jurnal sains psikologi, jilid 2, nomor 2 november 2012 ,hlm...

13
54 | Jurnal Sains Psikologi, Jilid 2, Nomor 2 November 2012 ,hlm 54-66 FISIONEUROHORMONAL PADA STRESOR OLAHRAGA Sugiharto Jurusan Ilmu Keolahragaan FIK Universitas Negeri Malang Abstrak: Olahraga merupakan kegiatan yang menarik dan menyenangkan, tidak hanya berdampak terhadap peningkatan kesehatan, kondisi fisik dan fisiologis, tetapi juga psikologis. Namun olahraga dengan dosis berat dan bersifat kompetitif salah satu penyebab stres (stresor). Sebaliknya olahraga yang dilakukan secara berkelanjutan dengan dosis yang tepat menurunkan sekresi HPA Axis, hypercotisol yang rendah, sitokin proinflamasi IL-6 aktif, merangsang sekresi hormone pertumbuhan (GH), prolaktin dan dapat meningkatkan keke- balan tubuh dengan dirangsangnya Th2. Dalam upaya menjaga homeostatis, respon sistem stres diikuti oleh perubahan sikap dan perilaku yang dapat meningkatkan kemampuan homeo- statis, sehingga tidak diragukan lagi bahwa olahraga memiliki efek yang sangat menguntungkan bagi kesehatan baik keseha- tan fisik maupun psikis. Kata-kata kunci: olahraga, crh, hpa axis, gh, il-6. Olahraga merupakan salah satu rang- sangan yang sangat fisiologis dan meli- batkan semua sistem tubuh, baik itu sistem otot, syaraf, sistem metabolisme maupun sistem hormon (Kanaley & Hartman, 2002) dan sebagai metode yang sangat efisien dalam mengontrol stres (Teixeira dkk., 2008). Hal ini karena olahraga dapat berperan untuk mengontrol neurohormonal, syaraf oto- nomik dan respon perilaku stres fisik dan psikologis (Rimmele dkk., 2009 ). Oleh sebab itu olahraga yang dilaku- kan dengan baik memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan kesehatan, baik kesehatan fisik maupun kesehatan psikis (Mastorakos dkk., 2005), kesegaran jasmani, mood dan menurun- kan kecemasan serta mencegah depresi (Strohle,2009). Namun olah- raga juga memiliki resiko (Rost, 1993), baik pada olahraga intensitas submak- simal maupun maksimal (Gervino & Douglas,1993). Terutama pada olahraga yang berlebihan dengan dosis berat dan kompetitif (Hackney,2006). Olahraga merupakan stres fisik, yang berpotensi menimbulkan gangguan homeostatis, khusususnya pada olah- raga yang dilakukan secara berlebihan (Mastorakos & Pavlatou, 2005). Stres fisik yang ditimbulkan tersebut menurut Uchakin dkk. (2003) tidak hanya me- nyebabkan stres fisik itu sendiri, tetapi

Upload: lekiet

Post on 27-Feb-2018

220 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Sains Psikologi, Jilid 2, Nomor 2 November 2012 ,hlm …jurnal-online.um.ac.id/data/artikel/artikelDA910ED3811900F0E1E962... · tuntutan baru (cope) dengan peningkatan kebutuhan

54 | Jurnal Sains Psikologi, Jilid 2, Nomor 2 November 2012 ,hlm 54-66

FISIONEUROHORMONAL PADA STRESOR OLAHRAGA

Sugiharto

Jurusan Ilmu Keolahragaan FIK Universitas Negeri Malang

Abstrak: Olahraga merupakan kegiatan yang menarik dan menyenangkan, tidak hanya berdampak terhadap peningkatan kesehatan, kondisi fisik dan fisiologis, tetapi juga psikologis. Namun olahraga dengan dosis berat dan bersifat kompetitif salah satu penyebab stres (stresor). Sebaliknya olahraga yang dilakukan secara berkelanjutan dengan dosis yang tepat menurunkan sekresi HPA Axis, hypercotisol yang rendah, sitokin proinflamasi IL-6 aktif, merangsang sekresi hormone pertumbuhan (GH), prolaktin dan dapat meningkatkan keke-balan tubuh dengan dirangsangnya Th2. Dalam upaya menjaga homeostatis, respon sistem stres diikuti oleh perubahan sikap dan perilaku yang dapat meningkatkan kemampuan homeo-statis, sehingga tidak diragukan lagi bahwa olahraga memiliki efek yang sangat menguntungkan bagi kesehatan baik keseha-tan fisik maupun psikis.

Kata-kata kunci: olahraga, crh, hpa axis, gh, il-6.

Olahraga merupakan salah satu rang-sangan yang sangat fisiologis dan meli-batkan semua sistem tubuh, baik itu sistem otot, syaraf, sistem metabolisme maupun sistem hormon (Kanaley & Hartman, 2002) dan sebagai metode yang sangat efisien dalam mengontrol stres (Teixeira dkk., 2008). Hal ini karena olahraga dapat berperan untuk mengontrol neurohormonal, syaraf oto-nomik dan respon perilaku stres fisik dan psikologis (Rimmele dkk., 2009 ). Oleh sebab itu olahraga yang dilaku-kan dengan baik memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan kesehatan, baik kesehatan fisik maupun kesehatan psikis (Mastorakos dkk.,

2005), kesegaran jasmani, mood dan menurun- kan kecemasan serta mencegah depresi (Strohle,2009). Namun olah-raga juga memiliki resiko (Rost, 1993), baik pada olahraga intensitas submak-simal maupun maksimal (Gervino & Douglas,1993). Terutama pada olahraga yang berlebihan dengan dosis berat dan kompetitif (Hackney,2006). Olahraga merupakan stres fisik, yang berpotensi menimbulkan gangguan homeostatis, khusususnya pada olah-raga yang dilakukan secara berlebihan (Mastorakos & Pavlatou, 2005). Stres fisik yang ditimbulkan tersebut menurut Uchakin dkk. (2003) tidak hanya me-nyebabkan stres fisik itu sendiri, tetapi

Page 2: Jurnal Sains Psikologi, Jilid 2, Nomor 2 November 2012 ,hlm …jurnal-online.um.ac.id/data/artikel/artikelDA910ED3811900F0E1E962... · tuntutan baru (cope) dengan peningkatan kebutuhan

Sugiharto, Fisioneurohormonal pada Stresor Olahraga | 55

juga dapat menyebabkan stres kimia fi-siologis dan pikologis. Hal ini berpoten-si mengganggu homeostatis (Fatouros dkk., 2010). Menurut Rimmele dkk. (2007) olahraga dengan dosis berat juga beresiko terjadi dehidrasi, menurunnya berat badan kronis, masalah lambung, hypo maupun hyperthermia, kerusakan otot dan collap. Olahraga menyebabkan peningkatan hormon kortisol baik olah-raga dengan dosis maksimal (berat) mau-pun dosis submaksimal (Sugiharto 2009; Sugiharto dkk, 2010). Kortisol, men-ingkatkan aktivitas glukokorticoid dan cortikosteron, yang dapat menyebabkan resisten insulin, tubuh, hyphothalamic-hypophysis-adrenal axis (HHA) dan juga meningkatkan insiden penyakit jantung serta menurunnya daya tahan tubuh un-tuk penyakit (Contarteze dkk.,2007). Stres oleh tubuh direspon dengan mengaktifkan sistem kardiorespirasi, sis-tem locus ceruleus (LC/norepinephrin (NE), sistem metabolisme dan HPA axis (Mastorakas & Pavlatou, 2005). Aktifn-ya hipotalamus–puitutary–adrenal axis (HPA), menimbulkan conditioning stim-uli pada alur limbic–hipotalamus–puitut-ary-adrenal Axis (LHPA axis), kemudian merangsang hipotalamus dan menyebab-kan disekresinya hormon corticotrophin relesing hormone (CRH), merangsang hipotalamus untuk sekresi ACTH. Pen-ingkatan sekresi ACTH, menyebabkan meningkatnya sekresi, kortisol (Usui dkk., 2012). Hormon tersebut dikeluar-kan untuk menjaga homeostatis dalam menghadapi stres, baik fisik maupun psikologis (Fatouros dkk., 2010). Dalam batas tertentu peningkatan kortisol digu-nakan sebagai upaya untuk menghadapi

tuntutan baru (cope) dengan peningkatan kebutuhan energi yang diakibatkan oleh stresor olahraga (Hackney, 2006), se-dangkan menurut Rimmele dkk. (2007) baik stresor fisik maupun psikologis menyebabkan peningkatkan sistem kar-diorespirasi dan neurohormonal, sebagai refleksi dari respon system syaraf oto-nomi (autonomic nervous system/ANS) salah satunya sistem syaraf simpatik (sympathetic nervous system/SNS). Atas dasar hal tersebut maka diperlukan pemaparan konseptual ten-tang neurofisiohormonal dalam men-jelaskan stresor olahraga. Mekanisme tersebut diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan landasan dalam men-jelaskan makna latihan olahraga dalam meningkatkan kesehatan dan kesega-ran jasmani secara paripurna. Karena olahraga memiliki sifat ambigius, dapat berdampak positif, tetapi juga dapat ber-dampak negatif. Dalam meningkatkan makna olahraga bagi kesehatan dan kes-egaran jasmani diperlukan pemahaman respon dan adaptasi tubuh terhadap olahraga dari konsep fisioneurohormo-nal.

Page 3: Jurnal Sains Psikologi, Jilid 2, Nomor 2 November 2012 ,hlm …jurnal-online.um.ac.id/data/artikel/artikelDA910ED3811900F0E1E962... · tuntutan baru (cope) dengan peningkatan kebutuhan

56 | Jurnal Sains Psikologi, Jilid 2, Nomor 2 November 2012 ,hlm 54-66

PENGERTIAN STRES DAN STRESOR

Stres merupakan kondisi yang didalamnya terdapat permintaan yang melebihi kemampuan untuk memenuhin-ya (Mastorakos dkk., 2005). Stres menu-rut Carrasco & Vander de Kar (2003) merupakan respon tubuh yang sangat sp-esifik dalam memenuhi permintaan. Oleh karena itu stres digambarkan keadaan organisme di bawah pengaruh kekuatan internal dan ekternal yang dapat men-gancam untuk mengubah keseimbangan dinamis (homeostatis) (Mastorakos, dkk, 2005). Stres menurut Hackney (2006) adalah respon spesifik oleh tubuh, yang dapat merangsang kerusakan atau menganggu keseimbangan kondisi fisi-ologis pada organisme ”normal”. Kata kunci dalam definisi ini adalah ”normal” merupakan hal penting untuk dipahami pada konteks ini, bahwa respon stres merupakan tanggapan atau peristiwa hal yang luar biasa dalam kehidupan fisi-ologis basal sehari – hari, namun bukan merupakan peristiwa yang sangat sulit ”distresful”. Karena itu tubuh senantiasa berusaha untuk mempertahankan hidup dan menjaga dari pengaruh internal dan ekternal yang dapat mempengaruhi ke-seimbangan fisiologis (Fatouros dkk., 2010). Ketidak mampuan tubuh mengha-dapi pengaruh tersebut dapat menyebab-kan kondisi tubuh kurang harmonis dan homeostatis terganggu, juga disebut dengan stres (Tsigos & Chrousos, 2002). Stres menurut para ahli kesehatan me-nyebabkan masalah kesehatan lebih dari sebelumnya, seperti yang ditandai den-gan perubahan aktivitas dari HPA axis, guna merangsang system saraf otonom,

yang berpengaruh pada denyut jantung, tekanan darah, suhu, kecepatan respirasi dan tingkat katekolamin, maupun men-unda pengaruh dari kortikosteroid (Shar-ma dkk,2006). Kondisi internal dan ekternal yang dapat mempengaruhi kemampuan tubuh tersebut disebut dan dapat me-nyebabkan stres disebut stresor (Mas-torakos & Pavlatou, 2005). Stresor menurut Hackney (2006) merupakan kegiatan, cara atau rangsangan yang menyebabkan stres, sedangkan menurut Carrasco & Vander de Kar (2003) stre-sor adalah paparan kondisi yang me-nyebabkan ketidaknyamanan. meng-hasilkan serangkaian tanggapan yang terkoordinasi untuk mempertahankan hidup. Karena itu stresor dapat berasal dari lingkungan, fisik, kimia, dan juga psikologis (Uchakin dkk., 2003). Stresor dapat berupa kondisi fisik seperti panas atau dingin, infeksi atau peradangan (in-flamasi), olahraga atau stresor psikologi, misalnya stresor psikologi lingkungan seperti kondisi kerja, hubungan kekera-batan yang tidak bagus, stres kerja, dan komunikasi antara teman kurang baik (Sharma dkk., 2006). Stresor merupakan dinamika baru bagi tubuh, tidak hanya berdampak negatif tetapi juga dapat berdampak positif. Hans Selye (dalam Cox, 2002) mengemukakan stresor yang berdampak positif disebut dengan eustres, sedang-kan yang berdampak negatif disebut dis-tres.Eustres dan distres pada dasarnya merupakan gambaran respon – adaptasi tubuh terhadap stres yang dialami, un-tuk menjaga keseimbangan agar homeo-statis tidak terganggu (Fatouros dkk.,

Page 4: Jurnal Sains Psikologi, Jilid 2, Nomor 2 November 2012 ,hlm …jurnal-online.um.ac.id/data/artikel/artikelDA910ED3811900F0E1E962... · tuntutan baru (cope) dengan peningkatan kebutuhan

Sugiharto, Fisioneurohormonal pada Stresor Olahraga | 57

2010). Respon-adaptasi tubuh tersebut dapat mempengaruhi perilaku fisik, fisi-ologis maupun psikologis (Mastorakos dkk., 2005). Eustres dan destres meru-pakan dinamika baru bagi tubuh tersebut dapat berdampak yang menyebabkan gangguan sel dan sistem yang meng-aturnya atau merangsang sistem sel yang berdampak sebaliknya (Ronsendal dkk., 2002). Distres misalnya dapat terjadi apabila tubuh tidak mampu merespon dinamika baru tersebut, homeostatis ter-ganggu. Stresor menghasilkan serangka-ian tanggapan yang terkoordinasi untuk mempertahankan hidup atau menjaga homeostatis untuk meningkatkan adapta-si (Carrasco & Van de Kar, 2003). Oleh Hans Selye serangkaian adaptasi tersebut disebut dengan mekanisme “General Adaptation Sindrome (GAS)” (Gambar 1) (Rushall & Pyke, 1992). GAS memi-liki 3 tahapan: Alarm Reaction Stage (reaksi peringatan), terdiri dari dua tahap, yaitu shock dan counter shock. Shock secara umum merupakan respon tubuh yang berlebihan dan tidak efisiennya sis-tem tubuh, walaupun menghadapi be-ban yang ringan sekalipun. Atlet dapat mengalami tekanan fisiologi maupun psikologis yang berat pada awal terkena paparan stres, misalnya olahraga dilaku-kan, apalagi beban yang diberikan berat dan bersifat mendadak. Tekanan berat tersebut dapat berlangsung hingga ming-gu kedua. Oleh sebab itu pada awal-awal olahraga terjadi penurunan kondisi fisik, kelelahan, tidak efisiennya sistem tubuh dalam bekerja, bahkan berpotensi men-urunnya kondisi fisik di bawah kondisi

rata-rata. Namun dengan konsistennya pembeban secara bertahap, tubuh beru-saha mengembangkan mekanisme “cop-ing”, untuk melawan tekanan tersebut. Stres secara bertahap terus berkurang dengan melawan yang dikenal counter shock. Tubuh secara bertahap melakukan adaptasi terhadap stres, sehingga mera-sakan “ënak” dalam menghadapi shock, kemudian terjadi adaptasi yang lebih tinggi dari pada proses “perusak”. Pada saat ini kinerja fisik mulai ada peningka-tan dan kembali pada kondisi fisik sebe-lum olahraga. Resistance / Adaptation Stage, merupakan fase kedua dalam mening-katkan adaptasi awal yang terjadi setelah Alarm Reaction Stage. Tahap ini terjadi peningkatan perlawanan terhadap stres, sehingga kinerja fisik berpotensi menin-gkat. Ketika tubuh mendapat beban stres secara terus menerus maka kemampuan dalam menanggulangi stres juga akan terjadi peningkatan. Jika kemampuannya meningkat maka peningkatan kondisi fisik tidak menjadi hambatan, namun peningkatan dalam menanggulangi stres tersebut juga sangat terbatas, selanjutnya memasuki fase yang ketiga. Exhaustion Stage (tahap kelela-han) adalah reaksi nonspesifik yang di-hasilkan dari stres berkepanjangan dan dapat meningkatkan adaptasi.Tetapi kondisi ini tidak dapat dipertahankan dalam waktu lama. Hal ini dapat dis-ebabkan oleh stres yang berlebihan, ka-lau dalam olahraga dapat disebabkan oleh overtraining. Tahap ini terjadi penu-runan daya tahan, yang diikuti stres yang meningkat, dengan penyebab yang kron-ik. Tahap ini ditandai dengan peningktan

Page 5: Jurnal Sains Psikologi, Jilid 2, Nomor 2 November 2012 ,hlm …jurnal-online.um.ac.id/data/artikel/artikelDA910ED3811900F0E1E962... · tuntutan baru (cope) dengan peningkatan kebutuhan

58 | Jurnal Sains Psikologi, Jilid 2, Nomor 2 November 2012 ,hlm 54-66

kelelahan, kapasitas kerja fisik menurun lebih cepat, adanya gangguan fisiologis dan psikologis.

Kemampuan tubuh dalam mel-akukan respon dan adaptasi dapat men-galami kerusakan, yang diakibatkan oleh dinamika baru tersebut secara terus me-nerus, sehingga menyebabkan tekanan atau stres yang tidak mampu ditanggu-langi oleh tubuh. Stres baik fisik mau-pun psikologis menyebabkan peningka-tan sistem yang melibatkan sistem stres di otak dan komponen saraf tepi, HPA axis dan sistem saraf otonomi (Mastora-kos dkk.,2005), serta melibatkan neuro-hormon, sehingga banyak hormon stres disekresi, untuk mempertahankan kes-eimbangan (homeostatis) tubuh (Hack-ney, 2006).

Gambar 1: Pola respons adaptasi tubuh pada pemberian dosis latihan fisik(Rushall & Pyke, 1992:51)

RESPON FISIOLOGI TUBUH TER-HADAP STRES

Kehidupan merupakan sesuatu yang di-namis, terdapat tantangan baik intrinsik maupun ekstrinsik yang penyebabkan stres (Tsigos & Chrousos, 2002). Tan-tangan tersebut dapat menyebabkan stres fisik ataupun emosional, seseorang dalam menghadapi hal tersebut akan relatif melakukan respon-respon adaftif yang stereotif dan tidak alamiah, oleh Selye sebagai kondisi “Sindrom adaptasi umum” (Rimmele dkk.,2009). Keterli-batan system syaraf dan hormon dalam merespon stres disampikan pada Gambar 2.

Gambar 2: Respon fisiologis stres pada sistem tubuh (Tsigos & Chrousos, 2002:866).

Gambar 2 menjelaskan bahwa pusat kontrol stres terdapat di hipotala-mus dan batang otak, termasuk parvos-elular kortikotropin hormone (CRH) dan Orginine-vasopressin (AVP), paraven-tricular nuclei (PVN) dalam hipotala-mus dan juga locus ceruleus (LS)- nor-epineprin (Sistem saraf simpatik/SAM). Hipotalamik-pituitari-adrenal axis (HPA axis ) yang merupakan representatidari system limbic, melalui otak mempen-garuhi seluruh organ tubuh. Interaksi antara pusat stres dengan system

Page 6: Jurnal Sains Psikologi, Jilid 2, Nomor 2 November 2012 ,hlm …jurnal-online.um.ac.id/data/artikel/artikelDA910ED3811900F0E1E962... · tuntutan baru (cope) dengan peningkatan kebutuhan

Sugiharto, Fisioneurohormonal pada Stresor Olahraga | 59

kontrol otak memberikan keuntungan bagi system tubuh. Interaksi tersebut berpengaruh terhadap fenomena afek-si dan antisipasi (Sistem Mesokortikal/Mesolimbik); yaitu inisiasi, propagasi dan terminasi dari sistem aktifitas stres (Amygdala/Hippocampus kompleks) dan pembentuk sensasi rasa sakit (Arkuate Nukleus). Respon hormonal terhadap stres dianggap sebagai mekanisme pertahanan untuk menjaga kehidupan selama terjadi stres, yang mengancam kehidupan. HPA axis memiliki peran dalam menjaga ke-hidupan (Carrasco & Van de Kar, 2003). Tsigos & Chrousos, (2002) menjelaskan bahwa secara fisiologi stres mengaktif-kan HPA axis dan system saraf simpa-tis, corticotrophin-releasing hormone – corticotrophin-releasing factor (CRH-CRF) dan arginine vasopressin (AVP). Hal tersebut menyebabkan peningkatan produksi ACTH dari kelenjar posterior dan mengaktifkan neuron andrenergik dari locus caeruleas/norepinephrine (LC/NE). Sistem LC/NE bertanggungjawab untuk merespon langsung terhadap stre-sor dengan “melawan atau lari/fight or flight), yang didorong oleh epinefrin dan norepinefrin, sedangkan ACTH merang-sang disekresinya kortisol dari kortek adrenal (lihat Gambar 3). Peningkatan sekresi kortisol memiliki efek metabolik dengan meningkatkan glukoneogensis, meningkatkan memobilisasi lemak dan protein, serta menurunkan sensifitas in-sulin, hormon pertumbuhan (GH-T3) dan menurunnya respon peradangan (Gulliams & Edwards, 2010) (Gambar 3). Respon stres terhadap tubuh menurut Carrasco & Van de Kar (2003) dapat me-

nyebabkan beberapa perubahan fisiologis antara lain: (a) memobilasi energi untuk mempertahankan fungsi otot dan otak, (b) meningkatkan responsibilitas/ketaja-man/kepekaan tubuh terhadap ancaman atau ketidaknyamanan (c) meningkatkan kerja jantung, respirasi, distribusi aliran darah, meningkatkan subtract dan suplai energi ke otot dan otak, (d) Perubahan sistem modulasi respon imun tubuh, (e) menghambat system fisiologi reproduksi dan perilaku seks, (f) menurunkan nafsu makan.

Gambar 3: HPA Axis dan Respon stres (Guilliams & Edwards, 2010:3) Selain itu respon stres terhadap otak juga melakukan aktivitas yang ber-beda pada jaringan saraf simpatik. Dalam menghadapi stres terdapat interaksi yang menguntungkan antara pusat pen-gendali stres dengan 3 daerah di syaraf pusat tertinggi (high brain centre), yang berpengaruh terhadap fenomena antisi-patori (mesocortical/meso limbic system) (Tsigos & Chrousos 2002). Fenomena antisipatori, berkaitan dengan inisiasi, propagasi dan terminasi dari ativitas system stres (Amygdala/ complex Hip-pocampus) serta pembentuk sensasi

Page 7: Jurnal Sains Psikologi, Jilid 2, Nomor 2 November 2012 ,hlm …jurnal-online.um.ac.id/data/artikel/artikelDA910ED3811900F0E1E962... · tuntutan baru (cope) dengan peningkatan kebutuhan

60 | Jurnal Sains Psikologi, Jilid 2, Nomor 2 November 2012 ,hlm 54-66

rasa sakit (Arkuate Nukleus) (Thornton & Andersen, 2006). Stres menybabkan diaktifkannya HPA axis dan SAM axis, yang menyebabkan terjadinya perubahan imonitas tubuh (lihat Gambar 4).

Gambar 4: HPA axis dan sympatheic ad-renal medulare axis (SAM axis) dalam menanggapi stres serta pengaruhnya (Thornton & Andersen, 2006:5 ).

OLAHRAGA SEBAGAI STRESOR TUBUH

Olahraga merupakan stresor bagi tubuh yang memiliki potensi terhadap gangguan homeostatis (Ronsendal dkk., 2001) dan dapat menyebabkan stres fisik, kimia, fisiologis serta psikologis (Uchakin dkk., 2003. Stresor dapat me-nyebabkan stress sistemik dan menim-bulkan beberapa penyakit (Helbert dkk., 2004). Karena itu memperlukan usaha dari tubuh untuk melakukan adaptasi ter-hadap stres (Debruille, dkk,1999), salah satunya dengan mengaktifkan fungsi neuroendocrine (Minetto dkk., 2006). Stresor olahraga juga memiliki ket-erkaitan dengan sekresi neuroendocrine. Hal ini telah dibuktikan dengan olah-raga yang sangat dinamik, yang melibat-kan banyak otot, seperti pada lari selama 30-40 menit dengan intensitas 70% dari kapasitas oksigen maksimal atau setara dengan 80% dari denyut jantung mak-simal, menunjukan peningkatan sekresi hormon (Hackney, 2006). Sekresi hor-mon tersebut disebabkan oleh pening-katan aktivitas sistem syaraf simpatik (sympathetic nervous system (SNS), se-bagai sistem antisipasi terhadap stres. Peningkatan aktivitas SNS merangsang peningkatan sekresi katekolamin secara langsung pada target sel dan juga pening-katan sirkulasi katekolamin yang disebut dengan simpatik “Spill-over” (Gambar 5).

Page 8: Jurnal Sains Psikologi, Jilid 2, Nomor 2 November 2012 ,hlm …jurnal-online.um.ac.id/data/artikel/artikelDA910ED3811900F0E1E962... · tuntutan baru (cope) dengan peningkatan kebutuhan

Sugiharto, Fisioneurohormonal pada Stresor Olahraga | 61

Gambar 5: Fase 1 pengaturan sekresi hormon oleh SNS (Hankey, 2006:794 ) Kemudian beberapa detik setelah olahraga dimulai, terjadi peningkatan aktivitas sistem syaraf simpatik. Aktifn-ya syaraf simpatik meningkatkan sekresi dan sirkulasi katekolamin ke target sel, yang dapat meningkatkan efek simpa-tik “spill –over” . Efek memiliki ini leb-ih diperkuat dengan hubungan dengan syaraf simpatik dengan kelenjar medula adrenal, sehingga menyebabkan pening-katan sirkulasi katekolamin. Bersamaan dengan itu, sekresi insulin dari kelenjar pankreas dihambat, sedangkan sekresi glucagon mulai dirangsang. Kemudian dilanjutkan dengan fase kedua (Gambar 6).

Gambar 6: Fase 2 pengaturan sekresi hormon oleh SNS (Hankey, 2006: 794)

Fase 2, memerlukan waktu lebih lama, namun dari isi tipikel juga lebih cepat kurang dari satu menit. Pada fase 2 hipotalamus mulai merespon sekresi hormon CRH,GHRH dan TRH. Sekresi hormon tersebut untuk merangsang perubahan hipofisis dan juga kelenjar hormon yang telah mulai terangsang untuk mengeluarkan hormon. Antara lain kelenjar pituitari mulai merespon rangsangan dihipotalamus, misal troph-ic hormone, mulai ditambahkan dalam sirkulasi. Pada fase 2 yang paling cepat adalah adanya interaksi pada` hypotha-lamic-pituitary-adrenocortical, merang-sangn CRH, sehingga sekresi ACTH dan sirkulasi kortisol meningkat.

Page 9: Jurnal Sains Psikologi, Jilid 2, Nomor 2 November 2012 ,hlm …jurnal-online.um.ac.id/data/artikel/artikelDA910ED3811900F0E1E962... · tuntutan baru (cope) dengan peningkatan kebutuhan

62 | Jurnal Sains Psikologi, Jilid 2, Nomor 2 November 2012 ,hlm 54-66

Gambar 7: Fase 3 Pengaturan sekresi sis-tem hormon oleh SNS selama melaku-kan olahraga (Hankey, 2006: 794)

Fase 3 menunjukan bukti bahwa respon olahraga terhadap tubuh memi-liki efek ganda. Respon olahraga bagi tubuh selain dapat menjadi stresor, juga dapat menjadi stimulator. Kedua respon tersebut ditandai dengan disekresinya neurohormonal, baik sebagai hormon penanda stresor (kortisol dan adanya inflamasi) maupun stimulator disekres-inya hormone endorphin. Gambar 7 juga menunjukan adanya beberapa keterli-batan sistem kardiorespirasi, sistem hor-mon, sistem metabolisme, system syaraf dan system otot dan system imonologi selama melakukan olahraga. Karena itu olahraga secara fisioneurohormonal mer-angsang peningkatan denyut jantung, te-kanan darah, volume tidal, dan frekuensi pernapasan, pengaturan suhu tubuh dan penyediaan energy (Usui dkk.,2008). Sistem hormon sangat responsif terhadap stres fisik maupun mental, ter-masuk di antaranya olahraga yang inten-sif dan terus menerus. Dalam melaku-kan upaya adaptasi terhadap stres maka system HPA axis dan hormon yang ber-tanggungjawab terhadap stres diaktifkan (Kanaley & Hartman, 2002). Aizawa

dkk. (2006) mengatakan bahwa aktifnya hypothalamo-pituitary-gonadal(HPG) dan HPA axis, pada saat olahraga, untuk adaptasi terhadap stresor olahraga yang dilakukan. Namun demikian aktifnya HP axis dipengaruhi oleh intensitas, durasi, metode dan tingkat keterlatihan individu (Usui dkk., 2008) serta juga sifat dari olahraga (Ronsendal dkk., 2002). Pada olahraga yang bersifat kompetitif HPA axis lebih aktif, dibanding dengan olah-raga yang nonkompetitif. Hal ini karena olahraga kompetitif, terjadi tekanan fisik dan mental lebih tinggi (Aizawa dkk., 2006). Stresor bagi tubuh mengakatif-kan HPA axis, yang ditangkap oleh lim-bic system, menyebabkan conditioning stimuli pada alur limbic-hipotalamus–puitutary-adrenal (LHPA) (Carlson, 1994), kemudian merangsang ACTH (Uchakin dkk., 2003) dari bagian ko-rtek adrenal (Wilson & Foster, 1994). Hal ini menyebabkan peningkatan sekre-si kortisol (Mastorakos dkk., 2005), mengakibatkan, perubahan imunitas tubuh, sebab kortisol memiliki sifat im-onosupresif (Roitt, 1995). Sifat kortisol tersebut berpengaruh pada penekanan sintesis protein, mengurangi populasi eo-sinofil, limfosit dan makrofag/monos it, kemudian menimbulkan antropi jaringan limfoid, thymus, limpa dan kelenjar limfe (Granner,1998), sehingga mempen-garuhi fungsi immune dan menurunkan derajat kesehatan (Thornton & Anders-en, 2006). Lebih jelas lihat Gambar 8.

Page 10: Jurnal Sains Psikologi, Jilid 2, Nomor 2 November 2012 ,hlm …jurnal-online.um.ac.id/data/artikel/artikelDA910ED3811900F0E1E962... · tuntutan baru (cope) dengan peningkatan kebutuhan

Sugiharto, Fisioneurohormonal pada Stresor Olahraga | 63

Gambar 8. Respon stressor terhadap fungsi tubuh (Thornton & Andersen, 2006:2)

Berdasarkan Gambar 8, menje-laskan bahwa olahraga yang berat men-gaktifkan HPA axis dan sympathoadrenal medulary system (SAM), memberikan efek perubahan metabolisme dan sistem ketahanan tubuh terhadap penyakit. Res-pon stres berdampak secara psikologis menyebabkan destres emosional dan pe-rubahan perilaku. Gangguan tersebut dapat dialami dalam waktu pendek mau-pun panjang. Gangguan waktu pendek ditan-dai dengan peningkatan hormon kate-kolmin, sedangkan dalam waktu panjang ditandai dengan peningkatan sekresi kor-tisol, keduanya dipengaruhi oleh intensi-tas olahraga. Olahraga dengan intensitas 60% dari kapasitas oksigen maksimal dan olahraga di atas ambang anaero-bik terdapat perubahan sekresi kortisol. Berdasarkan hasil tersebut ditemukakan bahwa olahraga yang bersifat anaerobik terjadi peningkatan sekresi kortisol yang lebih tinggi dibandingkan dengan olahra-ga aerobik (Minetto dkk., 2006). Korti-sol merupakan penanda stres bagi tubuh,

baik stres fisiologis maupun psikolo-gis (Helbert dkk., 2004), dan kortisol juga digunakan sebagai marker status keterlatihan. Jika atlet pria memiliki ra-sio testosterone / kortisol lebih dari 30% , dianggap telah overtraining (Aizawa dkk.,2006) dan olahraga sebagai stresor, yang dapat berdampak distres (Hackney, 2006) .

KESIMPULANKesimpulan

Olahraga merupakan aktivitas yang menyenangkan dan menarik, tetapi juga memiliki fungsi ganda bagi tubuh. Olahraga dapat menjadi stresor, seh-ingga berpotensi menimbulkan distres, sebaliknya olahraga juga dapat men-jadi stimulator yang dapat menimbul-kan eustres. Hal ini sangat tergantung dengan intensitas yang dilakukan. Ke-tika olahraga dianggap sebagai stresor, maka tubuh bereaksi dengan mening-katkan kewaspadaan terhadap ancaman yang dapat mengganggu homeostatis. Sinyal ancaman tersebut akan direspon oleh tubuh dengan mekanisme sindroma adaptasi umum atau General adapta-tion syndrome (GAS), agar tubuh tetap dalam kondisi yang homeostatis. GAS memiliki tiga fase Alarm Reaction Stage (reaksi peringatan), Resistance / Adap-tation Stage dan Exhaustion Stage (ta-hap kelelahan). Secara fisioneorohormo-nal ketika tubuh ditekan oleh stresor, HPA axis dan system saraf simpatis lebih diaktifkan, corticotrophin-releasing hor-mone – corticotrophin-releasing factor (CRH-CRF) dan arginine vasopressin (AVP) disekresi. Hal ini menyebabkan

Page 11: Jurnal Sains Psikologi, Jilid 2, Nomor 2 November 2012 ,hlm …jurnal-online.um.ac.id/data/artikel/artikelDA910ED3811900F0E1E962... · tuntutan baru (cope) dengan peningkatan kebutuhan

64 | Jurnal Sains Psikologi, Jilid 2, Nomor 2 November 2012 ,hlm 54-66

peningkatan produksi ACTH dari ke-lenjar posterior dan mengaktifkan neu-ron andrenergik dari locus caeruleas/norepinephrine (LC/NE). Sistem LC/NE bertanggungjawab untuk merespon lang-sung terhadap stresor dengan “melawan atau lari/fight or flight), yang didorong oleh epinefrin dan norepinefrin. ACTH merangsang disekresinya kortisol dari kortek adrenal, untuk membuat mekan-isme adaptasi terhadap stres yang diala-mi. Olahraga yang dilakukan dengan baik, berkesinambungan dengan intensi-tas yang memadai, dapat menjadi stimu-lator bagi tubuh, yang dapat meningkat-kan kualitas kondisi fisik, psikologis dan kesehatan.

Saran Respon olahraga bagi tubuh tidak hanya sebagai stresor, tetapi juga berpo-tensi sebagai stimulator. Hal ini sangat tergantung pada pengelolaan olahraga, olahraga dengan intensitas tinggi dan bersifat kompetitif lebih cenderung men-jadi stresor yang dapat menyebabkan distres. Sebaliknya olahraga dengan in-tensitas yang tepat berkesinambungan berpotensi menjadi stimulator. Memper-hatikan alur stres yang ditimbulkan oleh olahraga dan dampaknya maka olahraga harus dilakukan dengan intensitas yang baik, teratur, terukur, berkesinambun-gan dan menyenangkan. Sebab olahraga dengan intensitas yang tepat justru dapat menurunkan kecemasan, depresi, men-ingkatkan rasa enjoy dan mood. Untuk menghindari stres yang kurang baik bagi tubuh maka olahraga harus dilakukan dengan teratur, terukur, berkesinambun-gan dan menyenangkan, yang dilakukan

minimal 3 kali/minggu dengan intensitas antara 60-80% dari HRR.

DAFTAR RUJUKAN

Aizawa, K., Nakahori, C.,Akimoto, T, Kimura, F., & Hayashi, K. 2006. Changes Of Pituitary, Adrenal And Gonaldal Hormones Dur-ing Competition Among Female Soccer Players. Journal of Sports Medicine and Physical Fitness, 46:322-327.

Carlson, N.R., 1994. Physiology of Be-havior. Boston: Allyn and Bacon.

Carrasco, G.A. & Van de Kar. 2003. Neuroendocrine Pharmacology of Stress. European Journal of Pharmacology, 463: 235-272

Contarteze, L.V.R., Manchado, B.F., Gobatta, A.C. & Mello, M. A.R. 2007. Biomarker Of Stress In Rats Exercise In Swimming At Intensities Equal And Superior To The Maximal Estable Lactate Phase. Reviews Brasil Medicine Esporte, 13 (3):150-153.

Cox, R. 2002. Sport Psychology, Con-cepts and Application. New York: GrawHill Companies.

Debruille, C,, Lucyckx, M., Ballester, L., Brunet, C., Odou, P., Dine, T., Gressier, B., Cazin, M., Cazin, J.C. 1999. Serum Opioid Activ-ity After physical Exercise in Rat. Journal of Physiological Re-

Page 12: Jurnal Sains Psikologi, Jilid 2, Nomor 2 November 2012 ,hlm …jurnal-online.um.ac.id/data/artikel/artikelDA910ED3811900F0E1E962... · tuntutan baru (cope) dengan peningkatan kebutuhan

Sugiharto, Fisioneurohormonal pada Stresor Olahraga | 65

search, 48: 129-133.

Fatouros, I., Chatzinikolaou, A., Pal-toglou, G., Petridou, A., Avlo-niti, A., 2010. Acute Resistance Exercise Results In Catechola-minergic Rather Than Hypotha-lamic-Pituitary-Adrenal Axis Stimulation During Exercise In Young Men. Informa Health-care USA, Inc. Early Online:1-8

Gervino, E.V. & Douglas, P.S.1993.The Benefits and Risk of Edurance Exercise . International Journal of Sport Cardiology, 2: 73-78

Granner, D.K.1998. Hormon of the Ad-renal Medula. New York: Lange Medical Books.

Guilliams, T. & Edwards, L. 2010. Chronic Stres and The HPA Axis. The Standard Poin Institute, 9 (2) :1-12.

Hackney, C. A. 2006. Exercise As Stress-or To The Human Neuroen-docrine System. Medicina, 42 (10):788-797.

Herbert, S ., Beland, R., Dionne, O., Crete, M. 2005. Physiological Stress Response To Vidio-Game Playing: The Contribution Of Buil-In Music. Life Sciences, 76: 2371-2380.

Kanaley, J. & Hartman, M. 2002. Cor-tisol and Growth Hormone Re-sponses to Exercise. The Endo-

crinology, 12: 421-432.

Mastorakos G, Pavlatou M, Kandarakis DE, Chousos GP, 2005. Exercise and the Stress System. Hormones 4 (2):73-89

Mastorakos, G. & Pavlatou, M, 2005. Exercise as a Stress Model and Interplay Between the Hypothal-amus-pituitary-adrenal and the Hypothalamus-pituitary-thyroid Axes. Hormon Metabolism Re-search, 37:577-584.

Minetto, M.A., Paccotti, P., Borrione, Masszza, G., & Ventura, M.. 2006. Effects of the Training Status On Hormonal Response And Recovery From High-Inten-sity Isokinetic Exercise: Com-parasons Berween Endurance-Trained Athletes And Sendentary Subjects. Journal of Sports Med-icine and Physical Fitness, 46: 494-500.

Rimmele, U., Seiler, R., Marti, B., Wirtz, P., Ehlert, U., Heinrichs, M., 2009. The Level Of Physi-cal Activity Affects Adrenal And Cardiovascular Reactivity To Psyhosoial Stres. Psychoneu-roendocrinology, 34:190-198.

Roitt, I.M.1995. Essential Immunology. London: Blackwell Scientific Publication.

Rosendal, L., Sogaard, K., Sjogaard, G., Langberg, H. & Kristiansen, J.

Page 13: Jurnal Sains Psikologi, Jilid 2, Nomor 2 November 2012 ,hlm …jurnal-online.um.ac.id/data/artikel/artikelDA910ED3811900F0E1E962... · tuntutan baru (cope) dengan peningkatan kebutuhan

66 | Jurnal Sains Psikologi, Jilid 2, Nomor 2 November 2012 ,hlm 54-66

2008. Increase In Interstitial Interleu-kin-6 Of Human Skeletal Muscle With Repetitive Low Exercise. National Institute of Occupation-al Health.

Rost, R.E.1993. Cardiovaskular Inci-dents During Physical Activity. International Journal Sports Cardiology, 2:11-18.

Rushall, B.S. & Pyke, F.S. 1992. Train-ing For Sport And Fitness. Mel-bourne: Macmillan Co.

Sharma, R., Khera, S., Mohan, A., Gup-ta, N., Ray, B. R. 2006. Assess-ment of Computer Game As A Psychological Stressor. Indian Journal of Physiological and Pharmacology, 50 (4):367-374.

Sugiharto. 2009. Physiogical Effects Of Music During Exercise Secre-tion Of Hormones Cortisol And Endorphins. Folia Medica, 45 (2).

Sugiharto, Merawati, D. & Kinanti, R. 2010. Efek Fisiologi Musik Pada Olahraga Dengan Intensitas Maksimal Terhadap Neurohor-monal. Malang. Lemlit Univer-sitas Negeri Malang.

Strohle, A. 2009. Physical Activity, Exercise,Depression And Anxi-ety Disorders in Biological Psy-chiatry- Review Article. Journal.Neural Transm, 116:777-784.

Teixeira, M.A., Martins, R, Martins, M., Cunha, R.M. 2008. Changes in Functional Fitness, Mood States and Salivary IgA Levels after Exercise Training for 19 weeks in Elderly Subjects. Internation-al Journal of Appied Sports Sci-ences, (20): 16-26.

Tsigos, C. & Chrousos, P.G. 2002. Hy-pothalamic-Pituitary-Adrenal Axis, Neuroendocrine Factors And Stress. Journal of Psycho-momatic Research, 53: 865-871.

Thornton, M.L. & Andersen, L. 2006. P s y c h o n e u ro i m m u n o l o g y Examined:The Role Of Subjec-tive Stress. Stress and Immunity Cancer Projects. Cell Science Reviews, 2(4): 1742-8130.

Uchakin, P.N., Gotovtseva, P.E., Gun-dersen, S.J. 2003. Immune and Neuroendocrine Alterations in Marathon Runners. Journal of Applied Research, 3 (4) 483-494.

Usui, T, Yoshikawa, T., Ueda, S.Y., Kat-sura, Y. Orita, K. Fujimoto, S. 2012. Effects Of Acute Pro-longed Strenuous Exercise On The Salivary Stress Markers And Inflammatory Cytokines. Journal of Physical Fitness and Sports Medicine, 1 (1):1-8.

Willson, J.D. & Foster, D.W. 1992. Tex-book of Endocrinology. Philadel-phia: WB Saunders Co.