penilaian performa pengelolaan perikanan menggunakan ... - eafm ikan terbang selat... · penilaian...
TRANSCRIPT
1
Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan menggunakan Indikator EAFM Kajian pada perikanan ikan terbang di Selat Makassar (WPP713). 8/15/2012 Syamsu Alam Ali Universitas Hasanuddin Makassar
2
Daftar Isi 1 Pendahuluan .........................................................................................................3
1.1 Latar Belakang ..............................................................................................3
1.2 Tujuan dan Manfaat Studi ............................................................................5
2 Sekilas Kondisi Perikanan ...................................................................................6
2.1 Perikanan Ikan Terbang ...............................................................................6
3 Metode Penilaian Performa Indikator EAFM .................................................... 12
3.1 Pengumpulan data ...................................................................................... 12
3.2 Analisa Komposit ........................................................................................ 20
3.2.1 Teknis Flag Modeling: ......................................................................... 20
4 Analisis Tematik Pengelolaan Perikanan Ikan Terbang .................................. 24
4.1. Domain Habitat dan Ekosistem .............................................................. 24
4.2. Domain Sumberdaya Ikan ...................................................................... 25
4.3. Domain Teknik Penangkapan Ikan ........................................................ 28
4.4. Domain Sosial.......................................................................................... 30
4.5. Domain Ekonomi ..................................................................................... 31
4.6. Domain Kelembagaan ............................................................................ 32
5 Analisis Komposit Pengelolaan Perikanan ....................................................... 34
5.1.1 Domain Habitat dan Ekosistem .......................................................... 34
5.1.2 Domain Sumberdaya Ikan .................................................................. 36
5.1.3 Domain Teknik Penangkapan ikan .................................................... 37
5.1.4 Domain sosial ...................................................................................... 39
5.1.5 Domain Ekonomi ................................................................................. 39
5.1.6 Domain Kelembagaan......................................................................... 40
6 Pembahasan ....................................................................................................... 42
6.1 Metode dan analisa indikator EAFM yang digunakan ............................. 42
6.2 Performa Perikanan yang dikaji ................................................................. 53
7 Kesimpulan dan Rekomendasi .......................................................................... 61
7.1 Kesimpulan .................................................................................................. 61
7.1.1 Metode dan analisa indikator EAFM .................................................. 61
7.1.2 Pengelolaan perikanan dari hasil kajian EAFM ................................ 61
7.2. Rekomendasi ............................................................................................... 63
7.1.3 Metode dan analisa indikator EAFM. ................................................. 63
7.1.4 Pengelolaan perikanan dari hasil kajian EAFM ................................ 64
3
1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Pengelolaan sumberdaya perikanan selain telah memberi
keuntungan pendapatan masyarakat dan negara, juga meninggalkan
permasalahan penangkapan berlebihan dan kerusakan habitat. Kedua
masalah tersebut muncul akibat pertambahan populasi manusia yang
memerlukan bahan makanan, peningkatan kapasitas alat, yang
mengarah kepada praktek penangkapan tidak ramah lingkungan yang
menyebabkan produksi perikanan menurun baik dalam skala lokal,
nasional dan global. Penangkapan berlebihan menyebabkan
menurunya kapasitas reproduksi dan kapasitas pemulihan stok.
Penangkapan berlebihan juga telah terjadi pada sumberdaya
perikanan di beberapa wilayah perairan Indonesia terutama spesies-
spesies yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Salah satu diantaranya
adalah ikan terbang (Hirundichthys oxycephalus). Ikan terbang
mengalami kemunduran stok akibat penangkapan berlebihan terhadap
telur dan induknya yang belum pernah menurunkan generasinya. Kondisi
tangkap lebih sumberdaya ikan terbang di Selat Makassar telah
dilaporkan oleh Nessa et al. (1977) Dwiponggo, et al. (1983); Nessa, et al.
(1992); Ali et al. (2005); Dirhamsyah et al. (2009) dengan berbagai
indicator seperti penurunan produksi secara nyata, penurunan CPUE,
penurunan potensi lestari, penurunan rata-rata ukuran ikan, nelayan
mencari daerah penangkapan baru di luar Selat Makassar dan laut Flores,
berkurangnya Kabupaten yang menjadi basis perikanan ikan terbang dan
sebagainya.
Apabila hasil tangkapan tahun 1975 sebesar 11918 ton
dibandingkan dengan tahun 2005 sebesar 2856 ton maka dalam kurung
waktu 30 tahun produksi ikan terbang menurun sekitar 76 persen,
sehingga kejadian ini merupakan refleksi kemerosotan populasi ikan
terbang. Pada tahun 1980 ikan ini digolongkan sebagai sumberdaya
kritis yang perlu diperhatikan keberlanjutannya. Walaupun ikan terbang
4
sudah banyak dilaporkan mengalami overfishing namun masih ada
pihak yang berpendapat bahwa ikan terbang tidak akan habis dan sampai
sekarang tetap berproduksi walaupun terjadi penurunan. Ikan terbang di
Selat Makassar tidak tertutup kemungkinan mengalami ancaman krisis
kepunahan jika tidak ada langkah pengelolaan yang baik. Kepunahan
ikan terubuk di Bagan Siapi Api adalah contoh kasus akibat eksploitasi
tidak terkendali terhadap induk dan telurnya. Hal serupa mungkin akan
terjadi pada ikan terbang di Selat Makassar dan laut Flores jika tidak
dilakukan pengelolaan perikanan dengan baik.
Perikanan ikan terbang di Selat Makassar merupakan suatu system
yang kompleks yang terdiri dari tiga dimensi yang saling terkait dan saling
ketergantungan secara dinamik. Ketiga dimensi tersebut adalah (1)
dimensi sumberdaya perikanan dan ekosistemnya, (2) dimensi
pemanfaatan sumberdaya perikanan untuk kepentingan sosial ekonomi
masyarakat; dan (3) dimensi kebijakan dan pengelolaan perikanan itu
sendiri. Pengelolaan perikanan ikan terbang di Selat Makassar tergolong
belum mempertimbangkan keseimbangan ketiga dimensi tersebut di atas
di mana kepentingan pemanfaatan untuk peningkatan kesejahteraan
sosial ekonomi masyarakat dirasakan lebih besar dibanding dengan
keberlanjutan sumberdaya dan ekosistemnya. Belum ada regulasi dan
pengendalian terhadap jumlah effort, pengendalian peningkatan kapasitas
alat tangkap untuk mengeksploitasi telur secara besar-besaran yang
dapat memutus siklus individu secara massiv. Pendekatan pengelolaan
ikan terbang masih bersifat parsial terbatas pada dimensi biologi,
pengelolaan belum terintegrasi dalam kerangka dinamika ekosistem
sumberdaya ikan terbang sebagai target pengelolaan. Pendekatan stock
assessment membutuhkan data dan informasi akurat, survey independen,
model yang rumit, sehingga banyak yang menilai tidak cukup memadai
untuk mengelola kelestarian sumberdaya perikanan yang bersifat multi-
dimensi.
Perikanan ikan terbang di Selat Makassar merupakan suatu system
yang kompleks yang terdiri dari tiga dimensi yang saling terkait dan saling
ketergantungan secara dinamik. Ketiga dimensi tersebut adalah (1)
5
dimensi sumberdaya perikanan dan ekosistemnya, (2) dimensi
pemanfaatan sumberdaya perikanan untuk kepentingan sosial ekonomi
masyarakat; dan (3) dimensi kebijakan dan pengelolaan perikanan itu
sendiri. Oleh karena sifat kompleksitas sistem perikanan sehingga
memerlukan pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan
(ecosystem approach to fisheries management) melalui pendekatan multi-
dimensi: sumberdaya ikan, habitat dan ekosistem, teknologi
penangkapan ikan, sosial, ekonomi dan kelembagaan. Pengelolaan
perikanan ikan terbang melalui pendekatan ekosistem bertujuan untuk
menyusun suatu strategi pengelolaan perikanan, bertanggung jawab dan
mampu meningkatkan kesejahteraan pelaku usaha perikanan ikan
terbang secara berkelanjutan. Konsep ini diharapkan dapat mengubah
kebijakan pengelolaan perikanan ikan terbang yang berorientasi pada
target spesies menjadi pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan
melalui pendekatan ekosistem.
1.2 Tujuan dan Manfaat Studi
Tujuan pengkajian pengelolaan perikanan ikan terbang berbasis
ekosistem di Wilayah Pengelolaan Perikanan, WPP 713 adalah:
a. Mengetahui status keberlanjutan pengelolaan sumberdaya ikan
terbang.
b. Menganalisis faktor-faktor kunci atau atribut-atribut yang menentukan
keberlanjutan pengelolaan sumberdaya ikan terbang berbasis
ekosistem.
c. Merumuskan dan menentukan alternatif kebijakan dan skala prioritas
pengelolaan perikanan ikan terbang.
Manfaat dari hasil pengkajian pengelolaan perikanan ikan terbang
berbasis ekosistem di Wilayah Pengelolaan Perikanan WPP 713 adalah:
a. Menjadi referensi untuk pemerintah pusat maupun pemerintah
provinsi dan kabupaten dalam merumuskan kebijakan dan strategi
pengelolaan perikanan ikan terbang secara berkelanjutan.
6
b. Menjadi informasi atau pedoman bagi nelayan dan pengusaha yang
terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya ikan terbang di WPP 713
secara berkelanjutan.
c. Hasil kajian dapat diterapkan dalam pengelolaan perikanan ikan
terbang berdasarkan pendekatan ekosistem, bermanfaat untuk
menjaga kelestarian ekosistem, mencegah terjadinya degradasi
ekosistem dan tetap mendukung keberlanjutan ikan terbang, dan
mempertahankan manfaat social ekonomi jangka panjang ikan terbang
tanpa merusak ekosistem.
2 Sekilas Kondisi Perikanan 2.1 Perikanan Ikan Terbang
Ikan terbang Famili Exocoetidae di Selat makassar dan laut Flores
WPP 713 yang tertangkap dengan gillnet diidentifikasi sebanyak 7 jenis
yaitu: Hirundichthys oxycephalus, Cheilopogon abei, Cheilopogon suttoni,
Cheilopogon katoptron, Cypselurus poecilopterus, Parexocoetus
brachypterus, dan Parexocoetus mento (Ngonpa, 2006). Jenis ikan
terbang yang dominan adalah Hirundichthys oxycephalus (Gambar 1)
yang dikenal dengan nama lokal torani (Bugis) atau tuin-tuin (Makassar).
Populasi Hirundichthys oxycephalus diperkirakan sekitar 80-90 % dari
jenis-jenis ikan terbang lainnya. Di perairan Indonesia ikan terbang
ditemukan dibeberapa wilayah perairan seperti Selat Makassar, Laut
Flores, Laut Banda, Laut Seram, Laut Arafura, Laut Sulawesi, Laut Aru,
namun yang sudah dieksploitasi masih terbatas pada perairan tertentu
seperti Selat Makassar, laut Flores, Laut Seram, Laut Arafura dan Laut
Banda. Daerah penangkapan ikan terbang terutama pada wilayah
perairan yang dipengaruhi oleh upwelling (penaikan massa air) di Sebelah
Selatan Selat Makassar yang terjadi pada Musim Timur setiap tahun.
7
Gambar 3. Ikan terbang, Hirundichthys oxycephalus (Torani)
Ikan terbang merupakan salah satu jenis ikan pelagik kecil yang
memiliki nilai sosial ekonomi cukup penting di WPP 713 khususnya di
Selat Makassar dan Laut Flores. Ikan terbang merupakan sumber
lapangan kerja dan sumber pendapatan nelayan setiap musim Timur
antara Maret sampai September. Ikan torani menghasilkan telur yang
berkualitas untuk komoditas ekspor sebagai sumber devisa negara,
dagingnya sebagai salah satu sumber protein bagi masyarakat yang
tinggal jauh dari laut seperti Toraja dan Enrekang. Secara ekologi ikan
terbang memeiliki peranan penting sebagai salah satu komponen pada
ekosistem pelagik serta dapat digunakan sebagai salah satu jenis umpan
dalam perikanan pancing tuna dan cakalang serta umpan dalam
kegiatan sport fishing.
Penangkapan ikan terbang bersama telurnya pada awalnya secara
turun temurun menggunakan alat tangkap tradisionil yang dikenal dengan
nama pakkaja atau bubu hanyut (drift traps). Pakkaja ini semacam
perangkap ikan berbentuk silinder yang terbuat dari bila-bila bambu,
kedua mulutnya diberi daun kelapa dan Sargassum sebagai tempat
pelekatan telur. Sargassum selain sebagai tempat perlekatan telur juga
berfungsi memberi aroma agar ikan dapat terangsang untuk datang
memijah pada pakkaja.
Penangkapan induk ikan terbang menggunakan jaring insang
hanyut (drift gill net) yang terbuat dari tali nilon mono filamen dengan
panjang jaring 500-1000 m dan mata jarring 1-1,25 inci. Alat ini
dioperasikan dengan cara menghadang ikan terbang yang sedang
bergerak. Perahu yang digunakan adalah perahu sandeq, perahu jukung,
8
atau perahu motor tempel. Perahu ini mempunyai nakhoda 1 orang sawi
2-3 orang. Trip penangkapan dilakukan selama 1 hari.
Sekitar tahun 1990 pakkaja tidak lagi digunakan nelayan
menggantinya dengan alat bale-bale atau balla-balla. Bale-bale
menyerupai rumpon terbuat dari daun kelapa yang berfungsi menarik ikan
untuk berkumpul melakukan pemijahan dan meletakkan telurnya (fish
accumulation devices). Alat ini terbuat dari bingkai bambu ukuran 1,5 m x
0,5m kemudian pada bagian tengahnya diberi daun kelapa. Alat ini
digunakan untuk memanfaatkan tingkah laku ikan terbang yang senang
meletakkan telurnya pada benda-benda terapung seperti sisa-sisa
tanaman, daun kelapa kering, daun pisang, daun tebu kering, dan
sargassum. Alat ini menggunakan kapal patorani kekuatan 240-300 PK
atau 10-15 ton. Kapal ini mempunyai nakhoda 1 orang yang memiliki SKK
(surat kecakapan kemudi) dibantu dengan ABK atau sawi 4-5 orang. Trip
penangkapan dilakukan antara 20-30 hari.
Pada tahun 1960-1980 hampir seluruh Kabuten di Sulawesi
Selatan dan Sulawesi Barat yang berbatasan langsung dengan Selat
Makassar dan Laut Flores yaitu Makassar, Maros, Pangkep, Barru, Pare-
Pare, Pinrang, Majene, Polmas, Mamuju, Takalar, Jeneponto, Bantaeng,
Bulukumba, dan Selayar pernah menjadi basis perikanan ikan terbang
khususnya nelayan pattorani yang menggunakan alat pakkaja atau bubu
hanyut. Pada tahun 1975-1980 telur ikan terbang pernah menjadi
penghasil devisa negara kedua setelah udang dari seluruh produksi
perikanan di Sulawesi Selatan. Eksploitasi telur dan induk ikan terbang di
Selat Makassar dan laut Flores yang tidak terkendali sejak puluhan tahun
lalu menyebabkan ikan terbang mengalami degradasi stok akibat upaya
penangkapan berlebihan. Kondisi penangkapan berlebihan ini
diindikasikan oleh basis penangkapan ikan terbang semakin berkurang
akibat penurunan hasil tangkapan dan pendapatan nelayan. Saat ini
basis perikanan ikan terbang sisa dijumpai di beberapa daerah yaitu: di
Kecamatan Galesong Selatan dan Galesong Utara Kabupaten Takalar
terdapat nelayan bale-bale penangkapan telur dan nelayan gillnet
penangkapap induk ikan terbang, di Kepulauan Pangkep Kabupaten
9
Pangkep terdapat nelayan bale-bale penangkap telur ikan terbang, di
Ujung Lero Pinrang hanya terdapat nelayan gillnet ikan terbang, di
Kecamatan Somba Kabupaten Majene pada umumnya terdapat nelayan
gillnet ikan terbang, Kecamatan Pambusuang Kabupaten Polman
umumnya nelayan bale-bale penangkapan telur ikan terbang.
Akibat menurunnya hasil tangkapan telur di Selat Makassar maka
Nelayan Patorani Galesong Kabupaten Takalar tahun 2001 mulai merintis
daerah penangkapan telur ikan terbang yang baru di Laut Seram dan
Laut Arafura bahkan di Laut Banda. Nelayan patorani dari Galesong
Takalar berangkat ke Laut Seram pada bulan April sampai September.
Selama di Fak-Fak nelayan melakukan penangkapan 4-5 kali trip, dimana
setiap trip ada 25-30 hari. Pada tahun 2012 diperkirakan sekitar 700-800
buah perahu patorani telah melakukan persiapan untuk berangkat ke
Laut Seram dengan basis penangkapan di Kabupaten Fak-Fak. Nelayan
telur ikan terbang memilih Laut Seram karena hasil tangkapannya lebih
tinggi yakni dapat mencapai 150-300 kg/trip. Jika penangkapan dilakukan
di Selat Makassar dan laut Flores hasilnya lebih rendah hanya sekitar
50-100 kg/trip. Walaupun hasil tangkapan telur di Selat makassar lebih
rendah, namun masih terdapat sekitar 300-500 nelayan patorani dengan
menggunakan bale-bale baik dari Galesong kabupaten Takalar maupun
beberapa pulau dari Kecamatan Kalmas Kabupaten Pangkep. Selain itu
di sebelah Selatan Selat Makassar, tepatnya di Kecamatan Pambusuang
Kabupaten Polman Sulawesi Barat terdapat sekitar 700-800 buah kapal
patorani penangkap telur yang menggunakan bale-bale (Galesong) atau
epe-epe (Mandar). Nelayan Pambusuang hanya beroperasi di Selat
Makassar di sekitar Kabupaten Mamuju, Majene, Polman, sekitar
Kepulauan Pangkep sampai di Laut Flores di sekitar Kabupaten
Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto.
10
Gambar 2. Volume ekspor telur ikan terbang tahun 2007-2010 di
Sulawesi Selatan (Dinas Perikanan dan Kelautan Sulawesi
Selatan, 2011).
Data eksport telur ikan terbang Sulawesi Selatan terdiri dari hasil
tangkapan dari Selat Makassar dan laut Flores dan hasil tangkapan dari
Laut Seram yang dikirim oleh nelayan Galesong dari Fak-Fak. Data
eksport telur ikan terbang antara tahun 2007-2010 (DKP SULSEL, 2011)
menunjukkan kecenderungan penurunan sekitar 30% dari tahun 2007
hingga tahun 2010 atau rata-rata turun 10% setiap tahun (Gambar 2).
Volume eksport telur ikan terbang menurun diduga disebabkan oleh
karena produksi telur ikan terbang Selat Makassar dan Laut Flores
menurun akibat stoknya menurun, begitu pula kondisi stok ikan terbang di
Laut Seram juga diduga menurun akibat pernah mengalami tekanan
penangkapan yang tinggi, selain itu hasil tangkapan dari Laut Seram
kemungkinan sebagian dipasarkan ke daerah lain seperti Surabaya dan
Ambon.
Hasil analisis data volume eskpor telur ikan terbang pada 3
Perusahaan Eksportir menunjukkan tahun 2007 eksport telur ikan terbang
Sulawesi Selatan 864,433 ton dengan nilai Rp.259,329 milyar, terdiri dari
hasil tangkapan di Laut Seram 73% (631,036 ton) dan Selat Makassar
0
100,000
200,000
300,000
400,000
500,000
600,000
700,000
2007 2008 2009 2010
644,433700,378 680,830
600,876
Volu
me
eksp
or T
elur
ikan
terb
ang
(Ton
)
Tahun
11
27% (233,396 ton). Pada tahun 2010 ekspor telur ikan terbang Sulawesi
Selatan 600,870 ton dengan nilai Rp.210,350 milyar, terdiri dari hasil
tangkapan di Laut Seram 58 % (348,504 ton) dan Selat Makassar 42%
(252,365 ton). Antara tahun 2007 dengan 2010 ekspor telur ikan terbang
Sulawesi Selatan turun 263,563 ton, hasil tangkapan telur ikan terbang
Laut Seram turun 282,532 ton, dan Selat Makassar relative sedikit naik.
Penurunan produksi laut seram diduga akibat tekanan upaya
penangkapan yang terlalu tinggi sekitar 900 armada kapal patorani dari
Galesong Takalar. Akibatnya, tahun 2009-2010 armada patorani
Galesong berkurang ke Laut Seram. Adapun Negara yang menjadi tujuan
ekspor telur ikan terbang dari Sulawesi Selatan adalah China, Jepang,
Korea Selatan, Taiwan, Vietnam, Swedia dan Lithuania.
Gambar 3. Perkembangan produksi ikan terbang Propinsi Sulawesi
Selatan periode 1985-2011
Hasil analisis data perkembangan produksi ikan terbang periode
1985-2011 (Gambar 3) paling tinggi terjadi pada tahun 1985 mencapai
7.112 ton. Produksi ikan terbang pada tahun-tahun tersebut ketika alat
tangkap pakkaja masih digunakan nelayan. Total produksi kemudian terus
12
menurun sampai pada tingkat 4,174 ton pada tahun 1990 dimana saat itu
pakkaja sudah diganti dengan bale-bale. Walau pada periode 1990-2000
terdapat kenaikan yang cukup signifikan namun total produksi ikan
terbang tetap tidak mencapai lebih dari total produksi pada tahun 1985.
Pada tahun 2000 total produksi mencapai pada angka 6.581 ton. Setelah
mencapai total puncak produksi ke dua, produksi ikan terbang mengalami
penurunan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun dengan puncak
penurunan total produksi terjadi pada tahun 2005, yakni sebesar 2.856
ton. Turunnya produksi ikan terbang dari tahun 2001 sekitar 6400 ton
3 Metode Penilaian Performa Indikator EAFM
3.1 Pengumpulan data
Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder.
Pengumpulan data primer dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan
langsung di lapangan, wawancara, dan pengisian kuisioner. Wawancara
dilakukan terhadap pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan
perikanan terbang. Pihak pemerintah seperti staf Dinas Perikanan dan
Kelautan Propinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat; staf Dinas
Perikanan dan Kelautan Kabupaten dan Kota, staf Balai Pengelolaan dan
Konservasi Sumberdaya Pesisir, staf Balai Budidaya Air Payau Takalar,
pengusaha eksportir telur, pedagang pengumpul, ponggawa, pengolah
ikan, pedagang ikan, pemilik kapal patorani, sawi atau anak buah kapal
(ABK), tokoh nelayan, dan pemerintahan desa di Kecamatan Galesong di
Takalar; Ujung Lero Pinrang, Kecamatan Pambusuang Mamuju,
Kecamatan Sendana Majene.
Pengumpulan data sekunder adalah pengumpulan data dan
informasi yang sudah tersedia (tercatat) pada instansi pemerintah maupun
swasta. Misalnya Dinas Perikanan Propinsi dan Dinas Perikanan dan
Kelautan Kabupaten dan Kota, Perguruan Tinggi, Perdagangan,
Eksportir, Tempat Pendaratan Ikan, Pedagang Pengumpul, Balai
13
Pengelolaan dan Konservasi Sumberdaya Pesisir, Balai Budidaya Air
Payau Takalar.
Data yang dikumpulkan berdasarkan tujuan penelitian ini meliputi
enam dimensi pengelolaan yaitu: (1) Dimensi sumberdaya ikan, (2)
dimensi habitat dan ekosistem, (3) dimensi teknologi penangkapan (4)
dimensi soaila, (5) dimensi ekonomi, dan dimensi (6) dimensi
kelembagaan. Data yang dikumpulkan setiap dimensi adalah sebagai
berikut:
Tabel 1. Dimensi, metodologi, dan kiriteria setiap indikator (KKP,
WWF, PKSPL-IPB, 2012).
1. Dimensi sumberdaya ikan
No Indikator/ atribut Penjelasan Metodologi/
Pengumpulan data Kriteria
1 CPUE Hasil tangkapan Persatuan Upaya (Trip/kapal)
Fishlanding di TPI dan eksportir
1 : menurun tajam 2 : menurun sedikit 3 : stabil atau meningkat
2 Ukuran Ikan
Perubahan ukuran panjang ikan (TL atau SL)
sampling, pengukuran panjang dan membandingkan rata-rata panjang selama 10 – 15 tahun yang lalu
1 : Ukuran ikan semakin Kecil 2 : ukurtan relatif tetap 3 : ukaran semakin Panjang
3 Proporsi Ikan Muda
Persentase ikan yang tertangkap yang belum matang
Sampling dan pengukuran TKG.
1 : Banyak sekali (> 60%) 2 : Banyak (30-60%) 3 : Sedikit (<30%)
4 Komposisi Spesies
Perbandingan jenis ikan target dan non target
Observasi, sampling dan data sekunder
1 : Proporsi ikan target lebih sedikit
2 : proporsi ikan target sama dengan non target
3 : Proporsi ikan non target lebih besar
5 Spesies ETP yang tertangkap
ETP (Endangered Threatened Protected) spesies
survei, sampling, wawancara
1 : banyak tangkapan ETP( >5 spesies)
2 : sedikit tangkapan spesies ETP (1-5 spesies)
3 : tidak ada tangkapan spesies ETP
6 Range collaps
SDI semakin jauh ditemukan
Survei dan wawancara 1: Fishing ground sangat jauh 2: Fishing ground Jauh 3: fishing ground relatif Tetap
14
2. Dimensi habitat dan ekosistem
No Indikator/ atribut Penjelasan
Metodologi/ Pengumpulan
data Kriteria
1 Pencemaran Perairan
Terindentifikasi limbah pencemar bahan kimia dan berbahaya beracun
Data sekunder 1 : tercemar 2 : tercemar sedang 3 : tidak tercemar
2 Kekeruhan Tingkat kekeruhan (visibility)
Survei, data sekunder dan secchi disk
1 : visibility rendah (0-5 meter) 2 : visibility sedang ( 5-10 meter) 3 : visibility tinggi( > 10 meter)
3 eutrofikasi Tingkat pencemaran akibat masuknya unsur hara yang memicu pertumbuhan fitoplankton
Survei, data sekunder atau data citra satelit
1 : konsentrasi Klorofil a > 10 mg/m3
2 : konsentrasi Klorofil a > 10-20 mg/m3
3 : konsentrasi Klorofil a < 10 mg/m3
4 Status ekosistem lamun
Luas tutupan ekosistem lamun
Survei, data sekunder, citra satelit
1: tutupan rendah, <29,9% 2: tutupan sedang, 30-49,9% 3: tutupan tinggi, >50%
5 Status mangrove
Perubahan luasan mangrove
Data sekunder atau citra satelit
1 : luasan mangrove berkurang dari data awal
2 : luasan magrove tetap dari data awal
3 : luasan mangrove bertambah dari data awal
6 Status terumbu karang
Persentase tutupan karang
Transek, data sekunder atau citra satelit
1: tutupan rendah <25% 2: tutupan sedang, 25 49,9% 3: tutupan tinggi, 50%
7 Habitat khusus (upwelling) sebagai nursery ground, feeding ground dan spawn ground
Daerah penaikan massa air sebagai daerah yang subur
data sekunder atau data citra satelit
1 : tidak diketahui adanya habitat khusus upwelling
2: diketahui adanya habitat upwelling tapi tidak dikelola dengan baik
3: diketahui adanya habitat upwelling dan dikelola dengan baik
8 Status dan produktivitas estuary
Tingkat produktivitas estuary
Data sekunder atau citra satelit
1: produktivitas rendah 2: produktivitas sedang 3: produktivitas tinggi
15
3. Dimensi teknik penangkapan
No
Indikator/ atribut Penjelasan
Metodologi/ Pengumpulan
data Kriteria
1 Metode pangkapan ikan yang bersifat dektruktif dan ilegal
Penggunaan alat yang merusak dan tidak sesuai peraturan
Survei dan Laporan hasil pengawasan
1: frekuensi pelanggaran > 10 kasus per tahun
2: frekunsi pelanggaran 5-10 kasus per tahun
3: frekunsi pelanggaran <5 kasus per tahun
2 Modifaksi alat penangkapan
Perubahan alat tangkap untuk penangkatan kapasitas
Survei dan wawancara
1: penambahan hasil tangkapan 0-25% 2: penambahan hasil tangkapan 25-50% 3: penambahan peningkatan hasil tangkapan >100%
3 Fishing capacity dan effort
Besarnya kapasitas penangkapan(perbandingan antara kapasitas tahun awal dan tahun akhir)
Wawancara dan survei
1: R < 1 2: R = 1 3: R > 1
4 Selektivitas penangkapan
Penggunaan alat tangkap yang tidak selektif
Survei dan wawancara
1: rendah, >75% 2:sedang, 50-75% 3: tinggi, >50%
5 Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal
Sesuai atau tidaknya fungsi dan ukuran kapal dengan dokumen legal
Survei 1: kesesuaiannya rendah, >50% 2:kesesuaiannya sedang, 30-50% 3:kesesuaiannya tinggi, <30%
6 Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan
Kualifikasi kecakapan awak kapal perikanan
Sampling kepemilikan sertifikasi melaut
1: kepemilikan sertifikat, <50% 2: kepemilikan sertifikat, 50-75% 3: kepemilikan sertifikat >75%
16
4. Dimensi sosial
No Indikator/atribut Penjelasan Metodologi/
Pengumpulan data
Kriteria
1 Pertisipasi pemangku kepentingan
Keterlibatan pemangku kepentingan
Kuisiner dan wawancara
1: <50% 2:50-100% 3:100%
2 Kelompok masyarakat
Kelompok masyarakat yang berhubungan dengan pengelolaan SDI
wawancara 1:tidak ada 2:ada tetapi tidak berhubungan dengan pengelolaan SDA 3:ada dan berhubungan dengan pengelolaan SDA
3 Sistem pongawa sawi
Hubungan kerja antara pongawa dan sawi (nelayan)
wawancara 1: ada dan nelayan bergantung kepadanya 2: ada tetapi nelayan tidak terikat sepenuhnya 3:tidak ada sistem pongawa sawi
4 Konflik perikanan
Resource conflict, policy confict, fishing gear conflict, konflik antar sektor
wawancara 1: > 5 kali/tahun 2: 2-5 kali/tahun 3: < 2 kali/tahun
5 Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan SDI (termasuk didalamnya TEK, traditional ecological knownledge)
Pemanfaatan pengetahuan lokal yang terkait dengan pengelolaan perikanan
wawancara 1: tidak ada 2: ada tapi tidak efektif 3: ada dan efektif digunakan
17
5. Dimensi ekonomi
No Indikator/atribut Penjelasan Metodologi/
Pengumpulan data
Kriteria
1 Kepemilikan aset
Perubahan jumlah aset usaha RTP.
Wawancara dan kuisioner
1: nilai aset berkurang, <50%
2: nilai aset tetap, 50% 3: nilai aset bertambah,
50% 2 Nilai tukar
nelayan (NTN) Rasio penerimaan terhadap pengeluaran.
Kuisioner, data sekunder (PUSDATIN)
1:<100 2:100 3:>100
3 Pendapatan rumah tangga perikanan dan UMR
Pendapatan total RTP yang dihasilkan dari usaha RTP dan non perikanan.
Survei dan wawancara
1: < rata-rata UMR 2: = rata-rata UMR 3: > rata-rata UMR
4 Saving rate (bagaimana dengan hutang?)
Perbandingan antar selisih pendapatan dan pengeluaran rumah tanggga nelayan dengan pendapatannya
Wawancara dan kuisioner
1: < bunga kredit pinjaman 2: = bunga kredit pinjaman 3: > bunga kredit pinjaman
18
6. Dimensi kelembagaan
No
Indikator/atribut Penjelasan
Metodologi/ Pengumpulan
data Kriteria
1 Kepatuhan terhadap peraturan formal dalam pengelolaan perikanan
Tingkat kepatuhan pemangku kepentingan terhadap peraturan formal
Laporan/cacatan pelanggaran formal dari pengawas dan Wawancara/kuisioner terhadap key person
1: > 20 kali terjadi pelanggaran hukum dalam pengelolaan perikanan
2: 5-20 kali terjadi pelanggaran hukum
3: <5 kali pelanggaran hukum
2 Kepatuhan terhadap peraturan non formal dalam pengelolaan perikanan
Tingkat kepatuhan pemangku kepentingan terhadap peraturan non formal
Laporan/cacatan pelanggaran non formal dari pengawas dan Wawancara/kuisioner terhadap key person
1: >5 informasi pelanggaran
2: >3 informasi pelanggaran
3: tidak ada informasi pelanggaran
2 Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan
Sejauh mana kelengkapan regulasi dalam pengelolaan perikanan
Survei dan wawancara
1: tidak ada 2:ada tapi tidak lengkap 3:ada dan lengkap
3 Jumlah aturan main dalam pengelolaan perikanan
Sejauh mana pertambahan aturan main
Survei dan wawancara
1:ada tapi jumlahnya berkurang 2:ada tapi jumlahnya tetap 3:ada dan jumlahnya bertambah
4 Penegakan aturan main
Apakah ada penegakan aturan main
Survei, kuisioner dan wawancara
1:tidak ada penegakan peraturan 2:ada penegakan aturan namun tidak efektif 3:ada penegakan aturan dan efektif
5 Ketersedian saran dan SDM dalam penegakan peraturan
Apakah ada sarana dan SDM yang mendukung penegakan peraturan
Survei, kuisioner dan wawancara
1: tidak ada sarana dan SDM 2:ada sarana dan SDM tapi tidak ada tindakan 3:ada sarana dan SDM serta ada penindakan
6 Mekanisme Ada mekanisme Survei, 1:tidak ada
19
pengambilan keputusan
pengambilan keputusan dalam pengelolaan perikanan
wawancara, kuisioner dan analisis dokumen
mekanisme pengambilan keputusan 2: ada mekanisme tapi tidak berjalan efektif 3: ada mekanisme dan berjalan efektif
7 Keputusan pengelolaan perikanan
Ada keputusan atau peratusan dalam pengelolaan perikanan
Survei, wawancara, kuisioner dan analisis dokumen
1: ada keputusan tapi tidak dijalankan 2:ada keputusan tidak sepenuhnya tidak dijalankan 3:ada keputusan dan dijalankan
8 Rencana pengeloaan perikanan (RPP)
Ada atau tidak ada RPP
Survei, wawancara dan kuisioner
1: belum ada RPP 2:ada RPP tapi belum dijalankan sepenuhnya 3:ada RPP dan telah dijalankan
9 Tingkat sigenitas kebijakan antar lembaga dalam pengelolaan perikanan
Sinergitas anatar lembaga dalam penentuan kebijakan
Survei, wawancara, kuisioner dan analisis dokumen
1: kebijakan antar lembaga berbeda kepentingan 2:komunikasi antar lembaga tidak efektif 3:sinergi antar lembaga berjalan baik
10 Konflik kebijakan pengelolaan perikanan
Konflik kebijakan antara lembaga
Survei, wawancara, kuisioner dan analisis dokumen
1: kebijakan yang saling bertentangan 2: kebijakan tidak saling mendukung 3:kebijakan saling mendukung
11 Kapasitas pemangku kepentingan
Seberapa besar frekuensi peningkatan kepentingandakam pengelolaan perikanan berbasis ekosistem
Survei, wawancara dan kuisioner
1: tidak ada peningkatan 2:ada tapi tidak difungsikan 3:ada dan difungsikan
12 Keberadaan otoritas tunggal dalam pengelolaan perikanan
Single otoritas akan meningkatkan efektifitas kelembagaan pengelolaan perikanan
Survei dan wawancara
1:tidak ada Single otoritas 2:lebih dari satu otoritas 3:ada Single otoritas
20
3.2 Analisa Komposit
Penilaian indikator EAFM merupakan sebuah sistem
multikriteria yang berujung pada indeks komposit terkait dengan
tingkat pencapaian pengelolaan perikanan sesuai dengan prinsip
EAFM. Dalam penelitian ini digunakan dua jenis “tools” untuk
mengubah indikator parsial menjadi indikator komposit yaitu (1).
Teknik Flag Modeling; dan (2) Teknik Rapfish (Direktorat SDI-KKP,
WWF Indonesia dan PKSPL-IPB, 2012).
3.2.1 Teknis Flag Modeling:
Analisis menggunakan pendekatan multi-criteria analysis (MCA) di
mana sebuah set kriteria dibangun sebagai basis bagi analisis keragaan
wilayah pengelolaan perikanan dilihat dari pendekatan ekosistem dalam
pengelolaan perikanan (EAFM) melalui pengembangan indeks komposit
(Adrianto, Matsuda, and Sakuma, 2005) dengan tahapan
1. Menentukan kriteria untuk setiap indikator masing-masing aspek
EAFM (habitat, sumberdaya ikan, teknis penangkapan ikan, sosial,
ekonomi dan kelembagaan);
2. Mengkaji keragaan untuk setiap indikator yang diuji;
3. Memberikan skor untuk setiap keragaan indikator pada masing-
masing WPP dengan skor skala Likert berbasis ordinal 1,2,3;
4. Menentukan bobot untuk setiap indikator;
5. Pengembangan indeks komposit masing-masing aspek dengan
model fungsi : (f)CAi = f (CAni … . n = 1,2,3 … . . m);
6. Kembangkan indeks komposit untuk seluruh keragaan EAFM dengan
fungsi sebagai berikut : WPPi = f (CAiy … . . y = 1,2,3 … z; z = 11)
Dari tiap indikator yang dinilai, kemudian dianalisis dengan
menggunakan analisis komposit sederhana berbasis rataan aritmetik yang
kemudian ditampilkan dalam bentuk model bendera (flag model) dengan
kriteria seperti pada Tabel 1.
21
Tabel 2. Visualisasi Model Bendera untuk Indikator EAFM Pengelolaan Perikanan Ikan terbang di WPP-713.
Nilai Skor Komposit Model Bendera Deskripsi 100-125 Buruk 126-150 Kurang Baik 151-200 Sedang 201-250 Baik 256-300 Baik Sekali
3.2.2. Teknik Rapfish
Pengelolaan sumberdaya perikanan lebih merupakan kegiatan
mengelola perilaku manusia, dalam memanipulasi ekologi perikanan.
Akan tetapi aspek perilaku manusia tersebut sangat berkait dengan alat
tangkap, kapal, aspek biologis, pasar, manajemen serta alokasi dan
pemulihan kembali sumberdaya yang rusak, sehingga penelitian
perikanan dapat dianggap bersifat multi disiplin. Oleh karena itu, penilaian
terhadap kelestarian sumberdaya sudah saatnya untuk tidak dipetakan
berdasarkan pada satu kriteria tunggal yang bersifat
monodimensional/unidimensional, tetapi bersifat multidimensional.
Analisis tingkat kelestraian sumberdaya perikanan merupakan
permasalahan multivariate. Metode analisis keberlanjutan sumberdaya
perikanan ikan terbang dilakukan dengan pendekatan Multi Dimensional
Scaling (MDS). Salah satu pendekatan yang banyak digunakan dewasa
ini adalah pendekatan Rapfish (rapid appraisal technique for evaluating
fisheries sustainability) yang dikembangkan oleh Fisheries Center,
University of British Columbia (Kavanagh 2001) yang telah digunakan
oleh Fauzi dan Anna 2002; Hartono et al. 2005; Nababan et al. 2007.
22
Gambar 2. Prosedur yang digunakan dalam aplikasi Rapfish (Alder
dkk.2000).
Analisis ordinasi Rapfish dilakukan melalui prosedur (Gambar 2).
1. Penentuan atribut sistem yang dikaji;
2. Penilaian setiap atribut dalam skala ordinal (Rap Scores) berdasarkan
kriteria keberlanjutan setiap dimensi;
3. Analisis ordinasi (Rap Analysis) untuk menentukan ordinasi dan nilai
stress;
4. Penyusunan indeks dan status keberlanjutan sistem yang dikaji secara
umum danpada setiap dimensi (distances);
Pengkajian Keberlanjutan
Simulasi Monte Carlo: Investigasi ketidakpastian
analisis
Analisis Leverage: Identifikasi anomali atribut
yang dianalisis
Ordinasi MDS Scaling: Rotasi plot ordinasi sehinggaBaik dan
Buruk horizontal
Skor Atribut: Menyusun titik referensi untuk baik, buruk
atau diantaranya
Review Atribut: untuk berbagai kategori dan konfirmasi kriteria
skoring
Identifikasi dan penentuan kegiatan berdasarkan pada
kriteria yang konsisten
Mulai
23
5. Analisis sensitifitas (Leverage Analysis) untuk melihat atribut atau
peubah yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan,
6. Evaluasi pengaruh galat (Error). Langkah-langkah prosedur aplikasi
Rapfish dapat dilihat pada Gambar 2.
Penentuan atributsetiap dimensi adalah kemudahan untuk diberi
skor secara objektif, serta titik ekstrim keberlanjutannya dapat dinyatakan
secara sederhana sebagai baik atau buruk.Atribut yang dipilih harus
merefleksikan keberlanjutan setiap dimensi dan dapat dimodifikasi dengan
atribut lain jika informasinya telah tersedia (Pitcher dan Preikshot, 2001).
Atribut keberlanjutan ikan terbang, baik kuantitatif maupun kualitatif,
dikelompokkan ke dalam enam dimensi (sumberdaya ikan, habitat dan
ekosistem, sosial, ekonomi, teknologi penangkapan ikan, dan
kelembagaan). Dimensi pengelolaan dan atributnya digunakan
modifikasimanual dari WWF dan PKSPL (2012), pemberian skor untuk
setiap atribut ditentukan dengan menggunakan skala Likert (Tabel 1).
Dalam analisis RAPFISH, MDS digunakan untuk membangun peta
yang menggambarkan hubungan antar sejumlah objek berdasarkan tabel
jarak antar beberapa objek (Manly, 1994 dalam Alder et al., 2000). MDS
dalam RAPFISH didasarkan pada meta distantance, dalam aplikasi MDS
digunakan kuadrat jarak Euclidean (Pitcher, 1999 dalam Alder et al.,
2000). Kemudian dilakukan normalisasi nilai hasil skoring terhadap
Kuadrat Jarak Euclidean. Dalam analisis MDS, analisis tersebut
digunakan formula sebagai berikut : = ( )/ dimana: =
adalah rata-rata (mean) dan = standar deviasi. Sedangkan untuk
melakukan analisis dalam masing-masing dimensi maka dilakukan analisis
multivariat ke dalam peta layang-layang (Gambar 6).
24
Gambar 8. Analisis Multivariate dalam Teknik RAPFISH (Alder et al., 2000 dalam Taryono, 2002).
4 Analisis Tematik Pengelolaan Perikanan Ikan Terbang
4.1. Domain Habitat dan Ekosistem
Ekosistem ikan terbang di Selat Makassar WPP-713 belum
tercemar secara fisik maun secara kimiawi oleh bahan berbahaya dan
beracun (B3) dan tidak terjadi indikasi eutrofikasi. Beberapa indikator
yang menunjukkan kualitas perairan WPP-713 cukup baik adalah
kecerahan tinggi (11-21 m), kekeruhan rendah (5-10 mg/m3), dan khlorofil
(0.3-0.9 mg/m3). Habitat pantai kemungkinan dapat berpengaruh
terhadap kualitas perairan dan tingkat kesuburan habitat ikan terbang di
daerah lepas pantai, misalnya tutupan terumbu karang yang cukup tinggi,
kerapatan dan luasan mangrove. Di Sulawesi Selatan pengaruh hutan
mangrove terhadap kesuburan lepas pantai kemungkinan berkurang
akibat kemunduran luasan hutan mangrove dari 150.000 ha pada tahun
1970 menjadi 77.000 ha pada tahun 2010. Selain itu, kesuburan habitat
ikan terbang bisa dipengaruhi oleh umbalan massa air atau upwelling di
Selat Makassar yang terjadi setiap musim Timur dengan luas sekitar
480.000 km2. Perairan inilah menjadi daerah pemijahan (spawning
ground), daerah asuhan (nursery ground), dan daerah penangkapan
(fishing ground) ikan terbang karena merupakan daerah yang subur dan
kaya makanan. Tutupan lamun yang rendah, estuary yang banyak
mengalami pendangkalan dan sedimentasi kemungkinan pengaruhnya
E t ik a
E k o lo g i sE k o n o m i s
T e k n is
S o s i a l
P e r i k a n a n A
P e r i k a n a n B
B a d
G o o dG o o d
25
terhadap kesuburan habitat ikan terbang daerah lepas pantai lebih rendah
dibandingkan dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang. Di
beberapa habitat terumbu karang sudah ada laporan dampak perubahan
iklim seperti bleaching namun skalanya relative kecil atau masih terbatas
seperti spot-spot tertentu di beberapa pulau di Kepulauan Spermonde.
Usaha atau kegiatan strategi adaptasi dan mitigasi yang sudah dilakukan
antara lain adalah kegiatan penelitian yang terkait mitigasi, rehabilitasi
ekosistem bakau di beberapa Kabupaten seperti Sinjai , Wajo, Bone,
Luwu, Pangkep, dan Barru. Kegiatan lain adalah rehabilitasi atau
transplantasi terumbu karang di beberapa pulau di Kota Makassar dan
beberapa pulau di Kepulauan Kabupaten Pangkajene.
4.2. Domain Sumberdaya Ikan
Ikan terbang sudah mengalami overeksploitasi yang diindikasikan
oleh merosotnya produksi telur dan produksi ikan terbang dari tahun 1985-
2011 (Gambar 6) (Dinas Perikanan Propinsi Sulawesi Selatan, 2012).
Gambar 6. Perkembangan produksi telur dan ikan terbang 1985-2011
(Sumber: Dinas Perikanan Sulsel, 2012)
Kemerosotan populasi ikan terbang di Selat Makassar dan Laut
Flores juga diindikasikan oleh turunnya hasil tangkapan telur per upaya
(kg/trip). Berdasarkan hasil survey pada 10 nelayan di Selat Makassar dan
26
laut Flores di peroleh CPUE telur ikan terbang tahun 2007 rata-rata 139,4
Kg/Trip dan pada tahun 2011 rata-rata CPUE turun menjadi 91,4 Kg/tirp
kapal bale-bale (Gambar 7).
Gambar 7. Perkembangan CPUE telur ikan terbang (Kg/Trip kapal
Patorani) di Selat Makassar dan Laut Flores (Sumber: Perusahaan eksportir telur ikan terbang, 2011)
Salah satu TPI (Tempat Pendaratan Ikan) yang memiliki koperasi
perikanan dan melakukan pencatatan ikan terbang yang mendarat setiap
hari adalah TPI Lamangkia di Kabupaten Takalar. Nelayan ikan terbang
yang mendaratkan ikannya di TPI tersebut adalah nelayan berasal dari
Pangkep, Maros, Makassar dan Takalar sendiri. Daerah penangkapan
nelayan tersebut meliputi Laut Flores dan Selat Makassar. Jumlah
nelayan jaring ikan terbang yang mendaratkan ikannya di TPI tersebut
berkisar antara 40-80 buah kapal. Lama trip penangkapan setiap kapal
hanya satu hari. Berdasarkan data yang dikumpulkan dari TPI Lamangkia
Kabupaten Takalar, CPUE ikan terbang dari tahun 2002 sampai 2011
menunjukkan grafik yang berfluktuasi (Gambar 8). Pada tahun 2002
CPUE rata-rata 231,23 kg/trip kemudian pada tahun 2004 turun menjadi
199,0 kg/trip, kemudian kembali naik menjadi 235,44 kg/trip pada tahun
2006, lalu turun terus hingga tahun 2010 menjadi 96,83 kg/trip. Grafik ini
menunjukkan bahwa CPUE ikan terbang cenderung fluktuatif namun
CPUE antara tahun 2005 sampai 2011 terus menurun.
27
Gambar 8. Perkembangan CPUE ikan terbang (Kg/Trip) Selat Makassar
dan Laut Flores (Sumber: TPI Lamangkia Kabupaten Takalar, 2012).
Gambar 9. Perkembangan Volume ekspor telur ikan terbang (Ton)
(Sumber: Dinas Perikanan Sulsel, 2012).
Selain itu, volume ekspor telur ikan terbang juga cenderung
menurun yaitu pada tahun 2007 sebesar 864,4 ton kemudian turun
menjadi 600,9 ton pada tahun 2010 (Gambar 9). Penurunan volume
ekspor telur ikan terbang di Sulawesi Selatan kemungkinan juga
28
disebabkan karena telur dari luar yang biasanya masuk ke Makassar,
sekarang sudah dikirim melalui Ambon dan Surabaya.
Indikator kelebihan penangkapan juga diperlihatkan oleh
perubahan rata-rata ukuran panjang total dan panjang cagak. Antara
tahun 1977 dengan tahun 2012 rata-rata panjang total turun dari 202 mm
menjadi 196 mm dan rata-rata panjang cagak dari 172 mm menjadi 166
mm. Degradasi stok ikan terbang di Selat Makassar dan laut Flores juga
ditandai adanya pergeseran daerah penangkapan telur ke lokasi yang
lebih jauh seperti ke Laut Seram, Laut Arafura, dan Laut Banda. Kejadian
ini disebabkan oleh karena belum ada pengendalian upaya penangkapan
telur dan induk ikan yang terjadi secara berlebihan di Selat Makassar dan
laut Flores. Dua jenis alat yang digunakan dalam perikanan ikan terbang
yaitu bale-bale dan jaring insang hanyut tidak menangkap spesies non
target atau spesies endangered, treatned, dan protected (ETP).
4.3. Domain Teknik Penangkapan Ikan
Teknik penangkapan ikan masih ada yang tidak ramah lingkungan
misalnya frekwensi penggunaan bom ikan masih tinggi yaitu mencapai
10-25 kali setiap tahun. Kegiatan ini kemungkinan juga berdampak
terhadap habitat dan ekosistem ikan terbang.
Gambar 10. Kiri (pakkaja) dan kanan (bale-bale).
Perubahan alat tangkap telur ikan terbang dari pakkaja menjadi
bale-bale (Gambar 10) yang terjadi mulai pada tahun 1990 merupakan
salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan penangkapan
29
telur ikan terbang. Bale-bale ini sasarannya hanya telur ikan terbang
sehingga memiliki kapasitas penangkapan telur sangat tinggi yaitu bisa
mencapai 150-200 kg telur /trip sedangkan pakkaja hanya 50-100 kg/trip.
Selain kapasitas alat tangkap meningkat, juga terjadi peningkatan jumlah
upaya dan jumlah bale-bale dalam penangkapan telur ikan terbang.
Semakin banyak bale-bale yang digunakan maka peluang untuk
mendapatkan telur lebih banyak.
Peningkatan kapasitas alat tangkap juga terjadi pada jaring insang
hanyut yaitu adanya kecenderungan nelayan menambah panjang jaring
penambahan panjang jaring dari 500-1000 m menjadi 1000-1500 m.
Pembatasan panjang jaring maupun ukuran mata jaring sudah dituangkan
pada peraturan dalam RPP ikan terbang di Selat Makassar dan laut Flores
(WPP-713). Alat tangkap jaring insang hanyut merupakan salah satu
faktor penyebab stok ikan terbang merosot karena jaring insang hanyut
menangkap >60% induk-induk ikan matang gonad yang belum mijah
dimana didalam gonad betina masih terkandung telur yang jumlahnya
cukup besar. Kapal penangkapan telur ikan terbang (Gambar 11)
dilengkapi dengan mesin kekuatan 240-300 PK baik yang beroperasi di
Selat Makassar maupun yang beroperasi di laut Seram. Pada umumnya
kapal penangkap telur ikan terbang memiliki sertifikat awak kapal sesuai
aturan.
Gambar 11. Kiri (bentuk kapal telur ikan terbang Galesong Takalar),
kanan (kapal telur ikan terbang Pambusuang Polman).
30
4.4. Domain Sosial
Salah satu penilaian indikator domain sosial dalam pengelolaan
ikan terbang adalah partisipasi pemangku kepentingan pada waktu
penyusunan RPP Ikan terbang Selat Makassar dan Laut Flores.
Partisipasi pemangku kepentingan cukup tinggi karena setiap kali
pertemuan diikuti oleh wakil nelayan bale-bale, nelayan jaring insang
hanyut, tokoh nelayan, pengusa eksportir telur, pengolah telur ikan
terbang, pengolah ikan terbang, pedagang ikan terbang, pemerintah
daerah, KKP Pusat, DKP Propinsi, DKP Kabupaten dan Kota yang terlibat
dalam pemanfaatan sumberdaya ikan terbang, Perguruan Tinggi, dan
Lembaga Penelitian. Pertemuan ini dilakukan beberapa kali mulai dari
tingkat Kabupaten, Provinsi sampai dengan di Tingkat Nasional.
Konflik yang terjadi pada perikanan ikan terbang adalah konflik
antara alat tangkap jaring insang hanyut yang menangkap ikan terbang
dan alat tangkap bale-bale yang menangkap telur ikan terbang di
Galesong Takalar. Nelayan bale-bale keberatan terhadap nelayan jaring
insang hanyut karena penangkapan induk ikan akan menurunkan hasil
tangkapan telur karena ikan tertangkap oleh jaring sebelum memijah.
Sebaliknya nelayan jaring insang hanyut keberatan atas penangkapan
telur karena akan mengurangi hasil tangkapan pada tahun berikutnya.
Sedangkan di Majene konflik seperti ini tidak terjadi, karena ada
pengetahuan atau kearifan lokal bahwa populasi ikan terbang yang akan
memijah tahun berikutnya bukanlah populasi ikan yang memijah tahun ini
karena ikan terbang mengalami kematian setelah memijah berulang-ulang
dalam satu musim pemijahan. Sehingga penangkapan induk yang telah
memijah sebaiknya tetap dilakukan. Informasi kematian ikan terbang
pasca pemijahan atau post spawning mortality dan usia ikan terbang lebih
satu tahun sesuai hasil penelitian Mahon, et al. (1986) dengan metode
frekwensi panjang; Campana et al. (1993) dengan metode pengamatan
otolit dengan radio isotop. Selain konflik penggunaan alat tersebut di atas
juga terjadi konflik penggunaan jalur penangkapan antara perikanan
31
rakyat (perikanan tradisional) yang digunakan oleh jaring insang hanyut
dengan perikanan tangkap yang menggunakan kapal ukuran besar.
Terdapat pengetahuan tradisional seperti mengetahui keberadaan
ikan terbang yang digunakan dalam proses penangkapan: (1) cahaya
memutih yang kelihatan dari kejauhan diyakini sebagai cahaya yang
dikeluarkan oleh ikan terbang, (2) penggunaan penciuman mengenali bau
khas ikan terbang, (3) mencelupkan tangan sampai siku, apabila “terasa
hangat” diyakini terdapat gerombolan ikan terbang (4) kehadiran
gerombolan burung laut yang memiliki bentuk paruh bebek warna merah
maupun hitam, (5) pengetahuan nelayan telur ikan terbang di Majene
bahwa ikan terbang bertelur beberapakali (parsial spawning) dalam satu
musim kemudian mati pasca pemijahan.
4.5. Domain Ekonomi
Pertambahan nilai asset nelayan ikan terbang merupakan salah
satu indikator ekonomi yang dapat menunjukkan keberhasilan
peningkatan ekonomi nelayan dalam pengelolaan. Berdasarkan hasil
pengamatan dan wawancara baik terhadap nelayan bale-bale maupun
nelayan jaring insang hanyut tidak menunjukkan adanya pertambahan
asset seperti jumlah kapal dan mesin. Yang terjadi hanyalah
pertambahan kapasitas unit alat seperti penambahan jumlah bale-bale,
penambahan panjang jaring, perubahan kapasitas mesin. Berdasarkan
data dari Pusadatin penerimaan terhadap pengeluaran nelayan ikan
terbang berkisar antara 104,53-112,63.
Pendapatan rata-rata nelayan telur ikan terbang di Selat Makassar
dan laut Flores (WPP-713) berkisar antara Rp.473.000-Rp.1.203.000 per
bulan atau rata-rata Rp. 838.062 masih dibawah UMR Sulawesi Selatan
sebesar Rp. 1.190.000 per bulan kecuali nelayan yang menangkap di Laut
Seram (WPP-715) yaitu antara Rp.1.020.833-Rp.1.750.000 atau rata-rata
Rp.1.385.416 perbulan lebih tinggi dari nilai UMR Sulawesi Selatan.
Perbedaan ini disebabkan oleh karena Laut Seram adalah daerah
penangkapan baru dinama stok ikan terbangnya belum merosot seperti di
Selat Makassar dan laut Flores. Namun apabila tidak dikendalikan dengan
32
baik maka stok ikan terbang di laut Seram juga akan mengalami kondisi
yang sama di Selat Makassar.
Saving rate nelayan ikan terbang negatif, rata-rata pengeluaran
nelayan lebih tinggi dari rata-rata pendapatan perbulannya (potensi
berhutangnya masih lebih tinggi). Kondisi ini disebabkan antara lain oleh
karena; pendapatan nelayan rendah, pola pikir nelayan yang konsumtif,
pola pikir bahwa pendapatan hari ini untuk kebutuhan hari ini, dan
ketergantungan hutang pada ponggawa.
4.6. Domain Kelembagaan
Kepatuhan nelayan terhadap peraturan formal masih tergolong
rendah karena masih terjadi pelanggaran 10-25 kali setiap tahun seperti
penggunaan bom ikan dan pelanggaran jalur penangkapan, sedangkan
kepatuhan terhadap peraturan non formal tidak ada karena tidak ada
peraturan-peraturan non formal yang berkaitan dengan penangkapan telur
ikan terbang. Kegiatan tradisional atau upacara ritual sebelum turun ke
laut masih tetap dilakukan terutama nelayan Galesong Takalar,
sedangkan upacara ritual nelayan Pambusuang Polman sudah banyak
ditinggalkan. Mekanisme pengambilan keputusan misalnya dalam
penyusunan RPP ikan terbang berjalan baik karena diikuti oleh hampir
semua stakeholders yang diawali dengan lokakarya akademik,
pertemuan nasional, provinsial, sampai ke kabupaten.
RPP ikan terbang sudah ada dan telah disepakati pada bulan
Juni 2011 hanya menunggu pengesahan Kementerian Kelautan dan
Perikanan. Selain itu di Kabupaten Majene ada Surat Keputusan Bupati
Majene No. 552/HK/KEP-BUP/III/2011 tentang Pelaksana Kegiatan
Penyelamatan Populasi Ikan Terbang melalui penebaran bale-bale yang
dilakukan oleh pemerintah bekerjasama dengan kelompok masyarakat
(kelompok konservasi).
Penegakan aturan main atau peraturan peangkapan ikan belum
berjalan effektif karena keterbatasan SDM, sarana prasarana, dan
koordinasi yang lemah. Walaupun sudah ada sarana kapal patroli
pengawas namun belum dapat dimanfaatkan secara optimal karena
33
keterbatasan biaya operasional. Hampir semua Propinsi sudah ada unsur
penegakan hukum seperti PPNS perikanan, POLRI, AL namun
penegakan hukum belum berjalan optimal karena belum ada sistem
koordinasi yang baik antar lembaga penegak hukum.
Di dalam RPP ikan terbang sudah ada keputusan yang disepakati
bersama oleh pemangku kepentingan namun belum dapat dijalankan
secara effektif karena belum mendapat pengesahan dari KKP. Beberapa
aturan yang disepakati dan sudah disosialisasikan antara lain: (1)
larangan penggunaan ukuran mata jaring kecil (<1,5 inch), (2) larangan
penggunaan panjang jaring >1500 m, (3) kewajiban melepaskan bale-
bale setelah penangkapan berakhir bagi penangkap telur. Selain itu
regulasi yang disepakati: (1). Pemulihan Stok yaitu; pemerintah daerah
melakukan pemantauan CPUE secara periodik triwulanan dan tahunan,
penerapan bale-bale untuk konservasi dalam setiap operasi penangkapan
telur sebanyak 10% dari jumlah bale-bale per trip, penebaran benih ikan
terbang atau restoking. (2) Standarisasi alat tangkap jaring insang hanyut
yaitu panjang jaring dan mesh size; standarisasi alat tangkap bale-bale
yaitu jumlah maksimal bale-bale untuk kapal tipe kecil (<5GT) maksimal
15 unit dan untuk tipe kapal besar (>5 GT) maksimal 30 unit bale-bale. (3)
Penguatan data informasi: penyusunan basis data yang akurat terkait
jumlah produksi (telur dan ikan), jumlah kapal penangkap, jumlah dan
ukuran alat tangkap dan jumlah nelayan yang terlibat, lnventarisasi
potensi daerah penangkapan dan keanekaragaman jenis ikan terbang di
wilayah lndonesia. (4) Penataan perijinan : penerbitan dan pembatasan
izin penangkapan telur dan ikan terbang. (5) Pengembangan tehnologi
pengolahan dan pemasaran yaitu; mengadakan penelitian dan pelatihan
teknologi pengolahan untuk meningkatkan kualitas produk ikan dan telur
ikan terbang untuk pemasaran dalam dan luar negeri. (5) Peningkatan
koordinasi dan penguatan kelembagaan yaitu Pembinaan kepada nelayan
untuk membentuk /memperkuat kelompok nelayan yang dapat berfungsi
membantu kepentingan nelayan dalam berbagai forum sosial.
Penyeragaman kesepakan ini belum lengkap: misalnya penggunaan mata
jaring, panjang jaring, ukuran setiap unit bale-bale, waktu penggunaan
34
jaring dan bale-bale. Beberapa aturan main yang telah disosialisasikan di
Majene sudah dilaksanakan oleh masyarakat antara lain batas ukuran
mata jaring yang digunakan dan penebaran bale-bale di daerah pemijahan
ikan terbang.
Kebijakan antar instansi masih tidak saling mendukung, salah satu
contohnya adalah kebijakan pembinaan teknis oleh lembaga Dinas
Perikanan dan Kelautan sudah dilakukan seperti dalam kegiatan
penangkapan tetapi belum didukung oleh kebijakan permodalan oleh
lembaga keuangan seperti perbankan sehingga nelayan tetap bergantung
pada pengijon untuk memperoleh permodalan walaupun dengan bunga
tinggi atau sistem bagi hasil yang tidak adil, sehingga nelayan tetap
berpendapatan rendah.
Peningkatan kapasitas pemangku kepentingan dalam pengelolaan
ikan terbang dilakukan setiap tahun. Kegiatan ini masih terbatas
dilakukan dalam pertemuan anggota FPPS untuk WPP-713 melalui
pemberian materi pengetahuan tentang kondisi perikanan ikan tervbang,
materi yang terkait dengan pengelolaan perikanan berbasis ekosistem.
Otoritas pengelolaan ikan terbang masih bersifat single authority
dimana perencanaan, pengelolaan, pengawasan masih dibawah kendali
pemerintah (KKP, DKP Provinsi atau DKP Kabupaten) namun tetap
melibatkan partisipasi masyarakat sebagai pemangku kepentingan.
5 Analisis Komposit Pengelolaan Perikanan
5.1.1 Domain Habitat dan Ekosistem
NO INDIKATOR KRITERIA SKOR BOBOT (%) RANK NILAI
1 Kualitas perairan
1= tercemar; 2=tercemar sedang; 3= tidak tercemar
3 20 1 60
1= kecerahan 0-5 meter. 2= keserahan 5-10 meter. 3= kecerahan > 10 meter.
3
35
1= > 20 mg/m^3 konsentrasi tinggi ; 2= 10-20 mg/m^3 konsentrasi sedang; 3= <10 mg/m^3 konsentrasi rendah Satuan NTU
3
1= konsentrasi klorofil a > 10 mg/m^3 terjadi eutrofikasi; 2= konsentrasi klorofil a 1-10 mg/m^3 potensi terjadi eutrofikasi; dan 3= konsentrasi klorofil a <1 mg/m^3 tidak terjadi eutrofikasi
3
2 Status lamun 1=tutupan rendah, 29,9%;
2=tutupan sedang, 30-49,9%; 3=tutupan tinggi, 50%
1 15 2 7.5
3 Status mangrove
1=kerapatan rendah, <1000 pohon/ha, tutupan <50%; 2=kerapatan sedang 1000-1500 pohon/ha, tutupan 50-75%; 3=kerapatan tinggi, >1500 pohon/ha, tutupan >75%
1 15 2 7.5
1= luasan mangrove berkurang dari data awal; 2= luasan mangrove tetap dari data awal; 3= luasan mangrove bertambah dari data awal
1
4 Status terumbu karang
1=tutupan rendah, <25%; 2=tutupan sedang, 25-49,9%; 3=tutupan tinggi, >50%
2 15 2 15
5 Habitat khusus ikan terbang yaitu daerah upwelling untuk spawning ground, nursery ground, feeding ground.
1=tidak diketahui adanya ekosistem upwelling. 2=diketahui adanya ekosistem upwelling belum dikelola dengan baik.
3 15 3 45
3 = diketahui adanya ekosistem upelling dan dikelola dengan baik.
6 Status dan produktivitas Estuari dan perairan sekitarnya
1=produktivitas rendah; 2=produktivitas sedang; 3=produktivitas tinggi
2 10 4
36
7 Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat
> State of knowledge level : 1= belum adanya kajian tentang dampak perubahan iklim; 2= diketahui adanya dampak perubahan iklim tapi tidak diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi; 3 = diketahui adanya dampak perubahan iklim dan diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi
2 10 5 25
> state of impact (key indicator menggunakan terumbu karang): 1= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching >25%); 2= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching 5-25%); 3= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching <5%)
3
RERATA TOTAL
TOTAL
1.6875 100
160
5.1.2 Domain Sumberdaya Ikan
NO INDIKATOR KRITERIA SKOR BOBOT (%) RANK NILAI
1 CPUE Ikan Terbang dan Telur Ikan Terbang
1= menurun tajam; 2= menurun sedikit; 3 = stabil atau meningkat.
1 40 1 (Killer Indicator)
60
1= menurun tajam; 2= menurun sedikit; 3 = stabil atau meningkat.
2
2 Ukuran ikan 1 = trend rata-rata ukuran ikan semakin kecil; 2= Trend ukuran relatif menurun sedikt. 3: trend ukuran semakin panjang
2 20 2 40
37
3 Kematangan 1 = Ikan matang Gonad (TKG III dan IV) belum mijah tertangkap >60%. 2 = Ikan matang gonad (TKG III dan IV) belum pernah mijah tertangkap 30-60 %. 3 =Ikan matang Gonad (TKG III dan IV) belum mijah tertangkap <30 %
1 20 3 20
4 Komposisi spesies
1 = proporsi target lebih sedikit 2 = proporsi target sama dgn non-target 3 = proporsi target lebih banyak
3 10 4 30
5 Spesies ETP 1= banyak tangkapan spesies ETP; 2= sedikit tangkapan spesies ETP; 3 = tidak ada spesies ETP yang tertangkap
3 5 6 15
6 "Range Collapse" sumberdaya ikan
1 = semakin sulit; 2 = relatif tetap; 3 = semakin mudah
2 5 5 10
1 = fishing ground menjadi sangat jauh 2= fishing ground jauh 3= fishing ground relatif tetap jaraknya
2
RERATA TOTAL
TOTAL 2 100 175
5.1.3 Domain Teknik Penangkapan ikan
NO INDIKATOR KRITERIA SKOR BOBOT (%) RANK NILAI
1 Metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal
1=frekuensi pelanggaran > 10 kasus per tahun ; 2 = frekuensi pelanggaran 5-10 kasus per tahun ; 3 = frekuensi pelanggaran <5 kasus per tahun
1 20 1 (Killer Indicat
or)
20
2 Perubahan alat tangkap telur ikan terbang.
1 = Hasil tangkapan telur meningkat >100 % 2 = Hasil tangkapan meningkat 25-50 % 3 = Hasdil tangkapan telur meningkat 0-25%.
1 20 2 20
38
3 Perubahan alat tangkap jaring insang hanyut.
1 = hasil tangkapan meningkat >3 kali lipat 2 = hasil tangkapan meningkat 1-2 kali lipat. 3 = hasil tangkapan tetap.
1 20 2 20
4 Fishing capacity dan Effort
1 = R kecil dari 1; 2 = R sama dengan 1; 3 = R besar dari 1
1 15 3 15
5 Selektivitas Alat Tangkap jaring terhadap TKG
1 = Selektivitas rendah (> 75%) terhadap ikan matang gonad. 2 = Selektivitas sedang (50-75%) terhadap ikan matang gonad. 3 =Selektivitas tinggi (kurang dari 50%) terhadap ikan matang gonad.
1 15 4 15
6 Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal
1 = kesesuaiannya rendah (lebih dari 50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); 2 = kesesuaiannya sedang (30-50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); 3 = kesesuaiannya tinggi (kurang dari 30%) sampel tidak sesuai dengan dokumen legal
3 5 5 15
7 Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan.
1 = Kepemilikan sertifikat <50%; 2 = Kepemilikan sertifikat 50-75%; 3 = Kepemilikan sertifikat >75%
3 5 6 15
RERATA TOTAL
TOTAL
1.5714286 100
120
39
5.1.4 Domain sosial
NO INDIKATOR KRITERIA SKOR BOBOT (%) RANK NILAI
1 Partisipasi pemangku kepentingan
1 = kurang dari 50%; 2 = 50-75%; 3 = 75-100 %
3 40 1 120
2 Konflik perikanan
1 = lebih dari 5 kali/tahun; 2 = 2-5 kali/tahun; 3 = kurang dari 2 kali/tahun
1 35 2 35
3 Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK, traditional ecological knowledge)
1 = tidak ada; 2 = ada tapi tidak efektif; 3=ada dan effektif.
3 25 3 75
RERATA TOTAL TOTAL
2.3333333 100
230
5.1.5 Domain Ekonomi
NO INDIKATOR KRITERIA SKOR BOBOT (%) RANK NILAI
1 kepemilikan aset
1 = nilai aset berkurang (<50%) ; 2 = nilai aset tetap (25-50%); 3 = nilai aset bertambah (>50%)
2 35 1 70
2 Nilai Tukar Nelayan (NTN)
1 = kurang dari 100, 2 = Sama dengan 100, 3 = lebih dari 100
3 30 2 90
3 Pendapatan rumah tangga (RTP)
1= kurang dari rata-rata UMR, 2= sama dengan rata-rata UMR, 3 = > rata-rata UMR
1 20 3 20
4 Saving rate 1 = kurang dari bunga kredit pinjaman; 2 = sama dengan bungan kredit pinjaman; 3 = lebih dari bunga kredit pinjaman
1 15 4 15
RERATA TOTAL TOTAL 1.75 100 195
40
5.1.6 Domain Kelembagaan
NO INDIKATOR KRITERIA SKOR BOBOT (%) RANK NILAI
1 Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal (Alat)
1= lebih dari 5 kali terjadi pelanggaran hukum dalam pengelolaan perikanan; 2 = 2-4 kali terjadi pelanggaran hukum; 3 = kurang dari 2 kali pelanggaran hukum
1 25 1 50
Non formal 1= lebih dari 5 informasi pelanggaran, 2= lebih dari 3 informasi pelanggaran, 3= tidak ada informasi pelanggaran
3
2 Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan
1 = tidak ada; 2 = ada tapi tidak lengkap; 3 = ada dan lengkap
2 22 2 57.2
Elaborasi untuk poin 2 1= ada tapi jumlahnya berkurang; 2= ada tapi jumlahnya tetap; 3= ada dan jumlahnya bertambah
3
1=tidak ada penegakan aturan main; 2=ada penegakan aturan main namun tidak efektif; 3=ada penegakan aturan main dan efektif
2
41
1= tidak ada alat dan orang; 2=ada alat dan orang tapi tidak ada tindakan; 3= ada alat dan orang serta ada tindakan
3
1= tidak ada teguran maupun hukuman; 2= ada teguran atau hukuman; 3=ada teguran dan hukuman
3
3 Mekanisme pengambilan keputusan
1=tidak ada mekanisme pengambilan keputusan; 2=ada mekanisme tapi tidak berjalan efektif; 3=ada mekanisme dan berjalan efektif
3 18 3 54
1= ada keputusan tapi tidak dijalankan; 2= ada keputusan tidak sepenuhnya dijalankan; 3= ada keputusan dijalankan sepenuhnya
2
4 Rencana pengelolaan perikanan
1=belum ada RPP; 2=ada RPP namun belum sepenuhnya dijalankan; 3=ada RPP dan telah dijalankan sepenuhnya
2 15 4 30
5 Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan
1=konflik antar lembaga (kebijakan antar lembaga berbeda kepentingan); 2 = komunikasi antar lembaga tidak efektif; 3 = sinergi antar lembaga berjalan baik
2 11 5 22
1= terdapat kebijakan yang saling bertentangan; 2 = kebijakan tidak saling mendukung; 3 = kebijakan
2
42
saling mendukung 6 Kapasitas
pemangku kepentingan
1=tidak ada peningkatan; 2 = ada tapi tidak difungsikan; 3 = ada dan difungsikan
2 5 6 10
7 Keberadaan otoritas tunggal pengelolaan perikanan
1= tidak ada single authority ; 2 = lebih dari satu authority; 3 = ada single authority
3 4 7 12
RERATA TOTAL
TOTAL
2.357143 100
235.2
6 Pembahasan
6.1 Metode dan analisa indikator EAFM yang digunakan 6.1.1. Domain Habitat dan Ekosistem
6.1.1.1. Kualitas perairan:
Indikator penilaian pencemaran tetap digunakan kriteria yaitu
1.Tercemar; 2. Tecemar sedang dan 3. Tercemar Berat. Penelusuran
kejadian pencemaran limbah B3 di Selat Makassar dilakukan melalui
wawancara dengan staf peneliti di di LP3M Unhas, PPLH Unhas,
Puslitbang Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Unhas, dan BPSPL
Maros. Menurut staf peneliti di ketiga lembaga tersebut bahwa belum
terjadi pencemaran limbah B3 pada daerah pemijahan maupun di daerah
penagkapan ikan terbang di Selat Makassar dan laut Flores WPP 713,
karena lokasi penangkapan ikan terbang tergolong jauh dan merupakan
laut lepas.
Indikator Tingkat kecerahan perairan tetap menggunakan kiriteria
yaitu; 1. Kecerahan 0-5 m; 2. Kecerahan 5-10 m; 3. Kecerahan > 10 m.
Metode yang digunakan adalah metode Seiche Dish.
Indikator tingkat kekeruhan tetap menggunakan kriteria yaitu; 1. >
20 mg/m3 konsentrasi tinggi; 2. 10-20 mg/m3 konsentrasi sedang; 3. <10
mg/m2 konsentrasi rendah (satuan NTU). Metode yang digunakan adalah
Turbidimeter.
43
Indikator eutrofikasi tetap menggunakan kiriteria dalam buku
petunjuk Modul Penilaian Indikator dari EAFM. Kiriteria tersebut adalah:
1= konsentrasi klorofil a > 10 mg/m^3 terjadi eutrofikasi; 1= konsentrasi
klorofil a > 10 mg/m^3 terjadi eutrofikasi; 3= konsentrasi klorofil a <1
mg/m^3 tidak terjadi eutrofikasi. Adalah analisis khlorofil melalui analisis
citra.
6.1.1.2. Status lamun:
Indikator kondisi lamun yang digunakan adalah luasan tutupan
lamun dengan kriteria yaitu ; 1=tutupan rendah, 29,9%; 2=tutupan
sedang, 30-49,9%; 3=tutupan tinggi, 50%. Sedangkan indikator
keanekaragaman lamun dinilai tidak terlalu penting pengaruhnya terhadap
kondisi kesuburan di daerah laut lepas sebagai daerah pemijahan ikan
terbang. metode yang digunakan Wawancara dengan Staf Peneliti
Puslitbang Laut, Pesisisr dan Pulau Kecil Unhas.
6.1.1.3. Status mangrove:
Indikator status mangrove menggunakan kerapatan dan luasan
mangrove, adapun kriteria kerapatan mangrove yaitu ; 1=kerapatan
rendah, <1000 pohon/ha, tutupan <50%; 2=kerapatan sedang 1000-1500
pohon/ha, tutupan 50-75%; 3=kerapatan tinggi, >1500 pohon/ha, tutupan
>75% dan untuk luasan mangrove yaitu 1= luasan mangrove berkurang
dari data awal; 2= luasan mangrove tetap dari data awal; 3= luasan
mangrove bertambah dari data awal, sedangkan kriteria keanekaragaman
dan jenis mangrove tidak terlalu relevan dengan status ikan terbang.
6.1.1.4. Status terumbu karang
Indikator status terumbu karang yang digunakan adalah persentase
tutupan karang yaitu ; 1=tutupan rendah, <25%; 2=tutupan sedang, 25-
49,9%; 3=tutupan tinggi, >50%. sedangkan kriteria keanekaragaman
terumbu karang tidak terlalu relevan terhadap ekosistem ikan terbang.
Data yang digunakan adalah data hasil penelitian Coremap SULSEL yang
menggunakan metode transek.
44
6.1.1.5. Habitat Habitat khusus ikan terbang yaitu daerah upwelling untuk spawning ground, nursery ground, feeding ground.
Indikator ini tetap digunakan sesuai petunjuk pendekatan ekosistem
dalam pengelolaan perikanan (WWF, KKP, dan IPB, 2012) yaitu ; 1=tidak
diketahui adanya ekosistem upwelling; 2=diketahui adanya ekosistem
upwelling belum dikelola dengan baik; 3 = diketahui adanya ekosistem
upwelling dan dikelola dengan baik. Data yang digunakan adalah data
sekunder yaitu hasil analisis citra satelit dan wawancara dengan staf dinas
perikanan dan nelayan.
6.1.1.6. Status dan produktivitas Estuari dan perairan sekitarnya
Indikator status dan produktivitas estuari menggunakan kriteria
yaitu ; 1=produktivitas rendah; 2=produktivitas sedang; 3=produktivitas
tinggi. Metode pemgumpulan data sekunder (hasil penelitian) yang telah
dilakukan oleh BPSPL (Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut),
dan Puslitbang Laut, Pesisir dan Pulau Kecil LP2M Unhas.
6.1.1.7. Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat
Indikator perubahan iklim terhadap kondisi habitat perairan
menggunakan pendekatan state of knowledge level dan state of impact
(key indicator menggunakan terumbu karang), adapun kriteria state of
knowledge level yaitu ; 1= belum adanya kajian tentang dampak
perubahan iklim; 2= diketahui adanya dampak perubahan iklim tapi tidak
diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi; 3 = diketahui adanya dampak
perubahan iklim dan diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi; dan
untuk kriteria state of impact (key indicator menggunakan terumbu karang)
yaitu ; 1= habitat terkena dampak perubahan iklim (coral bleaching >25%);
2= habitat terkena dampak perubahan iklim (coral bleaching 5-25%); 3=
habitat terkena dampak perubahan iklim ( coral bleaching <5%). Metode
penilaian indikator tersebut dilakukan melalui wawancara dan diskusi
dengan peneliti terumbu karang UNHAS dan para penyelam yang
45
berpengalaman dan selalu melakukan monitoring terumbu karang di
Kepulauan Spermonde.
6.1.2. Domain Sumberdaya Ikan
6.1.2.1. CPUE Ikan Terbang
Indikator CPUE tetap menggunakan kriteria yaitu 1= menurun
tajam; 2= menurun sedikit; 3 = stabil atau meningkat. Metode yang
digunakan adalah analisis CPUE (Kg/trip) menggunakan data pendaratan
ikan terbang di TPI Lamangkia Kabupaten Takalar, 2007-2011 sedangkan
untuk CPUE telur (Kg/Kapal Bale-Bale) dianalisis berdasarkan jumlah
kapal dan hasil tangkapan yang tercatat di Perusahaan eksportir telur
dan pedagang pengumpul (CV. Indah sari, CV. Putra Galesong mandiri,
dan CV. Rahman Jaya).
6.1.2.2. Ukuran ikan terbang
Indikator Ukuran ikan yang digunakan adalah panjang cagak (Fork
Length). Kriteria yang digunakan sesuai dengan indikator yang telah
disusun oleh KKP, WWF dan IPB (2012) yaitu 1 = trend rata-rata ukuran
ikan semakin kecil; 2= Trend ukuran relatif menurun sedikt. 3: trend
ukuran semakin panjang. Metodologi yang digunakan adalah Uji
perbandingan rata-rata panjang ikan 1977 dengan rata-rata panjang ikan
tahun 2012.
6.1.2.3. Kematangan
Indikator persentase Ikan fase matang (ikan yang mempunyai TKG
III dan TKG IV) menggunakan kriteria ; 1 = Ikan matang Gonad (TKG III
dan IV) belum mijah tertangkap >60%; 2 = Ikan matang gonad (TKG III
dan IV) belum pernah mijah tertangkap 30-60 %; 3 = Ikan matang gonad
(TKG III dan IV) belum pernah mijah tertangkap < 30 %. Metode yang
digunakan adalah menganalisis TKG 1257 sampel ikan terbang yang
tertangkap dengan jaring insang hanyut. Analisis TKG menggunakan
Metode Lewis, et al. (1988) yaitu:
46
6.1.2.4. Komposisi spesies
indikator Komposisi spesies menggunakan kriteria ; 1 = proporsi
target lebih sedikit; 2 = proporsi target sama dgn non-target; 3 = proporsi
target lebih banyak. Metodologi yang digunakan adalah mengindentifikasi
sampel ikan terbang yang tertangkap berdasarkan buku petunjuk Parin
(1999).
6.1.2.5. Spesies ETP
Indikator Spesies ETP menggunakan kriteria yaitu ; 1= banyak
tangkapan spesies ETP; 2= sedikit tangkapan spesies ETP; 3 = tidak ada
spesies ETP yang tertangkap. Metodologi yang digunakan adalah
identifikasi spesies yang tertangkap, survey dan wawancara dengan
layan. .
6.1.2.6. "Range Collapse" sumberdaya ikan
Indikator Range Collapse" sumberdaya ikan menggunakan 2
kiriteria yaitu pertama: 1 = semakin sulit ditemukan ; 2 = relatif tetap; 3 =
semakin mudah ditemukan, dan kedua ; 1 = fishing ground menjadi sangat
jauh; 2= fishing ground jauh; 3= fishing ground relatif tetap jaraknya.
Metodologi yang digunakan observasi dan wawancara dengan nelayan.
TKG Ovari Testes I. Ikan Muda Gonad sangat kecil, seperti
benang, putih, transparan. Testes berwarna buram
II. Mulai Matang Ovari berbentuk bulat, berwarna merah muda, ova baru terlihat.
Testes tebal, pipih, putih, seperti krim.
III. Matang Ovari menggelembung, warna orange atau merah muda.
Testes penuh, tebal, cembung, bentuk segitiga, berwarna putih atau abu-abu terang.
IV. Mijah Ovari keluar dengan sedikit tekanan, diameter telur mencapai 1,4 mm,
Cairan testes keluar dengan sedikit tekanan.
V. Salin. Ovari lembut, menyusut, putih, sering berwarna ungu, terdapat beberapa telur sisa
Testes menyusut dan terlihat pembuluh darah.
47
6.1.3. Domain Teknologi Penangkapan ikan
6.1.3.1. Metode penangkapan destruktif
Indikator penggunaan alat tangkap destruktif menggunakan
kriteria; 1=frekuensi pelanggaran > 10 kasus per tahun ; 2 = frekuensi
pelanggaran 5-10 kasus per tahun ; 3 = frekuensi pelanggaran <5 kasus
per tahun. Metode yang digunakan adalah mengumpulkan data Sekunder
dan melakukan wawancara dengan Dinas Perikanan Sulsel dan Sulbar.
6.1.3.2. Perubahan alat tangkap telur ikan terbang.
Indikator perubahan alat tangkap tetap menggunakan kriteria ; 1 =
Hasil tangkapan telur meningkat >100 % ; 2 = Hasil tangkapan
meningkat 25-50 %; 3 = Hasil tangkapan telur meningkat 0-25%.
Perubahan alat tangkap yang terjadi yaitu perubahan alat tangkap telur
dari pakkaja (bubu hanyut) menjadi bale-bale (fish devices agregation).
Metode penilaian hasil tangkapan dilakukan melalui wawancara dengan
nelayan telur ikan terbang.
6.1.3.3. Perubahan alat tangkap jaring insang hanyut.
Indikator perubahan alat tangkap jaring insang hanyut
menggunakan kriteria; 1 = hasil tangkapan meningkat >3 kali lipat ; 2 =
hasil tangkapan meningkat 1-2 kali lipat; 3 = hasil tangkapan tetap.
Perubahan alat tangkap jaring insang hanyut yaitu terjadi pertambahan
panjang jaring dari 500 m menjadi 1000-1500 m. Metode penilaian
perubahan hasil tangkapan dilakukan melalui wawancara dengan nelayan
ikan terbang yang menggunakan jaring insang hanyut, dan ponggawa.
6.1.3.4. Fishing capacity dan effort
Indikator fishing capacity dan effort tetap menggunakan kriteria; 1 =
R kecil dari 1; 2 = R sama dengan 1; 3 = R besar dari 1. metode yang
digunakan adalah melalukan interview, survey dan pengumpulan data.
48
6.1.3.5. Selektivitas alat tangkap jaring terhadap TKG
Indikator selektivitas alat tangkap jaring terhadap keragaman
kematangan hasil tangkapan menggunakan kriteria yaitu ; 1 = Selektivitas
rendah (> 75%) terhadap ikan matang gonad; 2 = Selektivitas sedang (50-
75%) terhadap ikan matang gonad; 3 =Selektivitas tinggi (kurang dari
50%) terhadap ikan matang gonad. Metode yang digunakan adalah
pengambilan sampel ikan, kemudian analisis tingkat kematangan gonad
dan menghitung proporsi setiap TKG.
6.1.3.6. Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan
dokumen legal
Indikator sesuai atau tidaknya fungsi dan ukuran kapal dengan
dokumen legal menggunakan kriteria; 1 = kesesuaiannya rendah (lebih
dari 50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); 2 = kesesuaiannya
sedang (30-50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); 3 =
kesesuaiannya tinggi (kurang dari 30%) sampel tidak sesuai dengan
dokumen legal. Metode yang digunakan adalah menetapkan sejumlah
sampel nelayan di Takalar, Mamuju, Majene, Pinrang, Pare-Pare
kemudian dilakukan interview.
6.1.3.7. Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan.
Indikator sertifikasi awak kapal menggunakan kriteria yaitu ;1 =
Kepemilikan sertifikat <50%; 2 = Kepemilikan sertifikat 50-75%; 3 =
Kepemilikan sertifikat >75%. Metode yang digunakan adalah menetapkan
sejumlah sampel nelayan di Takalar, Mamuju, Majene, Pinrang, Pare-
Pare kemudian dilakukan interview.
49
6.1.4. Domain Ekonomi
6.1.4.1. Kepemilikan aset
Indikator aset usaha perikanan menggunakan kriteria yaitu ; 1 =
nilai aset berkurang (<50%) ; 2 = nilai aset tetap (25-50%); 3 = nilai aset
bertambah (>50%). Metode yang digunakan adalah survey dan
wawancara dengan nelayan di Takalar, Mamuju, Majene, Pinrang, Pare-
Pare.
6.1.4.2. Nilai tukar nelayan (NTN)
Indikator nilai tukar nelayan (penerimaan terhadap pengeluaran)
menggunakan kriteria yaitu ; 1 = kurang dari 100; 2 = Sama dengan 100;
3 = lebih dari 100. Metode yang digunakan adalah penelusuran data
sekunder pada PUSDATIN tahun 2012.
6.1.4.3. Pendapatan rumah tangga (RTP)
Indikator Pendapatan total RTP menggunakan kriteria yaitu : 1=
kurang dari rata-rata UMR; 2= sama dengan rata-rata UMR 3 = > rata-rata
UMR. Metode yang digunakan adalah metode survei.pendapatan rumah
tangga perikanan.
6.1.4.4. Saving rate
Indikator saving rate atau rasio tabungan terhadap income
menggunakan kriteria yaitu ; 1 = kurang dari bunga kredit pinjaman; 2 =
sama dengan bungan kredit pinjaman; 3 = lebih dari bunga kredit
pinjaman. Metode yang digunakan adalah survey pendapatan RTP.
6.1.5. Domain Sosial
6.1.5.1. Partisipasi pemamngku kepentingan
Indikator keterlibatan pemangku kepentingan ini tetap
menggunakan kriteria yaitu ; 1 = kurang dari 50%; 2 = 50-75%; 3 = 75-
100 %. Metode yang digunakan adalah survey partisipasi pemangku
50
kepentingan dalam penyusunan RPP Ikan Terbang dan penelusuran
dokumen penyusunan RPP.
6.1.5.2. Konflik perikanan
Indikator konflik perikanan menggunakan kriteria yaitu ; 1 = lebih
dari 5 kali/tahun; 2 = 2-5 kali/tahun; 3 = kurang dari 2 kali/tahun. Metode
yang digunakan adalah interview dan FGD. Salah satu contoh
permasalahan konflik perikanan ikan terbang adalah konflik antara jaring
insang hanyut (Penangkap induk ikan terbang) dengan bale-bale
penangkap telur. Nelayan bale-bale keberatan terhadap penangkap jaring
insang karena ikan terbang tertangkap oleh jaring sebelum mengeluarkan
telurnya, sebaliknya nelayan jaring keberatan karena nelayan bale-bale
menangkap telur sehingga mengurangi hasil tangkapan ikan pada priode
berikutnya.
6.1.5.3. Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya
ikan seperti TEK ( traditional ecological knowledge)
Indikator pemanfaatan pengetahuan lokal tetap menggunakan
kriteria yaitu ; 1 = tidak ada; 2 = ada tapi tidak efektif; 3=ada dan effektif.
Metode yang digunakan adalah wawancara dengan nelayan patorani dan
tokoh masyarakat.
6.1.6. Domain Kelembagaan
6.1.6.1. Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung
jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik
secara formal maupun non-formal.
Indikator tingkat kepatuhan seluruh pemangku kepentingan WPP
mengunakan dua kriteria yaitu formal dan non formal. adapun kriteria
formal ; 1= lebih dari 5 kali terjadi pelanggaran hukum dalam pengelolaan
perikanan; 2 = 2-4 kali terjadi pelanggaran hukum; 3 = kurang dari 2 kali
pelanggaran hukum. sedangkan kriteria non formal ; 1= lebih dari 5
informasi pelanggaran; 2= lebih dari 3 informasi pelanggaran; 3= tidak ada
51
informasi pelanggaran. Metode yang digunakan adalah penulusuran
laporan pelanggaran dari kepolisian, wawancara dengan PNS DKP
SULSEL dan SULBAR.
6.1.6.2. Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan:
Indikator adanya kelengkapan regulasi (aturan main) dengan
kiriteria : 1 = tidak ada; 2 = ada tapi tidak lengkap; 3 = ada dan lengkap.
Kemudian indikator jumlah peraturan dengan kiriteria: 1= tidak bertambah;
2= ada tapi jumlahnya tetap; 3= ada dan jumlahnya bertambah. Metode
yang digunakan adalah wawancara dengan staf Dinas Perikanan dan
Kelautan dan penelusuran dokumen peraturan.
Indikator ada atau tidak ada penegakan aturan main dan
efektivitasnya menggunakan 3 pendekatan yaitu penegakan aturan main,
peralatan, dan teguran atau hukuman. Adapun kriteria penegakan aturan
main yaitu ; 1=tidak ada penegakan aturan main; 2=ada penegakan
aturan main namun tidak efektif; 3=ada penegakan aturan main dan
efektif. Indikator peralatan penegakan hukum yaitu ; 1= tidak ada alat
dan orang; 2=ada alat dan orang tapi tidak ada tindakan; 3= ada alat dan
orang serta ada tindakan. Indikator adanya teguran sanksi atau hukuman
dengan kiriteria: 1= tidak ada teguran maupun hukuman; 2= ada teguran
atau hukuman; 3=ada teguran dan hukuman. Metode yang digunakan
adalah survey dan Wawancara dengan staf dinas Kelautan dan
Perikanan.
6.1.6.3. Mekanisme pengambilan keputusan
Indikator mekanisme pengambilan keputusan dalam pengelolaan
perikanan menggunakan 2 pendekatan yaitu mekanisme dan penerapan
keputusan. Kiriteria mekanisme penagmbilan keputusan yaitu ; 1=tidak
ada mekanisme pengambilan keputusan; 2=ada mekanisme tapi tidak
berjalan efektif; 3=ada mekanisme dan berjalan efektif. Sedangkan
penerapan keputusan dengan kriteria yaitu 1= ada keputusan tapi tidak
dijalankan; 2= ada keputusan tidak sepenuhnya dijalankan; 3= ada
52
keputusan dijalankan sepenuhnya. Metode yang digunakan adalah
survey dan wawancara.
6.1.6.4. Rencana pengelolaan perikanan
Indikator adanya RPP menggunakan kriteria yaitu ; 1=belum ada
RPP; 2=ada RPP namun belum sepenuhnya dijalankan; 3=ada RPP dan
telah dijalankan sepenuhnya. Metode yang digunakan adalah survey dan
wawancara.
6.1.6.5. Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan
perikanan:
Indikator tingkat sinergitas kebijakan menggunakan kriteria yaitu; 1=
terdapat kebijakan yang saling bertentangan; 2 = kebijakan tidak saling
mendukung; 3 = kebijakan saling mendukung. metode yang digunakan
adalah survei. Indikator tingkat sinergi antar lembaga menggunakan
kriteria yaitu ; 1=konflik antar lembaga (kebijakan antar lembaga berbeda
kepentingan); 2 = komunikasi antar lembaga tidak efektif; 3 = sinergi antar
lembaga berjalan baik. Metode yang digunakan adalah survey dan
wawancara.
6.1.6.6. Kapasitas pemangku kepentingan
Indikator kapasitas pemangku kepentingan dalam pengelolaan
perikanan berbasis ekosistem menggunakan kriteria yaitu ; 1=tidak ada
peningkatan; 2 = ada tapi tidak difungsikan; 3 = ada dan difungsikan.
Metode yang digunakan survei, wawancara/kuisioner.
6.1.6.7. Keberadaan otoritas tunggal pengelolaan perikanan
Indikator otoritas tunggal dalam penilainnya tetap menggunakan
kriteria yaitu ; 1= tidak ada single authority ; 2 = lebih dari satu authority; 3
= ada single authority. Metode yang digunakan adalah survey,
wawancara.
53
6.2 Performa Perikanan yang dikaji 6.2.1. Flag Model
Hasil analisis dengan menggunakan sistem Flag menunjukkan
kondisi pengelolaaan ikan terbang di Selat Makassar (WPP 713)
tergolong dalam kondisi sedang dengan bendera warna kuning dengan
nilai komposit: 179,616 (Tabel 10, Gambar 12, dan Gambar 13). Hampir
semua atribut (domain) pengelolaan yaitu sumberdaya ikan, habitat dan
ekosistem, ekonomi dan kelembagaan tergolong sedang hanya domain
sosial tergolong baik dengan nilai komposit 230.
Tabel 10. Nilai komposit dan deskripsi setiap domain pengelolaan ikan terbang di Selat Makassar WPP-713 Domain N. Komposit Deskripsi Sumberdaya Ikan 175 Sedang Habitat & ekosistem 160 Sedang Teknik Penangkapan Ikan 120 Buruk Sosial 230 Baik Ekonomi 195 Sedang Kelembagaan 197.7 Sedang Aggregat 179.6 Sedang
Gambar 13. Grafik setiap domain dan nilai kompositnya.
175160
120230
195197.7
179.616
0 50 100 150 200 250
Sumberdaya IkanHabitat & ekosistem
Teknik Penangkapan IkanSosial
EkonomiKelembagaan
Aggregat
54
Satu domain pengelolaan tergolong buruk adalah teknik
penangkapan ikan dengan nilai komposit paling rendah yaitu 120 (Tabel
10, Gambar 13 dan Gambar 14). Buruknya aspek penangkapan ini
disebabkan (1) perubahan alat tangkap dari pakkaja menjadi bale-bale,
dimana alat pakkaja lebih ramah lingkungan disbanding dengan bale-bale,
(2) peningkatan jumlah upaya penangkapan, (3) selektivitas alat tangkap.
Pada Grafik Layang-Layang (Gambar 14)
Gambar 14. Posisi setiap domain dalam Peta Layang-Layang
Jika setiap domain di gambarkan dalam peta layang layang, maka dimensi
sosial, dimensi kelembagaan dan dimensi ekonomi memiliki jarak lebih
besar dari titik referensi buruk , sedangkan dimensi sumberdaya ikan,
dimensi habitat dan ekosistem serta dimensi penangkapan ikan memiliki
jarak terdekat dengan referensi buruk. Hal ini menunjukkan bahwa
dimensi sosial telah memberi kontribusi lebih baik dalam pengelolaan,
sedangkan dimensi penangkapan kontribusinya dalam pengelolaan
perikanan ikan terbang secara berkelanjutan masih sangat rendah.
050
100150200250
SumberdayaIkan
Habitat &ekosistem
TeknikPenangkapan
Ikan
Sosial
Ekonomi
Kelembagaan
55
6.2.2. Metode Rapfish 5.2.1. Domain Habitat dan Ekosistem
Hasil analisis pada domain habitat dan ekosistem di Selat
Makassar, diperoleh beberapa atribut yang memiliki nilai sensitive cukup
tinggi yang dapat mempengaruhi keberlanjutan habitat dan ekosistem ikan
terbang adalah kerapatan mangrove, luasan mangrove, tutupan lamun
dan upwelling (Gambar 15). Faktor yang memiliki pengaruh buruk
terhadap ekosistem yaitu rendahnya produkstivitas estuary, tutupan
karang yang rendah, adanya pengaruh perubahan iklim terhadap
ekosistem karang.
Gambar 15. Nilai atribut domain habitat dan ekosistem yang dinyatakan dalam bentuk nilai root mean square.
2.0
3.7
5.2
5.9
7.1
8.0
7.9
0.8
5.8
0.2
0.7
0.3
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kualitas Perairan : Limbah
Kualitas Perairan : Kecerahan
Kualitas Perairan : NTU
Kualitas Perairan : Eutrofikasi
Status Lamun : tutupan
Status Mangrove : Kerapatan
status mangrove : Luasan
Status terumbu karang : Tutupan
Habitat khusus : Upwelling
Produktivitas estuari
Perubahan iklim : Pengetahuan
perubahan iklim : Dampak
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Attr
ibut
e
Leverage of Attributes
56
5.2.2. Domain Sumberdaya Ikan
Hasil analisis pada domain sumberdaya ikan, diperoleh beberapa
atribut yang memiliki nilai sensitive cukup tinggi yang dapat
mempengaruhi keberlanjutan sumberdaya ikan terbang, secara berurutan
adalah; komposisi spesies yang cukup tinggi, tidakadanya spesies ETP,
kematangan gonad, CPUE telur ikan terbang, CPUE ikan terbang
(Gambar 16).
Gambar 16. Nilai atribut domain sumberdaya ikan yang dinyatakan dalam
bentuk nilai root mean square. 5.2.3. Domain Teknik Penangkapan
Hasil analisis pada domain teknik penangkapan, diperoleh
beberapa atribut yang memiliki nilai sensitive cukup tinggi yang dapat
7.79
8.40
8.75
8.56
10.98
9.89
4.60
7.60
0 2 4 6 8 10 12
CPUE Ikan Terbang
CPUE Telur Ikan Terbang
Ukuran Ikan
Kematangan Gonad
Komposisi Spesies
Spesies ETP
"Range Collapse" SDI : Cara Penangkapan
"Range Collapse" SDI : Fishing Ground
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Attr
ibut
e
Leverage of Attributes
57
mempengaruhi keberlanjutan teknik penangkapan ikan terbang, secara
berurutan adalah; kesesuaian fungsi dan ukuran kapal, sertifikasi awak
kapal; dan metode panangkapan ikan yang bersifat desruktif (Gambar
17).
Gambar 17. Nilai atribut domain teknik penangkapan yang dinyatakan
dalam bentuk nilai root mean square. 5.2.4. Domain Sosial
Hasil analisis pada domain sosial, diperoleh atribut yang memiliki
nilai sensitive cukup tinggi yang dapat berpengaruh terhadap
keberlanjutan sosial adalah konflik perikanan (Gambar 18).
58
Gambar 18. Nilai atribut domain sosial yang dinyatakan dalam bentuk nilai
root mean square. 5.2.5. Domain Ekonomi
Hasil analisis pada domain ekonomi, diperoleh beberapa atribut
yang memiliki nilai sensitive cukup tinggi yang dapat berpengaruh pada
keberlanjutan ekonomi, secara berurutan adalah nilai tukar nelayan,
pendapatn RTP, saving rate (Gambar 19).
Gambar 19. Nilai atribut domain ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk
nilai root mean square.
12.78
37.30
12.75
0 5 10 15 20 25 30 35 40
Partisipasi pemangku kepentingan
Konflik perikanan
Pemanfaatan pengetahuan lokal
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Attr
ibut
e
Leverage of Attributes
10.78
20.92
15.60
12.76
0 5 10 15 20 25
Kepemilikan Aset
Nilai tukar Nelayan
Pendapatan RTP
Saving Rate
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Attr
ibut
e
Leverage of Attributes
59
5.2.6. Domain Kelembagaan
Hasil analisis pada domain kelembagaan, diperoleh beberapa
atribut yang memiliki nilai sensitive cukup tinggi yang dapat berpengaruh
terhadap keberlanjutan kelembagaan, secara berurutan adalah
pelaksanaan keputusan; keberadaan RPP, sinergi antar lembaga,
penegakan aturan main, keberadaan mekanisme pengambilan keputusan,
kebijakan perikanan, alat penegakan aturan main, kapasitas pemangku
kepentingan, kelengkapan jumlah regulasi, kelengkapan regulasi,
kepatuhan pada aturan nonformal, efektifitas penegakan aturan main
(Gambar 20).
Gambar 20. Nilai atribut domain kelembagaan yang dinyatakan dalam
bentuk nilai root mean square. 5.2.7. Keberlanjutan multidimensi pengelolaan perikanan ikan terbang
0.75
2.09
2.23
2.30
1.93
2.47
2.55
2.51
2.90
2.88
2.72
2.49
2.25
0.94
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5
Kepatuhan pada aturan formal
kepatuhan pada aturan non-formal
Kelengkapan regulasi
kelengkapan Jumlah regulasi
efektifitas Penegakan aturan main
Alat Penegakan aturan main
Bentuk penegakan aturan main
keberadaan mekanisme pengambilan…
pelaksanaan keputusan
keberadaan RPP
Sinergi antar lembaga
Kebijakan Peng perikanan
Kepasitas Pemangku kepentingan
Keberadaan otoritas tunggal
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Attr
ibut
e
Leverage of Attributes
60
Peningkatan pengelolaan perikanan ikan terbang memerlukan
perbaikan pada dimensi-dimensi yang memiliki bengaruh paling sensitif,
dalam hal ini dimensi yang dimaksud secara berurutan adalah (a) teknik
penangkapan; (b) ekonomi; (c) sumberdaya ikan; (d) dimensi habitat dan
ekosistem; dan (e) sosial. Nilai dari dimensi tersebut berada pada status
yang tidak berlanjut. Nilai keberlunjutan enam dimensi dapat dilihat pada
Gambar 21.
Gambar 21. Diagram layang-layang nilai keberlanjutan dari enam dimensi
pengelolaan perikanan ikan terbang.
61
7 Kesimpulan dan Rekomendasi
7.1 Kesimpulan
7.1.1 Metode dan analisa indikator EAFM
Penggunaan manual penilaian indikator EAFM yang disusun oleh
KKP, WWF, PKSPL-IPB (2012) dapat digunakan untuk analisis
pengelolaan perikanan ikan terbang di Selat Makassar, kecuali beberapa
atribut pada domain habitat dan ekosistem tidak terlalu besar
pengaruhnya terhadap ekosistem ikan terbang dilaut lepas yaitu indeks
keanekaragaman lamun, keanekaragaman mangrove, keanekaragaman
karang, dan Indeks Nilai penting ekosistem mangrove.
7.1.2 Pengelolaan perikanan dari hasil kajian EAFM (a). Habitat ikan terbang belum tercemar dan belum ada indikasi terjadi
eutrofikasi, ekosistem terkait dengan habitat ikan terbang seperti
tutupan karang hidup masih tergolong sedang, tutupan lamun
rendah, dan luasan mangrove di wilayah pantai Sulawesi Selatan
Menurun tajam. Terdapat pengaruh upwelling sebagai daerah subur
yang digunakan sebagai daerah pemijahan (spawning ground), dan
daerah pemijahan sebagian telah dimanfaatkan untuk memperkaya
stok dengan cara menebari bale-bale. Diketahui sudah ada dampak
perubahan iklim global terhadap ekosistem terumbu karang di Selat
Makassar namun usaha strategi adaptasi dan mitigasi masih
terbatas seperti pada kegiatan rehabilitasi ekosistem bakau dan di
beberapa pulau dilakukan transplantasi karang. Dampak perubahan
iklim dilaporkan seperti bleaching yang terjadi pada beberapa pulau
namun ukurannya masih berupa spot-spot kecil.
(b). Stok sumberdaya ikan terbang di Selat Makassar telah mengalami
penurunan tajam yang ditandai oleh penurunan CPUE telur dan
CPUE ikan terbang serta adanya pergeseran daerah penangkapan
dari Selat Makassar ke Laut Seram, Laut banda, dan laut
Arafuratara. Selain itu rata-rata panjang ikan yang tertangkap
dewasa ini lebih kecil (pendek) dibanding dengan tahun terakhir ini.
62
Spesies target jaring insang hanyut adalah ikan terbang torani,
Hirundichthys oxycephalus sebanyak 74 %. Alat tangkap jaring
insang hanyut yang digunakan menangkap induk ikan maupun bale-
bale yang digunakan menangkap telur keduanya tidak menangkap
ETP spesies.
(c). Terjadi perubahan peningkatan kapasitas alat tangkap telur dengan
mengganti alat pakkaja yang sesungguhnya lebih ramah lingkungan
menjadi bale-bale yang tidak ramah lingkungan karena sasaran
tangkapannya adalah 100% telur yang dapat memutus siklus hidup
ikan secara massif. Begitupula terjadi peningkatan panjang jaring
dan penggunaan mata jaring kecil untuk menangkap induk ikan
sehingga sebagian besar ikan yang tertangkap dengan jaring insang
hanyut belum mijah. Kapal penangkap telur ikan terbang yang
operasinya lebih jauh dengan ukuran 240-300 PK memiliki sertifikat
awak kapal sesuai aturan.
(d). Ada konflik antara alat tangkap jaring yang menangkap ikan dan alat
tangkap bale-bale yang menangkap telur, serta konflik penggunaan
jalur penangkapan perikanan ikan terbang dan kapal besar.
Partisipasi pemangku kepentingan pada waktu penyusunan RPP
Ikan terbang cukup tinggi. Terdapat pengetahuan tradisional untuk
mengetahui keberadaan ikan terbang yang dimanfaatkan dalam
kegiatan penangkapan. Nelayan telur ikan terbang di Majene
berdasarkan pengalaman turun temurun telah mengetahui bahwa
ikan terbang bertelur beberapa kali (parsial spawning) dalam satu
musim kemudian mati setelah pasca pemijahan dan tergolong ikan
berumur pendek. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Mahon et al.
(1986); Campana et al. (1993) dan Ali et al. ( 2005).
(e). Nilai asset nelayan ikan terbang seperti kapal dan mesin tidak
mengalami penambahan, pendapatan rata-rata nelayan telur ikan
terbang di Selat Makassar dan laut Flores masih dibawah UMR
kecuali nelayan yang menangkap telur ikan terbang di Laut Seram
pendapatannya lebih tinggi. Saving rate nelayan ikan terbang
63
negatif, rata-rata pengeluaran nelayan lebih tinggi dari rata-rata
pendapatan perbulanya (potensi berhutang masih lebih tinggi).
(f). Kepatuhan terhadap peraturan formal masih rendah masih terjadi
pelanggaran cukup tinggi setiap tahun seperti penggunaan bom dan
pelanggaran jalur penangkapan. RPP ikan terbang secara nasional
sudah disepakati namun pengesahan dari KKP belum turun. Ada
kebijakan pemerintah daerah tentang Pelaksana Kegiatan
Penyelamatan Populasi Ikan Terbang melalui kegiatan pelepasan
bale-bale setiap tahun sebagai wadah untuk mengamankan kegiatan
pemijahan ikan. Penegakan aturan main belum effektif karena
keterbatasan SDM, sarana prasarana, dan koordinasi yang lemah.
Mekanisme pengambilan keputusan penyusunan RPP ikan terbang
effektif karena diikuti oleh hampir semua stakeholders yang diawali
dengan lokakarya akademik, pertemuan nasional, provinsial, sampai
ke kabupaten. Kebijakan antar instansi tidak saling mendukung
kebijakan pembinaan teknis belum didukung kebijakan permodalan
sehingga nelayan terbelunggu pengijon. Peningkatan kapasitas
pemangku kepentingan dalam pengelolaan ikan terbang dilakukan
setiap tahun di dalam pertemuan anggota FPPS WPP-713 melalui
pemberian materi pengelolaan perikanan berbasis ekosistem.
Otoritas pengelolaan ikan terbang bersifa single authority dimana
perencanaan dan pengelolaan dibawah kendali pemerintah (KKP,
DKP Provinsi atau DKP Kabupaten).
7.2. Rekomendasi
7.1.3 Metode dan analisa indikator EAFM.
Beberapa atribut pada domain habitat dan ekosistem tidak terlalu
besar relevainsinya terhadap ekosistem ikan terbang dilaut lepas
yaitu indeks keanekaragaman lamun, keanekaragaman mangrove,
keanekaragaman karang, dan Indeks Nilai penting ekosistem
mangrove, sehingga yang digunakan cukup kerapatan mangrove,
64
perubahan luasan mangrove, tutupan karang hidup, dan tutupan
padang lamun.
7.1.4 Pengelolaan perikanan dari hasil kajian EAFM
(g). Perhatian terhadap rehabilitasi, konservasi, dan pengembangan
ekosistem karang, ekosistem mangrove, dan ekosistem lamun di
wilayah pesisir Selat Makassar perlu dikembangkan terus sebagai
bagian dari ekosistem selat Makassar yang menjadi habitat ikan
terbang. Daerah upwelling sebagai daerah subur yang terdapat di
Selat Makassar sebagai daerah pemijahan (spawning ground) ikan
terbang perlu dikelola dengan baik melalui penebaran rumpon
sebagai tempat bertelur ikan terbang.
(h). Untuk menghindari terjadinya penurunan maupun kepunahan stok
ikan terbang di Selat Makassar maka sudah diperlukan pembatasan
jumlah usaha bale-bale dan jaring insang hanyut dan kapasitas alat
tangkapan tersebut seperti jumlah bale-bale, ukuran bale-bale,
ukuran panjang jaring dan ukuran mata jaring melalui sistem
perizinan dan peraturan alat tangkap yang ketat.
(i). Perlu mengembangkan alat tangkap telur dan induk ikan ramah
lingkungan atau kembali mensosialisasikan alat tangkap pakkaja
yang lebih ramah lingkungan. Perlu membatasi jumlah penangkapan
di daerah pemijahan terutama pada saat fase reproduktif ikan
terbang antara Februari-Maret (awal pemijahan) hingga Juni-Juli
(puncak pemijahan), dan jika perlu penangkapan diistirahatkan
sementara ketika ikan berada pada puncak pemijahan (Juni-Juli),
kemudian penangkapan kembali dilanjutkan setelah melewati puncak
pemijahan.
(j). Untuk menghindari konflik antara nelayan telur ikan terbang dan
nelayan ikan terbang diperlukan adanya zonasi daerah
penangkapan telur dan daerah penangkapan induk ikan.
65
(k). Untuk meningkatatkan pendapatan nelayan maka perlu mencari
daerah penangkapan lain selain Selat Makassar, seperti nelayan dari
Takalar yang menangkap di Laut Seram memiliki rata-rata
pendapatan lebih tinggi dibanding nelayan yang hanya beroperasi di
Selat Makassar.
(l). Perlu peningkatan kesadaran masyarakat terhadap peraturan formal
tentang perikanan tangkap dan peningkatan pengertian masyarakat
terhadap kondisi sumberdaya ikan terbang yang telah mengalami
overfishing di Selat Makassar, peningkatan kesadaran masyarakat
nelayan dalam kegiatan pelepasan rumpon atau bale-bale sebagai
salah satu upaya untuk memperkaya stok, pemenuhan sarana
prasarana untuk kegiatan pengawasan dan monitoring oleh aparat,
serta mempercepat keputusan secara nasional tentang RPP ikan
terbang untuk di jabarkan di tingkat local, serta terus meningkatan
kapasitas pemangku kepentingan dalam pengelolaan ikan terbang di
WPP-713.
66
REFERENSI
Alder, J. T.J. Pitcher, D. Preikshot, K. Kaschner, B. Ferriss. 2000. How
Good is Good?: A Rapid Appraisal Technique for Evaluation of the Sustainability Status of Fisheries of the North Atlantic. Sea Around Us Methodology Review. p136-182.
Ali, S.A.; M.N. Nessa; M.I. Djawad; S.B.A. Omar. 2005. Distribusi
diameter telur dan frekuensi pemijahan ikan terbang, Hirundichthys oxycephalus (Bleeker, 1582) di Laut Flores Sulawesi Selatan. Torani. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan. 15 (6): 396-402.
Campana, S.E.; H.A. Oxenford; J.N. Smith. 1993. Radiochemical
determination of longevity in flying fish Hirundichthys affinis using Th-228/Ra-228. Mar.Ecol.Prog. Ser. 100: 211-219.
Dirhamsyah; S.A Ali; H. Susanto; A. Syahailatua; S. Made. 2009. Ikan
Terbang, Eksotis, dan komersial, spesies perlu dilindungi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Dinas Perikanan Sulsel, 2012. Statistik perikanan Sulawesi Selatan.
Makassar. Dwiponggo; A.T. Sujastami, dan S. Nurhakim. 1983. Pengkajian potensi
dan tingkat pengusahaan perikanan torani di Perairan Sulawesi Selatan. Laporan Penelitian Perikanan Laut. 25:1-12.
Lewis, J.B., Brundritt, J.K., Fish, A. G. 1988. The biology of the flyingfish
Hirundichthys affinis (Gunther). Bull. mar. Sci. Gulf Caribb. 12: 73-94.
Mahon, R., Oxenford, H.A., and W. Hunte. (eds.) 1986. Development
strategies for flying fish fisheries of the eastern Caribbean, Workshop proceedings, IDRC-MR128e. International Development Research Centre, Ottawa.
Nessa, M.N., H. Sugondo, I. Andarias, dan A. Rantetondok. 1977. Studi
pendahuluan terhadap perikanan ikan terbang di Selat Makassar. Lontara. 13: 643-669.
Nessa, M.N., S.A. Ali dan A. Rachman. 1992. Percobaan penetasan
telur ikan terbang di Laboratorium Ilmu Kelautan Pulau Barrang Lompo. Lontara: N0.39 (XXVIII), 19-31.
Ngonpa, D. 2006. Kelimpahan ikan terbang secara vertical di Laut Flores
takalar. Tesis. Pasca Sarjana Unhas. Makassar.
67
Parin, N.V. 1999. Exocoetidae (Flyingfish). In K.E Carpenter and V.H. Nien. The living marine resources of the westere central Pasific. FAO. 4:2162-2179.
Pitcher, T.J., D. Preikshot. 2001. Rapfish, A Rapid Appraisal Technique
for Fisheries, and Its Application to the Code of Conduct for Responsible Fisheries. J. Fisheries Research 49: p255-270.
Riana. 2012. Analisis catch per unit effort telur ikan terbang Laut Seram
dan Selat Makassar. Laporan (Skripsi). Fakultas Ilmu Kelautan dan perikanan Unhas. Makassar.