2014 performa pengelolaan perikanan indikator eafm - eafm wpp 713 - sikka da… · menggunakan...

23 Maret 2014

Penilaian PerformaPengelolaan Perikananmenggunakan Indikator EAFMKabupaten Kabupaten Sikkadan Manggarai Barat

Donny Mercys Bessie, S.Pi.,M.Si dan Ida Ayu Lochana Dewi, S.Pi.,M.Si Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Kristen Artha Wacana Kupang

Daftar Isi

BAB I. PENDAHULUAN ..................................................................................................... 4

1.1 Latar Belakang ................................................................................................. 4

1.2 Tujuan dan Manfaat Studi ................................................................................ 7

BAB II. SEKILAS KONDISI PERIKANAN ............................................................................... 8

2.1. Perikanan Berbasis Wilayah Kabupaten Sikka ................................................... 8

1.2.1 Aspek Geografi dan Demografi Kabupaten Sikka ...................................... 8

2.1.2. Statistik Perikanan Kabupaten Sikka ......................................................... 9

2.2. Perikanan Berbasis Wilayah Kabupaten Manggarai Barat ............................... 10

2.2.1. Aspek Geografi dan Demografi Kabupaten Manggarai Barat................... 10

2.2.2. Statistik Perikanan Kabupaten Manggarai Barat ..................................... 11

2.2.3. Pengembangan Perikanan Berbasis Wilayah........................................... 13

BAB III. METODE PENILAIAN PERFORMA INDIKATOR EAFM ........................................... 16

3.1. Pengumpulan data ......................................................................................... 16

3.2. Analisa Komposit ........................................................................................... 17

BAB IV. ANALISIS TEMATIK PENGELOLAAN PERIKANAN ................................................ 19

1.1 Analisis Tematik Pengelolaan Perikanan di Kabupaten Sikka .......................... 19

1.1.1 Domain Sumberdaya Ikan ...................................................................... 19

1.1.2 Domain Habitat dan Ekosistem............................................................... 21

1.1.3 Domain Teknologi Penangkapan Ikan ..................................................... 25

1.1.4 Domain Sosial ........................................................................................ 35

1.1.5 Domain Ekonomi .................................................................................... 36

1.1.6 Domain Kelembagaan ............................................................................ 37

1.2 Analisis Tematik Pengelolaan Perikanan di Kabupaten Manggarai Barat ......... 42




1.2.4 Domain Sosial ........................................................................................ 53

1.2.5 Domain Ekonomi .................................................................................... 54


BAB V. ANALISIS KOMPOSIT PENGELOLAAN PERIKANAN ............................................... 59

1.3 Perikanan Kabupaten Sikka ............................................................................ 59




1.3.4 Domain Sosial ........................................................................................ 65

1.3.5 Domain Ekonomi .................................................................................... 66


1.4 Perikanan Kabupaten Manggarai Barat .......................................................... 69




1.4.4 Domain Sosial ........................................................................................ 75

1.4.5 Domain Ekonomi .................................................................................... 76


BAB VI. PEMBAHASAN ................................................................................................... 81

1.5 Metode dan Analisa Indikator EAFM yang Digunakan..................................... 81

1.5.1 Metode EAFM ........................................................................................ 81

1.5.2 Analisa Indikator EAFM .......................................................................... 81

1.6 Performa perikanan yang dikaji ...................................................................... 87

1.6.1 Kabupaten Sikka ..................................................................................... 87

1.6.2 Kabupaten Manggarai Barat ................................................................... 95

BAB VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ................................................................. 100

1.7 Kesimpulan .................................................................................................. 100

1.8 Rekomendasi ............................................................................................... 100

REFERENSI................................................................................................................... 102

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangIndonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan laut yang beragam dan

melimpah pada lautnya yang mencapai luas sekitar 5,8 juta km2. Estimasi potensi

sumberdaya perikanan laut di Indonesia diperkirakan oleh kementerian Kelautan

dan Perikanan (KKP) tahun 2011 sebesar 6.520.300 ton/tahun. Potensi tersebut

terdiri atas 55,9% dari perikanan pelagis kecil,22,3% berasal dari perikanan

demersal, 17,6% perikanan pelagis besar, 2,2% perikanan ikan karang konsumsi,

1,5% bersumber dari udang Penaeid, 0,4% berasal dari cumi-cumi dan 0,1%

berasal dari lobster.

Besarnya potensi perikanan yang tersebar di perairan Indonesia, membuat

KKP membagi perairan di Indonesia menjadi 11 bagian yang sering disebut

dengan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), hal ini dilakukan untuk

mengefesiensikan pengelolaan perikanan yang ada. Perhitungan estimasi potensi

perikanan, pengkajian stock assesment hingga kebijakan perikanan selalu

berdasarkan 11 WPP tersebut (Gambar 1).

Gambar 1. Peta Wilayah Pengelolaan Perikanan

Berdasarkan Kepmen KP 45 Tahun 2011, Provinsi Nusa Tenggara Timur

(NTT) bersinggungan dengan 3 WPP yang ada,dengan potensi sumberdaya ikan

sebesar 26,1% dari total 1.699,4 Ton pertahunnnya, yang daerah itu berada di

WPP 573 mulai dari Perairan Samudera Hindia bagian selatan Jawa hingga Nusa

Tenggara, Laut Sawu dan Laut Timor bagian barat, WPP 713 yaitu dari Perairan

Selat Makasar, Teluk Bone, Laut Flores dan Laut Bali dan WPP 714 yaitu

Perairan Teluk Tolo dan Laut Banda.

Kabupaten Sikka dan Manggarai Barat lebih mengarah pada WPP 713,

meskipun juga berada pada WPP 714. Pengelolaan perikanan di kedua kabupaten

tersebut tanpa diimbangi oleh pendataan dari sisi ekosistem, sosek, teknik

penangkapan yang ada dan kelembagaan yang tergabung dalam EAFM sebagai

dasar pengelolaan perikanan, akan berdampak semakin tidak terarahnya kebijakan

perikanan dalam mendukung perikanan yang berkelanjutan dalam meningkatkan

perekonomian kabupaten. Estimasi potensi sumberdaya ikan pada WPP 573, WPP

713 dan WPP 714 (KepMen 45 tahun 2011) disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Estimasi potensi sumberdaya ikan pada WPP 573, WPP 713 dan WPP 714 (KepMen 45 tahun 2011).

Kelompok Sumberdaya Ikan Samuder

a Hindia (WPP 573)

Selat Makasar-

Laut Flores

(WPP 713)

Laut Banda (WPP 714)

Total

Ikan Pelagis Besar 201,4 193,6 104,1 499,1 Ikan Pelagis Kecil 210,6 605,4 132,0 948 Ikan Demersal 66,2 87,2 9,3 162,7 Udang Penaeid 5,9 4,8 - 10,7 Ikan Karang konsumsi 4,5 34,1 32,1 70,7 Lobster 1,0 0,7 0,4 2,1 Cumi-Cumi 2,1 3,9 0,1 6,1 Total Potensi (1.000 ton/tahun)

491,7 929,7 278,0 1.699,4

Melalui Kepmen ini, KKP juga sudah mengestimasi besaran pemanfaatan

perikanan berdasarkan WPP yang ada. Pendugaan status pemanfaatan perikanan

tersebut digolongkan menjadi 4 bagian yaitu Over exploited (O), Fully exploited

(F), Moderate (M), dan Moderate to Exploited (M-F) (Tabel 2).

Tabel 2. Status tingkat pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Perairan Indonesia (KepMen 45 tahun 2011)

Namun dalam assessment potensial (KepMen 45 tahun 2011 ) oleh KKP

ini, yang dilakukan hanya mempertimbangkan kondisi pemanfaatan perikanannya

saja, sedangkan aspek ekosistem, aspek sosek dan kelembagaan masih belum

terkaji dalam format yang baku. Untuk itu sejak tahun 2010 hingga saat ini WWF

Indonesia dalam hal ini berinisiasi dalam memfasilitasi pembuatan Indikator

pengelolaan perikanan yang berbasis ekosistem bersama Direktorat Sumberdaya

Ikan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementrian Kelautan dan Perikanan

dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor

(PKSPL-IPB) dengan konsep tersebut dinamakan Ecosystem Approach for

Fisheries Management (EAFM). EAFM merupakan indikator asessment perikanan

yang akan dilakukan bertahap di masing-masing WPP yang ada di Indonesia.

Melalui pendataan perikanan berdasarkan indikator EAFM ini, diharapkan

dapat menjadi baseline data bagi pemerintah baik itu di KKP pusat dan pemerintah

masing-masing kabupaten dan akan menjadi data pendukung untuk dalam

pembentukan kawasan konservasi dan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan

Daerah (KKPD) masing-masing kabupaten, untuk mendukung kesejahteraan

masyarakat pesisir dan sekitarnya.

1.2 Tujuan dan Manfaat StudiKegiatan ini memiliki tujuan antara lain:

1. Mengumpulkan data indikator EAFM di Kabupaten Sikka dan Manggarai

Barat.

2. Mengidentifikasi status tingkat pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan

yang terkait dengan aspek ekonomi, ekologi dan sosial berdasarkan daya

dukung lingkungan (ekosistem) sebagai salah satu dasar kebijakan

pengelolaan perikanan tangkap di Kabupaten Sikka dan Manggarai Barat.

BAB II. SEKILAS KONDISI PERIKANAN

2.1. Perikanan Berbasis Wilayah Kabupaten Sikka

1.2.1 Aspek Geografi dan Demografi Kabupaten Sikka

Gambar 3. Peta Adiministrasi Kabupaten Sikka

Kabupaten Sikka terletak antara 8°22’ Lintang Selatan dan '8°50’ Lintang

Selatan dan antara 121°55’40” Bujur Timur dan 122°41'30” Bujur Timur dengan

Ibu Kota Kabupaten Maumere. Sedangkan batas wilayah Kabupaten Sikka :

Sebelah Utara : Laut Flores

Sebelah Selatan : Laut Sawu

Sebelah Barat : Kabupaten Ende

Sebelah Timur : Kabupaten Flores Timur

Luas Wilayah Kabupaten Sikka sebesar 7.553,24 Km2 dengan Luas daratan

1.731,91 Km2 dan Luas lautan 5821,33 Km2.

Kabupaten Sikka beriklim tropis yang kering, dengan suhu udara umumnya

relatif tinggi, suhu minimum berkisar 20,6° C sampai dengan 24° C dengan rata-

rata 23,7° C. suhu minimum terendah terjadi pada bulan September dan tertinggi

pada Bulan Januari. Temperatur rata-rata maksimum antara 31,7°C –24,5° C

dengan rata-rata 27,6° C. suhu maksimum terendah terjadi pada bulan Desember –

Januari dan tertinggi pada bulan Agustus – September.

Kelembaban udara antara 69 % - 86 % dengan rata-rata 77%, kelembaban

udara tertinggi terjadi bulan Februari dan terendah pada bulan Agustus. Dalam

satu tahun ada 2 musim, yaitu musim kemarau dan musim hujan. Musim kemarau

dengan iklim kering berlangsung kurang selama 7 – 8 bulan (April/ Mei –

Oktober/ Nopember) sedangkan musim hujan dengan iklim basah berlansung

selama 4-5 bulan (Nopember/ Desember – April/ Mei).

Curah hujan per tahun berkisar antara 1000 mm – 1500 mm, dengan jumlah

hari hujan sebesar 60 – 120 hari per tahun ( 4 bulan basah, 1 bulan lembab dan 7

bulan kering). Wilayah timur cenderung lebih kering. Curah hujan antara bulan

Nopember dan Februari relatif lebih tinggi dibandingkan bulan-bulan lainnya.

Jumlah hari hujan paling sedikit terjadi pada bulan Agustus dan September dan

terbanyak pada Bulan Nopember- Desember. Kecepatan angin rata-rata pada

musim panas 12 – 13 knots, sedangkan pada musim hujan 17 – 20 knots.

2.1.2. Statistik Perikanan Kabupaten SikkaTerdapat 5 kategori alat tangkap yang mendominasi di Kabupaten Sikka

yang dapat dijumpai di kabupaten ini yang terhitung sebanyak 552 unit

penangkapan ikanyang terdiri atas: Pukat cincin (81 unit), Jaring insang hanyut

(75 unit), Bagan perahu/rakit (14 unit), Rawai tuna (70 unit), dan Pancing ulur

(312 unit) (Statistik Perikanan Tangkap, 2012).

Kabupaten Sikka merupakan salah satu daerah penghasil ikan terbanyak di

Nusa Tenggara Timur. Jenis ikan yang ditangkap yaitu ikan pelagis/ikan pada

permukaan (tuna, cakalang, layar dan selar) dan ikan demersial/ikan dasar (kerapu

dan ikan merah). Potensi lestari perairan Kabupaten Sikka mencapai 21.175 ton

per tahun. Secara keseluruhan terdapat 22 spesies ikan yang ditangkap nelayan di

Kabupaten Sikka (Statistik Perikanan Tangkap, 2012), diantaranya: Cendro, Selar,

Layang, Kakap putih, Tembang, Julung-julung, Lencam, Kakap merah/

Bambangan, Pinjalo, Biji Nangka, Kurisi, Gergahing, Cakalang, Tongkol krai,

Kembung, Madidihang, Kerapu karang, Layar, Biji Nangka, Kerapu , dan Tuna

Sirip Kuning.

Produksi ikan per tahun cukup tinggi dan mengalami peningkatan dari

tahun ke tahun. Data tahun 2003 hingga tahun 2012 menunjukan pada tahun 2003

produksi ikan sebanyak 8.475,20 ton, tahun 2004 sebanyak 8615,2 ton, tahun

2005 sebanyak 13.195,44 ton, tahun 2006 sebanyak 10.768 ton, tahun 2007

sebanyak 9.979,51 ton, tahun 2008 sebanyak 9.824,50 ton, tahun 2009 sebanyak

9023,60 ton, tahun 2010 sebanyak 9.751,03 ton, tahun 2011 sebanyak 12195,06

ton, dan tahun 2012 sebanyak 861.985,00 ton. Produksi ikan per tahun cukup

tinggi dan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Bila dihubungkan tren

produksi selama 10 tahun, maka baru 50% potensi lestari yang dimanfaatkan

(minus tahun produksi 2012) dan masih banyak peluang pengembangannya.

2.2. Perikanan Berbasis Wilayah Kabupaten Manggarai Barat

2.2.1. Aspek Geografi dan Demografi Kabupaten Manggarai BaratKabupaten Manggarai Barat memiliki luas wilayah (darat dan laut) sebesar

9.450,00 Km2. Berdasarkan luas wilayah tersebut, 64% adalah wilayah laut

(perairan) atau seluas 6.052,50 Km2. Kegiatan yang dikembangkan pada wilayah

perairan kabupaten adalah perikanan. Sektor perikanan, baik perikanan tangkap

maupun budidaya, merupakan salah satu sektor penting dalam perekonomian

Kabupaten Manggarai Barat.

Wilayah Kabupaten Manggarai Barat terdiri atas Kecamatan Komodo

(termasuk pulau-pulau di sekitarnya seperti Pulau Komodo, Rinca, Mules, Longos

serta pulau-pulau kecil lainnya), Sano Nggoang, Lembor, Macang Pacar, Kuwus,

Boleng dan Welak dengan luas wilayah 294,746 Ha. Luas daratan adalah 2.947,50

km², sedangkan luas wilayah lautan adalah 6.052,50 km². Secara geografis

Kabupaten Manggarai Barat terletak diantara 08°14 Lintang Selatan - 09°00

Lintang Selatan dan 119°21 Bujur Timur - 120°20 Bujur Timur.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa ciri khas wilayah

Kabupaten Manggarai Barat adalah adanya kawasan Taman Nasional Komodo

(TNK) yang dikelola oleh Balai Taman Nasional Komodo (TNK). BTNK

merupakan salah satu stakeholder dalam pengelolaan perikanan di kabupaten ini.

Beberapa aturan dan kebijakan serta mekanisme kerja BTNK dan SKPD yang

membidangi perikanan di Kabupaten Manggarai Barat sangat menentukan

sinergitas dan keberlanjutan kegiatan perikanan di kabupaten ini. Mengingat

adanya TNK yang memiliki kawasan di dalam wilayah administrasi Kabupaten

Manggarai Barat, maka batasan wilayah dan kawasan TNK sebenarnya adalah

satu kesatuan ekosistem yang tidak terpisahkan. Berkaitan dengan kajian EAFM,

wilayah dan pengelola serta mekanisme kolaborasi yang dibangun akan

menentukan peforma perikanan di kabupaten ini. Peta administrasi Kabupaten

Manggarai Barat dan kawasan TNK disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Peta adminstrasi Kabupaten Manggarai Barat

2.2.2. Statistik Perikanan Kabupaten Manggarai BaratStatistik perikanan Kabupaten Manggarai Barat dalam laporan ini meiputi

banyaknya rumah tangga perikanan laut, jumlah nelayan, banyaknya alat

penangkapan ikan yang digunakan, dan produksi perikanan laut menurut jenis

ikan (BPS Kabupaten Manggarai Barat, 2013). Data masing-masing statistik

disajikan secara berturut-turut pada Tabel 2, Tabel 3, Tabel 4, dan Tabel 5.

Tabel 2. Banyaknya rumah tangga perikanan laut di Kabupaten Manggarai Barat tahun 2011-2012.

Kecamatan Kapal tanpa motor Kapal motor Jukung Perahu papan Motor tempel 0-5 GT Diatas 5 GT

2011 2012 2011 2012 2011 2012 2011 2012 2011 2012 Komodo 282 282 294 294 47 76 582 480 8 8 Boleng 147 145 79 78 19 17 164 200 - - Lembor 115 115 12 9 - 10 44 50 - - Macang Pacang

102 98 74 73 - 2 440 441 - -

Total 646 640 459 454 66 105 1.230 1.171 8 8 Sumber: BPS Kabupaten Manggarai Barat (2013) Tabel 3. Banyaknya nelayan dan petani ikan di Kabupaten Manggarai Barat

tahun 2011-2012.

Kecamatan Nelayan penuh Petani ikan Petani rumput laut 2011 2012 2011 2012 2011 2012

Komodo 3.775 3.800 170 170 283 159 Boleng 536 537 37 34 312 416 Lembor 382 402 50 25 - - Macang Pacang 216 215 15 15 155 243

Total 4.909 4.954 272 244 750 818 Sumber: BPS Kabupaten Manggarai Barat (2013) Tabel 4. Banyaknya alat penangkapan ikan di Kabupaten Manggarai Barat

tahun 2011-2012.

Kec. Bagan Pancing Pukat cincin Bubu Jaring insang

Sero Alat lainnya

A B A B A B A B A B A B A B Komodo 408 410 498 528 2 6 43 50 217 223 8 8 48 48Boleng 45 50 243 250 - - 20 20 214 218 - - 47 47Lembor - - 114 120 13 16 - - 139 155 - - - 3Macang Pacang

175 175 111 114 - - 5 5 293 296 - - - -

Total 628 635 966 1.012 15 22 68 75 863 892 8 8 95 98Sumber: BPS Kabupaten Manggarai Barat (2013) Ket: A=2013 dan B= 2014 Tabel 5. Produksi perikanan laut di Kabupaten Manggarai Barat tahun 2011-

2012.

Jenis Komodo Boleng Lembor 2011 2012 2011 2012 2011 2012

Paperek 1.261,20 1.370,40 881,13 900,16 579,15 584,15 Kakap 3.850,82 4.320,08 2.875,21 3.500 1.916,60 2.102,45 Ekor kuning 50,80 58,60 26,45 30 16,70 26,56 Cucut 601,29 615,30 457,60 518 335,06 455,25 Selar 1.612,81 1.812,92 630,17 850 412,15 612,27 Teripang 370,12 400,50 340,75 360 158,61 176,35 Julung-julung 68,63 69,78 48,90 50 48,34 48,34 Tembang 920,60 1.500,12 613,87 812 409,24 409,24 Kembung 676,51 675,52 406,95 480 340,15 475

Jenis Komodo Boleng Lembor 2011 2012 2011 2012 2011 2012

Cakalang 446,32 447,32 126,71 160 90,52 121 Tenggiri 236,18 300,16 170,43 200 114,62 212 Tongkol 25,68 26,78 19,45 21 12,29 18,65 Tuna 300,18 350,17 176,51 200 118,20 118,20 Cumi-cumi 1.262,30 2.345,50 964,21 1.350 576,15 576,15 Loyang 2.160,17 3.200,16 1.042,08 2.060 694,71 694,71 Lainnya 20,65 22,65 19,41 21 19,43 19,43 13.864,2 17.516,9 8.800,33 5.850,93 6.898,12 Sumber: BPS Kabupaten Manggarai Barat (2013)

2.2.3. Pengembangan Perikanan Berbasis WilayahPerairan di Manggarai Barat, khususnya di Selat Molo dikenal memiliki

arus laut yang kuat, yang disebabkan oleh perubahan arus harian antara kawasan

lautan lepas (Lautan Hindia) dan laut pedalaman seperti di kawasan Kepulauan

Komodo-Rinca dan Laut Flores. Arus laut harian yang kuat di Selat Molo ini ke

depan dapat dimanfaatkan sebagai sumber listrik tenaga arus laut, walaupun saat

ini tenaga listrik tersebut masih dalam tahap pengembangan/penelitian.

(www.manggaraibarat.go.id).

Perairan Kabupaten Manggarai Barat memiliki potensi perikanan yang

amat besar, diantaranya potensi ikan kerapu, kakap, bawal, lencang, dan ekor

kuning. Sedangkan potensi pengembangan perikanan budidaya laut yang cukup

prospektif adalah: mutiara, rumput laut, teripang, kerapu, baronang, udang dan

bandeng. Usaha budidaya ini dapat dikembangkan di perairan Komodo dan

sekitarnya. Satu kawasan di Kabupaten Manggarai Barat yang telah mendunia

adalah Taman Nasional Komodo. Taman Nasional Komodo merupakan salah satu

kawasan konservasi laut di Indonesia. Potensi kehidupan laut di taman nasional

ini tercatat sebanyak 259 jenis karang dan 1.000 jenis ikan seperti Barakuda,

Marlin, Ekor kuning, Kakap Merah, Baronang, dan lain-lain (www.

manggaraibarat.go.id).

Berkaitan sektor perikanan, kegiatan perikanan yang dikembangkan di

Kabupaten Manggarai Barat adalah perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

Guna pengaturan kegiatan penangkapan, Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat

mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 28 Tahun 2005 tentang Pemakaian Alat

Penagkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan. Salah satu upaya yang

dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat dalam hal pengaturan

perikanan tangkapa adalah pemberian surat izin penangkapan sesuai dengan

ukuran kapal, jenis alat bantu, ikan target penangkapan dan sarana penunjang

lainnya. Berdasarkan rekapitulasi perizinan tahun 2012 yang dikeluarkan oleh

Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan Kabupaten Manggarai Barat, terdapat

7 jenis perizinan. Ketujuh jenis perijinan dan jumlah orang/badan usaha yang

memilikinya disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Rekapitulasi perizinan tahun 2012 Bidang Perikanan Laut (Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan)

No. Jenis Perizinan Jumlah (orang)

Keterangan

1. Izin Usaha Perikanan (IUP) 4 Izin berlaku selama 30 tahun

2. Surat Izin Pengumpul Hasil Laut (SIPHL)

9 Izin berlaku selama 1 tahun

3. Tanda Daftar Kapal (TDK) 89 Izin berlaku selama 1 tahun

4. Surat Keterangan Andon 18 Izin berlaku selama 2 tahun

5. Surat Budidaya Ikan 4 Izin berlaku selama 1 tahun

6. Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) 2 Izin berlaku selama 1 tahun

7. Kartu Tanda Pengenal Nelayan Andon

10 Izin berlaku selama 1 tahun

Total 136

Berdasarkan data rekapitulasi jumlah nelayan di Kabupaten Manggarai

Barat yang dilakukan oleh Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan, terdapat

7.146 nelayan. Apabila jumlah ini dikaitkan dengan jumlah nelayan yang telah

memiliki izin maka persentase nelayan berizin adalah 1,9 %. Nilai ini sangat kecil

dan menghasilkan penilaian yang kecil pada analisis komposit pada domain

kelembagaan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Seksi Perlindungan

dan pengawasan, Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan, nelayan di kawasan

Taman Nasional Komodo dan proses administrasi berkaitan dengan ketentuan

yang berlaku, berada dalam pengawasan Balai Taman Nasional Komodo (BTNK).

Dengan demikian, segala aktivitas penangkapan di Kawasan TNK sepenuhnya

berada pada pengawasan BTNK. Kondisi ini merupakan catatan penting untuk

selanjutnya dilakukan kajian guna meningkatkan sinergitas regulasi, kebijakan

lembaga yang mengatur tentang kegiatan perikanan dan konservasi.

Disamping kondisi ekosistem, sumberdaya perairan, regulasi, kolaborasi

stakeholder dalam pengelolaan wilayah perairan Kabupaten Manggarai Barat,

penduduk merupakan salah satu pendukung keberlanjutan kegiatan. Bagi sebuah

daerah, penduduk merupakan modal dasar dalam pembangunan. Data penduduk

Kabupaten Manggarai Barat tahun 2012 (BPS Kabupaten Manggarai Barat, 2013)

disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Jumlah penduduk di Kabupaten Manggarai Barat tahun 2012

No. Kecamatan Jumlah Penduduk (orang)

% Penduduk Kecamatan terhadap Kabupaten

1. Komodo 46.262 19.75 2. Boleng 17.664 7.54 3. Sano Nggoang 13.819 5.90 4. Mbeling 13.164 5.62 5. Lembor 50.939 21.75 6. Welak 19.800 8.45 7. Lembor Selatan * - 8. Kuwus 42.312 18.06 9. Ndoso * -

10. Macang Pacar 30.275 12.93 Total 234.235 100.00

Keterangan: * Kecematan pemekaran dan data masih tergabung dengan kecamatan induk

BAB III. METODE PENILAIAN PERFORMA INDIKATOREAFM

3.1. Pengumpulan dataData yang dibutuhkan untuk Survey EAFM mencakup 6 Domain, antara

lain: Sumberdaya Ikan, Teknik Penangkapan Ikan, Habitat dan Ekosistem, Sosial,

Ekonomi, dan Kelembagaan. Dalam pengumpulan data dibagi menjadi 2 proses

yaitu melalui data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan

dengan pengambilan data yang dilakukan dengan metode interview dan observasi

terarah secara kualitatif melalui kuesioner perikanan kepada responden rumah

tangga perikanan. Interview akan dilakukan secara perorangan

Penentuan responden berdasarkan pada hal-hal berikut ini :

a. Nelayan yang telah memiliki pengalaman dalam bidang tersebut minimal 5

tahun (tentatif), diutamakan lebih dari 10 tahun.

b. Bersedia diwawancarai.

c. Dilakukan dengan cara purposive sampling, yaitu membuat cluster dari

populasi berdasarkan kriteria Klasifikasi alat tangkap dan jenis armada

d. Jumlah sampel tidak terikat, wawancara hanya menargetkan terpenuhinya

semua informasi yang dibutuhkan.

Pengambilan data Sekunder dalam survey ini yaitu dengan observasi

kajian ilmiah, dokumen laporan pemerintah dan Kebijakan nasional dan daerah

yang mencakup pengelolaan wilayah pesisir dan laut di Kabupaten Sikka dan

Manggarai Barat.

Dalam Metode penentuan lokasi, berdasarkan pada hal-hal berikut ini :

a. Dilakukan dengan cara purposive sampling, yaitu membuat cluster dari

populasi berdasarkan kriteria Jumlah RTP, Klasifikasi alat tangkap dan

jenis armada

b. Merupakan daerah yang dikelola dalam perrencanaan tata ruang wilayah

atau zonasi

Pemilihan lokasi pendataan perikanan dilakukan pada 3 jenis perikanan

tangkap yang terdapat di Kabupaten Sikka dan Manggarai Barat 23 desa yang

terbagi atas: 13 desa di Kabupaten Sikka dan 10 desa di Manggarai Barat

sebagaimana disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Lokasi Pengambilan Data

No Kabupaten Kecamatan Desa

1 Kabupaten Sikka Talibura Nangahale Talibura Darat Pantai Alok Barat Wuring Alok Barat Nangahure Alok Barat Wolomarang Alok Timur Parumaan Lela Sikka Lela Waioti Kewapante Waiara Kewapante Geliting Magepanda Reroroja Magepanda Kolisia Bola Ipir 2 Kabupaten Komodo Papagarang Manggarai Barat Komodo Komodo Komodo Pasir Panjang Komodo Pasir Putih Komodo Seraya Meranu Komodo Gorontalo Komodo Labuan Bajo Boleng Batu Tiga Boleng Pontianak Macang Pacar Naga Kantor Barat

3.2. Analisa KompositDomain Sumberdaya Ikan, Teknik Penangkapan Ikan, Sosial, Ekonomi

dan Kelembagaan yang terdapat pada kuisioner akan diberikan nilai berdasarkan

status atau kondisi terkini pada saat kajian EAFM dilakukan. Penentuan nilai

status untuk setiap indikator dalam domain habitat dilakukan dengan

menggunakan pendekatan skoring yang sederhana, yakni memakai skor Likert

berbasis ordinal 1,2,3. Semakin baik status indikator, maka semakin besar

nilainya, sehingga berkontribusi besar terhadap capaian EAFM.

Perkalian bobot dan nilai akan menghasilkan nilai indeks untuk indikator

yang bersangkutan atau dengan rumusan: Nilai Indeks = Nilai Skor * 100 * Nilai

Bobot. Nilai indeks dari indikator ini, nantinya akan dijumlahkan dengan nilai

indeks dari indikator lainnya dalam setiap domain menjadi suatu nilai indeks

komposit. Kemudian, nilai indeks komposit ini akan dikategorikan menjadi 5

penggolongan kriteria dan ditampilkan dengan menggunakan bentuk model

bendera (flag model) sebagaimana disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Penggolongan Nilai Indeks Komposit dan Visualisasi Model Bendera

Rentang nilai (dalam persen) Model Bendera Deskripsi

Rendah Tinggi

1 20 Buruk dalam menerapkan EAFM

21 40 Kurang dalam menerapkan EAFM

41 60 Sedang dalam menerapkan EAFM

61 80 Baik dalam menerapkan EAFM

81 100 Baik Sekali dalam menerapkan EAFM

BAB IV. ANALISIS TEMATIK PENGELOLAAN PERIKANAN

1.1 Analisis Tematik Pengelolaan Perikanan di Kabupaten Sikka

1.1.1 Domain Sumberdaya Ikan Tren CPUE Sikka cenderung stabil namun analisis lanjutan dengan regresi

linear menunjukkan kecenderungan jauh dari titik linearitas peningkatan CPUE

dan baru meningkat signifikan di tahun 2012. Hal ini juga didukung oleh nilai

regresi linear y = 1775 + 0,885 x yang artinya setiap terjadi peningkatan effort

sebanyak 1 trip mengakibatkan peningkatan CPUE sebesar 0,885 ton/trip dengan

nilai koefisien determinasi sebesar 29,6%. Dengan hasil analisis CPUE di

Kabupaten Sikka sebagaimana disajikan pada Gambar 5, menunjukkan bahwa,

sumberdaya perikanan masih bisa dikembangkan pemanfaatannya dengan tetap

memperhatikan aspek bio-ekologi dan pembatasan alat penangkapan ikan baik

dari sisi ukuran dan jumlah alat tangkap serta jumlah trip penangkapan, karena

akan berdampak kepada keberlanjutan dan ketersediaan stok ikan untuk masa

yang akan datang.

Gambar 5. CPUE Perikanan di Kabupaten Sikka

Indikator tren ukuran ikan diberikan status sedang, dimana 40% nelayan

menyatakan ukuran ikan relatif tetap dalam 5 tahun terakhir (dari 40% responden

didominasi oleh nelayan pelagis kecil), sementara 30% nelayan yang didominasi

nelayan pelagis besar menyatakan ukuran ikan semakin kecil dalam 5 tahun

terakhir

Indikator proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap diberikan status

sedang. Indikator ini menyediakan pilihan yang bersifat luas untuk penggolongan

keberlanjutan yang buruk dan baik. Untuk ikan-ikan yang belum dewasa

tertangkap lebih dari 60% dari total tangkapan, maka penggolongan keberlanjutan

termasuk buruk. Sebaliknya, keberlanjutan termasuk baik, bila yang belum

dewasa tertangkap kurang dari 30% dari total tangkapan. Di Perairan Kabupaten

Sikka pada musim tertentu (biasanya bulan Agustus-September) rata-rata ikan

yuwana (juvenile) jenis tongkol kecil (Euthynnus affinis) yang tertangkap lebih

besar dari 60%, dengan data ini mengindikasikan bahwa nelayan menangkap ikan

yuwana pada musim tersebut karena melimpah, diduga pada bulan-bulan tersebut

merupakan waktu ruaya ikan tongkol kecil di sekitar Perairan Kabupaten Sikka.

Data tersebut didukung 85% responden. Selain musim tersebut, nelayan juga

sepakat kalau ikan yuwana yang tertangkap lebih kecil dari ikan target.

Indikator komposisi spesies dengan status baik, oleh karena 82%

responden menyatakan bahwa ikan target yang tertangkap lebih besar dari 31%

total volume tangkapan. Ikan hasil tangkapan sampingan nelayan, biasanya

dimanfaatkan dengan cara: 1). Dijual dimana nelayan memperoleh sejumlah uang

dari hasil penjualan, 2). Diolah menjadi ikan olahan atau bentuk lainnya dimana

nelayan memperoleh sejumlah uang dari penjualan ikan olahan untuk memenuhi

kebutuhan keluarga, 3). Dikonsumsi sendiri untuk memenuhi kebutuhan protein

keluarga. Secara keseluruhan terdapat 22 spesies ikan yang ditangkap nelayan di

Kabupaten Sikka (Statistik Perikanan Tangkap, 2012), diantaranya: Cendro, Selar,

Layang, Kakap putih, Tembang, Julung-julung, Lencam, Kakap merah/

Bambangan, Pinjalo, Biji Nangka, Kurisi, Gergahing, Cakalang, Tongkol

kecil/krai, Kembung, Madidihang, Kerapu karang, Layar, Biji Nangka, Kerapu ,

dan Tuna Sirip Kuning

Indikator "Range Collapse" sumberdaya ikan dengan status sedang.

Sumberdaya ikan yang mengalami tekanan penangkapan akan "menyusut"

biomassa-nya secara spasial sehingga semakin sulit/jauh untuk ditemukan/dicari.

Oleh karena itu, untuk menentukan status dari indikator range collapse

sumberdaya ikan pada domain ini dalam kategori baik maka jarak yang ditempuh

harus dekat dan lokasi (habitat/ekosistem) yang dituju selalu tersedia ikan dalam

jumlah yang banyak. Hasil analisis menunjukkan bahwa 90% responden

menyatakan bahwa daerah fishing ground semakin jauh dan ikan relatif sulit

terutama ikan pelagis besar.

Indikator spesies ETP dengan status buruk. Masih ditemukan spesies ETP

yang dijual di PPI di Kabupaten Sikka (ditemukan di PPI Alok dan PPI Wuring),

dan didukung dengan hasil wawancara nelayan dimana 30% menyatakan

menangkap spesies ETP karena terjerat jaring/kail, dalam tahun 2013 terdapat 1

ekor lumba-lumba (terjerat jaring dan mati), 5 ekor hiu, dan 12 ekor penyu yang

ditertangkap dan dijual.

1.1.2 Domain Habitat dan EkosistemIndikator kualitas perairan diberikan status sedang. Secara umum perairan

Kabupaten Sikka tidak tercemar dan masih layak bagi budidaya laut (rumput laut,

ikan, dan mutiara). (Anonimus, 2010). Beberapa indikator hasil penelitian tersebut

yang terkait dengan kualitas perairan yaitu: oksigen terlarut dan kecerahan air

laut.

Oksigen terlarut merupakan salah satu parameter kualitas air yang perlu

diperhatikan terutama untuk kepentingan sektor perikanan. Konsentrasi oksigen

yang cukup dalam air sangat mendukung keberlangsungan hidup organisme laut.

Jika kadar oksigen rendah akan memperlambat pertumbuhan organisme, bahkan

pada kadar tertentu dapat mematikan.

Kandungan oksigen (DO) di Kabupaten Sikka cukup beragam, terlihat di

perairan utara lebih beragam dari pada perairan di daerah selatan. Di perairan

utara kandungan oksigen terlarut (DO) berkisar antara <13 sampai >18. Daerah

sepanjang pesisir antara Kecamatan Kangea, Kecamatan Kewapante, Kecamatan

Waigete, sampai Kecamatan Talibura dari pantai berjarak sampai kira-kira 4 mil

ke arah laut memiliki kandungan DO yang relatif sama yaitu <13 mg/l. Sedangkan

perairan pesisir di Kecamatan Megapanda, Alok Barat, dan Alok Timur memiliki

kandungan DO bervariasi antara 13 sampai 19 mg/l. Untuk kepulauan di pesisir

utara yaitu Pulau Besar dan sekitarnya memiliki nilai kandungan berkisar antara

13 – 18 mg/l.

Untuk perairan bagian selatan Kabupaten Sikka diperoleh nilai kandungan

oksigen terlarut berkisar kurang dari 13 mg/l yang dijumpai di Kecamatan Paga,

Mego, Lela, Doreng, Mapitara, Bola, dan Lela memiliki nilai kandungan oksigen

terlarut sebesar 13-15 mg/l. Kadar oksigen terlarut tersebut menunjukkan bahwa

perairan utara dan selatan Kabupaten Sikka ini relatif baik dan normal serta masih

dapat mendukung kehidupan biota perairan.

Kecerahan air laut ditentukan oleh kekeruhan air laut itu sendiri dari

kandungan sedimen yang dibawa oleh aliran sungai. Pada laut yang keruh, radiasi

sinar matahari yang dibutuhkan untuk proses fotosintesis tumbuhan laut akan

kurang dibandingkan dengan air laut jernih. Kecerahan air di perairan Sikka yaitu

berkisar 2 m sampai dengan 33 m dengan rata-rata 11 m, bahkan di beberapa

stasiun pengamatan nilai salinitasnya tampak dasar yang dijumpai pada perairan

dengan kedalaman 10-30 m dan relatif jernih dan jauh dari sumber pencemaran.

Perairan ini secara umum hanya terpengaruh dari aktifitas rumah tangga

masyarakat pesisir yang tidak begitu besar. Berdasarkan hasil penelitian ini,

perairan Sikka memiliki rerata kecerahan sangat tinggi. Kondisi kecerahan yang

sangat tinggi ini menunjukkan bahwa kondisi perairan Sikka sangat rendah akan

zat-zat tersuspensi, khususnya sedimen di perairan.

Indikator status lamun diberikan status baik. Lamun yang dijumpai di

Perairan Teluk Maumere sebanyak 8 spesies yang terdiri dari 5 genus. Jenis lamun

yang paling umum dijumpai adalah Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata,

Cymodocea cerrulata, Holodule universis, Holophila ovalis dan Holophila minor.

Kerapatan lamun disetiap lokasi penelitian bervariasi antara 34,27/m2 (Tanjung

Darat) sampai 345,99/m2 (Koja Timur). Presentasi tutupan lamun rata-rata sebesar

50%/m2, dengan prosentasi tutupan tertinggi dijumpai di Koja Timur 80%/m2 dan

terendah di Tanjung Darat 20%/m2.

Tabel 10. Jenis dan Sebaran Lamun di Teluk Maumere No Jenis Lokasi

1 2 3 4 5 1 Enhalus acoroides * * * * * 2 Cymodocea rotundata * * * * * 3 Cymodocea cerrulata * * * * * 4 Syringodium filiforme - * * * - 5 Holodule pinifolie - * - - * 6 Holodule universis * * * * * 7 Holophila ovalis * * * * * 8 Holophila minor * * * * *

Keterangan: 1. Tanjung Darat; 2. Pulau Pangabatang; 3. Pulau Dambila; 4. Koja Timur; 5. Koja Besar. * = ada/ditemukan; - = tidak ada/tidak ditemukan

Indikator status mangrove diberikan status sedang. Di perairan Teluk

Maumere berhasil diidentifikasi sebanyak 12 jenis spesies mangrove yang

mewakili 4 genus dan 7 famili. Jenis mangrove yang umumnya dijumpai adalah

Rhyzophora stylosa dan Sonneratia alba. Di lokasi penelitian Tanjung Darat

(Desa Talibura) dijumpai lebih banyak jenis mangrove dibandingkan lokasi

lainnya. Kerapatan mangrove untuk kategori pohon berkisar antara 0,05 –

1023,92/ha, dengan kerapatan tertinggi di lokasi Wuring I (Maumere) dan

terendah di Koja Timur.

Ketersediaan permudaan (semai dan sapling) kurang begitu baik. Hutan

mangrove di Koja Timur memiliki ketersediaan sapling yang tertinggi (12.900/ha)

dan terendah di lokasi penelitian Nangahale (656,75/ha). Ketersediaan semai

tertinggi dijumpai di hutan mangrove Tanjung Darat (6146,03/ha) dan lokasi

Pulau Pangabatang (timur dan barat) tidak dijumpai adanya semai. Kerusakan

hutan mangrove di Perairan Teluk Maumere cukup tinggi, hal ini nampak dari

tingginya prosentasi penebangan pohon dan sapling mangrove.

Penebangan sapling dan pohon mangrove terjadi pada semua lokasi

penelitian dengan prosentasi penebangan yang bervariasi. Prosentasi penebangan

tertinggi dijumpai di lokasi Wuring II (45,10%) dan terendah di Koja Besar

(14,47%). Di lokasi penelitian Desa Nangahale dijumpai adanya kematian

mangrove dalam jumlah yang cukup besar dengan presentasi kematian 54,79%

(Conterius, dkk, 2002). Pada periode 1982-1993, terjadi penurunan luasan

mangrove dari 5,21 juta menjadi 2,5 juta ha dan terjadi hampir merata di seluruh

wilayah pesisir (Anonimus, 2009).

Tabel 11. Luas dan Tingkatan Kerusakan Ekosistem Mangrove di Kabupaten Sikka

No Lokasi Penelitian Luas Area (Ha) Kerusakan (Ha) 1 Ndete 12. 964 6. 482 2 Nanga Rasong 9. 125 4. 560 3 Nanga Hure 7. 220 3. 610 4 Wailiti 3. 704 1. 850 5 Waipare 7. 408 3. 700 6 Likot 20. 370 10. 190 7 Talibura 16. 668 8. 340 8 Tanjung Barat 28. 706 14. 350 9 Wailamung 18. 520 9. 260 10 Tanahdewa 18. 520 5. 550 11 Koja Gete 11. 112 5. 550 12 Gusungkarang 41. 630 13. 890 13 Lebantour 27. 780 13. 890 14 Nebe 27. 780 13. 890 Jumlah 251. 507 115. 112

Sumber: Bappeda NTT, 2002 Indikator status terumbu karang diberikan status baik. Hasil penelitian

program Coremap di lokasi desa-desa binaan Coremap Kabupaten Sikka

sebanyak 84 titik penyelaman dari 30 desa di 12 kecamatan pantai dan pulau

pada tahun 2009. Pemantauan sudah dilakukan sebanyak 4 kali (2006-2007-2008-

2009) sehingga dapat disimpukan sebagai berikut: a). Monitoring tahun 2009 ini

diperoleh 2 lokasi terumbu karang yang memiliki kondisi sangat bagus, 20 lokasi

yang masih bagus, dan masing-masing 31 lokasi dalam kondisi sedang dan rusak

parah. b).

Kondisi terumbu karang dari tahun 2006, 2007 hingga 2008 terus

meningkat dari kondisi ‘rusak’ menjadi kondisi ‘sedang’ dengan indikasi tutupan

karang hidup rata-rata 17,38 % (2006) : 24,07 % (2007) : 35,22% (2008) :

35,28 %. Berarti ada peningkatan dari nilai rata-rata tutupan karang hidup pada

lokasi-lokasi Coremap II Kabupaen Sikka. c). Kematian karang terbesar akibat

gangguan aktivitas manusia yang memanfaatkan terumbu karang sebagai areal

penangkapan ikan pada tahun-tahun sebelum 2006 atau sebelum adanya program

Coremap di Kabupaten Sikka. Kematian karang yang baru disebabkan oleh

pemangsaan oleh bintang bermahkota duri (Acanthaster planci) dalam dua tahun

terakhir, dan d). Kelimpahan biota terumbu karang selain karang (benthos)

tertinggi di temukan pada tiga titik, yakni Kampung Buton Kelurahan Kota

Uneng, Taka Luar depan Perkapasan Kelurahan Wailiti, dan di Taka Hewuli.

Indikator status habitat unik/khusus (spawning ground, nursery ground,

feeding ground, upwelling) diberikan status buruk. Hasil kajian menunjukkan

bahwa pengetahuan nelayan terhadap habitat unik/khusus yang ada di perairan

Kabupaten Sikka sangat rendah, dimana 90% nelayan mengatakan mereka tidak

mengetahui tempat unik/khusus seperti luasan, waktu, siklus, distribusi,

kesuburan perairan, spawning ground, nursery ground, feeding ground, dan

upwelling, mereka hanya mengandalkan pengalaman melaut untuk mencari

lokasi-lokasi ikan saat operasi penangkapan dan akan selalu berpindah-pindah

lokasi penangkapan setiap hari operasi.

1.1.3 Domain Teknologi Penangkapan IkanIndikator metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan/atau

illegal diberikan status buruk. Hasil penelusuran di instansi penegak hukum

ditemukan 17 Kasus destruktif fishing yang ditangani LANAL Maumere periode

2005-2010 (Tabel 12), 6 Kasus bom ikan tahun 2006-2010 yang ditangani Satuan

Reskrim Polres Sikka (Tabel 13), dan 2 kasus destruktif fishing ditangani

Kejaksaan Negeri Maumere yang berkekuatan hukum tetap (Tabel 14).

Tabel 12. Kasus Destruktif Fishing yang ditangani LANAL Maumere Periode 2005-2010 No Kejadian Perkara Jenis Pelanggaran Barang Bukti Pelaku Dilanjutkan ke

Kejaksaan Keterangan

Waktu Tempat Nama Asal Ya Tidak 1 20 Mei

2005 Laut Flores Melakukan

penangkapan ikan dengan bahan peledak

- Perahu tanpa motor (5 GT)

- 8 botol handak + sumbu

Tanpa nama Pamana Kabupaten Sikka

- Diserahkan ke Polres Sikka tanggal 20 Mei 2005

2 19 Juni 2005

Laut Flores Melakukan penangkapan ikan di laut territorial tanpa surat ijin

- KM Melinium Jaya (133 GT)

Charles Pamana Kabupaten Sikka

- Put PN MME No.59/PID.B/2005/PN.M MR

3 03 Juli 2005

Pantai Waigete Melakukan penangkapan ikan dengan bahan peledak

- PN. Suntari - Muatan Nihil

Tasir Pamana Kabupaten Sikka

- Put PN MME No.67/PID.B/2005/PN.M MR tanggal 200805

4 05 Maret 2008

Laut Flores Melakukan penangkapan ikan tanpa dilengkapi dengan SLO (kadaluarsa)

- KM Merpati III (30 GT)

- 2 ton ikan campuran

Darmawan Dusun Mole RT 005/RW 002 Desa Pamana Kab Sikka

- Tidak cukup bukti untuk diajukan ke Kejari

5 06 Maret 2008

Laut Flores Melakukan penangkapan ikan tanpa dilengkapi dengan SLO (kadaluarsa). Sertifikat Kelaikan dan pengawakan kapak ikan serta ABK tidak disijil

- KM Nur Baitullah (25 GT)

- Muatan Nihil

Muhamad Yamin

Dusun Mole Desa Pemana Kabupaten SIkka


6 06 Maret 2008

Laut Flores Melakukan penangkapan ikan tanpa dokumen yang

- KM Bukit Sawa (30 GT)

- Muatan Nihil

Ali Redi Dusun Mole RT 006/RW 003 `Desa


No. Kejadian Perkara Jenis Pelanggaran Barang Bukti Pelaku Dilanjutkan ke Kejaksaan

Keterangan

Waktu Tempat Nama Asal Ya Tidak sah Pemana

Kabupaten SIkka

7 06 Maret 2008

Laut Flores Melakukan penangkapan ikan tanpa dilengkapi dengan SLO (kadaluarsa), ABK tidak disijil

- KM Didi Saputra (30 GT)

- Muatan Nihil

La Sahada Dusun Buton Desa Pemana Kab Sikka


8 06 Maret 2008


- Km Bawa Karaeng (30 GT)

- Muatan Nihil

La Mimu RT 013/RW 003 Kel Wolomarang Kab Sika


9 06 Maret 2008


- KM KCBS – 19 (29 GT)


La Mbaga Jalan Don Slipi Kel.Waioti Kab Sika


10 11 Maret 2008

Laut Flores Melakukan penangkapan ikan tanpa dilengkapi dengan SPI,SLO dan ABK tidak sesuai crew list

- KM Karena Dia II (28 GT)


Jamal Pemana Kabupaten Sikka


11 05 Maret 2008

Laut Flores Melakukan penangkapan ikan tanpa dokumen yang sah

- KM Flotim 17 (16 GT)


Karsi Sukardi

Larantuka Kab. Flotim

- Dihentikan proses penyidikan karena tidak cukup bukti (SP3)

No. Kejadian Perkara Jenis Pelanggaran Barang Bukti Nama

Pelaku Dilanjutkan ke Kejaksaan

Keterangan

Waktu Tempat Pelaku Asa; Ya Tidak 12 31 Agustus

2009 Laut Flores Melakukan

penangkapan ikan tidak sesuai dengan SPI

- KM Melenium Jaya – 8 (28 GT)


Roby Jl. Sesetan Gg.Lumba-lumba Prov Bali


13 13 Desember 2009

Laut Flores Akan melakukan penangkapan ikan tanpa SIB, Sertifikat kelaikan dan pengawakan kapal ikan kadaluarsa

- KM Flores Tuna – 09 (28 GT)

- 20 karung es batu

Nurdin Mehali

Larantuka Kab Flotim


Sumber: LANAL Maumere, 2010

Tabel 13. Data Kasus Bom Ikan Tahun 2006-2010 yang ditangani Satuan Reskrim Polres Sikka No Kejadian Perkara Jenis

Pelanggaran Barang Bukti Pelaku Dilanjutkan ke

Kejaksaan Ket

Waktu Tempat Nama Asal Ya Tidak 1 02-02.2006 Ndete, Kec

Magepanda Kab Sikka

Bom Ikan - Satu uni perahu - Satu buah

detonator - Dua ekor ikan

YOKMAL Lakis,23 tahun Islam, nelayan

Dusun Waturia Desa Kolisia Kec Magepanda

Ya P.21

No. Kejadian Perkara Jenis Barang Bukti Pelaku Dilanjutkan ke Kejaksaan

Ket

Waktu Tempat Pelanggaran Nama Asal Ya Tidak


Ket

Waktu Tempat Pelanggaran Nama Asal Ya Tidak 2 10.04.2006 Perairan

Pemana Bom Ikan - Satu unit perahu

- Satu buah detonator

- Satu ekor ikan

1. ABUDIN Lakis,50 tahun Islam, nelayan

2. LA BAE Lakis,30 tahun Islam, nelayan

3. SULDIN Lakis,21 tahun Islam, nelayan

Dusun Ngolo, Desa Pemana Kec Maumere

Ya P.21

3 19.09.2006 Perairan Nangahale

Bom Ikan - Satu unit perahu - Satu uah detonator - Satu ekor ikan

HAJI SARUJL Lakis 47 tahun Islam, nelayan

Nangahale, Kec Talibura

Ya P.21

4 03.02.2007 Perairan Nangahure Kec Alok Barat Kab Sikka

Bom Ikan - Satu unit perahu - Satu ekor ikan

SIPRIANUS MBOI Lakis 50 tahun Khatolik , nelayan

Kampong Nangahure /Palue, Kel Nangahure Kec Alok Barat Kab Sikka

Ya P.21

5 04.12.2008 Perairan Nangahure Kec Alok Kab Sikka

Bom Ikan - Satu unit detonator - 5 bungkus pupuk - Ammonium nitrat /

500 gram - 6 lembar karung

kosong bertuliskan Amonium Nitrat

- 1 botol merk draft beer berisis bahan peledak aktif

JAMALUDINI Lakis 67 tahun Islam , nelayan

Kampong Nangahure /Palue, Kel Nangahure Kec Alok Barat Kab Sikka

Ya P.21


Ket

Waktu Tempat Pelanggaran Nama Asal Ya Tidak 6 14.02.2009 Perairan

Pemana Bom Ikan - 1 botol merk kecap

ABC berisi bahan peledak aktif

- 2 botol merk sprite berisi bahan pelesak aktif

- 1 botol jenefer yang berisi pupuk yang dicampur belerang dan korek api

- 5 botol yang berisi bahan peledak aktif

- 26 buah detonator - 5 buah baterai - 6 buah sumbu

bahan peledak - 4 karung yang

berisi pupuk ammonium nitrat

1. LA UNDU Lakis,43 tahun Islam, nelayan

2. KARDI Lakis,27 tahun Islam, nelayan

Dusun Ngolo Desa Pemana Kec Maumere

Ya P.21

Sumber: Satuan Reskrim Polres Sikka

Tabel 14. Kasus Destruktif Fishing ditangani Kejaksaan Negeri Maumere No Kejadian Perkara Jenis Pelanggaran Barang Bukti Pelaku Dilanjutkan ke

Kejaksaan Ket

Waktu Tempat Nama Asal Ya Tidak 1 Pada hari

Jumat tanggal 07 Nopember 2008

Wilayah perairan Takajurang, Desa Kolisia, Kec Magepanda Kab Sikka

Dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat atau cara dan atau bangunan yang dapat merugikan dan atau membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan atau lingkungannya. Melanggar pasal 84 ayat (1) UU RI No.31 Tahun 2004

- Satu buah sampan - Satu buah dayung - Satu buah perahu

ALIEN - Satu buah mesin

kompresor panjang 35 meter warna kuning

- Satu buah kaca mata selam

- Satu buah dakor warna hitam

- Satu unit mesin Derek Jiandong 16 PK

HASAN Dusun Waturia Desa Kolisia Kec Magepanda Kab Sikka

Ya Telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana putusan pengadilan negeri Maumere nomor: 37/PID.B/ 2009/PN.MMR tanggal 29 April 2009

2 Pada hari Selasa tanggal 14 Pebruari 2009

Dusun Mole, RT 04 RW 03, Kel Deda Pemana Kec Alok Kab Sikka

Dengan tanpa hak memasukan ke Indonesia membuat, menerima, mencoba, memperoleh, menyerahkan, atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan

- 5 buahn botol berisi bahan peledak aktif

- 3 buah botol kosong - 9 buah detonator

dengan dilengkapi kabel

- 21 detanator - 5 buah baterai ABC - 6 sumbu bahan

LA UNDU, dkk

Dusun Mole RT 04 RW 03, Kel Dede Pemana, Kec Alok, Kab SIkka

Ya Telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana putusan pengadilan negeri Maumere nomor: 14/PID.B/ 2009/PN.MMR

padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak

peledak tanggal 20 Mei 2009

Sumber: Kejaksaan Negeri Maumer

Indikator modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan

diberikan status sedang. Penggunaan alat tangkap dan alat bantu yang

menimbulkan dampak negatif terhadap SDI di perairan Kabupaten Sikka

terkategori kecil, dimana 90% responden menyatakan tidak melakukan modifikasi

alat penangkapan ikan. Untuk ikan target yang tertangkap 60% responden setuju

kalau ikan target yang tertangkap lebih besar dari total volume tangkapan, dan

ukuran ikan pelagis besar (tuna, cakalang, tongkol) yang tertangkap di perairan

Kabupaten Sikka dalam 5 tahun terakhir relatif berukuran sama, dimana pendapat

ini didukung oleh 40% responden, kecuali pada musim tertentu dimana

melimpahnya ikan tongkol kecil (Euthynnus affinis) lebih dari 60% ukuran target

spesies < Lm yang tertangkap (dimana ukuran maturity Lm Euthynnus affinis

antara 40-65 cm dan maksimum 100 cm untuk jantan dan 60 cm untuk betina

(www.fishbase.org), sementara ikan tongkol kecil yang tertangkap berukuran

panjang antara 10-15 cm.

Indikator kapasitas perikanan dan upaya penangkapan (fishing capacity

and effort) diberikan status buruk. Hasil analisis didapatkan nilai rasio/R= 0,06

(lebih kecil dari nilai nilai yang direkomendasikan), ini menunjukkan bahwa rasio

kapasitas penangkapan yang sangat rendah (Gambar 6).

Gambar 6. Fishing Capacity dan Effort Kabupaten Sikka

Indikator selektivitas penangkapan diberikan status baik. Dari analisa

prosentase penggunaan alat penangkapan ikan yang tergolong tidak atau kurang

selektif (PS') mendapatkan nilai = 35,29%, karena dari total 17 jenis alat tangkap

yang digunakan di Perairan Kabupaten Sikka (Payang termasuk Lampara, dogol

termasuk Lampara dasar dan Cantrang, pukat pantai termasuk Jaring arad, pukat

cincin, jaring insang hanyut, jaring insang lingkar, jaring klitik, jaring insang

tetap, bagan perahu/rakit, Bagan tancap, Rawai tetap dasar, Huhate, Pancing

tonda, Pancing ulur, Pancing tegak, Pancing cumi, dan bubu hanya 6 alat tangkap

yang berselektivitas rendah yaitu Payang (termasuk Lampara), dogol (termasuk

Lampara dasar, Cantrang), pukat pantai (Jaring arad), pukat cincin, Bagan Perahu,

dan Bagan Tancap (bandingkan daftar acuan selektivitas alat tangkap versi

EAFM, 2013). Hasil analisis menunjukkan bahwa penggunaan alat tangkap di

perairan Kabupaten Sikka berselektifitas tinggi, namun perlu pembatasan jumlah

alat tangkap berselektifitas rendah yang akan menimbulkan dampak bagi

ketersediaan stok perikanan, karena aktivitas penangkapan dikaitkan dengan

luasan daerah penangkapan, waktu, jumlah armada dan alat tangkap, dan

keragaman hasil tangkapan.

Indikator kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan

dokumen legal diberikan status buruk. Armada penangkapan ikan yang

beroperasi di perairan Kabupaten Sikka dipastikan oleh Satker Pengawasan dan

Perijinan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang berkantor di Kota Larantuka

yang mengawasi dan memberikan ijin bagi usaha perikanan di perairan Flores,

bahwa hanya nelayan dengan armada diatas 5 GT memiliki ijin dan sesuai antara

yang tertera di dokumen dan spefikasi kapal. Namun, pelanggaran dilaporkan

instansi berwenang dengan jumlah 11 kasus/pelanggaran penangkapan ikan yang

bermasalah dengan dokumen perijinan, termasuk jumlah pelanggaran yang

dilakukan oleh para nelayan andong. Dengan jumlah kasus yang cukup besar di

Perairan Kabupaten Sikka maka dapat dipastikan bahwa di wilayah perairan

tersebut masih terjadi tindakan illegal fishing yang tentunya membahayakan

kelestarian sumberdaya ikan.

Indikator sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan

diberikan status buruk. Dari 100 responden yang diwawancarai, 40% responden

menyatakan memiliki sertifikat namun tidak 100% bagi semua awak dalam suatu

aktivitas penangkapan (misalnya: pukat cincin, pole and line), dan 20% nelayan

yang menjadi responden tidak memiliki sertifikat sebagai indikator kualifikasi

kecakapan awak kapal perikanan

1.1.4 Domain SosialIndikator partisipasi pemangku kepentingan diberikan status sedang.

Nelayan yang beroperasi di perairan Kabupaten Sikka umumnya terwadah dalam

beberapa unit koperasi atau asosiasi nelayan, dan asosiasi yang paling aktif yaitu

Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Cabang Sikka. Dalam wawancara nelayan

87% responden menyatakan terlibat aktif dalam kegiatan yang berhubungan

dengan pengelolaan sumberdaya perikanan, baik berupa penyuluhan dan pelatihan

maupun aktivitas kelompok/organisasi yang mendukung keberlanjutan perikanan

(terutama untuk kegiatan yang berkaitan dengan COREMAP phase I dan II).

Dalam penyuluhan/pelatihan perikanan tangkap 70% responden menyatakan

mengikutinya lebih dari 1 kali setiap tahunnya, ini memberikan gambaran bahwa

pemahaman nelayan terhadap keikutsertaannya dalam pengelolaan sumberdaya

perikanan baik. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah

(DKP) dan pusat (KKP) selalu mendapat respon dan aktif diikuti masyarakat

(terutama nelayan), contohnya kegiatan COREMAP phase I dan II.

Indikator konflik perikanan diberikan status buruk. Konflik perebutan

penggunaan daerah penangkapan ikan di perairan Kabupaten Sikka sebanyak 7

kasus yang ditangani pengawas perikanan DKP Kabupaten Sikka, Polair, TNI AL

dimana pelaku diberi peringatan dan pengertian, dan hal ini didukung oleh 35%

responden yang mengaku pernah terlibat dalam konflik perebutan daerah

penangkapan ikan. Konflik benturan alat penangkapan ikan didominasi oleh

perikanan pole and line dan pukat cincin dimana 75% responden nelayan

mengaku berkonflik dengan nelayan andon/nelayan luar Kabupaten Sikka

(Kabupaten Flores Timur, Kupang, dan Ende) dan Nelayan Sulawesi yang

memiliki armada penangkapan yang lebih besar.

Indikator pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya

ikan (termasuk di dalamnya TEK/traditional ecological knowledge) diberikan

status baik. Hasil penelitian Stanis dkk (2010), menunjukkan bahwa masyarakat

desa di Kabupaten Sikka seluruhnya memiliki kearifan lokal untuk mendukung

pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Hasil Pengkajian tersebut menunjukkan

bahwa kearifan lokal di beberapa desa masih tetap terpelihara dan cukup efektif.

Persepsi dan aspirasi lokal masyarakat pesisir dan nelayan terhadap nilai-nilai

kearifan lokal, tradisi adat/hukum adat yang berkaitan dengan pengelolaan

sumberdaya alam laut dan pesisir diakui masih sangat kuat sehingga masih

ditaati/dipatuhi.

1.1.5 Domain EkonomiIndikator kepemilikan aset diberikan status sedang. Hanya 5% responden

menyatakan adanya penambahan aset produktif berupa mesin dan alat tangkap,

sementara 95% tidak terjadi pertambahan aset yang mendukung pekerjaan.

Indikator pendapatan rumah tangga (RTP) diberikan status buruk. Pengukuran

pendapatan rumah tangga perikanan dimaksudkan untuk melihat ketergantungan

rumah tangga terhadap sumberdaya perikanan serta ketergantungan rumah

tangga terhadap kepala keluarga.

Bila sumber pendapatan sebuah rumah tangga perikanan sebanyak sama

atau lebih dari 75% berasal dari perikanan maka rumah tangga tersebut dapat

dikatakan sangat bergantung pada sumberdaya perikanan. Demikian pula bila

75% sumber pendapatan dihasilkan dari usaha kepala rumah tangga berarti

rumah tangga tersebut sangat bergantung pada kepala rumah tangga. Informasi

tersebut sangat bermanfaat untuk strategi pengembangan kesejahteraan nelayan

dengan mencari sumber alternatif mata pencaharian.

Hasil kajian rumah tangga perikanan di Kabupaten Sikka menunjukkan

bahwa rata-rata pendapatan nelayan Rp. 929.000, dan bila dibandingkan dengan

upah minimum provinsi maka pendapatan nelayan terkategori rendah (UMP

Provinsi NTT Rp. 1.050.000). 90% pendapatan responden bergantung pada

kepala rumah tangga sebagai nelayan, dan 95% pendapatan berasal dari usaha

perikanan. Oleh karena itu, ketergantungan nelayan terhadap sumberdaya

perikanan sangat tinggi dan memungkinkan peningkatan upaya penangkapan yang

berdampak terhadap sumberdaya ikan dan lingkungannya.

Indikator saving rate diberikan status baik. Rata-rata kemampuan

menabung nelayan sebesar Rp. 4.726.000 dan didominasi oleh nelayan pole and

line, nelayan tuna, dan pukat cincin. Adanya peluang menabung karena

pendapatan yang besar, namun tidak semua nelayan mempunyai tekat dan niat

untuk menabung, sebagian dari nelayan tersebut menggunakan hasil usahanya

untuk bersenang-senang secara pribadi dan tidak memperhatikan kondisi ekonomi

keluarga.

1.1.6 Domain KelembagaanIndikator kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung

jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal

maupun non-formal diberikan status buruk. Kepatuhan nelayan terhadap prinsip

pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab masih dirasakan kurang dalam

pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Kabupaten Sikka, karena secara formal

17 Kasus Destruktif Fishing yang ditangani LANAL Maumere Periode 2005-

2010, 6 Kasus Bom Ikan Tahun 2006-2010 yang ditangani Satuan Reskrim Polres

Sikka, dan 2 kasus Destruktif Fishing ditangani Kejaksaan Negeri Maumere yang

berkekuatan hukum tetap.

Pelanggaran aturan non formal hampir tidak ada laporan tertulis, namun

hasil wawancara nelayan 65% responden menyatakan dan setuju kalau aturan adat

yang ada dimasyarakat dilanggar, hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Stanis

dkk (2010) yang menyatakan bahwa, kearifan lokal yang ada di Kabupaten Sikka

masih ada namun tidak berfungsi dengan baik karena ada pembiaran dari

masyarakat adatnya dan/atau tereduksi oleh masuknya nilai-nilai baru.

Indikator kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan diberikan

status sedang. Peraturan nasional diantaranya:

A. Undang-undang:

1. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan,

2. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,

3. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, 4. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, 5. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau

Kecil, 6. 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang,

7. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan,

8. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, 9. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention On

The Law Of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut).

B. Peraturan Pemerintah Pengganti UU:

1. 2 Tahun 2006 tentang Penangguhan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Pengadilan Perikanan Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 71 Ayat (5) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

C. Peraturan Pemerintah:

1. 64 Tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

2. 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhan 3. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan 4. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara

Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota

5. 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan 6. 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan

D. Peraturan Presiden:

1. 81 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Keamanan Laut,

E. Instruksi Presiden:

1. 2 Tahun 2002 tentang Pengendalian Penambangan Pasir Laut

F. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan:

1. 45 Tahun 2011 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia,

2. KEP.60/MEN/2010 tentang Produktivitas Kapal Penangkap Ikan, 3. KEP.39/MEN/2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Nasional

Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan Tahun 2010

4. KEP.06/MEN/2010 tentang Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia,

5. KEP.50/MEN/2008 tentang Produktifitas Kapal Penangkap Ikan, 6. KEP.19/MEN/2006 tentang Pengangkatan Syahbandar di Pelabuhan

Perikanan, 7. KEP.15/MEN/2006 tentang Pedoman Umum Identifikasi Data Tata

Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil 8. KEP.38/MEN/2004 tentang KEP.38/MEN/2004,

9. KEP.30/MEN/2004 tentang Pemasangan dan Pemanfaatan Rumpon, 10. KEP.13/MEN/2004 tentang Pedoman Pengendalian Nelayan Andon

Dalam Rangka Pengelolaan Sumberdaya Ikan, 11. KEP.11/MEN/2004 tentang Pelabuhan Pangkalan Bagi Kapal

Perikanan, 12. KEP.40/MEN/2003 tentang Perusahaan Perikanan Skala Kecil dan

Skala Besar di Bidang Usaha Penangkapan Ikan, 13. KEP.34/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Penataan Ruang Pesisir

Dan Pulau-Pulau Kecil, 14. KEP.33/MEN/2002 tentang Zonasi Wilayah Pesisir Dan Laut Untuk

Kegiatan Pengusahaan Pasir Laut, 15. KEP.12/MEN/2002 tentang Pendaftaran Ulang Perizinan Usaha

Penangkapan Ikan Tahap Kedua, 16. KEP.03/MEN/2002 tentang Log Book Penangkapan dan

Pengangkutan Ikan, 17. KEP.02/MEN/2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan

Penangkapan Ikan, 18. KEP.58/MEN/2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Sistem

Pengawasan Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan,

19. KEP.47/MEN/2001 tentang Format Perizinan Usaha Penangkapan Ikan,

20. KEP.46/MEN/2001 tentang Pendaftaran Ulang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan,

G. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan:

1. PER.08/MEN/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.08/MEN/2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Tangkap Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pemgelolaan Perikanan Negara Republik Indonesi,

2. PER.02/MEN/2011 tentang 3. PER.30/MEN/2010 tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi

Kawasan Konservasi Perairan, 4. PER.18/MEN/2010 tentang Log Book Penangkapan Ikan, 5. PER.16/MEN/2010 tentang Pemberian Kewenangan Penerbitan Surat

Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkutan Ikan (SIKPI) untuk Kapal Perikanan Berukuran di Atas 30 (Tiga Puluh Gross Tonage) sampai dengan 60 (Enam Puluh Gross Tonage) Kepada Gubernur,

6. PER.13/MEN/2010 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2009 tentang Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan,

7. PER.09/MEN/2010 tentang Penugasan Sebagian Urusan Pemerintahan (Tugas Pembantuan) Bidang Kelautan dan Perikanan Tahun Anggaran 2010 kepada Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota,

8. PER.07/MEN/2010 tentang Surat Laik Operasi Kapal Perikanan, 9. PER.06/MEN/2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Kelautan

dan Perikanan Tahun 2010-2014, 10. PER.30/MEN/2009 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Izin

Usaha Di Bidang Kelautan Dan Perikanan Dalam Rangka Pelaksanaan Terpadu Satu Pintu Di Bidang Penanaman Modal Kepada Kepala BKPM,

11. PER.28/MEN/2009 tentang Sertifikasi Hasil Tangkapan Ikan, 12. PER.27/MEN/2009 tentang Pendaftaran dan Penandaan Kapal

Perikanan, 13. PER.13/MEN/2009 tentang Komisi Nasional Pengkajian Sumber

Daya Ikan, 14. PER.12/MEN/2009 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri

Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap,

15. PER.17/MEN/2008 tentang Kawasan Konservasi Di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil,

16. PER.16/MEN/2008 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir, 17. PER.15/MEN/2008 tentang Tata Cara Pemungutan Penerimaan

Negara Bukan Pajak Pada Departemen Kelautan dan Perikanan Di Bidang Pembudidayaan Ikan Yang Berasal Dari Pungutan Perikanan,

18. PER.12/MEN/2007 tentang Perizinan Usaha Pembudidayaan Ikan, 19. PER.05/MEN/2007 tentang Penyelenggaraan Sistem Pemantauan

Kapal Perikanan, 20. PER.03/MEN/2007 tentang Surat Laik Operasi Kapal Perikanan,

H. Keputusan Bersama:

1. Departemen Kelautan dan Perikanan dan Kejaksaan R.I No: 01/MEN-KP/KB/III/2009; KEP.032/A/JA/03/2009 tentang Penanganan Masalah Hukum Dalam Bidang Kelautan dan Perikanan,

Kegiatan Ilegal, Unreported dan Unregulated Fishing (IUU Fishing)

adalah kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan secara tidak sah, tidak

dilaporkan atau dilakukan tanpa pengaturan pengelolaan. Kegiatan IUU Fishing

ini merupakan ancaman paling nyata terhadap kelestarian sumberdaya perikanan.

Kenyataan di lapangan disamping terjadi peningkatan produksi, juga masih

ditemui adanya gangguan atau kendala-kendala yang muncul seperti adanya

gangguan yang sifatnya pelanggaran atau pengrusakan terhadap sumberdaya ikan

meliputi Ilegal, Unreported, dan Unregulated Fishing. Penegakan aturan main

dalam pencegahan terhadap kegiatan perikanan yang merusakan dan ilegal telah

dilakukan secara berkala oleh tim gabungan (DKP Kabupaten Sikka, TNI AL,

Polair, dan Satker Pengawasan). Termasuk penegakan aturan terhadap

pelanggaran terhadap IUU Fishing dengan penyelidikan, penyidikan, penuntutan,

dan beberapa kasus telah berkekuatan hukum tetap dimana di pelaku diberikan

hukuman dan mendapat efek jera.

Indikator mekanisme pengambilan keputusan diberikan status sedang.

Adanya mekanisme pengambilan keputusan yang disepakati bersama dan

diserahkan kewenangannya kepada instansi perijinan terpadu (satu pintu), namun

dirasa kurang efektif dalam pelaksanaannya karena dinas teknis (DKP) tidak

secara langsung berperan aktif untuk menentukan keputusan akhir. Juga termasuk

beberapa keputusan bersama yang disepakati dengan pemerintah desa tidak

diakomodir dalam implementasinya, hal ini mengemuka dalam wawancara

dengan para kepala desa.

Indikator rencana pengelolaan perikanan diberikan status buruk. Belum

ada rencana pengelolaan perikanan di Kabupaten Sikka (khususnya Dinas

Kelautan dan Perikanan), yang ada hanya beberapa dokumen perencanaan yang

terkait dengan pengelolaan terumbu karang dan KKPD di Kabupaten Sikka.

Indikator tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan

diberikan status baik. Tingkat sinergisitas antar kebijakan dan lembaga dalam

pengelolaan perikanan dapat diartikan sebagai adanya keterpaduan gerak dan

langkah antar lembaga dan antar kebijakan dalam pengelolaan perikanan sehingga

tidak memunculkan adanya konflik kepentingan dan benturan kebijakan. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa telah terbentuk sinergitas antar lembaga dalam

pengelolaan perikanan, hal ini dapat dilihat dengan adanya upaya pencegahan

terhadap pelanggaran perikanan dan kelautan yang dilakukan secara kolaboratif

oleh DKP, Satker, TNI AL, dan Polair dengan standar operasional prosedur yang

baku di masing-masing instansi.

Indikator kapasitas pemangku kepentingan diberikan status sedang.

Tujuan penggunaan indikator ini adalah untuk mengetahui upaya peningkatan

kapasitas pemangku kepentingan dalam kerangka EAFM. Beberapa cotoh upaya

yang dilakukan seperti adanya pelatihan-pelatihan, seminar dan workshop untuk

mendapatkan pegetahuan, short corse dan pendidikan strata yang lebih tinggi (S1-

S2-S3). Upaya-upaya ini merupakan langkah untuk meminimalisir kesalahan

dalam mengimplementasikan pengelolaan perikanan dengan pendekatan

ekosistem.

Dalam penelitian ini belum ditemukan upaya yang secara khusus

dilakukan oleh pemangku kepentingan dalam hal ini pemerintah untuk

melaksanakan dan/atau mengikuti berbagai kegiatan yang terkait dengan upaya

pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem, namun peningkatan

kapasitas dan upaya pengelolaan perikanan telah dilakukan lewat program

COREMAP phase I dan II (contohnya untuk masyarakat: penciptaan mata

pencaharian alternatif sebagai upaya meminimalisir penangkapan ikan dengan

cara yang merusak ekosistem terumbu karang, untuk dinas teknis belum ada

pelatihan/workshop yang terkait langsung dengan pengelolaan perikanan dengan

pendekatan ekosistem).

1.2 Analisis Tematik Pengelolaan Perikanan di KabupatenManggarai Barat

1.2.1 Domain Sumberdaya IkanCatch Per Unit Effort (CPUE) didefinisikan sebagai laju tangkap

perikanan per tahun yang diperoleh dengan menggunakan data time series,

minimal selama 5 tahun, sedangkap effort atau upaya penangkapan ikan itu sendiri

diartikan jumlah waktu yang dihabiskan untuk menangkap ikan di wilayah

perairan tertentu. Tujuan analisis indikator ini adalah untuk mengetahui pola

perubahan stock perikanan dari waktu ke waktu di suatu wilayah tertentu.

Kriteria yang menjadi dasar untuk menyimpulkan pola CPUE dalam

EAFM ini adalah tetap dan cenderung meningkat, menurun sedikit, dan menurun

tajam. Apabila suatu wilayah memiliki kriteria CPUE menurun tajam, maka ini

mengindikasikan terjadi kegiatan perikanan yang tidak berdasarkan prinsip

keberlanjutan dan/atau kondisi sumberdaya dan ekosistem juga mengalami

penurunan kualitas.

Gambar 7. CPUE Kabupaten Manggarai Barat

Acuan lainnya tentang kondisi CPUE adalah dengan menanyakan apakah

hasil tangkapan saat ini menurun, tetap, atau meningkat apabila dibandingkan

dengan sebelumnya (5-10 tahun yang lalu). Berkaitan dengan hal ini, 10%

responden menyatakan bahwa hasil tangkapan menurun jika dibandingkan dengan

5-10 tahun yang lalu, 20% responden menyatakan hasil tangkapan sama dengan 5-

10 tahun yang lalu, 70% responden menyatakan hasil tangkapan mengalami

peningkatan dibandingkan dengan 5-10 tahun yang lalu. Mengacu pada data

produksi perikanan menurut jenis ikan di Kabupaten Manggara Barat tahun 2011-

2012, terdapat peningkatan produksi pada semua jenis hasil tangkapan.

Pengambilan data indikator ukuran ikan hal ini dilakukan bertujuan

mengetahui ukuran panjang ikan sebagai data untuk analisis frekuensi panjang

(length frequency analysis) yang selanjutnya akan dapat diduga laju eksploitasi

dari suatu unit stok ikan. Jika terjadi penurunan nilai ukuran ikan secara temporal

maka mengindaksikan terjadinya kecenderungan tangkap lebih (overfishing) pada

perairan tersebut (Jackson et al., 2001; Orensanz et al., 1998, dalam Modul

EAFM, 2012).

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, data tentang ukuran panjang

ikan yang tertangkap belum tersedia. Data tersebut sebenarnya dapat diperoleh di

tempat pendaratan ikan. Namun pada saat ini, TPI di Kabupaten Manggarai Barat

beralih fungsi menjadi pasar mengingat hingga saat ini pengelolaan TPI diberikan

kepada pihak ketiga (hasil wawancara dengan Kepala Seksi Pengawasan Dinas

Kelautan, Perikanan dan Peternakan kabupaten setempat.

Pengambilan data indikator ukuran ikan hal ini dilakukan bertujuan

mengetahui ukuran panjang ikan sebagai data untuk analisis frekuensi panjang

(length frequency analysis) yang selanjutnya akan dapat diduga laju eksploitasi

dari suatu unit stok ikan. Jika terjadi penurunan nilai ukuran ikan secara temporal

maka mengindaksikan terjadinya kecenderungan tangkap lebih (overfishing) pada

perairan tersebut (Jackson et al., 2001; Orensanz et al., 1998, dalam Modul

EAFM, 2012).

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, data tentang ukuran panjang

ikan yang tertangkap belum tersedia. Data tersebut sebenarnya dapat diperoleh di

tempat pendaratan ikan. Namun pada saat ini, TPI di Kabupaten Manggarai Barat

beralih fungsi menjadi pasar mengingat hingga saat ini pengelolaan TPI diberikan

kepada pihak ketiga (hasil wawancara dengan Kepala Seksi Pengawasan Dinas

Kelautan, Perikanan dan Peternakan kabupaten setempat.

Selain ukuran ikan, indikator proporsi yuwana yang tertangkap pada saat

penangkapan juga sangat penting dalam analisis domain sumberdaya ikan.

Yuwana adalah cikal bakal sumberdaya ikan, sehingga seyogyanya sekecil

mungkin yuwana tertangkap dalam kegiatan penangkapan. Tertangkapnya

yuwana pada saat penangkapan dapat disebabkan oleh beberapa faktor

diantaranya musim penangkapan bertepatan dengan musim pembesaran, alat

tangkap tidak selektif, dan tidak tersedianya informasi ruwaya dan daerah

pembesaran berbagai jenis ikan.

Berkaitan dengan kajian EAFM ini, proporsi yuwana yang tertangkap

menentukan potensi sumberdaya ikan di masa yang akan datang. Sangat

diharapkan bahwa proporsi yuwana yang tertangkap saat kegiatan penagkapan

sangat kecil. Dengan demikian, ketersediaan stok sumberdaya ikan dapat terus

terjaga. Sumber data tentang proporsi yuwana yang tertangkap adalah nelayan

penangkapan dan tempat pendaratan ikan. Namun demikian, data yang diperoleh

selanjutnya bergantung pada kebiasaan nelayan untuk melakukan pencatatan

terhadap hasil tangkapan. Kenyataan yang ada, sangat kecil kemungkinan

tersedianya data tersebut mengingat nelayan di Kabupaten Manggarai Barat

hampir tidak pernah melakukan pencatatan dengan baik terhadap data ini.

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, pernyataan tentang

proporsi yuwana yang tertangkap pada saat penangkapan sangat bervariasi.

Mengingat pernyataan yang ada bersifat kualitatif maka keputusan penilaian

indikator ini adalah tidak tersedia data tentang proporsi yuwana yang tertangkap.

Skor yang diberikan adalah 0, dengan catatan untuk masa yang akan datang, hal

ini perlu dicarikan upaya pengumpulan data secara terjadwal dengan

menggunakan beberapa teknik pengumpulan data yang sesuai.

Indikator keempat dalam domain sumberdaya ikan adalah komposisi

spesies. Pada kegiatan penangkapan, alat tangkap dan sarana penunjang

penangkapan seyogyanya bersifat spesifik dan selektif. Alat tangkap dikatakan

spesifik ketika ikan non target yang tertangkap jumlahnya diusahakan sekecil

mungkin. Ketika alat tangkap berpeluang menangkap ikan non target melalui

modifikasi alat tangkap, maka keberlanjutan sumberdaya ikan berpeluang untuk

menurun setiap tahunnya.

Sama halnya dengan indikator proporsi yuwana yang tertangkap dan

ukuran ikan seyogyanya tersedia di tingkat nelayan dan SKPD terkait. Namun

demikian, menjadi catatan tersendiri ketika rekaman data tersebut belum

dilakukan. Mengingat data tersebut tidak tersedia, maka untuk kebutuhan analisis

komposit domain ini diperoleh dari hasil wawancara dengan responden.

Berdasarkan hasil wawancara, 90% responden mengatakan bahwa proporsi

ikan target lebih banyak dibandingkan dengan ikan non target. Meskipun

demikian, responden tidak memungkiri ada pada waktu tertentu, antara 2-3 kali

penangkapan terdapat indikasi ikan target hampir sama dengan ikan non target.

Mengacu pada hasil wawancara tersebut maka nilai untuk indikator ini adalah 3.

Populasi spesies ETP (Endangered species, Threatened species, and

Protected species) adalah indikator kelima dalam domain sumberdaya ikan.

Tertangkapnya spesies ETP dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu belum

menyeluruh sosialisasi tentang spesies ini, penangkapan yang disengaja karena

beberapa jenis memeiliki nilai jual, dan tertangkap dengan tidak sengaja (by

catch). Data tentang spesies ETP yang tertangkap dapat diperoleh dari beberapa

sumber yaitu pengawasan oleh instnasi yang berwewenang, laporan nelayan, dan

observasi.

Berdasarkan hasil kajian, responden menyatakan bahwa pernah beberapa

jenis tertangkap seperti penyu, namun karena hewan ini tidak memiliki nilai

ekonomis (tidak terbiasa untuk dikonsumsi) selanjutnya dilepas kembali ke

wilayah perairan. Apabila dilihat dari hasil secara keseluruhan maka, dapat

dikatakan tidak ada spesies ETP yang tertangkap. Mengacu pada informasi

tersebut maka skor yang diberikan untuk indikator ETP adalah 3 (tidak ada

spesies ETP yang tertangkap).

Range collapse adalah jarak tangkap antara rumah dan daerah

penangkapan ikan atau fishing ground. Berdasarkan hasil wawancara dengan

responden, secara keseluruhan responden menyatakan ada penambahan jarak

penangkapan mencapai kisaran 1-3 km, dan DPI mulai mengindikasikan semakin

sulit serta semakin jauh. Dengan demikian nilai skor untuk kemudahan

menemukan DPI adalah 1 dan 2 untuk penambahan jarak DPI (semakin jauh).

Range collapse adalah jarak tangkap antara rumah dan daerah

penangkapan ikan atau fishing ground. Berdasarkan hasil wawancara dengan

responden, secara keseluruhan responden menyatakan ada penambahan jarak

penangkapan mencapai kisaran 1-3 km, dan DPI mulai mengindikasikan semakin

sulit serta semakin jauh. Dengan demikian nilai skor untuk kemudahan

menemukan DPI adalah 1 dan 2 untuk penambahan jarak DPI (semakin jauh).

1.2.2 Domain Habitat dan EkosistemKualitas perairan sangat menentukan nilai daya dukung lingkungan. Pada

indikator kualitas perairan ini terdapat tiga parameter yang perlu dilakukan

penilaian diantaranya limbah yang teridentifikasi secara klinis, tingkat kekeruhan

dan eutrofikasi. Ketiga parameter tersebut diperoleh dari hasil survey dan/atau

data yang terdokumentasi (laporan penelitian atau dokumen lainnya). Penggunaan

data sekunder sangat dimungkinkan apabila kegiatan survey belum

memungkinkan untuk dilakukan. Namun demikian, kajian terhadap ketiga

parameter tersebut perlu dilakukan secara kontinyu untuk mengetahui pola

perubahan yang terjadi di perairan.

Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa kualitas perairan berkaitan dengan

indikasi terjadinya pencemaran perairan. Mengacu pada Peraturan Pemerintah No.

82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran

Air, perairan dikatakan tercemar jika salah satu dari parameter baku mutu air

melebihi ambang batas atau standar pencemaran yang telah ditetapkan. Pendugaan

pencemaran perairan dapat dilakukan dengan melakukan identifikasi jenis limbah

dan konsentasinya di perairan.

Berkaitan dengan jenis limbah, jenis-jenis limbah yang teridentifikasi akan

menentukan dampak langsung dan dampak lanjutan bagi biota perairan dan

manusia sebagai top level. Parameter lain berupa tingkat kekeruhan umumnya

juga digunakan untuk menduga kualitas perairan. Sebagai contoh, keruhan dapat

terjadi akibat dari sedimentasi ketika tegakan mangrove berkurang dan/atau terjadi

konversi hutan mangrove menjadi lahan lainnya. Parameter ketiga yang perlu

diamati untuk pendugaan kualitas perairan yang berhubungan dengan parameter

pertama dan kedua adalah eutrofikasi.

Eutrofikasi merupakan masalah lingkungan hidup yang diakibatkan oleh

limbah fosfat (PO3-) di perairan. Definisi dasarnya adalah pencemaran air yang

disebabkan oleh munculnya nutrient yang berlebihan ke dalam ekosistem air. Air

dikatakan eutrofik jika konsentrasi total phosphorus (TP) dalam air berada dalam

rentang 35-100 µg/L. Sejatinya, eutrofikasi merupakan sebuah proses alamiah di

mana danau mengalami penuaan secara bertahap dan menjadi lebih produktif bagi

tumbuhnya biomassa. Diperlukan proses ribuan tahun untuk sampai pada kondisi

eutrofik. Proses alamiah ini, oleh manusia dengan segala aktivitas modernnya,

secara tidak disadari dipercepat menjadi dalam hitungan beberapa dekade atau

bahkan beberapa tahun saja. Maka tidaklah mengherankan jika eutrofikasi

menjadi masalah di hampir ribuan danau di muka Bumi, sebagaimana dikenal

lewat fenomena alga bloom (http://id.wikipedia.org/wiki/Eutrofikasi).

Berdasarkan hasil kajian, belum tersedia data tentang kualitas perairan di

Kabupaten Manggarai Barat, terutama tentang jenis limbah, tingkat kekeruhan,

dan eutrofikasi. Berdasarkan hasil wawancara dengan staf Dinas Kelautan,

Perikanan dan Peternakan setempat, kegiatan kajian ketiga parameter tersebut

belum pernah dilakukan. Namun demikian, beberapa responden (pemerintah dan

masyarakat) menyatakan bahwa tingginya tingkat pembangunan sarana dan

prasarana pariwisata seiring dengan lebih terbukanya informasi tentang

Manggarai Barat sebagai salah satu destinasi wisata dunia, dikhawatirkan akan

menurunkan kualitas peraiaran. Penurunan kualitas perairan tersebut dapat terjadi

ketika limbah dibuang ke perairan tanpa dilakukan pengolahan terlebih dahulu.

Mengacu pada kondisi tersebut maka skor indikator ini adalah 0. Kondisi

ini terjadi bukan sebagai kondisi nyata di lapangan, melainkan karena belum

tersedianya data untuk ketiga parameter tersebut. Hal ini seyogyanya menjadi

perhatian Pemda Kabupaten Manggarai Barat dalam upaya menjaga kualitas

perairan. Kegiatan yang dapat diusulkan berkaitan dengan penyediaan data tiga

parameter tersebut adalah mengoptimalisasikan proses perijinan usaha dan/atau

kegiatan yang perlu disertai dengan dokumen kelayakan lingkungan. Para pemilik

usaha dan/atau kegiatan yang diduga memberikan perubahan terhadap kualitas

perairan, yang selanjutnya disebut dengan pemrakarsa, diwajibkan untuk

mengukur kualitas perairan sebagai data rona awal lingkungan dan wajib

melakukan upaya pemantauan lingkungan perairan. Dengan demikian,

ketersediaan data kualitas perairan secara kontinyu dapat tercapat.

Lamun merupakan salah satu ekosistem penting di wilayah pantai.

Menurut Bengen (2001), padang lamun merupakan ekosistem yang tinggi

produktifitas organiknya, dengan keanekaragaman biota yang cukup tinggi. Pada

ekosistem ini hidup beraneka ragam biota laut seperti ikan, Krustasea, Moluska

(Pinna sp., Lambis sp., dan Strombus sp.), Ekinodermata (Holothuria sp., Synapta

sp., Diadema sp., Arcbaster sp., Linckia sp.) dan cacing (Polichaeta). Padang

lamun merupakan habitat bagi berbagai jenis biota perairan, khususnya hewan

laut. Di beberapa daerah, beberapa jenis lamun dijadikan sebagai bahan pangan

bag masyarakat pesisir. Oleh karena itu, padang lamun tidak saja bermanfaat bagi

kelangsungan hidup hewan laut tetapi juga bagi manusia di sekitarnya.

Komunitas lamun yang terdiri atas sekelompok anggota bangsa tumbuhan

berbunga yang beradaptasi dengan air asin, memiliki kemampuan pemperlambat

gerakan air, sehingga sangat cocok untuk dijadikan sebagai daerah asuhan dan

daerah pencarian makanan oleh berbagai jenis hewan laut, khususnya pada stadia

larva dan juvenil. Komunitas padang lamun di wilayah pantai, dewasa ini

terancam mengalami perubahan struktur seiring dengan meningkatnya aktivitas di

wilayah pesisir dan pantai.

Kaitannya dengan indikator status lamun pada domain habitat dan

ekosistem, terdapat dua parameter yang perlu dikaji. Kedua parameter tersebut

adalah luas tutupan dan keanekaragaman jenis lamun. Kajian terhadap dua

paramater tersebut tidak saja dilakukan sekali melainkan terjadwal untuk

menghasilkan informasi tentang perubahan komunitas padang lamun.

Berdasarkan hasil kajian tentang status lamun di Kabupaten Manggarai Barat,

belum tersedia data tentang luas tutupan lamun dan keanekaragaman jenis lamun.

Dengan demikian, skor status lamun pada domain habitat dan ekosistem adalah 0.

Kondisi ini selanjutnya akan berpengaruh pada nilai agregat dari domain habitat

dan ekosistem. Nilai akhir agregat tersebut sebenarnya bukan nilai nyata yang

menunjukkan kondisi saat ini. Proses ini selanjutnya dibahas pada rekomendasi

guna meningkatkan kelengkaan kajian peforma perikanan di Kabupaten

Manggarai Barat berbasis EAFM.

Mangrove merupakan salah satu ekosistem penting di wilayah pantai.

Masyarakat mengenal mangrove dengan nama hutan bakau atau hutan mangrove.

Vegetasi mangrove secara khas memperlihatkan adanya pola zonasi, yang erat

kaitannya dengan tipe lumpur (lumpur, pasir atau gambut), keterbukaan terhadap

hempasan gelombang, salinitas serta pengaruh pasang surut (Noor et al., 1999).

Selain sebagai ekosistem, mangrove juga sebagai habitat berbagai satwa

liar (primata, reptil, dan burung), habitat berbagai jenis moluska dan krustasea.

Bagi berbagai jenis ikan dan udang, perairan mangrove merupakan tempat yang

sangat ideal sebagai daerah asuhan, tempat mencari makanan dan pembesaran

larva dan juvenil. Bagi manusia yang bermukin di sekitar mangrove, mangrove

sebagai sarana untuk mereduksi angin dan gelombang, sedangkan bagi wilayah

daratan berfungsi dengan penahan laju intrusi air laut. Manfaat mangrove bagi

perairan yang ada disekitarnya adalah sebagai penahan laju sedimentasi, sehingga

perairan di sekitar mangrove relatif terhindar dari sedimentasi.

Lebih lanjut Noor et al., (1999) menjelaskan bawha mangrove merupakan

ekosistem yang sngat produktif. Masyarakat memanfaatkan tegakan mangrove

untuk berbagai keperluan diantaranya bahan bangunan, kayu bakar, kertas, dan

obat-obatan, serta di beberapa tempat di Provinsi NTT, buah salah satu jenis

mangrove digunakan sebagai bahan makanan oleh penduduk di sekitarnya.

Ditambah dengan produktivitas perairan yang tinggi, maka tidak mengherankan

apabila manusia berlomba-lomba untuk memanfaatkan ekosistem ini. Pada

pemanfaatan mangrove secara tradisional dengan tidak mengkonversi kawasan

hutan menjadi lahan pertambakan, dan/atau peruntukan lainnya, laju penurunan

luasan hutan sangat lambat. Pertambahan penduduk dan meningkatnya

pemanfaatan mangrove untuk perikanan pantai, ditambah dengan kurangnya

reboisasi, semakin mempercepat penurunan laju penurunan luasan dan

keanekaragaman mangrove.

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat korelasi positif antara produksi ikan

dan kualitas hutan mangrove (luasan dan keanekaragaman jenis). Lebih lanjut

dijelaskan bahwa terdapat indikasi penurunan produksi perikanan sebagai contoh

Bagansiapi-api sebagai salah satu penghasil ikan utama dunia sebelum perang

dunia II, salah satu penyebebnya adalah rusaknya mangrove di sekitarnya (Kasry,

1984 dalam Noor et al., 1999). Mengingat pentingnya ekosistem ini maka status

mangrove dijadikan sebagai salah satu indikator dalam analisis domain habitat

dan ekosistem.

Berdasarkan banyaknya dan pentingnya kehadiran ekosistem mangrove di

wilayah pantai, menjadikan kondisi mangrove sebagai salah satu indikator dalam

kajian domain habitat dan ekosistem. Terdapat empat parameter yang dikaji pada

indikator habitat dan ekosistem yaitu kerapatan, keanekaragaman mangrove,

perubahan luas dari tahun ke tahun, dan indeks nilai penting. Data kerapatan,

keanekaragaman mangrove, perubahan luas dari tahun ke tahun, dan indeks nilai

penting mangrove penting bagi pengelolaan perikanan menggunakan EAFM.

Berdasarkan hasil pengamatan, kerapatan, keanekaragaman mangrove, perubahan

luas dari tahun ke tahun, dan indeks nilai penting terkini, belum tersedia. Data

luasan hutan mangrove untuk kajian EAFM ini adalah data Bakorsurtanal tahun

1990. Dengan demikian, skor status mangrove adalah 1. Data yang belum tersedia

perlu mendapatkan perhatian Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat dalam

pengelolaan berikutnya berbasis EAFM pada tahun mendatang.

Ekosistem penting berikutnya di wilayah perairan adalah terumbu karang.

Produktivitas primer ekosistem terumbu karang relatif tinggi. Sama halnya dengan

ekosistem mangrove, terumbu karang merupakan daerah pemijahan, daerah

asuhan dan daerah mencari makanan berbagai jenis ikan dan hewan laut lainnya.

Oleh karena itu, status terumbu karang dijadikan sebagai salah satu indikator

penilaian untuk domain habitat dan ekosistem.

Kaitannya dengan analisis tematik domain ini, indikator status terumbu

karang terdiri atas dua parameter. Dua parameter tersebut adalah luasan tutupan

karang dan keanekaragaman karang. Berdasarkan hasil kajian tentang dua

parameter tersebut, di Kabupaten Manggrai Barat belum tersedia data terkini

tentang status terumbu karang. Data yang digunakan dalam penilaian merupakan

data sekunder. Berdasarkan data sekunder tersebut, luasan tutupan karang di

perairan kabupaten ini kurang dari 25% (Mosaik et al., 2011), sedangkan nilai

keanekaramagan karang adalah 0 (tidak tersedia data).

Habitat unik atau khusus adalah luasan, waktu, siklus, distribusi, dan

kesuburan perairan, spawning ground, nursery ground, feeding ground, upwelling,

nesting beach. Habitat unik dan khusus perlu dikaji guna melakukan pilihan upaya

perlindungan terhadap daerah tersebut untuk mendukung ketersediaan stok hewan

laut. Berdasarkan hasil kajian di Kabupaten Manggarai Barat, responden

(masyarakat dan SKPD) mengatakan bahwa belum pernah dilakukan kajian

tentang habitat unik atau khusus tersebut.

Mengacu pada kondisi nyata di lapangan, skor dari indikator habitat unik

adalah 1. Guna pengelolaan perikanan berkelanjutan di kabupaten ini, perlu

direncanakan dan dilaksanakan kegiatan identifikasi habitat unik atau khusus dan

kondisi saat ini sebagai data rona awal lingkungan.

Berdasarkan hasil penelitian, Perubahan iklim terjadi secara perlahan

dalam jangka waktu yang cukup panjang, antara 50-100 tahun. Meskipun

perlahan, dampaknya sebagaian besar permukaan bumi menjadi panas. Peristiwa

ini menyebabkan terjadinya pemuaian massa air laut dan kenaikan permukaan air

laut. Hal ini akan menurunkan produksi tambak ikan dan udang serta mengancam

kehidupan masyarakat pesisir pantai.

Naiknya suhu air laut berdampak pada perubahan dinamika ekosistem

terumbu karang yang menjadi fishing ground dan nursery ground ikan yang hidup

di wilayah itu, dengan dampak lanjutan berupa terputusnya rantai-rantai makanan

sebagai akibat dari menurunnya populasi jenis biota laut yang tidak mampu

bertahan dari pengaruh perubahan iklim. Pada akhirnya, kondisi ini berpengaruh

pada sumberdaya perairan dan berdampak lanjut pada kesejahteraan masyarakat,

khususnya masyarakat pesisir.

Mengingat pentingnya komponen ini sebagai bahan penilaian pengelolaan

perikanan, maka perubahan iklim dan pengaruhnya terhadap sumberdaya perairan

dijadikan sebagai salah satu indikator pada domain habitat dan ekosistem.

Berkaitan dengan indikator ini dan berdasarkan hasil kajian, responden

menyatakan bahwa di Kabupaten Manggarai Barat belum ada kajian tentang hal

itu. Oleh karena itu, skor yang diberikan adalah 1.

1.2.3 Domain Teknologi Penangkapan IkanPenangkapan ilegal merupakan salah satu faktor menurunnya populasi

sumberdaya ikan sebagai dampak langsung dari kegiatan tersebut dan/atau

dampak lanjutan dari dampak negatif kegiatan terhadap habitat dan ekosistem.

Meskipun kegiatan ini dilarang sesuai dengan peraturan yang berlaku, namun di

beberapa tempat masih terindikasi adanya kegiatan ini. Berkaitan dengan kegiatan

kajian peforma perikanan dengan EAFM di Kabupaten Manggarai Barat, masih

terjadinya kegiatan penangkapan dengan metode yang dilarang. Berdasarkan hasil

wawancara dengan staf Bidang pengawasan Dinas Kelautan, Perikanan dan

Peternakan kabupaten setempat, frekwensi pelanggaran lebih dari 10 kasus setiap

tahun. Oleh karena itu skor yang diberikan untuk indikator ini adalah 1.

Indikasi adanya modifikasi alat bantu penangkapan terlihat dari sampling

ukuran target dominan tertangkap harus melebihi panjang minimal Lm. Data

tersebut dikumpulkan berdasarkan pencatatan secara teratur terhadap hasil

tangkapan dan kesesuaian ukuran serta pengamatan lasngungterhadap alat bantu

penangkapan. Berkaitan dengan indikator ini, belum tersedia data yang

menyatakan dengan jelas adanya modifikasi alat bantu penangkapan. Oleh karena

itu, skor dari indikator ini adalah 0 (datatidak tersedia). Berdasarkan hasil

penghitungan untuk fishing capasity, R diperoleh 0,5 atau lebih kecil dari 1. Oleh

karena itu, skor yang diberikan untuk indikator ini adalah 1.

Data kesesuaian fungsi dan ukuran kapal dengan dokumen legal dilakukan

melalui monitoring dan/atau sampling. Pada saat pelaksanaan kajian, dokumen

kesesuaian hanya dilakukan untuk satu responden yang berada di Labuan Bajo,

sedangkan nelayan yang melakukan penangkapan kawasan TNK tidak dilengkapi

dengan dokumen legal. Persentase nelayan dengan kepemilikan dokumen baru

1,9%. Dengan demikian, untuk kepentingan penlaian performa pengelolaan

perikanan, skor indikator ini adalah 0 karena tidak cukup data untuk memastikan

proporsional kesesuaian fungsi dan ukuran kapal dengan dokumen legal.

Sertifikasi awak kapal diberikan untuk menjamin keahlian awak kapal

dalam melakukan penangkapan. Berdasarkan hasil wawancara dengan staf Dinas

Kelautan, Perikanan dan Peternakan kabupaten setempat, informasi sertifikasi

awak kapal belum pernah diterima. Dengan demikian, sertifikasi awak kapal

belum dijadikan sebagai salah satu kelengkapan dokumen legal penangkapan.

Kenyataan ini juga didukung dengan responden dari nelayan bahwa mereka tidak

memiliki sertifikasi awak kapal. Mengacu pada kenyataan tersebut maka skor

yang diberikan untuk indikator ini adalah 0.

1.2.4 Domain SosialPartisipasi pemangku kepentingan dalam pelaksanaan perencaan,

implementasi dan monitoring pengelolaan perikanan sangat diperlukan.

Keputusan yang bersifat kolaboratf dan partisipatif lebih memberikan

kemaslahatan bagi banyak orang dan kebersamaan dalam pelaksanaan

pengelolaan secara terintegrasi umumnya lebih dapat tercapai. Oleh karena itu,

partisipasi pemangku kepentingan dijadikan indikator dalam domain sosial.

Berdasarkas hasil wawancara dengan responden, 83% responden

menyatakan bahwa hanya sebagian kecil yang terlibat untuk menentukan

keputusan, dan biasanya hanya pimpinan daerah dan tokoh-tokoh masyarakat, dan

sianya menyatakan di Mengacu pada kondisi ini maka skor yang diberikan adalah

1 (partisipasi pemangku kepentingan< 50%).

Interaksi sosial dalam pengelolaan perikanan di wilayah laut, berpeluang

menimbulkan konflik perikanan. Hal ini dikarenakan batasan wilayah belum

terdefinisi dengan baik. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, konflik

perikanan terjadi ketika pengkapan ikan bagi nelayan di luar kawasan, tanpa

sengaja memasuki kawasan TNK, dan sering terjadi konflik antara nelayan

dengan petugas TNK. Berkaitan dengan konflik antar nelayan, responden

menyatakan bahwa terjadi konflik sangat jarang dan/atau dapat dikatakan antara

2-5 kali/tahun. Dengan demikian, skor indikator konflik perairan adalah 2.

Kearifan lokal yang masih dipertahankan bukan hanya sebatas ritual

semata, biasanya lebih efektif digunakan dalam pengelolaan perikanan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, kearifan lokal yang ada hingga

saat ini hanya berupa ritual memulai dan mensyukuri hasil tangkapan, sedangkan

kearifan lokal yang berbentuk pengaturan dan pemberian sanksi, tidak ada di

kabupaten ini. Oleh karena itu, indikator pemanfaatan pengetahuan lokal untuk

pengelolaan sumberdaya bernilai 1 (tidak ada).

1.2.5 Domain EkonomiKepemilikan aset merupakan salah satu indikator adanya perubahan

kesejahteraan nelayan. Oleh karena itu, kepemilikan aset ditetapkan menjadi salah

satu indikator dalam domain ekonomi. Berdasarkan hasil wawancara dengan

responden, kecenderungan perubahan jumlah aset kurang dari 50%. Penambahan

aset berupa perahu tangkap di Desa Labuan Bajo merupakan aset yang dibeli

dengan fasilitas kredit dan hanya 30 orang nelayan pancing yang memperolehnya.

Mengacu pada kondisi tersebut, skor indikator kepemilikan aset adalah 2 (nilai

aset tetap).

Indikator lainnya yang digunakan dalam kajian peforma ini pada domain

ekonomi adalah pendapatan ruah tangga. Mengacu pada pendapatan rumah tangga

dan jumlah pengeluaran bulanan akan menggambarkan tingkat ekonomi nelayan.

Pendapatan rumah tangga tertinggi dari keseluruhan responden dimiliki oleh

nelayan pemilih, sedangkan nelayan yang berfungsi sebagai ABK memiliki nilai

pendapatan rumah tangga di bawah UMR Provinsi NTT. Dengan Oleh karena itu,

skor indikator pendapatan rumah tangga adalah 1.

Indikator ketiga dalam kajian peforma pengelolaan perikanan di

Kabupaten Manggarai Barat adalah rasio tabungan. Rasio tabungan adalah nilai

proporsi antara pendapatan bersih dan nilai uang yang ditabung oleh nelayan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, 15% responden memiliki rasio

tabungan di atas bunga pinjaman bank, sedangkan 85% responden memiliki rasio

tabungan di bawah bunga bank dan bahkan dari 85% responden tersebut tidak

memiliki tabungan. Dengan demikian, skor indikator rasio tabungan adalah 1.

1.2.6 Domain KelembagaanPengelolaan perikanan di tingkat WPP, keberhasilannya dipengaruhi oleh

tingkat kepatuhan seluruh pemangku kepentingan di WPP terhadap mekanisme,

kebijakan dan peraturan, baik formal maupun non formal. Ketika terdapat satu

atau lebih di bagian wilayah WPP, yang dalam mekanisme pengelolaan dilakukan

tanpa melihat prinsip-prinsip perikanan yang bertanggungjawab, maka

keberlanjutan kegiatan perikanan di WPP tersebut tidak tercapai sebagaimana

yang diharapkan.

Tingkat kepatuhan ini diukur melalui tingkat pelanggaran hukum dalam

pengelolaan perikanan yang tercatat di lembaga yang berwewenang dan/atau

berdasarkan hasil pantauan masyarakat. Oleh karena itu, sumber data pada kajian

ini adalah SKPD bidang perikanan, kepolisian dan pengadilan (formal), dan

laporan masyarakat melalui wawancara (non formal). Berkaitan dengan indikator

ini, berdasarkan hasil wawancara dengan staf Dinas Kelautan, Perikanan dan

Peternakan, bagian pengawasan di kabupaten ini terjadi lebih dari 5 kali

pelanggaran dalam satu tahun.

Pelanggaran yang dimaksud berupa pelanggaran secara administratif dan

pelanggaran penangkapan ikan yang tidak mengikuti peraturan yang telah

ditetapkan. Berkaitan dengan pelanggaran administratif, ditindaklanjuti dengan

kegiatan pembinaan oleh dinas terkait, sedangkan pelanggaran pidana seperti

pemboman ikan diselesaikan di pengadilan. Informasi lainnya berkaitan dengan

pelanggaran ini diberikan oleh responden sebagai perwakilan masyarakat.

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, pelanggaran terjadi lebih dari 5

kali dalam setahun, dan umumnya pelanggaran tersebut tidak terlaporkan karena

keterbatasan pengawasan oleh dinas terkait. Mengacu pada dua data tersebut maka

masing-masing parameter diberi skor 1.

Pengelolaan perikanan, selain ditentukan oleh persepsi para pemangku

kepentingan untuk mewujudkan perikanan berkelanjutan, peraturan dan kebijakan

yang tertulis merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari domain kelembagaan.

Mekanisme dan regulasi menjadi dasar dalam melakukan pengelolaan secara

holistik para pemangku kepentingan.

Berkaitan dengan kajian EAFM untuk domain kelembagaan, indikator

kelengkapan aturan main terdiri atas ada tidaknya kelengkapan regulasi yang ada

dan bagaimana impelementasi regulasi tersebut. Sinergitas antara kelengkapan

regulasi dan implementasi secara langsung berhubungan dengen kinerja

pengelolaan perikanan. Kaitannya dengan kelengkapan regulasi, responden yang

dipilih adalah staf Dinas Kelautan, Perikanan dan peternakan kabupaten setempat.

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, Pemerintah Kabupaten

Manggarai barat menggunakan regulasi yang tersedia di tingkat pusat yang

selanjutnya diturunkan dalam bentuk peraturan daerah. Peraturan daerah tentang

perikanan yang telah dimiliki oleh kabupaten ini adalah Perda Nomor 28 Tahun

2005 tentang Penggunaan Alat Tangkap dan Alat Bantu Penangkapan. Lebih

lanjut dijelaskan bahwa peraturan lainnya berkaitan dengan kegiatan lain yang

berhubungan dengan perikanan seperti konservasi belum tersedia. Mengacu pada

kondisi tersebut maka skor kelengkapan aturan main dan kuantitasnya masing-

masing adalah 2 (ada aturan main tetapi tidak lengkap) dan (ada aturan main tapi

jumlahnya tetap).

Bagian lain pada indikator kelengkapan aturan main, selain ketersediaan

aturan main, adalah implementasi peraturan yang ada. Berdasarkan hasil

wawancara dengan responden, kaitannya dengan penegakan aturan main, bahwa

ada penegakan namun tidak efektif sehingga diberi skor 2. Tidak efektifnya

penegakan aturan main di kabupaten ini karena adanya mekanisme pengaturan

kegiatan perikanan di kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) dilakukan

dibawah pengawasan Balai Taman Nasional Komodo (BTNK). Kondisi ini

terlihat dari proporsi antara jumlah nelayan dan kelengkapan perijinan baru

mencapai 1,9%. Hal ini terjadi karena sebagaian besar nelayan berada di kawaan

TNK.

Berbicara tentang penegakan hukum, ketersediaan sumberdaya manusia

dan sarana atau alat sangat diperlukan. Salah satu fungsi pengawasan adalah

melakukan pemantauan terjadinya penyimpangan kegiatan yang tidak sesuai

dengan aturan main yang telah dibuat. Efektivitas dan efisiensi funsgi pengawasan

akan tercapai ketika sara dan prasarana serta ketersediaan sumberdaya manusia

yang melakukan fungsi tersebut. Berkaitan dengan hal ini, responden menyatakan

bahwa penegakan aturan main di kabupaten ini, ketidaktersedianya alat dan staf

yang melakukan adalah faktor utama rendahnya implementasi aturan main.

Mengacu pada kondisi tersebut maka penegakan aturan main dan ketersediaan alat

dan orang mendapatkan skor 2 dan 1.

Teguran dan hukuman juga merupakan faktor penting dalam implementasi

aturan main. Hal ini dilakukan untuk memberikan efek jera sehingga pelanggaran

tidak dilakukan dan/atau kasus pelanggaran dapat berkurang. Berdasarkan hasil

wawancara dengan responden, teguran dan hukuman dilakukan pada pelaku

pelanggaran. Hukuman yang diberikan mulai dari pembinaan bahkan penahanan

ketika putusan pengadilan menyatakan terdakwa melakukan tindak pidana di

bidang perikanan dan lingkungan. Mengacu pada kondisi ini maka skor hukuman

akibat pelanggaran adalah 3.

Mekanisme pengambilan keputusan berpengaruh pada hubungan dua arah

antar lembaga pemerintah dan antara lembaga pemerintah dan masyarakat.

Catatan penting pengelolaan perikanan di kabupaten ini adalah adanya wilayah

pengelolaan yang berada pada pengawasan Dinas Kelautan, Perikanan dan

Peternakan untuk kawasan di luar TNK dan masih berada pada 4 mil dari garis

pantai, dan kawasan perairan di dalam kawasan TNK yang dikelola oleh BTNK.

Rencana pengelolaan perikanan (RPP) merupakan panduan tentang

mekanisme, strategi dan kebijakan pengelolaan perikanan yang dijadikan sebagai

dasar kegiatan pengelolaan oleh semua stakeholder yang terkait. Berdasarkan

hasil wawancara dengan responden, hingga tahun 2013, RPP belum tersedia dan

belum ada pembahasan untuk penyusunan RPP yang dimaksud untuk tahun 2014.

Oleh karena itu dapat dipastikan bahwa pada tahun 2014, RPP belum tersedia

untuk Kabupaten Manggarai Barat. Kendala utama belum tersedianya RPP ini

adalah tidak tersedianya dana dan tenaga ahli untuk melakukan pendampingan

penyusunan RPP. Mengacu pada kenyataan ini maka skor indikator ketersediaan

RPP adalah 1 (belum ada RPP).

Perikanan merupakan salah satu kegiatan pemanfaatan sumberdaya

perairan di laut. Laut sebagai wilayah kepemilikan bersama memungkinkan

beragam pemangku kepentingan yang bersama-sama melakukan kegiatan di

wilayah tersebut. Berkaitan dengan hal itu, maka perlu dibentuk lembaga

pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mengatur mekanisme dan aturan

main di wilayah tersebut. Berapapun lembaga yang ada, sinergitas kebijakan dan

kelembagaan diperlukan untuk mewujudkan pengelolaan terintegrasi dan holistik.

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, terdapat dua lembaga

yang mengelola perairan laut di kabupaten ini. Kedua lembaga itu adalah Dinas

Kelautan, Perikanan dan Peternakan dan BTNK. Sebenarnya kedua lembaga

tersebut bergerak pada dua kegiatan yang berbeda namun memiliki sinergitas

dalam pengelolaan perikanan di kabupaten ini. Hingga saat ini komunikasi antar

lembaga tidak efektif sehingga skor efektifvias komunikasi antar lembaga adalah

2. Berkaitan dengan kebijakan tentang perikanan memiliki skor 2 (kebijakan tidak

saling mendukung). Sebagai contoh, nelayan di dalam kawasan TNP diatur oleh

BTNK.

Kapasitas pemangku kepentingan dapat ditingkatkan melalui kegiatan

pelatihan dan/atau lokakarya sesuai dengan tupoksi. Berdasarkan hasil wawancara

dengan responden, tidak tersedia kegiatan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas

pemangku kepentingan sehingga tidak ada peningkatan. Dengan demikian skor

indikator ini adalah 1.

BAB V. ANALISIS KOMPOSIT PENGELOLAAN PERIKANAN

1.3 Perikanan Kabupaten Sikka

1.3.1 Domain Sumberdaya Ikan

INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN MONITORING/ PENGUMPULAN KRITERIA SKOR BOBOT

(%) RANK-

ING SKOR

DENSITAS NILAI

1. CpUE Baku CpUE adalah hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan. Upaya penangkapan harus distandardisasi sehingga bisa menangkap tren perubahan upaya penangkapan. CpUE Baku digunakan apabila terdapat pola multi fishing gears untuk menangkap satu spesies di unit perikanan yang dikaji. Jika CpUE Baku sulit untuk digunakan, bisa digunakan CpUE dominan

Logbook, Enumerator, Observer selama minimal 3 tahun dari unit perikanan yang dikaji

1 = menurun tajam (rerata turun > 25% per tahun)

2 40 1 29 2320

2 = menurun sedikit (rerata turun < 25% per tahun)

3 = stabil atau meningkat

2. Tren ukuran ikan - Panjang total - Panjang standar - Panjang karapas / sirip (minimum dan maximum size, modus)

- Sampling program secara reguler untuk LFA (Length Frequency Analysis) untuk unit perikanan yang dikaji untuk spesies dominan yang secara total memiliki volume lebih dari 50% hasil tangkapan - data poor fisheries: interview kepada responden yang berpengalaman dalam perikanan terkait selama minimal 10 tahun, untuk spesies dominan yang secara total memiliki volume lebih dari 50% hasil tangkapan

1 = trend ukuran rata-rata ikan yang ditangkap semakin kecil;

2 20 2 29 1160

2 = trend ukuran relatif tetap;

3 = trend ukuran semakin besar


(%) RANK-

ING SKOR

DENSITAS NILAI

3. Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap

Persentase ikan yang ditangkap sebelum mencapai umur dewasa (maturity)

- Sampling program secara reguler - data poor fisheries: interview kepada responden yang berpengalaman dalam perikanan terkait selama minimal 10 tahun

1 = banyak sekali (> 60%) 2 15 3 29 870

2 = banyak (30 - 60%)

3 = sedikit (<30%)

4. Komposisi spesies hasil tangkapan

Spesies target yang dimanfaatkan, spesies non target yang dimanfaatkan dan tidak dimanfaatkan

- Logbook, observasi - data poor fisheries: interview kepada responden yang berpengalaman dalam perikanan terkait selama minimal 10 tahun

1 = proporsi target lebih sedikit (< 15% dari total volume)

3 10 4 29 870

2 = proporsi target sama dgn non-target (16-30% dari total volume)

3 = proporsi target lebih banyak (> 31 % dari total volume)

5. "Range Collapse" sumberdaya ikan

lokasi penangkapan ikan yang semakin jauh

- Survey dan monitoring, logbook, observasi - data poor fisheries: interview kepada responden yang berpengalaman dalam perikanan terkait selama minimal 10 tahun

1 = semakin sulit, tergantung spesies target

2 10 5 29 580

2 = relatif tetap, tergantung spesies target

3 = semakin mudah, tergantung spesies target

1 = fishing ground menjadi sangat jauh, tergantung spesies target

2

2= fishing ground jauh, tergantung spesies target

3= fishing ground relatif tetap jaraknya, tergantung spesies target

6. Spesies ETP Populasi spesies ETP (Endangered species, Threatened species, and Protected species) sesuai dengan kriteria CITES

- Survey dan monitoring, logbook, observasi dalam satu tahun terakhir - data poor fisheries: interview kepada responden yang berpengalaman dalam perikanan terkait selama minimal 10 tahun

1= terdapat individu ETP yang tertangkap tetapi tidak dilepas;

1 5 6 29 0.17

2 = tertangkap tetapi dilepas

3 = tidak ada individu ETP yang tertangkap

BAIK 5800.2

1.3.2 Domain Habitat dan Ekosistem


(%) RANK-

ING SKOR

DENSITAS NILAI

1. Kualitas perairan

Limbah yang teridentifikasi secara klinis, audio dan atau visual (Contoh :B3-bahan berbahaya & beracun), menggunakan parameter dari KepMen LH 51/2004 ttg Baku Mutu Air Laut Lampiran 3

Data sekunder, sampling, monitoring,

1= tercemar; 3 25 1 29 1.72

>> Sampling dan monitoring : 4 kali dalam satu tahun (mewakili musim dan peralihan)

2=tercemar sedang;

3= tidak tercemar

Kualitas perairan dilihat dari Tingkat Kekeruhan dan Padatan Tersuspensi Total

Survey, monitoring dan data sekunder, CITRA SATELIT

1= > Melebihi baku mutu sesuai KepMen LH 51/2004;

3

>> monitoring : dengan coastal bouy/ water quality checker (continous), Citra satelit (data deret waktu) dan sedimen trap (setahun sekali) => pengukuran turbidity di Lab

2= Sama dengan baku mutu sesuai KepMen LH 51/2004; 3= Dibawah baku mutu sesuai KepMen LH 51/2004

Eutrofikasi menggunakan parameter klorofil a

>> Survey : 4 kali dalam satu tahun (mewakili musim dan peralihan) >> monitoring : dengan coastal bouy/ water quality checker (continous), Citra satelite (data deret waktu)

1= konsentrasi klorofil a < 2 µg/l; 0

2= konsentrasi klorofil a 2-5 µg/l;

3= konsentrasi klorofil a > 5 µg/l

2. Status ekosistem lamun

Tutupan dan keanekaragaman spesies lamun

Survey dan data sekunder, monitoring, CITRA SATELIT.

1=tutupan rendah, 30%; 3 15 2 29 1305 2=tutupan sedang, 30 - < 60%; 3=tutupan tinggi, 60%

>> Sampling dan monitoring : Seagrass watch (www.seagrasswatch.org) dan seagrass net (www.seagrassnet.org)

1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1), jumlah spesies < 3

3

2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3), jumlah spesies 3 - 5 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3), jumlah spesies > 5

3. Status ekosistem mangrove

Status mangrove dievaluasi berdasarkan persentase

Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, foto udara

1=tutupan rendah, < 50%; 3 15 2 29 1305


(%) RANK-

ING SKOR

DENSITAS NILAI

tutupan dan kerapatan >> Citra satelite dengan resolusi tinggi (minimum 8 m) - minimal satu tahun sekali dengan diikuti oleh survey lapangan >> Survey : Plot sampling

2=tutupan sedang, 50 - < 75%;

3=tutupan tinggi, 75 %

1=kerapatan rendah (<1000 pohon/ha);

3

2 = kerapatan sedang (1000-1500 pohon/ha);

3 = kerapatan tinggi (> 1500 pohon/ha)

4. Status ekosistem terumbu karang

> Persentase tutupan karang keras hidup (live hard coral cover) dan keanekaragaman karang hidup yang didasarkan atas live form

Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, foto udara >> Survey : Transek (2 kali dalam setahun) >> Citra satelite dengan hiper spektral - minimal tiga tahun sekali dengan diikuti oleh survey lapangan

1=tutupan rendah, <25%; 3 15 2 29 1305

2=tutupan sedang, 25 - < 50%;

3=tutupan tinggi, 50% 1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1);

3

2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3);

3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3)

5. Habitat unik/khusus

Luasan, waktu, siklus, distribusi, dan kesuburan perairan, spawning ground, nursery ground, feeding ground, upwelling, nesting beach

GIS dgn informasi Citra Satelit, Informasi Nelayan, SPAGs (Kerapu dan kakap), ekspedisi oseanografi

1=tidak diketahui adanya habitat unik/khusus;

1 20 5 29 0.69

2=diketahui adanya habitat unik/khusus tapi tidak dikelola dengan baik;

3 = diketahui adanya habitat unik/khusus dan dikelola dengan baik


(%) RANK-

ING SKOR

DENSITAS NILAI

6. Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat

Untuk mengetahui dampak perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat

Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, data deret waktu, monitoring

> State of knowledge level : 1= belum adanya kajian tentang dampak perubahan iklim; 2= diketahui adanya dampak perubahan iklim tapi tidak diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi; 3 = diketahui adanya dampak perubahan iklim dan diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi

1 10 6 29 0.17

> state of impact (key indicator menggunakan terumbu karang): 1= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching >25%); 2= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching 5-25%); 3= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching <5%)

0

SEDANG

3917.6

1.3.3 Domain Teknologi Penangkapan Ikan


(%) RANK-

ING SKOR

DENSITAS NILAI

1. Penangkapan ikan yang bersifat destruktif

Penangkapan ikan bersifat destruktif yang dilihat dari penggunaan alat dan metode penangkapan yang merusak dan atau tidak sesuai peraturan yang berlaku.

- Laporan hasil pengawas perikanan, survey - data poor fisheries: laporan dari kepolisian, interview dari nelayan/POKMASWAS

1=frekuensi pelanggaran > 10 kasus per tahun ; 2 = frekuensi pelanggaran 5-10 kasus per tahun ; 3 = frekuensi pelanggaran <5 kasus per tahun

1 30 1 29 1.03

2. Modifikasi alat penangkapan ikan dan

Penggunaan alat tangkap dan alat bantu yang menimbulkan

Observer, Sampling ukuran ikan target/ikan dominan, ukuran Lm

1 = lebih dari 50% ukuran target spesies < Lm ;

2 25 2 29 1450


(%) RANK-

ING SKOR

DENSITAS NILAI

alat bantu penangkapan dampak negatif terhadap SDI bisa diperiksa di www.fishbase.org 2 = 25-50% ukuran target spesies < Lm 3 = <25% ukuran target spesies < Lm

3. Kapasitas Perikanan dan Upaya Penangkapan (Fishing Capacity and Effort)

Besarnya kapasitas penangkapan dibagi aktivitas penangkapan

- survey, logbook - data poor fisheries: interview kepada responden yang berpengalaman dalam perikanan terkait selama minimal 10 tahun

1 = Rasio kapasitas penangkapan < 1;

1 15 3 29 0.52

2 = Rasio kapasitas penangkapan = 1;

3 = Rasio kapasitas penangkapan > 1

4. Selektivitas penangkapan

Aktivitas penangkapan yang dikaitkan dengan luasan, waktu dan keragaman hasil tangkapan

Statistik Perikanan Tangkap, logbook, survey

1 = rendah (> 75%) ; 2 = sedang (50-75%) ; 3 = tinggi (kurang dari 50%) penggunaan alat tangkap yang tidak selektif)

3 15 4 29 1305

5. Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal

Sesuai atau tidaknya fungsi dan ukuran kapal dengan dokumen legal

Survey/monitoring fungsi, ukuran dan jumlah kapal. Dibutuhkan pengetahuan cara mengukur dan informasi rasio dimensi dan berat GT kapal yang ada di lapangan

1 = kesesuaiannya rendah (lebih dari 50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal);

1 10 5 29 0.34

2 = kesesuaiannya sedang (30-50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); 3 = kesesuaiannya tinggi (kurang dari 30%) sampel tidak sesuai dengan dokumen legal

6. Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan.

Kualifikasi kecakapan awak kapal perikanan (kualitatif panel komunitas)

Sampling kepemilikan sertifikat, yang ada di unit perikanan yang dikaji

1 = Kepemilikan sertifikat <50%; 2 = Kepemilikan sertifikat 50-75%; 3 = Kepemilikan sertifikat >75%

1 5 6 29 0.17

KURANG 2757.07

1.3.4 Domain Sosial


(%) RANK-

ING SKOR

DENSITAS NILAI

1. Partisipasi pemangku kepentingan

Keterlibatan pemangku kepentingan

Pencatatan partisipasi dilaksanakan secara kontinyu sesuai dengan pentahapan pengelolaan perikanan. Evaluasi dari pencatatan ini dilakukan setiap tahap dan siklus pengelolaan. Persentase keterlibatan diukur dari jumlah tipe pemangku kepentingan, bukan individu pemangku kepentingan

1 = < 50%; 2 40 1 29 2320

2 = 50-100%;

3 = 100 %

2. Konflik perikanan Resources conflict, policy conflict, fishing gear conflict, konflik antar sector.

Arahan pengumpulan data konflik adalah setiap semester (2 kali setahun) atau sesuai musim (asumsi level of competition berbeda by musim)

1 = lebih dari 5 kali/tahun; 1 35 2 29 1.21

2 = 2-5 kali/tahun;

3 = kurang dari 2 kali/tahun

3. Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK, traditional ecological knowledge)

Pemanfaatan pengetahuan lokal yang terkait dengan pengelolaan perikanan

Recording pemanfaatan TEK dilaksanakan secara kontinyu sesuai dengan pentahapan pengelolaan perikanan. Evaluasi dari record ini dilakukan setiap siklus pengelolaan dan dilakukan secara partisipatif

1 = tidak ada; 3 25 3 29 2175

2 = ada tapi tidak efektif;

3 = ada dan efektif digunakan

SEDANG 4496.21

1.3.5 Domain Ekonomi

INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN MONITORING/ PENGUMPULAN KRITERIA SKOR BOBOT (%) RANKING SKOR

DENSITAS NILAI

1. Kepemilikan Aset Perubahan nilai/jumlah aset usaha RTP cat : aset usaha perikanan atau aset RT, yang didapatkan dari usaha perikanan

Arahan frekuensi survey dan pengumpulan data pendapatan RTP rata-rata setahun dengan mempertimbangkan musim selama lima tahun (sumber data : susenas BPS)

1 = nilai aset berkurang (lebih dari 50%);

2 45 1 29 2610

2 = nilai aset tetap (kurang dari 50%); 3 = nilai aset bertambah (di atas 50%)

2. Pendapatan rumah tangga perikanan (RTP)

Rumah Tangga Perikanan adalah rumah tangga nelayan, pengolah ikan dan pedagang ikan yang pendapatan utamanya dihasilkan dari kegiatan perikanan

Survei pendapatan rumah tangga perikanan dengan pendekatan sampling yang sesuai dengan kaidah ilmiah yang berlaku, dimana pendapatan yang diukur dan dibandingkan dengan UMR adalah pendapatan individu yang berasal dari kegiatan perikanan pada unit perikanan yang dikaji

1= kurang dari rata-rata UMR, 1 30 2 29 1

2= sama dengan rata-rata UMR,

3 = > rata-rata UMR

3. Rasio Tabungan (Saving ratio)

menjelaskan tentang rasio tabungan terhadap pendapatan bersih

Arahan frekuensi survey dan pengumpulan data pendapatan RTP adalah menurut musim tangkapan ikan (data primer). Informasi bunga kredit dapat diperoleh di BI pada saat survey

1 = kurang dari bunga kredit pinjaman;

3 25 3 29 2175

2 = sama dengan bunga kredit pinjaman;

3 = lebih dari bunga kredit pinjaman

SEDANG 4786.03

1.3.6 Domain Kelembagaan

INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN MONITORING/ PENGUMPULAN KRITERIA SKOR BOBOT (%)

RANK-ING

SKOR DENSITAS NILAI

1. Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal

Tingkat kepatuhan (compliance) seluruh pemangku kepentingan WPP terhadap aturan main baikformal maupun tidak formal

Monitoring ketaatan: 1. Laporan/catatan terhadap pelanggaran formal dari pengawas, 2. Wawancara/kuisioner (key person) terhadap pelanggaran non formal termasuk ketaaatan terhadap peraturan sendiri maupun peraturan diatasnya 3. Perlu tambahan informasi mengenai kualitas kasus dengan contohnya

1= lebih dari 5 kali terjadi pelanggaran hukum dalam pengelolaan perikanan;

1 25 1 29 0.86

2 = 2-4 kali terjadi pelanggaran hukum; 3 = kurang dari 2 kali pelanggaran hukum Non formal 1

1= lebih dari 5 informasi pelanggaran, 2= lebih dari 3 informasi pelanggaran, 3= tidak ada informasi pelanggaran

2. Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan

Sejauh mana kelengkapan regulasi dalam pengelolaan perikanan tersedia, untuk mengatur praktek pemanfaatan sumberdaya ikan sesuai dengan domain EAFM, yaitu; regulasi terkait keberlanjutan sumberdaya ikan, habitat dan ekosistem, teknik penangkapan ikan, sosial, ekonomi dan kelembagaan

1) Benchmark sesuai dengan Peraturan nasional, pemda seharusnya juga membuat peraturan turunannya 2) membandingkan situasi sekarang dengan yang sebelumnya 3) replikasi kearifan lokal

1 = tidak ada regulasi hingga tersedianya regulasi pengelolaan perikanan yang mencakup dua domain;

2 26 2 29 1960.4

2 = tersedianya regulasi yang mencakup pengaturan perikanan untuk 3 - 5 domain; 3 = tersedia regulasi lengkap untuk mendukung pengelolaan perikanan dari 6 domain Elaborasi untuk poin 2 2 1= ada tapi jumlahnya berkurang; 2= ada tapi jumlahnya tetap; 3= ada dan jumlahnya bertambah

Ada atau tidak penegakan aturan main dan efektivitasnya

Survey dilakukan melalui wawancara/ kuisioner:

1=tidak ada penegakan aturan main;

3

1) ketersediaan alat pengawasan, orang

2=ada penegakan aturan main namun tidak efektif;

2) bentuk dan intensitas penindakan (teguran, hukuman)

3=ada penegakan aturan main dan efektif


RANK-ING

SKOR DENSITAS NILAI

1= tidak ada alat dan orang; 3 2=ada alat dan orang tapi tidak ada tindakan; 3= ada alat dan orang serta ada tindakan 1= tidak ada teguran maupun hukuman;

3

2= ada teguran atau hukuman; 3=ada teguran dan hukuman

3. Mekanisme pengambilan keputusan

Ada atau tidaknya mekanisme pengambilan keputusan (SOP) dalam pengelolaan perikanan

Survey dilakukan dengan : analisis dokumen antar lembaga dan analisis stakeholder melalui wawancara/kuisioner

1=tidak ada mekanisme pengambilan keputusan;

2 18 3 29 1044

2=ada mekanisme tapi tidak berjalan efektif; 3=ada mekanisme dan berjalan efektif 1= ada keputusan tapi tidak dijalankan;

2

2= ada keputusan tidak sepenuhnya dijalankan; 3= ada keputusan dijalankan sepenuhnya

4. Rencana pengelolaan perikanan

Ada atau tidaknya RPP untuk wilayah pengelolaan perikanan dimaksud

Survey dilakukan dengan wawancara/kuisioner:

1=belum ada RPP; 1 15 4 29 435

1. Adakah atau tidak RPP disuatu daerah

2=ada RPP namun belum sepenuhnya dijalankan;

2. Dilaksanakan atau tidak RPP yang telah dibuat

3=ada RPP dan telah dijalankan sepenuhnya

5. Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan

Semakin tinggi tingkat sinergi antar lembaga (span of control-nya rendah) maka tingkat efektivitas pengelolaan perikanan akan semakin baik


1=konflik antar lembaga (kebijakan antar lembaga berbeda kepentingan);

3 11 5 29 957

2 = komunikasi antar lembaga tidak efektif;

3 = sinergi antar lembaga berjalan baik

Semakin tinggi tingkat sinergi antar kebijakan maka tingkat

Survey dilakukan dengan : analisis dokumen antar lembaga dan

1= terdapat kebijakan yang saling bertentangan;

3


RANK-ING

SKOR DENSITAS NILAI

efektivitas pengelolaan perikanan akan semakin baik

analisis stakeholder melalui wawancara/kuisioner

2 = kebijakan tidak saling mendukung; 3 = kebijakan saling mendukung

6. Kapasitas pemangku kepentingan

Seberapa besar frekuensi peningkatan kapasitas pemangku kepentingan dalam pengelolaan perikanan berbasis ekosistem

Survey dilakukan dengan wawancara/kuisioner terhadap: 1) Ada atau tidak, berapa kali 2) Materi

1=tidak ada peningkatan; 2 5 6 29 290 2 = ada tapi tidak difungsikan (keahlian yang didapat tidak sesuai dengan fungsi pekerjaannya) 3 = ada dan difungsikan (keahlian yang didapat sesuai dengan fungsi pekerjaannya)

SEDANG 4687.26

1.4 Perikanan Kabupaten Manggarai Barat

1.4.1 Domain Sumberdaya Ikan


RANK-ING

SKOR DENSITAS NILAI

1. CPUE Baku CPUE adalah hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan. Upaya penangkapan harus distandarisasi sehingga bisa menangkap tren perubahan upaya penangkapan.

Logbook, Enumerator, Observer selama minimal 3 tahun

1 = menurun tajam (rerata turun > 25% per tahun)

2 40 1 29 3480

2 = menurun sedikit (rerata turun < 25% per tahun) 3 = stabil atau meningkat

2. Ukuran ikan - Panjang total - Panjang standar - Panjang karapas / sirip (minimum dan maximum size, modus)

Sampling program secara reguler untuk LFA (Length Frequency Analysis), data poor fisheries: interview kepada responden yang berpengalaman dalam perikanan terkait selama minimal 10 tahun

1 = trend ukuran rata-rata ikan yang ditangkap semakin kecil; 2 = trend ukuran relatif tetap; 3 = trend ukuran semakin besar

1 20 2 29 0.6897


RANK-ING

SKOR DENSITAS NILAI

(second best)

3. Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap

Persentase ikan yang ditangkap sebelum mencapai umur dewasa (maturity).

Sampling program secara reguler, data poor fisheries: interview kepada responden yang berpengalaman dalam perikanan terkait selama minimal 10 tahun

1 = banyak sekali (> 60%) 0 15 3 29 0

2 = banyak (30 - 60%)

3 = sedikit (<30%) 4. Komposisi spesies Jenis target dan non-target

(discard dan by catch) Logbook, observasi, data poor fisheries: interview kepada responden yang berpengalaman dalam perikanan terkait selama minimal 10 tahun

1 = proporsi target lebih sedikit (< 15% dari total volume)

3 10 4 29 870

2 = proporsi target sama dgn non-target (16-30% dari total volume)

3 = proporsi target lebih banyak (> 31 % dari total volume)

5. Spesies ETP Populasi spesies ETP (Endangered species, Threatened species, and Protected species) sesuai dengan kriteria CITES

Survey dan monitoring, logbook, observasi, data poor fisheries: interview kepada responden yang berpengalaman dalam perikanan terkait selama minimal 10 tahun

1= > 1 tangkapan spesies ETP; 3 5 6 29 580 2 = 1 tangkapan spesies ETP;

3 = tidak ada spesies ETP yang tertangkap

6. "Range Collapse" sumberdaya ikan

SDI yang mengalami tekanan penangkapan akan "menyusut" biomassa-nya secara spasial sehingga semakin sulit / jauh untuk ditemukan/dicari.

Survey dan monitoring, logbook, observasi, data poor fisheries: interview kepada responden yang berpengalaman dalam perikanan terkait selama minimal 10 tahun

1 = semakin sulit, tergantung spesies target

1 8 5 29 290

2 = relatif tetap, tergantung spesies target

3 = semakin mudah, tergantung spesies target

1 = fishing ground menjadi sangat jauh, tergantung spesies target

2

2= fishing ground jauh, tergantung spesies target


RANK-ING

SKOR DENSITAS NILAI

3= fishing ground relatif tetap jaraknya, tergantung spesies target

SEDANG 5220,69

1.4.2 Domain Habitat dan Ekosistem

INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN MONITORING/PENGUMPULAN KRITERIA SKOR BOBOT (%)

RANK-ING

SKOR DENSITAS NILAI

1. Kualitas perairan Limbah yang teridentifikasi secara klinis, audio dan atau visual (Contoh :B3-bahan berbahaya & beracun)

Data sekunder, sampling, monitoring, >> Sampling dan monitoring : 4 kali dalam satu tahun (mewakili musim dan peralihan)

1= tercemar; 2=tercemar sedang; 3= tidak tercemar

0 25 1 29 0

Tingkat kekeruhan (NTU) untuk mengetahui laju sedimentasi perairan

Survey, monitoring dan data sekunder, CITRA SATELIT >> monitoring : dengan coastal bouy/ water quality checker (continous), Citra satelit (data deret waktu) dan sedimen trap (setahun sekali) => pengukuran turbidity di Lab

1= > 20 mg/m^3 konsentrasi tinggi ; 2= 10-20 mg/m^3 konsentrasi sedang; 3= <10 mg/m^3 konsentrasi rendah Satuan NTU

0

Eutrofikasi >> Survey : 4 kali dalam satu tahun (mewakili musim dan peralihan) >> monitoring : dengan coastal bouy/ water quality checker (continous), Citra satelite (data deret waktu)

1= konsentrasi klorofil a > 10 mg/m^3 terjadi eutrofikasi;

0

2= konsentrasi klorofil a 1-10 mg/m^3 potensi terjadi eutrofikasi; dan 3= konsentrasi klorofil a <1 mg/m^3 tidak terjadi eutrofikasi

2. Status ekosistem lamun

Luasan tutupan lamun. Survey dan data sekunder, monitoring, CITRA SATELIT.

1=tutupan rendah, 29,9%; 0 15 2 29 0 2=tutupan sedang, 30-49,9%;


RANK-ING

SKOR DENSITAS NILAI

>> Sampling dan monitoring : Seagrass watch (www.seagrasswatch.org) dan seagrass net (www.seagrassnet.org)

3=tutupan tinggi, 50%

1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1), jumlah spesies < 3

0

2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3), jumlah spesies 3-7

3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3), jumlah spesies > 7

3. Status ekosistem mangrove

Kerapatan, nilai penting, perubahan luasan dan jenis mangrove

Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, foto udara >> Citra satelite dengan resolusi tinggi (minimum 8 m) - minimal satu tahun sekali dengan diikuti oleh survey lapangan >> Survey : Plot sampling

1=tutupan rendah, < 50%; 2=tutupan sedang, 50 - < 75%; 3=tutupan tinggi, 75 %

0 15 2 29 0

1=kerapatan rendah (<1000 pohon/ha);

0

2 = kerapatan sedang (1000-1500 pohon/ha);

3 = kerapatan tinggi (> 1500 pohon/ha)

4. Status ekosistem terumbu karang

> Persentase tutupan karang keras hidup (live hard coral cover).

Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, foto udara >> Survey : Transek (2 kali dalam setahun) >> Citra satelite dengan hiper spektral - minimal tiga tahun sekali dengan diikuti oleh survey lapangan

1=tutupan rendah, <25%; 1 15 2 29 0,259

2=tutupan sedang, 25-49,9%;

3=tutupan tinggi, >50% 1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1);

0

2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3);

3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3)

5. Habitat unik/khusus

Luasan, waktu, siklus, distribusi, dan kesuburan perairan, spawning ground, nursery ground, feeding ground, upwelling, nesting

GIS dgn informasi Citra Satelit, Informasi Nelayan, SPAGs (Kerapu dan kakap), ekspedisi oseanografi >> Survey : 2 kali dalam setahun >> Citra satelite dengan resolusi

1=tidak diketahui adanya habitat unik/khusus;

1 20 5 29 0,70

2=diketahui adanya habitat unik/khusus tapi tidak dikelola dengan baik;


RANK-ING

SKOR DENSITAS NILAI

beach tinggi - minimal dilakukan 2 kali setahun dengan diikuti oleh survey lapangan

3 = diketahui adanya habitat unik/khusus dan dikelola dengan baik 2=produktivitas sedang;

3=produktivitas tinggi 6. Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat

Untuk mengetahui dampak perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat

Survey dan data sekunder, CITRA SATELIT, data deret waktu, monitoring

> State of knowledge level : 1 10 6 29 0.17

1= belum adanya kajian tentang dampak perubahan iklim;

2= diketahui adanya dampak perubahan iklim tapi tidak diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi; > state of impact (key indicator menggunakan terumbu karang):

1= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching >25%); 2= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching 5-25%); 3= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching <5%)

BURUK 1,19

1.4.3 Domain Teknologi Penangkapan Ikan


RANK-ING

SKOR DENSITAS NILAI

1. Metode penangkapan ikan yang bersifat

Penggunaan alat dan metode penangkapan yang merusak dan

Laporan hasil pengawas perikanan, survey, data poor fisheries: laporan

1=frekuensi pelanggaran > 10 kasus per tahun ;

1 30 1 29 1,034


RANK-ING

SKOR DENSITAS NILAI

destruktif dan atau ilegal atau tidak sesuai peraturan yang berlaku.

dari kepolisian, interview dari nelayan/POKMASWAS

2 = frekuensi pelanggaran 5-10 kasus per tahun ;

3 = frekuensi pelanggaran <5 kasus per tahun

2. Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan.

Penggunaan alat tangkap dan alat bantu yang menimbulkan dampak negatif terhadap SDI

Observer, Sampling ukuran ikan target/ikan dominan, ukuran Lm bisa diperiksa di www.fishbase.org

1 = lebih dari 50% ukuran target spesies < Lm ;

0 25 2 29 0

2 = 25-50% ukuran target spesies < Lm 3 = <25% ukuran target spesies < Lm

3. Kapasitas Perikanan dan Upaya Penangkapan (Fishing Capacity and Effort)

Besarnya kapasitas dan aktivitas penangkapan

survey, logbook, data poor fisheries: interview kepada responden yang berpengalaman dalam perikanan terkait selama minimal 10 tahun

1 = Rasio kapasitas penangkapan < 1;

1 15 3 29 0,517

2 = Rasio kapasitas penangkapan = 1;

3 = Rasio kapasitas penangkapan > 1

4. Selektivitas penangkapan

Aktivitas penangkapan yang dikaitkan dengan luasan, waktu dan keragaman hasil tangkapan

Statistik Perikanan Tangkap, logbook, survey

1 = rendah (> 75%) ; 2 15 4 29 870 2 = sedang (50-75%) ; 3 = tinggi (kurang dari 50%) penggunaan alat tangkap yang tidak selektif)

5. Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal

Sesuai atau tidaknya fungsi dan ukuran kapal dengan dokumen legal

Survey/monitoring fungsi, ukuran dan jumlah kapal. Dibutuhkan informasi rasio dimensi dan berat GT kapal

1 = kesesuaiannya rendah (lebih dari 50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal);

2 10 5 29 0

2 = kesesuaiannya sedang (30-50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); 3 = kesesuaiannya tinggi (kurang dari 30%) sampel tidak sesuai dengan dokumen legal

6. Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan.

Kualifikasi kecakapan awak kapal perikanan (kualitatif panel komunitas)

Sampling kepemilikan sertifikat 1 = Kepemilikan sertifikat <50%; 1 5 6 29 0,172 2 = Kepemilikan sertifikat 50-75%; 3 = Kepemilikan sertifikat >75%


RANK-ING

SKOR DENSITAS NILAI

BURUK 871,72

1.4.4 Domain Sosial


RANK-ING

SKOR DENSITAS NILAI

1. Partisipasi pemangku kepentingan

Keterlibatan pemangku kepentingan

Pencatatan partisipasi dilaksanakan secara kontinyu sesuai dengan pentahapan pengelolaan perikanan. Evaluasi dari pencatatan ini dilakukan setiap tahap dan siklus pengelolaan.

1 = kurang dari 50%; 1 40 1 29 1,379

2 = 50-100%;

3 = 100 %

2. Konflik perikanan Resources conflict, policy conflict, fishing gear conflict, konflik antar sector.

Arahan pengumpulan data konflik adalah setiap semester (2 kali setahun) atau sesuai musim (asumsi level of competition berbeda by musim)

1 = lebih dari 5 kali/tahun; 2 35 2 29 2030

2 = 2-5 kali/tahun;

3 = kurang dari 2 kali/tahun

3. Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK, traditional ecological knowledge)

Pemanfaatan pengetahuan lokal yang terkait dengan pengelolaan perikanan

Recording pemanfaatan TEK dilaksanakan secara kontinyu sesuai dengan pentahapan pengelolaan perikanan. Evaluasi dari record ini dilakukan setiap siklus pengelolaan dan dilakukan secara partisipatif

1 = tidak ada; 1 25 3 29 0,862

2 = ada tapi tidak efektif;

3 = ada dan efektif digunakan

KURANG 2032,241

1.4.5 Domain Ekonomi


RANK-ING

SKOR DENSITAS NILAI

1. Kepemilikan Aset Perubahan nilai/jumlah aset usaha RTP cat : aset usaha perikanan atau aset RT.

Arahan frekuensi survey dan pengumpulan data pendapatan RTP adalah menurut musim tangkapan ikan (sumber data : susenas BPS)

1 = nilai aset berkurang (lebih dari 50%) ;

2 45 1 29 2610

2 = nilai aset tetap (kurang dari 50%); 3 = nilai aset bertambah (di atas 50%)

2. Pendapatan rumah tangga (RTP)

Pendapatan total RTP yang dihasilkan dari usaha RTP

Arahan frekuensi survey (atau penggunaan note/catatan yang ada di lapangan, mis: pengumpul ikan) dan pengumpulan data pendapatan RTP adalah menurut musim tangkapan ikan (data primer/kuisioner)

1= kurang dari rata-rata UMR, 2= sama dengan rata-rata UMR, 3 = > rata-rata UMR

1 30 2 29 1

3. Rasio Tabungan (Saving ratio)

menjelaskan tentang rasio tabungan terhadap pendapatan bersih

Arahan frekuensi survey dan pengumpulan data pendapatan RTP adalah menurut musim tangkapan ikan (data primer)

1 = kurang dari bunga kredit pinjaman;

2 25 3 29 1

2 = sama dengan bunga kredit pinjaman;

3 = lebih dari bunga kredit pinjaman

KURANG 261,70

1.4.6 Domain Kelembagaan

INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN MONITORING/ PENGUMPULAN KRITERIA SKOR BOBOT (%) RANKING SKOR DENSITAS NILAI

1. Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal

Tingkat kepatuhan (compliance) seluruh pemangku kepentingan WPP terhadap aturan main baikformal maupun tidak formal

Monitoring ketaatan: 1. Laporan/catatan terhadap pelanggaran formal dari pengawas, 2. Wawancara/kuisioner (key person) terhadap pelanggaran non formal termasuk ketaaatan terhadap peraturan sendiri maupun peraturan diatasnya 3. Perlu tambahan informasi mengenai kualitas kasus dengan contohnya

1= lebih dari 5 kali terjadi pelanggaran hukum dalam pengelolaan perikanan;

1 25 1 29 0,862

2 = 2-4 kali terjadi pelanggaran hukum;

3 = kurang dari 2 kali pelanggaran hukum Non formal 1

1= lebih dari 5 informasi pelanggaran,

2= lebih dari 3 informasi pelanggaran,

2. Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan

Sejauh mana kelengkapan regulasi dalam pengelolaan perikanan

1) Benchmark sesuai dengan Peraturan nasional, pemda seharusnya juga membuat peraturan turunannya 2) membandingkan situasi sekarang dengan yang sebelumnya 3) replikasi kearifan lokal

1 = tidak ada; 2 26 2 29 1658.8 2 = ada tapi tidak lengkap; 3 = ada dan lengkap Elaborasi untuk poin 2 2 1= ada tapi jumlahnya berkurang;

2= ada tapi jumlahnya tetap; 3= ada dan jumlahnya bertambah

Ada atau tidak penegakan aturan main dan efektivitasnya

Survey dilakukan melalui wawancara/ kuisioner: 1) ketersediaan alat pengawasan, orang 2) bentuk dan intensitas penindakan (teguran, hukuman)

1=tidak ada penegakan aturan main;

3

2=ada penegakan aturan main namun tidak efektif;

3=ada penegakan aturan main dan efektif

1= tidak ada alat dan orang; 1 2=ada alat dan orang tapi tidak ada tindakan; 3= ada alat dan orang serta ada tindakan 1= tidak ada teguran maupun hukuman;

3


2= ada teguran atau hukuman; 3=ada teguran dan hukuman

3. Mekanisme pengambilan keputusan

Ada atau tidaknya mekanisme pengambilan keputusan (SOP) dalam pengelolaan perikanan


1=tidak ada mekanisme pengambilan keputusan;

1 18 3 29 0,621

2=ada mekanisme tapi tidak berjalan efektif;

3=ada mekanisme dan berjalan efektif 1= ada keputusan tapi tidak dijalankan;

0

2= ada keputusan tidak sepenuhnya dijalankan;

3= ada keputusan dijalankan sepenuhnya

4. Rencana pengelolaan perikanan

Ada atau tidaknya RPP untuk wilayah pengelolaan perikanan dimaksud

Survey dilakukan dengan wawancara/kuisioner:

1=belum ada RPP; 1 15 4 29 0,517

1. Adakah atau tidak RPP disuatu daerah

2=ada RPP namun belum sepenuhnya dijalankan;

2. Dilaksanakan atau tidak RPP yang telah dibuat

3=ada RPP dan telah dijalankan sepenuhnya

5. Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan

Semakin tinggi tingkat sinergi antar lembaga (span of control-nya rendah) maka tingkat efektivitas pengelolaan perikanan akan semakin baik


1=konflik antar lembaga (kebijakan antar lembaga berbeda kepentingan);

1 11 5 29 478.5

2 = komunikasi antar lembaga tidak efektif; 3 = sinergi antar lembaga berjalan baik

Semakin tinggi tingkat sinergi antar kebijakan maka tingkat efektivitas pengelolaan perikanan akan semakin baik


1= terdapat kebijakan yang saling bertentangan;

2

2 = kebijakan tidak saling mendukung; 3 = kebijakan saling mendukung

6. Kapasitas pemangku Seberapa besar frekuensi Survey dilakukan dengan 1=tidak ada peningkatan; 1 5 6 29 0,172


kepentingan peningkatan kapasitas pemangku kepentingan dalam pengelolaan perikanan berbasis ekosistem

wawancara/kuisioner terhadap: 1) Ada atau tidak, berapa kali 2) Materi

2 = ada tapi tidak difungsikan (keahlian yang didapat tidak sesuai dengan fungsi pekerjaannya) 3 = ada dan difungsikan (keahlian yang didapat sesuai dengan fungsi pekerjaannya)

BURUK 2139,5

Dari hasil analisis komposit tematik yang telah dilakukan untuk setiap aspek

pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan (di Kabupaten Sikka dan Manggarai

Barat), tahapan selanjutnya adalah mengestimasi keragaan agregat wilayah pengelolaan

perikanan dengan menggunakan teknis komposit antar tematik. Hasil estimasi tematik

masing-masing aspek kemudian digabung menjadi satu indeks dengan asumsi tidak ada

perbedaan bobot masing-masing aspek. Dengan kata lain, dalam analisis agregat seluruh

aspek dianggap penting (Adrianto dkk, 2012). Hasil analisis komposit agregat menggunakan

koneksitas Tabel 15.

Tabel 15. Indeks Komposit Agregat Indikator EAFM untuk Wilayah Pengelolaan Perikanan

Domain Kabupaten Sikka Kabupaten Manggarai Barat

Nilai Komposit Deskripsi Nilai Komposit Deskripsi Sumberdaya Ikan 67 Baik 60 Sedang Habitat & ekosistem 45 Sedang 0 Buruk Teknik Penangkapan Ikan 32 Kurang 10 Buruk Sosial 52 Sedang 23 Kurang Ekonomi 55 Sedang 30 Kurang Kelembagaan 54 Sedang 25 Kurang Aggregat 51 Sedang 25 Kurang

Mengacu pada Tabel 15 tersebut di atas, kita mendapatkan gambaran detail mengenai

kondisi perikanan terkini di Kabupaten Sikka dan Manggarai Barat. Hasil analisis dengan

indeks dekomposit menunjukkan bahwa pengelolaan perikanan kurang mendapat perhatian di

kedua kabupaten tersebut. Mendapat perhatian serius adalah domain-domain yang berstatus

kurang dengan flag modeling berwarna kuning muda, yang mendapat status sedang dengan

flag modeling berwarna kuning, dan berstatus buruk dengan flag modeling berwarna merah,

serta indikator-indikator dengan skor 1. Dengan status tersebut sudah harus menjadi data

dasar dan langkah awal memulai menerapkan pengelolaan perikanan dengan pendekatan

ekosistem yang bermuara pada penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan Perikanan.

BAB VI. PEMBAHASAN

1.5 Metode dan Analisa Indikator EAFM yang Digunakan

1.5.1 Metode EAFMSecara umum penggunaan metode EAFM mudah dipahami dengan indikator yang

tepat untuk penilaian dan evaluasi pengelolaan perikanan, dimana indicator-indkator tersebut

mampu menggambarkan kondisi yang ada. Data untuk kepentingan analisis didapat dari

beberapa insntasi teknis (Dinas Kelautan dan Perikanan, Badan Pusat Stastistik, Bappeda,

BKSDA, Sekretariat PMU Coremap Provinsi NTT dan Kabupaten Sikka). Data tersebut

berupa statistic perikanan tangkap, laporan hasil penelitian dan kajian, baik dalam bentuk

laporan akhir, terpublikasi dalam jurnal maupun hasil-hasil penelitian lainnya yang relevan.

Sementara data primer di peroleh dari hasil wawancara rumah tangga perikanan, pemerintah

desa, dan dinas teknis terkait menggunakan kuesioner.

1.5.2 Analisa Indikator EAFM

1.5.2.1 Domain Sumber Daya IkanCPUE Baku

Kriteria skor untuk CPUE Baku yaitu 1 = menurun tajam (rerata turun > 25% per tahun); 2 =

menurun sedikit (rerata turun < 25% per tahun); dan 3 = stabil atau meningkat. Dan dalam

penelitian ini ditambahkan juga perhitungan nilai regresi linier dan nilai koefisien

determinasinya.

Ukuran ikan

Kriteria skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif.

Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap

Kriteria skor yang telah ditentukan dapat digunakan namun jika hanya didasarkan dari data

interview relatif sulit menentukan presentasinya, sehingga data ini lebih obyektif hasil dari

survei/sampling. Disarankan penelitian secara dalam jangka waktu 2-3 tahun secara continue

untuk melihat tren, termasuk penerapan system pencatatan lewat logbook.

Komposisi spesies

Kriteria skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif

Spesies ETP

Kriteria skor untuk Spesies ETP yaitu : 1= > 1 tangkapan spesies ETP; 2 = 1 tangkapan

spesies ETP; dan 3 = tidak ada spesies ETP yang tertangkap. Mesti juga ditetapkan batasan

banyak atau sedikit jumlah dari masing-masing spesies ETP yang ditangkap.

"Range Collapse" sumberdaya ikan

Kriteria skor yang telah ditentukan yaitu mudah tidaknya melakukan penangkapan

sumberdaya ikan dan dekat atau jauhnya fishing ground (FG) dari pada fishing base (FB)

dapat digunakan secara efektif.

Densitas/Biomassa untuk ikan karang & invertebrata

Kriteria skor untuk densitas/biomassa untuk ikan karang & invertebrata yaitu : 1 =

jumlah individu < 10 ind/m3, UVC < 10 ind/m2; 2 = jumlah individu = 10 ind/m3, UVC 10

ind/m2; dan 3 = jumlah individu > 10 ind/m3, UVC > 10 ind/m2, dengan criteria tersebut

sangat mudah digunakan dan efektif.

1.5.2.2 Domain HabitatKualitas perairan

Ketiga criteria yang digunakan dapat digunakan secara efektif.

Status lamun

Kriteria skor untuk tutupan dan nilai indeks keanekaragaman lamun dapat digunakan secara

efektif.

Status Mangrove

Pendekatan pemahaman komunitas mangrove di lokasi kajian dilakukan dengan analisis data

yang meliputi kerapatan dan kerapatan relatif spesies, frekuensi dan frekuensi relatif spesies,

penutupan dan penutupan relatif spesies dan nilai indeks penting spesies yang mengacu pada

English et.al (1994) dan Bengen (2001).

a. Kerapatan Spesies

Kerapatan spesies (D) adalah jumlah tegakan spesies i dalam suatu unit area :

Di = ni/A

Keterangan :

Di : Kerapatan spesies-i

ni : Jumlah total tegakan dari spesies-i

A : Luas total area pengambilan contoh

b. Keparapatan Relatif Spesies

Kerapatan relatif spesies (RDi) adalah perbandingan antara jumlah tegakan spesies i (ni)

dan jumlah tegakan seluruh spesies ( n) :

RDi = (ni/ n) x 100

Keterangan :

RDi :Kerapatan relatif spesies-i

ni : Jumlah total tegakan dari spesies-i

n : Jumlah tegakan seluruh spesies

c. Frekuensi

Frekuensi spesies (Fi) adalah peluang ditemukannya spesies-i dalam petak contoh/plot

yang diamati :

Fi = pi/ p

Keterangan :

Fi : Frekuensi spesies i

pi : Jumlah petak contoh/plot dimana ditemukan spesies-i

p : Jumlah total petak contoh/plot yang diamati

d. Frekuensi Relatif Spesies

Frekuensi relatif spesies (FRi) adalah perbandingan antara frekuensi spesies-i (Fi) dan

jumlah frekuensi untuk seluruh spesies ( F) :

RFi = (Fi/ F) x 100

e. Penutupan Spesies

Penutupan spesies (Ci) adalah luas penutupan spesies-i dalam suatu unit area

Ci = BA/A

Keterangan :

BA : DBH2/4 (dalam cm2)

: 3,1416

DBH : Diameter pohon dari spesies-i

DBH : CBH/ (dalam cm)

CBH : Lingkar pohon setinggi dada (1,3 m)

A : Luas total area pengambilan contoh (luas total petak contoh/plot)

f. Penutupan Relatif Spesies

Penutupan relatif spesies (RCi) adalah perbandingan antara luas area penutupan spesies-i

(Ci) dan luas total penutupan untuk seluruh spesies ( C):

RCi = (Ci/ C) x 100

g. Nilai Indeks Penting

Nilai indeks penting memberikan suatu gambaran mengenai pengaruh atau peran suatu

spesies tumbuhan mangrove dalam komunitas mangrove. Nilai Indeks Penting spesies

berkisar antara 0 – 300.

Nilai Indeks Penting spesies (IVi) merupakan jumlah nilai kerapatan relatif spesies (RDi),

frekuensi relatif spesies (RFi) dan penuhhtupan relatif spesies (RCi).

IVi = RDi + RFi + RCi

Status Terumbu Karang

Kriteria skor Persentase tutupan karang keras hidup (live hard coral cover) dapat digunakan

secara efektif dikarenakan data yang terpublikasi minimal mencakup spesies karang dan

persentase tutupan karang, sedangkan nilai indek keanekaragaman cenderung tidak diperoleh

data/informasinya. Data yang dapat menunjang penghitungan nilai indeks keanekaragaman

karang adalah berkaitan dengan jumlah individu karang dalam satua luas, sehingga data

tersebut dapat terlengkapi dengan data survei lapangan.

Habitat unik/khusus (spawning ground, nursery ground, feeding ground, upwelling). Menentukan nilai dari Kriteria skor mengenai diketahui atau tidaknya diketahui habitat

unik/khusus (spawning ground, nursery ground, feeding ground, upwelling) dapat dilakukan

dengan efektif.

Status dan produktivitas Estuari dan perairan sekitarnya

Dalam menentukan status dan produksi estuaria dan perairan yang terdefinisi dalam Kriteria

skor yaitu : 1 = produktivitas rendah; 2 = produktivitas sedang; dan 3 = produktivitas tinggi.

Berkaitan dengan hal tersebut perlunya penentuan parameter fisika (misalnya : kecerahan,

kekeruhan), kimia (misalnya pH, konsentrasi nitrat, atau fosfat) atau biologi

(kelimpahan/keanekaragaman plankton) perairan untuk menentukan keproduktifan perairan

estuaria tersebut.

Perlu dibuat definisi produktivitas dari sisi kimiawi, karena dari sisi biologis sudah dibahas

pada eutrofikasi, perlu penetapan parameter kunci dari aspek fisika, kimia dan biologi

1.5.2.3 Domain Teknik Penangkapan Ikan

Metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal

Kriteria skor yang telah ditentukan yaitu : 1 = frekuensi pelanggaran > 10 kasus per tahun; 2

= frekuensi pelanggaran 5 - 10 kasus per tahun; dan 3 = frekuensi pelanggaran < 5 kasus per

tahun. Berdasarkan Kriteria skor tersebut perlu ditentukan level pelanggaran (ringan, sedang

dan berat), sehingga bobot pelanggaran dapat di lebih proporsional.

Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan

Kriteria skor yang telah ditentukan yaitu : 1 = lebih dari 50% ukuran target spesies < Lm; 2 =

25-50% ukuran target spesies < Lm; dan 3 = <25% ukuran target spesies < Lm. Untuk

memenuhi data tersebut harus dilakukan sampling ukuruan ikan target/ikan dominan.

Fishing capacity dan Effort


Selektivitas penangkapan


Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal.


1.5.2.4 Domain SosialPartisipasi pemangku kepentingan


Konflik perikanan


Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK, traditional ecological knowledge). Kriteria skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif.

1.5.2.5 Domain EkonomiPendapatan rumah tangga (RTP)


Kepemilikan aset


Saving rate

Kriteria skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif jika responden

memberikan rasio tabungan dengan income mereka.

1.5.2.6 Domain KelembagaanKepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal (Adat). Dengan menetapkan jumlah kasus maka indicator ini dapat digunakan secara efektif.

Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan

Kriteria skor untuk kelengkapan dekumen pengelolaan perikanan dan membandingkan situasi

sekarang dengan yang sebelumnya serta ada atau tidak penegakan aturan main dan

efektivitasnya dapat digunakan secara efektif.

Mekanisme pengambilan keputusan


Rencana pengelolaan perikanan


Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan


Kapasitas pemangku kepentingan


1.6 Performa perikanan yang dikaji

1.6.1 Kabupaten SikkaBerdasarkan hasil analisis indeks dekomposit untuk Ecosystem Approach to Fisheries

Management di Kabupaten Sikka menunjukkan status sedang dengan flag modeling berwarna

kuning dan nilai akhir agregat sebesar 51%. Domain yang perlu mendapat mendapat

perhatian yaitu: Domain Sumberdaya Ikan (untuk indikator CPUE Baku dan Spesies ETP),

Domain Habitat dan Ekosistem (untuk indikator habitat unik/khusus, produktivitas estuary,

dan perubahan iklim terhadap kondisi perairan), Domain Teknik Penangkapan Ikan (untuk

indikator metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan/atau illegal, fishing capacity

dan effort, kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal, dan

sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan), dan Domain Sosial (untuk

indikator konflik perikanan), Domain Ekonomi (untuk indikator pendapatan rumah tangga),

dan Domain Kelembagaan (untuk indikator kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan

yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara

formal maupun non-formal dan rencana pengelolaan perikanan).

Tabel 16. Performa Perikanan dengan Pendekatan Ekosistem di Kabupaten Sikka Domain Nilai Komposit Deskripsi Sumberdaya Ikan 67 Baik Habitat & ekosistem 45 Sedang Teknik Penangkapan Ikan 32 Kurang Sosial 52 Sedang Ekonomi 55 Sedang Kelembagaan 54 Sedang Aggregat 51 Sedang

Inti dari keberlanjutan perikanan adalah manakala nelayan yang terlibat didalamnya,

memperoleh kesejahteraan yang diharapkan. Tingkat kesejahteraan yang dicapai oleh

nelayan sangat tergantung pada keuntungan yang diperoleh nelayan dari kegiatan perikanan

yang dijalankan. Dalam kaitan ini, teknologi yang dikembangkan dalam rangka pengolahan

hasil tangkapan sebelum dijual (pre-sale processing), penggunaan alat tangkap yang selektif

(selective gear) dan penanganan hasil tangkapan di atas kapal (on board handling),

merupakan upaya untuk menjaga atau meningkatkan kualitas hasil tangkapan, yang pada

akhirnya akan bermuara pada meningkatnya keuntungan. Sementara pemanfaatan atau

penggunaan jenis alat tangkap (gear), alat bantu penangkapan (FAD) dan ukuran kapal

(vessel size), pada hakekatnya ditujukan untuk meningkatkan hasil tangkapan (Suyasa, 2007).

Keberlanjutan perikanan di Kabupaten Sikka selain digambarkan dengan flag

modeling (Tabel 20) juga dapat diilustrasikan juga dengan model layang-layang pada Gambar

25, dimana keberlanjutan perikanan yang baik dan berkelanjutan membentuk model layang-

layang yang sempurna atau berbentuk persegi enam dengan titik nilai pada bagian luar dari

diagram tersebut bernilai 100%. Dengan diagram keberlanjutan perikanan pada Gambar 8

terlihat bahwa hanya sumberdaya ikan yang memiliki prosentasi nilai lebih dari 50% (nilai

keberlanjutan baik), sementara domain habitat dan ekosistem, domain sosial, domain

ekonomi, dan domain kelembagaan dengan nilai keberlanjutan sedang, dan domain

Teknologi Penangkapan Ikan dengan keberlanjutan kurang, secara akumulatif bernilai sedang

untuk keberlanjutan perikanan di Kabupatem Sikka dengan pendekatan EAFM.

Gambar 8. Keberlanjutan Perikanan antar Domain

Beberapa hal yang berpengaruh terhadap performa perikanan di Kabupaten Sikka

diantaranya tren CPUE, kasus Iilegal, Unreported, dan Unregulated Fishing (IUU Fishing),

kapasitas perikanan dan upaya penangkapan, budaya (kearifan lokal), dan sistem tata kelola

perikanan.

Kabupaten Sikka merupakan salah satu daerah penghasil ikan terbanyak di Nusa

Tenggara Timur (Anonimus, 2010). Secara keseluruhan terdapat 22 spesies ikan yang

ditangkap nelayan di Kabupaten Sikka (Statistik Perikanan Tangkap, 2012), diantaranya:

Cendro, Selar, Layang, Kakap putih, Tembang, Julung-julung, Lencam, Kakap merah/

Bambangan, Pinjalo, Biji Nangka, Kurisi, Gergahing, Cakalang, Tongkol krai, Kembung,

Madidihang, Kerapu karang, Layar, Biji Nangka, Kerapu , dan Tuna Sirip Kuning. Produksi

ikan per tahun cukup tinggi dan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Pada domain sumberdaya ikan, indikator yang memberikan pengaruh paling besar

yaitu CpUE baku yang mendapatkan nilai komposit sedang. Ini memberikan gambaran

bahwa ketersediaan sumberdaya perikanan tidak memungkinkan untuk upaya penangkapan

dengan penambahan jumlah armada dan trip penangkapan. Produksi perikanan masih

memungkinkan ditambah namun jumlah trip penangkapan harus dikurangi supaya tidak

terjadi overfishing. Hal ini bisa dilihat dari tren penurunan jumlah trip penangkapan tahun

2007-2012 yang berdampak pada kenaikan produksi tangkapan perikanan (Gambar 9).

Gambar 9. Pemanfaatan Perikanan di Kabupaten Sikka

Sementara untuk hubungan antara CpUE dan upaya penangkapan sumberdaya

perikanan menunjukkan upaya penangkapan (effort) cenderung menurunkan produktivitas

penangkapan (CpUE). Pada Gambar 10 terlihat persamaan regresi liner y= 3,003 + 0,000002

yang artinya setiap terjadi peningkatan effort sebanyak 1 trip mengakibatkan penurunan

CpUE sebesar 0,000002 ton/trip. Kondisi ini mengindikasikan sumberdaya perikanan

mengalami gejala overfishing secara biologi. Selain nilai regresi linier, juga menghasilkan

nilai R2 (nilai kepercayaan) yang merupakan kuadrat dari koefisien korelasi atau disebut

koefisien determinasi, yang berfungsi menunjukkan proporsi varian skala optimal data. Nilai

R2 pada varian CpUE adalah 0,89%. Supranto (2004), menyatakan bahwa nilai varian skala

optimal data adalah R2 = 1 atau 100%.

Gambar 10. Hubungan antara CPUE dan upaya penangkapan ikan di Kabupaten Sikka (2003-2012)

Diperkuat dengan hasil analisis fishing capacity dan effort yang rendah (Rasio= 0,06),

menunjukkan degradasi sumberdaya perikanan di perairan Kabupaten Sikka (Gambar 8).

Oleh karena itu, pembatasan jumlah alat tangkap merupakan pilihan utama dalam kebijakan

pengelolaan perikanan di Kabupaten Sikka. Pembatasan alat tangkap yang diijinkan

melakukan kegiatan penangkapan ikan di kawasan perairan tersebut, akan mengurangi

persaingan antar nelayan untuk mendapatkan ikan serta mengurangi tekanan terhadap

ekosistem dan sumberdaya ikan.

Kenyataan di lapangan disamping terjadi peningkatan produksi, juga masih ditemui

adanya gangguan atau kendala-kendala yang muncul seperti adanya gangguan yang sifatnya

pelanggaran atau pengrusakan terhadap sumberdaya ikan meliputi Ilegal, Unreported dan

Unregulated Fishing (IUU Fishing). Penegakan aturan main dalam pencegahan terhadap

kegiatan perikanan yang merusak dan ilegal telah dilakukan secara berkala oleh tim gabungan

(DKP Kabupaten Sikka, TNI AL, Polair, dan Satker Pengawasan). Termasuk penegakan

aturan terhadap pelanggaran terhadap IUU Fishing dengan penyelidikan, penyidikan,

penuntutan, dan beberapa kasus telah berkekuatan hukum tetap dimana di pelaku diberikan

hukuman dan mendapatkan efek jera.

Untuk kasus yang terkait dengan IUU Fishing sudah tergolong buruk (Tabel 16, 17,

dan 18). Ruwetnya kasus Destruktif Fishing lebih disebabkan karena tumpang-tindihnya

aturan perundang-undangan yang berujung pada ketidakjelasan institusi negara yang paling

berkompeten dalam pengurusan permasalahan. Ketidakjelasan ini juga merupakan peluang

bagi pihak-pihak tertentu untuk mempermainkan hukum untuk mendapatkan keuntungan

pribadi. Secara umum Solihin (2005), menyatakan bahwa beberapa lembaga/institusi negara

yang terkait dalam pemberantasan destruktif fishing, termasuk dilakukan oleh oknum

aparatnya diduga mempermainkan hukum, diantaranya Departemen Kelautan dan Perikanan,

Dinas Perhubungan Laut, Syahbandar, Direktorat Migrasi, Departemen Tenaga Kerja dan

Transmigrasi, TNI AL, Polisi Air, dan Bea Cukai.

Perbedaan dan tumpang tindihnya produk hukum tersebut lebih disebabkan karena

latar belakang masing-masing institusi pengambil kebijakan dalam memandang kasus

pengrusakan lingkungan laut, ditambah lagi dengan kurangnya koordinasi antar sektor dalam

mengimplementasikannya. Dari persoalan tumpang tindihnya pengimplementasian produk

hukum, Haya (2003) dalam penelitiannya menyatakan bahwa hal-hal tersebut lebih

disebabkan karena perbedaan persepsi yang timbul dari masing-masing institusi pengambil

kebijakan dan penegak hukum dalam memandang tindakan penangkapan ikan merusak

(sianida, bom, dll) tersebut.

Supremasi hukum sudah sepantasnya mendapatkan tempat utama dalam mengatasi

fenomena kegiatan penangkapan ikan yang merusak di Kabupaten Sikka khususnya di

Kecamatan Alok dan Alok Timur. Sementara di Kabupaten Sikka beberapa pihak terkait

yang punya kewenangan dalam pemberantasan kasus-kasus destruktif fishing yaitu: Dinas

Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sikka, LANAL Maumere, Polres Sikka, Kejaksaan

Negeri Maumere. Instansi-instansi tersebut telah membuktikan pengabdiannya kepada negara

dan masyarakat dalam upaya penanggulangan kasus-kasus destruktif fishing di Kabupaten

Sikka. Namun, kendala yang dihadapi oleh instansi-instansi ini adalah masalah sarana dan

prasarana dalam melakukan pengawasan dan penegakan hukum di laut sangat lemah, baik

dari sisi teknologi maupun sisi sumberdaya manusianya. Hal ini karena luasnya lautan dan

banyaknya pulau-pulau kecil di Kabupaten Sikka sehingga memerlukan sarana dan prasarana

yang memadai. Namun kelemahan sarana dan prasarana bukanlah merupakan satu-satunya

faktor dalam persoalan penanggulangan kasus destruktif fishing, tetapi disinyalir juga

terjadinya aktivitas illegal yang dilakukan oknum-oknum aparat tertentu untuk kepentingan

keuntungan pribadi dan instansinya.

Menurut Abdul Rauf (2005), ditengah maraknya kegiatan Destruktif Fishing

Pemerintah Indonesia dituntut (oleh masyarakat Internasional) untuk melakukan

pemberantasan terhadap destruktif fishing sesuai dengan International Plan of Action (IPOA)

yang merupakan salah satu hasil dari FAO Ministerial Meeting on Fisheries pada tahun 1999.

IPOA oleh Pemerintah Indonesia melalui National Plan of Action (NPOA).`

Dalam mengurai permasalahan destruktif fishing ada beberapa hal yang harus

mendapat perhatian, yaitu membenahi tumpang-tindih kewenangan dan kekuasaaan oleh

instansi-instansi negara yang merasa lebih punya kekuatan dan kewenangan dalam

penanganan kasus destruktif fishing, persoalan sarana dan prasarana penunjang aktivitas

penanggulangan dan penegakan kasus yang harus mendapat perhatian penuh, dan

pembenahan dan pembersihan oknum-oknum yang mencari keuntungan dalam

penanggulangan kasus dengan berlindung dibalik instansi-instansi yang memiliki

kewenangan penegakan kasus destruktif fishing.

Oleh karena itu, dibutuhkan langkah strategis dalam penanggulangan kasus Destruktif

Fishing, Abdul Rauf (2005) menetapkan 9 langkah strategis dalam penanggulangan

destruktif fishing melalui:

1. Penerapan ekonomi global dengan mendorong peningkatan kemampuan pengusaha kecil

dan mengurangi kapal perikanan asing secara bertahap

2. Menetapkan NPOA (National Plan of Action) IUU Fishing sebagai rancangan aksi yang

menjadi kesepakatan bersama

3. Mewujudkan kesepahaman dalam gerak dan langkah penanganan penanggulangan

Destruktif Fishing yang dimulai dengan goodwill dan political will dalam penegakan

hukum

4. Pemenuhan sarana prasarana pengawasan secara bertahap sesuai dengan prioritas

kemampuan

5. Menempatkan armada-armada kapal pengawas pada daerah rawan pelanggaran dengan

prioritas daerah perbatasan dengan negara lain

6. Membangun, memberdayakan, dan meningkatkan kapasitas kelembagaan pengawasan

7. Meningkatkan operasi pengawasan secara mandiri dan kerjasama operasi

8. Meningkatkan penataan dan penegakan hukum melalui koordinasi dan kerjasama dengan

aparat penegak hukum terkait

9. Menyiapkan dukungan peraturan perundang-undangan sebagai penjabaran UU nomor 31

tahun 2004 tentang perikanan (dan perubahannya UU nomor 45 tahun 2009) yang

menjadi landasan operasional pengamanan.

Pada domain sosial dengan flag hijau dengan nilai agregat yang baik. Hasil penelitian

Stanis dkk (2010), menyatakan bahwa Konsep Laut Kebun Kita Pendekatan Kultur ”Duen

Hoat” Masyarakat Sikka Krowe sudah ada dan berakar di masyarakat Sikka. Kelestarian

ekosistem laut dan pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir adalah dua hal yang melekat

saling bergantung dan saling berpengaruh dalam upaya perlindungan sumberdaya pesisir dan

laut. Pelestarian ekosistem laut tidak akan berhasil jika pemberdayaan ekonomi masyarakat

pesisir diabaikan, demikian pula sebaliknya, jika kelestarian ekosistem laut diabaikan, maka

kehidupan ekonomi masyarakat pesisir menjadi tidak berdaya.

Bertolak dari pengalaman dan pemahaman ratusan tahun dari para leluhur masyarakat

”Krowe-Sikka” terhadap konsep saling ketergantungan antara alam dan makluk hidup, maka

para leluhur menetapkan suatu sistim pengelolaan dan pemanfaatan alam yang dikenal

dengan ”Duen Hoat”. Kearifan ini adalah suatu sistem regulasi dan pengaturan tata ruang

pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang sengaja dibuat untuk membatasi

kerakusan manusia yang cendering meniru hukum rimba.

”Duen Hoat” adalah hukum adat ”Krowe-Sikka” yang mengatur batas-batas

pemanfaatan sumber daya alam mulai dari puncak gunung sampai ke laut dalam menurut

zona-zona dan cara-cara pemanfaatan ramah lingkungan yang sifatnya mengikat dan

membatasi kerakusan manusia. Sistem ini mengajarkan bahwa manusia boleh mengambil

hasil alam tetapi wajib menyisihkan untuk masa depan. Ada zona dan species tertentu yang

sama sekali dilarang untuk tujuan pemulihan, pelestarian atau memang zona/atau species

tertentu dianggap keramat atau suci. Sanksi atas pelanggaran sistim ”Duen Hoat” lebih

banyak diyakini terjadi menurut hukuman/exekusi alam (seleksi alam) dalam bentuk bencana

alam, penyakit, kematian manusia secara tidak wajar atau menurunnya rezeki hidup manusia.

Kearifan Kultur Duen Hoat membagi zona-zona pemanfaatan dan secara khusus

diringkas pembagian zona adat pada pemanfaatan dan pengelolaan pesisir dan laut sebagai

berikut (Stanis dkk, 2010):

1) Nian Tu Hini Rope Apur (Zona Pantai dan Industri Pesisir):

Ini adalah zona perindustrian tradicional bagi masyarakat pesisir.

2) Nian Nuba Puan – Nanga Wan (Zona Mata Air Hulu dan Zona Air Payau Hilir, Tempat

Ritual & Keramat):

Zona Mata Air Hulu merupakan sumber mata air utama di gunung dan zona air payau

merupakan sumber mata air di pantai. Kedua tempat ini merupakan dua kutup yang saling

bergantungan dan memiliki hubungan spiritual yang kyat bagi masyarakat adat Krowe-

Sikka. Kedua tempat ini merupakan tempat ritual adat untuk kepentingan perlindungan

bagi tanah, air, manusia dan seluruh isi alam di wilayah adat yang bersangkutan.

3) Nian Jong Toa Tena Tiwan (Zona pelabuhan):

Zona ini dimanfaatkan sebagai tempat labuh tambat bagi rakit, sampan, perahu dan kapal-

kapal traditional.

4) Nian Ou Ima (Zona Bekarang):

Zona ini menjadi tempat bekarang bagi masyarakat pesisir dan zona budi daya tradisional

dengan sistem Likon dan Keramba Batu.

5) Nian Teten Pukat Pak Rabang (Zona penangkapan):

Ini adalah zona penangkapan laut dangkal dengan jenis alat tangkap manual dan

sederhana.

6) Nian Mitan Dun Bura Dudak (Zona Laut Dalam):

Di sini juga menjadi wilayah penangkapan. Penangkapan di Laut dalam membutuhkan

manajamen Tim yang lebih baik dengan prosedur ritual yang benar-benar jujur sesuai

adat yang berlaku, karena resikonya tinggi.

1.6.2 Kabupaten Manggarai BaratBerdasarkan hasil analisis indeks dekomposit untuk Ecosystem Approach to Fisheries

Management di Kabupaten Manggarai Barat menunjukkan status sedang dengan flag

modeling berwarna kuning muda (Tabel 17).

Tabel 17. Performa Perikanan dengan Pendekatan Ekosistem di Kabupaten Manggarai Barat Domain Nilai Komposit Deskripsi Sumberdaya Ikan 60 Sedang Habitat & ekosistem 0 Buruk Teknik Penangkapan Ikan 10 Buruk Sosial 23 Kurang Ekonomi 30 Kurang Kelembagaan 25 Kurang Aggregat 25 Kurang

Berdasarkan Tabel 17, performa semua domain mulai dari buruk, kurang, dan sedang,

tidak ada domain dengan status baik. Ini memberikan gambaran bahwa indicator-inkator

disemua domain harus mendapat perhatian dalam pengelolaan perikanan ke depan.

Berkaitan dengan peforma habitat dan ekosistem, terdapat korelasi positif antara

peforma habitat dan ekosistem, dan sumberdaya ikan. Mengacu pada Gambar 28, peforma

habitat dan ekosistem di kabupaten ini adalah buruk. Buruknya peforma hasil analisis

komposit ini bukanlah semata-mata sebagai akibat dari rendahnya skor ketujuh indikator

yang ada pada domain habitat dan eksositem, melainkan juga sebagai akibat dari belum

tersedianya data hampir pada ketujuh indikator domain habitat dan ekosistem. Data yang

tersedia untuk domain habitat dan ekosistem ini secara keseluruhan adalah data sekunder

dengan durasi tahun publikasi lebih dari 5 tahun. Padahal data untuk semua indikator

sebaiknya setiap tahun dilakukan pembaharuan.

Ketidaktersedianya data pada saat kajian dilakukan disebabkan oleh minimnya dan

bahkan tidak tersedianya dana, tidak tersedianya manusia dan alat. Selain habitat dan

ekosistem, domain yang berhubungan langsung dengan domain sumberdaya ikan adalah

domain teknologi penangkapan ikan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan guna

meningkatkan peforma domain teknologi penangkapan ikan adalah sebagai berikut:

1) Pemangku kepentingan perlu melengkapi data tentang proporsi yuwana yang tertangkap.

Kegiatan dapat dilakukan dengan membangun kerjasama dengan nelayan dan

didampingi oleh staf Dinas Kelautan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten Manggarai

Barat.

2) Kegiatan yang serupa dengan nomor 1 dilakukan juga untuk penyediaan data densitas

ikan karang dan invertebrata. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui bekerjasama

kerjasama dengan perguruan tinggi dan/atau NGO yang bergerang dibidang perikanan

dan lingkungan.

3) Data lainnya yang perlu disediakan adalah modifikasi alat tangkap. Berdasarkan

informasi dari responden, bahwa ada indikasi modifikasi alat tangkap, namun mereka

tidak berani menyampaikan karena kegiatan tersebut dilakukan di kawasan TNP.

Informasi ini perlu dilakukan pengujian lebih lanjut dengan cara melakukan pencatatan

terhadap alat tangkap yang digunakan. Kendala yang dihadapi oleh pihak dinas adalah

bahwa pengawasan dan pengaturan nelayan yang melakukan penangkapan di kawasan

TNK adalah kewenangan BTNK.

4) Jarak antara rumah dan daerah penangkapan ikan telah mengindikasikan adanya

pertambahan jarak dan penambahan tingkat kesulitan penentuan DPI. Hal ini perlu

menjadi perhatian pemerintah kabupaten.

5) Telah terjadi indikasi tumpang tindih mekanisme dan pemberlakuan aturan main di

bidang perikanan antara pemerintah kabupaten dan BTNK. Kondisi ini harus segera

diatasi dengan melakukan kolaborasi kegiatan, dan dikonsultasikan mekanismenya pada

pemerintah pusat, mengingat BTNK adalah perpanjangan dari Kementerian Kehutanan.

Apabila kondisi ini tidak segera dicarikan alternatif pemecahannya, maka konflik

perikanan tidak dapat terhindari. Dampak lainnya adalah munculnya rasa tidak percaya

dari nelayan pada pemerintah, ditunjang dengan rendahnya kemampuan melakukan

pengawasan, maka tidak menutup kemungkinan kegiatan penangkapan tidak mengikuti

prinsip penangkapan bertanggungjawab dapat terjadi.

6) Kaitannya dengan sertifikasi awak kapal, seluruh awak kapal belum memiliki sertifikasi.

Padahal, sertifikasi menunjukkan kemampuan dan pemahaman nelayan tentang kegiatan

penangkapan ikan yang bertanggung jawab. Ketika nelayan memiliki pengetahuan dan

kepedulian tentang hal itu, maka mekanisme penyediaan data dan pengawasan bersama

dapat tercapai.

7) Mengaktifkan kembali fungsi TPI guna memudahkan melakukan rekaman data tentang

ukuran ikan yang tertangkap, proporsi ikan target dan ikan non target, dan informasi

tentang jenis ikan dan kondisi visual ikan matang gonad.

8) Implementasi regulasi dan kebijakan tentang perikanan perlu ditindaklanjuti dengan

pengawasan. Pengawasan terhadap aturan main, diakui oleh staf dinas adalah rendah. Hal

ini dikarenakan tidak tersedianya peralatan dan sumberdaya manusia yang memiliki

kapabilitas melakukan fungsi pengawasan. Keterbatasan dana diakui sebagai salah satu

faktor utama.

9) Kelengkapan dokumen legal yang dipersyaratkan merupakan salah satu upaya penegakan

aturan main. Kenyataan yang terjadi adalah hanya 1,9% nelayan dari total jumlah

nelayan yang terdaftar memiliki kelengkapan ijin. Alasan yang dikemukakakn oleh staf

dinas sebagaimana yang uraikan pada butir 3 dan 5. Salah satu kegiatan evaluasi

kesesuaian dokumen dengen ukuran kapal adalah dengan tidak saja melakukan

peninjauan pada saat nelayan mengajukan perijinan, tetapi juga melakukan uji petik di

lapangan. Data tentang hasil uji petik tidak tersedia dengan alasan bahwa kegiatan

tersebut belum pernah dilakukan karena keterbatasan dana.

Domain keempat dalam kajian peforma pengelolaan perikanan adalah sosial.

Sebagaimana telah dipahami bahwa keterlibatan para pemangku kepentingan dalam

menemukenali permasalahan dan merumuskan solusi yang disepakati bersama, sangat

menentukan kualitas peforma perikanan di kabupaten ini. Berdasarkan hasil kajian terdapat

beberapa catatan yang perlu mendapat perhatian pemerintah setempat, antara lain:

1) Tingkat pastisipasi para pemangku kepentingan dalam merumuskan suatu permasalahan

yang dihadapi bersama dan kebijakan yang diambil untuk mengatasi permasalahan

tersebut, masih rendah. Keterlibatan masyarakat belum pada semua golongan, dan pada

umumnya masyarakat dilibatkan hanya dalam kegiatan musyawarah tanpa dilibatkan

pada penentuan keputusan. Pada era paradigma bottom up, seyogyanya peran aktif para

pemangku kepentingan menjadi hal yang diutaman.

2) Konflik perikanan masih terjadi dengan frekuensi 2-5 kali/tahun yang tercatat. Tidak

menutup kemungkinan telah terjadi konflik lebih dari 5 kali/tahun yang tidak tercatat

oleh sebab keterbatasan pengawasan. Konflik perikanan yang terjadi umumnya berkaitan

dengan wilayah peangkapan. Hingga saat ini, terdapat dua wilayah penangkapan di

Kabupaten Manggarai Barat. Dua wilayah tersebut adalah wilayah perairan di luar

kawasan TNK hingga 4 mil dan kawasan TNK. Kedua wilayah tersebut dikelola oleh

lembaga yang berbeda dengan aturan main yang berbeda. Hal yang menjadi catatan

adalah belum tercipta sinergitas lembaga dalam melakukan pengelolaan di kawasan

perairan sebagai satu kesatuan ekosistem. Pembatasan wilayah di perairan hanya

digunakan untuk mempermudah pemilihan kegiatan sesuai dengan kondisi habitan,

ekosistem dan sumberdaya yang tersedia.

3) Aturan main dalam pengelolaan perikanan, tidak saja aturan yang bersifat formal. Aturan

main non foral juga diberikan ruang dalam kegiatan ini. Kearifan dan pengetahuan lokal

merupakan salah satu aturan main non formal. Berkaitan dengan kearifan lokal, perlu

dilakukan kajian terhadap keberadaan kearifan lokal tersebut dan perkembangannya saat

ini. Namun apabila hasil kajian lanjutan ternyata tidak ditemui adanya kearifan lokal,

maka nilai domain sosial dapat ditingkatkan dengan memperhatikan dua indikator

lainnya.

Kegiatan perikanan dikembangkan sebenarnya memiliki tujuan untuk meningkatkan

kesejahteraan nelayan dan masyarakat dalam mengelola sumberdaya yang ada. Berbeda

dengan petani, nelayan tidak melakukan pemeliharaan ikan yang akan dipanen. Mengingat

produksi perikanan Kabupaten Manggarai Barat mencapai nilai puluhan ton, maka

sebenarnya dapat dipastikan kehidupan nelayan berada pada garis yang selayaknya. Namun

pada kenyataannya, peforma domain ekonomi adalah sedang.

Harapan perekonomian yang ingin dicapai dengan peforma sumberdaya ikan yang

baik, adalah baik. Komponen yang paling penting adalah rasio tabungan yang berhubungan

dengan kepemilikan aset. Sebagian besar responden mengaku tidak memiliki tabungan.

Mereka mengakui apabila pendapatan yang diterima habis terpakai untuk memenuhi

kebutuhan hidup rumah tangga. Apabila dilihat dari standar pendapatan, maka pendapatan

nelayan, khsusnya anak buah kapal masih dibawah UMR Provinsi NTT. Kondisi inilah

menjadi salah satu faktor bagi nelayan tidak memiliki tabungan. Faktor lainnya diduga belum

membudayanya kebiasaan menabung bagi para nelayan.

Domain keenam yang perlu diperhatikan adalah kelembagaan. Berkaitan dengan

domain terdapat beberapa hal yang perlu menjadi catatan antara lain:

1) Tingkat pelanggaran masih tinggai kaitannya dengan indikator tingkat kepatuhan

terhadap prinsip perikanan bertanggungjawab. Pelanggaran tersebut terjadi sebagai

akibat dari lemahnya fungsi pengawasan yang disebebkan oleh keterbatasan sarana dan

prasaranan serta sumberdaya manusia.

2) Aturan main, baik formal maupun informal belum lengkap. Oleh karena itu, perlu

dilakukan upaya untuk melengkapi aturan main tersebut. Sebagai contoh mekanisme

pelaporan ketika terjadi pelanggaran, baik yang terpantau oleh petugas dan/atau yang

dilaporkan oleh masyarakat. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, mereka

mengatakan bahwa pelanggaran terlihat namun mereka tidak tahu harus melaporkan

kepada siapa, dan dan bagaimana mekanismenya.

3) Mekanisme pengambilan keputusan antar lembaga dan di dalam lembaga tidak ada.

Sebagai contoh, pengambilan keputusan bersama antara Pemerintah Kabupaten

Manggarai Barat dengan BTNK kaitannya dengan keputusan dalam pengelolaan

perikanan secara bersama-sama, belum pernah dilakukan. Hal ini akan menjadi pemicu

konflik perikanan yang memmbingungkan masyarakat.

4) Perlu dilakukan tindak lanjut penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan sebagai salah

satu aturan main pengelolaan perikanan.

5) Komunikasi antar lembaga pengelola perikanan perlu dibangun agar terdapat mekanisme

pengaturan bersama-sama sehingga fungsi pengawasan dapat berjalan dengan baik.

6) Peningkatan kapasitas pemangku kepentingan sangat rendah sebagai akibat dari

ketersediaan dana yang terbatas. Oleh karena itu, perlu dilakukan perencanaan untuk

peningkatan kapasitas pemangku kepentingan.

BAB VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

1.7 KesimpulanDari hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Hasil analisis dengan indeks dekomposit menunjukkan bahwa pengelolaan perikanan

kurang mendapat perhatian (model bendera kuning) di 2 kabupaten di Provinsi NTT

(Sikka dan Manggarai Barat) dengan model bendera kuning muda atau bernilai kurang,

bila dikaitkan dengan pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem maka kedua

kabupaten tersebut belum sepenuhnya menerapkan EAFM. Mendapat perhatian serius

adalah domain-domain yang berstatus kurang dengan flag modeling berwarna kuning

muda, yang mendapat status sedang dengan flag modeling berwarna kuning, dan berstatus

buruk dengan flag modeling berwarna merah, serta indikator-indikator dengan skor 1.

2. Aktivitas Illegal, Unreported, and Unregulated perikanan (IUU Fishing) di daerah

penelitian sudah harus segera ditangani serius oleh aparat penegak hukum dan

stakeholder lainnya, karena akan menghambat upaya-upaya pengelolaan perikanan

berkelanjutan dan lestari.

3. Penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan Perikanan merupakan hal yang urgen dan

mendesak untuk mendukung upaya-upaya pengelolaan perikanan.

4. Restorasi ekosistem menjadi faktor kunci dalam pengelolaan perikanan menuju perikanan

berkelanjutan dan lestari.

1.8 RekomendasiBeberapa rekomendasi yang diberikan pada hasil penelitian ini, yaitu:

1. Perlunya perbaikan panduan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan analisis EAFM

ditingkat kabupaten (misalkan indikator kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan

ikan dengan dokumen legal dan indikator sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan

peraturan), untuk tingkat kabupaten hampir tidak didapatkan informasi dan data karena

mayoritas kapal yang digunakan nelayan dibawah 10 GT dan sertifikasi awak kapal

dikeluarkan bagi kapal yang berlayar diatas 60 mil dengan kapal ukuran diatas 10 GT.

2. Perlu kesepakatan tentang data sekunder yang digunakan (misalkan untuk indikator

CpUE baku), data sekunder berupa statistik perikanan tangkap dari dinas kelautan dan

perikanan secara jujur diragukan keakuratan datanya (perbedaan data antara kabupaten

dengan rekapan di provinsi terutama data trip dan produksi), bila disandingkan dengan

dengan data primer hasil wawancara nelayan untuk menetapkan nilai CpUE dalam

beberapa tahun terakhir akan terdapat perbedaan dari kedua sumber data tersebut, untuk

laporan ini kami masih menggunakan data statistik dengan alasan karena telah

dipublikasikan oleh lembaga negara.

3. Perlunya penetapan waktu yang ideal untuk penelitian EAFM, terutama bagi enumerator

dalam memperoleh data ukuran ikan, panduan mensyaratkan data primer ukuran ikan dari

pengukuran panjang total, sementara karena keterbatasan waktu enumerator hanya

mengandalkan informasi ukuran ikan dari wawancara nelayan, ada kemungkinan data

tersebut bias karena hanya merupakan pengakuan nelayan.

4. Untuk indikator metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan/atau ilegal pada

domain Teknologi Penangkapan Ikan, bila mengandalkan data frekuensi kasus untuk

menentukan skor indikator kemungkinan hasil akhirnya selalu rendah, mesti menjadi

perhatian juga terhadap kualitas dari kasus tersebut (penanganan ditingkat aparat penegak

hukum).

5. Kegiatan IUU Fishing perlu upaya pencegahan yang lebih mendalam dengan

memperhatikan beberapa hal:

- Melakukan identifikasi, menginventarisasi dan merefungsionalisasi model-model dan

penyebab serta pelaku Destruktif Fishing yang dilakukan oleh masyarakat.

- Sangat penting untuk diketahui tentang persepsi masyarakat tentang Destruktif

Fishing dan dampaknya yang akan ditimbulkan, terutama bagi terumbu karang,

karena semua daerah penelitian memiliki area konservasi.

- Perlu penyusunan dokumen perencanaan (misalnya rencana strategis dan rencana

aksi) dalam penanggulangan aktivitas IUU Fishing.

6. Mendorong pembuatan Rencana Pengelolaan Perikanan berdasarkan analisa EAFM.

Perlunya menindaklanjuti kajian EAFM sebagai basis pengelolaan perikanan yang

berkelanjutan dalam dokumen perencanaan daerah termasuk Rencana Pengelolaan

KKPD dalam peningkatan Performa EAFM.

REFERENSI

Anonimus, 2009. Laporan Akhir. Master Paln Kawasan Minapolitan Kabupaten Sikka. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sikka dan Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Institut Pertanian Bogor.

Anonimus, 2010. Profil Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kabupaten Sikka Provinsi Nusa Tenggara Timur. Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Bali. Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Anonimus, 2011. Rencana Strategis Pengelolaan Terumbu Karang. Project Management Unit Coral Reef Rehabilitation and Management Program (Coremap) Phase II Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sikka.

Adrianto L, Abdulah H, Achmad F, Audillah A, Handoko AS, Imam M, Mukhlis K, Sugeng HW, dan Yusli W., 2012. Modul Penilaian Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan Perikanan (EAFM). Jakarta: Direktorat Sumberdaya Ikan, WWF-Indonesia, dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB.

Adrianto L, Arsyad AM, Ahhmad S, dan Dede IH., 2011. Konstruksi Lokal Pengelolaan

Sumberdaya Perikanan di Indonesia. PT Penerbit IPB Press. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sikka, 2011. Sikka dalam Angka 2011. Kabupaten Sikka

Provinsi Nusa Tenggara Timur. Coremap, 2010. Monitoring Kesehatan Karang dan Ikan Karang di Kabupaten Sikka. PMU

Coremap Phase II dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sikka. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur., 2006. Statistik Perikanan

Tangkap Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Timur., 2007. Statistik Perikanan






Tangkap Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Fauzi A., 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan. Isu, Sintesis, dan Gagasan. Penerbit PT.

Gramedia Utama. Jakarta. Fauzi A dan Suzy Anna., 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan untuk

Analisis Kebijakan. Penerbit PT. Gramedia Utama. Jakarta. Kusumastanto, T, Luky Adrianto, dan Ario Damar., 2006. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan

Laut. Universitas Terbuka. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. Lain A. H.,2011. Analisis Ekologi–Ekonomi Pengelolaan Perikanan berbasis Ekosistem

Terumbu Karang (Studi Kasus Perairan Pulau Liwutongkidi, Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara). Tesis Pasca Sarjana, Intitut Pertanian Bogor.

Noor, R. Y, Khazali, M dan Suryadiputra, N. N.I.,1999. Panduan Pengenalan Mangrove di

Indonesia. PKA/WI-IP. Bogor. Sumardjono M, Nurhasan I, Ernan R, dan Damai AA., 2011. Pengaturan Sumberdaya Alam

Antara yang Tersurat dan Tersurat. Kajian Kritis Undang-undang Terkait Penataan Ruang dan Sumberdaya Alam. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Sikka Tahun 2012-

2016. Dokumen Perencanaan Daerah Kabupaten Sikka Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Stanis S, Donny M.B., Ayub M, Urbanus O.H, Feliks L, dan Vinsensius R. 2010.

Identifikasi, Revitalisasi dan Refungsionalisasi Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut dan Pesisir di Kabupaten Sikka. Kerjasama: Unit Pelaksana Rehabilitasi dan Engelolaan Terumbu Karang Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sikka dan LP3M Flobamora.

Widodo J dan Suadi., 2008. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

WWF, 2009. Survei Ekologi Kabupaten Sikka. Laporan Kegiatan. Yayasan WWF Indonesia,

Solor-Alor Project. Lembata, NTT.

2014 performa pengelolaan perikanan indikator eafm - eafm wpp 713 - sikka da… · menggunakan...

Documents