imunopatologi tuberkulosis

7
Imunopatologi Tuberkulosis July 15, 2011 by Medicinesia This post has already been read 18871 times! Awal infeksi Transmisi M.tuberkulosis dilakukan melalui droplet udara yang kemudian dihirup oleh orang sehat. Sebagian besar bakteri terbuang oleh silia dari epitel respiratorius, namun terdapat beberapa kuman yang masuk ke dalam alveolus. 1 Infeksi TB terjadi bila jumlah bakteri mencapai 5 basil. 2 Kuman yang masuk ini kemudian difagositosis oleh makrofag yang belum teraktivasi secara spesifik. Fagositosis ini terjadi melalui interaksi dengan molekul permukaan makrofag, seperti reseptor komplemen, reseptor mannosa, reseptor igGFc, dan reseptor type A scavenger . Setelah fagositosis terjadi dan terbentuk fagosom, dinding bakteri menghasilkan LAM (glikolipid lipoarabinomannan) yang menghambat ion Ca2+ intrasel. Hal ini membuat fungsi fusi fagosom-lisosom yang dipicu oleh Ca2+/calmodulin terhambat dan bakteri dapat bertahan di dalam fagosom tersebut. Jika bakteri daapt menghentikan maturasi fagosom, bakteri tersebut dapat memulai replikasi dan melepaskan hasil replikasinya dengan membuat makrofag ruptur. 1 Makrofag dapat memfagositosis bakteri secara efektif bila jumlah bakteri yang masuk ke alveolus sedikit. Namun, ketika jumlah bakteri menjadi banyak, hal ini menyebabkan makrofag yang memfagositosis bakteri tersebut tidak optimal. Fungsi yang tidak optimal ini menyebabkan bakteri tersebut dapat bereplikasi dan menyebabkan infeksi TB lokal. Namun, ketika sistem pertahanan tubuh mulai bekerja dan mengatasi infeksi tersebut, terjadi pembentukan fokus parenkim yang terkalsifikasi, yang disebut lesi Ghon. Jika terdapat juga kalsifikasi pada nodus limfa di hilus, kedua lesi tersebut dinamakan kompleks Ranke. 2 Respons tubuh Prinsip utama respons imun terhadap bakteri ini melibatkan dua sel, yaitu makrofag dan sel limfosit T. Bakteri yang difagositosis makrofag kemudian dihancurkan. Epitop dari hasil penghancuran tersebut berikatan dengan antigen leukosit dan sel lain, yang mengikat epitop tersebut dengan permukaan makrofag untuk dipresentasikan dengan sel limfosit T. 2 Proses awal di mana terjadi replikasi dari M.tuberkulosis dapat menyebabkan kematian makrofag. Kemoatraktan yang dilepaskan setelah sel tersebut lisis, seperti komponen komplemen, molekul bakteri, dan sitokin, merekrut makrofag lain, termasuk sel dendritik. Makrofag yang memiliki antigen mikobakteri tersebut kemudian bermigrasi ke nodus limfa dan mempresentasikan antigen mikobakteri tersebut ke sel limfosit T. Pada saat ini, dimulai imunitas humoral dan imunitas yang dimediasi sel (CMI). Stadium ini biasanya asimptomatik. Setelah infeksi selama 2 – 4 minggu, terdapat dua respon terhadap M.tuberkulosis, yaitu respons CMI yang mengaktivasi makrofag dan respon kerusakan jaringan. Respons yang pertama merupakan respons di mana terjadi aktivasi makrofag yang dimediasi sel limfosit T. Sedangkan, respons kerusakan jaringan merupakan akibat dari reaksi

Upload: dini-iriani

Post on 29-Nov-2015

27 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

a

TRANSCRIPT

Page 1: Imunopatologi Tuberkulosis

Imunopatologi TuberkulosisJuly 15, 2011by Medicinesia

This post has already been read 18871 times!

Awal infeksiTransmisi M.tuberkulosis dilakukan melalui droplet udara yang kemudian dihirup oleh orang sehat. Sebagian besar bakteri terbuang oleh silia dari epitel respiratorius, namun terdapat beberapa kuman yang masuk ke dalam alveolus.1  Infeksi TB terjadi bila jumlah bakteri mencapai 5 basil.2  Kuman yang masuk ini kemudian difagositosis oleh makrofag yang belum teraktivasi secara spesifik. Fagositosis ini terjadi melalui interaksi dengan molekul permukaan makrofag, seperti reseptor komplemen, reseptor mannosa, reseptor igGFc, dan reseptor type A scavenger. Setelah fagositosis terjadi dan terbentuk fagosom, dinding bakteri menghasilkan LAM (glikolipid lipoarabinomannan) yang menghambat ion Ca2+ intrasel. Hal ini membuat fungsi fusi fagosom-lisosom yang dipicu oleh Ca2+/calmodulin terhambat dan bakteri dapat bertahan di dalam fagosom tersebut. Jika bakteri daapt menghentikan maturasi fagosom, bakteri tersebut dapat memulai replikasi dan melepaskan hasil replikasinya dengan membuat makrofag ruptur.1 Makrofag dapat memfagositosis bakteri secara efektif bila jumlah bakteri yang masuk ke alveolus sedikit. Namun, ketika jumlah bakteri menjadi banyak, hal ini menyebabkan makrofag yang memfagositosis bakteri tersebut tidak optimal. Fungsi yang tidak optimal ini menyebabkan bakteri tersebut dapat bereplikasi dan menyebabkan infeksi TB lokal. Namun, ketika sistem pertahanan tubuh mulai bekerja dan mengatasi infeksi tersebut, terjadi pembentukan fokus parenkim yang terkalsifikasi, yang disebut lesi Ghon. Jika terdapat juga kalsifikasi pada nodus limfa di hilus, kedua lesi tersebut dinamakan kompleks Ranke.2

Respons tubuhPrinsip utama respons imun terhadap bakteri ini melibatkan dua sel, yaitu makrofag dan sel limfosit T. Bakteri yang difagositosis makrofag kemudian dihancurkan. Epitop dari hasil penghancuran tersebut berikatan dengan antigen leukosit dan sel lain, yang mengikat epitop tersebut dengan permukaan makrofag untuk dipresentasikan dengan sel limfosit T.2 Proses awal di mana terjadi replikasi dari M.tuberkulosis dapat menyebabkan kematian makrofag. Kemoatraktan yang dilepaskan setelah sel tersebut lisis, seperti komponen komplemen, molekul bakteri, dan sitokin, merekrut makrofag lain, termasuk sel dendritik. Makrofag yang memiliki antigen mikobakteri tersebut kemudian bermigrasi ke nodus limfa dan mempresentasikan antigen mikobakteri tersebut ke sel limfosit T. Pada saat ini, dimulai imunitas humoral dan imunitas yang dimediasi sel (CMI). Stadium ini biasanya asimptomatik.Setelah infeksi selama 2 – 4 minggu, terdapat dua respon terhadap M.tuberkulosis, yaitu respons CMI yang mengaktivasi makrofag dan respon kerusakan jaringan. Respons yang pertama merupakan respons di mana terjadi aktivasi makrofag yang dimediasi sel limfosit T. Sedangkan, respons kerusakan jaringan merupakan akibat dari reaksi hipersensitivitas delayed (DTH) yang menghancurkan makrofag yang mengandung bakteri multiplikasi namun juga membuat kerusakan jaringan sekitar.1 Aktivasi sel T, makrofag, dan sekresi limfokin dan sitokin dapat menyebabkan kerusakan jaringan. Jika makrofag tidak bisa membunuh bakteri dan mengandung bakteri tersebut, antigen keluar dari sel dan menyebabkan migrasi monosit lebih banyak ke tempat lesi, terjadi peningkatan aktivitas makrofag, pembentukan granuloma yan glebih besar, dan menghasilkan nekrosis yang lebih luas.  Selain itu, sel limfosit T dapat menghancurkan makrofag yang mengandung bakteri sehingga terjadi pelepasan enzim yang menyebabkan nekrosis perkijuan dan kavitasi.3

Reaksi hipersensitivitas delayed-type

Page 2: Imunopatologi Tuberkulosis

Peningkatan jumlah sel T dan epitop bakteri menyebabkan reaksi hipersensitivitas delayed-type.2 Reaksi hipersensitivitas ini dapat menyebabkan kerusakan jaringan paru, akibat pembesaran lesi. Pada reaksi ini, terjadi invasi bakteri ke dinding bronkial dan pembuluh darah dan menyebabkan kerusakan. Hal ini menimbulkan kavitas di mana terjadi multiplikasi bakteri. Nekrosis perkijuan yang semakin banyak kemudian dikeluarkan melalui bronkus. Melalui hal tersebut, kavitas yang mengandung banyak bakteri dikeluarkan melalui jalan napas dengan manuever ekspirasi, seperti batuk dan berbicara.1 Hipersensitivitas ini kemudian digunakan sebagai pengukuran ada tidaknya infeksi M.tuberkulosis pada individu pada tes tuberkulin.2 Pada awal infeksi bakteri, makrofag yang berisi antigen bakteri bermigrasi menuju nodus limfa regional. Namun, melalui jalur ini, bakteri juga dapat bertransmisi ke pembuluh darah dan menyebar ke seluruh tubuh.1 Berdasarkan penelitian, tempat paling sering bakteri yang menyebar secara hematogen untuk berkumpul yaitu organ yang memiliki tekanan O2  paling tinggi untuk pertumbuhan bakteri. Bagian apeks paru merupakan bagian yang paling sering terkena infeksi karena PO2nya tinggi.2 Pada anak-anak yang memiliki imunitas yang rendah, penyebaran secara hematogen menyebabkan TB miliar yang fatal atau TB meningitis.1   Hal ini dapat diakibatkan granuloma yang kurang sehingga sistem pertahanan tubuh kurang optimal dalam mencegah penyebaran TB.2

Pembentukan granulomaLimfokin dan sitokin dapat membentuk granuloma yang kemudian menghancurkan dinding sel bakteri, menekan pertumbuhan, atau membunuh bakteri, dan membatasi pergerakan dan penyebaran infeksi ke seluruh tubuh.2  Granuloma ini terdiri atas makrofag yang banyak sehingga dapat menimbulkan tuberkel. Tuberkel ini terdiri atas kelim limfosit, sel epiteloid, sel datia Langhans, dan nekrosis perkijuan. Sel limfosit T tersebut diaktivasi oleh makrofag yang teraktivasi antigen untuk mensekresikan sitokin, seperti IFN-γ. Makrofag yang berkumpul di sekitar lesi berperan untuk menjaga lesi supaya tidak menyebar lebih jauh. Nekrosis perkijuan berada di tengah lesi, dan terjadi akibat dari respons kerusakan jaringan. Respons ini menghambat pertumbuhan M.tuberkulosis, namun juga membuat adanya fibrosis dan kalsifikasi pada parekim paru dan nodus limfa di hilus.1

Peran makrofag dan monositImunitas humoral berperan dalam proteksi namun tidak sebanyak peran CMI. Makrofag alveolar mensekresikan sitokin-sitokin yang berperan dalam menimbulkan pembentukan granuloma, demam, atau penurunan berat badan. Selain itu, sitokin ini dapat menarik monosit dan makrofag ke tempat lesi. Peran utama dari makrofag dan monosit ini yaitu melepaskan nitrit oksida yang memiliki efek antimikobakteri.1 Senyawa ini diaktivasi oleh dua sitokin, yaitu IFN-γ yang dihasilkan sel T CD4+ dan TNF-α yang dihasilkan makrofag yang memfagositosis bakteri. Makrofag juga menghasilkan senyawa oksigen reaktif, yaitu hidrogen peroksida dan radikal hidroksil.2 Selain itu, terjadi pelepasan sitokin, seperti TNF-α dan IL-1 yang kemudian meregulasi nitrogen reaktif. Makrofag juga dapat memicu apoptosis yang berfungsi untuk mencegah pelepasan bakteri yang bermultiplikasi.1   Makrofag yang distimulasi IFN-γ kemudian menghasilkan TNF yang menarik monosit yang akan menjadi sel epiteloid.3

Peran sel limfosit TSel limfosit T yang teraktivasi melalui antigen bakteri menyebabkan proliferasi sel tersebut.1 Sel T CD4+ mensekresikan limfokin, seperti IL-2 (berperan dalam menstimulasi pertumbuhan sel T) dan IFN-γ (mediator aktivasi makrofag dan penting dalam efek bakterisidal dari makrofag).2   Aktivasi sel T CD4+ kemudian berkembang menjadi sel Th1 atau Th2.1   Adanya diferensiasi sel Th1 bergantung pada IL-12 yang diproduksi oleh APC yang memiliki komponen bakteri. Sel Th1 matur ini kemudian mensekresikan IL-2 dan IFN-γ. Senyawa IFN-γ ini menstimulasi pembentukan fagolisosom pada makrofag yang terinfeksi dan menstimulasi ekspresi iNOS (inducible nitric oxide synthase) yang kemudian menghasilkan NO. Namun, respons terhadap Th1 ini juga menghasilkan nekrosis perkijuan dan granuoma.3 Senyawa IFN-γ juga dapat mengatur produksi nitrogen

Page 3: Imunopatologi Tuberkulosis

reaktif dan mengatur gen yang berperan dalam menimbulkan efek bakterisidal. Sedangkan, sel Th2 menghasilkan IL-4 IL-5, IL-10, dan IL-13 yang memicu imunitas humoral. Sel T CD8+ berperan dalam respon sitotoksik, membuat lisis sel yang terinfeksi, dan menghasilkan IFN-γ dan TNF-α. Aktivitas litik dari sel T CD8+ ini juga diatur oleh sel NK.1

Lipid dan protein yang terdapat pada mikobakterialM.tuberkulosis memiliki banyak antigen protein, beberapa terdapat dalam sitoplasma dan dinding sel, dan yang lain disekresikan. Terdapat protein yang bersifat protektif terhadap mikobakterium, yaitu antigen 30-kDa dan ESAT-6. Sedangkan, lipid berperan dalam pengenalan bakteri terhadap sistem imun. Lipoprotein pada bakteri, seperti 19-kDa, dapat memicu pembentukan TLR pada sel dendritik.1 Sel T yang mengenali antigen lipid bakteri kemudian berikatan dengan CD1 pada APC atau sel T yang menghasilkan reseptor T γδ juga dapat menghasilkan IFN-γ.3

Resistensi terhadap infeksiBeberapa penelitian mengatakan bahwa genetik merupakan faktor yang mempengaruhi daya tahan tubuh innate terhadap infeksi M.tuberkulosis. Faktor genetik ini membuat adanya perbedaan daya tahan tubuh tiap orang. Gen NRAMP1 merupakan gen yang berperan dalam resistensi ini.1 Protein NRAMP1 merupakan protein transmembran pada endosom dan lisosom yang berperan untuk memompa kation divalen ke dalam lisosom, sehingga dapat terbentuk radikal oksigen yang dapat menghancurkan bakteri.3   Selain itu, gen HLA (histocompatibility leukocyte antigen), IFN-γ, TGF-β, IL-10, protein mannose-binding, reseptor IFN-γ, TLR-2, reseptor vitamin D, dan IL-1, juga berperan dalam resistensi terhadap infeksi tuberkulosis ini.1

Reaktivitas skin testTes kulit/tuberkulin/Mantoux menggunakan prinsip DTH untuk mendeteksi infeksi M.tuberkulosis pada orang tanpa gejala. Sel yang berperan dalam hal ini yaitu limfosit T CD4+ yang berproliferasi dan memproduksi sitokin.Selain pertahanan tubuh, DTH ini juga berperan dalam perlindungan terhadap reaktivasi. Namun, sistem daya tahan tubuh ini tidak memberikan perlindungan sepenuhnya, yang terlihat dari adanya reinfeksi akibat M.tuberkulosis dengan strain yang baru.1 Reinfeksi bakteri terhadap individu yang pernah terinfeksi menyebabkan peningkatan respons sel T namun juga dapat mengakibatkan peningkatan kerusakan jaringan.2

Gambar 1. Proses imunopatologi tuberkulosis

Page 4: Imunopatologi Tuberkulosis

 

Sumber: Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Aster JC. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease. Ed ke-8. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010.

Vaksin BCGVaksinasi dan imunisasi merupakan dua istilah yang sering digunakan dalam menyebut proses tersebut. Vaksinasi berarti pemberian vaksin, sedangkan imunisasi berarti suatu keadaan yang menginduksi imunitas, baik aktif maupun pasif. Karena itu, vaksinasi tidak menjamin adanya suatu imunisasi/tercetusnya imunitas seseorang, dan imunisasi tidak selalu melalui vaksinasi.

Prinsip imunisasiVaksin terdiri atas antigen kuman yang dilemahkan atau dibunuh, atau juga molekul protein/karbohidrat dari kuman, yang berguna untuk mencetuskan respons imun yang bersifat melindungi, namun bisa juga hal ini berbahaya bagi individu tersebut. Respons imun spesifik yang terbentuk melibatkan pembentukan antibodi atau sel imun yang mengenali antigen tersebut. Imunitas ini dipicu oleh imunisasi aktif atau pasif. Imunisasi aktif, yang dilakukan melalui pemberian vaksin, menginduksi imunitas yang bersifat jangka panjang. Sedangkan, imunisasi pasif, yang dilakukan dengan pemberian substansi imun yang dibuat, menginduksi imunitas yang tidak bertahan lama. Namun, perlu diperhatikan bila dilakukan pemberian imunisasi aktif dan pasif sekaligus, karena kombinasi dua hal tersebut dapat mengganggu perkembangan imunitas tubuh.Pada imunisasi aktif, terdapat dua jenis kuman yang digunakan, yaitu kuman yang masih hidup namun dilemahkan (virus campak) dan kuman yang diinaktifkan (virus influenza) atau produk dari kuman tersebut (hepatitis B). Vaksin yang berisi kuman yang dilemahkan menyebabkan sakit ringan sehingga mencetuskan respons imun yang mirip pada infeksi biasa. Vaksin ini biasanya hanya butuh dosis tunggal, namun vaksin ini berisiko menimbulkan infeksi. Vaksin yang berisi kuman yang diinaktifkan atau hanya molekul dari kuman tersebut membutuhkan dosis multipel sehingga perlu diberikan secara periodik. Namun, vaksin ini memiliki efektivitas yang tinggi.

Page 5: Imunopatologi Tuberkulosis

Respons imun terhadap vaksin1 Respons imun primerRespons primer ini merupakan periode laten sebelum respons imun terdeteksi. Butuh sekitar 7 – 10 hari supaya sel limfosit B memproduksi antibodi yang cukup sehingga dapat terdeteksi. Antibodi IgM cepat diproduksi namun memiliki afinitas yang rendah terhadap antigen. Setelah minggu pertama, antibodi IgG yang memiliki afinitas tinggi mulai diproduksi. Penggantian IgM menjadi IgG membutuhkan sel limfosit T CD4+.Aktivasi respons ini membutuhkan pengenalan antigen oleh HLA spesifik yang terdapat di permukaan limfosit dan makrofag. Beberapa individu tidak menunjukkan respon terhadap beberapa antigen, walaupun berulang kali vaksin diberikan, karena individu tersebut tidak memiliki gen HLA spesifik untuk mengenali antigen. Keadaan ini disebut kegagalan vaksin primer.Respons imun sekunderRespons ini terdiri atas respons CMI atau imunitas humoral yang diakibatkan oleh pajanan sekunder terhadap antigen yang sama. Respons ini bergantung pada memori yang dimiliki imun setelah pajanan primer. Karakteristik respons ini yaitu peningkatan antibodi IgG yang diproduksi limfosit B atau sel T efektor. Revaksinasi atau infeksi dapat mencetuskan respons imun sekunder yang cepat, di mana kadar IgG lebih banyak.

Vaksin BCGVaksin BCG (bacile Calmette-Guerin)merupakan vaksin untuk mencegah penyakit tuberkulosis, terutama TB anak, TB meningitis, dan TB miliar.1 Efek protektif ini bersifat jangka panjang, dan lebih baik pada bayi dan anak-anak dibandingkan pada orang dewasa.4 Vaksin ini merupakan bagian dari imunisasi aktif yang menggunakan bakteri yang dilemahkan, yaitu M.bovis. Pemberian vaksin ini dilakukan secara intradermal.Vaksin BCG termasuk aman dan jarang menimbulkan komplikasi yang serius. Respons imun mulai setelah 2 – 3 minggu vaksinasi.Indikasi vaksin BCG:

Bayi baru lahir dan anak-anak, terutama pada negara yang memiliki prevalensi tuberkulosis yang tinggi1

individu yang belum pernah terinfeksi M.tuberkulosis sebelumnya dan memiliki risiko untuk terinfeksi, seperti pekerja kesehatan, individu yang tinggal serumah dengan penderita TB, dan lain-lain4 Kontraindikasi vaksin BCG:4

individu dengan penyakit defisiensi imun, seperti HIV dan defisiensi reseptor IFN-γ keganasan yang membuat kondisi imun menurun sedang menggunakan kortikosteroid atau terapi radiasi yang mengganggu fungsi imun

tubuh penyakit kulit yang berat luka bakar individu dengan hasil TST (tuberculin skin test) positif

Efek samping : adenitis regional ulkus pada tempat injeksi osteomyelitis infeksi BCG pada individu imunokompromis1 limfadenopati regional limfadenitis supuratif hepatomegali, splenomegali4

 disusun oleh Elisabet Lana

 

Daftar pustaka:1. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, et al. Harrison’s

Principles of Internal Medicine. Ed ke-17. Philadelphia: McGraw-Hill; 2008.

Page 6: Imunopatologi Tuberkulosis

2. Mason RJ, Murray JF, Broaddus VC, Nadel JA. Murray & Nadel’s Textbook of Respiratory Medicine. Ed ke-4. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2005.

3. Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Aster JC. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease. Ed ke-8. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010.

4. Sanofi Pasteur. BCG Vaccine (Freeze-Dried) [internet]. 2011 [diunduh 12 Juli 2011]. Diunduh darihttps://www.vaccineshoppecanada.com/secure/pdfs/ca/BCG_Vaccine_E.pdf.