiri. Kondisi ekonomi negara ini

memengaruhi perekonomian keluarga dan berbagai strata/lapisan. Bagi

keluarga muslim tentu sangat berpengaruh sehingga pemaksaan anak

untuk bekerja memengaruhi kependidikan anak di keluarga terutama di

kota-kota besar. Anak mendapat informasi dari berbagai arah, bekal

pendidikan dari keluarga amat minim. Jadilah anak menyerap hak-hak

negatif dari luar belaka anak menjadi bagian dari dunia kejahatan di

perkotaan.

Page 64: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

b. Kurang baiknya kerja sama antara orang tua, pemerintah, dengan

masyarakat.20 Jika di keluarga, anak telah mendapat pendidikan dengan

baik, dia akan tetap baik andai hak masyarakat lingkungannya baik.

Apalagi jika ditambah dukungan pemerintah dengan selalu berusaha

meningkatkan pendidikan di sekolah.

c. Bantuan dari pemerintah belum maksimal dalam mengupayakan pendidikan

yang baik di sekolah. Padahal, ini akan saling bertimbal balik dengan

pendidikan di keluarga dan masyarakat.

d. Moral orang tua/pejabat yang hanya bisa mengajari tanpa memberi teladan.

3. Peluang Implementasi Pendidikan Keluarga

a. Adanya konvensi mengenai HAM Anak yang banyak memfokuskan

agendanya pada pendidikan anak walau tidak melulu formal.

b. Peluang pendidikan di keluarga akan menjadi cukup signifikan. Jika ada kerja

sama dengan masyarakat dan pemerintah harus ada sinergi.

c. Kesadaran keluarga di masyarakat sudah mulai timbul akibat banyaknya

terjadi tindak kriminal, kekerasan, pornografi yang langsung berakibat pada

anak...

4. Hambatan Pelaksanaan Pendidikan Keluarga

Hambatan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan pendidikan yang baik pada

keluarga di perkotaan di antaranya sebagai berikut.

a. Faktor kejujuran pada pejabat/birokrat/LSM yang secara langsung

menangani masalah anak.

b. Faktor himpitan ekonomi yang terimbas dari tekanan makro/ global.

c. Faktor mekanis dan kejujuran para pemakai tenaga kerja anak. Jika mereka

mau jujur atas apa yang dikerjakan anak dengan hasil yang sama dengan

orang dewasa dan upah tidak dibedakan, maka anak akan menghasilkan

uang yang cukup, sehin waktu bagi belajar di rumah pun ada.

Page 65: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

d. Faktor ketidaktahuan dan kesadaran orang tua berekono lemah yang

kurang.

e. Faktor ketidakpedulian orang tua karier terhadap pembin pendidikan di

keluarga berlandaskan agama amat minim.

F. Temuan: Kemunduran Pendidikan Keluarga

Berdasar pada analisis SWOT, ditemukan beberapa h penting, yaitu

bahwa kondisi ekonomi negara cukup signifik berpengaruh pada

perekonomian keluarga. Oleh karena it keluarga miskin/ekonomi lemah

amat mengabaikan pendidik di keluarga. Jangankan sempat memberi arahan,

mereka selalu pren prak. Pemenuhan kebutuhan hidup pendidikan keluarga

yan ada justru adalah penanaman nilai-nilai negatif. Akibat tekana ekonomi

seperti bicara keras, tidak tahu sopan santun, mud marah/tersinggung, tidak

jujur, jorok, dan lain-lain.

Pada keluarga menengah ke atas, pendidikan anak di keluar justru

penjejalan penanaman budaya kekerasan akibat orang tug terlalu sibuk. Anak

dijejali fasilitas yang akibatnya anak kurang berinteraksi, egoistis, dan tidak

dapat menyaring informasi, bail:

yang benar maupun yang salah karena tidak didampingi scat' menonton

TV/VCD dengan frekuensi yang cukup lama dalam kesehariannya.

Temuan lainnya adalah sudah mulai ada kemunduran pada masyarakat di

perkotaan akan arti pentingnya pendidikan di dalam keluarga. bentuk pendidikan

dalam keluarga yang dituntut bagi orang tua adalah teladan. Teladan dari orang

tua dapat didasarkan pada nilai-nilai agama, moral, maupun nilai-nilai lain

yang dianggap positif.

G. Kesimpulan

1. Pemerintah belum dapat berbuat banyak dalam membantu keluarga

dalam memfasilitasi pendidikan anak, khususnya di perkotaan.

Page 66: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

2. Himpitan ekonomi makro/negara berimbas pada ekonomi keluarga

yang pada akhirnya juga berpengaruh pada pendidikan keluarga di

perkotaan.

3. Keluarga miskin hanya menfokuskan diri pada pemenuhan kebutuhan

hidup tanpa memerhatikan pendidikan keluarga.

4. Keluarga menengah ke atas telah memiliki kesadaran menanamkan

nilai-nilai pendidikan di keluarga, namun karena ketiadaan waktu,

kontrol orang tua tidak ada, mereka hanya bisa mengarahkan tanpa

memberi teladan.

H. Rekomendasi

1. Pemerintah diharapkan untuk lebih serius mengurangi anak putus

sekolah.

2. Pemerintah diharapkan agar lebih gencar melakukan sosialisasi

pentingnya pendidikan bagi anak, khususnya pendidikan keluarga di

perkotaan.

3. Anggota masyarakat diharapkan lebih terpanggil melakukan kontrol

sosial.

4. Orang tua diminta untuk lebih mementingkan pendidikan anak di

keluarga, tidak hanya mengandalkannya kepada sekolah/pemerintah.

5. Harus bersinergi, antara keluarga, pemerintah/sekolah, masyarakat

dalam membentuk anak yang mandiri

6. LSM diharapkan lebih serius dan jujur membantu progr pendidikan anak.

7. Seluruh implementator yang merasa terpanggil terhad kepentingan

anak dimohon kesadarannya untuk dapat mem lainya dari pribadi

masing-masing tanpa harus meriting orang lain melakukan perbaikan

terlebih dahulu.

Page 67: KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA OTONOMI DAERAH

DAFTAR PUSTAKA

Isu Kebijakan Seputar Supervisi Pendidikan

Bachtiar, Siti Aisyah Nurmi. Juli 2001. "Hak Anak dan Konven dan Realita".

Majalah Hidayatullah.

Hadiwijaya, Tony. Juli 2001. "Siaga I Anak-anak Indonesia" Maja Hidayatullah.

Jawa Pos. Juli 2002. "Potret Kaum Urban,". Kuntoro dkk.

Kamis 24 Ju1i 1997. Kompas.

Muthohar, M. Aries. 2001. Tata Krama di Rumah, Sekolah, d Masyarakat,

Jakarta; Penerbit SC.

Napitupulu, WP "Guru dan Mutu Pendidikan." Makalah Lokaka Bali 17-21 Juni

2002.

Suara Karya "Hak Pendidikan Bagi Pekerja Anak" 17 Februari 2001

Sudjana, Nana. 1984. Pembinaan dan Pengembangan, Kurikulum Sekola Bandung:

Sinar Baru.

Sulaiman, Fathiyah Hasan. September 2000. Sistem Pendidikan A Ghazali,

Solusi Menghadapi Tantangan Zaman, Jakarta: Dea Press.

Tuti dkk. Oktober 2002. "Masalah Hak Azazi Anak dalam Pendi dikan."

Makalah.