jurnal analgesik - dasar teori

14

Click here to load reader

Upload: raven-moarte

Post on 20-Oct-2015

580 views

Category:

Documents


15 download

DESCRIPTION

Jurnal Farmakologi - Analgesik

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Analgesik - Dasar Teori

Jurnal Praktikum FarmakologiNama: Raymond H. M.NRP: 2443011185Golongan: T

ANALGESIK

A. TUJUAN PRAKTIKUM

a. Mengenal beberapa metode pengujian analgetika dan menerapkannya.

b. Mengenal penggolongan dari analgetika dan obat-obat analgetika.

c. Mempelajari cara pengolahan data hasil pengolahan dengan membuat

grafik response time vs. waktu pengamatan pada metode stimulasi panas.

d. Mempelajari cara pengolahan data hasil pengolahan dengan membuat

grafik jumlah geliatan vs waktu pengamatan pada metode Siegmund.

B. DASAR TEORI

1. TENTANG OBAT

a. ANALGESIK OPIOID

Kodein

Kodein (3-metoksimorfin) merupakan opioid fenantren yang memiliki

afinitas yang sangat rendah pada reseptor. Aktivitas analgesiknya (yang lemah)

muncul sebagai akibat dari konversinya menjadi morfin. Jumlah metabolizer

debrisokuin/spartein yang rendah (sekitar 7% pada populasi bangsa Kaukasia)

tidak dapat mengubah kodein menjadi morfin dalam jumlah yang diharapkan atau

memperoleh efek analgesik dari kodein. (Anderson, 2002)

Page 2: Jurnal Analgesik - Dasar Teori

Jurnal Praktikum FarmakologiNama: Raymond H. M.NRP: 2443011185Golongan: T

Walaupun efek analgesiknya lebih rendah

daripada morfin, namun kodein memiliki

kemanjuran peroral yang lebih baik. Kodein

memperlihatkan efek antitusif yang baik pada dosis

yang tidak menyebabkan analgesia. Obat ini

mempunyai potensi penyalahgunaan yang lebih

rendah daripada morfin dan sangat jarang

menimbulkan ketergantungan. Kodein sering

digunakan dalam kombinasi dengan aspirin atau

asetaminofen. (Pada kebanyakan sediaan obat

batuk tanpa resep, kodein telah digantikan oleh

obat lain seperti dekstrometorfan, suatu penekan

batuk sintetik yang tidak mempunyai efek

analgesik dan potensi penyalahgunaan yang

rendah) (Finkel, Richard et al., 2009)

MEKANISME KERJA

Opioid memperlihatkan efek utamanya

dengan berinteraksi dengan reseptor opioid pada

SSP dan saluran cerna. Opioid menyebabkan hiperpolarisasi sel saraf,

menghambat peletupan saraf, dan penghambatan presinaptik pelepasan transmiter.

Kodein bekerja pada reseptor µ dalam lamina I dan lamina II dan substansia

gelatinosa medula spinalis, dan menurunkan pelepasan substansi P, yang

memodulasi persepsi nyeri dalam medula spinalis. (Finkel, Richard et al., 2009)

FARMAKOKINETIK

Onset dan Durasi. PO, SC memiliki onset 15-30 menit; efek analgesik

puncak melalui IM terjadi dalam waktu 0.5-1 jam; durasi (semua rute pemberian)

adalah 4-6 jam. (Anderson, 2002)

Availabilitas secara sistemik berkisar sekitar 40% namun dalam rentang

yang luas (12-84%), yang menggambarkan variabilitas yang besar dalam aktivitas

Page 3: Jurnal Analgesik - Dasar Teori

Jurnal Praktikum FarmakologiNama: Raymond H. M.NRP: 2443011185Golongan: T

enzim hepatik. Dosis tunggal PO 15 mg menghasilkan kadar dalam serum sebesar

26-33 µg/L (82-104 nmol/L) dalam waktu 2 jam dan 13-22 µg/L (41-69 nmol/L)

dalam 5 jam. Tujuh persen dari keseluruhan obat adalah terikat pada protein

plasma. Nilai Vd adalah 2.6 ± 0.3 L/kg; nilai Cl adalah 0.66 ± 0.12 L/jam/kg.

Dimetabolisme di dalam liver menjadi kodein-6-glukuronida, mengalami reaksi

N-demetilasi menjadi norkodein, dan mengalami reaksi O-demetilasi menjadi

morfin oleh CYP2D6. Kodein-6-glukuronida merupakan metabolit yang paling

banyak jumlahnya, dan norkodein serta morfin merupakan metabolit minor, yang

kira-kira setara dengan 10% dosis. Akumulasi morfin terjadi melalui pemberian

berulang, berakibat pada rasio AUC morfin:kodein 0.29:1. Ekskresi melalui urin

terutama dalam bentuk inaktif, 3-16% diekskresikan melalui urin. Waktu

paruhnya sekitar 2.9 ± 0.7 jam. (Anderson, 2002)

Kodein dapat menembus plasenta dan didistribusikan dalam ASI.

(Sweetman, 2009)

DOSIS

Untuk mengurangi rasa sakit, kodein dapat diberikan dalam bentuk dosis

30-60 mg setiap hari setiap 4 jam hingga dosis maksimum 240 mg sehari.

EFEK SAMPING

1. Kardiovaskular: Hipotensi, hipotensi ortostatik, bradikardia,

takikardia, syok.

2. SSP: pusing, sedasi, disorientasi, kehilangan koordinasi, euforia,

delirium.

3. Dermatologis: berkeringat, pruritus, urtikaria.

4. Mata: miosis.

5. Saluran Cerna: mual, muntah, konstipasi, rasa sakit pada perut,

anoreksia, spasme pada saluran empedu.

6. Saluran Kemih: retensi urin.

7. Pernafasan: spasme pada laring, depresi pada refleks batuk, depresi

pernafasan.

Page 4: Jurnal Analgesik - Dasar Teori

Jurnal Praktikum FarmakologiNama: Raymond H. M.NRP: 2443011185Golongan: T

8. Lainnya: ketergantungan pada penggunaan kronis. (Tatro, 2003)

b. Antalgin

Antalgin (dipyrone atau methampyrone) merupakan bentuk natrium

sulfonat dari aminofenazon dan memiliki sifat-sifat yang mirip. Dikarenakan

resiko efek samping yang serius, di banyak negara penggunaannya adalah untuk

rasa sakit yang hebat atau demam dimana tidak ada alternatif lain yang tersedia.

Antalgin diberikan secara oral dalam dosis 0.5 sampai 4 gram sehari dalam dosis

terbagi. Antalgin juga diberikan melalui injeksi intramuskular atau intravena dan

secara rektal melalui supositoria. (Sweetman, 2009)

Farmakokinetik

Setelah dosis oral antalgin terhidrolisis di dalam saluran cerna menjadi

metabolit aktif 4-metil-amino-antipirin, dimana setelah diabsorpsi mengalami

metabolisme menjadi 4-formil-amino-antipirin dan metabolit-metabolit lain.

Antalgin juga secara cepat tidak terdeteksi dalam plasma setelah pemberian secara

intravena. Tidak ada metabolit antalgin yang terikat pada protein plasma.

Kebanyakan dari obat akan dieksresikan dalam urin sebagai metabolit. Metabolit-

metabolit antalgin juga didistribusikan dalam ASI. (Sweetman, 2009)

Page 5: Jurnal Analgesik - Dasar Teori

Jurnal Praktikum FarmakologiNama: Raymond H. M.NRP: 2443011185Golongan: T

Efek Samping dan Peringatan

Penggunaan antalgin dikaitkan dengan peningkatan resiko agranulositosis

dan syok. (Sweetman, 2009)

2. METODE PENGUJIAN AKTIVITAS

a. Mouse Writhing Assay

Larutan obat diberikan secara subkutan 30 menit sebelum pemberian

injeksi asam asetat (0.6%, v/v dalam saline, 10 ml/kg). Propilen glikol 10% v/v

digunakan sebagai kontrol. Jumlah geliatan dihitung dalam waktu 15 menit.

(Chaudhari, Chaudhari, & Chavan, 2012; Jayaraman, Anitha, & Joshi, 2010; Sini,

Karpakavalli, & Sangeetha, 2010)

b. Tail-Immersion Test

Tikus-tikus dibagi dalam enam kelompok masing-masing berisi lima

hewan. Lima cm ujung dari ekor direndam dalam beaker berisi air yang dijaga

suhunya pada 55±0.5°C. Waktu (dalam detik) dimana ekor tikus ditarik, dicatat,

dengan waktu cut-off diatur pada 10 detik. Waktu reaksi diukur 1 jam sebelum

dan 1 jam sesudah pemberian oral propilen glikol 10% v/v (10 mL/kg). Obat

diberikan secara subkutan, 30 menit sebelum uji. (Jayaraman et al., 2010; Sini et

al., 2010)

c. Formalin Test

Dua puluh mikroliter formalin 1% diinjeksikan secara subkutan pada

telapak kaki kanan depan tikus. Waktu yang dibutuhkan dalam respon menjilat

dan menggigit kaki yang diinjeksi dicatat sebagai indikator respon rasa sakit.

Respon diukur selama 5 menit setelah injeksi formalin (fase pertama) dan 15-30

menit setelah injeksi formalin (fase kedua). Obat diberikan 30 menit sebelum

injeksi formalin. Hewan kontrol diberikan propilen glikon 10% v/v (10 ml/kg).

(Sini et al., 2010)

Page 6: Jurnal Analgesik - Dasar Teori

Jurnal Praktikum FarmakologiNama: Raymond H. M.NRP: 2443011185Golongan: T

d. Eddy’s Hot Plate Method

Waktu reaksi awal semua kelompok hewan kontrol dan uji dicatat dengan

meletakkan mereka pada lempengan panas pada 55±0.5°C. Menjilat kaki atau

melompat dianggap sebagai reaksi terhadap panas. Tikus albino dibagi menjadi

delapan grup. Obat diberikan secara intraperitoneal. Kelompok pertama dijadikan

sebagai kelompok kontrol dan hanya menerima pelarut. Waktu reaksi setelah

perlakuan masing-masing hewan dicatat pada 30, 60, 90, 120, dan 180 menit.

Hewan-hewan tersebut dipindahkan dari lempeng panas segera setelah mereka

melakukan lompatan. Waktu cut-off-nya adalah 20 detik. (Chaudhari et al., 2012)

e. Light Tail Flick Test

Nosisepsi akut dinilai menggunakan tail flick apparatus. Masing-masing

hewan ditempatkan pada restrainer, 2 menit sebelum perlakuan, dan waktu reaksi

awal diukur dengan memfokuskan cahaya pada 1/3 bagian belakang ekor hewan.

Dosis yang sama dari morfin dan pelarut diberikan secara oral dan 30 menit

kemudian waktu reaksi setelah pemberian obat diukur pada interval 15 menit

hingga 12 jam. Waktu cut-off 12 detik digunakan untuk menghindari kerusakan

jaringan. MPE% (percent of maximum possible analgesic effect/ persen efek

analgesik maksimal) dihitung untuk masing-masing interval. (Hajhashemi,

Ghannadi, & Hajiloo, 2010)

Page 7: Jurnal Analgesik - Dasar Teori

Jurnal Praktikum FarmakologiNama: Raymond H. M.NRP: 2443011185Golongan: T

C. ALAT DAN BAHAN

Alat:

1. Basile Plantar Test

2. Timbangan

3. Jarum Suntik

4. Alat Suntik 1 mL

Hewan Percobaan:

1. Mencit Jantan Galur Swiss Webster (untuk metode Writhing Test)

2. Tikus jantan galur wistar (untuk metode Plantar Test)

Obat:

1. Larutan Antalgin 50%

Dosis 500 mg, 750 mg/70 kgBB

2. Larutan Kodein HCl 0,2%

Dosis 30 mg, 50 mg/70 kgBB

Page 8: Jurnal Analgesik - Dasar Teori

Jurnal Praktikum FarmakologiNama: Raymond H. M.NRP: 2443011185Golongan: T

D. PROSEDUR

1. Metode Plantar Test

Letakkan tikus dalam wadah plantar, biarkan beradaptasi selama 5 menit (terlihat tikus mulai tenang, tidak banyak bergerak).

Lakukan uji pada tikus dan catat waktu yang diperlukan sampai tikus mengangkat dan menjilat kaki depan sebagai respon. Catat sebagai respon normal atau respon

sebelum perlakuan.

Ambil tikus dari wadah plantar dan berikan obat-obat secara intraperitoneal kepada tikus lalu letakkan lagi pada wadah.

Biarkan selama 15 menit untuk memberikan mula kerja pada obat.

Lakukan uji pada tikus dan catat waktu responnya pada menit ke 15, 30, 45, 60 menit setelah pemberian obat.

Buatlah grafik dari hasil pengamatan masing-masing untuk obat A dan B.

Bandingkanlah data yang diperoleh dari kontrol negatif terhadap obat A dan B.

Page 9: Jurnal Analgesik - Dasar Teori

Jurnal Praktikum FarmakologiNama: Raymond H. M.NRP: 2443011185Golongan: T

2. Metode Writhing Test

Ambil mencit, timbang, ukur dosis berat badan.

Suntikkan larutan obat secara intraperitoneal pada mencit.

Tunggu selama 15 menit untuk memberikan mula kerja obat.

Suntikkan larutan asam asetat 0,6% secara intraperitoneal.

Hitung frekuensi geliatan pada mencit pada waktu 10, 15, 20, 45, 60 setelah pemberian asam asetat.

Buatlah grafik dari hasil pengamatan untuk obat A dan B.

Bandingkanlah data yang diperoleh dari kontrol negatif terhadap obat A dan B dan hitunglah persentase inhibisi nyeri masing-masing

obat.

Page 10: Jurnal Analgesik - Dasar Teori

Jurnal Praktikum FarmakologiNama: Raymond H. M.NRP: 2443011185Golongan: T

F. DAFTAR PUSTAKA

Anderson, P. O. (2002). Handbook of Clinical Drug Data (10th ed.). McGraw-Hill.

Chaudhari, S. S., Chaudhari, S. R., & Chavan, M. J. (2012). Analgesic, anti-inflammatory and anti-arthritic activity of Cassia uniflora Mill. Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine, 2(1), S181–S186. doi:10.1016/S2221-1691(12)60155-5

Hajhashemi, V., Ghannadi, A., & Hajiloo, M. (2010). Analgesic and Anti-inflammatory Effects of Rosa damascena Hydroalcoholic Extract and its Essential Oil in Animal Models. Iranian Journal of Pharmaceutical Research : IJPR, 9(2), 163–8. Retrieved from http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3862064&tool=pmcentrez&rendertype=abstract

Jayaraman, R., Anitha, T., & Joshi, V. D. (2010). ANALGESIC AND ANTICONVULSANT EFFECTS OF ACORUS CALAMUS ROOTS IN MICE, 2(1), 552–555.

Sini, K. R., Karpakavalli, M., & Sangeetha, P. T. (2010). Analgesic and Antipyretic Activity of Cassia occidentalis Linn, 11(10), 1216–1219.

Sweetman, S. C. (2009). Martindale, The Complete Drug Reference. (S. C. Sweetman, Ed.) (36th ed.). London: Pharmaceutical Press.

Tatro, D. S. (2003). A to Z Drug Facts.