bab ii kurikulum madrasah dalam era otonomi...
TRANSCRIPT
20
BAB II
KURIKULUM MADRASAH
DALAM ERA OTONOMI PENDIDIKAN
A. Kurikulum
1. Pengertian Kurikulum
Dalam bidang pendidikan, kurikulum merupakan unsur penting
dalam setiap bentuk dan model pendidikan manapun. Kurikulum
merupakan pusat kegiatan pendidikan dimana didalamnya
dikomunikasikan sejumlah pengalaman belajar yang hendak
mencerminkan dan diserap dari kehidupan masyarakat dimana proses
pendidikan itu berlangsung. Tanpa adanya kurikulum, sulit rasanya bagi
perencana pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan yang
diselenggarakan.
Dipandang penting, karena kurikulum dapat memberikan arahan
dan patokan keahlian kepada peserta didik setelah menyelesaikan suatu
program pengajaran. Dalam hal ini Claudia Fuhriman Eliason dan Jenkins
menyatakan “The curriculum should provides opportunities for
development in other areas besides intelectual or cognitive growth.”1
Pernyataan ini mengandung maksud bahwa kurikulum harus memberikan
kesempatan di dalam pengembangan wilayah intelektual maupun
pertumbuhan ranah kognitif peserta didik.
Dengan demikian, kurikulum merupakan alat yang sangat penting
bagi keberhasilan pendidikan untuk mencapai tujuan dan sasaran
pendidikan yang diinginkan.
Istilah kurikulum semula berasal dari istilah yang digunakan dalam
dunia olah raga pada zaman Yunani kuno. Secara etimologi, kurikulum
berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata curir yang berarti “pelari”, dan
1 Claudia Fuhriman Eliason and Loa Thomphson Jenkins, A Prictical Guide To Early
Childhood Curriculum, (USA: Mosby Compony, 1981), hlm. 52.
21
curere yang artinya “tempat berpacu”. Sehingga kurikulum diartikan
sebagai jarak yang harus ditempuh oleh pelari.2
Sedangkan pengertian kurikulum secara terminologi banyak
dikemukakan oleh tokoh-tokoh pendidikan diantaranya: Ibnu Sina yang
secara sederhana mengemukakan bahwa kurikulum adalah alat yang
digunakan untuk menunjukkan sejumlah mata pelajaran yang harus
ditempuh untuk mencapai suatu gelar atau ijazah. Pengertian ini sejalan
dengan pendapat Crow and Crow yang mengatakan bahwa kurikulum
adalah rancangan pengajaran yang isinya sejumlah mata pelajaran yang
disusun secara sistematik yang diperlukan sebagai syarat untuk
menyelasaikan suatu program pendidikan tertentu.3
Harold B. Albertycs, dalam reorganizing the high-school
curriculum(1965) memandang kurikulum sebagai “all of the activities that
are provided for student the school”. Bahwasanya kurikulum tidak terbatas
pada mata pelajaran saja, akan tetapi juga meliputi kegiatan-kegiatan lain,
di dalam dan di luar kelas, yang berada dibawah tanggung jawab sekolah.4
Mengutip pendapat Taylor, Munzir Hitami mengatakan kurikulum
merupakan konsep operasional suatu konsep pendidikan, maka makna
kurikulum menjadi luas, seluas makna pendidikan itu. Dalam hal ini,
kurikulum merupakan usaha menyeluruh dari suatu lembaga pendidikan
untuk mewujudkan hasil yang diinginkan, baik dalam situasi sekolah
maupun dalam situasi luar sekolah, atau secara singkat kurikulum dapat
dikatakan sebagai program suatu lembaga pendidikan untuk para subjek
didiknya.5
Dikatakan sebagai program, karena kurikulum adalah aspek
substantif yang mendukung serta menunjang berfungsinya lembaga
2 Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Dinas Pendidkan Nasional, 1999),
hlm.245. 3 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Seri Kajian Filsafat
Pendidikan Islam), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 69-70. 4 S. Nasution, Asas-asas Kurikulum, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), hlm. 5. 5 Munzir Hitami, Mengonsep Kembali Pendidikan Islam, (Pekanbaru: Infite Press, 2004),
hlm. 94.
22
pendidikan sebagai pusat pembudayaan, yang mana harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1. Memiliki tujuan pendidikan tingkat institusional yang menggambarkan secara jelas dan terukur kemampuan, sikap, pengetahuan dan keterampilan yang dikuasai oleh lulusan suatu jenis dan jenjang pendidikan yang bermanfaat bagi tugas perkembangannya.
2. Memiliki struktur program yang tidak sarat muatan dan secara keseluruhan merupakan satu kesatuan yang fungsional dan sinergik bagi tercapainya tujuan pendidikan baik tingkat institusional maupun nasional.
3. Memiliki garis besar program pengajaran yang memuat pokok-pokok bahasan yang essensial, fundamental dan fungsional sebagai objek belajar yang memungkinkan peserta didik mengalami dan menghayati proses belajar yang bermakna bagi pengembangan dirinya secara intelektual, emosional, moral dan spiritual.
4. Kurikulum dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif bila didukung oleh sistem evaluasi yang terus menerus, komprehensif dan obyektif, serta sarana dan prasarana serta tenaga kependidikan yang memenuhi syarat standar profesional bagi terlaksananya program pendidikan yang bermutu.6
Lain dengan Hilda Taba yang menyatakan, jika definisi kurikulum
yang luas itu membuatnya tidak fungsional. Menurutnya bahwa pada
hakikatnya tiap kurikulum merupakan suatu cara untuk mempersiapkan
anak agar berpartisipasi sebagai anggota yang produktif dalam
masyarakatnya.7
Bagaimanapun kurikulum adalah sesuatu yang direncanakan
sebagai pegangan guna mencapai tujuan pendidikan. Apa yang
direncanakan biasanya bersifat idea, suatu cita-cita tentang manusia atau
warga negara yang akan dibentuk.
Dengan berbagai penafsiran tentang kurikulum, dapat ditinjau dari
segi lain, sehingga diperoleh penggolongan sebagai berikut:
1. Kurikulum dapat dilihat sebagai produk
2. Kurikulum dipandang sebagai program
6 Winarno Surakhmat, dkk., Mengurai Benang Kusut Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003), hm. 145-146. 7 S. Nasution, op. cit., hlm. 7
23
3. Kurikulum dapat dipandang sebagai hal-hal yang diharapkan akan
dipelajari siswa
4. Kurikulum sebagai pengalaman siswa8
Bertolak dari pemahaman yang demikian itu, maka kurikulum yang
dimaksud disini adalah segala kegiatan dan pengalaman pendidikan bagi
peserta didiknya, yang diberikan di dalam maupun di luar sekolah dengan
maksud untuk mencapai tujuan pendidikan, sebagaimana tertuang dalam
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Dalam undang-
undang tersebut dijelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
serta bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga yang demokratis
bertanggung jawab.9
Berdasarkan definisi para ahli tersebut, menunjukkan bahwa
kurikulum diartikan tidak secara sempit atau sebatas pada mata pelajaran
yang diajarkan saja, tetapi lebih luas dari pada itu, dapat dipahami bahwa
kurikulum merupakan suatu rencana yang menyangkut aktifitas apa saja
yang dilakukan sekolah dalam rangka untuk mempengaruhi anak dalam
belajar baik dalam situasi sekolah maupun di luar sekolah, sehingga akan
tercapai tujuan yang diinginkan.
Prinsip ini sesuai dalam pendidikan Islam tentang penyusunan
kurikulum menghendaki keterkaitan keseluruhan akitivitas apa saja baik
situasi dalam sekolah maupun luar sekolah, untuk merangcang kurilum
nantinya harus mengarah kepada pokok agama yaitu al-Qur'an dan al-
hadist, di mana dan kapan pun lembaga pendidikan itu ada. Yang
8 Ibid., hm. 9. 9 Tim Penyusun UU RI No. 20 Tahun 2003, tentang Sisdiknas, (Jakarta: Qanon
Pubishing, 2004), hllm. 12.
24
dijadikan pegangan dalam kurikulum tersebut adalah al-Qur'an surat al-
Qashash: 77.
من كصيبن نسلا تة والآخر ارالد الله اكا آتغ فيمتابا وسن كمأحا وينالدكإلي الله نس77:القصص ...( أح(
"Carilah segala apa yang telah dikaruniakan Allah kepadamu mengenai kehidupan di akhirat dan janganlah kamu melupakan nasib hidupmu di dunia dan berbuatlah kebaikan sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu" (QS. Al-Qashasa: 77)10
2. Komponen-Komponen Kurikulum
Suatu kurikulum biasanya terdiri dari komponen-komponen yang
paling tidak ada 4 komponen pokok, yaitu: tujuan, isi dan struktur, strategi
pelaksanaan dan komponen evaluasi. Masing-masing komponen tersebut
saling berkaitan antara satu dengan lainnya yang dirancang sedemikian rupa
menjadi suatu proses kesatuan utuh dalam kurikulum pendidikan.
a. Tujuan Kurikulum
Tujuan memainkan peran yang sangat penting dalam
menentukan putusan-putusan penyusunan kurikulum. Semakin jelas
dan rinci tujuan itu, semakin mudah merealisasikan langkah-langkah
pencapaiannya. Selain itu dalam proses pendidikan hendaknya tujuan
dicapai dengan memenuhi faktor-faktor yang meliputi tujuan domain
kognitif, afektif, dan psikomotorik. Hal ini dicapai dalam rangka
mewujudkan lulusan dalam satuan pendidikan yang sesuai dengan
tujuan pendidikan nasional.11
Domain kognitif adalah tujuan yang diinginkan mengarah pada
pengembangan akal intelektual anak didik, tujuan domain afektif adalah
tujuan apa ingin dicapai terhadap pengembangan rohani anak didik dan
10 Soenarjo, dkk., Al-Qur'an dan Terjemahannya, (Semarang: Toha Putra, 1998), hlm.
246 11 Subandijah, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, (Jakarta: Raja Grafinod Persada,
1996), hlm. 4
25
tujuan domain psikomotorik adalah tujuan yang ingin dicapai yang
mengarah pada pengembangan ketrampilan jasmani anak didik.12
Terkait dengan tujuan kurikulum tersebut David Pratt
mengemukakan six main criterias may be applied to curriculum aim.
Aim should: (1) specify an intention; (2) identify a significant intended
charge in the learner; (3) be concise; (4) be exact; (5) be complete;(6)
be acceptable.13
Menurut pendapat David Pratt di atas bahwa ada 6 (enam)
kriteria yang harus dipenuhi dalam menetapkan tujuan kurikulum,
antara lain:
1. Mempunyai tujuan yang jelas
2. Mengidentifikasi terhadap perubahan-perubahan yang dibutuhkan
oleh pengajar
3. Ringkas dan jelas
4. Tepat sasaran
5. Menyeluruh
6. Dapat diterima
Oleh karena itu agar dapat mengetahui sifat dan kedudukan
tujuan kurikulum di sekolah, perlu diketahui adanya hirarki tujuan
pendidikan. Adapun hirarki tujuan pendidikan antara lain :
a. Tujuan Pendidikan Nasional
Tujuan yang mengandung rumusan kualifikasi umum yang
diharapkan telah dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia untuk
menyelesaikan suatu program pendidikan tertentu
b. Tujuan Institusional
Pengkhususan dari tujuan umum dan berisi kualifikasi yang
memperhatikan ciri lembaga pendidikan itu sendiri, yang mana
12 Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1999), hlm. 4 13 David Pratt, Curriculum Design And Develoment, (USA: Harcourt Brace Javanovich
Pblisher, 1980), hlm. 147.
26
diharapkan untuk dimiliki siswa (anak didik) setelah meraka
menyelesaikan program studinya.
c. Tujuan Kulikuler
Hal ini merupakan penjabaran dari tujuan institusional yang
bersifat lebih khusus dibandingkan dengan tujuan institusional,
yang mana tujuan kulikuler adalah merumuskan kemampuan yang
diharapkan dapat dimiliki anak didik setelah menyelesaikan satu
bidang studi atau mata pelajaran.
d. Tujuan Instruksional
Merupakan tujuan yang langsung dihadapkan kepada anak didik
dalam proses belajar dan mengajar, sehingga pengajar dituntut
untuk dapat menampilkan kemampuan apa yang dicapai siswa
pada bidang studi yang diajarkan pada bidang-bidang tertentu.
Tujuan instruksional dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Tujuan instruksional umum untuk menggambarkan
kemampuan yang lebih umum dan luas sifatnya
2. Tujuan instruksional khusus menggambarkan kemampuan
yang operasional dan spesifik.
Tujuan merupakan hal yang ingin dicapai oleh sekolah
secara keseluruhan. Hal ini dicapai dalam rangka mewujudkan
lulusan dalam satuan pendidikan sekolah yang sesuai dengan
tujuan pendidikan nasional. Dengan tujuan dapat ditentukan
tentang apa yang seharusnya kita lakukan serta bagaimana cara
melakukannya dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Oleh
karena itu kurikulum dapat pula dikatakan sebagai petunjuk
sampai dimanakah tujuan pendidikan itu dapat dicapai.
b. Isi dan Struktur Kurikulum
Isi kurikulum merupakan komponen yang berupa materi yang
diprogramkan untuk mencapai pendidikan yang telah ditetapkan,
biasanya berupa materi bidang studi yang diurai dalam bentuk topik
atau pokok bahasan.
27
Pengembangan isi kurikulum berupa bahan-bahan pelajaran
yang akan dipelajari siswa memerlukan dasar pertimbangan yang teliti.
Hal ini terutama sekali disebabkan sekolah sebagai lembaga yang akan
mengantarkan siswa menuju jenjang kedewasaan dalam arti luas.
Kedewasaan ini mencakup berbagai segi, baik kedewasaan fisik,
kedewasaan mental maupun kedewasaan sosial. Untuk mencapai
kedewasaan itu, individu perlu memperoleh bekal pengalaman belajar
yang berarti. Sedangkan akibat kemajuan dalam berbagai cabang
kehidupan menyebabkan berkembangnya tuntutan-tuntutan hidup.14
Oleh karenanya isi dari kurikulum atau pengajaran bukan hanya
terdiri atas sekumpulan pengetahuan atau sekumpulan informasi, tetapi
juga harus merupakan kesatuan pengetahuan terpilih dan
diperbolehkan, baik bagi pengetahuan itu sendiri, maupun bagi siswa
dan lingkungannya.15 Dan juga isi kurikulum juga berkaitan dengan
pengetahuan ilmiah dari pengalaman belajar yang harus diberikan
kepada siswa dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.
Subandijah menegaskan bahwa komponen isi berupa materi
yang diprogramkan untuk mencapai tujuan pendidikan biasanya berupa
materi bidang-bidang studi yang diuraikan dalam bentuk topik atau
pokok bahasan. Bidang-bidang studi itu disesuaikan dengan jenis,
jenjang maupun jalur pendidikan yang ada, yang biasanya telah
dicantumkan dalam struktur program kurikulum sekolah yang
bersangkutan.16
Syafrudin Nurdin yang mengutip Nana Sudjana, berpendapat
bahwa ada beberapa kriteria yang dapat membantu para perancang
14 Muhammad Ali, Pengembangan Kurikulum di Sekolah, (Bandung: Sinar Baru, 1995),
hlm. 87-88. 15 Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Bandung:
Remaja Rosdakarya 2002), hlm. 127. 16 Subandijah, op. cit., hlm. 5
28
kurikulum dalam menentukan isi kurikulum. Kriteria tersebut antara
lain:17
1. Isi kurikulum harus sesuai, tepat dan bermakna bagi perkembangan
siswa
2. Isi kurikulum harus mencerminkan kenyataan sosial, artinya harus
sesuai dengan tuntutan hidup nyata dalam masyarakat
3. Isi kurikulum harus mengandung pengetahuan ilmiah yang
komprehensif, artinya mengandung aspek intelektual, moral, sosial
secara seimbang
4. Isi kurikulum harus mengandung aspek ilmiah yang tahan uji
5. Isi kurikulum harus mengandung bahan yang jelas, teori, prinsip,
konsep yang terdapat di dalamnya bukan sekadar informasi faktual
6. Isi kurikulum harus dapat menunjang tercapainya tujuan
pendidikan
Selain kriteria tersebut diatas, menurut Azyumardi Azra isi
kurikulum harus memuat jumlah pelajaran, garis besar pokok
pengajaran dan jumlah jam belajar masing-masing mata pelajaran
dalam satu pekan, selama satu tahun ajaran pada jenjang pendidikan.18
Namun pada dasarnya isi kurikulum hendaknya memiliki
struktur program yang tidak sarat muatan dan secara keseluruhan
merupakan satu kesatuan yang fungsional dan sinergik bagi tercapainya
tujuan pendidikan baik tingkat institusional maupun nasional
Sedangkan yang menjadi pokok dari materi kurikulum
pendidikan Islam adalah bahan-bahan aktivitas dan pengolahan yang
mengandung unsur ketauhidan. Sumber bahan dan materi kurikulum
pendidikan Islam dapat dikembangkan melalui bahan yang terdapt
dalam nash agama dan realitas kehidupan. Secara garis besar kurikulum
pendidikan Islam mengandung unsur-unsur ketauhidan, keagamaan,
17 Syafruddin Nurdin, Guru Profesional dan Implentasi Kurikulum, (Jakarta: Ciputat
Press, 2002), hlm. 55-56. 18 Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Kompas, 2002),
hlm. 96.
29
pengembangan manusia sebagai khalifah Allah. Pengembangan
hubungan antara manusia dan pengembangan diri sebagai individu
yang sejalan dengan potensi fitrahnya dalam status sebagai hamba
Allah.19
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa isi kurikulum atau
pengajaran itu merupakan kesatuan pengetahuan yang sudah terpilih
dan dibutuhkan oleh semua pihak. Dalam menentukan isi kurikulum
perlu juga mempertimbangkan semua yang terlibat. Seperti lingkungan,
masyarakat dan anak didik. Namun tidak hanya itu saja, sebab isi
kurikulum hendaknya sudah teruji dan memberikan konstribusi
terhadap pencapaian tujuan pendidikan.
c. Strategi Pelaksanaan Kurikulum
Strategi pelaksanaan kurikulum merupakan suatu petunjuk
bagaimana kurikulum tersebut akan dilaksanakan di sekolah, lagi pula
dapat menunjuk pada pendekatan dan metode serta peralatan mengajar
yang digunakan dalam pengajaran.
Dalam strategi pelaksanaan kurikulum terdapat suatu proses
belajar mengajar yang merupakan aktivitas untuk mempengaruhi anak
didik dalam satu situasi yang memungkinkan terjadinya interaksi antara
guru dan siswa, siswa dan siswa, atau siswa dengan lingkungannya
demi tercapainya tujuan pembelajaran. Karena dalam pembelajaran
terdapat berbagai bahan pelajaran yang berlainan, maka proses belajar
mengajar pun membutuhkan strategi yang berbeda dan tujuan yang
berbeda pula.
Dengan menggunakan strategi yang tepat, maka diharapkan
hasil yang diperoleh dalam proses belajar mengajar dapat memuaskan
baik bagi pendidik maupun anak didik. Namun penggunaan strategi
yang tepat dan akurat sangat ditentukan oleh tingkat kompetensi
19 Jalaludin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 152-153.
30
pendidik. Pendidik akhir-akhir ini sudah mulai mengarah pada two
ways communication dalam proses belajar dan mengajar di kelas.
Berhasil atau tidaknya kurikulum pendidikan yang telah
direncanakan atau ditetapkan, kuncinya adalah terletak pada proses
belajar mengajar sebagai ujung tombak dalam mencapai sasaran. Oleh
karena itu proses belajar mengajar yang terencana, terpola dan
terprogram secara baik dan sesuai dengan rambu-rambu yang ada
dalam garis-garis besar program pengajaran (GBPP) yang merupakan
ciri dan indikasi keberhasilan pelaksana kurikulum. Oleh sebab itu
kuncinya adalah guru harus menguasai dan memiliki kemampuan
dalam GBPP, materi pelajaran, desain pengajaran, pengelolaan kelas,
penilaian hasil belajar (evaluasi).
Di samping penguasaan dalam bidang lain-lainnya sebagaimana
tertuang dalam 10 kompetensi guru yang harus dikuasai dan dimiliki,
yaitu:20 menguasai bahan, mengelola program belajar mengajar,
melaksanakan program belajar mengajar, mengenal kemampuan anak
didik, menguasai landasan-landasan kependidikan, mengelola interaksi
belajar mengajar, mengenal fungsi, program bimbingan, penyuluhan di
sekolah, menilai prestasi untuk kepentingan pengajaran, mengenal dan
menyelenggarakan administrasi sekolah, memahami prinsip serta
menafsirkan hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran.
Dari berbagai ulasan di atas dapat dikatakan bahwa komponen
strategi sangat diperlukan dalam proses pembelajaran ataupun
pendidikan. Karena kualitas lulusan dalam suatu satuan pendidikan
sangat dipengaruhi oleh mutu strategi proses kegiatan belajar mengajar.
Maka perlu kiranya bagi seorang pendidik untuk menumbuh
kembangkan bakat dan kreativitas dalam proses pembelajaran baik di
dalam kelas ataupun di luar kelas, sehingga guru mampu
mengembangkan strategi pembelajaran yang dinamis dan kreatif sesuai
20 Syafrudin Nurdin, op. cit., hlm. 57-58.
31
dengan aspek-aspek pendidikan yang disampaikan dengan tujuan yang
diharapkan.
d. Evaluasi Kurikulum
Evaluasi kurikulum merupakan salah satu unsur kegiatan (tugas)
yang berupa penilaian untuk mengetahui seberapa jauh tujuan
kurikulum itu telah dicapai. Ini merupakan kegiatan dari kepala
sekolah/madrasah, yang termasuk dalam komponen usaha
pengembangan.
Evaluasi ini merupakan bagian yang diperlukan terutama untuk
memenuhi tujuan kurikulum yang telah dicapai di samping komponen
lain. Evaluasi yang dimaksudkan untuk mengetahui aktifitas, efisiensi,
produktifitas, serta relevansi program kurikulum yang telah ditentukan
dalam komponen sebelumnya. Oleh karena itu, evaluasi yang
direncanakan harus selalu mengacu pada tujuan dan tidak menyimpang
dari komponen yang lain.
Adapun definisi evaluasi kurikulum menurut B. Mc.et.al,
adalah: “evaluation is the process of delineating, obtaining, and
providing information usefull for making decision and judgments about
educational programs and curricula.” Artinya evaluasi adalah proses
penggambaran, perolehan dan pemberian informasi yang bermanfaat
untuk membuat keputusan dan pernyataan tentang program pendidikan
dan kurikulum.
B. Madrasah
1. Pengertian Madrasah
Jika dikaji dari pengertian bahasa, istilah madrasah merupakan isim
makan (nama tempat), berasal dari kata darasa, yang bermakna tempat
orang belajar, dari akar makna tersebut kemudian berkembang menjadi
32
istilah yang kita pahami sebagai tempat pendidikan, khususnya yang
beruansa agama Islam.21
Perkataan madrasah di tanah Arab ditunjukkan untuk semua
sekolah secara umum, tetapi di Indonesia ditujukan buat sekolah-sekolah
yang mata pelajaran dasarnya adalah mata pelajaran agama.22
Muhammad Yunus menyatakan sangat kesulitan ketika harus
menelusuri asal usul madrasah. Dari sudut kependidikan Islam kata
madrasah mempunyai asal usul yang panjang dan terdapat beberapa teori.
Pertama, sejalan dengan pertumbuhan dan penyebaran Islam kepada di
wilayah baru, selalu dibarengi muncul tempat-tempat pendidikan. Dan dari
tempat tersebut muncul istilah madrasah. Sebagai gambaran untuk
memperjelas argumentasi tersebut, di antaranya dapat dikemukakan contoh
ketika Umar Ibn al-Khathab yang merupakan kholifah terbesar pada masa
kholafaur rosyidin mengadakan perluasan wilayah keseluruh penjuru,
dengan mengirim bala tentara yang juga ulama ke wilayah-wilayah
tersebut. Setelah menguasi wilayah dimaksud ulama dan juga bala tantara
itu mengajarkan ilmu sessuai dengan keahlian mereka. Kedua,Madrasah
muncul pertama kali adalah Madrasah Nidhamiyah, (+ 1064 M) , yakni
lembaga pendidikan Islam yang dilahirkan oleh Nidham al Mulk dari
dinasti saljuk. Dengan munculnya madrasah Nidhamiyah tersebut baru
diikuti oleh madrasah-madrasah yang lain.23 Ketiga, madrasah yang
muncul pertama kali dalam sejarah peradaban Islam adalah madrasah
Baihaqiyah (+ 400 H/ 1009 M) yang didirikan oleh Abu Hasan Ali al-
Baihaqi (W. 1023 M). Pendapat ini banyak didukung oleh sejarawab
kontemporer, yang mencoba untuk keluar dari kungkungan formalisme.
Menurut pendapat penulis, ketiga katagori tersebut mempunyai
kaitan mata rantai yang tidak terputus satu dengan yang lainnya. Pertama
21 Nurul Huda, ”Madrasah Sebuah Perjalanan Untuk Eksis", edit. Isma'il, Dinamika
Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 211 22 Haidar Putra Daulay, Historis dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Madrasah,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), hlm. 59. 23 Nurul Huda, loc. cit.
33
bahwa aktivitas kependidikan Islam menggunakan berbagai tempat,
seperti masjid, istana, rumah-rumah ulama dan lainnya. Pada abad
pertengahan, ketika masing-masing madzhab mencoba untuk mengajarkan
pokok-pokok pikirannya yang disampaikan oleh seorang ulama'
(mudarris) penganut dari salah satu madzhab, membentuk halaqah-halaqah
mengambil tempat disudut-sudut ruangan masjid dan selanjutnya masjid-
masjid tersebut diinditifikasi oleh murid (orang yang belajar).
2. Eksistensi Madrasah
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia relative
lebih muda disbanding pesantren. Ia lahir pada abad 20 dengan
munculnya Madrasah Manba'ul Ulum Kerajaan Surakarta tahun 1905 dan
Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad di
Sumatera Barat tahun 1909. Madrasah berdiri atas inisiatif dan realisasi
dari pembaharuan sistem pendidikan Islam yang telah ada. Pembaharuan
tersebut, ada tiga hal di antaranya:
a. Usaha menyempurnakan sistem pendidikan pesantren
b. Penyesuaian dengan sistem pendidikan Barat, dan
c. Upaya menjembatani antara sistem pendidikan tradisional pesantren
dan sistem pendidikan Barat.24
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam kini ditempatkan
sebagai pendidikan sekolah dan sistem pendidikan nasiona. Munculnya
SKB tiga Menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan, dan Kebudayaan,
dan Menteri dalam Negeri) menandakan bahwa eksistensi madrasah sudah
cukup kuat beriringan dengan sekolah umum. Di samping itu, munculnya
SKB tiga menteri tersebut juga dinilai sebagai langkah positif bagi
peningkatan mutu madrasah baik dari status, nilai ijazah maupun
kurikulumnya. Di dalam salah satu dictum pertimbangkan SKB tersebut
disebutkan perlu diambil langkah-langkah untuk meningkatkan mutu
24 Raharjo, "Madrasah sebagai Sistem The Centre Of Excellence", edit. Isma'il, SM,
Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 226.
34
pendidikan pada madrasah agar lulusan dari madrasah dapat melanjutkan
atau pindah kesekolah-sekolah umum dari sekolah dasar sampai perguruan
tinggi.25
C. Otonomi Pendidikan
Bangsa pada era globalisasi yang menantang ini dihadapkan pada
perubahan-perubahan yang menuntut adanya sistem keterbukaan politik,
ekonomi dan budaya. Era ini juga disebut dengan era persaingan bebas dan
keunggulan teknologi informasi. Semua aspek kehidupan akan berubah secara
drastis yang beriringan dengan semakin tidak jelasnya batasan regional.
Tatanan masyarakat baru di atas akan melahirkan tuntutan dan
tantangan baru pula. Tuntutan adanya keterbukaan dalam politik, pembagian
kekuasaan serta sumber daya alam, menghargai hukum dan hak asasi manusia
serta transparansi dalam kebijakan pemerintah akan semakin kuat. Atas dasar
inilah maka memasuki era baru ini masyarakat menghendaki adanya
dekonsentrasi dan otonomi dalam mengambil kebijakan pembangunan.
Sejak itulah terjadi reformasi yang mana akhirnya diberlakukan
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan
Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
kewenangan propinsi sebagai daerah otonomi yang mengisyaratkan kepada
masyarakat mengenai kemungkinan-kemungkinan pengembangan suatu daerah
dalam suasana yang lebih kondusif dan dalam wawasan yang lebih demokratis,
termasuk didalamnya berbagai kemungkinan pengelolaan dan pengembangan
bidang pendidikan.
Secara etimologis, kata otonomi berasal dari bahasa latin yaitu auto
berarti sendiri dan nomein berarti peraturan atau undang-undang, maka otonom
artinya mengatur sendiri atau memerintah sendiri atau dalam arti luas adalah
hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah sendiri.
Sedangkan menurut Ateng Safrudin bahwa istilah otonomi mempunyai
makna kebebasan atas kemandirian, tetapi bukan kemerdekaan yang artinya
kebebasan yang harus dipertanggung jawabkan (kepada pemerintah pusat) atau
25 Ibid., hlm. 227.
35
pemerintah yang lebih tinggi, jadi bukan kebebasan tanpa batas. Dalam arti
yang lain otonomi daerah diartikan sebagai sistem pemerintahan yang lebih
banyak memberikan kekuasaan kepada pemerintah daerah dengan kata lain
penyerahan sebagian wewenang pimpinan kepada bawahan dari pusat ke
cabang.
Adapun pemberian otonomi ini dimaksudkan untuk lebih
memandirikan daerah dan memberdayakan masyarakat khususnya dalam
bidang pendidikan, sehingga seluruh stake holder dalam pendidikan lebih
leluasa dalam mengatur dan melaksanakan kewenangan atas prakarsa sendiri.
Pemberian otonomi yang luas dan bertanggung jawab dilaksanakan dengan
berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi yang menyangkut peran serta
masyarakat pemerataan, berkeadilan dan memperhatikan potensi serta
keanekaragaman daerah dengan titik sentral otonomi pada tingkat yang paling
dekat dengan rakyat yaitu kabupaten dan kota.26
Berbeda dari UU sebelumnya yang masih bersifat sentralistik, UU No.
22 tahun 1999 menggunakan cara pandang yang mendorong daerah untuk
dapat lebih mandiri tanpa campur tangan pemerintah pusat kecuali dalam
bidang politik luar negeri, moneter dan fiskal, dll.27
Pemberlakuan undang-undang tersebut menuntut adanya perubahan
pengelolaan pendidikan dari yang bersifat sentralistik kepada yang lebih
bersifat desentralistik.
Mengutip Tilaar yang menegaskan bahwa desentralisasi pendidikan
merupakan suatu keharusan. Menurutnya ada 3 hal yang berkaitan dengan
urgensi desentralisasi pendidikan. Ketiga hal tersebut adalah pembangunan
masyarakat demokrasi, pengembangan social capital dan peningkatan daya
saing bangsa.28 Ketiga hal di atas sudah lebih dari cukup untuk dijadikan
alasan mengapa desentralisasi pendidikan harus dilakukan di Indonesia.
26 Fasli Jalal, Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah, (Yogyakarta:
Adicita Karya Nusa, 2001), hlm. xxxii 27 Winarno Surakhmat, op. cit., hlm. 71 28 Sam M. Chan, Tuti T. Sam, Analisis SWOT; Kebijakan Pendidikan Era Otonomi
Daerah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 1
36
Otonomisasi menyangkut bukan hanya kandungan pendidikan, tetapi
juga manajemen dan administrasi. Jelasnya sejumlah wewenang seperti
penetapan kurikulum inti dan evaluasi berada ditangan pusat. Sedangkan
penyusunan kurikulum lokal dapat dilakukan di daerah bahkan di sekolah.
Prinsip ini juga disebut sebagai school based management, pengelolaan yang
berbasiskan sekolah.
Otonomi sering kali digambarkan berkenaan dengan empat tingkat
penyerahan kewenangan, pertama dekonsentrasi, delegasi, devolusi dan
privatisasi. Namun otonomi itu sendiri membicarakan pergeseran tempat
mereka yang memerintah, penyerahan kewenangan dari mereka yang berada di
satu tempat atau satu tingkatan vis-a vis organisasi-organisasi pendidikan
kepada mereka yang berada di tingkatan lain.
Otonomi pendidikan adalah sebuah proses yang kompleks dan dapat
membawa perubahan-perubahan penting tentang cara sistem persekolahan
menciptakan kebijakan, mendapatkan sumber daya, mengeluarkan dana,
melatih guru, menyusun kurikulum, dan mengelola sekolah-sekolah setempat.
Dengan demikian persoalan ini tentu saja berkorelasi positif dengan
konteks pengajaran Madrasah Aliyah pada umumnya. Dimana secara tidak
langsung mengharuskan adanya pembaharuan (modernisasi) dalam berbagai
aspek pendidikan di madrasah aliyah.
otonomi pendidikan juga dapat diartikan sebagai realisasi pengaturan
dan penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan tidak terputus secara utuh
dan terpadu mulai dari tingkat kebijakan, manajemen dan operasional dalam
berbagai aspek dan dimensi pendidikan baik makro, meso maupun mikro
dengan lingkup kegiatan jenjang, jenis dan daerah pendidikan.29
Bukan hanya dalam konteks membangun sistem pendidikan Islam yang
didistingtif, tetapi juga sekaligus membangun dan mengembangkan
keunggulan (excellence) atau quality education vis-à-vis sistem pendidikan
umum secara keseluruhan. Dalam era otonomi pembaharuan kurikulum
29 Suara Muhammadiyah, Desentralisasi Pendidikan dan Pemberdayaan Sekolah,
(Yogyakarta: No 22/TH Ke 90/10 Nopember 2005), hlm. 40
37
semakin jelas relevansinya, jika sistem pendidikan Islam ingin memberikan
sumbangan yang lebih bermakna dan signifikan bagi lingkungannya30. Dengan
adanya otonomi, maka tanggung jawab daerah menjadi lebih besar, mereka
harus sungguh memikirkan apa yang akan dibuat untuk pengembangan
pendidikan di daerahnya.
Namun yang perlu ditekankan dalam era otonomi adalah pemberdayaan
daerah, agar kebijakan berstandar nasional dapat dijalankan di semua wilayah.
Daerah yang belum berdaya diberi perhatian khusus oleh Depdiknas tidak
perlu berlaku sebagai operator kebijakan pendidikan, tetapi cukup sebagai
pembina dan pengawas, sehingga diharapkan dengan otonomi pendidikan ini
akan meningkatkan partisipasi pemerintah daerah dan masyarakat dalam
pemerataan proses pendidikan yang lebih cepat tercapai, sebab pemerintah
daerah akan lebih tahu kebutuhan masyarakat yang mereka layani, di samping
itu mempunyai wewenang penuh untuk merencanakan, membiayai dan
mengeksekusi rencana tersebut.31
Dengan begitu seiring dengan prinsip otonomi dalam
menyelenggarakan pendidikan bermutu, maka sebaiknya masing-masing
penyelenggara sekolah atau madrasah merencanakan kurikulumnya sendiri
sesuai dengan pandangannya, namun harus tetap dalam rambu-rambu
kebangsaan kebernegaraan dan matched dengan tantangan kehidupan lokal
maupun global, mempunyai kesesuaian dnegan kompetensi yang diinginkan
dan kesesuaiannya dengan kebutuhan dan level kemampuan peserta didik,
yaitu sesuai dengan kebutuhan pasar, IPTEK dan harus selalu menjadi acuan
bagi para penyelenggara pendidikan
Melalui otonomi penyelenggara pendidikan dapat menetapkan, mencari
dan mengelola dana sumber daya manusia dan aset-asetnya tersendiri, serta
mengadakan kerjasama dengan berbagai pihak terkait yang diperkirakan dapat
memajukan pendidikannya dan seterusnya. Dan sudah semestinya perangkat
30 Azyumardi Azra, op. cit., hlm. 97-98. 31 Fasli Jalal, Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Karya
Nusa, 2001), hlm. 35
38
daerah diberdayakan untuk menyampaikan pelayanan pendidikan yang
substantif kepada warganya dibawah binaan dan pengawasan pemerintah pusat
dan daerah yang lemah sebaiknya dibantu oleh pusat secara proporsional dan
bukan dengan cara mengambil alih urusan mereka.
D. Perkembangan Kurikulum Madrasah di Otonomi Pendidikan
1. Pengertian Pengembangan Kurikulum
Kurikulum memiliki banyak perbedaan definisi. Hal ini sangat
tergantung pada sudut pandang para ahli kurikulum dan pendidikan yang
mendefinisikannya. Walaupun demikian secara substansial adalah sama,
yaitu mengarah pada segala aktifitas sekolah untuk mempengaruhi
siswanya agar tercapai tujuan yang diinginkannya. Dalam hal ini Yurmaini
Mainuddin memberikan definisi mengenai pengembangan kurikulum yang
merupakan suatu upaya untuk diberikan atau disponsori oleh sekolah guna
memberikan pengalaman edukatif dalam upaya menumbuh kembangkan
seluruh potensi psikologi dan fisik siswa untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.32
Sesuai dengan sifatnya yang tidak pernah berakhir dari sisi proses
(never ending process) pendidikan itu memiliki banyak fase untuk
ditelaah, salah satu hal yang tidak boleh terlupakan adalah pengembangan
kurikulum dan akselerasi mutu keguruan. Guru dan kurikulum merupakan
aspek pendidikan yang sangat menentukan keberhasilan pendidikan itu
sendiri.33 Guru yang baik adalah guru dengan kepemilikan profesionalisme
yang memadai, merupakan persyaratan mutlak bagi terselenggaranya
proses pendidikan yang baik. Sementara itu kurikulum yang baik, dalam
hal ini adalah kurikulum dengan kepemilikan fleksibilitas dan daya
antisipasi yang memadai merupakan persyaratan bagi tercapainya tujuan
pendidikan.
32 Yurmaini Mainuddin, Pengembangan dan Pelaksanaan Kurikulum yang Menjamin
Tercapainya Lulusan Kreatif "dalam Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia I untuk Abad 21, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 148.
33 Winarno Surakhmat, op. cit., hlm. xxiii
39
Tujuan pendidikan tersebut tidak akan tercapai kecuali bila guru
menggunakan kurikulum atau pendekatan pembelajaran yang sesuai
dengan kebutuhan dan perkembangan anak didik. Pendekatan yang tidak
sesuai dapat mengarah pada hasil yang tidak diharapkan, yakni tercapainya
ketidakseimbangan dan ketidakselarasan pada aspek-aspek kepribadian.
Pendekatan seseorang terhadap kurikulum akan merefleksikan
pandangannya tentang dunia, termasuk di dalamnya pandangan tentang
kenyataan nilai dan pengetahuan yang dianutnya. Pendekatan
pengembangan kurikulum menggambarkan posisi holistik atau
metaorientasi yang meliputi landasan, domain dan prinsip teoritis serta
prinsip praktis dari kurikulum.
Bagaimanapun juga pengembangan kurikulum tidak dapat terlepas
dari berbagai aspek kehidupan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya,
mulai dari pemikiran sampai pada pelaksanaan, agar diharapkan kurikulum
itu sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan peserta didik.
Oleh karena itu pengembangan kurikulum sebaiknya dilakukan
berdasarkan teori yang sudah dikonseptualisasikan secara teliti dan hati-
hati, agar berbagai pengaruh yang tidak sesuai dengan pembaharuan dapat
dihindarkan.
Adapun hal-hal yang bisa dijadikan pegangan sebagai prinsip
dalam pengembangan kurikulum,seperti yang telah diungkapkan oleh
Peter F. Oliva yang mana dapat berfungsi sebagai acuan dimana kurikulum
itu harus berpijak.34
1. Inevitability of change
“As a point of departure, it has already been postulated that change is
both inevitable and necessary, for it is through change that live forms
grow and develop.”
Dari pemaparan Peter F.Oliva di atas menerangkan bahwa,
perkembangan kurikulum dapat dikatakan sebagai titik awal dari
34 Peter F. Oliva, Developing The Currilum, (Boston: Little Brown and Company, 1982),
hlm. 30
40
perubahan yang tidak dapat dielakkan dan hal itu dibutuhkan, karena
dengan perubahan suatu bentuk kehidupan itu akan tumbuh dan
berkembang.
Oleh sebab itu perkembangan kurikulum hendaknya selalu dapat
mengikuti dari perubahan yang ada. Tentunya tidak terlepas
bagaimana perkembangan kurikulum tersebut dapat menjawab
masalah-masalah yang dihadapi manusia saat ini.
2. Curiculum as a Product of its time
“a school curriculum not only reflect but is a product of its time.”
Maksud dari kalimat tersebut adalah bahwasannya pendidikan
khususnya perubahan kurikulum adalah suatu bagian yang merupakan
paket dan proses perubahan sosial yang sama rata.
Jadi pada dasarnya sebuah kurikulum hendaknya tidak hanya
merefleksikan, tetapi juga bisa menghasilkan SDM yang dapat
dibutuhkan sesuai dengan keadaan zamannya.
3. Concurrent changes
“curriculum change made at an earlier period of time can exist
concurrently with newer curriculum at a later period of time.”
Dari statement di atas dapat dipahami bahwa biasanya tahap
perkembangan kurikulum terjadi secara berangsur-angsur dan
menghapus setahap demi setahap dengan cara yang sama terhadap
kurikulum yang ada pada masa awal (sebelumnya).
4. Change in people
“Curriculum change result from changes in people.”
Maksudnya bahwa perkembangan kurikulum seharusnya
dimulai dengan usaha untuk merubah orang-orang yang mana pada
akhirnya dapat mempengaruhi perubahan kurikulum tersebut, karena
bagaimanapun perubahan kurikulum akan berhasil bila disertai
dengan partisipasi orang-orang yang mau berubah dan merubah
keadaan untuk lebih maju.
41
5. Cooperative endeavor
“Curriculum improvement is effected as a result of cooperative
endeavor on the part of groups.”
Adapun maksudnya yaitu perkembangan suatu kurikulum
merupakan bentuk suatu perbaikan untuk memperoleh suatu
kemajuan yang mana dipengaruhi sebagai akibat dari usaha keras
kerjasama beberapa kelompok atau lembaga dengan kerjasama yang
kuat antar lembaga dapat membantu kesuksesan dari usaha
pengembangan kurikulum.
6. Decision-making process
“Curriculum development is basically a decision-making process.”
Pernyataan di atas mengandung maksud bahwa perkembangan
kurikulum adalah keputusan dasar sebuah proses membuat pilihan-
pilihan dari beberapa alternatif yang nanatinya akan berpengaruh
terhadap keputusan-keputusan selanjutnya.
7. Continuous process
“Curriculum development is a continuous, never ending process.
Maksudnya bahwa perkembangan kurikulum adalah proses
yang tidak mengenal akhir, sehingga proses keberlangusngan seperti
evaluasi atau perbaikan kurikulum terjadi secara terus menerus,
karena bagaimanapun kurikulum selalu dapat diperbaiki dan selalu
diperbaiki dengan solusi yang lebih baik yang ditemukan guna
menyelesaikan masalah-masalah pendidikan demi mencapai tujuan
yang telah direncanakan.
8. Comprehensive Process
“Curriculum development is a comprehensive process”.
Maksudnya bahwa kurikulum itu adalah kesatuan proses yang
komprehensif bukan proses yang terpisah-pisah.
Pandangan komprehensif ini meliputi sebuah kesadaran dari
suatu pengaruh perkembangan kurikulum yang mana tidak hanya
dipengaruhi pada murid atau guru secara langsung, tetapi juga
42
dipengaruhi oleh beberapa cara yang diakibatkan dari perencanaan
tersebut. Jadi, suatu perkembangan kurikulum itu adalah suatu proses
yang dapat dipengaruhi oleh semua sistem (stoke holder) yang terlibat
sebagai pihak yang menjalankan suatu perencanaan kurikulum.
9. Systematic Development
“Systematic Curriculum Development is more effective than triad and
error.”
Maksudnya adalah suatu perkembangan kurikulum itu lebih
efektif ketika perkembangan kurikulum tersebut diikuti sebuah proses
yang sistematik jadi perkembangan kurikulum itu bukanlah suatu
proses coba-coba, tetapi seharusnya mengikuti pada bidang-bidang
yang sesuai dengan prosedurnya.
10. Starting from the existing curriculum
“The curriculum planner stars from where the curriculum is just as
the teacher starts from where the students are.”
Maksudnya yaitu suatu perencana kurikulum berawal dari
dimana seorang guru memulai suatu pembelajaran di kelas dengan
muridnya. Jadi pelaksanaan dari rancangan kurikulum itu dimulai dari
seorang guru menyampaikan materi dengan muridnya, dimana akan
terjadi suatu proses interaksi tatap muka serta penyampaian-
penyampaian hal yang penting yang diharapkan akan mendapatkan
hasil yang sesuai dengan tujuan kurikulum yang sudah ditetapkan
sebelumnya.
2. Fungsi Pengembangan Kurikulum
Berfungsinya kurikulum terletak bagaimana pelaksanaannya di
sekolah, khususnya di kelas dalam proses belajar mengajar. Dalam proses
belajar mengajar inilah kunci keberhasilan tercapainya tujuan, dengan kata
lain adanya kurikulum dapat dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan
pendidikan.
Kurikulum adalah inti atau tulang punggung dari kegiatan
pendidikan dan sebagai salah satu alat yang ampuh bagi keberhasilan
43
dalam membangun dan mengembangkan pendidikan. Bukan sekedar
sebuah program pendidikan, namun memiliki daya rekat tertentu yang
mampu mempadukan komponen-komponen cakupnya sehingga
menghasilkan suatu nilai tambah dibandingkan dengan program.
Hal ini mengingat karena kurikulum merupakan seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan-bahan pelajaran serta cara
yang digunakan sebagai pedoman untuk menggunakan aktifitas yang
direncanakan dan dilaksanakan dalam mencapai tujuan pendidikan, yang
mana harus mengikuti keadaan masyarakat, apabila masyarakat dinamis
maka kebutuhan anak akan dinamis pula, sehingga tidak terasing dalam
kehidupan masyarakat itu sendiri, sebab memang perubahan masyarakat
berdasar atas kebutuhan masyarakat itu sendiri.
Fungsi pengembangan kurikulum, selain sebagai pencapaian tujuan
pendidikan, tidak hanya ada pada pihak sekolah terkait saja, namun selain
guru, siswa, orang tua, dan masyarakat juga ikut berperan.
a. Fungsi kurikulum dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan
Menurut Sutopo sebagaimana dikutip oleh Abdullah Idi,
mengemukakan bahwa kurikulum pada sekolah merupakan alat atau
usaha dalam mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang diinginkan oleh
sekolah-sekolah tertentu yang dianggap cukup tepat dan krusial untuk
dicapai, sehingga salah satu langkah yang perlu dilakukan adalah
meninjau kembali tujuan yang selama ini digunakan oleh sekolah yang
bersangkutan.35
b. Fungsi kurikulum bagi anak didik
Fungsi kurikulum bagi anak didik diharapkan mendapat jumlah
pengalaman baru yang dikemudian hari diharapkan dapat
dikembangkan secara seirama dengan perkembangan anak, agar dapat
memenuhi bekal hidupnya nanti.
35 Abdullah Idi, op. cit., hlm. 135.
44
c. Fungsi kurikulum bagi pendidik
Sekolah merupakan tempat dimana kepentingan setiap diri dihargai
dan secara sadar diletakkan sebagai bagian integral kepentingan
bersama dan kepentingan nasional. Guru bukanlah orang yang serba
dan paling mengerti dunia anak dan siswa. Guru adalah seseorang yang
mampu mendorong siswa menyadari diri dan kemampuannya sendiri.
Urgensi kurikulum bagi pendidik atau guru disini sebagai pedoman
kerja dalam menyusun pengalaman belajar anak didik dan sebagai alat
evaluasi terhadap perkembangan serta didik.
d. Fungsi kurikulum bagi kepala sekolah, diantaranya:
1. Sebagai pedoman dalam mengadakan fungsi supervisi, yakni
memperbaiki situasi belajar
2. Sebagai pedoman dalam pengembangan kurikulum pada masa
mendatang
3. Sebagai pedoman untuk mengadakan evaluasi atas kemajuan
belajar mengajar
e. Fungsi kurikulum bagi orang tua siswa
Dalam hal ini orang tua diharapkan dapat berpartisipasi membantu
usaha sekolah dalam memajukan pendidikan putra-putrinya.
3. Pengembangan kurikulum madrasah di era otonomi Pendidikan
Perlahan namun pasti, dikotomi antar madrasah dan sekolah umum
mulai pudar. Dengan demikian madrasah sebagai sub sistem pendidikan
nasional dalam rangka membangun masyarakat Indonesia baru, sudah
waktunya menyusun kembali kurikulum madrasah yang sesuai dengan
tuntutan reformasi.
Dari beberapa definisi tentang kurikulum, dapat dipahami bahwa
pengembangan kurikulum madrasah dapat diartikan sebagai kegiatan yang
menghasilkan kurikulum pendidikan Islam, atau proses yang mengaitkan
satu komponen dengan yang lainnya untuk menghasilkan kurikulum
45
pendidikan Islam yang lebih baik atau kegiatan penyusunan (desain),
pelaksanaan, penilaian dan penyempurnaan kurikulum pendidikan Islam.
Jika menelaah struktur kurikulum madrasah, yang didalamnya
memuat mata pelajaran PAI yang dibagi ke dalam sub-sub mata pelajaran
yang lebih terperinci, maka dapat dipahami bahwa pendidikan agama
Islam di madrasah bukan hanya di dekati secara keagamaan tetapi juga
secara keilmuan. Dalam arti, bagaimana menyiapkan lulusan madrasah
agar mampu menjadikan ajaran dan nilai-nilai agama Islam sebagai
landasan pandangan hidup, sikap hidup, dan perilaku hidupnya, sekaligus
sebagai landasan bagi pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi juga
seni (ipteks).
Karena bagaimanapun madrasah tidak mungkin mengelak dari
dinamika masyarakat, sebab di dalamnya ia berada. Sementara pada saat
yang sama proses pendidikan di madrasah selalu berupaya untuk
mengendalikan jalannya kehidupan agar tetap berada di atas norma-norma
yang diidealkan.36
Dalam ayat (3) dari pasal 36 tentang kurikulum juga memberikan
petunjuk bahwa latar belakang iman, taqwa dan agama harus menjadi
perhatian dalam menyusun kurikulum. Demikian juga setiap jenis
pendidikan yang diselenggarakan dan dikembangkan dengan prinsip
diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta
didik. Dalam artian, mengingat adanya desentralisasi pendidikan di negara
kita, maka praktik pendidikan harus dibuat sedemikian rupa agar
berkorelasi dengan kebutuhan mendasar masyarakat, yang pada akhirnya
pola kebijakan selaras dengan pemenuhan keberhasilan program otonomi
daerah (desentralisasi pendidikan).
36 Azyumardi Azra, op. cit., hlm. 72