imunopatologi tuberkulosis

16
IMUNOPATOLOGI TUBERKULOSIS A. Awal infeksi Transmisi M.tuberkulosis dilakukan melalui droplet udara yang kemudian dihirup oleh orang sehat. Sebagian besar bakteri terbuang oleh silia dari epitel respiratorius, namun terdapat beberapa kuman yang masuk ke dalam alveolus. 1 Infeksi TB terjadi bila jumlah bakteri mencapai 5 basil. 2 Kuman yang masuk ini kemudian difagositosis oleh makrofag yang belum teraktivasi secara spesifik. Fagositosis ini terjadi melalui interaksi dengan molekul permukaan makrofag, seperti reseptor komplemen, reseptor mannosa, reseptor igGFc, dan reseptor type A scavenger. Setelah fagositosis terjadi dan terbentuk fagosom, dinding bakteri menghasilkan LAM (glikolipid lipoarabinomannan) yang menghambat ion Ca2+ intrasel. Hal ini membuat fungsi fusi fagosom-lisosom yang dipicu oleh Ca2+/calmodulin terhambat dan bakteri dapat bertahan di dalam fagosom tersebut. Jika bakteri dapat menghentikan maturasi fagosom, bakteri tersebut dapat memulai replikasi dan melepaskan hasil replikasinya dengan membuat makrofag ruptur. 1 Makrofag dapat memfagositosis bakteri secara efektif bila jumlah bakteri yang masuk ke alveolus sedikit.

Upload: imatirp

Post on 12-Dec-2015

43 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

Imunopatologi Tuberkulosis

TRANSCRIPT

IMUNOPATOLOGI TUBERKULOSIS

A. Awal infeksi

Transmisi M.tuberkulosis dilakukan melalui droplet udara yang kemudian

dihirup oleh orang sehat. Sebagian besar bakteri terbuang oleh silia dari epitel

respiratorius, namun terdapat beberapa kuman yang masuk ke dalam

alveolus.1 Infeksi TB terjadi bila jumlah bakteri mencapai 5 basil.2 Kuman yang

masuk ini kemudian difagositosis oleh makrofag yang belum teraktivasi secara

spesifik. Fagositosis ini terjadi melalui interaksi dengan molekul permukaan

makrofag, seperti reseptor komplemen, reseptor mannosa, reseptor igGFc, dan

reseptor type A scavenger. Setelah fagositosis terjadi dan terbentuk fagosom, dinding

bakteri menghasilkan LAM (glikolipid lipoarabinomannan) yang menghambat ion

Ca2+ intrasel. Hal ini membuat fungsi fusi fagosom-lisosom yang dipicu oleh

Ca2+/calmodulin terhambat dan bakteri dapat bertahan di dalam fagosom tersebut.

Jika bakteri dapat menghentikan maturasi fagosom, bakteri tersebut dapat memulai

replikasi dan melepaskan hasil replikasinya dengan membuat makrofag ruptur.1

Makrofag dapat memfagositosis bakteri secara efektif bila jumlah bakteri

yang masuk ke alveolus sedikit. Namun, ketika jumlah bakteri menjadi banyak, hal

ini menyebabkan makrofag yang memfagositosis bakteri tersebut tidak optimal.

Fungsi yang tidak optimal ini menyebabkan bakteri tersebut dapat bereplikasi dan

menyebabkan infeksi TB lokal. Namun, ketika sistem pertahanan tubuh mulai bekerja

dan mengatasi infeksi tersebut, terjadi pembentukan fokus parenkim yang

terkalsifikasi, yang disebut lesi Ghon. Jika terdapat juga kalsifikasi pada nodus limfa

di hilus, kedua lesi tersebut dinamakan kompleks Ranke.2

B. Respons tubuh

Prinsip utama respons imun terhadap bakteri ini melibatkan dua sel, yaitu

makrofag dan sel limfosit T. Bakteri yang difagositosis makrofag kemudian

dihancurkan. Epitop dari hasil penghancuran tersebut berikatan dengan antigen

leukosit dan sel lain, yang mengikat epitop tersebut dengan permukaan makrofag

untuk dipresentasikan dengan sel limfosit T.2

Proses awal di mana terjadi replikasi dari M.tuberkulosis dapat menyebabkan

kematian makrofag. Kemoatraktan yang dilepaskan setelah sel tersebut lisis, seperti

komponen komplemen, molekul bakteri, dan sitokin, merekrut makrofag lain,

termasuk sel dendritik. Makrofag yang memiliki antigen mikobakteri tersebut

kemudian bermigrasi ke nodus limfa dan mempresentasikan antigen mikobakteri

tersebut ke sel limfosit T. Pada saat ini, dimulai imunitas humoral dan imunitas yang

dimediasi sel (CMI). Stadium ini biasanya asimptomatik.

Setelah infeksi selama 2 – 4 minggu, terdapat dua respon terhadap

M.tuberkulosis, yaitu respons CMI yang mengaktivasi makrofag dan respon

kerusakan jaringan. Respons yang pertama merupakan respons di mana terjadi

aktivasi makrofag yang dimediasi sel limfosit T. Sedangkan, respons kerusakan

jaringan merupakan akibat dari reaksi hipersensitivitas delayed (DTH) yang

menghancurkan makrofag yang mengandung bakteri multiplikasi namun juga

membuat kerusakan jaringan sekitar.1Aktivasi sel T, makrofag, dan sekresi limfokin

dan sitokin dapat menyebabkan kerusakan jaringan. Jika makrofag tidak bisa

membunuh bakteri dan mengandung bakteri tersebut, antigen keluar dari sel dan

menyebabkan migrasi monosit lebih banyak ke tempat lesi, terjadi peningkatan

aktivitas makrofag, pembentukan granuloma yang lebih besar, dan menghasilkan

nekrosis yang lebih luas.  Selain itu, sel limfosit T dapat menghancurkan makrofag

yang mengandung bakteri sehingga terjadi pelepasan enzim yang menyebabkan

nekrosis perkejuan dan kavitasi.3,6

C. Reaksi hipersensitivitas delayed-type

Peningkatan jumlah sel T dan epitop bakteri menyebabkan reaksi

hipersensitivitas delayed-type.2Reaksi hipersensitivitas ini dapat menyebabkan

kerusakan jaringan paru, akibat pembesaran lesi. Pada reaksi ini, terjadi invasi bakteri

ke dinding bronkial dan pembuluh darah dan menyebabkan kerusakan. Hal ini

menimbulkan kavitas di mana terjadi multiplikasi bakteri. Nekrosis perkejuan yang

semakin banyak kemudian dikeluarkan melalui bronkus. Melalui hal tersebut, kavitas

yang mengandung banyak bakteri dikeluarkan melalui jalan napas dengan manuever

ekspirasi, seperti batuk dan berbicara.1Hipersensitivitas ini kemudian digunakan

sebagai pengukuran ada tidaknya infeksi M.tuberkulosis pada individu pada tes

tuberkulin.2

Pada awal infeksi bakteri, makrofag yang berisi antigen bakteri bermigrasi

menuju nodus limfa regional. Namun, melalui jalur ini, bakteri juga dapat

bertransmisi ke pembuluh darah dan menyebar ke seluruh tubuh.1Berdasarkan

penelitian, tempat paling sering bakteri yang menyebar secara hematogen untuk

berkumpul yaitu organ yang memiliki tekanan O2 paling tinggi untuk pertumbuhan

bakteri. Bagian apeks paru merupakan bagian yang paling sering terkena infeksi

karena PO2nya tinggi.2

Pada anak-anak yang memiliki imunitas yang rendah, penyebaran secara

hematogen menyebabkan TB miliar yang fatal atau TB meningitis.1 Hal ini dapat

diakibatkan granuloma yang kurang sehingga sistem pertahanan tubuh kurang

optimal dalam mencegah penyebaran TB.2

D. Pembentukan granuloma

Limfokin dan sitokin dapat membentuk granuloma yang kemudian

menghancurkan dinding sel bakteri, menekan pertumbuhan, atau membunuh bakteri,

dan membatasi pergerakan dan penyebaran infeksi ke seluruh tubuh.2 Granuloma ini

terdiri atas makrofag yang banyak sehingga dapat menimbulkan tuberkel. Tuberkel

ini terdiri atas kelim limfosit, sel epiteloid, sel datia Langhans, dan nekrosis

perkejuan. Sel limfosit T tersebut diaktivasi oleh makrofag yang teraktivasi antigen

untuk mensekresikan sitokin, seperti IFN-γ. Makrofag yang berkumpul di sekitar lesi

berperan untuk menjaga lesi supaya tidak menyebar lebih jauh. Nekrosis perkejuan

berada di tengah lesi, dan terjadi akibat dari respons kerusakan jaringan. Respons ini

menghambat pertumbuhan M.tuberkulosis, namun juga membuat adanya fibrosis dan

kalsifikasi pada parekim paru dan nodus limfa di hilus.1

E. Peran makrofag dan monosit

Imunitas humoral berperan dalam proteksi namun tidak sebanyak peran CMI.

Makrofag alveolar mensekresikan sitokin-sitokin yang berperan dalam menimbulkan

pembentukan granuloma, demam, atau penurunan berat badan. Selain itu, sitokin ini

dapat menarik monosit dan makrofag ke tempat lesi. Peran utama dari makrofag dan

monosit ini yaitu melepaskan nitrit oksida yang memiliki efek

antimikobakteri.1Senyawa ini diaktivasi oleh dua sitokin, yaitu IFN-γ yang dihasilkan

sel T CD4+ dan TNF-α yang dihasilkan makrofag yang memfagositosis bakteri.

Makrofag juga menghasilkan senyawa oksigen reaktif, yaitu hidrogen peroksida dan

radikal hidroksil.2,5,6 Selain itu, terjadi pelepasan sitokin, seperti TNF-α dan IL-1 yang

kemudian meregulasi nitrogen reaktif. Makrofag juga dapat memicu apoptosis yang

berfungsi untuk mencegah pelepasan bakteri yang bermultiplikasi.1 Makrofag yang

distimulasi IFN-γ kemudian menghasilkan TNF yang menarik monosit yang akan

menjadi sel epiteloid.3,6

F. Peran sel limfosit T

Sel limfosit T yang teraktivasi melalui antigen bakteri menyebabkan

proliferasi sel tersebut.1Sel T CD4+ mensekresikan limfokin, seperti IL-2 (berperan

dalam menstimulasi pertumbuhan sel T) dan IFN-γ (mediator aktivasi makrofag dan

penting dalam efek bakterisidal dari makrofag).2,5,6 Aktivasi sel T CD4+ kemudian

berkembang menjadi sel Th1 atau Th2.1,6 Adanya diferensiasi sel Th1 bergantung

pada IL-12 yang diproduksi oleh APC yang memiliki komponen bakteri. Sel Th1

matur ini kemudian mensekresikan IL-2 dan IFN-γ. Senyawa IFN-γ ini menstimulasi

pembentukan fagolisosom pada makrofag yang terinfeksi dan menstimulasi ekspresi

iNOS (inducible nitric oxide synthase) yang kemudian menghasilkan NO. Namun,

respons terhadap Th1 ini juga menghasilkan nekrosis perkijuan dan

granuoma.3Senyawa IFN-γ juga dapat mengatur produksi nitrogen reaktif dan

mengatur gen yang berperan dalam menimbulkan efek bakterisidal. Sedangkan, sel

Th2 menghasilkan IL-4 IL-5, IL-10, dan IL-13 yang memicu imunitas humoral. Sel T

CD8+ berperan dalam respon sitotoksik, membuat lisis sel yang terinfeksi, dan

menghasilkan IFN-γ dan TNF-α. Aktivitas litik dari sel T CD8+ ini juga diatur oleh

sel NK.1,6

G. Lipid dan protein yang terdapat pada mikobakterial

M.tuberkulosis memiliki banyak antigen protein, beberapa terdapat dalam

sitoplasma dan dinding sel, dan yang lain disekresikan. Terdapat protein yang bersifat

protektif terhadap mikobakterium, yaitu antigen 30-kDa dan ESAT-6. Sedangkan,

lipid berperan dalam pengenalan bakteri terhadap sistem imun. Lipoprotein pada

bakteri, seperti 19-kDa, dapat memicu pembentukan TLR pada sel dendritik.1Sel T

yang mengenali antigen lipid bakteri kemudian berikatan dengan CD1 pada APC atau

sel T yang menghasilkan reseptor T γδ juga dapat menghasilkan IFN-γ.3

H. Resistensi terhadap infeksi

Beberapa penelitian mengatakan bahwa genetik merupakan faktor yang

mempengaruhi daya tahan tubuh innate terhadap infeksi M.tuberkulosis. Faktor

genetik ini membuat adanya perbedaan daya tahan tubuh tiap orang. Gen NRAMP1

merupakan gen yang berperan dalam resistensi ini.1Protein NRAMP1 merupakan

protein transmembran pada endosom dan lisosom yang berperan untuk memompa

kation divalen ke dalam lisosom, sehingga dapat terbentuk radikal oksigen yang dapat

menghancurkan bakteri.3 Selain itu, gen HLA (histocompatibility leukocyte antigen),

IFN-γ, TGF-β, IL-10, protein mannose-binding, reseptor IFN-γ, TLR-2, reseptor

vitamin D, dan IL-1, juga berperan dalam resistensi terhadap infeksi tuberkulosis ini.1

I. Reaktivitas skin test

Tes kulit/tuberkulin/Mantoux menggunakan prinsip DTH untuk mendeteksi

infeksi M.tuberkulosis pada orang tanpa gejala. Sel yang berperan dalam hal ini yaitu

limfosit T CD4+ yang berproliferasi dan memproduksi sitokin.

Selain pertahanan tubuh, DTH ini juga berperan dalam perlindungan terhadap

reaktivasi. Namun, sistem daya tahan tubuh ini tidak memberikan perlindungan

sepenuhnya, yang terlihat dari adanya reinfeksi akibat M.tuberkulosis dengan strain

yang baru.1Reinfeksi bakteri terhadap individu yang pernah terinfeksi menyebabkan

peningkatan respons sel T namun juga dapat mengakibatkan peningkatan kerusakan

jaringan.2

Gambar 1. Proses imunopatologi tuberkulosis

 

Sumber: Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Aster JC. Robbins and Cotran Pathologic

Basis of Disease. Ed ke-8. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010.

J. Vaksin BCG

Vaksin BCG (bacile Calmette-Guerin)merupakan vaksin untuk mencegah

penyakit tuberkulosis, terutama TB anak, TB meningitis, dan TB miliar.1Efek

protektif ini bersifat jangka panjang, dan lebih baik pada bayi dan anak-anak

dibandingkan pada orang dewasa.4

Vaksin ini merupakan bagian dari imunisasi aktif yang menggunakan bakteri

yang dilemahkan, yaitu M.bovis. Pemberian vaksin ini dilakukan secara

intradermal.Vaksin BCG termasuk aman dan jarang menimbulkan komplikasi yang

serius. Respons imun mulai setelah 2 – 3 minggu vaksinasi.

Indikasi vaksin BCG:

Bayi baru lahir dan anak-anak, terutama pada negara yang memiliki prevalensi

tuberkulosis yang tinggi1

individu yang belum pernah terinfeksi M.tuberkulosis sebelumnya dan memiliki

risiko untuk terinfeksi, seperti pekerja kesehatan, individu yang tinggal serumah

dengan penderita TB, dan lain-lain4

Kontraindikasi vaksin BCG:4

individu dengan penyakit defisiensi imun, seperti HIV dan defisiensi reseptor

IFN-γ

keganasan yang membuat kondisi imun menurun

sedang menggunakan kortikosteroid atau terapi radiasi yang mengganggu fungsi

imun tubuh

penyakit kulit yang berat

luka bakar

individu dengan hasil TST (tuberculin skin test) positif

Efek samping :

adenitis regional

ulkus pada tempat injeksi

osteomyelitis

infeksi BCG pada individu imunokompromis1

limfadenopati regional

limfadenitis supuratif

hepatomegali, splenomegali4

Daftar Pustaka

1. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, et al.

Harrison’s Principles of Internal Medicine. Ed ke-17. Philadelphia: McGraw-Hill;

2008.

2. Mason RJ, Murray JF, Broaddus VC, Nadel JA. Murray & Nadel’s Textbook of

Respiratory Medicine. Ed ke-4. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2005.

3. Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Aster JC. Robbins and Cotran Pathologic Basis of

Disease. Ed ke-8. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010.

4. Sanofi Pasteur. BCG Vaccine (Freeze-Dried) [internet]. 2011 [diunduh 27 Agustus

2015].Diunduh dari https://www.vaccineshoppecanada.com/secure/pdfs/ca/BCG_V

accine_E.pdf.

5. Riadi A. Tuberkulosis dan HIV-AIDS. Jurnal Tuberkulosis Indonesia. Departemen

Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UI, RS Persahabatan, Jakarta

2012; 8: 24-29

6. Borgdorff M, et al. Immune Responses in TB. The International Journal of

Tuberculosis and Lung Disease,. The Official Journal of the International Union

Against Tuberculosis and Lung Disease. 2014; 18 (11): S100-S105.

Tugas

IMUNOPATOLOGI TUBERKULOSIS

Oleh :

Pritami G99141112

Penguji :

dr. Jatu Aphridasari Sp. P(K)

BAGIAN PULMONOLOGI

DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2015