25 oktober2016 penilaian performa pengelolaan … - eafm kkpd sultra _ uho... · penilaian eafm...

94
25 Oktober 2016 Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Di KKPD Sultra menggunakan Indikator EAFM Provinsi Sulawesi Tenggara FPIK UNIVERSITAS HALUOLEO

Upload: vanduong

Post on 11-Feb-2018

222 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

25 Oktober 2016

Penilaian PerformaPengelolaan Perikanan DiKKPD Sultra menggunakanIndikator EAFM

Provinsi Sulawesi Tenggara

FPIK UNIVERSITAS HALUOLEO

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM

di Kawasan KKPD Sultra

I - 1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Konservasi perairan merupakan salah satu bentuk pengelolaan sumberdaya yang

bertujuan untuk memberikan kesejahteraan sosial, ekonomi, dan lingkungan bagi

masyarakat. Pemerintah Indonesia telah mengatur konservasi perairan ini dalan UU No.

31/2004 dan UU No. 27/2007 serta turunannya masing-masing. Pemerintah Indonesia

berkomitmen untuk membuat 20 Juta Ha kawasan di tahun 2020. Di akhir tahun 2012,

Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menyebutkan angka pencapaian hingga 16

juta Ha (atau 80% dari target 2020). Penetapan kawasan konservasi perairan dilakukan

dengan Keputusan Menteri (KEPMEN). Terlepas dari itu, pemerintah daerah masih

diharapkan untuk dapat lebih proaktif dalam upaya mencadangkan dan mengelola

kawasan konservasi perairan daerah masing-masing sehingga Indonesia dapat lebih

menjamin keberlanjutan sumberdaya kelautan dan perikanan.

Tujuan penetapan kawasan konservasi ; (1) melindungi dan melestarikan sumber

daya ikan serta tipe tipe ekosistem penting untuk menjamin keberlanjutan fungsi

ekologisnya; (2) mewujudkan pemanfaatan sumber daya ikan dan jasa lingkungan

secara berkelanjutan; (3) meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan

konservasi.

Pada Tahun 2014, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara telah melakukan

pencadangan Kawasan Konservasi Sultra seluas 10.371,78 Ha sebagai Kawasan Taman

Wisata Perairan (TWP) melalui Surat Keputusan Gubernur nomor : 324 Tahun 2014,

yang terdiri dari: (1) Kawasan perairan pesisir Kabupaten Konawe Selatan seluas

8.700,04 Ha; (2) Kawasan perairan pesisir Kabupaten Konawe seluas 1.295,67; dan (3)

Kawasan perairan pesisir Kota Kendari seluas 376,07 Ha. Dalam perkembangannya,

KKPD yang telah dicadangkan mengalami perubahan dengan Surat Keputusan

Gubernur Sulawesii Tenggara Nomor 98 Tahun 2016 dengan penambahan luas kawasan

sebesar 11.414,36 Ha sehingga total luas keseluruhan mencapai 21.786,14 Ha.

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM

di Kawasan KKPD Sultra

I - 2

Penetapan KKPD Sultra didasarkan keberadaan kawasan tersebut yang sebagai

besar berada di kawasan Teluk Staring dengan beberapa pulau-pulau kecil yang tersebar

dengan karakteristik sebagai berikut :

Kawasan Konservasi Perairan daaerah Sultra potensial Sumber Plasma nufta

Kelautan/ perikanan

Pada kawasan tersebut sebagai daerah penangkapan ikan karena tonsentrasi ikan

pelagis kecil dan ikan dermersal

Kawasan tersebut memiliki potensi ekologi; ekosistem mangrove, ekosistem

terumbu karang, padang lamun, ekosistem estuary, ekosistem teluk.

Memiliki beberapa anak teluk (sekitar 12 buah) yang berpotensi sebagai nursery

ground

Mengalair beberapa sungai dan anak sungai sebagai pensuplai hurun hara

Pada kawasan tersebut terdapat indikasi sebagai daerah pemijahan ikan kakap,

lobster, ikan teri dan rajungan.

Kawasan Konservasi Perairan Daerah Sulawesi Tenggara menempati perairan di 3

wilyah adminstrasi yaitu Kabupaten Konawe yang meliputi Keamatan Soropia, Kota

Kendari meliputi Kecmatan Kendari, Kendari Barat, Poassia dan Kecamatan Abeli dan

Kabupaten Konawe Selatan yang meliputi Kecamatan Moramo, Moramo Utara dan Laonti.

Seperti KKPD lainnya kawasan ini memiliki pateni sumberdaya yang dapat dimanfaatkan

untuk mendukung kesejateraan masyarakat khususnya yang bermukim di sekitar kawasan

itu. Manfaat konservasi telah nyata meningkatkan produksi perikanan tangkap,

utamanya berhubungan dengan proses-proses biofisik seperti spill-over, ekspor

spesies ikan dewasa maupun benih ke daerah penangkapan ikan, ekspor larva ikan

dari tempat pemijahan yang tersedia sebagai stok perikanan, sehingga mampu

mencegah kolaps tangkapan.

Pengelolaan kawasan konservasi perairan menjadi kompleks karena bukan saja

terfokus pada kawasannya tapi juga terhadap sumberdaya yang ada di dalam kawasan

tersebut. Untuk mengola KKPD sebagai suatu kawasan yang berkelanjutan dalam

pengeloaan sumberdaya yang ada di dalamnya maka pengelolaannya akan dilakukan

dengan system zonasi. Sedangkan status pengelolaan terhadap sumberdaya yang dapat

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM

di Kawasan KKPD Sultra

I - 3

dimanfaatkan oleh masyarakat (sumberdaya ikan) tersebut maka harus diloakukan secara

komprehensip yang meliputi keterpaduan pengelolaan antar sumberdaya, lingkungan,

sarana prasarana, masyarakat maupn manajemen. Salah satu model pengeloaan yang saat

ini telah diakembangkan untuk mengintegrasikan unsur-unsur tersebut adalah model

pengeloaan pengeloaan perikanan dengan pendekatan eksositem (EAFM) dimana model

tersebut merupakan hasil pengembangan dari model pengeloaan sebelumnya. Adanya

pengeloaan dengan model EAFM tersebut pada kawasan konservasi perairan maka status

keberlanjutan sumberdaya daya ikan dan unsur-unsur pendukungnya dapat diketahui dan

dimplementasikan.

Prinsip pengelolaan perikanan dikawasan konservasi perairan dengan model EAFM

adalah sebagai berikut :

(1) perikanan harus dikelola pada batas yang memberikan dampak yang dapat

ditoleransi oleh ekosistem;

(2) interaksi ekologis antar sumberdaya ikan dan ekosistemnya harus dijaga;

(3) perangkat pengelolaan sebaiknya compatible untuk semua distribusi sumberdaya

ikan;

(4) prinsip kehati-hatian dalam proses pengambilan keputusan pengelolaan perikanan;

(5) tata kelola perikanan mencakup kepentingan sistem ekologi dan sistem manusia

Oleh karena itu kawasan konservasi perairan yang telah ditetapkan harus dikelola

secara bijaksana khususnya denagn model EAFM dalam memanfatkan sumberdaya ikan

yang terdapat didalamnya. Implementasi EAFM dapat dilakukan dengan berpedoman pada

perangkat domaian dan indikator EAFM sebagai alat monitoring dan evaluasi mengenai

performa pengelolaan perikanan sudah menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan berbasis

ekosistem di kawasan konservasi perairan. Melalui kajian EAFM yang bersifat

komprehensif, meliputi domain Sumberdaya ikan, Teknologi Penangkapan, Habitat dan

ekosistem, Sosial, Ekonomi dan Kelembagaan diharapkan dapat menggambarkan performa

pengelolaan perikanan berbasis ekosistem yang diterapkan di kawasan konservai perairan

daerah Sulawesi Tenggara.

Penilaian EAFM merupakan salah satu alat pengukur dalam melihat kondisi

pengelolaan perikanan disuatu daerah, terdapat 6 Domain yang terdiri atas 31 indikator.

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM

di Kawasan KKPD Sultra

I - 4

Melalui analisis indikator EAFM ini, diharapkan dapat memeberikan gambaran status dan

kondisi perikanan, di kawasan konservasi perairan sebagai baseline data bagi pemerintah

maupun bagi pemerintah Provinsi Sulawesii Tenggara baik itu di KKP pusat dan Dinas

Perikanan setempat sebagai dasar pengelolaan perikanan untuk mendukung kesejahteraan

masyarakat pesisir khususnya yang bermukim dan memanfaatkan sumvberdaya perikanan

di kawasan konservasi perairan daerah dan sekitarnya.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas WWF-South East Sulawesi Sub Seascape

program akan dilaksanakan kegiatan survei lapangan untuk mengumpulkan infromasi

terkini perihal data indikator baik data primer maupun sekunder untuk melihat performa

pengelolaan perikanan dikawasan konservasi perairan daerah sebagai base line data untuk

kebutuhkan pengelolaan selanjutnya.

Data yang terkumpul akan dianalisis oleh tim ahli (FPIK-UHO) dan dibuat dalam

bentuk laporan hasil. Selanjutnya laporan hasil ini akan di sosialisasikan kepada jajaran

SKPD terkait khususnya di tiga Kabupaten keberadaan kawasan konservasi perairan

daerah untuk membahas kondisi terkini dari performa pengelolaan perikanan kawasan

yang dikasud. Diharapkan dalam diskusi nanti dapat membangun kesepahaman bersama

terhadap pengelolaan perikanan berbasis ekosistem yang bersinergi antar lembaga dalam

mewujudkan perikanan yang berkelanjutan di kawasan konservasi perairan daerah

Sulawesi Tenggara.

1.2. Tujuan

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk melakukan kajian dan analisis base line

performa pengelolaan perikanan di Kawasan konservasi Perairan darha Provinsi

Sulawesi Tenggara melalui indikator-indikator pengelolaan perikanan dengan

pendekatan metode EAFM

1.3. Hasil

Adapun hasil yang diharapkan dari pertemuan ini adalah ; memberikan gambaran

awal mengenai penilaian dan penerapan indikator EAFM pada pengelolaan perikanan

di Kawasan konservasi Perairan daerah Provinsi Sulawesi Tenggara dan memberikan

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM

di Kawasan KKPD Sultra

I - 5

rekomendasi tentang keterkaitan penerapan di Kawasan Konservasi Perairan Daerah

serta adanya rekomendasi perbaikan metode dan analisa indikator EAFM untuk

kawasan konservasi perairan.

1.4. Ruang Lingkup

Ruang lingkup kegiatan adalah mengevaluasi dan membahas kondisi awal performa

pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem (EAFM) kawasan konservasi

perairan Sulawesi sebagai base line data dalam pengelolaan selanjutnya. Dan

dihasilkannya perencanaan kerja dalam usaha meningkatkan Performa Pengelolaan

Perikanan Berbasis Ekosistem (EAFM) di kawasan konservasi perairan khususnya KKPD

Sulawesi Tenggara.

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

II - 1

BAB II

KONDISI PERIKANAN DI KKPD SULTRA

2.1. Profil KKPD Sultra

Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Provinsi Sulawesi Tenggara yaitu

seluas 21.786,14 Ha (dua puluh satu ribu tujuh ratus delapan puluh enam koma empat

belas hektar), yang terdiri dari :

1). Kawasan perairan pesisir Kabupaten Konawe Selatan seluas 20.114,40 Ha (dua

puluh ribu seratus empat belas koma empat puluh hektar), dengan batas dan titik

koordinat sebagaimana peta tercantum dalam lampiran keputusan ini.

2). Kawasan perairan pesisir Kabupaten Konawe seluas 1.295,67 Ha (seribu dua ratus

sembilan puluh lima koma enam puluh tujuh hektar), dengan batas dan titik

koordinat sebagaimana peta tercantum dalam lampiran keputusan ini.

3). Kawasan perairan pesisir Kota Kendari seluas 376,07 Ha (tiga ratus tujuh puluh

enam koma nol tujuh hektar), dengan batas dan titik koordinat sebagaimana peta

tercantum dalam lampiran keputusan ini.

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

II - 2

Gambar 2.1. Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Sulawesi Tenggara

2.2. Profil Perikanan Tangkap KKPD Sultra

Kawasan Konservasi Perairan Daerah Sulawesi Tenggara memiliki potensi

perikanan tangkap di 3 wilayah administrasi yaitu Kota Kendari, Kabupaten Konawe dan

Konawe Selatan masih cukup besar. Hal ini disebabkan karena kawasan ini menempati

kawasan perairan seluas 21.114,40 ha dengan panjang pantai yang cukup panjang dan

terdapat banyak pulau-pulau kecil dan berhadapan langsung dengan Laut Banda yang

terkenal akan berbagai jenis ikan yang berekonomis tinggi seperti ikan tuna, cakalang,

tongkol, layang, tenggiri dan kembung serta berbagai jenis ikan karang seperti ikan kerapu

dan kakap.

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

II - 3

Pemanfaatan KKPD sebagai daerah penangkapan ikan umumnya dilakukan oleh

nelayan tradisional yang bermukim di wilayah pesisir kawasan tersebut dengan

menggunakann berbagai macam malat tangkap ikan, antara lain pancing, gill net, sero,

payang, mini purse seine dan bagan. Keberadaan KKPD sebagai daerah penangkapan ikan

sudah lama dilakukan nelayan sebelum status kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan

konservasi perairan sehingga sebagian besar masyarakat belum memahami sepenuhnya

fungsi kawasan konservasi tersebut. KKPD sebagain besar perairannya menempat wilayah

administrasi Kabupaten Konawes Selatan yang terdiri dari Kecamatan Moramo Utara,

Kecamatan Moramo dan Kecamatan Laonti yang sekaligus juga berada di kawasan Teluk

Staring. Sedangkan KKPD yang berada di wilayah Kabupaten Konawe hanya kecematan

Soropia namun memiliki jumlah nelayan terbesar khsusnya di Desa Sampnda dan Saponda

Laut serta Wilayah adminstrasi Kota Kendari yang terdiri dari beberapa kecamatan namun

tidak berbatasan langsung dengan KKPD tetapi sebagain nelayannya memanfaatkan

KKPD sebagai daerah penangkapan.

Kawasan KKPD Sultra ini memiliki kekayaan dan keanekaragaman hayati

(biodiversity) yang sangat besar seperti sumberdaya ikan, terumbu karang, mangrove dan

padang lamun. Selain itu, terdapat pula jasa-jasa lingkungan kelautan yang dapat

dikembangkan seperti jasa pariwisata bahari dan jasa transportasi laut. Aktifitas yang

berhubungan dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan di kawasan KKPD cukup padat.

Mayoritas masyarakat yang menghuni sekitar kawasan ini menggantungkan hidupnya

melalui sumberdaya perikanan yang terdapat di dalamnya.

Aktifitas pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berlangsung di kawasan KKPD

Sulawesi Temggara adalah perikanan skala kecil dan menengah. Dengan demikian,

kapasitas penangkapan masing-masing nelayan masih skala kecil dan menengah pula.

Kapasitas kapal penangkap ikan yang beroperasi di kawasan KKPD ini bervariasi mulai

dari kapasitas 0,5 GT hingga 27 GT. Sebagian besar kapal-kapal yang beroperasi di

kawasan KKPD sebenarnya adalah kapal-kapal dengan kapasitas di bawah 5 GT (< 5GT).

Jenis kapal dengan kapasitas ini antara lain, sampan, body batang dan jolor. Adapun kapal-

kapal dengan kapasitas di atas 5 GT (> 5 GT) hingga 27 GT, daerah pengoperasian

sebenanrnya adalah diluar kawasan KKPD Sulawesi Tenggara, misalnya di perairan laut

banda, laut arafura dan perairan perikanan skala besar lainnya. Namun, terkadang pada

waktu atau musim-musim tertentu kapal-kapal tersebut menangkap juga di kawasan

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

II - 4

KKPD. Umumnya kapal-kapal dengan kapasitas tersebut adalah nelayan andong atau

nelayan pendatang dari luar sulawesi tenggara.

Beberapa nelayan di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara masih menggunakan

peralatan penangkapan ikan yang tradisional dan beberapa lainnya sudah menggunakan

teknologi modern, serta beberapa juga memadukan antara peralatan tradisional dan

modern. Secara keseluruhan, jenis-jenis alat penangkapan ikan (fishing gear) yang

dioperasikan di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara antara lain: Jaring Insang (gill net),

Mini Purse Seine, Purse Seine, Bagan, Payang, Pancing Rawai, Pole and Line, Pancing

Kedo-kedo, Sero, Bubu Rajungan, Rawai, Pancing Ulur, Pancing Gurita, Pancing Tonda,

Panah (Speargun) dan Pancing Bambu. Tidak semua alat tangkap tersebut berasal atau

digunakan oleh masyarakat sekitar kawasan KKPD. Beberapa alat tangkap ikan seperti

bagan, payang, mini purse seine dan purse seine adalah alat tangkap yang dioperasikan

oleh nelayan pendatang (nelayan andong) dari luar kawasan KKPD bahkan dari luar

sulawesi tenggara (nelayan dari sulawesi selatan). Kondisi ini seringkali menimbulkan

konflik antara nelayan setempat dengan nelayan andong, karena beroperasinya nelayan

andong ini dapat menyebabkan turunnya hasil tangkapan nelayan setempat yang hanya

memiliki kapasitas penangkapan yang kecil.

Potensi perikanan yang ada di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara meliputi

perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Potensi perikanan tangkap terbagi kedalam dua

kelompok ikan yaitu ikan pelagis dan ikan demersal. Terdapat tiga jenis perikanan prioritas

utama di kawasan KKPD ini yang ditangkap oleh nelayan setempat, yakni: jenis perikanan

karang, ikan-ikan kembung dan ikan putih atau kuweh. Ikan pelagis yang kebanyakan

ditangkap oleh nelayan di kawasan KKPD ini adalah jenis ikan kembung lelaki (Rastrlliger

kanagurta) dan ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachyosoma). Adapun ikan-ikan

demersal yang banyak tertangkap oleh nelayan adalah dari jenis ikan-ikan karang dan ikan

putih atau ikan kuweh. Ikan-ikan karang yang dimaksud antara lain: sunu merah, sunu

hitam, katamba, kakap merah, jenis-jenis ikan kerapu lainnya, ikan ekor kuning, biji

nangka, ikan kakatua serta banyak lagi jenis ikan karang lainnya. Terkadang hasil

tangkapan nelayan juga meliputi ikan-ikan tongkol, layang, cakalang, baby tuna, ikan

tengiri dan ikan-ikan pelagis kecil dan besar lainnya. Namun, ikan-ikan tersebut bukan

ditangkap dalam kawasan KKPD melainkan di perairan bagian luar ataupun lebih jauh dari

itu. Sementara itu, perikanan budidaya yang diusahakan oleh masyarakat di kawasan

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

II - 5

KKPD Sulawesi Tenggara antara lain keramba jaring apung, keramba jaring tancap dan

budidaya kerang mutiara. Di kawasan KKPD ini juga terdapat budidaya rumput laut,

namun pengusahaan budidaya ini telah berhenti beberapa tahun belakangan disebabkan

melimpahnya hama tanaman rumput laut, misalnya penyu.

Produksi rata-rata perikanan kembung di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara

adalah sekitar 37,35 kg/trip. Sedangkan produksi rata-rata perikanan karang di kawasan

KKPD ini adalah sekitar 39,0 kg/trip. Adapun produksi rata-rata perikanan kuweh adalah

sekitar 23,9 kg/trip. Daerah penangkapan jenis perikanan karang, ikan kembung dan ikan

kuweh tersebut, yang paling sering dikunjungi nelayan adalah perairan pulau hari, tanjung

lemo, perairan pulau lara, perairan labotaone, perairan tanjung tiram, perairan saponda,

perairan labuan beropa, tanjung beropa, tanjung gomo, perairan tambeanga, perairan

tambolosu dan sekitar pulau bokori. Nelayan yang memiliki kapasitas mesin kapal yang

lebih besar dan mendukung, terkadang menangkap keluar dari kawasan KKPD hingga di

perairan wawonii, perairan buton dan perairan labengki. Selain ikan mati, pengusahaan

ikan hidup di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara ini juga ada. Beberapa rumah tangga

perikanan (RTP) yang tinggal di kawasan KKPD ini merupakan pengumpul ikan hidup.

Ikan-ikan hidup tersebut baik masih bibit seperti bibit ikan kuweh, maupun ikan-ikan

karang ukuran komersil siap jual seperti sunu merah, sunu hitam, kerapu tiger, dan jenis-

jenis kerapu lainnya. Jumlah pengumpul ikan hidup di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara

tidak sebanyak pengumpul ikan mati. Ikan-ikan mati dan hidup tersebut biasanya

dipasarkan di Kota Kendari, beberapa daerah di sulawesi tenggara dan sulawesi selaatan

hingga ke pulau jawa dan Bali.

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM

di Kawasan KKPD Sultra

III - 1

BAB III METODE PENILAIAN

PENGELOLAAN PERIKANAN DI KKPD SULTRA

3.1. Waktu Pelaksanaan

Kegiatan ini akan dilaksanakan selama 3 bulan sejak bulan Juli sampai september

2016 dengan tahapan dan rencana waktu pelaksanaan sebagai berikut :

Tabel 3.1. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan Penilaian Pengelolaan Perikanan di Kawasan KKPD Sulawesi Tenggara

Kegiatan Juli Agustus September

II IV I II III IV I II III IV

Koordinasi Tim dan persiapan

Identifikasi Nelayan dan lokasi kegiatan

Pengumpulan data

Tabulasi data

Analisis Data

Penyusunan laporan

Sosialisasi hasil

3.2. Lokasi Kegiatan

Lokasi pelaksanaan Evaluasi performa pengelolaan perikanan di kawsan konservasi

perairan dengan pendekatan ekosistem (EAFM) di laksanakan di Kota Kendari, Kabupaten

Konawe Selatan dan Kabupaten Konawe yang menfokuskan aktivitas di kawasan

konservasi perairan daerah Sulawesi Tenggara.

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM

di Kawasan KKPD Sultra

III - 2

Tabel 3. 2. Rancangan Lokasi Survei dan Jumlah Responden Berdasarkan Setiap Kecamatan

Kabupaten Kecamatan Rancangan Jumlah Responden

Kota Kendari 1. Kendari 40 2. Poasia 40 3. Nambo 40

Konawe Selatan 1. Moramo Utara 50 2. Moramo 50 3. Laonti 50

Konawe 1. Tapulaga 50 2. Soropia 50 3. Lalonggasomeeto 50

Instansi Pemerintah

1. DKP Provinsi Sultra 5 2. DKP Kota Kendari 5 3. DKP Konawe Selartan 5 4. DKP Konawe 5 5. PPS Kendari 5 6. PPI Lapulu 5 7. PPI Sodoha 5 8. PPI Soropia 5

3.3. Kebutuhan Data

Adapun data-data yang dibutuhkan dalam penilaian status indikator setiap domain

yang menjadi fokus penilaian di kawasan konservasi perairan daearah ini, sebagai

berikut :

a. Indikator Domain Sumberdaya Ikan Indikator Sumber data Kriteria

CPUE Baku (Standarize CPUE)

Kondisi Perikanan Di KKPD (DKP dan Nelayan)

1 = CPUE baku menurun tajam 2 = CPUE baku menurun sedikit 3 = CPUE baku stabil atau meningkat

Ukuran Ikan Wawancara (DKP dan Nelayan) 1 = trend ukuran rata-rata ikan yang

ditangkap semakin kecil 2 = trend ukuran relatif tetap 3 = trend ukuran semakin besar

Proporsi Ikan Yuwana (Juvenile) yang ditangkap

Wawancara (DKP dan Nelayan) 1 = banyak sekali (> 60 %) 2 = banyak (30 – 60 %) 3 = sedikit (<30 %)

Komposisi Spesies Wawancara (DKP dan Nelayan) 1 = proporsi target lebih sedikit 2 = proporsi target sama dengan non-

target

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM

di Kawasan KKPD Sultra

III - 3

3 = proporsi target lebih banyak

"Range Collapse" sumberdaya Ikan DKP dan Wawancara Nelayan)

1 = semakin Sulit 2 = relatif tetap 3 = makin mudah 1 = fishing ground menjadi sangat jauh 2 = fishing ground jauh 3 = fishing ground relatif tetap

jaraknya.

Spesies ETP Wawancara (DKP dan Nelayan) 1 = banyak tangkapan spesies ETP 2 = sedikit tangkapan spesies ETP 3 = tidak ada spesies ETP yang

tertangkap b. Indikator Domain Habitat dan Ekosistem

Indikator Sumber data Kriteria

Kualitas perairan

Data skunder : Hasil penelitian baik telah dipublikasikan maupun tidak terpublikasi, laporan dan dokumen yang relevan.

Limbah yang reidentivikasi secara klinis, audio/visual 1 = tercemar 2 = tercemar sedang 3 = tidak tercemar Tingkat kekeruhan 1 = > 20 mg/m3 konsentrasi tinggi 2 = 10 – 20 mg/m3 konsentrasi sedang 3 = < 10 mg/m3 konsentrasi rendah Eutrofikasi 1 = konsentrasi klorofil a > 10 mg/m3 terjadi

eutrofikasi. 2 = konsentrasi klorofil a 1 - 10 mg/m3 potensi

terjadi eutrofikasi. 3 = konsentrasi klorofil a < 1 mg/m3tidak terjadi

eutrofikasi

Status lamun

Data skunder : Hasil penelitian baik telah dipublikasikan maupun tidak terpublikasi, laporan dan dokumen yang relevan.

1 = tutupan rendah, 29,9 % 2 = tutupan sedang, 30–49,9 %. 3 = tutupan tinggi 50 % 1 = keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1) 2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau

1<H’<3); 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3)

Status Mangrove

Data skunder : Hasil penelitian baik telah dipublikasikan maupun tidak terpublikasi, laporan dan dokumen yang relevan.

1 = kerapatan rendah, <1000 pohon/ha, tutupan <50%;

2 = kerapatan sedang 1000-1500 pohon/ha, tutupan 50-75%;

3 = kerapatan tinggi, >1500 pohon/ha, tutupan >75%

1 = keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1) 2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau

1<H’<3); 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3) Kriteria Luasan : 1= luasan mangrove berkurang dari data awal; 2= luasan mangrove tetap dari data awal; 3= luasan mangrove bertambah dari data awal 1 = INP rendah; 2 = INP sedang; 3 = INP tinggi;

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM

di Kawasan KKPD Sultra

III - 4

Status Terumbu Karang

Data skunder : Hasil penelitian baik telah dipublikasikan maupun tidak terpublikasi, laporan dan dokumen yang relevan.

1 = tutupan rendah, < 25 % 2 = tutupan sedang, 25 – 49,9 %. 3 = tutupan tinggi > 50 % 1 = keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1) 2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau

1<H’<3); 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3)

Habitat unik/khusus (spawning ground, nursery ground, feeding ground, upwelling).

Data skunder : Hasil penelitian baik telah dipublikasikan maupun tidak terpublikasi, laporan dan dokumen yang relevan.

1 = tidak diketahui adanya habitat unik/khusus; 2=diketahui adanya habitat unik/khusus tapi tidak

dikelola dengan baik; 3 = diketahui adanya habitat unik/khusus dan

dikelola dengan baik

Status dan produktivitas Estuari dan perairan sekitarnya

Data skunder : Hasil penelitian baik telah dipublikasikan maupun tidak terpublikasi, laporan dan dokumen yang relevan.

1 = produktivitas rendah; 2 = produktivitas sedang; 3 = produktivitas tinggi

Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat

1= belum adanya kajian tentang dampak perubahan iklim;

2= diketahui adanya dampak perubahan iklim tapi tidak diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi;

3 = diketahui adanya dampak perubahan iklim dan diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi

c. Indikator Domain Teknik Penangkapan Ikan

Indikator Sumber data Kriteria

Metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal

Wawancara (DKP dan Nelayan) dan Laporan hasil pengawas perikanan

1 = frekuensi pelanggaran > 10 kasus per tahun

2 = frekuensi pelanggaran 5-10 kasus per tahun

3 = frekuensi pelanggaran <5 kasus per tahun Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan.

Wawancara (DKP dan Nelayan)

1 = lebih dari 50% ukuran target spesies < Lm 2 = 25-50% ukuran target spesies < Lm 3 = <25% ukuran target spesies < Lm

Fishing capacity dan Effort

Wawancara (DKP dan Nelayan)

1 = R kecil dari 1; 2 = R sama dengan 1; 3 = R besar dari 1

Selektivitas penangkapan

Statistika Perikanan dan Wawancara

1 = rendah (> 75%) ; 2 = sedang (50-75%) ; 3 = tinggi (kurang dari 50%) penggunaan alat

tangkap yang tidak selektif)

Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal

Laporan tahunan DKP Nelayan)

1 = kesesuaiannya rendah (lebih dari 50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal);

2 = kesesuaiannya sedang (30-50% sampel tdk sesuai dgn dokumen legal);

3 = kesesuaiannya tinggi (kurang dari 30%) sampel tidak sesuai dgn dokumen legal

Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan.

Laporan tahunan DKP dan Wawancara Nelayan)

1= Kepemilikan sertifikat <50%; 2= Kepemilikan sertifikat 50-75%; 3 = Kepemilikan sertifikat >75%

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM

di Kawasan KKPD Sultra

III - 5

d. Indikator Domain Ekonomi Indikator Sumber data Kriteria

Kepemilikan aset Wawancara (DKP dan Nelayan)

1 = nilai aset berkurang (lebih dari 50%) ; 2 = nilai aset tetap (kurang dari 50%); 3 = nilai aset bertambah (di atas 50%)

Pendapatan rumah tangga (RTP)

Wawancara (DKP dan Nelayan)

1 = kurang dari rata-rata UMR, 2 = sama dengan rata-rata UMR, 3 = > rata-rata UMR

Saving rate Wawancara (DKP dan Nelayan)

1 = kurang dari bunga kredit pinjaman; 2 = sama dengan bungan kredit pinjaman; 3 = lebih dari bunga kredit pinjaman

e. Domain Sosial

Indikator Sumber data Kriteria

Partisipasi pemangku kepentingan

Data skunder : Hasil penelitian baik telah dipublikasikan maupun tidak terpublikasi, laporan dan dokumen yang relevan. Wawancara (DKP dan Nelayan)

1 = kurang dari 50%; 2 = 50-100%; 3 = 100 %

Konflik perikanan

Data skunder : Hasil penelitian baik telah dipublikasikan maupun tidak terpublikasi, laporan dan dokumen yang relevan. Wawancara (DKP dan Nelayan)

1= lebih dari 5 kali/tahun; 2 = 2-5 kali/tahun; 3 = kurang dari 2 kali/tahun

Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK, traditional ecological knowledge)

Data skunder : Hasil penelitian baik telah dipublikasikan maupun tidak terpublikasi, laporan dan dokumen yang relevan. Wawancara (DKP dan Nelayan)

1 = tidak ada; 2 = ada tapi tidak efektif; 3 = ada dan efektif digunakan

f. Domain Kelembagaan Indikator Sumber data Kriteria

Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal (Alat)

Laporan tahunan DKP, Statistika Perikanan Wawancara (DKP dan Nelayan)

1 = lebih dari 5 kali terjadi pelanggaran hukum dalam pengelolaan perikanan;

2 = 2-4 kali terjadi pelanggaran hukum; 3 = kurang dari 2 kali pelanggaran hukum Non formal 1 = lebih dari 5 informasi pelanggaran, 2 = lebih dari 3 informasi pelanggaran, 3 = tidak ada informasi pelanggaran

Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan

Wawancara (DKP, TNL dan Nelayan)

1 = tidak ada; 2 = ada tapi tidak lengkap; 3 = ada dan lengkap Elaborasi untuk poin 2 1 = ada tapi jumlahnya berkurang; 2 = ada tapi jumlahnya tetap; 3 = ada dan jumlahnya bertambah

Mekanisme Kelembagaan

Laporan tahunan DKP, Statistika Perikanan, Wawancara (DKP dan Nelayan),

1 = tidak ada penegakan aturan main; 2 = ada penegakan aturan main namun tidak efektif; 3 = ada penegakan aturan main dan efektif 1 = tidak ada alat dan orang; 2 = ada alat dan orang tapi tidak ada tindakan;

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM

di Kawasan KKPD Sultra

III - 6

3 = ada alat dan orang serta ada tindakan 1 = tidak ada teguran maupun hukuman; 2 = ada teguran atau hukuman; 3 = ada teguran dan hukuman

Mekanisme Kelembagaan

Laporan tahunan DKP, Statistika Perikanan, Wawancara (DKP dan Nelayan).

1 = tidak ada mekanisme kelembagaan; 2= ada mekanisme tapi tidak berjalan efektif; 3 = ada mekanisme kelembagaan dan berjalan

efektif 1 = ada keputusan tapi tidak dijalankan; 2 = ada keputusan tidak sepenuhnya dijalankan; 3 = ada keputusan dijalankan sepenuhnya

Rencana pengelolaan perikanan

Laporan tahunan DKP, Statistika Perikanan, Wawancara (DKP dan Nelayan).

1 = belum ada RPP; 2 = ada RPP namun belum sepenuhnya dijalankan; 3 = ada RPP dan telah dijalankan sepenuhnya

Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan

Laporan tahunan DKP, Statistika Perikanan, Wawancara (DKP, dan Nelayan

1 = konflik antar lembaga (kebijakan antar lembaga berbeda kepentingan);

2 = komunikasi antar lembaga tidak efektif; 3 = sinergi antar lembaga berjalan baik 1 = terdapat kebijakan yang saling bertentangan; 2 = kebijakan tidak saling mendukung; 3 = kebijakan saling mendukung

Kapasitas pemangku kepentingan

Laporan tahunan DKP, Statistika Perikanan, Wawancara (DKP, TNL dan Nelayan

1 = tidak ada peningkatan; 2 = ada tapi tidak difungsikan; 3 = ada dan difungsikan

3.4. Analisa Data

Penilaian indikator EAFM merupakan sebuah sistem multikriteria yang berujung

pada indeks komposit terkait dengan tingkat pencapaian sebuah pengelolaan perikanan

sesuai dengan prinsip EAFM. Analisis komposit data hasil survei/sampling dan data

sekunder ini menggunakan Teknik Flag Modeling. Dari tiap indikator yang dinilai,

kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis komposit sederhana berbasis rataan

aritmetik yang kemudian ditampilkan dalam bentuk model bendera (flag model)

dengan kriteria seperti yang dapat dilihat pada Tabel 3.

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM

di Kawasan KKPD Sultra

III - 7

Tabel 3.3. Visualisasi Hasil Analisis Komposit Indikator EAFM untuk performa Pengelolaan Perikanan di KKPD Sultra

Nilai Skor Komposit Model Bendera Deskripsi

100-125 Buruk

126-160 Kurang Baik

161-200 Sedang

201-250 Baik

251-300 Baik Sekali

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 1

BAB IV

ANALISIS TEMATIK DAN KOMPOSIT

PENGELOLAAN PERIKANAN DI KAWASAN KKPD SULTRA

4.1. Analisis Tematik Pengelolaan Perikanan di Kawasan KKPD Sultra

4.1.1. Domain Habitat dan Ekosistem Domain habitat merupakan salah satu parameter lingkungan dimana sumberdaya

ikan sangat dipengaruhi domain ini berdasarkan indicator-indikatornya. Diasamping

tekanan Karena pemanfatan sumberdaya ikan parameter lingkungan ini memberikan

pengaruh yang sangat signifikan terhadap kelangsungan hidup dan biomasa (reproduksi

dan pertumbuhan) sumberdaya ikan tersebut. Indikator-indikator yang termasuk dalam

domain habitat dan ekosistem yang meliputi kualitas perairan, status lamun , status

mangrove, status terumbu karang, habitat unik/khusus (spawning ground, nursery ground,

feeding ground, upwelling), status dan produktivitas estuari dan perairan sekitarnya,

perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat. Berdasarkan hasil analisis setiap

indikator EAFM pada domain habitat dan ekosistem ditampilkan dalam Tabel 4.1.

Wilayah KKPD merupakan satu kesatuan kawasan perairan beserta pesisirnya yang

menghubungkan Kota Kendari, Kabupaaten Konawe dan kabupaten Konawe Selatan yang

memiliki ekosistem perairan pesisir yang kompleks. Wilayah KKPD sebagaian besar

terdapat di Teluk Staring yang memiliki ekosistem pesisir yang lengkap diantaranya

mangrove, lamun, terumbu karang, estuary dan gusung. Sedangkan wilayah KKPD yang

masuk dalam adminstrasi Kabupaten Konawe (P. Saponda) dan Kota Kendari hanya

memiliki ekosistem padang lamun dan terumbu karang. Di wilayah pesisir KKPD

khususnya di Teluk terbentang hutan mangrove. Sepanjang garis pantai terbentang

dangkalan yang landai dan tubir-tubur karang. Perairan KKPD merupakan perairan terbuka

yang berhubungan langsung dengan Laut Banda sehingga pada waktu tertentu kondisi

perairan sulit untuk dilakukan kegiatan penangkapan yang sangat dipengaruhi oleh musim

timur dan dan angina utara dimana kondisi laut Banda dengan gelombang dan arus yang

cukup tinggi.

Aktivitas pembangunan khususnya industri maupun aktivitas lahan atas (tambak

dan pertanian) khususnya di kawasan Teluk Staring yang dapat mempengaruhi kualitas

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 2

perairan sudah dirasakan oleh masyarakat khususnya kawasan perairan di Kecamatan

Moramo dan Moramoo Utara dimana aktivitas pertanian dan pembukaan lahan atas sangat

berpengaruh terhadap kualitas perairan sehingga dampak aktivitas di darat tersebut adalah

peningkatan kekeruhan di sepanjang pesisir di kedua kecamatann tersebut. Sedangkan di

perairan lainnya KKPD pengaruh aktivitas darat masih sangat sedikit sehingga kondisi ini

relatif terisolasi oleh keberadaan gelombang dan arus.

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 3

Tabel 4.1. Hasil Analisis Komposit Indikator Domain Habitat dan Ekosistem. INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN KRITERIA DATA ISIAN SKOR BOBOT

(%) RANKIN

G NILAI

1. Kualitas perairan

1= tercemar; Parameter kualitas air berada dibawah batas ambang baku mutu perairan dalam KEPMEN No. 51/2004 tentang Baku Mutu Perairan. 57,4 % responden mengatakan daerah tempat tinggal tercemar sedang dan 42,6% tidak tercemar

2 20 1 33,3

2=tercemar sedang;

3= tidak tercemar

Tingkat kekeruhan (NTU) untuk mengetahui laju sedimentasi perairan

1= > 20 mg/m^3 konsentrasi tinggi 2= 10-20 mg/m^3 konsentrasi sedang; 3= <10 mg/m^3 konsentrasi rendah Satuan NTU

Nilai kekeruhan yang terukur di perairan Tanjung Tiram Kecamatan Moramo Utara adalah 5,75 - 24,81 NTU yang termasuk dalam kategori sedang (BLH Prov Sultra, 2016).

1

Eutrofikasi 1= konsentrasi klorofil a < 2 µg/l; terjadi eutrofikasi;

Hasil analisa data primer 2016 konsentrasi klorofil berkisar 2,91 - 6,93 mg/m3. Data DKP Prov, 2016 berkisar 0,68 - 2,72 mg/m3

2

2= konsentrasi klorofil a 2-5 µg/l; potensi terjadi eutrofikasi;

3= konsentrasi klorofil a > 5 µg/l tidak terjadi eutrofikasi

2. Status ekosistem lamun

Luasan tutupan lamun. 1=tutupan rendah, 29,9%; Nilai tutupan lamun dapat dilihat di kawasan KKPD khususnya Teluk Staring berkisar 10

- 80% denagn rata-rata tutupan lamun = 33,18% (KKPD Prov. Sultra, 2016)

3 15 2 37,5

2=tutupan sedang, 30-49,9%; 3=tutupan tinggi, 50% 1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1), jumlah spesies < 3

Nilai keanekaragaman atau jumlah spesies lamun di kawasan KKP Sultra sebanyak 5

jenis (KKPD Prov. Sultra, 2016)

2

2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3), jumlah spesies 3-7

3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3), jumlah spesies > 7

3. Status ekosistem mangrove

Kerapatan, nilai penting, perubahan luasan dan jenis mangrove

1=tutupan rendah, < 50%; Kerapatan mangrove di pesisir wilayah KKPD berkisar 1400-5000 ind/ha. (KKPD

Sultra, 2016

2 15 3 30

2=tutupan sedang, 50 - < 75%;

3=tutupan tinggi, 75 %

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 4

INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN KRITERIA DATA ISIAN SKOR BOBOT (%)

RANKING NILAI

1=kerapatan rendah, <1000 pohon/ha, tutupan <50%;

Keanekaragam ekosistem mangrove mencapai yaitu pohon 1,7683 (KKPD Sultra, 2016). kriteria keanekaragaman

mangrove mencapai kriteria sedang

2

2=kerapatan sedang 1000-1500 pohon/ha, tutupan 50-75%;

3=kerapatan tinggi, >1500 pohon/ha, tutupan >75%

4. Status ekosistem terumbu karang

> Persentase tutupan karang keras hidup (live hard coral cover).

1=tutupan rendah, <25%; Putupan karang hidup yang terukur di kecaatan Laonti rata-rata berkisar 27% sedang di kecamatan Moramo = 25% (KKPD, 2012). Di pulau Lara tutupan karang hidup mencapai 64,82% (Adi, dkk 2012), Teluk Stairng = 29,6 - 70,48 (KKP, 2012)

2 15 4 26,5

2=tutupan sedang, 25-49,9%;

3=tutupan tinggi, >50%

1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1);

nilai keanekaragaman di Teluk Wawatu 3,64 dengan jumlah jenis karang batu = 51 jenis. (Siringiringo, 2012)

2

2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3);

3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3)

1= luasan mangrove berkurang dari data awal; 2= luasan mangrove tetap dari data awal; 3= luasan mangrove bertambah dari data awal

Informasi dari 90 % responden mengatakan bahwa luas mangrove di kawasan ini telah berkurang dari luas awal akibat di konversi dan sebagai bahan konstruksi

1

1 = INP rendah (< 100); 2 = INP sedang (100-200); 3 = INP tinggi (>200)

INP mangrove dari setiap jenis berkisar 17-300 (Muh.Ramli 2012) dan antara 16,84 - 300 (KKPD Sultra, 2016)

2

5. Habitat unik/khusus

Luasan, waktu, siklus, distribusi, dan kesuburan perairan, spawning ground, nursery ground, feeding ground, upwelling, nesting beach

1=tidak diketahui adanya habitat unik/khusus; Menurut informasi dari masyarakat hingga saat ini telah di ketahui adanya habitat

khusus tempat pemijahan lobster, rajungan dan ikan kakap namun belum berdasarkan

hasil kajian

1 15 4 15

2=diketahui adanya habitat unik/khusus tapi tidak dikelola dengan baik;

3 = diketahui adanya habitat unik/khusus dan dikelola dengan baik

2=produktivitas sedang;

3=produktivitas tinggi

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 5

INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN KRITERIA DATA ISIAN SKOR BOBOT (%)

RANKING NILAI

6. Status dan produktivitas estuari dan perairan sekitarnya

Tingkat produktivitas perairan estuar

1=produktivitas rendah; 2=produktivitas sedang; 3=produktivitas tinggi

Produktivitas estuari berdasarkan kelimpahan phytoplankton = 10.125 - 24.300 ind/l yang tergolong tinggi (KKPD Sultra, 2014)

3 10 5 30

7. Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat

Untuk mengetahui dampak perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat

> State of knowledge level :

Berdasarkan pengamatan secara kualitatif dan informasi dari masyarakat bahwa di kawasan ini terkena dampak perubahan iklim khsuusnya pada ekosistem pesisir

namun hingga saat ini belum ada strategi dan mitigasi untuk mengaadapi hal teresebut

1 10 6 10

1= belum adanya kajian tentang dampak perubahan iklim;

2= diketahui adanya dampak perubahan iklim tapi tidak diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi;

3 = diketahui adanya dampak perubahan iklim dan diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi

> state of impact (key indicator menggunakan terumbu karang):

Infromasi dari responden mengatakan bahwa di kawasan terumbu karang mengalami

pemutihan, kondisi ini diduga merupakan dampak dari perubahan iklim, khususnya

pada kedalaman kurang dari 7 meter

1

1= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching >25%);

2= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching 5-25%);

3= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching <5%)

RERATA TOTAL TOTAL

1,9 100 197,08

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 6

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh DKP Provinsi Sulawesi

Tenggara tahun 2016 terhadap beberapa parameter kualitas perairan seperti ditunjukan

pada Tabel 4.2 mengindikasikan bahwa kualitas perairan dari aspek pencemaran Tabel

17 maka indikator penilaian untuk kualitas air berada dibawah batas ambang baku mutu

perairan dalam KEPMEN No. 51/2004 tentang Baku Mutu khususnya perairan yang

berhadapan langsung dengan laut banda. Namun perairan yang berada di Selat Tiworo

khusunya di wilayah pesisir secara visual menunjukan adanya tanda-tanda pencemaran.

Kondisi ini diperkuat dengan hasil wawancara kepada masyarakat yang bermukim

disekitar perairan bahwa 66,7% mengatakan perairannya tercemar akibat kegiatan

pertambangan. Berdasarkan kondisi tersebut maka perairan Kabupaten Konawe Selatan

dikategorikan tercemar sedang dengan nilai skor 2.

Tabel 4.2. Parameter bio-fisik perairan laut Kecamatan Moramo dan Moramo Utara Kabupaten Konawe Selatan

Parameter Kualitas Perairan KKPD-SULTRA

No. Stasiun Suhu Salinitas pH Clorofil-A (Mg/L)

Koordinat Keterangan

LatD LatM LonD LonM 1 ST001 28 31 7.2 1.91 122 40.800 3 58.928 Pasi Jambe, Kota Kendari

2 ST002 29 32 7.1 2.27 122 45.757 3 58.541 Pulau Saponda, Kab. Konawe

3 ST003 28 32 7.2 0.68 122 45.436 4 0.344 Sapa Pulau Hari, Kab. Konawe Selatan

4 ST004 29 32 7.2 2.48 122 46.539 4 2.181 Pulau Hari, Kab. Konawe Selatan

5 ST005 29 32 6.9 1.06 122 48.006 4 6.484 Desa Tambeanga, Kab. Konawe Selatan

6 ST006 29 31 6.9 1.50 122 48.752 4 7.923 Pulau Gala, Kab. Konawe Selatan

7 ST007 29 32 7.8 1.53 122 42.084 4 7.968 Desa Pandambea Barata, Kab. Konawe Selatan

8 ST008 29 30 6.9 1.73 122 40.437 4 7.176 Pulau Moramo Besar, Kab. Konawe Selatan

9 ST009 29 32 6.9 2.72 122 40.188 4 6.076 Pulau Lara, Kab. Konawe Selatan

Rata-rata 28.78 31.56 7.12 1.76 Sdv. 0.44 0.73 0.29 0.66

Sumber: DKP Prov. Sultra, 2016

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 7

Nilai kekeruhan yang yang terdapat disalah satu perairan Kabupaten Selatan

yaitu di Selat Tiworo khususnya di perairan Torobulu kecamatan Palangga Selatan

berkisar 5,75 - 24,81 NTU yang termasuk dalam kategori sedang sebagai akibat

aktivitas pertanian dan pertambakan khususnya di lokasi daratan kawasan Teluk Staring

sebagai bagian terbesar KKPD Sultra. Berdasarkan kondisi tersebut maka kriteria

kekeruhan dapat diberikan nilai skor 2. Sedangkan eutrofikasi dilakukan melalui analisa

konsetrasi klorofil-a dan berdasarkan hasil analisis data di laboratorium maka diperoleh

konsenrasi klorofil-a sebesar 2,91 - 6,93 mg/m3. Data DKP Prov, (2016) berkisar 0,68 -

2,72 mg/m3 yang menunjkan bahwa periran KKPD Sultra menunjukan gejala akan

terjadi eutrofikasi sehingga diberi nilai kriteria dengan skor 2.

Ekosistem padang lamun banyak ditemukan hamper di seluruh perairan KKPD Sultra

Pulau Saponda, Pulau Hari, pasih Jambe hingga kawasan Teluk Staring. Ekosistem

lamun yang dijumpai masih beragam dalam bentuk hamparan dengan jenis yang

dominan adalah E. acoroides dan Thallasia hemprichii. Kondisi ini disebabkan

perairannya pada musim hujan sering terjadi peningkatan bahan organic akibat aliran

sungai khususnya di sekitar estuaria Teluk Staring sehingga dapat menambah kesuburan

pertumbuhan lamun. Jenis-jenis lamun yang ditemukan di kawasan KKPD Sultra yang

dicadangkan sebagai terdiri dari Cymodocea rotundata, Syringodium isotifelium,

Halodule uninervis, Enhalus acoroides dan Cymodocea serrulata. Persentase

penutupan ekosistem lamun di Kabupaten Konawe Selatan dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Berdasarkan tersebut terlihat bahwa persentase penutupan lamun pada beberapa

kecamatan berkisar 10 - 80% denagn rata-rata tutupan lamun = 33,18% (KKPD Prov.

Sultra, 2016). Dengan demikian untuk indikator persen tutupan lamun dapat diberi skor

2 atau tergolong tingkat penutupan sedang (30 - 50%). Sedangkan jumlah jenis lamun

yang terdapat 4 jenis sehingga berdasarkan informasi tersebut maka untuk indikator

keanekaragaman jenis lamun dapat diberi skor 2 yakni keanekaragaman sedang dengan

jumlah spesies lamun 3-7 spesies.

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 8

Tabel 4.3. Persentase penutupan ekosistem lamun di Kawasan KKPD Sultra.

Sumber: KKP Sultra, 2016.

Hutan mangrove di KKPD Sultra umumnya tersebar disepanjang pesisir Teluk

Staring di Kabupaten Konawe Selatan sedangka lokakasi lainnya tidak terdapat

mangrove di mana di kawasan Teluk Staring mempunyai vegetasi mangrove yang padat

yang menyebar disepanjang pesisirnya mulai dari pesisir Kecamatan Laonti hingga

pesisir Kecamatan Moramo Utara di Teluk Staring. Hampir setiap daerah landai yang

mempunyai substrat lumpur dan pasir kawasan ini dapat kita temukan vegetasi

mangrove yang lebat. Ketebalan mangrove juga menyebar dihampir seluruh muara

aliran sungai. Untuk lebih jelasnya kita dapat melihat penutupan vegetasi mangrove

pada Tabel 4.4 berikut.

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 9

Tabel 4.4. Kondisi Vegetasi Mangrove Pada Beberapa Wilayah di KKPD Sultra

Lokasi Jum. Jenis (ind.)

Kanopi Kera patan

(phn/ha) Kriteria

Tinggi Pohon

(m) Substrat

INP %

Cover Kriteria Min (%) Max (%)

Tanjung Lemo 3 65.7 Sedang 1700 Padat 4 - 6 Lumpur XM : 31,39 SA : 201,51 Desa Labotaone 3 45 Rusak 1400 Sedang 4 - 7 Lumpur AM : 29,35 BG : 172,33 Desa Tambeanga 2 73. Sedang 2133 Padat 6 - 10 Lumpur RS : 94,12 BG : 205,88 Desa Woru-Woru 1 5 72.9 Sedang 2950 Padat 10 - 15 Lumpur AM : 19,75 RM : 208,15 Desa Woru-Woru 2 3 60.8 Sedang 2150 Padat 6 - 8m Lumpur BG : 59,76 RS : 148,65

Desa Wandaeha 2 57.8 Sedang 1800 Padat 9 - 17 Lumpur berpasir SA : 122,34 RM : 177,66

Muara Sungai Laonti 1 78.9 Baik 2300 Padat 10 - 15 Lumpur RM :300

Sungai Laonti 3 76.0 Baik 2033 Padat 8 - 15 Lumpur RA : 18,64 RM : 157,072 Sekitar Pulau Gala 2 77.9 Baik 2850 Padat 8 - 11 Lumpur BG : 143,56 RM : 156,44

Sebelum Emba 3 65 Sedang 5000 Padat 7 - 12 Lumpur berpasir SA : 72,68 BG : 153,23

Desa Tambolosu 4 85. Baik 2150 Padat 7 - 12 Lumpur AM : 28,05 RM : 194,88

Desa Ranooha Raya (Dusun Beroro)

4 76.4 Baik 3400 Padat 10 - 17 Lumpur berpasir RA : 22,007 BG : 134,94

Desa Wawatu 3 66.8 Sedang 1450 Sedang 9 - 12m Lumpur berpasir SA : 68,46 RM : 146,84

Sumber: DKP prov. Sultra, 2016

Berdasarkan diatas terlihat bahwa kondisi vegetasi hutan mangrove di KKPD

khususnya Teluk Staring Kabupaten Konawe Selatan seara keseluruhan kondisi

penutupannya berada pada ksaran 45 – 85%. Sedangkan tingkat kerapatan berkisar

antara 1400 – 5000 ind/ha. Berdasarkan informasi di atas maka untuk indikator status

ekosistem mangrove yang dilihat dari aspek tingkat penutupan dan kerapatannya dapat

diberi skor 3 yakni penutupan dan tingkat kerapatan tergolong tinggi (penutupan berada

antara 50 – 75 % dan kerapatan antara 1400 - 5000 ind/ha).

Ekosistem terumbu karang merupakan bagian penting dari ekosistem pesisir

yang memberi kontribusi yang signifikan bagi produksi perikanan di KKPD khususnya

Teluk Staring Konawe Selatan maupun wilayah lainnya dalam lingkupp KKPD Sultra.

Terumbu karang di wilayah ini pada umumnya adalah terumbu karang tepi yang

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 10

menyebar sepanjang tubir sejajar garis pantai, kecuali pada beberapa lokasi berupa

gugus karang namun dengan luasan yang sempit.

Tabel 4.5. Tutupan karang karang di perairan KKPD Sultra

No. Live

Coral (%)

Death Coral (%) Abiotik (%) Others

(%) Keterangan

1 37.3 35.3 7.7 19.7 Pasi Jambe, Kota Kendari 2 33.0 50.0 6.3 10.7 Pulau Saponda, Kab. Konawe 3 19.0 33.3 8.7 39.0 Pulau Saponda, Kab. Konawe 4 26.3 66.7 4.3 2.7 Pulau Saponda, Kab. Konawe 5 64.3 25.7 6.7 3.3 Sapa Pulau Hari Kab. Konawe Selatan 6 46.0 46.3 3.3 4.3 Sapa Pulau Hari Kab. Konawe Selatan 7 51.7 42.0 6.0 0.3 Pulau Hari Kab. Konawe Selatan 8 70.0 28.3 1.7 0.0 Sapa Pulau Hari Kab. Konawe Selatan 9 74.0 22.3 1.0 2.7 Sapa Pulau Hari Kab. Konawe Selatan 10 76.7 23.0 0.3 0.0 Pulau Hari Kab. Konawe Selatan 11 32.7 34.7 5.7 27.0 Tanjung Gomo Kab. Konawe Selatan 12 79.0 18.0 3.0 0.0 Desa Labotaone Kab. Konawe Selatan 13 81.0 17.3 1.7 0.0 Desa Tambeanga Kab. Konawe Selatan 14 63.3 30.3 2.3 4.0 Desa Lolibu Kab. Konawe Selatan 15 48.0 48.0 1.0 3.0 Pulau Gala Kab. Konawe Selatan 16 38.0 52.7 3.7 5.7 Desa Tambolosu Kab. Konawe Selatan

17 45.0 44.3 4.0 6.7 Desa Rumbi-Rumbia Kab. Konawe Selatan

18 57.7 39.3 2.3 0.7 Desa Toli-Toli Kab. Konawe Selatan

19 76.3 23.3 0.3 0.0 Pulau Wawosunggu Kab. Konawe Selatan

20 59.3 35.3 4.0 1.3 Desa Pandambea Barata Kab. Konawe Selatan

21 37.0 52.7 4.7 5.7 Pulau Moramo Besar Kab. Konawe Selatan

22 34.0 48.0 3.7 14.3 Moramo Kab. Konawe Selatan 23 64.7 27.7 6.7 1.0 Pulau Lara Kab. Konawe Selatan

Sumber: DKP Sultra, 2016

Tabel 4.5 memperlihatkan punutupan karang hidup yang terukur di seluruh

KKPD Sultra pada 23 lokasi pengamatan. Berdasarkan hasil pengukuran tersebut

mengmabrakan bahwa tutupan karang hidup mencapai 19 – 81% % dengan rata-rata

sekitar 52,8 % (DKP Sultra, 2016). Berdasarkan hasil analisis dari Tabel 4.5

menunjukan kondisi penutupan karang di kawasan KKPD Sultra berada pada kisaran

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 11

diatas 50 % yang tergolong kategori tinggi sehingga indikator status karang aspek

penutupan diberi nilai skor 3. Dengan melihat karakteristik penyebaran terumbu karang

yang bervariasi serta kualitas air pada kondisi kawasan KKPD tersebut maka dapat

diduga bahwa keanekaragaman terumbu karang di daerah ini termasuk sedang, hal ini

didukung hasil penelitian Siringiringo, 2012 bahwa nilai indeks keanekaragaman

terumbu karang di kecamatan Moramo Utara sebesar 3,65 atau 51 jenis. Berdasarkan

kondisi tersebut maka indikator keanekaragaman jenis terumbu karang dapat diberi skor

2 yakni keanekaragaman sedang ((3,20<H’<9,97).

Informasi indikator habitat khusus/unik yang berkaitan dengan spawning

ground, nursery ground, feeding ground, upwelling, nesting beach di Kawasan KKPD

Sultra Kabupaten Konawe Selatan diperoleh berasarkan hasil wawancara dengan

nelayan. Berdasarkan informasi yang dihimpun maka sebagian besar masyarakat belum

mengetaui adanya lokasi atau habitat khusus. Namun berdasarkan informasi hasil

tangkapan maka di kawasan pesisir Moramo masyarakat sering menangkap bibit lobster

dan rajungan sedangkan di Tanjunga Gomo Kecamatan Laonti sering dijumpai larva

ikan kakap, namun informasi tersebut belum pernah dikaji. Oleh karena itu berdasarkan

informasi tersebut maka indikator habitat khusus dapat di berikan skor 1 yaitu tidak

diketahui adanya habitat unik/khusus atau indicator keberadaannya masih berupa

ausmsi dari hasil tangkapan nelayan sehingga indikator habitat khusus diberi nilai skor

1.

Pengkajian dampak perubahan iklim di Kabupaten Konawe Selatan belum

banyak dilakukan, namun secara kualitatif dampak perubahan iklim sudah dapat di

rasakan oleh masyarakat yaitu adanya perubahan tinggi gelombang serta hujan yang

sulit di prediksi dan tidak teratur namun informasi terkait dengan adanya coral

bleaching pada saat tertentu khususny apada kedalaman kurang dari 7 meter .

Keberadaan infromasi yang demikian belum diikuti langkah-langkah strategis untuk

mengantisipasinya, oleh karenan itu kriteria ini dapat diberikan skor 2.

4.1.2. Domain Sumberdaya Ikan

Penilaian Domain Sumberdaya Ikan terbagi dalam 6 indikator penilaian yaitu

CPUE Baku, Ukuran ikan, Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap, Komposisi

spesies, "Range Collapse" sumberdaya ikan dan Spesies ETP. Berdasarkan hasil analisis

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 12

pemberian skor kriteria indikator-indikator domain sumberdaya ikan dapat dilihat pada

Tabel 4.6.

Domain sumberdaya ikan dianalisa terhadap 3 kelompok ikan yang menjadi

tangkapan utama di perairan KKPD Sultra yang meliputi; ikan karang, ikan kembung,

dan ikan kuwe. Ikan karang terutama tertangkap oleh alat tangkap rawai, pancing, bubu

dan jarring insang, sedangkan ikan kembung tertangkap dengan pukat cincin, pancing,

jaring insang, payang dan bagan, adapun ikan kuwe tertangkap dengan pancing, jaring

insang dan rawai.

Berdasarkan analisa data Statistik Perikanan DKP Prov. Sultra 2009 dan 2013

terhadap produksi dan jumlah alat tangkap disimpulkan bahwa CPE baku belum bisa

ditentukan dengan baik keterbatasan data terutama data-data lokasi penangkapan dan

jumlah tangkapan tiap trip. Nelayan pun sukar untuk memprediksi adanya penurunan

atau peningkatan CPUE karena variabilitas kondisi penangkapan dan kapasitas tangkap.

Disamping itu, pola operasi yang berpindah-pindah berdasarkan musim menambah

sukarnya menentukan besaran CPUE di lokasi studi.

Meskipun demikian nelayan dapat merasakan adanya perbedaan hasil tangkapan

saat ini dibanding dengan 5-10 tahun yang lalu. Data yang memungkinkan untuk

digunakan hanya dari presepsi atau pandangan nelayan, data inilah dilakukan

pendugaan CPUE pada beberapa jenis ikan namun datanya tidak lengkap. Berasarkan

hasil wawancara dengan nelayan, 54,55 sampai 67,74 % responden dari masing-masing

kelompok sumberdaya ikan mengatakan telah terjadi penurunan hasil tangkapan dalam

lima tahun terakhir. Nelayan payang di Wawosunggu dengan tangkapan utama ikan

kembung (70%) merasakan penurunan hasil tangkapan per trip dari sekitar 500 kg

menjadi 300 kg per trip dalam 5 tahun. Nelayan ikan karang di Labuan Beropa pun

mengindikasikan adanya penurunan CPUE seperti pada Tabel 4.7.

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 13

Tabel 4.6. Hasil Analisis Komposit Indikator Domain Sumberdaya Ikan

INDIKATOR KRITERIA DATA ISIAN

IKAN KARANG DATA ISIAN

IKAN KEMBUNG DATA ISIAN IKAN KUWE SKOR BOBO

T (%) RKG NILAI

1. CPUE Baku 1 = menurun tajam (rerata turun > 25% per tahun)

57,8% responden menyatakan bahwa hasil tangkapan per trip mengalami penurunan dibanding 5 tahun yang lalu, 42,2% menyatakan sama saja. CPUE rata2 saat ini 39 kg/trip/unit kapal. Kerapatan Ikan Karang di Labuan Beropa Menurun dari 1,9 ind/m2 tahun 2010 menjadi 0,76 ind/m2 tahun 2014 (menurun 20,8% per thn)

67,74% responden menyatakan bahwa hasil tangkapan per trip mengalami penurunan dibanding 5 tahun yang lalu, 32,26% menyatakan sama saja. CPUE rata-rata saat ini 37,35 kg/trip/unit kapal. Produksi ikan kembung menurun 56% antara tahun 2009 dan 2013 (DKP Provinsi 2014)

54,55% responden menyatakan bahwa hasil tangkapan per trip mengalami penurunan dibanding 5 tahun yang lalu, 45,45% menyatakan sama saja. CPUE rata-rata saat ini 23,9 kg/trip/unit kapal. Produksi ikan kuweh meningkat 17% antara tahun 2009 dan 2013 (DKP Provinsi 2014)

2.0 40 1 (Killer Indica

tor)

80

2 = menurun sedikit (rerata turun < 25% per tahun)

3 = stabil atau meningkat

2. Tren Ukuran ikan

1 = trend ukuran rata-rata ikan yang ditangkap semakin kecil;

6,6 7% responden menyatakan ukuran hasil tangkapan cenderung lebih kcil dan dan 82,26% responden menyatakan ukuran ikan hasil tangkapan relatif sama saja

17,74% responden menyatakan trend ukuran ikan hasil tangkapan semakin kecil dan 82,26% responden menyatakan sama saja

100% responden menyatakan ukuran ikan hasil tangkapan relatif sama saja

1.3 20 2 26.67

2 = trend ukuran relatif tetap; 3 = trend ukuran semakin besar

3. Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap

1 = banyak sekali (> 60%) 100% responden tidak mengetahui karakter ikan yang belum bertelur

59% % responden mengatakan bahwa 30 -40% ikan yang tertangkap belum bertelur, 31% respondentidak mengetahui dan 10% telah bertelur

89% responden mengatakan bahwa proporsi ikan yang belum bertelur dengan ikan dewasa berimbang, 11% responden sedikit ikan bertelur

1.7 15 3 25

2 = banyak (30 - 60%)

3 = sedikit (<30%)

4. Komposisi spesies

1 = proporsi target lebih sedikit (< 15% dari total volume)

88,89% responden menyatakan proporsi ikan target lebih banyak dan 6,67% menyatakan target lebih sedikit. Hasil penelitian di Labuan Beropa ikan target hanya 40,36% (Minsaris 2014)

91,94% responden menyatakan ikan target lebih banyak tertangkap, 8,06% menyatakan target lebih sedikit. Hasil penelitian di Tel.Staring pada alat tangkap payang 35,3 - 46,7 % merupakan ikan target (Abdullah, 2011)

84,85% responden menyatakan proporsi ikan target lebih banyak

3.0 10 4 30

2 = proporsi target sama dgn non-target (16-30% dari total volume) 3 = proporsi target lebih banyak (> 31 % dari total volume)

5. "Range Collapse"

1 = semakin sulit, tergantung spesies target

57,78% responden menyatakan semakin sulit mencari lokasi

67,74% responden menyatakan semakin sulit medapatkan

54,55% responden menyatakan semakin sulit

1.0 5

5 5

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 14

INDIKATOR KRITERIA DATA ISIAN

IKAN KARANG DATA ISIAN

IKAN KEMBUNG DATA ISIAN IKAN KUWE SKOR BOBO

T (%) RKG NILAI

sumberdaya ikan

2 = relatif tetap, tergantung spesies target

penangkapan dan 42,22% lainnya menyatakan relatif sama saja

lokasi penangkapan ikan dan 32,26% responden menyatakan

relatif sama

mencari lokasi penangkapan dan 45,45% responden

menyatakan relatif sama 3 = semakin mudah, tergantung spesies target

1 = fishing ground menjadi sangat jauh, terg. spesies target

75,5% responden menyatakan fishing ground semakin jauh dan 24,4 sisanya menganggap sama

saja

69,35% responden menyatakan fishing ground semakin jauh

dan 30,65% responden menyatakan relatif sama saja

63,6% responden menyatakan fishing ground semakin jauh

dalam beberapa tahun terakhir dan 36,3% lainnya

menyatakan sama saja

1.0 8

2= fishing ground jauh, terg. spesies target

3= fishing ground relatif tetap jaraknya, terg. spesies target

6. Spesies ETP 1= > 1 tangkapan spesies ETP;

91,9 % responden menyatakan tidak ada spesies ETP yang

tertangkap dan 8,89% responden menyatakan ada 1 spesies.

WWF,( 2015) ada 3 jenis soesies ETP yang tertangkap

98,39 % responden menyatakan tidak ada spesies ETP yang

tertangkap dan 1,61% responden menyatakan ada 1 spesies. WWF,( 2015) ada 3

jenis soesies ETP yang tertangkap

93,94% menyatakan tidak ada Spesies ETP yang tertangkap dan 6,06% menyatakan 1 spesies)

WWF,( 2015) ada 3 jenis spesies ETP yang tertangkap

1.3 5 6 6.6666667

2 = 1 tangkapan spesies ETP;

3 = tidak ada spesies ETP yang tertangkap

7. Densitas/ Biomassa untuk ikan karang & invertebrata

Kelimpahan ikan karang di Teluk stairng Kabupaten Konawe berkisar 0,4 - 2,9 ind/m3

1 2

RERATA TOTAL

TOTAL

1.5

105 175.3

3

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 15

Tabel 4.7. Kondisi Hasil Tangkapan Ikan Karang di Perairan Labuan Beropa

No Bulan Bobot

Tangkapan (kg)

Jumlah Trip (trip)

Kondisi Sekarang1 (kg/trip)

Kondisi 5 Tahun2 Lalu (kg/trip)

Rawai 1 April 55.1 12 4.59

6.58 2 Mei 75.2 12 6.27 3 Juni 49.9 12 4.16 4 Juli 57.4 12 4.78

Pancing Kedo-kedo 1 April 24.3 15 1.62

2.25 2 Mei 32.7 15 2.18 3 Juni 18.6 15 1.24 4 Juli 18.7 15 1.25

Keterangan: 1. Hasil pengamatan langsung 2. Hasil wawancara nelayan Sumber : Minsaris (2014)

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas dapat dilihat pula perubahan produksi

ketiga kelompok sumberdaya ikan yang diolah dari data Statistik Perikanan Prov. Sultra

tahun 2013 dan 2015 seperti pada Gambar 4.1. Tampaknya ikan karang dan ikan kembung

mengalami penurunan produksi yang signifikan sedangkan ikan kuwe mengalami sedikit

peningkatan.

Gambar 4.1. Perubahan Produksi Ikan Kembung, Ikan Kuwe dan Ikan Karang di Lokasi Studi Tahun 2009 dan 2013

0500

10001500200025003000350040004500

2009

2013

Peru

baha

n

2009

2013

Peru

baha

n

2009

2013

Peru

baha

n

Ikan Kembung Ikan Kuwe Ikan Karang

(ton)

-56% 17% -88%

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 16

Berdasarkan informasi di atas maka Indikator CPUE Baku diberikan skor 2 atau berada

pada kondisi menurun sedikit. Penggambaran sedemikian ini disebabkan data jumlah

produksi tiap jenis ikan serta alat tangkapnya tidak terurai dengan jelas berdasarkan daerah

penangkapan. Oleh karena itu pendekatan CPUE dilakukan melalui hasil wawancara

sehingga belum tergambar jelas CPUE baku.

Untuk indikator ukuran ikan yang dikaji, diperoleh bahwa sebagian besar

responden untuk ikan karang memandang tidak ada perbedaan ukuran antara saat ini

dengan beberapa tahun lalu. Berbeda dengan reponden untuk ikan kembung dan ikan kuwe

yang hampir seluruhnya menyatakan bahwa trend ukuran ikan semakin menurun.

Gambar 4.2. Persentase Jawaban Responden terhadap Trend Ukuran Ikan Hasil Tangkapan

dalam 5 tahun terakhir

Tidak banyak diperoleh data sekunder tentang ukuran ikan di kawasan ini.

Perubahan trend ukuran ikan yang tertangkap hanya dapat diduga melalui presepsi

nelayan. Beberapa data sekunder yang tersedia adalah ukuran Ikan Karang yang tertangkap

oleh nelayan di Labuan Beropa dapat dilihat pada Gambar 4.3. Terlihat bahwa ada

perbedaan komposisi ukuran antara L. argentimaculatus dan P. leopardus yakni spesies

L. argentimaculatus telah kehilangan ikan-ikan berukuran besar. Efektivitas penggunaan

pancing kedo-kedo untuk penangkapan ikan kakap merah diduga menjadi penyebabnya.

Hasil penelitian lainnya adalah tentang sebaran ukuran ikan kembung di Teluk

Staring bagian dalam yang menunjukkan bahwa sekitar 70% ikan Rastreliger brachysoma

6.67%

93.33%

Makin PendekSama SajaMakin Panjang

99.69%

0.31%

Makin PendekSama SajaMakin Panjang

Semakin PendekSama SajaSemakin Panjang

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 17

yang menjadi tangkapan utama payang belum mencapai ukuran dewasa (Abdullah, 2011).

Hal ini diduga menjadi penyebab menurunnya populasi ikan kembung di perairan ini.

Berdasarkan uraian di atas maka indikator ukuran ikan diberikan skor 1,3.

a. Lutjanus argentimaculatus

di

b. Plectropomus leopardus

Gambar 4.3. Sebaran Ukuran Ikan Karang yang Tertangkap di Perairan Desa Labuan Beropa (Minsaris, 2014)

Data kuantitatif yang berkaitan dengan proporsi ikan yuwana yang tertangkap

hanya tersedia untuk ikan karang dan ikan kembung, sedangkan ikan kuwe tidak tersedia.

Oleh karena itu untuk indikator ini dilakukan pula wawancara pada nelayan yang telah

berpengalaan 5 – 10 tahun. Abdullah (2011) menemukan bahwa 100% ikan kembung R.

brachysoma yang tertangkap dengan payang belum mencapai ukuran pertama kali matang

gonad. Adapun untuk ikan karang Minsaris (2014) menemukan rata-rata 19% ikan karang

yang tertangkap oleh nelayan Labuan Beropa belum mencapai ukuran dewasa (Tabel 4.8).

Berdasarkan hasil wawancara menunjukan bahwa perikanan ikan karang 100 % responden

tidak mengetahui karakter ikan yang belum bertelur sedangakan kedua perikanan lainnya

59 – 89 % responden mengatakan 30-40% ukuran ikan belum bertelur, oleh karena itu

2.275.68 5.68

17.053.57

17.05

30.68

05

101520253035

21-23 24-27 28-32 33-37 38-43 44-49 50-62

Frek

unsi

(%)

L (cm)

9.6814.52

32.2624.19

3.57 6.45 3.230

10

20

30

40

27-31 32-35 36-40 41-46 47-53 54-61 62-70

Frek

unsi

(%)

L (cm)

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 18

indikator ini untuk ketiga kelompok ikan dapat diberikan skor rerata 2,0 atau proporsi ikan

yuwana yang tertangkap sedikit (30-40%).

Faktor selektivitas alat tangkap pancing kedo-kedo dan rawai yang menangkap ikan

karang dengan ukuran minimum yang sesuai target nelayan menyebabkan rendahnya

persentase juvenile yang tertangkap. Sebaliknya pada ikan kembung juvenile banyak

tertangkap terutama oleh alat tangkap payang yang kurang selektif dan dioperasikan pada

area penyebaran ikan kembung yang belum dewasa yaitu di teluk staring bagian dalam.

Pengoperasian jaring insang dengan ukuran mata jarring yang dibatasi dapat menjadi

alternatif solusi bagi masalah ini. Adapun untuk ikan kuwe, Teluk Staring diduga

merupakan salah satu habitat utama ikan ini sehingga penelitian untuk mengetahui sebaran

ukuran ikan sebagai rekomendasi untuk megatur daerah penangkapan sangat diperlukan.

Tabel 4.8. Komposisi Hasil Tangkapan Ikan Karang yang Telah Mencapai Ukuran Pertama Kali Matang Gonad (LFM) di Perairan Labuan Beropa

Bulan Belum Mencapai LFM Telah Mencapai LFM Jumlah (ekor) Ekor % Ekor %

April 44 24.04 139 75.96 183 Mei 60 18.35 267 81.65 327 Juni 31 13.9 192 86.1 223 Juli 55 19.71 224 80.29 279

Rerata 19 81 Sumber : Minsaris (2014)

Hasil wawancara nelayan tentang komposisi spesies target yang tertangkap selama

5 tahun terakhir menggambarkan kecenderungan komposisi ikan target lebih banyak dari

pada ikan-ikan non target. Terdapat 84,8 - 91,9% responden dari masing-masing kelompok

sumberdaya ikan menyatakan bahwa proporsi ikan target lebih banyak dari pada ikan non

target. Dalam hal ini spesies target termasuk beberapa jenis ikan selain jenis yang menjadi

obyek kajian. Ikan target dari kelompok ikan karang adalah ikan-ikan konsumsi dari

sebgaian besar family Serranidae, family Carangidae, Lethrinidae, Lutjanidae, Haemulidae

dan Siganidae. Ikan target yang ditangkap dengan alat tangkap yang menangkap ikan

kembung adalah ikan-ikan pelagis lainnya seperti layang, selar, tembang, sedangkan ikan

kuwe dapat tertangkap bersama ikan pelagis maupun ikan karang sebagai target.

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 19

Gambar 4.4. Perbandingan Jawaban Responden Tentang Komposisi Ikan Target dan Non

Target yang Tertangkap dalam 5 tahun terakhir.

Berdasarkan data hasil penelitian Minsaris (2014) di Labuan Beropa, ikan hasil

tangkapan alat penangkap ikan karang yakni rawai dasar dan pancing kedo-kedo

didapatkan 29 spesies dari 11 family. Komposisi spesies target dan non target jumlahnya

tidak terpaut jauh yakni 40,36% untuk spesies target dan 59,64 untuk spesies non target.

Selengkapnya disajikan pada Tabel 4.9. Atas gambaran tersebut di atas maka untuk

indikator komposisi hasil tangkapan diberi skor 3. Tabel 4.9. Komposisi Spesies Ikan Karang Hasil Tangkapan Nelayan di Labuan Beropa

No Famly Spesies Jumlah individu

Komposisi (%) Target Non target

1 Carangidae Caranx ferdaus 16 1.58 - 2 Caranx sexfasceatus 19 1.88 - 3

Serranidae

Cephalopholis boenak 78 - 7.72 4 Cephalopholis sonnerati 11 1.09 - 5 Epinephelus coioides 26 2.57 - 6 Epinephelus areolatus 3 0.30 - 7 Epinephelus howlandi 13 1.29 - 8 Epinephelus ongus 13 1.29 - 9 Epinephelus quoyanus 19 1.88 -

10 Plectropomus pessuliferus 59 5.84 - 11 Plectropomus leopardus 62 6.13 - 12 Plectropomus areolatus 9 0.89 - 13 Plectropomus oligacanthus 11 1.09 -

88.89%

4.44%6.67%

Target Lebih BanyakTarget = Non TargetTarget Lebih Sedikit

Ikan Karang

91.94%

8.06%

Target Lebih BanyakTarget = Non TargetTarget Lebih Sedikit

Ikan Kembung

84.85%

3.03%

12.12%

Target Lebih BanyakTarget = Non TargetTarget Lebih Sedikit

Ikan Kuwe

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 20

14 Lutjanidae Lutjanus argentimaculatus 88 8.70 - 15 Lutjanus bohar 30 2.97 - 16 Lethrinidae Letrinus microdon 4 0.40 - 17

Nemipteridae

Nemipterus balinensis 205 - 20.28 18 Nemipterus japonicas 85 - 8.41 19 Scolopsis ciliate 24 - 2.37 20 Scolopsis affinis 45 - 4.45 21 Priacanthidae Priacantus humrur 19 - 1.88 22 Cookelous japonicas 48 - 4.75 23 Mullidae Parupeneus barberinus 22 - 2.18 24 Upeneus tragula 48 - 4.75 25 Haemulidae Plectorhinchus lineatus 4 0.40 - 26 Plectorhinchus chrysotaenia 14 1.38 - 27 Synodontidae Saurida tumbil 26 - 2.57 28 Siganidae Siganus argenteus 7 0.69 - 29 Sphyraeinidae Spyraena barracuda 3 - 0.30 Jumlah Total 1011 40.36 59.64

Sumber: Minsaris (2014)

Komposisi hasil tangkapan payang di Teluk Staring bagian dalam menunjukan

dominasi dua spesies ikan kembung yaitu Rastreliger canagurta dan Rastereliger

brachysoma yang mencapai 82% (Gambar 4.5). Hal ini menggambarkan tingginya

dominasi spesies target, meskipun demikian spesies lainnya yang tertangkap tidak dibuang

(bukan discards). Sayangnya kedua spesies target diatas seluruhya belum mencapai ukuran

dewasa yaitu 24 cm untuk R.canagurta (Musse dan Huttubessy, 1996), dan 22 cm

(Nurhakim, 1993).

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 21

Gambar 4.5. Komposisi Jenis Ikan Hasil Tangkapan Payang di Teluk Staring

Bagian Dalam (Abdullah, 2011). Untuk indikator Range Collapse sumberdaya ikan, dari hasil wawancara kepada

nelayan yang menangkap ketiga kelompok sumberdaya ikan yang dikaji maka diperoleh

54,55 – 67,74 % responden menyatakan kondisi mencari ikan 3 tahun terakhir semakin

sulit dan sekitar 32,26-42,45 % respoden mengatakan kondisi mencari ikan sama saja (lihat

Gambar 4.6). Indikator ini diberi skor 1.

Gambar 4.6. Perbandingan Jawaban Responden tentang Kemudahan Memperoleh Ikan.

0.1%

0.3%

0.1%

0.2%

0.4%

0.5%

0.7%

0.2%

0.2%

0.6%

0.7%

0.9%

1.2%

1.3%

2.8%

3.9%

6.1%

35.3%

46.7%

0.0% 10.0% 20.0% 30.0% 40.0% 50.0%

Siganus canaliculatus

Elagatis bipinulatus

Carangoides spp

Leiognathus fasciatus

Pterocaesio tile

Pterocirtes lupus

Pterocaesio pisang

Pterocaesio diagramma

Selar crumenopthalmus

Scomberomorus semifasciatus

Selaroides leptolepis

Secutor rucorius

Sardinella jussieu

Selar boops

Selaroides spp

Sardinella fimbriata

Atule mate

Rtrelligeras bracysoma

Rastrelliger canagurta

57.78%

42.22%

Semakin sulitsama sajaSemakin Mudah

Ikan Karang

67.74%

32.26%

Semakin sulitSama sajaSemakin Mudah

Ikan Kembung

54.55%

45.45%

Semakin sulitSama sajaSemakin Mudah

Ikan Kuwe

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 22

Kondisi semakin sulitnya memperoleh ikan yang dirasakan para nelayan

menggambarkan penurunan stok ikan di daerah penangkapan. Indikasi ini merupakan

akumulasi dari beberapa sebab seperti penangkapan ikan di daerah pembesaran yang

berpotensi menangkap ikan yang belum dewasa dan di daerah pemijahan yang berpotensi

menangkap ikan yang akan memijah khususnya untuk ikan-ikan pelagis. Pengoperasian

alat tangkap payang dengan alat bantu rumpon di Teluk Staring bagian dalam menangkap

ikan kembung muda. demikian pula pengoperasian bagan perahu dengan alat bantu lampu

di sekitar hutan mangrove di pesisir Moramo pada momen sekitar 10 hari antara Bulan

September sampai Nopember yang diduga sebagai momen pemijahan ikan teri menangkap

induk teri dalam densitas yang tinggi. Hal ini dapat berakibat terjadinya biological

overfishing dan recruitment overfishing. Pengaturan zona penangkapan dan pembatasan

alat tangkap serta penutupan musim pemijahan dari aktivitas penangkapan dapat menjadi

langkah pengelolaan yang efektif.

Selain itu kerusakan habitat khususnya terumbu karang akibat penggunaan bahan

peledak dan peningkatan kekeruhan akibat pasokan material dari beberapa muara sungai

juga berkontribusi dalam memberikan tekanan ekologis pada komunitas ikan di kawasan

ini. Pengelolaan secara terpadu dan penerapan model-model pengelolaan yang lebih ramah

lingkungan menjadi keharusan di Teluk Staring dan sekitarnya.

Adapun untuk indikator perubahan jarak fishing ground, sebagian besar responden

(63,64-75,56%) menyatakan semakin jauh jaraknya dalam 5 tahun terakhir. Dalam konteks

ini nelayan mentaktisi pola operasi dengan memindahkan daerah penangkapan. Nelayan

payang/bagan dapat berpindah hingga ke Teluk Lasolo di Konawe Utara, nelayan pancing

dapat berpindah kesekitar P. Cempedak, Wawonii dan Kolono

Berdasarkan hal tersebut maka untuk indikator range collapse sumberdaya ikan,

yaitu tingkat kesulitan memperoleh ikan dalam 3 tahun terakhir dapat di berikan skor

kriteria 1 yang berarti semakin menurun tergantung spesies target. Adapun tentang jarak

lokasi fishing ground umumnya respoden mengatakan bahwa lokasi penangkapan semakin

jauh sehingga nilai skor kriteria ini juga diberikan nilai 1.

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 23

Gambar 4.7. Perbandingan Jawaban Responden tentang Perubahan Jarak Daerah Penangkapan Ikan

Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan responden tentang pengalaman

tertangkapnya biota ETP menunjukan bahwa >90 % responden mengatakan bahwa nelayan

tidak pernah menangkap ikan yang tergolong ETP (lihat Gambar 4.8).

Gambar 4.8. Perbandingan Jawaban Responden terhadap Spesies ETP yang Tertangkap.

Namun demikian hasil studi tentang bycatch biota ETP di wlayah SES (WWF,

2015) menyebutkan di perairan Konawe (dalam hal ini meliputi perairan pesisir Konawe

dan Konawe Selatan, Teluk Staring, Wawonii dan perairan lepas pantai antara P. Menui

dan P. Wawonii), terdapat 6 jenis alat tangkap jaring maupun pancing yang menangkap

penyu. Pukat cincin yang berbasis di PPS Kendari dan Teluk Kolono menangkap penyu

sisik sebagai bycatch dalam porsi yang cukup besar yakni 20 ind./unit/tahun. Alat tangkap

ini dioperasikan malam hari dengan alat bantu rumpon dan lampu sebagai pengumpul ikan.

24.44%

75.56%

Semakin DekatSama sajaSemakin Jauh

Ikan Karang

30.65%

69.35%

Semakin Dekatsama sajaSemakin Jauh

Ikan Kembung

36.36%

63.64%

Semakin DekatSama sajaSemakin Jauh

Ikan Kuwe

1.61%

98.39%

>1 spesies 1 spesies Tidak Ada

Ikan Kembung8.89%

91.11%

>1 spesies 1 spesies Tidak Ada

Ikan Karang6.06%

93.94%

>1 spesies 1 spesies Tidak Ada

Ikan Kuwe

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 24

Rawai dasar juga menangkap penyu dalam frekuensi yang cukup signifikan yakni 24

ind./unit /tahun. Rawai dasar ini terutama beroperasi di pesisir semenanjung Laonti dan

Pulau Cempedak yang menangkap penyu lekang, penyu sisik dan penyu hijau.

Tabel 4.10. Bycatch Penyu di wilayah Southern-Eastern Sulawesi Seascape berdasarkan informasi nelayan.

Wilayah Perairan Alat tangkap Bycatch Jumlah (ind./unit/tahun)

Teluk Staring, Perairan Sekitar P. Saponda, P. Hari dan Laonti

Pukat Cincin Penyu sisik 20

Bagan Perahu Penyu Lekang 4 Penyu Hijau Jaring Insang Penyu lekang 1 Penyu sisik Penyu hijau Sero Penyu lekang 3 Penyu sisik Penyu hijau Rawai dasar Penyu lekang 24 Penyu sisik Penyu hijau Pancing tonda Penyu lekang 2 Penyu sisik Penyu hijau

Sumber : Laporan Studi Bycatch Biota ETP di Wilayah SES 2015, WWF dan FPIK UHO

Di perairan Tel. Staring dan Konawe terdapat lima jenis alat tangkap jaring maupun

pancing yang menangkap hiu sebagai bycatch yakni rawai dasar, jaring insang tetap, pancing ulur,

pancing tonda dan sero. Alat tangkap yang paling sering mendapat bycatch hiu yaitu rawai dasar

dan pancing ulur dengan intensitas 10 ind./unit/tahun. Alat tangkap lainnya hanya menangkap 3-6

ind./unit/tahun. Rawai dasar yang beroperasi di perairan Wawonii Tenggara menangkap beberapa

jenis hiu dengan intensitas 2-4 ind./unit/tahun, sedangkan di Labuan Beropa dapat menangkap hiu

karang sebanyak 10-30 ind./unit/tahun. Pengoperasian rawai dasar menggunakan umpan segar di

sekitar terumbu karang menarik perhatian hiu karang untuk memakan umpan. Di Desa Mekar di

Soropia masih ada nelayan yang mengoperasikan jaring insang dengan ukuran panjang 400 m,

lebar 2,5 m dan mesh size 30 cm untuk menangkap hiu sebagai spesies target dengan daerah

operasi di sekitar Pulau Saponda dan Saponda Laut (Laporan Studi Bycatch Biota ETP di Wilayah

SES 2015-WWF dan FPIK UHO, 2015).

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 25

Di perairan Konawe Selatan terdapat 4 jenis alat tangkap jaring maupun pancing yang

menangkap lumba-lumba sebagai bycatch. Rawai dasar yang beroperasi di pesisir semenanjung

Laonti dan P. Cempedak menangkap lumba-lumba sebagai dalam jumlah yang sangat sedikit yaitu

sekitar 1 ind./unit/tahun namun dengan jenis yang bervariasi seperti lumba-lumba totol, lumba-

lumba paruh panjang, lumba-lumba biasa, lumba-lumba fraser dan lumba-lumba hidung botol.

Gambar 4.9. Persentase responden yang mengetahui status hiu, penyu, paus, lumba-lumba,

dugong, dan pari manta sebagai biota langka dan dilindungi.

Di perairan Konawe, pada umumnya hiu yang tertangkap dengan rawai dasar

berada dalam kondisi cacat dan mati. Ada beberapa perlakuan yang di lakukan nelayan

terhadap hasil tangkapan biota ETP tersebut, seperti melepaskan kembali jika biota non

target tersebut masih hidup dan tidak diperlukan, namun kadang-kadang di ambil

digingnya untuk dikondumsi. Sementara itu hiu yang tertangkap sebagai target diambil

dagingnya baik hidup maupun mati pada saat tertangkap untuk dijual dalam bentuk

kabengka (bahasa lokal) seperti yang terjadi di Kecamatan Soropia. Berdasarkan uraian di

atas maka untuk indikator Biota ETP diber skor 1.

Untuk indikator densitas ikan karang diambil sampel pada perairan Labuan

Beropa dan Pulau Hari. Berdasarkan hasil pengamatan pengukuran ikan karang

yang didapatkan di sekitar terumbu karang perairan Desa Labuan Beropa

menunjukan adanya perbedaan densitas antara tahun 2010, 2012, dan 2013, dimana

pada tahun 2010 nilai densitas ikan karang cenderung tinggi dibandingkan dua

tahun setelahnya. Apabila dirata-ratakan densitas ikan karang pada tahun 2014

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00

Penyu

Paus

Lumba

Dugong

Hiu

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 26

yaitu berkisar 0,72 ind/m2, tahun 2012 jumlahnya berkisar 0,68 ind/m2, dan pada

tahun 2010 nilainya berkisar 1,90 ind/m2. Ini berarti densitas ikan karang >10

ind/m2 sehingga diberi skor 1.

Tabel 4.11. Hasil Pengamatan Kepadatan Ikan Karang di Sekitar Perairan Desa Labuan Beropa pada Tahun 2014

Hasil Pengukuran kan Karang Stasiun Pengamatan I II III IV

jum. Individu (Ind./250m2) 307 83 142 184 jum. Jenis 15 13 18 13 Jum. Famili 11 10 10 8 Densitas (ind./m2) 1,228 0,332 0,568 0,736 Sumber : Data Primer Selama Penelitian

Tabel 4.12. Hasil Pengamatan Kepadatan Ikan Karang di Sekitar Perairan Desa Labuan Beropa pada Tahun 2012

Hasil Pengukuran Ikan Dasar Sub Stasiun Pengamatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9

jum. Individu (Ind./250m2) 84 102 320 136 300 100 219 127 87 jum. Jenis 16 17 18 13 22 16 28 20 19 Jum. Famili 9 12 14 11 12 11 16 12 14 Densitas (ind./m2) 0.557 0.408 1.280 0.544 1.200 0.400 0.876 0.508 0.348 Sumber : Sidik, 2012

Tabel 4.13. Hasil Pengamatan Kepadatan Ikan Karang di Sekitar Perairan Desa Labuan Beropa pada Tahun 2010

Hasil pengukuran ikan karang Stasiun Pengamatan I II III

jum. Individu (Ind./250m2) 499 458 468 jum. Jenis 63 66 63 Jum Total Family (stasiun 1-3) 18 Densitas (ind./m2) 1,996 1,832 1,872

Sumber : Udia, 2010

4.1.3. Domain Teknologi Penangkapan Ikan

Berdasarkan aspek teknis penangkapan ikan telah dirumuskan 6 (enam) indikator

utama, yakni: (1) metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal, (2)

modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan, (3) Fishing capacity dan

effort, (4) Selektivitas penangkapan, (5) Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan

ikan dengan dokumen legal, dan (6) Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan

peraturan.

Kegiatan penangkapan ikan yang bersifat destruktif di wilayah studi masih

merupakan salah satu masalah yang belum sepenuhnya terpecahkan dalam pengelolaan

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 27

perikanan. Meskipun jumlah responden yang mengungkapkan masih terjadinya

penggunaan bahan peledak jumlahnya relatif sedikit yakni 12,1-17,8 % tetapi intensitas

pelanggaran yang mereka ungkapkan sangat besar yakni 1-300 kali per tahun (lihat Tabel

4.14). Ada dugaan bahwa sebagian besar reponden menyembunyikan informasi tersebut,

atau pelanggaran dengan intensitas yang tinggi tersebut terjadi pada lokasi-lokasi tertentu

yang “tersembunyi” dari akses/alur masyarakat umum atau kurang terjangkau oleh

pengawasan. Berdasarkan informasi tersebut maka indikator metode penangkapan yang

destruktif atau ilegal dapat diberi skor 1 yaitu frekuensi pelanggaran lebih dari 10 kali per

tahun.

Tabel 4.14. Jumlah responden yang menyatakan terjadinya penggunaan bom di wilayah studi

Kategori nelayan Responden Intensitas (kali/tahun)

Daerah Penangkapan Jumlah %

Nelayan Ikan Karang

8 17,8 1-300 P.Bokori, P.Hari, P.Saponda, T.Tiram, Tel. Staring

Nelayan Ikan Kembung

8 12,9 3-100 P.Hari, P.Saponda, Tambeanga, Tamboloosu, P.Lemo, Tg.Tiram

Nelayan Ikan Kuwe

4 12,1 24-100 P.Hari, P.Saponda, L.Beropa, Wawonii

Tampaknya pendekatan pengawasan masih menjadi pilihan utama untuk mengatasi

destruktif fishing, disamping tentunya upaya penyadaran yang terus menerus. Belum ada

peningkatan yang signifikan dari frekuensi pengawasan karena alasan klasik yaitu

terbatasanya anggaran untuk pengawasan. Kegiatan pengawasan di wilayah KKPD Sultra

dan sekitarnya dapat dilakukan secara terpadu termasuk sharing anggaran antara ketiga

kabupaten terkait dan pemerintah propinsi. Selain itu juga telah ada kelompok-kelompok

masyarakat pengawas namun hingga saat ini belum efektif. Pemberian insentif untuk

memacu kinerja pokmaswas dapat dilakukan. Adanya kegiatanya pengwasan dapat

memberikan harapan bahwa tekanan perikanan yang ilegal bisa menurun.

Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan di suatu

wilayah akan menggambarkan kualitas dan kapasitas nelayan dalam berinovasi dan

mengadopsi teknologi. Dalam kajian ini kualitas modifikasi alat tangkap oleh nelayan

diukur dari sifat selektif alat tangkap yang berkembang di wilayah itu terhadap ukuran ikan

yang telah dewasa. Persoalannya adalah pada umumnya nelayan belum mengetahui ukuran

minimal ikan target yang telah dewasa.

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 28

Hasil pengukuran ikan hasil tangkapan nelayan ikan karang di Labuan Beropa

menunjukkan bahwa 81% hasil tangkapan mereka telah mencapai ukuran dewasa (lihat

Tabel 4.15). Hal ini didorong oleh keinginan nelayan untuk menangkap ikan yang cukup

besar untuk memenuhi grade harga di pasaran. Penggunaan pancing rawai dan kedo-kedo

dengan mengatur ukuran mata pancing sangat efektif memenuhi keinginan nelayan

tersebut.

Tabel 4.15. Komposisi Hasil Tangkapan Ikan Karang yang Telah Mencapai Ukuran Pertamakali Matang Gonad (LFM) di Labuan Beropa

Bulan Belum Mencapai LFM Telah Mencapai LFM Jumlah (ekor) Ekor % Ekor %

April 44 24.04 139 75.96 183 Mei 60 18.35 267 81.65 327 Juni 31 13.9 192 86.1 223 Juli 55 19.71 224 80.29 279

Rerata 19 81 Sumber : Minsaris (2014)

Hasil pengoperasian payang di Teluk Staring bagian dalam dengan target ikan

kembung mendapatkan hasil tangkapan 82% ikan kembung, dan 100% ikan yang

tertangkap berukuran 10-18,4 cm sementara Lfm ikan kembung 22 dan 24 cm (Nurhakim,

1993 dan Musse dan Hutubessy, 1996) (Abdullah, 2011). Adapun untuk ikan kuwe tidak

ditemukan cukup data, namun ada indikasi pengoperasian alat tangkap yang relatif dekat

dengan garis pantai berpotensi menangkap juvenile ikan kuwe. Oleh karena itu maka untuk

indikator modifikasi alat tangkap diberi skor 1,7.

Alat penangkap ikan di kawasan KKPD Sultra baik ikan karang maupun ikan

pelagis yaitu sero, jaring insang, bubu, rawai dan pancing, purse seine, bagan dan payang.

Beberapa bentuk modifikasi disain maupun pengoperasian alat tangkap khususnya untuk

menangkap ikan karang di daerah ini adalah : (1) Jaring insang yang umumnya

dioperasikan secara pasif di dasar perairan, untuk meningkatkan produktivitas nelayan

mengoperasikan gill net dengan cara melingkari dan mempersempit ruang gerak ikan

(aktif). Modifikasi ini bisa menyebabkan penurunan ukuran ikan sebab ukuran ikan

dipengaruhi ukuran mata jaring, sedangkan nelayan setempat untuk mendapatkan hail yang

tinggi maka mereka mengatur mesh sizemenjadi,lebih kecil. (2) Sero menggunakan jaring

sebagai dinding pada penaju, sayap dan badan , bahkan waring pada area bunuhannya.

Modifikasi ini tidak selektif terhadap jenis dan ukuran tagkapan. (3) Modifikasi pancing

adalah dengan mengubah ukuran mata pancing dan jenis umpan. Sedangkan alat tangkap

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 29

untuk menangkap ikan pelagis modifikasinya dalam oprasi penangkapannya khususnya

penggunaan rumpon pada alat tangkap payang dan purse seine dan lampu pada bagan yang

menyebabkan semua kelompok ukuran ikan tertangkap mulai dari juvenil hingga yang

dewasa.

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 30

Tabel 4.16. Hasil Analisis Komposit Indikator Domain Teknik Penangkapan Ikan.

INDIKATOR KRITERIA DATA ISIAN IKAN KARANG

DATA ISIAN IKAN KEMBUNG

DATA ISIAN IKAN KUWEH SKOR BOBOT

(%) RKG NILAI

1. Metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal

1=frekuensi pelanggaran > 10 kasus per tahun; 2 = frekuensi pelanggaran 5-10 kasus per tahun ; 3 = frekuensi pelanggaran <5 kasus per tahun

Terdapat 8 orang (17,8%) responden menyatakan masih

terjadi penggunaan bahan peledak dengan kisaran 24-300 kali

pertahun. Fishing ground meliputi P.Hari, P.Saponda, P.Bokori,

Tg.Tiram dan Tel. Staring

Terdapat 8 orang (12,9%) responden menyatakan terjadi

penggunaan bom dengan intensitas 3-100 kali pertahun.

Fishing Ground P.Hari, P.Saponda, Tambeanga, Tambolosu, P.Lemo dan

Tg.Tiram

Terdapat 4 orang (12,1%) responden menyatakan masih

terjadi penggunaan bahan peledak dengan intensitas

24-100 kali per tahun. Fishing Ground P. Hari,

P.Saponda, Labuan Beropa

1.0 30 1 (Killer

Indicator)

30

2. Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan.

1 = lebih dari 50% ukuran target spesies < Lm ;

81% ikan karang yang tertangkap telah mencapai ukuran pertama matang gonad (Minsaris, 2014)

84% ikan ukuran ikan yang tertangkap umunya berkisar 9 -17,4 cm sementara Lm ikan kembung 17,6 cm (www.fishbase.org)

84 % hasil tangkapan dibawah ukuran Lm (6 - 13,2 cm) sedangkan ukuran Lm = 13,8 cm utk jenis Sardinella fimbriat (Abdullah, 2011)

1.7

25

2

41.7

2 = 25-50% ukuran target spesies < Lm

3 = <25% ukuran target spesies < Lm

3. Kapasitas Perikanan dan Upaya Penangkapan (Fishing Capacity and Effort)

1 = Rasio kapasitas penangkapan < 1;

Rasio Kapasitas Penangkapan adalah 0,71

Rasio Kapasitas Penangkapan adalah 0,96

Rasio Kapasitas Penangkapan adalah 1,03

1.3

15

3

20.0

2 = Rasio kapasitas penangkapan = 1; 3 = Rasio kapasitas penangkapan > 1

4. Selektivitas penangkapan

1 = rendah (> 75%) ; Terdapat 4 jenis alat tangkap ikan yang tidak selektif dari 6

jenis alat tangkap yang beroperasi di KPPD Sultra sehinggga PS =

66,7% sehingga ektivitasnya kategori sedang (Data Primer,

2016)

Terdapat 4 jenis alat tangkap ikan yang tidak selektif dari 6

jenis alat tangkap yang beroperasi di KPPD Sultra

sehinggga PS = 66,7% sehingga ektivitasnya kategori

sedang (Data Primer, 2016)

Terdapat 4 jenis alat tangkap ikan yang tidak selektif dari 6

jenis alat tangkap yang beroperasi di KPPD Sultra

sehinggga PS = 66,7% sehingga ektivitasnya kategori sedang (Data

Primer, 2016)

2.0

15

4

30.0

2 = sedang (50-75%) ; 3 = tinggi (kurang dari 50%) penggunaan alat tangkap yang tidak selektif)

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 31

INDIKATOR KRITERIA DATA ISIAN IKAN KARANG

DATA ISIAN IKAN KEMBUNG

DATA ISIAN IKAN KUWEH SKOR BOBOT

(%) RKG NILAI

5. Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal

1 = kesesuaiannya rendah (lebih dari 50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); 2 = kesesuaiannya sedang (30-50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); 3 = kesesuaiannya tinggi (kurang dari 30%) sampel tidak sesuai dengan dokumen legal

Ukuran kapal relatif kecil dan tidak membutuhkan dokumen untuk kapal penangkapan ikan

karang

Semua sampel kapal penangkapan memiliki

spesifikasi kapal penankapan ikan sesuai dengan

kelengkapan dokumennya (Purse seine dan payang)

Semua sampel kapal penangkapan memiliki

spesifikasi kapal penankapan ikan sesuai dengan

kelengkapan dokumennya (Purse seine dan payang)

2.0 10 5 20.0

6. Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan.

1 = Kepemilikan sertifikat <50%; 2 = Kepemilikan sertifikat 50-75%; 3 = Kepemilikan sertifikat >75%

Semua respoden tidak memiliki sertifikat kecakapan

Hanya Nahkoda yang memiliki sertifikasi kecakapan

sedangkan anak buah yag lain tidak memiliki sertifikasi

kecakapan

Hanya Nahkoda yang memiliki sertifikasi

kecakapan sedangkan anak buah yag lain tidak memiliki

sertifikasi kecakapan

1.0 5 6 5.0

RERATA 1.5

TOTAL 100

TOTAL146,7

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 32

Informasi yang berhubungan dengan Indikator fishing capacity dan effort di

Kabupaten Konawe Selatan tidak tersedia khususnya estimasi produksi pada tahn

berikutnya. Namun dari informasi respnden hasil wawancara nelayan dirasakan tidak ada

perbedaan fishing capacity dalam beberapa tahun terakhir. Dengan demikian indikator

fishing capacity dapat diberi skor 2 yakni FCm : FCn = 1.

Untuk memperoleh data yang menggambarkan Fishing Capacity and Effort Ratio

dilakukan estimasi menggunakan data statistik perikanan tahun 2009 dan 2013 dari ketiga

kabupaten yang terkait dengan KKPD Sultra. Dengan memodifikasi perhitungan

menggunakan factor koreksi berupa factor tangkapan dan faktor sebaran maka diperoleh

nilai Fishing Capacity and Effort Ratio 0,97-1,4 sebagaimana pada Tabel 4.18. Oleh

karena itu untuk indikator ini diberi skor 1,3.

Tabel 4.17. Estimasi Fishing Capacity and Effort Ratio

Kelompok SDI Alat tangkap

Faktor Faktor Jmlah unit Produksi (kg/thn)

Fishing Capacity

Ratio tangkapan sebaran 2009 2013 2009 2013

Ikan Rawai 0.8 0.6 606 606 3582 1041932.16 1041932.16 Karang Pancing Ulur 0.5 0.6 1727 1710 4812 2493097.2 2468556 Bubu 100 0.6 192 130 2840 32716800 22152000

Jaring Insang 0.2 0.6 454 545 5565 303181.2 363951

Jumlah 36,555,011 26,026,439 1.40

Ikan Pukat cincin 0.3 0.6 297 447 42800 2288088 3443688

Kembung Pancing 0.3 0.6 1727 710 7323 2276427.78 935879.4 Payang 0.8 0.6 21 166 24000 241920 1912320

Jaring Insang 0.5 0.6 454 545 5115 696663 836302.5

Bagan 0.7 0.6 172 96 20000 1444800 806400

Jumlah 4,659,811 4,490,902 1.03

Ikan Pancing 0.2 0.6 1727 1710 6314 1308513.36 1295632.8

Kuwe Jaring Insang 0.3 0.6 454 545 4864 397486.08 477158.4

Rawai 0.2 0.6 606 606 3582 260483.04 260483.04

Jumlah 1,966,482 2,033,274 0.97

Pada tahun 2012 di Kabupaten Konawe Selatan terdapat terdapat 13 jenis alat

tangkap ikan yang digunaan oleh nelayan dan terdaftar di DKP Kabupaten Konawe

Selatan. Dari 13 jenis alat tangkap tersebut terdapat 3 jenis alat tangkap yang tidak selektif

sehinggga persentase antara jumlah alat tangkap yang tergolong memiliki selektivitas

rendah (PS) adalah adalah 23,07% (DKP, 2012). Sehingga itu indikator ini dapat diberi

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 33

skor 3 yaitu selektivitas penangkapan tinggi (kurang dari 50% penggunaan alat tangkap

yang tidak selektif)

Hasil penelusuran pada masyarakat nelayan di sekitar KKPD Sultra menunjukkan

bahwa sebagian besar dari kapal yang digunakan untuk perikanan terumbu karang adalah

kapal-kapal yang tidak memiliki dokumen legal dimana ukuran kapalnya rata-rata dibawah

5 GT khususnya kapal penangkapan ikan yang menangkap ikan karang dengan alat

tangkap pancing, sero dan alat tangkap bagan . Sedangkan kapal kapal yang berukuran

besar (mulai dari 5 GT) khususnya yang menangkap ikan cakalang, kembung dan ikan

layang dengan alat tangkap purse seine memiliki dokumen legal. Berdasarkan fenomena

tersebut maka Indikator kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan

dokumen legal dapat diberi skor 2 yaitu kesesuaiannya sedang (30-50%) sampel tidak

sesuai dengan dokumen legal.

Pada umumnya nelayan ikan karang di sekitar Sultra KKPD adalah nelayan

tradisional dan semi komersil dengan skala usaha yang kecil khusunya alat tangkap

pancing untuk menangkap ikan karang dan alat tangkap bagan berukuran kurang dari 5

GT, sehingga tidak diwajibkan memiliki sertifikat, bahkan tidak mengetahui akan perlunya

sertifikat. Sedangkan nelayan pada alat tangkap purse seine dan payang nahkodanya

memiiki sertifikasi kecakapan. Berdasarkan hal tersbut maka indikator sertifikasi awak

kapal perikanan sesuai dengan peraturan dapat diberi skor 1 yaitu kepemilikan sertifikat

<50%.

4.1.4. Domain Sosial

Terdapat 3 (tiga) indikator penilaian untuk domain sosial yaitu partisipasi pemangku

kepentingan, konflik perikanan dan pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan

sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK/traditional ecological knowledge).

Berdasarkan hasil analisis setiap indikator EAFM perikanan yang dikaji di kawasan KKPD

Sulawesi Tenggara pada domain sosial ditampilkan dalam Tabel 4.18.

Pengelolaan perikanan tangkap di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara khususnya di

DKP masih semata-mata merupakan domain bidang perikanan tangkap DKP sehingga

partisipasi dan siklus pengelolaan sifatnya masih parsial dan belum jelas. Partispasi

pemangku kepentingan ditandai hanya dengan keikutsertaan setiap kegiatan pelatihan,

workshop maupun bimbingan teknis (bintek) yang hanya berkaitan dengan tupoksi masing-

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 34

masing bidang. Ditambah lagi, tindak lanjut dari hasil yang disepakati dalam kegiatan-

kegiatan pelatihan, workshop maupun bintek tersebut umumnya tidak dilaksnakan dan

adapun dilaksanakan, pelaksanaannya tidak efektif.

Keterkaitan ataupun kolaborasi instansi utama (DKP) dengan instansi lain di lingkup

kawasan KKPD Sulawesi Tenggara belum berjalan efektif atau dengan kata lain masih

bersifat sektoral. Umumnya kegiatan-kegiatan pengembangan kesadaran ataupun

pelatihan-pelatihan yang berhubungan dengan pengelolaan kawasan KKPD Sulawesi

Tenggara dari suatu instansi terkait, jarang diketahui oleh instansi lain. Uraian tersebut di

atas menyiratkan bahwa indikator partisipasi pemangku kepentingan pengelolaan

perikanan tangkap di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara masuk dalam kategori kurang

dari 50%, baik terhadap ikan karang, ikan kembung maupun ikan kuweh. Berdasarkan hal

tersebut, maka untuk indikator ini diberikan skor 1.

Konflik pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di kawasan KKPD Sulawesi

Tenggara umumnya berhubungan dengan konflik pemanfaatan fishing ground dan konflik

kebijakan. Konflik pemanfaatan fishing ground umumnya terjadi antara nelayan lokal

dengan nelayan pendatang (nelayan andong). Adapun sesama nelayan lokal, konflik fishing

ground umumnya jarang terjadi bahkan tidak terjadi sekalipun dalam beberapa tahun

belakangan.

Konflik fishing ground antara nelayan lokal dengan pendatang biasanya terjadi dalam

bentuk nelayan pendatang menangkap di lokasi penangkapan nelayan lokal. Nelayan lokal

merasa bahwa hal ini dapat mengurangi hasil tangkapan mereka karena ikan-ikan telah

banyak tertangkap oleh nelayan pendatang, karena umumnya nelayan pendatang memiliki

kapasitas penangkapan yang lebih besar. Dengan demikian, ikan-ikan di lokasi

penangkapan lebih cepat berkurang. Hal ini menimbulkan kecemburuan bagi nelayan lokal

dan jika hal ini terus dibiarkan, maka dikhawatirkan dapat menimbulkan konflik yang lebih

luas. Adapun konflik kebijakan hubungannya dengan kondisi sosial masyarakat di kawasan

KKPD Sulawesi Tenggara biasanya terjadi dalam bentuk kebijakan lembaga terkait yang

satu dengan yang lain tidak sejalan. Hal ini menimbulkan kebingungan dikalangan

masyarakat yang dapat menjadi cikal bakal konflik yang lebih meluas ataupun berujung

pada pelanggaran-pelanggaran terkait pengelolaan perikanan di kawasan KKPD Sulawesi

Tenggara.

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 35

Secara keseluruhan, berdasarkan hasil kajian konflik perikanan di kawasan KKPD

Sulawesi Tenggara baik terhadap ikan karang, ikan kembung maupun ikan kuweh, konflik

fishing ground dan konflik kebijakan khususnya nelayan yang memanfaatkan bagan rambo

serta rumpon sebagai alat bantu sering terjadi bahkan sampai pada kategori > 5 kali

setahun. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka untuk indikator konflik perikanan

hubungannya dengan kondisi sosial masyarakat di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara

diberikan skor 1.

Pengetahuan dan kearifan lokal dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan di kawasan

KKPD Sulawesi Tenggara pada umumnya adalah pengetahuan yang terkait dengan musim,

iklim dan dinamika melimpah dan menurunnya sumberdaya ikan. Pengetahuan tersebut

bersumber dari pengalaman masing-masing nelayan yang umumnya sudah puluhan tahun

bergelut dibidang perikanan tangkap. Meskipun demikian, pengetahuan-pengetahuan

tradisional seperti ini hampir sudah tidak digunakan lagi karena sulitnya memprediksi

perubahan-perubahan iklim dan cuaca beberapa tahun belakangan ini. Berbeda dengan

sepuluh atau dua puluh tahun sebelumnya, perubahan cuaca masih dapat diprediksi

sehingga pengetahuan-pengatahuan tradisional yang telah disebutkan di atas sangat

dibutuhkan dalam aktifitas operasi penangkapan ikan.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari responden mengenai pengetahuan lokal

yang dimaksud, diperoleh bahwa bahwa semua responden di lokasi survei mengatakan

tidak memanfaatkan pengetahuan lokal dalam melakukan penangkapan ikan. Hal ini

karena sudah seringnya dilakukan penyuluhan-penyuluahan dan pelatihan-pelatihan terkait

teknologi penangkapan ikan. Selain itu, sulitnya menangkap ikan pada masa-masa

sekarang ini akibat susahnya memprediksi cuaca, juga turut mempengaruhi jarangnya atau

bahakan tidak digunakan lagi pengetahuan lokal dalam operasi penangkapan ikan.

Berdasarkan uraian di atas tersebut, maka untuk indikator pemanfaatan pengetahuan lokal

dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK/traditional ecological

knowledge), diberikan skor 1.

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 36

Tabel 4.18. Hasil Analisis Komposit Indikator Domain Sosial.

INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN KRITERIA IKAN KARANG IKAN KEMBUNG IKAN KUWEH SKOR BOBOT

(%) RANKIN

G NILAI

1. Partisipasi pemangku kepentingan

Keterlibatan pemangku kepentingan

1 = kurang dari 50%; Pengelolaan perikanan tangkap masih merupakan Domain Bidang perikanan tangkap DKP sehingga partisipasi dan siklus pengelolaan sifatnya parial belum jelas, (DKP Sultra, 2016)

Partispasi pemangku kepentingan di tandai dengan keikutsetaan

setiap kegiatan pelatiahn, workshop maupun bintek

yang hanya berkaitan dengan tupoksi masing-

masing bidang

Partispasi pemangku kepentingan di tandai dengan keikutsetaan

setiap kegiatan pelatiahn, workshop maupun bintek yang

hanya berkaitan dengan tupoksi masing-masing

bidang

1.0 40 1 40.0

2 = 50-100%;

3 = 100 %

2. Konflik perikanan

Resources conflict, policy conflict, fishing gear conflict, konflik antar sector.

1 = lebih dari 5 kali/tahun;

Hasil wawancara 4,4 % responden mengatakan adanya konflik pemanfaatan fising ground dan kebijakan khususnya nelayan yang memanfaatkan bom, bius dengan frekuensi lebih dari 5 kali (DKP Prov, 2016)

20,97 % responden mengatakan adanya konflik pemanfaatan fishing ground dan

kebijakan khususnya nelayan yang

memanfaatkan bagan rambo serta rumpon

sebagai alat bantu lebih dari 5 kali (DKP Prov,

2016)

6,1 % responden mengatakan adanya konflik pemanfaatan

fising ground dan kebijakan khususnya

nelayan yang memanfaatkan rumpon

sebagai alat bantu maupun bom lebih dari 5 kali (DKP Prov, 2016)

1,0 35 2 35

2 = 2-5 kali/tahun;

3 = kurang dari 2 kali/tahun

3. Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK, traditional ecological knowledge)

Pemanfaatan pengetahuan lokal yang terkait dengan pengelolaan perikanan

1 = tidak ada; Semua responden di lokasi survei mengatakan tidak memanfaatkan pengetahuan lokal dalam melakukan penangkapan ikan krn sdh sering ada penyuluhan dan menangkap ikan saat ini sdh semakin sulit

Semua responden di lokasi survei mengatakan

tidak memanfaatkan pengetahuan lokal dalam melakukan penangkapan ikan krn sdh sering ada

penyuluhan dan menangkap ikan saat ini

sdh semakin sulit

Semua responden di lokasi survei

mengatakan tidak memanfaatkan

pengetahuan lokal dalam melakukan

penangkapan ikan krn sdh sering ada

penyuluhan dan menangkap ikan saat ini

sdh semakin sulit

1.0 25 3 25

2 = ada tapi tidak efektif; 3 = ada dan efektif digunakan

RERATA TOTAL TOTAL

1,0 100 100

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 37

4.1.5. Domain Ekonomi Aspek ekonomi ditetapkan 4 (empat) indikator utama, yakni: (1) kepemilikan aset, (2) pendapatan rumah tangga perikanan (RTP), dan

(3) rasio tabungan, Berdasarkan hasil analisis setiap indikator EAFM pada domain ekonomi ditampilkan dalam Tabel 4.19.

Tabel 4.19. Hasil Analisis Komposit Indikator Domain Ekonomi. INDIKATOR DEFINISI/

PENJELASAN KRITERIA IKAN KARANG IKAN KEMBUNG IKAN KUWEH SKOR BOBOT (%) RANKING NILAI

1. Kepemilikan Aset

Perubahan nilai/jumlah aset usaha RTP cat : aset usaha perikanan atau aset RT.

1 = nilai aset berkurang (lebih dari 50%) ;

Dalam 1 tahun terakhir seluruh responden menyatakan ada peningkatan aset usaha perikanan maupun aset rumah tangga, tetapi <50%

Mayoritas responden memiliki nilai aset tetap (kurang dari 50%)

Mayoritas responden memiliki nilai aset tetap (kurang dari 50%)

2,0 45 1 90

2 = nilai aset tetap (kurang dari 50%); 3 = nilai aset bertambah (di atas 50%)

2. Pendapatan rumah tangga (RTP)

Pendapatan total RTP yang dihasilkan dari usaha RTP

1= kurang dari rata-rata UMR,

100% responde memeiliki pendapatan diatas UMR (Rp 1.690.00 – Rp. 3.400.00)

Rata-rata pendapatan responden ( Rp. 3.215.000 per bulan) melebih UMR regional Sulawesi Tenggara 2016 ( Rp 1.850.000)

Rata-rata pendapatan responden (Rp. 4.415.000 per bulan) perbulan melebih UMR

regional Sulawesi Tenggara 2016 ( Rp 1.850.000)

3,0 30 2 90

2= sama dengan rata-rata UMR, 3 = > rata-rata UMR

3. Rasio Tabungan (Saving ratio)

menjelaskan tentang rasio tabungan terhadap pendapatan bersih

1 = kurang dari bunga kredit pinjaman;

SR= 46,33% - 72,79%. Besarnya bunga kredit

pinjanman = 7,52 – 8,22% per September 2013

Suku bunga kredit Sultra bulan Oktober s/d

Desember 2016 sebesar 7,25 - 7,5% (BI Sultra, 2016), sedangkan ratio

tabungan rata-rata responden nelayan

penangkap ikan karang =47,4%

Suku bunga kredit Sultra bulan Oktober s/d Desember 2016

sebesar 7,25 - 7,5% (BI Sultra, 2016), sedangkan ratio

tabungan rata-rata responden nelayan penangkap ikan

kembung =66,5%

3,0 25 3 75

2 = sama dengan bunga kredit pinjaman; 3 = lebih dari bunga kredit pinjaman

TOTAL TOTAL

RERATA 2,67 100 255

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 38

Berdasarkan wawancara dengan responden pada setiap perikanan menunjukkan

bahwa nilai aset cenderung bertambah sesuai dengan omset usaha dan kepemilikan sarana

usaha. Pada umumnya RTP di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara merupakan nelayan

skala kecil dengan aset milik sendiri. Aset-aset mereka terdiri dari bodi batang atau perahu,

alat tangkap dan mesin. Beberapa nelayan hanya memiliki alat tangkap dengan tanpa kapal

ataupun mesin, sehingga bertambah ataupun berkurangnya aset perikanannya hanya

seputar alat tangkap saja. Secara umum, aset-aset RTP di kawasan KKPD Sulawesi

Tenggara pertambahan asetnya kurang dari 50%. Berdasarkan kriteria untuk indikator ini,

kepemilikan aset RTP di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara masuk dalam kategori “nilai

aset tetap” atau dengan kata lain pertambahan aset mereka kurang dari 50%. Oleh karena

itu, berdasarkan kriteria ini, maka untuk indikator kepemilikan aset RTP di kawasan

KKPD Sulawesi Tenggara diberikan skor 2.

Indikator pendapatan rumah tangga nelayan (RTP) di kawasan KKPD Sulawesi

Tenggara menunjukkan tingkat pendapatan yang tergolong tinggi. Berdasarkan hasil

wawancara dan diskusi terarah dengan nelayan di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara,

diperoleh bahwa rerata pendapatan RTP jenis perikanan karang, kembung dan kuweh

menunjukkan nilai yang lebih tinggi dari Upah Minimum Regional (UMR) yang

ditetapkan provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2016 (Rp. 1850.000,-) (Tabel 4.21). Dengan

demikian, dapat dikatakan bahwa secara keseluruhan RTP perikanan karang, kembung dan

kuweh di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara telah sejahtera. Hal ini dapat didukung pula

oleh alasan penetapan UMR yang mengacu pada PDRB bahwa dengan nilai tersebut maka

masyarakat sudah tergolong sejahtera. Selain itu, kondisi ini juga menunjukkan bahwa

sumberdaya perikanan yang tersedia di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara masih cukup

untuk menopang kehidupan RTP yang memanfaatkan kawasan KKPD ini. Kondisi ini

diharapkan terus stabil bahkan meningkat hingga dimasa-masa yang akan datang.

Berdasarkan uraian di atas, maka untuk indikator pendapatan rumah tangga RTP di

kawasan KKPD Sulawesi Tenggara untuk semua jenis perikanan (karang, kembung dan

kuweh) yang dikaji dalam riset ini, masuk dalam kategori pendapatan lebih besar dari

UMR (>UMR) tahun 2016, sehingga diberikan skor 3.

Tingkat kesejahteraan yang dibahas pada indikator pendapatan RTP di kawasan

KKPD Sulawesi Tenggara juga didukung oleh tingginya prosentase rasio tabungan (saving

ratio) terhadap suku bunga BI Sulawesi Tenggara. Indikator rasio tabungan (saving ratio),

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 39

yakni perbandingan antara pendapatan dan pengeluaran pada masing-masing perikanan

yang dikaji dalam kawasan KKPD Sulawesi Tenggara, dapat dilihat pada Tabel 4.20:

Tabel 4.20. Perbandingan Rerata Pendapatan dan Pengeluaran serta Saving Rate pada masing-masing jenis Perikanan di Kawasan KKPD Sulawesi Tenggara.

No. Jenis Perikanan Rerata

Pendapatan Per Bulan (Rp.)

Rerata Pengeluaran Per

Bulan (Rp.) Saving Rate (%)

1. Ikan Karang 3.215.000,- 1.693.000,- 47,4 2. Ikan Kembung 4.415.000,- 1.480.000,- 66,5 3. Ikan Kuweh 3.750.000,- 1.537.000,- 58,9

Sumber: Data Primer 2016

Tabel 4.20 menunjukkan bahwa rasio tabungan RTP di kawasan KKPD Sulawesi

Tenggara untuk jenis perikanan karang, kembung dan kuweh masing-masing sebesar

47,4%, 66,5% dan 58,9%. Nilai-nilai prosentase ini lebih tinggi dari nilai suku bunga

kredit Sultra bulan Oktober s/d Desember 2016 sebesar 7,25 - 7,5% (BI Sultra, 2016).

Berdasarkan informasi ini, maka secara keseluruhan baik untuk perikanan karang,

kembung maupun kuweh dapat disimpulkan bahwa indikator saving rate (SR) masuk

dalam kategori “lebih besar dari suku bunga kredit pinjaman”, sehingga dapat diberikan

skor 3. 4.1.6. Domain Kelembagaan

Aspek kelembagaan telah dirumuskan 6 (enam) indikator utama. Keenam kriteria

tersebut memiliki nilai bobot dan ranking yang berbeda berdasarkan pengaruh terhadap

pengelolaan perikanan, yakni: (1) Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang

bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal

maupun non-formal (Alat), (2) kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan, (3)

mekanisme pengambilan keputusan, (4) rencana pengelolaan perikanan, (5) tingkat

sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan, dan (6) kapasitas

pemangku kepentingan. Berdasarkan hasil analisis setiap indikator EAFM pada domain

kelembagaan di Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Sulawesi Tenggara

ditampilkan dalam Tabel 4.21.

Pelanggaran tertulis yang terjadi di Kabupaten Konawe Selatan yang ditemukan

umumnya berkaitan dengan dokumen dimana kapal-kapal penangkapan ikan tidak

dilengkapi dengan dokumen resmi. Data tertulis tentang pelanggaran terhadap aturan-

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 40

aturan perikanan yang telah di tetapkan baik formal maupun tidak formal pada tahun 2016

ditemukan sebanak 5 kali dengan penyelesaian kasus dilakukan dengan pembinaan.

Sedangkan berdasarkan wawancara dengan nelayan responden berhasil diidentifikasi

beberapa jenis pelanggran baik formal maupun informal. Secara formal pelangaran utama

yang banyak dilakukan nelayan berupa pelanggaran hukum secara administrasi yaitu

manajemen perijinan yang masih kurang diperhatikan. Terdapat lebih 5 kali pelanggaran

ini terjadi sepanjang tahun 2016, oleh karena itu kriteria pelanggaran terhadap aturan

perikanan dapat di kategorikan buruk dengan skor 1. Sedangkan informasi pelanggaran

untuk aturan non formal yang ditemukan di wilayah perairan Teluk Staring berupa

pelanggaran terkai Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), dimana masih banyak

pelanggaran terhadap armada-armada penangkapan yang tidak spesifik menangkap

disekitar wilayah perairan Teluk Staring. Lebih dari 90% responden menyatakan

pelanggaran terkait WPP terjadi diatas 5 kali sepanjang tahun 2016 sehingga kriteria ini

dapat di berikan kategori buruk dengan skor 1.

Berdasarkan wawancara dengan perangkat DKP Kabupaten Konawe Selatan

diketahui bahwa Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) KKPD Prov. Sultra masih dalam

proses regulasi penetapan, namun aturan-aturan lain khususnya secara nasional seperti UU

No 27 Tahun 2007 jo No. 1 Tahun 2014, UU No 45 Tahun 2009, UU No 45 tahun 2007,

UU No 45 tahun 2004, PP No 60 tahun 2009 dan UU No. 23 Tahun 2014 yang terkait

dengan kewenangan pengelolan kawasan konservasi, masih mendominasi aturan untuk

dijadikan rujukan dalam pengelolaan perikanan di KKPD Prov. Sultra. Sedangkan aturan

yang bersifat teknis dan operasional yang ada meliputi; Permen, Pergub, Perda SIUP, SIPI,

SIKPI, namun beberapa belum memiliki kekuatan hukum. Berdasarkan kriteria mengenai

aturan pengelolaan perikanan KKPD Prov. Sultra tersebut maka diberikan skor 2 = ada tapi

tidak lengkap.

Beberapa dokumen rencana pembangunan telah disusun seperti Rencana Tata

Ruang Wialayah, Rencana Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

telah disusun yang diikuti dengan dokumen Masterplan Minapolitan Kabupaten Konawe

Selatan, namun hingga tahun 2017 jumlahnya tidak bertambah. Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan jumlahnya tetap,

sehingga untuk indikator ini dapat diberi skor 1 (ada dan jumlahnya tetap).

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 41

Dalam hal penegakkan aturan main, DKP dan pihak kepolisian telah melakukan

upaya penegakkan aturan namun belum efektif, (untuk itu indikator ini dapat diberi skor

2). Menurut pihak DKP hal ini disebabkan karena keterbatasan petugas dan sarana

pengawasan. Berdasarkan hasil wawancara Kelompok masyarakat pengawas (Pokmaswas)

menyatakan, saat ini belum di tetapkan secara pasti kegiatan rutin pengawasan karena

kegiatan pengawasan hanya dilakukan sesuai dengan kebutuhan instansi dan ketersediaan

biaya. Kegiatan pengawasan hingga saat ini sangat jarang dilakukan, ketersediaan biaya

dan perlengkapan alat yang dibutuhkan sangat terbatas bahkan tidak memenuhi standar

pengawasan (untuk itu indikator ini dapat diberi skor 1). Dalam rangka penegakkan

aturan, petugas pengawas yang berwenang (POL AIR) memberikan tindak lanjut bagi

nelayan yang melakukan pelanggaran, berkomunikasi dan memberikan teguran terlebih

dahulu, pembinaan serta proses hukum sampai ke tingkat pengaadilan. Petugas pengawas

memberikan teguran untuk pelanggaran yang skala kecil seperti penenpatan daerah

penangkapan yang tidak sesuai dengan armada, sedangkan pelanggaran skala besar

diberikan hukuman denda dan pidana (untuk itu indikator ini dapat diberi skor 2).

Dalam hal mekanisme pengambilan keputusan, program yang terkait dengan

pengelolaan perikanan masih merupakan kebijakan Dinas Kelautan dan Perikanan.

Pelibatan stakeholders hanya sebagai prosedur penyusunan dokumen perencanaan

pembangunan di karenakan mekanisme pengambilan keputusan ini belum memiliki SOP

sehingga dikatakan belum efektif (Indikator ini dapat diberi skor 2). Beberapa kebijakan

dan program terkait pengelolaan perikanan belum sepenuhnya dijalankan sebagaimana

mestinya, beberapa keputusan yang telah ada tidak dijalankan mengingat keterbatasan

sarana dan prasarana menjadi salah satu penyebabnya. Model pengelolaan WPP perlu

didukung dengan kapasitas kebijakan yang memadai dan sosialisasi kepada pelaku

penangkapan (karena itu indikator ini dapat diberi skor 1).

Legalitas mengenai RPP digunakan untuk memberikan kekuatan terhadap

keberadaan Kawasan Konservasi Perairan Daerah. KKPD Prov. Sultra yang telah

ditetapkan masih dalam tahap keputusan pencadangan oleh Gubernur Sulawesi Tenggara.

Hal ini memberikan kendalam terhadap penerapan implementasi dari aturan pengelolaan

KKPD Prov. Sultra. Hingga saat ini KKPD Prov. Sultra belum meiliki legalitas mengingat

RPP saat ini belum disusun. Belum adanya RPP terhadap KKPD Prov. Sultra sehingga

indikator ini diberi skor 1.

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 42

indikator Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan,

terlihat bahwa koordinasi antar lembaga dalam menjalankan program masing-masing

lembaga memiliki kepentingan yang berbeda. Kepentingan yang terkait dalam pengelolaan

perikanan di Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Prov. Sultra menjadi kendala

dalam penentuan kebejikan dalam penetapan kawasan. Terdapat beberapa kepentingan

yang saat ini terjadi di dalam kawasan konservasi seperti pembangunan smelter di wilayah

pesisir Kecamatan moroma dan pembangunan PLUT di pesisir Kecamatan Moramo Utara.

Pembangunan kepentingan ini telah mendapat izin dari pemerintah Prov. Sultra sehingga

bertolak belakang dengan kebijakan pengelolaan KKPD itu sendiri (indikator ini dapat

diberi skor 1).

Selain adanya kebijakan sektor yang berbeda, juga hubungan dalam mendukung

aturan setiap sektor sangat kurang. koordinasi setiap sektor yang memiliki tugas dan

tanggung jawab serta kewajiban mengenai kebijakan pada wilayah KKPD yang tidak

saling mendukung, terlihat adanya kerusakan lingkungan kawasan yang timbul akibat

aktivitas sektor lain seperti penimbunan serta sedimentasi sehingga indikator ini diberi skor

2.

Kapasitas pemangku kepentinga memberikan kekuatan terhadap pelaksanaan dan

penetapan serta pengelolaan kawasan konservasi. Beberapa hal yang telah dilakukan untuk

memberikan penguatan terhadap pengelolaan perikan seperti bimbingan teknis dan

pembinaan, namun tidak berkesinambungan dan tidak diimplementasikan sesuai

peruntukannya. Hal ini menggambarkan akibat dari kekuasaan politik yang sangat

dominan melihat setiap sektor memiliki kepentingan yang berbeda sehingga kebutuhan dan

kapasitas yang dimiliki pemangku kepentingan tidak sesuai dengan peruntukannya

ditambah lagi belum adanya kegiatan peningkatan kapasitas pemangku kepentingan yang

mengarah pada pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem sehingga kriteria ini

diberi skor 2.

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 43

Tabel 4.21. Hasil Analisis Komposit Indikator Domain Kelembagaan. INDIKATOR DEFINISI/

PENJELASAN KRITERIA DATA ISIAN SKOR BOBOT (%) RANKING NILAI

1. Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal

Tingkat kepatuhan (compliance) seluruh pemangku kepentingan WPP terhadap aturan main baikformal maupun tidak formal

1= lebih dari 5 kali terjadi pelanggaran hukum dalam pengelolaan perikanan;

Pelanggaran terkait WPP di wilayah perairan Teluk Staring Kabupaten Konawe Selatan berupa pelanggaran hukum secara admistrasi kelengkapan izin terjadi lebih dari 5 kali di tahun 2016 (Bidang Pengawasan DKP Provinsi Sultra, 2017)

1 26 1 26

2 = 2-4 kali terjadi pelanggaran hukum;

3 = kurang dari 2 kali pelanggaran hukum

Non formal 1= lebih dari 5 informasi pelanggaran, 2= lebih dari 3 informasi pelanggaran, 3= tidak ada informasi pelanggaran

90 % reponden mengatakan bahwa pelanggaran hukum terkait WPP lebih dari 5 kali

1

2. Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan

Sejauh mana kelengkapan regulasi dalam pengelolaan perikanan

1 = tidak ada; 2 = ada tapi tidak lengkap; 3 = ada dan lengkap

Ada aturan main hanya di tingkat provinsi (Perda Pesisir, Pergub dan aturan terkai retribusi).

2 25 2 40

Elaborasi untuk poin 2 1= ada tapi jumlahnya berkurang; 2= ada tapi jumlahnya tetap; 3= ada dan jumlahnya bertambah

Kelengkapan regulasi hingga tahun 2013 jumlahnya tetap

2

Ada atau tidak penegakan aturan main dan efektivitasnya

1=tidak ada penegakan aturan main; 2=ada penegakan aturan main namun tidak efektif; 3=ada penegakan aturan main dan efektif

Penegakan hukum atau aturan main sudah diterapkan hanya saja kurang efektif

2

1= tidak ada alat dan orang; 2=ada alat dan orang tapi tidak ada tindakan; 3= ada alat dan orang serta ada tindakan

Intensitas kegiatan patroli dan pengawasan cukup jarang disebabkan oleh keterbatasan anggaran, hanya administrasi di kantor (Abet Abdullah 2017)

1

1= tidak ada teguran maupun hukuman; 2= ada teguran atau hukuman; 3=ada teguran dan hukuman

Tindak lanjut bagi nelayan yang melakukan pelanggaran, berkomunikasi dan memberikan teguran terlebih dahulu, pembinaan serta proses hukum sampai ke tingkat pengaadilan (POL AIR, 2017)

2

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 44

INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN KRITERIA DATA ISIAN SKOR BOBOT

(%) RANKING NILAI

3. Mekanisme pengambilan keputusan

Ada atau tidaknya mekanisme pengambilan keputusan (SOP) dalam pengelolaan perikanan

1=tidak ada mekanisme pengambilan keputusan;

Belum ada SOP namun terdapat mekanisme pengambilan keputusan terkait pengelolaan perikanan tapi belum efektif (DKP Provinsi Sultra, 2017)

2 18 3 18

2=ada mekanisme tapi tidak berjalan efektif;

3=ada mekanisme dan berjalan efektif

1= ada keputusan tapi tidak dijalankan; 2= ada keputusan tidak sepenuhnya dijalankan; 3= ada keputusan dijalankan sepenuhnya

Keterbatasan sarana prasarana menjadi salah satu penyebab utama tidak dijalankannya sebuah keputusan terkait pengelolaan WPP (DKP Provinsi Sultra, 2016)

1

4. Rencana pengelolaan perikanan

Ada atau tidaknya RPP untuk wilayah pengelolaan perikanan dimaksud

1=belum ada RPP; 2=ada RPP namun belum sepenuhnya dijalankan; 3=ada RPP dan telah dijalankan sepenuhnya

KKPD Sulawesi Tenggara belum meiliki legalitas tentang RPP KKPD Sultra. (Provinsi Sultra, 2016)

1 15 4 15

5. Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan

Semakin tinggi tingkat sinergi antar lembaga (span of control-nya rendah) maka tingkat efektivitas pengelolaan perikanan akan semakin baik

1=konflik antar lembaga (kebijakan antar lembaga berbeda kepentingan);

Koordinasi antar lembaga dalam menjalankan program masing-masing lembaga memiliki kepentingan berbeda

1 11 5 16,5

2 = komunikasi antar lembaga tidak efektif;

3 = sinergi antar lembaga berjalan baik

Semakin tinggi tingkat sinergi antar kebijakan maka tingkat efektivitas pengelolaan perikanan akan semakin baik

1= terdapat kebijakan yang saling bertentangan;

Kurang Koordinasi setiap sektor yang memiliki tugas dan tanggung jawab serta kewajiban yang tidak saling mendukung terkait kebijakan (Tahalim, 2016)

2

2 = kebijakan tidak saling mendukung;

3 = kebijakan saling mendukung 6. Kapasitas pemangku kepentingan

Seberapa besar frekuensi peningkatan kapasitas pemangku kepentingan dalam pengelolaan perikanan berbasis ekosistem

1=tidak ada peningkatan; 2 = ada tapi tidak difungsikan (keahlian yang didapat tidak sesuai dengan fungsi pekerjaannya) 3 = ada dan difungsikan (keahlian yang didapat sesuai dengan fungsi pekerjaannya)

Bimbingan teknis dan pembinaan sudah dilakukan namun tidak berkesinambungan sesuai dengan peruntukan (politik dominan) (POL AIR, 2016)

2 5 6 10

RERATA TOTAL TOTAL

1,54 100

148,50

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 45

4.2. Analisis Komposit Pengelolaan Perikanan di Kawasan KKPD Sultra

Pengelolaan kawasan konservasi perairan daerah (KKPD) Sultra diarahkan untuk

perikanan berkelanjutan harus dijadikan sebagai alat dan acuan oleh nelayan dan pemangku

kepentingan lainnya dalam melakukan kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan dengan tujuan

mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Tujuan

tersebut dapat dicapai apabila KKPD dikelola dengan baik serta memberikan manfaat

terutama bagi perikanan dengan melindungi suatu kawasan perairan yang memiliki

karakteristik tertentu.

Ikan-ikan yang terdapat di ekosistem terumbu karang sangat beragam.

dimanannelayan sebagai pihak yang melakukan kegiatan eksploitasi terhadap sumber daya

ikan memiliki ikan target yang bernilai ekonomis tinggi sebagi sumber penghasilannya.

namun penangkapan ikan target ini sering diikuti hasil tangkapan sampingannya (by catch).

Hal tersebut juga penting untuk diperhatikan agar proses-proses alamiah yang terjadi di

ekosistem tersebut tetap terjaga keseimbangannya. Pengelolaan pemanfatan sumberdaya

perikanan di KKPD ini harus sejalan antara kelangsungan ekosistem (perikanan

berkelanjutan) dengan kesejahteraan masyarakat (tidak menimbulkan konflik sosial). Pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan tidak akan pernah

terlepas dari fungsi konservasinya. Bahkan konservasi telah diyakini sebagai upaya penting yang

mampu menyelamatkan potensi sumberdaya tetap tersedia dalam mewujudkan perikehidupan lestari

yang menyejahterakan. “Konservasi telah menjadi tuntutan dan kebutuhan yang harus dipenuhi

sebagai harmonisasi atas kebutuhan ekonomi masyarakat dan keinginan untuk terus melestarikan

sumberdaya yang ada bagi masa depan. Oleh karena itu integrasi parameter EAFM merupakan satu

kesatuan yang saling mempengaruhi untuk menilai performa pengelolaan perikanan di KKPD Sultra.

Berdasarkan hasil analisis dan penilaian performa perikanan di kawasan KKPD

Sulawesi Tenggara melalui keterkaitan setiap domain yang berdasarkan kriteria masing-

masing indikator domain pada domain habitat & ekosistem, sumberdaya ikan, teknik

penangkapan ikan, sosial, ekonomi dan kelembagaan menunjukkan bahwa agregat performa

pengelolaan perikanan di KKPD Sultra berada pada kategori sedang. Hal ini nilai komposit

tertinggi terdapat pada domian ekonomi dan terendah adalah domain soial. Sedangkan, teknik

penangkapan dan kelembagaan menunjukan kondisi kurang. Domain habitat dan ekosistem,

sumberdaya ikan menunjukan kondisi yang moderat (sedang) Nilai komposit Performa

Perikann pada setiap domain secara detail dapat di lihat pada Tabel 4.22 berikut:

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

IV - 46

Tabel 4.22. Nilai Komposit dan Deskripsi Performa Perikanan Di Kawasan KKPD Sultra

Setiap Domain Yang di Nilai

Domain Nilai Komposit Deskripsi

Sumberdaya Ikan 166.7 Sedang Habitat & ekosistem 175.8 Sedang Teknik Penangkapan Ikan 146.7 Kurang Sosial 100.0 Buruk Ekonomi 255.0 Baik Sekali Kelembagaan 148.5 Kurang Aggregat 165.4 Sedang

Berdasarkan Tabel 4.22 tersebut terlihat bahwa performa pengelolaan perikanan dari

hasio analisis setiap domain pengelolaan menunjukan secara umum status perikanan di

KKPD Sultra dalam kondisi sedang dan cederung menuju kurang. Hal ini terlihat dari agragat

nilai komposit sebesar 165,4 dari total nilai 300. Namun apabila diperhatikan nilai komposist

darisetiap domain maka jelas bahwa ada beberapa domain yang berkategori sedang dan satu

domain yang berkategori buruk. Domain-domain inilah yang menodorong kondisi

pengelolaan perikanan di KKPD menjadi belum optimal. Sedangkan domain lainnya

cenderung mendorong dalam meningkatkan kualitas pengeloaan perikanan yang meliputi

domain ekonomi (kategori sangat baik), domain sumberdaya ikan dan domain habitat dan

ekosistem dengan kategori sedang. Walaupun secara keseluruhan kondisi pengelolaan

perikanan di KKPD masih berada dalam kategori sedang bukan berairi perikanan di KKPD

ini tidak mendapat ancaman dalam keberlanjutan sumberdaya perikanan.

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

V - 1

BAB V

PEMBAHASAN

5.1. Metode dan Analisa Iindikator EAFM yang Digunakan 5.1.1. Metode EAFM

Penerapan metode EAFM dalam menilai performa pengelolaan di kawasan konservasi

perairan daerah (KKPD) Sulawesi Tenggara sebagai upaya mengoptimalkan pengeolaan

kawasan konservasi untuk mendukung pengelolaan perikanan berkelnjutan sangat

bermanfaat sehingga status kawasan perikanan atau unit perikanan pada kawasan konservasi

dapat di tentukan. Metode EAFM ini mudah dipahami karena indikatornya sederhana dan

sangat terukur untuk diimplementasikan sehingga mampu menggambarkan kondisi

pengelolaan perikanan yang ada di KKPD Sultra dengan catatan apabila data untuk dianalisis

tersedia atau masih dapat diperoleh dari instansi terkait.

Kegiatan penerapan indicator EAFM dalam rangka melakukan penilaian performa

pengelolaan perikanan di kawasan konservasi perairan daerah (KKPD) Sultra yang meliputi 3

wilayah adminsitrasi Kabupaten Konawe Selatan, Konawe dan Kota Kendari melalui

pengamatan terhadap beberapa unit perikanan yang berbasis pada produksi dominan

sumberdaya ikan yang dimanfaatkan di lokasi tersebut. Metode EAFM untuk menganalisis

performa perikanan pada kawasan konservasi dapat di lakukan khususanya untuk

memetakan baseline data perikanan yang selama ini hanya berbasis pada wilayah

administrasi. Penilaian performa perikanan dilakukan pada kawasan ini untuk mendukung

program pemerintah melalui kementrian Kelautan dan perikanan dalam mengembangkan

kawasan konservasi sebagai lumbung ikan. Dalam prose penilaian ini walaupun data dan

informasi terkait dengan pengelolaan perikaan masih tersebar secara umum dan belum

terfokus pada kawasan konservasi Karena KKPD ini belum memiliki penetapan staus

pengelolaan dari kementrian namun sebagian besar data khususnya habitat dan kualitas

perairan dapat di peroleh dari berbagai sumber yaitu; Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan

Perikanan Provinsi dan Kabupaten di 3 wilayah administarsi, hasil-hasil penelitian asesmen

KKPD Sultra, hasil-hasil penelitian mahasiswa dan hasil-hasil peneltian yang dilakukan oleh

praktisi WWF-hHasil penelitian Staf pengajar Universitas, Mahasiswa maupun hasil-hasil

penelitian lainnya yang relevan.

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

V - 2

Untuk mendapatkan informasi saat ini khususya data-data yang sifatnya kualitatif

maka dilakukan assessment dengan menggali informasi dari masyarakat di tiga lokasi

Kabupaten yang masuk dalam kawasan konservasi yang dikaji melalui wawancara terhadap

nelayan ikan tuna, ikan cakalang, ikan karang, ikan kembung dan nelayan ikan layang dan

wawancara kepada pihak pemerintah yang meliputi; Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi,

Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten Konawe dan Kota kendari dengan menggunkan

kuesioner.

Metode EAFM ini sangat mudah diterapkan dengan waktu yang relatif singkat apabila

semua data yang butuhkan untuk menganalisis semua indicator domain dan yang akan dinilai

tersedia dengan personil atau organisasi pelaksana yang cukup kecil namun apabila datanya

sebagian besar belum tersedia maka akan cukup sulit dan butuh waktu yang lebih lama serta

organisasinya atau personilnya cukup banyak untuk diterapkan karena melakukan pendataan

untuk setiap domain dan indikatornya dengan membutuhkan berbagai macam bidang ilmu

atau keahlian. Selain itu mengingat keberadaan data statistik perikanan dan data-data

perikanan lainnya yang ada di setiap instansi terkait masih banyak yang meragukan maka

penerapan metode ini perlu di lakukan secara hati-hati dan harus di dahului sosialisasi pada

setiap instansi terkait serta diiringi dengan pembenahan data khususnya dalam proses

pengumpulan data sumberdaya perikanan di lapangan yang seragam di seluruh Indonesia

khususnya data dan informasi pengelolaan perikanan di kawasan konservasi perairan perlu

mendapat perhatian yang serius.

Pemanfaatan metode EAFM untuk melakukan assessmen dalam menilai status

perikanan pada kawasan konservasi perairan perlu dikaji lebih jauh khususnya tiap-tiap

indikator dan rengkingnya pada masing-masing domain terutama apabila kawasan konservasi

perairan telah dikelola dengan system zonasi dimana kemungkinan tidak semua indicator

dapat diterpakan pada semua zonasi harus disesuaikan dengan target konservasi dan zona

peruntukan khususnya untuk zona perikana berkelanjutan sebagai penyokong produksi

perikanan dikawasan konservasi Karena zona tersebut dapat memproduksi dan menerima

larva ikan target penangkapan nelayan. Assesmen sumberdaya perikanan pada kawasan

konservasi seharusnya sudah dapat ditentukan ikan dominan apa yang dimanfaatkan nelayan

di kawasan tersebut sehingga dapat terfokus surveinya karena ikan yang dihasilkan nelayan di

kawasan ini tidak semua diatangkap di kawasan konservasi perairan daerah (KKPD) Sulta

namun dari perairan diluar seperti ikan yang memiliki ruaya yang luas; ikan tuna, cakalang

atau tenggiri dan sebagainya yang umumnya berada jauh dari pantai.

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

V - 3

5.1.2. Analisa Indikator EAFM

a. Domain Sumber Daya Ikan

Indikator CPUE Baku

Kriteria CPUE baku yang diterapkan agak sulit untuk diukur dan dapat memberikan

penafsiran yang berbeda-beda karena sifanya kualitatif bila dilakukan melalui wawancara.

Hasil wawancara dapat digunakan sebagai pembanding dari data kuanitatif yang hanya

diperoleh data produksi bulanan namun cara ini butuh waktu yang relatif lama mengingat

setiap nelayan tidak memiliki data-data produksi. Indikator CPUE baku yang sifatnya

kualitatif dapat diperoleh melalui wawancara dengan nelayan yang memiliki pengalaman

menankap ikan minimal 15 tahun. Untuk bisa menerapkan indikator ini maka perlu

dipikirkan agar model pendataan di setiap instansiataupun setiap desa di kawasan konservasi

perairan harus dapat menggambarkan perubahan CPUE perikanan yaitu jumlah produksi

setiap jenis ikan harus disandingkan dengan jumlah alat tangkap atau jumlah trip

penangkapan untuk menangkap ikan tersebut sehingga mudah melakukan analisis data untuk

menilai CPUE.

Ukuran ikan

Indikator ukuran ikan secara kualitatif dapat diterapkan dengan baik namun alangka

baiknya bila bisa disinkronkan dengan data-data kuantitatif. Oleh karena itu pendataan

ukuran ikan yang selama ini dilakukan oleh instansi terkait hanya berupa data bobot (berat)

secara keseluruhan sehigga sulit menggambarkan ukuran ikan sehingga perlu dilakukan

model pendataan dengan menekankan ukurn panjang ikan agar penentuan skor kriteria ini

dapat digunakan secara efektif. Penerapan indikator ini bisa dilakukan dengan melakukan

pengukuran beberapa ikan sampel yang dikaji lalu dibandingkan dengan data-data refrensi

terkait ukyran ikan (www.fishbase.com).

Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap

Kriteria indikator ini dapat digunakan namun gambarannya sangat kualitatif hanya

didasarkan dari data interview yang relatif sulit menentukan persentasenya, sehingga data ini

lebih obyektif bila diperoleh dari survei/sampling pada nelayan dengan konsekuensi waktu

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

V - 4

lebih lama. Disamping itu apabila pendataan ukuran ikan telah dilakukan dengan baik oleh

instansi terkait maka skor untuk menilai kriteria ini dapat dilakukan dengan baik.

Komposisi spesies

Batasan kriteria komposisi atau proporsi ikan target dan non target perlu di pertegas

dan dapat terukur dengan menyebutkan persentasenya. Yang tergambar di dalam

pelaksanaan EAFM ini masih berupa data kualitatif dan dapat menmbulkan penafsiran yang

berbeda namun secara umum skor kriteria ini dapat digunakan secara efektif. Secara prinsip

indikator ini membutuhkan data kuantitatif.

Indikator Spesies ETP

Kriteria pada indikator jumlah individu ikan ETP di lapangan pada asesmen ini cukup

efektif dengan kiteria yang ada dimana sebelumnya kriterianya ditentukan jumlah spesies.

Indikator "Range Collapse" sumberdaya ikan

Penilaian kriteria indikator ini bersifat kualitatif sehingga melalui wawancara dengan

nelayan mudah mendapatkan infomasi sehingga dapat digunakan secara efektif. Hal lain yang

perlu mendapat perhatian adalah nelayan yang menjadi sasaran interview harus memiliki

pengalaman atau telah menekuni bidang penangkapan ikan minimal 15 tahun dengan

petimbangan bahwa nelayan tersebut mengetahui perkembangan perikanan yang mereka

lakukan selama ini.

b. Domain Habitat dan Ekosistem

Indikator Kualitas perairan

Krteria sub indikator pencemaran perairan harus ditentukan berdasarkan uji

laboratorium apabila secara visual ada indikasi adanya masukan bahan B3 ke perairan yang

berasal dari aktivitas disekitarnya atau kegiatan-kegiatan industri di pesisir dan laut. Tetapi

apabila indikasi tesebut tidak ada maka kita bisa langsung menyimpulkan bawa tidak ada

pencemaran. Selain itu berdasarkan definisi/penjelasan berkaitan dengan limbah yang

teridentifikasi secara klinis, audio dan atau visual (Contoh :B3-bahan berbahaya & beracun),

dengan kriteria indikator 1= tercemar; 2=tercemar sedang; dan 3= tidak tercemar, maka

sumberdaya yang sangat berpengaruh adalah yang berada tidak jauh dari pantai sedangkan

sumberdaya yang berada di perairan lepas (ikan pelagis) dengan mobilitas yang tinggi kriteria

ini perlu di kaji ulang agar bobotnya lebih kecil.

Sub indikator tingkat kekeruhan (NTU) untuk mengetahui laju sedimentasi perairan

setelah dilakukan modivikasi maka relatif mudah diterapkan dengan satuan NTU. Namun

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

V - 5

karena sub indikator kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan

banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air.

Berdasarkan hal terssebut sebaiknya kriteria kekeruhan menggunakan satuan mg/m^3

merupakan satuan kekeruhan. Oleh karena itu sebaiknya untuk laju sedimentasi harus

mengunakan TSS (mg/m^3).

Sub indikator eutrofikasi kriterianya sangat efektfi digunakan dan tidak menimbulkan

intepretasi lain karena sifatnya kuantitatif dengan mengukur konsentrasi klofil-a mellaui

konsentrasi plankton di perairan yang dikaji.

Indikator Status lamun

Sub indikator tutupan dan keanekaragaman lamun dengan kriteria skor yang telah di

tetapkan dan direvisi dapat digunakan secara efektif. Sub indikator ini kurang efektif bila

digunakan untuk menilai status sumberdaya perikanan pelagis yang jauh dari pantai maka

rankingnya atau bobotnya atau kedalaman konektivitas dibedakan dengan sumberdaya

perikanan yang terkait langsung dengan lamun

Indikator Status Mangrove

Sub indikator penutupan dan tingkat kerapatan mangrove mudah diterapkan dengan

kriteria yang ada dalam pengkajian ini khususnya unuk menilai sumberdaya yang terkait

dengan keberadaan mangrove (ikan karang) namun untuk sumberdaya yang tidak terkait

langsung atau yang hidup di laut lepas dan jauh dari pantai (ikan tuna) maka perlu dilakukan

verifikasi khususnya apabila zona-zona peruntukan di KKPD sudah ditetpakan dan perlu juga

mempertimbangkan konektivitas ikan-kan yang berinteraksi antara zona KKPD dilakuka

asesmen.

Indikator Status Terumbu Karang

Sub indikator Persentase tutupan karang keras hidup (live hard coral cover) dengan

kriteria yang telah ditetapkan dapat digunakan secara efektif dikarenakan metode pegukuran

kondisi karang yang digunakan secara umum sama. Selain itu data pendukung sangat banyak

dan mudah di akses. Sedangkan krieria nilai indek keanekaragaman jenis karang sulit di

lakukan karena sangat sulit menghitung junlah individu karang. Kenakaragaman yang

dimaksud dalam pilot test ini adalah bentuk pertumbuhan (life form) yang tidak cocok

diterapkan untuk menghitung keanekaragaman karena basisnya adalah bukan spesies dan

individu serta pengambilan sampel bukan berbasis luas tetap panjang transek. Oleh karena itu

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

V - 6

sub indikator keanekaragaman karang perlu ditinjau ulang sehingga lebih aplikatif untuk

menilai status sumberdaya perikanan.

Indkator Habitat Unik/khusus.

Indikator ini dapat di lakukan analisis dengan mencari informasi dari masyarakat atau

dari hasil penelitian yang telah dilakukan. Menentukan nilai dari kriteria skor mengenai

diketahui atau tidaknya habitat unik/khusus (spawning ground, nursery ground, feeding

ground, upwelling) dapat dilakukan dengan efektif.

c. Domain Teknik Penangkapan Ikan

Indikator Metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal

Penilaian kriteria dengan skor yang telah ditentukan yaitu : 1 = frekuensi pelanggaran

> 10 kasus per tahun; 2 = frekuensi pelanggaran 5 - 10 kasus per tahun; dan 3 = frekuensi

pelanggaran < 5 kasus per tahun. Berdasarkan skor kriteria tersebut perlu ditentukan jumlah

pelanggaran tingkat kecamatan, kawasan atau kabupaten termasuk level pelanggaran (ringan,

sedang dan berat), sehingga bobot pelanggaran dapat di lebih proporsional.

Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan

Indikator ini dapat di terapkan namun karena di dukung oleh data penunjang

khsusunya yang berhubungan dengan Lenght of maturity dari jenis sumberdaya yang akan

dikaji (www.fishbase.com). Sehingga kriteria skor yang telah ditentukan yaitu : 1 = lebih dari

50% ukuran target spesies < Lm; 2 = 25-50% ukuran target spesies < Lm; dan 3 = <25%

ukuran target spesies < Lm mudah di lakukan. Untuk memenuhi data tersebut harus

dilakukan sampling ukuruan ikan target/ikan dominan namun dapat membutuhkan waktu

yang relatif agak lama untuk mendapatkan data tersebut.

Fishing capacity dan Effort

Indikator ini tidak dapat diterapkan disebabkan beberapa hal, yaitu; data dan

informasi yang mendukung untuk menilai kriteria ini tidak tersedia; indikator ini spesifik

bidang ilmu penangkapan sehingga perlu adanya exsecise agar dipahami semua yang

melalakukan analisis. Selain itu data yang sekunder untuk mendukung indikator ini tidak

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

V - 7

tersedia. Oleh karena itu perlu persuasi agar setiap DKP Provinsi dan Kabupaten/Kota

melakukan pendataan perikanan terkait indikator tersebut.

Indikator Selektivitas penangkapan

Kriteria untuk menilai status indikator selektivitas penangkapan dengan skor yang

telah ditentukan dapat digunakan secara efektif.

Indikator Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal.

Kriteria untuk menilai status indikator selektivitas penangkapan dengan skor yang

telah ditentukan dapat digunakan secara efektif. Namun demikian kapal yang digunakan

nelayan perorangan umumnya memiliki ukuran kurang dari 5 GT sehingga tidak memiliki

dokumen dan izin dalam melakukan operasi penngkapan. Selain itu indikator ini harus

dilakukan pengukuran dilapangan terhadap kapal-kapal yang berukuran diatas 5 GT karena

justifikasi ukuran kapal dilakukan oleh perhubungan yang kadang tidak sesuai denagn ukuran

kapal sebenarnya. Oleh karena itu indikator ini membutuhkan sumberdaya yang besar untuk

melakukan sampling ukuran kapal.

Indikator Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan.

Kriteria untuk menilai status indikator sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan

peraturan yang ada dengan skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif.

Namun demikian awak kapal yang menangkap ikan umumnya tidak memiliki dokumen atau

sertifikat dalam melakukan operasi penangkapan ikan dan yang memilki dokumen sertifikat

hanya nahkoda.

d. Domain Sosial

Indikator Partisipasi pemangku kepentingan

Kriteria untuk menilai status indikator partisipasi pemangku kepentingan dalam

pengelolaan sumberdaya ikan dengan skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara

efektif. Namun kegiatan-kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan belum terekam dengan baik.

Untuk partisipasi secara formal, dapat saja dengan mudah diketahui dari laporan-laporan

kegiatan pelatihan, penyuluhan ataupun pengawasan. Persoalannya adalah ada pada

partisipasi pemangku kepentingan yang informal karena rekam jejak partisipasinya tidak

diketahui. Oleh karena itu, diperlukan adanya instrumen khusus dalam mengukur partisipasi

stakeholder yang terkait dengan pengelolaan perikanan kawasan KKPD Sulawesi Tenggara.

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

V - 8

Konflik perikanan

Kriteria untuk menilai status indikator konflik kepentingan dalam pengelolaan

sumberdaya ikan khususnya berkaitan dengan resources conflict, policy conflict, fishing gear

conflict, konflik antar sektor dengan skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara

efektif. Namun kegiatan-kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan belum terekam dengan baik

khususnya di DKP, sehingga perlu dilakukan pengecekkan kembali pada pihak-pihak lain,

misalnya pihak penegak hukum. Selain itu, pengumpulan data yang berhubungan dengan

konflik perikanan cukup baik bila berasal dari masyarakat nelayan langsung yang terlibat

dalam sistem perikanan di kawasan KKPD ini. Meskipun demikian, pemilihan responden

perlu dilakukan terlebih dahulu agar kesan penyampaian tentang konflik perikanan tidak

berlebihan ataupun terlalu dikurangi.

Indikator Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK/traditional ecological knowledge). Kriteria untuk menilai status indikator Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam

pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK/traditional ecological knowledge)

dengan skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif. Informasi ini umumnya

hanya di peroleh melalui wawancara dengan nelayan sedang pada instansi terkait tidak dapat

diperoleh karena tidak terekam dengan baik.

e. Domain Ekonomi

Indikator Kepemilikan aset

Kriteria untuk menilai status indikator kepemilikan aset dalam dalam memanfaatkan

sumberdaya ikan dengan skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif.

Meskipun demikian, untuk menilai aset dalam waktu singkat sebenarnya cukup sulit dan

umumnya bias dari kondisi sebenarnya. Hal ini bisa terjadi karena minimnya pencatatan

ataupun minimnya tingkat pengetahuan masyarakat nelayan yang berujung pada sulitnya

memprediksi nilai aset yang sebenarnya. Umumnya kondisi ini terjadi pada nelayan-nelayan

kecil yang terkadang hasil perhitungan jumlah asetnya tidak sesuai dengan aktifitas operasi

penangkapan ikan yang dilakukan.

Pendapatan rumah tangga perikanan (RTP)

Kriteria untuk menilai status indikator pendapatan rumah tangga perikanan (RTP)

dalam dalam memanfaatkan sumberdaya ikan dengan skor yang telah ditentukan dapat

digunakan secara efektif. Meskipun demikian, sebenarnya sulit menerapkan indikator ini

karena dalam perjalanan rekam jejak penerapan indikator ini ditemukan bahwa mayoritas

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

V - 9

nelayan sulit menyampaikan atau kurang terbuka dalam hal menyampaikan hal-hal yang

berhubungan dengan pendapatan. Indikator ini bisa saja diterapkan apabila data-data

pendapatan nelayan itu, masuk dalam statistik perikanan.

Rasio Tabungan (Saving rate)

Kriteria untuk menilai status indikator saving rate dalam memanfaatkan sumberdaya

ikan dengan skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif. Namun hal ini dapat

terealisasi jika responden memberikan informasi tabungan dengan income mereka.

Sementara, umumnya sebagian besar RTP enggan atau kurang terbuka dalam hal

memberikan informasi tentang tabungan mereka sehingga informasi saving rate diperoleh

dengan melakukan wawancara terhadap pendapatan dan pengeluaran nelayan. Dengan

demikian, pengukuran indikator ini dengan menggunakan data langsung secara parsial

dikalangan masyarakat nelayan cukup sulit dan kurang efektif. Jadi, untuk menilai indikator

ini sebaiknya diperlukan instrumen lain yang digunakan oleh pemerintah yang terintegrasi

dalam statistik ekonomi yang mestinya ter-input dalam bagian sensus ekonomi.

f. Domain Kelembagaan

Indikator Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal (Alat).

Kriteria skor untuk menilai tingkat kepatuhan (compliance) seluruh pemangku

kepentingan WPP terhadap aturan main baik formal maupun tidak formal dengan skor yang

telah ditentukan dapat digunakan secara efektif. Namun di tingkat Provinsi Sulawesi

Tenggara belum ada Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) sehingga penilaiannya dilakukan

pendekaan dengan menggunakan aturan-aturan pengeloaan sumberdaya perikanan terkait

yang sudah ada.

Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan

Kriteria untuk melakukan penilaian terhadap indikator kelengkapan dokumen

pengelolaan perikanan dan membandingkan situasi sekarang dengan sebelumnya serta ada

atau tidak penegakan aturan hukum yang baik dan dapat diaplikasikan secara efektif.

Mekanisme pengambilan keputusan

Kriteria untuk melakukan penilaian terhadap indikator ada atau tidak mekanisme

pengambilan keputusan dalam pengelolaan perikanan dengan skor yang telah ditentukan

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

V - 10

dapat digunakan secara efektif. Namun yang menjadi kendala data kuantitatif, standar

operasional kerja serta sarana dan prasarana belum mendukung.

Rencana pengelolaan perikanan

Kriteria untuk melakukan penilaian terhadap indikator ada atau tidak rencana

pengelolaan perikanan dengan skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif.

Namun di Provinsi Sulawesi Tenggara khususnya di WPP 714 belum ada RPP.

Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan

Kriteria untuk melakukan penilaian terhadap indikator tingkat sinergisitas kebijakan

dan kelembagaan pengelolaan perikanan berbasis ekosistem di Provinsi Sulawesi Tenggara

khususnya DKP Provinsi dan Kabupaten yang dikaji dengan skor yang telah ditentukan dapat

digunakan secara efektif.

Kapasitas pemangku kepentingan

Kriteria untuk melakukan penilaian terhadap indikator seberapa besar frekuensi

peningkatan kapasitas pemangku kepentingan dalam pengelolaan perikanan berbasis

ekosistem di wilayah kajian dengan skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara

efektif.

5.2. Performa Perikanan yang Dikaji Berdasarkan hasil penilaian pada indikator setiap domain melalui pemberian nilai

pada kriteria maka performa perikanan di perairan Konawe Selatan menunjukkan bahwa

terdapat tiga pengelompokan berdasakan nilai komposit, yaitu domain yang berkualifikasi

baik sekali adalah domain ekonomi, domain yang berkualifikasi sedang dimiliki oleh domain

sumberdaya ikan, domain habitat dan ekosistem dan domain sumberdaya ikan, sedangkan

domain yang termasuk dalam kualifikasi kurang adalah domain teknik penangkapan ikan dan

domain kelembagaan serta kualifikasi buruk adalah domain sosial.

Hasil dari nilai komposit dari keenam domain tersebut diperoleh nilai agregat, dimana

nilai aggregat tersebut dibandingkan ke dalam lima rentang nilai (Tabel 4.24). Berdasarkan

nilai aggregat nilai komposit pada Tabel 4.24 yang mencapai 165,4 dari nilai total 300 maka

penilaian terhadap performa perikanan di kawasan KKPD termasuk dalam kategori status

sedang. Kondisi tidak berarti bahwa status performa perikanan di kawasan KKPD Sultra

tidak mengalami tekanan, oleh karena itu untuk melihat sejauh mana kekuatan kontribusi

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

V - 11

setiap domain dan indikatornya apakah meningkatkan atau menurunkan perfroma perikanan

dapat diuraikan untuk setiap domain.

a. Domain Sumberdaya Ikan

Parameter yang digunakan untuk melihat kontribusi domain sumberdaya ikan

terhadap performa perikanan di kawasan KKPD Sultra sebanyak enam indikator. Pemberian

skor terhadap keenam parameter domain ini akan memberikan gambaran seberapa besar

kontribusi setiap indikator terhadap performa pengelolaan perikanan pada domain

sumberdaya ikan.

Hasil analisis performa perikanan melalui status indikator pada domain ini

menunjukkan bahwa nilai skor domain sumberdaya ikan sebesar 12,3 pada skala skor 6 – 18

dengan agregat 166,7, yang termasuk dalam kategori sedang. Hasil analisis menunjukkan

bahwa yang menjadi faktor pembangkit utama dalam peningkatan status performa perikanan

aspek domain sumberdaya ikan di KKPD Sultra sesuai dengan urutan prioritasnya

berdasarkan perolehan skor adalah; komposisi jenis, CPUE baku, proporsi ikan yuwana

(juvenile) yang ditangkap, tren ukuran ikan dan spesies ETP (Gambar 4.10). Sedangkan

indikator , range collapse sumberdaya ikan dan densitas biomassa memilii kontribusi skor

yang kurang dalam peningkatan status performa perikanan aspek domain sumberdaya ikan di

KKPD Sultra.

Gambar 5.1. Peran masing-masing indikator berdasarkan nilai skor indikator Domain

Sumberdaya ikan di di KKPD Sultra.

b. Domain Habitat dan Ekosistem

Parameter yang digunakan untuk melihat kontribusi domain habitat dan ekosistem

terhadap performa perikanan di KKPD Sultra sebanyak tujuh indikator. Pemberian skor

2.0

1.3

1.7

3.0

1.0

1.3

1.0

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5

1. CPUE Baku

2. Ukuran ikan

3. Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap

4. Komposisi spesies

5. "Range Collapse" sumberdaya ikan

6. Spesies ETP

7. Densitas/Biomassa untuk ikan karang &…

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

V - 12

terhadap keenam parameter indikator domain ini akan memberikan gambaran seberapa besar

kontribusi skor setiap indikator pada domain tersebut.

Hasil analisis performa perikanan melalui status indikator pada domain ini

menunjukkan bahwa nilai skor domain habitat dan ekosistem sebesar 13,5 pada skala skor 7 –

21 dengan agregat 175,8 yang termasuk dalam kategori performa sedang. Hasil analisis

menunjukkan bahwa yang menjadi faktor pembangkit utama skor dalam peningkatan status

performa perikanan aspek domain habitat dan ekosistem performa perikanan di KKPD sesuai

dengan urutan prioritasnya adalah; (1) ) status mangrove, (2 status terumbu karang, (3) Status

lamun, kualitas perairan dan status produktivitas perairan dan kualitas perairan, (4) habitat

unik/khusus dan perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat (Gambar 4.11).

Gambar 5.2. Peran masing-masing indikator berdasarkan nilai skor indikator Domain Habitat

dan Ekosistem di KKPD Sultra. c. Domain Teknik Penangkapan Ikan

Parameter yang digunakan untuk melihat kontribusi domain teknik penangkapan ikan

terhadap performa perikanan di KKPD Sultra sebanyak enam indikator. Pemberian skor

terhadap keenam parameter indikator domain ini akan memberikan gambaran seberapa besar

kontribusi indikator terhadap performa perikanan dari aspek teknik penangkapan ikan.

Hasil analisis performa perikanan melalui status indikator pada domain ini

menunjukkan bahwa nilai skor domain teknik penangkapan ikan sebesar 11 pada skala skor 6

– 18 denga agregat 146,7, yang termasuk dalam kategori kurang. Hasil analisis menunjukkan

bahwa yang menjadi faktor pembangkit utama dalam peningkatan status performa perikanan

aspek domain teknik penangkapan ikan berdasarkan skor indicator di KKPD Sultra sesuai

dengan urutan prioritasnya adalah; (1) ) selektivitas penangkapan dan kesesuaian fungsi dan

ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal, (2) ) modifikasi alat penangkapan

ikan dan alat bantu penangkapan, (3) fishing capacity dan effort serta (4) sertifikasi awak

kapal perikanan sesuai dengan peraturan dan metode penangkapan ikan yang bersifat

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3

1. Kualitas perairan2. Status lamun

3. Status mangrove4. Status terumbu karang

5. Habitat unik/khusus6. Status dan produktivitas estuari

7. Perubahan iklim

22

32.5

12

1

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

V - 13

destruktif dan atau ilegal (Gambar 5.3). Dua indikator tersebut pada domain ini yang

memiliki paling sedikit kontribusi dalam peningkatan status domain teknik penangkapan

dalam keberlanjutan pengelolaan perikanan di KKPD Sultra disebabkan pada umumnya dari

armada penangkapan hanya nahkoda yang mempunyai sertifikasi keahlian dan bahkan

sebagain belum ada sertifikasi keahlian dan di kawasan ini sering terjadi pelanggaran dalam

melakukan penangkapan ikan (24 300 kali setahun..

Gambar 5.3. Peran masing-masing indikator berdasarkan nilai skor indikator Domain

Teknik Penangkapan Ikan di KKPD Sultra d. Domain Sosial

Parameter yang digunakan untuk melihat kontribusi domain sosial terhadap performa

perikanan di KKPD Sultra sebanyak tiga indikator. Pemberian skor terhadap ketiga parameter

indikator domain ini akan memberikan gambaran seberapa besar kontribusi setiap indikator

tehadap performa perikanan dari aspek sosial.

Hasil analisis performa perikanan melalui status skor indikator pada domain ini

menunjukkan bahwa nilai skor domain sosial sebesar 3 pada skala skor 3 – 9 dengan agregat

100, yang termasuk dalam kategori buruk. Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor

pembangkit antara 3 indikator dalam domain sosial berjenjang sama. Tidak ada indikator

yang saling melampaui anatara satu dengan yang lainnya, baik partisipasi pemangku

kepentingan, konflik perikanan maupun pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan

sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK/traditional ecological knowledge) (Gambar

4.13).

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 1.6 1.8 2.0

1. Metode penangkapan ikan

2. Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu

3. Fishing capacity dan Effort

4. Selektivitas penangkapan

5. Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal

6. Sertifikasi awak kapal perikanan

1.0

1.7

1.3

2.0

2.0

1.0

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

V - 14

Gambar 5.4. Peran Masing-masing Indikator Berdasarkan Nilai Skor Indikator Domain Sosial

di Kawasan KKPD Sulawesi Tenggara. e. Domain Ekonomi

Parameter yang digunakan untuk melihat kontribusi domain ekonomi terhadap

performa perikanan di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara sebanyak tiga indikator.

Pemberian skor terhadap ketiga parameter indikator domain ini akan membeikan gambaran

seberapa besar kontribusi setiap indikator terhadap performa perikanan dari aspek ekonomi.

Hasil analisis performa perikanan melalui skor status indikator pada domain ini

menunjukkan bahwa nilai skor domain sosial sebesar 8 pada skala skor 3 – 9 dengan agregat

255, yang termasuk dalam kategori sangat baik. Hasil analisis menunjukkan bahwa yang

menjadi faktor pembangkit utama dalam peningkatan status performa perikanan aspek

domain ekonomi di Kabupaten Konawe Selatan sesuai dengan urutan prioritasnya adalah; (1)

Rasio Tabungan/Saving rate, (2) Pendapatan rumah tangga (RTP) dan (3) kepemilikan aset

(Gambar 4.14.). Indikator yang memiliki kontribusi skor paling sedikit dalam peningkatan

status domain ekonomi dalam performa pengelolaan adalah kepemilikan aset. Masyarakat

belum sepenuhnya memberikan informasi tentang aset dan umumnya pada saat-saat tertentu

aset yang mereka dijual untuk keperluan sehari-hari.

Gambar 5.5. Peran Masing-masing Indikator Berdasarkan Nilai Skor Indikator Domain

Ekonomi di Kawasan KKPD Sulawesi Tenggara. f. Domain Kelembagaan

0 1 2

1. Partisipasi pemangku kepentingan

2. Konflik perikanan

3. Pemanfaatan pengetahuan lokal dalampengelolaan SDI (termasuk TEK)

0 1 2 3

1. Kepemilikan Aset

2. Pendapatan Rumah Tangga Perikanan (RTP)

3. Rasio Tabungan/Saving Rate

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

V - 15

Parameter yang digunakan untuk melihat kontribusi domain kelembagaan terhadap

performa pengelolaan perikanan di KKPD Prov. Sultra sebanyak enam indikator. Pemberian

skor terhadap keenam parameter indikator domain ini akan memberikan gambaran seberapa

besar kontribusi setiap indikator terhadap performa pengelolaan perikanan dari aspek

kelembagaan.

Hasil analisis performa perikanan melalui status indikator pada domain ini

menunjukkan bahwa nilai skor domain kelembagaan sebesar 8,8 pada skala skor 6 – 18

dengan agregat 148,5 yang termasuk dalam kategori kurang. Hasil analisis skor indicator

menunjukkan bahwa yang menjadi faktor pembangkit utama dalam peningkatan status

performa perikanan aspek domain kelembagaan di KKPD prov. Sultra sesuai dengan urutan

prioritasnya adalah; (1) kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan, (2) kapasitas

pemangku kepentingan pengelolaan perikanan, (3) mekanisme pengambilan keputusan, (4)

tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan, (5) kepatuhan

terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan

yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal, dan (6) rencana pengelolaan

perikanan (Gambar 4.15). Salah satu indikator pada domain ini yang memiliki paling sedikit

kontribusi dalam peningkatan status domain kelembagaan dalam performa pengelolaan

perikanan adalah rencana pengelolaan perikanan disebabkan indikator ini belum banyak

mendapat perhatian dari pemangku kepentingan di Provinsi Sulawesi Tenggara, dengan kata

lain kebijakan yang terkait rencana pengelolaan perikanan belum ada.

Gambar 5.6. Peran Masing-Masing Indikator Berdasarkan Nilai Rata-Rata Skor Indikator

Domain Kelembagaan

11.8

1.51

1.52

1. Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip…2. Kelengkapan aturan main dalam…

3. Mekanisme pengambilan keputusan4. Rencana pengelolaan perikanan

5. Tingkat sinergisitas kebijakan dan…6. Kapasitas pemangku kepentingan

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

VI - 1

BAB VI

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1. Kesimpulan

6.1.1. Metode dan Analisa Indikator EAFM

Penggunaan metode EAFM dalam mengkaji performa perikanan disuatu kaasan

khususnya di kawasan konservasi mudah diterapkan dan dipahami dengan indikator

yang sederhana dan mampu menggambarkan kondisi yang ada. Analisa menggunakan

sistem Flag mampu memberikan dekripsi kretria stastus wilayah yang dikaji.

Analisa menggunakan EAFM untuk mengkaji performa perikanan pada kawasan

konservasi dengan sistem flag model perlu mengpalikasikan konektivitas untuk setiap

indikator domasi lalu dibandingkan dengan tanpa konektivitas.

6.1.2. Pengelolaan Perikanan dari Hasil Kajian EAFM

Hasil analisis dengan metode EAFM terhadap Performa perikanan di KKPD Sultra

secara umum termasuk dalam kriteria sedang.

Beberapa domain yang perlu mendapat perhatian yang serius untuk keberlanjutan

status performa perikanan di KKPD Sultra yaitu; domain social, domain kelembagaan

dan domain Teknik,

Beberapa indikator pada setiap domain masih menunjukan skor kriteria yang rendah

atau buruk sehingga indicator ini yang menjadi focus rencana program berikutnya, 6.2. Rekomendasi

6.2.1. Metode dan Analisa Indikator EAFM

Perlu ada keseragaman penerapan metode dan anlisa indikator EAFM untuk semua

kawasan konservasi didaerah lain sehingga keluar satu model EAFM untuk kawasan

konservasi perairan.

Perlu uji coba indicator setiap domain pada kawasan konservasi yang telah di zonasi

sehingga ada perlakuan yang berbeda antara setiap zonas serta kemungkinan ada

perbedaan indicator antar zona KKPD

Perlu adanya perbaikan pendataan statistik perikanan yang dapat mendukung

pelaksanaan analisis EAFM di kawasan KKPD

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

VI - 2

Perlu adanya penguatan sumberdaya manusia di lingkup DKP dan masyarakat

khususnya yang bersinggungan dnagn KKPD dalam pengelolaan perikanan dengan

pendekatan ekosistem. 6.2.2. Pengelolaan Perikanan dari Hasil Kajian EAFM

Perlu adanya perbaikan pada domain sumberdaya ikan, habitat dan ekosistem dan

domain kelembagaan

Skala prioritas perlu dilakukan segera terhadap domain teknik penangkapan ikan dan

domain sosial

Rancangan perbaikan setiap indicator harus sudah tercover didalam perencanaan

kegiatan DKP Provinsi maupun kabupaten

Danya monitoring secara berkala khususnya kegiatan-kegiatan penagkapan ikan

maupun aktivitas lainnya yang ada di kawasan konservasi perairan daerah

(KKPD)Sultra.

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

1

R e f e r e n s i Anonim., 2014. Modul Penilaian Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan Perikanan

(EAFM). National Working Group on Ecosystem Approach to Fisheries Management, Direktorat Sumberdaya Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.Jakarta

Adrianto L, Arsyad AM, Ahhmad S, dan Dede IH., 2011. Konstruksi Lokal Pengelolaan

Sumberdaya Perikanan di Indonesia. PT Penerbit IPB Press. Anonim, 2006. Studi basline ekologi Kabupaten Wakatobi. CRITC-LIPI. Jakarta Abdullah, 2011. Koosisi jenis ikan yang tertangkap dengan alat tangkap payang di perairan

Teluk Staring Kabupaten Konawe Selatan. Skripsi Jurusan Periknan FPIK. Universitas Haluoleo. Kendari

Alfajar, 2013. Studi kesesuaian jenis untuk perencanaan Rehabilitasi ekosistem angrove di

Desa Wawatu Kecamatan Moramo Utara Provinsi Sulawesi Tenggara. Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Jurusan Perikanan Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo. Kendari

Balai Taman Nasional Wakatobi, 2009. Buku Informasi Taman Nasional Wakatobi. Bau-Bau Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kab. Konawe. 2016. Statistik Perikanan 2015. DKP

Kab. Konawe. DKP Kabupaten Konawe.2015. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten

Konawe,Unaaha DKP Kabupaten Konawe Selatan, 2016. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan

Kabupaten Konawe Selaan, Andoolo DKP Prov. Sultra, 2014. Rencana Strategi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau

Kecil Provinsi Sulawesi Tenggara, Kendari Bapped Konawe Selatan. 2011. Masterplan Kawasan Minapolitan Kabupaten Konawe

Selatan. Andoolo. DKP Propinsi Sulawesi Tenggara. 2016. Statistik Perikanan Tangkap Propinsi Sulawesi

Tenggara Tahun 2015. Kendari. Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Sulawesi Tenggara.

DKP Provinsi Sultra, 2012. Identifikasi dan Penilaian Potensi Calon Kawasan Konservasi

Perairan di Provinsi Sulawesi Tenggara. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra

2

DKP Provinsi Sultra, 2014. Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan di Provinsi Sulawesi Tenggara. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari

DKP Provinsi Sultra, 2015. Statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi

Tenggara. Kendari Fitria, 2013. Studi kelayakan lokasi karamba jaring apung (KJA) Dalam budidaya ikan

kerapu (epinephelus spp.) Di Perairan Desa Wawatu Kabupaten Konawe Selatan. . Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Jurusan Perikanan Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo. Kendari

Siringiringo R. M., Palupi,R. D., Hadi, T. A., 2012. Biodiversitas Karang Batu (Scleractinia)

di Perairan Kendari. Jurnal Ilmu Kelautan. LIPI. In Jakara Plagányi,E., 2003. Models for an ecosystem approach to fisheries.. FAO Fisheries Technical

Paper. University of Cape Town South Africa. Food And Agriculture Organization Of The United Nations. Rome.

FAO, 1997. Fisheries Management .Technical Guidelines for Responsible Fisheries. Food

And Agriculture Organization Of The United Nations. Rome. FAO, 2003. Fisheries Management . The ecosystem approach to fisheries. Technical

Guidelines for Responsible Fisheries. Food And Agriculture Organization Of The United Nations. Rome.

Fletcher, R., 2008. A Guide to implementing an Ecosystem approach to fisheries

management (EAFM) for tuna fisheries of the Western and Central Pacfic Region. Pacific Islands Forum Fisheries Agency Honiara. Solomon Islands.

Gracia, S.M. and Cochrane, K.L 2005. Ecosystem Approach to Fisheries : A Review of

Implementation Guidelines. ICES Journal of Marine Sciences Ramli M. 2012. Kontribusi Ekosistem Mangrove sebagai Pemasok Makanan Ikan

Belanak (Liza subviridis) di Perairan Pantai Utara Konawe Selatan Sulawesi Tenggara. [Disertasi] t idak dipublikasikan. Bogor. Sekolah Pascasar jana IPB

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra 1

L a m p i r a n

Lampiran 1. Tabel Hasil Analisis Domain Habitat dan Ekosistem

INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN KRITERIA DATA ISIAN SKOR BOBOT (%) RANKING NILAI

1. Kualitas perairan

1= tercemar; Parameter kualitas air berada dibawah batas ambang baku mutu perairan dalam KEPMEN No. 51/2004 tentang Baku Mutu Perairan. 57,4 % responden mengatakan daerah tempat tinggal tercemar sedang dan 42,6% tidak tercemar

2 20 1 33,3

2=tercemar sedang;

3= tidak tercemar

Tingkat kekeruhan (NTU) untuk mengetahui laju sedimentasi perairan

1= > 20 mg/m^3 konsentrasi tinggi 2= 10-20 mg/m^3 konsentrasi sedang; 3= <10 mg/m^3 konsentrasi rendah Satuan NTU

Nilai kekeruhan yang terukur di perairan Tanjung Tiram Kecamatan Moramo Utara adalah 5,75 - 24,81 NTU yang termasuk dalam kategori sedang (BLH Prov Sultra, 2016).

1

Eutrofikasi 1= konsentrasi klorofil a < 2 µg/l; terjadi eutrofikasi;

Hasil analisa data primer 2016 konsentrasi klorofil berkisar 2,91 - 6,93 mg/m3. Data DKP Prov, 2016 berkisar 0,68 - 2,72 mg/m3

2

2= konsentrasi klorofil a 2-5 µg/l; potensi terjadi eutrofikasi;

3= konsentrasi klorofil a > 5 µg/l tidak terjadi eutrofikasi

2. Status ekosistem lamun

Luasan tutupan lamun. 1=tutupan rendah, 29,9%; Nilai tutupan lamun dapat dilihat di kawasan KKPD khususnya Teluk Staring berkisar 10

- 80% denagn rata-rata tutupan lamun = 33,18% (KKPD Prov. Sultra, 2016)

3 15 2 37,5

2=tutupan sedang, 30-49,9%; 3=tutupan tinggi, 50% 1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1), jumlah spesies < 3

Nilai keanekaragaman atau jumlah spesies lamun di kawasan KKP Sultra sebanyak 5

jenis (KKPD Prov. Sultra, 2016)

2

2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3), jumlah spesies 3-7

3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3), jumlah spesies > 7

3. Status ekosistem

Kerapatan, nilai penting, perubahan luasan dan jenis

1=tutupan rendah, < 50%; Kerapatan mangrove di pesisir wilayah KKPD berkisar 1400-5000 ind/ha. (KKPD

2 15 3 30

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra 2

INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN KRITERIA DATA ISIAN SKOR BOBOT (%) RANKING NILAI

mangrove mangrove 2=tutupan sedang, 50 - < 75%; Sultra, 2016

3=tutupan tinggi, 75 %

1=kerapatan rendah, <1000 pohon/ha, tutupan <50%;

Keanekaragam ekosistem mangrove mencapai yaitu pohon 1,7683 (KKPD Sultra,

2016). kriteria keanekaragaman mangrove mencapai kriteria sedang

2

2=kerapatan sedang 1000-1500 pohon/ha, tutupan 50-75%;

3=kerapatan tinggi, >1500 pohon/ha, tutupan >75%

4. Status ekosistem terumbu karang

> Persentase tutupan karang keras hidup (live hard coral cover).

1=tutupan rendah, <25%; Putupan karang hidup yang terukur di kecaatan Laonti rata-rata berkisar 27% sedang di kecamatan Moramo = 25% (KKPD, 2012). Di pulau Lara tutupan karang hidup mencapai 64,82% (Adi, dkk 2012), Teluk Stairng = 29,6 - 70,48 (KKP, 2012)

2 15 4 26,5 2=tutupan sedang, 25-49,9%;

3=tutupan tinggi, >50%

1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1);

nilai keanekaragaman di Teluk Wawatu 3,64 dengan jumlah jenis karang batu = 51 jenis. (Siringiringo, 2012)

2

2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3);

3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3)

1= luasan mangrove berkurang dari data awal; 2= luasan mangrove tetap dari data awal; 3= luasan mangrove bertambah dari data awal

Informasi dari 90 % responden mengatakan bahwa luas mangrove di kawasan ini telah berkurang dari luas awal akibat di konversi dan sebagai bahan konstruksi

1

1 = INP rendah (< 100); 2 = INP sedang (100-200); 3 = INP tinggi (>200)

INP mangrove dari setiap jenis berkisar 17-300 (Muh.Ramli 2012) dan antara 16,84 - 300 (KKPD Sultra, 2016)

2

5. Habitat unik/khusus

Luasan, waktu, siklus, distribusi, dan kesuburan perairan, spawning ground, nursery ground, feeding ground, upwelling, nesting beach

1=tidak diketahui adanya habitat unik/khusus; Menurut informasi dari masyarakat hingga saat ini telah di ketahui adanya habitat

khusus tempat pemijahan lobster, rajungan dan ikan kakap namun belum berdasarkan

hasil kajian

1 15 4 15

2=diketahui adanya habitat unik/khusus tapi tidak dikelola dengan baik;

3 = diketahui adanya habitat unik/khusus dan dikelola dengan baik

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra 3

INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN KRITERIA DATA ISIAN SKOR BOBOT (%) RANKING NILAI

2=produktivitas sedang;

3=produktivitas tinggi

6. Status dan produktivitas estuari dan perairan sekitarnya

Tingkat produktivitas perairan estuar

1=produktivitas rendah; 2=produktivitas sedang; 3=produktivitas tinggi

Produktivitas estuari berdasarkan kelimpahan phytoplankton = 10.125 - 24.300 ind/l yang tergolong tinggi (KKPD Sultra, 2014)

3 10 5 30

7. Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat

Untuk mengetahui dampak perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat

> State of knowledge level :

Berdasarkan pengamatan secara kualitatif dan informasi dari masyarakat bahwa di

kawasan ini terkena dampak perubahan iklim khsuusnya pada ekosistem pesisir namun

hingga saat ini belum ada strategi dan mitigasi untuk mengaadapi hal teresebut

1 10 6 10

1= belum adanya kajian tentang dampak perubahan iklim;

2= diketahui adanya dampak perubahan iklim tapi tidak diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi;

3 = diketahui adanya dampak perubahan iklim dan diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi

> state of impact (key indicator menggunakan terumbu karang):

Infromasi dari responden mengatakan bahwa di kawasan terumbu karang mengalami

pemutihan, kondisi ini diduga merupakan dampak dari perubahan iklim, khususnya

pada kedalaman kurang dari 7 meter

1

1= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching >25%);

2= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching 5-25%);

3= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching <5%)

RERATA TOTAL TOTAL

1,9 100 197,08

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra 4

Lampiran 2. Tabel Hasil Analisis Domain Sumberdaya Ikan

INDIKATOR KRITERIA DATA ISIAN

IKAN KARANG DATA ISIAN

IKAN KEMBUNG DATA ISIAN IKAN KUWE SKOR BOBO

T (%) RKG NILAI

1. CPUE Baku 1 = menurun tajam (rerata turun > 25% per tahun)

57,8% responden menyatakan bahwa hasil tangkapan per trip mengalami penurunan dibanding 5 tahun yang lalu, 42,2% menyatakan sama saja. CPUE rata2 saat ini 39 kg/trip/unit kapal. Kerapatan Ikan Karang di Labuan Beropa Menurun dari 1,9 ind/m2 tahun 2010 menjadi 0,76 ind/m2 tahun 2014 (menurun 20,8% per thn)

67,74% responden menyatakan bahwa hasil tangkapan per trip mengalami penurunan dibanding 5 tahun yang lalu, 32,26% menyatakan sama saja. CPUE rata-rata saat ini 37,35 kg/trip/unit kapal. Produksi ikan kembung menurun 56% antara tahun 2009 dan 2013 (DKP Provinsi 2014)

54,55% responden menyatakan bahwa hasil tangkapan per trip mengalami penurunan dibanding 5 tahun yang lalu, 45,45% menyatakan sama saja. CPUE rata-rata saat ini 23,9 kg/trip/unit kapal. Produksi ikan kuweh meningkat 17% antara tahun 2009 dan 2013 (DKP Provinsi 2014)

2.0 40 1 (Killer Indica

tor)

80

2 = menurun sedikit (rerata turun < 25% per tahun)

3 = stabil atau meningkat

2. Tren Ukuran ikan

1 = trend ukuran rata-rata ikan yang ditangkap semakin kecil;

6,6 7% responden menyatakan ukuran hasil tangkapan cenderung lebih kcil dan dan 82,26% responden menyatakan ukuran ikan hasil tangkapan relatif sama saja

17,74% responden menyatakan trend ukuran ikan hasil tangkapan semakin kecil dan 82,26% responden menyatakan sama saja

100% responden menyatakan ukuran ikan hasil tangkapan relatif sama saja

1.3 20 2 26.67

2 = trend ukuran relatif tetap; 3 = trend ukuran semakin besar

3. Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap

1 = banyak sekali (> 60%) 100% responden tidak mengetahui karakter ikan yang belum bertelur

59% % responden mengatakan bahwa 30 -40% ikan yang tertangkap belum bertelur, 31% respondentidak mengetahui dan 10% telah bertelur

89% responden mengatakan bahwa proporsi ikan yang belum bertelur dengan ikan dewasa berimbang, 11% responden sedikit ikan bertelur

1.7 15 3 25

2 = banyak (30 - 60%)

3 = sedikit (<30%)

4. Komposisi spesies

1 = proporsi target lebih sedikit (< 15% dari total volume)

88,89% responden menyatakan proporsi ikan target lebih banyak dan 6,67% menyatakan target lebih sedikit. Hasil penelitian di Labuan Beropa ikan target hanya 40,36% (Minsaris 2014)

91,94% responden menyatakan ikan target lebih banyak tertangkap, 8,06% menyatakan target lebih sedikit. Hasil penelitian di Tel.Staring pada alat tangkap payang 35,3 - 46,7 % merupakan ikan target (Abdullah, 2011)

84,85% responden menyatakan proporsi ikan target lebih banyak

3.0 10 4 30

2 = proporsi target sama dgn non-target (16-30% dari total volume) 3 = proporsi target lebih banyak (> 31 % dari total volume)

5. "Range Collapse" sumberdaya ikan

1 = semakin sulit, tergantung spesies target

57,78% responden menyatakan semakin sulit mencari lokasi

penangkapan dan 42,22% lainnya

67,74% responden menyatakan semakin sulit medapatkan

lokasi penangkapan ikan dan

54,55% responden menyatakan semakin sulit

mencari lokasi penangkapan

1.0 5

5 5

2 = relatif tetap, tergantung spesies target

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra 5

INDIKATOR KRITERIA DATA ISIAN

IKAN KARANG DATA ISIAN

IKAN KEMBUNG DATA ISIAN IKAN KUWE SKOR BOBO

T (%) RKG NILAI

3 = semakin mudah, tergantung spesies target

menyatakan relatif sama saja 32,26% responden menyatakan relatif sama

dan 45,45% responden menyatakan relatif sama

1 = fishing ground menjadi sangat jauh, terg. spesies target

75,5% responden menyatakan fishing ground semakin jauh dan 24,4 sisanya menganggap sama

saja

69,35% responden menyatakan fishing ground semakin jauh

dan 30,65% responden menyatakan relatif sama saja

63,6% responden menyatakan fishing ground semakin jauh

dalam beberapa tahun terakhir dan 36,3% lainnya

menyatakan sama saja

1.0 8

2= fishing ground jauh, terg. spesies target

3= fishing ground relatif tetap jaraknya, terg. spesies target

6. Spesies ETP 1= > 1 tangkapan spesies ETP;

91,9 % responden menyatakan tidak ada spesies ETP yang

tertangkap dan 8,89% responden menyatakan ada 1 spesies.

WWF,( 2015) ada 3 jenis soesies ETP yang tertangkap

98,39 % responden menyatakan tidak ada spesies ETP yang

tertangkap dan 1,61% responden menyatakan ada 1 spesies. WWF,( 2015) ada 3

jenis soesies ETP yang tertangkap

93,94% menyatakan tidak ada Spesies ETP yang tertangkap dan 6,06% menyatakan 1 spesies)

WWF,( 2015) ada 3 jenis spesies ETP yang tertangkap

1.3 5 6 6.6666667

2 = 1 tangkapan spesies ETP;

3 = tidak ada spesies ETP yang tertangkap

7. Densitas/ Biomassa untuk ikan karang & invertebrata

Kelimpahan ikan karang di Teluk stairng Kabupaten Konawe berkisar 0,4 - 2,9 ind/m3

1 2

RERATA TOTAL

TOTAL

1.5

105 175.3

3

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra 6

Lampiran 3. Tabel Hasil Analisis Domain Teknologi Penangkapan Ikan

INDIKATOR KRITERIA DATA ISIAN IKAN KARANG

DATA ISIAN IKAN KEMBUNG

DATA ISIAN IKAN KUWEH SKOR BOBOT

(%) RKG NILAI

1. Metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal

1=frekuensi pelanggaran > 10 kasus per tahun; 2 = frekuensi pelanggaran 5-10 kasus per tahun ; 3 = frekuensi pelanggaran <5 kasus per tahun

Terdapat 8 orang (17,8%) responden menyatakan masih

terjadi penggunaan bahan peledak dengan kisaran 24-300 kali

pertahun. Fishing ground meliputi P.Hari, P.Saponda, P.Bokori,

Tg.Tiram dan Tel. Staring

Terdapat 8 orang (12,9%) responden menyatakan terjadi

penggunaan bom dengan intensitas 3-100 kali pertahun.

Fishing Ground P.Hari, P.Saponda, Tambeanga, Tambolosu, P.Lemo dan

Tg.Tiram

Terdapat 4 orang (12,1%) responden menyatakan masih

terjadi penggunaan bahan peledak dengan intensitas

24-100 kali per tahun. Fishing Ground P. Hari,

P.Saponda, Labuan Beropa

1.0 30 1 (Kill

er Indicator)

30

2. Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan.

1 = lebih dari 50% ukuran target spesies < Lm ;

81% ikan karang yang tertangkap telah mencapai ukuran pertama matang gonad (Minsaris, 2014)

84% ikan ukuran ikan yang tertangkap umunya berkisar 9 -17,4 cm sementara Lm ikan kembung 17,6 cm (www.fishbase.org)

84 % hasil tangkapan dibawah ukuran Lm (6 - 13,2 cm) sedangkan ukuran Lm = 13,8 cm utk jenis Sardinella fimbriat (Abdullah, 2011)

1.7

25

2

41.7

2 = 25-50% ukuran target spesies < Lm

3 = <25% ukuran target spesies < Lm

3. Kapasitas Perikanan dan Upaya Penangkapan (Fishing Capacity and Effort)

1 = Rasio kapasitas penangkapan < 1;

Rasio Kapasitas Penangkapan adalah 0,71

Rasio Kapasitas Penangkapan adalah 0,96

Rasio Kapasitas Penangkapan adalah 1,03

1.3

15

3

20.0

2 = Rasio kapasitas penangkapan = 1; 3 = Rasio kapasitas penangkapan > 1

4. Selektivitas penangkapan

1 = rendah (> 75%) ; Terdapat 4 jenis alat tangkap ikan yang tidak selektif dari 6

jenis alat tangkap yang beroperasi di KPPD Sultra sehinggga PS =

66,7% sehingga ektivitasnya kategori sedang (Data Primer,

2016)

Terdapat 4 jenis alat tangkap ikan yang tidak selektif dari 6

jenis alat tangkap yang beroperasi di KPPD Sultra

sehinggga PS = 66,7% sehingga ektivitasnya kategori

sedang (Data Primer, 2016)

Terdapat 4 jenis alat tangkap ikan yang tidak selektif dari 6

jenis alat tangkap yang beroperasi di KPPD Sultra

sehinggga PS = 66,7% sehingga ektivitasnya kategori sedang (Data

Primer, 2016)

2.0

15

4

30.0

2 = sedang (50-75%) ; 3 = tinggi (kurang dari 50%) penggunaan alat tangkap yang tidak selektif)

5. Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal

1 = kesesuaiannya rendah (lebih dari 50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); 2 = kesesuaiannya sedang (30-50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); 3 = kesesuaiannya tinggi (kurang dari 30%) sampel tidak sesuai dengan dokumen

Ukuran kapal relatif kecil dan tidak membutuhkan dokumen untuk kapal penangkapan ikan

karang

Semua sampel kapal penangkapan memiliki

spesifikasi kapal penankapan ikan sesuai dengan

kelengkapan dokumennya (Purse seine dan payang)

Semua sampel kapal penangkapan memiliki

spesifikasi kapal penankapan ikan sesuai dengan

kelengkapan dokumennya (Purse seine dan payang)

2.0 10 5 20.0

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra 7

INDIKATOR KRITERIA DATA ISIAN IKAN KARANG

DATA ISIAN IKAN KEMBUNG

DATA ISIAN IKAN KUWEH SKOR BOBOT

(%) RKG NILAI

legal

6. Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan.

1 = Kepemilikan sertifikat <50%; 2 = Kepemilikan sertifikat 50-75%; 3 = Kepemilikan sertifikat >75%

Semua respoden tidak memiliki sertifikat kecakapan

Hanya Nahkoda yang memiliki sertifikasi kecakapan

sedangkan anak buah yag lain tidak memiliki sertifikasi

kecakapan

Hanya Nahkoda yang memiliki sertifikasi

kecakapan sedangkan anak buah yag lain tidak memiliki

sertifikasi kecakapan

1.0 5 6 5.0

RERATA 1.5

TOTAL 100

TOTAL146,7

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra 8

Lampiran 4. Tabel Hasil Analisis Domain Sosial

INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN KRITERIA IKAN KARANG IKAN KEMBUNG IKAN KUWEH SKOR BOBOT

(%) RANKING NILAI

1. Partisipasi pemangku kepentingan

Keterlibatan pemangku kepentingan

1 = kurang dari 50%; Pengelolaan perikanan tangkap masih merupakan Domain Bidang perikanan tangkap DKP sehingga partisipasi dan siklus pengelolaan sifatnya parial belum jelas, (DKP Sultra, 2016)

Partispasi pemangku kepentingan di tandai dengan keikutsetaan

setiap kegiatan pelatiahn, workshop maupun bintek

yang hanya berkaitan dengan tupoksi masing-

masing bidang

Partispasi pemangku kepentingan di tandai dengan keikutsetaan

setiap kegiatan pelatiahn, workshop maupun bintek yang

hanya berkaitan dengan tupoksi masing-masing

bidang

1.0 40 1 40.0

2 = 50-100%;

3 = 100 %

2. Konflik perikanan

Resources conflict, policy conflict, fishing gear conflict, konflik antar sector.

1 = lebih dari 5 kali/tahun;

Hasil wawancara 4,4 % responden mengatakan adanya konflik pemanfaatan fising ground dan kebijakan khususnya nelayan yang memanfaatkan bom, bius dengan frekuensi lebih dari 5 kali (DKP Prov, 2016)

20,97 % responden mengatakan adanya konflik pemanfaatan fishing ground dan

kebijakan khususnya nelayan yang

memanfaatkan bagan rambo serta rumpon

sebagai alat bantu lebih dari 5 kali (DKP Prov,

2016)

6,1 % responden mengatakan adanya konflik pemanfaatan

fising ground dan kebijakan khususnya

nelayan yang memanfaatkan rumpon

sebagai alat bantu maupun bom lebih dari

5 kali (DKP Prov, 2016)

1,0 35 2 35

2 = 2-5 kali/tahun;

3 = kurang dari 2 kali/tahun

3. Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK, traditional ecological knowledge)

Pemanfaatan pengetahuan lokal yang terkait dengan pengelolaan perikanan

1 = tidak ada; Semua responden di lokasi survei mengatakan tidak memanfaatkan pengetahuan lokal dalam melakukan penangkapan ikan krn sdh sering ada penyuluhan dan menangkap ikan saat ini sdh semakin sulit

Semua responden di lokasi survei mengatakan

tidak memanfaatkan pengetahuan lokal dalam melakukan penangkapan ikan krn sdh sering ada

penyuluhan dan menangkap ikan saat ini

sdh semakin sulit

Semua responden di lokasi survei

mengatakan tidak memanfaatkan

pengetahuan lokal dalam melakukan

penangkapan ikan krn sdh sering ada

penyuluhan dan menangkap ikan saat ini

sdh semakin sulit

1.0 25 3 25

2 = ada tapi tidak efektif; 3 = ada dan efektif digunakan

RERATA TOTAL TOTAL

1,0 100 100

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra 9

Lampiran 5. Tabel Hasil Analisis Domain Ekonomi

INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN KRITERIA IKAN KARANG IKAN KEMBUNG IKAN KUWEH SKOR BOBOT

(%) RANKING NILAI

1. Kepemilikan Aset

Perubahan nilai/jumlah aset usaha RTP cat : aset usaha perikanan atau aset RT.

1 = nilai aset berkurang (lebih dari 50%) ;

Dalam 1 tahun terakhir seluruh responden menyatakan ada peningkatan aset usaha perikanan maupun aset rumah tangga, tetapi <50%

Mayoritas responden memiliki nilai aset tetap (kurang dari 50%)

Mayoritas responden memiliki nilai aset tetap (kurang dari 50%)

2,0 45 1 90

2 = nilai aset tetap (kurang dari 50%); 3 = nilai aset bertambah (di atas 50%)

2. Pendapatan rumah tangga (RTP)

Pendapatan total RTP yang dihasilkan dari usaha RTP

1= kurang dari rata-rata UMR,

100% responde memeiliki pendapatan diatas UMR (Rp 1.690.00 – Rp. 3.400.00)

Rata-rata pendapatan responden ( Rp. 3.215.000 per bulan) melebih UMR regional Sulawesi Tenggara 2016 ( Rp 1.850.000)

Rata-rata pendapatan responden (Rp. 4.415.000 per bulan) perbulan melebih UMR

regional Sulawesi Tenggara 2016 ( Rp 1.850.000)

3,0 30 2 90

2= sama dengan rata-rata UMR, 3 = > rata-rata UMR

3. Rasio Tabungan (Saving ratio)

menjelaskan tentang rasio tabungan terhadap pendapatan bersih

1 = kurang dari bunga kredit pinjaman;

SR= 46,33% - 72,79%. Besarnya bunga kredit

pinjanman = 7,52 – 8,22% per September 2013

Suku bunga kredit Sultra bulan Oktober s/d

Desember 2016 sebesar 7,25 - 7,5% (BI Sultra, 2016), sedangkan ratio

tabungan rata-rata responden nelayan

penangkap ikan karang =47,4%

Suku bunga kredit Sultra bulan Oktober s/d Desember 2016

sebesar 7,25 - 7,5% (BI Sultra, 2016), sedangkan ratio

tabungan rata-rata responden nelayan penangkap ikan

kembung =66,5%

3,0 25 3 75

2 = sama dengan bunga kredit pinjaman; 3 = lebih dari bunga kredit pinjaman

TOTAL TOTAL

RERATA 2,67 100 255

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra 10

Lampiran 6. Tabel Hasil Analisis Domain Kelembagaan

INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN KRITERIA DATA ISIAN SKOR BOBOT

(%) RANKING NILAI

1. Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal

Tingkat kepatuhan (compliance) seluruh pemangku kepentingan WPP terhadap aturan main baikformal maupun tidak formal

1= lebih dari 5 kali terjadi pelanggaran hukum dalam pengelolaan perikanan;

Pelanggaran terkait WPP di wilayah perairan Teluk Staring Kabupaten Konawe Selatan berupa pelanggaran hukum secara admistrasi kelengkapan izin terjadi lebih dari 5 kali di tahun 2016 (Bidang Pengawasan DKP Provinsi Sultra, 2017)

1 26 1 26

2 = 2-4 kali terjadi pelanggaran hukum;

3 = kurang dari 2 kali pelanggaran hukum

Non formal 1= lebih dari 5 informasi pelanggaran, 2= lebih dari 3 informasi pelanggaran, 3= tidak ada informasi pelanggaran

90 % reponden mengatakan bahwa pelanggaran hukum terkait WPP lebih dari 5 kali

1

2. Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan

Sejauh mana kelengkapan regulasi dalam pengelolaan perikanan

1 = tidak ada; 2 = ada tapi tidak lengkap; 3 = ada dan lengkap

Ada aturan main hanya di tingkat provinsi (Perda Pesisir, Pergub dan aturan terkai retribusi).

2 25 2 40

Elaborasi untuk poin 2 1= ada tapi jumlahnya berkurang; 2= ada tapi jumlahnya tetap; 3= ada dan jumlahnya bertambah

Kelengkapan regulasi hingga tahun 2013 jumlahnya tetap

2

Ada atau tidak penegakan aturan main dan efektivitasnya

1=tidak ada penegakan aturan main; 2=ada penegakan aturan main namun tidak efektif; 3=ada penegakan aturan main dan efektif

Penegakan hukum atau aturan main sudah diterapkan hanya saja kurang efektif

2

1= tidak ada alat dan orang; 2=ada alat dan orang tapi tidak ada tindakan; 3= ada alat dan orang serta ada tindakan

Intensitas kegiatan patroli dan pengawasan cukup jarang disebabkan oleh keterbatasan anggaran, hanya administrasi di kantor (Abet Abdullah 2017)

1

1= tidak ada teguran maupun hukuman; 2= ada teguran atau hukuman; 3=ada teguran dan hukuman

Tindak lanjut bagi nelayan yang melakukan pelanggaran, berkomunikasi dan memberikan teguran terlebih dahulu, pembinaan serta proses hukum sampai ke tingkat pengaadilan (POL AIR, 2017)

2

WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra 11

INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN KRITERIA DATA ISIAN SKOR BOBOT

(%) RANKING NILAI

3. Mekanisme pengambilan keputusan

Ada atau tidaknya mekanisme pengambilan keputusan (SOP) dalam pengelolaan perikanan

1=tidak ada mekanisme pengambilan keputusan;

Belum ada SOP namun terdapat mekanisme pengambilan keputusan terkait pengelolaan perikanan tapi belum efektif (DKP Provinsi Sultra, 2017)

2 18 3 18

2=ada mekanisme tapi tidak berjalan efektif;

3=ada mekanisme dan berjalan efektif

1= ada keputusan tapi tidak dijalankan; 2= ada keputusan tidak sepenuhnya dijalankan; 3= ada keputusan dijalankan sepenuhnya

Keterbatasan sarana prasarana menjadi salah satu penyebab utama tidak dijalankannya sebuah keputusan terkait pengelolaan WPP (DKP Provinsi Sultra, 2016)

1

4. Rencana pengelolaan perikanan

Ada atau tidaknya RPP untuk wilayah pengelolaan perikanan dimaksud

1=belum ada RPP; 2=ada RPP namun belum sepenuhnya dijalankan; 3=ada RPP dan telah dijalankan sepenuhnya

KKPD Sulawesi Tenggara belum meiliki legalitas tentang RPP KKPD Sultra. (Provinsi Sultra, 2016)

1 15 4 15

5. Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan

Semakin tinggi tingkat sinergi antar lembaga (span of control-nya rendah) maka tingkat efektivitas pengelolaan perikanan akan semakin baik

1=konflik antar lembaga (kebijakan antar lembaga berbeda kepentingan);

Koordinasi antar lembaga dalam menjalankan program masing-masing lembaga memiliki kepentingan berbeda

1 11 5 16,5

2 = komunikasi antar lembaga tidak efektif;

3 = sinergi antar lembaga berjalan baik

Semakin tinggi tingkat sinergi antar kebijakan maka tingkat efektivitas pengelolaan perikanan akan semakin baik

1= terdapat kebijakan yang saling bertentangan;

Kurang Koordinasi setiap sektor yang memiliki tugas dan tanggung jawab serta kewajiban yang tidak saling mendukung terkait kebijakan (Tahalim, 2016)

2

2 = kebijakan tidak saling mendukung;

3 = kebijakan saling mendukung 6. Kapasitas pemangku kepentingan

Seberapa besar frekuensi peningkatan kapasitas pemangku kepentingan dalam pengelolaan perikanan berbasis ekosistem

1=tidak ada peningkatan; 2 = ada tapi tidak difungsikan (keahlian yang didapat tidak sesuai dengan fungsi pekerjaannya) 3 = ada dan difungsikan (keahlian yang didapat sesuai dengan fungsi pekerjaannya)

Bimbingan teknis dan pembinaan sudah dilakukan namun tidak berkesinambungan sesuai dengan peruntukan (politik dominan) (POL AIR, 2016)

2 5 6 10

RERATA TOTAL TOTAL

1,54 100

148,50