jurnal kulkel dio

18
Nama Ko-ass : Dionissa Shabira NRP : 1320221109 Stase : Departemen Kulit dan Kelamin Tugas : Pembacaan Jurnal Mikrobiologi Impetigo pada Anak-Anak Pribumi: Hubungan Antara streptococcus pyogenes, staphylococcus aureus, scabies dan nasal carriage Asha C Bowen 1,2,3 , Stven YC Tong 1,4 , Mark D Chatfield 3 dan Jonathan R Carapetis 2,3 ABSTRAK Latar belakang: impetigo disebabkan oleh streptococcus pyogenes dan staphylococcus aureus; kontribusi keduanya yang relatif telah terbukti berfluktuasi dengan waktu dan wilayah. Sementara S. Aureus dilaporkan kebanyakan meningkat di daerah industri, S. Pyogenes masih dianggap sebagai penyebab impetigo pada daerah endemik dan tropis. Namun, beberapa penelitian telah menggunakan berbagai metode pengembangan mikrobiologi berkualitas tinggi untuk membuktikan asumsi ini. Kami membuktikan prevalensi dan resistensi antimikroba patogen impetigo yang pulih dalam percobaan perawatan impetigo acak terkontrol yang dilakukan di masyarakat pribumi terpencil di daerah Australia Bagian Utara. Metode: setiap anak memiliki satu atau dua luka dan nares anterior, yang diseka. Semua penyeka dipindahkan ke cairan glikogen tryptone susu skim dan dibekukan pada suhu -70 0 C, sampai berlapis pada media agar darah kuda. S. Aureus dan S. Pyogenes dikonfirmasi dengan aglutinasi latex. Hasil: dari 508 anak, kami mengumpulkan 872 penyeka luka dan 504 penyeka dari nares anterior sebelum memulai terapi 1

Upload: dionissashabira

Post on 25-Dec-2015

6 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kulkel

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Kulkel Dio

Nama Ko-ass : Dionissa ShabiraNRP : 1320221109Stase : Departemen Kulit dan KelaminTugas : Pembacaan Jurnal

Mikrobiologi Impetigo pada Anak-Anak Pribumi: Hubungan Antara

streptococcus pyogenes, staphylococcus aureus, scabies dan nasal carriage

Asha C Bowen1,2,3, Stven YC Tong1,4, Mark D Chatfield3 dan Jonathan R

Carapetis2,3

ABSTRAK

Latar belakang: impetigo disebabkan oleh streptococcus pyogenes dan staphylococcus aureus; kontribusi keduanya yang relatif telah terbukti berfluktuasi dengan waktu dan wilayah. Sementara S. Aureus dilaporkan kebanyakan meningkat di daerah industri, S. Pyogenes masih dianggap sebagai penyebab impetigo pada daerah endemik dan tropis. Namun, beberapa penelitian telah menggunakan berbagai metode pengembangan mikrobiologi berkualitas tinggi untuk membuktikan asumsi ini. Kami membuktikan prevalensi dan resistensi antimikroba patogen impetigo yang pulih dalam percobaan perawatan impetigo acak terkontrol yang dilakukan di masyarakat pribumi terpencil di daerah Australia Bagian Utara.Metode: setiap anak memiliki satu atau dua luka dan nares anterior, yang diseka. Semua penyeka dipindahkan ke cairan glikogen tryptone susu skim dan dibekukan pada suhu -700C, sampai berlapis pada media agar darah kuda. S. Aureus dan S. Pyogenes dikonfirmasi dengan aglutinasi latex.Hasil: dari 508 anak, kami mengumpulkan 872 penyeka luka dan 504 penyeka dari nares anterior sebelum memulai terapi antibiotik. S. Pyogenes dan S. Aureus teridentifikasi pada 503/875 (58%) luka; dengan luka tambahan 207/872 (24%) yang memiliki S. Pyogenes dan 81/872 (9%) S. Aureus, dalam isolat. Penyeka luka kulit yang diambil selama beberapa episode yang berbarengan dengan diagnosis kudis lebih memungkinkan mengembangkan biakkan S. Pyogenes (OR 2.2, 95% CI 1.1 – 4.4, p = 0,03). Delapan belas persen anak-anak memiliki nasal carriage patogen kulit. Tidak ada hubungan antara keberadaan S. Aureus pada hidung dan kulit, resistensi metisilin terdeteksi pada 15% anak-anak yang dikembangi S.aureus baik dari luka ataupun hidungnya. Tidak ada hubungan yang ditemukan antara tingkat keparahan impetigo dengan deteksi patogen kulit.

Kesimpulan: S. Pyogenes tetap menjadi patogen utama pada impetigo tropis; kontribusi yang relatif tinggi dari S. Aureus sebagai co-patogen juga telah dikonfirmasi. Anak anak dengan kudis lebih cenderung memiliki S. Pyogenesis yang

1

Page 2: Jurnal Kulkel Dio

terdeteksi. Sementara kejelasan S. Pyogenes adalah penentu utama keberhasilan pengobatan, koinfeksi dengan S. Aureus menjamin pertimbangan pilihan-pilihan pengobatan yang efektif pada kedua patogen tersebut dimana impetigonya parah dan prevalen.Kata kunci: impetigo, tropis, endemik, Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes, Kudis.

I. LATAR BELAKANG

2

Page 3: Jurnal Kulkel Dio

Impetigo merupakan infeksi epidermal yang disebabkan oleh Staphylococcus

aureus dan Streptococcus pyogenes. Hal ini sering terjadi pada anak-anak pribumi di

Australia Utara. Dengan prevalensi setinggi 70%[1]. S. Aureus dan S. Pyogenes yang

terbukti relatif berlimpah telah berubah sepanjang waktu [2]. Dalam beberapa dekade

terakhir, S. Aureus dan methicillin resistant S. Aureus (MRSA) yang meningkat telah

menjadi patogen yang terbukti dominan dalam studi impetigo di seluruh dunia,

kebanyakan besar studi dilaksanakan di daerah beriklim sedang, niasanya di negara-

negara makmur [3] diamana beban penyakitnya rendah. Sebaliknya, pada daerah

tropis, impetigo jauh lebih umum dan menanggung beban terbesar dari sequelae [4].

S. Pyogenes diasumsikan menjadi patogen yang dominan [5] tapi beberapa penelitian

melaporkan kemunculan pada infeksi kulit dan jaringan lunak yang disebabkan oleh

S. Aureus [6, 7]. Ada surveilans mikrobiologi terbatas dari penyeban patogen

impetigo dari konteks beban tinggi dan tingkat resistensi mikrobanya seringkali tak

diketahui [5]. Impetigo sangat terkait dengan dengan kerumunan kudis di lingkungan

tropis [8], tetapi pengaruh kudis pada mikrobiologi impetigo belum dijelaskan

sebelumnya.kami disini melaporkan mikrobiologi impetigo pada sebuah pengaturan

beban tinggi dan mendalami hubungan dari mikrobiologi ini dengan umur, jenis

kelamin, wilayah, tingkat keparahan, kemunculan kudis dan nasal carriage patogen

kulit. Dataset kami berasal dari percobaan acak terkontrol non-inferioritas yang besar

yang membandingkan trimethoprim sulphamethoxazole / SANPRIMA Tablet, Sirup

(SXT) dengan penisilin benzatin G (BPG) untuk perawatan impetigo pada anak-anak

pribumi[9].

II. METODE

Desain penelitian

Anak anak pribumi berusia 3 bulan sampai 13 tahun adalah peserta RCT

(percobaan acak terkontrol). Anak anak yang layak berpartisipasi pada lebih dari satu

kesempatan jika setidaknya telah melalui 90 hari sejak keterlibatan terakhir mereka

pada percobaan ini. Dengan demikian, 508 anak-anak dari 12 komunitas terpencil

daerah utara terdaftar untuk mengikuti 663 episode impetigo; semua analisis yang

ditunjukkan disini dibatasi untuk episode pertama anak saja. Enam komunitas (terdiri

dari 463/508 anak-anak) yang berada pada daerah iklim tropis seringkali disebut

sebagai “Top End.” Komunitas yang tersisa berada di Australia Tengah dimana disana

3

Page 4: Jurnal Kulkel Dio

terdapat iklim gurun. Anak anak kemudian di kelompokkan berdasarkan tingkat

keparahan impetigonya, Tingkat parah meliputi anak anak dengan ≥2 purulen atau

luka berkerak dan ≥5 luka tubuh secara keseluruhan.

Matode penyekaan, pemindahan dan Pengembangbiakan

Setiap anak memiliki penyeka yang diambil dari satu atau dua luka

(tergantung apakah episodenya tergolong ringan atau parah) sebelum menggunakan

antibiotik. Sebuah penyeka nares anterior didapatkan untuk menentukan carriage

patogen impetigo dalam konteksi infeksi. Penyeka dikumpulkan antara 26 November

2009 dan 20 november 2012. Penyeka kapas berujung serat rayon / Rayon tipped

cotton swabs (Copan, italy)dipindahkan pada suhu 4oC pada 1 mL kaldu gliogen

glukosa tripton susu skim (STGGB) dan dibekukan pada suhu -70oC selama 5 hari

pengumpulan. Penyeka dicairkan, di-vortex dan dilapis alikuotkan pada media agar

darah kuda dan diinkubasi selama 48 jam pada suhu 37oC [10]. S. Aureus dan S.

Pyogenes diidentifikasi secara morfologis dan dikonfirmasi dengan aglutinasi latex.

Semua isolat S. Aureusnya ialah staphytect (Oxoid UK) dan deoxyribonuclease

(Dnase, BD Diagnostics, USA) S. Pyogenes positif yang di aglutinasikan dengan grup

A Lancefield antisera (Oxoid).

Uji Kepekaan Antimicrobial

Uji kepekaan antimicrobial untuk S. Qureus ditentukan pada platform Vitek2

yang menggunakan Kartu 22359 VITEK-AST_P612 (bioMeriux, Prancis) dengan

klinis dan laboratorium dan Institut Strandar (CLSI, 2011) breakpoint yang

digunakan[11]. MRSA didefinisikan sebagai setiap S. Aureus dengan layar cefoxitin

positif. Non-multidrug resistant MRSA (nmMRSA) didefinisikan sebagai MRSA

yang resistan terhadap < 3 antibiotik non beta-lactam tambahan [12].

nmMRSA didefinisikan sebagai MRSA yang resisten terhadap antibiotik ≥ 3

non beta laktam [12]. Kami melakukan uji kepekaan untuk S. Pyogenes dengan

penisilin, eritomisin dan cakram klindamisin mengguunakan standar difusi cakram

CLSI. Kerentanan SXT untuk S. Pyogenes ditentukan dengan E test® (bioMeriux)

tergantung pada komite Eropa pada standar pengujian kerentanan antimikroba

(EUCAST) (www.eucast.org, terakhir diakses pada 15 November 2014) strain rentan

SXT memiliki MIC ≤ 1 mg/L dan isolat resistan memiliki MIC > 2 mg/L.

4

Page 5: Jurnal Kulkel Dio

Pernyataan Etika

Penelitian ini telah disetujui oleh Departemen Kesehatan Bagian Utara dan

Menzies School of Health Research Human Research Ethics Committee (09/08).

Persetujuan tertulis untuk semua prosedur penelitian diperoleh dari orang tua atau

wali anak anak .

Analisis statistik

Mixed-effect logistic regression (efek acak yang menghitung data yang

berkorelasi dikarenakan beberapa luka untuk anak-anak pada impetigo tahap parah)

yang menggunakan strata 13 (stratacorp, Texas, USA) dilakukan untuk menilai

hubungan antara pertumbuhan patogen kulit dan kemunculan kudis, impetigo parah,

usia, jenis kelamin, wilayah dan nasal carriage.

III. HASIL

Hasil Mikrobiologi Awal

Luka-luka

Kami memperoleh 872 penyeka luka dari 508 anak anak dengan impetigo

yang tidak diobati (usia rata ratanya 7 tahun, kisaran interkuartilnya 5-9 tahun) pada

awalnya. Dua puluh dua persen anak anak berada pada strata impetigo yang parah,

semuanya memiki dua luka yang diseka. Sebuah patogen impetigo diidentifikasi pada

488/508 (96%) anak anak. Dari 872 luka yang diseka, S. Aureus dan S. Pyogenes

diidentifikasi secara berbarengan pada 503/872 (58%) luka, S. Pyogenes sendiri

diidentifikasi pada 207/972 (24%) luka, dan S. Aureus sendiri diidentifikasi pada

81/972 (9%) luka. Penyeka dari anak anak dengan strata impetigo parah tidak

menunjukkan salah satu atau bahkan kedua patogen kulit tersebut dibandingkan

dengan penyeka dari anak anak dengan strata impetigo ringan (Tabel 1). S. Aureus

sepertinya kurang terdeteksi pada anak anak yang lebih tua (OR 0,6, 95% CI

0.4cenderung tidak menunjukkan salah satu atau bahkan kedua patogen kulit tersebut

dibandingkan dengan penyeka dari anak anak dengan strata impetigo ringan (Tabel 1).

S. Aureus sepertinya kurang terdeteksi pada anak anak yang lebih tua (OR 0,6, 95%

CI 0.4 – 0.9 untuk anak anak ≥ 5 tahun. Uji wald pada 2 derajat kebebasan 0= 0.04)

atau pada anak anak dari australia tengah (OR 0.5, 95% CI 0,3 – 09. P = 0.02). Anak

5

Page 6: Jurnal Kulkel Dio

anak dari Australia tengah cenderung kurang memiliki luka yang co-terinfeksi dengan

S. Aureus maupun S. Pyogenes dari pada anak ank dari Top End (OR 0.5, 95% CI 0.3

– 0.9, p= 0.01).

Scabies

Scabies dididiagnosis di awal pada 84/508 (17%) anak-anak: dengan

kelompok usia; 0-4 tahun (28/136, 21%); 5-9 tahun (40/271, 15%) dan 10-13 tahun

(16/101, 16%). Mereka, penderita kudis, cenderung memiliki S. Pyogenes lebih yang

terdeteksi dari luka-lukanya (OR 2,2, 95% CI 1,1-4,4, p= 0.03) (Tabel 1).

Beta Streptokokus Hemolitik yang lain

Tujuh ratus lima puluh empat beta streptokokus hemolitik dikembang biakkan

dari penyeka kulit dan hidung dari 508 anak-anak penderita impetigo. Dari jumlah

tersebut, 740/754 (98%) adalah S. pyogenes dengan 710 yang dikembang biakkan

dari penyeka kulit dan 30 dikembang biakkan dari penyeka hidung. Beta streptokokus

hemolitik yang lainnya adalah kelompok C (2 kulit, 2 hidung) dan kelompok G (7

kulit, hidung 3).

Ketahanan Antibiotik

Salah satu isolat dari S. pyogenes dan S. aureus dipilih per anak untuk

pelaporan profil kerentanan antibiotiknya. Bila memungkinkan, isolat dibiakkan dari

luka kulit yang dipilih, dengan sisanya yang berasal dari penyeka nares anterior.

S. pyogenes

Ada 455 anak-anak dengan paling tidak satu isolat S. pyogenes yang tersedia

untuk penilaian kerentanan antibiotik. Semua isolat S. pyogenes terbukti rentan

terhadap penisilin dan eritromisin. Resistensi klindamisin terdeteksi pada 9/455 (2%)

isolat S. pyogenes. Resistensi SXT terdeteksi pada 4/455 (<1%) isolat di awal dengan

MIC> 2 mg / L. [13] Median SXT MIC untuk S. Pyogenesnya sebesar 0,094 (kisaran

interkuartil, 0,094-0,125) mg / L.

S. aureus

Ada435 anak-anak dengan paling tidak satu isolat S. aureus yang tersedia

untuk penilaian kerentanan antibiotik. Resisten methicillin dalam S. aureus terdeteksi

6

Page 7: Jurnal Kulkel Dio

pada 65/435 (15%) isolat, yang semuanya nmMRSA. Tidak ada deteksi mMRSA.

Tingkat resistensi untuk antibiotik lain oleh anak ialah penisilin 413/435 (95%), SXT

3/435 (<1%), eritromisin 60/435 (14%) dan asam fusidic 9/435 (2%). Resistensi

clindamycin yang dapat diinduksi dilaporkan pada 60/435 (14%), 86%-nya adalah

MSSA. Semua isolat resisten SXT 3 adalah nmMRSA. Antibiotik lain yang termasuk

pada kartu VITEK untuk uji kerentanan S. aureus semua memiliki tingkat resistensi

dibawah 0,02%. Karena itu, dengan S. aureus yang terdeteksi, kemunculan MRSA

tidak mencapai signifikansinya pada jenis kelamin, kelompok umur, strata keparahan,

kemunculan kudis ataupun wilayah (Tabel 1).

Tabel 1 hasil dari model regresi logistik untuk menilai hubungan antara patogen

impetigo dengan usia, jenis kelamin, tingkat keparahan, kemunculan kudis serta

wilayah

7

Page 8: Jurnal Kulkel Dio

Variabel S. pyogenes pada luka S. aureus pada luka Keduanya pada luka MRSA pada luka positif mengandung S. aureus

OR 95% CI OR 95% CI OR 95% CI OR 95% CI

Wanita 1.3 0.8-2.1 1.0 0.7-1.4 1.1 1.1 1.0 0.6-1.7

0-4 Tahun 1 (ref) 1 (ref) 1 1 1 (ref)

5-9 Tahun 1.1 0.7-2.0 0.6 0.4-0.9 0.8 0.8 0.9 0.5-1.6

10-13 Tahun 1.2 0.6-2.4 0.5 0.3-0.9 0.7 0.7 0.7 0.3-1.5

Strata

Keparahan

1.4 0.8-2.6 0.7 0.4-1.1 1.1 1.1 0.6 0.3-1.5

Kemunculan

kudis

2.2 1.1-4.4 0.8 0.5-1.3 0.9 0.9 1.4 0.7-2.6

Australia

Tengah

1.2 0.5-2.8 0.5 0.3-0.9 0.5 0.5 1.1 0.4-2.7

8

Page 9: Jurnal Kulkel Dio

Nasal Carriage Patogen Kulit

S. aureus

Sebuah penyeka hidung diambil di awal untuk 504/508 (99%) anak anak.

Sebelumj perawatan, 91/504 (18%) anak anak telah mengkonfirmasi carriage patogen

kulit pada nares anterior. S. Aureus maupun S. Pyogenes sembuh pada 16/91 (18%).

S. Pyogenes sendiri dari 14/91 (15%) dan S. Aureus sendiri dari 61/91 (67%) dari

anak anak yang menderita nasal carriage S. Aureus, 66/77 (86%) memiliki MSSA dan

11/77 (14%), MRSA. Nasal carriage S. Aureus dan A. Pyogenes masing masing

77/504 (15%) dan 30/504 (6%).

Kami meneliti hubungan nasal carriage S. aureus dengan kemunculan S.

aureus pada luka impetigo. Ada 504 anak-anak dengan penyeka kulit dan hidung yang

tersedia (Tabel 2). Anehnya, dari 410 anak yang membiakkan S. aureus pada kulitnya,

hanya 54 (13%) yang juga mengidap S. aureus di hidung. Berdasarkan antibiogram

tersebut, dari 54 anak dengan S. aureus baik di luka hidung maupun kulit, empat anak

memiliki strain S. Aureus yang bertentangan (yaitu, MSSA di satu lokasi dan MRSA

di lokasi lainnya). Dari 94 anak yang tak mengidap S. aureus pada kulit, ada 23 (24%)

anak-anak yang mengidap S. aureus di hidung. Dari 424 anak-anak yang mengidap S.

pyogenes pada kulit, 28 (7%) memiliki pertumbuhan S. pyogenes yang bersamaan

dari nares anterior. Ada 2 anak-anak dengan pertumbuhan S. Pyogenes yang terisolasi

dari nares anterior. Memperluas model Tabel 2, kolonisasi hidung dengan S. aureus

dikaitkan dengan sedikit S. aureus pada kulit, tidak lebih (OR 0,6, 95% CI 0,4-1,0, p

= 0,04), yang menunjukkan epidemiologi S. aureus yang terpisah di kedua lokasi

tersebut.

IV. DISKUSI

S. pyogenes tetap menjadi patogen impetigo utama pada anak-anak pribumi di

pedalaman Australia. Koinfeksidengan S. aureus juga sangat lazim. Selain itu,

penelitian kami memperluas pemahaman tentang mikrobiologi impetigo dimana kudis

adalah endemik. Di tempat kudis terlihat, kami menemukan bahwa S. pyogenes lebih

memungkin untuk pulih dari luka impetigo. Kami juga menemukan ada korelasi

positif antara nasal carriage S. aureus dengan pemulihan S. aureus dari luka impetigo,

9

Page 10: Jurnal Kulkel Dio

dan tidak ada hubungan antara tingkat keparahan impetigo dan pemulihan S.

Pyogenes maupun S. aureus atau keduanya.

Tabel 2 Identifikasi Staphylococcus aureus dari setiap luka impetigo dan nares

anterior untuk semua anak anak yang paling tidak dengan penyeka kulit dan hidung (n =

504)

Nares anterior Total

Positif Negative

Impetigo Paling tidak 1

luka positif

54 (13%) 356 (87%) $10 (100%)

Negatif 23 (24%) 71 (76%) 94 (100%)

Total 77 (15%) 427 (85%) 505 (100%)

Hubungan kuat S. pyogenes (dibandingkan S. aureus) dengan kemunculan

kudis selaras dengan penelitian sebelumnya yang terkait dengan wabah kudis dengan

epidemi glomerulonefritis pasca-streptokokus berikut[14] dan pengobatan kudis yang

direkomendasikan di tingkat masyarakat untuk mengurangi komplikasi pioderma

streptokokus [15,16]. Hubungan kudis dengan impetigo pada anak-anak pribumi

perkotaan sama tingginya dengan yang ditemukan dalam penelitian kami pada tingkat

25/111 (23%) [17]. Tidak ada penelitian sebelumnya yang telah melaporkan

hubungan antara kudis dan deteksi MRSA. Sedangkan tingkat keduanya tinggi, kami

tidak dapat mendeteksi hubungan yang signifikan antara kudis dan deteksi MRSA.

Baik S. pyogenes maupun S. Aureus, keduanya telah terbukti sebagai patogen

impetigo utama, namun kontribusi relatif keduanya yang dilaporkan telah berfluktuasi

sepanjang waktu dan wilayah. Penelitian impetigo mikrobiologi sebelumnya pada

anak Penduduk Asli Australia perkotaan maupun terpencil menunjukkan tingginya

tingkat koinfeksi [17,18]. Valery et al. mendeteksi koinfeksi dengan patogen kulit

pada 54% anak-anak pribumi perkotaan. Dari anak-anak yang mengidap baik

impetigo maupun kudis, S. pyogenes telah pulih dari 82% dan S. aureus dari 77%

[17]. S. pyogenes tetap menjadi patogen kulit yang penting di wilayah kami, seperti

10

Page 11: Jurnal Kulkel Dio

yang juga telah dilaporkan dari Fiji [8,19] dan mendukung resep antibiotik aktif yang

sedang berlangsung terhadap S. pyogenes untuk pengobatan impetigo yang efektif di

daerah tropis. Hasil uji klinis kami menegaskan pentingnya membersihkan S.

pyogenes untuk mencapai penyembuhan luka impetigo [9].

Dominasi S. aureus yang terisolasi dan peningkatan tingkat MRSA yang

dilaporkan di tempat lain pada infeksi kulit dan jaringan lunak [6,20,21] tidak

ditemukan dalam penelitian kami. Resistensi methicillin terdeteksi pada 15% isolat S.

aureus. Ini lebih rendah dari yang dilaporkan sebelumnya untuk konteks tropis

pedalaman kita[22] dan lebih rendah daripada tingkat yang ditemukan dalam survei S.

aureus selama 20 tahun di wilayah kami [23] tetapi ini konsisten dengan studi

impetigo pada anak-anak pribumi perkotaan Australia utara [17]. Kami tidak yakin

apakah MRSA berubah berdasarkan usia, karena hal ini sebelumnya tidak pernah

dipelajari lebih dalam, tapi kami tidak menemukan bukti apa hal itu memang benar.

Pengamatan tingkat MRSA yang stabil di seluruh kelompok umur, menyarankan

kolonisasi awal anak-anak di daerah terpencil dengan strain MRSA.

Kami menemukan bahwa anak-anak dengan strata yang parah yang memiliki

lebih dari lima purulen atau luka berkerak cenderung tidak memungkinkan untuk

terinfeksi S. pyogenes dan / atau S. aureus dibandingkan dari anak-anak dengan strata

ringan. Meskipun mereka yang dikelompokkan di strata ringan, yang menunjukkan

luka keseluruhan lebih sedikit, mungkin memiliki fenotipe yang lebih ringan untuk

tiap luka individu, mikrobiologi luka tersebut tidaklah berbeda. Dengan demikian kita

memberikan bukti kuat untuk membantah data pengamatan awal pada pasien

pengidap impetigo dimana hubungan koinfeksi dengan fenotipe yang lebih parah

dicurigai tetapi tidak dikonfirmasi [24,25].

Sementara carriage tenggorokan S. pyogenes umumnya terbukti dan tidak

dianggap sebagai reservoir untuk infeksi kulit, nares anterior diperkirakan jarang

sekali mengidap S. pyogenes [26]. Dengan demikian, penyeka tenggorok tidak

dimasukkan dalam desain penelitian kami karena kami fokus pada karakterisasi nasal

carriage S. aureus. Namun, temuan kami mengenai nasal carriage S. pyogenes pada

7% anak-anak memberikan validasi hasil eksternal dari perekrutan militer dimana

nasal carriage S. pyogenes ditemukan pada 8% pengidap ecthyma [27]. Tidak ada

korelasi antara nasal carriage S. aureus dengan pemulihan S. aureus dari luka

11

Page 12: Jurnal Kulkel Dio

impetigo. Penelitian sebelumnya telah menyimpulkan bahwa ketika impetigo

mempengaruhi sebagian besar anggota tubuh bagian bawah, tidak ada nasal carriage

S. aureus ataupun genotipe yang berbeda [28]. Data kami setuju dengan pengamatan

ini bahwa 67% dari episode impetigo hanya melibatkan anggota tubuh bagian bawah

[9]. Seperti sebelumnya telah ditunjukkan dalam perekrutan militer [29], dekolonisasi

hidung juga tidak mungkin menjadi strategi yang berguna dalam mengurangi beban

impetigo di daerah tropis, pengaturan endemik kami.

Sebuah penelitian dari Ghana pada 1970-an dengan iklim tropis serupa

menemukan impetigo yang didominasi oleh Lancefield kelompok C dan G

streptokokus [30]. Temuan ini tidak direproduksi dalam penelitian kami dan belum

dikonfirmasi dalam studi mikrobiologi lain yang diterbitkan dari wilayah kami [18]

atau konteks tropis lainnya [31]. Streptokokus A non-grup sepertinya tidak

memainkan peran penting dalam patogenesis impetigo.

Kelebihan penelitian ini adalah standarisasi prosedur untuk skrining,

penyekaan dan pengembang biakan mikrobiologi dalam konteks percobaan klinis

yang dilakukan sesuai dengan Konferensi Internasional tentang Pedoman Harmonisasi

Praktek Klinis yang bagus. Selain itu, sejumlah besar anak-anak direkrut dari 12

komunitas yang berbeda dari dua wilayah Bagian Utara menyarankan bahwa

kesimpulannya tepat. Penilaian genotipe isolat tidak dilakukan untuk mengetahui

korelasi dari isolat kulit dan hidung. Ketidakmampuan untuk mengkorelasikan

epidemiologi molekuler dengan fenotip adalah batasan dari penelitian ini. Sedangkan

biaya pengelompokkan molekul secara keseluruhan menjadi lebih terjangkau, biaya

isolat dalam jumlah besar dalam penelitian ini menjadi penghalang bagi analisis

molekuler yang lebih lanjut.

V. KESIMPULAN

S. pyogenes tetap menjadi patogen kunci dalam impetigo dalam konteks tropis,

meskipun kenaikan S. aureus yang ditemukan di banyak pengaturan industri dan

tropis. Temuan kami sesuai dengan temuan yang dilaporkan dari Fiji [8] dan

menegaskan bahwa impetigo dalam konteks tropis disebabkan oleh S. pyogenes.

Dengan tidak adanya mikrobiologi impetigo lokal, algoritma pengobatan harus

tetap fokus pada pengobatan S. pyogenes. Namun, kami telah menunjukkan

bahwa koinfeksi dengan S. pyogenes maupun S. aureus sangatlah memungkinan.

12

Page 13: Jurnal Kulkel Dio

Dengan demikian, pertimbangan pengobatan impetigo dengan sebuah agen yang

efektif terhadap S. pyogenes dan S. aureus adalah penting. Kami juga telah

menyimpulkan bahwa dalam konteks impetigo, tidak ada hubungan antara

kolonisasi hidung dan infeksi kulit dengan S. aureus.

13