makna tradisi “selamatan petik pari” sebagai...
TRANSCRIPT
MAKNA TRADISI “SELAMATAN PETIK PARI” SEBAGAI WUJUD
NILAI-NILAI RELIGIUS MASYARAKAT DESA PETUNGSEWU
KECAMATAN WAGIR KABUPATEN MALANG
SKRIPSI
OLEH
EKA YULIYANI
NIM. 104811471930
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN
PRODI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
NOVEMBER 2010
MAKNA TRADISI “SELAMATAN PETIK PARI” SEBAGAI WUJUD
NILAI-NILAI RELIGIUS MASYARAKAT DESA PETUNGSEWU
KECAMATAN WAGIR KABUPATEN MALANG
SKRIPSI
Diajukan kepada
Universitas Negeri Malang
untuk memenuhi salah satu persyaratan
dalam menyelesaikan program sarjana
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Oleh
Eka Yuliyani
NIM. 104811471930
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN
PRODI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
NOVEMBER 2010
Lembar Persetujuan Pembimbing Skripsi
Skripsi oleh Eka Yuliyani
telah diperiksa dan disetujui untuk diuji
Malang, 30 November 2010
Pembimbing I
Drs. Suwarno Winarno
NIP. 19500403 197803 1 001
Malang, 30 November 2010
Pembimbing II
Drs. Petir Pujiantoro, M.Si
NIP.
Lembar Persetujuan dan Pengesahan Skripsi
Skripsi oleh Eka Yuliyani
telah dipertahankan di depan dewan penguji
pada tanggal 2010
Dewan Penguji
, M.Si, Ketua
NIP.
Drs. Suwarno Winarno, Anggota
NIP. 19500403 197803 1 001
Drs. Petir Pujiantoro,M.Si, Anggota
NIP.
Mengetahui, Mengetahui,
Ketua Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan Dekan Fakultas Ilmu Sosial
Drs.Ketut Diara Astawa, SH, M.Si Prof. Dr. Haryono, M.Pd
NIP. 19540522 198203 1 337 NIP. 19631227 198802 1 001
ABSTRAK
Yuliyani, Eka. 2010. Makna Tradisi “Selamatan Petik Pari” Sebagai Wujud
Nilai-Nilai Religius Masyarakat Desa Petungsewu Kecamatan Wagir
Kabupaten Malang. Skripsi, Program Studi S1 Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan, Fakultas Ilmu
Sosial Universitas Negeri Malang. Pembimbing I: Drs. Suwarno Winarno.
Pembimbing II: Drs.H. Petir Pujantoro, M.Si
Kata Kunci: Makna tradisi , Religi, Keterkaitan religi dengan tradisi
Tradisi “Selamatan Petik pari” merupakan salah satu tradisi yang berada di
kabupaten Malang,tradisi ini telah ada sejak zaman nenek moyang Orang
Jawa,selamatan ini dilakukan untuk mendapatkan keselamatan dalam
penggarapan lahan pertanian,dihindarkan dari hama padi dan mendapatkan hasil
panen yang bagus dan berlimpah.Dalam awal prosesi pelaksanaanya disiapkan
uborampe(sesajian) yang berisikan kemenyan,kaca,sisir,pisang,bunga berwarna-
warni,ketan,benang,kapas.Selain itu para ibu juga menyiapkan tumpeng yang
berisikan makanan beserta lauk-pauknya.Semua bahan untuk ritual dibawa
kesawah yang hendak dipanen kemudian tokoh adat mulai membacakan mantra-
mantra sesuai agama masing-masing dan Uborampe diletakan diatas anyaman
bambu yang masyarakat menyebutnya dengan encek,kemudian potongan padi
yang telah dipotong dengan ani-ani dibawa kerumah dan di hajatkan kembali
dengan mnbaca doa sesuai agam yang berhajat. Religi adalah suatu sistem
berkaitan dari keyakinan-keyakinan dan upacara keramat artinya yang terpisahkan
dan pantang, keyakinan- keyakinan yang berorientasi pada suatu komunitas moral,
yang disebut umat. Religi Orang Jawa sering juga disebut sebagai Javanisme atau
Javaneseness dari kata kejawen atau kejawaan yang diterjemahkan dalam bahasa
Inggris. Istilah ini merupakan deskripsi atas unsur-unsur kebudayaan Jawa yang
dianggap sebagai hakikat Jawa dan yang mendefinisikannya sebagai kategori
khas.Javanisme (kejawen) berisikan kosmologi,mitologi, seperangkat konsepsi yang
pada hakikatnya bersifat mistik.Budaya kejawen memahami kepercayaan berbagai
macam roh yang dapat menimbulkan musibah, bahaya, kecelakaan atau penyakit
apabila mereka dibuat marah atau penganutnya tidak berhati-hati.Untuk menangkal
semua itu, Orang Jawa kejawen memberikan sesajen yang dipercaya dapat
menghindarkan manusia dari berbagai hal yang tidak diinginkan. Makna yang
terdapat dalam tradisi petik pari adalah menyatunya tradisi dengan religi
masyarakat dengan toleransi yang begitu tinggi,dan terjalinya kerukunan antar
umat beragama,hal ini karena masyarakat Desa Petungsewu memiliki dua
mayoritas agama yaitu Hindu dan Islam.Keterkaitan religi dan tradisi “Selamatan
Petik Pari” adalah merupakan hubungan timbal balik antara emosi
keagamaan,sistem keyakinan,kelompok keagamaan,dan sistem ritual.
Tujuan penelitian ini adalah: (1) mendeskripsikan asal-usul Tradisi
“Selamatan Petik Pari, (2) mendeskripsikan prosesi pelaksanaan tradisi
“Selamatan Petik Pari”, (3)mendeskripsikan makna yang terdapat dalam tradisi
“Selamatan Petik Pari”, (4) mendeskripsikan keterkaitan antara religi dengan
tradisi “Selamatan Petik Pari”, dan (5) mendeskripsikan perubahan dan pergeseran
pada tradisi “Selamatan Petik Pari”.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Untuk mencapai
tujuan tersebut, data dikumpulkan dengan cara observasi partisipatif, studi
dokumentasi serta wawancara. Teknik analisis data yang digunakan adalah model
analisis interaktif. Penelitian dilakukan di desa Petungsewu Kecamatan Wagir,
Kabupaten Malang dengan obyek penelitian adalah masyarakat Desa Petungsewu,
tokoh adat, perangkat desa Petungsewu.
Dari hasil temuan penelitian menunjukkan bahwa, asal-usul tradisi
“Selamatan Petik Pari” telah ada sejak zaman nenek moyang masyarakat Jawa.
Prosesi pelaksanaan tradisi ini dimulai dengan mempersiapkan sesajian dan
tumpeng,kemudian sesajian dan tumpeng dibawa kesawah yang hendak dipanen
dan dimulailah ritual membaca mantra yang di pimpin oleh ketua adat
setempat,kemudian sesajian dan sisa tumpeng dibawa kembali kerumah untuk
dihajatkan kembali.Makna yang terdapat dalam tradisi ini adalah terjalinnya
kerukunan dalam bermasyarakat didalam perbedaan,karena masyarakat desa
Petungsewu yang mempunyai dua keyakinan mayoritas tapi tetap menjalankan
satu tradisi secara bersama-sama.Keterkaitan religi dan tradisi dalam tradisi
“Selamatan Petik Pari” adalah mereka menjalankan tradisi karena percaya dengan
hal–hal mistik tapi dalam penyampaian doanya selalu ditujukan kepada Yang
Maha Kuasa.Perubahan dan pergeseran tradisi yang terjadi tidak terlalu
terlihat,hanya dalam sistem peralatan upacara saja yang agak
berkurang,sedangkan dalam emosi keagamaan dan sistem keyakinan masyarakat
tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disarankan agar dilakukan
penelitian lebih lanjut misalnya masyarakat lebih mengerti tentang kandungan
makna yang terdapat dalam setiap budaya yang dimiliki oleh kabupaten Malang
dan tetap menjaga, melestarikan kebudayaan daerah secara berkelanjutan supaya
tidak tergilas oleh arus globalisasi.
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik,
dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
Makna Tradisi ”Selamatan Petik Pari” Sebagai Wujud Nilai-Nilai Religius
Masyarakat Desa Petungsewu Kecamatan Wagir Kabupaten Malang. Skripsi ini
ditulis sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan program studi S1
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas
Negeri Malang.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan berkat bantuan
dan bimbingan, petunjuk, serta saran-saran dari berbagai pihak. Untuk itu penulis
mengucapkan terimakasih kepada:
1. Prof. Dr. Haryono, M.Pd, selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas
Negeri Malang.
2. Drs. Ketut Diara Astawa, SH, M.Si, selaku ketua Jurusan Hukum dan
Kewarganegaraan Universitas Negeri Malang.
3. Drs.Margono, M.Pd, M.Si, selaku ketua dewan penguji skripsi.
4. Drs. Suwarno Winarno, selaku dosen pembimbing I yang telah
memberikan waktu dan masukan positif dalam penulisan skripsi ini.
5. Drs.H.Petir pujantoro, M.Si selaku dosen pembimbing II yang telah
memberikan bantuan dalam penulisan skripsi ini.
6. Bapak dan Ibu Dosen yang turut mendidik dan memberikan bekal ilmu
pengetahuan kepada penulis selama studi di Jurusan Hukum dan
Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang.
7. Kepala Desa Petungsewu Kecamatan Wagir beserta perangkat serta
masyarakatnya yang telah memberikan ijin dan informasi kepada penulis
dalam pelaksanaan penelitian.
8. Ayahanda Achmad Kholid, Ibunda Murtini, beserta keluarga besar di
Kaltim dan Tulungagung tercinta yang tidak henti-hentinya memberikan
doa, perhatian, dukungan moril serta materi, kasih sayang serta semangat.
9. Adik tercinta Dewi Oktaviani atas perhatian dan pinjaman laptopnya
selama 3 bulan,maaf kalau saya menganggu jadwal online nya.
10. My Bos (Agus Setiyawan) yang juga memberikan doa, perhatian,
dukungan moral,kasih sayang,semangat,senyuman serta kelucuan dalam
hari-hari lelah ku.
11. Teman-teman di Kawi selatan/06 (prety dan dutel) untuk persaudaraan,
semangat dan dorongannya,(yessi dan hesti) untuk semangatnya dalam
mengerjakan skripsi,sehingga saya juga ikut bersemangat,akhirnya bisa
wisuda bareng,lop u girls
Penulis menyadari skripsi ini mempunyai banyak kekurangan. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan pada semua pihak untuk memberikan saran dan kritik
yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Dan semoga skripsi ini
bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan. Amin.
Malang, 29 November 2010
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAK ....................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ............................................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ............................................................................. 5
D. Manfaat Penelitian .......................................................................... 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Tradisi Pada Masyarakat Jawa ....................................................... 8
1. Tradisi Selamatan pada Masyarakat Jawa .................................. 10
2. Tradisi Pada Masyarakat Petani Jawa ......................................... 11
3. Tujuan dan Makna Selamatan ................................................... 12
B. Religi Pada Masyarakat Jawa .......................................................... 14
1. Pengertian Religi ........................................................................ 14
2. Teori-teori Religi………………………………………………. 15
a.Teori-teori yang berorientasi pada keyakinan religinya……… 15
1. Teori Andrew Lang tentang Dewa tertinggi……………… 15
2.Teori Edward B.Taylor tentang jiwa……………………… 16
3.Teori R.R Marett tentang kekuatan luar biasa…………… 18
b.Teori religi yang berorientasi pada sikap manusia terhadap hal
gaib…………………………………………………………… 19
c.Teori religi yang berorientasi pada upacara religi……………
19
3. Komponen Religi……………………………………………. 20
C. Keterkaitan Antara Religi dan Tradisi ............................................. 24
D. Perubahan dan pergeseran Tradisi ................................................... 28
BAB III METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ..................................................... 32
B. Fokus Penelitian ............................................................................. 33
C. Kehadiran Penelitian ...................................................................... 34
D. Lokasi Penelitian ............................................................................. 35
E. Sumber Data ................................................................................... 35
F. Prosedur Pengumpulan Data .......................................................... 38
1. Observasi Partisipatif ................................................................. 40
2. Wawancara Mendalam .............................................................. 40
3. Dokumentasi ............................................................................. 41
G. Analisis Data .................................................................................. 42
H. Pengecekan Keabsahan Data .......................................................... 45
I. Tahap-tahap Penelitian ................................................................... 47
BAB IV PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Paparan Data ................................................................................... 49
1. Gambaran Umum Desa Petungsewu .......................................... 49
a. Keadaan Geografis ................................................................. 49
b. Keadaan Demografi .............................................................. 51
c. Struktur Pemerintahan dan kelembagaan Desa Petungsewu . 53
2. Sturktur Sosial Budaya Masyarakat Desa Petungsewu ............. 54
a. Kondisi Sosial Ekonomi……………………………………. 54
b. Kondisi Sosial Budaya…………………………………....... 56
c. Tradisi dan Keyakinan Masyarakat Desa Petungsewu…..… 57
3. Tradisi Selamatan Petik Pari di Desa Petungsewu ................... 60
4. Makna-makna dalam Tradisi Selamatan Petik Pari ................... 68
5. Keterkaitan Antara Religi dan Tradisi ........................................ 70
a. Fenomena alkulturasi……………………………………. . 70
b.Persepsi-persepsi Masyarakat Terhadap Tradisi…………. 71
6. Perubahan dan Pergeseran Dalam Tradisi Selamatan Petik Pari... 74
a. Aspek Yang Berubah…………………………………………. 74
b. Tanggapan Terhadap Perubahan……………………………... 75
B. Temuan Penelitian…………………………………………………. 75
1. Asal Usul Tradisi Selamatan Petik Pari……………………….. 75
2. Pelaksanaan Tradisi Selamatan Petik Pari ................................. 77
3. Makna Yang Terdapat Dalam Tradisi Selamatan Petik
Pari…………………………… ………………………………… 78
4. Keterkaitan Antara Religi dengan Tradisi………………………. 80
5. Perubahan dan Pergeseran Dalam Tradisi Selamatan Petik Pari… 81
BAB V PEMBAHASAN
A. Nilai-Nilai Luhur Yang Terdapat Dalam Tradisi Selamatan Petik
Pari……. .......................................................................................... 83
B. Keterkaitan Antara Religi dan Tradisi ............................................. 87
C. Perubahan dan Pergeseran Tradisi………………………………… 88
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................... 91
B. Saran ................................................................................................ 95
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 96
LAMPIRAN-LAMPIRAN…………………………………………………. 97
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ....................................................... 117
DAFTAR RIWAYAT HIDUP......................................................................... 118
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
3.1 Metode Pengumpulan Data....…………………………………………....37
4.1 Jumlah Penduduk Desa Kemiren Berdasarkan Gender ...................... ..... 43
4.2 Sturktur Mata Pencaharian .................................................................. ..... 46
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
3.1 Model Analisis data kualitatif....................................................................50
4.1 Peta Desa Petungsewu................................................................................50
4.2 Sawah yang membentang disepanjang jalan .............................................55
4.3 Pura dan masjid yang jaraknya 200 meter………………………………. 59
4.4 Uborampe................ ................................................................................ 62
4.5 Tumpeng/takir....................................................................................... .... 63
4.6 Sesajian diletakan diatas Encek........................................................... .... 63
4.7 Seorang Warga membawa sesajian dan encek kesawah....................... ... 64
4.8 Seorang tokoh adat dan warga membakar kemenyan dan membaca
mantra................................ ..................................................................... . 65
4.9 Padi yang telah dipotong dibawa kembali kerumah untuk didoakan.. ... . 65
4.10 Sedang berdoa ........................................................................................ 66
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Kantor Kepala desa Petungsewu ........................................................... 98
2. Keadaan Desa ........................................................................................ 98
3. Uborampe............................................................................................. . 99
4. Prosesi pelaksanaan tradisi... .............................................................. 100
5. Pedoman Wawancara .......................................................................... 104
6. Hasil wawancara................................................................................. 108
7. Surat-surat ijin mengadakan penelitian............................................... 116
Surat Ijin Penelitian Skripsi dari Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Malang
Surat Ijin Penelitian Skripsi dari Badan Kesatuan Bidang Politik
dan Perlindungan Masyarakat Kabupaten Malang
Surat ijin penelitian dari Kantor Camat Wagir
Surat Ijin Penelitian Skripsi dari Kepala Desa Petungsewu,
Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang
8. Surat Pernyataan Keaslian penulisan................................................. 117
9. Daftar Riwayat Hidup ......................................................................... 118
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat Indonesia hidup di negara kepulauan terbesar di Asia dan
dunia yang terdiri dari lebih dari 17.000 pulau yang tersebar dari Sabang sampai
Merauke memiliki keanekaragaman yang cukup tinggi baik dari segi sumber daya
alam, sumber daya manusia, dan segi budaya baik yang berupa budaya fisik maupun
yang langsung menyentuh pada sisi rohani setiap individu masyarakat nya.
Indonesia yang merupakan daerah yang mempunyai ragam budaya yang
berbeda antara satu dengan yang lain mempunyai karakter dan model varian yang
berbeda pula. Salah satu wujud dari kebudayaan yang ada di masyarakat Indonesia
adalah pelaksanaan upacara adat yang didalamnya terdapat nilai budaya yang tinggi
dan banyak memberikan inspirasi bagi kekayaan kebudayaan daerah yang ada, pada
akhirnya akan menambah khasanah budaya nasional.
Wujud kebudayaan dan sistem upacara adat merupakan wujud kelakuan
dari sistem religi. Ritus dan upacara merupakan pelaksanaan dan pengembangan
konsep-konsep yang terkandung dalam keyakinan yang akan menentukan tata urutan
dan rangkaian acara dalam tradisi yang mampu memberikan inspirasi nilai positif
(pesan moral) bagi masyarakat.
Melalui pesan-pesan simbolik dalam upacara adat, menyadarkan manusia
bahwa dalam hidup dan kehidupan ini berlaku hukum kodrat yaitu kekuatan yang ada
diluar kekuatan manusia yang mutlak sifatnya. Dinamika sosial yang terjadi di
Indonesia dari masa keberadaan kerajaan-kerajaan lalu diikuti dengan masa
kolonialisme sampai dengan saat ini peran dan keberadaan suku Jawa tidak dapat
dipungkiri memiliki peran dan pengaruh yang cukup besar atas keberadaan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Masyarakat Jawa dengan adat istiadat serta nilai-nilai sosial yang
diperkaya dengan norma-norma sosial yang tetap mendarah daging pada setiap
individu masyarakat Jawa ditengah gencatnya pengaruh globalisasi yang menyentuh
segala aspek kehidupan baik berupa pengaruh fisis maupun non fisis.Mengulas
keberadaan Suku Jawa dengan apa yang ada di dalamnya, yang mempunyai berbagai
macam kepercayaan keagamaannya, ragam kebudayaan, dan kehidupan
kemasyarakatannya, tetapi hidup sebagai suatu bangsa yang menghargai perbedaan
tradisi lain yang dilakukan oleh masyarakat tertentu, yang masyarakat itu meyakini
bahwa model tradisi tersebut bisa mendatangkan maslahah bagi masyarakat umum.
Seperti tradisi “Selamatan Petik Pari” yang dilakukan di salah satu desa
di Kabupaten Malang. Inilah tentunya merupakan perwujudan dari Semboyan
"Bhinneka Tunggal Ika " yang mempunyai arti meskipun berbeda-beda tetapi tetap
satu jua. Tradisi “Selamatan Petik Pari” yang ada di Desa Petungsewu Kecamatan
Wagir Kabupaten Malang yang dijadikan objek penelitian ini merupakan tradisi
ungkapan rasa syukur kepada sang penguasa alam atas hasil panen yang telah
diperoleh yaitu berupa padi (gabah).
Tradisi ini merupakan ungkapan hidup bermasyarakat dalam berinteraksi
dengan penguasa alam dan dengan lingkungan alamnya. Nilai-nilai yang terkandung
dalam pelaksanaan upacara adat ini telah terkaji dari masa kemasa, Karena tradisi ini
merupakan warisan dari para leluhur, sehingga secara tidak langsung merupakan
sarana pendidikan non-formal dalam mengajarkan nilai-nilai kehidupan kepada
generasi berikutnya.Tradisi ini juga mengingatkan kepada manusia untuk ikut
bertanggung jawab terhadap kelestarian alamnya, ikut meningkatkan harkat dan
martabat manusia, dan membina hubungan antar masyarakat.
Kegiatan tradisi “Selamatan Petik Pari” ini telah berakar kuat dijiwa
masyarakat setempat dan telah menjadi tradisi masyarakat untuk melaksanakannya
tiap masa panen tiba. Berlangsungnya tradisi ini merupakan suatu usaha untuk
melestarikan budaya dari generasi ke generasi.
Tradisi “Selamatan Petik Pari” merupakan perwujudan salah satu
kebudayaan daerah yang ada di Kabupaten Malang khususnya masyarakat Wagir yang
merupakan obyek dalam penelitian ini, tradisi ini bersifat ritual magis dan merupakan
kebudayaan berunsurkan kepercayaan (mitos) serta mempunyai nilai-nilai budaya
daerah yang tinggi.
Meskipun ritual ini dilaksanakan setiap panen tiba tetapi sebagian
masyarakatnya belum mengerti atau mengetahui lebih dalam bagaimana pelaksanaan
upacara itu sendiri. Selain itu, disebabkan masih sedikitnya (karangan) yang
membahas tentang tradisi “SelamatanPetik Pari” ini. Hal ini dikarenakan tradisi
dimasyarakat dianggap sebagai suatu yang biasa dan wajar terjadi tanpa memberi arah
dan warna kehidupan pada masyarakat.
Tradisi “Selamatan Petik Pari" yang kerap kali dilakukan oleh masyarakat
Wagir Kabupaten Malang merupakan perwujudan dan upaya masyarakat untuk
meyakini adanya kekuatan di luar nalar dan logika manusia yang tentunya membawa
dampak yang sangat siginifikan terhadap kelangsungan hidup masyarakat yang
memiliki dua keyakinan yang berbeda yaitu agama Hindu dan Islam dengan model
dan tradisi yang sama tatkala mereka akan memanen padi.Adanya toleransi yang begitu
kuat sehingga membuat masyarakat nyaman melakukan apa yang menurut keyakinan
mereka ajarkan, mereka melakukan tradisi yang telah ada turun temurun ini dengan doa
menurut keyakinan mereka masing-masing tapi tetap dengan satu tujuan yaitu untuk
mendapatkan keselamatan dalam penggarapan lahan pertanaian.
Dalam upaya pelestarian dan memelihara budaya daerah yang merupakan
bagian dari budaya nasional, maka dilakukan inventarisasi ,dokumentasi ,dan
penelitian yang difokuskan pada budaya daerah tersebut. Hal ini juga sebagai usaha
meningkatkan penyebaran pengetahuan tentang kebudayaan daerah ,terutama kepada
generasi muda. Pada kenyataannya tradisi “Selamatan Petik Pari” ini kurang dikenal
oleh generasi muda sekarang.Sedangkan generasi yang pernah mengalami dan lebih
banyak mengetahui tradisi ini kebanyakan telah berusia lanjut.Berdasarkan landasan
hal - hal diatas , maka peneliti menganggap perlu dan layak untuk mengangkat tradisi
“Selamatan Petik Pari" di Desa Petungsewu Kecamatan Wagir Kabupaten Malang
sebagai objek penelitian dengan judul Makna Tradisi “Selamatan Petik Pari" Sebagai
Wujud Nilai-Nilai Religius Masyarakat di Desa Petungsewu Kecamatan Wagir
Kabupaten Malang
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana asal-usul tradisi “Selamatan Petik Pari” yang dilaksanakan
masyarakat Desa Petungsewu Kecamatan Wagir Kabupaten Malang ?
2. Bagaimana pelaksanaan tradisi “Selamatan Petik Pari” yang dilaksanakan
masyarakat Desa Petungsewu Kecamatan Wagir Kabupaten Malang ?
3. Apa makna yang terdapat dari prosesi tradisi “Selamatan Petik Pari” yang
dilaksanakan masyarakat Desa Petungsewu Kecamatan Wagir Kabupaten
Malang ?
4. Bagaimana keterkaitan antara religi dengan tradisi pada pelaksanaan tradisi
“Selamatan Petik Pari” yang dilaksanakan di Desa Petungsewu Kecamatan Wagir
Kabupaten Malang ?
5. Bagaimana perubahan atau pergeseran yang terjadi pada tradisi “Selamatan Petik
Pari” yang dilaksanakan di Desa Petungsewu Kecamatan Wagir Kabupaten
Malang?
C. Tujuan Masalah
1. Mendeskripsikan asal-usul pelaksanaan tradisi “Selamatan Petik Pari” yang
dilaksanakan di masyarakat Desa Petungsewu Kecamatan Wagir Kabupaten
Malang
2. Mendeskripsikan pelaksanaan tradisi “Selamatan Petik Pari” yang dilaksanakan
di masyarakat Desa Petungsewu Kecamatan Wagir Kabupaten Malang
3. Mendeskripsikan makna yang terdapat pada tradisi “Selamatan Petik Pari” yang
dilaksanakan masyarakat Desa Petungsewu Kecamatan Wagir Kabupaten Malang
4. Untuk mengetahui keterkaitan antara religi dengan tradisi pada tradisi
“Selamatan Petik Pari” di Desa Petungsewu Kecamatan Wagir Kabupaten
Malang
5. Untuk mengetahui apakah ada perubahan atau pergeseran dalam pelaksanaan
tradisi “Selamatan Petik Pari” pada masyarakat Desa Petungsewu Kecamatan
Wagir Kabupaten Malang.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian tentang nilai-nilai religius yang terkandung dalam tradisi
“Selamatan Petik Pari” ini diharapkan dapat berguna bagi:
1. Bagi peneliti.
Penelitian ini dapat menambah dan memperluas pengetahuan yang
berhubungan dengan nilai-nilai religius yang terkandung dalam tradisi
“Selamatan Petik Pari” ini.Sebagai calon guru PKn penelitian ini berfungsi
sebagai sarana belajar untuk lebih memahami nilai apa saja yang terkandung
dalam tradisi yang merupakan budaya daerah yang dapat memperkaya
kebudayaan nasional Indonesia.
2. Bagi jurusan PKn.
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dan untuk memberikan
tambahan referensi untuk penelitian dalam bidang budaya dan nilai-nilai yang
terkandung dalam tradisi “Selamatan Petik Pari”.
3. Bagi masyarakat Malang.
Penelitian ini merupakan informasi bagi masyarakat untuk mengetahui bahwa
tradisi “Selamatan Petik Pari” merupakan salah satu sarana pendidikan
khususnya dalam bidang keagamaan bagi masyarakat dan untuk
membangkitkan perasaan memiliki terhadap kebudayaan daerah.
4. Bagi Perkembangan Ilmu Pengetahuan.
Kajian ini lebih memberi penekanan terhadap aspek sosiologi, tentang sub
kultur / budaya alternatif. Pelaksanaan tradisi “Selamatan Petik Pari ini Sebagai
pengembangan disiplin ilmu yaitu kerukunan antar umat beragama, studi
Kewarganegaraan lebih dapat mempertimbangkan faktor-faktor idealisme
bukan sebagai sesuatu yang harus dihilangkan, tetapi sebagai bahan
pertimbangan dalam menanamkan dan menumbuhkan nilai-nilai yang
terkandung dalam suatu tradisi, dengan kata lain dapat menjaga dan
melestarikan kebudayaan yang dinamika dalam hal pembangunan manusia
yang seutuhnya.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Tradisi Pada Masyarakat Jawa
Mulfi (2010) mengemukakan tradisi berasal dari bahasa latin traditio yang
berarti diteruskan. Dalam pengertian paling sederhana, tradisi diartikan sebagai
sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan
suatu kelompok masyarakat.Tradisi merupakan gambaran sikap dan perilaku manusia
yang telah berproses dalam waktu lama dan dilaksanakan secara turun temurun dari
nenek moyang.Tradisi dipengaruhi oleh kecendrungan untuk berbuat sesuatu
mengulang sesuatu menjadi kebiasaan.
Jadi tradisi adalah suatu hal yang telah menjadi kebiasaan seseorang atau
sekelompok masyarakat yang telah melewati proses yang cukup lama yaitu dari nenek
moyang sampai sekarang hingga tradisipun dapat mengalami beberapa perubahan.
Kalau ditarik ke dalam kerangka teoritis makna budaya sebagai tradisi dan
tradisionalisme pada masyarakat Jawa merupakan suatu simpulan dari segi mana kita
melihat budaya pada masyarakat Jawa. Kesanggupan masyarakat Jawa dalam menjaga
nilai dan norma-norma sosial di dalam kehidupannya dalam era globalisasi dewasa ini
adalah contoh fakta-fakta positif yang menggambarkan sikap kita terhadap
kebudayaan Jawa atau cara pandang kita terhadap kebudayaan Jawa dalam
menghadapi tantangan dan perubahan zaman. Sikap itu adalah sikap yang yakin dan
sadar bahwa nilai-nilai dalam kebudayaan Jawa sungguh kuat dan elastis dalam
menghadapi setiap tantangan zaman.
Koentjaraningrat secara teoritis lebih melihat budaya sebagai tradition;
seluruh kepercayaan, anggapan, dan tingkah laku melembaga yang diwariskan dan
diteruskan dari generasi ke generasi yang memberikan kepada masyarakatnya sistem
norma untuk dipergunakan menjawab tantangan pada setiap perkembangan sosial. la
bersifat dinamis bila tidak dapat menjawab tantangan zaman, akan berubah secara
wajar atau lenyap dengan sendirinya.
Dalam tradisi atau tindakan Orang Jawa selalu berpegang dalam dua hal,
(1) Kepada pandangan hidupnya atau falsafah hidupnya yang religius dan mistis,
(2) Pada sikap hidupnya yang etis dan menjunjung tinggi moral atau derajat
hidupnya.Pandangan hidupnya yang selalu menghubungkan segala sesuatu
dengan Tuhan yang secara rohaniah atau mistis dan magis,dengan menghormati
arwah nenek moyang atau leluhurnya serta kekuatan-kekuatan yang tidak tampak
oleh indera manusia (Herusatoto, 2008: 139)
Salah satu fenomena yang lahir dari kepercayaan terhadap Tuhan,dewa-
dewa, rasul,serta hantu-hantu adalah pemberian sesaji. Bagi masyarakat Jawa,
sesajian dapat dibagi menjadi empat jenis meliputi :
a. Sesajian yang diperuntukan bagi Yang Kuasa, rasul, para wali,
dewa-dewa, bidadari-bidadari, kekuatan yang terdapat pada seorang
ulama atau yang dihormati, setan-setan, hantu-hantu,roh-roh,dan
yang lainya, dengan tujuan menyenangkan mereka.Sesajian ini
disebut sebagai Selamatan;
b. Sesajian sebagai sarana untuk menolak pengaruh setan, mahluk-
mahkluk mengerikan,hantu-hantu, roh-roh jahat. Sesajian ini disebut
penulakan;
c. Sesajian yang dilakukan secara teratur kepada rasul-rasul, para
wali,bidadari,jin-jin,kekuatan seseorang yang sudah meninggal, serta
hantu-hantu yang baik, binatang,dan tumbuhan. Sesajian ini disebut
wadima;
d. Sesajian berupa makanan yang diberikan kepada para wali, malaikat
untuk keselamatan roh-roh orang meninggal dan keselamatan
penyelenggaraan acara, keluarga dan hartanya, Sesajian ini
dinamakan sedekah (Suyono,2007:132).
1. Tradisi Selamatan Pada Masyarakat Jawa
Didalam tradisi Jawa, upacara yang terkait dengan kehidupan
dikonsepsikan oleh para ahli antropologi sebagai upacara lingkaran hidup yang
dikonsepsikan oleh Orang Jawa sebagai selamatan, yaitu suatu upacara makan
bersama makanan yang telah diberi doa sebelum dibagikan.Selamatan tidak
terpisahkan dari pandangan alam pikiran partisipasi dan erat hubunganya dengan
kepercayaan pada unsur-unsur kekuatan sakti maupun mahluk-mahluk halus.
Selamatan ditujukan agar tidak ada gangguan apapun didalam kehidupan manusia
( Kodiran, 1975 : 340 ).
Setiap kegiatan upacara ritual atau selamatan adalah sebuah
kegiatan yang melibatkan semua unsur masyarakat didalam lingkungan
bertetangga.Partisipasi masyarakat dalam selamatan menggambarkan
adanya tindakan harmoni sosial, kerukunan sosial sebab semua masyarakat dalam
lingkaran bertetangga tersebut dalam suasana yang sama dan juga menikmati makanan
yang hampir sama sehingga inilah suatu wujud dari tujuan konsepsi Jawa mengenai
slamet, rukun, dan harmoni.
Menurut Ibid (Dr.Nur Syam, 2007: 340-341) upacara selamatan dapat
digolongkan kedalam empat macam, sesuai dengan peristiwa atau kejadian dalam
kehidupan manusia sehari-hari, yakni :
a. Selamatan dalam rangka lingkaran hidup seseorang, seperti hamil tujuh
bulan, kelahiran, upacara menyentuh tanah untuk pertama kali, upacara
menusuk telinga, sunatan, kematian, serta saat-saat kematian.
b. Selamatan yang berkaitan dengan bersih desa, penggarapan tanah
pertanian,dan setelah panen.
c. Selamatan yang berhubungan dengan hari-hari serta bulan-bulan
besar Islam.
d. Selamatan pada saat tertentu, berkenaan dengan kejadian-kejadian,
seperti melakukan perjalanan jauh, menempati rumah baru, menolak
bahaya, bernazar kalau sembuh dari sakit.
Dari pernyataan diatas, diketahui bahwa Orang Jawa memberi makna pada
setiap peristiwa. Karena rasa takut dan hormat kepada dewa,roh-roh,hantu, orang-
orang suci mereka rela memberika sesajian untuk menyenangkan mereka. Setiap kali
melakukan upacara sesajen, hadirin harus berpakaian baik, dan dengan syarat-syarat
lainnya.
Orang Jawa banyak sekali membuat sesaji dan melakukan upacara. Itulah
sebabnya Orang Jawa sulit menabung karena adanya keharusan mempersiapkan
sesaji-sesaji ini (Suyono,2007:142).
2 .Tradisi Selamatan Pada Masyarakat Petani Jawa
Karena mayoritas penghasilan masyarakat Jawa adalah bertani, maka salah
satu selamatan yang amat penting bagi Orang Jawa adalah selamatan untuk membuka
lahan pertanian sampai masa panen tiba. Selamatan dilakukan diatas tanah yang akan
dikerjakan. Jenis makanan khusus untuk upacara ini tidak diharuskan, semuanya
sesuai selera yang mengadakan. Sedangkan doa yang biasa digunakan adalah donga
selamet.
Orang Jawa beranggapan bahwa padi telah dirasuk oleh roh dari Dewi Sri,
yang merupakan dewi kebahagiaan. Oleh karena itu, Orang Jawa memiliki kebiasaan
menghormati Dewi Sri pada semua tahapan proses penanaman padi hingga
pengolahan hasilnya.
Upacara selamatan dari sesajian ditujukan untuk mendapatkan hasil
pertanian yang baik. Sebelum mengolah sawah, Orang Jawa akan melakukan upacara
dengan memberikan sesaji pada tanah garapan,selamatan ini juga ditujukan untuk
mereka yang berjasa membantu dalam penggarapan tanahnya.Doa yang biasa
dilakukan adalah donga selamet.
Sebelum memanen padi,tiap petani akan membuat sesajian dan tumpeng
berisikan makanan didekat sawahnya untuk dinikmati oleh para pembantunya. Dalam
sesajian ini permohonan ditujukan kepada Dewi Sri agar memberinya panen yang
berlimpah,dan ucapan terimakasih karena melindungi padi dari segala penyakit dan
hama.Banyak selamatan mengolah sawah yang dulu dilakukan kini sudah hilang.
Pada umumnya, banyak sesajian dalam suatu upacara atau selamatan tidak
ditetapkan, semuanya tergantung dari keadaan ekonomi yang mengadakannya.
(Suyono, 2007: 142).
3. Tujuan dan Makna Selamatan
Menurut pendapat Geertz (Syam Nur, 2007: 148) adanya ritus, selamatan
atau upacara ini merupakan suatu upaya manusia untuk mencari keselamatan,
ketentraman dan sekaligus menjaga kelestarian kosmos. Selamatan ini pada
hakikatnya merupakan upacara keagamaan yang paling umum di dunia dan
melambangkan kesatuan mistis dan sosial dari mereka yang ikut hadir didalamnya
Aktifitas selamatan atau upacara ini merupakan salah satu usaha manusia
sebagai jembatan antara dunia bawah (manusia) dengan dunia ritus atas (makhluk
halus atau tuhannya). Melalui selamatan, sesaji atau ritus maka diharapkan bisa
menghubungkan manusia dengan dunia atas, dengan leluhur, roh halus dan tuhannya.
Melalui perantara ini leluhur, roh halus dan Tuhannya akan memberi berkah
keselamatan manusia di dunia.
Selamatan adalah inti kehidupan Orang Jawa, wujud dari tidak hanya
harmonisasi antara sesama mahluk hidup, tetapi juga bermakna harmonisisasi antara
kekuatan natural dan supranatural, antara mikrokosmos dan makrokosmos, antara
kekuatan kodrati dan adikodrati, antara kekuatan manusia dan mahluk halus, dan lain
sebagainya. Didalam hubungan antara kekutatan makrokosmos dan mikrokosmos ada
proses saling mengisi.Sementara itu kekuatan dunia sakral memberikan keselamatan atau
barokah bagi manusia sehingga terdapat ruang kosong didalamnya, dan manusia harus
mengisi ruang kosong tersebut supaya selalu penuh. Ruang kosong yang tidak terisi oleh
berbagai upacara ritual (selamatan) akan menyebabkan ketidakseimbangan sehingga
menyebabkan terjadinya bencana atau malapetaka (Pujileksono, 2006: 82).
Hal ini memiliki makna bahwa jika manusia tidak mampu mengatasi
masalahnya yang serius yang menimbulkan kegelisahan, ia berusaha mengatasinya
dengan memanipulasi mahluk atau kekuatan supranatural, untuk itu dilakukan
upacara keagamaan yang fungsi utamanya untuk mengurangi kegelisahan dan untuk
memantapkan kepercayaan pada dirinya sendiri agar tetap siap menghadapi realitas.
B. Religi Pada Masyarakat Jawa
1. Pengertian religi
Projo (1982) menjelaskan bahwa religi adalah penyerahan diri kepada
Tuhan, dalam keyakinan bahwa manusia dengan kekuatan sendiri tidak mampu
memperoleh keselamatan itu, karena itu ia menyerahkan dirinya.
Menurut Koentjaraningrat (1982:37) istilah religi adalah suatu sistem
berkaitan dari keyakinan-keyakinan dan upacara keramat artinya yang terpisahkan
dan pantang, keyakinan- keyakinan yang berorientasi pada suatu komunitas moral,
yang disebut umat.
Gagasan dasar mengenai religi pada pokoknya ada dua (Baal, 1987:35)
yaitu:
Pertama, religi adalah bagian hidup kesusilaan manusiawi dan memiliki
nilai susila yang tinggi. Religi mewakili nilai-nilai dan bukan mewakili suatu
sistem ilmu pengetahuan. Nilai-nilai itulah yang terpenting, apa yang dinamakan
kebenaran-kebenaran kepercayaan menjadi persoalan kedua. Kedua, religi adalah
masalah yang tergolong dalam alam manusia. Religi tidaklah berakar dalam
waktu, akan tetapi berakar dalam manusia itu sendiri yaitu dalam rasio. Hal itu
membuka kemungkian untuk mengamat-amati dengan sungguh-sungguh kepada
hal-hal yang diperbuat dan dipercaya oleh manusia. Gagasan kedua ini bersifat
memiliki pencerahan yang dipelopori oleh Charles de Brosses dengan konsep
fetysisme. Fetisisme menurut Charles de Brosses dalam Baal (1987:36) adalah
“pemujaan pada binatang atau barang-barang tak bernyawa yang dijadikan dewa”.
Lebih lanjut Charles de Brosses menyatakan bahwa binatang atau barang tak
bernyawa yang dijadikan dewa itu oleh masyarakat yang peradabannya masih
rendah dipercaya memiliki kekuatan dan mampu melindungi keselamatannya.
Terkait dengan uraian tersebut Charles de Brosse (dalam Van Baal,
1987:37) menegaskan bahwa setiap bangsa juga bangsa yang beradab, sadar akan
kekuasaan yang lebih tinggi karena kelemahan manusia memang terasa pada
setiap orang. Emosi dan perasaan yang diciptakan oleh kekuasaan yang lebih
tinggi itu berupa rasa takut, rasa takjub, rasa syukur dan masuk akal. Rasa syukur
dan masuk akal hanya terungkap dalam peradaban yang tinggi. Dalam peradaban
yang rendah hanya kenal takut dan takjub. Kejadian-kejadian luar biasa,
malapetaka, penyakit dan peperangan membuat manusia yang ketakutan itu
mempribadikan sebab-sebabnya serta membayangkannya sebagai fetisi dan
berdoa kepadanya.
2. Teori-Teori Religi
Koentjaraningrat (1981:58) menggolongkan teori tentang azas dan asal
mula religi yang telah dikembangkan oleh beberapa ahli lain menjadi tiga
golongan yaitu: (1) teori-teori dalam pendekatannya berorientasi pada keyakinan
religi; (2) teori-teori yang dalam pendekatannya berorientasi pada sikap manusia
terhadap alam gaib atau hal yang gaib dan (3) teori-teori yang dalam
pendekatannya berorientasi pada upacara religi.
a. Teori-teori religi yang berorientasi pada keyakinan religi di antaranya
dikemukakan oleh:
1) Teori Andrew Lang tentang Dewa Tertinggi
Andrew Lang (Van Baal, 1987:125) membagi dua jenis aliran religi
yaitu: (1) religi timbul dari pikiran tentang makhluk tunggal, abadi, moril, dan
mencipta; (2) religi yang timbul dari ajaran jiwa.
Teori Lang tentang Dewa tertinggi mengandung uraian mengenai faktor-
faktor dan mitologi suku-suku bangsa dari berbagi daerah di muka bumi yang
mana dalam dongeng-dongeng mitologi itu Lang sering menemukan adanya
tokoh-tokoh dewa yang oleh suku-suku bangsa yang bersangkutan dianggap dewa
tertinggi, pencipta seluruh alam semesta beserta isinya, penjaga ketertiban alam
dan kesusilaan (Koentjaraningrat, 1981:59-60).
Teori Lang tentang religi itu timbul dari ajaran jiwa mengandung
pernyataan bahwa dalam jiwa manusia ada suatu kemampuan gaib yang dapat
bekerja lebih kuat dengan makin lemahnya aktivitas pikiran manusia yang
rasional (Koentjaraningrat, 1981:59).
2) Teori Edward B. Tylor tentang Jiwa
Menurut Tylor ( Daeng, 1986:71) asal mula berkembangnya religi adalah
sebagai hasil pengalaman manusia akan adanya daya hidup atau kekuatan hidup
dalam benda-benda tertentu ataupun gejala-gejala tertentu. Daya hidup ataupun
kekuatan penghidup itulah yang dikatakan roh. Roh kemudian dikaitkan dengan
benda atau gejala tertentu, kemudian mulai dipuja. Gejala alam yang mempunyai
daya hidup atau kekuatan penghidup misalnya sungai yang mengalir dengan deras
dan penuh gemuruh, gunung meletus dan kilat yang menyambar.
Tylor ( Koentjaraningrat, 1981:48) menegaskan bahwa kesadaran akan
adanya jiwa atau roh disebabkan oleh dua hal yaitu:
Pertama, perbedaan yang tampak pada manusia antara hal-hal yang hidup dan
hal-hal yang mati. Suatu organisme pada satu saat bergerak-gerak, artinya hidup.
Tak lama kemudian organisme tak bergerak lagi, artinya mati. Maka manusia
mulai sadar akan adanya kekuatan yang menggerakkan organisme itu, yaitu jiwa.
Kedua, peristiwa mimpi yang dialami oleh manusia. Manusia melihat dirinya
ditempat-tempat lain (bukan ditempat ia sedang tidur), maka manusia mulai
membedakan antara tubuh jasmaninya yang ada di tempat tidur dengan satu
bagian lain dari dirinya yang pergi ke tempat-tempat lain. Bagian lain itulah yang
disebut jiwa.
Lebih lanjut Tylor menjelaskan bahwa sifat abstrak dari jiwa itu
menimbulkan keyakinan pada manusia bahwa jiwa dapat hidup langsung, lepas
dari tubuh jasmaninya. Pada waktu hidup, jiwa itu masih tersangkut dengan tubuh
jasmaninya dan hanya dapat meninggalkan tubuh ketika manusia itu tidur atau
pingsan. Apabila manusia mati jiwanya melayang terlepas, dan terputuslah
hubungannya dengan tubuh jasmani selama-lamanya.Jiwa yang terlepas dari
jasmaninya itu dapat berbuat sekehendaknya. Alam semesta penuh dengan jiwa-
jiwa yang terlepas dari jasmani untuk selama-lamanya sehingga pikiran
manusiapun telah menstraformasikan kesadarannya akan adanya jiwa (soul)
menjadi keyakinan kepada makhluk halus (spirit) (Koentjaraningrat, 1981:49).
Adapun evolusi religi manusia menurut E.B Tylor dalam
Koentjaraningrat (1981:49-50) terdiri dari tiga tingkatan yaitu:
Pertama, pada tingkat tertua pada evolusi religinya, manusia percaya
terdapat makhluk-makhluk halus yang menempati alam sekeliling tempat
tinggalnya. Makhluk-makhluk halus yang tinggal dekat tempat tinggal manusia itu
dianggap mampu berbuat hal-hal yang tak dapat di perbuat manusia, sehingga
manjadi objek penghormatan dan penyembahan yang disertai dengan berbagai
upacara berupa doa, sajian, atau korban. Religi seperti itulah yang oleh Tylor di
sebut animisme. Kedua, dalam evolusi religi tingkat kedua manusia yakin bahwa
gerakan alam yang hidup itu juga disebabkan adanya jiwa di balik peristiwa-
peristiwa dan gejala-gejala alam itu. Jiwa alam itu kemudian dipersonifikasikan
dan dianggap seperti makhluk-makhluk yang mempunyai suatu kepribadian dan
pikiran, yang disebut dewa-dewa alam. Ketiga, dalam evolusi religi tingkat ketiga
bersama dengan timbulnya susunan kenegaraan dalam masyarakat manusia,
timbullah keyakinan bahwa dewa-dewa alam itu juga hidup dalam suatu susuan
kenegaraan, serupa dengan dunia makhluk manusia. Maka terdapat pula suatu
susunan pangkat dewa-dewa, mulai dari raja dewa-dewa hingga dewa tertinggi,
sampai pada dewa-dewa yang terendah pangkatnya. Susunan serupa itu lambat
laun menimbulkan kesadaran bahwa semua dewa itu pada hakekatnya hanya
merupakan penjelmaan dari suatu dewa saja, yaitu dewa yang tertinggi. Implikasi
dari keyakinan itu adalah berkembangnya keyakinan kepada satu Tuhan dan
timbulnya religi-religi yang bersifat monotheisme sebagai tingkat yang tertinggi
dalam evolusi religi manusia.
3) Teori R.R Marett tentang Kekuatan Luar Biasa
Marett mempergunakan konsep mana yang digunakan oleh Condrington
untuk mengembangkan teorinya mengenai bentuk religi tertua. Mana adalah
sesuatu yang mempengaruhi semua hal, yang melampaui batas kekuasaan
manusia dan yang berada diluar jalur yang normal dan wajar (Baal, 1987:129).
Marett dalam Baal (1987:131) mengemukakan teori bahwa bentuk religi
yang tertua adalah berdasarkan keyakinan manusia akan adanya kekuatan gaib
dalam hal-hal yang luar biasa dan yang menjadi sebab timbulnya gejala-gejala
yang tak dapat dilakukan manusia biasa, sehingga hal-hal yang sifatnya luar biasa
itu menimbulkan suatu “emosi” atau suatu “getaran jiwa” . Emosi atau getaran
jiwa tersebut timbul karena kekaguman manusia terhadap hal-hal dan gejala
tertentu yang sifatnya luar biasa atau sepernatural atau kekuatan yang tidak dapat
diterangkan dengan akal manusia dan berada diatas kekuatan-kekuatan alamiah
biasa.
b. Teori Religi yang Berorientasi pada Sikap Manusia terhadap Hal Gaib
Konsep Rudalf Otto terhadap sikap kagum terpesona terhadap hal yang
gaib adalah bahwa semua sistem religi, kepercayaan dan agama di dunia berpusat
pada suatu konsep tentang hal yang gaib (mysterium) yang dianggap maha
dahsyat dan keramat itu adalah maha abadi, maha dahsyat, maha baik, maha adil,
maha bijaksana, tak terlihat, tak berubah dan tak terbatas sehingga sifat-sifat
tersebut pada azasnya tidak tercakupi oleh pikran manusia. Walau demikian,
dalam semua masyarakat dan kebudayaan di dunia hal yang gaib dan keramat tadi
akan menimbulkan sikap kagum terpesona, selalu akan menarik perhatian
manusia dan mendorong timbulnya hasrat ingin bersatu dengannya
(Koentjaraningrat, 1980:65-66).
c. Teori Religi yang Berorientasi pada Upacara Religi
Robertson Smith dalam Koentjaraningrat (1981:68-78) mengajukan
gagasan tentang upacara religi yaitu: (1) sistem upacara melaksanakan konsep-
konsep yang terkandung dalam sistem keyakinan; (2) upacara religi atau agama
mempunyai fungsi sosial untuk mengintensitaskan solidaritas masyarakat yang
berarti motivasi dari pemeluk religi atau agama tidak terutama untuk berbakti
kepada Tuhan atau dewanya, ataupun mengalami kepuasan agama secara pribadi,
tetapi lebih karena melakukan upacara adalah kewajiban sosial dan (3) upacara
bersaji adalah suatu aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas dengan dewa atau
para dewa.
3. Komponen Religi
Tiap religi merupakan suatu sistem yang secara umun terdiri dari lima
komponen. Masing-masing komponen itu mempunyai peranannya sendiri-sendiri,
tetapi sebagai bagian dari suatu sistem komponen-komponen itu saling berkaitan
erat satu sama lain dan terintegrasi secara bulat. Koentjaraningrat (1981:80)
memyebutkan kelima komponen religi adalah sebagai berikut:
(1) emosi keagamaan yang menyebabkan manusia bersikap religieus; (2)
sistem keyakinan yang mengandung segala keyakinan serta bayangan
manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari alam gaib
(supernatural), serta segala nilai, norma dan ajaran dari religi yang
bersangkutan; (3) sistem ritus dan upacara yang merupakan usaha manusia
untuk mencari hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa atau makhluk-
makhluk halus yang mendiami alam gaib; (4) umat atau kesatuan sosial
yang menganut sistem keyakinan dan yang melaksanakan sistem ritus dan
upacara dan (5) peralatan upacara.
Emosi keagamaan adalah suatu getaran jiwa yang menyebabkan manusia
mempunyai sikap serba religi. Emosi keagamaan merupakan komponen utama
dari gejala religi yang membedakan suatu sistem religi dari semua sistem sosial
budaya lain dalam masyarakat manusia (Koentjaraningrat, 1981:80). Emosi
keagamaan mendorong manusia untuk melakukan aktivitas religius seperti
berdoa, bersujud dan melakukan shalat dengan penuh khidmad sehingga ia akan
membayangkan Tuhan, dewa dan roh. Wujud dari bayangan Tuhan ditentukan
oleh kepercayaan yang lazim hidup dalam masyarakat dan kebudayaannnya.
Begitu juga dengan kelakuan-kelakuan keagamaan yang dijalankan akan juga
menurut adat yang lazim. Emosi keagamaan dapat berupa sikap ”kagum
terpesona” dan sikap ”takut bercampur percaya” kepada hal yang gaib serta
keramat ( Koentjaraningrat, 2002:146).
Koentjaraningrat (1981:81) menjelaskan tentang sistem keyakinan ialah:
Sistem keyakinan dalam suatu religi berwujud pikiran dan gagasan
manusia, yang menyangkut keyakinan dan konsepsi manusia tentang
sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari alam gaib (kosmologi), tentang
terjadinya alam dan dunia (kosmogoni), tentang zaman akhirat
(esyatologi), tentang wujud dan ciri-ciri kekuatan sakti, roh nenek
moyang, roh alam, dewa-dewa, roh jahat, hantu dn makhluk halus
lainnya. Kecuali itu sistem keyakinan juga menyangkut sistem nilai dan
sistem norma keagamaan, ajaran kesusilaan, dan ajaran doktrin religi
lainnya yang mengatur tingkah laku manusia.
Mengenai sistem ritus dan upacara religi Koentjaraningrat (1981:81)
menjelaskan bahwa ritus dan upacara religi berwujud aktivitas dan tindakan
manusia dalam melaksanakan kebaktiannya kepada Tuhan, dewa-dewa, roh nenek
moyang, atau makhluk halus lain dan dalam usahanya untuk berkomunikasi
dengan Tuhan dan penghuni alam gaib lainnya itu. Ritus atau upacara religi
biasanya berlangsung berulang-ulang, baik setiap hari, setiap musim atau kadang-
kadang saja. Tergantung dari isi acaranya, suatu ritus atau upacara religi biasanya
terdiri dari kombinasi yang merangkaikan satu, dua atau beberapa tindakan seperti
berdoa, bersujud, bersaji, berkorban, makan bersama, menari dan menyanyi,
berprosesi, bersenidrama suci, berpuasa, berintoxikasi, bertapa dan bersemadi.
Upacara agama belum lengkap kalau tidak dihinggapi atau dijiwai oleh emosi
keagamaan, artinya cahaya Tuhan yang membuat suatu upacara itu menjadi
aktivitas yang keramat( Koentjaraningrat, 2002:147).
Dalam ritus atau upacara religi biasanya dipergunakan bermacam-macam
sarana dan peralatan seperti tempat atau gedung pemujaan, patung dewa, patung
orang suci, bedug, gong, seruling suci, gamelan suci dan lonceng. Para pelaku
upacara seringkali harus mengenakan pakaian yang dianggap mempunyai sifat
suci seperti jubah pendeta, jubah bhiksu dan mukena (Koentjaraningrat, 1981:81).
Umat atau kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan dan
melaksanakan sistem upacara ini dapat berupa: (1) keluarga inti; (2) kelompok-
kelompok kekerabatan yang lebih besar seperti suku, klen, marga, dadia; (3)
kesatuan komunitas seperti desa; (4) organisasi-organisasi religius seperti
organisasi penyiaran agama, organisasi gereja dan organisasi partai politik yang
berdasarkan ideologi agama ( Koentjaraningrat, 2002:148).
Menurut Geertz (Syam Nur,2007: 111) Masyarakat Jawa memiliki
agama sendiri, yaitu agama lokal yang berisi nomerologi, kekuatan gaib, dan
tradisi upacara ritualnya yang diindentikkan dengan kepercayaan kaum abangan
yang terkonsentrasi diwilayah pedesaan Jawa.Disisi lain juga terdapat kaum santri
yang memiliki keyakinan kuat terhadap agama Islam dan terbagi menjadi dua
yaitu kaum modernis (Muhamadiyah) dan kaum tradisionalis (NU), mereka
memiliki keyakinan,tata ritual, serta tradisinya sendiri.
Menurut Koentjaraningrat (Herusatoto,2007 : 94) Karena Islam pertama
kali berkembang melalui pesisir, demikian pula munculnya kekuatan Islam dalam
skala besar juga datang dari pesisir,hal ini dikarenakan pesisir adalah daerah
pertemuan berbagai kebudayaan dan tradisi dari berbagai bangsa,suku,ras,dan
agama,maka Islam modernis baik Muhamadiyah maupun NU banyak berkembang
disini,sedangkan untuk orang-orang Jawa pedalaman yang dulunya dekat dengan
pusat kebudayaan Hindu ,maka mereka menerima Islam mencampuradukannya
dengan kebudayaan Hindu yang telah mendarah daging,sehingga perkembangan
Islam didaerah pedalaman Jawa membentuk corak tersendiri,yaitu Islam yang
disesuaikan dengan adat istiadat Hindu yang kemudian dikenal dengan nama
Islam Jawa atau Kejawen.
Hubungan NU dan abangan (Islam kejawen) tidaklah sekeras antara
abangan dan Muhamadiyah.Kaum abangan merasa memperoleh merasa
memperoleh justifikasi pelaksanaan berbagai tradisi upacara adat karena
memperoleh dukungan dari kaum santri NU.Itulah sebabnya, kaum abangan
(Kejawen) lebih suka menjadi NU daripada menjadi Muhamadiyah.Diwilayah
yang masyarakat berpaham NU,tradisi upacara ritual dengan variasinya juga
menonjol.Hal ini berbeda dengan masyarakat yang berpaham Muhamadiyah,
dimana upacara-upacara keagamaan yang biasa dilakukan oleh orang NU
tentunya tidak dilakukan
Javanisme (kejawen) berisikan kosmologi,mitologi, seperangkat konsepsi
yang pada hakikatnya bersifat mistik.Budaya kejawen memahami kepercayaan
berbagai macam roh yang dapat menimbulkan musibah, bahaya, kecelakaan atau
penyakit apabila mereka dibuat marah atau penganutnya tidak berhati-hati.Untuk
menangkal semua itu, Orang Jawa kejawen memberikan sesajen yang dipercaya dapat
menghindarkan manusia dari berbagai hal yang tidak diinginkan.
Kalau dikaitkan dengan teori-teori diatas,maka tradisi “Selamatan Petik Pari”
dari awal persiapan sesajian, prosesi pelaksanaan,sampai akhir pelaksanaan tradisi
adalah merupakan cerminan dari teori-teori tersebut,dan karena masyarakat Desa
Petungsewu Sebagian besar adalah penganut kejawen maka sistem religinya masih
mempercayai hal-hal mistis,hal ini selaras dengan teori religi berdasarkan keyakinan
religi yang dikemukakan oleh Andrew Lang tentang teori-teori religi dalam buku
Koenjtaraningrat.
C.Keterkaitan Religi Dengan Tradisi
Kebudayaan itu mempunyai ruang linkup yang sangat luas, sistem religi dan
upacara keagamaan merupakan salah satu unsur kebudayaan yang sangat penting.
Aktivitas upacara tradisional merupakan aspek yang sering dibahas oleh para
ahli ilmu sosial. Hal itu biasa terjadi karena upacara tradisional terutama yang berkaitan
dengan sistem kepercayaan atau religi adalah salah satu unsur kebudayaan yang paling
sulit berubah bila dibandingkan dengan unsur kebudayaan lain. Dalam upacara
tradisional tersebut pada umumnya bertujuan untuk menghormati, mensyukuri,
memuja, mohon keselamatan kepada Tuhan melalui makhluk halus dan leluhurnya.
Mereka yakin bahwa tradisi bersifat turun-temurun dan mengandung unsur
religi sebagai pernyataan ketidakpastian batin sebagai akibat perubahan kebudayaan
atau sebagai alat untuk melaksanakan kontrol sosial (Jensen, 1984:192).
Melalui pergaulannya dengan berbagai kekuatan alam,muncullah
pemahaman dikalangan Orang Jawa bahwa setiap gerakan, kekuatan, dan kejadian
alam disebabkan oleh mahluk-mahluk yang berada disekitarnya,Pandangan ini disebut
paham Animisme. Keyakinan hasil didikan alam ini terus dianut oleh Orang Jawa
secara turun temurun,bahkan ketika Orang Jawa sudah banyak yang menganut agama
formal,seperti Islam,Hindu,Nasrani,pemujaan terhadap kekuatan alam tidak
ditinggalkan.
Penganut Islam yang merupakan golongan terbesar dipulau Jawa, ternyata
tidak memeluk agama Islam secara murni sehingga masih dapat dibagi menjadi
beberapa bagian yaitu :
Kaum Islam yang masih memegang campuran kepercayaan Brahma dan
Budha;
Kaum Islam yang menganut kepercayaan magik dan Dualisme;
Kaum Islam yang masih menganut Animisme;
Kaum Islam yang menganut agamanya secara murni.
Ketiga sekte yang pertama disebut sebagai Kejawen. Sampai saat ini
ajaran kejawen masih banyak dianut oleh Orang Jawa.Ajaran kejawen merupakan
keyakinan dan ritual campuran dari agama-agama formal dengan pemujaan terhadap
alam, praktik keagamaan yang dianut oleh Orang Islam banyak dipengaruhi oleh
kepercayaan dari agama Hindhu, Budha, Brahma, Magisme, Dualisme, dan
kepercayaan kepada alam.(Suyono, 2007 : 3).
Dalam tradisi “Selamatan Petik Pari” ini terdapat dua keyakinan yang
berbeda yaitu Hindu dan Islam yang tetap menjalankan tradisi ini,Dalam Islam ada
sebagian ulama yang mengganggap syirik segala hal yang berbau magis, dalam islam
tidak mengenal adanya ritual-ritual seperti membakar kemenyan,dan memberikan
sesajian,tetapi dalam Islam Kejawen yang masih memakai cara-cara leluruh, hal-hal
seperti memberikan sesajian kepada roh-roh mereka anggap sebagai keyakinan
mereka terhadap mahluk ciptaan tuhan yang bisa memberikan keselamatan kepada
mereka.Sebagian masyarakat Islam di Jawa masih menganut unsur animisme, jadi
mereka masih mangganggap ada kekuatan lain yang dimiliki alam semesta ini.
Sedangkan untuk agama Hindu, ketika pertama kali datang ke tanah
Jawa,kaum Hindu sudah memegang kepercayaan memuja benda-benda langit dan
keempat unsur dari alam ( api, air, tanah, dan logam ).
Pengaruh kebudayaan Hindu di Jawa menambah pula pembendaharaan
simbolisme dalam tindakan religius Orang Jawa.Penghormatan dan pemujaan kepada
Dewa-Dewi Hindu menimbulkan pula fantasi akan adanya Dewa-Dewi lainnnya yang
asli Jawa.Hal ini adalah asimilasi paham animisme dan paham Hindu.Hasil asimilasi
inilah yang melahirkan Dewi Sri,tokoh simbolik kaum petani Jawa,yang melindungi
tanaman padinya,dan dianggap dari para lelembut atau jin mrekayangan.( Herusatoto,
2008 : 160)
Tindakan-tindakan simbolis religius dari Orang Jawa itu dapat dikelompokan
menjadi tiga golongan,yaitu :
a. Tindakan simbolis religius yang terbentuk karena pengaruh zaman
kebudayaan asli Jawa.
b. Tindakan simbolis religius yang terbentuk karena pengaruh zaman
kebudayaan Hindu-Jawa.
c. Tindakan simbolis religius yang terbentuk karena pengaruh zaman mitos
kebudayaan Hindu-Jawa dan Jawa-Islam.
Ketiga golongan tersebut dalam kenyataan kehidupan Orang Jawa sulit untuk
dipisahkan antara satu sama lainnya, karena ketigannya dilaksanakan secara beruntun
dan telah menyatu sebagai adat istiadat dan tradisi Jawa.( Herusatoto, 2008 : 163-164)
Masalah yang pokok yaitu hubungan antara otoritas leluhur atau
Tuhannya dan implementasinya terhadap mereka yang memujanya. Pada
masalah ini bagaimana para leluhur, roh-roh halus atau Tuhannya dapat
memberikan sesuatu yang dinilai bermakna bagi para pemujanya. Para
pemujanya percaya bahwa keterbatasan yang dimiliki oleh manusia dapat diatasi
dengan keterlibatan leluhur. Hal ini akhirnya menimbulkan ritus atau upacara-
upacara pemujanya. Roh-roh halus atau roh leluhur diberi sesaji agar mau
membantu atau memberi pertolongan pada manusia.
Disini nampak seolah-olah ada hubungan timbal balik antara roh halus atau
leluhur dengan manusia. Apek penting dalam kepercayaan adalah membentuk
hubungan keagamaan. Sehubungan dengan itu manusia cenderung membuat model
hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa, roh-roh halus dan kekuatan adikodrati. (O’dea,
1985:55)
Sistem religi sebagai salah satu sistem budaya universal, terdiri dari sistem
kepercayaan, kesusastraan suci, sistem upacara keagamaan, komuniti keagamaan,
ilmu gaib dan sistem nilai, serta pandangan hidup. Sebagai suatu sistem maka satu
dengan yang lain tentunya tidak dapat dipisahkan (Koentjaraningrat, 1975:284).
Dalam religinya Orang Jawa selalu memakai simbol-simbol atau media
dalam menyampaikan maksudnya,Orang Jawa sangat memuja kepada Yang Maha
Kuasa,dan juga sangat menghormati arwah nenek moyangnya,untuk mengadakan
komunikasi atau berhubungan dengan Yang Maha Kuasa,arwah nenek moyang dan
mahluk-mahluk halus tersebut diperlikan media atau perantara yang dapat dipakai
untuk:
a. Memuja Yang maha kuasa atas segala rahmat yang telah dilimpahkan
kepada mereka.Untuk keperluan itu dibangunlah tempat-tempat
pemujaan dengan segala sarananya.
b. Mendatangkan arwah nenek moyang untuk dimintai berkah dan
petunjuknya.Untuk maksud ini maka dibuatlah boneka-
boneka,wayang,sesajian,mantra,nyanyian puji-pujian,untuk dipakai
dalam upacara untuk mendatangkan roh nenek moyang.
c. Memberikan makan dan minum bagi mahluk-mahluk halus yang bersifat
baik yang selalu membantu atau melindungi kehidupan manusia,maka
dibakarlah dupa,kemenyan,disediakan sesaji dan barang-barang kesukaan
mereka.
d. Membujuk mahluk-mahluk halus yang bersifat jahat agar menyingkir
atau tidak menganggu,untuk itu dipakai benda-benda penolak
bala.(Herusatoto, 2008 :200-201)
Ada kaitan antara sistem ritus dengan umat beragama karena para
anggota umat itulah yang melaksanakan sistem ritus dan upacaranya. Selanjutnya
kaitan antara peralatan upacara dengan umat beragama adalah upacara
menentukan alatnya dan para anggota umat beragama yang mendesain peralatan
upacara. Keyakinan, ritus atau upacara, peralatan ritus dan umat beragama saling
berkaitan erat satu sama lain akan mendapat sifat keramat bila dihinggapi oleh
emosi keagamaan.
Menurut Koentjaraningrat (1981:82-83) kelima komponen religi itu
dalam fungsinya erat hubungannya satu sama lain. Sistem keyakinan menentukan
acara ritus, sebaliknya upacara melahirkan dan mengembangkan keyakinan religi.
Sistem keyakinan menentukan tingkah laku umat beragama dan tidak jarang juga
gagasan-gagasan kolektif melahirkan dan mengembangkan keyakinan religi.
D.Perubahan dan Pergeseran Tradisi
Semua kebudayaan (tradisi) pada suatu saat akan mengalami perubahan
karena berbagai macam sebab. Perubahan bisa terjadi dikarenakan perubahan
lingkungan yang menuntut perubahan secara adiktif. Perubahan bisa terjadi secara
kebetulan, direncanakan,atau karena adanya kontak dengan unsur kebudayaan
lain.(Pujileksono, 2009:172)
Mekanisme atau proses perubahan kebudayaan (tradisi) dapat terjadi karena
adanya penemuan baru (invention), hilangnya unsur kebudayaan, akulturasi,
Perubahan kebudayaan secara paksa, modernisasi.
Modernisasi merupakan proses perubahan kultural dan sosio-ekonomis
dimana masyarakat-masyarakat yang sedang berkembang memperoleh sebagian
karakteristik dari masyarakat industri barat.
Proses modernisasi dapat dipahami terdiri dari empat subproses:
1. Perkembangan teknologi, dalam modernisasi pengetahuan dan teknologi
tradisional terdesak oleh penerapan ilmu pengetahuan dan teknik-teknik
yang dipinjam dari masyarakat industri maju.
2. Pengembangan pertanian yang berupa pergeseran dari pertanian untuk
keperluan sendiri menjadi pertanian untuk pemasaran. Aktivitas pertanian
dan perternakan diarahkan pada budidaya untuk keperluan teknologi uang
dan pasar untuk menjual hasil petanian dan mengdakan pembelian-
pembelian.
3. Industrialisasi, dengan lebih mengutamakan bentuk energi non hewan
khusunya bahan fosil. Tenaga manusia dan hewan menjadi tidak penting.
4. Urbanisasi yang ditandai dengan perpindahan penduduk dari pemukiman
pedesaan kekota-kota serta berubahnya pedesaan menjadi perkotaan.
Menurut Selo Soemarjdan(1986), masyarakat akan mengalami tahap-tahap
modernisasi mulai taraf paling rendah ketingkat paling tinggi,tahapan yang dimaksud
meliputi:
a. Modernisasi tingkat alat. Tahapan ini ditandai dengan masuk dan
diterimannya peralatan dan teknologi tinggi pada masyarakat tradisioanal
contoh (traktor, mesin penggiling padi, mobil, televise, listrik,
handphone).pada tahap ini masyarakat baru bisa menggunakan alat-alat
sesuai petunjuk yang ada.
b. Modernisasi tingkat lembaga. Ditandai dengan masuknya jaringan sistem
kerja modern dikalangan masyarakat lokal.
c. Modernisasi tingkat individu.masyarakat sudah pintar dalam merakit
peralatan-peralatan yang dimilikinya.
d. Modernisasi tingkat inovasi. Pada tingkatan ini masyarakat dicirikan
dapat menciptakan sendiri barang teknologi yang dibutuhkan
meskipun harus melalui jaringan kerja dengan masyarakat yang lebih
luas.(Pujileksono,2009:175-182)
Di zaman modern seperti sekarang ini tradisi bagi Orang Jawa tetap
mendapatkan tempat dan selalu dikaitkan dengan nilai-nilai religius yang tardapat
dalam tradisi itu sendiri,mereka melakukan tradisi yang telah ada selalu memohon
kepada yang mereka anggap bisa membawa keselamatan,hal inilah yang membuat
tradisi tetap mendapat tempat di hati masyarakat Jawa.
Dalam sistem religi tidak semua unsur mengalami perubahan karena
keterkaitan antara lima unsur yaitu emosi keagamaan, sistem kepercayaan, sistem
upacara keagamaan, peralatan upacara, kelompok keagamaan.Dari lima unsur
tersebut yang tidak mengalami pergeseran dan perubahan adalah emosi
keagamaan dan sistem kepercayaan karena merupakan getaran jiwa yang pernah
dirasakan manusia dalam jangka waktu hidupnya yang mendorongnya berperilaku
religi, munculnya emosi keagamaan pada diri manusia dapat dikarenakan
beberapa hal antara lain keyakinan adanya firman Tuhan, kesadaran akan adanya
kekuatan supranatural,adanya mahluk halus yang berada disekitar tempat
tinggalnya, adanya krisis dalam kehidupan, keyakinan adanya gejala-gejala alam
yang tidak dapat dinalar oleh akal manusia.Hal inilah yang membuat tradisi tetep
bertahan diera modern.
Sedangkan unsur religi yang mengalami pergeseran dan perubahan
adalah sistem upacara keagamaan, peralatan, dan kelompok keagamaan.Dalam
sistem upacara keagamaan terdapat empat komponen yaitu tempat upacara
(mesjid, gereja, vihara, klenteng, kuil,makam,tempat-tempat sacral,kuburan,dan
pantai),waktu upacara (pergantian siang-malam, saat pergantian musim,
hari/minggu/bulan),benda-benda dan alat upacara,orang yang memimpin upacara
(kyai, pendeta, pedande, biksu, dukun) (Pujileksono, 2009:69).
Empat komponen tersebut dizaman yang modern ini mengalami sedikit
pergeseran dan perubahan,karena sebagian masyarakat mulai berpikir
realitas,bahwa apa yang telah terjadi dengan kehidupannya dan dunia ini telah ada
yang mengatur,jadi tidak perlulah bersusah payah melakukan ritual-ritual yang
dianggap sebagian masyarakat modern sebagai hal yang tabu.
Peralatan upacara merupakan sistem religi yang tidak dapat dipisahkan
dari sistem upacara.Menurut Koentjaraningrat (Pujileksono: 69) bentuk-bentuk
upacara keagamaan diantaranya bersaji, berdoa,berkorban, makan
bersama,menari,dan bernyanyi,berpuasa,bertapa,bersemedi, dan bersemedi.Dalam
menyiapkan alat-alat sesajian dizaman yang modern ini masyarakat mengalami
kesulitan,hal ini dikarenakan pola pikir manusia yang telah modern.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan kehidupan religi
masyarakat Petungsewu melalui salah satu komponen religinya yaitu Tradisi
“Selamatan Petik Pari” dan mendeskripsikan keterkaitan antara religi dan tradisi
yang terkandung didalam tradisi “Selamatan Petik Pari”.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
fenomenologi yang bermaksud memahami suatu peristiwa dan kaitan-kaitannya
terhadap orang yang berada dalam situasi-situasi tertentu (Moleong, 2007: 17).
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif dengan sifat penelitiannya deskriptif analitis.
Moleong (2000: 3) mendefinisikan bahwa "Metodologi Kualitatif
adalah sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang sedang diamati".
Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistis (utuh).
Penelitian kualitatif berusaha mengungkapkan gejala secara menyeluruh dan
sesuai dengan konteks (holistik-konstektual) melalui pengumpulan data dari latar
alami dengan memanfaatkan diri peneliti sebagai instrument kunci (Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah, 2002: 20).
Dengan kata lain pendekatan kualitatif yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah suatu metode yang digunakan untuk menggambarkan atau menuliskan
kejadian-kejadian baik yang tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang
diamati pada saat penelitian dilakukan untuk kemudian dianalisa dan
diinterpretasikan. Penelitian deskriptif (Descriptive Research) adalah penelitian yang
bertujuan membuat deskripsi atas suatu fenomena sosial/alam secara sistematis,
faktual, dan akurat (Wardiyanta, 2006: 5).
Penelitian ini dilakukan karena peneliti ingin mengeksplor fenomena-
fenomena yang tidak dapat dikuantifikasikan yang bersifat deskriptif seperti
makna-makna dalam tradisi ”Selamatan Petik Pari”, gambaran pelaksanaan tradisi
”Selamatan Petik Pari”, keterkaitan religi dengan tradisi yang dianut masyarakat
dengan tradisi ”Selamatan Petik Pari”, dan Perubahan yang terjadi dalam tradisi
”Selamatan Petik Pari”.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan, memaparkan atau
menggambarkan tentang Makna Tradisi ”Selamatan Petik Pari”Sebagai Wujud
Nilai-nilai Religius Masyarakat Desa Petungsewu Kecamatan Wagir Kabupaten
Malang.
B. Fokus Penelitian Menurut
Moleong (2000: 237) yang dimaksud dengan fokus penelitian adalah suatu
pembatasan terhadap masalah-masalah yang akan dibahas dalam penelitian kualitatif.
Adapun tujuan dari penentuan fokus penelitian adalah sebagai berikut:
1. Untuk membatasi studi, dengan adanya fokus maka penentuan tempat
penelitian menjadi lebih layak.
2. Menetapkan kriteria inklusi-enklusi secara efektif agar informasi-
informasi yang mengalir masih dapat disaring.
Pada hakikatnya tidak ada satupun penelitian yang dapat dilakukan tanpa
adanya fokus (Moleong, 1997: 273).
Fokus penelitian sangat penting dijadikan sebagai sarana untuk memadu dan
mengarahkan jalannya penelitian.
Berdasarkan penjelasan diatas maka yang menjadi fokus dalam penelitian ini
adalah:
1. Asal-usul tradisi “Selamatan Petik Pari” yang dilaksanakan
masyarakat Desa Petungsewu Kecamatan Wagir Kabupaten Malang;
2. Pelaksanaan tradisi” Selamatan Petik Pari” yang dilaksanakan
masyarakat Desa Petungsewu Kecamatan Wagir Kabupaten Malang;
3. Makna tradisi “Selamatan Petik Pari” yang dilaksanakan masyarakat Desa
Petungsewu Kecamatan Wagir Kabupaten Malang;
4. Keterkaitan antara religi dengan tradisi pada tradisi” Selamatan Petik
Pari” yang dilaksanakan masyarakat Desa Petungsewu Kecamatan Wagir
Kabupaten Malang;
5. Perubahan dan pergeseran yang terjadi pada tradisi “Selamatan Petik Pari”
yang dilaksanakan di Desa Petungsewu Kecamatan Wagir Kabupaten
Malang
C. Kehadiran Peneliti
A. Kehadiran Peneliti
Dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai instrumen sekaligus
sebagai pengumpul data sehingga kehadiran peneliti di lapangan mutlak
diperlukan. Secara umum kehadiran peneliti ada dua tahapan yaitu:
1. Perencanaan
Didalam tahap perencanaan peneliti melakukan observasi awal untuk
mengidentifikasi sistem religi dari masyarakat Desa Petungsewu. Data yang
diperoleh adalah masyarakat Desa Petungsewu walau sudah memeluk agama
Islam, Hindu, dan Kristen tetapi keyakinan pada roh nenek moyang, demit,
lelembut, dan sang mbaurekso masih tertanam kuat. Hal ini tampak pada sesajen
pada tempat-tempat tertentu yang di anggap ditempati mahluk halus.
2. Pengumpulan data
Peneliti secara khusus mengumpulkan data dengan mewawancarai
informan dan melakukan observasi partisipan dalam pelaksanaan Tradisi
“Selamatan Petik Pari”. Pengumpulan data bersifat terbuka yakni kehadiran
peneliti diketahui statusnya sebagai peneliti oleh subyek penelitian.
D. Lokasi Penelitian
Pemilihan lokasi harus didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan
kemenarikan, keunikan, dan kesesuaian dengan topik yang dipilih (PedomanPenulisan
Karya Ilmiah, 2000: 24). Penelitian ini dilakukan di sekitar kawasan Desa
Petungsewu Kecamatan Wagir Kabupaten Malang,dengan pertimbangan bahwa
masyarakat Desa Petungsewu masih melaksanakan tradisi “Selamatan Petik Pari”
walaupun masyarakat telah memeluk agama Islam,Hindu,dan Kristen tapi
kepercayaan mereka akan akan adanya roh nenek moyang sebagai pelindung tetap
berdampingan dengan keyakinan agama.
E. Jenis, Sumber Data dan Metode Pengumpulan Data
Sumber data utama menurut Lofland (dalam Moleong, 2000: 1 12) dalam
penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan selebihnya adalah data tambahan
seperti dokumen dan lain-lain. Adapun jenis data dan sumber data dalam penelitian
ini adalah:
1 . Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari responden (dalam hal ini
informan)seperti tokoh adat, masyarakat desa, pemuda desa melalui teknik
wawancara dan pengamatan langsung (observasi) dari objek yang sedang
diteliti.
2. Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan kepustakaan yang
merupakan sumber-sumber tertulis berupa dokumen resmi, laporan-laporan
dan arsip-arsip yang berkaitan dengan penelitian. Adapun data, sumber data
dan metode untuk menggali informasi dalam penelitian ini tersaji dalam tabel
di bawah ini:
No
Rumusan masalah
Fokus
Sumber Data
Metode
pengumpulan
data
1
Asal usul tradisi
“Selamatan Petik
Pari”
-Data tentang
tradisi “Selamatan
Petik Pari”
-Cerita asal mula
tradisi”Selamatan
Petik Pari”
Bapak Tamat
(Tokoh adat agama
Islam)
Wawancara
Bapak Saimun
(Masyarakat desa
Petungsewu
beragama Islam
Wawancara
Bapak Daimun
(tokoh adat agama
Hindu)
Wawancara
Bapak Sutrisno
(Masyarakat desa
Petungsewu
beragama Hindu)
wawancara
2
Gambaran
pelaksanaan tradisi
“Selamatan Petik
Pari”
-Pelaku dan
pendukung dalam
Pelaksanaan tradisi
“Selamatan Petik
Pari” dan
-Perlengkapan
dalam
pelaksanaan
tradisi “Selamatan
Petik Pari”:
- Uborampe
- Tumpeng
- Encek
- Mantra
Bapak Daimun
(tokoh adat agama
Hindu)
Wawancara
Dokumentasi
-Bapak Tamat
(Tokoh adat
agama Islam)
Wawancara
Dokumentasi
Bapak Sutrisno
(Masyarakat Desa)
beragama Hindu)
Wawancara
Dokumentasi
Bapak
Saimun(Masyara
kat Desa
beragama Islam)
Wawamcara
Dokumentasi
F. Prosedur Pengumpulan Data
Adapun proses pengumpulan dalam penelitian ini dilakukan melalui
beberapa tahapan sebagai berikut:
1. Peneliti melakukan penelitian pendahuluan di Desa Petungsewu Kecamatan
Wagir Kabupaten Malang, untuk mengetahui situasi dan kondisi lokasi
3 Makna yang
terdapat dalam
tradisi “Selamatan
Petik Pari”
-Keyakinan yang
dianut
masyarakat Desa
Petungsewu
-Makna-makna
yang terdapat
dalam tradisi
“Selamatan Petik
Pari”
Bapak Tamat
(tokoh adat agama
Islam)
Wawancara
Bapak Saimun
(masyarakat Desa
Beragama Islam)
Wawancara
Bapak Daimun
(tokoh adat agama
Hindu)
Wawancara
Bapak Sutrisno
(Masyarakat desa
beragama Hindu)
Wawancara
4
Keterkaitan religi dan
tradisi pada tradisi
“Selamatan Petik
Pari”
-Contoh
keterkaitan antara
religi dan tradisi
Bapak Daimun
(tokoh adat agama
Hindu)
Wawancara
Bapak Tamat
(tokoh adat agama
Islam
Wawancara
Bapak Sutrisno
(Masyarakat Desa
beragama Hindu)
Wawancara
Bapak Saimun
(mayarakat Desa
beragama Islam
5
Perubahan dan
pergeseran dalam
tradisi “Selamatan
Petik Pari”
-Uborampe
(sesajian)
-Mantra/doa
-Sistem
teknologi/peralat
an
-Sistem sosial
-Sistem religi
Bapak Daimun
(tokoh adat agama
Hindu)
Wawancara
Bapak Tamat
(tokoh adat agama
Islam
Wawancara
penelitian serta mengetahui calon informan untuk mempermudah pencarian
data saat penelitian dilakukan.
2. Peneliti membuat jadwal kegiatan, menyiapkan instrumen penelitian dan
membuat rencana pelaksanaan penelitian agar penelitian dapat berjalan
dengan lancar dan sesuai rencana.
3. Peneliti melakukan wawancara ke Kantor Desa untuk mendapatkan
informasi lengkap tentang data yang diperlukan dalam penelitian
4. Peneliti melaksanakan penelitian yaitu observasi dan wawancara.
Wawancara dilaksanakan dengan melakukan pendekatan secara pribadi dan
kerja sama yang baik dengan para informan yang akan memberikan data-data
yang diperlukan peneliti. Dalam hal ini informan yang dimaksud adalah
Bapak Sutrisno selaku masyarakat Desa Petungsewu, Bapak Daimun dan
Bapak Tamat selaku Tokoh adat.Wawancara secara mendalam dilakukan
dengan suasana yang santai dan familiar sehingga subyek yang diwawancarai
merasa nyaman dan peneliti bisa menangkap makna dan intisari pembicaraan
saat wawancara. Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman
wawancara agar data atau informasi yang didapatkan valid dengan masalah
yang sedang diteliti.
5. Peneliti mengumpulkan seluruh data yang didapatkan di lapangan, baik itu
catatan hasil wawancara, catatan lapangan hasil observasi, dan foto hasil
dokumentasi.
Teknik yang digunakan dapat berupa kegiatan observasi, wawancara
dan dokumentasi.
1.Observasi Partisipatif.
Observasi partisipatif adalah teknik pengumpulan data dengan
melakukan pengamatan langsung terhadap subjek (partner penelitian) di mana
sehari-hari mereka berada dan biasa melakukan aktivitasnya maupun secara tidak
langsung untuk memperoleh data yang harus dikumpulkan dalam penelitian, yaitu
misalnya saja dengan pemanfaatan teknologi informasi menjadi ujung tombak
kegiatan observasi yang dilaksanakan, seperti pemanfaatan tape recorder dan
handy camera. Dalam penelitian ini, observasi partisipatif dilakukan untuk
memperoleh informasi tentang nilai-nilai Religius dalam tradisi “Selamatan Petik
Pari” di Desa Petungsewu KecamatanWagir, Kabupaten Malang. Observasi
dilakukan dengan cara melihat pelaksanaan secara langsung acara “Selamatan
Petik Pari” dari awal persiapan sampai akhir acara di daerah setempat.
Dari obsevasi awal yang telah dilakukan, informasi yang didapatkan
adalah terdapat tiga keyakinan yaitu Islam,Hindu,Kristen.Terdapat tempat
peribadatan yang jaraknya hanya 200 meter yaitu Mesjid untuk yang beragama
Islam,bagi yang beragama Hindu terdapat Pura,sedangkan untuk yang beragama
Kristen tidak ada tempat peribatan.Masyarakatnya sebagian besar bekerja sebagai
petani,terlihat dari sawah yang membentang sepanjang jalan didesa Petungsewu.
2.Wawancara Mendalam
Wawancara mendalam adalah teknik pengumpulan data yang
didasarkan pada percakapan secara intensif dengan suatu tujuan tertentu.
Wawancara dilakukan untuk mendapat berbagai informasi menyangkut masalah
yang diajukan dalam penelitian.
Wawancara dilakukan kepada responden yang dianggap menguasai
masalah penelitian. Wawancara dalam penelitian kualitatif ini sifatnya mendalam
karena ingin mengeksplorasi informasi secara holistic dan jelas dari informan.
Dalam proses wawancara ini didokumentasikan dalam bentuk catatan tertulis dan
audio visual, hal ini dilakukan untuk meningkatkan kebernilaian dari data yang
diperoleh. Dalam penelitian ini wawancara dilakukan terhadap tokoh adat agama
Hindu yaitu Bapak Daimun,Tokoh adat agama Islam yaitu Bapak
Tamat,masyarakat beragama Hindu dan yang beragama Islam,dalam wawancara
ini didapatkan data tentang prosesi pelaksanaan tradisi “Selamatan petik pari” dari
awal penyajian sesajian hingga akhir prosesi dilaksanakan,didapatkan juga data
mengenai makna-makna yang terdapat dalam tradisi, serta wawancara kepada
perangkat desa yaitu sekertaris desa untuk mendapatkan informasi tentang profil
desa.
3.Dokumentasi
Selain sumber manusia (human resources) melalui observasi dan
wawancara sumber lainnya sebagai sumber pendukung yaitu dokumen-dokumen
tertulis yang resmi ataupun tidak resmi. Teknik pengumpulan data yang juga
berperan besar dalam penelitian kualitatif naturalistik adalah dokumentasi.
Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan dokumen adalah catatan kejadian yang sudah lampau yang dinyatakan
dalam bentuk lisan, tulisan dan karya bentuk. Peneliti dapat memperoleh
informasi bukan dari orang sebagai narasumber, tetapi dapat memperoleh
informasi dari macam-macam sumber tertulis atau dari dokumen yang ada pada
informan dalam bentuk peninggalan budaya, karya seni dan karya pikir. Dokumen
yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa gambar peta desa, catatan hasil
wawancara, rekaman suara, foto prosesi awal pelaksanaan tradisi “Selamatan
Petik Pari”sampai akhir prosesi,Uborampe (Sesajian),Tumpeng,dan foto lain yang
berkaitan dengan tradisi ini.
G. Analisis Data
Proses analisis data dimulai dengan menelaah data yang diperoleh dari
beberapa sumber. Tahap ini merupakan tahap yang benar-benar menentukan
keberhasilan suatu penelitian. Analisis data merupakan proses mengatur urutan
data, mengorganisasikan dalam suatu pola ukuran untuk menjadikan suatu
kesimpulan. Pengecekan data yang diperoleh dari lapangan dengan landasan teori
yang berhubungan dengan tradisi “Selamatan Petik Pari”.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan menggunakan model interaktif sebagaimana yang dikemukakan oleh
Miles dan Huberman (1992: 20) bahwa dalam model interaktif terdapat tiga
tahapan yaitu :
1. Reduksi Data.
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, di cari tema dan polanya agar data yang
telah direduksi itu memberikan gambaran yang lebih jelas sehingga
mempermudah peneliti mengumpulkan data selanjutnya. Tahapan reduksi data
adalah:
a. Menyeleksi data yang relevan dengan permasalahan penelitian
selanjutnya mencari polanya.
b. Membuat kategori-kategori dan pengkodean sebagai berikut:
i. Kategori data tentang sistem religi masyarakat Desa Petungsewu
di beri kodeA
ii. Kategori data tentang pelaksanaan tradisi “Selamatan Petik Pari”
diberi kode B
iii. Kategori data tentang makna tradisi “Selamatan Petik Pari” di
beri kode C
iv. Kategori data tentang keterkaitan religi dengan tradisi diberi
kode D
v. Kategori data tentang perubahan tradisi diberi kode E
2. Display Data.
Display data atau penyajian data merupakan suatu upaya untuk
menggabungkan sekumpulan informasi yang tersusun sehingga memberikan
kemungkinan adanya suatu penarikan kesimpulan.
Display data atau penyajian data membantu penelitian untuk dapat
melihat gambaran keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari data hasil
penelitian, dalam hal ini peneliti menyusun data yang terkumpul yang telah
dianggap valid atau benar kemudian dilakukan penyusunan sesuai dengan
rumusan masalah dalam penelitian. Urutan data tersebut sebagai berikut :
a. Bagaimana asal-usul tradisi “Selamatan Petik Pari” ?
b. Bagaimana pelaksanaan tradisi “Selamatan Petik Pari ?
c. Makna yang terdapat dalam tradisi “Selamatan Petik Pari”?
d. Bagaimana Keterkaitan antara religi dengan tradisi “Selamatan Petik Pari ?
e. Bagaimana Perubahan dan pergeseran pada tradisi “Selamatan Petik Pari ?
3. Verifikasi data atau menarik kesimpulan.
(Miles dan Huberman, 1992: 20) menyatakan bahwa, bagan teknik
analisis data, sebagai berikut:
Gambar 3.1 Model Analisis data kualitatif
(Miles dan Huberman, 1992: 20)
Keterangan :
1. Tahap pengumpulan data yaitu proses memasuki lingkungan penelitian dan
melakukan pengumpulan data penelitian.
2. Tahap reduksi data yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul
dari catatan-catatan tertulis dari lapangan.
Penyajian
Data Pengumpulan
Data
Kesimpulan-
kesimpulan: Penarikan /
verifikasi
Reduksi
Data
3. Tahap penyajian data yaitu penyajian informasi untuk memberikan
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
4. Tahap penarikan kesimpulan / verifikasi yaitu penarikan kesimpulan dari
data yang telah dianalisis.
H. Pengecekan Keabsahan Data
Suatu penelitian harus mengandung nilai terpercaya dan peneliti harus
mampu mempertanggungjawabkan penelitiannya dan meyakinkan kepada
khalayak bahwa kebenaran hasil penelitiannya dapat dipertanggungjawabkan.
Mempertanggungjawabkan keabsahan suatu penelitian dapat ditelusuri dari cara-
cara memperoleh kepercayaan akan kredibilitas, transferabilitas, dependabilitas
dan conformabilitas.
1. Kredibilitas (validitas internal).
Keabsahan atas hasil-hasil penelitian dilakukan melalui :
(a) Meningkatkan kualitas keterlibatan peneliti dalam kegiatan di lapangan.
(b) Pengamatan secara terus-menerus.
(c) Pelibatan teman sejawat untuk berdiskusi, memberikan masukan dan kritik
dalam proses penelitian.
(d) Menggunakan bahan referensi untuk meningkatkan nilai kepercayaan akan
kebenaran data yang diperoleh, dalam bentuk rekaman, tulisan, copy-an.
(e) Pengecekan terhadap hasil-hasil yang diperoleh guna perbaikan dan tambahan
dengan kemungkinan kekeliruan atau kesalahan dalam memberikan data yang
dibutuhkan peneliti.
2. Transferabilitas.
Bahwa hasil penelitian yang didapatkan dapat diaplikasikan oleh
pemakai penelitian, penelitian ini memperoleh tingkat yang tinggi bila para
pembaca laporan memperoleh gambaran dan pemahaman yang jelas tentang
konteks dan fokus penelitian.
3. Triangulasi.
Triangulasi adalah pengecekan data dari berbagai sumber dengan
berbagai cara, dan berbagai waktu. Praktik triangulasi tergambar dari kegiatan
peneliti yang bertanya pada informan A dan mengklarifikasikan dengan informan
B serta mengeksplorasikan pada informan C. Misalnya, wawancara dengan A
tentang tradisi “Selamatan Petik Pari”, dikonfirmasi kepada Tokoh adat atau
perangkat desa lalu ke masyarakat lainnya sehingga diperoleh data yang relative
sama atau tidak ada lagi data / informasi baru yang diperoleh.
4. Dependabilitas dan Conformabilitas.
Dilakukan dengan audit trail yaitu berupa komunikasi dengan
pembimbing dan dengan pakar lain dalam bidangnya guna membicarakan
permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam penelitian berkaitan dengan
data yang harus dikumpulkan.
I. Tahap-Tahap Penelitian
Dalam prosedur penelitian tentang nilai-nilai religius dalam tradisi
“Selamatan Petik Pari” di Desa Petungsewu KecamatanWagir Kabupaten Malang
dapat dibagi dalam beberapa tahap antara lain :
a. Mencari informasi tentang tradisi “Selamatan Petik Pari”.
Informasi yang dapat diperoleh dari berbagai sumber yang sesuai
dengan pokok permasalah antara lain : melalui studi pustaka, wawancara
mendalam dan observasi partisipatif.
b. Menentukan topik dan rumusan masalah.
Setelah data-data sementara terkumpul dan ditemukan beberapa pokok
permasalahan yang dicari untuk dikaji maka tahap selanjutnya adalah
merumuskan masalah yang akan diteliti dari judul penelitian.
c. Pengumpulan data.
Dalam pelaksanaan penelitian ini, yang dilakukan yaitu melaksanakan
kegiatan penelitian ke lokasi yang telah ditentukan. Beberapa yang dilakukan
adalah :
1. Melakukan eksplorasi atau penjajakan dengan mendatangi Desa
Petungsewu tempat diadakannya prosesi tradisi “Selamatan Petik Pari”.
2. Mendatangi para sumber yang terkait,seperti tokoh adat baik yang
beragama Hindu maupun yang beragama Islam,masyarakat Desa
Petungsewu yang beragama Hindu dan yang beragama Islam,perangkat
Desa Petungsewu.
3. Melakukan observasi dan mendokumentasikan data-data yang diperoleh.
4. Melakukan penyusunan laporan.
Setelah data-data dari lapangan terkumpul, maka tahap selanjutnya
adalah menguji kebenaran atas data-data yang diperoleh dengan studi pustaka
yang berkaitan dengan rumusan masalah. Setelah itu tahap selanjutnya adalah
penyusunan laporan.
BAB IV
PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Paparan Data.
Pada bab ini akan diuraikan mengenai paparan data penelitian yang
mencakup beberapa hal, yaitu (1) Gambaran umum Desa Petungsewu Kecamatan
Wagir Kabupaten Malang (2) Struktur sosial budaya masyarakat Desa
Petungsewu Kecamatan Wagir Kabupaten Malang, (3) Gambaran pelaksanaan
tradisi “Selamatan Petik Pari”,(4) Makna yang terdapat dalam tradisi “Selamatan
Petik Pari” (5) Keterkaitan antara religi dengan tradisi “Selamatan Petik Pari”, (6)
Pergeseran dan perubahan dalam tradisi “Selamatan Petik Pari”.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti telah memperoleh
dan mengumpulkan data-data berkaitan dengan rumusan masalah yang ada dalam
penelitian ini.
1. Gambaran Umum Desa Petungsewu
a. Keadaan Geografis
Petungsewu merupakan salah satu desa yang terletak di wilayah
Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, Propinsi Jawa Timur. Desa ini berbatasan
dengan Desa Pandanrejo (Kecamatan Wagir) di sebelah timur, Desa Sumbersuko
(Kecamatan Wagir) di sebelah selatan, Gunung Kawi (Hutan), di sebelah barat,
dan Desa Sukodadi (KecamatanWagir) di sebelah utara.
Gambar 4.1 Peta Desa Petungsewu
Desa dengan luas 504,85 hektar ini bukanlah desa yang terpencil
letaknya. Jarak Desa Petungsewu dengan kantor Kecamatan Wagir yang ada di
sebelah barat hanya sekitar 5 km.Kondisi jalan yang menghubungkan Malang ke
Desa Petungsewu cukup baik. Jalan sepanjang 5 km itu telah sepenuhnya berlapis
aspal, masing-masing di kiri-kanan 1 meter merupakan bahu jalan yang ditanami
pepohonan.
Angkutan umum yang bisa digunakan dari Malang (kota) menuju
Petungsewu adalah angkudes dan pick-up. Dari Malang seseorang dapat mencari
angkudes dengan huruf yang sesuai dengan jurusan asal, dengan pemberhentian
terakhir di Pandanrejo.
Desa Petungsewu bergelombang dengan ketinggian tempat antara 706
meter di atas permukaan laut. Makin ke timur yaitu ke arah kota Malang
medannya makin rendah. Jika dibandingkan dengan kota Malang yang
ketinggiannya rata-rata 10 meter, maka Petungsewu berada pada tempat yang
tinggi. Oleh karena itu, jalan dari kota Malang ke Desa Petungsewu tampak
menanjak cukup tajam.
Menurut informasi pegawai kantor desa setempat, jumlah curah hujan di
daerah ini rata-rata adalah sekitar 2.156 mm/ tahun. Curah hujan paling banyak
terjadi pada bulan September sampai bulan Januari. Pada saat itu dimanfaatkan
petani untuk mengolah tanahnya. Kemudian pada bulan Maret sampai Agustus,
hujan jarang turun. Suhu udara setiap hari rata-rata berkisar antara 28ºC sampai
31ºC. Namun, suhu malam hari kadang-kadang mencapai 23ºC, hingga terasa
dingin. Pada siang hari suhu paling tinggi hanya mencapai 33ºC. Dengan
lingkungan alam yang seperti ini, sebagian besar tanah Petungsewu sangat cocok
untuk dibudidayakan sebagai areal persawahan dan kebun campuran.
b. Keadaan Demografi
1. Jumlah Penduduk
Pada tahun 2008, jumlah penduduk Desa Petungsewu sebanyak 4.082
jiwa. Selanjutnya, jumlah penduduk tahun 2009 sebanyak 4131 jiwa, sedangkan
tahun 2010 ini masyarakat Desa Petungsewu masih melaksanakan sensus
penduduk. Dari data jumlah penduduk berdasarkan gender tahun 2008-2009 ini,
jumlah penduduk Desa Petungsewu bertambah ± 49 jiwa (Tabel 4.1)
Tabel 4. 1 Jumlah Penduduk Desa Petungsewu Berdasarkan Gender
Berdasarkan umur dan jenis kelaminnya, penduduk desa ini tergolong
merata pada setiap golongan umur. Penduduk antara umur 0-12 bulan berjumlah
sekitar 77 jiwa, umur antara 13 bulan-4 tahun berjumlah sekitar 234 jiwa, umur
antara 5-6 tahun berjumlah 95 jiwa, umur antara 7-12 tahun berjumlah 402 jiwa,
umur antara 13-15 tahun berjumlah sekitar 225 jiwa, umur antara 16-18 tahun
berjumlah sekitar 213 jiwa, umur antara 19-25 tahun berjumlah sekitar 546 jiwa,
umur antara 26-35 tahun berjumlah 760 jiwa, umur antara 36-45 tahun berjumlah
sekitar 684 jiwa, umur antara 46-50 tahun berjumlah sekitar 207 jiwa, umur antara
51-60 tahun berjumlah sekitar 635 jiwa.
2. Tingkat Pendidikan Penduduk
Pada tahun 2009, pendidikan formal penduduk Desa Petungsewu
mengalami kemajuan yang cukup baik dibandingkan dengan tahun-tahun
sebelumnya.Jumlah penduduk usia 10 tahun keatas yang buta huruf pada tahun
2009 berjumlah 31 jiwa, Jumlah penduduk tidak tamat SD/ sederajat pada tahun
2009 berjumlah 192 jiwa , jumlah penduduk tamat SD/ sederajat pada tahun 2009
berjumlah 536 jiwa, jumlah penduduk tamat SLTP/ sederajat pada tahun 2009
berjumlah 207 jiwa, jumlah penduduk SLTA/ sederajat pada tahun 2009berjumlah
45 jiwa. Penduduk yang tamat pendidikan tingkat perguruan tinggi (S1, D1, D2,
D3 ) pada tahun 2009 berjumlah 40 jiwa. Dalam hal ini tingkat pendidikan di
Desa Petungsewu mengalami kemajuan yang pesat dari setiap tahunnya.
Keterangan
Jumlah
TH. 2009
Jumlah Penduduk 4131
Jumlah Penduduk Laki-laki 2121
Jumlah Penduduk Perempuan 2010
Jumlah Kepala Keluarga 1250
c. Stuktur Pemerintahan Dan Kelembagaan Desa Petungsewu
Kepemimpinan formal masyarakat Desa Petungsewu dipimpin oleh
seorang Kepala Desa yang oleh masyarakat disebut dengan nama Petinggi,
sedangkan untuk sekretaris desa biasa disebut dengan Carik.Jabatan Petinggi
diperoleh melalui pemilihan Petinggi. Dalam mengatur masyarakat Desa
Petungsewu, Petinggi menetapkan peraturan yang telah dibuatnya bersama-sama
dengan Badan Perwakilan Desa. Untuk membantu Petinggi menjalankan
pemerintahan desa, maka diangkatlah Kepala Urusan yang membawahi bidang-
bidang tertentu. Desa Petungsewu memiliki lima Kepala Urusan yaitu Kepala
Urusan Pemerintahan (Kaur Pemerintahan), Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat
(Kaur Kesra), Kepala Urusan Umum (Kaur Umum), Kepala Urusan
Pembangunan (Kaur Pembangunan) dan Kepala Urusan Keuangan (Kaur
Keuangan). Untuk pelaksanaan peraturan desa secara teknis di lapangan, maka
kewenangannya berada di tangan Kepala Dusun dengan dibantu oleh masing-
masing Ketua RT sehingga mereka dapat langsung berinteraksi dengan
masyarakat.
Mengenai bentuk kepemimpinan nonformal, diakui keberadaannya oleh
masyarakat Desa Petungsewu. Peran ini dipercayakan penuh kepada tokoh adat
masing-masing agama. Tokoh adat agama Hindu biasa disebut Pini
Sepuh,sedangkan untuk tokoh adat agama Islam biasa disebut Ustad.Adapun
wewenang yang dimiliki oleh tokoh adat misalnya memimpin ritual untuk
berkomunikasi dengan pemilik kekuatan supranatural yang sangat dihormati
seperti roh leluhur dan para makhluk gaib. Selain itu fungsi Pini Sepuh adalah
sebagai media masyarakat untuk berkonsultasi mengenai masalah sosial
kemasyarakatan seperti perkawinan, pertanian dan pengobatan.
Terdapat kegiatan dalam rangka pemberdayaan dan kesejahteraan
masyarakat contohnya setiap satu tahun sekali diadakan pertemuan rutin antara
masyarakat setempat dengan para tokoh adat dan perangkat desa,dalam pertemuan
ini dibahas masalah-masalah yang berkaitan dengan Realisasi Rencana
Pembangunan Tahunan Desa(RPTD),Realisasi Peraturan Desa,Posyandu, Karang
Taruna dan hal-hal lain yang berkaitan dengan perkembangan desa.
2. Sturktur Sosial Masyarakat Desa Petungsewu
a. Kondisi Sosial-Ekonomi
Desa Petungsewu merupakan dataran yang memiliki luas tanah datar
sekitar 637 ha dan pegunungan sekitar 47 ha, tingkat kesuburan tanahnya sangat
subur yaitu sekitar 91 ha, subur 151 ha, sedang 311 ha.Sehingga sangat cocok
untuk sektor pertanian. Selain itu, memiliki 2 jenis potensi irigasi yang dimiliki
yaitu sungai dan mata air yang digunakan untuk mendukung pertanian. Hasil
perkebunannya juga meningkat seperti cengkeh, kacang tanah, jagung, ubi kayu,
terong, Lombok,tanaman lainnya. Ketersediaan air di Desa Petungsewu cukup
untuk budidaya dalam bidang pertanian/ peternakannya.
Penduduk Desa Petungsewu merupakan masyarakat pertanian yang
bersikap terbuka terhadap perkembangan teknologi dan informasi. Dalam
kehidupan sehari-hari mereka sudah menggunakan peralatan elektronika dan
berteknologi canggih seperti hand phone, antena parabola dan mesin penyemprot
hama.
(Gambar 4.2 Sawah penduduk yang membentang sepanjang jalan)
Mata pencaharian penduduk Desa Petungsewu sebagian besar bekerja
sebagai petani yang berjumlah sekitar 733 jiwa, ternak berjumlah sekitar 131 jiwa,
industri kecil/ kerajinan berjumlah 101 jiwa dan dalam bidang jasa/ perdagangan
berjumlah sekitar 177 jiwa (Tabel 4.2). Dalam kenyataanya, warga desa ini
memang tampak rajin bekerja. Hampir seluruh warga bekerja semuanya sibuk
dengan kegiatannya masing-masing.
Tabel 4.2 Struktur Mata Pencaharian Penduduk
No. Keterangan Jumlah
Orang
1. Petani 733
2. Ternak 131
3. Industri kecil / Kerajinan 101
4. Jasa / Perdagangan 177
b.Kondisi Sosial-Budaya
Masyarakat Desa Petungsewu merupakan masyarakat yang memegang
teguh ajaran yang telah nenek moyang mereka berikan, hal ini terbukti dengan
selalu diadakannya upacara adat yang diikuti semua masyarakat.Mereka bersama-
sama menjalankan tradisi dan saling bergotong royong dalam melakukan kegiatan
yang berkaitan dengan desa mereka.
Kesenian yang berkembang di Desa Petungsewu adalah kesenian
Barongsai, Leangleong, dan Pencak silat “Rukun Santoso”. Kesenian barongsai
merupakan seni tari menggunakan boneka menyerupai naga yang berasal dari
cina. Kesenian barongsai dilestarikan dan dikembangkan oleh sekelompok
pemuda yang bergabung didalam Grup Kesenian Barongsai “Singo Rejo” yang
dipimpin oleh Bapak Sutrisno. Adapun jumlah anggota dari grup kesenian Singo
Rejo ini ada 20 orang yang semuanya terdiri pria muda.
Kesenian ini dipentaskan jika ada masyarakat sedang melangsungkan
acara khitanan atau pernikahan,dan ketika ada para wakil rakyat yang berkunjung
ke desa mereka.Sedangkan untuk Kesenian Leangleong dipentaskan ketika acara
menyambut kemerdekaan Indonesia,Leangleong adalah sejenis naga-nagaan yang
diarak mengelilingi dan dipercaya bisa membawa aura negatife yang terdapat
didesa,sedangkan untuk kesenian Pencak silat mereka berlatih satu minggu sekali
di kediaman Bapak Daimun.
Masyarakat Desa Petungsewu selalu mengadakan kegiatan secara
bergotong royong,misalnya saja dalam kegiatan Bersih Desa,menyambut hari
besar keagamaan,hari kemerdekaan,upacara adat yang berkaitan dengan pertanian
maupun peternakan.Kehidupan sosial di Desa Petungsewu berjalan baik,terjalin
komunikasi yang baik antara para sesepuh desa dan pemuda desa,kerukunan pun
terjalin dengan baik.
c. Tradisi dan Keyakinan Masyarakat Desa Petungsewu
Agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat di Desa Petungsewu
adalah Hindu, Islam dan Kristen. Untuk melaksanakan ibadahnya maka
disediakan beberapa sarana peribadatan yaitu pura, masjid dan langgar. Setiap hari
berkumandang adzan pada saat memasuki waktu shalat. Tidak semua penduduk
menjalankan ibadah shalat secara disiplin, walaupun mereka mengaku beragama
Islam. Hanya beberapa orang saja dengan berpakaian jubah yang rajin shalat
berjamaah di Masjid Jami’ Al-Karim dan Masjid Al-Ikhlas adalah salah satu
Masjid di Desa Petungsewu yang berada di Dusun Codo. Sementara itu, umat
Hindu rutin setiap sore hari mulai pukul 18.00 WIB beribadah di Pura yang
terdekat dengan tempat tinggalnya. Rangkaian peribadatan yang dilakukan oleh
umat Hindu di Pura Indra khila selalu didahului dengan melantunkan tembang
pujian untuk Sang Hyang Widhi Wasa yang dilanjutkan dengan Puja Tri Sandhya
dan pembagian bija. Bija adalah beras dan percikan air suci yang dibagikan oleh
pemangku persembahyangan kepada umat setelah sembahyang selesai. Meskipun
ada beberapa penduduk yang beragama Kristen, namun di Desa Petungsewu tidak
terdapat gereja.
Agama Islam, Hindu dan Kristen berkembang berdampingan dengan
kepercayaan masyarakat Petungsewu yaitu kepercayaan kepada roh nenek
moyang, dedemit, sang mbaurekso dan kepercayaan pada tempat-tempat yang
dianggap keramat. Oleh karena itu masyarakat Desa Petungsewu selalu
melaksanakan upacara adat secara berkala yang dipimpin oleh seorang tokoh adat
yang sangat dihormati dan disegani.Adapun wewenang tokoh adat adalah
memimpin segala hal yang berhubungan dengan adat dan tempat bagi warga
untuk berkonsultasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan ritual-ritual tertentu.
Masyarakat Desa Petungsewu masih menjalankan tradisi-tradisi yang
telah ada sejak zaman nenek moyang mereka sendiri,baik dalam kelahiran
anak,perkawinan,sampai tradisi dalam kematian masih memakai tradisi-tradisi
Jawa.Masyarakat Desa Petungsewu masih melakukan ritual-ritual yang bersifat
magis,misalnya pada malam jumat legi mereka memberikan sesaji dikuburan –
kuburan keluarga yang dihormati,mereka menganggap roh baik akan menjaga
desa mereka jika mereka memberikan sesajian pada malam jumat legi,karena
sebagian besar masyarakat Desa Petungsewu bekerja sebagai petani maka tradisi
selamatan yang berkaitan dengan lahan pertanian sangat penting didesa ini,
sebagai contoh diadakannya tradisi “Selamatan Petik Pari” dengan memberikan
sesajian kepada Dewi Sri dengan membakar ikatan jerami dimana didalamnya
sudah diletakan kemenyan.
Yang menarik mereka menjalankan tradisi ini dengan keyakinan yang
berbeda.Masyarakat Desa Petungsewu yang memiliki dua keyakinan mayoritas
yang berbeda yaitu Hindu dan Islam,tetapi mereka tetap hidup harmonis dengan
memegang teguh toleransi,tidak ada konflik-konflik yang berkaitan dengan
perbedaan itu,mereka terlihat rukun,bergotong royong melakukan kegiatan untuk
kemajuan desa mereka.Contoh-contoh lain kerukunan antar umat beragama di
Desa Petungsewu adalah keberadaan tempat ibadah umat Islam (Masjid) dan
tempat ibadah umat Hindu ( Pura) yang jaraknya hanya 200 m.Jika masyarakat
Islam sedang melaksanakan shalat maka masyarakat yang beragama Hindu
menghormati dengan tidak membuat keramaian didekat mesjid tersebut,begitupun
sebaliknya jika umat Hindu sedang melakukan ibadah NYEPI maka yang
beragama Islam akan menghormati dengan tidak melakukan kegiatan yang
menganggu konsentrasi mereka yang sedang melakukan ibadah tersebut.
(Gambar 4.3 Pura dan Masjid yang jaraknya hanya 200 m )
Kegiatan religi bagi yang beragama Islam adalah mengadakan
pengajian ibu-ibu pada setiap malam jumat,dan untuk bapak-bapak selalu
diadakan hajatan baik dalam menyambut hari besar agama islam maupun yang
berkaitan dengan pertanian dan peternakan.Sedangkan untuk yang beragama
Hindu setiap minggu pagi selalu mengadakan pertemuan dengan tokoh adat dan
melakukan kegiatan keagamaan yang disebut Pasraman,yaitu membaca puji-
pujian kepada Hyang Widhi.
Toleransi yang begitu tinggi ini juga mereka perlihatkan ketika mereka
bersama-sama melakukan tradisi “Selamatan Petik Pari”, jika yang mempunyai
hajat adalah seseorang yang beragama Islam maka doa yang dipakai adalah doa
selamat yang ditujukan kepada Yang Maha Esa,tetapi masyarakat yang beragama
Hindu tetap ikut berpartisipasi dalam tradisi ini,begitupun sebaliknya.Karena
mereka bersama-sama menganggap bahwa tradisi yang telah nenek moyang
mereka jalankan harus tetap mereka lakukan untuk keselamatan bersama.
3. Tradisi “Selamatan Petik Pari” yang dilaksanakan di Desa Petungsewu
Kecamatan Wagir Kabupaten Malang
Tradisi “Selamatan Petik Pari” telah ada dari zaman nenek
moyang.Masyarakat Desa Petungsewu yang mayoritas bekerja sebagai petani
telah lama menjalankan tradisi ini,dari keterangan Bapak Daimun selaku sesepuh
desa dan tokoh adat agama Hindu menyatakan bahwa tradisi ini telah ada dari
nenek moyang Orang Jawa yang percaya adanya dewi penjaga padi yaitu Dewi
Sri.Salah satu sesajian yang dianggap penting bagi masyarakat Petungsewu adalah
sesajian dalam membuka lahan pertanian sampai masa panen tiba. Masyarakat
desa ini mempercayai adanya Dewi Sri yang menjaga tanaman agar tidak terkena
hama padi dan mendapatkan hasil panen berlimpah.
Petik Pari sering dikaitkan dengan dengan ucapan rasa syukur atas
kebaikan Dewi Sri yang dianggap Dewi Padi, Dalam mitos Dewi Sri dianggap
sebagai orang pertama yang menanam padi di Jawa.
Menurut Bapak Daimun selaku tokoh adat agama Hindu Pada zaman
dahulu kala, penghormatan kepada Dewi Sri Pada merambah sampai kerumah-
rumah Orang Jawa. Oleh karena itu, pada setiap rumah petani, hampir selalu ada
ruangan khusus yang digunakan untuk meletakkan seikat padi, tebu dan kelapa
sebagai tanda penghormatan kepada Dewi Sri. Barang-barang itu mereka yakini
sebagai simbol agar mereka mendapatkan kemakmuran dan rezeki yang
melimpah dalam kehidupan dan pekerjaan.
Bapak Tamat selaku tokoh masyarakat Islam menyatakan:
Tradisi ini telah ada dari zaman nenek moyang dulu,tujuannya juga sama
yaitu membuat tanaman padi jadi bagus,hasil panen melimpah,dan tidak
ada hama yang menyerang padi.hanya sekarang sudah ada perubahan
dalam tatacara pelaksanaan tradisi tersebut.tapi doa nya tetap sama yaitu
doa selamat. (wawancara, 30 Oktober 2010, 12.30 WIB, di rumah bapak
tamat)
Bapak Samain selaku Masyarakat beragama Islam mengemukakan:
Tradisi “Selamatan Petik Pari” ini sudah menjadi bagian dari masyarakat
Desa Petungsewu,karena mayoritas masyarakat adalah petani,dan mereka
menyakini bahwa tanaman padi tersebut ada yang menjaganya yaitu
seorang dewi yang bernama Dewi Sri,sebenarnya sejak membuka lahan
pertanian sudah ada tradisi selamatannya hingga menjelang
panen.tujuannya untuk menghormati Dewi Sri yang telah menjaga lahan
pertanian mereka,dan agar panen padi bisa berlimpah. (wawancara,1
November 2010, 10.00 WIB, dirumah Bapak Saimun).
Bapak Sutrisno selaku Masyarakat beragama Hindu mengemukakan :
Tradisi ini telah ada dari zaman nenek moyangnya Orang Jawa, jadi
sekarang kami hanya menjalankan apa yang telah mereka lakukan karena
yang mereka lakukan bisa membawa keselamatan kepada anak cucu
kami.(wawancara, 5 november 2010,dirumah Bapak Sutrisno)
a. Uborampe Selamatan Petik Pari
(Gambar 4.4 uborampe)
Sebelum melaksanakan upacara selamatan disawah,hal pertama yang
dilakukan oleh para ibu-ibu adalah menyiapkan sesajian dirumah yang melakukan
hajat.Sesajian yang dimasyarakat Desa Petungsewu lebih dikenal dengan nama
uborampe yang didalam sesajian tersebut berisikan kaca, sisir rambut, benang,
sehelai kain kafan, pisang 2 sisir, kemenyan,bunga warna warni, air putih dalam
botol berbentuk kendi kecil,pisang 2 sisir, dan seikat jerami kering yang
dibungkus daun pisang.
Selain menyiapkan sesajian para ibunya menyiapkan nasi tumpeng
beserta lauk pauknya yang masyarakat Desa Petungsewu menyebutnya
takir,didalam takir tersebut terdapat berbagai macam lauk pauk dan aneka kue
berwarna warni yaitu ayam goreng, urap-urap, sambel goreng, perkedel, tempe,
mie goreng,ayam goreng,tahu bumbu bali,acar timun,seta kue-kue tradisional
buatan sendiri seperti nogosari, pisang goreng, kue bugis, serta sebutir telur.
(Gambar 4.5 Tumpeng/takir)
Semua makanan ini diletakan diatas tempat yang masyarakat Desa
Petungsewu menyebutnya encek yaitu anyaman dari bambu.
(Gambar 4.6 sesajian diletakan diatas encek)
Berdasarkan hasil wawancara pada pernyataan di atas, peneliti
menyimpulkan asal-usul tradisi “Selamatan Petik Pari” adalah tradisi yang telah
ada dari zaman nenek moyang,dan telah turun temurun dilakukan masyarakat
petani Desa Petungsewu. Pengaruh kebudayaan Hindu di Desa Petungsewu ini
menambah pembendaharaan simbolisme dan pemujaan kepada Dewa-Dewi
hindu,hasil asimilasi inilah yang melahirkan Dewi Sri, tokoh simbolik masyarakat
petani Jawa,dan tradisi “Selamatan Petik Pari” ini ditujukan khusus kepada Dewi
Sri agar melindungi tanaman padinya terhadap gangguan-gangguan hama
tanaman padi,dan mendapatkan hasil panen yang berlimpah, selain itu tujuan
diadakan tradisi “Selamatan Petik Pari” ini ditujukan untuk mereka yang berjasa
membantu dalam pengerjaan sawahnya.
b.Pelaksanaan Tradisi “Selamatan Petik Pari” di Desa Petungsewu
Kecamatan Wagir Kabupaten Malang
Salah seorang warga Desa Petungsewu menggelar acara tradisi
“Selamatan Petik Pari” sebagai rasa syukur atas panen yang melimpah tahun
ini.Ritual ini dipimpin oleh bapak Daimun selaku tokoh adat masyarakat Hindu,
dilengkapi nasi tumpeng dan aneka sesajian.
(Gambar 4.7 Seorang warga membawa perlengkapan sesajian dan
Encek ke sawah yang hendak panen)
Upacara diawali dengan iring-iringan warga yang membawa sesajen
yang terdiri dari nasi tumpeng beserta lauk-pauknya, bubur merah putih dan alat-
alat sesajian seperti sisir rambut, kaca, benang, ani-ani (pemotong padi
tradisional), sehelai kain kafan, pisang dua sisir,kemenyan dan jerami kering yang
dibungkus daun pisang. Sesajian dibawa ketepi sawah yang siap panen.
(Gambar 4.8 Tokoh adat dan seorang warga membakar kemenyan
sambil membaca mantra disawah yang hendak panen)
Bapak Daimun selaku tokoh adat menyambut rombongan pembawa
sesaji dengan ritual khusus sesajen dijejer dan dibacakan mantra-mantra dan doa –
doa selamat. Setelah itu seseorang didaulat membakar dupa dan kemenyan,
kemudian sambil membaca doa-doa bapak Daimun memotong seikat padi yang
siap panen lalu disisipkan disela-sela sesajian yang berada didalam
uborampe,sebotol air putih disiramkan dipojok sudut lahan yang akan dipanen
smbil membacakan mantra dan doa-doa.
Dipenghujung ritual,takir yang berisi makanan lengkap beserta lauk
pauknya dibagikan merata kepada mereka yang bekerja dalam penggarapan dan
mereka yang datang pada acara “Selamatan petik pari” ini.
(Gambar 4.9 Padi yang telah dipotong dibawa kerumah untuk
didoakan kembali).
Padi yang telah dipotong dengan ani-ani dan diikat dengan benang dan
sisa takir dibawa pulang selanjutnya diadakan hajatan lagi dengan membaca doa-
doa selamat dihadapan takir,setelah itu takir boleh dimakan oleh orang-orang
yang membantu dalam pelaksanaan hajatan.
Bapak Daimun selaku tokoh masyarakat Hindu menyatakan:
Sebelum melaksanakan selamatan petik pari pertama yang harus
disiapkan adalah sesajian yang terdiri dari berbagai macam benda yang
telah ditentukan seperti kaca, sisir rambut, benang untuk mengikat padi,
ani-ani untuk memotong padi, sehelai kain kafan, pisang dua sisir,
kemenyan,dan seikat jerami yang dibungkus daun pisang. Selain itu
disiapkan juga tumpeng atau takir yang berisi makanan beserta lauk
pauknya dan aneka kue-kue tradisional yang dibuat sendiri seperti ayam
goreng, urap-urap, tempe, perkedel,sambal goreng,pisang goreng,
nogosari, kue bugis (wawancara 30 oktober 2010, 15.30 WIB di rumah
bapak Daimun)
1. Mantra dan doa-doa
Mantra dan doa –doa yang
digunakan dalam tradisi “Selamatan petik
pari” disesuaikan dengan keyakinan yang mempunyai hajat.dikarenakan desa
Petungsewu mempunyai dua agama mayoritas yaitu Islam dan Hindu, maka doa
dan mantra-mantra yang digunakan dalam tradisi ini disesuaikan dengan agama
yang mempunyai hajat.kalau beragama islam doa yang digunakan adalah doa
selamat, sedangkan doa untuk yang beragama hindu adalah doa kepada hyang
widhi, meskipun berbeda dalam penyampaian doa tetapi mempunyai tujuan yang
sama yaitu untuk mendapatkan hasil pertanian yang baik dan menghormati Dewi
Sri sebagai dewi yang menjaga tanaman padi mereka.
BapakTamat selaku tokoh masyarakat islam menyatakan:
Doa yang digunakan dalam tradisi “selamatan petik pari bagi ynag
beragama islam adalah doa selamat. Doa ini ditujukan kepada yang maha
kuasa agar panen berlimpah dan ditujukan untuk mereka yang membantu
dalam pengerjaan menanam padi hingga panen.
Doa selamat dalam tradisi “selamatan petik pari” menurut agama
islam
Illahatiratil nabil mustopa waala alihi wasabihi waayani walmursalin
walhamdulillah hissabil alamin.
Allahhumma fin lil mukminina wal ahya inmukminat wal muslimin wal
mukminat wal ahya inminhum wal anwat.
Allahhumma innanasaluka salaamatan fiddin fidunya walakhirah
walfiadatun fil rezkyi,walafiadan fil zakat,warahmatan
indalmaut,waltaubatan rabbal maut, wamahfirratan ba’dan maut,walfa
indahiraf wasalamun alal mustaqim
Walhamdulillah hirabbilalamin
Amin,,,,,,,
Makna dari doa selamat ini adalah:
Meminta keselamatan dalam pelaksanaan panen,dan rasaa syukur karena
diberikan hasil panen yang terhindar dari hama padi.
Bapak Daimun selaku tokoh masyarakat hindu menyatakan:
Doa yang di gunakan dalam tradisi ini adalah doa meminta kepada Hyang
Widhi dan Dewi Sri sebagai Dewi kesuburan (wawancara 1 november
2010, 10.00 WIB di rumah bapak Daimun didesa petungsewu ).
Doa selamatan petik pari menurut agama Hindu
Niat tingsung metik mbok Dewi Seri, tak petik sak uli cukul rang uli,sesek
ngarep sesek mburi,mandel ngarep mandel mburi,mandel sangking
kersaning Hyang widhi
Om angkang kasul kayanamah swaha
Om Swanasti swasti sarwa,suka, pradana yan namanah swaha
Om Anugerah Manoharah
Dewa data nugrahakam, hiyan ca-nam sarwa bhujanam, namu sarwa
nugrahakam
Dewa- Dewi maha sidhi, yadmi, ka tamu latidam
Laksmi sidica dirgayah mirwigenam suka wirditel
Om Gring anugerahar cana ya namu namal suaha
Makna dari doa tersebut:
Meminta kepada Hyang widhi atau yang maha kuasa dan kepada dewi
penjaga lahan pertanian agar diberikan keselamayan dalam kerja, dan
diberikan hasil panen yang berlimpah.
c. Makna-Makna Dalam Tradisi “Selamatan Petik Pari”
Pengaruh kebudayaan hindu di masyarakat Desa Petungsewu menambah
simbolisme masyarakatnya itu sendiri,masyarakat Hindulah yang mengenalkan
adanya penghormatan dan pemujaan kepada dewa dan dewi, tetapi dengan
toleransi yang begitu tinggi dan karena telah adanya alkuturasi percampuran
perkawinan dimasyarakat Desa Petungsewu maka masyarakat yang beragama lain
pun menyakini adanya Dewi penjaga lahan pertanian.Makna-makna yang terdapat
didalam tradisi ini adalah terbentuknya sistem kekeluargaan yang biarpun berbeda
tetapi mereka tetap memegang tradisi yang telah diturunkan kepada mereka oleh
para leluhur yang terdahulu.
Menurut Bapak Daimun selaku tokoh masyarakat Hindu mengemukkan
bahwa makna diadakannya selamatan ini adalah karena kita harus menghormati
apa yang leluhur kita terdahulu lakukan, jika apapun yang kita lakukan ingin
berjalan lancar maka kita harus memberikan Penghormatan kepada menjaga alam
ini agar selalu diberikan keselamatan, makna lain dari tradisi ini adalah untuk
memberikan penghormataan kepada Dewi Sri karena telah memberikan hasil
panen yang bagus dan berlimpah.
(Gambar 5.1 Bapak Daimun selaku tokoh masyarakat Hindu).
Bapak Tamat selaku tokoh masyarakat Islam Desa Petungsewu
mengemukakan bahwa makna selamatan ini semata-mata meminta kepada yang
maha kuasa agar panen hasinya baik ,tidak ada hama yang menyerang padi,karena
masyarakat disini percaya kalau padi itu ada yang menjaganya,tetapi tetap
meminta doanya kepada allah melalui perantara dewi Sri yang menjaga padi
tersebut.
.
(Gambar 5.2 Bapak Tamat selaku tokoh masyarakat Islam)
Berdasarkan pernyataan di atas, peneliti dapat mengambil kesimpulan
tentang makna-makna yang terdapat dalam tradisi “Selamatan Petik Pari” adalah
merupakan salah satu usaha manusia sebagai jembatan antara dunia manusia
dengan dunia ritus (Dewa-dewi atau Tuhannya), melalui tradisi “Selamatan Petik
Pari” ini diharapakan bisa menghubungkan manusia dengan leluhur, dan
Tuhannya dan akan diberikan keselamatan dalam penggarapan lahan pertanian.
4. Keterkaitan Antara Religi dan Tradisi pada Tradisi “Selamatan Petik
Pari”
a. Fenomena Alkulturasi
Desa Petungsewu mempunya keyakinan mayoritas yang berbeda yaitu
Islam dan Hindu,biarpun berbeda mereka hidup rukun.Bersama-sama
menjalankan tradisi yang telah nenek moyang mereka lakukan,salah satu tradisi
yang masih bersama-sama masyarakat lakukan adalah tradisi “Selamatan Petik
Pari”.
Pengaruh kebudayaan Hindu dimasyarakat Desa Petungsewu menambah
simbolisme masyarakatnya itu sendiri, masyarakat Hindulah yang mengenalkan
adanya penghormatan dan pemujaan kepada Dewa-dewi,tetapi dengan adanya
toleransi yang begitu tinggi mereka bersama-sama saling membantu dalam
menjalankan tradisi ini.Masyarakat Islam diDesa Petungsewu pun menyakini
adanya Dewi penjaga lahan pertanian.
Menurut Bapak Daimun selaku tokoh adat agama Hindu alkuturasi
percampuran pernikahan antara yang beragama Hindu dan Islam juga
mempengaruhi terjadinya toleransi yang begitu erat,tidak terjadi konflik-konflik
dalam bermasyarakat,masyarakat di Desa ini bersama-sama menjalankan tradisi
yang telah nenek moyang mereka lakukan sejak turun temurun.
b. Persepsi-Persepsi Masyarakat Terhadap Tradisi “Selamatan Petik Pari”
Melalui pergaulannya dengan berbagai kekuatan alam,timbullah
pemahaman dikalangan Orang Jawa bahwa setiap gerakan, kekuatan, dan kejadian
di alam disebabkan oleh mahluk-mahluk yang berada disekitarnya.Keyakinan
hasil didikan alam ini terus dianut oleh Orang Jawa secara turun temurun, bahkan
ketika Orang Jawa sudah banyak menganut agama formal,seperti
Islam,Hindu,Nasrani,dan pemujaan terhadap kekuatan alam tidak
ditinggalkan.Tampaknya agama yang mereka anut tidak mampu menghilangkan
keyakinan terhadap kekuatan alam.
Masyarakat beragama Islam mempunyai persepsi berbeda dari agama
lain terhadap tradisi yang diturunkan nenek moyang mereka ini,meskipun dalam
agama Islam ada sebagian ulama yang menganggap syirik hal-hal yang berkaitan
dengan mistik,sesaji,mantra-mantra,tetapi sebagian lain dari mereka masih
memuja kekuatan-kekuatan alam.Pemujaan ini merupakan ajaran dari nenek
moyang mereka,yang diikuti secara sadar maupun tidak.
Menurut Bapak Tamat selaku Tokoh adat Islam masyarakat Islam Desa
Petungsewu masih mempercayai adanya kekuatan-kekuatan alam yang
mengelilingi desa, jadi untuk menghormati kekuatan-kekuatan alam tersebut
mereka melakukan tradisi yang khusus dipersembahkan kepada alam.Masyarakat
Desa ini menganut Islam kejawen yaitu memahami kepercayaan pada berbagai
macam roh yang dapat menimbulkan masalah, bahaya, kecelakaan atau penyakit
apabila mereka dibuat marah atau penganutnya tidak memberikan sesajen yang
dipercaya dapat menghindarkan manusia dari bebagai hal yang tidak diinginkan.
Sesajian yang penting di Desa ini adalah sesajian untuk lahan
pertanian,masyarakat petani Islam didesa ini percaya bahwa doa-doa yang mereka
tujukan kepada Yang Maha Kuasa akan sampai melalui tradisi “Selamatan Petik
Pari “ dan keselamatan akan diberikan dalam penggarapan lahan pertanian ini.
Berbeda pula persepsi masyarakat Hindu, masyarakat Hindulah yang
mengenalkan adanya Dewa- Dewi dalam pemujaan doa-doa mereka,tidak ada
kesulitan dalam pelaksanaan tradisi ini karena yang mereka yakini sebagai
penjaga lahan pertanian adalah Dewi Sri, hal ini mereka dapatkan juga dalam
pengajaran agamanya.Doa-doa dan mantra yang ditujukan juga sangat
jelas,langsung tertuju kepada sang Dewi kesuburan.
Menurut Bapak Daimun selaku tokoh masyarakat Hindu mengemukakan
bahwa keterkaitan antara religi dengan tradisi “Selamatan Petik Pari” adalah bagi
masyarakat Hindu mereka telah mengenal adanya dewa-dewi dan memuja
penjaga alam semesta, jadi penting bagi mereka menghormati Dewi Sri sebagai
penjaga lahan pertanian mereka.Tradisi yang sangat penting bagi masyarakat
petani di Desa Petungsewu, karena mereka menganggap jika tradisi ini tidak
dilakukan maka dewi akan marah dan tidak akan menjaga padi yang ditanam,jadi
dengan tetap menjalankan tradisi ini mereka juga tetap menjaga religius atau
keyakinan mereka,dan sampai sekarang tetap berjalan baik.
Menurut Bapak Sutrisno selaku masyarakat beragama Hindu Desa
Petungsewu menyatakan:
Keterkaitan antara nilai religius dengan tradisi “Selamatan Petik Pari
adalah dengan menjalankan tradisi yang telah ditetapkan para leluhur
maka kita percaya adanya kekuatan yang lebih besar didunia ini.
(wawancara, 1 November 2010, 12.00 WIB, di rumah Bapak Sutrisno)
Menurut Bapak Samain selaku masyarakat beragama Islam Desa
Petungsewu menyatakan:
Keterkaitan tradisi “Selamatan petik pari” dengan religi masyarat didesa
ini adalah dengan menjalankan tradisi ini berarti kami didesa ini
menyakini Tuhan akan mengabulkan doa-doa yang kami panjatkan, jadi
kaitannya erat sekali, karena saya berpendapat jika hanya
memohon(berdoa) kepada tuhan tanpa melakukan selamatan maka sia-sia
lah doa kami,begitupun sebaliknya jika kami hanya melakukan tradisi
selamatan tanpa berdoa kepada yang maha kuasa maka sia-sialah tradisi
tersebut.
(wawancara 1 November 2010, 13.00 WIB di rumah Bapak Samain).
Jadi berdasarkan pernyataan diatas keterkaitan antara nilai-nilai religius
dengan tradisi Selamatan Petik Pari adalah sangat berkaitan,hal ini dikarenakan
dalam pelaksanaan tradisi “Selamatan Petik Pari” selain memakai sesajian yang
telah ditetapkan tokoh adat (sesepuh desa) dihadapan sesajian itu mereka
memberikan doa yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Dewi Sri
sebagai penjaga lahan pertanian.
Dalam “Selamatan Petik Pari” bentuk komunikasi manusia dengan Dewi
penjaga lahan pertanian melalui jajanan,kemenyan,dan sarana lainnya. Mereka
menyakini dengan memberikan sesajian kepada Dewi Sri akan mendapatkan
keselamatan dan hasil panen yang berlimpah,maka dari itu tradisi yang telah ada
turun temurun ini selalu dilaksanakan masyarakat Desa Petungsewu,tanpa
mengesampingkan ajaran agama atau keyakinannya masing-masing.
5. Perubahan dan Pergeseran Dalam Tradisi “Selamatan Petik Pari”
a. Aspek yang berubah
Dalam tradisi ini terjadi sedikit perubahan dalam sesajian,dahulu sesajian
yang dianggap penting dan harus lengkap,tetapi karena zaman yang modern
terjadilah pergeseran makna-makna dalam tradisi,alat-alat sesajian pun mulai
dikurangi,misalnya saja memotong padi yang dahulu memakai ani-ani sekarang
diganti memakai arit,dalam memberikan sesajian makanan juga mengalami
perubahan,sekarang disesuaikan dengan keadaan yang berhajat,tidak dipaksakan.
Menurut Bapak Daimun selaku tokoh adat mengemukakan dalam Sistem
Sosial mengalami sedikir pergeseran, hal ini dikarenakan tradisi “Selamatan Petik
Pari” ini dianggap sebagai tradisinya para sesepuh,jadi para pemuda desa tidak
mengerti makna diadakannya selamatan tersebut,Dalam Sistem religinya tidak
mengalami perubahan karena masyarakat masih memegang teguh apa yang telah
para leluhur mereka lakukan.
c. Tanggapan terhadap perubahan
Menurut Bapak Daimun selaku Tokoh adat,masyarakat Desa Petungsewu
tidak terlalu menanggapi perubahan yang terjadi dalam tradisi ini dikarenakan
mereka hanya mengikuti apa yang telah lama dijalankan,meskipun ada
perubahan dan pergeseran dalam peralatan sesaji tetapi masyarakat tetap
menjalankan tradisi,karena yang mereka menyakini bahwa apapun yang terjadi
dengan desa mereka semua adalah berkat kekuatan lain dialam ini,sehingga
tradisi-tradisi yang berhubungan dengan alam tetap harus dijalankan.
Menurut Bapak Sutrisno selaku masyarakat Desa Petungsewu perubahan
yang terjadi di tradisi ini adalah karena zaman yang telah modern,sehingga
kalangan pemuda desa tidak mau lagi mengikuti apa yang telah leluhur kami
jalankan dari dulu, kurangnya informasi membuat makna tradisi ini terjadi
pergeseran,dari yang sangat sakral menjadi hal yang biasa saja.
Jadi menurut pernyataan diatas terjadi perubahan dan pergeseran dalam
tradisi “Selamatan Petik Pari” ini,dikarenakan beberapa hal yaitu kurangnya
sosialisasi kepada pemuda-pemuda desa sehingga banyak yang tidak mengetahui
apa itu “Selamatan Petik Pari”, mereka hanya mengikuti apa yang sesepuh desa
perintahkan tanpa mengetahui makna yang terdapat dalam tradisi tersebut, faktor
lain adalah karena zaman yang telah modern,sehingga sulit menemukan alat-alat
sesaji,sehingga mereka menjalankan tradisi dengan alat-alat sesaji yang seadanya.
B. Temuan Penelitian
1. Asal-usul Tradisi “Selamatan Petik Pari” yang Dilaksanakan di Desa
Petungsewu Kecamatan Wagir Kabupaten Malang
Berdasarkan paparan data yang telah diuraikan sebelumnya, temuan
penelitian menunjukkan bahwa tradisi “Selamatan Petik Pari” hidup dan
berkembang di kalangan rakyat mulai nenek moyang.
Petik Pari adalah adalah suatu tradisi Orang Jawa yang sampai saat ini
masih terus dipertahankan, sebagian Orang Jawa menyakini jika melaksanakan
tradisi ini maka manuasia akan diberikan keselamatan dalam penggarapan lahan
pertaniannya,dijauhkan dari hama padi,dan mendapatkan hasil panen yang bagus
dan berlimpah.
Petik Pari sering dikaitkan dengan dengan ucapan rasa syukur atas
kebaikan Dewi Sri yang dianggap dewi padi, Dalam mitos Dewi Sri dianggap
sebagai orang pertama yang menanam padi di Jawa.
Pada zaman dahulu kala, penghormatan kepada Dewi Sri Pada jaman
dahulu merambah sampai ke rumah-rumah Orang Jawa. Oleh karena itu, pada
setiap rumah petani, hampir selalu ada ruangan khusus yang digunakan untuk
meletakkan seikat padi, tebu dan kelapa sebagai tanda penghormatan kepada
Dewi Sri. Barang-barang itu mereka yakini sebagai simbol agar mereka
mendapatkan kemakmuran dan rezeki yang melimpah dalam kehidupan dan
pekerjaan.
Apabila kita mengamati tradisi “Selamatan Petik Pari” lebih jauh, kita
akan menemukan banyak hal yang menarik. Petik Pari merupakan ungkapan akan
penghayatan agama asli Orang Jawa. Dalam kehidupan Orang Jawa, kita masih
dapat menemukan kepercayaan animisme dan dinamisme yang menjadi
keyakinan asli mereka. Yang lebih mengherankan, seringkali Orang Jawa juga
beragama Muslim entah sebagai abangan, santri atau bahkan beragama sebagai
priyayi. Masuknya agama Hindu kepulau Jawa juga menambah simbol-simbol
religi dikalangan masyarakat,seperti kepercayaan terhadap dewa dan dewi penjaga
alam semesta. namun demikian, tradisi “Selamatan petik pari” tetap mendapat
tempat khusus bagi Orang Jawa tersebut tanpa memperhitungkan sungguh bentuk
agamanya.
2. Pelaksanaan tradisi “Selamatan Petik Pari” yang dilaksanakan di Desa
Petungsewu Kecamatan Wagir Kabupaten Malang
Berdasarkan paparan data yang telah diuraikan sebelumnya, temuan
penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan tradisi “Selamatan Petik Pari” ini
masih sering dilakukan oleh warga Desa Petungsewu.
Tahap-tahap persiapan dalam pelaksanaan tradisi “Selamatan Petik Pari”
adalah. :
a) Menyiapkan sesajian
Dalam proses “Selamatan Petik Pari” dipersiapkan berbagai kelengkapan
atau uborampe sebagaimana lazimnya dalam bentuk selamatan yang lain.
Jenis uborampe itu berupa, Nasi, sayuran yang di urap, ikan asin, telur rebus
aneka kue tradisioanal berwarna-warni dan lain-lain. Disamping berbagai ubo
rampe di atas, dalam “Selamatan Petik Pari” juga disediakan berbagai macam
sajen atau sesaji. Sajen ini sangat beragam dan biasanya mempunyai makna
khusus seturut dengan danyang yang diberi sesajian. Berikut ini adalah
beberapa contoh bentuk sesajen dalam salah satu kegiatan “Selamatan Petik
Pari”: Kaca, sisir, benang, kemenyan, seikat jerami yang diikat daun
pisang,sebotol air putih,dan ani-ani(alat pemotong padi).
b) Bersama tokoh adat dan sesepuh desa berangkat ke sawah yang mulai
mengunung yang siap dipanen.
Dengan beriring-iringan membawa sesajian berupa makanan dan alat-alat
ritual dalam berdoa, jika yang melaksanakan hajat adalah yang beragama islam
maka doa dipimpin oleh tokoh adat agama Islam dengan membaca doa
selamat, jika yang melakukan hajat adalah orang beragama hindu maka yang
memimpin doa adalah tokoh agama Hindu.
c) Meletakan sesajian di sawah
Setelah selesai didoakan Sesajian dibawa ketepi sawah yang siap panen,
Bapak Daimun selaku tokoh adat menyambut rombongan pembawa sesaji
dengan ritual khusus sesajen dijejer dan dibacakan mantra-mantra dan doa –
doa selamat. Setelah itu seseorang didaulat membakar dupa dan membakar
seikat jerami padi ,kemudian sambil membaca doa-doa Bapak Daimun
memotong seikat padi yang siap panen lalu disisipkan disela-sela sesajian yang
berada didalam uborampe,sebotol air putih disiramkan dipojok sudut lahan
yang akan dipanen smbil membacakan mantra dan doa-doa.Di penghujung
ritual, takir yang berisi makanan lengkap beserta lauk pauknya dibagikan
merata kepada mereka yang bekerja dalam penggarapan dan mereka yang
datang pada acara “Selamatan Petik Pari” ini.Padi yang telah dipotong dengan
ani-ani dan diikat dengan benang dan sisa takir dibawa pulang selanjutnya
didiadakan hajatan lagi dengan membaca doa-doa selamat dihadapan
takir,setelah itu takir boleh dimakan oleh orang-orang yang membantu dalam
pelaksanaan hajatan.
3. Makna yang terdapat dalam Tradisi “Selamatan Petik Pari” yang di
laksanakan di Desa Petungsewu Kecamatan Wagir Kabupaten Malang
Berdasarkan paparan data yang telah diuraikan sebelumnya, temuan
penelitian menunjukkan bahwa makna yang terdapat dalam tradisi “Selamatan
Petik Pari” adalah Sebagian Orang Jawa meyakini apabila tradisi “Selamatan
Petik Pari” tidak diadakan, akan terjadi berbagai macam bala seperti musim
kering yang panjang, wabah penyakit, gagal panen, bajir dan berbagai macam
bentuk bencana yang lain.
Pengaruh kebudayaan Hindu di masyarakat Desa Petungsewu
menambah simbolisme masyarakatnya itu sendiri, masyarakat Hindulah yang
mengenalkan adanya penghormatan dan pemujaan kepada dewa dan dewi, tetapi
dengan toleransi yang begitu tinggi dan karena telah adanya alkuturasi
percampuran perkawinan di masyarakat Desa Petungsewu maka masyarakat yang
beragama lain pun menyakini adanya Dewi penjaga lahan pertanian.Makna-
makna yang terdapat didalam tradisi ini adalah terbentuknya sistem kekeluargaan
yang biarpun berbeda tetapi mereka tetap memengang tradisi yang telah
diturunkan kepada mereka oleh para leluhur yang terdahulu.
Dari pemahaman di atas, makna yang terdapat dalam tradisi “Selamatan
Petik Pari” dapat dipahami sebagai suatu cara untuk menjaga kehidupan yang
seimbang dan selaras antara manusia, alam dan roh-roh dengan cara
membersihkan memberikan penghormatan kepada yang menjaga padi dari
gangguan hama padi,dan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Dewi Sri atas
panen yang berlimpah tahun ini dan dari berbagai roh-roh jahat yang
mengganggu.
Pemaknaan tersebut yang mendorong penulis untuk melakukan
penelitian, karena adanya korelasi antara religi dan tradisi yang kemudian
keduanya saling mempengaruhi dan menyentuh berbagai aspek kehidupan.
4. Keterkaitan Antara Religi dengan Tradisi dalam Tradisi “Selamatan
Petik Pari” yang dilaksanakan di Desa Petungsewu Kecamatan Wagir
Kabupaten Malang
Berdasarkan paparan data yang telah diuraikan sebelumnya, temuan
penelitian menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara nilai religius masyarakat
Desa Petungsewu dengan tradisi “Selamatan Petik Pari” hal ini dapat dibuktikan
bahwa dalam pelaksanaan tradisi “Selamatan Petik Pari” selain memakai sesajian
yang telah ditetapkan tokoh adat (sesepuh desa) dihadapan sesajian itu mereka
memberikan doa yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Dewi Sri
sebagai penjaga lahan pertanian.
Dalam tradisi atau tidakan Orang Jawa selalu berpegangan dalam dua
hal. Pertama kepada pandangan hidupnya yang religius dan mistis. Kedua, pada
sikap hidupnya yang etis dan menjunjung tinggi moral atau deraajat hidupnya.
Pandangan hidupnya yang selalu menghubungkan segala sesuatu dengan Tuhan
yang serba mistis dan magis, dengan menghormati roh nenek moyang atau
leluhurnya serta kekuatan-kekuatan yang tidak tampak oleh indera manusia,salah
satu contoh keterkaitan religi dengan tradisi didalam tradisi “Selamatan petik
pari”.
Dalam “Selamatan Petik Pari” bentuk komunikasi manusia dengan Dewi
penjaga lahan pertanian adalah melalui jajanan, kemenyan,dan sarana lainnya.
Mereka menyakini dengan memberikan sesajian kepada Dewi Sri akan
mendapatkan keselamatan dan hasil panen yang berlimpah,maka dari itu tradisi
yang telah ada turun temurun ini selalu dilaksanakan masyarakat Desa
Petungsewu,tanpa mengesampingkan ajaran agama atau keyakinannya masing-
masing.
5.Perubahan yang Terjadi pada Tradisi “Selamatan petik pari” yang
Dilaksanakan di Desa Petungsewu Kecamatan Wagir Kabupaten Malang
Berdasarkan paparan data yang telah diuraikan sebelumnya,temuan
penelitian menunjukan bahwa terjadi perubahan dalam pelaksanaan tradisi
“Selamatan Petik Pari” khususnya khususnya dalam mempersiapkan sesajian.
Perubahan juga terjadi karena kurangnya sosialisasi terhadap pemuda-pemuda
desa sehingga tradisi “Selamatan Petik Pari” dianggap hanya milik kaum sesepuh.
Dalam tradisi ini terjadi sedikit perubahan dalam sesajian,dahulu sesajian
yang dianggap penting dan harus lengkap, tetapi karena zaman yang modern
terjadilah pergeseran makna-makna dalam tradisi, alat-alat sesajian pun mulai
dikurangi, misalnya saja memotong padi yang dahulu memakai ani-ani sekarang
diganti memakai arit, dalam memberikan sesajian makanan juga mengalami
perubahan, sekarang disesuaikan dengan keadaan yang berhajat, tidak dipaksakan.
Dalam Sistem religinya tidak mengalami perubahan karena mereka
tinggal mengikuti apa yang telah para leluhur mereka lakukan, karena mereka
beranggapan jika mengurangi apa yang telah ada maka akan mengurangi makna
yang hendak dicapai dalam tradisi tersebut.
Berbeda dengan Sistem teknologi/peralatan yang berubah karena dunia
yang semakin modern,maka alat-alat dalam sesajian pun ikut hilang,karena
perubahan pola pikir masyarakat dari berpikir tradisional menjadi berpikir realitas,
maka hanya kaum sesepuhlah yang mengerti makna dilaksanakannya tradisi
ini,sedangkan kalangan pemuda desa tidak begitu mengerti maksud diadakannya
tradisi ini.
BAB V
PEMBAHASAN
A. Makna Yang Terdapat dalam Tradisi “Selamatan Petik Pari”
Masyarakat Desa Petungsewu yang sebagian besar memeluk agama
Hindu dan Islam serta beberapa yang memeluk agama Kristen, sampai saat ini
masih mempertahankan salah satu unsur kebudayaan mereka secara turun-
temurun yaitu yang tampak pada pelaksanaan tradisi “Selamatan Petik Pari”.
Tradisi “Selamatan Petik Pari” merupakan salah satu komponen religi
masyarakat Petungsewu yang berkaitan erat dengan kepercayaan roh nenek
moyang dan adanya mahluk mrekayangan yang bernama Dewi Sri,Dewi penjaga
Padi. Menurut pandangan E.B. Tylor mengenai evolusi religi pada tingkat tertua,
manusia percaya akan adanya makhluk halus yang menempati alam sekeliling
manusia. Makhluk halus itu dianggap mampu berbuat hal-hal yang tidak dapat
diperbuat manusia sehingga menjadi obyek penghormatan dan penyembahan yang
disertai dengan berbagai upacara berupa doa, sajian atau korban. Keyakinan religi
semacam ini oleh E.B. Tylor disebut animisme (Koentjaraningrat, 1981:49).
Nilai yang terdapat dalam tradisi ini adalah penyatuan antara sistem religi
yang dianut masyarakat Desa Petungsewu dengan tradisi yang telah ada sejak
zaman nenek moyang. Pengaruh kebudayaan hindu di masyarakat Desa
Petungsewu menambah simbolisme masyarakatnya itu sendiri,masyarakat
Hindulah yang mengenalkan adanya penghormatan dan pemujaan kepada dewa
dan dewi, tetapi dengan toleransi yang begitu tinggi dan karena telah adanya
alkuturasi percampuran perkawinan dimasyarakat Desa Petungsewu maka
masyarakat yang beragama lain pun menyakini adanya dewi penjaga lahan
pertanian.Salah satu makna yang terdapat didalam tradisi ini adalah terbentuknya
sistem kekeluargaan dan kerukunan antar umat berbeda agama yang biarpun
berbeda tetapi mereka tetap memengang tradisi yang telah diturunkan kepada
mereka oleh para leluhur yang terdahulu.
(Hal ini selaras dengan pendapat dalam kajian pustaka Suyono,
2008:131) Masuknya berbagai agama sebelum kedatangan Islam di pulau Jawa
berpengaruh besar pada adat istiadat, tata cara hidup, maupun praktik keagamaan
sehari-hari Orang Jawa.
Masyarakat Desa Petungsewu hidup dengan dua keyakinan mayoritas
yang berbeda, yaitu Islam dan Hindu.Tetapi dalam menjalankan tradisi
“Selamatan Petik Pari” mereka melakukan tradisi tersebut dengan perbedaan,tidak
ada konflik yang ada hanya kerukunan dalam menjalankan tradisi ini.Hal ini
memberikan makna lain terhadap tradisi ini yaitu terciptannya nilai-nilai moral
yang harus generasi muda contoh dalam kehidupan modern sekarang ini.
Adapun nilai-nilai moral yang bisa menjadi sarana pendidikan non-formal
bagi generasi penerus dalam tradisi “Selamatan Petik Pari” adalah
1. Nilai moral individu
Nilai moral individu adalah nilai moral yang menyebabkan seseorang
mempunyai motivasi utuk menjadikan orang baik seperti bertanggungjawab,
mandiri, patuh, sabar dan rela berkorban. Ketika pelaksanaan tradisi ”Selamatan
Petik pari”, setiap orang sebaiknya memiliki kesungguhan hati untuk:
a. Tanggung jawab
Dalam tradisi ini dituntut tanggung jawab pemilik lahan pertanian untuk
menjaga keselarasan antara alam dan mahluk hidup.
b. Patuh
Wujud kepatuhan dari pelaksanaan tradisi ”Selamatan Petik Pari” adalah
menjalani setiap tahapannya dengan disiplin dan mematuhi apa saja yang dilarang
dan apa saja yang diharuskan. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat mematuhi
apa yang para leluhur mereka sudah lakukan turun temurun.
c. Sabar
Ketika pelaksanaan tradisi setiap orang sebaiknya dalam keadaan bersabar,
menciptakan kondisi yang ketenangan batin dengan mengendalikan amarah dan
emosi untuk bertikai dengan orang lain.
2. Nilai moral sosial
Nilai moral sosial bagi masyarakat Petungsewu adalah nilai yang
memberikan motivasi untuk mencapai kebaikan diri pribadi dan merealisasikan
kebaikan bagi sebanyak mungkin orang.
a. Menghormati orang lain
Ketika pelaksanaan tradisi ”Selamatan Petik Pari” ketika masyarakat desa
beragama Hindu yang mempunyai hajat wajib mengundang tetangga atau saudara
yang muslim untuk makan bersama atau sekedar bersilaturahmi sebagai wujud
menaruh rasa hormat kepada orang yang lain adatnya.
b. Gotong royong
Nilai gotong royong tercermin dalam aktivitas masyarakat Petungsewu
untuk saling bergotongroyong mempersiapkan tradisi “Selamatan Petik Pari”.
Mereka baik yang beragama Islam maupun Hindu ramai-ramai mempersiapkan
makanan atau masyarakat menyebutnya takir dan sesajian (Uborampe). Semua itu
bertujuan agar pekerjaan lebih mudah diselesaikan.
c. Kerukunan
Ketika tradisi “Selamatan Petik Pari” berlangsung semua masyarakat
Petungsewu membantu mempersiapkan upacara tersebut,sehingga tidak ada
konflik yang terjadi
3. Nilai moral Ketuhanan
Nilai yang berhubungan dengan keterkaitan antara masyarakat Desa
Petungsewu dengan sesuatu yang memiliki kemampuan diluar batas kemampuan
manusia. Hal itu nampak pada perilaku masyarakat yang mamberikan sesajen
untuk menghadapi rasa takut akan murka leluhur dan mengharapkan berkah dari
sesuatu yang dianggap memiliki kemampuan supernatural.
Berdasarkan pernyataan di atas, peneliti dapat mengambil kesimpulan
tentang makna-makna yang terdapat dalam tradisi “Selamatan Petik Pari” adalah
merupakan salah satu usaha manusia sebagai jembatan antara dunia manusia
dengan dunia ritus (dewa-dewi atau tuhannya), melalui tradisi Selamatan petik
pari ini diharapakan bisa menghubungkan manusia dengan leluhur, dan Tuhannya
dan akan diberikan keselamatan dalam penggarapan lahan pertanian. Dan
memberikan nilai-nilai luhur yaitu terciptannya toleransi kerukunan antar umat
beragama,biarpun berbeda dalam penyampaian doa tetapi mempunyai tujuan yang
sama yaitu keselamatan bersama.
B. Keterkaitan Antara Nilai-Nilai Religius Terhadap Tradisi “Selamatan
Petik Pari”
Berdasarkan penelitian dan kajian pustaka maka dapat disimpulkan
bahwa ada keterkaitan antara nilai-nilai religi masyarakat Desa Petungsewu
dengan tradisi “Selamatan Petik Pari”. Dalam “Selamatan Petik Pari” bentuk
komunikasi manusia dengan Dewi penjaga lahan pertanian adalah melalui
jajanan,kemenyenyan,dan sarana lainnya. Mereka menyakini dengan memberikan
sesajian kepada Dewi Sri akan mendapatkan keselamatan dan hasil panen yang
berlimpah,maka dari itu tradisi yang telah ada turun temurun ini selalu
dilaksanakan masyarakat Desa Petungsewu, tanpa mengesampingkan ajaran
agama atau keyakinannya masing-masing.
Dalam tradisi atau tidakan Orang Jawa selalu berpegangan dalam dua
hal. (1) kepada pandangan hidupnya yang religius dan mistik, (2) pada sikap
hidupnya yang etis dan menjunjung tinggi moral atau derajat hidupnya.
Pandangan hidupnya yang selalu menghubungkan segala sesuatu dengan Tuhan
yang serba mistis dan magis, dengan menghormati roh nenek moyang atau
leluhurnya serta kekuatan-kekuatan yang tidak tampak oleh indera manusia
(Herusatoto, 2008:139).
Dan karena tradisi bagi masyarakat Jawa selalu dikaitkan dengan upacara
keagamaan maka tradisi dan religi bagi masyarakat Jawa merupakan hubungan timbal
balik antara emosi keagamaan, sistem keyakinan, kelompok keagamaan, dan sistem
ritual.
Hal ini selaras dengan pendapat Koentjaraningrat(1981:82-83) komponen
religi itu dalam fungsi erat hubungannya satu sama lain. Sistem keyakinan
menentukan acara ritus, sebaliknya upacara melahirkan dan mengembangkan
keyakinan religi. Sistem keyakinan menentukan tingkah laku umat beragama dan
tidak jarang juga gagasan-gagasan kolektif melahirkan dan mengembangkan
keyakinan religi. Demikian ada kaitan antara sistem ritus dengan umat bergama
karena para anggota umat itulah yang melaksanakan sistem ritus dan upacaranya.
Selanjutnya kaitan antara peralatan upacara dengan umat beragama adalah
upacara menentukan alatnya dan para anggota umat beragama yang mendesain
peralatan upacara. Keyakinan, ritus atau upacara, peralatan ritus dan umat
beragama saling berkaitan erat satu sama lain akan mendapat sifat keramat bila
dihinggapi oleh emosi keagamaan.
Keterkaitan antara religi dan tradisi mendasarkan diri kepada perkembangan
emosi manusia. Emosi religius dan tradisional sesuatu kelompok sangat sulit untuk
begitu saja diterima atau disepakati oleh suatu kelompok lain.
Jadi jelaslah bahwa segala bentuk tradisi atau upacara adat yang dilakukan
masyarakat tradisional merupakan pendekatan manusia kepada Tuhannya yang
menciptakan,menurunkannya kedunia,memelihara kehidupan dan menentukan
kematian manusia.Tindakan masyarakat Desa Petungsewu dalam tradisi “Selamatan
Petik Pari “ ini merupakan tindakan simbolisme dalam upacara religius yang sangat
penting dan tidak dapat dibuang begitu saja,karena ternyata bahwa manusia harus
bertindak dan berbuat sesuatu yang melambangkan komunikasinya kepada Tuhan.
Dengan demikian simbolisme dalam tradisi disamping membawa membawa
pesan-pesan kepada generasi berikutnya juga selalu dilaksanakan dalam kaitannya
dengan religi.
C. Perubahan Yang Terjadi Dalam Tradisi “Selamatan petik pari”
Berdasarkan penelitian dan kajian pustaka maka dapat disimpulkan
bahwa terjadi sedikit perubahan dan pergeseran dalam pelaksanaan tradisi
“Selamatan Petik Pari” ini.
Perkembangan kebudayaan bangsa Indonesia untuk menuju suatu
masyarakat yang modern, telah membawa pula perubahan pada dasar kebudayaan
Jawa yang selalu memakai simbolis itu.Pandangan dan sikap hidup yang simbolis
telah bergeser dari aspeknya yang batiniah dan bersifat magis dan mistik, kearah
aspek baru yang lebih ilmiah dengan simbol ilmu pengetahuan yang fungsional.
Pergeseran dari aspek batiniah kearah aspek rasional menyebabkan pula
perubahan pandangan dan sikap Orang Jawa baik religiusnya maupun
tradisionalnya.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan berkembangnya teknologi modern
dari luar yang begitu pesatnya, serta hubungan antar manusia yang sudah
sedemikian longgarnya, sangat berpengaruh kepada pandangan hidup dan sikap
hidup masyarakat di Desa Petungsewu dalam melanjutkan tradisi nenek
moyang,sehingga ada kecenderungn untuk tidak melaksanakan tradisi seketat dan
sedisiplin seperti semula. Penghayatan akan makna tradisi dan religiusnya sudah
dikesampingkan sehingga tradisi dan religiusnya yang dahulu dilakukan atas dasar
batiniah,sekarang hanya dipandang sebagai apa adanya atau secara
rasiaoanal.Rangkaian tradisi yang dulu dihayati dengan sifat mistik dan magis
menurun nilainya hanya sebagai rangkaian acara yang merupakan daftar
kewajiban masyarakat Desa Petungsewu yang harus dilaksanakan begitu saja
Semua kebudayaan (tradisi) pada suatu saat akan mengalami perubahan
karena berbagai macam sebab.Perubahan bisa terjadi dikarenakan perubahan
lingkungan yang menuntut perubahan secara adiktif. Perubahan bisa terjadi secara
kebetulan, direncanakan,atau karena adanya kontak dengan unsur kebudayaan lain
(Pujileksono, 2009:172).
Dalam tradisi ini terjadi sedikit perubahan dalam sesajian,dahulu sesajian
yang dianggap penting dan harus lengkap, tetapi karena zaman yang modern
terjadilah pergeseran makna-makna dalam tradisi, alat-alat sesajian pun mulai
dikurangi, misalnya saja memotong padi yang dahulu memakai ani-ani sekarang
diganti memakai arit, dalam memberikan sesajian makanan juga mengalami
perubahan, sekarang disesuaikan dengan keadaan yang berhajat, tidak dipaksakan.
Tradisi “Selamatan Petik Pari” juga mendapatkan perubahan karena
alkuturasi kebudayaan dalam keyakinan religinya dan karena faktor modernisasi yang
membuat pemuda-pemudi desa tidak peduli lagi dengan adanya tradisi yang telah
turun temurun ini,mereka menganggap tradisi selamatan petik pari hanya untuk
jalankan berdasarkan ajaran tokoh adat atau sesepuh desa tanpa mengetahui makna-
makna terdalam yang terdapat dalam tradisi tersebut.
Faktor dalam Mekanisme atau proses perubahan kebudayaan (tradisi) adalah
karena adanya penemuan baru, difus ( karena faktor migrasi), hilang unsur
kebudayaan, alkulturasi, perubahan kebudayaan secara paksa,dan karena modernisasi.
(Hal ini selaras dengan pendapat dari Herusatoto, 2008:68) Modernisasi
semakin menuntut berkembangnya spesialisasi pekerjaan yang semakin beragam
aakibat berkembangnya ilmu pengetahuan modern dan khususnya persaingan
kesempatan kerja yang semakin ketat pula. Akibatnya dasar-dasar kemasyarakatan
lama itu pun harus menyesuaikan diri dengan perkembangn zaman, sehingga adat-
istiadat (tradisi) pun semakin banyak ditinggalkan setelah Indonesia merdeka.
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Asal mula tradisi “Selamatan petik pari” telah ada sejak zaman nenek moyang
orang Jawa, Masyarakat Desa Petungsewu yang mayoritas bekerja sebagai
petani telah lama menjalankan tradisi ini,salah satu sesajian yang dianggap
penting bagi masyarakat petungsewu adalah sesajian dalam membuka lahan
pertanian sampai masa panen tiba. Masyarakat desa ini mempercayai adanya
Dewi Sri yang menjaga tanaman agar tidak terkena hama padi dan hasil panen
berlimpah. Pengaruh kebudayaan hindu di Desa Petungsewu ini menambah
pembendaharaan simbolisme dan pemujaan kepada Dewa-Dewi hindu,hasil
asimilasi inilah yang melahirkan Dewi Sri, tokoh simbolik masyarakat petani
jawa,dan tradisi Selamatan Petik Pari ini ditujukan khusus kepada Dewi Sri
agar melindungi tanaman padinya terhadap gangguan-gangguan hama tanaman
padi dan mendapatkan hasil panen yang berlimpah, selain itu tujuan diadakan
tradisi selamatan petikpari ini ditujukan untuk mereka yang berjasa membantu
dalam pengerjaan sawahnya.
2. Pelaksanaan tradisi “Selamatan petik pari”
Tahap-tahap persiapan dalam pelaksanaan tradisi “Selamatan petik pari”
adalah. :
a). menyiapkan sesajian
Dalam proses “Selamatan Petik pari” dipersiapkan berbagai kelengkapan
atau uborampe sebagaimana lazimnya dalam bentuk selamatan yang lain.
Jenis uborampe itu berupa, Nasi, sayuran yang di urap, ikan asin, telur rebus
aneka kue tradisioanal berwarna-warni dan lain-lain. Disamping berbagai
uba rampe di atas, dalam “Selamatan petik pari” juga disediakan berbagai
macam sajen atau sesaji. Sajen ini sangat beragam dan biasanya mempunyai
makna khusus seturut dengan danyang yang diberi sesajian. Berikut ini
adalah beberapa contoh bentuk sesajen dalam salah satu kegiatan
“Selamatan petik pari”: Kaca, sisir, benang, kemenyan, seikat jerami yang
diikat daun pisang,sebotol air putih,dan ani-ani(alat pemotong padi).
b). Bersama tokoh adat dan sesepuh desa berangkat ke sawah yang mulai
mengunung yang siap dipanen.
Dengan beriring-iringan membawa sesajian berupa makanan dan alat-alat
ritual dalam berdoa, jika yang melaksanakan hajat adalah yang beragama
islam maka doa dipimpin oleh tokoh adat agama islam dengan membaca
doa selamat, jika yang melakukan hajat adalah orang beragama hindu maka
yang memimpin doa adalah yokoh agama Hindu.
c). meletakan sesajian disawah
Setelah selesai didoakan Sesajian dibawa ketepi sawah yang siap panen,
Bapak Daimun selaku tokoh adat menyambut rombongan pembawa sesaji
dengan ritual khusus sesajen dijejer dan dibacakan mantra-mantra dan doa –
doa selamat.Setelah itu seseorang didaulat membakar dupa dan membakar
seikat jerami padi ,kemudian sambil membaca doa-doa bapak Daimun
memotong seikat padi yang siap panen lalu disisipkan disela-sela sesajian
yang berada didalam uborampe,sebotol air putih disiramkan dipojok sudut
lahan yang akan dipanen smbil membacakan mantra dan doa-doa.
Dipenghujung ritual,takir yang berisi makanan lengkap beserta lauk
pauknya dibagikan merata kepada mereka yang bekerja dalam penggarapan
dan mereka yang datang pada acara “Selamatan petik pari” ini.
Padi yang telah dipotong dengan ani-ani dan diikat dengan benang dan sisa
takir dibawa pulang selanjutnya didiadakan hajatan lagi dengan membaca
doa-doa selamat dihadapan takir,setelah itu takir boleh dimakan oleh orang-
orang yang membantu dalam pelaksanaan hajatan.
3. Makna-makna yang terdapat dalam tradisi “Selamatan Petik Pari” adalah
merupakan salah satu usaha manusia sebagai jembatan antara dunia
manusia dengan dunia ritus (dewa-dewi atau tuhannya), melalui tradisi
Selamatan petik pari ini diharapakan bisa menghubungkan manusia dengan
leluhur, dan Tuhannya dan akan diberikan keselamatan dalam penggarpan
lahan pertanian.
4. Keterkaitan antara nilai-nilai religius masyarakat Desa Petungsewu
terhadap tradisi “Selamatan Petik Pari” adalah ada saling keterkaitan
dibuktikan bentuk komunikasi manusia dengan Dewi penjaga lahan
pertanian adalah melalui jajanan,kemenyenyan,dan sarana lainnya.
Mereka menyakini dengan memberikan sesajian kepada Dewi Sri akan
mendapatkan keselamatan dan hasil panen yang berlimpah,maka dari itu
tradisi yang telah ada turun temurun ini selalu dilaksanakan masyarakat
Desa Petungsewu,tanpa mengesampingkan ajaran agama atau
keyakinannya masing-masing.
Dalam tradisi atau tidakan orang Jawa selalu berpegangan dalam dua hal.
Pertama kepada pandangan hidupnya yang religius dan mistis. Kedua,
pada sikap hidupnya yang etis dan menjunjung tinggi moral atau derajat
hidupnya.Pandangan hidupnya yang selalu menghubungkan segala sesuatu
dengan Tuhan yang serba mistis dan magis, dengan menghormati roh
nenek moyang atau leluhurnya serta kekuatan-kekuatan yang tidak tampak
oleh indera manusia.
Dan karena tradisi bagi masyarakat Jawa selalu dikaitkan dengan upacara
keagamaan maka tradisi dan religi bagi masyarakat Jawa merupakan
hubungan timbal balik antara emosi keagamaan, sistem keyakinan, kelompok
keagamaan, dan sistem ritual.
5. Perubahan yang terjadi dalam tradisi “Selamatan Petik Pari” adalah terjadi
sedikit perubahan dalam pelaksanaan tradisi dan dalam penyiapan sesajian.
Semua kebudayaan (tradisi) pada suatu saat akan mengalami perubahan
karena berbagai macam sebab.Perubahan bisa terjadi dikarenakan perubahan
lingkungan yang menuntut perubahan secara adiktif. Perubahan bisa terjadi
secara kebetulan, di rencanakan,atau karena adanya kontak dengan unsur
kebudayaan lain (Pujileksono, 2009:172).
Dalam tradisi ini terjadi sedikit perubahan dalam sesajian,dahulu sesajian
yang dianggap penting dan harus lengkap,tetapi karena zaman yang
modern terjadilah pergeseran makna-makna dalam tradisi,alat-alat sesajian
pun mulai dikurangi,misalnya saja memotong padi yang dahulu memakai
ani-ani sekarang diganti memakai arit,dalam memberikan sesajian
makanan juga mengalami perubahan,sekarang disesuaikan dengan keadaan
yang berhajat,tidak dipaksakan.
Tradisi “Selamatan Petik Pari” mendapatkan perubahan karena alkuturasi
kebudayaan dalam keyakinan religinya dan karena faktor modernisasi yang
membuat pemuda-pemudi desa tidak peduli lagi dengan adanya tradisi yang
telah turun temurun ini,mereka menganggap tradisi selamatan petik pari hanya
untuk jalankan berdasarkan perintah tokoh adat atau sesepuh desa tanpa
mengetahui makna-makna terdalam yang terdapat dalam tradisi tersebut.
B. SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan sesuai dengan rumusan masalah
penelitian, maka penulis mencoba memberikan saran-saran sebagai berikut:
(1). Bagi Masyarakat Desa Petungsewu
Penelitian ini mengharapkan masyarakat Desa Petungsewu mengetahui lebih
dalam mengenai makna-makna dan keterkaitan antara religi yang dianut oleh
masyaraka.dan untuk membangkitkan rasa pemuda desa untuk lebih
mengenal tradisi yang telah turun temurun ini.dan dengan dengan
diadakannya penelitian ini diharapkan menambah karangan atau pustaka
untuk masyarakat Desa Petungsewu sendiri.
(2). Bagi Generasi penerus bangsa
Peneliti mengharapkan agar pemuda-pemudi generasi bangsa, khususnya di
Desa Petungsewu berkewajiban untuk menghargai hasil pemikiran kakek
moyang orang jawa dengan mempelajari dan mencari makna-makna yang
terdapat pada tradisi tersebut.
(3). Bagi peneliti lain
Peneliti mengharapkan supaya peneliti lain berniat untuk melakukan
penelitian yang selanjutnya dalam bidang budaya misalnya lebih
mengenalkan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi selamatan serta
mampu melestarikan tradisi tersebut meskipun di era globalisasi ini. Selain
itu, penelitian ini dapat menambah dan memperluas pengetahuannya tentang
tradisi yang berkaitan dengan mitos atau kepercayaan yang dimiliki oleh
masing-masing daerah yang dianggap unik dalam memelihara warisan leluhur
yang dianggap positif bagi kehidupan masyarakat Jawa.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 1996. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Fenanie, Zainuddin. 2000. Restrukturisasi Budaya Jawa Perspektif KGPAA MN I.
Surakarta: Muhammadiyah Universty Press.
Handoyo. 2007. Nilai- nilai Sosial dalam Masyarakat. (Online),
(http://handoyo74.files.wordpress.com/2007/09/mdl-paket-c-kd-ii.doc,
diakses 28 Oktober 2010).
Herusatoto, Budiono. 2008. Simbolisme Jawa.Jogyakarta:ombak.
Islam Kuno, 2008.Menelusuri Tradisi, Budaya, dan Seni Islam Masa Lalu,
(Online), (http://islam kuno.com/2008,diakses 27 oktober2010)
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1999. Jakarta: Balai Pustaka.
Kayam, Umar. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: PT Djaya Pirusa.
Koentjaraningrat,1986.Pengantar Ilmu Antropologi.Jakarta :Aksara Baru
Koentjaraningrat. 1982. Persepsi Tentang Kebudayaan Nasional. Jakarta:
Lembaga Research Kebudayaan Nasional – LIPI.
Maryaeni, 2005.Metode Penelitian Kebudayaan.Malang :Bumi Aksara
Maleong. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Dirjen Dikti PP2 PTK.
Miles, Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia.
Munandar, 1995.Ilmu Budaya Dasar. Bandung :Eresco
Pujileksono, Sugeng. 2009.Pengantar Antropologi.Malang:UMM Press
Sadiyo. 1991. Sosiologi Indonesia. Malang: IKIP Malang.
Sartini. 2004. Menggali Kearifan Lokal Nusantara sebagai Kajian Filsafat. Jurnal
Filsafat.
Satori, Djam’an. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Sulaeman, M. Munandar. 1992. Ilmu Budaya Dasar (suatu pengantar). Bandung:
PT Eresco.
Suyono, R.P. Capt. 2007. Dunia Mistik Orang Jawa.Yogyakarta : Lkis
Syam, Nur.2007. Madzhab-madzhab Antropologi.Yogjakarta: Lkis
Universitas Negeri Malang. 2007. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Malang:
UM Press.
Yoety, Oka. 1983. Komersialisasi Seni Budaya dalam Pariwisata. Bandung:
Angkasa.
Zaelani a.Rizky,2010.Seni dan Moral, (online),(http//www.dapunta.com, diakses
27 0ktober 2010)
Lampiran 1
Kantor Kepala Desa Petungsewu, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang
(Keadaan Desa Petungsewu)
Lampiran 2
Uborampe(perlengkapan sesajian)
Lampiran 3
Prosesi Pelaksanaan tradisi “Selamatan Petik Pari”
(mempersiapkan sesajian)
(Seorang warga membawa uborampe dan Encek kesawah)
(pulang dari sawah membawa padi yang telah dipotong dibawa kerumah
untuk didoakan)
(uborampe diletakan disawah)
(tokoh adat membakar kemenyan dan dupa sambil membaca mantra)
(Uborampe dan seikat padi yang telah dipotong bersiap didoakan lagi)
(hajatan dirumah salah satu warga)
Lampiran 4
PEDOMAN WAWANCARA
Nama Informan : Bapak Daimun (tokoh masyarakat Hindu)
Hari / Tanggal / Jam : Kamis, 30 Oktoberr 2010, 09.00 WIB
Tempat : di rumah Bapak Daimun
Pokok-pokok pertanyaan:
1. Bagaimanakah asal-usul tradisi Selamatan petik pari?
2. Bagaimana tata cara pelaksanaan tradisi Selamatan Petik Pari?
3. Apa saja makna yang terdapat dalam tradisi Selamatan Petik Pari?
4. Bagaimana toleransi antara umat beragama dalam pelaksanaan tradisi ini,
dan adakah keterkaitan antara religi dengan tradisi Selamatan ini?
5. Adakah perubahan yang terjadi dalam tradisi Selamatan Petik Pari ini?
PEDOMAN WAWANCARA
Nama Informan : Bapak Tamat (tokoh masyarakat Islam)
Hari / Tanggal / Jam : Kamis, 30 Oktoberr 2010, 11..00 WIB
Tempat : di rumah Bapak Tamat
Pokok-pokok pertanyaan:
1. Bagaimanakah asal-usul tradisi Selamatan Petik Pari?
2. Bagaimana tata cara pelaksanaan tradisi Selamatan Petik Pari?
3. Apa saja makna yang terdapat dalam tradisi selamatan petik pari?
4. Bagaimana toleransi antara umat beragama dalam pelaksanaan tradisi
ini,dan adakah keterkaitan antara religi dengan tradisi Selamatan ini?
5. Adakah perubahan yang terjadi dalam tradisi Selamatan Petik Pari ini?
PEDOMAN WAWANCARA
Nama Informan : Bapak Samiun (selaku masyarakat desa beragama Islam
Petungsewu)
Hari / Tanggal / Jam : Kamis, 1 november 2010, 11..00 WIB
Tempat : rumah Bapak Samiun
Pokok-pokok pertanyaan:
1. Bagaimanakah asal-usul tradisi Selamatan Petik Pari?
2. Bagaimana tata cara pelaksanaan tradisi Selamatan Petik Pari?
3. Apa saja makna yang terdapat dalam tradisi Selamatan Petik Pari?
4. Bagaimana toleransi antara umat beragama dalam pelaksanaan tradisi
ini,dan adakah keterkaitan antara religi dengan tradisi Selamatan ini?
5. Adakah perubahan yang terjadi dalam tradisi Selamatan Petik Pari ini?
PEDOMAN WAWANCARA
Nama Informan :Bapak Sutrisno (selaku masyarakat desa beragama
Hindu)
Hari / Tanggal / Jam : Kamis, 1 november 2010, 12.00 WIB
Tempat : dirumah Bapak Sutrisno
Pokok-pokok pertanyaan:
1. Bagaimanakah asal-usul tradisi Selamatan Petik Pari?
2. Bagaimana tata cara pelaksanaan tradisi Selamatan Petik Pari?
3. Apa saja makna yang terdapat dalam tradisi Selamatan Petik Pari?
4. Bagaimana toleransi antara umat beragama dalam pelaksanaan tradisi
ini,dan adakah keterkaitan antara religi dengan tradisi Selamatan ini?
5. Adakah perubahan yang terjadi dalam tradisi Selamatan Petik Pari ini?
Lampiran 5
HASIL WAWANCARA
Nama Informan : Bapak Daimun (selaku tokoh masyarakat Hindu)
Hari / Tanggal / Jam : Senin, 30 Oktober 2010, 10.00 WIB
Tempat : di rumah Bapak Daimun
Jawaban pertanyaan:
1. Asal usul Tradisi “selamatan petik pari” ini sudah ada dari zaman
nenek moyang,nenek moyang orang jawa dari dulu memang percaya
bahwa padi itu ada yang menjaga,yang menjaga adalah dewi dari
khayangan yaitu Dewi Sri,hal ini dimaksudkan agar hasil panen
berlimpah, orang dan binatang yang bekerja selamat dari bahaya,Dewi
Seri dianggap orang pertama yang menebarkan benih padi ditanah
jawa.
2. Pelaksanaannya Sebelum melaksanakan selamatan petik pari pertama
yang harus disiapkan adalah sesajian yang terdiri dari berbagai macam
benda yang telah ditentukan seperti kaca, sisir rambut, benang untuk
mengikat padi, ani-ani untuk memotong padi, sehelai kain kafan,
pisang dua sisir, kemenyan,dan seikat jerami yang dibungkus daun
pisang. Selain itu disiapkan juga tumpeng atau takir yang berisi
makanan beserta lauk pauknya dan aneka kue-kue tradisional yang
dibuat sendiri seperti ayam goreng, urap-urap, tempe, perkedel,sambal
goreng,pisang goreng, nogosari, kue bugis
3. Makna-makna yang terdapat dalam tradisi ini adalah Makna
diadakannya selamatan ini adalah karena kita harus menghormati apa
yang leluhur kita terdahulu lakukan, jika apapun yang kita lakukan
ingin berjalan lancar maka kita harus memberikan Penghormatan
kepada menjaga alam ini agar selalu diberikan keselamatan, makna lain
dari tradisi ini adalah untuk memberikan penghormataan kepada Dewi
Seri karena telah memberikan hasil panen yang bagus dan berlimpah.
4. . Toleransi beragama dan keterkaitan religi dan tradisi adalahketerkaitan
antara religi dengan tradisi “selamatan petik pari” adalah:sangat terjaga
toleransinya.
Bagi masyarakat hindu mereka telah menegenal adanya dewa-dewii dan
memuja penjaga alam semesta, jadi penting bagi mereka menghormati
dewi Sri sebagai penjaga lahan pertanian mereka.
Tradisi yang sangat penting bagi masyarakat petani didesa
petungsewu,karena mereka menganggap jika tradisi ini tidak dilakukan
maka dewi akan marah dan tidak akan menjaga padi yang ditanam,jadi
dengan tetap menjalankan tradisi ini mereka juga tetap menjaga religius
atau keyakinan mereka,dan sampai sekarang tet
5. Dalam tradisi ini hanya terjadi sedikit perubahan atau pergeseran yaitu
dalam pelaksanakan tradisi,tetapi doa dan mantra tetap sama seperti
yang telah diajarkan oleh para leluhur.
HASIL WAWANCARA
Nama Informan : Bapak Tamat (selaku tokoh masyarakat Islam)
Hari / Tanggal / Jam : Senin, 30 Oktober 2010, 10.00 WIB
Tempat : di rumah Bapak Tamat
Jawaban pertanyaan:
1. Tradisi ini telah ada dari zaman nenek moyang dulu,tujuannya juga sama
yaitu membuat tanaman padi jadi bagus,hasil panen melimpah,dan tidak ada
hama yang menyerang padi.hanya sekarang sudah ada perubahan dalam
tatacara pelaksanaan tradisi tersebut.tapi doa nya tetap sama yaitu doa
selamat.
2. Pelaksanaannya Sebelum melaksanakan selamatan petik pari pertama
yang harus disiapkan adalah sesajian yang terdiri dari berbagai macam
benda yang telah ditentukan seperti kaca, sisir rambut, benang untuk
mengikat padi, ani-ani untuk memotong padi, sehelai kain kafan,
pisang dua sisir, kemenyan,dan seikat jerami yang dibungkus daun
pisang. Selain itu disiapkan juga tumpeng atau takir yang berisi
makanan beserta lauk pauknya dan aneka kue-kue tradisional yang
dibuat sendiri seperti ayam goreng, urap-urap, tempe, perkedel,sambal
goreng,pisang goreng, nogosari, kue bugis
3. makna selamatan ini semata-mata meminta kepada yang maha kuasa
agar panen hasinya baik ,tidak ada hama yang menyerang padi,karena
masyarakat disini percaya kalau padi itu ada yang menjaganya,tetapi
tetap meminta doanya kepada allah melalui perantara dewi Sri yang
menjaga padi tersebut.
4. masyarakat Islam Desa Petungsewu masih mempercayai adanya
kekuatan-kekuatan alam yang mengelilingi desa, jadi untuk
menghormati kekuatan-kekuatan alam tersebut mereka melakukan
tradisi yang khusus dipersembahkan kepada alam.Masyarakat Desa ini
menganut Islam kejawen yaitu memahami kepercayaan pada berbagai
macam roh yang dapat menimbulkan masalah, bahaya, kecelakaan atau
penyakit apabila mereka dibuat marah atau penganutnya tidak
memberikan sesajen yang dipercaya dapat menghindarkan manusia
dari bebagai hal yang tidak diinginkan.
5. Dalam sesaji ada yang berubah hal ini dikarenakan zaman yang sudah
modern,tetapi dalam tata cara tetap berjalan sama seperti dahulu kala
HASIL WAWANCARA
Nama Informan : Bapak Samain (selaku masyarakat Islam)
Hari / Tanggal / Jam : Senin, 1 november 2010, 10.00 WIB
Tempat : di rumah Bapak Samain
Jawaban pertanyaan:
1. Tradisi “Selamatan Petik Pari” ini sudah menjadi bagian dari
masyarakat Desa Petungsewu,karena mayoritas masyarakat adalah
petani,dan mereka menyakini bahwa tanaman padi tersebut ada yang
menjaganya yaitu seorang dewi yang bernama Dewi Sri,sebenarnya
sejak membuka lahan pertanian sudah ada tradisi selamatannya hingga
menjelang panen.tujuannya untuk menghormati Dewi Sri yang telah
menjaga lahan pertanian mereka,dan agar panen padi bisa berlimpah
2. Pelaksanaannya Sebelum melaksanakan selamatan petik pari pertama
yang harus disiapkan adalah sesajian yang terdiri dari berbagai macam
benda yang telah ditentukan seperti kaca, sisir rambut, benang untuk
mengikat padi, ani-ani untuk memotong padi, sehelai kain kafan,
pisang dua sisir, kemenyan,dan seikat jerami yang dibungkus daun
pisang. Selain itu disiapkan juga tumpeng atau takir yang berisi
makanan beserta lauk pauknya dan aneka kue-kue tradisional yang
dibuat sendiri seperti ayam goreng, urap-urap, tempe, perkedel,sambal
goreng,pisang goreng, nogosari, kue bugis
3. Makna yang terdapat dalam tradisi ini adalah terciptannya kerukunan
antar dua agama mayoritas.
4. Keterkaitan tradisi “Selamatan petik pari” dengan religi masyarat
didesa ini adalah dengan menjalankan tradisi ini berarti kami didesa
ini menyakini Tuhan akan mengabulkan doa-doa yang kami panjatkan,
jadi kaitannya erat sekali, karena saya berpendapat jika hanya
memohon(berdoa) kepada tuhan tanpa melakukan selamatan maka sia-
sia lah doa kami,begitupun sebaliknya jika kami hanya melakukan
tradisi selamatan tanpa berdoa kepada yang maha kuasa maka sia-
sialah tradisi tersebut.
5. Terjadi sedikit perubahan dalam pelaksanaan tradisi, alat-alat sesaji
yang digunakan sudah tidak selengkap dahulu.tetapi dalam mantra dan
doa-doa tetap sama
HASIL WAWANCARA
Nama Informan : Bapak Sutrisno (selaku masyarakat Hindu)
Hari / Tanggal / Jam : Senin, 1 november 2010, 10.00 WIB
Tempat : di rumah Bapak Sutrisno
Jawaban pertanyaan:
1. Tradisi ini telah ada dari zaman nenek moyangnya Orang Jawa, jadi
sekarang kami hanya menjalankan apa yang telah mereka lakukan
karena yang mereka lakukan bisa membawa keselamatan kepada anak
cucu kami
2. Pelaksanaannya Sebelum melaksanakan selamatan petik pari pertama
yang harus disiapkan adalah sesajian yang terdiri dari berbagai macam
benda yang telah ditentukan seperti kaca, sisir rambut, benang untuk
mengikat padi, ani-ani untuk memotong padi, sehelai kain kafan,
pisang dua sisir, kemenyan,dan seikat jerami yang dibungkus daun
pisang. Selain itu disiapkan juga tumpeng atau takir yang berisi
makanan beserta lauk pauknya dan aneka kue-kue tradisional yang
dibuat sendiri seperti ayam goreng, urap-urap, tempe, perkedel,sambal
goreng,pisang goreng, nogosari, kue bugis
3. Makna yang terdapat dalam tradisi ini adalah masyarakat mengakui
adanya Dewi penjaga lahan pertanian.
4. Keterkaitan antara nilai religius dengan tradisi “Selamatan Petik Pari
adalah dengan menjalankan tradisi yang telah ditetapkan para leluhur
maka kita percaya adanya kekuatan yang lebih besar didunia ini.
5. Sedikit mengalami perubahan dalam persiapan sesajinya
Lampiran 6
Kumpulan Surat keterangan ijin melakukan Penelitian
10. Surat Ijin Penelitian Skripsi dari Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Malang
11. Surat Ijin Penelitian Skripsi dari Badan Kesatuan Bidang Politik
dan Perlindungan Masyarakat Kabupaten Malang
12. Surat ijin penelitian dari Kantor Camat Wagir
13. Surat pernyataan telah Melakukan Penelitian Didesa Petungsewu dari
Kepala Desa Petungsewu Kecamatan Wagir Kabupaten Malang
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Eka Yuliyani
NIM : 104811471930
Jurusan/Program Studi : Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa, skripsi yang saya tulis ini benar-benar
merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan
atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai hasil tulisan atau pikiran saya
sendiri.
Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan penelitian ini hasil
jiplakan, maka saya bersedia menerima saksi atas perbuatan tersebut.
Malang, November 2010
Yang membuat pernyataan,
Eka Yuliyani
NIM. 104811471930
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Eka Yuliyani yang biasa dipanggil eka / kay dilahirkan di Pulau Bunyu Kal-tim
pada tanggal 15 Juli 1986. Ia merupakan putri pertama dari pasangan Bapak
Achmad kholid dan Ibu Murtini. Ia memperoleh pendidikan pertamanya di SD
Negeri 005 Bunyu lulus pada tahun 1998, dan melanjutkan di SLTP Negeri 1
Bunyu lulus pada tahun 2001. Kemudian melanjutkan di SMA Patra Dharma
Bunyu dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2004 diterima di Program Studi
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Jurusan Hukum dan
Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang melalui jalur
Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).