intr obat

Upload: marettacinta

Post on 19-Oct-2015

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

Interaksi obat dapat didefinisikan sebagai interaksi antara obat dan zat lainnya yang mencegah obat bekerja/melakukan seperti yang diharapkan. Definisi ini berlaku untuk interaksi obat-obatan dengan obat-obatan lainnya (obatinteraksi obat), serta obat-obatan dengan makanan (interaksi obat - makanan) dan zat lainnya (Nidhi, 2012). Interaksi demikian telah menimbulkan gangguan yang serius sehingga kadang-kadang menyebabkan kematian. Yang lebih sering terjadi adalah interaksi yang meningkatkan toksisitas atau turunnya efek terapi pengobatan sehingga pasien tidak merasa sehat kembali atau tidak cepat sembuh sebagaimana seharusnya (Harknoss, 1989).Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi interaksi obat. Interaksi obat dan makanan terjadi bila makanan yang dimakan mempengaruhi bahan dalam obat yang diminum sehingga obat tidak bisa bekerja sebagaimana mestinya. Pada sejumlah senyawa makanan menyebabkan peningkatan, penundaan, dan penurunan absorbsi obat Interaksi ini dapat menyebabkan efek yang berbeda-beda, dari mulai peningkatan atau penurunan efektivitas obat sampai efek samping (Mutschler, 1999).. Itulah sebabnya mengapa beberapa obat harus diminum pada waktu perut kosong (1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan) dan beberapa obat lain sebaiknya diambil bersamaan dengan makanan.1.2 Permasalahan

Apa yang dimaksud dengan interaksi obat makanan dan pengaruh makanan terhadap kerja obat?

1.3 Tujuan

Untuk mengetahui lebih jauh tentang interaksi obat makanan dan pengaruh makanan terhadap kerja obatBAB IIPEMBAHASAN2.1 Interaksi obatInteraksi obat adalah kejadian di mana suatu zat mempengaruhi aktivitas obat. Efek-efeknya bisa meningkatkan atau mengurangi aktivitas, atau menghasilkan efek baru yang tidak dimiliki sebelumnya. Interaksi obat bisa ditimbulkan oleh berbagai proses, antara lain perubahan dalam farmakokinetika obat tersebut, seperti absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi (ADME) obat (Caldwell dkk., 1995). Interaksi obat dapat didefinisikan sebagai interaksi antara obat dan zat lainnya yang mencegah obat bekerja/melakukan seperti yang diharapkan. Definisi ini berlaku untuk interaksi obat-obatan dengan obat-obatan lainnya (obatinteraksi obat), serta obat-obatan dengan makanan (interaksi obat - makanan) dan zat lainnya (Nidhi, 2012).Interaksi obat terjadi jika efek suatu obat (index drug) berubah akibat adanya obat lain (precipitant drug), makanan, atau minuman. Interaksi obat dapat menghasilkan efek yang memang dikehendaki (Desirable Drug Interaction), atau efek yang tidak dikehendaki (Undesirable/Adverse Drug Interactions = ADIs). Interaksi obat lazimnya menyebabkan efek samping obat dan/atau toksisitas karena meningkatnya kadar obat di dalam plasma, atau sebaliknya menurunnya kadar obat dalam plasma yang menyebabkan hasil terapi menjadi tidak optimal (Ament dkk., 2000).Interaksi diklasifikasikan berdasarkan keterlibatan dalam proses farmakokinetik maupun farmakodinamik. Interaksi farmakokinetik diakibatkan oleh perubahan laju atau tingkat absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Interaksi farmakodinamik biasanya dihubungkan dengan kemampuan suatu obat untuk mengubah efek obat lain tanpa mengubah sifat-sifat farmakokinetiknya (Caldwell, 1995).

2.2 Fase interaksi obat 1. Fase farmasetis Fase farmasetis merupakan fase awal dari hancur dan terdisolusinya obat. Beberapa makanan dan nutrisi mempengaruhi hancur dan larutnya obat. maka dari itu, keasaman makanan dapat mengubah efektifitas dan solubilitas obat-obat tertentu. Makanan dapat meningkatkan pH lambung, disisi lain juga dapat mencegah disolusi beberapa obat seperti isoniazid (INH) (Bushra, 2010).

2. Fase farmakokinetik

Fase farmakokinetik adalah absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat. Interaksi obat dan makanan paling signifikan terlibat dalam proses absorbsi. A. AbsorpsiObat-obat yang digunakan secara oral biasanya diserap dari saluran cerna ke dalam sistem sirkulasi. Ada banyak kemungkinan terjadi interaksi selama obat melewati saluran cerna. Absorpsi obat dapat terjadi melalui transport pasif maupun aktif, di mana sebagian besar obat diabsorpsi secara pasif. Bila kecepatan absorpsi berubah, interaksi obat secara signifikan akan lebih mudah terjadi. Mekanisme interaksi akibat gangguan absorpsi antara lain :

a. Interaksi langsung

Interaksi secara fisik/kimiawi antar obat dalam lumen saluran cerna sebelum absorpsi dapat mengganggu proses absorpsi. Interaksi ini dapat dihindarkan bila obat yang berinteraksi diberikan dalam jangka waktu minimal 2 jam.

b. Perubahan pH saluran cerna

Cairan saluran cerna yang alkalis, misalnya akibat adanya antasid, akan meningkatkan kelarutan obat yang bersifat asam yang sukar larut dalam saluran cerna, misalnya aspirin. Dengan demikian dipercepatnya disolusi aspirin oleh basa akan mempercepat absorpsinya. Akan tetapi, suasana alkalis di saluran cerna akan mengurangi kelarutan beberapa obat yang bersifat basa (misalnya tetrasiklin) dalam cairan saluran cerna, sehingga mengurangi absorpsinya. Berkurangnya keasaman lambung oleh antasida akan mengurangi pengrusakan obat yang tidak tahan asam sehingga meningkatkan bioavailabilitasnya. Ketokonazol yang diminum per oral membutuhkan medium asam untuk melarutkan sejumlah yang dibutuhkan sehingga tidak memungkinkan diberikan bersama antasida, obat antikolinergik, penghambatan H2, atau inhibitor pompa proton (misalnya omeprazol). Jika memang dibutuhkan, sebaiknya obat-obat ini diberikan sedikitnya 2 jam setelah pemberian ketokonazol.

c. pembentukan senyawa kompleks tak larut atau khelat

Interaksi antara antibiotik golongan fluorokinolon (siprofloksasin, enoksasin, levofloksasin, lomefloksasin, norfloksasin, ofloksasin dan sparfloksasin) dan ion-ion divalent dan trivalent (misalnya ion Ca2+ , Mg2+ dan Al3+ dari antasida dan obat lain) dapat menyebabkan penurunan signifikan absorpsi saluran cerna, bioavailabilitas dan efek terapetik akibat terbentuknya senyawa kompleks. Interaksi ini juga sangat menurunkan aktivitas antibiotik fluorokuinolon. Efek interaksi ini dapat secara signifikan dikurangi dengan memberikan antasida beberapa jam sebelum atau setelah pemberian fluorokuinolon. Jika antasida benar-benar dibutuhkan, penyesuaian terapi, misalnya penggantian dengan obat-obat antagonis reseptor H2 atau inhibitor pompa proton dapat dilakukan (Ismail dan Yaheya, 2009).d. obat menjadi terikat pada sekuestran asam empedu

Kolestiramin dan kolestipol dapat berikatan dengan asam empedu dan mencegah reabsorpsinya, akibatnya dapat terjadi ikatan dengan obat-obat lain terutama yang bersifat asam (misalnya warfarin). Sebaiknya interval pemakaian kolestiramin atau kolestipol dengan obat lain selama mungkin (minimal 4 jam).

e. perubahan fungsi saluran cerna (percepatan atau lambatnya pengosongan lambung, perubahan vaksularitas atau permeabilitas mukosa saluran cerna, atau kerusakan mukosa dinding usus). Beberapa obat antidiare (yang mengandung atapulgit) menyerap obat-obat lain, sehingga menurunkan absorpsi.

Di antara mekanisme di atas, yang paling signifikan adalah pembentukan kompleks tak larut, pembentukan khelat atau bila obat terikat resin yang mengikat asam empedu. Ada juga beberapa obat yang mengubah pH saluran cerna (misalnya antasida) yang mengakibatkan perubahan bioavailabilitas obat yang signifikan.

B. DistribusiSetelah obat diabsorpsi ke dalam sistem sirkulasi, obat di bawa ke tempat kerja di mana obat akan bereaksi dengan berbagai jaringan tubuh dan atau reseptor. Selama berada di aliran darah, obat dapat terikat pada berbagai komponen darah terutama protein albumin. Obat-obat larut lemak mempunyai afinitas yang tinggi pada jaringan adiposa, sehingga obat-obat dapat tersimpan di jaringan adiposa ini. Rendahnya aliran darah ke jaringan lemak mengakibatkan jaringan ini menjadi depot untuk obat-obat larut lemak sehingga memperpanjang efek obat. Obat-obat yang sangat larut lemak misalnya golongan fenotiazin, benzodiazepin dan barbiturat (Hughes, 1998).

Sejumlah obat yang bersifat asam mempunyai afinitas terhadap protein darah terutama albumin. Obat-obat yang bersifat basa mempunyai afinitas untuk berikatan dengan asam--glikoprotein. Bila dua atau lebih obat yang sangat terikat protein digunakan bersama-sama, terjadi kompetisi pengikatan pada tempat yang sama, yang mengakibatkan terjadi penggeseran salah satu obat dari ikatan dengan protein, dan akhirnya terjadi peningkatan kadar obat bebas dalam darah, misalnya penggunaan asam valproat dilaporkan menggeser fenitoin dari ikatannya dengan protein dan juga menghambat metabolisme fenitoin. Jika pasien mengkonsumsi kedua obat ini, kadar fenitoin tak terikat akan meningkat secara signifikan, menyebabkan efek samping yang lebih besar. Sebaliknya, fenitoin dapat menurunkan kadar plasma asam valproat. Terapi kombinasi kedua obat ini harus dimonitor dengan ketat serta dilakukan penyesuaian dosis (Paschoa dkk.,1998). Obat-obat yang cenderung berinteraksi pada proses distribusi adalah obat-obat yang :

a. persen terikat protein tinggi ( lebih dari 90%)

b. terikat pada jaringan

c. mempunyai volume distribusi yang kecil

d. mempunyai rasio eksresi hepatic yang rendah

e. mempunyai rentang terapetik yang sempit

f. mempunyai onset aksi yang cepat

g. digunakan secara intravena.

Obat-obat yang mempunyai kemampuan tinggi untuk menggeser obat lain dari ikatan dengan protein adalah asam salisilat, fenilbutazon, sulfonamid dan anti-inflamasi nonsteroid (Rolan, 1994)

C. MetabolismeUntuk menghasilkan efek sistemik dalam tubuh, obat harus mencapai reseptor, berarti obat harus dapat melewati membran plasma. Untuk itu obat harus larut lemak. Metabolisme dapat mengubah senyawa aktif yang larut lemak menjadi senyawa larut air yang tidak aktif, yang nantinya akan diekskresi terutama melalui ginjal. Obat dapat melewati dua fase metabolisme, yaitu metabolisme fase I dan II. Pada metabolisme fase I, terjadi oksidasi, demetilasi, hidrolisa oleh enzim mikrosomal hati yang berada di endothelium sehingga menghasilkan metabolit obat yang lebih larut dalam air. Pada metabolisme fase II, obat bereaksi dengan molekul yang larut air (misalnya asam glukuronat, sulfat, dsb) menjadi metabolit yang tidak atau kurang aktif, yang larut dalam air. Suatu senyawa dapat melewati satu atau kedua fase metabolisme di atas hingga tercapai bentuk yang larut dalam air. Sebagian besar interaksi obat yang signifikan secara klinis terjadi akibat metabolisme fase I dari pada fase II (Sakai,1998)

Beberapa obat bisa meningkatkan aktivitas enzim hepatik yang terlibat dalam metabolisme obat-obat lain. Misalnya fenobarbital meningkatkan metabolisme warfarin sehingga menurunkan aktivitas antikoagulannya. Sebagai alternative dapat digunakan sedative selain barbiturate, misalnya golongan benzodiazepine. Fenobarbital juga meningkatkan metabolisme obat-obat lain seperti hormone steroid. Barbiturat lain dan obat-obat seperti karbamazepin, fenitoin dan rifampisin juga menyebabkan induksi enzim. Piridoksin mempercepat dekarboksilasi levodopa menjadi metabolit aktifnya, dopamine, dalam jaringan perifer. Tidak seperti levodopa, dopamine tidak dapat melintasi sawar darah otak untuk memberikan efek antiparkinson. Pemberian karbidopa (suatu penghambat dekarboksilasi) bersama dengan levodopa dapat mencegah gangguan aktivitas levodopa oleh piridoksin (Olga, 2001).

Suatu obat dapat juga menghambat metabolisme obat lain, dengan dampak memperpanjang atau meningkatkan aksi obat yang dipengaruhi. Sebagai contoh, alopurinol mengurangi produksi asam urat melalui penghambatan enzim ksantin oksidase, yang memetabolisme beberapa obat yang potensial toksis seperti merkaptopurin dan azatioprin. Sementara simetidin menghambat jalur metabolisme oksidatif dan dapat meningkatkan aksi obat-obat yang dimetabolisme melalui jalur ini (contohnya karbamazepin, fenitoin, teofilin, warfarin dan sebagian besar benzodiazepine). Eritromisin dilaporkan menghambat metabolisme hepatik beberapa obat seperti karbamazepin dan teofilin sehingga meningkatkan efeknya. Obat golongan fluorokuinolon seperti siprofloksasin juga meningkatkan aktivitas teofilin, diduga melalui mekanisme yang sama (Olga, 2001).D. EkskresiKecuali obat-obat anestetik inhalasi, sebagian besar obat diekskresi lewat empedu atau urin. Darah yang memasuki ginjal sepanjang arteri renal, mula-mula dikirim ke glomeruli tubulus, dimana molekul-molekul kecil yang cukup melewati membran glomerular (air, garam dan beberapa obat tertentu) disaring ke tubulus. Molekul-molekul yang besar seperti protein plasma dan sel darah ditahan. Aliran darah kemudian melewati bagian lain dari tubulus ginjal dimana transport aktif yang dapat memindahkan obat dan metabolitnya dari darah ke filtrat tubulus. Sel tubulus kemudian melakukan transport aktif maupun pasif (melalui difusi) untuk mereabsorpsi obat. Interaksi bisa terjadi karena perubahan ekskresi aktif tubuli ginjal, perubahan pH dan perubahan aliran darah ginjal (Sakai,1998)

3. Fase farmakodinamik

Fase farmakodinamik merupakan respon fisiologis dan psikologis terhadap obat.Mekanisme obat tergantung pada aktifitas agonis atau antagonis, yang mana akan meningkatkan atau menghambat metabolisme normal dan fungsi fisiologis dalam tubuh manusia. Penelanan tablet dengan air yang cukup atau cairan lain penting untuk beberapa obat karena jika ditelan tablet tersebut cenderung merusak saluran oesophagus sehingga tablet atau kapsul obat harus ditelan dengan segelas air oleh pasien dengan posisi berdiri, misalnya untuk obat-obat seperti analgesik (contohnya aspirin), NSAID (contohnya Phenylbutazone, oxyphenbutazone, indometacin), kloralhidrat, emepromium bromida, kalium klorida, tetracyclin (terutama Doxycyclin).

2.3 Interaksi obat dengan makananMakanan dan obat dapat berinteraksi dalam banyak cara yang berbeda. Salah satu cara makanan dapat mempengaruhi efek obat adalah dengan mengubah cara obat-obat tersebut diuraikan oleh tubuh. Jenis protein yang disebut enzim, memetabolisme banyak obat. Beberapa makanan dapat membuat enzim-enzim ini bekerja lebih cepat atau lebih lambat, baik dengan memperpendek atau memperpanjang waktu yang dilalui obat di dalam tubuh. Jika makanan mempercepat enzim, obat akan lebih singkat berada di dalam tubuh dan dapat menjadi kurang efektif. Jika makanan memperlambat enzim, obat akan berada lebih lama dalam tubuh dan dapat menyebabkan efek samping yang tidak dikehendaki. Makanan dapat berikatan dengan obat, sehingga mengakibatkan absorbsi obat berkurang atau lebih lambat. Sebuah contoh diskusi tentang makanan yang berikatan dengan obat adalah interaksi tetrasiklin dengan produk-produk dari susu. Akibatnya adalah penurunan konsentrasi tetrasiklin dalam plasma. Oleh karena adanya efek pengikatan ini, maka tetrasiklin harus dimakan satu jam sebelum atau 2 jam sesudah makan dan tidak boleh dimakan dengan susu (Hayes dkk., 1996). Interaksi obat-makanan dalam saluran gastrointestinal dapat bermacam-macam. Contohnya obat mungkin terikat pada komponen makanan, makanan akan mempengaruhi waktu transit obat pada usus; obat dapat mengubah first-pass metabolism obat dalam usus dan dalam hati; dan makanan dapat meningkatkan aliran empedu yang mampu meningkatkan absorbsi beberapa obat yang larut lemak. Widianto (1989) mengemukakan beberapa kemungkinan yang menyebabkan dapat terjadinya interaksi obat dengan makanan, antara lain: Perubahan motilitas lambung dan usus, terutama kecepatan pengosongan lambung dari saat masuknya makanan Perubahan pH, sekresi asam serta produksi empedu Perubahan suplai darah di daerah splanchnicus dan di mukosa saluran cerna Dipengaruhinya absorpsi obat oleh proses adsorpsi dan pembentukan kompleks Dipengaruhinya proses transport aktif obat oleh makanan Perubahan biotransformasi dan eliminasi.

Peranan jenis makanan juga berpengaruh besar di sini. Protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral dapat berinteraksi dengan obat-obatan tertentu.

1. Protein (daging, dan produk susu)Sebagai contoh, dalam penggunaan Levadopa untuk mngendalikan tremor pada penderita Parkinson. Akibatnya, kondisi yang diobati mungkin tidak terkendali dengan baik. Hindari atau makanlah sesedikit mungkin makanan berprotein tinggi (Harknoss, 1989).2. LemakKeseluruhan dari pengaruh makan lemak pada metabolisme obat adalah bahwa apa saja yang dapat mempengaruhi jumlah atau komposisi asam lemak dari fosfatidilkolin mikrosom hati dapat mempengaruhi kapasitas hati untuk memetabolisasi obat. Kenaikan fosfatidilkolin atau kandungan asam lemak tidak jenuh dari fosfatidilkolin cenderung meningkatkan metabolism obat (Gibson, 1991).Contohnya : Efek Griseofulvin dapat meningkat.interaksi yang terjadi adalah interaksi yang menguntungkan dan grieseofluvin sebaiknya dimakan pada saat makan makanan berlemak seperti daging sapi, mentega, kue, selada ayam, dan kentang goring (Harkness, 1989).3. KarbohidratKarbohidrat tampaknya mempunyai efek sedikit pada metabolism obat, walaupun banyak makan glukosa, terutama sekali dapat menghambat metabolism barbiturate, dan dengan demikian memperpanjang waktu tidur. Kelebihan glukosa ternyata juga mengakibatkan berkurangnya kandungan sitokrom P-450 hati dan memperendah aktivitas bifenil-4-hidroksilase (Gibson, 1991). Sumber karbohidrat: roti, biscuit, kurma, jelli, dan lain-lain (Harkness, 1989).

4. VitaminVitamin merupakan bagian penting dari makanan dan dibutuhkan untuk sintesis protein dan lemak, keduanya merupakan komponen vital dari system enzim yang memetabolisasi obat. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa perubahan dalam level vitamin, terutama defisiensi, menyebabkan perubahan dalam kapasitas memetabolisasi obat. Contohnya :a. Vit A dan vit B dengan antacid, menyebabkan penyerapan vitamin berkurang.b. Vit C dengan besi, akibatnya penyerapan besi meningkat.c. Vit D dengan fenitoin (dilantin), akibatnya efek vit D berkurang.d. Vit E dengan besi, akibatnya aktivitas vit E menurun.(Harkness, 1989)5. MineralMineral merupakan unsur logam dan bukan logam dalam makanan untuk menjaga kesehatan yang baik. Unsur unsur yang telah terbukti mempengaruhi metabolisme obat ialah: besi, kalium, kalsium, magnesium, zink, tembaga, selenium, dan iodium. Makanan yang tidak mengandung magnesium juga secara nyata mengurangi kandungan lisofosfatidilkolin, suatu efek yang juga berhubungan dengan berkurangnya kapasitas memetabolisme hati. Besi yang berlebih dalam makanan dapat juga menghambat metabolisme obat. Kelebihan tembaga mempunyai efek yang sama seperti defisiensi tembaga, yakni berkurangnya kemampuan untuk memetabolisme obat dalam beberapa hal. Jadi ada level optimum dalam tembaga yang ada pada makanan untuk memelihara metabolism obat dalam tubuh (Gibson, 1991).

BAB IIIKESIMPULAN3.1 KesimpulanBerdasarkan pembahasan tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa

1. Interaksi antara obat dan makanan terjadi dalam tiga fase yaitu fase farmasetis, fase farmakokinetik, fase farmakodinamik. 2. Jenis makanan juga berpengaruh pada obat. Protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral dapat berinteraksi dengan obat-obatan tertentu.

DAFTAR PUSTAKA