jurnal mahasiswa dan alumni pascasarjana se-indonesia · governance (suraji), 3) ide keseimbangan...
TRANSCRIPT
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se-Indonesia ISSN : 1858 – 0358
Volume 2, Nomor 2, April 2010 Jurnal Wacana Indonesia Merupakan Jurnal Nasional berdasarkan Surat
Keputusan Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDII LIPI) dengan nomor ISSN 1858-0358 tanggal 29 Mei 2007
Terbit 3 sekali setahun setiap bulan April, Agustus dan Desember Berisi hasil penelitian, kajian dan analisis kritis Mahasiswa dan Alumni
Pascasarjana se-Indonesia
Penanggung Jawab:
Pengurus Pusat Forum Mahasiswa Pascasarjana se-Indonesia (Forum Wacana Indonesia)
Penyunting Ahli (Mitra Bestari):
Prof. Dr. Irwan Abdullah (Antropologi) Prof. DR. Djalal Tanjung (Ekologi) Dr. M. Ridhah Taqwa (Sosiologi)
Prof. Dr. Iskandar Zulkarnaen (Studi Islam) DR. Ir. Rindit Pambayun, MS (Teknologi Pertanian)
Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH, MS (Hukum) Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum (Hukum) Prof. Dr. Ir. Zufrizal, DEA (Peternakan)
Redaktur Pelaksana:
Alum Simbolon (Ketua) Zuhri Humaidi (Wakil Ketua)
Mustari S. Lamada (Sekretaris) Nova Ekawati (Anggota) Buyung Haris (Anggota)
Layout dan Cover:
Buyung Haris
Diterbitkan Oleh:
Forum Mahasiswa Pascasarjana se-Indonesia Sekretariat:
Perumahan Dinas UGM F 13 Bulak Sumur Yogyakarta 55281 Website FWI: www.ppfwi.wordpress.com
Email: [email protected]
Wacana Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
i
ISSN : 1858 – 0358 Volume 2, Nomor 2, April 2010
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se-Indonesia
Daftar Isi/Contents
Daftar Isi (i ‐ ii)
Editorial (iii ‐ iv)
Larangan Persekongkolan dalam Tender: Upaya Mewujudkan Good Governance
Alum Simbolon (1 – 14)
Jelang Pilkada Jilid ke Dua: Demokrasi Kapitalistik vs Good Governance Suraji (15 ‐ 24)
Ide Keseimbangan dalam Konsep KUHP Baru Indonesia Rama Putra (25 ‐ 34)
Penataan Pedagang di Pasar Retail Jakabaring Berdasar Peraturan Walikota Palembang
Dyah Hapsari Eko Nugraheni (35 ‐ 50)
Menguak Wacana dan Strategi Kekuasaan dari Perspektif Studi Kebudayaan
M. Ridhah Taqwa (51 ‐ 60)
Upaya Pemerintah dalam Menggalakkan Program Keluarga Berencana dan Pelayanan Kontrasepsi Paska R. Situmorang
(61 ‐ 72)
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
ii
Perencanaan Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang Relevan dengan Dunia Kerja Mustari S. Lamada
(73 ‐ 84)
Government Role In Preventing Disease Hypertension whit Implementing Lifestyle Change Jagentar P. Pane
(85 ‐ 98)
Pemberian Rangkuman sebagai Strategi Pembelajaran Muh. Ilyas Ismail
(99 ‐ 110)
Nilai-B Gempa Bumi Daerah Sulawesi Tenggara dan Sekitarnya sebagai Upaya Awal Pelayanan yang Baik pada Penanganan dan Mitigasi Bencana
Burhan (111 ‐ 120)
Wacana Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
iii
Editorial
Pada periode 1980-an, diskursus ilmu sosial di tanah air diramaikan dengan wacana perlunya proses indeginisasi (pribumisasi) konsep dan teori yang datang dari luar. Langkah demikian kian terasa penting dan menjadi keresahan umum di kalangan para peminat kajian sosial dan budaya, karena adanya disparitas yang semakin nampak antara berbagai konsep dan teori tersebut dengan konteks persoalan yang dihadapi masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Banjir teori yang semenjak satu dasawarsa sebelumnya memperkaya horison dan khazanah perdebatan intelektual, di sisi lain ternyata hanya menjadi semacam kegenitan intelektual yang membosankan. Para ilmuan kita saat itu, dengan seperangkat teori impor yang dimilikinya, nyaris gagal merekomendasikan solusi yang tepat untuk mengatasi berbagai masalah yang terjadi. Sebab itu, proyek indeginisasi memperoleh antusiasme yang luar biasa sehingga kemudian muncul upaya untuk mengkaji ulang konsep seperti demokrasi, civil society, teori sosial kritis, developmentalisme dan sebagainya. Tujuannya jelas, agar konsep dan teori itu sesuai dengan fenomena yang lokal dan indeginous. Konon, proyek indeginisasi itu juga dipicu oleh gerakan postkolonial yang menilai keterbelakangan di negara-negara bekas jajahan disebabkan karena ketergantungannya terhadap negara-negara maju, baik dalam bentuk fisik-material maupun non-material seperti ilmu pengetahuan. Karenanya, Kolonialisme tetap berlanjut tidak dalam artian fisik melainkan dalam bentuk moda berfikir. Lebih lanjut menurut gerakan ini, para intelektual di negara-negara baru merdeka harus bersikap kritis terhadap bangunan teori dan konsep, serta merekonstruksinya baik untuk tujuan praktis maupun untuk membangun karakter bangsa yang lebih bermartabat. Akan tetapi, apapun landasannya upaya indeginisasi merupakan suatu fase penting yang harus diperhatikan dalam sejarah intelektual di tanah air.
Pasca reformasi 1998, dunia intelektualitas kita kembali menghadirkan dinamika yang lebih impresif dengan maraknya penerbitan buku dan jurnal, penyelenggaraan workshop, diskusi publik, penelitian, pekan ilmiah, seminar dan sebagainya. Disorder sosial dan politik mendorong banyak pihak untuk menata kembali format kenegaraan dan kebangsaan yang terbukti rapuh dan korup. Salah satu isu yang mencuat adalah perlunya menata ulang landasan pemerintahan yang didasarkan pada konsep goverment menuju ke konsep good governance. Dalam pengertiannya yang singkat, good governance dimaksudkan sebagai sistem pemerintahan di mana persoalan-persoalan publik menjadi urusan bersama antara pemerintah (negara), Civil Society dan Economic Society. Ini dibedakan dengan model government yang selama ini dianut pemerintah. Dalam sistem ini negara memiliki hak ekslusif untuk mengatur persoalan-persoalan publik, sedangkan aktor-aktor di luarnya hanya dapat ikut serta jika direstui negara. Dalam Good Governance prinsip pokoknya adalah deliberaltif policy, yakni pelibatan masyarakat seluas mungkin dalam suatu kebijakan, sehingga pada praktisnya ia memerlukan tiga elemen, yaitu partisipasi, akuntabilitas, dan transparansi. Akan tetapi di luar perdebatan tersebut, good governance tetap merupakan konsep yang asing, tidak saja bagi dunia akademik melainkan bagi tlatah sosial dan kultural di Indonesia. Kesulitan penterjemahannya ke dalam bahasa Indonesia saja sudah menjadi indikasi fakta tersebut. Meski tidak berarti bahwa konsep good
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
iv
governance menjadi tidak penting. Korupsi dan inifisiensi birokrasi pemerintah sudah sedemikian transparan sehingga langkah restrukturisasi harus menyentuh hal yang lebih paradigmatis dan mendasar. Redaksi jurnal Wacana kali ini mengangkat tema good governance, tidak dalam bentuk pengertian dan diskusi konseptualnya tetapi kami menfokuskan diri pada praktek dan tantangannya di Indonesia. Edisi nomor ini memuat 10 tulisan, di antaranya; 1) Larangan Persekongkolan dalam Tender; Upaya Mewujudkan Good Governance (Alum Simbolon), 2) Jelang Pilkada Jilid ke Dua; Demokrasi Kapitalistik Vs Good Governance (Suraji), 3) Ide Keseimbangan dalam Konsep KUHP Baru di Indonesia (Rama Putra), 4) Penataan Pedagang di Pasar Retail Jakabaring Berdasar Peraturan Walikota Palembang (Dyah Hapsari Eko Nugraheni), 5) Menguak Wacana dan Strategi Kekuasaan dari Perspektif Studi Kebudayaan (M. Ridha Taqwa), 6) Upaya Pemerintah dalam Menggalakkan Program Keluarga Berencana dan Pelayanan Kontrasepsi (Paska R. Situmorang), 7) Perencanaan Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan yang Relevan dengan Dunia Kerja (Mustari S. Lamada), 8) Government Role In Preventing Disease Hypertension whit Implementing Lifestyle Change (Jagentar P. Pane), 9) Pemberian Rangkuman sebagai Strategi Pembelajaran (Muh. Ilyas Ismail) dan 10) Nilai-B Gempa Bumi Daerah Sulawesi Tenggara dan Sekitarnya sebagai Upaya Awal Pelayanan yang Baik pada Penanganan dan Mitigasi Bencana ( Burhan).
Tulisan-tulisan di atas menyentuh persoalan hukum, politik, pendidikan dan kesehatan, akan tetapi dengan intensi dasar mewujudkan tata kelola pemerintahan yang transparan, akuntabel dan partisipatif. Suatu hal yang menjadi elemen pokok dari good governance. Selamat membaca! (Zuhri Humaidi)
Yogyakarta, 17 April 2010
Salam Redaksi
Wacana Indonesia Volume 2, Nomor 2, April Tahun 2010 (1 ‐ 14)
1
LARANGAN PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER: UPAYA MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE
Alum Simbolon
Kandidat Doktor Pada Fakultas Hukum UGM, Dosen Fakultas Hukum Universitas Santo Thomas Medan, Pengurus Pusat FWI.
ABSTRACT
Prohibition of the tender conspiracy one way to realize good governance, because it may cause unfair business competition and contrary to the purpose for which the tender, namely to give equal opportunity to businesses in order to offer competitive prices and quality
Competition law enforcement efforts conducted by Business Competition Supervisory Commission is expected to create a business climate that kodusif, can depress the price that had been excessive and restrict other conduct such as cartels, abuse of dominant position, mergers that harm the public. Still, businessmen are expected to obtain a reasonable and sustainable profits without having to spend a bribe or illegal fees in winning a tender. If this occurs massively in various sectors, will manifest the good and clean governance in line with good business management, professional, and accountable. With the law enforcement of competition law will be prosperous society, can get a good product competitief prices.
Keywords: Good Governance, Bussiness Competition Supervisoy Commission, Law Enforcement.
PENDAHULUAN
Menciptakan suatu pemerintahan yang baik dan bersih umumnya
merupakan cita-cita semua negara, akan tetapi untuk mencapai hal ini tidak
mudah, membutuhkan hukum yang baik untuk mengatur negara tersebut dan
diikuti pelaksanaan dari peraturan tersebut yang disebut dengan penegakan
hukum. Kondisi Indonesia dari dulu hingga sekarang korupsi tetap menjamur,
walau dalam era reformasi dan otonomi daerah. Praktek kolusi dan nepotisme
yang mengarah pada korupsi ( KKN), telah meluas dan melibatkan pejabat publik
dari pusat sampai ke daerah, pelaku usaha, dan masyarakat. KKN tidak hanya
terkait dengan kegiatan bisnis yang mengatur persaingan usaha termasuk tender,
perijinan, konsesi, pengadaan, dan sebagainya, namun sudah meluas hingga ke
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
2
masalah, misalnya pengurusan KTP, SIM, dokumen perjalanan, dan sebagainya
walaupun jumlahnya kelihatan kecil misalnya urus KTP dikenakan biaya
Rp.20.000 , sampai ke hitungan milyaran rupiah seperti yang dilakukan Gayus
bahkan trilyunan rupiah seperti yang dilakukan oleh Edy Tansil.
Dalam peta korupsi dunia, Indonesia masih menempati ranking yang
relatif tertinggi, Hasil survey tahun 2009 oleh Transparansi Internasional (TI)
menunjukkan bahwa Indeks korupsi Indonesia masih tinggi di urutan 111 dari 180
negara, meskipun turun dari ranking 126 pada tahun sebelumnya (Benny, 2009:
19).
Salah satu cara mencegah, mengatasi serta menciptakan good governance,
baik terhadap praktek korupsi atau dalam menjalankan kegiatan usaha dengan
persaingan usaha tidak sehat adalah melalui penegakan hukum. Fungsi penegakan
hukum bertujuan untuk menghilangkan berbagai hambatan persaingan berupa
perilaku bisnis yang tidak sehat (Alum, 2009: 6).
Pancasila dan UUD 1945, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
(UULPM) mengatur nilai-nilai persaingan usaha yang sehat, dengan tujuan utama
yaitu menjamin efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pasal 3 UULPM mempunyai tujuan untuk
menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional
sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; Mewujudkan
iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat
sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku
usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil; Mencegah praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha
dan;Tercapainya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha. Untuk mencapai
tujuan tersebut maka KPPU sebagai lembaga pengawas persaingan usaha yang
diamanatkan oleh UULPM, harus bekerja keras dalam penegakan hukum
persaingan usaha melalui putusan-putusannya.
Larangan Persekongkolan dalam Tender: Upaya Mewujudkan Good Governance Alum Simbolon
3
PEMBAHASAN
Tujuan utama pelaksanaan penawaran tender adalah memberikan
kesempatan yang seimbang bagi semua penawar sehingga menghasilkan harga
yang paling murah dengan output yang maksimal. Oleh karenanya,
persekongkolan dalam penawaran tender dianggap menghalangi terciptanya
persaingan yang sehat di kalangan para penawar yang beritikad baik untuk
melakukan usaha di bidang bersangkutan (Tri Anggraini, 2009: 79)
Penegakan hukum persaingan usaha yang sehat, yang sedang gencar-
gencarnya dilakukan oleh KPPU RI (Komisi Pengawas Persaingan Usaha)
diharapkan dapat menekan harga yang selama ini eksesif dan membatasi perilaku
lainnya seperti kartel, penyalahgunaan posisi dominan, merger/ akuisisi yang
merugikan masyarakat. Alhasil pelaku usaha juga akan memperoleh kepastian
atas keuntungan yang wajar dan sustainable tanpa harus mengeluarkan suap atau
illegal fees. Apabila hal ini terjadi secara masif dalam berbagai sektor, akan
terwujud pemerintahan yang baik dan bersih (good governance) seiring dengan
pengelolaan usaha yang baik, profesional, dan akuntabel (good corporate
governance), (Benny, 2009: 29).
Kasus persaingan usaha yang ditangani oleh KPPU lebih banyak
menyangkut persekongkolan dalam tender, artinya masyarakat, pelaku usaha yang
tidak memenangkan tender sudah menyadari bahwa tempat untuk menyampaikan
kecuranga ini adalah ke KPPU.Contoh kasus tender yang ditangani oleh KPPU
adalah kasus Indomobil. Dalam perkara Indomobil, objek yang ditenderkan adalah
saham dan convertible bonds, di mana hal tersebut bukan termasuk dalam
pengertian tender, karena saham bukan merupakan barang dan atau jasa. Adapun
dalam perkara VLCC objek yang ditenderkan adalah divestasi/penjualan dua
kapal VLCC milik Pertamina. Keseluruhan penjualan dan/atau pembelian objek di
atas, dilakukan dengan cara tender dan/atau pelelangan umum.
Perkara PT.Indomobil sukses Internasional Tbk, dalam kasus ini terdapat
lebih dari satu pelaku usaha dengan kedudukan hukum berbeda mengajukan
upaya hukum keberatan ke PN yang berbeda. Apabila melihat ketentuan Pasal 1
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
4
angka (19) UULPM upaya keberatan diajukan di tempat kedudukan hukum
pelaku usaha. Pelaku usaha mengajukan keberatan di berbagai PN yang berbeda
sehingga setiap PN menjatuhkan putusan yang berbeda atas putusan KPPU yang
sama, yang menimbulkan kewibawaan lembaga peradilan yang mengeluarkan
putusan yang berbeda terhadap kasus yang sama sehingga menciptakan
ketidakpastian hukum. Mengatasi permasalahan tersebut MA mengeluarkan
Perma No 3 tahun 2005 Pasal 4 ayat (4) dengan tegas menyebutkan apabila para
pelaku usaha yang dihukum oleh KPPU mempunyai tempat kedudukan yang
berbeda, maka KPPU dapat mengajukan permohonan kepada MA untuk
menunjuk salah satu PN untuk memeriksa perkara keberatan tersebut. Sehingga
hanya ada satu putusan yang dikeluarkan oleh PN terhadap satu kasus putusan
yang dikeluarkan oleh KPPU. Kemudian perkara PT Holdiko Perkasa. Dalam
perkara ini KPPU menduga PT Holdiko Perkasa melakukan tindakan
persekongkolan yang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dengan pelaku
usaha peserta tender dalam tender penjualan saham dan convertible bonds PT
Indomobil Sukses Internasional. PT.Holdiko mengajukan keberatan ke PN Jakarta
Selatan atas putusan KPPU yang menyatakan PT.Holdiko terbukti melanggar
UULPM, sehingga dijatuhi denda Rp 5 milyar. Putusan yang dikeluarkan oleh
KPPU sebagai wujud dari good governance.
Cakupan pengertian tender menurut Penjelasan Pasal 22 hanya terbatas
pada tender untuk memborong pekerjaan, pengadaan barang atau penyediaan jasa,
di mana yang menjadi pemenang adalah peserta yang mengajukan penawaran
terendah, bukan penawaran tertinggi seperti pada perkara Indomobil dan divestasi
VLCC.
Larangan Persekongkolan dalam Tender
Larangan persekongkolan tender dilakukan karena dapat menimbulkan
persaingan usaha tidak sehat dan bertentangan dengan tujuan dilakukannya tender
tersebut, yaitu untuk memberikan kesempatan yang sama kepada pelaku usaha
agar dapat menawarkan harga dan kualitas bersaing. Dengan adanya larangan ini
diharapkan pelaksanaan tender akan menjadi efisien, artinya mendapakan harga
termurah dengan kualitas terbaik (KPPU, 2007: 4) Persekongkolan dalam tender
Larangan Persekongkolan dalam Tender: Upaya Mewujudkan Good Governance Alum Simbolon
5
tersebut dapat terjadi melalui kesepakatan-kesepakatan baik tertulis maupun tidak
tertulis. Persekongkolan ini mencakup jangkauan perilaku yang luas, antara lain
usaha produksi dan usaha distribusi, kegiatan asosiasi perdagangan, penetapan
harga dan manipulasi lelang atau kolusi dalam tender (tender collusive) yang
dapat terjadi melalui kesepakatan antar pelaku usaha, antar pemilik pekerjaan
maupun antar kedua pihak tersebut. Persekongkolan tersebut dapat terjadi di
setiap tahapan proses tender, mulai dari perencanaan dan pembuatan persyaratan
oleh pelaksana atau panitia tender, penyesuaian dokumen tender antara peserta
tender, hingga pengumuman tender (Anggraini, 2009: 101) Terdapat tiga (3)
terminologi berbeda untuk menjelaskan pengertian tender yaitu pemborongan,
pengadaan, dan penyediaan, artinya dalam tender suatu pekerjaan meliputi
pemborongan, pengadaan, dan penyediaan (Yakup, 2005: 66).
Pasal 22 menyebutkan pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak
lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga “dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”. Pasal 23 UULPM
menyebutkan Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk
mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikan sebagai
rahasia perusahaan sehingga “dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha
tidak sehat”. Pasal 24 UULPM menyebutkan pelaku usaha dilarang bersekongkol
dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan
atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang
baik dari jumlah, kualitas maupun ketetapan waktu yang dipersyaratkan.
Pasal 1 angka 7 UULPM menyebutkan persekongkolan atau konspirasi
usaha adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku
usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan
pelaku usaha yang bersekongkol. Berdasarkan kamus hukum, persekongkolan
adalah suatu kerjasama antara dua pihak atau lebih yang secara bersama-sama
melakukan tindakan yang melanggar hukum, dalam kamus besar Bahasa
Indonesia, sekongkol adalah orang yang turut serta berkomplot melakukan
kejahatan (kecurangan); bersekongkol adalah berkomplot melakukan kejahatan
atau bersekutu dengan maksud jahat; dan persekongkol adalah hal bersekongkol.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
6
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, sekongkol adalah bersepakat melakukan
pekerjaan yang tidak baik; bersekongkol adalah bersepakat untuk melakukan
suatu kejahatan; dan persekongkolan adalah hal, cara, atau hasil kerja
bersekongkol.
Pengertian tentang persekongkolan dalam tender menurut beberapa
negara adalah suatu perjanjian antara beberapa pihak untuk memenangkan pesaing
dalam suatu tender. Sejalan pengertian tersebut, persekongkolan dalam tender
sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 22 UULPM adalah kerjasama antar dua
pihak atau lebih dalam rangka memenangkan peserta tender tertentu.
Persekongkolan merupakan salah satu bentuk persaingan curang dalam dunia
usaha yang akan merusak kondisi persaingan usaha yang sedng di galakkan di
Indonesia terutama setelah berlakunya UULPM.
Persekongkolan merupakan salah satu bentuk persaingan curang dalam
dunia usaha yang akan merusak kondisi persaingan usaha. Praktek yang dapat
dikategorikan sebagai bentuk persaingan curang untuk bentuk persaingan usaha
(Agus Brotosusilo, 2000: 3) adalah:
1. Praktek Restriktif yang berimplikasi horizontal. Price fixing-competing supplier, rather than setting prices independently, enter in to a cooperative agreement regarding prices. Conscious Paralellism-competing suppliers, without an explicit agreement, generally set the same prices, allegedly for the purpose of weakening competition amongst themselves. Restraint of output, competing suppliers allocate customer amongst themselves, so that each customer is served by a single supplier and cannot benefit from a competition by other supplier. Collusive Tendering (bid Rigging)-competing suppliers exchange commercially sensitive information on bids and agree to take turn as to who will make the most competitive offer. Exclusionary practices-competing suppliers employ practices that inhibit or preclude the ability of other actual or potential suppliers to compete in market for product. Exchange of information-competing suppliers exchange commercially sensitive information regarding price, output, quality, or any other aspect of selling and marketing a product. Predatory pricing-one or more suppliers set prices intended to undermine the profitability and thereby induce the exit of one or more other competing supplier. Restraint on entry-one or more supplier enter into a cooperative agreement not to undertake certain action of competitive value, such as advertising.
Larangan Persekongkolan dalam Tender: Upaya Mewujudkan Good Governance Alum Simbolon
7
2. Praktek restriktif yang berimplikasi Vertikal. Exclusive Dealing_a supplier of product sells only on the condition that the buyer not purchase competing products. Refusal to Deal-a supplier refuses to sell to parties wishing to buy similar to exclusive dealing, distinguished only by potentially different treatment under the law. This can also be considered a horizontal restraint in the form of a boycott by competing suppliers. Resale Price Maintenance-a supplier distributors not market the product outside a specified territory, supportive of price discrimination.A notable form of this restraint is prevention of parallel importation, for which a supplier prevent national distributors not market the product outside a specified territory, supportive of price discrimination. A notable form of this restraint is prevention of parallel information, for which a supplier prevent natonal distributors. Tied Selling - a supplier enters into contracts for a product with conditions that are irrelevant and unnecessary to the exchange of the product; typically this condition involve the purchase of other products of the supplier. Full Une - form of tying, a suppliers requires distributors to carry all of the supplier’s product. A buse of Negotiating Position - a supplier imposes unfair or abusive condition in contracts to the detriment of buyers. Transfer Pricing – May infolve over – pricing of intermediate input between foreign affiliates. Under – invicing can be usd to facilate predatory pricing.
Rumusan yang yang mendekati persekongkolan adalah collusive tendering (bid – rigging) competing suppliers exchange commercially sensitive information on bids and agree to take turns as to who will make the most competitive offer.
Persekongkolan dalam tender dapat dilakukan secara terang-terangan atau
diam-diam melalui tindakan penyesuaian, penawaran sebelum dimasukkan, atau
menciptakan persaingan semu, atau menyetujui atau memfasilitasi, atau
pemberian kesepakatan eksklusif, atau tidak menolak suatu tindakan meskipun
mengetahui tindakan tersebut dilakukan untuk mengatur dalam rangka
memenangkan peserta tender tertentu.
Persekongkolan dalam tender dapat dibedakan pada 3 jenis (Media
Berkala KPPU, 27: 1) yaitu persekongkolan horizontal, persekongkolan vertikal,
dan gabungan persekongkolan vertical dan horizontal, ketiga jenis persekongkolan
tersebut adalah:
1. Persekongkolan Horizontal
Persekongkolan yang terjadi antara pelaku usaha atau penyedia barang dan
jasa dengan sesama pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa
pesaingnya. Persekongkolan ini dapat dikategorikan sebagai
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
8
persekongkolan dengan menciptakan persaingan semu diantara peserta
tender.
2. Persekongkolan Vertikal
Persekongkolan yang terjadi antar salah satu atau beberapa pelaku usaha
atau penyedia barang dan jasa dengan panitia tender atau panitia lelang
atau pengguna barang dan jasa atau pembeli atau pemberi pekerjaan.
Persekongkolan ini dapat terjadi dalam bentuk dimana panitia tender atau
panitia lelang atau pengguna barang dan jasa atau pemilik atau pemberi
pekerjaan bekerjasama dengan salah satu atau beberapa perserta tender.
3. Persekongkolan Horizontal dan Vertikal
Merupakan persekongkolan antara panitia tender atau panitia lelang atau
pengguna barang dan jasa atau pemilik atau pemberi pekerjaan dengan
pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa. Persekongkolan ini dapat
melibatkan dua atau tiga pihak yang tekait dalam proses tender. Salah satu
bentuk persekongkolan ini adalah tender fiktif, dimana baik panitia tender,
pemberi pekerjaan, maupun sesame pelaku usaha melakukan suatu proses
tender hanya secara administrasi dan tertutup.
Pasal 3 Keppres No.80 Tahun 2003 menyebutkan untuk tercipta
persaingan usaha yang sehat, pelaksanaan tender atau pengadaan barang/jasa
harus menerapkan prinsip-prinsip dasar :
a. efisien, berarti pengadaan barang/jasa harus diusahakan dengan
menggunakan dana dan daya terbatas untuk mencapai sasaran yang
ditetapkan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan dapat
dipertanggungjawabkan;
b. efektif, berarti pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan yang
telah ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya
sesuai dengan sasaran yang ditetapkan;
c. terbuka dan bersaing, berarti pengadaan barang/jasa harus terbuka bagi
penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan dan dilakukan melalui
persaingan yang sehat di antara penyedia barang/ jasa yang setara dan
memenuhi syarat/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur
yang jelas dan transparan;
Larangan Persekongkolan dalam Tender: Upaya Mewujudkan Good Governance Alum Simbolon
9
d. transparan, berarti semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan
barang/jasa, termasuk syarat teknis administrasi pengadaan, tata cara
evaluasi, hasil evaluasi, penetapan calon penyedia barang/jasa, sifatnya
terbuka bagi peserta penyedia barang/ jasa yang berminat serta bagi
masyarakat luas pada umumnya;
e. adil/tidak diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang samabagi
semua calon penyedia barang/jasa dan tidak mengarah untuk memberi
keuntungan kepada pihak tertentu, dengan cara dan atau alasan apapun;
f. akuntabel, berarti harus mencapai sasaran baik fisik, keuangan maupun
manfaat bagi kelancaran pelaksanaan tugas umum pemerintah dan
pelayanan masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip serta ketentuan yang
berlaku dalam pengadaan barang/ jasa.
Indikasi Persekongkolan Dalam Tender
Persekongkolan dalam tender menyebabkan terjadinya hambatan pasar
bagi peserta potensial yang tidak memperoleh kesempatan untuk mengikuti.
Tender yang berpotensi menciptakan persaingan usaha tidak sehat atau
menghambat persaingan usaha adalah: Tender yang bersifat tertutup atau
transparan dan tidak diumumkan secara luas, sehingga mengakibatkan para pelaku
usaha yang berminat dan memenuhi kualifikasi tidak dapat mengikutinya:
a. Tender bersifat diskriminatif dan tidak dapat diikuti oeh semua pelaku
usaha dengan kompetisi yang sama;
b. Tender dengan persyaratan dan spesifikasi teknis atau merek yang
mengarah kepada pelaku saha tertentu sehingga menghambat pelaku usaha
lain untuk ikut.
Untuk mengetahui telah terjadi tidaknya suatu persekongkolan dalam
tender, berikut dijelaskan berbagai indikasi persekongkolan yang sering dijumpai
pada pelaksanaan tender. Perlu diperhatikan bahwa, hal-hal berikut ini
merupakan indikasi persekongkolan, sedangkan bentuk atau perilaku
persekongkolan maupun ada tidaknya persekongkolan tersebut baru dibuktikan
melalui pemeriksaan oleh tim pemeriksa atau majelis KPPU. Indikasi
persekongkolan pada saat perencanaan, antara lain meliputi:
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
10
a. Pemilihan metode pengadaan yang menghindari pelaksanaan tender/lelang
secara terbuka
b. Pencantuman spesifikasi teknik, jumlah, mutu, dan/atau waktu penyerahan
barang yang akan ditawarkan atau dijual atau lelang yang hanya dapat
disuplai oleh stu pelaku usaha tertentu.
c. Tender/lelang di buat dalam paket yang hanya satu atau dua peserta
tertentu yang dapat mengikuti/melaksanakan.
d. Ada keterkaitan antara sumber pendanaan dan asal barang /jasa.
e. Nilai uang jminan lelang ditetapkan juh lebih tinggi dari pada nilai dasar
lelang.
f. Penetapan tempat dan waktu lelang yang sulit dicapai dan diikuti
Indikasi persekongkolan pada saat pembentukan Panitia, antara lain meliputi:
a. Panitia yang dipilih tidak memiliki kualifikasi yang dibutuhkan sehingga
mudah dipengaruhi.
b. Panitia terafiliasi dengan pelaku usaha tertentu.
c. Susunan kinerja Panitia tidak diumumkan/cenderung ditutup-tutupi
Indikasi persekongkolan pada saat Prakualifikasi Perusahaan atau pra lelang
antara lain meliputi:
a. Persyaratan untuk mengikuti prakualifikasi membatasi dan/atau mengarah
kepada pelaku usaha tertentu.
b. Adanya kesepakatan dengan pelaku usaha tertentu mengenai spesifikasi,
merek, atau dilelangkan.
c. Adanya kesepakatan mengenai cara, tempat, dan/atau waktu Pengumuman
tender/lelang.
d. Adanya pelaku usaha yang diluluskan dalam praakualifikasi walaupun
tidak atau kurang memenuhi persyararatan yang telah ditetapkan
e. Panitia memberikan perlakuan khusus/istimewa kepada pelaku usaha
tertentu
f. Adanya persyaratan tambahan yang dibuat setelah prra-kualifikasi dan
tidak membertitahukan kepada semua peserta.
Larangan Persekongkolan dalam Tender: Upaya Mewujudkan Good Governance Alum Simbolon
11
g. Adanya pemegang saham yang sama diantara atau panitia atau pemberi
pekerjaan maupun pihak lain yang terkait langsung dengan tender/lelang
(benturan kepentingan)
Indikasi persekongkolan pada saat pembuatan persyaratan untuk mengikuti
tender/lelang maupun pada saat penyusunan dokumen tender/lelang, antara lain;
Persyaratan tender/lelang yang mengarah kepada pelaku usaha tertentu terkait
dengan sertifikasi barang, kolomutu, kapasitas, dan waktu penyerah anyang harus
dipenuhi. Indikasi Persekongkolan pada saat pengumuman tender atau lelang,
antara lain; jangka waktu pengumuman tender/lelang yang sangat terbatas;
Informasi dalam pengumuman tender/lelang dengan sengaja dibuat tidak lengkap
dan tidak memadai. Sementara, informasi lebih lengkap diberikan hanya kepada
pelaku usaha tertentu.
Hal tersebut yang sering terjadi, maka penawaran tender yang diumumkan
diberbagai media massa hanya semu, pura-pura sesungguhnya pemenang tender
sudah ada dikantong atau sudah ditentukan sebelumnya. Yang anehnya, bisa
pemenang tender sudah ditentukan oleh para peserta tender sendiri kongkali kong,
atau bisa juga ditentukan oleh penyedia tender, ini harus di hndarkan untuk
mewujudkan good governance.
Dalam proses penyelenggaraan tender harus memenuhi unsur-unsur yaitu:
a. Penyelenggara tender, yaitu pengguna barang dan/atau jasa; penjual
barang; dan panitia tender.
b. Peserta tender, yaitu para pelaku usaha penyedia barang dan/atau jasa, atau
pembeli barang, yang memenuhi persyaratan untuk menjadi peserta tender.
c. Persyaratan tender, meliputi kualifikasi, klasifikasi, dan kompetensi
peserta tender; spesifikasi dan standar barang dan/atau jasa; jaminan yang
harus diberikan peserta tender; serta persyaratan-persyaratan lain yang
ditetapkan dalam dokumen tender pengadaan barang dan/atau jasa,
dan/atau penjualan barang.
d. Penawaran teknis dan harga terbaik yang diajukan oleh penyedia barang
dan/atau jasa, atau penawaran harga terbaik yang diajukan oleh pembeli
barang.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
12
e. Kualitas barang dan/atau jasa, untuk pengadaan barang dan/atau jasa.
f. Waktu tertentu.
g. Tata cara dan metode tertentu, antara lain meliputi prosedur tender, cara
pemberitahuan perubahan, penambahan, atau pengurangan isi dokumen
tender; cara penyampaian penawaran, mekanisme evaluasi, dan penentuan
pemenang tender; serta mekanisme pengajuan sanggahan dan/atau
tanggapan (Tri Anggraini, 2009: 80).
Jika seluruh proses tersebut dipenuhi oleh seluruh peserta tender dan
mengeluarkan pemenang tender dengan cara kompetitief sehat sesuai hasil, maka
iklim usaha yang kondusif meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah
satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat akan tercapai. Disamping
melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya
kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha
menengah dan pelaku usaha kecil. Maka good governance akan tercapai dan
praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku
usaha dapat diatasi dan Tercapai efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
Karena pelaku usaha harus sadar persekongkolan dalam penawaran tender
dianggap menghalangi terciptanya persaingan yang sehat di kalangan para
penawar yang beritikad baik untuk melakukan usaha yang jujur.
PENUTUP
Persekongkolan merupakan salah satu bentuk persaingan curang dalam
dunia usaha yang akan merusak kondisi persaingan usaha.Larangan
persekongkolan tender salah satu cara mewujudkan good governance, hal ini
dilakukan karena dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan
bertentangan dengan tujuan dilakukannya tender tersebut, yaitu untuk
memberikan kesempatan yang sama kepada pelaku usaha agar dapat menawarkan
harga dan kualitas bersaing hasil optimal hingga dapat memasuki pasar global.
Penegakan hukum persaingan usaha yang dilakukan oleh KPPU RI
diharapkan dapat menciptakan iklim usaha yang kodusif,menghasilkan produk
yang baik dengan harga yang kompetitief dan melindungi kepentingan umum.
Namun tetap diharapkan pelaku usaha memperoleh keuntungan yang wajar dan
Larangan Persekongkolan dalam Tender: Upaya Mewujudkan Good Governance Alum Simbolon
13
sustainable tanpa harus mengeluarkan suap atau illegal fees dalam memenangkan
suatu tender. Terwujudnya pemerintahan yang baik dan bersih (good governance)
seiring dengan pengelolaan usaha yang baik, profesional, dan akuntabel (good
corporate governance) akan mempercepat peningkatan perekonomian Indonesia
dan diikuti dengan penegakan hukum persaingan usaha maka masyarakat akan
sejahtera, dapat memperoleh produk yang baik dengan harga yang kompetitief.
Hindari persekongkolan dalam pemenangan suatu tender, bersaing sehat
sejahterakan rakyat.
DAFTAR PUSTAKA
D. Prayoga., Ayudha., et.al., (ed),1999, Persaingan Usaha dan Hukum Yang Mengaturnya di Indonesia, Elips Project & Patnership for Buseniss Competition.
Erawaty, A.F. Elly., 1999, Membenahi Perilaku Pelaku Bisnis Melalu Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Fahmi, Andi dan Natasya, Ningrum (Ed.,), 2009, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, Publishid and Printed with Support of Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, Printed in Indonesia.
Friedman Lawrence M., 1986, The Legal System; A social Science Perspective, New York, Russel Sage Fondation.
Fromm, Bill., Tanpa tahun, Kocak dan Menyenangkan Sepuluh Hukum Bisnis dan Bagaimana Melanggarnya
Kovaleff. Theodore P., The Antitrust Impulse, Volume I An Economic, Historical, and Legal Analisys, M.E, Sharpe, Armonk, New York, London, England.
Laporan Tahunan KPPU Tahun 2003, Tahun Koreksi Kebijakan. Laporan Tahunan KPPU Tahun 2005,Merajut Dukungan Publik Laporan Tengah KPPU Tahun 2007, Reformasi Regulasi Laporan Semester 1 KPPU Tahun 28, Tahun Implementasi Persaingan Usaha Luis. Tinoe., and Maria Coppola, 2001, Competition Policy and Economic
Growth in Indonesia; a Report on Issues and Options, World Bank. Mahkamah Agung –RI, 2005, Naskah Akademis Tentang Persaingan Usaha dan
Anti Monopoli, Jakarta. Maulana, Budi, Insan., 2000, Pelangi Haki dan Anti Monopoli, Pusat Studi
Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII Yogyakarta. Marzuki. Peter. M., 2005, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, Mertokusumo. Sudikno, 2003, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogakarta,
Liberty. ------------, 2006, Penemuan Hukum, Liberty, Yogyakarta. Muhammad, Abdulkadir., 2001, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan
Intelektual, Penertbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
14
Penner J.E., 2000, The Law of Trusts, Second edition, Butterworths, London, Edinburgh, Dublin.
Piraino, Jr.Thomas A., 1994, Making Sense of The Rule Of Reason: A New Standart for Section 1 of the Sherman Act, 47 Vanderbilt Law Review.
Posner. Richard. A., 2001, Anti Trust Law, Second Edition, The University of Chicago Press, Chicago and London.
KPPU, 2007, Pedoman Pasal 22 tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender BerdasarkanUU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ,Jakarta: Cetakan ke-IV.
JURNAL:
Krisanto, Yakub Adi, 2005, Analisis Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 dan Karakteristik Putusan KPPU tentang Persekongkolan Tender, Jurnal Hukum Bisnis, vol. 24 Nomor II,
Pasaribu, Benny, 2009, Peran Persaingan Usaha dalam Upaya Pemberantasan Korupsi, Jurnal Persaingan Usaha, Edisi 2 Tahun 2009.
Simbolon, Alum, 2009, Implementasi Penegakan Hukum Persaingan di Indonesia, Jurnal Wacana Indonesia, Volume 1, Nomor 1, Desember, Yogyakarta
Tri Anggraini, Anna Maria, 2009, Implementasi Perluasan Istilah Tender dalam Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Jurnal Persaingan Usaha, Edisi 2 Tahun 2009.
PERUNDANG-UNDANGAN:
Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Keputusan Presiden RI No.162/M tahun 2000. Pengangkatan Anggota Komisi
Pengawas Persaingan Usaha Masa Jabatan 2000-2005. Keputusan Presiden RI No.59/P Tahun 2006 Tentang Pemberhentian
Keanggotaan Komisi masa jabatan 2000-2005, dan Pengangkatan Keanggotaan KPPU masa jabatan 2006-20011
Keputusan Presiden RI Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 05/KPPU/KEP/IX/2000 Tentang
Tata Cara Penyampian Laporan dan Penanganan Dugaan Pelanggaran Terhadap UU No.5 Tahun 1999.
Keputusan KPPU No.41/KEP/KPPU/VI/2003 Tentang Sekretariat Komisi Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2006 Tentang
Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU.
Wacana Indonesia Volume 2, Nomor 2, April Tahun 2010 (15 ‐ 24)
15
JELANG PILKADA JILID KE DUA: DEMOKRASI KAPITALISTIK VS GOOD GOVERNANCE
Suraji
Candidate Ph.D dalam Bidang Administrasi Publik UGM Koordinator Program Matapena Institute, Pengurus Pusat FWI
([email protected], [email protected])
ABSTRACT
In newly democratic countries, democratization process. Transition from old authoritarian regime toward a new type of regime. It means that transition run imperfectly. Breed fragile and unconsolidated democracy. Meanwhile, it need a maturely consolidated democracy. In other words, consolidating democracy process become a significant factor. Accomplishing democratic transition. Protests/demands of change Still happening in Indonesia in a decade when the country get in a decade of reform. Local democracy with direct local election.
Keywords: good governance-local democracy-capitalistik
PENDAHALUAN
Usia reformasi yang hampir satu dekade, banyak hal semestinya bisa kita
jadikan bahan renungan. Perubahan konfigurasi ke arah liberalisasi telah
menjadikan tumbuh suburnya partai politik (parpol), selain kebebasan media
massa serta maraknya partisipasi warga. Bukti nyata tahun 1999 terdapat 48 partai
politik, tahun 2004 sebanyak 24 partai politi, tahun 2009 terdapat 38 partai politik
(ditambah 6 partai politik lokal di Aceh). Sebagai fase awal menapaki era
demokrasi era saat ini jelas sangat menggembirakan. Melalui perubahan dan
liberalisasi politik, jalur-jalur strategis proses demokrasi sangat terbuka, bahkan
siapan dapat menjadi pejabat publik untuk bersaing dengan lawan politik dari
pusat hingga daerah. Perubahan fungsi parpol juga kelihatan walaupun masih
belum sempurna, berbagai bentuk pendidikan politik mulai menyentuh warga
yang semakin lama akan menumbuhkan kesadaran berdemokrasi. Prestasi itu,
secara umum dapat dikatakan menggembirakan yang perlu diapresiasi oleh kita
semua.
Sebagaimana cita-cita reformasi mewujudkan demokrasi politik dan
kesejahteraan masyarakat, perkembangan dan dinamika itu ternyata belum sesuai
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
16
harapan. Pembiyakan parpol dalam perubahan 5 tahun era reformasi, banyak
mengalami penyimpangan-penyimpangan serius, tidak sesuai harapan masyarakat
(normatifnya). Parpol sebagai institusi, alat dan kekuatan artikulasi politik warga
ternyata banyak mengalami masalah. Mulai dari wataknya yang oligarkhis, feodal,
elitis, korupsi, kekerasan, manipulasi amanat, sampai susahnya mereka
membangun konsensus dan konsistensi internal yang ditunjukkan berupa
maraknya gejala perpecahan disana-sini dalam tubuh parpol yang kian
memprihatinkan. Dari bermacam hasil penelitian yang dilakukan banyak pihak,
wacana media massa, sampai tindakan-tindakan praktis kasat mata, pada berbagai
arena dan kegiatan membuktikan parpol-parpol telah mengidap disorientasi.
Secara teoritik dan normatif menjadi kekuatan demokrasi, ternyata secara empirik
makin tidak terpercaya karena para politisi sebagai aktor gagal memainkan
perannya sebagaia agen demokrasi (Ari, IRE, 2008: 32).
Tahun ini (2010) sudah dipastikan perhelatan pilkada jilid kedua akan
segera dimulai, hampir 247 provinsi/kabupaten/kota yang akan menyelenggarakan
pilkada. Tahapan-tahapan tersebut kini sudah di mulai dari pengajuan anggaran
sampai pelaksanaanya. Bahkan di beberapa daerah partai politik sudah mulai
pemilihan, ada juga yang baru membuka pendaftaran balon, scalon yang akan
maju dari kader parpol maupun tokoh masyarakat juga sudah berancang-ancang
mengadakan lobi politik, survai, pertemuan terbatas, maupun tebar pesona, tengok
aja di Sleman, Bantul, Gunung Kidul dan 17 kabupaten/kota di Jawa Tengah serta
227 daerah-daerah lain di Indonesia. Walaupun perhelatan tersebut sudah dekat,
dan ada yang sudah melakukan, namun persoalan pilkada masih mengganjal
terutama landasan yuridis penyelenggaraan pilkada yaitu UU N0.32/2004 tentang
Pemerintah Daerah, tak lagi mampu mengakomodasi berbagai tuntutan publik
dalam penyelenggaraan pilkada yang efisien, efektif, dan demokrasi baik dari sisi
manajemen, biaya maupun perluasan hak pilih. Di samping itu UU No.32/2004
juga perlu disinkronkan dengan UU No.22/2007 tentang penyelenggaraan pemilu.
UU No.22/2007 menyatakan bahwa pilkada adalah bagian dari pemilu sehingga
penyelenggaraan tidak lagi dilakukan bersama Depdagri melainkan oleh KPU
Jelang Pilkada Jilid ke Dua: Demokrasi Kapitalistik vs Good Governance Suraji
17
sebagai supervisor dan KPUD sebagai penyelenggara (Riewanto, 2009 Kompas:
5).
Dalam menyelesaikan masalah tersebut dibutuhkan kesungguhan
pemerintah dan DPR yang baru untuk sesegera mungkin menyelesaikan UU
tersebut, sehingga dasar yuridis pilkada jilid kedua segera terselesaikan. Namun
yang menarik baru-baru ini Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary di beberapa media
mengatakan KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota tidak bingung dalam
melaksanakan tahapan penyelenggaraan pilkada. KPU Pusat meminta untuk tetap
menggunakan UU No.32/2004 tetang peraturan Pemerintah Daerah, serta
peraturan yang terkait. KPU di daerah tidak perlu bingung, tidak perlu bertanya
kesana kemari pakai saja peraturan yang lama dan masih berlaku.
Terlepas dari permasalahan tersebut yang mengundang banyak komentar
dari berbagai pihak tentunya tidak membuat kita lupa akan makna substansi dari
pesta demokrasi di level daerah ini. Pilkada secara langsung ini merupakan angin
segar bagi tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai demokrasi di daerah. Adanya
sinyalemen kuat akan terjadi politik uang (money politik) dalam pencalonan
kepala daerah dalam tubuh partai politik maupun calon independen pada saat
kampanye, isu pilkada yang tidak berkualitas, rendahnya kapabilitas dan
alektabilitas calon yang dimunculkan serta nihilnya tanggung jawab moral ketika
kepala daerah terpilih mengindikasikan kepada kita bahwa benih-benih demokrasi
didaerah tersebut tidak akan terhindarkan dari praktik-praktik politik kotor yang
akan mengurangi makna demokrasi itu sendiri.
DEMOKRASI KAPITALISTIK
Dewasa ini, istilah "demokrasi" mengalami apa yang disebut sebagai
inflasi semiotika. Menurut kamus politik diartikan sebagai fenomena
melimpahnya penggunaan "demokrasi", memiskinkan makna, istilah demokrasi
dipakai dan menjadi obrolan dari warung kopi, warung remang-remang sampai
institusi istana. Saking sering dipakai, sampai-sampai orang lupa apa arti
demokrasi yang sebenarnya. Akibatnya, siapa saja bisa memakai "demokrasi"
sebagai selubung aneka kepentingan jangka pendek, menengah, maupun jangka
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
18
panjang. Bahkan dengan tuntutan demokrasi pelaksanaanya malah melanggar
nilai-nilai demokrasi atau sering disebut demokrasi “keblablasan”. Larry Diamond
(1999), dalam bukunya Developing Democracy toward Consolidation,
mengungkapkan definisi demokrasi sebagai persoalan bagaimana merawat
stabilitas dan persistensi demokrasi. Lanjutnya, demokrasi menekankan pada
proses pencapaian legitimasi yang kuat, sehingga semua aktor politik yang
signifikan, baik pada level massa maupun elite, percaya bahwa pemerintahan
demokratis adalah yang paling tepat bagi masyarakat mereka.
Dalam konteks Indonesia, setelah diasumsikan berhasil meraih demokrasi
pasca runtuhnya pemerintahan orde baru, ternyata tidak diikuti oleh penguatan
konsolidasi demokrasi. Akibatnya, bangsa ini kehilangan arah dan orientasi dalam
menentukan masa depannya. Persoalan legitimasi yang menjadi salah satu
indikator dari keberhasilan konsolidasi demokrasi, juga belum mengakar secara
kuat. Hal ini dibuktikan oleh beberapa kali pergantian rezim pasca tumbangnya
orde baru. Dan tidak menutup kemungkinan pemerintahan ke depan akan
mengalami nasib yang sama, jikalau tidak mempercepat langkah-langkah menuju
penguatan demokrasi. Karena tidak berjalannya konsolidasi demokrasi yang
mengakar dapat mengakibatkan krisis legitimasi yang kemudian melahirkan
“power-state deflation”. Jika mengikuti keterangan di atas, maka ada beberapa
faktor yang menyebabkan kegagalan demokrasi di Indonesia. Pertama, proses
konsolidasi demokrasi masih terpusat pada struktur-elite. Di Indonesia sendiri,
elite politik yang ada masih tercerai-berai tanpa ada visi dan komitmen bersama
untuk membangun demokratisasi yang lebih substansial. Kedua, konsolidasi
demokrasi oleh elite dimaknai sebagai kompromi politis memperebutkan
kekuasaan bukan sebagai kekuatan transformatif yang memperjuangkan nasib
rakyat. Fenomena pelacuran politik ini dapat kita amati pada pemilu di Indonesia.
Meskipun dilakukan secara langsung, dalam arti rakyat yang menentukan, tapi
tetap saja yang berperan penting adalah elite dan partai politik. Bukannya
konsolidasi demokrasi yang terjadi melainkan konsolidasi elite untuk
mempertahankan status quo.
Jelang Pilkada Jilid ke Dua: Demokrasi Kapitalistik vs Good Governance Suraji
19
Tentu tidak ada yang menyangkal bahwa pilkada secara langsung adalah
wujud demokratisasi yang mulai berdiri kokoh di negeri ini. Harapan kita
masyarakat akan dengan bebas menentukan pemimpin yang visioner dan mampu
meningkatkan kemakmuran di daerah mereka masing-masing. Rakyat pun akan
semakin dewasa dalam memilih calon pemimpin mereka karena pasca pemilu
2009 terdapat perubahan pola dalam masyarakat yang berbeda dengan pemilu
pada era-era sesudahnya. Pilkada diharapkan mampu menentukan masa depan
kemajuan daerah.
Sistem yang digunakan dalam pilkada selain melalui jalur parpol juga
tersedia jalur independen. Namun dari dua jalur tersebut tidak terlepas dari modal
financial yang cukup besar. Dengan logika ini, sudah barang tentu bagi
masyarakat yang tidak memiliki dana besar walaupun potensial dan disenangi
rakyat tidak akan mungkin bisa menjadi kepala daerah. Pilkada sebagai pesta
demokrasi hanya dirasakan oleh para pemilik modal, sementara rakyat kecil hanya
menjadi sapi perahan bagi segelintir orang yang memiliki kepentingan. Maka
demokrasi tidak lagi berjalan sebagaimana mestinya. Karena hanya orang kaya
saja yang menikmati indahnya demokrasi kalaupun hal itu masih pantas disebut
demokrasi. Demokrasi hanya dinikmati oleh segelintir orang dengan capital besar,
maka demokrasi tidak lagi merakyat dan mengedepankan kesetaraan, dan
keadilan. Pada aras ini, wajar jika muncul pertanyaan apakah demokrasi masih
relevan untuk dipertahankan?. Inilah kegaluan yang terjadi saat ini di mana
demokrasi dimaknai sebagai pendekatan capital yang diukur dari kemampuan
calon dalam mempunyai modal financial untuk membiayai arena demokrasi local
tersebut. Ujung-ujungnya calon kepala daerah dipilih bukan karena figur dan
pengalamnnya, tetapi karena berapa uang dan sumbangan yang diberikan kepada
pemilihnya. Dengan demikian tentu kita galuh dengan pemaknaan demokrasi
yang lebih ternilai oleh materi daripada pemaknaan demokrasi yang
sesungguhnya, perasaan pesimistik, membuat kita apaka ini realita yang
sesunguhnya?. Tentu tidak optimisme terhadap pemaknaan demokrasi dan
komitmen terhadap kemajuan daerah harus diperjuangkan dengan semangat, jiwa
besar, visioner, kritis, aspiratif, berkeadilan, jujur dan di dukung masyarakat.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
20
PILKADA: DEMOKRASI LOKAL MENUJU GOOD GOVERNANCE
Permasalahan yang terjadi dalam pilkada sebagai ruh demokrasi di negeri
ini. Seharusnya menjadi alat dalam pelaksanaan tata pemerintahan di daerah
menuju konsep yang lebih baik (good governance). Sebagai konsep baru good
governance mulai disebarkan sebagai mantra-mantra ‘’mujarab’’ bagi
institusionalisasi modernisasi politik pasca otoriter. Di lingkungan negara-negara
Dunia Ketiga, seperti Indonesia misalnya, penyebarannya kian merajalela, bahkan
menjadi manifesto politik baru yang kian populer. Dari aspek teorisasi,
sesungguhnya banyak perspektif mengenai good governance ini dapat dirujuk,
yang ternyata memiliki basis tekanan berbeda-beda. Dari model dengan landasan
pada struktur pemerintahan semata, hubungan masyarakat dan negara, sampai
dengan yang lebih maju perspektif adalah keseimbangan relasi negara, masyarakat
dan market (Bank Dunia, 2002: 45).
Seiring dengan perkembangan hubungan pemerintah dengan masyarakat
terutama dengan munculnya konsep good governance, maka muncul pertanyaan
apakah konsep good governance mampu menjadi alternatif bagi pelaksanaan
terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah?, sejauh mana pemerintah dapat
diterima oleh masyarakat? Dapatkan pemerintah mengimplementasikan good
governance? penilaian-penilaian tersebut menjadi penting untuk menghubungkan
pelaksanaan demokrasi di daerah.
Istilah good governance diartikan sebagai aspek-aspek normatif
pemerintahan yang digunakan dalam menyusun berbagai kriteria dari yang
bersifat politik hingga ekonomi. Kriteria tersebut digunakan dalam merumuskan
kebijaksanaan pemberian bantuan luar negeri, khususnya kepada negara-negara
berkembang. Menjelaskan karakteristik good government, yaitu: legitimasi,
akuntabilitas, kompetensi, penghormatan terhadap hukum/ hak-hak asasi manusia.
Pengertian dari karakteristik-karakteristik yang dimaksud, ialah: Pertama,
legitimasi. Legitimasi menekankan pada kebutuhan terhadap sistem pemerintahan
yang mengoperasikan jalannya pemerintahan dengan persetujuan dari yang
diperintah (rakyat), dan juga menyediakan cara untuk memberikan atau tidak
memberikan persetujuan tersebut. Kedua, akuntabilitas. Mencakup eksistensi dari
Jelang Pilkada Jilid ke Dua: Demokrasi Kapitalistik vs Good Governance Suraji
21
suatu mekanisme (baik secara konstitusional maupun keabsahan dalam
bentuknya) yang meyakinkan politisi dan pejabat pemerintahan terhadap aksi
perbuatannya dalam penggunaan sumber-sumber publik dan performa
perilakunya. Akuntabilitas membutuhkan keterbukaan dan kejelasan serta
keterhubungannya dengan kebebasan media. Ketiga, kompetensi. Pemerintah
harus menunjukkan kapasitasnya untuk membuat kebijakan yang efektif dalam
setiap proses pembuatan keputusannya, agar dapat mencapai pelayanan publik
yang efisien. Pemerintah yang baik membutuhkan kapabilitas manajemen publik
yang tinggi, dan menghindari penghamburan dan pemborosan, khususnya pada
anggaran militer yang tinggi. Pemerintah harus menunjukkan perhatiannya pada
biaya pembangunan sosial seperti: antikemiskinan, kesehatan, dan program-
program pendidikan. Keempat, penghormatan terhadap hukum/hak-hak asasi
manusia. Pemerintah memiliki tugas (bukan hanya yang terdapat pada konvensi-
konvensi internasional) untuk menjamin hak-hak individu atau kelompok dalam
mengekspresikan hak-hak sipil dan politik yang berhubungan dengan
kemajemukan institusi.
Dalam perspektif lain memandang negara segala-galanya, maka perspektif
governance mempunyai sejumlah ortodoksi baru dalam mengelola negara yang
bersandar pada enam prinsip utama: Pertama, negara tetap menjadi pemain kunci
bukan dalam pengertian dominasi dan hegemoni, tetapi negara adalah aktor setara
(primus inter pares) yang mempunyai kapasitas memadai untuk memobilisasi
aktor-aktor masyarakat dan pasar untuk mencapai tujuan besar. Kedua, negara
bukan lagi sentrum “kekuasan formal” tetapi sebagai sentrum “kapasitas politik”.
Kekuasaan negara harus ditransformasikan dan “kekuasaan atas” (power over)
menuju “kekuasaan untuk” (power to). Ketiga, negara harus berbagi kekuasaan
dan peran pada tiga level: “keatas” pada organisasi transnasional; “kesamping”
pada NGO dan swasta; serta “kebawah” pada daerah dan masyarakat lokal.
Keempat, negara harus melonggarkan kontrol politik dan kesatuan organisasinya
agar mendorong segmen-segmen di luar negara mampu mengembangkan
pertukaran dan kemitraan secara kokoh, otonom dan dinamis. Kelima, negara
harus melibatkan unsur-unsur masyarakat dan swasta dalam agenda pembuatan
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
22
keputusan dan pemberian layanan publik. Keenam, penyelenggara negara harus
mempunyai kemampuan responsif, adaptasi dan akuntabilitas publik (Sunyoto,
2003: 15).
Mengkontekstualisasi dan mencari relevansi good governance secara
ideal, sangat penting dilakukan. Meskipun, sejauh ini masih menghadapi kendala
yang tidak ringan. Apalagi jika dikaitkan dengan masalah pemerintahan,
penyelenggaraan pilkada maupun partai politik sendiri. Misalnya dalam aspek
politik, secara internal lembaga-lembaga politik dikelola tidak profesional, jauh
dari etika politik dan tidak menjalankan fungsi demokrasi dan good governance
yang sebenarnya. Akibatnya, merajalela KKN di kalangan keterlibatan kepala
daerah, DPRD, birokrat, tokoh masyarakat dan perusahaan-perusahaan daerah.
Dalam penyelenggaraan pilkada sebagai arena demokrasi lokal harus
mengacu dalam prinsip tata kelola yang baik (good governance) terdapat sepuluh
prinsip diantaranya: Pertama, partisipasi yaitu mendorong semua warga negara
mengeksresikan pendapatanya/pilihannya dalam proses penyelenggaraan pilkada
yang demokratis, jujur dan tidak memaksa yang menghasilkan partisipasi publik
untuk memilih calon yang dinyakini dapat menyelesesaikan permasalahan publik
dan membawa aspirasinya. Kedua, penegakan hukum yaitu, pelaksanaan dan
penegakan hukum dan perundangan yang berlaku secara adil dan tanpa
diskriminasi, serta mendukung HAM dalam pilihan dan sikap semua masyarakat.
Ketiga, transparansi yaitu, membangun saling kepercayaan antara pemerintah,
penyelenggara pilkada, partai politik, LSM dan masyarakat dengan memberikan
informasi yang dibutuhkan dan akses informasi yang mudah bila dibutuhkan.
Keempat, responsif yaitu, meningkatkan responsitas penyelenggaraan pilkada
terhadap keluhan, masalah dan aspirasi masyarakat tanpa diskriminasi. Kelima,
pemerataan yaitu, memberikan peluang yang sama bagi semua warga untuk maju
sebagai kandidat/calon kepala daerah ikut serta dalam pilkada. Keenam, visi
stratejik yaitu, memformulasikan suatu strategi (yang mengena bagi pemerintah
daerah, penyelenggara pemilu, partai politik), yang didukung dengan sistem
penganggaran berbasis kinerja, sehingga dapat dipertanggungjawabkan kepada
publik. Ketujuh, efektifitas dan efesiensi yaitu, upaya penyelenggaraan pilkada
Jelang Pilkada Jilid ke Dua: Demokrasi Kapitalistik vs Good Governance Suraji
23
yang dapat melibatkan semua warga dengan memanfaatkan sumber daya dan dana
secara benar dan proporsional. Kedelapan, profesionalisme yaitu, meningkatkan
kapasitas, ketrampilan, dan moral penyelenggara pilkada, partai politik, calon
kepala daerah sedemikian rupa, sehingga menghasil lokomotif demokrasi dan
menghasilkan kepala daerah yang diharapkan masyarakat. Kesembilan,
akuntabilitas yaitu, meningkatkan akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan
pilkada bagi KPUD, Panwas, partai politik dan calon kepala daerah dari proses
pilkada hingga selesai pilkada. Kesepuluh, pengawasan yaitu, melakukan kontrol
dan pengawasan atas tahapan-tahapan pilkada, disamping juga pengawasan
terhadap calon incambent yang menggunakan dana untuk kepentingan politiknya.
Semua konsep tata kelola pelaksanaan pilkada tersebut menjadi harapan kita
semua, agar demokrasi lokal betul-betul sesuai harapan dan menghasilkan
pemerintahan daerah yang mengacu pada konsep-konsep good governance yang
tidak hanya pada pelaksanaanya tetapi setelah kepala daerah terpilih tetap
melaksanakan konsep-konsep good governance tersebut.
PENUTUP
Pemilihan kepala daerah yang jujur, adil, bebas, rahasia dan tentu terhindar
dari kasus money politik dan praktik politik kotor lainlah yang akan melahirkan
pemimpin idaman masyarakat. Kriteria Pemimpin yang bersih, jujur, berani,
berbasis intelektual, agamis, berpengalaman, akuntabel, memiliki tred record
yang baik, tentu menjadi kebanggaan bersama. Jika kriteria itu telah terpenuhi
oleh calon kepala daerah bukan tidak mungkin good governance akan benar-benar
terwujud.
Pemilihan kepala derah jangan menjadi potensi melahirkan ‘raja-raja baru‘
di daerah yang sulit dikritisi oleh masyarakat. Kemunculan raja-raja ini terjadi
akibat kuatnya klaim legitimasi kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh
rakyat. Terlebih lagi tidak ada mekanisme mudah bagi Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, masyarakat umum, dan kalangan NGO untuk menjatuhkan kepala daerah
hasil pemilihan langsung oleh rakyat. Realita ini menuntut kita berfikir kritis dan
solutif untuk memecahkan persoalan.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
24
Sebagai langkah konkretnya, rakyat diharapkan memiliki kemampuan
untuk memposisikan diri sebagai aktor sosial (social agents) yang kritis, rasional,
aktif, kreatif, dan produktif dalam melahirkan berbagai alternatif guna keluar dari
sistem hegemonik dan sekaligus melakukan counter-culture terhadap setiap
kemapanan dan ketidakadilan. Untuk itu, hendaknya mereka berani melakukan
pembacaan kritis dan pembongkaran terhadap segala realitas hegemonik tersebut.
Dalam konteks good governance demokrasi di tingkat lokal adalah
menjadi arah dan kendaraan tuntutan terhadap peran negara untuk mewujudkan
tata pemerintahan yang baik di level pusat dan daerah. Dalam hal ini, kerja
bersama antara pemerintah pusat, daerah, KPU Pusat, KPUD, Panwas, partai
politik, akademisi, LSM dan masyarakat tanpa kecuali untuk mewujudkan pilkada
yang bersih, berkeadilan, aspiratif, menuju tata pemerintahan yang baik (good
governance) di daerah. Semoga Amien
DAFTAR PUSTAKA
Aderson, James, 1979, Public Policy Making, Renehart and Winston: New York. Ari Sujito, 2008, Demokrasi Desa: Teori dan Pelaksanaan di Lapangan, IRE:
Yogyakarta Bratton, Michael dan Donald Rothchild, 1994, Good Goveranance and
Empowerment, Ford Foundation. Dwiyanto, A, dkk, 2003, Governance Practices and Regional Autonomy:
Evidences from Governance and Decentralization Survey (GDS) 2002, Partnership for Governance Refrom in Indonesia and Word Bank: Yogyakarta.
Eva Etziani-Helevy, 1983, Bureaucracy and Democracy A political Dilemma, diterjemahkan oleh Suraji, Total Media Press: Yogyakarta.
Larry Diamond, 1999, Developing Democracy toward Consolidation, Post Dert: AS Press.
Syakrani dkk, 2009, Implementasi Otonomi Daerah dalam Perpsektif Good Governance, Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Suyoto Usman, 2003, Pemberdayaan Masyarakat: Politik dan NGO, Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Riwanto, 2009, Demokrasi Lokal Tergadai, Dalam Analisis Kompas, 23 Desember 2009
Land Castles, 2004, Demokrasi di Era Baru, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Pratikno, 2004, Governance In Practices: Belajar Dari Pengalaman Di
Indonesia, Seminar Fisipol UGM: Yogyakarta.
Wacana Indonesia Volume 2, Nomor 2, April Tahun 2010 (25 ‐ 34)
25
IDE KESEIMBANGAN DALAM KONSEP KUHP BARU INDONESIA
Rama Putra
Mahasiswa Program Ilmu Hukum UNDIP Semarang ([email protected])
Abstract
The reform and the development of the national law system, especially in penal sector was one of agenda within law politic in Indonesia. This effort shall be done consistently, systematically, internally, and continuously. The idea of reform as the construction and reconstruction and restructure effort of the main national penal system (that is Penal Code) is the agenda that shall be realized. This paper will review the concept of Penal Code 2008 as well as evaluate the basic idea that stands as the principle. In order to ease the understanding and comprehension, the analysis starts from 3 (three) materials/ substances/ main problems of Penal, which are problems “Criminal Action or Action that Fights against the Law (Criminal Act), the Problem of “the Criminal Responsibility”, and the Problem of “Penal” and “the Penalizing (punishment and treatment system)”, each is the subsystem as well as the pillar of the entire system of Penal (Penalization).
Keywords: Balance Idea, Penal Reform, Penal Code Concept, The Sentencing System
PENDAHULUAN
Pembaharuan sistem hukum pidana atau yang lebih populer dikenal
dengan istilah penal reform, tentu akan selalu menarik untuk diperbincangkan,
apalagi di tengah masyarakat yang semakin kritis dan berkembang sesuai dengan
angin perubahan yang terus berhembus kencang. Pembaharuan sistem hukum
pidana sebagaimana dikatakan Barda Nawawi Arief, merupakan suatu “masalah
besar” yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Masalah besar yang dihadapi
itu ialah masalah memperbaharui dan mengganti produk-produk kolonial di
bidang hukum pidana, khususnya pembaharuan KUHP (WvS) warisan zaman
Hindia Belanda yang merupakan “induk” dari keseluruhan sistem hukum pidana
sampai saat ini (Arief, 2005, Cet. II, Feb : 153).
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
26
Untuk itu dalam rangka melakukan rekonstruksi/restrukturisasi sistem
hukum pidana yang terdapat dalam KUHP maka dibutuhkan suatu
gagasan/konsep/ide tentang pembaharuan tersebut.
METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan
Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang bertujuan untuk
mempelajari aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan pembaharuan hukum
pidana di Indonesia khususnya pembaharuan KUHP (WvS). Jenis penelitian ini
jika mengacu pada buku Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji adalah penelitian
hukum normative yaitu meliputi penelitian terhadap peraturan perundang-
undangan yang berlaku, perbandingan hukum dan sejarah hukum (Soekanto, 2004
: 13-14). Akan tetapi jika merujuk kepada Bambang Sunggono, maka jenis
penelitian ini tergolong Penelitian Doktrinal (Sunggono, 2006 : 81).
Pembahasan mengenai ide dasar pembaharuan hukum pidana adalah
bertolak dari hukum normatif. Menurut Barda Nawawi Arief, apabila diartikan
dalam kajian hukum normatif, maka ruang lingkup atau jenis-jenis Ilmu Hukum
Pidana Normatif berkaitan erat dengan jenis-jenis hukum pidana yang dikaji
(hukum pidana sebagai objek kajian) yang meliputi hukum positif (ius
constitutum), hukum pidana yang akan datang (ius constituendum), hukum pidana
asing (ius comperandum; hukum yang menjadi kajian perbandingan) dan hukum
adat (hukum tidak tertulis). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel 1,
Tabel 1.
No Jenis Hukum Pidana (objek kajian)
Jenis (nama) Ilmu Hukum Pidana
Normatif Keterangan
1 HP Positif (ius constitutum) Ilmu HP (Positif) Pengertian “normatif”
(yang seharusnya) dapat diartikan : • Secara sempit : hanya
no. 1 (hukum pidana positif)
• Secara luas : meliputi No. 1 s/d 4.
2 HP yang akan datang (ius constutiendum) Politik HP (penal policy)
3
HP Asing (ius comperandum; hukum yang menjadi objek kajian perbandingan)
Perbandingan hukum pidana
4 HP Adat (tidak tertulis) Hukum Pidana Adat
Sumber: Arief, 2008 : 6
Ide Keseimbangan dalam Konsep KUHP Baru Indonesia Rama Putra
27
Sebagaimana uraian diatas, bahwa penelitian ini merupakan penelitian
normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data sekunder, (Soemitro, 1991: 44), maka jenis data penelitian ini
meliputi data sekunder. Penggunaan data sekunder akan diajukan pada data
sekunder yang bersifat publik, baik yang berupa arsip maupun data resmi pada
instansi-instansi pemerintah. (Soekanto, 1986: 12).
Melihat objek masalah yang akan ditelusuri dalam penelitian ini adalah
KUHP dan konsep KUHP (RKUHP) dalam rangka pembaharuan sistem
pemidanaan, maka penelitian ini menggunakan metode yang berpijak pada
analisis hukum. Objek permasalahan termasuk dalam penelitian dan pengkajian di
dalam bidang ilmu hukum dan lebih khusus lagi merupakan penelitian di bidang
ilmu politik hukum pidana (pembaharuan hukum pidana).
Penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan
interdispliner. Atas objek masalah yang akan ditelusuri dalam penelitian ini
dianalisis berdasarkan obyek penelitian ilmu hukum yang akan mencakup :
Hukum Positif, yaitu hukum yang berlaku pada waktu tertentu. Sebagaimana yang
dimaksud Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, untuk penelitian hukum normatif
atau kepustakaan cakupannya meliputi asas-asas hukum, sistematik hukum,
sinkronisasi vertikal dan horizontal hukum, perbandingan hukum serta sejarah
hukum. Karena itu, metode penelitian yang dipergunakan adalah penelitian yuridis
normatif untuk mengkaji kaidah-kaidah hukum yang berlaku bagi usahan
pembaharuan sistem pemidanaan (sistem hukum pidana nasional).
2. Jenis Data
Penelitian yuridis normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka
atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,
dan bahan hukum tertier. Kemudian data tersebut dianalisis secara yuridis
kualitatif, artinya tanpa menggunakan rumus akan tetapi disajikan dalam bentuk
uraian dan konsep. Selaras dengan tipe penelitian yaitu yuridis, maka data
diperoleh melalui studi atau penelitian kepustakaan (library research) dengan
mengkaji peraturan perundang-undangan, doktrin serta literatur penting yang
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
28
berkaitan dengan objek yang diteliti, untuk lebih menunjang akurasi data bila
perlu dilakukan pula studi atau penelitian lapangan (field research).
3. Metode Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan penelitian
kepustakaan guna mendapatkan landasan teoritis berupa pendapat-pendapat atau
tulisan-tulisan para ahli dan pihak-pihak (instansi) pemerintah yang berwenang,
juga untuk memperoleh informasi baik dalam bentuk ketentuan formal maupun
data melalui naskah resmi yang ada. Prosedur analisis yang dipergunakan dalam
tesis ini adalah analisis normatif kualitatif. (Soemitro, 1990: 107).
Untuk menunjang data kepustakaan yang diharapkan sudah dapat menjadi
bahan untuk penyelesaian penelitian ini, bila perlu dilakukan penelitian lapangan
dalam bentuk wawancara dari responden yang terdiri dari praktisi Hukum dan
teoritisi hukum atau orang yang berkompeten dibidangnya. Sedangkan alat
penelitian yang digunakan dalam penelitian lapangan adalah wawancara yang
dilakukan secara langsung dalam bentuk dialog.
4. Metode Analisis Data
Bahan-bahan yang telah berhasil didapat atau dikumpulkan selanjutnya
akan disajikan secara selektif dan sistematis, langkah berikutnya data tersebut
dibahas/dianalisis dengan metode deskriptif analisis artinya dari semua bahan
hukum yang berhasil dikumpulkan dipakai untuk menggambarkan permasalahan
dan sekaligus pemecahannya dan dilakukan secara kualitatif normatif.
PEMBAHASAN
Pengertian Dan Ruang Lingkup Sistem Pemidanaan
Prof. Barda Nawawi Arief dalam sebuah kuliah umumnya di Universitas
Islam Riau pernah mengatakan bahwa, sistem pemidanaan adalah sistem
penegakan hukum pidana atau sistem hukum pidana (Arief, 2005, Des : 2).
Sementara itu Hulman mengemukankan, bahwa sistem pemidanaan (the
sentencing system) adalah “aturan perundang-undangan yang berhubung-an
Ide Keseimbangan dalam Konsep KUHP Baru Indonesia Rama Putra
29
dengan sanksi pidana dan pemidanaan” (the statutory rules relating to penal
sanctions and punishment). Apabila pengertian “pemidanaan” diartikan
sebagai suatu “pemberian atau penjatuhan pidana”, maka pengertian “sistem
pemidanaan” dapat dilihat dari 2 (dua) sudut, yaitu : Pertama, dalam arti luas,
sistem pemidanaan dilihat dari sudut fungsional, yaitu dari sudut bekerjanya atau
prosesnya. Dalam arti luas ini, sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai :
a. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk fungsionali-
sasi/operasionalisasi/konkretisasi pidana;
b. Keseluruhan sistem (perundang-undangan) yang mengatur bagaimana
hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret
sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana.
Prof. Sudarto mengatakan, bahwa kalau dilihat dari sudut fungsional
(dalam arti luas), maka sistem pemidanaan merupakan sistem asksi (Sudarto,
1981: 11). Ada sekian banyak aktifitas yang dilakukan oleh aparat perlengkapan
negara dalam penegakan hukum. Yang dimaksud dengan alat penegakan hukum
itu biasanya kepolisian, setidak-tidaknya badan yang mempunyai wewenang
kepolisian dan kejaksaan. Akan tetapi kalau penegakan hukum itu diartikan secara
luas, seperti yang dikemukakan diatas, maka penegakan hukum itu menjadi tugas
pula dari pembentuk undang-undang, hakim, instansi pemerintah (bestuur), aparat
eksekusi pidana.
Dengan pengertian demikian, maka sistem pemidanaan identik dengan
sistem penegakan hukum pidana yang terdiri dari sub-sistem Hukum Pidana
Materiel/Substantif, sub-sistem Hukum Pidana Formal dan sub-sistem Hukum
Pelaksanaan Pidana. Selanjutnya dikatakan Barda Nawawi Arief, bahwa ketiga
sub-sistem itu merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan, karena tidak mungkin
hukum pidana dioperasionalkan/ditegakkan secara konkret hanya dengan salah
satu sub-sistem itu.
Dilihat dari pengeritan atas, makalah ini hanya akan membatasi ide
keseimbangan dalam pengertian sistem pemidanaan dalam arti yang kedua, yaitu
sistem pemidanaan dalam arti sempit (normatif/subtantif).
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
30
Implementasi Ide Keseimbangan Dalam Konsep KUHP 2008
Konsep rancangan KUHP Baru atau ide dasar “keseimbangan” disusun
dengan bertolak pada 3 (tiga) materi/subtansi/masalah pokok dalam hukum
pidana, yaitu dalam masalah “Tindak Pidana”, Masalah “Pertanggungjawaban
Pidana/Kesalahan”, dan Masalah “Pidana dan Pemidanaan” (Arief, 2005,
Agst : 12).
Implementasi Ide Keseimbangan Dalam Tindak Pidana
Dalam masalah Tindak Pidana, implementasi ide keseimbangan tersebut
antara lain sebagai berikut :
1. Masalah Sumber Hukum
Dalam menetapkan sumber hukum atau dasar patut dipidananya suatu
perbuatan, Konsep KUHP Baru bertolak dari pendirian bahwa sumber hukum
yang utama adalah undang-undang (hukum tertulis). Jadi, bertolak dari asas
legalitas dalam pengertian yang formal. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1)
Konsep. Namun, berbeda dengan asas legalitas yang dirumuskan di dalam KUHP
(WvS) selam ini, Konsep memperluas rumusannya secara “materiel” dengan
menegaskan bahwa ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya
“hukum yang hidup” di dalam masyarakat. Dengan demikian, disamping sumber
hukum tertulis (undang-undang) sebagai kriteria/patokan formal yang utama,
Konsep juga masih memberi tempat kepada sumber hukum tidak tertulis yang
hidup di dalam masyarakat sebagai dasar menetapkan patut dipidananya suatu
perbuatan (Arief, Mei, 2005 : 78).
Perluasan agas legalitas secara materiel di dalam Konsep sebenarnya
bukanlah ide baru, tetapi hanya melanjutkan dan mengimplementasikan
kebijakan/ide yang sudah ada. Bahkan, kebijakan/ide perumusan asas legalitas
secara meteriel pernah dirumuskan sebagai “kebijakan konstitusional” di dalam
Pasal 14 ayat (2) UUDS ’50 yang berbunyi :
“Tidak seorang jua pun boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi hukuman, kecuali karena aturan hukum yang sudah ada dan berlaku terhadapnya”.
Ide Keseimbangan dalam Konsep KUHP Baru Indonesia Rama Putra
31
Dalam pasal tesebut digunakan istilah “aturan hukum” (RECHT) yang tentunya
lebih luas pengertiannya dari sekedar aturan “undang-undang” (WET), karena
berbentuk “hukum tertulis” maupun “hukum tidak tertulis”.
2. Masalah Retroaktif
Perumusan asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung
didalamnya asas “Lex Temporis Delicti” (LTD) atau asas “non retroaktif”.
Larangan berlakunya hukum pidana secara retroaktif ini , dilatar belakangi oleh
ide perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Oleh karena itulah, prinsip ini pun
tercantum didalam Pasal 11 Universal Declaration of Human Rights (UDHR),
Pasal 15 ayat (1) International Convention on Civil and Political Rights (ICCPR),
Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 24 ayat (1) Statuta Roma tentang International
Criminal Court (ICC).
Bertolak dari ide keseimbangan, Konsep juga dapat menerima ketentuan
Pasal 1 ayat (2) KUHP(WvS) yang memberi kemungkinan berlaku surutnya
undang-undang (retro aktif). Pasal 1 ayat (2) ini dipandang sebagai “pasangan”,
“pelengkap” dan “penyeimbang” dari pasal 1 ayat (1) yang memuat asas “lex
temporis delicti” atau asas “nonretro akatif”.
Sementara itu menurut Barda Nawawi Arief, perumusan Pasal 1 ayat (2)
WvS dalam konsep KUHP (yang dirumuskan dalam Pasal 2:1), mengalami
perubahan/pergeseran/perluasan. Menurut Konsep, ide “retro aktif” dan asas
“menerapkan aturan yang lebih menguntungkan/meringankan” dalam hal ada
perubahan undang-undang, tidak hanya berlaku untuk tersangka/terdakwa
sebelum keputusan hakim berkekuatan tetap, tetapi juga berlaku (diperluas) untuk
terpidana atau setelah keputusan berkekuatan tetap.
3. Masalah Aturan Peralihan (ATPER)
Jika dilihat dari Ide Keseimbangan, sebenarnya masih patut dipersoalkan
apakah kebijakan formulasi mengenai Aturan Peralihan (ATPER) seperti termuat
dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP dapat dipertahankan atau tidak. Hal itu patut
dipertanyakan karena sebenarnya dalam masalah ATPER (sehubungan dengan
masa transisi karena adanya perubahan undang-undang), ada beberapa alternatif
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
32
sikap/ide dasar/prinsip yang dapat dipilih untuk menentukan peraturan perundang-
undangan mana yang berlaku dalam masa transisi (dalam hal terjadinya perubahan
undang-undang).
Dilihat dari model kebijakan formulasi diatas, KUHP (WvS) yang
sekarang berlaku di Indonesia, memilih model alternatif 2. Apabila “Ide
Keseimbangan” yang akan ditetapkan dalam “Konsep” (RUU KUHP), maka
model/alternatif 3 sepatutnya dapat dikaji dan dipertimbangkan sebagai alternatif
untuk melakukan perubahan terhadap pasal 1 ayat (2) KUHP (WvS).
Implementasi Ide Keseimbangan Dalam Pertanggungjawaban Pidana
Bertolak dari pokok pemikiran mono-dualistik, Konsep memendang
bahwa asas kesalahan (asas culpabilitas) merupakan pasangan dari asas legalitas
yang harus dirumuskan secara eksplisit dalam undang-undang. Oleh karena itu
ditegaskan dalam Konsep, bahwa asas tiada pidana tanpa kesalahan merupakan
asas yang sangat pundamental dalam mempertanggungjawabkan pembuat yang
telah melakukan tindak pidana. Walaupun pada prinsipnya bertolak dari asas
legalitas dan asas culpabilitas, namun Konsep tidak memandang kedua syarat/asas
tersebut sebagai syarat yang kaku da bersifat absolut. Dalam hal-hal tertentu
Konsep juga memberikan pengecualian, seperti “pertanggungjawaban yang ketat”
(“strict liability”), “pertanggungjawaban pengganti” (“vicarious liability”) dan
asas “pemberian maaf/pengampunan oleh hakim” (“rechterlijk pardon atau
judicial pardon”). Pada dasarnya yang dapat dipertanggungjawabkan adalah
perbuatan yang dilakukan dengan sengaja (dolus), sedangkan untuk kealpaan
merupakan perkecualian atau eksepsional, apabila ditentukan secara tegas dalam
undang-undang.
Implementasi Ide Keseimbangan Dalam Pidana Dan Pemidanaan
1. Tujuan Pemidanaan
Bertolak dari pemikiran, bahwa pidana pada hakikatnya hanya
meurupakan alat untuk mencapai tujuan, maka Konsep pertama-tama
merumuskan tentang “tujuan pemidanaan”. Dalam mengimplementasikan tujuan
pemidanaan, Konsep mengambil kebijakan bertolak dari keseimbangan dua
Ide Keseimbangan dalam Konsep KUHP Baru Indonesia Rama Putra
33
sasaran pokok, yaitu “perlindungan masyarakat” dan “perlindungan/pembinaan
individu pelaku tindak pidana”.
2. Syarat Pemidanaan
Bertolak dari keseimbangan 2 (dua) sasaran pokok diatas, maka “syarat
pemidanaan” menurut Konsep juga bertolak dari pokok pemikiran keseimbangan
mono-dualistik antara kepentingan masyarakat dan kepentingan individu; antara
faktor objektif dan faktor subjektif. Oleh karena itu, “syarat pemidanaan” juga
bertolak dari 2 (dua) pilar yang sangat fundamental di dalam hukum pidana, yaitu
“asas legalitas” (asas kemasyarakatan) dan “asas culpabilitas” (asas
kemanusiaan). Dengan kata lain, pokok pemikiran mengenai “pemidanaan”,
berhubungan erat dengan pokok pemikiran mengenai “tindak pidana” dan
“pertanggungjawaban pidana”.
3. Masalah Pidana
Bertolak dari ide perlindungan masyarakat, maka Konsep tetap
mempertahankan jenis-jenis pidana berat, yaitu “pidana mati” dan “pidana penjara
seumur hidup”. Namun, dalam kebijakan formulasinya juga mempertimbangkan
perlindungan/kepentingan individu (ide “individualisasi pidana”), yaitu dengan
diadakannya ketentuan mengenai :
1. Penundaan pelaksanaan pidana mati atau pidana mati bersyarat;
2. Dapat diubahnya pidana penjara seumur hidup menjadi penjara 15 (lima
belas) tahun, apabila terpidana telah menjalani pidana minimal 10 (sepuluh)
tahun dengan berkelakuan baik, sehingga dimungkinkan terpidana
mendapatkan “pelepasan bersyarat” (“conditional release/parole”).
KESIMPULAN
Dalam merumuskan Konsep KUHP Tim Penyusun Konsep (TPK) telah
berusaha menyerap aspirasi yang bersifat multidimensional baik yang berasal
dari elemen-elemen suprastruktural, infrastruktural, akademis maupun aspirasi
internasional dalam bentuk pengkajian terhadap berbagai kecenderungan
internasional dan berbagai KUHP dari seluruh keluarga hukum (Anglo Saxon,
Kontinental, Timur Tengah, Timur Jauh dan Sosialis) atau yang lebih dikenal
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
34
dengan kajian perbandingan (komparasi), namun walaupun demikian, penulis
berpendapat masih ada kekurangan/kelemahan dalam penyusunan Konsep KUHP.
Kekurangan/kelemanan tersebut dapat dilihat dari :
1. Tidak adanya pedoman yang lebih rinci terhadap pertanggungjawaban pidana
korporasi;
2. Tidak adanya penyeimbang antara pidana penjara dan pidana pengawasan;
3. Tidak adanya pembedaan antara “Tujuan pemidanaan” dan “tujuan Hukum
Pidana (KUHP)”
Demikianlah beberapa pokok-pokok pemikiran singkat dari penulis,
semoga dapat dijadikan bahan catatan/dokumentasi dalam rangka pembaharuan/
pembangunan sistem hukum pidana Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Barda Nawawi, 2005, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti : Bandung.
_______, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Persfektif Kajian Perbandingan, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti : Bandung.
_______, 2005, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti : Bandung.
_______, ”RUU KUHP Sebuah Restrukturisasi/Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia”, Makalah disajikan dalam kuliah umum di Fakultas Hukum Universitas Islam Riau, Pekanbaru, 24 Desember 2005.
_______, 2008, “Pembaharuan/Rekonstruksi Pendidikan dan Pengembangan Ilmu Hukum Pidana dalam Konteks Wawasan Nasional dan Global”, Seminar Nasional dan Kongres Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia : Bandung, 17 Maret 2008.
Bakker, Anton dan Zubair, Achmad Charris, 1990, Metodologi Penelitian Filsafat, Kanisius : Yogyakarta.
Muladi, “’State Responsibility’ dalam Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat”, Paper disampaikan dalam Seminar Nasional kerjasama Komnas HAM dan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 05 Februari 2009.
Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press : Jakarta. Soemitro, Ronny Hanitijo, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri,
Ghalia Indonesia : Jakarta. Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni : Bandung. Sunggono, Bambang, 2006, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo
Persada : Jakarta.
Wacana Indonesia Volume 2, Nomor 2, April Tahun 2010 (35 ‐ 50)
35
PENATAAN PEDAGANG DI PASAR RETAIL JAKABARING BERDASAR PERATURAN WALIKOTA PALEMBANG
Dyah Hapsari Eko Nugraheni
Dosen Sosiologi dan Dekan Fisip Universitas Sriwijaya
ABSTRAK
Penataan pasar merupakan tantangan tersendiri bagi pemerintah kota di Indonesia. Banyak kasus pemindahan pasar retail yang menimbulkan konflik, bahkan disertai kekerasan. Namun dari hasil penelitian di kota palembang ini ternyata pemerintah kota sukses menata ulang pasar dan para pedagang. Kesuksesan penataan itu, tidak terlepas dari ketepatan sosialisasi kebijakan sehingga pedagang pun menerima dan mendapat kepastian hukum untuk memliki lokasi baru. Selain itu, keuntungan bersama melalui koperasi, serta sejumlah fasilitas yang disediakan pemerintah juga menjadi faktor kunci yang suksesnya relokasi para pedagang itu. Kesuksesan penataan pedagang kaki lima ini bisa menjadi contoh bagi pemerintah kota di tanah air untuk menata kota dan pedagang yang seringkali menimbulkan persoalan yang berkepanjangan.
Kata kunci: Pedagang kaki lima, penataan, kebijakan pemerintah, pasar retail.
A. PENDAHULUAN
Persaingan memperebutkan ruang untuk bisnis PKL (Pedagang Kaki
Lima) merupakan persoalan klasik dan sudah lama disadari banyak pihak
sehingga menjadi isu publik. Bahkan, hal itu telah diatur dalam sejumlah
peraturan daerah, akan tetapi persoalan sosial perkotaan masih menjadi pekerjaan
rumah yang semakin rumit bagi Pemerintah Kota Palembang. Sejalan dengan
program BARI, penataan ruang kota diupayakan untuk menertibkan para PKL
dengan merelokasi pedagang kaki lima yang selama ini menggunakan trotoar
sebagai tempat menggelar dagangan ke lokasi yang telah ditetapkan Pemerintah
kota Palembang. Pelaksanaan program relokasi ini ternyata menimbulkan konflik
antara PKL dengan Pemerintah kota, dalam hal ini dinas Tata Kota dan Dinas
Kebersihan dan Keindahan Kota Palembang (Hapsari, 2002: 1).
Permasalahan yang menyangkut tata ruang kota adalah menumpuknya
kegiatan di pusat kota terutama kawasan 16 Ilir. Salah satu kegiatan ekonomi
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
36
dalam perkotaan adalah pusat perdagangan seperti pasar. Pasar merupakan suatu
tempat bagi masyarakat melakukan aktivitas berupa kegiatan jual beli barang
kebutuhan hidup. Keberadaan suatu pasar sangat penting, oleh karena itu dalam
pembangunannya diperlukan perencanaan yang matang agar hasilnya lebih baik.
Pasar 16 Ilir adalah pusat perdagangan semua kebutuhan masyarakat, baik
sandang, pangan dan papan ada di sana. Pasar ini berdiri kokoh dipinggir Sungai
Musi dan tertata rapi dengan bangunan–bangunan rumah toko. Seiring dengan
bertambahnya penduduk serta meningkatnya kebutuhan ekonomi membuat pasar
16 Ilir menjadi pasar yang kotor, tidak beraturan dan rawan kejahatan. Keadaan
ini tentu tidak boleh dibiarkan terus menerus karena dikhawatirkan akan merusak
citra Palembang sebagai pusat perdagangan yang aman dan nyaman.
Untuk mengurangi beban di pusat kota dan mendorong perkembangan
kawasan pinggiran maka perlu dibangun pusat-pusat pertumbuhan baru di
pinggiran kota. Untuk mengatasi semua ini pembangunan Pasar Induk Jakabaring
dan Pasar Retail diharapkan dapat berfungsi sebagai “generator“ pertumbuhan di
wilayah pinggiran kota Palembang, sekaligus ditujukan untuk membantu penataan
(revitalisasi) kawasan pusat kota (Putra, 2005). Serangkaian telah koordinasi
dilakukan antara Pemerintah Kota Palembang dan Provinsi Sumatera Selatan
serta berbagai pertimbangan akan keunggulan Kota Palembang sebagai kota air.
Kondidi ini memanfaatkan lalu lintas air sebagai alat transportasi antar daerah
terpencil di sekitar Palembang dan mengacu pada peraturan-peraturan daerah yang
berlaku, kemudian dipilih lokasi untuk pasar induk dan pasar retail di tepi sungai
yaitu di daerah Jakabaring.
Peraturan Walikota Palembang Nomor 5a tahun 2005 tentang Penempatan
Pedagang di Pasar Retail Jakabaring menetapkan bahwa, ”pedagang yang
ditempatkan di Pasar Retail Jakabaring Kelurahan 15 Ulu Kecamatan Seberang
Ulu I Palembang adalah pedagang yang berasal dari lokasi perdagangan yang
bukan pada tempatnya atau lokasi yang bukan diperuntukkan untuk kegiatan
berdagang di kawasan Jalur 11 Pasar 16 Ilir, di bawah Jembatan Ampera
Seberang Ilir, Jalan Tengkuruk, Jalan Masjid Lama dan sekitarnya”. Dalam
kegiatan dimaksud, akan dilakukan pemindahan pedagang yang melakukan
Penataan Pedagang di Pasar Retail Jakabaring Berdasar Peraturan Walikota Palembang Dyah Hapsari Eko Nugraheni
37
kegiatan di lokasi pada Kawasan Jalur 11 Pasar 16 Ilir, di bawah Jembatan
Ampera Seberang Ilir, Jalan Tengkuruk, Jalan Masjid Lama dan sekitarnya.
Maksud dan tujuan dari pemindahan pedagang kaki lima antara lain :
1. dalam rangka mendukung program Kota Palembang menjadi Kota yang
bersih, aman, rapi dan indah (BARI);
2. terpusatnya perdagangan grosir sayur di pasar induk, pasar retail;
3. memberikan kesempatan kepada pedagang grosir, sayur, buah dan langsam
untuk berdagang ditempat yang lebih layak, legal dan lengkap sarana;
4. menertibkan kawasan Pasar 16 Ilir, di bawah Jembatan Ampera, di bagian
selatan jalan masjid lama, Jalan Kebumen, Benteng Kuto Besak, Jalan
Tengkuruk, pasar 7 Ulu dan depan pasar 10 Ulu;
5. menumbuhkan pusat-pusat pertumbuhan baru dipinggir kota dan
menyeimbangkan pertumbuhan antara Palembang Ilir dengan Ulu;
6. meningkatkan kegiatan perdagangan secara keseluruhan dan meningkatkan
kesempatan kerja dan mengembangkan potensi pariwisata;
7. mengatasi kesemrawutan dan menertibkan kawasan Pasar 16 Ilir.
Dalam pelaksanaan pemindahan pedagang kakilima ke Pasar Retail
Jakabaring terdapat dua persoalan yang mendasar yang menjadi batu sandungan
Kebijakan Penempatan Pedagang, yaitu Pertama, sebagian pedagang yang tidak
yakin akan prospek di lokasi yang baru; Kedua, belum lancarnya aksebilitas
kelokasi pasar yang baru terutama persoalan yang menyangkut masalah jalur
transportasi, keamanan serta dampak sosiologis dan psikologis yang diakibatkan
dari perpindahan tersebut. Berdasarkan uraian itu masalah yang perlu dikaji
adalah bagaimana Penataan Penempatan pedagang di Pasar Retail Jakabaring
berdasar Peraturan Walikota No 5a Tahun 2005, dan apa faktor pendukung dan
faktor penghambat penataan itu?
B. PROSES PENATAAN PASAR JAKA BARING
1. Analisis Proses Pendataan Pasar
Analisis proses penataan meliputi jumlah pedagang kakilima yang berada
di pasar 16 Ilir, pendataan berdasarkan jenis-jenis dagangan. Untuk pendataan
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
38
jumlah pedagang kakilima yang berjualan di Pasar 16 Ilir dari tahun 2003 sampai
dengan tahun 2005 peneliti tidak mendapatkan data baik di kantor Walikota
maupun Kantor PD Pasar Palembang, namun untuk keperluan analisis data
menggunakan data dari Koperasi Tunas Baru yang dimulai tahun 2005.
Pendataan awal terhadap pedagang kaki lima yang berada dilokasi pasar
16 Ilir dan sekitarnya memang telah dilakukan oleh PD .Pasar maupun Assisten 1
Setda kota, akan tetapi arsip data tersebut pada tahun 2008 sudah tidak dapat
ditemukan kembali. Hal tersebut membuat peneliti menanyakan pada koperasi
Tunas Baru sehingga diperoleh data sebesar 1500 pedagang yang mau
dipindahkan ke pasar retail Jakabaring. Ternyata pada waktu pemindahan data
yang diperoleh koperasi Tunas Baru mengalami penurunan, hal tersebut
menunjukkan bahwa derajat perubahan yang diinginkan dalam kebijakan
peraturan walikota yang menyebutkan pedagang kaki lima untuk ditempatkan
pada sejumlah 1800 petak/los paling lambat tanggal 31 Maret 2005, belum
tercapai.
2. Analisis Implementasi Sosialisasi;
Penempatan pedagang pasar 16 ilir ke pasar Retail Jakabaring
dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan pedagang ,oleh karena itu dalam
pelaksanaannya diperlukan sosialisasi baik kepada pedagang maupun masyarakat
umum akan keberadaan dan fungsi pasar tersebut. Sosialisasi dilakukan melalui
media cetak, elektronik, selebaran, maupun door to door dan surat peringatan.
Selain pemberitahuan berupa surat peringatan yang diberikan kepada para
pedagang agar bersedia pindah ke pasar Jakabaring , Pemerintah Kota juga
berupaya mengenalkan keberadaan Pasar Jakabaring ,baik Pasar Induk,Pasar
Retail maupun Pasar Ikan kepada masyarakat melalui cara membuka pasar murah
di Pasar Retail Jakabaring pada awal –awal pembukaannya. Diadakannya pasar
murah tidak lain adalah untuk mensosialisasikan secara langsung keberadaan
pasar kepada masyarakat berikut fasilitas yang dimiliki seperti transportasi.
Pada waktu proses sosialisasi kita lakukan pedagang kita beri penjelasan
bahwa lokasi atau tempat mereka berjualan sudah disiapkan oleh pemerintah
Penataan Pedagang di Pasar Retail Jakabaring Berdasar Peraturan Walikota Palembang Dyah Hapsari Eko Nugraheni
39
sehingga mereka tidak perlu mempunyai rasa kawatir kalau tidak ada tempat bagi
mereka. Bahkan tempat yang baru ini sangat layak untuk mereka berjualan
karena tempatnya lebih bersih apalagi didukung dengan fasilitas yang sangat
memadai. Karena itu, untuk lebih mendukung dan memperlancar proses
sosialisasi tersebut pemkot melibatkan tokoh-tokoh pedagang juga preman-
preman pasar yang disegani mereka, hal ini dilakukan untuk dapat memberikan
pengaruh yang lebih dalam agar mereka cepat untuk mau dipindahkan.
Sosialisasi ini melibatkan Polisi Pamong Praja (POL-PP), diharapkan
mereka dapat memberikan pengarahan yang lebih aktif dan frekwensinya lebih
tinggi dibandingkan dengan petugas yang lain karena ketertiban dan keamanan
merupakan salah satu tugas mereka di lapangan. Dari beberapa pendapat informan
dapat disimpulkan bahwa metode yang dilakukan pada waktu proses sosialisasi
adalah memberikan pengarahan secara persuasive kepada pedagang agar mereka
mau untuk dipindahkan ke pasar Retail Jakabaring karena apa yang dilakukan
pemerintah ini adalah untuk kepentingan mereka , imbauan atau arahan ini
menghabiskan waktu yang cukup lama karena menginginkan tumbuhnya
kesadaran pedagang tanpa adanya pemaksaan dari pemerintah , hal ini dilakukan
dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, stakeholder, wakil atau koordinator
dari jenis usaha bahkan preman pasar yang disegani disamping peran DPR,
Poltabes, Dan Rem. Proses Sosialisasi ini pada awalnya mengalami hambatan
karena para pedagang tidak mau untuk dipindahkan dan beranggapan bahwa
prospek pasar retail sangat susah untuk maju atau ramai karena jauh lokasinya.
3. Analisis Implementasi Pemindahan
Perlu secepatnya memindahkan pedagang yang melakukan kegiatan
dilokasi pada kawasan jalur 11 Pasar 16 Ilir, di bawah Jembatan Ampera Seberang
Ilir, Jalan Tengkuruk, Jalan Masjid lama dan sekitarnya. Mengingat semua
fasilitas yang ada di pasar retail sudah siap , dan tidak ada kesulitan lagi baik
fisik, maupun sarana pendukung air bersih , penerangan lampu, maka bagi
pedagang tidak ada alasan lagi untuk menolak dipindahkan.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
40
Upaya pemerintah Kota (Pemkot) Palembang mewujudkan ketertiban dan
keindahan kota telah dapat terwujudkan karena ratusan PKL, pedagang sayur dan
ikan yang berada dilokasi Pasar 16 Ilir sudah dapat di Relokasi ke Jakabaring dan
bekas tempat PKL yang lokasinya di pasar 16 Ilir ditata untuk dijadikan sebagai
kawasan wisata baru di Palembang.Untuk dapat merealisasikan keinginan tersebut
maka Pemerintah mengimbau kepada pedagang agar pedagang mendukung
program pemerintah sehingga kawasan yang selama ini menjadi tempat berdagang
dapat menjadi kawasan wisata.
Untuk mempercepat proses berpindahnya pedagang kakilima tersebut
Walikota mengeluarkan Larangan Wako No 13 / SE / 2005 tgl 18 Mei tentang
larangan bagi kapal, ketek dan sebagainya bersandar atau bongkar muat di
kawasan pasar 16, BKB dan sekitarnya. Larangan ini dalam rangka mempercepat
pindahnya pedagang ke pasar Retail Jakabaring karena di lokasi pasar tersebut
telah disiapkan dermaga pasar ikan maupun terminal yang dapat memperlancar
aktivitas perdagangan. Disamping mempercepat proses pemindahan pedagang
larangan tersebut juga dalam rangka menunjang kawasan Pasar 16 Ilir dan
sekitarnya menjadi tempat wisata.
Pembentukan tim pembongkaran bangunan di tempat yang dilarang untuk
berjualan di pasar 16 Ilir dengan SK 172b Tahun 2005 tanggal 3 Maret 2005,
pembongkaran yang dilakukan Pemkot Palembang dengan menerjunkan 200
personel dari Pol PP, Kepolisian dan Kodim serta 1 unit ekskavator dan truk
sebanyak 25 buah. Proses pembongkaran tersebut tidak mendapatkan perlawanan
dari pedagang karena mereka telah menyadari dan banyak diantara mereka yang
membongkar bangunannya.
4. Analisis Implementasi Penempatan;
Setelah proses pemindahan selesai maka secepatnya melakukan
penempatan pedagang yang selama ini melakukan kegiatannya di Kawasan Jalur
11Pasar 16 Ilir, di bawah Jembatan Ampera Seberang Ilir, Jalan Tengkuruk, Jalan
Masjid Lama dan sekitarnya. Penempatan pedagang kakilima pasar 16 Ilir yang
sudah berada di pasar Retail disesuaikan dengan jenis dagangan mereka sehingga
Penataan Pedagang di Pasar Retail Jakabaring Berdasar Peraturan Walikota Palembang Dyah Hapsari Eko Nugraheni
41
mereka merasa nyaman untuk berjualan karena tidak lagi digusur-gusur , apalagi
ditunjang fasilitas yang sudah siap dan terencana. Sejak mereka berdagang di
Pasar Retail, pengelolaan pasar diserahkan kepada Koperasi Tunas Baru yang
dipimpin H.M Ali Hasan.
Jumlah pedagang yang berasal dari pasar 16 Ilir yang mendaftar menjadi
anggota koperasi sebanyak 1578 orang pada tahun 2005, perkembangan
penambahan anggota koperasi adalah tahun 2005 hanmya 1578 orang, 2006
bertambah menjadi sebanyak 2200 orang sedang pada tahun 2007 sudah mencapai
3822 orang. Jumlah lapak yang tersedia sebesar 1328 lapak sedangkan kios ada 32
buah, perkembangan jumlah pedagang semakin bertambah dari tahun ke tahun.
Hal ini membuktikan bahwa penempatan pedagang kakilima yang berasal dari
pasar 16 Ilir ternyata berhasil.
Setelah sosialisasi dan promosi pasar Retail dijalankan diharapkan para
pedagang untuk segera masuk menjadi anggota koperasi Tunas Baru sehingga
dapat sesegera mungkin mereka mendapatkan tempat untuk berjualan dan
transaksi jual beli dapat dilaksanakan di Pasar Retail, terutama pada malam hari.
Pemerintah juga mengimbau agar PKL tidak perlu resah dengan kebijakan
pemerintah menempatkan pedagang ke pasar Retail karena pemerintah sudah
menyediakan berbagai sarana dan prasarana yang lebih lengkap di pasar Induk
dan Pasar Retail Jakabaring.
Berdasarkan data, informasi dan keterangan yang peneliti peroleh ternyata
bahwa penempatan pedagang yang berasal dari pasar 16 Ilir sudah dapat
dilaksanakan sebelum batas waktu yang ditentukan dalam kebijakan tersebut,
bahkan lebih awal dari target waktu yang ditetapkan, hal ini disebabkan karena
lokasi pasar sudah disediakan beserta fasilitas –fasilitas pendukung lainnya yang
sudah disiapkan untuk memenuhi kebutuhan pedagang yang berjualan di pasar
retail Jakabaring.
5. Analisis Implementasi Pemantapan
Faktor tersedianya sarana dan prasarana yang sangat memadai tersebut di
pasar Retail Jakabaring yang dimanfaatkan dan digunakan dalam menata dan
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
42
mengembangkan Pasar Retail merupakan salah satu komponen yang berpengaruh
besar terhadap kelancaran upaya Pemerintah Kota Palembang dalam
memantapkan pedagang untuk betah berjualan di Pasar Retail Jakabaring.
Semakin lengkap dan baik sarana dan prasarana yang tersedia maka proses
penataan dan pemantapan pedagang dan pengembangan pasar Retail Jakabaring
akan semakin menarik perhatian masyarakat.
Tabel 1. Jumlah Pedagang di Pasar Retail Jakabaring
No Pedagang
Tempat
Sayuran Daging Ikan Toko Manisan Makanan Total
1 Lapak Sayuran 256 - 1 - 11 268 2 Lapak Ikan - - 220 - - 220 3 Lapak Daging - 75 - - - 75 4 Los/Kios 199 - 14 57 2 268 5 Kaki Lima 357 - - - - 357 Total 812 75 235 57 13 1.192
Sumber : Data Primer, 2008.
Sarana dan prasarana guna meningkatkan ekonomi pedagang kakilima
tersebut yang sudah dipersiapkan oleh pemerintah, sehingga dapat memantapkan
pedagang untuk betah berjualan di tempat yang baru adalah :
1. Pasar Induk Jakabaring
Pasar Induk Jakabaring memiliki los-los /petak-petak untuk pedagang
sayur dan buah, ruko untuk pedagang besar dan perbankan, toko dan kios-kios
untuk pedagang grosir langsam dan kelontong serta dilengkapi dengan gudang
yang dapat dipakai untuk menyimpan barang-barang dagangan yang belum
terjual. Pembangunan Pasar Induk dengan areal keseluruhan ± 9 hektar di
Jakabaring ini jumlah lapak mencakup 320 lapak, yang di bagi dalam 2 blok
masing-masing blok terdapat 160 lapak. Harga sewa lapak mencakup ukuran 2,5
X 3 m2 untuk 3 bln sebesar Rp 250.000,- sedangkan kalau pedagang membayar
perbulan dikenakan Rp 100.000,-
Tersedia dan siapnya sarana dan prasarana di Pasar Induk diharapkan
mampu menampung pedagang grosir sehingga dapat mengakomodir para
pedagang tradisional. Pasar Induk Jakabaring ini pengelolaannya murni swasta
Penataan Pedagang di Pasar Retail Jakabaring Berdasar Peraturan Walikota Palembang Dyah Hapsari Eko Nugraheni
43
yaitu di bawah naungan PT.Swarna Dwipa, sedangkan Pasar Retail dikelola oleh
Koperasi Tunas Baru dan merupakan pasar Pemerintah sehingga sering mendapat
bantuan dari Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat. Untuk membedakan
petugas keamanan pasar Induk dengan yang bukan adalah tanda PIN
Swarnadwipa di kerah mereka.
2. Pasar Retail dan Pasar Ikan Jakabaring
Daya tampung pedagang yang disiapkan Pemerintah Kota Palembang
dalam Pasar Retail Jakabaring yang dibuat sebanyak dua lantai adalah 1970.
Lantai pertama diperuntukan bagi pedagang sembako dan kelontong sedangkan di
lantai dua khusus bagi pedagang pakaian,imitasi, sepatu, tas, dan pernak-pernik
lainnya. Adapun jumlah lapak yang disediakan di Pasar Retail adlah sebnayak
1670 dan kios dengan ukuran 4x4 m sebanyak 32 buah. Jadi, pembangunan Pasar
Retail Jakabaring dimaksudkan untuk menampung pedagang pasar 16 khususnya
pedagang kaki lima yang selama ini berjualan dibadan-badan jalan sehingga
menimbulkan kesan kumuh dan kemacetan dikota Palembang. Adanya Pasar
Retail Jakabaring, apalagi dengan disiapkannya sarana dan prasarana yang sangat
memadai dan lengkap, maka apabila dicermati dengan baik sebenarnya Pasar
Retail Jakabaring memiliki prospek yang lebih baik dan manusiawi.
Fasilitas dalam Pasar Ikan Jakabaring dipergunakan untuk menampung
pedagang ikan di Pasar 16 Ilir, khususnya pedagang di bawah jembatan Ampera
yakni sebanyak 265 pedagang yang menempati 180 petak di Pasar Ikan
Jakabaring, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan membangun pasar ikan modern
dan Pemerintah Kota Palembang membangun tempat pelelangan ikan dan pasar
tradisional yang dilengkapi dengan cool storage dan pabrik es.
Dapat disimpulkan bahwa dengan fasilitas diatas tidak lain adalah untuk
melengkapi areal Pasar Jakabaring sehingga menjadi sarana pemasaran terpadu
untuk seluruh jenis komoditi yang lengkap dengan fasilitas, sehingga dapat
menjaga mutu produk sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
44
3. Transportasi Terminal dan Dermaga Jakabaring
Transportasi dan terminal di Jakabaring yang dioperasionalkan pada Maret
2005 merupakan salah satu faktor penting dalam memberikan sarana dan
prasarana pendukung program Pemerintah untuk menghidupkan Pasar Ritail
Jakabaring. Pada awal Maret 2005 Pemerintah Kota mulai mengoperasionalkan
Terminal Tipe C Jakabaring. Seperti yang dituturkan Asisten I Tatapraja Kota
Palembang yang menyatakan bahwa untuk tahap awal operasional Terminal
Jakabaring diuji coba untuk kendaran umum.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dengan adanya
terminal dan dermaga di Jakabaring diharapkan dapat meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat dibidang transportasi khususnya untuk jalur menuju
Jakabaring. Maka perdagangan antar pulau dapat berlangsung secara efisien dan
meringankan biaya operasional. Telah dipersiapkannya secara matang baik
terminal maupun transportasi dari dan ke Pasar Jakabaring maka masyarakat dapat
mudah berbelanja dan berdagang.
4. Keamanan
Dalam rangka mendukung suksesnya program pemerintah dalam
memantapkan pedagang maka jaminan keamanan merupakan prioritas utama
yang disiapkan Pemerintah Kota, sehingga masyarakat tidak perlu khawatir
mengingat lokasi pasar yang cukup berdekatan dengan kepolisian. Selain jalan
yang menuju kawasan pasar Jakabaring berdekatan dengan kepolosian,pemerintah
kota juga telah menyiapkan pengamanan pasar (Pampas) sebanyak 23 orang.
Pampas ini merupakan tenaga kerja terampil dan terlatih yang siap menjaga
kemanan di pasar baik siang maupun malam.
Faktor keamanan merupakan salah satu aspek yang sangat vital dalam
rangka operasional suatu usaha. Hal ini dianggap penting karena salah satu yang
menjadi pertimbangan utama bagi masyarakat (pedagang dan pembeli) selain
tempat yang mudah dijangkau adalah keamanan yang terjamin. Apalagi
mengingat lokasi pasar yang cukup jauh dari lokasi pemukiman dan merupakan
Penataan Pedagang di Pasar Retail Jakabaring Berdasar Peraturan Walikota Palembang Dyah Hapsari Eko Nugraheni
45
kawasan yang cukup sepi apabila dibandingkan dengan lokasi pasar lain yang
terdapat di Palembang.
Tabel 2. Keterlibatan Implementator dalam proses implementasi
No Implementator Pendataan Sosialisasi Pemindahan Penempatan Pemantapan
1. Asisten I Tata Praja Kota Palembang Dominan Dominan Dominan Dominan Cukup
2. Ka. Sub Dinas Program Dinas Polisi Pamong Praja
Dominan Dominan Dominan Cukup Cukup
3. Ka. Bag Pengemabangan usaha PD pasar
Cukup Dominan Cukup Cukup Dominan
4. Ka. Bag Teknik Transtrip PD Pasar Dominan Dominan Cukup Cukup Dominan
5. Kepala Koperasi Tunas Baru Dominan Dominan Dominan Dominan Dominan
Sumber : Data Primer 2008
Data tersebut diatas menunjukkan dominannya keterlibatan implementator
dalam proses implementasi. Menurut pedagang kaki lima dalam proses
implementasi pada waktu implementasi sosialisasi dilakukan, implementator
menjanjikan bahwa semua pedagang akan dipindahkan ke pasar retail Jakabaring
dalam arti bahwa pasar 16 hanya akan menjadi pusat grosir barang-barang
elektronik dan pakaian. Ternyata sampai sekarang masih terdapat pedagang yang
berjualan sejenis dengan yang ada di pasar retail Jakabaring bahkan mulai lagi
muncul pedagang kaki lima di daerah yang dulu dilarang.
C. FAKTOR PENGHAMBAT DAN PENDUKUNG PENATAAN PASAR
1. Analisis faktor-faktor yang menghambat Implementasi
a. Prospek pasar dan Aksesbilitas ke lokasi pasar baru
Adanya persepsi bahwa pasar retail Jakabaring yang letaknya jauh dari
pusat kota dan konsentrasi penduduk tentunya sangat sepi , hal ini membuat para
pedagang enggan untuk dipindahkan. Para pedagang yang menempati pasar Retail
Jakabaring sampai saat sekarang merasa belum puas dengan hasil yang mereka
peroleh , karena hasil tersebut bervariasi seperti pedagang sayuran mengatakan
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
46
kalau pendapatannya jauh lebih kecil dibandingkan dengan pada waktu dia
berjualan di Pasar !6 Ilir, sedangkan pedagang ikan rata-rata mengatakan kalau
hasil yang mereka peroleh sudah cukup lumayan, sama seperti yang dikemukakan
oleh pedagang daging bahwa hasil yang diperoleh sudah cukup lumayan
walaupun lebih kecil tapi mereka berpendapat bahwa pasar Retail Jakabaring
merupakan pasar yang baru jadi wajar kalau belum banyak pembelinya. Berbeda
dengan pedagang manisan dan ikan asin serta rempah-rempah, mereka merasakan
keuntungan yang lebih besar bila dibandingkan dengan pada waktu masih
berjualan di Pasar 16 Ilir, bahkan sampai dapat memperlebar los/kios yang dibeli.
Belum lancarnya transportasi baik yang menuju ke pasar maupun yang
pulang dari pasar disebabkan jumlah manusianya yang tidak sebanding dengan
jumlah kendaraan yang mengangkut mereka dalam pengertian bahwa masih
sangat sedikit sekali yang memanfaatkan angkot , untuk pedagang biasanya
mereka mencarter kendaraan sendiri, ada juga yang memanfaatkan kendaraan
umum tersebut tetapi jumlahnya sedikit bila dibandingkan dengan mereka yang
mencarter kendaraan dan pada umumnya pedagang yang dagangannya sedikit
yang memanfaatkan. Pada umumnya pedagang menginginkan di tambahnya
trayek-trayek baru yang langsung baik dari km12, Pusri dan Lemabang maupun
Kertapati serta dari Bukit sehingga dapat menghemat ongkos dan menarik
masyarakat karena lancarnya transportasi dengan biaya yang sangat murah.
b. Keamanan,
Faktor keamanan sangat kondusif , berdasar hasil wawancara dengan
informan pedagang dan observasi ternyata keamanan di dalam pasar sangat
terjamin karena pihak pengelola pasar mengadakan sistem keamanan yang
berlapis yakni untuk menjaga keamanan mereka menempatkan petugas yang
memakai seragam maupun yang tidak berseragam yang gunanya untuk selalu
memantau dan mengamati gerak-gerik/perilaku yang dianggap mencurigakan.
Pedagang juga bebas meninggalkan dagangannya dengan hanya ditutup plastik,
pedagang merasa puas dengan sistem keamanan yang diberikan
Penataan Pedagang di Pasar Retail Jakabaring Berdasar Peraturan Walikota Palembang Dyah Hapsari Eko Nugraheni
47
Retail Jakabaring yang dibuat oleh pihak pengelola pasar. Untuk
keamanan di luar pasar pun pedagang merasakan cukup nyaman dan bahkan
mereka mengatakan kalau terjadi tindak kejahatan sebenarnya lokasinya sangat
jauh dari Pasar Retail Jakabaring karena daerah Jakabaring ini sangat luas sekali
bahkan petugas kepolisian dari Poltabes mengadakan patroli dengan berkeliling
setiap 2 jam sekali, sedangkan keamanan di Pasar Induk Jakabaring untuk saat
sekarang sudah di pasang CCTV yang dapat memantau semua aktivitas di pasar.
c. Harga lapak dan Kontrol Pemerintah
Daya tampung pedagang yang disiapkan Pemerintah kota Palembang
dalam Pasar sebanyak dua lantai adalah 1970. Lantai pertama diperuntukkan bagi
pedagang sembako dan kelontong sedangkan dilantai kedua khusus bagi pedagang
pakaian, sepatu, tas dan pernak-pernik lainnya. Adapun jumlah lapak yang
disediakan di Pasar Retail sebanyak 1670 dan kios dengan ukuran 4 x 4 m
sebanyak 32 buah. Akan tetapi jumlah lapak yang tersedia tersebut tidak
diimbangi dengan harga yang murah yang dapat terjangkau oleh pedagang
kakilima yang dipindahkan. Mahalnya harga lapak menyebabkan para pedagang
tidak/kurang berminat untuk berjualan di pasar Jakabaring dan lebih memilih
untuk kembali lokasi pasar 16 walaupun harus kucing-kucingan dengan petugas.
Pemerintah tidak bisa bertindak tegas karena gudang beras dan gudang
gudang sembako yang lain belum di pindahkan ke pasar Jakabaring hal ini
menyebabkan konsentrasi pasar masih berada di pasar 16 Ilir inilah yang
menyebabkan sepinya pembeli di pasar Retail Jakabaring. Pedagang
menginginkan agar pasar 16 Ilir hanya merupakan pusat elektronik maupun grosir
pakaian jadi atau kain-kain, sehingga konsentrasi sembako di pusatkan di pasar
Induk maupun pasar Retail Jakabaring, kalau ini bisa terwujud maka Pasar Retail
baru banyak dikunjungi oleh pembeli.
2. Analisis Faktor-faktor yang mendukung Penataan Pasar
a. Respeknya anggota masyarakat pada otoritas dan keputusan Pemerintah.
Penghormatan dan penghargaan publik pada pemerintah yang legitimate
menjadi kata kunci penting bagi terwujudnya pemenuhan atas pengejawantahan
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
48
kebijakan publik. Ketika warga menghormati pemerintah yang berkuasa oleh
karena legitimasinya, maka secara otomatis mereka akan turut pula memenuhi
ajakan pemerintah melalui undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan
daerah, dan keputusan pemerintah. Tingkat kepatuhan pedagang kepada peraturan
yang telah ditetapkan sangat tinggi hal ini terbukti dari banyaknya jumlah
pedagang yang mau ditempatkan ke Pasar retail Jakabaring tanpa melalui
kekerasan dan mereka menyadari kalau mereka memang salah dengan berjualan
pada tempat yang mengganggu kepentingan umum.
b. Kesadaran menerima kebijakan dan Sangsi Hukum
Dalam masyarakat yang digerakkan oleh rational choices (pilihan –pilihan
yang rasional) banyak dijumpai bahwa individu/kelompok warga mau menerima
dan melaksanakan kebijakan publik sebagai sesuatu yang logis, rasional, serta
memang dirasa perlu. Para pedagang yang menempati pasar Retail Jakabaring
sebagian besar adalah hasil dari penempatan pedagang yang berasal dari pasar 16
Ilir, mereka pada akhirnya menerima kebijakan Walikota no 5a Tahun 2005 dan
melaksanakan kebijakan tersebut dengan berjualan di tempat yang baru. Mereka
menyadari bahwa mereka tidak dapat menolak kebijakan tersebut karena mereka
tidak memiliki tempat untuk berjualan secara formal yang tidak mengganggu
kepentingan umum. Akibat dari kepentingan ekonomi yang mendesak mereka
mengatakan bahwa walaupun mereka tidak yakin akan hasil dari pendapatan
mereka berjualan ditempat yang baru mereka merasa tidak ada pilihan yang lain
disamping mereka berharap ke depan pasar Retail akan semakin ramai.
Orang akan sangat terpaksa mengimplementasikan dan melaksanakan
suatu kebijakan karena ia takut terkena sanksi hukuman ,misalnya : denda,
kurungan, dan sanksi-sanksi lainnya. Maka salah satu strategi yang sering
digunakan oleh aparatur birokrasi dalam upayanya untuk memenuhi implementasi
kebijakan publik ialah dengan cara menghadirkan sanksi hukum yang berat pada
setiap kebijakan yang dibuatnya.
Penataan Pedagang di Pasar Retail Jakabaring Berdasar Peraturan Walikota Palembang Dyah Hapsari Eko Nugraheni
49
c. Kepentingan publik vs Individu
Masyarakat mempunyai keyakinan bahwa kebijakan publik dibuat secara
sah, konstitusional, dan dibuat oleh pejabat publik yang berwenang, serta melalui
prosedur yang sah yang telah tersedia. Bila suatu kebijakan dibuat berdasarkan
ketentuan tersebut diatas, maka masyarakat cenderung mempunyai kesediaan diri
untuk menerima dan melaksanakan kebijakan itu. Apalagi ketika kebijakan publik
itu memang berhubungan erat dengan hajat hidup mereka. Para pedagang rata-
rata membongkar sendiri lapak tempat mereka berjualan di pasar 16 ilir dan
menandatangani surat pernyataan untuk mau ditempatkan pada tempat yang baru
yaitu di pasar retail Jakabaring.
Mereka lebih memilih untuk mau ditempatkan di pasar retail Jakabaring
karena selain tempat yang sudah disediakan juga fasilitas yang sudah lengkap
serta memiliki kepastian usaha yang jelas dari pada mereka pindah ke tempat yang
lain dan status mereka masih sama sebagai pedagang kakilima tentunya juga tidak
akan memiliki ketenangan usaha seperti yang mereka rasakan sekarang ini.
Harapan mereka saat sekarang adalah bagaimana caranya agar pasar dapat
lebih ramai dikunjungi oleh pembeli dan pemerintah menindak tegas pedagang
kakilima yang masih berjualan di tempat yang lain. Pedagang tersebut
berpendapat kalau pemerintah masih memberikan kelonggaran bagi timbulnya
kembali pedagang kakilima di pasar 16 Ilir maka pasar retail akan tetap sepi dari
pembeli hal ini disebabkan pembeli yang terdiri dari wanita yang bekerja di luar
rumah akan lebih mudah dan dekat mampir ke pasar 16 untuk belanja sepulang
dari bekerja.
KESIMPULAN
1. Pelaksanaan penataan pasar sesuai peraturan pemerintah kota Palembang,
memang menghadapi banyak kendala, namun demikian, pihak terkait bisa
menyelesaikannya dengan baik tanpa kekerasan.
2. Sementara faktor pendukung proses penataan itu, karena ada ruang bagi
publik untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, khususnya para pedagang
yang bergabung dalam koperasi.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
50
3. Dengan demikian jika sebuah kebijakan publik, berupa penataan pasar
yang selama ini menimbulkan konflik dan kekerasan, ternyata bisa
diselesaikan jika pendekatan tepat dan melibatkan partisipasi yang luas.
4. Penataan Pasar 16 Ilir yang dipindahkan ke Pasar Jaka Baring di Kota
Palembang ini bisa menjadi model tentang penataan fasilitas umum kota
yang tepat dan menguntungkan semua pihak, baik pemerintah, masyarakat
dan khususnya pedagang itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Bremen J.C. 1988. “The Informal Sector is Research, Theory and Practise, Caps, Eramus University: Rotterdam.
Collin, F, 1997. “Social Reality”, Routledge: London and New York.
Dovey, Kim. 1999,”Framing Places” ,Mediating power in built Form, Routledge: London and New York.
Putra, Eddy Santana. 2005.” Kebijakan / Penanganan Pemindahan Lokasi Pasar dikota Palembang”, 27 Juni
Ghalib Rusli. 2005. “Ekonomi Regional”, Pustaka Ramadhan: Bandung
Mc. Gee, TG. 1997. “Suatu Aspek Urbanisasi di Asia Tenggara.”, Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan, UGM: Yogyakarta.
Nugroho, Riant, D, 2006. “Kebijakan Publik Untuk Negara-Negara Berkembang”, Model-Model Perumusan, Implementasi dan Evaluasi, PT Elex Media Kamputindo Kelompok Gramedia: Jakarta.
Sarjono, Yetty. 2005. “Pergulatan Pedagang Kaki Lima di Perkotaan,” Pendekatan kualitatif, Muhammadiyah University Press: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Schrooul, jw, 1984. “Modernisasi : Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara sedang berkembang,” diterjemahkan oleh RG. Soekadijo, Gramedia: Jakarta.
Setherahman, 1985. “Sektor Informal di Negara Sedang Berkembang,” Gramedia: Jakarta.
Soewarno. 1994. “ Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen, “Gunung Agung: Jakarta.
Wibawa, Samodra. 1994. “Evaluasi Kebijakan Publik”, PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Widiyanti, Ninik.1987. “Administrasi sebagai kebutuhan masyarakat modern”, Jakarta : Bina Aksara.
Widodo, Joko, 2007. “ Analisis Kebijakan Publik : Konsep dan Aplikasi Analisis Proses Kebijakan Publik, Bayumedia: Malang.
Wacana Indonesia Volume 2, Nomor 2, April Tahun 2010 (51 ‐ 60)
51
MENGUAK WACANA DAN SRATEGI KEKUASAAN DARI PERSPEKTIF STUDI KEBUDAYAN
M. Ridhah Taqwa
Dosen Sosiologi Fisip dan Program Pascasarjana (S3) Ilmu-Ilmu Lingkungan Universitas Sriwijaya, serta Ketua I Kapasgama 2009-2013
ABSTRAK
Wacana dan strategi kekuasaan merupakan salah satu fokus dari studi kebudayaan. Perspektif ini memang bertujuan untuk tidak mengungkap praktik kekuasaan melalui wacana dan strategi dalam kebudayaan, tetapi sekaligus strategi untuk mengubah struktur dan kultur dominasi itu. Dalam konteks inilah studi kebudayaan dipandang memiliki komitmen nilai dan keberpihakan pada pihak yang lemah atau korban kekuasaan. Karena itu studi kebudayaan juga berbicara tentang perlawanan terhadap kekuasaan yang beroperasi bukan hanya didalam arena politik, melainkan juga arena ekonomi-pasar, agama, dan pendidikan. Salah satu keunggulan studi kebudayaan adalah bisa meminjam konsep dan metode dari disiplin lain seperti sosiologi, politik, psikologi, sejarah dan sastra. Karena studi kebudayaan ini disebut kajian interdisipliner.
Kata kunci: studi kebudayaan, wacana kekuasaan, interdisipliner, perlawanan, dominasi.
A. PENGANTAR
Fenomena kekuasaan hadir bersamaan dengan kehadiran peradaban
ummat manusia di muka bumi ini. Karena itu kekuasaan pun memiliki dimensi
yang sangat luas, seluas dimensi kehidupan itu sendiri. Hal ini bisa berlaku pada
institusi ekonomi, keluarga, pendidikan dan teruatama politik. Untuk mengkaji
fenomena kekuasaan bisa berangkat dari suatu perspektif teoritik tertentu yang
dewasa ini mendapat perhatian intensif dari berbagai kalangan atau teoritikus
ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan. Perspektif yang dimaksud adalah perspektif
studi kebudayaan (cultural studies). Perspektif ini mempunyai keberpihakan nilai
dan komitmen pada perubahan struktur relasi sosial yang bersifat hegemonik-
dominatif, mempunyai komitmen pada rekonstruksi sosial dengan melibatkan diri
dalam kritik politik (Sardar dan van Loon, 2004: 9). Hal ini diperkuat oleh
argumentasi Agger bahwa Cultural Studies, tidak hanya sebagai gerakan teoritis
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
52
dan model analisis, tetapi juga sebagai suatu kritik kebudayaaan (Agger, 2005:
282).
Para perintis studi kebudayaan telah menyetujui secara sentralitas konsep
kekuasaan yang dipandang berlangsung pada setiap level hubungan sosial.
Kekuasaan bukan hanya perangkat yang menyatukan kehidupan sosial atau
kekuatan koersif yang mengsubordinasikan sekumpulan orang atas orang lain,
melainkan proses yang membangun dan membuka jalan bagi segala bentuk
tindakan, hubungan sosial dan tatanan sosial (Barker, 2005:10). Lebih lanjut
Foucault sependapat bahwa kekuasaan terdistribusi disemua relasi sosial dan tidak
dapat direduksi menjadi bangunan dan determinasi ekonomi terpusat. Kekuasaan
bukan hanya represif namun produktif, ia menghadirkan subyek, ia berimbas pada
pembentukan kekuatan tumbuh dan menata. Foucault juga menekankan pada
hubungan timbal balik yang saling membangun antara kekuasaan dan
pengetahuan, sehingga pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari rezim kekuasaan
(Foucault, 2000: 136). Foucault juga berutang pada Nietzsche yang menyatakan
bahwa pengetahuan adalah bentuk kehendak untuk berkuasa (Sunardi, 2001:48
dan 50). Kalau gagasan tentang kebenaran memiliki sandaran historis, maka ia
merupakan konsekuensi dari kekuasaan yang bagi interpretasi dipegang sebagai
suatu kebenaran. Baginya pengetahuan melekat pada kekuasaan, dan sebaliknya
kekuasaan melekat pada pengetahuan (Ritzer, 2005:66).
B. RUANG LINGKUP KAJIAN STUDI KEBUDAYAAN (CS)
Studi kebudayaan menurut versi Dennett sebagaimana dikutip Barker
adalah sebagai arena interdisiplinarity, dimana perspektif dari berbagai disiplin
seperti Sosiologi, politik, antropologi, psikologi dan filsafat dapat diambil dalam
rangka menguji hubungan antara fenomena kekuasaan dan fenomena kebudayaan.
Studi kebudayaan juga berusaha mengeksplorasi hubungan antara bentuk
kekuasaan dan berusaha menghubungkan cara berpikir tentang kebudayaan dan
kekuasaan yang dapat dimanfaatkan oleh agen dalam upaya melakukan
perubahan. Jadi Studi kebudayaan tidak bersifat pro pada status-quo (pihak
penguasa), tetapi mempunyai komitmen akan perubahan struktur relasi kekuasaan
Menguak Wacana dan Strategi Kekuasaan dari Perspektif Studi Kebudayaan M. Ridhah Taqwa
53
dalam masyarakat. Sejalan dengan argumen itu, Bourdieu sebagai sosiolog
pendidikan terkemuka saat ini, tidak percaya lagi terhadap ilmu yang bebas nilai.
Oleh karena itu, selain ia mengkaji beoperasinya kekuasaan, sekaligus juga
terlibat di dalam ranah atau gerakan politik tersebut. Menurut dia sosiologi harus
mampu menganalisis mekanisme dominasi agar bisa menjadi instrumen
pembebasan bagi mereka yang didominasi (Haryatmoko, 2003: 4-8).
Setidaknya ada 2 karakteristik studi kebudayaan yang dipandang perlu
diuraikan disini untuk memprkuat argumentasi di atas, yaitu (1) studi kebudayaan
bertujuan mengkaji pokok persoalannya dari sudut praktik kebudayaan dan
hubungannya dengan kekuasaan. Tujuan tetapnya adalah mengungkapkan
hubungan kekuasaan, mengkaji bagaimana hubungan tersebut mempengaruhi dan
membentuk praktik kebudayaan; (2) tradisi Studi kebudayaan bukan tradisi
kesarjanaan yang bebas nilai, melainkan tradisi yang mempunyai komitmen bagi
rekonstruksi sosial dengan melibatkan diri dalam kritik politik. Jadi Studi
kebudayaan juga bertujuan untuk mengubah struktur dominasi dalam masyarakat.
Hal ini terutama berlaku pada masyarakat industri maju yang menjadi basis awal
berkembangnya studi kebudayaan seperti di Inggris.
Dalam kajian ini berangkat dari asumsi bahwa relasi kekuasaan juga
beroperasi didalam berbagai arena kehidupan, seperti agama, politik dan keluarga.
Institusi agama yang dimaksud misalanya tidak hanya penggunaan simbol-simbol
yang digunakan dalam membangun relasi sosial jamaah masjid, tetapi terutama
penggunaan nilai-nilai agama itu sendiri. Relasi kekuasaan yang dimaksud di sini
bukanlah hubungan subjektif yang bersifat searah sebagaimana pengertian
konvensional, yaitu kemampuan seseorang atau kelompok untuk memaksakan
kehendak kepada orang lain. Bagi Foucault, kekuasaan merupakan strategi
kompleks dalam suatu masyarakat dengan perlengkapan, manuver, teknik dan
mekanisme tertentu. Kekuasaan lebih beroperasi dari pada dimiliki, ia tidak
merupakan hak istimewa yang didapat atau dipertahankan oleh kelas dominan,
tetapi akibat dari keseluruhan posisi strategisnya dan akibat dari posisi mereka
yang didominasi. Selanjutnya ia menegaskan bahwa strategi kekuasaan melekat
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
54
pada kehendak untuk mengetahui. Melalui wacana kehendak untuk mengetahui
terumus dalam pengetahuan (Haryatmoko, 2002:12).
Dimensi wacana penting dijelaskan karena memegang peran penting
beroperasinya praktik dominasi kuasa. Arus wacana sendiri beroperasi
kemungkinan pertautan antara dua hal, yaitu persoalan kebenaran dan
representasi. Sementara kebenaran itu sendiri menurut Foucault pada hakikatnya
tidak bebas, karena upaya sampai pada kebenaran itu harus melalui relasi
kekuasaan (Balibar, 2002:12). Pernyataan kebenaran sesungguhnya juga
merefleksikan representasi, antara pihak yang benar dan salah dalam suatu arus
wacana. Wacana yang dimasud merupakan kumpulan tanda atau simbol yang
bertujuan untuk dimiliki dan diapresiasi atau bertujuan untuk dipercaya dan
dipatuhi (Rusdiarti, 2003:33). Proses berlangsungnya arus wacana ternyata sangat
ditentukan dengan konteks sosial atau pasar linguistik. Konteks relasi-relasi sosial
yang terkait dengan pasar, sekolah dan masjid misalnya, tergantung pada arus
wacana. Demikian pula konteks waktu juga menentukan wacana yang
berkembang, seperti pada musim pemilihan umum, maka akan banyak wacana
dan strategi kekuasaan yang dikembangkan oleh para politisi, baik pada konteks
lokal maupun konteks nasional. Hal inilah yang dimaksud dengan wacana
kekuasaan.
Michael Foucault sebagai teoritikus relasi pengetahuan-kekuasaan, ia telah
mencoba merumuskan sejumlah hipotesis Foucault yang diringkas sebagai
berikut.
Pertama, bahwa kekuasaan sama luasnya dengan lembaga sosial, tidak ada ruang yang sama sekali bebas dari jaringannya; Kedua, relasi-relasi kekuasaan saling terjalin dengan jenis-jenis relasi lain, seperti produksi, kekerabatan, dan keluarga; Ketiga, relasi-relasi ini tidak hanya berbentuk larangan dan hukuman, melainkan bentuk-bentuk yang beragam; Keempat, kesalinghubungan diantara mereka menggambarkan kondisi umum dominasi, dan dominasi ini diatur kedalam bentuk strategi yang kurang lebih koheren dan tunggal; Kelima, relasi-relasi kekusaaan benar-benar melayani, karena memiliki potensi untuk dimanfaatkan dalam strategi yang ada; Keenam, tidak ada relasi kekuasaan tanpa halangan, dan penghalangnya tidak harus sesuatu yang nyata, serta dapat hadir di mana-mana bersamaan dengan kekuasaan (Foucault, 2001:181-191).
Menguak Wacana dan Strategi Kekuasaan dari Perspektif Studi Kebudayaan M. Ridhah Taqwa
55
Selain itu, Foucault juga mengembangkan konsep Panoptikon yang semula
dicetuskan oleh J. Bentham. Konsep ini awalnya menunjuk pada sebuah
bangunan fisik yang memungkinkan penguasa dapat mengontrol pihak yang
didominasi (dihukum) seperti yang terjadi di penjara-penjara Prancis. Kemudian
konsep ini dikembangkan oleh penguasa untuk menjadi bentuk strategi penguasa
untuk mengontrol warga Negara. Dalam arena politik orde baru misalnya, banyak
aktor-aktor politik berperan sebagai panoptikon, sekaligus untuk mengembangkan
wacana kekuasaan. Melalui konsep ini, pihak yang dominan selama pemerintahan
orde baru menjadikan aparat militer dan birokrasi sebagai panoptikon. Dengan
adanya panoptikon, strategi dan mekanisme dominasi pihak yang berkuasa
berjalan lancar dan dalam jangka waktu yang panjang pula (sekitar 32 tahun).
C. STRATEGI KEKUASAAN DAN RESISTENSI
Sekalipun strategi kekuasaan yang dominatif dalam masyarakat,
khususnya di arena politik sangat kuat, tetap ada celah mendapatkan perlawanan
atau resistensi. Karena itu berdasar pada asumsi bahwa praktik dominasi sangat
potensial melahirkan resistensi itu, maka dimensi perlawanan terhadap kekuasaan
penting untuk dijelaskan. Teoritikus terkemuka yang direpresentasi oleh Karl
Marx melalui konflik kelasnya menekankan pada pertentangan dan pola hubungan
dalam masyarakat industri yang dicirikan oleh super-ordinasi dan sub-ordinasi.
Asumsi utama teori ini memandang masyarakat senanatiasa mengalami perubahan
dan dalam situasi konflik yang terus menerus, sehingga ada pihak yang kuat dan
ada yang lemah. Pihak yang kuat senantiasa berusaha meningkatkan posisinya dan
memelihara dominasinya, sedangkan pihak yang lemah senantiasa dalam posisi
yang didominasi dan terkalahkan. Karena itu, perlu dibangkitkan kesadaran kelas
bagi yang didominasi untuk selanjutnya melakukan perlawanan melalui revolusi.
Konsep perlawanan tersebut sejalan dengan pandangan Dahrendorf bahwa
perjuangan kelas lebih berdasarkan kekuasaan dari pemilikan sarana produksi.
Selanjutnya menurut dia menekankan pada hubungan-hubungan kekuasaan
(authority) yang menyangkut bawahan dan atasan menyediakan unsur-unsur bagi
kelahiran kelas, dimana terdapat dikotomi antara mereka yang berkuasa dan
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
56
mereka yang dikuasai. Ada orang yang berada dalam struktur dan atau memiliki
kekuasaan dalam suatu kelompok, sedangkan yang lain tidak, sehingga keduanya
memiliki derajat kekuasaan yang berbeda pula (Poloma, 1994:135). Pada posisi
ini, relasi kekuasaan terkait erat dengan teori kepentingan. Teori kepentingan
menyatakan bahwa setiap kelompok berusaha untuk membangun image melalui
perbendaharaan pengetahuan tentang nilai-nilai atau idiologi dan institusi menjadi
arena untuk memenuhi kepentingan yang dilandasi oleh perhitungan rasional.
Selanjutnya dengan posisi ini akan teridentifikasi seberapa besar kekuasaan yang
dimiliki oleh individu-aktor atau kelompok untuk memenuhi kepentingan, dan
selanjutnya mengidentifikasi tindakan yang dilakukan serta implikasinya yang
mungkin terjadi untuk memenuhi keuntungan melalui kekuasaan yang dimiliki.
Kekuasaan disini dikonsepsikan sebagai kapasitas untuk mencapai tujuan yang
seringkali berbenturan dengan kepentingan pihak lain (Usman,2001). Kristalisasi
benturan kepentingan akan tampak dalam suatu konteks, misalnya dalam
penyusunan kebijakan oleh pihak dominan yang diputuskan secara sepihak. Hal
ini menjadi indikasi adanya kepentingan untuk mengamankan kebijakan, sehingga
dapat menjadi pemicu terjadinya resistensi yang bersifat tertutup (latent) menjadi
resistensi terbuka (manifest). Karena itu konteks dan pemicu konflik merupakan
mata rantai yang penting untuk menganalisis resistensi terhadap kekuasaan.
Kekuasaan merupakan fenomena yang melekat dan senantiasa akan hadir
sepanjang hidup dan kehidupan manusia. Hasrat untuk berkuasa itulah yang
menjadi salah satu sumber perlawanan, karena praktik kekuasaan identik dengan
praktik dominasi dalam masyarakat. Bagi Fisher (dkk), suatu pertentangan
seringkali berpusat pada usaha untuk memperoleh kekuasaan yang lebih besar,
atau sekaligus kekuatiran akan kehilangan (relasi) kekuasaan. Konsep dasar
kekuasaan yang menunjuk pada kemampuan untuk memaksa pihak lain agar
mengikuti kemauan pemilik kekuasaan juga setara maknanya (untuk hal tertentu)
dengan otoritas, kekuatan dan legitimasi. Bagi mereka, otoritas atau posisi dapat
dimiliki seseorang atau kelompok berdasarkan perannya yang didukung oleh
aturan, norma, sumberdaya, sehingga ada sumber legitimasi terbentuk-dimilikinya
suatu otoritas.
Menguak Wacana dan Strategi Kekuasaan dari Perspektif Studi Kebudayaan M. Ridhah Taqwa
57
Keterkaitan kekuasaan dan resistensi diperkuat oleh argumentasi Foucault
bahwa berbicara tentang relasi kekuasaan dan perlawanan dalam lapangan praktis
tidak terelakkan dari pertanyaan siapa melawan siapa. Karena itu, kita tidak dapat
melarikan diri dari pertanyaan mengenai subjek-subjek yang ada dalam relasi
kekuasaan (Foucault, 2000:257). Dalam relasi kekuasaan subjek atau pihak yang
berlawanan dengan pihak lain berusaha membangun atau menghadirkan
kekuasaan yang dimiliki untuk memperkuat posisinya masing-masing. Dalam
kontek ini tesis Foucault mengenai “kemahahadiran” relasi-relasi kekuasaan atau
kekuasaan/pengetahuan menjadi relevan. Tesisnya menyatakan bahwa semua
kekuasaan sejauh yang dapat diamati merupakan jenis kedaulatan yang dimiliki
oleh penguasa yang sangat besar dan aturan atau perintah yang absolut. Karena itu
dia memberikan gelar kemahahadiran absolut pada aparat-aparat kekuasaan
(Kristanto, 2001:60).
Namun kekuasaan yang angker dan absolut harus tetap dihadapi atau
dilawan. Cara melawannya adalah membangun kesadaran kritis, dan hanya
dengan kesadaran kritis ini pihak yang dominan dapat ditaklukan atau dikurangi
tingkat dominasinya. Kesadaran individu yang ada dalam struktur atau relasi
kekuasaan akan membangkitkan kesadaran kollektif yang potensial melawan
dominasi kekuasaan, karena bentuk kesadaran ini dapat mengakomodasi kehendak
kollektif.
Intensitas resistensi terhadap praktik kekuasaan, akan berkembang jika
selain karena ada pemicunya juga karena konteksnya. Apabila suatu resistensi
tidak direspon dengan baik, tetapi justru semakin ditekan akan berkembang biak
menjadi lahan atau arena perlawanan yang besar dan berkepanjangan. Apalagi jika
nuangsa kekerasan (simbolik) dari pihak yang dominan semakin terbuka, maka
pola resistennya pun akan semakin tampak dipermukaan (manifest), semakin
meluas (akan teridentifikasi siapa kawan dan siapa lawan). Dalam situasi ini
dimana resistensi makin intens, maka energi yang dikeluarkan untuk mengahadapi
lawan yang dominan makin besar, termasuk dengan kekerasan. Cara ini
diperlukan dalam rangka mempertahankan dominasi, melindungi kebijakan atau
kepentingan, baik salah satu pihak maupun semua pihak yang terlibat dalam suatu
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
58
relasi kuasa. Dalam kekerasan simbolik sifatnya halus, sehingga terkadang tidak
terdeteksi pihak lain atau yang didominasi. Menurut Bourdieu kekerasan simbolik
merupakan pemaknaan sistem simbolisme dan makna terhadap kelompok atau
kelas sedemikian rupa sehingga hal itu dimaknai sebagai suatu yang sah (Jenlins,
2004:154). Para pelaku sosial menerima kekerasan simbolik sebagai sesuatu yang
wajar, karena kekerasan simbolik menggunakan struktur kognitif yang telah
dimiliki oleh pelaku sosial sejak lahir, dengan struktur objektif yang ada di dalam
dunia sosial. Dengan adanya legitimasi ini semakin meneguhkan relasi kekuasaan
yang menghalalkan kekerasan.
Dari kajian teoritik di atas dapat disimpulkan bahwa betapa kompleksnya
dimensi yang berkaitan dengan wacana kekuasaan dalam suatu instituti sosial,
khususnya institusi politik, ekonomi, agama dan bahkan pendidikan sebagai
institusi utama dalam masyarakat (Rusdiati, 2003:157). Relasi Kekuasaan dalam
suatu institusi dengan demikian memiliki variasi basis nilai, kedalaman dan
keluasan konteks serta keragaman struktur dan kultur. Suatu hal yang perlu
ditegaskan bahwa teori-teori tersebut sesungguhnya hendak menyatakan hal yang
sama dengan cara berbeda. Bahwa semua institusi sosial dalam masyarakat
senantiasa diwarnai oleh wacana dan strategi kekuasaan yang tidak seimbang, ada
yang dominan dan ada yang didominasi, ada yang berkuasa dan ada yang
dikuasai. Kemudian dalam proses itu terjadi dinamika perlawanan yang
berpeluang meluas dan mendalam.
D. CATATAN PENUTUP: KRITIK TEORI
Fungsi atau posisi teori-teori yang telah diuraikan dalam konteks
penelitian ini, tidak dimasudkan sebagai pembenaran atau jastifikasi terhadap
fenomena sosial, tetapi lebih diposisikan sebagai pengayaan konseptual dan
analisis. Kajian ini juga tidak bermaksud untuk menguji kesahihan suatu teori,
tetapi sifatnya peminjaman konsep dalam rangka untuk mencoba mengembangkan
teori yang relevan dengan konteks kebudayaan di Indonesia dikemudian hari.
Sikap ini di atas dimaksudkan untuk menghindari bias, karena teori-teori yang
Menguak Wacana dan Strategi Kekuasaan dari Perspektif Studi Kebudayaan M. Ridhah Taqwa
59
dikemukakan di atas sangat berbeda dengan konteks budaya di tanah air
Indonsesia.
Para teoritikus dan berikut teorinya sendiri yang telah dikemukakan di
atas, pada umumnya dikembangkan oleh bangsa Eropa dan berkembang di Eropa
pula. Sebagaimana dikritik oleh Edward W. Said (2003:382) melalui teori
orientalismenya bahwa teori-teori sosial Barat terlalu Eurosentris. Said
mencontohkan Foucault yang banyak mengembangkan teori relasi kekuasaan
dipandang karyanya merupakan sebuah eksemplifikasi dari bentuk
homoseksualitasnya yang unik dan keterikatannya pada sadomasokhisme.
Selanjutnya Foucault selalu berbicara tentang kekuasaan dari sudut pandang
kemenangan kekuasaan, dia dengan penuh kenikmatan berbicara tentang korban-
korban kekuasaan. Karena itu, Said pun menegaskan pentingnya untuk tidak
hanya berbicara tentang terbentuknya dominasi yang tidak banyak diperhatikan
Foucault, tetapi juga terbentuknya perlawanan terhadap dominasi, serta suatu
kenyataan bahwa praktik dominasi bisa digulingkan. Tentu saja perlawanan dan
penggulingan kekuasaan melalui proses yang panjang dan melelahkan.
Suatu hal yang dapat disimpulkan bahwa kajian kebudayaan sama luasnya
dengan dimensi kehidupan itu sendiri. Karena itu, kajian inipun disebut kajian
interdisipliner yang bisa meminjam konsep dan metode dari disiplin lain seperti
sosiologi, politik, psikologi, sejarah, antropologi dan sastra. Selain itu, tujuan
utama dan merupakan ciri yang paling pokok dari studi kebudayaan ini adalah
tidak hanya memiliki komitmen nilai dan keberpihakan, melainkan juga berusaha
membongkar struktur dan kultur praktik kehidupan yang dominatif dalam
masyarakat. ***
DAFTAR PUSTAKA
Barker, Chris. 2005. Cultural Studies, Teori dan Praktek. Kreasi Wacana. Yogjakarta.
Bleicher, Josef. 2003. Hermeneutika Kontemporer, Hermeneutika sebagai Metode, Filsafat dan Kritis. Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta.
Burkit, Ian. 1998. Power Relation and Socio-historical Desires, dalam Sexuality and Gender Identity: From a Discursive to Relational Analysis. The Editorial of The Sociological Review. Blackwell Publisher, Oxford UK.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
60
Cabin, Philippe. 2004. Di Balik Panggung Dominasi: Sosiologi Ala Pierre Bourdieu. Dalam A. Giddens etc. Sosiologi Sejarah dan Perkembangannya. Kreasi Wacana. Yogyakarta.
Eriyanto. 2005. Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media. Cetakan 4, LKIS. Yogjakarta.
Fisher, Simon. 2001. Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak. The British Council-Responding to Conflict, Jakarta.
Fiske, John. 2005. Cultural and Communication Studies. Cet. Kedua, Jalasutra, Yogyakarta.
Foucault, Michel. 2002. Power/Knowledge (Wacana Kuasa/Pengetahuan). Terj. Yudi Santosa. Bentang Budaya, Yogyakarta.
Foucault, Michel. 2002. Seks dan Kekuasaan Seksualitas. Terj. Rahayu S. Hidayat. Gramedia, Jakarta.
Galtung, Johan. 2002. Kekerasan Kultural. Wacana: Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, Edisi 9, tahun III. Insist Press, Yogyakarta.
Hardiman, F. Budi. 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif. Kanisius, Yogyakarta.
Haryatmoko. 2002. Kekuasaan melahirkan anti-Kekuasaan: Menelanjangi Mekanisme dan Teknik Kekuasaan bersama Foucault. Basis, No. 1-2, tahun 51, Januari-Februari 2002. Hal. 8-21.
Haryatmoko. 2003. Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa; Landasan Teoritis Gerakan Sosial Menurut Bourdieu. Basis, No. 11-12, Tahun ke-52, Nop-Desember 2003. Hal. 4-23.
Harris, David. 1992. From Class Struggle to the Politics of Pleasure, the Effects of Gramscianism on Cultural Studies. Routledge, London and New York.
Horkheimer, Max dan Theodor W. Adorno. 1969. Dialectic of Enlightenment. The Seabury Press, New York.
Irawanto, Budi. 2007. Metodologi Penelitian Cultural Studies. Makalah dalam Seminar, Forum Ilmu Sosial dan Humaniora Himpunan Mahasiswa Pascasarjana (HMP)-Sekolah Pascasarjana UGM.
Kristanto, L. Dedy. 2001. Menertawakan Kekuasaan ala Antonio Gramsci. Basis, No. 09-10, tahunke-50, September-Oktober 2001, hal. 59-64.
Latif, Yudi dan Idi Subandy Ibrahim, (editor). 1996. Bahasa dan kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru. Mizan, Bandung.
Piliang, Yasraf A. 2005. Transpolitika: Dinamika Politik di dala era Virtualitas. Jalasutra, Yogyakarta.
Ritzer, George dan Goodman Douglas J. 2004. Teori Sosiologi Modern. Edisi Keenam, Terj. Alimandan. Prenada Media, Jakarta.
Rusdiarti, Suma Riella. 2003. Bahasa, Pertarungan Simbolik dan Kekuasaan. Basis, No. 11-12, Tahun ke-52, Nopember-Desember 2003. Hal. 31-40.
Sardar, Ziauddin dan Borin van Loon. 2001. Cultural Studies for Beginners. Mizan, Bandung.
Taqwa, M. Ridhah. 2008. Menyoal Praktik Kekuasaan di Arena Pendidikan, Perspektif Cultural Studies. Prosiding Simposium Nasional, Peringatan “100 Tahun Kebangkitan Nasional.” HMP UGM, Yogayakarta.
Wacana Indonesia Volume 2, Nomor 2, April Tahun 2010 (61 ‐ 72)
61
UPAYA PEMERINTAH DALAM MENGGALAKKAN PROGRAM KELUARGA BERENCANA DAN PELAYANAN KONTRASEPSI
Paska R. Situmorang
Staff Pengajar STIKes Santa Elisabeth Medan
ABSTRACT
Law number 10 of 1992 on population and family welfare is one of goverment policy which aims to improve the quality of human. Strategy resources with community and regional approaches that are active plenary and offensive to the family planning movement are increasingly independent, thus the commitment of the goverment and health-related quality of contraceptive services approach and quality services to families and community of family planning, not merely they interests of the government, but has become a requirement of society, community and prospective aceptor been better understand to the advantages and benefit og using contraception, so that the community has been able to in choosing a contraceptive that suits for them.
Keywords: Family planning, aceptor candidates, the benefits of using contraception
PENDAHULUAN
Keluarga Berencana merupakan salah satu upaya mengatur banyaknya
kehamilan sedemikian rupa sehingga berdampak positif bagi ibu, bayi, ayah serta
keluarganya yang bersangkutan tidak akan menimbulkan kerugian sebagai akibat
langsung dari kehamilan tersebut. Semakin tinggi angka kematian ibu dan bayi
maka akan semakin rendah derajat kesehatan dan kesejahteraan suatu negara.
Angka kematian ibu disemua negara berkembang masih sangat
tinggi,demikian juga di Indonesia berkisar antara 307 per 100.000 kelahiran
hidup, yang tertinggi di NTB dan yang terendah di Daerah Istimewa Jogjakarta
(Suratun, 2008). Angka ini merupakan problem dan keprihatinan karena dampak
yang di timbulkan akan sangat berpengaruh terhadap ekonomi, politik dan
kebijakan pembangunan. Untuk mencegah kematian ibu dan menjaga kesehatan
serta keselamatan ibu salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan
menggalakkan program KB.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
62
Sejarah dan Perkembangan Program Keluarga Berencana
Gerakan KB bermula dari kepeloporan beberapa tokoh di dalam dan luar
negeri. Pada abad 19 di Inggris upaya KB timbul atas prakarsa sekelompok orang
yang menaruh perhatian pada masalah kesehatan ibu antara lain Maria Stopes
pada tahun 1880 - 1950 yang mengatur kehamilan kaum buruh di Inggris.
Margaret Sanger, tahun 1883 - 1966 merupakan pelopor KB modern di AS yang
telah mengembangkan tentang Program Birth Control, bermula pada tahun1917
mendirikan Nasional Birth Control (NBC) dan pada tahun 1921 diadakan
American NBC conference I. Hasil konfrensi tersebut yaitu didirikannya
American Birth Control League dan Margaret Sanger sebagai ketuanya.
Pelopor KB di Indonesia, yaitu Dr Sulianti Suroso pada tahun 1952
menganjurkan para ibu untuk membatasi kehamilan, karena angka kelahiran bayi
sangat tinggi. Sedangkan di DKI Jakarta mulai dirintis di bagian kebidanan dan
kandungan FKUI/RSCM oleh Prof.Sarwono Prawirohardjo.
Pada tanggal 23 Desember 1957 PKBI diresmikan oleh dr R.Soeharto
sebagai ketua, beliau memperjuangkan tiga (3) macam usaha, yaitu : mengatur
kehamilan/menjarangkan kehamilan, mengobati kemandulan dan memberi
nasehat perkawinan. Program KB di Indonesia mengalami perkembangan yang
sangat pesat, ditinjau dari sudut, tujuan, ruang lingkup geografi, pendekatan, cara
operasional dan dampaknya terhadap pencegahan kelahiran.
Program pembangunan Nasional pada Pelita I, periode 1969/70-1973/74,
KB disatukan dengan program kesehatan. Target demografis cukup sederhana,
yaitu mencakup jumlah aseptor 3 juta dalam 5 tahun, dengan asumsi 600 -700 ribu
kelahiran dapat dicegah, khususnya di daerah yang padat penduduk yaitu pulau
Jawa dan Bali.
Sejak PELITA III dampak demografis dari program KB memperhatikan
target penurunan tingkat kelahiran kasar, yaitu dengan menetapkan target
penurunan 50% dari 44 pada tahun 1971 menjadi 22 pada tahun 1990. Sedangkan
pada PELITA V program KB Nasional mencanangkan gerakan KB Nasional yaitu
Upaya Pemerintah dalam Menggalakkan Program Keluarga Berencana dan Pelayanan Kontrasepsi Paska R. Situmorang
63
gerakan masyarkat yang menghimpun dan mengajak segenap potensi masyarakat
untuk berpartisipasi aktif dalam melembagakan dan membudayakan NKKBS.
Gerakan KB dan pelayanan kontrasepsi memiliki tujuan, yaitu : untuk
demografi, mengatur kehamilan dengan menunda perkawinan, mengobati
kemandulan atau infertilitas, married conseling atau nasehat perkawinan, dan
tujuan yang terakhir dan yang terpenting adalah untuk mencapai NKKBS (Norma
Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera) serta membentu keluarga berkualitas.
Sasaran KB meliputi sasaran langsung dan tidak langsung
a. Sasaran langsung
Pasangan Usia Subur (PUS) yaitu pasangan yang wanitanya berusia antara 15
– 19 tahun, karena kelompok ini merupakan pasangan yang aktif melakukan
hubungan seksual dan setiap kegiatan seksual dapat mengakibatkan
kehamilan
b. Sasaran tidak langsung
• Kelompok remaja usia 15-19 tahun, remaja ini memang bukan
merupakan target untuk menggunakan alat kontrasepsi secara langsung
tetapi merupakan kelompok yang beresiko untuk melakukan hubungan
seksual akibat berfungsinya alat- alat reproduksinya, sehingga program
KB disini lebih berupaya promotif dan preventif untuk mencegah
terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan serta kejadian aborsi.
• Organisasi-organisasi, lembaga kemasyarakatan serta instansi pemerintah
maupun swasta serta tokoh masyarakat dan pemuka agama yang
diharapkan dapat memberikan dukungan dalam melembagakan NKKBS
Pelayanan Kontrasepsi dan Manfaat Kontrasepsi
Istilah kontrasepsi berasal dari kata kontra dan konsepsi. Kontra yang
berarti”melawan” atau” mencegah”, sedangkan konsepsi adalah pertemuan antara
sel telur yang matang dengan sperma yang mengakibatkan kehamilan.
Berdasarkan maksud dan tujuan kontrasepsi, maka yang membutuhkan
kontrasepsi adalah pasangan yang aktif melakukan hubungan seks dan kedua-
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
64
duanya mamiliki kesuburan normal namun tidak menghendaki kehamilan
(Cunningham,1989).
Metoda kontrasepsi dapat digunakan oleh pasangan usia subur secara
rasional berdasarkan fase-fase kebutuhan seperti berikut :
1. Masa menunda kehamilan
Bila belum mencapai usia 20 tahun maka kriteria kontrasepsi yang
diperlukan yaitu kontrasepsi dengan pulihnya kesuburan yang tinggi
artinya kembalinya kesuburan dapat terjamin 100%. Kontrasepsi yang
cocok disarankan adalah Pil KB, AKDR dan cara sederhana.
2. Masa mengatur/ menjarangkan kehamilan
Bila usia antara 20-30 tahun maka kriteria kontrasepsi yang diperlukan
yaitu: efektifitas tinggi, reversibilitas tinggi karena pasangan masih
mengharapkan punya anak lagi, dapat dipakai 3-4 tahun serta tidak
menghambat produksi ASI. Kontrasepsi yang disarankan adalah AKDR,
Suntik KB, Pil KB atau implant
3. Masa mengakhiri kesuburan/tidak hamil lagi
Bila keluarga mempunyai 2 anak dan umur istri lebih dari 30 tahun dan
tidak hamil lagi dan pasangan aseptor tidak mengharapkan untuk
mempunyai anak lagi. Kontrasepsi yang disarankan adalah metoda kontap,
AKDR, Implant, Suntik KB dan Pil KB.
Pelayanan kontrasepsi, adalah salah satu upaya mengatur jarak
kehamilan, namun ada upaya lain yakni upaya mengobati kemandulan dan nasehat
perkawinan Cara kerja kontrasepsi adalah mengusahakan agar tidak terjadi
ovulasi, melumpuhkan sperma, menghalangi pertemuan antara sel telur dengan
sperma
Sejumlah faktor yang dapat mempengaruhi keputusan pemilihan metoda
kontrasepsi (Varney,2006) antara lain :
1. Faktor sosial budaya: tren saat ini tentang jumlah keluarga tempat individu
tumbuh dan berkembang terhadap individu tersebut, pentingnya memiliki
anak laki-lakidi mata masyarakat menghubungkan secara langsung antara
Upaya Pemerintah dalam Menggalakkan Program Keluarga Berencana dan Pelayanan Kontrasepsi Paska R. Situmorang
65
jumlah anak yang dimiliki seorang laki-laki dan kejantanannya; nilai
dalam masyarakat tentang menjadi seorang ”wanita” hanya bila ia dapat
”memberi” anak kepada pasangannya.
2. Faktor pekerjaan dan ekonomi: kemungkinan perpisahan yang lama karena
melakukan wajib militer, kebutuhan untuk mengalokasi sumber-sumber
ekonomi untuk pendidikan atau sedang memulai suatu pekerjaan,
kemampuan ekonomi untuk meenyekolahkan anak-anaknya dengan
makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan dimasa depan,
pengangguaran, tunawisma.
3. Faktor keagamaan: pembenaran terhadap prinsip-prinsip pembatasan
keluarga dan konsep dasar tentang keluarga berencana oleh semua agama.
4. Faktor hukum: peniadaan semua hambatan hukum untuk pelaksanaan
keluarga berencana sejak diberlakukannya Undang-Undang Negara
Connecticut tentang pembatasan penggunaan semua alat kontrasepsi, yang
bertujuan untuk mencegah konsepsi dinyatakan tidak sesuai konstitusi oleh
Majelis Tertinggi pada tahun 1965.
5. Faktor fisik: kondisi-kondisi yang membuat wanita tidak bisa hamil karena
alasan kesehatan dan gaya hidup yang tidak sehat & penggunaan obat
teratogenik.
6. Faktor hubungan: stabilitas hubungan, masa krisis dan penyesuaian yang
panjang dengan hadirnya anak.
7. Faktor psikologis: kebutuhan untuk memiliki anak untuk dicintai dan
meencintai orangtuanya, pemikiran bahwa kehamilan dianggap bukti
bahwa kita dicintai.
8. Status kesehatan saat ini dan riwayat genetik: adanya keadaan atau
kemungkinan munculnya kondisi atau penyakit yang dapat ditularkan
kepada bayi (mis: HIV AIDS, Tay sachs, Korea Huntington, Anemia sel
sabit).
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
66
Metoda kontrasepsi menurut DepKes (1996)
1. Metoda Kontrasepsi sederhana
a. Tanpa alat atau obat :
Metoda kontrasepsi sederhana tanpa alat terdiri dari: senggama
terputus yang prinsipnya mengeluarkan sperma di luar vagina waktu
melakukan persetubuhan dan pantang berkala yang prinsipnya tidak
melakukan persetubuhan pada usia subur.
b. Dengan alat atau obat :
Metoda kontrasepsi dengan alat terdiri dari: kondom (kondom pria dan
wanita), diapragma atau cup yang berfungsi untuk menutup serviks dari
bawah sehingga sperma tidak dapat memasuki saluran serviks,
kontrasepsi Kimiawi atau spermicidal seperti : Cream, jelly dan cairan
berbusa dan Tablet berbusa atau vaginal tablet
2. Metoda kontrasepsi efektif
Metoda kontrasepsi efektif terdiri dari: Pil KB, merupakan tablet yang
mengandung hormon estrogen dan progestin yang harus dimakan secara
teratur. Pil Kb ini mudah diperoleh, efektif selama disiplin minum pil, tidak
mengganggu sanggama, pemulihan kesuburan tinggi; AKDR atau IUD,
merupakan kontrasepsi yang terbuat dari bahan plastik halus berbentuk spiral,
memiliki efektifitas tinggi, walaupun kemungkinan terjadi kehamilan 2%,
dapat mencegah kehamilan dalam jangka waktu lama atau bertahun-tahun,
murah/ekonomis dan mudah diangkat jika diinginkan; Suntikan KB,
merupakan suntikan yang mempunyai cara kerja dengan menghalangi
ovulasi, menipiskan endometrium sehingga tidak terjadi nidasi. Masyarakat
menganggap suntikan ini sebagai obat mujarab, kemungkinan salah atau lupa
tidak ada, dapat diberikan kepada ibu yang menyusui, diberikan setiap 12
minggu atau 3 bulan; Susuk KB merupakan alat kontrasepsi yang disusupkan
di bawah kulit dan susuk ini sangat efektif dan mengembalikan kesuburan
secara sempurna, tidak merepotkan, tidak mempengaruhi produksi ASI.
3. Metode Kontrasepsi Mantap
Upaya Pemerintah dalam Menggalakkan Program Keluarga Berencana dan Pelayanan Kontrasepsi Paska R. Situmorang
67
Merupakan kontrasepsi yang permanen yang dalam istilah disebut
VASEKTOMI bagi pria dan TUBEKTOMI bagi wanita. Dengan operasi,
untuk keadaan kesehatan ibu tidak mengizinkan lagi untuk hamil dan
melahirkan, sedangkan kontrasepsi lainnya tidak cocok.Kontap dilakukan atas
indikasi medis.
Tabel 1: Presentasi dan Jumlah Wanita yang beresiko dan persentase Resiko pada Penggunaan Mutakhir berbagai metoda, dari survei
Pertumbuhan Keluarga Tingkat Nasional (Harney,2006)
Presentase penggunaan diantara wanita yang beresiko Usia Sterilisasi wanita Pil Kondom pria Sterilisasi pria Tidak menggunakan metode Penghentian Suntikan Puasa secara periodik Keluarga Berencana alami Diafragma Susuk Spermicida AKDR Alat kontrasepsi lain Kondom wanita
15 - 4425,6 24,9 18,9 10,1
7,5
2,9 2,7 2,2
0,3
1,7 1,3 1,3 0,7 0,1 0,0
15 – 19 0,3 35,4 29,7 0,0
19,3
3,3 7,9 1,1
0,0
0,0 2,2 0,8 0,0 0,0 0,0
20 -24 3,6 47,6 24,0 1,0
8,6
3,0 5,6 0,9
0,1
0,6 3,4 1,1 0,3 0,1 0,1
25 – 29 16,0 36,6 22,8 4,2
6,4
3,5 3,9 1,6
0,3
0,8 1,9 1,6 0,3 0,0 0,0
30 -34 27,7 26,8 17,3 9,8
5,7
2,7 1,7 3,0
0,4
2,2 0,6 1,4 0,8 0,3 0,0
35 - 3938,6 10,5 15,9 17,6
5,6
3,0 1,0 2,7
0,5
2,8 0,3 1,0 0,9 0,1 0,0
40 -44 46,7 5,5 11,5 19,0
6,7
1,8 0,3 2,4
0,3
2,5 0,1 1,8 1,2 0,5 0,0
Jumlah wanita dalam perbandingan Kohort, Persentase, dan jumlah yang beresiko Jumlah wanita(dalam juta)
60,2 9,0 9,0 9,7 11,1 11,2 10,2
Persentase wanita beresiko
69,4 36,9 69,4 74,0 77,1 77,2 76,6
Jumlah wanita beresiko(dalam juta)
41,8 3,3 6,3 7,2 8,5 8,7 7,8
Sumber : Dicetak ulang dengan izin dari Hatgher,RA, et,contraceptif technologi edisi revisi ke-17.New York Ardent Media,1998,hlm.213
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
68
Keterangan:
1. Beresiko = mereka yang adalah pengguna kontrasepsi saat ini atau bukan
pengguna dan telah melakukan hubungan seksual selama 3 bulan terakhir
dan tidak menginginkan kehamilan, tidak sedang hamil, atau tidak sedang
diwawancara dalam dua bulan setelah melahirkan dan idak steril
2. Metode lain = cervica/cap, busa, dan metode lain yang tidak spesifik
Prevalensi Kontrasepsi di Indonesia Tahun 1991 - 2002/2003 (WHO,2007)
Tabel di bawah ini menunjukkan bahwa 57% perempuan menikah
menggunakan kontrasepsi. Prevalensi menyeluruh meningkat dari 50% pada
tahun1991 ke 55% tahun 1994 dan 57% tahun 2002 - 2003. Peningkatan
terbanyak terjadi pada penggunaan kontrasepsi suntikan (dari 12% ke 26,4%).
Dilain pihak, pemakaian IUD menurun dari 13% tahun 1991 ke 6% tahun 2002 -
2003 (SDKI 2002 - 2003). Presentasi perempuan menikah dengan kebutuhan KB
yang tak terpenuhi saat ini adalah 8,6% menurut data SDKI 2002 – 2003 yang
juga lebih rendah dibandingkan data SDKI 1995 yaitu 11% (SDKI 1995: 104
Perempuan yang menikah ini tidak menginginkan anak lagi atau ingin menunda
kehamilan berikutnya tanpa menggunakan kontrasepsi. Target program
Pembangunan Nasional adalah mengurangi kebutuhan KB yang tak terpenuhi dari
9% tahun 1997 ke 7% atau lebih rendah di tahun 2004.
Tabel 2: Kecenderungan Penggunaan Metoda Kontrasepsi Khusus, Indonesia, 1991- 002/03
Metoda 1991 1994 2002 -03
Semua metoda Pil Kontrasepsi IUD Suntikan Kondom Norplant Sterilisasi Perempuan Sterilisasi laki-laki Pantang berkala Coitus interuptus Lainnya
49,7 14,8 13,3 11,7 0,8 3,1 2,7 0,6 1,1 0,7 0,9
54,7 17,1 10,3 15,2 0,9 4,9 3,1 0,7 1,1 0,8 0,8
57,3 12,5 5,9 26,4 0,8 4,1 3,5 0,4 1,5 1,4 0,6
Jumlah Perempuan 21.109 26.186 29.483
Sumber ; BPS, BKKBN, Depkes & MII, 1995: SDKI 2002 - 03: 67
Upaya Pemerintah dalam Menggalakkan Program Keluarga Berencana dan Pelayanan Kontrasepsi Paska R. Situmorang
69
Upaya Pemerintah dalam menggalakkan program Keluarga Berencana dan Pelayanan Kontrasepsi
Untuk lebih menjamin keberlangsungan program KB, dibutuhkan
komitmen yang kuat dari pimpinan tertinggi di Pemerintahan mulai dari Presiden,
Gubernur, Bupati/Walikota, sampai pimpinan di lini lapangan. Dalam kaitan itu
dengan pengelolaan KB di era otonomi, akan diselenggarakan Lokakarya
Diseminasi Peningkatan Kualitas dan Akses Pelayanan KB kepada masyarakat
melalui pendekatan managemen dan tehnis teruji.
Pemerintah juga harus tetap mensosialisasikan dan mendorong program
KB ke tengah masyarakat, seraya berusaha menyamakan persepsi untuk seluruh
lapisan masyarakat Indonesia. Hasilnya, gerakan mendukung pelaksanaan
program KB di Indonesia kian hari bertambah bulat, dan banyak dibicarakan isi
slogan KB, yaitu “Dua Anak Cukup”, dan dibuktikan dengan terpampangnya
slogan tersebut di rumah-rumah penduduk dengan bercapkan tanda KB dalam
lingkaran berwarna biru.
Program KB bukan program yang hanya menghabiskan dana pemerintah
tanpa arti, tetapi merupakan program yang telah dan akan terus memberikan
manfaat besar terhadap kesejahteraan penduduk dan keluarga. Program KB
merupakan program investasi jangka panjang, sehingga hasilnya tidak dapat
dirasakan sesaat setelah kegiatan dilaksanakan sebagaimana pembangunan
infrastruktur atau pembangunan yang bersifat fisik lainnya.
Sugiri Syarief, sebagai kepala BKKBN (2010) mengatakan, RPJMN 2010
-2014 merupakan tahun kedua dari RPJPN tahun 2005-2025 yang ditujukan untuk
lebih memantapkan kembali Indonesia di segala bidang dengan menekankan
upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia yang melibatkan berbagai
bidang pembangunan termasuk pembangunan kependudukan dan keluarga
berencana, pengembangan kemampuan ilmu dan teknologi serta penguatan daya
saing perekonomian.
Oleh sebab itu Pembanguanan Kependudukan dan KB menjadi sangat
penting karena dapat meningkatkan pemakian dan pelayanan kontrasepsi gratis
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
70
bagi kelompok tertinggal tersebut. Apabila upaya meningkatkan pengendalian
jumlah penduduk melalui KB ini tidak dilakukan maka pertambahan jumlah
penduduk akan menjadi beban pemerintah dan masyarakat sehingga upaya
pengentasan kemiskinan juga tidak akan berhasil.
Oleh sebab itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Aman, 2006)
meminta agar Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional atau BKKBN
menggalakkan lagi program keluarga berencana (KB) dengan prioritas sedikit
anak. Banyaknya anak dengan pendapatan keluarga tetap akan menghambat
pencapaian kesejahteraan lahir dan batin. Sedikit anak akan lebih menjamin
kualitas sebuah keluarga karena terpenuhinya sejumlah kebutuhan secara lebih
baik. Kebutuhan keluarga dan anak tidak hanya pangan, tetapi juga sandang,
papan, pendidikan, kesehatan, dan masa depan.
Dalam menindaklanjuti program KB yang telah ditetapkan oleh
Pemerintah maka BKKBN membuat kebijakan-kebijakan sebagai upaya untuk
menggalakkan program KB di masyarakat, diantaranya:
1. Memaksimalkan akses dan kualitas pelayanan KB terutama bagi keluarga
miskin, berpendidikan rendah, PUS MUPAR, daerah pedesaan, tertinggal,
terpencil, perbatasan dan daerah dengan unmet need tinggi.
2. Peningkatan kualitas penyediaan dan pemanfaatan alkon MKJP
3. Peningkatan akses informasi dan kualitas pelayanan KR bagi keluarga dan
individu untuk meningkatkan status kesehatan perempuan dan anak dalam
mewujudkan keluarga sehat dengan jumlah anak ideal serta pencegahan
berbagai penyakit seksual dan alat reproduksi.
4. Peningkatan akses informasi dan kualitas pelayanan kesehatan reproduksi
remaja dalam rangka menyiapkan kehidupan berkeluarga dan
pendewasaan usia perkawinan
5. Peningkatan kemampuan keluarga dalam pengasuhan dan pembinaan
tumbuh kembang anak, pembinaan kesehatan ibu, bayi dan anak serta
pembinaan kualitas hidup keluarga secara terpadu
Upaya Pemerintah dalam Menggalakkan Program Keluarga Berencana dan Pelayanan Kontrasepsi Paska R. Situmorang
71
6. Pemberdayaan ketahanan keluarga akseptor KB untuk mewujudkan
kemandiriannya dalam memenuhi kebutuhan keluarganya
7. Mengoptimalkan upaya-upaya advokasi,promosi dan KIE Program KB
Nasional
8. Pembinaan kuantitas dan kualitas SDM di lini lapangan dan kualitas
manajemen pengelolaan program KB nasional
9. Peningkatan kualitas pengelolaan data dan informasi Program KB
Nasional.
PENUTUP
Pentingnya kesadaran masyarakat akan pengetahuan tentang keluarga
berencana sebagai wujud nyata kepedulian pemerintah dalam mewujudkan
kesejahteraan keluarga pada khususnya dan kesejahteraan rakyat pada umumnya,
karena dewasa ini program keluarga berencana bukan merupakan sesuatu yang
baru lagi bagi masyarakat di Indonesia. Agar upaya pemerintah dalam
pembangunan kesehatan khususnya KB dapat terwujud dibidang kuantitas dan
kualitas hidup bangsa maka perlu adanya peran serta keluarga dan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Budiarto, Eko, 2001, Biostatistika Untuk Kedokteran dan Kesehatan, EGC, Jakara
Depkes R.I, 1996, Modul Pelatihan Bidan di Desa (Klasikal):B-5, Penerbit Depkes, Jakarta
Rabe, Thomas, 2002, Buku Saku: Ilmu Kandungan, Hipokrates, Jakarta.
Soeroso, Santoso, 2004, Mengarustumakan Pembangunan berwawasan Kependudukan di Indonesia, EGC, Jakarta.
Suratun, dkk, 2008, Pelayanan Keluarga Berencana dan Pelayanan Kontrasepsi. Penerbit TIM, Jakarta
Varney, Helen. 2006. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. EGC. Jakarta.
World Health Organization, 2007, Profil Kesehatan dan Pembangunan Perempuan di Indonesia, Penerbit Depkes, Jakarta
Aman. 2006. Program KB Diperkuat Lagi. Counter pressure: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0606/30/.diunduh 30 Maret 2010.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
72
http://www.gemari.or.id/file/kbprognas2005.pdf. diunduh: 02 April 2010
http://www.docstoc.com/docs/5380115/KEBIJAKAN-PROGRAM-KB-NASIONAL-TAHUN-2010/. Diunduh: 02 April 2010
http://www.antaranews.com/berita/1265880800/bkkbn-pkk-tingkatkan-keberhasilan-program-kb . Diunduh : 02 April 2010
Wacana Indonesia Volume 2, Nomor 2, April Tahun 2010 (73 ‐ 84)
73
PERENCANAAN KURIKULUM SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK) YANG RELEVAN DENGAN DUNIA KERJA
Mustari S. Lamada
Staf Pengajar Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar ([email protected])
ABSTRAK
Prinsip-prinsip yang akan digunakan dalam kegiatan pengembangan kurikulum pada dasarnya merupakan kaidah-kaidah atau hukum yang akan menjiwai suatu kurikulum. Beberapa prinsif yang diperhatikan dalam pengembangan kurukulum SMK antara lain (1) Prinsip relevansi; secara internal bahwa kurikulum memiliki relevansi di antara komponen-komponen kurikulum; (2) prinsip fleksibilitas; dalam pengembangan kurikulum mengusahakan agar yang dihasilkan memiliki sifat luwes, lentur dan fleksibel dalam pelaksanaannya, memungkinkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian; (3) prinsip kontinuitas; yakni adanya kesinambungan dalam kurikulum; (4) prinsip efisiensi; yakni mengusahakan agar dalam pengembangan kurikulum dapat mendayagunakan waktu, biaya, dan sumber-sumber lain yang ada secara optimal, cermat dan tepat; dan (5) prinsip efektivitas; yakni usaha yang dilakukan dengan pengembangan kurikulum yang tepat sasaran, baik secara kualitas maupun kuantitas.
Kata Kunci: Kurikulum, Pengembangan, Relevansi, SMK.
PENDAHULUAN
Perkembangan pendidikan di Indonesia ditandai dengan lahirnya berbagai
inovasi pendidikan yang didalamnya terdapat inovasi kurikulum dan inovasi
pembelajaran. Kemudian inovasi-inovasi tersebut diperkuat dengan berbagai
kebijakan. Secara spesifik makalah ini menyajikan inovasi kurikulum yang
berorientasi pada dunia kerja.
Inovasi merupakan suatu ide yang dituangkan dan bersifat baru, walaupun
sesungguhnya tidak ada sesuatu hal yang baru seutuhnya tetapi merupakan
penyesuaian dan perbaikan dari hal yang telah ada. Karakteristik suatu inovasi
adalah; kreatif, baru, praktis, perubahan nilai, ekonomis, dan merupakan suatu
terobosan. Dan lingkup inovasi terdiri dari tiga bagian yaitu inovasi struktur,
inovasi materi (materi teknologi informasi dan komunikasi untuk SMU tahun
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
74
2004), dan inovasi proses (e-learning) melalui tahapan konwledge, persuasion,
decision, implmentation, dan confirmation (Rogers, 1983: 164)
Kebijakan Pemerintah tentang Sistem Pendidikan Nasional diatur dalam
UU No. 20 Tahun 2003, PP No.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan, Permen No.22 tahun 2006 tantang Standar Isi, dan Permen No.23
tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Kebijakan-kebijakan tersebut di
atas merupakan landasan dalam pengembangan kurikulum. Kebijakan baru
mengenai pemberlakuan kurikulum yang dikenal dengan istilah KTSP
(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), dengan batas akhir penerapan di sekolah
pada tahun ajaran 2009/2010.
PRINSIF PENGEMBANGAN KURIKULUM SMK
Prinsip-prinsip yang akan digunakan dalam kegiatan pengembangan
kurikulum pada dasarnya merupakan kaidah-kaidah atau hukum yang akan
menjiwai suatu kurikulum. Dalam pengembangan kurikulum, dapat menggunakan
prinsip-prinsip yang telah berkembang dalam kehidupan sehari-hari atau justru
menciptakan sendiri prinsip-prinsip baru. Oleh karena itu, dalam implementasi
kurikulum di suatu lembaga pendidikan sangat mungkin terjadi penggunaan
prinsip-prinsip yang berbeda dengan kurikulum yang digunakan di lembaga
pendidikan lainnya, sehingga akan ditemukan banyak sekali prinsip-prinsip yang
digunakan dalam suatu pengembangan kurikulum.
Dituliskan oleh Asep Herry Hernawan dkk (2002) mengemukakan lima
prinsip dalam pengembangan kurikulum, yaitu:
1. Prinsip relevansi; secara internal bahwa kurikulum memiliki relevansi di
antara komponen-komponen kurikulum (tujuan, bahan, strategi,
organisasi dan evaluasi). Sedangkan secara eksternal bahwa komponen-
komponen tersebut memiliki relevansi dengan tuntutan ilmu pengetahuan
dan teknologi (relevansi epistomologis), tuntutan dan potensi peserta
didik (relevansi psikologis) serta tuntutan dan kebutuhan perkembangan
masyarakat (relevansi sosilogis).
Perencanaan Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang Relevan dengan Dunia Kerja Mustari S. Lamada
75
2. Prinsip fleksibilitas; dalam pengembangan kurikulum mengusahakan
agar yang dihasilkan memiliki sifat luwes, lentur dan fleksibel dalam
pelaksanaannya, memungkinkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian
berdasarkan situasi dan kondisi tempat dan waktu yang selalu
berkembang, serta kemampuan dan latar bekang peserta didik.
3. Prinsip kontinuitas; yakni adanya kesinambungandalam kurikulum, baik
secara vertikal, maupun secara horizontal. Pengalaman-pengalaman
belajar yang disediakan kurikulum harus memperhatikan kesinambungan,
baik yang di dalam tingkat kelas, antar jenjang pendidikan, maupun
antara jenjang pendidikan dengan jenis pekerjaan.
4. Prinsip efisiensi; yakni mengusahakan agar dalam pengembangan
kurikulum dapat mendayagunakan waktu, biaya, dan sumber-sumber lain
yang ada secara optimal, cermat dan tepat sehingga hasilnya memadai.
5. Prinsip efektivitas; yakni mengusahakan agar kegiatan pengembangan
kurikulum mencapai tujuan tanpa kegiatan yang mubazir, baik secara
kualitas maupun kuantitas.
LANDASAN FILOSOFIS PENGEMBANGAN KURIKULUM SMK
Pendidikan nasional di negara kita dewasa ini sedang dihadapkan pada
empat krisis pokok, yang berkaitan dengan kuantitas, relevansi atau efisiensi
eksternal, elitisme, dan manajemen. Sedikitnya ada enam masalah pokok sistem
pendidikan nasional sistem pendidikan nasional:
a. menurunnya akhlak dan moral peserta didik,
b. pemerataan kesempatan belajar,
c. masih rendahnya efisiensi internal sistem pendidikan,
d. status kelembagaan,
e. manajemen pendidikan yang tidak sejalan dengan pembangunan nasional,
f. sumber daya yang belum profesional.
Menyadari hal tersebut, pemerintah telah melakukan berbagai upaya
penyempurnaan sistem pendidikan, antara lain dengan dikeluarkannya Undang-
undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Bila sebelumnya
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
76
pengelolaan pendidikan merupakan wewenang pusat, maka dengan berlakunya
undang-undang tersebut kewenangannya berada pada pemerintah daerah
kota/kabupaten. Kantor Dinas Pendidikan Nasional pada tingkat kota/kabupaten
dan provinsi harus dapat mempertimbangkan dengan bijaksana kondisi nyata
organisasi maupun lingkungannya, dan harus mendukung pula misi pendidikan
nasional (Diah Harianti, 2007).
Perubahan seperti tersebut di atas berkaitan dengan kurikulum yang
dengan sendirinya menuntut dan mempersyaratkan berbagai perubahan pada
komponen-komponen pendidikan lain. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu (Diah Harianti, 2007). Tujuan tertentu ini meliputi tujuan
pendidikan nasional serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi
daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Oleh sebab itu kurikulum disusun
oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian kelompok pendidikan
dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah.
Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang
beragam mengacu pada standar nasional pendidikan untuk menjamin pencapaian
tujuan pendidikan nasional. Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi,
proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana,
pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan. Dua dari kedelapan standar
nasional pendidikan tersebut, yaitu Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi
Lulusan (SKL) merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam
mengembangkan kurikulum.
Oleh karena itu dalam rangka peningkatan kualitas kurikulum SMK maka
berbagai hal diupayakan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan
Nasional. Salah satu upaya yang dilakukan adalah perubahan kurikulum dari
kurikulum yang lama ke kurikulum yang dikembangkan, sampai kita mengenal
yang disebut kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP).
Perencanaan Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang Relevan dengan Dunia Kerja Mustari S. Lamada
77
KARAKTERISTIK PENDIDIKAN KEJURUAN
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) memiliki karakteristik yang berbeda
dengan satuan pendidikan lainnya. Perbedaan tersebut dapat dikaji dari tujuan
pendidikan, substansi pelajaran, tuntutan pendidikan dan lulusannya. Apabila
ditinjau dari sisi tujuan Pendidikan Kejuruan maka Pendidikan kejuruan bertujuan
untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta
keterampilan peserta didik untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih
lanjut sesuai dengan program kejuruannya.
Dari tujuan pendidikan kejuruan tersebut mengandung makna bahwa
pendidikan kejuruan di samping menyiapkan tenaga kerja yang profesional juga
mempersiapkan peserta didik untuk dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi sesuai dengan program kejuruan atau bidang keahlian.
Apabila dilihat dari kontek ketenagakerjaan maka pendidikan kejuruan
seyogianya lebih memfokuskan usaha pada komponen pendidikan dan pelatihan
yang mampu mengembangkan potensi psikomotorik manusia secara optimal.
Meskipun pada dasarnya hubungan antara pendidikan kejuruan dan kebijakan
ketenagakerjaan adalah hubungan yang didasari oleh kepentingan ekonomis,
tetapi harus selalu diingat bahwa hubungan penyelenggraan pendidikan kejuruan
tidak semata-mata ditentukan oleh kepentingan ekonomi. Dalam konteks ini
diartikan bahwa pendidikan kejuruan, dengan dalih kepentingan ekonomi, tidak
seharusnya hanya mendidik anak didik dengan seperangkat skill atau kemampuan
spesifik untuk pekerjaan tertentu saja, karena keadaan ini tidak memperhatikan
anak didik sebagai suatu totalitas. Mengembangkan kemampuan spesifik secara
terpisah dari totalitas pribadi anak didik, berarti memberikan bekal yang sangat
terbatas bagi masa depannya sebagai tenaga kerja.
Apabila ditinjau dari aspek peserta didik maka Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) lebih menfokuskan pada peserta didik yang berkeinginan
memiliki kemampuan keterampilan vokasi. Usia peserta didik secara umum pada
rentang 15/16 – 18/19 tahun, atau peserta didik berada pada masa remaja.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
78
Ditinjau dari aspek ekonomi dengan pendidikan kejuruan secara
konseptual dapat dijelaskan dari kerangka investasi dan nilai balikan (value of
return) dari hasil pendidikan kejuruan. Dalam penyelenggaraan pendidikan
kejuruan, baik swasta maupun pemerintah semestinya pendidikan kejuruan
memiliki konsekuensi investasi lebih besar daripada pendidikan umum. Di
samping itu, hasil pendidikan kejuruan seharusnya memiliki peluang tingkat
balikan (rate of return) lebih cepat dibandingkan dengan pendidikan umum.
Kondisi tersebut dimungkinkan karena tujuan dan isi pendidikan kejuruan
dirancang sejalan dengan perkembangan masyarakat, baik menyangkut tugas-
tugas pekerjaan maupun pengembangan karir peserta didik.
Pendidikan kejuruan merupakan upaya mewujudkan peserta didik menjadi
manusia produktif, untuk mengisi kebutuhan terhadap peran-peran yang berkaitan
dengan peningkatan nilai tambah ekonomi masyarakat. Dalam kerangka ini, dapat
dikatakan bahwa lulusan pendidikan kejuruan seharusnya memiliki nilai ekonomi
lebih cepat dibandingkan pendidikan umum.
PERENCANAAN KURIKULUM PENDIDIKAN TEKNOLOGI DAN KEJURUAN
Dalam naskah akademik Depertemen Pendidikan Nasional tahun 2007
dijelaskan bahwa terdapat 6 aspek yang patut dicermati dalam meningkatkan
relevansi kurikulum dengan kebutuhan dunia kerja. Dijelaskan tentang pendidikan
kecakapan hidup berisi uraian tentang penerapan kecakapan akademik, pribadi,
sosial, dan kecakapan vokasional. Kecakapan akademik, personal, dan social
diintegrasikan ke dalam semua mata pelajaran. Kecakapan vokasional
diintegrasikan kedalam mata pelajaran kewirausahaan serta unit produksi,
berorientasi kedalam produk dan jasa. Program pembelajaran kecakapan hidup
disusun dalam dokumen tersendiri tetapi harus merupakan satu kesatuan dengan
dokumen kurikulum SMK. (Dirjen Pendidikan Dasar Dan Menengah, Direktorat
Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, 2005: 37-39).
Perencanaan Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang Relevan dengan Dunia Kerja Mustari S. Lamada
79
Dalam pelaksanaannya Pendidikan Kecakapan Hidup tertuang dalam
pengembangan orientasi kurikulum SMK yang telah mengalami rekonstruksi dan
rekulturisasi, antara lain sebagai berikut:
1. Orientasi pendidikan dan pelatihan dikembangkan dari azas penyediaan
(supply driven) menjadi azas permintaan pasar (market driven),
2. Pendidikan dan pelatihan berorientasi pada kecakapan hidup (life skill) dan
berwawasan lingkungan,
3. Lulusan SMK harus bisa bekerja secara mandiri (wiraswasta) atau mengisi
lowongan pekerjaan yang ada,
4. Penyusunan kurikulum menggunakan pendekatan berbasis luas dan
mendasar (broad based), berbasis kompetensi (competency-based) dan
berbasis produksi (productionbased learning) multikurikulum di SMK
bagi yang memerlukan,
5. Pola penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan lebih fleksibel dan
permeable, melalui penyediaan multikurikulum, dengan prinsip multi
entry/exit.
6. Penyelenggaraan pendidikan dan latihan dengan pola pendidikan sistem
ganda (PSG),
7. Memberdayakan seluruh potensi masyarakat (orang tua, dunia kerja dan
sebagainya),
8. Bersinergi dengan jenjang dan jenis pendidikan lainnya.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, secara makro kurikulum SMK harus
dapat dijustifikasi melalui beberapa langkah perencanaan. Langkah perencanaan
yang dimaksud adalah:
a. deskripsi konteks dan kebutuhan program pendidikan kejuruan,
b. deskripsi misi yang harus dibawakan oleh pendidikan kejuruan,
c. deskripsi kebutuhan tujuan umum dan sasaran program,
d. deskripsi kriteria hasil dan manfaat program yang direncanakan
e. deskripsi prosedur dan kordinasi dalam implementasi program.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
80
Setelah kelima langkah tersebut diambil maka selanjutnya program
diimplementasikan dan dievaluasi (Sukamto, 1988).
Dengan demikian perencanaan yang dikembangkan merupakan suatu
kerangka pemikiran yang komprehensif yang dapat dipakai secara terpadu baik
untuk awal perencanaan maupun untuk langkah pengembangan. Dengan demikian
akan terlihat kaitan antara langkah perencanaan di satu pihak dan ketersediaan
data informasi dunia kerja di pihak lain.
Dalam rangka justifikasi pengadaan program pendidikan kejuruan yang
baru, seharusnya diperoleh informasi lapangan yang jelas tentang aspek social
ekonomi masyarakat termasuk lapangan atau kesempatan kerja setelah program
pendidikan kejuruan menghasilkan output (Sukamto, 1988). Informasi yang
dimaksud termasuk data mengenai (1) konteks lapangan kerja, (2) kebutuhan
tenaga kerja yang terperinci dan spesifik, (3) kondisi angkatan kerja saat tertentu,
(4) ketersediaan program pendidikan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
SUBTANSI KURIKULUM PENDIDIKAN KEJURUAN
Setelah membahas tentang karakteristik pendidikan kejuruan, landasan
kurikulum pendidikan kejuruan maka subtansi kurikulum dari pendidikan
kejuruan harus tercermin dari beberapa aspek. Aspek yang dimaksud adalah aspek
orientasi kurikulum, Justifikasi, focus, standar keberhasilan,
Orientasi dimana Kurikulum pendidikan kejuruan harus berorientasi pada
proses dan hasil atau lulusan. Keberhasilan utama kurikulum pendidikan kejuruan
tidak hanya diukur dengan keberhasilan pendidikan peserta didik di sekolah saja,
tetapi juga dengan hasil prestasi kerja dalam dunia kerja. Seperti yang
dikemukakan oleh Finch dan Crunkilton (1984: 12) mengemukakan bahwa:
Kurikulum pendidikan kejuruan berorientasi terhadap proses (pengalaman dan
aktivitas dalam lingkungan sekolah) dan hasil (pengaruh pengalaman dan aktivitas
tersebut pada peserta didik).
Justifikasi untuk program pendidikan kejuruan adalah adanya kebutuhan
nyata tenaga kerja di lapangan kerja atau di dunia usaha dan industri. Dasar
Perencanaan Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang Relevan dengan Dunia Kerja Mustari S. Lamada
81
kebenaran/justifikasi pendidikan kejuruan menurut Finch dan Crunkilton (1984),
meluas hingga lingkungan sekolah dan masyarakat. Ketika kurikulum berorientasi
pada peserta didik, maka dukungan bagi kurikulum tersebut berasal dari peluang
kerja yang tersedia bagi para lulusan.
Fokus kurikulum dalam pendidikan kejuruan tidak terlepas pada
pengembangan pengetahuan mengenai suatu bidang tertentu, tetapi harus secara
simultan mempersiapkan peserta didik yang produktif. Finch dan Crunkilton
(1984 : 13) mengemukakan bahwa : Kurikulum pendidikan kejuruan berhubungan
langsung dengan membantu siswa untuk mengembangkan suatu tingkat
pengetahuan, keahlian, sikap dan nilai yang luas. Setiap aspek tersebut akhirnya
bertambah dalam beberapa kemampuan kerja lulusan. Lingkungan belajar
pendidikan kejuruan mengupayakan di dalam mengembangkan pengetahuan
peserta didik, keahlian meniru, sikap dan nilai serta penggabungan aspek-aspek
tersebut dan aplikasinya bagi lingkkungan kerja yang sebenarnya.
Kriteria untuk menentukan keberhasilan suatu lembaga pendidikan
kejuruan diukur dari keberhasilan peserta didik di sekolah, mengenai beberapa
aspek yang akan dia masuki. Penilaian keberhasilan pada peserta didik di sekolah
harus pada penilaian sebenarnya atau kemampuan melakukan suatu pekerjaan.
Dengan kata lain bahwa dalam standar keberhasilan sekolah harus berhubungan
erat dengan keberhasilan yang diharapkan dalam pekerjaan, dengan kriteria yang
digunakan oleh guru dengan mengacu pada standar atau prosedur kerja yang telah
ditentukan oleh dunia kerja (dunia usaha dan dunia industri).
Oleh karena itu kurikulum pendidikan kejuruan dalam implementasi
kegiatan pembelajaran perlu didukung oleh fasilitas beajar yang memadai, karena
untuk mewujudkan situasi belajar yang dapat mencerminkan situasi dunia kerja
secara realistis dan edukatif, diperlukan banyak perlengkapan, sarana dan
perbekalan logistik. Bengkel kerja dan laboratorium adalah kelengkapan utama
dalam sekolah kejuruan yang harus ada sebagai fasilitas bagi peserta didik di
dalam mengembangkan kemampuan kerja sesuai dengan tuntutan dunia usaha dan
industri.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
82
KESIMPULAN
Dari uraian tersebut maka beberapa hal yang perlu menjadi pertimbangan,
yaitu:
1. Dalam menyusun kurikulum diperlukan sebuah kajian yang komprehesif
tentang kebutuhan kebutuhan dunia kerja ke depan,
2. Penyusunan kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar kerja
sebaiknya dilakukan dengan memperhatikan prinsif kontinuitas,
fleksibilitas, efektif, efisien dan prinsif relevansi dengan dunia kerja,
3. Penyusunan kurikulum harus mengikuti kaidah perencanaan yang baik,
kebutuhan, misi yang diemban, sasaran program, manfaat, serta organisasi
dalam implementasi program.
DAFTAR PUSTAKA
Blank, W.E. (1982). Handbook For Developing Competency Based Training Programs. New Jersey : Prentice-Hall, Inc.
Block, J.H. (1971). Mastery learning : Theory and Practice. New York : Holt. Rinehart and Wiston. Inc.
Brady, Laurie. (1990). Curriculum Development: Third Edition. London. Prentice Hall. Sydney.1990.
Calhoun, C.C. dan Finch, A.V. (1982). Vocational Education : Concept and Operations. California : Wads Worth Publishing Company.
Curtis, T.E. dan Bidwell, W.W. (1976). Curriculum and Instruction for Emerging Adolescents. New York : State University of New York at Albany.
Departemen Pendidikan Nasional. (2004). Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan Program Keahlian Tata Busana. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.
Diah Harianti, Naskah Akademik Kebijakan Kurikulum, Depdiknas, 2007.
Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah Kejuruan (2002). Sejarah Pendidikan Teknik dan Kejuruan di Indonesia : Membangun Manusia Produktif. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.
------- (2003). Standar Kompetensi Nasional Bidang Keahlian Tata Busana. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.
Djohar, A. (2003). Pengembangan Model Kurikulum Berbasis Kompetensi Sekolah Menengah Kejuruan. Bandung : Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.
Perencanaan Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang Relevan dengan Dunia Kerja Mustari S. Lamada
83
Djojonegoro, W. (1998). Pengembangan Sumber Daya Manusia : Melalui Sekolah Menengah Kejuruan. Jakarta.
Drake, Susan M., Creating Standards-Based Integrated Curriculum. California: Corwin Press, Inc., 2007
Evarinayanti. (2002). Pelatihan Berbasis Kompetensi (Competency Based Training). Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.
Finch, C. dan Crunkilton, J.R. (1984). Curriculum Development in Vocational and Technical Education : Planning,Content and Implementation. Boston : Allyn and Bacon, Inc.
Glatthom A. (1994). Developing A Quality Curriculum. Alexandria: ASCD. 1994.
Gronlund, N.E. (1977). Constructing Achievement Test. Englewood Ciffs : Prentice-Hall. Inc.
Hasan, S.H. (1988). Evaluasi Kurikulum. Jakarta : PPLPTK.
Ibrahim, R. dan Sukmadinata, N.S. (1996). Perencanaan Pengajaran. Jakarta : Rineka Cipta.
Ibrahim. (2002). Standar Kurikulum Satuan Pendidikan dan Implikasi bagi Pengembangan Kurikulum dan Evaluasi. Mimbar Pendidikan. Jurnal Pendidikan. No.1 Tahun XXI tahun 2002. Bandung. University Press UPI. 2002.
Indonesia Australia Partnership for Skills Development Program. (2001). Competency Based Training. West Java Institutional Development Project.
Masriam Bukit. (1994). Peran Wilayah Dalam Pengembangan Kurikulum. Inovasi Kurikulum; Jurnal HIPKIN. Volume 1, Nomor 1, Februari 2004. Bandung. 1994.
Mulyasa, E. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Permen No.22 tahun 2006 tantang Standar Isi.
Permen No.23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan.
PP No.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Ralph W. Tyler, Basic Priciples of Curriculum and Instructional. Chicago and London: The University of Chicago Press, 1994.
Rogers. M. Everett. (1983). Diffusion of Inovations: Third Edition. London. Collier Macmillan Publishers.
Sleeter, Christine E., Un-Standardizing Curriculum, Multicultural Teaching in the Standard-Based Classroom. Teachers College, Columbia University, 2005.
Soedijarto, Pendidikan sebagai Sarana Reformasi Mental dam Upaya Pembangunan Bangsa. Jakarta: Balai Pustaka, 1998.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
84
Sukamto, Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, Dirjen Dikti, Jakarta, 1988.
Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 20 Tahun 2003. Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta. Medya Duta. 2004.
W.B. Ragan, Modern Elementary Curriculum. New York : Holt, Rinehart and Winston, Inc., 1962
Wacana Indonesia Volume 2, Nomor 2, April Tahun 2010 (85‐98)
85
GOVERNMENT ROLE IN PREVENTING DISEASE HYPERTENSION WITH IMPLEMENTING LIFESTYLE CHANGES
Jagentar P. Pane
Staff Pengajar STIKes Santa Elisabeth Medan ([email protected])
ABSTRACT
Hypertension or commonly known as high blood pressure disease is a condition where a person experiences an increase in blood pressure above normal which resulted in increased morbidity (morbidity) and mortality (mortality). The incidence of hypertension risk factors were divided into 2 factors: factor which can not be changed (age, sex, heredity) and controllable factors (obesity, excessive salt intake, lack of exercise, smoking and alcohol consumption).
Hypertension and its complications can be prevented with a healthy lifestyle and controlling risk factors. Some ways can be done, such as with a healthy lifestyle, among other things, maintain body weight within the normal range, adjust the diet, among others, by consuming fibrous foods, low fat, and reducing salt. Exercise regularly, stop smoking, avoid alcoholic beverages. To realize the government plans to reduce the number of hypertensive disease self-awareness needed to want to implement a healthy lifestyle.
To control hypertension, the Government of Indonesia has done the following steps: distributing manuals, operational guidelines and technical guidelines for hypertension control, carry out advocacy and socialization, develop human resources in controlling hypertension, strengthen networks of hypertension control among others, by forming the Working Group on Hypertension Control , carry out monitoring and evaluation and control of hypertension to develop financing systems. To realize the government plans to reduce the number of hypertensive disease self-awareness needed to want to implement a healthy lifestyle.
Keywords: Hypertension, lifestyle, the role of government
PENDAHULUAN
Hipertensi atau yang lebih dikenal dengan penyakit tekanan darah tinggi
adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah di
atas normal yang mengakibatkan peningkatan angka kesakitan (morbiditas) dan
angka kematian (mortalitas) (Dalimartha, 2008: 8)
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
86
Berdasarkan data Global Burden of Disease (GBD) tahun 2000, 50% dari
penyakit kardiovaskuler disebabkan oleh hipertensi. Data dari The National
Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) menunjukkan bahwa dari
tahun 1999-2000, insiden hipertensi pada orang dewasa adalah sekitar 29-31%,
yang berarti terdapat 58-65 juta penderita hipertensi di Amerika, dan terjadi
peningkatan 15 juta dari data NHANES tahun 1988-1991. Penyakit
kardiovaskuler menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1992 dan 1995
merupakan penyebab kematian terbesar di Indonesia. (Shapo L, et all, 2003)
Menurut Menkes tahun 2010, Pemerintah Indonesia telah memberikan
perhatian serius dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit tidak menular
termasuk hipertensi. Hal ini dapat dilihat dengan dibentuknya Direktorat
Pengendalian Penyakit Tidak Menular berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
No. 1575 Tahun 2005 dalam melaksanakan pencegahan dan penanggulangan
penyakit jantung dan pembuluh darah termasuk hipertensi, diabetes mellitus dan
penyakit metabolik, kanker, penyakit kronik dan penyakit generatif lainnya serta
gangguan akibat kecelakaan dan cedera.
Untuk mengendalikan Hipertensi, Pemerintah Indonesia telah melakukan
langkah-langkah sebagai berikut : mendistribusikan buku pedoman, Juklak dan
Juknis pengendalian hipertensi, melaksanakan advokasi dan sosialisasi,
mengembangkan sumber daya manusia dalam pengendalian hipertensi,
memperkuat jejaring kerja pengendalian hipertensi antara lain dengan
dibentuknya Kelompok Kerja Pengendalian Hipertensi, melaksanakan monitoring
dan evaluasi dan mengembangkan system pembiayaan pengendalian hipertensi.
Salah satu untuk mewujudkan program pemerintah dalam menurunkan jumlah
penyakit hipertensi dibutuhkan partisipasi setiap warga/masyarakat dalam
merubah gaya hidup. Perubahan gaya hidup sulit diubah dalam jangka waktu
pendek. Oleh karenanya, factor yang menentukan dan membantu kesembuhan
penyakit hipertensi pada dasarnya adalah diri sendiri.
Government Role In Preventing Disease Hypertension whit Implementing Lifestyle Change Jagentar P. Pane
87
HIPERTENSI (TEKANAN DARAH TINGGI)
Hipertensi atau yang lebih dikenal dengan penyakit tekanan darah tinggi
adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah di
atas normal yang mengakibatkan peningkatan angka kesakitan (morbiditas) dan
angka kematian (mortalitas). Penulisan Tekanan darah didasarkan pada dua fase
setiap denyut jantung. Nilai yang lebih tinggi (sistolik) menunjukkan fase darah
yang sedang dipompa oleh jantung sedangkan nilai yang lebih rendah (diastolic)
menunjukkan fase darah kembali ke dalam jantung (Dalimartha, 2008: 8)
Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah menurut The Six Report of Joint National Committee on Prevention Defecation and Treatment of High Blood
Kategori Tekanan darah sistolik
(mmHg) Tekanan darah diastolik
(mmHg) Normal Normal tinggi Hipertensi : Tingkat 1 (Ringan) Tingkat 2 (sedang) Tingkat 3 (berat)
< 130 130-139
140-159
160-179
≥ 180
< 85 85-89
90-99
100-109
≥ 110
Sumber: (Mansjoer, 2001: 519)
Tabel 2. Menurut National Institute of Health (lembaga kesehatan nasional di Amerika), mengklasifikasikan Hipertensi sebagai berikut :
Kategori Tekanan darah
sistolik Tekanan darah
diastolik Normal Pra Hipertensi Stadium I (Hipertensi ringan) Stadium II (Hipertensi sedang)
≤ 119 mmHg 120 – 139 mmHg 140 – 159 mmHg ≥ 160 mmHg
< 79 mmHg 80 – 89 mmHg 90 – 99 mmHg ≥ 100 mmHg
Sumber: (Lili Marliani dan Tatan S, 2007: 5)
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
88
Tabel 3. Klasifikasi Hipertensi menurut Joint National Committee on Detection, Evaluation and treatment of High Blood Pressure membuat
klasifikasi hipertensi beserta penanganannya
Kategori Tekanan darah
Penanganan Sistolik (mmHg)
Diastolik (mmHg)
Optimal < 120 < 80 - Normal < 130 < 85 Anjurkan untuk berolahraga Perbatasan (high normal) 130 – 139 85 – 89 Mengubah gaya hidup
Hipertensi : Stadium I : ringan (mild) 140 – 159 90 – 99 Mengubah gaya hidup
Hipertensi : Stadium II : sedang (moderate) 160 – 179 100 – 109 Mengubah gaya hidup
Hipertensi : Stadium III : berat (severe) ≥ 180 ≥ 110 Mengubah gaya hidup
Sumber: (Dalimartha, 2008: 173)
Menurut WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), di dalam Guidelines
terakhir tahun 1999, batas tekanan darah yang masih dianggap normal adalah
140/90 mmHg. Tekanan darah sama atau lebih dari 160/95 mmHg dinyatakan
sebagai Hipertensi (Lili Marliani dan Tantan S, 2007)
Seseorang yang menderita hipertensi akan memiliki penderitaan yang lebih
berat lagi jika semakin banyak faktor resiko yang menyertai. Hampir 90%
penderita hipertensi tidak diketahui penyebabnya dengan pasti sedangkan 7%
disebabkan oleh kelainan ginjal atau hipertensi renalis dan 3% disebabkan oleh
kelainan hormonal atau hipertensi hormonal serta penyebab lain (Muttaqin, Arif,
2009: 262)
Menurut Dalimartha, 2008 : 21-23; dalam bukunya Care your self
membagi dua kelompok faktor resiko pemicu timbulnya hipertensi yaitu faktor
yang tidak dapat dikontrol dan faktor yang dapat dikontrol.
1. Faktor yang tidak dapat dikontrol
Beberapa faktor yang tidak dapat dikontrol antara lain sebagai berikut :
a. Keturunan
Sekitar 70-80% penderita hipertensi essensial ditemukan riwayat
hipertensi di dalam keluarga. Hipertensi banyak dijumpai pada penderita
Government Role In Preventing Disease Hypertension whit Implementing Lifestyle Change Jagentar P. Pane
89
yang kembar monozigot (satu telur) apabila salah satunya menderita
hipertensi. Dugaan ini menyokong bahwa faktor genetic mempunyai
peran dalam terjadinya hipertensi.
b. Jenis Kelamin
Hipertensi lebih mudah menyerang kaum laki-laki daripada perempuan.
Hal ini kemungkinan karena laki-laki banyak memiliki faktor pendorong
terjadinya hipertensi seperti stress, kelelahan, dan makan tidak terkontrol.
Peningkatan resiko terjadinya hipertensi pada perempuan adalah ketika
memasuki usia 45 tahun (setelah masa menopause).
c. Umur
Pada umumnya, hipertensi menyerang pria pada usia di atas 31 tahun,
sedangkan pada wanita terjadi setelah usia 45 tahun (menopause).
2. Faktor yang dapat dikontrol
Beberapa faktor yang dapat dikontrol antara lain sebagai berikut :
a. Kegemukan
Berdasarkan penelitian, kegemukan merupakan ciri khas dari populasi
hipertensi. Telah dibuktikan pula bahwa faktor kegemukan mempunyai
kaitan erat dengan terjadinya hipertensi di kemudian hari. Walaupun
belum dapat dijelaskan hubungan antara obesitas dengan hipertensi
esensial, tetapi penelitian membuktikan bahwa daya pompa jantung dan
sirkulasi volume darah penderita obesitas dengan hipertensi lebih tinggi
dibandingkan dengan penderita hipertensi dengan berat badan normal.
Seorang baru disebut menderita obesitas, bila berat badannya pada laki-
laki melebihi 15% dan pada wanita melebihi 20% dari berat badan ideal
menurut umurnya. Pada orang yang menderita obesitas, organ-organ
tubuh dipaksa harus bekerja lebih berat, karena harus membawa
kelebihan berat badan yang tidak memberikan manfaat langsung. Karena
itu mereka merasa lebih cepat gerah (merasa panas) dan lebih cepat
berkeringat untuk menghilangkan kelebihan panas tersebut (Prof. DR.
Achmad Djaeni,M.Sc, 204: 47).
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
90
b. Konsumsi garam berlebih
Garam mempunyai sifat menahan air. Konsumsi garam yang berlebihan
dengan sendirinya akan menaikkan tekanan darah. Sebaiknya hindari
pemakaian garam yang berlebihan atau makanan yang diasinkan. Hal ini
tidak berarti menghentikan pemakaian garam sama sekali dalam
makanan. Namun sebaiknya penggunaan garam dibatasi seperlunya saja.
c. Kurang olah raga
Olahraga isotonic, seperti bersepeda, jogging, dan aerobic yang teratur
dapat memperlancar peredaran darah sehingga dapat menurunkan
tekanan darah. Orang yang kurang aktif berolah raga pada umumnya
cenderung mengalami kegemukan.
Olahraga juga dapat mengurangi atau mencegah obesitas serta
mengurangi asupan garam ke dalam tubuh. Garam akan keluar dari
dalam tubuh bersama keringat.
d. Merokok dan konsumsi alkohol
Hipertensi juga dirangsang oleh adanya nikotin dalam batang rokok yang
dihisap seseorang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nikotin dapat
meningkatkan penggumpalan darah dalam pembuluh darah. Selain itu,
nikotin juga dapat menyebabkan terjadinya pengapuran pada dinding
pembuluh darah.
Efek dari konsumsi alkohol juga merangsang hipertensi karena adanya
peningkatan sintesis katekolamin yang dalam jumlah besar dapat memicu
kenaikan tekanan darah.
KOMPLIKASI HIPERTENSI
Beberapa penyakit yang timbul sebagai akibat hipertensi diantaranya sebagai
berikut:
a. Penyakit Jantung Koroner
Penyakit ini sering dialami penderita hipertensi sebagai akibat terjadinya
pengapuran pada dinding pembuluh darah jantung. Penyempitan
pembuluh darah jantung menyebabkan berkurangnya aliran darah pada
Government Role In Preventing Disease Hypertension whit Implementing Lifestyle Change Jagentar P. Pane
91
beberapa bagian otot jantung. Hal ini menyebabkan rasa nyeri di dada
dan dapat berakibat gangguan pada otot jantung, bahkan dapat
menyebabkan timbulnya serangan jantung.
b. Gagal Jantung
Tekanan darah yang tinggi memaksa otot jantung bekerja lebih berat
untuk memompa darah. Kondisi itu berakibat otot jantung akan menebal
dan meregang sehingga daya pompa otot menurun. Pada akhirnya dapat
terjadi kegagalan jantung secara umum. Tanda-tanda adanya komplikasi
yaitu sesak nafas, nafas putus-putus (pendek) dan terjadi pembengkakan
pada tungkai bawah serta kaki.
c. Kerusakan Pembuluh darah otak
Beberapa penelitian di luar negeri, mengungkapkan bahwa hipertensi
menjadi penyebab utama pada kerusakan pembuluh darah otak. Ada dua
jenis kerusakan yang ditimbulkan yaitu pecahnya pembuluh darah dan
rusaknya dinding pembuluh darah. Dampak akhirnya, seseorang bisa
mengalami stroke dan kematian.
d. Gagal Ginjal
Gagal ginjal merupakan peristiwa dimana ginjal tidak dapat berfungsi
sebagaimana mestinya. Ada dua jenis kelainan ginjal akibat hipertensi,
yaitu nefrosklerosis benigna dan nefrosklerosis maligna. Nefrosklerosis
benigna terjadi pada hipertensi yang berlangsung lama sehingga terjadi
pengendapan fraksi-fraksi plasma pada pembuluh darah akibat proses
menua. Hal ini akan menyebabkan daya permeabilitas dinding pembuluh
darah berkurang. Adapun nefrosklerosis maligna merupakan kelainan
ginjal yang ditandai dengan naiknya tekanan diastole di atas 130 mmHg
yang disebabkan terganggunya fungsi ginjal. (Dalimartha, 2008 : 13-14)
PENCEGAHAN HIPERTENSI
Menurut Dalimartha 2008: 43-54; dalam bukunya Care Your Self
Hipertensi, para penderita hipertensi perlu mengadakan perubahan gaya hidup
yang positif. Ada beberapa langkah yang dapat dijalakan untuk menurunkan
tekanan darah tinggi (hipertensi), diantaranya adalah sebagai berikut:
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
92
1. Mengontrol pola makan
Untuk menjaga dan mengatasi hipertensi dengan diet, penderita harus
mengontrol dan mengatur pola makan sehari-hari yang baik dan seimbang. Karena
penyebab hipertensi pada setiap orang berbeda maka tata cara diet ini juga harus
dikonsultasikan dengan dokter atau ahli gizi.
Untuk membantu menanggulangi tekanan darah tinggi dengan pola diet
makanan baik dan seimbang, secara garis besar ada empat macam diet, yaitu diet
rendah garam, diet rendah kolesterol dan lemak terbatas, diet tinggi serat, serta
diet rendah kalori bagi yang kegemukan.
1.1. Diet rendah garam
Ada tiga macam diet rendah garam (sodium), yaitu :
‐ Diet ringan, boleh mengkonsumsi 1,5-3 gram sodium per hari, senilai
dengan 3,75-7,5 gram garam dapur.
‐ Diet menengah, boleh mengkonsumsi 0,5-1,5 gram sodium per hari, senilai
dengan 1,25-3,75 gram garam dapur.
‐ Diet berat, hanya boleh mengkonsumsi kurang dari 0,5 gram sodium atau
kurang dari 1,25 gram garam dapur per hari.
Tujuan diet rendah garam adalah untuk membantu menghilangkan retensi
(penahan) air dalam jaringan tubuh sehingga dapat menurunkan tekanan darah.
Walaupun rendah garam, yang penting diperhatikan dalam melakukan diet ini
adalah komposisi makanan harus tetap mengandung cukup zat-zat gizi, baik
kalori, protein, mineral, maupun vitamin yang seimbang.
Hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan diet rendah garam
diantaranya :
a. Jangan menggunakan garam dapur, baik untuk penyedap masakan atau
dimakan langsung.
b. Hindari bahan makanan awetan yang diolah menggunakan garam dapur,
misalnya kecap, margarine, mentega, keju, terasi, petis, biscuit, ikan asin,
sarden, sosis, corned beef, dan peanut butter.
Government Role In Preventing Disease Hypertension whit Implementing Lifestyle Change Jagentar P. Pane
93
c. Hindari bahan makanan yang diolah dengan menggunakan bahan
tambahan atau penyedap rasa seperti saos dan tauco.
d. Hindari penggunaan penyedap rasa atau menambah kelezatan masakan.
e. Hindari penggunaan baking soda atau obat-obatan yang mengandung
sodium
f. Batasi konsumsi bahan makanan hewani maupun nabati yang kandungan
natriumnya tinggi.
g. Batasi minuman yang bersoda seperti softdrink.
1.2. Diet rendah kolesterol dan lemak terbatas
Bertujuan untuk menurunkan kadar kolesterol darah dan menurunkan berat
badan bagi penderita yang kegemukan. Beberapa hal yang harus diperhatikan
dalam mengatur diet ini antara lain sebagai berikut :
a. Hindari penggunaan lemak hewan, margarine, dan mentega terutama
goring-gorengan atau makanan yang digoreng dengan minyak.
b. Batasi konsumsi daging, hati, limpa, dan jenis jeroan lainnya serta sea food
(udang, kepiting), minyak kelapa, dan kelapa (santan).
c. Gunakan susu skim untuk pengganti susu full cream.
d. Batasi konsumsi kuning telur, paling banyak tiga butir dalam seminggu.
e. Lebih sering mengkonsumsi tempe, tahu, dan jenis kacang-kacangan
lainnya. Konsumsi ini sebaiknya direbus atau dikukus, jangan digoreng.
f. Batasi penggunaan gula dan makanan yang manis-manis seperti sirup,
dodol, kue, biscuit dan lain-lain.
g. Lebih banyak mengkonsumsi sayuran dan buah- buahan kecuali durian
dan nangka. Selain itu juga diperhatikan gabungan makanan yang
dikonsumsi karena perlu disesuaikan dengan kadar kolesterol darah.
1.3. Diet tinggi serat
Penderita tekanan darah tinggi dianjurkan setiap hari mengkonsumsi
makanan berserat tinggi. Beberapa contoh jenis bahan makanan yang
mengandung serat tinggi adalah :
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
94
a. Golongan buah-buahan seperti jambu biji, belimbing, jambu bol,
kedondong, anggur, markisa, papaya, jeruk, mangga, apel, semangka dan
pisang.
b. Golongan sayuran seperti daun bawang, kecipir muda, jamur, bawang
putih, daun dan kulit melinjo, buah kelor, daun kacang panjang, kacang
panjang, daun kemangi, daun katuk, daun singkong, daun ubi jalar, daun
seledri, tomat, kangkung, touge, buncis, kol, wortel, bayam dan sawi.
c. Golongan protein nabati seperti kacang tanah, kacang hijau, kacang
kedelai, kacang merah, dan biji-bijian (beras merah, jagung, dll).
d. Makanan lainnya seperti agar-agar dan rumput laut.
2. Tingkatkan konsumsi potassium dan magnesium
Pola makan yang rendah potassium dan magnesium menjadi salah satu
factor pemicu tekanan darah tinggi. Buah-buahan dan sayuran segar merupakan
sumber terbaik bagi kedua nutrisi tersebut. Tidak heran jika dokter menyarankan
agar penderita hipertensi memperbanyak konsumsi buah-buahan dan sayuran
untuk menurunkan tekanan darah tinggi.
3. Makan-makanan jenis padi-padian
Dalam sebuah penelitian yang dimuat dalam American Journal of Clinical
Nutrition ditemukan bahwa pria yang mengkonsumsi sedikitnya satu porsi sereal
dari jenis padi-padian per hari mempunyai kemungkinan yang sangat kecil (0-
20%) untuk terkena penyakit jantung. Semakin banyak konsumsi padi-padian,
semakin kecil resiko penyakit jantung koroner, termasuk terkena penyakit
hipertensi. Satu langkah penting menurunkan tekanan darah dan menghindari
komplikasi akibat hipertensi adalah mengkonsumsi roti gandum dan makan beras
tumbuh atau beras merah (Lili Marliani dan Tantan S, 2007).
4. Tingkatkan aktivitas
Tidak diragukan, penderita hipertensi yang banyak aktivitas dapat
menurunkan tekanan darahnya. Anda tidak perlu berolahraga seperti seorang atlit,
tetapi hanya 30-45 menit per hari selama lima hari dalam seminggu cukup untuk
menurunkan tekanan darah tinggi (hipertensi). Olahraga fisik yang tidak
dianjurkan untuk penderita hipertensi adalah olahraga yang menuntut pengerahan
Government Role In Preventing Disease Hypertension whit Implementing Lifestyle Change Jagentar P. Pane
95
tenaga yang tiba-tiba atau upaya yang terus-menerus. Ini mencakup semua
olahraga yang melibatkan pernafasan yang dipaksakan dan yang menaikkan
tekanan darah : tinju, lari jarak pendek, menyelam, lempar cakram dan tolak
peluru, push-up dan lain-lain (Hans P. Wolff, M.D, 2006: 151)
American College of Sports Medicine (ACSM) pada tahun 2004,
menyatakan bahwa hubungan olahraga dengan hipertensi, antara lain sebagai
berikut :
‐ Individu yang kurang aktif berolahraga mempunyai resiko menderita
hipertensi 30-50% lebih besar daripada individu yang aktif bergerak.
‐ Sesi olahraga rata-rata menurunkan tekanan darah 5-7 mmHg. Pengaruh
penurunan tekanan darah ini dapat berlangsung sampai 22 jam setelah
berolahraga.
‐ Pengaruh olahraga jangka panjang (4-6 bulan) menurunkan tekanan darah
7,4/5,8 mmHg tanpa obat hipertensi.
‐ Penurunan tekanan darah sebanyak 2 mmHg, baik sistolik maupun
diastolic mengurangi resiko terhadap stroke sampai 14-17% dan resiko
terhadap penyakit kardiovaskuler sampai 9%.
‐ Pada individu dengan kelebihan berat badan sangat dianjurkan untuk
menurunkan berat badannya dengan olahraga dan diet rendah kalori.
Penurunan berat badan 4,5 kg dapat menurunkan tekanan darah pada
penderita hipertensi.
5. Sertakan bantuan dari kelompok pendukung
Sertakan keluarga dan teman menjadi kelompok pendukung pola hidup
sehat. Dukungan dan partisipasi orang lain membuat lebih mudah dan lebih asyik
bagi setiap orang. Penelitian menunjukkan dukungan kelompok terbukti berhasil
dalam mengubah gaya hidup untuk mencegah hipertensi.
6. Berhenti merokok dan hindari konsumsi alcohol berlebih
Walaupun rokok tidak ada hubungan langsung dengan timbulnya
hipertensi, tetapi merokok meningkatkan resiko komplikasi lain seperti penyakit
jantung dan stroke pada penderita hipertensi.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
96
7. Terapi Air
Terapi alami yang didasari penggunaan air secara internal (dengan minum
air) dan eksternal sebagai pengobatan berbagai penyakit.
Prosedur terapi air dilakukan dengan cara : setiap pagi setelah bangun tidur
segera minum 1,5 liter atau sekitar 5-6 gelas. Air harus berada pada suhu kamar.
Cara yang paling aman agar tidak terlalu berat menjalankannya adalah dengan
memasukkan air ke dalam botol air mineral berukuran 1,5 liter dan menyimpan
botol tersebut di samping tempat tidur sebelum tidur. Pada awalnya, mungkin sulit
meminum air sebanyak itu dalam waktu singkat, tetapi secara berangsur-angsur
pasti akan terbiasa. Pertama; minumlah 2 gelas air, lalu dilanjutkan 1 gelas setiap
5 menit, sampai air sebanyak 1,5 liter habis. Terapi ini akan efektif bila tidak
minum atau makan selama 1 jam sebelum dan sesudah minum 1,5 liter air
tersebut.
Konsumsi air lebih dari atau minimal 2 liter per hari adalah cara terbaik
untuk membersihkan tubuh dari racun-racun. Lebih dari 60% tubuh manusia
terdiri dari air yang berbentuk darah dan cairan tubuh lain. Darah dan cairan
tubuh tersebut harus selalu dibersihkan. Jika darah lebih kental maka jantung akan
bekerja lebih keras dalam menyaring berbagai kotoran dan racun dari luar tubuh
serta mendistribusikan nutrient ke bagian tubuh yang lain. Air minum sangat
penting peranannya dalam metabolism dan merupakan kebutuhan yang sangat
mendasar bagi tubuh. Hal ini disebabkan oleh karena air berguna untuk;
(1) mengurangi sisa metabolism dan racun tubuh termasuk mineral anorganik; (2)
mengatur suhu tubuh dan (3) merawat kulit agar tetap sehat.
PERAN PEMERINTAH DALAM PENCEGAHAN HIPERTENSI
Pemerintah Indonesia telah memberikan perhatian serius dalam
pencegahan dan penanggulangan penyakit tidak menular termasuk hipertensi. Hal
ini dapat dilihat dengan dibentuknya Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak
Menular berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1575 Tahun 2005 dalam
melaksanakan pencegahan dan penanggulangan penyakit jantung dan pembuluh
darah termasuk hipertensi, diabetes mellitus dan penyakit metabolik, kanker,
Government Role In Preventing Disease Hypertension whit Implementing Lifestyle Change Jagentar P. Pane
97
penyakit kronik dan penyakit generatif lainnya serta gangguan akibat kecelakaan
dan cedera.
Dalam pencegahan dan penanggulangan hipertensi berbagai upaya telah
dilakukan oleh Pemerintah, yaitu penyusunan berbagai kebijakan berupa
pedoman, Juklak dan Juknis pengendalian hipertensi. Pencegahan dan
penanggulangan hipertensi sesuai dengan kemajuan teknologi dan kondisi daerah
(local area specific). Memperkuat logistik dan distribusi untuk deteksi dini faktor
risiko penyakit jantung dan pembuluh darah termasuk hipertens. Meningkatkan
surveilans epidemiologi dan sistem informasi pengendalian hipertensi.
Mengembangkan SDM dan sistem pembiayaan serta memperkuat jejaring serta
monitoring dan evaluasi pelaksanaan.
Menkes juga mengatakan hipertensi dan komplikasinya dapat dicegah
dengan gaya hidup sehat dan mengendalikan faktor resiko. Caranya, pertahankan
berat badan dalam kondisi normal. Atur pola makan, dengan mengkonsumsi
makan rendah garam dan rendah lemak serta perbanyak konsumsi sayur dan buah.
Lakukan olahraga dengan teratur. Atasi stres dan emosi, hentikan kebiasaan
merokok, hindari minuman beralkohol, dan periksa tekanan darah secara berkala.
PENUTUP
Upaya pencegahan komplikasi hipertensi tidak hanya diperlukan tenaga
medis saja,akan tetapi perlu kerja sama dengan penderita, niat yang kuat dari
penderita, kesadaran keluarga dan lingkungan sangat penting untuk keberhasilan
pengobatan hipertensi. Penyuluhan pada masyarakat lewat media apa saja juga
sangat penting untuk menyadarkan masyarakat betapa bahayanya penyakit
hipertensi dan pentingnya usaha pencegahan secara awal agar tidak terkena
serangan jantung di kemudian hari. Selain pengobatan medik, hipertensi dapat
juga disembuhkan dengan cara merubah gaya hidup. Perubahan gaya hidup sulit
dilakukan dalam jangka pendek, oleh karenanya faktor utama yang menentukan
dan membantu kesembuhan penyakit hipertensi adalah diri sendiri.
Pemerintah juga sangat memberikan perhatian yang serius dalam
menurunkan prevalensi penyakit hipertensi, hal ini dibuktikan oleh pendapat
Menkes dalam kegiatan ”The 4th Scientific Meeting on Hypertension” bahwa
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
98
hipertensi dan komplikasinya dapat dicegah dengan gaya hidup sehat dan
mengendalikan faktor resiko. Caranya, pertahankan berat badan dalam kondisi
normal. Atur pola makan, dengan mengkonsumsi makan rendah garam dan rendah
lemak serta perbanyak konsumsi sayur dan buah. Lakukan olahraga dengan
teratur. Atasi stres dan emosi, hentikan kebiasaan merokok, hindari minuman
beralkohol, dan periksa tekanan darah secara berkala.
DAFTAR PUSTAKA
Arjantmo (1996). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 3 jilid 1, Balai Penerbit FKUI : Jakarta
Dalimartha, Setiawan. 2008. Care your self, hipertensi. Penebar Plus . Jakarta.
Mansjoer Arief. 1999. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3. Media Aesculapius. Jakarta.
Muttaqin, Arif.2009. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskular dan Hematologi. Salemba Medika. Jakarta.
Price, Sylvia. 2003. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6. EGC. Jakarta.
Rkhaneni Heni (2001). Buku Ajar Keperawatan Kardiovaskuler, EGC. Jakarta
Sediaoetama, Achmad Djaeni. 2006. Ilmu Gizi I. PT. Dian Rakyat. Jakarta.
Shapo L, Pomerleau J, McKee M. 2003. Epidemiology of Hypertension and Associated Cardiovascular Risk Factors in a Country in Transition. Albania: Journal Epidemiology Community Health.
Tatan S & Marliani Lili. 2007. 100 Questions & Answers Hipertensi. PT.Gramedia. Jakarta
Yogiantoro M. 2006. Hipertensi Esensial dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. FK. UI. Jakarta: FK UI.
Yunis Tri, dkk. 2003. Blood Presure Survey Indonesia Norvask Epidemiology Study. Medika. Jakarta.
Wolff, Hans P, M.D.2006. Cara Mendeteksi dan Mencegah Tekanan Darah Tinggi Sejak Dini. PT. Bhuana Ilmu Populer. Jakarta.
Valentina L. Brashers. 2006. Aplikasi Klinis Patofisiologi Pemeriksaan dan Manajemen. EGC. Jakarta.
Irawan, Bambang. 2007. Jantung Koroner Penyebab Kematian Nomor Satu di Dunia.http://melilea-organik.com. Diunduh tanggal 20 Februari 2010
(2010). Hipertensi Pembunuh Ketiga Setelah Stroke dan TBC. http://www.lawupos.net. Diunduh tanggal 24 Februari 2010.
Wacana Indonesia Volume 2, Nomor 2, April Tahun 2010 (99 ‐ 110)
99
PEMBERIAN RANGKUMAN SEBAGAI STRATEGI PEMBELAJARAN
Muh. Ilyas Ismail
Staf Pengajar Fakultas Tarbiyah UIN Alauddin Makassar
ABSTRAK
Tulisan ini membahas tentang pemberian rangkuman sebagai salah satu komponen strategi pembelajaran yang memegang peranan penting dalam meningkatkan hasil belajar secara optimal. Rangkuman dapat dilakukan pada awal pembelajaran, dan dapat pula diberikan pada akhir pembelajaran. Rangkuman merupakan komponen strategi yang memuat semua bagian isi bidang studi yang penting, misalnya pengertian-pengertian singkat dari konsep, prosedur, atau prinsip yang dipelajari. Ada lima jenis rangkuman yang sering digunakan dalam pembelajaran yaitu: Rangkuman verbal, Rangkuman diagram, Rangkuman tabulasi, Rangkuman rumpun pohon, Rangkuman skematik. Sedangkan Strategi Pemberian rangkuman yang sering digunakan yaitu: peserta didik dimintak membuat rangkuman tentang apa yang telah diajarkan, dan peserta didik dimintak membuat rangkuman tentang apa yang telah dibaca untuk memperlihatkan unjuk kerja yang lebih baik.
Kata Kunci: Pembelajaran, Rangkuman, Hasil Belajar.
PENDAHULUAN
Belajar sebagai suatu aktivitas yang disadari dan berorientasi tujuan
melibatkan berbagai macam strategi, agar hasiInya lebih permanen. Salah satu di
antaranya adalah rangkuman dengan berbagai Jenis karalaeristiknya mampu
membuat pembelajar menjadi aktif dan terlibat langsung dalam proses
perubahan dirinya. Pemberian rangkuman dalam materi belajar melibatkan
proses kognitif yang memungkinkan pembelajar mengintegrasikan pengetahuan
yang telah dimilikinya.
Keberhasilan pembelajaran tidak terlepas, dari keberhasilan pengajar
dalam merancang, mengelolah dan mengevaluasi pembelajaran. Tugas utama
pengajar membantu, peserta didik dengan upaya menimbulkan
peristiwa-peristiwa yang dapat memudahkan tejadinya belajar. Karena
proses belajar dapat berhasil apabila didukung oleh peristiwa-peristiwa atau
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
100
kondisi-kondisi, baik secara internal dari anak didik maupun secara ekstemal yang
berasal dari luar dirinya.
Salah satu strategi yang dapat membantu peserta didik mencapai
hasil yang optimal dalam pembelajaran adalah pemberian rangkuman dalam
mengajar. Dengan pemberian rangkuman dari materi yang disajikan akan
membantu anak didik memahami pokok-pokok isi pembelajaran, apakah berupa
konsep, prosedur, atau prinsip. Pemberian rangkuman sangat penting dalam
mengingat ide-ide pokok dari materi yang disajikan, sehingga mencegah
timbulnya kelupaan dan mengurangi kesulitan-kesulitan yang dialami anak didik
dalam mengingat seluruh isi teks. Dengan demikian maka pemberian
rangkuman sebagai review terhadap apa yang telah dipelajari, tidak hanya
memperkuat ingatan, tetapi juga sebagai pendalaman dari apa yang dipelajari.
Pemberian rangkuman sebagai salah satu strategi peng-
organisasian juga akan membuat isi pengajaran menjadi lebih bermakna
bagi siswa, karena dengan menunjukkan ide-ide pokok dari materi yang disajikan
dapat memusatkan perhatian siswa terhadap isi yang dipelajari. Hal tersebut pada
akhirnya dapat mengatasi dan mengurangi sekecil mungkin kesulitan-kesulitan
yang dihadapi siswa dalam memahami materi yang disajikan, hal ini sejalan
dengan tugas utama guru yaitu membantu siswa dalam belajar.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka dalam tulisan ini
dikemukakan permasalahan pokok sebagai berikut : Bagaimana peran pemberian
rangkuman sebagai strategi Pembelajaran dalam Pencapaian Hasil Belajar. Untuk
menjawab permasalahan ini, maka pembahasan dimulai dengan Landasan
Pemberian Rangkuman; Rangkuman dan Hasil Belajar; kemudian diakhiri dengan
kesimpulan.
LANDASAN PEMBERIAN RANGKUMAN
Pemberian rangkuman merupakan suatu strategi pengorganisasian,
pengajaran dalam proses belajar mengajar yang bertujuan untuk menambah
pemahaman siswa terhadap materi yang disajikan. Proses belajar mengajar itu
sendiri pada hakikatnya adalah merupakan suatu sistem pemrosesan informasi.
Pemberian Rangkuman sebagai Strategi Pembelajaran Muh. Ilyas Ismail
101
Joyce dan Weil (1980), orang pertama kali mengetengahkan konsep ini,
memandang bahwa belajar adalah sebagai proses mental yang mentransformasi
informasi dari somber luar (stimulus) menjadi out-put (respon). Proses
transformasi ini terjadi sejak dari sensory registers, penyimpanan jangka pendek
(short term memory), sampai penyimpanan jangka panjang (long term
memory).
Gage dan Berliner (1979) menekankan terhadap pentingnya pemberian
rangkuman dalam proses belajar mengajar dengan: mengatakan bahwa
kebermaknaan informasi yang disajikan selama pembelajaran dengan membuat
assosiasi-assosiasi yang memungkinkan. Selain itu mereka juga menyarankan
pentingnya pengorganisasian pengajaran yang memperhatikan susunan
superordinat, ordinat, dan subordinat dengan hirarki yang jelas dan benar ke
dalam suatu bagan yang bermakna.
Hal lain yang dianggap dapat meningkatkan assosiasi peserta didik
sehingga dapat mempermudah untuk memasukkan pengetahuan baru kedalam
struktur kognisinya adalah skemata. Skemata dimaksudkan, agar informasi yang
disajikan dalam proses belajar mengajar itu disesuaikan dengan skemata yang
telah dimiliki oleh peserta didik. Kajian teoritik yang berkaitan dengan
skemata seperti yang dilakukan oleh Anderson, Spiro, (1978) membuktikan
bahwa skemata yang telah dimiliki oleh peserta didik menjadi penentu utama
terhadap pengetahuan apa yang akan dipelajari oleh peserta didik (siswa).
Kajian-kajian lain yang secara teoritik yang berkaitan dengan pemberian
rangkuman banyak memusatkan perhatiannya pada konsepsi bahwa
perolehan dan retensi pengetahuan baru merupakan fungsi dan struktur kognitif
yang sudah dimiliki peserta didik (Degeng, 1988). Sedangkan Ausubel (1963)
mengemukakan bahwa pengetahuan diorganisasi oleh ingatan peserta didik dalam
bentuk struktur hirarkhis.
Temuan-temuan penelitian yang berkaitan dengan strategi
pengorganisasian pengajaran dalam konteks persekolahan membuktikan bahwa
perolehan hasil belajar peserta didik yang belajar dengan pemberian rangkuman
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
102
teruji lebih unggul dari pada perolehan hasil belajar peserta didik tanpa pemberian
rangkuman. Hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Ross dan Divesta.
(1976) serta Dansereau (1985) membuktikan bahwa peserta didik yang diajarkan
atau disuruh membuat rangkuman tentang apa. yang telah diajar atau disuruh
membuat rangkuman tentang apa yang telah dibaca akan memperlihatkan unjuk
kerja yang lebih baik dalam teks, dari pada peserta didik yang hanya membaca
teks berulang-ulang tanpa membuat rangkuman. Hal yang sama ditemukan oleh
Spurlin, Dansereau, dan Brooks (1980) menyimpulkan bahwa belajar dengan
rangkuman lebih efektif dari pada tanpa rangkuman. Sedangkan Degeng (1988),
penelitian dalam rangka penulisan disertasi menyimpulkan bahwa pemberian
rangkuman memiliki pengaruh yang efektif pada perolehan belajar dan dapat
meningkatkan potensi belajar, dalam mempermudah peserta didik belajar.
Pemberian rangkuman dalam materi belajar yang membutuhkan ingatan
memperlihatkan perbedaan perolehan hasil belajar antar peserta didik yang diberi
rangkuman dengan peserta didik tanpa rangkuman (Thomson dan Barnett, 1986).
Demikian pula temuan-temuan penelitian yang pernah dilakukan oleh Reder dan
Anderson (1980), Reder (1985), dan Merrill dan Stolurow (1966)
kesemuanya memberikan dukungan terhadap besarnya, manfaat
pemberian rangkuman untuk meningkatkan perolehan belajar dalam
pengajaran.
Bertolak dari pendapat di atas maka pemberian rangkuman sebagai
salah satu komponen teori elaborasi dalam komunikasi pembelajaran, juga
dipandang sebagai konsepsi psikologi kognitif, berhubungan sangat erat dengan
struktur kognitif, skemata, pemrosesan, informasi dan ingatan yang menjadi
penentu dalam kebermaknaan belajar dari peserta didik.
Teori kognitif memandang bahwa belajar adalah suatu perubahan
di dalam struktur mental seseorang, menyediakan kemampuan-kemampuan untuk
menunjukkan perubahan pada tingkah laku, struktur mental ini termasuk
pengetahuan, kepercayaan, keterampilan, harapan-harapan dan mekanisme
lainnya yang ada dalam kepala peserta didik (Eggen, P dan Kauchak, D,
1997:238). Belajar sebagai sistem pemrosesan informasi dan struktur kognitif
Pemberian Rangkuman sebagai Strategi Pembelajaran Muh. Ilyas Ismail
103
yang dimiliki peserta didik menjadi faktor utama, yang mempengaruhi perolehan
pengetahuan baru.
Kognisi itu sendiri, adalah proses yang mengubah, mereduksi, merinci,
menyimpan, mengungkapkan, dan memakai setiap masukan (input) yang datang
dari alat indera (Sarwono, 1991: 91). Kognisi mengandung proses berfikir dan
proses mengamati yang menghasilkan, memperoleh, menyimpan dan
memproduksi pengetahuan (Haditono, 1988:182)
Setiap orang mempunyai struktur kognitif yang mengorganisasikan
pengetahuan dan perbuatannya dalam hubungannya dengan alam sekitarnya.
Dengan struktur kognitif pula setiap orang mengorganisasikan informasi-
informasi baru dan menempatkan secara teratur dan menyeluruh sehingga
terbentuk satu sistem struktur kognitif yang baru. Dalam usaha untuk
menyesuaikan diri dengan berbagai peristiwa, orang, berusaha mengasimilasikan
struktur kognitifnya yang telah ada.
Teori skemata merupakan hal penting karena dapat membantu pengajar
untuk memahami latar belakang pengetahuan peserta didik di dalam belajar
(Eggen, P dan Kuchak, D. 1997: 247):` Itulah sebabnya perlu sekali adanya
pengorganisasian isi dan penataan kondisi pembelajaran yang dapat memudahkan
asimilasi pengetahuan baru. Asimilasi dimaksudkan adalah kecenderungan
organisasi untuk mengubah lingkungannya guna menyesuaikan dengan
dirinya (Haditono, 1988:176).
Selain dari struktur kognitif dan skemata, pemberian rangkuman berpijak
pula pada konsepsi pemrosesan informasi dan ingatan, secara singkat teori
pemrosesan informasi menyatakan bahwa informasi mula-mula disimpan pada
sensory storage (gudang inderawi), kemudian masuk ke short term
memory (STM, memori jangka pendek); lalu dilupakan atau dikoding untuk
dimasukkan ke dalam long term memory (LTM, memory jangka panjang)
Rakhmat. J, 1991: 66). Bila informasi dapat dipertahankan pada STM maka ia
akan masuk kedalam LTM sehingga terjadilah ingatan. Ingatan ialah satu sistem
dalam diri seseorang yang menerima, menyimpan, mengatur dan mengeluarkan
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
104
kembali informasi yang sebelumnya telah diterima dari luar (Coon dalam
Soekamto, T. 1993: 95). Informasi yang disimpan dalam gambaran akan
lebih mudah diingat kembali dari pada yang disimpan dalam bentuk
verbal. Ingatan merupakan kecakapan untuk menerima, menyimpan, dan
memproduksi kesan-kesan di dalam belajar (Sardinian, 1990: 45)
Pemrosesan informasi dalam ingatan dimulai dengan proses penyanyian
informasi, kemudian menyimpan informasi dan berakhir dengan mengungkapkan
kembali informasi-informasi yang telah disimpan dalam ingatan. Penyimpanan
adalah cara bagaimana suatu informasi itu dikode atau dipresentasikan, bagaimana
ia diatur, bagaimana ia dikelompokkan, dan bagaimana pula ia dipertahankan
dalam ingatan permanen atau jangka -panjang. Pengambilan kembali adalah
bagaimana cara informasi itu dicari dan dimana dicari dan bagaimana informasi itu
diatur bagi penggunaan.(Rompas,L, 1985:49). Norman dan Bobrow memandang
bahwa organisasi ingatan sebagai prototype yaitu struktur repsentasi dari informasi-
informasi yang telah diperoleh, berfungsi sebagai kerangka untuk mengaitkan
informasi baru ( Degeng, 1989:130).
Mengingat adalah suatu aktifitas kognitif, dimana orang menyadari
pengetahuan berasal dari masa yang lampau atau berdasarkan kesan-kesan yang
diperoleh dimasa lampau (Winkel, 1989:42). Suatu stimulus yang berasal dari
lingkungan (termasuk dari suatu medium) memasuki penginderaan, kemudian
memasuki ingatan. Apakah ia ingatan permanen (ingatan jangka panjang) ataukah
ingatan kerja (ingatan jangka pendek), tergantung dari pengendalian
pengolahan pusat yang menentukan prioritas dan rencana pada saat itu (Rompas, 1,
1984:17).
Berdasarkan tentang peningkatan faktor ingatan, maka salah satu cara
yang harus ditempuh dalam komunikasi pembelajaran adalah memberikan
ringkasan atau rangkuman tentang apa yang akan atau yang telah dipelajari,
sehingga peserta didik hanya mengingat hal-hal yang penting saja. Ataukah
mengadakan telaah kembali dengan menekankan pada ide-ide pokok yang perlu
diingat. Karena itu untuk menyakinkan bahwa hasil belajar akan selalu diingat
Pemberian Rangkuman sebagai Strategi Pembelajaran Muh. Ilyas Ismail
105
dalam waktu lama, haruslah diberikan peluang untuk berlatih sebanyak-
banyaknya dalam kondisi belajar yang sesuai.
Dengan latihan berulang-ulang dalam suasana nyata akan dapat mencapai
tahap kelebihan belajar dan hasilnya adalah kemampuan mengingat dalam
jangka panjang (Kemp, 1994: 146). Berian, rangkuman dalam proses
komunikasi pembelajaran akan mengurangi kelupaan dan sekaligus akan
meningkatkan refensi, yang sangat menentukan hasil belajar bagi peserta didik.
RANGKUMAN DAN HASIL BELAJAR
Gagne (1975), Briggs dan Wager (1989), menyatakan bahwa guru
memainkan peranan yang esensial dalam merancang berbagai peristiwa.
pengajaran. Sedangkan Glaser (1976) dalam Sudardja (1988) mengemukakan
bahwa upaya mengembangkan prosedur merancang pembelajaran amat penting
dilakukan.
Esensi rancangan adalah merancang seperangkat tindakan, yang bertujuan
untuk mengubah situasi yang ada, ke situasi yang diinginkan. Oleh karena itu,
setiap guru perlu memiliki dengan baik ilmu merancang pengajaran.
Pemberian rangkuman merupakan salah satu model rancangan dalam
pengajaran yang sangat penting sekali dilakukan sebab disamping mengadakan
peninjauan kembali pada materi yang telah disajikan, jugs berguna untuk
mencegah agar tidak terjadi kelupaan pads materi yang baru diajarkan,
menurut Reigeluth dan Stein (1983) dalam Yusufhadi Miarso (1993), bahwa
rangkuman salah satu komponen strategi pengorganisasian dalam pengajaran
berfungsi untuk memberikan pernyataan singkat mengenai ide-ide pokok isi
bidang yang telah diajarkan.
Selanjutnya Reigeluth dan Stein (1983) menyatakan, bahwa rangkuman
terdiri atas dua jenis, yaitu: (rangkuman internal dan eksternal. Rangkuman
internal biasanya diberikan pada setiap akhir pelajaran dan hanya merangkum ide-
ide pokok dari bidang studi yang baru diajarkan. Sedangkan, rangkuman eksternal
diberikan setelah beberapa kali pelajaran berlangsung, yang merangkum,
semua isi bidang studi yang telah dipelajari.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
106
Dalam proses belajar mengajar, pemberian rangkuman dapat dilakukan
baik pada awal maupun pada akhir penyajian materi pelajaran (Merril,
1981). Senada dengan pendapat Merril tersebut Hartley (1985) mengemukakan
bahwa rangkuman dapat diberikan sebelum dan atau sesudah penyajian
materi. Dalam sebuah teks misalnya, pemberian rangkuman pada awal
dapat memberikan gambaran kepada pembaca apa isi teks tersebut, menjadi
penolong bagi pembaca untuk menentukan sikap, apakah teks tersebut perlu
dibaca atau tidak, dan menolong pembaca mengorganisasi apa yang mereka baca.
Sedangkan rangkuman yang diberikan pada akhir sebuah teks berfungsi untuk
dapat meninjau ulang ide-ide pokok yang telah dibuat. Dengan demikian ada
peluang bagi pembaca untuk mengingat kembali ide-ide penting dari sebuah teks
yang disajikan.
Salah satu keterampilan dalam proses belajar mengajar yang
harus dimiliki oleh seorang guru adalah dapat memilih berbagai
strategi dalam mengajar dan menggunakan strategi tersebut sesuai dengan tujuan
pengajaran yang hendak dicapai, walaupun pada dasarnya tidak satupun strategi
belajar mengajar yang selalu cocok untuk berbagai tujuan pengajaran. Oleh sebab
itu, pemilihan strategi menjadi sangat penting keberadaannya dalam proses belajar
mengajar. Strategi instruksional sebagai keseluruhan pendekatan terhadap
pengajaran yang tercakup dalam system instruksional . Menurut Atwi
Suparman (1996), bahwa strategi instruksional mencakup bentuk–bentuk cars
pelaksanaan, format, stimulus, respon, umpan batik, dan rangkuman, sampai
kepada ruang lingkup, Berta urutan-urutan bahan pengajaran, penentuan
peranan siswa, dan ketepatan menyajikan bahan tersebut kepada siswa.
Agar pemberian rangkuman dalam proses belajar mengajar menjadi
efektif, maka rangkuman itu harus sederhana, jelas dan tidak terlalu panjang.
Menurut Davies (1984), mengemukakan bahwa rangkuman yang efektif
hendaknya; singkat dan padat isinya, berisi ide-ide kunci, mencatat informasi
dalam bentuk catatan dan grafik atau diagram, dapat membangun dan
mengembangkan pelajaran, menggunakan warna untuk hal-hal yang ditekankan,
dan menarik dan dapat dibaca.
Pemberian Rangkuman sebagai Strategi Pembelajaran Muh. Ilyas Ismail
107
Berkaitan dengan pemberian rangkuman Sherman (1984),
mengemukakan bahwa ada enam kegiatan yang harus dilakukan dalam
mengembangkan rangkuman` yang baik yaitu: (1) menghilangkan informasi
yang tidak penting, (2) menghilangkan informasi yang berlebihan, (3)
mengkombinasikan informasi, (4) menyeleksi ide-ide pokok informasi, (5)
membuat dan menentukan ide-ide pokok, (6) dan menyusun rangkuman yang
digunakan untuk teks.
Bila dicermati dengan seksama paparan fungsi dan pentingnya pemberian
rangkuman, maka penulis berpendapat bahwa bila hal itu dilaksanakan dengan
baik maka hasil proses belajar mengajar yang dilaksanakan oleh para guru akan
mencapai ` hasil yang maksimal sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Namun bila dicermati pelaksanaan proses belajar mengajar dilapangan masih
sangat jauh dari harapan sebagaimana yang disebutkan di atas. Untuk
mengatasi hal tersebut maka seorang guru harus memahami bahwa mengajar
merupakan suatu proses yang kompleks. Tidak hanya menyampaikan informasi
kepada pembelajar, tetapi mengajar harus dipahami sebagai suatu upaya
pemberian rangsangan (stimulus), bimbingan, pengarahan, dan dorongan
kepada siswa agar terjadi proses belajar.
Lebih lanjut penulis berpendapat bahwa, proses pembelajaran (proses
belajar mengajar) merupakan inti dari proses pendidikan di sekolah, sebab di
dalamnya ada tiga komponen yang berinteraksi yaitu; ada komunikator (guru),
ada materi pelajaran sebagai pesan, dan ada komunikan sebagai pembelajar. Maka
untuk bermaknanya proses pembelajaran seperti yang penulis sebutkan di atas,
maka salah satu afternatif strategi yang paling efektif adalah pemberian
rangkuman.
Ausubel dan Robinson (1969) membedakan dua dimensi dari proses
belajar, yaitu dimensi cara menguasai pengetahuan dan dimensi cara
menghubungkan pengetahuan baru dengan struktur kognitif yang telah ada. Pada
dimensi pertama dibedakan tipe belajar yang bersifat menemukan (discovery
learning) dan tipe belajar yang bersifat menerima (reception learning).
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
108
Sedangkan pada dimensi kedua dibedakan antara belajar yang bersifat menghafal
(rote learning) dan belajar bermakna (meaningful learning).
Berkaitan dengan belajar bermakna, Ausubel dan Robinson (1969)
mengemukakan ada dua hal penting dalam konsep belajar bermakna, yaitu:
struktur kognitif dan materi pengetahuan baru. Struktur kognitif adalah
segala pengetahuan yang telah dimiliki pebelajar sebagai hasil dari kegiatan
belajarnya pada masa yang lalu. Sedangkan materi pengetahuan baru adalah
materi pengetahuan yang sedang dipelajari oleh pebelajar. Konsep belajar
bermakna, ini dapat dicapai dengan pemberian rangkuman, sebab belajar
bermakna disamping kemauan siswa itu sendiri juga diperlukan dorongan dari
guru untuk memahami pelajaran yang diterimanya.
Relgeluth dan Stein (1983) mengemukakan bahwa rangkuman adalah
komponen strategi yang berguna untuk meninjau kembali apa yang dipelajari
dalam (Gagne, R.M., 1987:188). Selain itu untuk memberikan pernyataan singkat
dari setiap ide atau fakta yang telah dipelajari dan merupakan contoh-contoh
acuan yang mudah diingat.
Pemberian rangkuman pada awal pembelajaran, berfungsi memberikan
gambaran pada peserta didik tentang isi materi yang akan disajikan dan membantu
peserta didik untuk menentukan sikap terhadap isi materi yang akan
disajikan tersebut. Sedangkan pemberian rangkuman yang dilakukan pads
akhir suatu penyajian, berfungsi untuk meninjau kembali ide-ide pokok dari
materi yang telah disajikan sehingga ada peluang bagi peserta didik.
Untuk mengingat kembali materi yang telah disajikan itu.
Peran seorang pengajar dalam komunikasi pembelajaran sangat penting
karena selain harus mampu merencanakan pembelajaran, jugs harus mampu
melaksanakannya serta mampu mengadakan komunikasi. Walaupun pada dasarnya
tidak ada satupun strategi yang cocok untuk berbagai tujuan pembelajaran, namun
dalam pembelajaran, salah satu aspek yang harus diperhatikan oleh pengajar
adalah memilih berbagai strategi yang akan digunakan sesuai dengan tujuan
yang hendak dicapai.
Pemberian Rangkuman sebagai Strategi Pembelajaran Muh. Ilyas Ismail
109
KESIMPULAN
Pemberian rangkuman sebagai salah satu komponen strategi
pembelajaran memegang peranan penting, karena di samping dapat
mengingat ide-ide pokok materi yang disajikan; juga dapat meninjau kembali
apa yang dipelajari, dan dapat memperkecil terjadinya kelupaan pada peserta
didik.
Strategi pemberian rangkuman berpijak pada struktur kognitif maka
peserta didik dapat mengaitkan materi pelajaran yang sedang dipelajarinya
dengan struktur kognitif yang telah ia miliki sehingga terjadilah belajar
bermakna.
Rangkuman sebagai salah satu komponen elaborasi dalam komunikasi
pembelajaran memegang peranan penting karena memberikan gambaran
pada peserta didik tentang isi materi yang akan disajikan dan membantu peserta
didik untuk menentukan sikap terhadap isi materi, dan menjadi penentu
dalam kebermaknaan belajar dari peserta didik.
Ada lima jenis rangkuman yang sering digunakan dalam pembelajaran
yaitu: Rangkuman verbal, Rangkuman diagram, Rangkuman tabulasi,
Rangkuman rumpun pohon, Rangkuman skematik.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, R.C., Spiro, R.J. 1978. Schemata as Scaffolding for the Representation of Information in Connected Discourse. American Educational Research Journal.
Ausubel, D.P. 1963. The Psychology of ,'Meaningful Verbal Learning. New York. Grupe & Stratton.
Ausubel, D.P. 1968. Educational Psychology. A Cognitive View. New York. Holt, Rinehart and Winston.
Banathy, Bela H. 1991. System Desing of Education Afourney to Create the Future. ETP Engleword Cliffs.
Banks, J.A. 1985. Teaching strategies for the social studies. New York: Longman.
Dahar, R.W.1989. Teori-Teori Belajar. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
110
Dansereau, D.F. 1985. Learning Strategy Reach. New Jersey; Lawrence Elbaum Ass. Publ. (1)
Davies, I.K. Instructional Technique. New York. McGraw Hill.
Degeng, I Nyoman Sudana. 1988. Pengorganisasian pengajaran berdasarkan Teori Elaborasi dan Pengaruhnya Terhadap Perolehan Belajar Informasi Verbal dan Konsep. Malang: FPS IKIP Malang.
Degeng, I.N.S. 1989. Ilmu Pengajaran Taksonomi Variaabel. Depsikbud, Diden Pendidikan Tinggi. Proyek Pengembangan LPTK, Jakarta.
Degeng, P. and Kauchak, D.1997. Educational Psychology. Prentice Hall, New Yersey,Clombus.
Gagne, R.M. 1975. Essential of Liarning for Instruction. New Yorka; Holt, Rinehart and Winston.
Haditono, S.R. 1988. Psikologi Perkembangan. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Kemp. J.E. 1994. Instructional Design Process (terjemahan Asril Maduhan), ITB. Bandung.
Miarso, Yusufhadi. 1984. Teknologi Komunikasi pendidikan, Pengertian dan Penerapannya di Indonesia. Rajawali. Jakarta.
Miarso, Yusufhadi. 1988. Teknologi Pendidikan Untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan. Majalah Teknodik No. V/IV/Teknodik/NOV/1988. Pustekom. Jakarta.
Reigeluth, Charles M. 1997. Syatemos Change in Education. ETP. Englewood cleffs
Rompas, L. 1984. Pengaruh Sistem Lambang Internal dan Eksternal Melalui Media Piktorial dan verbal. (Disertasi). ", Jakarta
Suparman, Alwi. 1996. Desain Instruksional. Universitas Terbuka. Jakarta.
Wacana Indonesia Volume 2, Nomor 2, April Tahun 2010 (111 ‐ 120)
111
NILAI-B GEMPABUMI DAERAH SULAWESI TENGGARA DAN SEKITARNYA SEBAGAI UPAYA AWAL PELAYANAN YANG BAIK
PADA PENANGANAN DAN MITIGASI BENCANA
Burhan Staf Pengajar Jurusan Tarbiyah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kendari ([email protected])
ABSTRAK
Aktivitas gempabumi di Sulawesi Tenggara dan Sekitarnya dengan koordinat 0.918o Lintang Selatan dan 6.9778o Lintang Selatan serta garis bujur antara 120.480o Bujur Timur dan 127.508o Bujur Timur
tercatat secara baik dari tahun 1977. Sejak tahun 1977 sampai dengan tahun 2008 telah terjadi 161 kali. Nilai-b gempabumi di daerah Sulawesi Tenggara dan sekitarnya dihitung pada kawasan yang dibatasi garis lintang 0.918o LS dan 6.9778o LS serta garis bujur 120.48o BT dan 127,508o BT. Runtun waktu gempabumi dari 1984 sampai dengan sebelum gempa Wawonii tahun 2001 mempunyai nilai-b = 0,708, gempabumi setelah gempa Wawonii tahun 2001 sampai dengan 2008 mempunyai nilai-b = 0,768, dan keseluruhan gempabumi 1977-2008 mempunyai nilai-b = 0,694. Rendahnya nilai-b sebelum tahun 2001 dapat diterangkan dengan adanya gejala penimbunan tegangan (stress accumulation) yang disertai dengan gejala adanya peningkatan kelajuan retakan atau ketidakstabilan pertumbuhan retakan-retakan baru yang diakhiri dengan gempa Wawonii 2001.
Kata kunci: fractal, gempa bumi, nilai-b, mitigasi bencana.
PENDAHULUAN
Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama
(megatriple junction) yaitu lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia dan
Lempeng Samudera Pasifik, dan beberapa lempeng kecil lainnya seperti Sangihe,
Maluku dan Halmahera (Gambar 1), Katili (1973). Lempeng Indo-Australia
berinteraksi dengan lempeng Eurasia dan juga berinteraksi dengan lempeng
Pasifik. Ketiga lempeng tektonik bergerak dengan arah gerak dan kecepatan gerak
yang berbeda, tetapi ketiganya memiliki jenis bidang batas lempeng yang sama
yaitu bidang batas yang konvergen. Bidang batas konvergen ketiga lempeng itu
membentuk zona-zona subduksi. Zona subduksi di Samudera Indonesia
merupakan hasil interaksi lempeng Indo-Australia yang bergerak ke utara dengan
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
112
lempeng Eurasia yang bergerak ke selatan. Subduksi lempeng Indo-Australia dan
Eurasia diduga mengontrol berbagai sistem sesar, lipatan, cekungan, dan gunung
api aktif yang terbentang dari Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara hingga
kepulauan Indonesia Timur, sehingga Indonesia termasuk dalam rangkaian “ring
of fire” (rangkaian gununapi di Pasifik).
Pada artikel ini, diulas sedikit tentang sejarah geologi dan geofisika
Sulawesi Tenggara dan sekitarnya. Di samping itu, saya juga melakukan kajian
statistik terhadap runtun waktu kejadian gempabumi yang terjadi di daerah
Sulawesi Tenggara dan sekitarnya pada kurun waktu tahun 1977 hingga 2008.
Kajian ini, sangat diperlukan, harapannya dapat memberikan informasi tentang
sejarah dan kemungkinan terjadinya gempabumi serupa dimasa yang akan datang,
sehingga dapat bermanfaat untuk informasi dan pelayanan yang baik (good
governance) bagi penanganan dan mitigasi kebencanaan di daerah Sulawesi
Tenggara dan sekitarnya.
Menurut McCaffrey (2007), gempabumi yang pernah terjadi pada suatu
daerah akan berpotensi kembali timbul pada masa yang akan datang. Aktivitas
gempabumi di daerah Sulawesi dan sekitarnya diduga dikontrol oleh Zona
Subduksi Neogen disepanjang pesisir timur lengan tenggara Sulawesi yang
menerus hingga utara dan timurlaut mikrokontinen Buton dan Tukangbesi
(Burhan, 2009; Major, dkk, 2008; Satyana, et al, 2008; dan Tanjung et al., 2008).
Gambar 1. Konfigurasi lempeng tektonik di Indonesia.
Pada artikel ini, saya menggunakan analisis fractal nilai-B, untuk
menentukan karakteristik gempa di Sulawesi Tenggara dan sekitarnya. Hal itu,
sebagaimana yang telah dilakukan pula oleh Turcote (1992) dalam menentukan
Nilai-B Gempa Bumi Daerah Sulawesi Tenggara dan Sekitarnya sebagai Upaya Awal Pelayanan yang Baik pada Penanganan dan Mitigasi Bencana
Burhan
113
karakterisitik fisik dari gempabumi di setiap lokasi tertentu di dunia. Turcote
(1992) dalam tulisannya mengenai Fractal dan Chaos dalam Eksplorasi Geologi
dan Geofisika memperlihatkan bahwa di setiap tempat mempunyai karakteristik
nilai-B yang tidak sama. Kirbani dan Wahyudi (2007) juga melakukan analisis
nilai-B gempabumi di daerah Gunung Kelut menjelang erupsi tahun 2006,
memperlihatkan bahwa nilai-B sebelum dan setelah gempabumi berbeda. Nilai-b
ini harapannya dapat menjadi informasi awal mengenai karakteristik gempabumi
di Sulawesi Tenggara dan sekitarnya. Sehingga mempermudah upaya pelayanan
yang baik bagi rencana penanganan dan mitigasi bencana serupa yang sewaktu-
waktu menimpah kembali daerah ini.
Hal lain, yang ingin saya dikemukakan disini, adalah bahwa tulisan ini
harapannya dapat melengkapi tulisan saya sebelumnya tentang siaga bencana
Kota Kendari yang diterbitkan pada Jurnal Shautut Tarbiyah STAIN Kendari
(Burhan, 2007), yang belum menampilkan pola kegempaan atau seismisitas Kota
Kendari dan sekitarnya. Tulisan ini juga merupakan inspirasi dari hasil penelitian
tesis S2 saya mengenai pemodelan struktur regional bawah permukaan kawasan
regional Sulawesi Tenggara dan kawasan Busur Banda Bagian Barat berdasarkan
kajian anomali gravitasi (Burhan, 2009).
TINJAUAN GEOLOGI DAN GEOFISIKA
Kerangka Tektonik Busur Kepulauan Indonesia seperti Busur Sunda
memperlihatkan efek dan mekanisme tektonik lempeng yang jelas. Bentuknya
yang cembung ke arah samudera India dan perbedaan tatanan geologi, dan
geofisika diintrepretasikan berhubungan dengan gaya tektonik yang bekerja
padanya (Hamilton, 1973; dan Katili, 1973). Bentuk busur Banda yang
melengkung, serta Sulawesi dan Halmahera yang ganjil terjadi karena gerak benua
Australia dan Papua ke arah utara, yang dikombinasikan oleh gaya dorong
Lempeng Pasifik ke arah barat (Katili, 1973).
Di daerah Sulawesi Tenggara terutama pulau Seram, Buru dan Buton,
sejumlah besar material sedimen klastik ditemukan seperti halnya juga yang
ditemukan di pulau Timor. Sedimen Plio-Pleistosen hampir seluruhnya
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
114
mempunyai karakter sedimen dan sedikit ofiolit. Zona Subduksi Tersier dari
Sulawesi Timur menunjukkan bahwa lapisan tipis sedimen pelagis mengisi
palung. Hal yang sama terjadi di sekitar Halmahera dan pulau kecil disekitarnya.
Hal serupa juga dikemukakan oleh Visser dan Hermes (1962), Audley-
Charles dan Carter (1972), dan Gribi (1973). Timor, Seram, Buru dan Buton
merupakan sistem busur yang sama berkenaan dengan kesamaan tatanan
geologinya yang berasal dari hasil penunjaman Lempeng Samudra India-
Australia.
Sulawesi pada zaman Mesosoikum kaya batuan metamorf, kecuali Buton
dan Seram. Bagian tenggara Sulawesi mengandung ofiolit yang diperoleh dari
lempeng samudra dengan endapan nikel dan krom, sedang Buton, Seram dan
Timor menunjukkan perlapisan yang mengandung hidrokarbon.
Secara geologi Pulau Sulawesi dan daerah sekitarnya merupakan daerah
kompleks. Kompleksitas ini disebabkan oleh konvergensi antara tiga lempeng
tektonik yaitu Lempeng Indo-Australia yang bergerak ke utara, Lempeng Pasifik
yang bergerak ke barat dan Lempeng Eurasia yang bergerak ke selatan-tenggara.
Struktur regional Pulau Sulawesi dan daerah sekitarnya pada umumnya terdiri atas
paparan Sunda dan paparan Sahul. Paparan Sunda (bagian Lempeng Eurasia)
termasuk lengan selatan Sulawesi dan lengan tengah Sulawesi yang terbentuk
akibat pemekaran lantai samudera pada zaman Miosen (Hamilton, 1979, 1988;
Katili, 1978, 1989). Pada bagian utara Pulau Sulawesi terdapat Palung Sulawesi
Utara yang terbentuk oleh subduksi kerak samudera Laut Sulawesi, sementara itu
pada bagian tenggara Pulau Sulawesi terjadi konvergensi antara lengan tenggara
Sulawesi dan bagian utara Laut Banda disepanjang zona subduksi Tolo (Silver et
al., 1983a,b). Kedua struktur mayor (Palung Sulawesi Utara dan zona subduksi
Tolo) membentuk sistem sesar Palu-Koro-Matano.
Berdasarkan satuan litologi dan tektonik, Pulau Sulawesi dan pulau-pulau
sekitarnya dibagi kedalam 3 daerah geologi yang berbeda-beda yang tergabung
menjadi satu oleh gerakan kerak bumi. Daerah-daerah tersebut adalah 1) Busur
Volkanik Sulawesi Barat; 2) Sabuk Ofiolit Sulawesi Timur yang diasosiasikan
Nilai-B Gempa Bumi Daerah Sulawesi Tenggara dan Sekitarnya sebagai Upaya Awal Pelayanan yang Baik pada Penanganan dan Mitigasi Bencana
Burhan
115
dengan penutup sedimen pelagis; dan 3) pecahan-pecahan benua yang berasal dari
Benua Australia, yaitu daerah Banggai-Sula yang mencakup daerah Tokala sekitar
Luwuk dan semenanjung baratlaut Kepulauan Banggai, Pulau Buton dan Kep.
Sula. (Hamilton, 1978, 1979; Sukamto & Simandjuntak, 1983; Metcalfe, 1988,
1990; Audley-Charles, 1991; Davidson, 1991). Kontak-kontak antara ketiga
daerah ini membentuk sesar. Daerah Sulawesi barat dan timur dipisahkan oleh
sesar yang berarah utarabaratlaut antara Palu dan Teluk Bone yaitu patahan Palu-
Koro-Matano (Calvert dan Hall, 2003).
ANALISIS RUNTUN WAKTU GEMPA BUMI DI SEKITAR SULAWESI TENGGARA
Di dalam ilmu seismologi hubungan antara cacah gempabumi sebagai
fungsi magnitudo dinyatakan sebagai rumus Hukum Gutenberg dan Richter
(Gutenberg and Richter, 1954):
Log N = A – b M ……………………………………..........................(1)
atau
N = 10(A - bM) ……………………………………….………………(2)
dengan :
N = cacah gempabumi pada kurun waktu tertentu yang mempunyai magnitudo M.
M = magnitudo gempabumi A = tetapan b = tetapan yang disebut juga sebagai nilai-b atau b-value.
Nilai-b atau b-value gempabumi di berbagai tempat dan dalam kurun
waktu tertentu pada umumnya bernilai antara -1 hingga 1. Sebaran gempa-bumi
yang terjadi di daerah Sulawesi Tenggara dan sekitarnya terlihat pada Gambar 2,
mempunyai pola sebaran membentuk lingkaran melingkupi kawasan busur banda
bagian utara dengan kerapatan semakin rapat, sedangkan dalam arah barat dan
timur menunjukkan kerapatan yang merata.
Gejala ini dapat diterangkan bahwa proses penyusupan lempeng tektonik
Australia terhadap lempeng tektonik Eurasia di Selatan Sulawesi Tenggara
mengarah ke utara. Berdasarkan gejala tersebut, perhitungan nilai-b untuk
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
116
gempabumi di daerah Sulawesi Tenggara dan sekitarnya dapat digunakan data
gempabumi yang terjadi antara garis lintang 0.918o Lintang Selatan dan 6.9778o
Lintang Selatan serta garis bujur antara 120.480o Bujur Timur dan 127.508 o Bujur
Timur (USGS, 2008).
Perhitungan nilai-b gempabumi di daerah Sulawesi Tenggara dan
sekitarnya tahun 1984-2009 (USGS, 2008) yang terjadi antara garis bujur
120,480o Bujur Timur dan 127,508o Bujur Timur serta garis lintang 0.918o
Lintang Selatan dan 6.977o Lintang Selatan, menunjukkan bahwa nilai-b (b-value)
= 0,694 (Gambar 3) dengan koefisien korelasi R = 0,5506 dari R2 = 0,3303.
Nilai-b untuk gempabumi yang terjadi sebelum gempabumi Wawonii pada
tanggal 19 Oktober 2001 juga dihitung dengan cara yang sama dan hasilnya nilai-
b sebelum gempa 2001 = 0,708 dengan R2 = 0,807 atau R = 0,8983. Nilai-b
sesudah gempabumi Wawonii (2001-2008) = 0,768 dengan R2 = 1 atau R = 1.
Smith (1981) menyebutkan bahwa adanya penurunan nilai-b menjelang
terjadinya gempabumi besar (foreshocks) dan kenaikan nilai-b setelah terjadinya
sebuah gempabumi besar tersebut (aftershocks). Menurut Rao dan Prasanna
Lakshmi (2005) dalam Kirbani, SBP. dan Wahyudi (2007) melalui percobaan di
laboratorium, turunnya nilai-b ini juga terjadi pada batuan yang akan mengalami
retakan (cracking) setelah mengalami tegangan kompresi semakin meningkat
besarnya secara relatif terhadap tegangan kritis (critical failure stress).
Gambar 2. Sebaran gempabumi yang terjadi di di daerah Sulawesi Tenggara dan
sekitarnya pada kurun waktu 1977-2008 (USGS, 2008).
Nilai-B Gempa Bumi Daerah Sulawesi Tenggara dan Sekitarnya sebagai Upaya Awal Pelayanan yang Baik pada Penanganan dan Mitigasi Bencana
Burhan
117
Gambar 3. Korelasi Linear antara Log# Cacah Gempabumi (Log N) dan
Magnitudo (M) dari data gempabumi di daerah Sulawesi Tenggara dan sekitarnya tahun 1977-2008 (USGS, 2009) yang terjadi antara garis lintang 0.918o Lintang Selatan dan 6.9778o Lintang Selatan serta garis bujur antara 120.480o Bujur Timur dan 127.508 o Bujur Timur, menunjukkan bahwa nilai-b (b-value) = 0,649.
Nilai-b yang tinggi secara statistik berarti adanya gejala gempabumi
dengan magnitudo kecil yang meningkat cacahnya, sedangkan nilai-b yang rendah
menunjukkan gejala gempabumi dengan magnitudo semakin besar yang
meningkat cacahnya.
Kenaikan nilai-b merepresentasikan adanya retakan baru (new cracks) dan
lambatnya tingkat pertumbuhan retakan itu (slow crack growth), gejala ini terjadi
pada pasca terjadinya gempabumi yang besar (after-shocks). Sebaliknya
penurunan nilai-b mengindikasikan adanya peningkatan kelajuan retakan atau
ketidakstabilan pertumbuhan retakan (Rao dan Prasanna Lakshmi, 2005).
Nilai-b runtun waktu gempabumi di daerah Sulawesi Tenggara dan
sekitarnya menjelang gempabumi Wawonii tahun 1977-2001 (0,708) yang lebih
rendah dari nilai-b runtun waktu tahun 2001-2008 (0,768) menunjukkan bahwa
tidak terdapat adanya indikasi anomali nilai-b yang rendah atau lebih kecil
daripada 1 menjelang terjadinya gempabumi 2001. Setelah terjadi gempabumi
2001, runtun waktu gempabumi 2001-2008 nilai-bnya menjadi 0,768 yang lebih
tinggi dari nilai-b gempabumi sebelum gempabumi tahun 2001.
Rendahnya nilai-b gempabumi menjelang gempabumi Wawonii tahun
2001 dapat diterangkan dengan adanya gejala penimbunan tegangan (stress
M = 0.649 Log N - 2.776
0
0,5
1
1,5
0 2 4 6 8L
og#
Cac
ah G
empa
bum
i (L
og N
)Magnitudo (M)
Korelasi Linear antara Log# Cacah Gempabumi dan Magnitudo
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
118
accumulation) yang disertai dengan gejala adanya peningkatan kelajuan retakan
atau ketidakstabilan pertumbuhan retakan-retakan baru yang diakhiri dengan
gempabumi.
KESIMPULAN
• Runtun waktu gempabumi 2001-2008 di daerah Sulawesi Tenggara dan
sekitarnya atau setelah terjadinya gempa besar 2001 sampai 2008 mempunyai
nilai-b < 1 (lebih kecil daripada 1) dapat dimengerti sebagai melambatnya
pertumbuhan retakan pada saat dimulainya babak baru penimbunan tegangan.
• Nilai-b gempabumi yang terjadi di daerah Sulawesi Tenggara dan sekitarnya
mempunyai kemungkinan dapat dipakai sebagai besaran fisis yang harus
dipantau dalam rangka mengantisipasi terjadinya gempabumi di masa yang
akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Audley-Charles, M.G., 1991. Tectonics of the New Guinea Area. Annual Review of Earth and Planetary Science 19, 17-41.
Audley-Charles, M.G., Carter, D.J., and Milsom, J.S., 1972, Tectonics Development of Eastern of Indonesia in Relation to Gondwana Dispersal. Nature Phys. Sci., 239, 90: 35 – 39.
Bevington, P.R., 1969, Data reduction and error analysis for the physical sciences, McGraw-Hill Book Company, New York.
Burhan, 2007, Siaga Bencana Kota Kendari, Jurnal Shautut Tarbiyah Edisi 19 Tahun XIII Oktober 2007 ISBN 0852-5358.
Burhan, 2009, Subsurface Regional Structure Modeling of the Southeast Sulawesi and West Banda Arc Regions Based on Gravity Anomaly, Thesis of Magister Degree, FMIPA, GMU, Yogyakarta (unpublished).
Calvert, S.J., and Hall, R., 2003, The Cenozoic Geology of The Lariang and Karama Regions, Western Sulawesi: New Insight into the Evolution of the Makassar Strait Region, Indonesian Petroleum Association, Proceedings 29th Annual Convention, p.505-511.
Davidson, J.W., 1991. The Geology and Prospective of Buton Island, S.E. Sulawesi, Indonesia. Proceedings Indonesian Petroleum Association, 20th Annual Convention, pp. 209-233.
Gutenberg, B., and Richter, C. F., 1954, Seismicity of the Earth: Princeton, Princeton University Press, 440p.
Nilai-B Gempa Bumi Daerah Sulawesi Tenggara dan Sekitarnya sebagai Upaya Awal Pelayanan yang Baik pada Penanganan dan Mitigasi Bencana
Burhan
119
Gribi, Jr, E.A., 1973, Tectonics and Oil Prospects of the Molusca, Geol. Soc. Malaysia, Bull., 6: 11 – 16.
Hamilton, W. H., 1973, Tectonics of Indonesia Region, Proc. Reg. Conf. Geol. Of SE Asia, Bull., 6: 3 – 6.
Hamilton, W.H, 1978. Tectonic Map of the Indonesian Region. U.S. Geological Survey, Miss. Inv. Ser. Map, 1-875-D.
Hamilton, W. H., 1979, Tectonics of the Indonesian Region, U.S. Geological Surveys Professional Paper 1078, Washington.
Jones, A., Siebert, L., Kimberly, P., and Luhr, J.F., 2000, Earthquakes and eruptions, Temporal and spatial display of earthquake hypocenters, seismic wave paths, and volcanic eruptions, v. 1.0 (CD-ROM), Smithsonian Institute, Global Volcanism Program, Digital Information Series, GVP-2.
Katili, J.A., 1973, On Fitting Certain Geological and Geophysical Features of the Indonesian Island Arch to the New Global Tectonics, In: P.J. Coleman (Editor), The Western Pacific Island Arch, Marginal Seas, Geochemistry. Univ. of Western Australia Press, pp. 287 – 305.
Katili, J.A., 1978. Past and Present Geotectonic Position of Sulawesi, Indonesia. Tectonophysics 45, 289-322.
Katili, J.A., 1989. Evolution of the Southeast Asian Arc Complex. Indonesian Geology 12, 113-143.
Kirbani, S.B., 1990, Analysis of Volcanic Tremor at Mount Merapi (Central Java, Indonesia) in order to Understand Internal Magma Flow, Disertasi Doktor Universitas Gadjah Mada.
Kirbani, S.B., dan Wahyudi, 2007, Erupsi Gunungapi Kelud dan Nilai-b Gempabumi di Sekitarnya, Berkala MIPA, 17 (3), September 2007, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia.
Major, J.R., Robinson, J., Harris, and Ron, 2008, Earthquakes History of Eastern Indonesia, Department of Geology Science, Byu Spring Research Conference.
McCaffrey, R., 2007, the Next Earthquake, SCIENCE, Vol. 315, March 23, 2007, www.sciencemag.org.
Rao, M. V. M. S., and K. J. Prasanna Lakshmi, 2005, Analysis of b-value and improved b-value of acoustic emissions accompanying rock fracture, CURRENT SCIENCE, VOL. 89, NO. 9, 10 NOVEMBER 2005 1582
Satyana, A.H., Armandita, C., and Tarigan, R.L., 2008, Collision and Post-Collision Tectonics in Indonesia: Roles for Basin Formation and Petroleum Systems, Proceeding, IPA, 32th Convention & Exhibition, May 2008.
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se‐Indonesia Volume 2, Nomor 2, April 2010
120
Silver, E.A., McCaffrey, R. and Smith, R.B., 1983b. Collision, Rotation and the Initiation of Subduction in the Evolution of Sulawesi, Indonesia. Journal of Geophysics Research 88B, 9407-9418.
Silver, E.A., McCaffrey, R., Joyodiwiryo, Y. and Stevens, S., 1983a. Ophiolite Emplacement by Collision between the Sula Platform and the Sulawesi Island Arc, Indonesia. Journal of Geophysics Research 88B, 9419-9435.
Smith, W. D., The b-value as an earthquake precursor. Nature, 1981, 289, 136–139.
Sukamto, R., and Simandjuntak, T.O., 1983. Tectonic Relationship between Geologic Provinces of Western Sulawesi, Eastern Sulawesi and Banggai-Sula in the Light of Sedimentological Aspects. Indonesian Geological Research Development Centre Bulletin 7, 1-12.
Tanjung, Sukarno, N., Yuskar, Y., Hermawan, H., Zeiza, A.D., Sinaga, B.P.H., Sunandar, F., and Ferdyant, F., 2008, Field Observation of Southern Buton: an Oveview of Hidrocarbon Manifestation and its Geological Setting, Proceeding, IPA, 32th Convention & Exhibition, May 2008.
Turcote, L., 1992, Analysis Fractal and Chaos in Exploration Geology and Geophysics, Cambridge, USA.
USGS, 2008, NEIC - USGS Earthquakes search result, USGS National Earthquake Information Center, http://neic.usgs.gov/cgi-bin/sopar/sopar.cgi&3 diakses 21 Mei 2008.
Visser, W.A., and Hermes, J.J., 1962, Geological Result of the Exploration for Oil in Netherland New Guinea. Govt. Printing Office, The Hague, 265 pp.
ISSN : 1858 – 0358 Volume 2, Nomor 2, April 2010
Jurnal Mahasiswa dan Alumni Pascasarjana se-Indonesia
PERSYARATAN DAN PETUNJUK PENULISAN ARTIKEL
1. Tulisan dapat berupa Artikel Hasil Penelitian maupun Artikel Konseptual (lepas) di bidang berbagai disiplin ilmu. Artikel dapat ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris sepanjang 10-15 halaman, ukuran kertas A4 dengan tipe huruf Standar (Body), font 12, spasi 1,5, margin 4-3, 4-3. Artikel harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Inggris 100-150 kata dan kata kunci 3-5 kata.
2. Sistematika artikel hasil penelitian harus memuat : Judul, Nama Penulis, Lembaga Asal dan email), Abstrak, Kata Kunci, Pendahuluan, Perumusan Masalah, Metode Penelitian, Hasil Penelitian dan Pembahasan, Kesimpulan dan Daftar Pustaka.
3. Sistematika Artikel Konseptual (lepas) harus memuat: Judul, Nama Penulis, Abstrak, Kata Kunci, Pendahuluan, Pembahasan (langsung dibuat dengan sub judul sesuai dngan kebutuhan), Penutup dan Daftar Pustaka.
4. Penulisan Daftar Pustaka disusun secara alphabets dengan ketentuan sebagai berikut: a) Buku: Penulisan dimulai dengan nama pengarang (dimulai dengan nama belakang
pengarang dan tanpa gelar), tahun penerbitan, judul buku (dicetak miring), penerbit, tempat penerbitan.
b) Makalah: Penulisan dimulai dengan nama pengarang (dimulai dengan nama belakang pengarang dan tanpa gelar), judul makalah (diawali dan diakhiri dengan tanda petik), nama forumnya/seminar, tempat , tanggal dan tahun.
c) Artikel Suatu Jurnal: Penulisan dimulai dengan nama penulis artikel (dimulai dengan nama belakang dan tanpa gelar) judul artikel dimulai dan diakhiri dengan tanda petik), nama jurnal (dicetak miring) volume, nomor, bulan dan tahun.
d) Karangan/Esai dalam suatu buku kumpulan karangan/esai. Penulisan dimulai dengan nama pengarang (dimulai dengan nama belakang dan tanpa gelar) judul karangan/esai (dimulai dan diakhiri dengan tanda petik), tempat tulisan dimuat dicetak miring),
e) webside, tanggal diakses. 5. Daftar Pustaka hendaknya dirujuk dari edisi mutakhir (terbitan 10 tahun terakhir) dan sangat
disarankan berasal dari jurnal. 6. Penulisan kutipan menggunakan model bodynote. Cara penulisan seperti pada angka 4 di atas,
tetapi nama pengarang tidak dibalik penulisannya. Penulisan halaman disingkat menjadi “hlm”. 7. Artikel dalam bentuk print out, disket atau via email yang disertai dengan Curriculum Vitae
dapat dikirim atau diserahkan secara langsung paling lambat 1 (satu) bulan sebelum bulan penerbitan kepada: JURNAL WACANA INDONESIA.
8. Dewan Penyunting berhak menyeleksi dan mengedit artikel yang masuk. Kepastian pemuatan atau penolakan artikel akan diberitahukan melalui email. Penulisan yang artikelnya dimuat, memberi kontribusi percetakan sejumlah Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah) dan bagi artikel hasil penelitian dan Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah) bagi artikel konseptual (lepas). Artikel yang tidak dimuat tidak dikembalikan.
9. Jumlah halaman jurnal Wacana Indonesia sebanyak 100 - 120 halaman
Forum Mahasiswa Pascasarjana se-Indonesia Sekretariat:
Perumahan Dinas UGM F 13 Bulak Sumur Yogyakarta 55281 Website FWI: www.ppfwi.wordpress.com
Email: [email protected]