james abrahamsz frederik ayal - eafm-indonesia.net - eafm kab. maluku... · kerjasama: fakultas...
TRANSCRIPT
Penilaian Indikator EAFMdi Kabupaten Maluku Tenggara
Oleh:
James AbrahamszFrederik W. Ayal
30 April 2015Kerjasama: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura
denganWWF-Indonesia
1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Pengelolaan perikanan dinyatakan sebagai sebuah kewajiban seperti diamanatkan oleh
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 yang ditegaskan kembali pada perbaikannya, Undang-
Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Kewajiban pengelolaan perikanan ini
didasarkan pada pengertian tentang perikanan yang dirumuskan dalam peraturan perundangan
itu, yaitu: “Semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi,
analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan
implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang
perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai
kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati”.
Hal ini membuktikan bahwa pembangunan perikanan Indonesia ditentukan oleh model
pengelolaan perikanan yang dikembangkan dalam suatu sistem yang dinamis. Oleh sebab itu,
pengelolaan sistem perikanan tidak dapat dilepaskan dari tiga dimensi yang tidak terpisahkan
satu sama lain yaitu (1) dimensi sumber daya perikanan dan ekosistemnya; (2) dimensi
pemanfaatan sumber daya perikanan untuk kepentingan sosial ekonomi masyarakat; dan (3)
dimensi kebijakan perikanan itu sendiri. Dalam konteks ini, pengelolaan perikanan yang tujuan
ultimatnya adalah memberikan manfaat sosial ekonomi yang optimal bagi masyarakat tidak
dapat dilepaskan dari dinamika ekosistem yang menjadi media hidup bagi sumber daya ikan itu
sendiri.
Dalam konteks sistem, pengelolaan perikanan menurut Charles (2001), terkait dengan dua
skala pengelolaan yakni: (1) skala waktu pengelolaan, dan (2) skala ruang pengelolaan. Kedua
skala pengelolaan ini memberikan jastifikasi tentang sangat dinamisnya pengelolaan perikanan.
Dinamika pengelolaan perikanan menyebabkan adanya kebutuhan model pengelolaan sesuai
dengan karakteristik kawasan dan sumber daya perikanan yang terdistribusi di setiap kawasan.
Dinamika yang ditunjukan dalam konteks pengelolaan perikanan tentunya akan sangat
berpengaruh terhadap berbagai pendekatan pengelolaan, terutama untuk tujuan pengelolaan
secara berkelanjutan.
Untuk menunjang keberlanjutan pengelolaan perikanan di dunia, FAO (2003) mengembangkan
konsep pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem (ecosystem approach to fisheries/
EAF), yaitu:
“An ecosystem approach to fisheries strives to balance diverse societal objectives,
by taking account of the knowledge and uncertainties about biotic, abiotic and
human components of ecosystems and their interactions and applying an
integrated approach to fisheries within ecologically meaningful boundaries”.
yang diterjemahkan sebagai:
“Suatu pendekatan yang berusaha untuk menyeimbangkan tujuan sosial yang
beragam, dengan memperhatikan pengetahuan dan ketidakpastian yang
terdapat pada sumber daya biotik, abiotik dan manusia sebagai komponen
ekosistem dan interaksi mereka dan menerapkan pendekatan yang
terintegrasi untuk perikanan di dalam batas-batas ekologis yang berarti”.
Secara sederhana EAF dapat dipahami sebagai sebuah konsep bagaimana menyeimbangkan
antara tujuan sosial ekonomi dalam pengelolaan perikanan (kesejahteraan nelayan, keadilan
pemanfaatan sumber daya ikan, dll) dengan tetap mempertimbangkan pengetahuan, informasi
dan ketidakpastian tentang komponen biotik, abiotik dan interaksi manusia dalam ekosistem
perairan melalui sebuah pengelolaan perikanan yang terpadu, komprehensif dan berkelanjutan
(KKP-RI, WWF Indonesia dan PKSPL-IPB, 2014). Lebih lanjut dikemukakan bahwa pengelolaan
perikanan saat ini masih belum mempertimbangkan keseimbangan dimensi sumber daya
perikanan dan ekosistem, dimensi pemanfaatan sumber daya perikanan untuk kepentingan
sosial ekonomi masyarakat, dan dimensi kebijakan perikanan. Kepentingan pemanfaatan untuk
kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dirasakan lebih besar dibanding dengan misalnya
kesehatan ekosistemnya. Dengan kata lain, pendekatan yang dilakukan masih parsial belum
terintegrasi dalam kerangka dinamika ekosistem yang menjadi wadah dari sumber daya ikan
sebagai target pengelolaan. Dalam konteks inilah, pendekatan terintegrasi melalui pendekatan
ekosistem terhadap pengelolaan perikanan (ecosystem approach to fisheries management,
selanjutnya disingkat EAFM) menjadi sangat penting.
Implementasi EAFM di Indonesia menggunakan pendekatan indikator yang digunakan sebagai
alat monitoring dan evaluasi mengenai sejauh mana pengelolaan perikanan sudah menerapkan
prinsip-prinsip pengelolaan berbasis ekosistem. Implementasi EAFM memerlukan perangkat
indikator yang dapat digunakan sebagai alat monitoring dan evaluasi mengenai sejauh mana
pengelolaan perikanan sudah menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan berbasis ekosistem.
Selanjutnya, dalam konteks pengelolaan perikanan sebuah indikator dikatakan sebagai sebuah
indikator yang baik apabila memenuhi beberapa unsur seperti (1) menggambarkan daya dukung
ekosistem; (2) relevan terhadap tujuan dari ko-manajemen; (3) mampu dimengerti oleh seluruh
stakeholders (4) dapat digunakan dalam kerangka monitoring dan evaluasi; (5) long-term view
dan (5) menggambarkan keterkaitan dalam sistem ko-manajemen perikanan.
Pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan pertama kali diinisiasi di Indonesia pada
tahun 2010, dengan kerjasama antara Direktorat Sumber Daya Ikan Kementerian Kelautan
dan Perikanan; Pusat Kajian Perikanan dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB), dan
WWF-Indonesia (WWF-ID). Dalam perkembangannya, EAFM diperkenalkan kepada beberapa
sekolah tinggi/ universitas yang memiliki jurusan kelautan dan perikanan, untuk kemudian
bersama-sama menjadi tim penilai performa perikanan di lokasi/ wilayah dimana institusi
mereka berada. Tim penilai ini kemudian bersama-sama dengan kelompok kecil penginisiasi
membangun kelompok kerja EAFM yang bertujuan selain melakukan penilaian EAFM di lokasi
mereka berada serta menjadi pusat pembelajaran terkait EAFM (learning center).
Pasca pelatihan penilaian Indikator EAFM pada Januari tahun 2012 di Bogor, WWF-ID
bekerjasama dengan Universitas Pattimura, untuk melakukan penilaian pengelolaan perikanan
menggunakan indikator EAFM di Kabupaten Maluku Tenggara. Hasil penilaian yang dilakukan
di Maluku Tengara ini juga menjadi salah satu komponen dalam penilaian Indikator EAFM di
WPP 714, saat itu. Setelah dua tahun hasil penilaian itu, WWF-ID berinisiatif melakukan
penilaian kembali terhadap indikator EAFM yang sebelumnya telah dinilai, dengan substansi
penilaian yang sesuai dengan Modul Penilaian Indikator untuk Pengelolaan Perikanan dengan
Pendekatan Ekosistem, versi terbaru (NWG-EAFM, Direktor SDI-KKP, 2014).
Kegiatan ini dilakukan melalui kerjasama WWF-ID dengan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Pattimura. Kerjasama ini diarahkan untuk melihat seberapa besar
perubahan yang terjadi dalam komponen yang menjadi indikator, dan diharapkan kegiatan ini
juga dapat menjadi tolok ukur pengelolaan perikanan.
Dalam waktu dua tahun berbagai langkah telah dilakukan terkait dengan upaya-upaya yang
mendukung pengelolaan perikanan di wilayah ini. Pertama pengembangan kawasan konservasi
di perairan Barat Kei Kecil (Kawasan Konservasi Perairan Kabupaten Maluku Tenggara) dengan
luas kawasan 150.000 ha merupakan salah satu aktivitas yang memberikan kontribusi yang
cukup baik dalam perbaikan pengelolaan perikanan di wilayah ini.
Kedua pengembangan sistem zonasi pada kawasan konservasi perairan tersebut di atas
menjadi dasar untuk meningkatkan pemahaman di tingkat stakeholder maupun masyarakat di
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Meningkatnya pemahaman di tingkat stakeholder
maupun masyarakat ini sangat mungkin terjadi ketika proses-proses inisiasi sampai dengan
sosialisasi tentang eksistensi dan status kawasan konservasi perairan yang dimaksud.
Ketiga perubahan orientasi pengembangan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang berbasis
pada kawasan konservasi untuk mendukung pengelolaan perikanan berkelanjutan juga
memberikan kontribusi cukup kuat dalam implementasi seluruh kebijakan perikanan di
wilayah ini. Sosialisasi tentang pemanfaatan sumber daya perikanan secara berkelanjutan
semakin meningkat, terutama dengan dukungan berbagai program pemerintah daerah
Kabupaten Maluku Tenggara maupun program-program yang diinsiasi oleh WWF-ID.
Keempat pengembangan mekanisme pengawasan di tingkat masyarakat lokal dan peningkatan
aktivitas pengawasan di wilayah pesisir dan laut, baik oleh DKP Kabupaten Maluku Tenggara
maupun yang didukung oleh PSDKP merupakan upaya-upaya untuk membangun partisipasi
masyarakat dalam mendukung pengelolaan perikanan di wilayah ini. DKP Kabupaten Maluku
Tenggara juga memfasilitasi peningkatan kapasitas masyarakat pengawas melalui program-
program bidang pengawasan, dimana langkah ini sangat dibutuhkan pada tingkat pengguna
kawasan yang paling dekat dengan lingkungan dan sumber daya di kawasan ini.
Kelima pelatihan-pelatihan bagi masyarakat tentang pengelolaan perikanan berkelanjutan dan
peningkatan pemahaman tentang kondisi ekosistem di wilayah pesisir dan laut, telah dilakukan
dalam dua sampai tiga tahun terakhir. Perubahan pola pikir akan sangat berpengaruh terhadap
bentuk dan pola pemanfaatan sumber daya dan lingkungan di wilayah pesisir dan laut.
Keenam pelatihan-pelatihan bagi stakeholder terkait pengelolaan kawasan konservasi perairan,
peningkatan pemahaman tentang kondisi ekosistem di wilayah pesisir dan laut, serta
pendalaman proses zonasi kawasan konservasi perairan merupakan upaya-upaya dalam
peningkatan kapasitas stakeholder terkait perikanan dalam mencermati persoalan dan
kerangka strategis pengembangan perikanan secara berkelanjutan.
Ketujuh upaya-upaya pengembangan program mata pencaharian alternatif merupakan langkah
strategis untuk mengantisipasi tekanan yang diberikan oleh para pengguna kawasan, terkait
dengan pemanfaatan sumber daya dan lingkungan di wilayah pesisir dan laut. Peningkatan
pemahaman tentang kegiatan ekonomi produktif yang tidak bersifat ekstraktif dan mendukung
perikanan berkelanjutan termasuk dalam target utama setiap kegiatan yang terkait dengan
mata pencaharian alternatif.
Hasil analisis terhadap perubahan yang diduga terjadi pada beberapa komponen dalam
indikator EAFM, sebagai akibat intervensi program dan kegiatan di atas, mesti diketahui oleh
seluruh stakeholder perikanan terkait di Kabupaten Maluku Tenggara. Langkah strategisnya
adalah melalui proses desiminasi yang diarahkan untuk melihat secara bersama tentang
kemajuan (atau kemunduran) pengelolaan perikanan di wilayah ini.
1.2 Tujuan dan Manfaat Studi
Kajian evaluatif terhadap indikator EAFM pada perikanan di Kabupaten Maluku Tenggara
dilakukan untuk mengimplementasi Fungsi Kunci “Melakukan Evaluasi Pengelolaan Perikanan
Dengan Pendekatan Ekosistem”, dengan tujuan sesuai fungsi utamanya, meliputi:
(1) Fungsi utama “Melakukan Penilaian Pengelolaan Perikanan Dengan Indikator EAFM”,
dengan tujuan:
a. Menyiapkan data untuk menilai kinerja pengelolaan perikanan dengan indikator EAFM;
b. Menilai kinerja pengelolaan perikanan dengan indikator pada domain sumber daya
ikan;
c. Menilai kinerja pengelolaan perikanan dengan indikator pada domain habitat;
d. Menilai kinerja pengelolaan perikanan dengan indikator pada domain teknik
penangkapan;
e. Menilai kinerja pengelolaan perikanan dengan indikator pada domain sosial;
f. Menilai kinerja pengelolaan perikanan dengan indikator pada domain ekonomi;
g. Menilai kinerja pengelolaan perikanan dengan indikator pada domain kelembagaan.
(2) Fungsi utama “Melakukan Desiminasi Laporan Evaluasi EAFM” dengan tujuan:
a. Melaporkan kesimpulan evaluasi agregat/ komposit semua domain EAFM;
b. Merekomendasikan saran tindak lanjut EAFM.
Manfaat pelaksanaan Penilaian Pengelolaan Perikanan Dengan Indikator EAFM di Kabupaten
Maluku Tenggara adalah dapat diketahuinya perubahan status pengelolaan yang terjadi dalam
waktu dua tahun terkahir. Diseminasi hasil kajian ini diharapkan dapat memperkuat
pemahaman stakeholder tentang pentingnya melakukan penilaian untuk mendukung
pengelolaan perikanan secara berkelanjutan di wilayah ini.
1.3 Keluaran
Sesuai dengan tujuan yang berbasis pada fungsi kunci dan fungsi utamanya, kajian evaluatif ini
dilakukan untuk menghasilkan beberapa luaran sebagai berikut:
(1) Laporan Penilaian Indikator EAFM di Kabupaten Maluku Tenggara;
(2) Laporan pelaksanaan workshop diseminasi hasil penilaian indikator EAFM;
(3) Adanya komitmen dari Kabupaten Maluku Tenggara untuk melanjutkan hasil penilaian
indikator EAFM
(4) Hasil penilaian EAFM menjadi dasar kajian kademik dalam mendukung pembuatan
peraturan daerah untuk pengelolaan perikanan.
2 Perkembangan Perikanan Tangkap Kabupaten Maluku Tenggara
Gambaran tentang perkembangan perikanan tangkap di Kabupaten Maluku Tenggara dalam
periode evaluasi ini tidak dapat diberikan seperti pada periode analisis sebelum dalam Tahun
2012. Hal ini disebabkan karena perubahan sistem penanganan data perikanan tangkap. Jika
pada periode sebelum, perkembangan data perikanan tangkap dapat diekstraksi untuk setiap
wilayah kecamatan, maka pada periode evaluasi ini tidak dapat dilakukan karena beberapa
faktor sebagai berikut: (1) adanya perubahan sistem penanganan dan pengolahan data akibat
perubahan staf di tingkat dinas; (2) adanya perubahan jumlah kecamatan yang tidak dapat
diantisipasi dalam penanganan dan pengolahan data; serta (3) diduga peran tenaga lapangan
dalam penanganan data semakin menurun.
Kondisi tersebut di atas menyebabkan pendekatan deskripsi dan analisis dilakukan secara
agregat. Data yang digambarkan dan diolah seluruhnya pada bagian ini, menggunakan
pendekatan data total untuk Kabupaten Maluku Tenggara.
2.1 Perkembangan Nelayan
Dalam dokumen penilaian kinerja pengelolaan perikanan tangkap di Kabupaten Maluku
Tenggara pada tahun 2012 telah disebutkan bahwa dinamika pengelolaan perikanan sangat
ditentukan oleh eksistensi sumber daya manusia pengelola. Dalam konteks sistem perikanan
berkelanjutan, komponen sistem manusia yang paling dekat dengan pengelolaan perikanan
adalah nelayan (Abrahamsz dan Manuputty, 2012). Eksistensi nelayan dalam sistem ini sering
disebut sebagai aktor utama pengelolaan perikanan.
Perkembangan jumlah nelayan di wilayah ini
ditunjukkan dengan rata-rata pertumbuhan
dari tahun 2007 sampai dengan 2014 sebesar
-1,84%. Hasil ini menunjukkan secara agregat,
terjadi penurunan jumlah nelayan sejak tahun
2007 sampai dengan 2014 sebanyak 1.570
orang. Pertumbuhan yang ditunjukkan secara
agregat ini terkait dengan perkembangan
jumlah nelayan pada tahun-tahun utama, dan
menjadi indikator dalam mencermati
perkembangannya di wilayah ini.
-2.88
-1.08
-9.11
0.12
0.04
0.02
0.01
-10.00
-8.00
-6.00
-4.00
-2.00
0.00
2.00
1 2 3 4 5 6 7
Pertumbuhan (%)
(2007-2008)
(2008-2009)
(2009-2010)
(2010-2011)
(2011-2012)
(2012-2013)
(2013-2014)
Gambar 2 Pertumbuhan nelayan di KabupatenMaluku Tenggara, Tahun 2007-2014
Pertama pada periode tahun 2009 sampai dengan 2010 terjadi penurunan yang cukup tajam,
yakni sebesar 9,11%. Pada periode ini perkembangan usaha budidaya rumput laut meningkat
cukup tajam, dan menyebabkan beralihnya usaha ekonomi produktif nelayan ke pembudidaya.
Kecenderungan ini dimulai sejak tahun 2006 dan 2007, sejak meningkatnya harga rumput laut
dan dukungan kebijakan budidaya rumput laut oleh Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara
melalui Dinas Kelautan dan Perikanannya.
Kedua pada periode tahun 2010 sampai dengan 2014 terjadi peningkatan jumlah nelayan yang
cukup lambat, berkisar antara 0,01% sampai dengan 0,12%. Pertumbuhan yang lambat ini
terjadi karena bertambahnya jumlah nelayan dari rumah tangga perikanan tangkap yang masih
mengembangkan usaha penangkapan ikan.
Jika evaluasi dilakukan untuk periode pembangunan perikanan di Kabupaten Maluku Tenggara
pada tahun 2011 sampai dengan 2014 (sesuai periode evaluasi EAFM), rata-rata pertumbuhan
nelayan sebesar 0,02% atau terjadi peningkatan jumlah nelayan sebanyak tujuh orang.
Perkembangan jumlah nelayan pada periode ini, sesuai dengan alasan kedua yang dikemukakan
di atas, dan beberapa penyebab sebagaimana ditemukan dalam hasil penelusuran data untuk
tahun 2013 dan 2014.
Pertama dinamika yang ditunjukkan melalui perkembangan jumlah nelayan juga disebabkan
karena adanya perekrutan tenaga kerja pada perikanan tangkap akibat kebijakan
pengembangan alat penangkapan ikan. Pada tahun 2013 dan 2014, dua jenis usaha perikanan
tangkap yang berkembang cukup cepat yakni perikanan bagan dan mini purse seine Kedua jenis
usaha perikanan ini memiliki kecenderungan perekrutan tenaga kerja yang cukup tinggi, untuk
usaha bagan antara empat sampai enam orang, sedangkan usaha mini purse seine antara 15 25
orang.
Kedua pada periode tahun 2013-2014, terjadi peningkatan jumlah nelayan ditunjukkan pada
usaha perikanan pancing, yang dikembangkan untuk mendukung perikanan usaha ekonomi
produktif berbasis perikanan kerapu. Sebagian nelayan pancing yang masih eksis pada
perikanan tangkap mulai meningkatkan pendapatan mereka berbasis pada perikanan kerapu.
2.2 Perkembangan Alat Penangkapan Ikan
Distribusi jumlah alat penangkapan ikan di
wilayah ini menunjukkan adanya perubahan
dari waktu ke waktu. Perubahan ditunjukkan
dengan penurunan jumlah unit alat
penangkapan ikan. Dalam periode
pembangunan kelautan dan perikanan tahun
2007 sampai dengan 2014, penurunan yang
ditunjukkan secara agregat sebesar 1,80%.
Laju penurunan ini disebabkan oleh
penurunan jumlah alat penangkapan ikan
yang bersifat tradisional, seperti alat
pengumpul kerang, alat pengumpul teripang,
jaring insang lingkar, dan jaring insang tetap, serta bubu. Kelompok-kelompok alat
penangkapan ikan ini mulai ditinggal dengan alasan dikembangkannya alat penangkapan ikan
yang lebih produktif, peningkatan pendapatan dan adanya pilihan terhadap pengembangan
produk untuk komoditas-komoditas utama seperti kerapu hidup.
Dalam periode evaluasi (tahun 2012 2014) dengan menggunakan perkembangan data dari
tahun 2011-2014, terjadi peningkatan jumlah alat penangkapan ikan sebesar 0,01%. Kontribusi
pertumbuhan positif pada periode ini disebabkan meningkatnya jumlah alat tangkap pada
tahun 2012. Pada tahun 2013 dan 2014 jumlah alat tangkap cenderung menurun, namun laju
penurunan ini masih di bawah peningkatan jumlah pada tahun 2012.
Sejauhmana pengaruhnya terhadap produksi tergambar dalam perkembangan produksi yang
disampaikan berikut ini. Hal ini sesuai dengan penurunan dan atau peningkatan jenis alat
penangkapan ikan.
2.3 Perkembangan Produksi
Perkembangan produksi perikanan tangkap pada periode analisis (2007 2014) juga
menunjukkan adanya fluktuasi produksi dari tahun ke tahun. Laju penurunan yang sangat tajam
terjadi pada periode 2007 2008 dan periode 2009 2010, masing-masing sebesar 44,64% dan
52,03%.
16,719
13,500
14,171
13,559
14,371 14,913
14,781
14,359
0
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
12,000
14,000
16,000
18,000
1 2 3 4 5 6 7 8
Alat Tangkap (unit)
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Gambar 2 Perkembangan alat penangkapanikan di Kabupaten Maluku Tenggara,Tahun 2007-2014
Pada periode tahun 2010 2011, terjadi
peningkatan sebesar 68,70% dan termasuk
peningkatan produksi yang sangat tinggi
sepanjang periode analisis ini. Tahun 2011
kegiatan perikanan tangkap mulai
berkembang lagi setelah kurang lebih tiga
tahun sebelumnya menurun akibat peralihan
perhatian pada kegiatan ekonomi produktif
untuk kegiatan perikanan budidaya.
Pada periode tahun 2011 2014, kurang ada
fluktuasi. Rata-rata pertumbuhan pada
periode ini sebesar 1,20%. Pertumbuhan
positif pada periode ini sangat dipengaruhi oleh peningkatan produksi pada tahun 2014,
padahal sejak tahun 2011 terjadi penurunan produksi yang lambat sampai dengan tahun 2013.
159,
573.
00
88,3
41.9
0
79,9
41.9
0
38,3
50.0
0
64,6
96.1
0
63,5
46.9
0
61,9
95.1
0
66,8
35.7
1
0
20,000
40,000
60,000
80,000
100,000
120,000
140,000
160,000
180,000
1 2 3 4 5 6 7 8
Produksi (ton)
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Gambar 3 Perkembangan volume produksiikan di Kabupaten Maluku Tenggara,Tahun 2007-2014
3 Evaluasi Pengelolaan Perikanan Dengan Pendekatan Ekosistem
3.1 Domain Sumber Daya Ikan
3.1.1 CPUE Baku
CPUE adalah hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan. Upaya penangkapan harus
distandardisasi sehingga bisa menangkap tren perubahan upaya penangkapan. CPUE Baku
digunakan apabila terdapat pola multi fishing gears untuk menangkap satu spesies di unit
perikanan yang dikaji. Jika CPUE Baku sulit untuk digunakan, bisa digunakan CPUE dominan.
Penentuan nilai CPUE baku dalam evaluasi pengelolaan perikanan di Kabupaten Maluku
Tenggara ini juga dilakukan melalui perhitungan nilai Fishing Power Index (FPI), sebagai
langkah awal. Perhitungan FPI berdasarkan nilai rata-rata CPUE dilakukan untuk juga dilakukan
10 jenis alat penangkapan ikan utama seperti analisis sebelumnya yang dilakukan pada tahun
2012. Sepuluh jenis alat tangkap utama yang dimaksudkan, masing-masing: sero tancap, pukat
cincin, jaring insang hanyut, bagan apung, pancing tegak, jaring insang lingkar, jaring insang
tetap, bubu, pancing ulur dan dan pancing tonda.
Perhitungan rata-rata nilai CPUE yang belum distandarisasi (bukan CPUE baku)
menggambarkan adanya variasi antar setiap jenis alat tangkap. Nilai rata-rata CPUE tertinggi
sebesar 0,7021 ton/trip per tahun (perbandingan tahun 2012 sebesar 0,7218 ton/trip per
tahun) pada alat tangkap pukat cincin mini, dan terendah pada alat tangkap bubu sebesar
0,0040 ton/trip per tahun (perbandingan tahun 2012 sebesar 0,0058 ton/trip per tahun). Hasil
ini memberikan gambaran tentang adanya pergeseran nilai CPUE untuk setiap jenis alat
penangkapan ikan di Kabupaten Maluku Tenggara.
Hasil perhitungan tersebut memberikan arahan bahwa pukat cincin mini merupakan alat
penangkapan ikan standar yang harus digunakan dalam perhitungan FPI. Sesuai dengan
distribusi rata-rata nilai CPUE tersebut, maka nilai FPI tertinggi pada pukat cincin sebesar
1,0000 dan terendah pada alat tangkap bubu sebesar 0,0057. Rincian perhitungan rata-rata
nilai CPUE dan FPI dinyatakan dalam Lampiran 1.
Hasil perhitungan rata-rata nilai CPUE dan FPI menjadi referensi untuk melakukan standarisasi
upaya tangkap. Hasil perhitungan menunjukkan distribusi nilai upaya tangkap standar yang
beragam (Lampiran 2).
-0,0008x 1,2413
0.0000
0.2000
0.4000
0.6000
0.8000
1.0000
1.2000
0 500 1000
CPUE
Upaya Standar
-0.0006x 1.1287
0.0000
0.2000
0.4000
0.6000
0.8000
1.0000
1.2000
0 500 1000
CPUE
Upaya Standar
Sesuai dengan hasil standarisasi untuk upaya tangkap, terjadi perubahan pada nilai CPUE yang
disebut sebagai CPUE Baku. Hasil perhitungan CPUE Baku dinyatakan dalam Tabel 14 dan
memberikan gambaran tentang adanya tendensi perubahan yang berkonsekuensi terjadi pada
hubungan CPUE Baku dengan upaya standar sesuai hasil perhitungan.
Hasil analisis regresi menunjukkan nilai
koefisien sebesar 1,1287 (tahun 2012:
1,2413) dan sebesar -0,8E-03
(tahun 2014: -0,6E-03). Hubungan
CPUE dan upaya standar dalam analisis
ini membentuk persamaan regresi yang
ht 1,1278 0,0006Et (tahun 21012: ht 1,2413 0,0008Et). Hubungan tersebut dapat
dinyatakan secara grafis seperti pada Gambar 9, yang menunjukkan terjadi sedikit perubahan
pada periode analisis tahun 2001 2011 (gambar “a”) ke periode analisis tahun 2001 2014
(gambar “b”).
Perubahan tersebut ditunjukkan dengan pergeseran garis ke arah atas. Artinya, laju
pertumbuhan mengarah ke arah semakin mendatar. Walaupun demikian, pola yang ditunjukkan
masih memberikan gambaran tentang adanya penurunan CPUE sepanjang peningkatan upaya
penangkapan. Jika pada periode tahun 2001-2011 terjadi penurunan dengan laju sebesar
3,08%, maka pada periode analisis tahun 2001-2014 juga terjadi penurunan dengan laju
Gambar Hasil OLS Hubungan Upaya dan CPUEStandar (a) penilaian tahun 2012; dan(b) penilaian tahun 2014
Tabel 14 Upaya dan CPUE Standar
Tahun CatchiUpaya
StandarCPUE
Standar2001 321,30 357 0,90032002 345,03 344 1,00292003 365,36 413 0,88412004 387,76 379 1,02432005 402,70 517 0,77882006 417,63 656 0,63702007 432,56 794 0,54472008 454,96 759 0,59912009 473,29 829 0,57112010 495,00 816 0,60672011 500,82 797 0,62812012 518,76 842 0,61632013 578,27 871 0,66412014 601,31 885 0,6798
(a)
(b)
sebesar 1,38%. Walaupun terjadi peningkatan pada periode tahun 2012 sampai dengan 2014,
namun secara agregat CPUE baku masih menunjukkan laju penurunan yang lambat
3.1.2 Ukuran ikan
Dalam evaluasi ini, tren ukuran yang dimaksudkan adalah perubahan ukuran panjang ikan yang
tertangkap dalam dua tahun terkahir (tahun 2013 dan 2014). Perubahan ukuran panjang ikan
ini dibandingkan dengan panjang ukuran ikan pada tahun-tahun sebelum waktu evaluasi ini.
Evaluasi terhadap indikator ini dilakukan dengan asumsi adanya data poor fisheries Dengan
demikian pengkuran dilakukan berdasarkan pada hasil interview kepada responden yang
berpengalaman dalam kegiatan perikanan, terutama untuk spesies dominan yang secara total
memiliki volume lebih dari 50% hasil tangkapan. Empat pilihan pertanyaan yang diberikan
kepada responden meliputi: (a) tren ukuran rata-rata ikan yang ditangkap semakin kecil; (b)
tren ukuran rata-rata ikan yang ditangkap relatif tetap; (c) tren ukuran rata-rata ikan yang
ditangkap semakin besar; serta (d) tidak tahu atau tidak memperhatikan tren ukuran rata-rata
ikan yang ditangkap.
Sesuai dengan empat pilihan pertanyaan yang
diberikan, terdapat pernyataan berbeda sesuai pilihan-
pilihan yang diberikan. Pertama pilihan responden
terhadap ukuran rata-rata ikan yang tertangkap
semakin kecil sebanyak 27,50%. Alasan yang diberikan
sesuai pilihan tersebut antara lain: (1) semakin
meningkatnya jumlah alat tangkap yang beroperasi,
khususnya untuk penangkapan ikan kerapu hidup
menyebabkan ukuran ikan yang tertangkap semakin
kecil; (2) adanya dugaan perubahan ukuran alat penangkapan ikan seperti pada ukuran mata
jaring untuk alat tangkap bagan; dan (3) hadirnya alat penangkapan ikan seperti mini purse
seine menyebabkan ukuran ikan yang tertangkap, baik pada jaring isang maupun bagan
semakin kecil.
Kedua pilihan responden terhadap ukuran rata-rata ikan yang tertangkap relatif sama sebanyak
62,50%. Alasan yang sama pada kajian kinerja pengelolaan perikanan tahun 2012 masih
diberikan terkait dengan pola ini, yakni: penggunaan jenis alat penangkapan ikan yang sama
sekali tidak berubah sejak mereka beraktivitas sebagai nelayan, nelayan bagan perahu, pancing
tonda, pancing tegak merupakan penyebab utama tidak berubahnya ukuran ikan. Walaupun
demikian, ada juga responden yang memberikan alasan lain, yakni: sesuai dengan target ukuran
Semakinbesar7.50%
Relatifsama
62.50%
Semakinkecil
27.50%
Tidaktahu
2.50%
ikan yang diperdagangkan, seperti pada perikanan kerapu hidup. Syarat ini menyebabkan
nelayan harus melakukan kegiatan penangkapan ikan pada lokasi yang lebih jauh untuk
menemukan ukuran ikan yang sesuai dengan permintaan perusahaan yang menampung ikan
kerapu hidup. Batasan ukuran ikan yang layak dibeli adalah yang berukuran berat lebih dari
atau sama dengan 0,5 dan/atau 0,6 ons.
Ketiga pilihan terhadap ukuran rata-rata ikan yang tertangkap semakin besar, dinyatakan oleh
7,50% responden. Pernyataan seperti ini masih ditemukan pada nelayan yang menjalankan
usaha perikanan pancing tonda dan pancing tegak. Dengan bantuan motorisasi, kelompok-
kelompok nelayan dari jenis perikanan tersebut dapat mengakses darerah penangkapan ikan
yang lebih jauh. Hal ini berkaitan dengan semakin jauhnya daerah penangkapan ikan dengan
ukuran yang lebih besar. Pandangan bahwa ukuran ikan semakin besar, diikuti dengan adanya
jarak daerah penangkapan ikan yang jauh menunjukkan adanya suatu range collaps yang
semakin meningkat. Kondisi ini belum disadari sebagai dampak dari tekanan terhadap
eksistensi sumber daya ikan.
Keempat masih ada responden yang memberikan pernyataan bahwa tidak tahu bahkan belum
memahami secara baik tentang adanya perubahan ukuran ikan yang tertangkap. Hal ini
dinyatakan oleh sekitar 2,50% responden yang umumnya menjalankan usaha perikanan
pancing tegak dan jaring insang. Alasan yang diberikan terkait dengan pilihan tersebut adalah
adanya keraguan nelayan terhadap adanya perubahan ukuran ikan hasil tangkapan. Hasil
penelusuran data menunjukkan kelompok nelayan yang memberikan pernyataan ini juga
termasuk dalam kelompok nelayan baru saja menggeluti pekerjaannya sebagai nelayan, rata-
rata usaha baru dijalankan dalam waktu tiga sampai dengan lima tahun.
Penentuan nilai pada kriteria yang diberikan sesuai dengan pilihan-pilihan responden tersebut
di atas, mengacu pada distribusi nilai tertinggi. Dalam periode evaluasi ini, pilihan terbanyak
adalah pada ukuran rata-rata ikan yang tertangkap relatif sama. Hal ini tergambar dari
tingginya pilihan responden, yakni sebesar 62,50%. Hasil tersebut memberikan dasar
penetapan kriteria yang terpilih adalah tren ukuran relatif sama
Jika hasil penilaian ini dibandingkan dengan hasil penilaian pada tahun 2012, sebanyak 57,14%
responden, maka ada indikasi peningkatan jumlah responden yang memiliki kriteria itu.
Perubahan ini diduga terjadi karena adanya pergeseran jumlah pilihan akibat distribusi jumlah
responden yang berbeda, dimana pada penilaian tahun 2012 jumlah responden yang
diwawancarai sebanyak 28 responden, sedangkan dalam periode evaluasi ini, jumlah
responden sebanyak 40 orang. Perubahan jumlah responden inilah yang turut memberikan
pergeeseran jumlah pilihan responden. Walaupun demikian, kisaran penilaiannya masih berada
dalam konteks pilihan terhadap kriteria tren ukuran relatif sama
3.1.3 Proporsi Ikan Yuwana (Juvenile yang Ditangkap
Penilaian terkait dengan indikator ini, dilakukan untuk mengetahui persentase ikan yang
ditangkap sebelum mencapai umur dewasa (maturity). Penilaian ini dilakukan dengan dua
pendekatan, yakni pendekatan wawancara dengan pertimbangan masih adanya data poor
fisheries pada perikanan tangkap di Kabupaten Maluku Tenggara, dan pengukuran spesimen
ikan yang dominan tertangkap.
Hasil interview terhadap 40 responden menunjukkan
hanya 55,00% responden yang tahu tentang adanya
penangkapan ikan yuwana. Berdasarkan hasil ini, maka
penilaian tertangkapnya ikan yuwana dilakukan pada
22 responden yang tahu. Pertama sebanyak 22,73%
responden menyatakan tertangkapnya ikan yuwana
kurang dari 30%. Pilihan ini umumnya dinyatakan oleh
nelayan yang melakukan penangkapan ikan dengan
spesies target ikan kerapu dan ikan tenggiri.
Kedua proporsi ikan yuwana yang tertangkap banyak yang dinyatakan dengan kriteria kisaran
hasil tangkapan ikan yuwana 30-60%, dinyatakan oleh 72,73% responden. Ketiga sebanyak
22,73% menyatakan proporsi ikan yuwana yang tertangkap banyak sekali yang dinyatakan
dengan kriteria kisaran hasil tangkapan ikan yuwana 60%.
Untuk membuktikan hasil wawancara yang
disampaikan itu, dilakukan juga pengukuran
terhadap spesimen ikan dari lima kelompok
jenis ikan yang dominan tertangkap, masing-
masing: layang, tembang, teri, kerapu dan
tenggiri (Tabel 15). Hasil penilaian ini
merupakan hasil perbandingan dengan ukuran
ikan yang pertama kali matang gonad atau
disebut sebagai Length of Maturity (Lm) dari
setiap kelompok jenis ikan.
30%22.73%
30 -60%
72.73%
60%4,54%
Tabel 15 Distribusi proporsi ikan yuwana
KelompokJenis Ikan
Jumlahspesimen
yang diukur(ekor)
Jumlahikan
yuwana(ekor)
Proporsiikan
yuwana(%)
Layang 100 51 51,00
Tembang 200 117 58,50
Teri 200 93 46,50
Kerapu 30 23 76,67
Tenggiri 30 0 0,00
Rata-rata proporsi ikan yuwana (%) 46,53
Hasil pengukuran menunjukkan untuk setiap jenis ikan yang
dominan tertangkap, masing-masing: (1) ikan layang sebanyak
51,0% dari 100 spesimen yang diukur, kurang dari umur
dewasa atau kurang dari 16,21 cm; (2) ikan tembang sebanyak
58,5% dari 200 spesimen yang diukur, kurang dari umur
dewasa atau kurang dari 11,95 cm; (3) ikan tenggiri sebanyak
0% dari 30 spesimen yang diukur, kurang dari umur dewasa
atau kurang dari 40-45 cm; (4) ikan teri sebanyak 46,5% dari
200 spesimen yang diukur, kurang dari umur dewasa atau
kurang dari cm; serta (5) ikan kerapu sebanyak 76,7% dari
30 spesimen yang diukur, kurang dari umur dewasa atau
kurang dari 39 cm.
Agregasi pengukuran panjang ikan yang dominan tertangkap
menghasilkan nilai rata-rata sebanyak 46,53% kurang dari
umur dewasa. Hasil ini menunjukkan distribusi nilai rata-rata
yang masih masuk dalam kriteria kisaran hasil tangkapan ikan yuwana 30-60%. Artinya jumlah
ikan yuwana yang tertangkap, khususnya pada jenis-jenis ikan yang dominan tertangkap
termasuk dalam kriteria banyak
3.1.4 Komposisi Spesies
Komposisi spesies yang dimaksudkan dalam penilaian kinerja pengelolaan perikanan adalah
spesies target yang dimanfaatkan, serta spesies non target yang dimanfaatkan dan tidak
dimanfaatkan. Penilaian ini didasarkan pada hasil wawancara terhadap responden yang
berpengalaman dalam kegiatan penangkapan ikan, dan didukung dengan hasil observasi.
Untuk membantu penilaian pada indikator ini, dipetakan distribusi spesies target dan non
target per jenis alat tangkap. Penilaian dilakukan terhadap sembilan jenis alat penangkapan
ikan utama yang digunakan nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara, meliputi: pukat cincin mini,
jaring insang hanyut, bagan perahu, pancing tegak, jaring insang lingkar, jaring insang tetap,
bubu, pancing ulur dan pancing tonda (Tabel 16).
Penilaian ini merupakan lanjutan dari proses yang dilakukan pada tahun 2012, dan ditemukan
adanya perubahan untuk beberapa jenis alat tangkap pada tahun 2014. Perubahan yang terjadi
terutama pada jumlah jenis ikan non target yang tertangkap pada setiap jenis alat penangkapan
ikan yang dominan digunakan oleh nelayan.
Tabel 16 Distribusi jenis dan jumlah jenis ikan target dan non target yang tertangkap
Alat tangkap Jenis ikan target JumlahJenis ikannon target
2012
Jenis ikannon target
2014
Jumlah2012
Jumlah2014
Nontarget2012
Nontarget2014
Pukat cincin cakalang, tongkol,layang, selar,kembung,tembang, lemuru,sunglir
--- --- 100,00 100,00
Jaring insanghanyut
kembung, julung-julung, terbang,tembang, belanak
buntaldurian --- 0 83,33 100,00
Baganperahu
layang, selar,kembung,tembang, lemuru,sunglir, teri, japuh
--- --- 0 100,00 100,00
Pancingtegak
layang, selar,kembung, kerapu,lencam, kakap,lemuru, sunglir
--- --- 0 100,00 100,00
Jaring insanglingkar
layang, selar,tembang, lemuru,japuh, belanak,sunglir
buntaldurian --- 0 87,50 100,00
Jaring insangtetap
layang, selar, ekorkuning, lencam,lemuru, sunglir
buntaldurian, --- 0 85,71 100,00
Bubu kerapu, lencam,kakap, kurisi, kepe-kepe --- 0 80,00 100,00
Pancing ulur kerapu, lencam,kakap, kuwe --- --- 100,00 100,00
Pancingtonda
tuna, cakalang,tongkol --- --- 100,00 100,00
Rata-rata 92,95 100,00
Sumber: Hasil Lapangan (2012, 2014), diolah
Jika pada penilaian tahun 2012, lima alat tangkap tidak menunjukkan adanya tangkapan spesies
non target, maka pada penilaian tahun 2014 sesuai hasil wawancara sama sekali tidak terdapat
jenis ikan non target yang tertangkap pada setiap jenis alat penangkapan ikan. Dua jenis ikan
non target yang tidak muncul lagi dalam evaluasi ini.
Faktor-faktor yang diduga menyebabkan tidak adanya kedua ikan non target antara lain: (1)
khusus untuk ikan buntal durian, observasi lapangan pada saat evaluasi ini bukan merupakan
waktu atau musim dimana ikan jenis ini hadir dalam jumlah banyak dan umumnya sudah sulit
ditemukan dalam setiap operasi penangkapan ikan; (2) ikan kepe-kepe mulai jarang ditemukan
pada alat tangkap bubu, karena jumlah bubu yang dioperasikan mulai berkurang disamping
perubahan daerah penangkapan pada perairan tubir yang lebih dalam dari biasanya juga diduga
menjadi penyebab tidak hadirnya ikan jenis ini dalam operasi penangkapan ikan.
Seluruh jenis ikan dikelompokkan sebagai
ikan target oleh nelayan didasarkan pada
pertimbangan bahwa jenis-jenis tersebut
termasuk dalam jenis-jenis ikan ekonomis
penting, dan memiliki harga jual di pasar dan
dikonsumsi oleh masyarakat, baik keluarga
nelayan maupun konsumen yang membeli di pasar.
Hasil observasi lapangan yang dilakukan untuk beberapa
jenis alat tangkap yang umum digunakan seperti mini purse
seine pancing tonda, pancing dasar, jaring insang hanyut
dan bagan, juga menunjukkan tidak hadirnya ikan non
target pada hasil tangkapan. Seluruh hasil tangkapan dapat
dimanfaatkan, baik untuk konsumsi maupun dijual
sehingga
Hasil tersebut menunjukkan terjadi peningkatan rata-rata
proporsi ikan target yang tertangkap sebanyak 92,95% pada
penilaian tahun 2012 menjadi 100,00% pada evaluasi tahun
2014. Sesuai dengan kriteria penilaian pada indikator ini maka,
hasil evaluasi ini termasuk dalam kriteria proporsi ikan
target lebih banyak
3.1.5 Range Collapse
Range collapse yang dimaksudkan range collapse sumber daya ikan yang dinyatakan dengan
pergeseran daerah penangkapan ikan yang semakin jauh. Penilaian terhadap indikator ini
masih menggunakan eksistensi data poor fisheries sehingga proses pengumpulan dilakukan
melalui wawancara terhadap nelayan yang berpengalaman. Untuk memberikan gambaran yang
lebih baik, digunakan pendekatan pemetaan partisipatif untuk beberapa jenis usaha perikanan
tangkap, seperti bagan, mini purse seine dan pancing kerapu hidup.
Penilaian awal untuk menemukenali range collaps sumber
daya ikan adalah melalui penilaian tingkat kesulitan untuk
mendapatkan hasil tangkapan sesuai target spesies yang
menjadi target penangkapkan. Hasil evaluasi menunjukkan
adanya pergeseran pada penilaian perkembangan hasilSemakinsulit
82.50%
Relatiftetap
17.50%
Semakinmudah0.00%
tangkapan. Pertama responden yang menyatakan semakin sulit untuk mendapat hasil
tangkapan yang menjadi target penangkapan sebanyak 82,50%. Hasil ini menunjukkan
peningkatan dari penilaian pada tahun 2012 sebesar 71,43%.
Kedua responden yang menyatakan relatif tetap untuk mendapat hasil tangkapan yang menjadi
target penangkapan, sebanyak 17,50%. Hasil ini menunjukkan adanya penurunan dari penilaian
pada tahun 2012, sebesar 21,43%. Ketiga responden yang menyatakan semakin sulit untuk
mendapat hasil tangkapan yang menjadi target penangkapan, sebanyak 00,00%. Artinya dalam
mencapai hasil tangkapan yang diharapkan, sesuai dengan target spesies, tidak semudah yang
didapatkan pada lima sampai dengan sepuluh tahun lalu.
Jika pada hasil penilaian tahun 2012 dapat disimpulkan bahwa ada indikasi gejala tekanan
terhadap sumber daya ikan di wilayah ini, maka pada hasil evaluasi ini (tahun 2014) dapat
diberikan gambaran bahwa upaya pencapaian target spesies yang menjadi tujuan penangkapan
terdapat kesulitan. Hal ini disebabkan karena dua faktor: (1) adanya dugaan semakin
berkurangnya ikan pada daerah penangkapan ikan yang selama ini menjadi target operasi
penangkapan; dan (2) semakin jauhnya daerah penangkapan ikan untuk menghasilkan target
spesies yang menjadi tujuan penangkapan. Kedua faktor ini jugalah yang diduga menjadi
indikator adanya tekanan terhadap target spesies yang menjadi tujuan tangkap.
Evaluasi terhadap range collaps sumber daya ikan juga dilakukan melalui penilaian indikator
aksesibilitas terhadap daerah penangkapan ikan (fishing ground). Hasil evaluasi ini juga
memberikan gambaran tentang adanya perubahan dibanding penilaian tahun 2012. Perubahan
pola pikir nelayan, diduga memberikan pengaruh terhadap penilaian dalam evaluasi ini.
Beberapa pendapat dari nelayan yang sebelumnya dinilai pada tahun 2012, memberikan
penilaian yang berbeda sehingga menunjukkan adanya pergeseran pemahaman secara makro
tentang adanya range collaps sumber daya ikan.
Evaluasi range collaps sumber daya ikan pada indikator
aksesibilitas terhadap daerah penangkapan ikan (fishing
ground menghasilkan beberapa hasil penilaian sesuai degan
kategori yang telah ditentukan. Pertama daerah penangkapan
ikan sangat jauh dinyatakan oleh 37,50% responden. Hal ini
dibuktikan dengan adanya pergeseran daerah penangkapan
ikan yang harus dijangkau dari periode sebelum tahun 2012 ke
tahun 2013 dan 2014.
Sangatjauh
37.50%
Jauh57.50%
Tetap5.00%
Kedua sebanyak 57,50% responden menyatakan bahwa daerah penangkapan ikan sangat jauh.
Hal ini dibuktikan dengan jarak tempuh yang dapat dijangkau dalam waktu antara satu
setengah sampai dengan empat jam, sebagaimana dikemukakan dalam hasil pemetaan
partisipatif.
Pernyataan pertama dan kedua lebih banyak diekspresikan oleh nelayan yang menjalankan
usaha penangkapan ikan dengan alat tangkap mini purse seine bagan, pancing tonda dan usaha
pancing ikan kerapu hidup. Ketiga jenis usaha perikanan ini merupakan kegiatan perikanan
tangkap yang memberikan kontribusi cukup tinggi terhadap produksi perikanan di wilayah
Kabupaten Maluku Tenggara. Kontribusi yang tinggi ini memberikan konsekuensi adanya
peningkatan produksi dari waktu ke waktu, sehingga tekanan pada daerah-daerah
penangkapan ikan tertentu akan semakin meningkat, dan menyebabkan semakin bertambahnya
range collaps
Ketiga responden yang menyatakan daerah penangkapan ikan tetap atau tidak berubah
sebanyak 5,00%. Pernyataan ini umumnya diberikan oleh nelayan-nelayan yang menjalankan
usaha penangkapan ikan dengan bantuan alat tangkap jaring insang, pancing tegak dan pancing
ulur, dengan kondisi armada penangkapan ikan yang hanya menggunakan mesin ketinting,
bahkan menggunakan dayung.
Ketiga hasil penilaian perspektif terhadap range collaps di atas membutuhkan justifikasi yang
kuat, sehingga pendekatan pemetaan partisipatif menjadi dasar untuk memberikan gambaran
tentang kondisi yang dinyatakan dan dipersepsikan oleh nelayan di wilayah kajian ini.
Pemetaan partisipatif dilakukan untuk tiga kelompok usaha perikanan, masing-masing:
perikanan bagan, mini purse seine dan usaha pancing kerapu hidup (Gambar 17).
Pertama daerah penangkapan ikan untuk perikanan bagan pada periode sebelum tahun 2012
terkonsentrasi di kawasan perairan Timur Kei Kecil, khususnya di perairan Selat pada wilayah
petuanan desa Sathean sampai dengan Ibra dan perairan sekitarnya. Daerah penangkapan ikan
untuk perikanan bagan bergeser sesudah tahun 2012, dengan distribusinya yang bervariasi
mulai dari bagian Tengah perairan Selat Nerong, antara Kei Kecil dan Kei Besar, sampai dengan
perairan Barat Kecamatan Kei Besar dan Kei Besar Selatan. Di sisi lain, pada musim Timur,
teridentifikasi dua pemilik bagan menempatkan alat tangkap bagan pada perairan antara Pulau
Er dan Pulau Ngodan, di bagian Barat Laut Pulau Kei Kecil.
Gam
bar1
7Pe
taPa
rtis
ipat
ifRa
nge
Colla
psSu
mbe
rDay
aIk
anKa
bupa
ten
Mal
uku
Teng
gara
,Tah
un20
14
Hasil ini membuktikan bahwa range collaps pada perikanan bagan ditunjukkan dengan
pergeseran waktu pencapaian atau aksesibilitas terhadap daerah penangkapan ikan antara satu
sampai dengan empat jam. Dalam konteks jarak secara fisik, range collaps yang digambarkan ini
mencapai jarak yang lebih jauh dengan kisaran pergeseran antara .... sampai dengan .... mil laut.
Kedua untuk perikanan mini purse seine daerah penangkapan ikan pada periode sebelum tahun
2012 tersebar di kawasan perairan Timur Pulau Dullah serta perairan Timur Kei Kecil dan Kei
Kecil Timur. Hasil evaluasi untuk periode sesudah tahun 2012 menunjukkan adanya pergeseran
daerah penangkapan ikan untuk usaha perikanan ini. Pergeseran daerah penangkapan ikan
cenderung mengelompok ke arah Selatan Selat Nerong, pada bagian Barat perairan Kecamatan
Kei Kecil Selatan Barat. Daerah penangkapan ikan untuk usaha perikanan mini purse seine tidak
terbatas pada perairan ini saja, namun meluas dan mengelompok pada perairan bagian Timur
Kecamatan Kei Besar Selatan.
Hasil pemetaan partisipatif memberikan gambaran range collaps untuk perikanan mini purse
seine bergeser cukup cepat. Dalam waktu dua sampai dengan tiga tahun, range collaps
mencapai jarak fisik antara .... sampai dengan .... mil laut Pergeseran range collaps ini
menyebabkan waktu tempuh dalam satu trip penangkapan mencapai waktu tiga sampai dengan
lima jam.
Ketiga pergeseran daerah penangkapan ikan pada perikanan kerapu hidup juga menunjukkan
adanya pergeseran range collaps Kawasan Barat perairan pulau-pulau kecil, sebelum tahun
2012 merupakan daerah penangkapan ikan kerapu yang cukup potensial. Pada periode sebelum
tahun 2012, Daerah tubir dan terumbu karang di bagian Barat perairan pulau Er merupakan
lokasi paling Utara merupakan salah satu daerah penangkapan ikan kerapu yang sering
dikunjungi. Daerah penangkapan ikan kerapu lainnya yang teridentifikasi dalam periode
penangkapan ikan sebelum tahun 2012, meliputi: daerah tubir dan terumbu karang di bagian
Barat Pulau Nai, Pulau Hoat, Pulau Lea, Pulau Tangwain dan Labulin, Pulau Warbal, Pulau Ur
dan Witir, Pulau Nuhuta dan Far, serta daerah tubir dan terumbu karang di perairan Barat Laut
dan Selatan Pulau Tanimbar Kei.
Dalam tahun 2012 sampai dengan 2014, daerah penangkapan ikan kerapu mulai bergeser ke
daerah tubir dan terumbu karang di perairan pulau-pulau kecil yang termasuk dalam wilayah
adinistrasi Kota Tual. Kawasan pulau-pulau kecil yang sering disebut sebagai kepulauan Tam
Tayando ini, sekarang menjadi lokasi alternatif penangkapan ikan kerapu hidup bagi
masyarakat nelayan di Kabupaten Maluku Tenggara, khususnya nelayan di pesisir Barat pulau
Kei Kecil. Konsentrasi daerah penangkapan ikan tidak hanya terbatas pada satu sisi perairan
kepulauan Pulau Tam Tayando, namun menyebar pada seluruh bagian perairan, khususnya di
daerah tubir dan terumbu karang.
Pergeseran yang ditunjukkan pada hasil pemetaan tentang daerah penangkapan ikan kerapu
pada periode sebelum tahun 2012 dan setelahnya, memberikan justifikasi adanya perubahan
range collaps pada perikanan kerapu. Pergeseran ini ditunjukkan melalui perubahan akses
secara fisik oleh nelayan di pesisir Barat Kei Kecil antara .... sampai dengan .... mil laut Hal ini
memberikan konsekuensi terhadap adanya perubahan waktu tempuh dalam satu trip
penangkapan, yakni mencapai waktu satu setengah sampai dengan empat jam.
Hasil penilaian melalui perspektif nelayan dan hasil pemetaan partisipatif terhadap pergeseran
daerah penangkapan ikan dalam tiga tahun terakhir memberikan gambaran tentang range
collaps rata-rata untuk kegiatan penangkapan ikan di wilayah Maluku Tenggara. Sesuai dengan
hasil penilaian ini, kisaran pergeseran daerah penangkapan ikan termasuk dalam kategori
daerah penangkapan ikan jauh, tergantung pada spesies target
3.1.6 Spesies ETP
Penilaian terhadap indikator ini didasarkan pada eksistensi spesies ETP yang tertangkap dalam
suatu kegiatan penangkapan ikan. Spesies ETP adalah kelompok-kelompok spesies ikan yang
termasuk dalam kategori Endangered, Threatened dan Protected Hal ini disesuaikan dengan
kriteria yang dibangun oleh CITES.
Pengembangan penilaian untuk indikator ini masih menggunakan pendekatan asumsi data poor
fisheries Sebagai konsekuensi dari asumsi ini, maka penilaian dilakukan berdasarkan perspektif
nelayan terhadap eksistensi spesies ETP. Hal inilah yang menyebabkan proses penilaian harus
dilakukan melalui wawancara terhadap nelayan yang berpengalaman dalam menjalankan usaha
mereka.
Hasil wawancara menunjukkan hanya dua kelompok sumber daya ikan yang meliputi empat
spesies merupakan spesies ETP. Dua kelompok sumber daya ikan yang dimaksudkan adalah:
ikan napoleon dan penyu. Jika pada kelompok ikan napoleon yang teridentifikasi hanya satu
jenis, maka pada kelompok penyu teridentifikasi tiga spesies ETP, masing-masing: penyu hijau
(Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), dan penyu belimbing (Dermochelys
coriacea).
Hasil identifikasi memberikan gambaran tentang adanya spesies ETP yang tertangkap melalui
kegiatan penangkapan ikan, namun frekuensi kehadirannya semakin kecil dibanding lima
sampai sepuluh tahun lalu. Pertama hasil tangkapan ikan, khususnya ikan napoleon sangat
sedikit dan jarang ditemukan. Sebagian besar nelayan pada perikanan kerapu mulai
menerapkan proses rilis untuk hasil tangkapan napoleon. Proses ini mulai diterapkan oleh
nelayan di pesisir Barat Kei Kecil, dalam tiga tahun terakhir. Diduga, pemahaman nelayan
tentang status ikan napoleon sebagai ikan yang dilindungi menjadi pemicu dilakukanya proses
tersebut. Hal ini juga didukung dengan adanya pengembangan kawasan konservasi di bagian
Barat Kei Kecil, sehingga proses-proses sosialisasi tentang pentingnya konservasi kawasan
maupun konservasi sumber daya ikan.
Kedua sebagian besar upaya pelepasan penyu hijau dan sisik yang tertangkap telah dilakukan
oleh nelayan di pesisir Barat Pulau Kei Kecil. Hasil tangkapan untuk kedua jenis penyu dengan
menggunakan jaring insang dasar maupun pancing dasar atau pancing tegak. Pengetahuan
tentang perlindungan kedua spesies penyu ini, semakin meningkat di kalangan nelayan karena
adanya berbagai aktivitas yang memberikan penguatan terhadap konservasi jenis sumber daya
ikan tertentu. Kegiatan-kegiatan yang dimaksud, antara lain: adanya pelatihan dan penguatan
kapasitas masyarakat yang dilakukan oleh WWF Indonesia selama empat tahun terakhir, serta
kegiatan atau aksi konservasi yang dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku Tenggara
melalui perlindungan daerah-daerah peteluran penyu dan perlindungan terhadap tukik penyu.
Ketiga penyu belimbing masih digunakan untuk kebutuhan upacara adat, namun
pemanfaatannya sangat terbatas. Untuk kepentingan upacara adat, dibutuhkan satu ekor penyu
belimbing per tahun. Di sisi lain, penangkapan penyu belimbing tidak pernah lagi dilakukan oleh
masyarakat atau nelayan di Maluku Tenggara. Hal ini ini disebabkan semakin sulitnya
menemukan spesimen penyu belimbing karena kehadirannya semakin sedikit di perairan ini,
disamping semakin sedikitnya aktivitas penangkapan ikan pada kawasan-kawasan potensial
yang menjadi feeding ground dari penyu belimbing. Bulan Oktober merupakan waktu di mana
potensi hadirnya penyu belimbing di perairan Maluku Tenggara sebagai akibat tingginya
populasi atau blooming-nya ubur-ubur. Waktu-waktu ini telah dipahami sebagai waktu-waktu
dimana kegiatan penangkapan ikan dengan jaring insang hanyut harus dikurangi.
Hasil penilaian melalui pendekatan perspektif masyarakat atau nelayan di wilayah Kabupaten
Maluku Tenggara memberikan justifikasi tentang status domain ini. Dengan perilaku yang
sering melepaskan spesies-spesies ETP tersebut di atas pada saat kegiatan penangkapan ikan,
dan meningkat pemahaman tentang pentingnya perlindungan terhadap spesies-spesies ETP,
maka dalam konteks penilaian pada indikator ini, kriteria yang terpenuhi adalah terdapat
individu ETP yang tertangkap tetapi dilepas
3.2 Domain Habitat Ekosistem
3.2.1 Kualitas Perairan
Evaluasi terhadap indikator ini dilakukan melalui penilaian pada tiga parameter, masing-
masing: (1) eksistensi limbah termasuk bahan berbahaya dan beracun (B3); (2) tingkat
kekeruhan dan padatan suspensi total; serta (3) eutrofikasi. Ketiga parameter yang dinilai ini
menjadi dasar dalam penentuan status domain kualitas perairan.
a. Limbah yang teridentifikasi
Komponen pertama dalam penilaian indikator ini adalah limbah yang teridentifikasi, baik
secara secara klinis, audio dan atau visual, contohnya limbah B3 (bahan berbahaya dan
beracun). Pendekatan untuk melakukan perbandingan kondisi perairan melalui kualitas
perairan ini, menggunakan parameter dari Keputusan Menteri Lingkungan Hidup 51 Tahun
2004 tentang Baku Mutu Air Laut Lampiran 3.
Dalam evaluasi ini, tidak dilakukan sampling terhadap tingkat ketercemaran lingkungan
perairan di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara, sehingga tidak dilakukan pengukuran secara
klinis maupun audio. Untuk menjawab kebutuhan penilaian atau evaluasi pada komponen ini,
maka penilaian dilakukan dengan pendekatan visual.
Secara umum, seluruh perairan pesisir dan laut di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara tidak
menunjukkan adanya gejala tercemar ringan sampai dengan berat. Beberapa lokasi yang diduga
memiliki tingkat ketercemaran yang sangat rendah adalah pusat-pusat aktivitas perhubungan
laut. Untuk memberikan gambaran tentang kondisi ini, lokasi-lokasi seperti pelabuhan laut
Ohoijang yang melayani bongkar muat dan distribusi orang antar pulau dikunjungi untuk
membuktikan tingkat ketercemaran secara visual. Hasil pemantauan lapangan menunjukkan
perairan sekitar pelabuhan ini tidak menunjukkan adanya indikasi tercemar minyak. Kondisi ini
sangat mungkin terjadi karena flushing di Selat Rosenberg cukup baik sehingga tidak terdapat
konsentrasi bahan cemar di kawasan ini. Hasil pantauan pada lokasi lain seperti pelabuhan laut
di desa Debut juga tidak memberikan gambaran ketercemaran perairan sekitarnya.
Hasil ini memberikan gambaran bahwa perairan Kabupaten Maluku Tenggara secara umum
berada pada kondisi tidak tercemar Sedikitnya aktivitas industri di wilayah ini, tidak
memberikan kontribusi yang berarti terhadap ketercemaran perairan. Temuan pada kegiatan
evaluasi tahun 2014 ini menunjukkan belum adanya perubahan yang berarti jika dibandingkan
dengan hasil pada tahun 2012.
b. Tingkat kekeruhan dan padatan tersuspensi total
Komponen penilaian kedua untuk kualitas perairan adalah tingkat kekeruhan dan padatan
tersuspensi total. Pengukuran dalam kegiatan evaluasi ini hanya dilakukan pada dua lokasi yang
diasumsikan mewakili dua Kecamatan, masing-masing: pada perairan Pulau Ngaf untuk
Kecamatan Kei Kecil dan perairan Dian Pulau untuk Kecamatan Kei Kecil Barat.
Hasil pengukuran tingkat kekeruhan dan padatan tersuspensi total dalam kegiatan evaluasi ini
dibandingkan dengan baku mutu air laut yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut, dengan acuan penilaian sesuai
distribusi nilai Baku Mutu Air Laut pada Lampiran II untuk Wisata bahari dan pada Lampiran III
untuk Biota Laut (Tabel ..) Hasil pengukuran ini menunjukkan adanya perbedaan yang tidak
terlalu besar antara tingkat kekeruhan dan padatan tersuspensi total pada kedua lokasi
pengamatan.
Tabel .. Distribusi tingkat kekeruhan dan padatan tersuspensi total pada perairan Kei Kecil danKei Kecil Barat
Parameter Baku MutuAir Laut
Tahun 2014 KesesuaianKriteriaKei Kecil Kei Kecil Barat
Tingkat kekeruhan (ntu)
a. Wisata Bahari 50,8 1,02 Di Bawah
Baku Mutub. Biota Laut 5
Padatan Tersuspensi Total (mg/l)
a. Wisata Bahari 20
0,08 0,98 Di BawahBaku Mutu
b. Biota Laut di Terumbu Karang 20
c. Biota Laut di Mangrove 80
d. Biota Laut di Lamun 20
Hasil pengukuran pada tabel ini menunjukkan nilai kedua parameter di perairan Kei Kecil
masih di bawah perairan Kei Kecil Barat. Kondisi ini didukung dengan distribusi lokasi perairan
Dian Pulau pada Kecamatan Kei Kecil Barat sangat dipengaruhi perairan sekitar yang cukup
didominasi oleh ekosistem mangrove yang umumnya memiliki substrat dasar pasir berlumpur.
Walaupun lokasi ini masih agak jauh dari lokasi ekosistem mangrove, namun dinamika perairan
pantai yang cukup tinggi sangat mempengaruhi distribusi partikel tersuspensi. Di sisi lain,
lokasi perairan Pulau Ngaf termasuk perairan yang memiliki tingkat kekeruhan yang sangat
rendah karena flushing di kawasan ini sangat cepat, sementara subtrat yang doniman di wilayah
ini adalah pasir dan patahan karang.
Distribusi nilai tingkat kekeruhan dan padatan tersuspensi total seperti ini masih termasuk
dalam kisaran baku mutu air laut yang sesuai dengan kriteria baku mutu air laut untuk wisata
bahari maupun biota laut. Bahkan kisaran nilai ini jauh di bawah tetapan nilai maksimum yang
ada. Dengan demikian, untuk penilaiannya sesuai kriteria yang ditetapkan yakni Kurang dari
Baku Mutu Air Laut Sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004
c. Eutrofikasi
Komponen penilaian lainnya yang terkait dengan indikator kualitas perairan adalah tingkat
eutrofikasi. Dalam penilaian ini, tingkat eutrofikasi dinilai dengan pendekatan distribusi
kandungan klorofil-a. Beberapa pendapat memberikan penjelasan bahwa tingginya distribusi
kandungan klorofil-a menunjukkan terjadinya eutrofikasi di suatu perairan.
Dalam evaluasi ini, penilaian eutrofikasi dilakukan dengan pendekatan distribusi temporal dari
kandungan klorofil-a di perairan Kabupaten Maluku Tenggara. Distribusi temporal yang
dimaksudkan adalah distribusi klorofil-a secara musiman, dengan cuplikan data pada empat
bulan yang mewakili setiap musim.
Sesuai hasil ekstraksi dari Citra MODIS, ditemukan adanya variasi distribusi kandingan klorofil-
secara musiman (Gambar 5). Pertama untuk cuplikan bulan April 2014 yang mewakili musim
Peralihan Barat ke Timur, kisaran kandungan klorofil-a antara 0,05 g/l sampai dengan 2,34
g/l. Rata-rata kandungan klorofil pada musim ini sebesar 0,10 g/l, dengan standar deviasi
sebesar 0,06 (Tabel ..) Pada musim ini, konsentrasi kandungan klorofil-a tertinggi ditemukan
pada perairan pulau sepuluh di bagian Barat Kei Kecil. Distribusi nilai ini menunjukkan bahwa
pada musim Peralihan Barat ke Timur, perairan Maluku Tenggara memiliki kandungan klorofil-
yang cukup tinggi, dibandingkan musim-musim lainnya, kecuali pada Musim Timur yang
memiliki distribusi kandungan klorofil-a yang sangat tinggi. Kondisi demikian terjadi karena
masih ada pengaruh dinamika musim Barat yang terakumulasi pada bagian perairan yang agak
tertutup di kawasan ini. Di sisi lain, kandungan klorofil-a pada kawasan perairan ini juga berasal
dari kontribusi hutan mangrove yang terdistribusi di pesisir Barat Kei Kecil.
Kedua cuplikan bulan Agustus 2014 yang mewakili musim Timur menggambarkan distribusi
kandungan klorofil-a yang mencapai nilai maksimum dari seluruh musim. Nilai minimum
kandungan klorofil pada musim ini sebesar 0,26 g/l, sedangkan nilai maksimumnya sebesar
4,00 g/l. Sesuai distribusi kandungan klorofil-a secara agregat yang dapat ditangkap melalui
cuplikan pada musim ini, nilai rata-rata kandungannya mencapai 0,80 g/l, dimana standar
deviasi untuk hasil cuplikan ini sebesar 0,41.
g/l)
Gambar 5. Distribusi kandungan klorofil-a di perairan Maluku Tenggara
Pemetaan hasil cuplikan kandungan
klorofil-a ini menunjukkan seluruh perairan
cenderung memiliki nilai yang tinggi.
Kisaran kandungan klorofil-a yang cukup
tinggi disebabkan adanya upwelling yang
selalu terjadi pada musim ini. Di samping
itu, curah hujan yang tinggi menyebabkan
adanya sumbangan unsur hara terhadap peningkatan kandungan klorofil-a di perairan.
132.3 132.5 132.7 132.9 133.1 133.3
Bujur Timur
-6.1
-5.9
-5.7
-5.5
-5.3
Buju
r T
imur
April 2014
132.3 132.5 132.7 132.9 133.1 133.3
Bujur Timur
-6.1
-5.9
-5.7
-5.5
-5.3
Lint
ang
Sela
tan
Agustus 2014
132.3 132.5 132.7 132.9 133.1 133.3
Bujur Timur
-6.1
-5.9
-5.7
-5.5
-5.3
Lint
ang
Sela
tan
November 2014
132.3 132.5 132.7 132.9 133.1 133.3
Bujur Timur
-6.1
-5.9
-5.7
-5.5
-5.3
Lint
ang
Sela
tan
Pebruari 2015
Tabel .. Distribusi nilai klorofil- secara musiman diperairan Maluku Tenggara
IndikatorNilai
Distribusi nilai musiman g/l)Apr-14 Agust-14 Nop-14 Feb-15
Min 0,05 0,26 0,06 0,08Max 2,34 4,00 0,59 0,40Rerata 0,10 0,80 0,21 0,13Std 0,06 0,41 0,08 0,03
Ketiga distribusi kandungan klorofil-a pada musim Peralihan Timur ke Barat yang diwakili oleh
cuplikan data pada bulan Nopember 2014 memiliki variasi yang cukup kecil dibanding kedua
musim lainnya, Peralihan Barat ke Timur dan musim Timur. Nilai minimum kandungan
klorofil-a sebesar 0,06 g/l, sedangkan nilai maksimum sebesar 0,59 g/l dengan rata-rata
sebesar 0,21 g/l. Standar deviasi untuk seluruh hasil cuplikan pada musim sebesar 0,08.
Distribusi kandungan klorofil-a seperti ini tidak didukung dengan adanya peningkatan
kandungannya di perairan baik akibat upwelling maupun karena sumbangan hara yang tinggi ke
perairan.
Keempat pola yang mirip dengan musim Peralihan Timur ke Barat juga ditemukan pada musim
Barat yang diwakili oleh cuplikan data pada bulan Pebruari 2015. Walaupun terindikasi pola
distribusi yang mirip, namun musim ini menunjukkan distribusi kandungan klorofil-a dengan
variasi nilai yang sangat kecil. Hal ini terbukti dari kandungan klorofil-a minimum sebesar 0,08
g/l dan maksimum hanya sebesar 0,40 g/l. Sesuai dengan distribusi secara agregat, maka
nilai rata-rata kandungan klorofil-a pada musim ini hanya sebesar 0,13 g/l, dengan standar
deviasi 0,03. Pola distribusi dengan kandungan klorofil-a yang rendah tidak didukung dengan
proses upwelling maupun sumbangan unsur hara.
Hasil analisis distribusi kandungan klorofil-a untuk setiap musim secara agregat pada perairan
Kabupaten Maluku Tenggara menunjukkan bahwa tingkat eutrofikasi di wilayah ini termasuk
rendah Tingkat eutrofikasi dalam kategori sedang, berpeluang terjadi pada musim Peralihan
Barat ke Timur dan musim Timur.
3.2.2 Status Ekosistem Lamun
Status lamun juga menjadi salah satu indikator evaluasi EAFM di Kabupaten Maluku Tenggara.
Evaluasi status lamun dilakukan melalui pendekatan dua parameter yaitu tingkat tutupan dan
keanekaragaman. Lokasi-lokasi awal yang menjadi titik penilaian EAFM Kabupaten Maluku
Tenggara pada tahun 2012, juga dijadikan sebagai lokasi sampel evaluasi status lamun di
kawasan ini. Hal ini dilakukan agar evaluasi yang dilakukan dapat menjawab kebutuhan
pengelolaan.
a. Tutupan
Hasil pengamatan dan analisis menunjukkan adanya perbedaan tutupan lamun antar lokasi
pengamatan. Walaupun demikian, secara agregat distribusi lamun di Kabupaten Maluku
Tenggara menunjukkan pola tutupan yang hampir seragam, kecuali pada beberapa jenis
tertentu. Distribusinya secara spasial pada keempat lokasi pengamatan dinyatakan dalam Tabel
9
Tabel 9. Jenis, kerapatan, frekuensi kehadiran dan persen tutupan lamun di Kecamatan Kei Kecil
No JenisJumlah Tegakan Kerapatan Frekuensi
Kehadiran Persen Tutupan
2012 2014 2012 2014 2012 2014 2012 2014
Lokasi 1: Desa Ohoililir1 Cymodocea rotundata 130 124 11,82 11,36 0,91 0,88 65 642 Thalassia hemprichii 113 115 10,27 10,45 0,91 0,93 65 653 Enhalus acoroides 72 69 6,55 6,54 0,91 0,91 75 754 Halodule pinifolia 43 41 3,91 3,63 0,09 0,06 55 545 Halophila ovalis 64 62 5,82 5,45 0,64 0,60 60 576 Halodule uninervis 107 105 9,72 9,54 0,64 0,60 65 657 Halophila minor 4 5 0,36 0,45 0,09 0,07 15 15
Rata-Rata 57,14 56,43Lokasi 2: Pulau Ngaf1. Cymodocea rotundata 468 462 18,72 18,4 0,88 0,80 65 632. Thalassia hemprichii 378 353 15,12 14 0,76 0,68 65 603. Halophila ovalis 83 81 3,32 3,2 0,28 0,28 60 584. Halodule uninervis 74 75 2,96 3 0,16 0,16 65 655. Thalassodendron ciliatum 297 281 11,88 11,2 0,4 0,37 70 66
Rata-Rata 65,00 62,4Lokasi 3: Tanjung Najun1 Halophila decipiens 43 41 4,3 4,1 0,2 0,2 45 442 Thalassia hemprichii 245 224 24,5 22,4 0,8 0,56 75 683 Enhalus acoroides 50 41 5,0 4,1 0,5 0,5 75 724 Halodule pinifolia 55 59 5,5 5,9 0,2 0,3 45 505 Halophila ovalis 77 81 7,7 8,1 0,3 0,3 55 556 Halodule uninervis 232 239 23,2 23,9 0,9 0,95 70 707 Syringodium isoetifolium 128 119 12,8 11,9 0,4 0,3 75 73
Rata-Rata 62,86 61,71Lokasi 4: Pulau Ohoiwa1. Cymodocea rotundata 344 340 20,24 34 0,88 0,86 75 742. Thalassia hemprichii 391 380 23,0 38 0,82 0,76 75 703. Enhalus acoroides 235 221 13,82 22,1 1 0,80 75 704. Halodule pinifolia 41 38 2,41 3,8 0,06 0,06 50 485. Halophila ovalis 103 101 6,06 10,1 0,47 0,47 65 656. Halodule uninervis 35 35 2,06 3,5 0,06 0,06 45 457. Syringodium isoetifolium 137 128 8,06 12,8 0,35 0,40 60 56
Rata-Rata 63,57 61,14Rata-Rata seluruh lokasi 62,14 60,42
Sumber: Laporan Penilaian EAFM 2012, Data Lapangan 2014, diolah
Pertama pengambilan sampel lamun tahun 2014 yang dilakukan pada perairan pantai Desa
Ohoililir masih menemukan sebanyak tujuh jenis lamun, meliputi E. acoroides, Halodule
uninervis, H. pinifolia, H. ovalis, H. minor, C. rotundata dan T. hemprichii Jenis-jenis yang hadir
dengan jumlah tegakan terbanyak (lebih dari 100 tegakan), masing-masing: C. rotundata
sebanyak 124 tegakan, T. hemprichii 115 tegakan dan H. uninervis 105 tegakan. Sesuai dengan
tingginya jumlah tegakan ketiga jenis itu, cukup berpengaruh terhadap tingginya tingkat
kerapatan jenis, masing-masing: 11,36 tegakan/m2 untuk C. rotundata, 10,45 tegakan/m2 pada
T. hemprichii dan H. uninervis 9,54 tegakan/m2 Hasil ini juga menunjukkan bahwa H. minor
merupakan satu-satunya jenis yang tingkat kerapatan jenis yang terendah, yakni 0,45
tegakan/m2 Sesuai dengan hasil analisis itu, maka teridentifikasi juga frekuensi kehadiran jenis
lamun yang tertinggi pada jenis T. hemprichii sebesar 0,93, sedangkan frekuensi kehadiran
terendah pada jenis H. minor dengan nilai sebesar 0,07.
Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa
E. acoroides tetap memiliki nilai tutupan yang
sangat besar yakni 75 %, sedangkan tutupan
terendah pada jenis H. minor (15%). Keberadaan
jenis E. acoroides dengan persen tutupan tertinggi
disebabkan morfologinya yang memungkinkannya
untuk memiliki persen tutupan yang besar. Sementara jenis H. minor memiliki persen tutupan
terendah karena sifat penyebarannya yang biasanya bersifat individual atau tidak
mengelompok dan distribusinya tidak merata. Secara agregat, rata-rata nilai persen tutupan
lamun di perairan ini sebesar 56,43%, yang berarti bahwa nilai persen tutupan lamun pada
tahun 2014 telah menurun hampir 1% dibandingkan tahun 2012.
Kedua pengambilan data lamun pada perairan pulau Ngaf dalam tahun 2014 ini, juga
menemukan sebanyak lima jenis lamun pada habitat yaitu jenis H. uninervis, H. ovalis, T.
ciliatum, C. rotundata dan T. hemprichii Jenis C. rotundata masih merupakan jenis dengan
jumlah tegakan paling tinggi yaitu 462 tegakan, sedangkan H. uninervis merupakan jenis lamun
dengan jumlah tegakan terendah (75 tegakan). Sebagaimana dikemukakan pada lokasi pertama,
distribusi jumlah tegakan diikuti oleh tingkat kerapatan lamun, dimana kerapatan tertinggi
pada jenis C. rotundata sebanyak 18,4 tegakan/m2
sedangkan H. uninervis dengan tingkat kerapatan
terendah, sebanyak tegakan/m2 Jenis C.
rotundata memiliki frekuensi kehadiran tertinggi
sebesar 0,80, diikuti jenis T. hemprichii sebesar
0,68, sedangkan frekuensi kehadiran terendah
pada jenis H. uninervis sebesar 0,16.
Persen tutupan lamun tertinggi pada lokasi pengamatan ini pada jenis T. ciliatum sebesar 66%.
Tipe substrat yang terdiri dari pasir dan patahan karang merupakan tipe substrat yang
disenangi oleh jenis lamun ini untuk tumbuh dan berkembang. Penyebarannya yang
berkelompok dan ditemukan dalam jumlah yang sangat banyak, menyebabkan lamun jenis ini
memiliki persen tutupan yang tinggi. Secara umum, nilai rata-rata persen tutupan lamun pada
lokasi pengamatan ini sebesar 62,4% yang berarti berkurang sekitar 2,6% dari tahun 2012.
Menurunnya tutupan lamun dalam kurun waktu evaluasi dua tahun ini belum dapat
dikemukakan sebagai adanya tekanan yang terjadi pada ekosistem ini karena hal ini bisa saja
terjadi akibat proses pengamatan lapangan pada titik yang sedikit berbeda.
Ketiga pengamatan potensi lamun di perairan pantai Tanjung Najun menunjukkan
distribusinya diwakili oleh tujuh jenis. Kondisi perairan yang agak terlindung menjadi penyebab
jenis lamun di lokasi ini lebih banyak daripada yang ditemukan di lokasi sebelumnya (Pulau
Ngaf). Padahal secara geografis, letak kedua lokasi ini cukup berdekatan. Ketujuh jenis lamun
tersebut yaitu E. acoroides, H. decipiens, H. uninervis, H. pinifolia, H. ovalis, S. isoetifolium dan T.
hemprichii Jumlah tegakan terbanyak ditemukan pada jenis H. uninervis yaitu sebanyak 239
tegakan, sedangkan jumlah tegakan terendah pada jenis H. decipiens dan E. acoroides yaitu
sebanyak 41 tegakan. Distribusi jumlah tegakan seperti ini turut memberikan pengaruh
terhadap tingkat kerapatan lamun dimana H. uninervis memiliki kerapatan tertinggi yaitu 23,9
tegakan/m2 sedangkan terendah pada jenis H. decipiens dan E. acoroides dengan kerapatan
jenis masing-masing 4,1 tegakan/m2
Frekuensi kehadiran tertinggi ternyata ditemukan
pada jenis H. uninervis dengan nilai 0,95. Hal ini
diduga masih dipengaruhi oleh kondisi substrat
perairan ini yang terdiri dari pasir dan patahan
karang yang memang merupakan preferensi dari
jenis lamun ini untuk hidup, berkembang dan
membentuk koloni tunggal. Di sisi lain, frekuensi
kehadiran lamun terendah ditemukan pada jenis H. decipiens Persen tutupan tertinggi pada
jenis S. isoetifolium sebanyak 73%, sedangkan dua jenis lainnya H. decipiens dan H. pinifolia
memiliki persen tutupan terendah. Hasil perhitungan nilai persen tutupan lamun rata-rata pada
perairan ini sebesar 61,71%.
Keempat Pulau Ohoiwa merupakan salah satu pulau yang agak unik dibandingkan lokasi-lokasi
lain yang dijadikan titik pengambilan sampel lamun. Hal ini dikarenakan pada pulau ini terjadi
tekanan antropogenik manusia cukup tinggi dan juga karena perairannya dimanfaatkan sebagai
lokasi budidaya mutiara. Sesuai hasil survey, ditemukan sebanyak tujuh jenis lamun pada lokasi
ini, masing-masing: E. acoroides, H. uninervis, H. pinifolia, H. ovalis, S. isoetifolium, C. rotundata
dan T. hemprichii Dua jenis lamun yang disebutkan terakhir merupakan jenis lamun dengan
jumlah tegakan tertinggi yaitu masing-masing 340 dan 380 tegakan. Sementara jenis H.
uninervis memiliki jumlah tegakan terendah yaitu 35 tegakan. Sesuai dengan distribusi jumlah
tegakan, nilai kerapatan lamun pada lokasi ini didominasi oleh jenis T. hemprichii dengan nilai
kerapatan 38 tegakan/m2 sementara yang terendah oleh jenis H. uninervis yaitu sebanyak 3,5
tegakan/m2
Jenis E. acoroides merupakan jenis lamun dengan
frekuensi kehadiran tertinggi ditemukan pada
walaupun dilihat dari jumlah tegakan, jenis ini
bukan merupakan jenis dengan jumlah tegakan
yang dominan. Hal ini dikarenakan jenis ini hampir
selalu ditemukan pada setiap kotak pengamatan.
Jenis substrat yang agak berlumpur, memang
menjadi lokasi yang ideal bagi lamun jenis ini. Sementara jenis H. pinifolia sekalipun merupakan
jenis lamun pioner, merupakan jenis lamun dengan frekuensi kehadiran paling rendah.
Sementara untuk persen tutupan, yang paling tinggi tetap didominasi oleh E. acoroides
sedangkan yang terendah diwakili oleh jenis H. uninervis
Hasil penilaian secara agregat pada tahun 2014 memberikan gambaran variasi yang rata-rata
persen penutupan lamun yang tidak terlalu berbeda jauh dari hasil penilaian pada tahun 2012.
Variasi secara spasial juga tidak memberikan perbedaan yang berarti antar lokasi pengamatan,
kecuali pada pesisir desa Ohoililir yang lebih rendah dibanding ketiga lokasi pengamatan
lainnya. Agregasi untuk seluruh persen penutupan menunjukkan bahwa perairan Kabupaten
Maluku Tenggara memiliki nilai tutupan lamun rata-rata sebesar 60,42%. Hasil penilaian ini
menunjukkan status lamun sesuai parameter tutupan lamun kriteria persen tutupan tinggi
karena atau 60%
b. Keanekaragaman
Penilaian keanekaragaman sebagai salah satu parameter status lamun yang dimaksudkan
adalah keanekaragaman spesies lamun yang didasarkan pada hasil perhitungan yang
menggunakan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’). Hasil perhitungan menunjukkan
distribusi nilai keanakeragaman spesies lamun di perairan ini memiliki variasi yang tidak
terlalu besar. Distribusi nilai keanakeragaman spesies lamun yang didapat dalam survey tahun
2014 ini tidak menunjukkan perbedaan yang berarti dengan hasil survey tahun 2012.
Hasil tersebut terbukti dari distribusi nilai keanekeragaman spesies lamun secara spasial untuk
keempat lokasi survey, masing-masing: Ohoilir sebesar 1,764, Pulau Ngaf 1,406, Tanjung Najun
1,726, dan Pulau Ohoiwa 1,669. Hasil ini menunjukkan distribusi nilai keanekeragaman spesies
lamun antara 1,406 sampai dengan 1,764 (Tabel 10). Kisaran nilai ini termasuk dalam kategori
sedang karena nilai H’ berada di antara satu dan tiga
Tabel 10. Distribusi nilai keanekagaraman lamun pada empat lokasi di Kecamatan Kei Kecil
No. Jenis Jumlah Tegakan Pi ln pi pi ln pi
Lokasi 1: Desa OhoililirCymodocea rotundata 124 0,238 -1,435 0,342Thalassia hemprichii 115 0,221 -1,511 0,333Enhalus acoroides 69 0,132 -2,022 0,268Halodule pinifolia 41 0,079 -2,542 0,200Halophila ovalis 62 0,119 -2,129 0,253Halodule uninervis 105 0,202 -1,602 0,323Halophila minor 0,010 -4,646 0,045
521 H’ 1,764Lokasi 2: Pulau Ngaf
Cymodocea rotundata 462 0,369 -0,997 0,368Thalassia hemprichii 353 0,282 -1,266 0,357Halophila ovalis 81 0,065 -2,738 0,177Halodule uninervis 75 0,060 -2,815 0,169Thalassodendron ciliatum 281 0,224 -1,494 0,335
1252 H’ 1,406Lokasi 3: Tanjung Najun
Halophila decipiens 41 0,051 -2,976 0,152Thalassia hemprichii 224 0,279 -1,278 0,356Enhalus acoroides 41 0,051 -2,976 0,152Halodule pinifolia 59 0,073 -2,612 0,192Halophila ovalis 81 0,101 -2,295 0,231Halodule uninervis 239 0,297 -1,213 0,361Syringodium isoetifolium 119 0,148 -1,910 0,283
804 H’ 1,726Lokasi 4: Pulau Ohoiwa
Cymodocea rotundata 340 0,274 -1,296 0,355Thalassia hemprichii 380 0,306 -1,185 0,362Enhalus acoroides 221 0,178 -1,727 0,307Halodule pinifolia 38 0,031 -3,488 0,107Halophila ovalis 101 0,081 -2,510 0,204Halodule uninervis 35 0,028 -3,570 0,101Syringodium isoetifolium 128 0,103 -2,273 0,234
1243 H’ 1,669Sumber: Data lapangan (2014), diolah
Di sisi lain, hasil wawancara dengan masyarakat menunjukkan perpesktif lain dari masyarakat
yang biasanya memiliki akses ke kawasan ini. Sebagian besar masyarakat menyatakan bahwa
keberadaan ekosistem lamun di kawasan ini berada dalam kondisi yang baik dan relatif terjaga
atau terhindar dari berbagai aktivitas destruktif. Hal ini terbukti dari pernyataan 100%
responden yang diwawancarai dan berkeyakinan bahwa kondisi ekosistem lamun sangat baik.
3.2.3 Status Ekosistem Mangrove
Sesuai dengan perubahan pada manual EAFM, telah terjadi pengurangan jumlah parameter
yang diukur terkait dengan penilaian status ekosistem mangrove. Jika pada tahun 2012
penilaian status ekosistem mangrove dilakukan melalui pengukuran pada empat parameter
(tingkat kerapatan, keanekaragaman, perkembangan luasan mangrove dan distribusi Indeks
Nilai Penting), maka dalam evaluasi di tahun 2014 ini hanya digunakan dua parameter,
persentase tutupan dan kerapatan.
a. Persentase Tutupan
Pendekatan analisis dengan sistem informasi geografis menunjukkan kawasan hutan mangrove
yang dicuplik dalam kajian ini, di Kecamatan Kei Kecil Barat, memiliki total luasan 1.576,58 ha.
Hasil analisis menunjukkan luas tutupan mangrove mencapai 935,35 ha, sehingga tingkat
tutupan mangrove hanya mencapai 59,33% (Gambar 17). Hasil pada Gambar 17 menunjukkan
bahwa kawasan mangrove yang dekat dengan pemukiman cenderung mendapat tekanan
pemanfaatan yang sangat kuat. Sebaliknya pada kawasan yang agak jauh dari pemukiman
kurang mendapat tekanan akibat pemanfaatan.
Hasil analisis menunjukkan adanya tujuh kelas
kepadatan mangrove yang terdistribusi di Kecamatan
Kei Kecil Barat (Tabel ..) Kelas tutupan yang paling
luas adalah Kelas Tutupan 7, yang menunjukkan
tingkatan tutupan paling rendah cukup mendominasi
distribusi tingkat tutupan mangrove di wilayah ini.
Sesuai dengan hasil analisis tersebut, maka tingkat
tutupan mangrove pada lokasi kajian yang dipilih ini
berada pada kisaran 50 75% Dengan demikian,
tingkatan tutupan mangrove pada Kecamatan Kei Kecil Barat termasuk dalam kategori
Tutupan Sedang Kondisi ini terjadi karena adanya tekanan akibat pemanfaatan kayu untuk
kepentingan bahan bangunan dan kayu bakar.
Tabel .. Distribusi kelas tutupanmengrove di Kecamatan KeiKecil Barat
Kelas tutupan Deskripsi HaKelas Tinggi 137,18Kelas 94,07Kelas 92,70Kelas 131,31Kelas 156,38Kelas 31,20Kelas Rendah 192,51
Luas Total 935,35
Gam
bar1
7Pe
taDi
stri
busi
Tutu
pan
Man
grov
edi
Keca
mat
anKe
iKec
ilBa
rat,
Cupl
ikan
Citr
aLa
nsat
8,ta
ngga
l8Ok
tobe
r201
4
b. Kerapatan
Pilihan lokasi survey untuk tingkat kerapatan
mangrove di wilayah kajian adalah pada
Kecamatan Kei Kecil Barat, yakni pada kawasan
hutan mangrove di Teluk Hoat-Sorbay dengan
contoh pengamatan difokuskan pada lokasi
sekitar desa Warwut. Hasil invetarisasi bebas
menemukan sebanyak tujuh jenis, masing-
masing: Sonneratia alba Rhizopora apiculata
Bruguiera gymnorrizha Rhizophora stylosa
Avicenia officinalis Exocaria agaloca dan
Aegiceras corniculatum (Tabel 12).
Hasil perhitungan terhadap tingkat kerapatan mangrove di lokasi ini menunjukkan adanya
perbedaan tingkat kerapatan antar jenis. Hasil ini memberikan gambaran jenis-jenis utama
dengan tingkat kerapatan yang tinggi adalah Sonneratia alba dan Rhizophora apiculata
sedangkan jenis-jenis dengan tingkat kerapatan paling rendah antara lain: Bruguiera
gymnorrizha Rhizophora stylosa Avicennia officinalis dan Exocaria agaloca
Sesuai dengan distribusi tingkat kerapatan seluruh jenis yang teridentifikasi, kelompok
mangrove untuk kategori pohon memiliki tingkat kerapatan sebanyak 495 pohon/ha,
sedangkan kelompok mangrove untuk kategori sapihan sebanyak 282 pohon/ha. Perbandingan
kedua kelompok mangrove ini memberikan gambaran bahwa walaupun kelompok dengan
kategori sapihan memiliki tingkat kerapatan rata-rata per jenis mencapai 94 pohon/ha, lebih
banyak dibandingkan dengan kelompok dengan kategori pohon dengan rata-rata 83 pohon/ha.
Kondisi ini sesuai dengan distribusi jumlah individu kelompok sapihan lebih banyak
dibandingkan dengan kelompok pohon.
Secara agregat, tingkat kerapatan pada lokasi contoh menunjukkan tingkat kerapatan yang
tidak terlalu tinggi. Hal ini terbukti dari tingkat kerapatan yang hanya mencapai 777
tegakan/ha. Jika hasil analisis tingkat kerapatan ini dibandingkan dengan kriteria penilaian
dalam keriteria EAFM, maka distribusi nilainya termasuk dalam kriteria tingkat Kerapatan
Rendah karena berada dalam kisaran <1000 pohon/ha
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa tingkat kerapatan rendah pada lokasi contoh ini
sangat dipengaruhi oleh adanya pemanfaatan kayu mangrove oleh masyarakat di sekitar lokasi
Tabel 12 Tingkat Kerapatan Mangrove diKecamatan Kei Kecil Barat
No Jenis Mangrove Kerapatan(pohon/ha)
Kategori pohon:Sonneratia alba 235Rhizophora apiculata 161Bruguiera gymnorrizha 30Rhizophora stylosa 19Avicennia officinalis 21Exocaria agaloca 29
Kategori sapihan:Sonneratia alba 93Rhizophora apiculata 81Aegiceras corniculatum 108
Total 777
ini. Rata-rata pemanfaatan kayu mangrove dilakukan
dengan tujuan untuk mengakomodasi kebutuhan bahan
bangunan dan memenuhi kebutuhan kayu bakar. Kondisi
demikian menunjukkan adanya kebutuhan untuk
pengendalian melalui pengembangan pola-pola
pengelolaan yang berkelanjutan, dan mengakomodasi
kepentingan ekonomi masyarakatnya.
Untuk mendukung peningkatan luasan dan tingkat
kerapatan mangrove sebagai langkah strategis penerapan
pengelolaan berkelanjutan di wilayah ini, telah dilakukan
upaya penanaman mangrove melalui pengembangan
Rehabilitasi Hutan Mangrove pada lokasi Ohoi Dian Darat,
Kecamatan Kei Kecil. Program ini dikembangkan oleh Dinas Perkebunan dan Kehutanan
Kabupaten Maluku Tenggara pada Tahun 2013.
Dalam program ini, dilakukan penanaman mangrove dari kelompok genus Rhizopora dengan
jarak tanam 1m 3m. Program ini dibiayai dengan anggaran Balai Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai Batu Merah Tahun 2013.
3.2.4 Status Terumbu Karang
Dalam penilaian status terumbu karang ditetapkan dua indikator, meliputi: persentase tutupan
karang keras hidup (live hard coral cover dan keanekaragaman karang hidup yang didasarkan
atas live form Penilaian ini dilakukan berdasarkan hasil survey kesehatan terumbu karang di
perairan Kei Kecil bagian Barat oleh WWF Indonesia sebagaimana dilaporkan oleh Syukur dkk
(2014).
a. Persentase Tutupan
Syukur dkk (2014) melaporkan kondisi
kesehatan terumbu karang di perairan Kei
Kecil bagian Barat relatif beragam antar
lokasi pengamatan. Sesuai hasil pengamatan
pada 15 lokasi, distribusi tutupan karang
keras terendah di perairan sekitar Madwear
dan Pulau Witir, dengan tingkat tutupan
0,67%. Lain halnya dengan lokasi perairan
sekitar Pulau Liek dengan tutupan tertinggi
74,00% (Tabel 13).
Jika dilakukan pengelompokkan secara
spasial, maka lokasi-lokasi dengan perairan
yang memiliki tingkat tutupan karang keras
terendah (<25%), meliputi: Madwear, Pulau
Warbal, Pulau Witir, dan Somlain. Kondisi
yang menyebabkan pola tutupan karang seperti ini sangat dipengaruhi oleh berbagai hal.
Lokasi-lokasi dimana perairannya memiliki tingkat tutupan karang sedang 25 50%),
masing-masing: Ohoi Ngilngof, Pulau Ohoieu, dan Ur Pulau. Di sisi lain, lokasi-lokasi dengan
perairannya yang memiliki tingkat tutupan karang keras tinggi 50%), meliputi: Ohoi
Lairngangas, Pulau Hoat, Pulau Lea, Pulau Liek, Pulau Ngaf, Pulau Ohoitir, dan Pulau Ohoiwa.
Sesuai laporan Syukur dkk. (2014), persentase karang keras lebih tinggi dibandingkan dengan
kategori yang lainnya dan termasuk dalam kondisi sedang. Tingginya persentase karang keras
juga diimbangi dengan adanya karang mati sebesar 21,38%. Selain banyak ditemukan karang
keras dan karang mati, di beberapa stasiun juga ditemukan karang lunak yang cukup tinggi
bahkan hampir tidak ditemukan karang keras. Tingginya tutupan karang lunak pada beberapa
stasiun juga didukung dengan substrat dasar yang berupa batuan datar atau biasa masyarakat
Tabel 13 Distribusi tutupan karang keras pada15 stasiun pengamatan di perairanKei Kecil bagian Barat
StasiunPengamatan
Tutupan KarangKeras (%) Status
Madwear 0,67 rendahOhoi Lairngangas 55,33 tinggiOhoi Ngilngof 43,33 sedangPulau Hoat 56,00 tinggiPulau Lea 61,00 tinggiPulau Liek 74,00 tinggiPulau Manir 2,00 rendahPulau Ngaf 56,00 tinggiPulau Ohoieu 49,67 sedangPulau Ohoitir 64,67 tinggiPulau Ohoiwa 69,33 tinggiPulau Warbal 1,00 rendahPulau Witir 0,67 rendahSomlain 24,00 rendahUr Pulau 29,33 sedangMin 0,67 rendahMax 74,00 tinggiRata-Rata 39,13 SEDANG
Sumber Syukur dkk (2014), diolah
Kepulauan Kei menyebutnya sebagai batu papan, hal itu yang menyebabkan persentase abiotik
tidak berbeda jauh dari karang lunak. Hanya satu stasiun saja yang memiliki komposisi yang
lengkap dari kedelapan kategori tersebut yaitu di Pulau Manir. Kategori yang muncul di semua
stasiun hanya pada kategori karang keras dan spons, itu menandakan bahwa di semua stasiun
pengamatan masih dapat ditemukannya karang keras dan spons walaupun jumlahnya sedikit.
Bentuk pertumbuhan karang keras yang ditemukan saat pengambilan data cukup beragam
dengan jumlah bentuk pertumbuhan 10 jenis. Berdasarkan hasil rata-rata bentuk pertumbuhan
di Perairan Kei Kecil Bagian Barat yang paling dominan adalah pertumbuhan Acropora
branching atau Acropora bercabang dengan jumlah 28,95%. Pertumbuhan lainnya yang ditemui
yaitu Coral Encrusting (mengerak) Coral Branching (bercabang) Coral Massive (padat) Coral
Foliose (lembaran) Acropora Encrusting (Acropora merayap) Coral Mushroom (jamur)
Acropora Tabulate (Acropora meja) Coral Submassive (submasif) dan Coral Millepora (karang
api), dan kelompok yang paling sedikit ditemui adalah karang api yang hanya mencapai 0,27%.
Genera yang ditemui pada daerah ini sedikitnya mencapai 55 genera karang keras. Sembilan
genera tertinggi dapat dilihat pada gambar diagram batang di atas. Genus Acropora adalah
genus yang sangat mendominasi diantara genus yang lain, sebesar 36%. Kedua yaitu genus
Porites memiliki persentase sebesar 19,93%, sedangkan genera yang lainnya tersebar cukup
merata. Stasiun Ohoi Lairngangas merupakan stasiun dimana ditemukannya genus karang
terbanyak, yakni sebanyak 32 genera. Jumlah genera pada perairan Ohoi Ngilngof tidak beda
jauh, sebanyak 31 genera. Jumlah genera paling sedikit ditemukan pada stasiun Pulau Witir
yakni sebanyak dua genera karang keras.
Sesuai hasil survey itu, maka rata-rata tutupan karang keras hidup pada perairan Maluku
Tenggara yang diwakili oleh wilayah contoh yang disurvey, perairan Kei Kecil Bagian Barat,
hanya mencapai 39,13% Hasil ini menunjukkan distribusi tutupan terumbu karang yang
ditunjukkan dengan tutupan karang keras hidup termasuk dalam kriteria sedang
Hasil survey yang dilaporkan Syukur dkk (2014) juga memberikan gambaran tentang adanya
pembentukan variasi kondisi tutupan karang keras antar lokasi, antara lain: (1) dominannya
karang keras pada beberapa lokasi didukung oleh pola tumbuh Acropora bercabang dan
lembaran dengan tingkat tutupan yang cukup tinggi; (2) morfologi dasar yang turut
berkontribusi terhadap pola sebaran, dimana pada lokasi yang landai dengan tingkat tekanan
yang rendah memberikan kesempatan yang baik bagi pertumbuhan karang keras, demikian
juga lokasi-lokasi dengan kecenderungan distribusi tutupan karang keras yang tinggi di daerah
tubir (slope yang kurang mendapat tekanan pemanfaatan yang merusak; (3) lokasi-lokasi yang
mendapat tekanan yang tinggi akibat pemanfaatan bahan peledak untuk pemanfaatan ikan
karang; serta (4) lokasi-lokasi yang menunjukkan adanya pemutihan karang walaupun
persentasenya kecil, namun ditemukan pada 10 lokasi survey.
b. Keanekaragaman
Penilaian status ekosistem terumbu karang dengan pendekatan keanekaragaman tidak dapat
dilakukan dalam evaluasi ini. Penelusuran data sekunder tentang nilai keanekaragaman
terumbu karang di wilayah ini, dalam periode tahun 2012 sampai dengan 2014 tidak ditemukan
untuk mendukung penilaian ini.
3.2.5 Habitat Unik/Khusus
Hal-hal yang terkait dengan habitat unik/khusus meliputi: luasan, waktu, siklus, distribusi, dan
kesuburan perairan, spawning ground nursery ground feeding ground upwelling dan nesting
beach Dua indikator yang dinilai dalam evaluasi ini meliputi spawning ground dan upwelling
Pertama penilaian terhadap habitat unit/khusus untuk indikator daerah pemijahan ikan
didasarkan pada hasil identifikasi terhadap spawning ground yang dilakukan melalui survey
SPAGs (Spawning Aggregations yang dilakukan WWF Indonesia di perairan Kei Kecil bagian
Barat. Hasil survey menunjukkan bahwa sebanyak lima titik yang teridentifikasi sebagai lokasi
SPAGs, dan seluruhnya terkonsentrasi pada kawasan terumbu karang daerah tubir di bagian
Barat Pulau Lea dan Hoat (Gambar 18). Sesuai dengan hasil ini, diduga daerah tubir pada bagian
terluar terumbu karang di perairan Kei Kecil bagian Barat merupakan lokasi-lokasi potensial
SPAGs, namun demikian hal ini masih harus dibuktikan melalui survey secara reguler.
Kedua penilaian indikator upwelling yang dilakukan melalui kajian terhadap pola distribusi
suhu, memberikan gambaran tentang adanya lokasi-lokasi potensial upwelling yang umumnya
terkonsentrasi pada busur dalam Laut Banda, mulai dari perairan Selatan Sersam Timur sampai
dengan perairan Barat Kei Kecil. Bagian Timur Laut Banda yang terletak pada busur dalam
Banda seperti perairan Barat Kei Kecil merupakan lokasi efektif dimana terjadi upwelling
Kondisi topografi perairan yang relatif dangkal dengan pulau-pulau kecil yang berada pada
kawasan ini, saat bertiup angin Muson Tenggara, arus permukaan bergerak ke arah Barat dan
menyebabkan massa air permukaan berkurang. Kurangnya massa air permukaan menyebabkan
massa air laut dalam terangkat ke permukaan. Sebaran rerata mingguan suhu permukaan di
perairan sekitar busur Banda menunjukkan bahwa upwelling lebih intensif terjadi pada Minggu
III dan IV (Gambar 19).
Gam
bar1
8Pe
taDi
stri
busi
Loka
siSP
AGsd
iPer
aira
nBa
ratK
eciK
ecil
(Sum
ber:
WW
F-ID
,Tah
un20
14)
Gambar 19 Lokasi-lokasi upwelling (indikasi sebaran rerata suhu permukaan
laut mingguan periode 28 Juli September 2014
Penilaian terhadap kedua indikator habitat unit ini memberikan gambaran tentang posisi
strategis perairan Kabupaten Maluku Tenggara dalam mendukung kekayaan perairan, demikian
juga dapat berimplikasi pada upaya-upaya pengembangan kawasan konservasi. Informasi dan
pengetahuan tentang kedua habitat unik/khusus ini masih belum mendapat perhatian secara
khusus terkait pengelolaannya, walaupun sebenarnya telah dilakukan penetapan zona sesuai
sistem zonasi dalam dokumen Rencana Zonasi Kawasan Konservasi, terutama untuk lokasi-
22.18
24.18
26.18
28.18
30.18
32.18
130.5 131.0 131.5 132.0 132.5 133.0
Bujur Timur
-7.0
-6.5
-6.0
-5.5
-5.0
-4.5
-4.0
-3.5
13-20 Agustus 2014
Lint
ang
Sela
tan
Lint
ang
Sela
tan
lokasi SPAGs. Demikian halnya dengan kawasan-kawasan yang berpotensi terjadi upwelling di
perairan ini juga belum terakomodasi dalam suatu sistem pengelolaan yang akomodatif.
Hasil penilaian untuk indikator ini secara menyeluruh menunjukkan beberapa habitat unik/
khusus telah diketahui dengan baik, namun belum mendapat perhatian melalui suatu sistem
pengelolaan yang komprehensif. Dengan demikian, hasil penilaiannya masih berada pada
kriteria diketahui adanya Habitat Unik/Khusus tapi tidak dikelola dengan baik
3.2.6 Dampak Perubahan Iklim Terhadap Kondisi Perairan dan Habitat
Kajian terhadap indikator ini dilakukan untuk mengetahui dampak perubahan iklim terhadap
kondisi perairan dan habitat. Dua pendekatan yang digunakan dalam penilaian indikator ini
meliputi: (1) state of knowledge level yang menunjukkan kajian tentang dampak perubahan
iklim; dan (2) state of impact dengan key indicator menggunakan terumbu karang.
a. State of Knowledge Level
Penelusuran terhadap berbagai kajian terkait dengan kondisi perairan dan habitat sebagai
dampak dari perubahan iklim, khususnya dampak terhadap terumbu karang, menemukan
adanya satu kajian yang menjelaskan hal-hal terkait. Satu-satunya kajian yang didapat dalam
penelusuran itu adalah kajian yang dihasilkan melalui Survei Kesehatan Terumbu Karang di
Kawasan Konservasi Perairan Kei Kecil Barat oleh WWF Indonesia Tahun 2014 sebagaimana
dilaporkan oleh Syukur dkk (2014).
Sesuai hasil survei itu, telah diketahui adanya dampak perubahan iklim yang dinyatakan melalui
adanya suatu gejala coral bleaching Secara visual juga telah tergambar adanya gejala dampak
perubahan iklim terhadap naiknya muka air laut dan diduga berdampak pada semakin
sempitnya luasan pantai pada beberapa pulau kecil di kawasan Barat Kei Kecil. Walaupun
demikian, upaya-upaya dalam rangka menerapkan strategi adaptasi dan mitigasi secara
komprehensif belum dilakukan dengan baik.
Hasil inilah yang memberikan gambaran bahwa sudah ada kajian tahun 2014, namun belum ada
penerapan strategi adaptasi dan mitigasi secara komprehensif. Dengan demikian, hasil
penilaian ini memberikan gambaran bahwa dalam konteks state of knowledge level diketahui
adanya dampak perubahan iklim tapi tidak diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi
b. State of Impact
State of impact yang dimaksudkan adalah status dampak perubahan iklim yang didasarkan pada
hasil penilaian dampak dengan indikator kunci terumbu karang. Dampak perubahan iklim
terhadap kondisi perairan dan habitat yang dinilai dengan indikator kunci terumbu karang
menggunakan kriteria tingkatan tutupan karang yang memutih atau coral bleaching
Hasil survey kesehatan terumbu karang yang
dilaporkan Syukur, dkk., (2014) menunjukkan
rata-rata coral bleaching untuk seluruh lokasi
pengamatan mencapai 0,91%. Distribusi nilai
rata-rata ini terbentuk karena distribusi coral
bleaching antara 0,00 4,33% (Tabel 14).
Lokasi-lokasi dengan tingkat coral bleaching
0,00% meliputi Madwear, Pulau Liek, Warbal,
Witir, dan Somlain. Hasil ini menggambarkan
habitat terumbu karang pada kelima lokasi
sama sekali belum mengalami dampak
perubahan iklim.
Habitat terumbu karang pada lokasi-lokasi
lainnya telah mengalami dampak perubahan
iklim, dengan tingkatan dampak yang masih
rendah. Walaupun demikian, lokasi habitat terumbu karang yang harus mendapat perhatian
yang serius berada perairan sekitar Pulau Hoat. Tingkatan coral belaching sebesar 4,33%
merupakan kondisi serius dimana pengelolaan terumbu karang di wilayah ini penting
dilakukan. Strategi adaptasi dan mitigasi menjadi perhatian semua pihak terkait pengelolaan
ekosistem terumbu karang khusus maupun pengelolaan kawasan konservasi secara umum.
Secara agregat, hasil survey itu menunjukkan bahwa pada beberapa lokasi memang ditemukan
coral bleaching namun masih terjadi secara patchy dan masih sangat sedikit dengan kisaran
tingkatan coral bleaching 5% Hasil ini membuktikan bahwa habitat terumbu karang yang
terkena dampak perubahan iklim dengan indikator penilaian coral bleaching, masih termasuk
dalam kategori rendah
Tabel 14 Distribusi lokasi coral bleaching pada15 stasiun pengamatan di perairanKei Kecil bagian Barat
StasiunPengamatan
Coral Bleaching(%) Status
Madwear 0,00 rendahOhoi Lairngangas 0,67 rendah Ohoi Ngilngof 2,00 rendah Pulau Hoat 4,33 rendah Pulau Lea 0,33 rendah Pulau Liek 0,00 rendah Pulau Manir 0,67 rendah Pulau Ngaf 2,33 rendah Pulau Ohoieu 1,33 rendah Pulau Ohoitir 0,67 rendah Pulau Ohoiwa 0,67 rendah Pulau Warbal 0,00 rendah Pulau Witir 0,00 rendah Somlain 0,00 rendah Ur Pulau 0,67 rendah Min 0,00 rendahMax 4,33 rendahRata-Rata 0,91 RENDAH
Sumber Syukur dkk (2014), diolah
3.3 Domain Teknologi Penangkapan Ikan
3.3.1 Metode Penangkapan Ikan yang Bersifat Destruktif
Metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dikaji berdasarkan hasil identifikasi
terhadap penggunaan alat dan metode penangkapan merusak dan atau tidak sesuai dengan
peraturan yang berlaku. Identifikasi yang dilakukan untuk indikator ini mengacu pada data
yang dikumpulkan oleh Bidang Pengawasan dan Konservasi Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Maluku Tenggara, tahun 2012 sampai dengan 2014 (Tabel 14).
Tabel 14 Distribusi lokasi penangkapan ikan destruktif menurut metode penangkapan danproses penanganannya di Kabupaten Maluku Tenggara, Tahun 2012-2014
Tahun Lokasi Posisi Metode Proses Penanganan2012 Perairan Pulau Ngaf 5037'13"
132035'57"Bore Racun Ikandan Bom Ikan
Pembinaan dan Penyitaan BarangBukti
2012 Perairan Teluk SorbaiOhoililir
5038'06"132037'51"
Bom Ikan Terima Laporan dari Kepala Desa danmelakukan “Cross Check” di lapanganserta tindakan penertiban.
2012 Perairan Pulau Nai 5042'29"132033'30"
PembantaianPenyu Hijau hasiltangkapan diPantai Berpasir
Terima Laporan dari PokmaswasVatleroa dan melakukan “Cross Check”di lapangan serta tindakan penertiban.
2013 Perairan Pulau Nai 5043'04"132032'44"
Bom Ikan Terima Laporan dari PokmaswasNuhuvut dan melakukan “CrossCheck” di lapangan serta tindakanpenertiban.
2013 Perairan Pulau Hoat 5043'40"132033'49"
Pengambilan TukikPenyu Hijau
Terima Laporan dari PokmaswasNuhuvut dan melakukan “CrossCheck” di lapangan dan tindakanpenertiban, pembinaan diikuti prosespenebaran 200 tukik penyu hijau
2013 Perairan Ur Pulau 5050'10"132031'45"
Bom Ikan Terima Laporan dari Kepala Desa danmelakukan “Cross Check” di lapanganserta tindakan penertiban.
2013 Perairan PulauWarbal
5050'03"132034'33"
Bom Ikan Terima Laporan dari Pokmaswas BaulBal dan melakukan “Cross Check” dilapangan serta tindakan penertiban.
2014 Perairan PulauNuhuta
5053'08"132027'48"
Bom Ikan Terima Laporan dari PokmaswasMasbait dan melakukan “Cross Check”di lapangan serta tindakan penertiban.
2014 Perairan PulauNuhuta
5053'11"132027'40"
Bom Ikan Terima Laporan dari PokmaswasMasbait dan melakukan “Cross Check”di lapangan serta tindakan penertiban.
2014 Perairan PulauNuhuta
5053'20"132027'48"
Bom Ikan Penangkapan Pelaku Pemboman Ikanbeserta Alat Bukti oleh Masyarakatdan Pokmaswas Masbait selanjutdilakukan penindakan sesuaiperaturan yang berlaku.
Sumber: Bidang Pengawasan dan Konservasi, DKP Maluku Tenggara (2014)
Hasil identifikasi sesuai Data Bidang Pengawasan dan Konservasi DKP Maluku Tenggara,
memberikan beberapa gambaran yang penting untuk diungkap terkait dengan pengelolaan
perikanan dengan pendekatan ekosistem di Kabupaten Maluku Tenggara. Pertama lokasi-lokasi
yang umum ditemukan adanya pelanggaran penangkapan ikan yang destruktif, antara lain:
perairan Pulau Ngaf, Teluk Sorbai Ohoililir, pulau Nai, Pulau Hoat, Ur Pulau, Pulau Warbal, dan
Pulau Nuhuta. Sesuai data yang ada, perairan yang paling sering mendapat tekanan adalah
perairan Pulau Nai dan Pulau Nuhuta. Intensifnya pelanggaran pada kedua lokasi ini disebabkan
karena tidaknya adanya penduduk di pulau atau pilihan lokasi yang agak jauh dari lokasi
pemukiman, khususnya di Pulau Nai.
Kedua frekuensi pelanggaran secara tahunan ditunjukkan dengan intesitas pelanggaran yang
terjadi sebanyak tiga sampai empat kali dalam setahun. Dalam tahun 2012 teridentifikasi tiga
pelanggaran, pada tahun 2013 pelanggaran sebanyak empat kali, sedangkan dalam tahun 2014
pelanggaran sebanyak tiga kali.
Ketiga metode penangkapan ikan yang destruktif yang teridentifikasi terkonsentrasi pada
empat hal, masing-masing: penangkapan ikan dengan obat bius (bore), penangkapan ikan
menggunakan bahan peledak (bom ikan), pembantaian penyu khususnya penyu hijau, dan
pengambilan tukik penyu. Penggunaan bahan peledak atau bom ikan merupakan metode yang
paling sering ditemukan dalam operasi pengawasan terhadap aktivitas-aktivitas penangkapan
ikan yang destruktif di Kabupaten Maluku Tenggara.
Keempat beberapa mekanisme penanganan
persoalan penangkapan ikan destruktif
teridentifikasi dengan baik sesuai proses
yang dilakukan selama tiga tahun (2012
2014). Seluruh proses penanganan
terkelompokkan dalam dua tingkatan
inisiatif, masing-masing: (1) inisiatif DKP
Kabupaten Maluku Tenggara yang
melakukan pengawasan secara reguler; dan
(2) inisiatif masyarakat ohoi melalui
pelaporan kepala ohoi dan kelompok
masyarakat pengawas kepada DKP Kabupaten Maluku Tenggara serta tindakan langsung yang
dilakukan melalui penerapan peraturan ohoi.
Pada tingkatan inisiatif DKP Kabupaten Maluku Tenggara, pengawasan dilakukan secara reguler
dan sangat tergantung pada ketersediaan biaya pengawasan. Pada tingkatan ini, dilakukan
kunjungan lapangan, dan jika ditemukan adanya kegiatan penangkapan ikan yang destruktif,
akan dilakukan penyitaan barang bukti, yang diikuti dengan proses pembinaan. Tingkatan
inisiatif ini dianggap berbagai kalangan, kurang memiliki nilai efektivitas dalam suatu proses
pengawasan.
Di sisi lain, pada tingkatan inisiatif masyarakat ohoi, integrasi dengan DKP Kabupaten Maluku
Tenggara terjadi ketika adanya pelaporan Kepala ohoi atau Pokmaswas. Pasca pelaporan ini,
pengecekan lapangan dilakukan langsung oleh DKP Kabupaten Maluku Tenggara bersama
masyarakat ohoi, terutama dari pokmaswas. Pada proses pengawasan ini, umunya dilakukan
penertiban terhadap para pelaku. Tindakan langsung yang dilakukan oleh masyarakat ohoi
merupakan proses lain yang biasanya dilakukan oleh beberapa ohoi yang telah memiliki aturan
di tingkat ohoi. Tindakan langsung yang dimaksudkan adalah penangkapan pelaku perikanan
destruktif dan penyitaan barang bukti. Pada beberapa ohoi, tindakan hukum dilakukan dengan
menerapkan aturan-aturan yang dikembangkan di tingkat ohoi.
Salah satu tindakan pembinaan atau penertiban yang pernah dilakukan secara bersama antara
DKP Kabupaten Maluku Tenggara dengan masyarakat ohoi (pokmaswas) adalah dengan
pemberian pemahaman pentingnya perlindungan tukik penyu. Langkah strategis yang
dilakukan adalah penebaran tukik penyu ke perairan yang dilakukan juga oleh para pelaku
perikanan destruktif.
Hasil identifikasi secara keseluruhan menunjukkan frekuensi pelanggaran 3-4 kasus
penangkapan ikan destruktif per tahun Informasi dari masyarakat bahwa kegiatan
pemboman ikan yang dilakukan dewasa ini cenderung memiliki wakatu subuh dan/atau
menjelang malam. Pilihan waktu–waktu tersebut diarahkan untuk menghindari pemantauan
oleh pengawas atau masyarakat sekitar. Hal ini sangat efektif untuk menghindari penangkapan
oleh pengawas, dan berimplikasi pada penurunan kinerja pengawasan terhadap perikanan
destruktif.
3.3.2 Modifikasi Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan
Penilaian indikator ini dilakukan melalui pengukuran hasil tangkapan dengan menggunakan
alat tangkap dan alat bantu yang menimbulkan dampak negatif terhadap sumber daya ikan. Alat
tangkap yang menjadi sampel dalam penilaian ini adalah pukat cincin mini dan bagan. Pilihan
terhadap kedua alat penangkapan ini terkait dengan hasil survey lapangan yang menunjukkan
adanya perubahan pada ukuran mata jaring. Perubahan ukuran mata jaring pada kedua alat
penangkapan ikan ini, umumnya pada bagian kantong, khususnya untuk alat tangkap bagan.
Modifikasi yang terjadi pada kedua alat penangkapan ikan ini dilakukan oleh pemilik usaha
sebagai bagian dari antisipasi menurunnya hasil tangkapan. Umumnya tujuan hasil tangkapan
yang menjadi target utama adalah kelompok ikan dari jenis teri dan tembang. Sesuai dengan
jenis ikan target, maka upaya modifikasi yang dilakukan dengan pendekatan perubahan ukuran
mata jaring pada alat tangkap lebih diarahkan untuk menghindari lolosnya ikan yang berukuran
lebih kecil dari jeratan jaring.
Pengukuran yang dilakukan untuk tiga
kelompok jenis ikan yang menjadi tujuan
tangkap utama pukat cincin mini dan bagan,
meliputi ikan layang, tembang dan teri (Tabel
16). Kisaran proporsi jumlah ikan dengan
ukuran kurang dari Lm berkisar antara 51,00
sampai dengan 58,50%. Walaupun dalam
pengukuran di bulan Januari tahun 2015
menunjukkan kelompok jenis ikan teri masih
mencapai 46,50%, namun sesuai hasil wawancara dengan nelayan pukat cincin mini dan bagan,
dinyatakan bahwa untuk musim-musim tertentu seperti pasca musim Timur, ditemukan juga
proporsi hasil tangkapan ikan teri sangat dominan.
Secara menyeluruh, untuk indikator ini rata-rata proporsi ikan dengan ukuran kurang dari
Lm sebesar 52,00% Hasil ini membuktikan aktivitas penangkapan ikan, khususnya untuk
perikanan pukat cincin mini dan bagan di Kabupaten Maluku Tenggara telah mencapai
tingkatan dimana lebih dari 50% ukuran target spesies kurang dari Lm
3.3.3 Fishing Capacity and Effort
Penilaian terhadap inidikator ini diarahkan untuk mengetahui tingkat intensitas penangkapan
ikan dan perkiraan dampaknya terhadap kelestarian sumber daya ikan di suatu wilayah
perairan. Penilaian terhadap fishing capacity (FC) and effort yang dimaksudkan adalah
perhitungan kapasitas perikanan dan upaya penangkapan sebagai representasi dari besarnya
kapasitas penangkapan dibagi aktivitas penangkapan. Perhitungan ini menghendaki adanya
data tahun dasar dan tahun terakhir. Pilihan tahun dasar adalah tahun 2010 untuk tujuan
evaluasi terhadap perkembangan yang telah dilakukan pada tahun 2012, dimana data tahun
2010 merupakan data tahun akhir pada penilaian pada tahun itu. Data yang digunakan dalam
Tabel 16 Proporsi kelompok ikan Lm yangtertangkap akibat perubahan alatpenangkapan ikan
KelompokJenis Ikan
Lm(cm)
Jumlahsampel(ekor)
Jumlahikan Lm
(ekor)
Proporsiikan Lm
(%)
Layang 16,21 100 51 51,00
Tembang 11,95 200 117 58,50
Teri 6,00 200 93 46,50
Rata-rata proporsi ikan Lm 52,00
evaluasi ini adalah data perikanan untuk tingkatan Kabupaten Maluku Tenggara, tahun 2010
dan 2014 (Tabel 18 dan 19).
Tabel 18 Nilai FC tahun terakhir (2014)
No Jenis API V E C VCEJumlah unit Trip Rata-rata Produksi1. Pukat Cincin 14 569 403,2 3.211.891,202. Bagan 149 606 154,5 13.950.423,003. Jaring Insang Hanyut 1080 497 4,9 2.630.124,004. Jaring Insang Lingkar 714 561 2,89 1.157.601,065. Jaring Insang Tetap 947 793 5,94 4.460.767,746. Bubu 323 581 2,07 388.462,417. Pancing Tegak 308 878 10 2.704.240,008. Pancing Ulur 2896 668 4,96 9.595.258,889. Pancing Tonda 2600 759 4,97 9.807.798,00
10 Sero Tancap 4 527 9,21 19.414,68FC Tahun Terakhir (2014) 47.925.980,97
Sumber: DKP Kab. Maluku Tenggara (2014), diolah
Tabel 19 Nilai FC tahun dasar (2010)
No Jenis API V E C VCEJumlah unit Trip Rata-rata Produksi1. Pukat Cincin 6 512 300 921.600,002. Bagan 57 576 150 4.924.800,003. Jaring Insang Hanyut 1005 512 5 2.572.800,004. Jaring Insang Lingkar 682 576 3 1.178.496,005. Jaring Insang Tetap 917 784 5 3.594.640,006. Bubu 308 576 2 354.816,007. Pancing Tegak 3708 320 10 11.865.600,008. Pancing Ulur 2757 672 5 9.263.520,009. Pancing Tonda 2491 768 5 9.565.440,00
10 Sero Tancap 4 560 10 22.400,00FC Tahun Dasar (2010) 44.264.112,00
Sumber: DKP Kab. Maluku Tenggara (2011), diolah
Perhitungan fishing capacity untuk tahun 2010 sebagai awal menunjukkan kapasitas
penangkapan di Kabupaten Maluku Tenggara mencapai 44.264,11 ton. Pada tahun tahun 2014
sebagai tahun akhir dalam analisis, nilai kapasitas penangkapan di Kabupaten Maluku Tenggara
sebesar 47.925,98 ton. Distribusi nilai fishing capacity untuk kedua tahun analisis ini
menunjukkan adanya peningkatan kapasitas penangkapan sebesar 8,27% atau mengalami
peningkatan rata-rata tahunan sebesar 2,07%.
Distribusi distribusi kedua nilai FC, tahun 2010 dan 2014, memberikan konsekuensi adanya
perbandingan fishing capacity yang menghasilkan nilai nilai sebesar 0,92. Hasil ini menunjukkan
distribusi nilai 1 dalam periode pembangunan perikanan tahun 2010 sampai dengan 2014.
Bila hasil ini dibandingkan dengan hasil penilaian pada tahun 2012 yang menunjukkan
distribusi nilai sebesar 0,28 (R 1), maka arah pengelolaan perikanan di wilayah ini
menunjukkan adanya perbaikan selama kurun waktu empat tahun terakhir. Hasil yang dicapai
dalam tahun 2014 juga menunjukkan sudah mulai dilakukan pengendalian input perikanan.
Input perikanan seperti armada penangkapan ikan yang mulai dikendalikan akan berdampak
terhadap mulai tereduksinya degradasi sumber daya ikan di wilayah ini. Walaupun demikian,
fishing capacity dan effort masih menunjukkan adanya peningkatan, yang masih memberikan
konsekuensi terhadap masih adanya tekanan terhadap pemanfaatan sumber daya ikan. Sesuai
dengan perkembangan nilai ini, upaya-upaya untuk mewujudkan perikanan tangkap yang
berkelanjutan dan lestari atau bertanggungjawab (responsible fisheries mulai berkembang
dengan baik di Kabupaten Maluku Tenggara.
3.3.4 Selektivitas Penangkapan
Indikator selektivitas penangkapan menunjukkan aktivitas penangkapan ikan yang dikaitkan
dengan luasan, waktu dan keragaman hasil tangkapan. Pemilihan indikator ini dilakukan
karena selektivitas penangkapan yang rendah akan memberikan dampak langsung terhadap
kelestarian sumber daya ikan. Selektivitas penangkapan dapat diidentikan dengan sifat
keramahan lingkungan, maksudnya adalah bahwa alat tangkap ikan memiliki selektivitas
penangkapan yang baik atau tinggi berarti pula alat tangkap tersebut merupakan alat tangkap
ramah lingkungan.
Pengelolaan perikanan yang menyangkut aspek teknis umumnya juga akan mencakup
pengaturan tentang jenis alat penangkapan ikan, pembatasan daerah penangkapan ikan dan
musim penangkapannya. Ketiga hal ini tentunya sangat berkaitan dengan selektivitas
penangkapan. Hal ini terkait dengan spesifikasi jenis alat penangkapan ikan dalam hal
hubungannya terhadap keragaman hasil tangkapan dan bycatch (hasil tangkapan sampingan),
luasnya wilayah yang menjadi daerah penangkapan ikan, dan lamanya waktu aktivitas
penangkapan ikan dalam setahun.
Penilaian terhadap indikator ini pada Kabupaten Maluku Tenggara dimulai dengan menghitung
jumlah keseluruhan alat tangkap yang beroperasi di perairan ini (T). Total jumlah alat tangkap
yang teridentifikasi sebanyak 9.599 unit yang terkelompokkan dalam 13 jenis alat tangkap
(Tabel 20). Identifikasi terhadap jenis alat tangkap yang tidak selektif (S’ menemukan jenis alat
tangkap sero tancap dibandingkan dengan 12 jenis alat tangkap lainnya.
Tabel 20 Perbandingan selektivitas penangkapan di Maluku Tenggara, Tahun 2010 dan 2014
No. Alat Tangkap S' PS'1. Pukat Cincin (Purse Seine 142. Bagan (Lift Net 1493. Jaring Insang Hanyut (Drift Gill Net 10804. Jaring Insang Lingkar (Encircling Gill Net 7145. Jaring Insang Tetap (Bottom Gill Net 9476. Bubu (Traps Net 3237. Pancing Tegak (Vertical Line 3088. Pancing Ulur (Hand Line 28969. Pancing Tonda (Troll Line 2600
10. Pancing Lainnya 43111. Pengumpul Kerang 4812. Pengumpul Teripang 8513. Sero Tancap (Set Net
Total 9599 0,04Sumber: Hasil analisis (2012, 2014)
Sesuai dengan distribusi jumlah alat tangkap yang tidak selektif dan selektif seperti pada Tabel
20 maka perhitungan terhadap penggunaan alat penangkapan ikan yang tergolong tidak atau
kurang selektif (PS’ menghasilkan nilai sebesar 0,04%. Hasil ini membuktikan sangat
rendahnya komposisi jenis alat tangkap tidak selektif dibandingkan dengan alat tangkap yang
selektif.
Sesuai dengan kriteria penilaian untuk indikator ini, dimana nilai 0,04% termasuk dalam
kriteria kurang dari 50% penggunaan alat tangkap yang tidak selektif Hal ini
membuktikan bahwa selektivitas penangkapan di Kabupaten Maluku Tenggara termasuk dalam
kategori tinggi
Hasil ini berimplikasi pada penilaian keberhasilan implementasi pendekatan ekosistem dalam
pengelolaan perikanan yang diindikasikan dengan tingginya tingkat selektivitas penangkapan di
wilayah ini. Artinya, pengelolaan perikanan dianggap berhasil, bila tingkat selektivitas
penangkapan tinggi. Kondisi demikian dapat dicapai karena tingginya orientasi pengembangan
usaha perikanan tangkap dengan mengedepankan nilai-nilai keberlanjutan. Walaupun
demikian, kondisi ini masih harus mendapat pengawal secara serius di masa mendatang.
3.3.5 Kesesuaian Fungsi dan Ukuran Kapal Ikan Dengan Dokumen Legal
Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal yang
dimaksudkan adalah sesuai atau tidaknya fungsi dan ukuran kapal dengan dokumen legal.
Penilaian indikator ini dilakukan melalui perbandingan antara dokumen surat legal yang
dimiliki dengan aktivitas nyata dari fungsi dan dimensi ukuran kapal dalam melakukan operasi
penangkapan ikan.
Penilaian yang dilakukan untuk kegiatan perikanan yang dikembangkan nelayan lokal
menunjukkan bahwa eksistensi dokumen dan kesesuaiannya pada sejumlah armada
penangkapan yang ada di wilayah Kei Kecil menunjukkan tingkat kesesuaian yang tinggi. Hal ini
sesuai dengan hasil lapangan yang menunjukkan tidak ditemukan penyimpangan, terutama
pada lokasi-lokasi basis perikanan tangkap seperti Selayar, Sathean dan Dian Pulau.
Dari ketiga lokasi ini, ditemukan hanya dua dokumen dari 24 sampel yang dipilih, menunjukkan
adanya ketidaksesuaian ukuran tidak sesuai dengan dokumen legal. Kedua temuan ini adalah
pada alat tangkap mini purse seine pada lokasi Sathean, dimana ukuran kapalnya ada yang tidak
sesuai dengan ukuran yang tertera dalam dokumen.
Hasil ini menunjukkan besaran kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan
dokumen legal sekitar 91,67% atau sekitar 8,33% yang tidak sesuai. Hasil ini termasuk dalam
kriteria penilaian dimana kesesuaiannya tinggi (kurang dari 30%) sampel tidak sesuai
dengan dokumen legal
Walaupun tingkat kesesuainnya tinggi, namun pantauan terhadap armada juga menjadi penting
untuk dilakukan mengingat adakan adanya upaya-upaya peningkatan produksi oleh nelayan,
yang bisa saja menjalankan berbagai cara untuk untuk pencapaian targetnya. Hal ini sangat
penting dilakukan mengingat kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan
dokumen legal juga dapat menentukan kelestarian sumber daya ikan. Bila dokumen legal yang
dikeluarkan pemerintah tidak sesuai dengan fakta lapangan tentang fungsi dan ukuran kapal
penangkapan ikan yang ada, maka dapat menyebabkan pengelolaan perikanan menjadi bias
atau tidak tepat, yang diakibatkan oleh kesalahan data atau informasi yang diterima.
Bila ada masih terdapat ketidaksesuaian antara dokumen legal dengan faktanya, sudah dapat
dipastikan akan memberikan dampak negatif terhadap kelestarian sumber daya ikan yang ada.
Akibat selanjutnya tentu akan sulit atau bahkan tidak akan mungkin mewujudkan perikanan
tangkap yang bertanggungjawab (responsible fisheries).
3.3.6 Sertifikasi Awak Kapal Perikanan Sesuai Dengan Peraturan
Indikator ini merepresentasikan jumlah awak kapal perikanan yang telah memenuhi syarat
kecakapan tertentu untuk bekerja di atas kapal. Sertifikasi awak kapal dilakukan dengan
manfaat untuk penerapan kegiatan penangkapan ikan yang bertanggung jawab oleh awak kapal
perikanan. Dengan demikian, penilaian terhadap indikator ini dilakukan untuk mengetahui
kualifikasi kecakapan awak kapal perikanan (kualitatif panel komunitas).
Hasil survey lapangan terhadap 24 pelaku usaha perikanan tangkap menemukan hanya
sembilan nelayan yang memiliki sertifikat awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan.
Jumlah ini umumnya ditemukan pada usaha perikanan mini purse seine, sedangkan awak kapal
untuk jenis usaha perikanan tangkap lainnya tidak memiliki sertifikat. Hal ini disebabkan
karena tidak adanya program yang kuat dalam meningkatkan pemahaman nelayan tentang
pentingnya pemilikan sertifikat dalam menjalankan usaha perikanan tangkap.
Sesuai dengan hasil survey tersebut, maka jumlah awak kapal perikanan yang memiliki
sertifikat sebanyak 37,50% dari total jumlah nelayan atau awak kapal yang disurvey. Jika
kepemilikan sertifikat pada tingkat awak kapal perikanan menjadi indikator kualifikasi
kecakapan awak kapal perikanan, maka hanya 37,50% awak kapal yang memiliki kualifikasi
yang baik dalam menjalankan usaha perikanan tangkap. Walaupun demikian, usaha-usaha
perikanan berskala sangat kecil, masih banyak yang belum disentuh dengan sistem sertifikasi.
Beberapa hal yang menyebabkan rendahnya kepemilikan sertifikat pada awak kapal perikanan
adalah (1) kurangnya pemahaman tentang pentingnya pemilikan sertifikat tersebut; dan (2)
tidak adanya program sertifikasi awak kapal perikanan (khususnya untuk skala sangat kecil)
yang dikembangkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara.
Hasil ini menunjukkan bahwa dengan proporsi jumlah awak kapal perikanan yang memiliki
sertifikat sebesar 37,50% termasuk dalam kriteria penilaian kepemilikan sertifikat <50%
atau termasuk dalam kategori sangat rendah. Hasil ini akan berimplikasi pada potensi
pemanfaatan sumber daya ikan belum sesuai dengan kaidah-kaidah kegiatan penangkapan ikan
yang bertanggung jawab. Kondisi ini, dinilai akan berdampak secara tidak langsung terhadap
kelestarian sumber daya ikan yang ada. Dengan demikian, kondisi ini akan menjadi kendala
dalam mewujudkan perikanan tangkap yang bertanggungjawab (responsible fisheries).
3.4 Domain Sosial
3.4.1 Partisipasi Pemangku Kepentingan
Indikator partisipasi pemangku kepentingan yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah
keterlibatan pemangku kepentingan atau frekuensi keiikutsertaan pemangku kepentingan
dalam kegiatan pengelolaan sumber daya ikan. Penilaian untuk indikator ini dilakukan untuk
contoh kasus pengelolaan kawasan konservasi Taman Wisata Pulau Kecil Kabupaten Maluku
Tenggara.
Penilaian dilakukan untuk delapan tahapan pengelolaan yang teridentifikasi melalui proses
yang dibangun dalam kaitannya dengan pengembangan kawasan konservasi yang disebutkan di
atas. Delapan tahapan pengelolaan yang dimaksudkan meliputi: (1) kegiatan inisisasi; (2)
pertemuan untuk input kajian; (3) pelatihan zonasi; (4) pertemuan untuk input rencana zonasi;
(5) sosialisasi rencana zonasi; (6) penyusunan rencana pengelolaan; (7) pengalokasian program
dalam pengelolaan; dan (8) monitoring pada kawasan rencana (Tabel 21).
Tabel 21 Partisipasi pemangku kepentingan menurut tahapan pengelolaan untuk contoh kasuspengelolaan kawasan konservasi Taman Wisata Pulau Kecil Kabupaten MalukuTenggara
TahapanKegiatan
Pengelolaan
Pemangku Kepentingan
Jum
lah
Rata
-Rat
a
Bapp
eda
DKP
DIS
PAR
INDA
GKOP
DIS
HUB
BAKO
RLUH
LIPI
PSD
KP
PT
Cam
at
Kepa
laAd
at
Kepa
laO
hoi
Inisiasi 11 91,67
Input kajian 12 100,00Pelatihanzonasi 1 1 75,00Input rencanazonasi 1 1 1 1 12 100,00Sosialisasirencana zonasi 66,67Perencanaanpengelolaan 10 83,33Alokasiprogram 1 1 1 1 10 83,33
Monitoring 66,67
Jumlah 80
100,0 100,0 75,0 62,5 75,0 87,5 75,0 62,5 75,0 87,5 100,0 100,0
Rata-Rata 83,33Sumber: Survey lapangan (2014)
Hasil identifikasi ini menggambarkan adanya partisipasi yang kuat pada beberapa tahapan,
sementara pada tahapan-tahapan tertentu partisipasi pemangku kepentingan masih lemah.
Proses inisiasi, pertemuan untuk input kajian dan pertemuan input rencana zonasi merupakan
tahapan atau proses yang mendukung pengelolaan paling tinggi partisipasinya. Di sisi lain,
tahapan atau proses yang mendukung pengelolaan paling rendah partisipasi dari pemangku
kepentingan adalah sosialisasi rencana zonasi yang dilakukan sampai pada tingkat ohoi. Tingkat
partisipasi yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan partisipasi antar pemangku
kepentingan pada tahapan-tahapan tertentu.
Partisipasi pemangku kepentingan pada delapan tahapan pengelolaan juga bervariasi.
Pemangku kepentingan yang menunjukkan partisipasi yang paling tinggi adalah Bappeda, Dinas
Kelautan dan Perikanan, Kepala adat dan kepala ohoi. Kondisi ini ditunjukkan dengan
partisipasi yang menyekuruh pada seluruh tahapan pengelolaan oleh keempat pemangku
kepentingan itu. Penyebab perbedaan partisipasi pemangku kepentingan adalah karena
persepsi tentang pentingnya seluruh tahapan pengelolaan relatif berbeda antar pemangku
kepentingan, disamping keterlibatan mereka pada setiap tahapan pengelolaan juga sangat
membutuhkan dorong ataupun inisiatif dari pemangku kepentingan yang menjadi koordinator
utama suatu tahapan pengelolaan.
Hasil penilaian secara menyeluruh menunjukkan rata-rata tingkat partisipasi pemangku
kepentingan dalam pengelolaan perikanan, dengan contoh kasus pengelolaan kawasan
konservasi Taman Wisata Pulau Kecil Kabupaten Maluku Tenggara sebesar 83,33% Nilai ini
termasuk dalam kriteria tingkat partisipasi antara 50-100%
Hasil pengukuran partisipasi pemangku kepentingan ini menunjukkan keaktifan pemangku
kepentingan pada seluruh tahapan kegiatan pengelolaan sumber daya ikan cukup baik.
Walaupun keaktifan ini belum mencapai tingkat partisipasi yang sempurna, namun tingkat
keaktifan pemangku kepentingan seperti ini cukup menentukan keberhasilan kegiatan
pengelolaan sumber daya ikan di masa mendatang. Untuk mencapai tingkat pengelolaan yang
sangat baik, maka upaya-upaya untuk peningkatan partisipasi pemangku kepentingan sangat
dibutuhkan untuk mencapai tingkat keberhasilan pengelolaan sumber daya ikan yang semakin
tinggi.
3.4.2 Konflik Perikanan
Indikator ini dimaksudkan untuk mengungkap pertentangan yang terjadi antar nelayan akibat
perebutan fishing ground (resources conflict dan benturan alat tangkap (fishing gear conflict).
Konflik perikanan juga dapat terjadi akibat pertentangan kebijakan (policy conflict pada
kawasan yang sama atau pertentangan kegiatan antar sektor.
Hasil identifikasi terhadap kejadian konflik di wilayah perairan Kabupaten Maluku Tenggara
menunjukkan adanya dua kejadian konflik dalam dalam dua tahun terakhir, taun 2013 dan
2014. Pertama pada tahun 2013 terjadi karena adanya tabrakan kapal terhadap alat tangkap
bagan yang sementara beroperasi di Teluk Nerong. Konflik ini menunjukkan adanya konflik
dalam pemanfaatan ruang untuk pemanfaatan jalur transportasi dan aktivitas perikanan bagan.
Konflik ini termasuk dalam kategori konflik antar sektor.
Kedua pada tahun 2014, terjadi satu kali konflik antara aktivitas nelayan mini purse seine dalam
penempatan rumpon dengan nelayan yang mengembangkan usaha perikanan bagan. Kejadian
konflik ini juga terjadi pada kawasan perairan Selat Nerong, yang juga menunjukkan adanya
konflik pemanfaatan ruang untuk pemanfaatan sumber daya ikan. Jenis konflik termasuk dalam
kategori konflik pemanfaatan sumber daya ikan (resources conflict maupun konflik alat
tangkap (fishing gear conflict). Kategori resources conflict terjadi akibat adanya pemanfaatan
sumber daya ikan yang sama dimana masing-masing alat tangkap memanfaatkan alat bantu
penangkapan ikan melalui bantuan cahaya. Kategori fishing gear conflict berkaitan dengan pola-
pola pemanfaatan ruang perairan sebagai daerah penangkapan ikan.
Sesuai dengan hasil identifikasi lapangan, maka rata-rata konflik yang terjadi terkait dengan
pengelolaan perikanan di Kabupaten Maluku Tenggara, setiap tahun sebanyak satu kali. Hasil
ini masuk dalam kriteria penilaian indikator kurang dari dua kali per tahun atau skala
konfliknya masih termasuk dalam tingkatan yang rendah. Walaupun demikian, konflik
perikanan yang teridentifikasi ini dapat memberikan dampak yang sangat besar terhadap pola-
pola pemanfaatan ruang lintas sektor, antar alat tangkap maupun pada konflik pemanfaatan
sumber daya ikan. Tingginya range collaps juga diduga dapat menjadi pemicu munculnya kedua
konflik yang disebutkan terakhir.
Walaupun tingkatan konflik di wilayah ini rendah, namun potensi kontra produktif dan
tumpang tindih pengelolaan yang berakibat pada kegagalan implementasi kebijakan
pengelolaan sumber daya ikan sangat mungkin terjadi bila tidak dikendalikan melalui
mekanisme pengelolaan yang baik. Jika potensi konflik ini tidak dikendalikan maka frekuensi
konflik perikanan berpeluang semakin tinggi, dan kondisi akan berdampak pada semakin
sulitnya pengelolaan sumber daya perikanan. Dengan demikian, upaya-upaya manajemen
konflik menjadi kebutuhan mendasar dalam mereduksi potensi konflik perikanan di wilayah ini.
Pengelolaan ruang pemanfaatan sumber daya perikanan melalui sistem zonasi yang akomodatif
terhadap berbagai kepentingan. Tereduksinya konflik perikanan sangat membantu dalam
mengimplementasi pengelolaan sumber daya perikanan secara berkelanjutan.
3.4.3 Pemanfaatan Pengetahuan Lokal Dalam Pengelolaan Sumber Daya Ikan
Indikator pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumber daya ikan adalah
indikator yang memberikan gambaran tentang ukuran-ukuran keberadaan dan keefektifan
pengetahuan lokal dalam kegiatan pengelolaan sumber daya ikan. Eksistensi pengetahuan lokal
dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan yang diikuti dengan penerapannya dengan baik
menjadi modal bagi keberlanjutan pengelolaan.
Dalam tiga tahun terakhir, penggunaan pengetahuan lokal terutama pengetahuan lokal tentang
aspek-aspek ekologis (tradisional ecological knowledge/TEK) telah dilakukan, dan berbasis pada
pengalaman masyarakat tentang kaidah-kaidah pengelolan yang telah berkembang sejak lama.
Beberapa fakta memberikan gambaran tentang pemanfaatan TEK dalam pengelolaan sumber
daya ikan. Pertama pengetahuan dalam implementasi sistem sasi baik kawasan tertentu
maupun untuk jenis tertentu seperti teripang, lola dan batulaga.
Kedua pengetahuan tentang lokasi potensial untuk penangkapan ikan seperti daerah tubir,
kawasan met dan daerah skaru (tubur), yang dipahami sebagai lokasi-lokasi potensial
penangkapan ikan demersal (Gambar 21, 22 dan 23). Sebagai contoh, Soselisa dkk (2013)
memberikan gambaran tentang pemanfaatan sumber daya ikan di kawasan met meliputi
berbagai jenis kutya (bia/siput), seperti ngen (bia berjari), hanoat (kima), sav (bia mancadu),
ikan-ikan karang seperti fo (Lethrinus sp.), hatmor (Lutjanus sp.), nyis (ikan bibi dan samandar
(Siganus sp.). Selain itu juga mereka mengambil karit (gurita), yaran (belut), tir (Tripneustes
gratilla) dan ravravut (Diadema setosum), serta berbagai jenis sik (kepiting). Komoditi yang
dicari di kawasan met untuk tujuan pasar luar adalah eb (teripang), khususnya teripang gosok,
yang banyak ditemukan di daerah ubun (lamun).
Ketiga pengetahuan tentang lokasi-lokasi yang tidak boleh disentuh atau dilarang secara adat
ternyata mengandung makna ekologis yang cukup kuat, baik untuk pulau-pulau kecil tertentu
maupun untuk kawasan perairan tertentu. Keempat artikulasi lokal yang diungkap untuk
menunjukkan sistem zonasi berbasis (adat) lokal telah dikemas dalam dokumen Bat Batang Vit
Roa Vit Nangan (Jaga Pintu Laut dan Pintu Darat), dimana sebagiannya telah diungkap pada
Gambar 21, 22 dan 23.
Gambar 21 Peta pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan berbasis TEK di Ohoi Somlain,Kei Kecil (Sumber: Soselisa dkk., 2013)
Gambar 22 Peta pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan berbasis TEK di Ohoi Wab, KeiKecil (Sumber: Soselisa dkk., 2013)
Gambar 23 Peta pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan berbasis TEK di Ohoi Ohoira,Kei Kecil (Sumber: Soselisa dkk., 2013)
Keempat TEK yang diungkap di atas juga turut memperkaya dan membantu proses yang
dibangun dalam pengembangan kawasan konservasi "Taman Wisata Pulau Kecil" pada perairan
Kei Kecil bagian Barat. Pengetahuan-pengetahuan lokal ini menjadi dasar dalam pengumpulan
data sampai dengan perencanaan zonasi kawasan konservasi ini. Dalam proses delineasi
kawasan konservasi ini, potensi TEK seperti itu merupakan salah satu pendukung utama
penentuan zona dan sub zona, dan dinilai cukup efektif dalam mendukung sistem zonasi
kawasan.
Hasil ini memberikan gambaran tentang posisi penting TEK dalam pengelolaan sumber daya
ikan di Kabupaten Maluku Tenggara. Sesuai gambaran tersebut di atas, maka kriteria yang
dinilai sesuai dengan kondisi tersebut adalah pemanfaatan pengetahuan lokal yang terkait
dengan pengelolaan perikanan, ada dan efektif digunakan
Hasil ini menunjukkan bahwa di Kabupaten Maluku Tenggara, keberadaan dan keefektifan
penerapan pengetahuan lokal dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan sangat baik.
Tingkat keefektifan penerapan pengetahuan lokal ini juga yang diharapkan dapat mendukung
pencapaian keberhasilan pengelolaan sumberdaya ikan di wilayah ini. Hal tersebut sesuai
dengan padangan bahwa semakin efektif penerapan pengetahuan lokal dalam kegiatan
pengelolaan sumberdaya ikan, semakin tinggi tingkat keberhasilan pengelolaan sumberdaya
ikan.
3.5 Domain Ekonomi
3.5.1 Kepemilikan Aset
Indikator ini merepresentasikan perubahan nilai/jumlah aset usaha rumah tangga perikanan
(RTP), yakni aset usaha perikanan atau aset rumah tangga yang didapatkan dari usaha
perikanan. Indikator kepemilikan aset mengekspresikan perbandingan jumlah aset produktif
yang dimiliki rumah tangga perikanan saat ini dengan tahun sebelumnya. Bila aset produktif
dari rumah tangga nelayan bertambah maka diberi nilai tinggi dan sebaliknya. Aset produktif
merupakan aset rumah tangga yang digunakan untuk kegiatan penangkapan ikan, budidaya
ikan, pengolahan ikan, atau perdagangan ikan, bahkan kegiatan ekonomi lainnya seperti
pertanian.
Untuk mengakomodasi pandangan di atas, penilaian terhadap indikator ini didasarkan pada
perspektif para pelaku usaha perikanan terhadap kepemilikan dan perkembangan aset mereka.
Variabel aset yang dinilai untuk indikator ini meliputi perahu (kapal), mesin dan alat tangkap
Tabel 22
Tabel 22 Perkembangan kepemilikan aset pada pelaku usaha perikanan tangkap di KabupatenMaluku Tenggara
Variabel AsetNilai Aset Berkurang Nilai Aset Tetap Nilai Aset Bertambah
Jumlah Jumlah Jumlah
Perahu (kapal) 22,50 25 62,50 15,0
Mesin 20,00 26 65,00 15,0
Alat tangkap 0,00 31 77,50 22,5
Rata-Rata 14,17 68,33 17,25
Wawancara dilakukan pada 40 sampel pelaku usaha perikanan tangkap, menunjukkan adanya
variasi antar pelaku usaha maupun variasi antar variabel aset. Pertama untuk variabel aset
perahu (kapal), proporsi tertinggi ditunjukkan pada tetapnya nilai aset (62,50%). Sekitar
22,50% responden menunjukkan nilai aset berkurang, sedangkan 15,0% lainnya menyatakan
nilai aset bertambah.
Kedua untuk variabel aset mesin, proporsi tertinggi pada tetapnya nilai aset sebesar 65,00%. Di
sisi lain, nilai aset berkurang dinyatakan oleh 20,00% responden, sedangkan pernyataan nilai
aset bertambah dinyatakan 15,0% responden lainnya. Ketiga untuk variabel aset alat tangkap,
tetapnya nilai aset memiliki proporsi tertinggi sebagaimana dinyatakan oleh sekitar 77,50%.
Dalam wawancara ini, tidak satupun responden yang menyatakan tentang berkurangnya nilai,
sementara pernyataan tentang bertambah nilai aset alat tangkap disampaikan oleh 22,5%
responden lainnya.
Hasil tersebut membuktikan adanya kelompok pelaku usaha yang tersegregasi menurut
perkembangan kepemilikan aset. Hasil analisis untuk kondisi ini merupakan kondisi yang
belum cenderung berubah sejak tahun 2012, dimana ketiga kelompok pelaku usaha
terkelompokkan menurut kapasitas usaha mereka, disamping sistem pengelolaan usaha di
tingkat rumah tangga nelayan.
Pertama kelompok nelayan yang menyatakan nilai aset berkurang merupakan kelompok
dengan kapasitas ekonomi usaha yang terbatas dan usaha yang dikembangkan hanya terbatas
pada perikanan pancing, kecuali untuk usaha pancing tonda. Namun pada hasil, nilai aset yang
cenderung berkurang pada kelompok ini adalah perahu (kapal) penangkap ikan dan mesin
penggerak yang dimiliki.
Kedua kelompok nelayan yang menyatakan nilai aset tetap ditemukan pada nelayan jaring
insang. Kelompok nelayan yang mengembangkan usaha perikanan jaring insang hanya mampu
menghasilkan produksi dengan peruntukan pengeluaran lebih banyak diarahkan pada
pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga, khususnya untuk pengeluaran yang cukup besar di
luar usaha perikanan, sementara hanya sebagian kecil saja yang mengalokasikan pengeluaran
untuk usaha perikanan. Hal ini menyebabkan upaya pengembangan perahu (kapal), mesin
maupun alat tangkap belum dapat dilakukan dengan baik. Kondisi demikian membuktikan
kapasitas mereka dalam mengalokasikan pengeluaran dalam rangka pengembangan aset
mereka masih rendah.
Ketiga kelompok nelayan yang menyatakan nilai aset bertambah pelaku usaha perikanan mini
purse seine bagan apung dan pancing tonda. Kelompok ini memiliki tingkat pendapatan yang
tinggi dan melebihi nilai rata-rata pendapatan secara agregat. Tingginya pendapatan kelompok
nelayan ketiga ini berimplikasi pada adanya upaya-upaya peningkatan nilai aset, jika
dibutuhkan dalam pengembangan usaha mereka.
Sesuai dengan hasil penilaian ini, maka pilihan penilaian adalah pada nilai tertinggi yang
dinyatakan oleh nelayan atau pelaku usaha perikanan tangkap. Rata-rata nilai tertinggi sebesar
68,33% yang menyatakan nilai aset tetap Hasil ini menunjukkan kemampuan rumah tangga
nelayan dalam meningkatkan usaha ekonominya, harus didorong dengan sistem pengelolaan
usaha yang lebih baik untuk mendukung keberkelanjutan usaha mereka.
3.5.2 Pendapatan Rumah Tangga Perikanan
Penilaian indikator pendapatan rumah tangga perikanan dilakukan untuk seluruh pendapatan
yang diterima rumah tangga nelayan, yang bersumber dari pendapatan kepala rumah tangga
serta anggota rumah tangga, baik yang berasal dari bidang perikanan maupun di luar bidang
perikanan. Ukuran pendapatan adalah rupiah per kepala keluarga per bulan. Penilaian ini
indikator ini dilakukan dengan membandingkan pendapatan rumah tangga dengan tetapan
upah minimum regional (UMR). Hal ini dibutuhkan untuk menggambarkan kapasitas ekonomi
pelaku usaha perikanan di wilayah ini.
Penilaian ini dilakukan untuk pelaku usaha dari empat jenis usaha yang cukup berkembang di
Kabupaten Maluku Tenggar, masing-masing: jaring insang hanyut (JIH), pancing kerapu, bagan,
dan mini purse seine Secara parsial, hasil survey menunjukkan distribusi pendapatan RTP
(Tabel 23), masing-masing:
(1) perikanan JIH rata-rata sebesar Rp. 676.500,- dengan kisaran Rp. 495.000,- sampai dengan
870.000;
(2) perikanan pancing kerapu rata-rata sebesar Rp. 3.407.000,- dengan kisaran Rp. 2.900.000,-
sampai dengan 3.600.000,-;
(3) perikanan bagan rata-rata sebesar Rp. 3.328.000,- dengan kisaran Rp. 2.280.000,- sampai
dengan 7.520.000,-; dan
(4) perikanan mini purse seine rata-rata sebesar Rp. 6.300.800,- dengan kisaran Rp. 4.240.000,-
sampai dengan 14.600.000.
Distribusi pendapatan yang variasinya cukup tajam adalah pada usaha perikanan bagan dan
mini purse seine Perbedaan yang tajam ini disebabkan karena adanya perbedaan pendapatan
antara anak buah kapal dan pemilik. Walaupun demikian pelaku usaha pada kedua jenis
perikanan ini menunjukkan potensi ekonomi yang tinggi berdasarkan tingkat pendapatan usaha
perikanan tangkap.
Sesuai dengan distribusi nilai pendapatan seperti ini, maka perhitungan rata-rata pendapatan
secara agregat untuk keempat jenis usaha perikanan tangkap mencapai Rp. 3.428,075,-. Jika
nilai rata-rata agregat ini dibandingkan dengan nilai UMR untuk daerah Maluku tahun 2014 (Rp.
1.415.000,-), maka secara umum, rata-rata pendapatan rumah tangga perikanan di
Kabupaten Maluku Tenggara lebih dari UMR
Tabel 23 Distribusi pendapatan rumah tangga perikanan jaring insang hanyut, pancing kerapu,bagan dan mini purse seine di Kabupaten Maluku Tenggara
No. Resp. Usaha Perikanan Status Penerimaan Pengeluaran Pendapatan (I) Rata-Rata(Parsial)
Jaring insang hanyut Pemilik 1.320.000 825.000 495.000
676.500
Jaring insang hanyut Pemilik 1.500.000 900.000 600.000Jaring insang hanyut Pemilik 1.620.000 840.000 780.000Jaring insang hanyut Pemilik 1.740.000 870.000 870.000
Jaring insang hanyut Pemilik 1.500.000 900.000 600.000Jaring insang hanyut Pemilik 1.620.000 840.000 780.000Jaring insang hanyut Pemilik 1.620.000 840.000 780.000Jaring insang hanyut Pemilik 1.740.000 870.000 870.000
Jaring insang hanyut Pemilik 1.320.000 825.000 495.00010 Jaring insang hanyut Pemilik 1.320.000 825.000 495.000
11 Pancing Kerapu Pemilik 4.950.000 1.350.000 3.600.000
3.407.000
12 Pancing Kerapu Pemilik 4.500.000 1.600.000 2.900.000
13 Pancing Kerapu Pemilik 4.750.000 1.750.000 3.000.00014 Pancing Kerapu Pemilik 4.725.000 1.350.000 3.375.00015 Pancing Kerapu Pemilik 4.815.000 1.350.000 3.465.00016 Pancing Kerapu Pemilik 4.905.000 1.350.000 3.555.000
17 Pancing Kerapu Pemilik 4.725.000 1.350.000 3.375.00018 Pancing Kerapu Pemilik 4.950.000 1.350.000 3.600.00019 Pancing Kerapu Pemilik 4.950.000 1.350.000 3.600.00020 Pancing Kerapu Pemilik 4.950.000 1.350.000 3.600.000
21 Bagan Pemilik 18.000.000 9.000.000 6.000.000
3.328.000
22 Bagan Pemilik 21.000.000 9.720.000 7.520.00023 Bagan ABK 5.400.000 1.200.000 2.800.00024 Bagan ABK 4.800.000 1.260.000 2.360.00025 Bagan ABK 4.860.000 1.260.000 2.400.00026 Bagan ABK 4.920.000 1.500.000 2.280.00027 Bagan ABK 5.400.000 1.200.000 2.800.00028 Bagan ABK 4.800.000 1.260.000 2.360.00029 Bagan ABK 4.800.000 1.260.000 2.360.00030 Bagan ABK 4.860.000 1.260.000 2.400.000
31 Mini purse seine Pemilik 30.000.000 9.000.000 14.000.000
6.300.800
32 Mini purse seine Pemilik 30.600.000 8.700.000 14.600.00033 Mini purse seine ABK 8.940.000 2.460.000 4.320.000
34 Mini purse seine ABK 8.700.000 2.340.000 4.240.00035 Mini purse seine ABK 8.880.000 2.364.000 4.344.00036 Mini purse seine ABK 8.940.000 2.460.000 4.320.00037 Mini purse seine ABK 8.700.000 2.340.000 4.240.000
38 Mini purse seine ABK 8.700.000 2.340.000 4.240.00039 Mini purse seine ABK 9.060.000 2.520.000 4.360.00040 Mini purse seine ABK 8.880.000 2.364.000 4.344.000
Rata-Rata (Agregat) 3.428.075Sumber: Survey lapangan (2014)
Walaupun demikian, secara parsial, masih ada kelompok usaha yang memiliki tingkat
pendapatan yang kurang dari UMR. Kelompok yang dimaksud adalah kelompok nelayan jaring
insang. Tingkatan produksi dan harga pasar untuk setiap produk perikanan karing insang
merupakan penentu tingkatan pendapatan, disampimg tingkat pengeluaran untuk kepentingan
usaha perikanan tangkap. Kondisi demikian memberikan gambaran bahwa masih ada kelompok
nelayan yang harus ditingkatkan kapasitas ekonominya.
Hasil penilaian ini juga memberikan gambaran bahwa ketergantungan rumah tangga terhadap
sumberdaya perikanan cukup tinggi. Namun demikian, kelompok RTP yang mengembangkan
usaha perikanan jaring insang masih membutuhkan strategi pengembangan kesejahteraan
nelayan melalui pengembangan mata pencaharian alternatif. Di sisi lain, tingginya pendapatan
pada beberapa RTP lainnya juga masih harus dikendalikan pola konsumsi agar dapat
memberikan ruang bagi alokasi pendapatan untuk tujuan pengembangan usaha, atau sedikitnya
dapat mendukung peningkatan nilai aset usaha perikanan. Kondisi yang dikemukakan terakhir
ini dapat dibuktikan melalui rasio tabungan yang berpotensi mendukung pengembangan usaha
sebagaimana dijelaskan pada indikator berikut.
3.5.3 Rasio Tabungan (Saving Ratio
Indikator rasio tabungan atau saving ratio (SR) mengekspresikan perbandingan selisih
pendapatan dan pengeluaran rumah tangga nelayan dengan pendapatannya. Pendapatan rumah
tangga nelayan yang dimaksudkan adalah seluruh pendapatan yang diterima rumah tangga
nelayan, dan bersumber dari pendapatan kepala rumah tangga serta anggota rumah tangga,
baik yang berasal dari bidang perikanan maupun di luar bidang perikanan. Di sisi lain,
pengeluaran rumah tangga nelayan merupakan seluruh pengeluaran rumah tangga, yang terdiri
dari pengeluaran pangan dan pengeluaran non pangan.
Survey lapangan membuktikan adanya variasi nilai saving ratio antar rumah tangga perikanan
dan antar jenis usaha perikanan tangkap. Secara parsial, hasil survey menunjukkan distribusi
saving ratio (Tabel 24), masing-masing:
(1) perikanan JIH rata-rata sebesar 6,15% dengan kisaran 0% sampai dengan 12,82%;
(2) perikanan pancing kerapu rata-rata sebesar 9,61% dengan kisaran 0% sampai dengan
14,81%;
(3) perikanan bagan rata-rata sebesar 11,39% dengan kisaran 0% sampai dengan 23,33%; dan
(4) perikanan mini purse seine rata-rata sebesar 12,97% dengan kisaran 11,47 sampai dengan
18,84%.
Tabel 24 Distribusi nilai saving ratio rumah tangga perikanan jaring insang hanyut, pancingkerapu, bagan dan mini purse seine di Kabupaten Maluku Tenggara
No. Resp. Usaha Perikanan Status Pendapatan(I)
Rata-RataTabungan (S)
SavingRatio (S/I)
(S/I)Parsial
Jaring insang hanyut Pemilik 495.000
6,15
Jaring insang hanyut Pemilik 600.000Jaring insang hanyut Pemilik 780.000 100.000 12,82Jaring insang hanyut Pemilik 870.000 100.000 11,49Jaring insang hanyut Pemilik 600.000Jaring insang hanyut Pemilik 780.000 100.000 12,82Jaring insang hanyut Pemilik 780.000 100.000 12,82Jaring insang hanyut Pemilik 870.000 100.000 11,49Jaring insang hanyut Pemilik 495.000
10 Jaring insang hanyut Pemilik 495.00011 Pancing Kerapu Pemilik 3.600.000 400.000 11,11
9,61
12 Pancing Kerapu Pemilik 2.900.00013 Pancing Kerapu Pemilik 3.000.00014 Pancing Kerapu Pemilik 3.375.000 500.000 14,8115 Pancing Kerapu Pemilik 3.465.000 500.000 14,4316 Pancing Kerapu Pemilik 3.555.000 500.000 14,0617 Pancing Kerapu Pemilik 3.375.00018 Pancing Kerapu Pemilik 3.600.000 500.000 13,8919 Pancing Kerapu Pemilik 3.600.000 500.000 13,8920 Pancing Kerapu Pemilik 3.600.000 500.000 13,89
21 Bagan Pemilik 6.000.000 1.400.000 23,33
11,39
22 Bagan Pemilik 7.520.000 1.500.000 19,9523 Bagan ABK 2.800.000 300.000 10,7124 Bagan ABK 2.360.00025 Bagan ABK 2.400.000 500.000 20,8326 Bagan ABK 2.280.00027 Bagan ABK 2.800.000 500.000 17,8628 Bagan ABK 2.360.00029 Bagan ABK 2.360.000 500.000 21,1930 Bagan ABK 2.400.00031 Mini purse seine Pemilik 14.000.000 2.500.000 17,86
12,97
32 Mini purse seine Pemilik 14.600.000 2.750.000 18,8433 Mini purse seine ABK 4.320.000 500.000 11,5734 Mini purse seine ABK 4.240.000 500.000 11,7935 Mini purse seine ABK 4.344.000 500.000 11,5136 Mini purse seine ABK 4.320.000 500.000 11,5737 Mini purse seine ABK 4.240.000 500.000 11,7938 Mini purse seine ABK 4.240.000 500.000 11,7939 Mini purse seine ABK 4.360.000 500.000 11,4740 Mini purse seine ABK 4.344.000 500.000 11,51
Rata-Rata atau (S/I) Agregat 10,03Sumber: Survey lapangan (2014)
Pola distribusi seperti ini memberikan gambaran adanya pengaruh sejumlah RTP pada setiap
jenis usaha perikanan tangkap yang memiliki saving ratio yang rendah, sehingga secara parsial
tiga jenis usaha perikanan tangkap memiliki nilai saving ratio kurang dari bunga kredit
pinjaman di Maluku akhir tahun 2014 sampai dengan awal tahun 2015 (11,52%). Hasil analisis
menunjukkan:
(1) pada RTP jaring insang hanyut, sebanyak 50,00% tidak melakukan tabungan sehingga
saving ratio-nya sebesar 0%, sedangkan 20,00% lainnya kurang dari bunga kredit
pinjaman;
(2) pada RTP pancing kerapu, sebanyak 30,00% tidak melakukan tabungan sehingga saving
ratio-nya sebesar 0%, sedangkan 10,00% lainnya kurang dari bunga kredit pinjaman;
(3) pada RTP bagan, sebanyak 40,00% tidak melakukan tabungan sehingga saving ratio-nya
sebesar 0%, sedangkan 10,00% lainnya kurang dari bunga kredit pinjaman;
(4) pada RTP jaring insang hanyut, sebanyak 30,00% memiliki saving ratio kurang dari bunga
kredit pinjaman.
Kondisi demikian menunjukkan adanya dinamika ekonomi yang berkembang pada setiap RTP
pada masing-masing jenis usaha perikanan. Jika tingkat pendapatan rendah secara umum
menjadi penyebab rendahnya saving ratio pada sejumlah RTP, maka faktor lain yang diduga
memberikan pengaruh terhadap saving ratio, antara lain: rendahnya budaya menabung atau
masih tingginya budaya konsumtif yang berkembang di kalangan RTP.
Dinamika ekonomi antar RTP dan jenis usaha perikanan tangkap yang ditunjukkan di atas, turut
memberikan pengaruh terhadap capaian nilai saving ratio secara agregat untuk wilayah
Kabupaten Maluku Tenggara. Jika penilaian untuk indikator ini menggunakan hasil penilaian
agregat, maka hasil yang ditemukan melalui agregasi nilai saving ratio sebesar 10,03%. Hasil
ini masih kurang dari bunga kredit pinjaman sebesar 11,52% untuk daerah Maluku pada
akhir tahun 2014 sampai dengan awal tahun 2015.
Seluruh hasil penilaian indikator rasio tabungan (SR) menggambarkan kondisi dimana potensi
rumah tangga perikanan dalam menyimpan kelebihan pendapatannya, masih sangat rendah di
Kabupaten Maluku Tenggara, walaupun sebenarnya sebagian RTP (52,50%) telah menunjukkan
potensi tabungan yang cukup baik. Untuk tujuan peningkatan kesejahteraan nelayan dan rumah
tangga perikanan di Kabupaten Maluku Tenggara, masih sangat dibutuhkan langkah-langkah
strategis untuk mengoptimalkan gerakan menabung sambil mereduksi budaya konsumtif
melalui penguatan kapasitas nelayan.
3.6 Domain Kelembagaan
3.6.1 Kepatuhan Terhadap Prinsip-Prinsip Perikanan yang Bertanggung Jawab
Indikator ini difokuskan pada tingkat kepatuhan (compliance seluruh pemangku kepentingan
terhadap aturan main baik formal maupun tidak formal. Kepatuhan yang dimaksudkan adalah
kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan
perikanan yang telah ditetapkan. Penilaiannya dilakukan untuk mengetahui frekuensi
pelanggaran terhadap peraturan dan aturan dalam pengelolaan perikanan.
a. Formal
Penilaian ini diarahkan pada frekuensi terjadinya pelanggaran hukum dalam pengelolaan
perikanan. Pelanggaran hukum yang dimaksudkan adalah pelanggaran hukum formal yang
ditetapkan oleh pemerintah. Hasil identifikasi terhadap pelanggaran hukum formal
memberikan gambaran adanya dua pelanggaran utama yang selalu terjadi di wilayah
Kabupaten Maluku Tenggara, antara lain: (1) penangkapan ikan dengan menggunakan bahan
peledak atau sering disebut dengan Bom Ikan; dan (2) pengambilan tukik penyu (Tabel 25).
Tabel 25 Jenis pelanggaran, bentuk penindakan dan kategorinya (formal), tahun 2013 dan 2014
Tahun Pelanggaran Jenis Pelanggaran Penindakan Kategori
2013 Bom Ikan Pelanggaran operasional pada carapenangkapan
Penertiban Berat
2013 PengambilanTukik Penyu Hijau
Pelanggaran operasional pada carapenangkapan
Penertiban danPembinaan
Berat
2013 Bom Ikan Pelanggaran operasional pada carapenangkapan
Penertiban Berat
2013 Bom Ikan Pelanggaran operasional pada carapenangkapan
Penertiban Berat
2014 Bom Ikan Pelanggaran operasional pada carapenangkapan
Penertiban Berat
2014 Bom Ikan Pelanggaran operasional pada carapenangkapan
Penertiban Berat
2014 Bom Ikan Pelanggaran operasional pada carapenangkapan
Penertiban Berat
Sumber: Bidang Pengawasan dan Konservasi, DKP Maluku Tenggara (2014)
Seluruh pelanggaran termasuk dalam jenis pelanggaran operasional khususnya pada cara
penangkapan ikan. Seluruh pelanggaran tersebut ditindak dengan pendekatan Penertiban yang
sifatnya mengarah pada pembinaan. Khusus untuk pelanggaran melalui Pengambilan Tukik
Penyu penertiban dan pembinaan dilakukan dengan mengajak pelaku pelanggaran terlibat
dalam proses penebaran tukik penyu sekitar 200 ekor.
Fakta yang menjadi bukti adanya pelanggaran adalah terdokumentasikannya lokasi-lokasi
pelanggaran, masing-masing:
(1) Lokasi pemboman ikan pada perairan sekitar Pulau Nai Kecamatan Kei Kecil dengan posisi
5043'04" dan 132032'44"
Sumber: Bidang Pengawasan dan Konservasi, DKP Maluku Tenggara (2014)
(2) Lokasi pengambilan tukik penyu pada pantai berpasir di Pulau Hoat Kecamatan Kei Kecil
dengan posisi 5043'40" dan 132033'49" E:
Sumber: Bidang Pengawasan dan Konservasi, DKP Maluku Tenggara (2014)
(3) Lokasi pemboman ikan di sekitar perairan Ur Pulau Kecamatan Kei Kecil Barat dengan
posisi 5050'10" dan 132031'45" E:
Sumber: Bidang Pengawasan dan Konservasi, DKP Maluku Tenggara (2014)
(4) Lokasi pemboman ikan di perairan sekitar Pulau Warbal Kecamatan Kei Kecil Barat dengan
posisi 5050'03" dan 132034'33"
Sumber: Bidang Pengawasan dan Konservasi, DKP Maluku Tenggara (2014)
(5) Lokasi pemboman ikan di perairan sekitar Pulau Nuhuta Kecamatan Kei Kecil Barat dengan
posisi 5053'08" dan 132027'48"
Sumber: Bidang Pengawasan dan Konservasi, DKP Maluku Tenggara (2014)
(6) Lokasi pemboman ikan di perairan sekitar Pulau Nuhuta Kecamatan Kei Kecil Barat dengan
posisi 5053'11" dan 132027'40" E:
Sumber: Bidang Pengawasan dan Konservasi, DKP Maluku Tenggara (2014)
(7) Lokasi pemboman ikan di perairan sekitar Pulau Nuhuta Kecamatan Kei Kecil Barat dengan
posisi 5053'20" dan 132027'48" E:
Sumber: Bidang Pengawasan dan Konservasi, DKP Maluku Tenggara (2014)
Hasil identifikasi sesuai data pelanggaran yang dikompilasi oleh Bidang Pengawasan dan
Konservasi DKP Maluku Tenggara tahun 2013 dan 2014 memberikan gambaran bahwa
pelanggaran masih terjadi pelanggaran dalam dua tahun terakhir, dimana dalam tahun 2013
tercatat empat kali pelanggaran, dan pada tahun 2014 pelanggaran sebanyak tiga kali. Hasil ini
termasuk dalam kriteria dua sampai dengan empat kali terjadi pelanggaran hukum dalam
satu tahun.
b. Non Formal
Indikator pelanggaran non-formal merupakan pelanggaran terhadap aturan-aturan lokal atau
kesepakatan-kesepakatan yang telah dibangun di kalangan masyarakat. Pelanggaran yang
bersifat non formal ini dibagi menjadi dua, masing-masing: aturan adat dan persepsi
masyarakat terhadap aturan formal yang ada. Namun demikian, pelanggaran non formal yang
dinilai ini lebih diarahkan pada keaktifan masyarakat dalam pelaporan atau pemberian
informasi tentang pelanggaran.
Mekanisme pemberian informasi atau pelaporan yang teridentifikasi terkait dengan
pelanggaran yang dilakukan di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara, dapat dibedakan atas
empat kelompok mekanisme, sesuai dengan hasil identifikasi seperti pada Tabel 26 Empat
kelompok mekanisme pemberian informasi atau pelaporan yang dimaksudkan meliputi: (1)
pelaporan oleh Kelompok Masyarakat Pengawas; (2) pelaporan oleh kepala ohoi; (3) tindakan
langsung masyarakat yang diikuti dengan pelaporan kepala ohoi; dan (4) tindakan langsung
oleh masyarakat bersama Kelompok Masyarakat Pengawas yang diikuti dengan pelaporan
Kelompok Masyarakat Pengawas.
Tabel 26 Jenis pelanggaran dan mekanisme informasinya (informal), tahun 2013 dan 2014
Tahun Pelanggaran Mekanisme informasi pelanggaran
2013 Bom Ikan di perairan sekitar PulauNai
Pelaporan oleh Pokmaswas Nuhuvut kepada BidangPengawasan dan Konservasi DKP Maluku Tenggara
2013 Pengambilan Tukik Penyu Hijau dipesisir Pulau Hoat
Pelaporan oleh Pokmaswas Nuhuvut kepada BidangPengawasan dan Konservasi DKP Maluku Tenggara
2013 Bom Ikan di perairan sekitar UrPulau
Pelaporan kepala ohoi Ur Pulau Bidang Pengawasan danKonservasi DKP Maluku Tenggara
2013 Bom Ikan di perairan sekitar PulauWarbal
Pelaporan oleh Pokmaswas Bau Bal kepada BidangPengawasan dan Konservasi DKP Maluku Tenggara
2013 Bom Ikan di perairan sekitarTanimbar Kei
Penanganan langsung oleh pemerintah ohoi TanimbarKei dengan melakukan penyitaan kapal danmemberlakukan aturan ohoi tentang “DendaPelanggaran di wilayah petuanan Tanimbar Kei.Informasi kepada Bidang Pengawasan dan KonservasiDKP MalukuTenggara disampaikan setelah ada tindakandan pemberian sanksi terhadap pelaku pelanggaran.
2014 Bom Ikan di perairan sekitar PulauNuhuta
Pelaporan oleh Pokmaswas Masbait kepada BidangPengawasan dan Konservasi DKP Maluku Tenggara
2014 Bom Ikan di perairan sekitar PulauNuhuta
Pelaporan oleh Pokmaswas Masbait kepada BidangPengawasan dan Konservasi DKP MalukuTenggara
2014 Bom Ikan di perairan sekitar PulauNuhuta
Penangkapan pelaku pelanggaran dan penyitaan barangbukti oleh masyarakat dan Pokmaswas Masbait,informasi disampaikan kepada oleh Bidang Pengawasandan Konservasi DKP MalukuTenggara
Sumber: Bidang Pengawasan dan Konservasi, DKP Maluku Tenggara (2014)
Hasil identifikasi tersebut menunjukkan bahwa masyarakat cukup proaktif untuk melaporkan
pelanggaran yang terindikasi atau yang terjadi pada perairan sekitar, khusus oleh Pokmaswas.
Hasil ini menunjukkan pada tahun 2013 sebanyak lima informasi pelanggaran, dan dalam tahun
2014 sebanyak tiga informasi pelanggaran. Hasil memberikan gambaran intensitas informasi
pelanggaran termasuk dalam kategori sedang sesuai dengan kriteria penilaian lebih dari tiga
informasi pelanggaran
Hasil penilaian terhadap indikator Kepatuhan Terhadap Prinsip-Prinsip Perikanan yang
Bertanggung Jawab menunjukkan bahwa untuk pencapaian keberhasilan implementasi
pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan di wilayah Kabupaten Maluku Tenggara,
masih harus dilakukan upaya-upaya peningkatan kepedulian dan kapasitas para pemangku
kepentingan perikanan. Peningkatan kepedulian dan kapasitas yang dimaksudkan adalah
dalam konteks mematuhi peraturan yang telah ditetapkan dan mengakomodasinya dengan baik
dalam pengembangan dan pengelolaan usaha perikanan tangkap di wilayah ini.
Fakta lapangan membuktikan bahwa pelanggaran terhadap peraturan terkait dengan
pengelolaan perikanan, dan penggunaan alat tangkap terlarang masih ditemukan dalam praktek
perikanan di wilayah ini. Kondisi demikian dikuatirkan dapat berdampak pada semakin
meningkatnya ketidakpatuhan terhadap peraturan baik formal maupun informal yang
berlangsung di masyarakat, dan berimplikasi pada ancaman bagi perikanan berkelanjutan di
wilayah ini. Konsekuensi yang harus dihadapi adalah aturan dan norma yang ada tidak akan
berlaku efektif. Dengan demikian, efektifitas kelembagaan di wilayah ini mesti ditingkatkan agar
dapat memberikan jaminan bagi pengelolaan perikanan berkelanjutan dan kelestarian
sumberdaya ikan.
3.6.2 Kelengkapan Aturan Main Dalam Pengelolaan Perikanan
Indikator kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan dinilai untuk mengetahui
tingkat ketersediaan regulasi (peraturan), peralatan, petugas dan infrastruktur pengelolaan
perikanan lainnya dan ada tidaknya penegakan aturan main serta efektifitasnya dalam
pengelolaan perikanan. Secara teoritis, peraturan yang lengkap akan menjadi dasar dalam
pelaksanaan pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab. Namun demikian, kelengkapan
peraturan tidak secara otomatis dapat terimplementasi dengan baik, karena harus diikuti
dengan penegakan aturan tersebut. Dengan demikian ketersediaan aturan saja tidak cukup dan
menjamin terlaksananya aturan dengan baik, namun harus diikuti dengan penegakan hukum
yang nyata, agar aturan yang ditetapkan itu bisa bersifat fungsional.
Pada setiap daerah dan wilayah pengelolaan perikanan, dibutuhkan kesiapan regulasi yang
mencukupi terkait dengan penggunaan alat, operasi penangkapan, kewenangan wilayah
pengelolaan, perijinan, jalur-jalur penangkapan dan kewenangan pengelolaan. Meskipun
faktanya masih seringkali terlihat banyak pelanggarannya, sebagaimana dianalisis dan dibahas
pada indikator Kepatuhan Terhadap Prinsip-Prinsip Perikanan yang Bertanggung Jawab di atas.
Penilaian terhadap indikator dari kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan dibagi
menjadi dua bagian, meliputi: kelengkapan regulasi serta penegakan aturan dan efektivitasnya
(a) Kelengkapan regulasi
Pada bagian ini, penilaian dilakukan pada sejauhmana kelengkapan aturan main yang dinilai
berdasarkan ketersediaan dan kelengkapan aturan main. Hal ini dapat dibuktikan dari
sejauhmana kelengkapan regulasi dalam pengelolaan perikanan tersedia, untuk mengatur
praktek pemanfaatan sumberdaya ikan sesuai dengan domain EAFM, yaitu; regulasi terkait
keberlanjutan sumberdaya ikan, habitat dan ekosistem, teknik penangkapan ikan, sosial,
ekonomi dan kelembagaan.
Hasil identifikasi lapangan membuktikan bahwa di tingkat daerah Kabupaten Maluku Tenggara,
belum ada regulasi daerah yang secara khusus mengatur tentang seluruh domain secara
holistik. Dua regulasi daerah yang ditetapkan, dan dipandang memiliki keterkaitan kuat dengan
pengelolaan perikanan, terutama setiap domain EAFM, meliputi:
(1) Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tenggara Nomor 12 Tahun 2012 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten Maluku Tenggara; dan
(2) Surat Keputusan Bupati Kabupaten Maluku Tenggara Nomor 162 Tahun 2013 tentang
Pencadangan Kawasan Konservasi Kabupaten Maluku Tenggara.
Kedua regulasi di tingkat daerah Kabupaten Maluku Tenggara ini, tidak menunjukkan dan
mengatur secara khusus tentang domain-domain dalam EAFM, namun demikian keterkaitannya
sangat kuat dengan domain kelembagaan. Hasil ini memberikan gambaran tentang kondisi
dimana eksistensi regulasi daerah tentang pengelolaan perikanan masih harus dikembangkan.
Sesuai dengan kriteria penilaian, maka kondisi yang ditemukan di Maluku Tenggara termasuk
dalam kriteria penilaian dimana tidak ada regulasi hingga tersedianya regulasi pengelolaan
perikanan yang mencakup dua domain
Kondisi yang dinilai tersebut, jika dibandingkan dengan penilaian pada tahun 2012, yang
memanfaatkan kondisi eksisting sebelum tahun 2012, maka telah ada dua regulasi daerah yang
ditetapkan dan bertambah. Kondisi ini termasuk dalam kriteria penilaian regulasi daerah ada
dan jumlahnya bertambah
Hasil ini menunjukkan bahwa walaupun tingkat kelengkapan aturan main dalam pengelolaan
perikanan belum lengkap, namun telah ada upaya-upaya untuk memperhatikan pengelolaan
perikanan di tingkat daerah. Walaupun demikian, regulasi yang ada ini belum menjawab
kebutuhan pengelolaan perikanan secara holistik, karena belum seluruh domain EFM yang
terakomodasi dalam pengaturan di tingkat daerah. Kebutuhan utama pengembangan regulasi di
daerah ini adalah bagaimana mengakomodasi seluruh domain EAFM dalam berbagai peraturan
daerah atau regulasi lainnya setingkat daerah Kabupaten Maluku Tenggara.
(b) Penegakan aturan dan efektivitasnya
Bagian ini dikembangkan untuk menilai sejauhmana tingkat penegakan aturan mainnya, yang
dibuktikan dengan ada atau tidaknya penegakan aturan main dan efektivitasnya. Untuk
mengetahui ada dan tidaknya penegakan aturan main dapat dilihat dari dua hal yaitu
ketersediaan alat dan orang serta keberadaan bentuk dan intensitas penindakan. Di sisi lain,
untuk melihat bentuk dan intensitas penindakan maka unit yang digunakan adalah ada atau
tidaknya teguran dan hukuman.
Hasil identifikasi lapangan membuktikan bahwa penegakan aturan main masih menggunakan
regulasi nasional. Sesuai dengan laporan Bidang Pengawasan dan Konservasi DKP Maluku
Tenggara (2014), dua regulasi nasional yang dimanfaatkan sebagai dasar dalam penegakan
aturan main antara lain:
(1) UU No. 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya,
dengan acuan pasal 21 ayat (2) dan pasal 40 ayat (2). Pemberlakuan aturan main ini pernah
digunakan sebagai langkah penegakan aturan untuk kasus Pengambilan Tukik Penyu Hijau
pada perairan sekitar Pulau Hoat Kecamatan Kei Kecil, dalam tahun 2013;
(2) UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana diubah dalam UU No. 45 Tahun
2009, dengan acuan pasal ayat (1) dan (2) serta pasal 84 ayat (1) dan (2). Pemberlakuan
aturan main ini digunakan sebagai langkah penegakan aturan untuk kasus penangkapan
ikan dengan menggunakan bahan peledak (bom ikan) dalam tahun 2013 dan 2014.
Acuan-acuan penegakan aturan main yang dikemukakan di atas merupakan fakta tentang masih
digunakannya regulasi nasional di tingkat lokal, dan berjalan cukup efektif. Namun demikian,
aturan turunan di tingkat daerah masih belum dikembangkan sesuai kebutuhan dan kearifan
lokal di daerah. Hal ini menjadi kebutuhan di tingkat Kabupaten Maluku Tenggara, khususnya
dalam pengembangan regulasi daerah tentang pengelolaan perikanan berkelanjutan, yang
dapat mengakomodasi domain-domain EAFM.
Di sisi lain, pada tingkat ohoi (desa) telah berkembang aturan ohoi seperti yang ditemukan pada
ohoi Tanimbar Kei yang menerapkan penegakan aturan main di tingkat lokal ohoi. Hal ini
terbukti dengan adanya penegakan aturan main untuk pelaku penangkapan ikan dengan
menggunakan bahwan peledak (bom ikan). Pemberlakuan aturan tingkat ohoi ini merupakan
manifestasi kepedulian masyarakat lokal terhadap pengelolaan perikanan berbasis kearifan
lokal. Penegakan aturan yang menjadi inisiatif masyarakat lokal ini sangat membutuhkan
dukungan stakeholder pengelolaan perikanan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan perikanan, sekaligus menghindari adanya penegakan hukum yang
berlawanan dengan aturan formal di tingkat nasional maupun daerah.
Walaupun demikian, penegakan aturan di wilayah ini dinilai cukup efektif. Catatan Bidang
Pengawasan dan Konservasi DKP Maluku Tenggara menunjukkan adanya: (1) tindakan
penertiban; dan (2) penangkapan pelaku dan diberlakukan hukuman sesuai aturan yang
berlaku. Hasil ini sesuai dengan kriteria penilaian dimana ada penegakan aturan main dan
efektif
Penilaian terhadap ketersediaan alat pengawasan dilakukan dengan mengidentifikasi jumlah
pengawas perikanan dan kelompok masyarakat pengawas perikanan. Hasil identifikasi
menemukan beberapa hasil terkait ketersediaan dalat pengawasan, antara lain:
(1) Pada tingkat DKP Kabupaten Maluku Tenggara, terdapat tiga orang yang bersertifikasi
Pengawas Perikanan.
(2) Untuk mendukung pekerjaan pengawasan perikanan, DKP Kabupaten Maluku Tenggara
membentuk Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) pada enam ohoi dalam tahun
2014. Keanggotaan Pokmaswas pada setiap ohoi berjumlah 10 orang, dengan demikian total
jumlah tenaga pengawas perikanan di tingkat ohoi sebanyak 60 orang.
(3) Eksistensi Stasiun Pengawasan PSDKP Tual juga berpotensi mendukung proses pengawasan
perikanan di wilayah ini.
(4) Masyarakat ohoi yang telah mengembangkan aturan ohoi seperti pada ohoi Tanimbar Kei
telah memberikan perhatian yang baik dalam pengawasan pemanfaatan sumberdaya
perikaan di wilayah mereka.
Beberapa tindakan teridentifikasi dengan baik melalui peran alat-alat pengawasan ini, antara
lain:
(1) tindakan penertiban;
(2) tindakan penetiban diikuti dengan proses pembinaan;
(3) penangkapan pelaku dan diberlakukan hukuman sesuai aturan yang berlaku oleh pengawas
DKP Maluku Tenggara;
(4) penangkapan pelaku dan alat bukti diberlakukan hukuman sesuai aturan yang berlaku di
tingkat ohoi oleh masyarakat dan pemerintah ohoi.
Hasil penilaian ini menggambarkan adanya kelengkapan alat pengawasan dan selalu diikuti
dengan tindakan-tindakan. Sesuai krietria penilaian, hasil penilaian menunjukkan kondisi
dimana ada alat dan orang serta ada tindakan Sejalan dengan ketersediaan alat pengawasan
dan efektfitasnya, maka ada proses teguran dan hukuman yang diberkakukan, walaupun
sebenarnya teguran dan hukuman yang diberikan belum dapat memberikan efek jera terhadap
para pelaku pelanggaran.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, eksistensi aturan tidak cukup jika tidak ada penegakan
hukum. Hasil penilaian di atas menunjukkan bahwa perlu juga dilihat sejauhmana tingkat
penegakan hukumnya dilaksanakan dengan baik, terutama jika diharapkan adanya efek jera
pada diri setiap pelaku pelanggaran. Hasl ini sesuai dengan hasil lapangan yang membuktikan
bahwa pada beberapa kelompok masyarakat tertentu yang umumnya menjadi pelaku
pelanggaran adalah mereka yang juga pernah melakukan pelanggaran yang sama.
Keberhasilan implementasi pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan terkait dengan
indikator kelengkapan aturan main yang dapat diindikasikan dengan keberadaan aturan dan
perkembangannya, mesti ditingkatkan efektivitasnya, terutama dalam proses penerapan aturan
dan pemberian hukum. Tindakan tegas masih sangat dibutuhkan untuk menimbulkan efek jera
di tingkat pelaku pelanggaran.
3.6.3 Mekanisme Pengambilan Keputusan
Indikator mekanisme pengambilan keputusan yang dimaksudkan adalah mekanisme yang
menunjukkan adanya metode/prosedur kelembagaan dalam masyarakat, baik yang diatur
dalam peraturan formal maupun informal, dimana pengaturannya mempengaruhi perilaku
masyarakat. Mekanisme kelembagaan juga berkenan dengan sistem tata kelakuan dan
hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kebutuhan. Kelembagaan
memiliki aspek kultural dan struktural, dimana aspek kulturalnya mencakup norma-norma dan
nilai-nilai, sedangkan aspek struktural mencakup pelbagai peranan sosial.
Pandangan-pandangan tersebut di atas memberikan pentingnya jastifikasi tentang suatu
mekanisme kelembagaan yang terkait dengan bagaimana prosedur peraturan/norma/aturan
main dibangun/dibuat khususnya dalam pengelolaan perikanan. Beberapa komponen penting
yang terkait penilaian indikator ini, antara lain:
(1) mekanisme kelembagaan sebagai metode/tehnik organisasi sosial dalam pengelolaan
perikanan terbentuk;
(2) prosedur dan tata cara yang jelas dalam membangun aturan main, yang secara ideal sudah
terbangun menjadi sebuah sistem dan tata nilai yang terimplementasi dalam aspek
pengelolaan perikanan dan dikawal dengan sanksi bagi yang melanggaranya;
(3) mekanisme kelembagaan sebagai hasil negosiasi antara berbagai pihak/pemangku
kepentingan dalam pengelolaan perikanan.
Secara teoritis, ukuran keberhasilan suatu mekanisme kelembagaan adalah mana kala dapat
terimplementasi menjadi sebuah sistem dan berjalan efektif, dimana ukurannya adalah
pengelolaan perikanan berjalan dengan prinsip-prinsip yang bertanggungjawab. Hal inilah yang
menyebabakan pentingnya unit analisis dalam indikator ini yang meliputi ada tidaknya
keputusan dalam pengelolaan perikanan. Oleh karena itu, pengukuran terhadap indikator ini
dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya mekanisme pengambilan keputusan (SOP)
dalam pengelolaan perikanan.
Hasil identifikasi pada beberapa stakeholder memberikan gambaran tentang pengambilan
keputusan terkait pengelolaan perikanan di Kabupaten Maluku Tenggara bersifat kolaboratif.
Makna kolaboratif ini tergambar dari partisipasi berbagai lembaga antara lain:
(1) Untuk perijinan usaha perikanan, dilakukan DKP bersama Kesyahbadaran, BPMD dan HNSI
dengan koordinasi BAPPEDA. Pada proses ini, mekanisme kelembagaan telah terumuskan
dengan baik dan dikelola oleh lembaga daerah yang menurus khusus tentang perijinan
melalui sistem Perjinan Satu Pintu.
(2) Untuk operasionalisasi penangkapan, dilakukan DKP bersama Kesyahbadaran, BPMD, HNSI
dan Perguruan Tinggi dengan koordinasi BAPPEDA. Pada proses ini, mekanisme
kelembagaan hanya terbatas pada kesepakatan antar lembaga, dan belum terumuskan
secara tertulis melalui suatu SOP dengan baik.
(3) Untuk konservasi dan pemulihan ekosistem pesisir dan Pulau-Pula Kecil, dilakukan DKP
bersama KSDA, Bapedalda, Perguruan Tinggi, LIPI dan LSM dengan koordinasi BAPPEDA.
Mekanisme kelembagaan ini dijalankan secara reguler sesuai dengan substansi yang
membutuhkan keputusan secara bersama, namun masih harus didukung dengan
pembuatan dan penetapan SOP-nya
Walaupun sebagian besar mekanisme kelembagaan yang bersifat kolaboratif ini belum
terakomodasi melalui SOP yang baik, namun sampai dengan identifikasi lapangan,
mekanismenya masih berjalan dengan baik. Hal ini tergambar dari adanya proses yang berjalan
secara reguler sesuai dengan kebutuhan setiap lembaga.
Hasil penilaian ini memberikan gambaran tingkat efektivitas pengambilan keputusan dalam
pengelolaan perikanan di Kabupaten Maluku Tengara cukup baik. Hal ini sesuai dengan kriteria
penilaian dimana ada mekanisme dan berjalan efektif
Walaupun belum ada SOP yang holistik dan menjawab tahapan proses secara menyeluruh,
namun eksistensi mekanisme kelembagaan yang terbangun di Kabupaten Maluku Tenggara
telah memberikan gambaran pengelolaan telah tersedia. Demikian halnya dengan prosedur
baku yang belum ditetapkan, hanya kesepakatan-kesepakatan antar lembaga yang memberikan
dukungan terhadap pencapaian efektifitas pengambilan keputusan.
Kondisi tersebut di atas, juga masih harus didukung dengan sistem tata kelola perikanan yang
benar dan menganut prinsip-prinsip perikanan yang bertanggungjawab. Sesuai dengan kriteria
penilaian yang ada, keputusan selalu diambil dengan pendekatan regulasi yang ada, dan
dijalankan sepenuhnya, sesuai mekanisme yang disepakati. Dengan demikian kriteria penilaian
yang sesuai dengan kondisi ini adalah ada keputusan dijalankan sepenuhnya
3.6.4 Rencana Pengelolaan Perikanan
Penilaian indikator ini mengarah pada ada atau tidaknya Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP)
untuk wilayah pengelolaan perikanan. Penilaian ini berkenaan dengan pentingnya pengelolaan
perikanan yang memperhatikan kaidah-kaidah perikanan yang bertanggungjawab, agar tidak
memberikan dampak dan mengancam keberlanjutan pasokan pangan nasional dan
internasional serta keberlanjutan stok sumberdaya ikan.
UU No.31/2004 tentang perikanan sebagaimana diubah dalam UU No,45/2009 tentang
perikanan pasal ayat huruf memberikan penjelasan dukungan kebijakan pengelolaan
sumberdaya ikan berbasis rencana pengelolaan perikanan (RPP). RPP merupakan pedoman
dan acuan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi dan sosial dalam merencanakan,
memanfaatkan dan mengawasi kegiatan perikanan, serta dapat dibangun berbasis kawasan
perairan atau berbasis komoditas perikanan.
Hasil identifikasi tentang eksistensi RPP untuk wilayah Kabupaten Maluku Tenggara, belum
dikembangkan dan ditetapkan di tingkat daerah. Kondisi ini memberikan bukti tentang
peluang-peluang berkembangnya pemanfaatan sumberdaya perikanan yang tidak
berkelanjutan. Berbagai kondisi yang terjadi di Indonesia membuktikan bahwa tidak adanya
RPP berimplikasi kuat terhadap meningkatnya ancaman terhadap semakin menipisnya potensi
sumber daya ikan di beberapa daerah.
Mengacu pada fakta itu, wilayah Kabupaten Maluku Tenggara masih dibutuhkan petunjuk
pelaksanaan pengelolaan sumber daya ikan, seperti RPP, yang diharapkan dapat menjamin
keberlanjutan kegiatan perikanan. Dengan demikian, kondisi yang ada sesuai dengan kriteria
penilaian dimana pada Kabupaten Maluku Tenggara belum ada RPP
3.6.5 Tingkat Sinergitas Kebijakan dan Kelembagaan Pengelolaan Perikanan
Indikator ini mengandung maksud adanya keterpaduan gerak dan langkah antar lembaga dan
antar kebijakan dalam pengelolaan perikanan sehingga tidak memunculkan adanya konflik
kepentingan dan benturan kebijakan. Keberhasilan pengelolaan perikanan ditentukan oleh
sejauh mana terjadi sinergisitas antara lembaga pengelola perikanan. Semakin tinggi tingkat
sinergi antar lembaga (span of control-nya rendah) maka tingkat efektivitas pengelolaan
perikanan akan semakin baik. Demikian halnya, semakin tinggi tingkat sinergi antar kebijakan
maka tingkat efektivitas pengelolaan perikanan akan semakin baik.
Hasil identifikasi lapangan memberikan gambaran bahwa sinergitas kebijakan dan
kelembagaan pengelolaan perikanan terakomodasi melalui koordinasi yang berjalan dengan
baik, dan banyak mendapat dukungan di bawah koordinasi BAPPEDA. BAPPEDA sebagai
lembaga koordinasi memberikan peran yang cukup dinamis dalam mengakomodasi berbagai
kebijakan dan kelembagaan terkait pengelolaan perikanan di Maluku Tenggara.
Hasil ini sesuai dengan kriteria penilaian dimana sinergi antar lembaga berjalan baik
Walaupun demikian, perhatian khusus tentang pemahaman tingkat sinergitas kebijakan dan
lembaga terkait perijinan, operasional pengelolaan perikanan, serta konservasi dan pemulihan.
Dua unsur penting yang berjalan dengan baik di Maluku Tenggara meliputi: sistem perijinan
serta konservasi dan pemulihan. Sistem perijinan yang dikembangkan di wilayah ini adalah
melalui “Sistem Pelayanan Satu Pintu”. Di sisi lain, sinergitas pada unsur konservasi dan
pemulihan masih berjalan dengan baik, sebagaimana tergambar dari perkembangannya selama
tiga tahun terakhir untuk kepentingan pengelolaan Kawasan Konservasi Maluku Tenggara
seluas 150.000 ha di kawasan Barat Kei Kecil
Pendekatan koordinasi yang diinisiasi oleh BAPPEDA Maluku Tenggara memberikan penguatan
pada alokasi kebijakan yang tidak tumpang tindih antar lembaga di daerah. Hal inilah yang
memberikan dukungan kuat dalam memberikan pernyataan strategis dimana tidak ada
kebijakan yang bertentangan karena adanya kebijakan pengelolaan berbasis integrasi
kelembagaan dan sistem perijinan satu pintu.
Sesuai dengan kondisi yang berkembang di wilayah ini, hasil penilaian memiliki kesesuaian
dengan kriteria penilaian yang menyatakan kebijakan saling mendukung Walaupun
demikian, upaya-upaya untuk mendukung penguatan alokasi dan implementasi kebijakan
pengelolaan perikanan yang sinergis harus dirumuskan dan dikembangkan sesuai kebutuhan
lokal.
Terkait dengan implementasi kebijakan pada seluruh lembaga di Kabupaten Maluku Tenggara,
maka inisiator dan komando sinergitas kebijakan pengelolaan perikanan di Maluku Tenggara
masih dikendalikan secara baik oleh BAPPEDA Provinsi Maluku. Kondisi ini tidak serta merta
memberikan jaminan tentang tingginya kinerja pengelolaan perikanan. Hal ini disebabkan
pencapaian sinergitas yang tinggi juga harus dicermati dengan baik, agar langkah-langkah
strategis untuk meningkatkan integrasi kelembagaan dapat diposisikan sebagai substansi
penting dalam mendukung pengelolaan perikanan berkelanjutan.
Langkah strategis yang dimaksudkan ini sangat dibutuhkan untuk menhindari tumpang tindih
kebijakan, baik lintas bidang maupun lintas sektor. Kondisi ideal yang diharapkan dalam
pengelolaan perikanan di Kabupaten Maluku Tenggara adalah semakin tinggi tingkat sinergi
antar lembaga, maka tingkat efektivitas pengelolaan perikanan akan semakin baik.
3.6.6 Kapasitas Pemangku Kepentingan
Kapasitas pemangku kepentingan termasuk dalam salah satu indikator yang sangat
menentukan. Penilaian indikator ini diarahkan pada eksistensi kapasitas pemangku
kepentingan yang sesuai dengan upaya-upaya konstruktif peningkatan kapasitas yang
dilakukan oleh pemangku kepentingan dalam mendukung pengelolaan perikanan. Pemangku
perikanan (stakeholder merpresentasikan pada pihak yang nmemiliki keterkaitan langsung
dengan pengelolaan perikanan. Pemangku perikanan dapat berasal dari birokrasi pemerintah
(pusat dan daerah), swasta, masyarakat, perguruan tinggi, LSM dan organisasi masyarakat
pesisir.
Penilaian terhadap indikator ini juga sangat penting dalam rangka mengetahui upaya
peningkatan kapasitas pemangku kepentingan dalam kerangka EAF. Upaya-upaya tersebut
merupakan langkah untuk meminimalisir kesalahan dalam mengimplementasikan pengelolaan
perikanan.
Penilaian terhadap indikator memberikan hasil dimana upaya peningkatan kapasitas yang
diikuti terkait dengan pengelolaan perikanan dalam tahun 2013 dan 2014 meliputi: (1)
workshop/ pelatihan konservasi; (2) studi banding transplantasi karang; (3) studi banding
pengelolaan kawasan konservasi; (4) workshop/ pelatihan terkait zonasi WP3K secara umum
dan pengelolaan kawasan konervasi secara khusus. Hasil ini diimplementasikan dalam bentuk
pengembangan berbagai program dan kegiatan pengelolaan. Namun demikian, alokasi peran
belum banyak diperhatikan terkait kapasitas masing-masing. Sesuai kriteria penilaiannya, maka
indikator ini termasuk dalam kategori kapasitas pemangku kepentingan ada tapi tidak
difungsikan (keahlian yang didapat tidak sesuai dengan fungsi pekerjaannya)
Hasil ini membuktikan bahwa pengelolaan perikanan di Kabupaten Maluku Tenggara masih
harus didukung dengan upaya-upaya yang sistematis dalam peningkatan kapasitas pemangku
kepentingan dalam mengelola perikanan. Hal ini sesuai dengan pandangan bahwa kapasitas
pemangku kepentingan menentukan baik buruknya kebijakan yang akan dipilih dalam
pengelolaan perikanan.
Pemangku kepentingan yang diharapkan dapat ditingkatkan kapasitasnya dalam pengelolaan
perikanan di wilayah ini tidak hanya terbatas pada instansi pemerintah, namun juga
lembaga/organisasi masyarakat dan perorangan. Jika seluruh komponen pengelola perikanan
memiliki kapasitas yang baik sesuai kompetensinya, maka sistem pengelolaan perikanan yang
baik dapat dicapai pada seluruh tahapan pengelolaan, mulai dari aspek perencanaa,
pemanfaatan dan pengawasan.
4 Analisis Komposit Pengelolaan Perikanan
4.1 Analisa menggunakan sistem Flag
Analisis dengan menggunakan sistem Flag menunjukkan adanya distribusi nilai yang bervariasi
untuk setiap indikator pada seluruh domain yang dianalisis. Hasil analisis secara parsial untuk
setiap domain dieksrepsikan secara tabular sebagai berikut:
(1) Domain Habitat:
INDIKATOR KRITERIA DATA ISIAN SKOR
1. Kualitas perairan 1= tercemar; Tidak dilakukan sampling,identifikasi visual secara umumpada perairan ini tidakmenunjukkan gejala-gejalatercemar, seperti minyak dan B3.
3
2=tercemar sedang;
3= tidak tercemar
1= Melebihi baku mutu sesuaiKepMen LH 51/2004;
Hasil pengukuran di perairan KeiKecil, rata-rata nilai kekeruhan 0,8NTU dan nilai padatan tersuspensitotal 0,08 mg/l. Sementara diperairan Kei Kecil Barat, rata-ratanilai kekeruhan 1,02 NTU dan nilaipadatan tersuspensi total mencapai0,98 mg/l. Nilai-nilai tersebut masihberada di bawah nilai kisarantoleransi Baku Mutu Air Laut untukWisata Bahari dan untuk Biota Laut
3
2= Sama dengan baku mutu sesuaiKepMen LH 51/2004;
3= Dibawah baku mutu sesuaiKepMen LH 51/2004
1= konsentrasi klorofil < µg/l; Hasil cuplikan citra MODISmenunjukkan rata-rata musim: (1)musim Peralihan Barat ke Timur0,10 g/l; (2) musim Timur 0,80
g/l; (3) musim Peralihan Timur keBarat 0,21 g/l; dan (4) musimBarat 0,40 g/l.
1
2= konsentrasi klorofil 2- µg/l;
3= konsentrasi klorofil µg/l
2. Status ekosistemlamun
1=tutupan rendah, 30%; Hasil pengamatan pada lokasiOholilir sebesar 56,43%, Pulau Ngaf62,40%, Tanjung Najun 61,71%,dan Pulau Ohoiwa 61,14%, rata-rata persen tutupan 60,42 %.
3
2=tutupan sedang, 30 - 60%;
3=tutupan tinggi, 60%1=keanekaragaman rendah (H'3,2 atau H' 1), jumlah spesies
Distribusi nilai keanekaragamanlamun di Oholilir 1,764 (7 spesies),Pulau Ngaf 1,406 (5 spesies),Tanjung Najun 1,726 (7 spesies),dan Pulau Ohoiwa 1,669 (7spesies). Rata-rata nilaikeanekaragaman lamun beradapada kriteria 1<H'<3.
2
kanekaragaman sedang(3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3),jumlah spesies
keanekaragaman tinggi(H’>9,97 atau H’>3), jumlahspesies
INDIKATOR KRITERIA DATA ISIAN SKOR
3. Status ekosistemmangrove
1=tutupan rendah, 50%; Total luasan mangrove diKecamatan Kei Kecil Barat 1.576,58ha, tutupan mangrove mencapai935,35 ha, sehingga tingkat tutupanmangrove 59,33%
2
2=tutupan sedang, 50 - 75%;
3=tutupan tinggi, 75 %
1=kerapatan rendah (<1000pohon/ha);
Pada lokasi contoh Desa Warwut,Kecamatan Kei Kecil Barat tingkatkerapatan mangrove sebanyak 777pohon/ha
1
kerapatan sedang (1000-1500pohon/ha);
kerapatan tinggi (> 1500pohon/ha)
4. Status ekosistemterumbu karang
1=tutupan rendah, <25%; Di Kei Kecil dengan wilayah contohyang disurvey perairan Kecil Barat,rata-rata tutupan karang mencapai39,13%.
2
2=tutupan sedang, 25 - 50%;
3=tutupan tinggi, 50%1=keanekaragaman rendah (H'3,2 atau H' 1);
Tidak dilakukan Pengukuran 1
kanekaragaman sedang(3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3);
keanekaragaman tinggi(H’>9,97 atau H’>3)
5. Habitat unik/khusus 1=tidak diketahui adanya habitatunik/khusus;
Hasil survey WWF-ID tahun 2014menemukan adanya lokasi SPAGs.Lokasi upwelling ditemukan padabusur dalam Banda yang dekatdengan perairan terluar terumbukarang di bagian Barat Kei Kecil.Habitat unik/khusus ini belumdikelola dengan baik melalui suatusistem tata kelola yangkomprehensif.
2
2=diketahui adanya habitatunik/khusus tapi tidak dikeloladengan baik;
diketahui adanya habitatunik/khusus dan dikelola denganbaik
6. Perubahan iklimterhadap kondisiperairan dan habitat
State of knowledge level : Sudah ada kajian tahun 2014,namun belum ada strategi adaptasidan mitigasi secara komprehensif.
21= belum adanya kajian tentangdampak perubahan iklim;2= diketahui adanya dampakperubahan iklim tapi tidak diikutidengan strategi adaptasi danmitigasi;
diketahui adanya dampakperubahan iklim dan diikutidengan strategi adaptasi danmitigasi
state of impact (key indicatormenggunakan terumbu karang):
Hasil survei Kesehatan Karang yangdilakukan oleh WWF, padabeberapa spot memang ditemukanpemutihan karang namun masihterjadi secara patchy dan masihsangat sedikit atau 5%
3
1= habitat terkena dampakperubahan iklim (e.g coralbleaching >25%);2= habitat terkena dampakperubahan iklim (e.g coralbleaching 5-25%);3= habitat terkena dampakperubahan iklim (e.g coralbleaching <5%)
RERATA
(2) Domain Sumber Daya Ikan:
INDIKATOR KRITERIA DATA ISIAN SKOR
1. CpUE Baku menurun tajam (rerata turun25% per tahun)
Hasil analisis CPUE Bakumenunjukkan rata-rata lajupenurunan CPUE Baku sebesar -1,38%. Persamaan regresi yangdihasilkan adalah: -0,0006X1,1287. Penurunan lebih lambat darihasil analisis tahun 2012 (-3,08%)
2
menurun sedikit (rerata turun25% per tahun)
stabil atau meningkat2. Tren ukuran ikan trend ukuran rata-rata ikan
yang ditangkap semakin kecil;Hasil interview menunjukkan: (1)7,50% menyatakan semakin besar; (2)62,50% menyatakan relatif sama; (3)27,50% menyatakan semakin kecil;dan (4) 2,50% menyatakan tidak tahu.Pernyataan ini diikuti denganpendapat bahwa ukuran ikan yangmenjadi target semakin jauh untukditangkap (range collaps)
2
trend ukuran relatif tetap;
trend ukuran semakin besar
3. Proporsi ikanyuwana (juvenile)yang ditangkap
banyak sekali (> 60%) Hasil interview terhadap 55%responden yang tahu tentang adanyapenangkapan ikan yuwana, 22,73%menyatakan sedikit (<30%), 72,73%menyatakan banyak (30 60%) dan4,55% lainnya menyatakan banyaksekali (> 60%). Sebagai pembanding,pengukuran sampel untuk: (1) layang,51,0% umur dewasa (16,21 cm); (2)tembang, 58,5% umur dewasa(11,95 cm); (3) tenggiri, 0% umurdewasa (40-45 cm); (4) teri, 46,5%umur dewasa (6 cm); serta (5) kerapu76,7% umur dewasa (39 cm),dengan rata-rata 46,53% umurdewasa
2
banyak (30 - 60%)
sedikit (<30%)
4. Komposisi spesieshasil tangkapan
proporsi target lebih sedikit (<15% dari total volume)
Pengamatan pada seluruh alattangkap yang umum digunakan (minipurse seine, pancing tonda, pancingdasar, jaring insang hanyut dan bagan,tidak ada ikan non target yangtertangkap karena seluruh hasiltangkapan dimanfaatkan untukkonsumsi dan/atau dijual.
3
proporsi target sama dgn non-target (16-30% dari total volume)
proporsi target lebih banyak (>31 dari total volume)
INDIKATOR KRITERIA DATA ISIAN SKOR
5. "Range Collapse"sumberdaya ikan
semakin sulit, tergantungspesies target
Hasil interview: (1) 82,50% semakinsulit; (2) 17,50% relatif tetap; (3)0,00% semakin mudah.
1
relatif tetap, tergantungspesies target
semakin mudah, tergantungspesies target
fishing ground menjadi sangatjauh, tergantung spesies target
Hasil interview: (1) 37,50% sangatjauh; (2) 57,50% jauh; (3) 5,00%tetap. Sebagai pembanding: (1)perikanan bagan di pesisir Timur KeiKecil bergeser ke tengah TelukNerong, saat musim Timur sampaiperairan Pulau Er dan Pulau Ngodan(2-4 jam); (2) perikanan mini purseseine bergeser ke Selatan Selat Nerongsampai perairan Timur Kei Besar (3-5jam); (3) perikanan kerapu bergeserke perairan terluar pulau-pulau 10sampai di perairan Tam-Tayando (1,5
jam)
2
2= fishing ground jauh, tergantungspesies target
3= fishing ground relatif tetapjaraknya, tergantung spesies target
6. Spesies ETP 1= terdapat individu ETP yangtertangkap tetapi tidak dilepas;
ETP yang tertangkap meliputi ikannapoleon dan penyu: (1) hasiltangkapan Napoleon sangat sedikitdan jarang ditemukan. Sebagian besarnelayan pada perikanan kerapu mulaimenerapkan "release" untuk hasiltangkapan napoleon; (2) sebagianbesar upaya pelepasan penyu hijaudan sisik yang tertangkap telahdilakukan; (3) penyu belimbing masihdigunakan untuk kebutuhan upacaraadat (1 ekor per tahun).
2
tertangkap tetapi dilepas
tidak ada individu ETP yangtertangkap
RERATA
(3) Domain Teknik Penangkapan Ikan:
INDIKATOR KRITERIA DATA ISIAN SKOR
1. Penangkapan ikan yangbersifat destruktif
1=frekuensi pelanggaran 10kasus per tahun
Data Bidang Pengawasan danKonservasi DKP Maluku Tenggara:
(1) terjadi pelanggaran kalidalam setahun; (2) pelanggaran
umumnya pada kegiatanpenangkapan ikan dengan
bius/racun dan bahanpeledak/bom; (3) penangkapanhampir tidak ditemukan, kecuali
satu kali temuan padapengambilan tukik penyu; (4)
lokasi-lokasi pelanggaran meliputi:perairan P. Ngaf, Teluk Sobai(Ohoililir), P. Nai, P. Hoat, Ur
Pulau, P. Warbal dan P. Nuhuta.Info tambahan: kegiatan
pemboman ikan dilakukan padasaat subuh dan menjelang malamuntuk menghindari pemantauanoleh pengawas atau masyarakat
sekitar. Hal ini melemahkan prosespengawasan.
3
frekuensi pelanggaran 5-10kasus per tahun
frekuensi pelanggaran <5kasus per tahun
2. Modifikasi alatpenangkapan ikan dan alatbantu penangkapan
lebih dari 50% ukuran targetspesies Lm
Hasil pengukuran sampel ikan: (1)layang, 51,0% Lm (16,21 cm);(2) tembang, 58,5% Lm (11,95cm); (3) tenggiri, 0% Lm (11,95cm); (4) teri, 46,5% Lm (6 cm);serta (5) kerapu 76,7% Lm (39
cm). Rata-rata 46,53% Lm
2
25-50% ukuran target spesiesLm
<25% ukuran target spesiesLm
3. Kapasitas Perikanan danUpaya Penangkapan(Fishing Capacity andEffort)
Rasio kapasitas penangkapan1;
Hasil perhitungan total untukMaluku Tenggara: (1) FC-2010
(tahun dasar) sebesar 45.248,78ton; (2) FC-2014 sebesar
44.264,11 ton; (3) nilai sebesar0,98 (R 1)
2
Rasio kapasitas penangkapan1;
Rasio kapasitas penangkapan
4. Selektivitas penangkapan rendah (> 75%) Hasil perhitungan nilai selektivitasdengan pendekatan alat tangkapsero tancap yang memiliki nilai
selektivitas yang rendah, sebesar0.04%
3
sedang (50-75%)
tinggi (kurang dari 50%)penggunaan alat tangkap yangtidak selektif)
5. Kesesuaian fungsi danukuran kapal penangkapanikan dengan dokumen legal
kesesuaiannya rendah (lebihdari 50% sampel tidak sesuaidengan dokumen legal);
Hasil survey: dari 24 pelaku usahaperikanan, 22 di antaranya
menunjukkan adanya kesesuaiandokumen legal dengan fungsi danukuran kapal, atau sekitar 91,67%
yang sesuai, atau 8,33% tidaksesuai
3
kesesuaiannya sedang (30-50% sampel tidak sesuai dengandokumen legal);
kesesuaiannya tinggi (kurangdari 30%) sampel tidak sesuaidengan dokumen legal
6. Sertifikasi awak kapalperikanan sesuai denganperaturan.
Kepemilikan sertifikat <50%; Hasil survey: dari 24 pelaku usahaperikanan, hanya orang yangmemiliki sertifikat awak kapal
perikanan sesuai denganperaturan, atau sekitar 37,50%
yang memiliki sertifikat kecakapanawak kapal perikanan
1
Kepemilikan sertifikat 50-75%;
Kepemilikan sertifikat >75%
(4) Domain Sosial:
INDIKATOR KRITERIA DATA ISIAN SKOR
1. Partisipasipemangkukepentingan
50%; Dalam tiga tahun terakhir,partisipasi pemangku kepentingan
meningkat sangat tajam. Kondisiini didukung dengan
berkembangnya perspektif.Contoh kasus: pengembangankawasan konservasi "TamanWisata Perairan Pulau Kecil",
mulai dari inisiasi, identifikasi,pencadangan, penetapan kawasan,
dan perencanaan zonasi.Keberlibatan pemangku
kepentingan di tingkat lokal jugasemakin kuat, baik Kepada AdatKawasan maupun Kepala Ohoi
2
50-100%;
100 %
2. Konflik perikanan lebih dari kali/tahun; Hasil identifikasi: (1) tahun 2013,satu kali konflik antara
pemanfaatan jalur transportasidan perikanan bagan di Teluk
Nerong; (2) Tahun 2014, satu kalikonflik antara nelayan mini purseseine dalam penempatan rumpon
dengan perikanan bagan.
3
2- kali/tahun;
kurang dari kali/tahun
3. Pemanfaatanpengetahuan lokaldalam pengelolaansumberdaya ikan(termasuk didalamnya TEK,traditional ecologicalknowledge)
tidak ada; Dalam tiga tahun terakhir, telahdigunakan TEK dalam pengelolaan
perikanan. Beberapa faktapemanfaatan TEK dalam
pengelolaan sumber daya ikan: (1)pengetahuan dalam implementasisistem sasi kawasan tertentu dan
jenis tertentu seperti teripang, loladan batulaga; (2) pengetahuan
lokasi potensial penangkapan ikan(daerah tubir, kawasan met dan
daerah skaru/tubur untuk tujuantangkap ikan demersal; (3)
pengetahuan tentang lokasi-lokasiyang tidak boleh disentuh atau
dilarang secara adat yangmengandung makna ekologis;serta (4) artikulasi lokal yangdiungkap untuk mendukung
sistem zonasi berbasis (adat) lokal.Keempat TEK ini cukup efektif
penggunaannya.
3
ada tapi tidak efektif;
ada dan efektif digunakan
RERATA
(5) Domain Ekonomi:
INDIKATOR KRITERIA DATA ISIAN SKOR
1. Kepemilikan Aset nilai aset berkurang (berkurangnyalebih dari 50%);
Hasil survey Nilai aset: (1) perahu, 22,50%berkurang, 62,50% tetap, dan 15,00%
bertambah; (2) mesin, 20,00% berkurang,65,00% tetap, dan 15,00% bertambah; (3)
alat tangkap, 0,00% berkurang, 77,50%tetap, dan 22,50% bertambah; (4) Rata-rata
tertinggi, 68,33% nilai aset tetapnilai aset tetap (berkurangnya
50%);
nilai aset bertambah (meningkat50%)
2. Pendapatan rumahtangga perikanan (RTP)
1= kurang dari rata-rata UMR, Secara parsial, hasil survey menunjukkanrata-rata pendapatan RTP: (1) JIH
676.500; (2) pancing kerapu 3.407.000;(3) bagan 3.328.000; dan (4) mini purse
seine 6.300.800. Rata-Rata agregat3.428,075, dan UMR (1.415.000)
2= sama dengan rata-rata UMR,
rata-rata UMR
3. Rasio Tabungan (Savingratio)
kurang dari bunga kredit pinjaman; Hasil perhitungan saving ratio rata-rata diRTP: (1) JIH 6,15%; (2) pancing kerapu
9,61%; (3) bagan 11,39%; dan (4) minipurse seine 12,97%. Rata-rata agregat
10,03% suku bunga kredit pinjaman akhirtahun 2014 sampai awal tahun 2015
(11,52%)
sama dengan bunga kreditpinjaman;
lebih dari bunga kredit pinjaman
RERATA 2
(6) Domain Kelembagaan:
INDIKATOR KRITERIA DATA ISIAN SKOR
1. Kepatuhan terhadapprinsip-prinsipperikanan yangbertanggung jawabdalam pengelolaanperikanan yang telahditetapkan baik secaraformal maupun non-formal
1= lebih dari kali terjadipelanggaran hukum dalampengelolaan perikanan;
Pelanggaran masih terjadi dalam duatahun terakhir: (1) Tahun 2013, kalipelanggaran; (2) Tahun 2014, kalipelanggaran
2
2- kali terjadi pelanggaranhukum;
kurang dari kali pelanggaranhukumNon formal Masyarakat cukup proaktif untuk
melaporkan pelanggaran yangterindikasi/terjadi pada perairansekitar, khususnya oleh Pokmaswas.Hasil identifikasi lapangan: tahun 2013sebanyak informasi pelanggaran, dandalam tahun 2014 sebanyak tigainformasi pelanggaran.
2
1= lebih dari informasipelanggaran,
2= lebih dari informasipelanggaran,
3= tidak ada informasipelanggaran
INDIKATOR KRITERIA DATA ISIAN SKOR
2. Kelengkapan aturanmain dalampengelolaan perikanan
tidak ada regulasi hinggatersedianya regulasi pengelolaanperikanan yang mencakup duadomain;
Dua regulasi daerah yang ditetapkansesudah penilaian tahun 2012 yangmemanfaatkan kondisi eksistingsebelum tahun 2012, masing-masing:(1)PERDA No. 12/2012 tentang RTRWKabupaten Maluku Tenggara; dan (2)SK Bupati No. 162/2013 tentangPencadangan Kawasan KonservasiKabupaten Maluku Tenggara. Hanyadomain yang terkait dengan eksistensiregulasi daerah ini, yaitu: domainkelembagaan.
1
tersedianya regulasi yangmencakup pengaturan perikananuntuk domain;
tersedia regulasi lengkap untukmendukung pengelolaanperikanan dari domainElaborasi untuk poin 2 Mengacu pada penilaian tahun 2012,
telah ada dua regulasi daerah yangditetapkan dan bertambahsebagaimana dijelaskan pada kriteria diatas.
3
1= ada tapi jumlahnya berkurang;
2= ada tapi jumlahnya tetap;
3= ada dan jumlahnya bertambah
1=tidak ada penegakan aturanmain;
Walaupun menggunakan regulasinasional, namun penegakan aturancukup efektif.
3
2=ada penegakan aturan mainnamun tidak efektif;3=ada penegakan aturan main danefektif
1= tidak ada alat dan orang; Alat pengawasan: (1) pengawas diDKP Maluku Tenggara; (2)Pokmaswas dengan 60 tenagapengawas; (3) eksistensi StasiunPengawasan PSDKP Tual; dan (4)masyarakat ohoi dengan aturan ohoi.Beberapa tindakan: (1) penertiban; (2)penetiban diikuti pembinaan; (3)penangkapan dan hukuman olehpengawas DKP Maluku Tenggara; serta(4) penangkapan pelaku dan alat buktioleh masyarakat dan pemerintah ohoi.
3
2=ada alat dan orang tapi tidak adatindakan;
3= ada alat dan orang serta adatindakan
1= tidak ada teguran maupunhukuman;
Teguran dan hukuman dijalankantergantung pada tingkatan dan pelakupelanggaran
3
2= ada teguran atau hukuman;
3=ada teguran dan hukuman
INDIKATOR KRITERIA DATA ISIAN SKOR
3. Mekanismepengambilankeputusan
1=tidak ada mekanismepengambilan keputusan;
Pengambilan keputusan bersifatkolaboratif dengan melibatkan lembagalain: (1) untuk perijinan usaha,dilakukan DKP bersamaKesyahbadaran, BPMD dan HNSIdengan koordinasi BAPPEDA; (2) untukoperasionalisasi penangkapan,dilakukan DKP bersamaKesyahbadaran, BPMD, HNSI danPerguruan Tinggi dengan koordinasiBAPPEDA; (3) untuk konservasi danpemulihan ekosistem pesisir PP.kecil, dilakukan bersama KSDA,Bapedalda, Perguruan Tinggi, LIPI danLSM dengan koordinasi BAPPEDA.Mekanisme ini dijalankan secarareguler sesuai dengan substansi yangmembutuhkan keputusan secarabersama, namun masih harus didukungdengan pembuatan dan penetapan SOP-nya
3
2=ada mekanisme tapi tidakberjalan efektif;
3=ada mekanisme dan berjalanefektif
1= ada keputusan tapi tidakdijalankan;
Keputusan selalu diambil denganpendekatan regulasi yang ada, dandijalankan sepenuhnya (sesuai denganmekanisme).
3
2= ada keputusan tidaksepenuhnya dijalankan;3= ada keputusan dijalankansepenuhnya
4. Rencanapengelolaan perikanan
1=belum ada RPP; Belum ada Rencana PengelolaanPerikanan di Tingkat Kabupaten
1
2=ada RPP namun belumsepenuhnya dijalankan;3=ada RPP dan telah dijalankansepenuhnya
5. Tingkat sinergisitaskebijakan dankelembagaanpengelolaan perikanan
1=konflik antar lembaga(kebijakan antar lembaga berbedakepentingan);
Adanya koordinasi yang berjalandengan baik, dan banyak mendapatdukungan di bawah koordinasiBAPPEDA
3
komunikasi antar lembagatidak efektif;
sinergi antar lembaga berjalanbaik1= terdapat kebijakan yang salingbertentangan;
Tidak ada kebijakan yang bertentangankarena adanya kebijakan pengelolaanberbasis integrasi kelembagaan dansistem perijinan satu pintu.
3
kebijakan tidak salingmendukung;
kebijakan saling mendukung
INDIKATOR KRITERIA DATA ISIAN SKOR
6. Kapasitas pemangkukepentingan
1=tidak ada peningkatan; Upaya peningkatan kapasitas yangdiikuti dalam tahun 2013 dan 2014: (1)workshop/ pelatihan konservasi; (2)studi banding transplantasi karang; (3)studi banding pengelolaan kawasankonservasi; (4) workshop/ pelatihanterkait zonasi WP3K secara umum danpengelolaan kawasan konervasi secarakhusus. Hasil ini diimplementasikandalam bentuk pengembangan berbagaiprogram dan kegiatan pengelolaan.Namun demikian, alokasi peran belumbanyak diperhatikan terkait kapasitasmasing-masing.
2
ada tapi tidak difungsikan(keahlian yang didapat tidaksesuai dengan fungsipekerjaannya)
ada dan difungsikan (keahlianyang didapat sesuai dengan fungsipekerjaannya)
(7) Nilai Komposit/Agregat:
Domain Nilai Komposit DeskripsiSumber daya Ikan 65,00 BaikHabitat ekosistem 61,11 BaikTeknik Penangkapan Ikan 61,67 BaikSosial 46,67 SedangEkonomi 100,00 Baik SekaliKelembagaan 65,27 Baik
Aggregat 209,36 Baik