jurnal skripsi

25
PENGARUH SENAM VITALISASI OTAK (SVO) TERHADAP PENINGKATAN FUNGSI KOGNITIF PADA LANSIA DEMENSIA DI UNIT REHABILITASI SOSIAL PUCANG GADING SEMARANG JURNAL Untuk memenuhi persyaratan mencapai Sarjana Keperawatan Oleh : Anis Sufrotun Nafa NIM : 092100945 PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN 1

Upload: irmaa-dwi-hapsarii

Post on 09-Nov-2015

26 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

jurnal

TRANSCRIPT

PENGARUH SENAM VITALISASI OTAK (SVO) TERHADAP PENINGKATAN FUNGSI KOGNITIF PADA LANSIA DEMENSIA DI UNIT REHABILITASI SOSIAL PUCANG GADING SEMARANG

JURNALUntuk memenuhi persyaratan mencapai Sarjana Keperawatan

Oleh :Anis Sufrotun NafaNIM : 092100945

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATANFAKULTAS ILMU KEPERAWATANUNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG2014PENGARUH SENAM VITALISASI OTAK (SVO) TERHADAP PENINGKATAN FUNGSI KOGNITIF PADA LANSIA DEMENSIA DI UNIT REHABILITASI SOSIAL PUCANG GADING SEMARANG

EFFECT OF BRAIN GYMNASTICS VITALIZATION TOWARDS IMPROVEMENT OF COGNITIVE FUNCTION OF ELDERLY AT PUCANG GADING SOCIAL REHABILITATION UNIT SEMARANG CITY

Anis Sufrotun NafaProgram Studi S1 KeperawatanFakultas Ilmu KeperawatanUniversitas Islam Sultan Agung Semarang

ABSTRAKLatar Belakang: Fungsi kognitif mempunyai peran yang sangat penting di sepanjang kehidupan manusia.Usia lanjut (Usila) adalah populasi yang sering mengalami gangguan fungsi kognitif. Senam vitalisasi otak memiliki beberapa gerakan tertentu yang dapat meningkatkan kualitas fungsional otak dan tubuh manusia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pelaksanaan senam vitalisasi otak terhadap fungsi kognitif usia lanjut.Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif quasi eksperiment group design di Unit Rehabilitasi Sosial Pucang Gading,Semarang.Pengumpulan data menggunakan pengukuran skor MMSE ordinal. Jumlah responden 40 orang, dengan tekhnik purposive sampling.Data yang diperoleh diolah secara statistik dengan uji wilcoxon.dan Mann Whitney.Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil uji statistik dengan Wilcoxondiperoleh nilai p sebesar 0,317 (> 0.05), sehingga dinyatakan tidak ada perbedaan yang signifikan antara fungsi kognitif pada kelompok kontrol sebelum dan sesudahnya. Hasil uji statistik Wilcoxon diperoleh nilai p sebesar 0.000 (< 0.05), sehingga dapat disimpulkan ada perbedaan yang bermakna antara fungsi kognitif pada kelompok intervensi sebelum dan setelah diberikan senam vitalisasi ottak (SVO).Simpulan: Senam Vitalisasi Otak (SVO)dapatmeningkatkanfungsi kognitif pada lansia demensia (p value < 0,05 ; CI: 95%)

Kata Kunci : Fungsi kognitif, lansia, Senam Vitalisasi Otak (SVO).Daftar Pustaka : 39 (2005-2013)

ABSTRACTBackground : Cogvitive function has a very important role in livelong human life. Erderly is a pupulation that commonly has cognitive disorder. Brain gymnastics vitalization has somewe certain movements that able to increase human body and brain functional quality. The aim of this study is to determine brain gymnastics vitalization practice effect to cognitive function on the elderly population.Methode : This study is a quantitative quasi eksperimental with non equivalent control group design. The data was collected measume cognitive function with MMSE tho the respondent. Total of respondens 40 person with purpossive sampling. The data obstained were proccessed by wilcoxonSigned Rank Test and Mann Whitney Test. Results : The results showed that the results of statistical tests with Wilcoxon test p value of 0.317 was obtained (> 0.05), so otherwise no significant difference between the achievement of cognitive function in the control group before and after intervation. Wilcoxon statistical test results obtained p value of 0.000 (> 0.05), so it can be concluded that there were significant differences between the attainment of cognitive funtionin the intervention group before and after brain gymnastic vitalization.Conclusion :Gymnastics vitalization brain can improve cognitive function in dementia erderly (p value < 0,05 ; CI : 95%)

Keyword :brain gymnastics vitalization,cognitive function,elderlyBibliography : 39 (2005-2013)

PENDAHULUAN

Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan (Nugroho, 2008). Proses menua dan usia lanjut memang proses alami (Yulianto, 2008). Memasuki masa tua berarti mengalami kemunduran, misalnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas, penglihatan semakin memburuk, gerakan lambat, dan figure tubuh yang tidak proporsional (Nugroho, 2008).WHO (World Health Organization ) dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pada Bab 1 Pasal 1 Ayat 2 menyebutkan bahwa umur 60 tahun adalah usia permulaan tua. Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur mengakibatkan perubahan yang kumulatif, merupakan proses menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan luar tubuh yang berakhir dengan kematian (Nugroho, 2008). Pada jumlah penduduk lansia di Indonesia pada tahun 2000 sebesar 17,7 jiwa (7,9%) dengan usia harapan hidup 66,2 tahun. Angka ini meningkat pada tahun 2005 dan 2010. Pada tahun 2005 kelopok usia lanjut sebesar 19,9 juta jiwa (8,4%) dan tahun 2010 menjadi 23,9 juta jiwa (9,7%) (BPS, Sensus Penduduk 2010).Diperkirakan pada tahun 2020 jumlah lansia lebih dari 28,8 juta jiwa (11%) (Nugroho, 2008). Hal ini menunjukan bahwa penduduk lanjut usia meningkat konsisten dari waktu ke waktu.Saat menjadi tua, maka perlahan-lahan proses regenerasi jaringan akan hilang dan diikuti menurunnya fungsi dan struktur jaringan sehingga tidak lagi kuat menahan berbagai gangguan termasuk infeksi. Pada orang-orang usia lanjut, degenerasi organ seperti otot, tulang, jantung, pembuluh darah, dan sistem saraf menyebabkan penurunan keseimbangan (Yulianto, 2008). Disamping penurunan fungsi fisik, seiring penuaan umumnya terjadi kemunduran daya ingat dan kecerdasan.Menurut staf pengajar bagian Psikiatri FKUI/RSCM Jakarta, dr Suryo Dharmono SpKJ(K), volume otak menyusut sekitar 10 persen setelah manusia mencapai usia 80 tahun (Sinar Indonesia, 2008). dr Jumraini Tammase, SpS dari Bagian Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Unhas juga mengungkapkan bahwa pada usia 70 tahun, bagian otak yang rusak bisa mencapai 5-10 persen pertahun. Akibatnya, proses berpikir menjadi lamban, sulit konsentrasi, dan kemampuan daya ingat menurun. Pada lansia, penurunan kemampuan otak dan tubuh membuat tubuh mudah jatuh sakit, pikun dan frustrasi (Tammase, 2009). Organisasi Alzheimer International mencatat sekitar 4,6 juta kasus demensia baru dilaporkan didunia tahun 2001 atau kasus baru muncul setiap tujuh detik. Pada tahun 2050, jumlah penderita demensia diperkirakan mencapai 100 juta orang didunia. Global Burden Disease tahun 2000 melaporkan prevalensi Alzheimer dan demensia jenis lainnya sebesar 4,5 juta (Alzheimers Europe, 2006 dalam Purnakarya, 2008). Di Amerika, pada orang orang berumur lebih dari 85 tahun sekitar 4,2 atau 2,2 juta orang hidup dengan demensia. Ada sekitar 500.000 orang yang usianya dibawah 65 tahun hidup dengan Alzheimer atau demensia lain (Lubantobing, 2006). Pada tahun 2005 penderita demensia di kawasan Asia pasifik berjumlah 13,7 juta orang. Beberapa Negeri di asia tenggara kejadian demensia tahun 2005 diantaranya malasyia 63.000 orang. Filipina 169.800 orang, Singapura 22.000 orang, Thailand 229.100 orang dan di Indonesia kejadian demensia pada tahun 2005 yaitu sebesar 606.100 orang (Lubantobing, 2006).Berarti dapat disimpulkan bahwa Negara Indonesia adalah negara yang memiliki angka kejadian demensia pada tahun 2005 urutan pertama dari beberapa Negara di Asia Tenggara.Senam Otak ditemukan oleh dr Paul Dennison, ahli senam otak dari lembaga Educational Kinesiology, Amerika Serikat, 19 tahun silam (Tammase, 2009). Ketua Umum Layanan Santun Lansia Balai Kesehatan Unpad, Sri M Sugana mengungkapkan bahwa senam otak pada lansia ini sudah dipopulerkan secara internasional sejak empat tahun lalu dalam sebuah kongres dokter mata di Jepang. Namun, di Indonesia sendiri, senam otak ini masih sulit berkembang (Arifah, 2008). Perlu sosialisasi lebih lanjut untuk mengembangkan Senam Otak di kalangan masyarakat, terutama lansia.Senam lain antara lain Senam Vitalisasi Otak (SVO)yang menegembangkan SVO adalah Prof. Soemarno Markam atas idenya dr. Adre Mayza ahli Neurologi bersama Herry Pujiasuti ahli fisioterapi dan Bapak Slamet Soemarno merupakan salah satu timnya dimana juga masih sulit berkembang di Indonesia dan perlu sosialisasi lebih lanjut untuk mengembangkan Senam Vitalisasi Otak di kalangan masyarakat terutama lansia dimana manfaatnya dapat meningkatkan kemampuankewaspadaan, pemusatan perhatian, daya ingat serta kemampuan eksekutif lansia. Dengan senam vitalisasi otak para peserta menyatakan bahwa bisa tidur lebih nyenyak dan dapat menjaga pikiran tetap segar, sehingga mereka dapat mempertahankan ingatan menjadi tidak mudah pikun terlebih pada mereka yang setiap hari latihan. Hal ini melatih otak untuk bekerja terus secara beraturan (Markam, 2006).Gerakan-gerakan yang dilakukan dalam senam vitalisasi otak merangsang kerja sama antara bagian-bagian otak yang diikuti dengan bertambahnya aliran darah ke dalam otak. Gerakan yang dilakukan juga lambat sehingga tidak akan membebani kerja jantung dan dapat disesuaikan dengan pernapasan. Frekuensi pernafasan 1624 kali permenit disertai dengan hirupan dan hembusan nafas. Dengan napas yang lebih dalam oksigen dari udara akan terserap lebih banyak sehingga dapat memperbaiki fungsi otak. Penurunan kognitif ini dapat diperbaiki dengan diberikan Senam Vitalisasi Otak sebanyak 3 kali dalam seminggu selama 6 sampai 12 minggu dengan durasi waktu pada setiap pertemuan 20-30 menit yang terdiri dari 5-7 menitpertama pemanasan,selanjunya latihan inti selama 10 15 menit, kemudian diakhiri dengan pendinginan 5 7 menit (Markam, 2006).Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Yulianto (2010) di Panti Werdha Dharma Bhakti, Surakarta, sudah membuktikan bahwa senam otak efektif mengembalikan keseimbangan kerja organ. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Ah. Yusuf, dkk (2010) di Unit Pelayanan Sosial Tresna Werdha Lamongan dengan judul pengaruh senam otak dapat meningkatkan fungsi kognitif pada lansia. Hasil penelitian menunjukan bahwa fugsi kognitif pada lansia dapat mengalami peningkatan menjadi baik dengan dilakukannya senam otak. Data yang diperoleh diuji menggunakan uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test and Mann-Whitney U Test untuk mengetahui perbedaan post test tingkat fungsi kognitif kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol dengan tingkat kemaknaan 0,05 dan hasil p = 0.001.Selain penelitian diatas ada sebuah penelitian yang berjudul Pengaruh Senam Vitalisasi Otak dapat meningkatkan fungsi koginitif pada usia dewasa yang dilakukan oleh Lisnaini (2010). Dari hasil penelitian didapatkan hasil bahwa Senam Vitalisasi Otak dapat meningkatkan fungsi kognitif pada usia dewasa muda. Selain itu,dalam jurnal fisioterapi (2010) penelitian tentang Senam Vitalisasi Otak lebih meningkatkan fungsi kognitif kelompok lansia daripada Senam Lansia di Balai Perlindungan Sosial Provinsi Banten yang dilakukan oleh Rohan (2011). Hasilnya menunjukan bahwa Senam Vitalisasi Otak lebih signifikan dalam meningkatkan fungsi kognitif pada kelompok lansia di banding Senam Lansia. METODOLOGIPenelitian ini menggunakan desain quasi eksperimental non equivalent control group. Sampel pada penelitian ini diobservasi terlebih dahulu sebelum diberi perlakuan, kemudian setelah diberikan perlakuan sampel tersebut diobservasi kembali.Responden dalam penelitian ini adalah penderita demensia di URESOS Pucang Gading Semarang sebagai kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan 12 Februari 14 Maret 2014 dengan jumlah responden 40 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah purpossive sampling dengan pembagian responden masing-masing 20 orang pada kelompok intervensi dan kontrol.Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah skor MMSE, yaitu Mini Mental State Examination dengan rasio 0-30.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN1. Karakteristik Respondena. Usia RespondenTabel 4.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Penderita demensia Berdasarkan Usia Pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Di Unit Rehabilitasi Sosial Pucang Gading Semarang, 2014 (N=20)Kelompok IntervensiKelompok Kontrol

UsiaN%UsiaN%

6015.06215.0

62315.06515.0

63315.068315.0

65525.06915.0

6915.070315.0

7015.073525.0

7215.07715.0

7315.07915.0

75210.08215.0

7615.098210.0

8315.09615.0

Total20100.0Total20100.0

Berdasarkan tabel 4.1 di atas dapat dilihat bahwa karakteristik usia responden kelompok intervensi lebih banyak pada usia 65 tahun dan pada kelompok kontrol pada usia 73 tahun yang sama jumlah respondenya yaitu sebanyak 5 orang dengan prosentase (25%) di Unit Rehabilitasi Sosial Pucang Gading Semarang.Penelitian Lumbatobing (2006) yang menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada otak akibat bertambahnya usia antara lain fungsi penyimpanan informasi (storage) hanya mengalami sedikit perubahan. Sedangkan fungsi yang mengalami penurunan yang terus menerus adalah kecepatan belajar, kecepatan memproses informasi baru dan kecepatan beraksi terhadap rangsangan sederhana atau kompleks, penurunan ini berbeda antar individu Usia bertambah tingkat kesegaran jasmani akan turun. Penurunan kemampuan akan semakin terlihat setelah umur 40 tahun, sehingga saat usia lanjut kemampuan akan turun antara 30-50%, (Kusmana, 2005), namun Lesmana (2006) mengatakan bahwa penelitian menunjukan pembendaharaan kata lebih baik pada orang usia 70 tahun daripada 30 tahun batasan umur juga mempengaruhi dari tingkat fungsi kognitif lansia pada penelitian ini dari 40 responden yang didapat mayoritas usia 60-96 tahun dengan kategori fungsi kognitif definitif gangguan kognitif dan problem gangguan kognitif.b. Jenis KelaminTabel 4.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Penderita demensia Berdasarkan Jenis Kelamin Pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Di Unit Rehabilitasi Sosial Pucang Gading Semarang, 2014 (N=20)Jenis KelaminKelompok IntervensiKelompok Kontrol

N%n%

Laki Laki1155.0420.0

Perempuan 945.01680.0

Total 20100.020100.0

Berdasarkan tabel 4.2 di atas dapat dilihat bahwa dari Jenis kelamin responden pada kelompok intervensi yang berjenis kelamin laki laki lebih banyak dibanding dengan kelompok kontrol dan pada kelompok Intervensi yang berjenis kelamin perempuan lebih sedikit ketimbang kelompok kontrol.

Penelitian ini membuktikan perempuan mempunyai resiko lebih tinggi dari pada laki-laki untuk mendapatkan penyakit alzheimer (Lunbantombing, 2006). Menurut Jervis dan tim dokter wanita kelas dunia, (2011) bahwa wanita dengan usia diatas 65 tahun lebih beresiko terkena demensia dibandingkan laki-laki, bahkan demensia menjadi peyebab utama kematian pada wanita usia lanjut.

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Karakteristik Penderita Demensia Berdasarkan Pendidikan Pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Di Unit Rehabilitasi Sosial Pucang Gading Semarang, 2014 (N=20)Jenis PendidikanKelompok IntervensiKelompok Kontrol

N%n%

SD1155.01680.0

SMP420.0420.0

SMA420.0--

PT15.0--

Total20100.020100.0

Berdasarkan tabel 4.3 di atas dapat dilihat bahwa dari Pendidikan responden pada kelompok Intervensi dominan pada pendidikan SD sama halnya dengan kelompok kontrol tetapi lebih banyak kelompok kontrol dengan selisih 5 orang dan pada kelompok kontrol tidak ada yang berpendidikan SMA dan PT.

Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Tingkat pendidikan yang baik mendukung wawasan dan pola pikir manusia untuk bertindak lebih bijak dan berfikir kritis.Tingkat pendidikan salah satu faktor resiko terjadinya demensia. Pendidikan yang rendah merupakan faktor resiko,baik bagi Alzheimer maupun bagi demensia vaskuler. Secara kasar dapat dikatakan bahwa bagi mereka yang berusia di atas 75 tahun dan tidak pernah bersekolah maka kemungkinan terkena demensia dua kali lebih besar di bandingkan yang pernah mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi dari usia dasar (Lumbantobing, 2006). Tingkat pendidikan mempunyai pengaruh terhadap penurunan fungsi kognitifnya. Pendidikan mempengaruhi kapasitas otak, dan berdampak pada tes kognitifnya. (Farmer dkk, 2006). Memiliki jenjang pendidikan yang lebih tinggi disertai dengan berada di strata sosial yang lebih tinggi diasumsikan dapat mengurangi penurunan kognitif (Ahmad, 2006).Berdasarkan data demografi hasil penelitian, lansia yang mempuyai riwayat pendidikan yang lebih tinggi mepunyai nilai MMSE yang lebih baik daripada lansia yang berpendidikan rendah.

c. Pekerjaan Sebelumnya RespondenPekerjaan Sebelumnya Pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Menurut Lesmana, (2006) pengalaman pekerjaan dahulu mempunyai dampak pada kualitas proses berfikir lansia. Pada penelitian ini pekerjaan yang tidak bekerja masuk dalam definitif gangguan kognitif atau kurang sedangkan lansia yang mempuyai riwayat pekerjaan lebih baik (Wiraswasta, swasta dan PT), termasuk dalam kategori problem gangguan fungsi kognif.

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Karakteristik Penderita Demensia Berdasarkan Kontrol Di Unit Rehabilitasi Sosial Pucang Gading Semarang, 2014 (N=20)Pekerjaan sebelumnyaKelompok IntervensiKelompok Kontrol

N%n%

PNS15.0--

WIRASWASTA945.0525.0

SWASTA210.0420.0

TIDAK BEKERJA840.01155.0

Total20100.020100.0

Hasil penelitian di atas dapat dilihat bahwa dari segi pekerjaan sebelumnya responden pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol ada yang berbeda tidak ada pekerjaan PNS di kelompok kontrol dan hanya 1 pekerjaan saja PNS di kelompok intervensi dan yang berdominan pekerjaan di kelompok intervensi dan kelompok kontrol adalah Wiraswasta dan tidak bekerjaB. Gambaran Tiap VariabelFungsi Kognitif sebelum dan sesudah diberikan intervensi Senam Vitalisasi Otak (SVO) pada kelompok intervensi Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Penderita Demensia Kelompok Intervensi Berdasarkan Fungsi Kognitif Sebelum dan Sesudah diberikan Senam Vitalisasi Otak (SVO) Di Unit Rehabilitasi Sosial Pucang Gading Semarang, 2014 (N=20)

Fungsi KognitifSenam Vitalisasi Otak (SVO)

SebelumSesudah

N%N%

17-230-161195.095.019195.05.0

Jumlah20100%20100%

Berdasarkan tabel 4.5 di atas dapat dilihat frekuensi fungsi kognitif sebelum dan sesudah diberikan intervensi. Sebelum diberikan intervensi rata-rata seluruh responden berada pada skor MMSE 0-16 yang artinya termasuk kategori definitif gangguan kognitif sebanyak 19 orang. Setelah diberikan intervensi fungsi kognitif responden rata-rata berada pada skor MMSE 17-23 sebanyak 19 orang yang sebelumnya hanya 1 orang saja, yang artinya termasuk pada kategori problem gangguan kognitif pada lansia demensia.C. Fungsi Kognitif pada kelompok Kontrol Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Penderita Demensia Kelompok Kontrol Berdasarkan Fungsi Kognitif Sebelum dan Sesudah Pengukuran MMSE Di Unit Rehabilitasi Sosial Pucang Gading Semarang, 2014 (N=20)

Fungsi KognitifSenam Vitalisasi Otak (SVO)

SebelumSesudah

N%N%

17-230-1651525.075.0515

25.075.0

Jumlah21100%21100%

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dilihat bahwa pada kelompok kontrol sebelum intervensi skor MMSE berada pada 0-16 yang termasuk kategori gangguan kognitif sebanyak 15 orang . Sesudah intervensi, skor MMSE tetap berada pada 0-16 yang artinya termasuk kategori definitif gangguan kognitif pada lanisa demensia dengan jumlah orang yang sama.

Berdasarkan instrumen pengukuran fungsi kognitif oleh Folstein,skor MMSE 0-16 tergolong dalam definitif gangguan kognitif, sedangkan skor 17 - 23 tergolong problem gangguan kognitif . Hal ini menunjukkan bahwa sebelum intevensi, responden di kedua kelompok secara keseluruhan mengalami gangguan fungsi kognitif definitif. Setelah intervensi dilakukan, pada kelompok intervensi, sebagian besar fungsi kognitif yang muncul menjadi problem gangguan kognitif, dan pada kelompok kontrol tetap berada pada definitif gangguan kognitif.

A. Analisa Bivariat1. Effektivitas Senam Vitalisasi Otak (SVO) Terhadap Peningkatan Fungsi Kognitif pada lansia Demensia. Tabel 4.7 Distribusi Rata-Rata Fungsi Kognitif Pada Kelompok Intervensi Di Unit Rehabilitasi Sosial Pucang Gading Semarang

VariabelMeanMedian(minimum-maksimum)p valueN

Fungsi Kognitif Sebelum14.6515(12-19)0,00020

Fungsi Kognitif Sesudah18.9517 (14-21)

Tabel 4.7 di atas merupakan tabel hasil uji wilcoxon dengan hasil rata-rata (mean) fungsi kognitif responden meningkat , dari 14.65 menjadi 18.95 serta nilai signifikasinya sebesar 0,000 (p0,05). Hal ini menunjukkan bahwa kelompok kontrol yang tidak diberikan intervensi Senam Vitalisasi Otak tidak memiliki peningkatan fungsi kognitif. Namun, jika dilihat dari kolom mean pada tabel, dimana menunjukkan fungsi kognitif yang menurun, tetapi masih dalam skala angka yang sama antara fungsi kognitif sebelum dan sesudah dilakukan Senam Vitalisasi Otak (SVO) dan hanya selisih 0,5.Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan fungsi kognitif yang bermakna antara fungsi kognitif sebelum dan sesudah dilakukan Senam Vitalisasi Otak.

Berdasarkan hasil uji analisis tersebut, didapatkan hasil bahwa dari 19 orang responden pada kelompok intervensi secara keseluruhan mengalami peningkatan fungsi kognitif sesudah dilakukan intervensi. Rata-rata fungsi kognitif responden sebelum intervensi berada pada skor 0-16, artinya fungsi kognitif termasuk dalam definitive gangguan kognitif. Sedangkan setelah dilakukan intervensi, rata-rata responden mempersepsikan fungsi kognitif berada pada skor 17-23, artinya fungsi kognitif tersebut berada pada problem gangguan kognitif. Selain itu, dilihat dari nilai signifikansi dari hasil uji tersebut, yaitu sebesar 0,000 (p11,50), artinya selisih angka skor MMSE sesudah intervensi pada kelompok intervensi lebih besar daripada kelompok kontrol sehingga intervensi pada kelompok intervensi lebih efektif dalam meningkatkan fungsi kognitif. Selain itu, pada kolom nilai signifikasi, didapatkan nilai p=0,000 (p 0.05) dengan selisih rata rata antara sebelum dan sesudah intervensi SVO menurun 0,5.4. Ada perbedaan fungsi kognitifpost intervensi antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol dengan menggunakan uji statistik Mann-Whitney untuk mengetahui data selisih skor MMSE antara hasil sesudah intervensi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol Berdasarkan input rank, dapat dilihat bahwa rata-rata selisih fungsi kognitif pada kelompok intervensi cenderung lebih tinggi daripada kelompok kontrol sesudah dilakukan intervensi dengan selisih 18, sehingga intervensi pada kelompok intervensi lebih efektif dalam meningkatkan fungsi kognitif. Dengan nilai signifikasi didapatkan nilai p=0,000 (p