impetigo krustosa

Upload: agung-a-c-e

Post on 29-Oct-2015

43 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

asd

TRANSCRIPT

BAB II

BAB I

PENDAHULUAN

Impetigo krustosa adalah bentuk pioderma yang paling sederhana. Menyerang epidermis, dimana gambaran yang dominan ialah krusta yang khas, berwarna kuning kecoklatan seperti madu yang berlapis lapis (Siregar, 1991).

Impetigo biasanya disebabkan oleh bakteri stafilokokus aureus, meskipun bakteri lain, streptokokus pyogen (Group A streptokokus beta hemolyticus) juga mempunyai kontribusi pada keadaan ini. Kedua type bakteri ini hidup pada kulit kita dan tidak berbahaya hingga masuk kedalam kulit melalui luka dan menyebabkan infeksi (Anonymus, 2002).

Biasanya diawali dengan luka pada wajah anak, tersering disekeliling hidung dan mulut. Luka tersebut dengan cepat pecah, mengeluarkan cairan atau nanah yang kemudian membentuk krusta berwarna kuning madu. Meskipun krusta tersebut akhirnya hilang, biasanya meninggalkan bekas berwarna merah yang akhirnya sembuh tanpa jaringan parut. Luka tersebut mungkin gatal namun tidak sakit (Anonymus, 2002).

Impetigo krustosa mudah menular dan terutama mengenai anak anak yang belum sekolah. Penyakit ini mengenai kedua jenis kelamin, laki laki dan perempuan, sama banyak (Sjahrial, 2000).

Karena impetigo krustosa sering ditemukan pada anak anak usia prasekolah dan menular, maka perlu diketahui lebih lanjut bagi praktisi medis khususnya dan para orang tua pada umumnya agar lebih mengenal dan dapat mengatasinya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKAA. Definisi

Impetigo Krustosa adalah bentuk pioderma yang paling sederhana. Menyerang epidermis, dimana gambaran yang dominan ialah krusta yang khas, berwarna kuning kecoklatan seperti madu yang berlapis lapis (Siregar, 2000).

B. Etiologi

Impetigo biasanya disebabkan oleh bakteri stafilokokus aureus, meskipun bakteri lain, streptokokus pyogenikum yaitu Group A Beta Hemolyticus Streptococcus (GABHS) juga mempunyai kontribusi pada keadaan ini. Kedua type bakteri ini hidup pada kulit kita dan tidak berbahaya hingga masuk kedalam kulit melalui luka dan menyebabkan infeksi (Anonymus, 2002).

C.Insidensi

Impetigo krustosa mudah menular dan terutama mengenai anak anak yang belum sekolah. Penyakit ini mengenai kedua jenis kelamin, laki laki dan perempuan, sama banyak (Sjahrial, 2000).

Anak anak dapat menyebarkan infeksi dengan menyentuh daerah yang terinfeksi dan kemudian menyentuh bagian tubuh lainnya. Infeksi ini juga dapat menular ke anggota keluarga lainnya melalui pakaian, handuk, dan seprei yang telah terkontaminasi oleh penderita impetigo (Anonymus, 2003)

D. Patofisiologi

Sumber infeksi yang ditemukan pada anak anak adalah binatang kesayangan (kucing, anjing), kuku jari yang kotor, dan anak lain yang terinfeksi. Sedangkan pada orang dewasa adalah tempat pemangkas rambut, salon kecantikan, kolam renang, dan anak yang terinfeksi (Mulyono, 1986).

Streptokokus group A terdapat dikulit normal anak anak sekitar 10 hari sebelum terjadi impetigo, dan streptokokus itu tidak didapati dihidung dan ditenggorokan penderita sebelum 14 20 hari setelah kulit terinfeksi oleh bakteri itu. Streptokokus dapat ditemui disaluran napas pada 30 % anak penderita impetigo, tapi tidak terdapat tanda tanda klinis faringitis streptokokus. Maka dapat disimpulkan bahwa urutan penyebaran pada seorang penderita ialah dari kulit normal ke lesi dan seketika itu juga ke saluran napas. Sebaliknya urutan penyebaran stafilokokus aureus ialah dari hidung ke kulit normal (kira kira 11 hari kemudian) dan lesi ke kulit (sesudah 11 hari pula). Sesudah streptokokus itu terkontaminasi ke kulit normaldapat berasal dari anggota keluarga lain atau kontak erat dengan seseorang yang kulitnya telah terkoloni atau menderita piodermadibutuhkan faktor predisposisi berupa trauma kecil, seperti gigitan serangga atau abrasi, untuk terjadinya impetigo (Sjahrial, 2000).

Berikut adalah faktor faktor yang meningkatkan resiko terjadinya impetigo (Anonymus, 2002) :

Kontak langsung dengan anak atau orang dewasa yang menderita impetigo atau kontak dengan handuk yang telah terkontaminasi. Tempat tidur atau pakaian.

Kondisi yang penuh / sesak.

Hangat, iklim lembabinfeksi impetigo lebih sering pada musim panas.

Olah raga yang melibatkan kontak kulit seperti sepak bola atau gulat.

Menderita dermatitis kronik, khususnya dermatitis atopi.

Impetigo dapat lebih dari satu bentuk. Beberapa penulis mengatakan bahwa perbedaan tersebut melibatkan strain stafilokokus dan aktivitas yang relatif dari eksotoksinnya (Park, 2002).

E. Manifetasi Klinik

Gejala subjektif biasanya berupa rasa gatal. Predileksi terutama pada bagian tubuh yang terpapar seperti muka, tangan, leher dan ekstremitas. Dapat pula terjadi pada scalp sebagai komplikasi pedikulosis kapitis (Mulyono, 1986).

Lesi awal berupa makula eritematosa berukuran 1 2 mm, segera berubah menjadi vesikel atau bula. Karena dinding vesikel tipis, mudah pecah dan mengeluarkan sekret seropurulen kuning kecoklatan. Selanjutnya mengering membentuk krusta yang berlapis lapis berwarna kuning madu (Siregar, 1991).

Effloresensi Impetigo Krustosa menurut Purwohusodo (1979) terdiri dari :

Krusta yang khas, yaitu

Bertumpuk karena sekret cepat mengering

Warna seperti madu (honey coloured)

Bentuk krusta bulat, polisiklik

Stuck-on crust, artinya melengket ketat, jika diangkat dengan paksa, terus berdarah, yang terangkat hanya sebagian saja. Dibawahnya ada erosi kecil, dengan serum

Pembentukan krusta disini bukan berarti penyembuhan, tetapi dibawahnya terus terbentuk sekret, yang cepat mengering, akibatnya kropeng disini menjadi bertumpuk

Disamping krusta, terdapat juga vesikula, pustula yang milier dan lentikuler

Dinding vesikula tipis sekali, sehingga mudah pecah secara spontan, yaitu dengan sendirinya pecah dalam waktu beberapa jam saja

Seluruh proses berlangsung beberapa minggu, jika tidak diobati. Penyembuhan berlangsung tanpa parut, karena hanya superfisial di epidermis saja. F. Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan peradangan superfisial folikel pilosebasea bagian atas. Terbentuk bula atau vesikopustulosa subkornea yang berisi kokus serta debris berupa leukosit dan sel epidermis. Pada lapisan dermis didapatkan reaksi peradangan ringan berupa dilatasi pembuluh darah, edema dan infiltrasi PMN (Siregar, 1991).

Kerusakan sel progresif sekunder terhadap pelepasan eksotoksin, endotoksin dan multiplikasi organisme intraseluler. Faktor leukotaktik membawa leukosit ke area peradangan yang menyebabkan eksudat purulenta (Rassner, 1983).

G. Diagnosis

Diagnosis didasarkan pada umur penderita, yang biasanya anak anak, dan krusta yang melekat ke dasarnya, berwarna kuning, dengan erupsi vesikula yang mengeluarkan sekret, serta distribusi di muka, dan tungkai (Sjahrial, 2000).

H. Diagnosis Banding

Diagnosis banding Impetigo Krustosa menurut Siregar (1991) adalah :

1. Varisela, lesi lebih kecil, berbatas tegas, umbilikasi vesikel.

2. Ektima, lesi lebih besar, lebih dalam dan peradangan lebih besar.

3. Impetigenisasi, pioderma sekunder, prosesnya menahun sering masih tampak penyakit dasarnya.

I. Perjalanan Penyakit

Jika tidak diobati, impetigo akan berlangsung terus dan lesi lesi baru akan muncul selama beberapa minggu. Sesudah itu, impetigo cenderung sembuh sendiri, kecuali bila terdapat kelainan kulit yang mendasarinya, seperti eksema. Jarang sekali timbul komplikasi serius atau bakteriemia. Gejala sisa yang berat ialah nefritis (Sjahrial, 2000).

Insidensi glomerulonefritis poststreptokokus tidak dipengaruhi oleh terapi infeksi pada indeks pasien, tapi terapi antibiotik akan membatasi endemik alami dengan menghambat penyebarannya terhadap orang lain (Park, 2002).

J. Terapi

Terapi Impetigo Krustosa dibedakan menjadi 2 macam, yaitu umum dan khusus.

a. Umum

Terapi Impetigo Krustosa secara umum menurut Sjahrial (2000) adalah dengan :

1. Memperbaiki keadaan higiene penderita dan lingkungan.

2. Menjauhkan anak anak yang sehat dari anak anak yang menderita impetigo krustosa.

b. Khusus

Terapi Impetigo Krustosa secara khusus menurut Mulyono (1986) yaitu dengan :

Topikal

1. Solusio Burow, solusio Permanganas Kalikus 1/5000, atau solusio Betadin 10 %, lesi dikompres dengan larutan tersebut 3 4 kali sehabis mandi.

2. Salep atau krim Basitrasin / Neomisin / Polimisin. Bila krusta telah terkelupas dan lesi kering dapat dioleskan salep atau krim tersebut. Pemberian penisilin dan sulfonamida secara topikal tidak dianjurkan karena sering menimbulkan sensitisasi.

Sistemik

Antibiotik

Diberikan pada impetigo yang luas / berat, adanya gejala konstitusi seperti demam, atau tidak ada respon terhadap terapi topikal. Dapat diberikan injeksi tunggal intramuskular dengan dosis 600.000 U Penisilin Benzatin pada anak anak atau 1.200.000 U pada orang dewasa. Penderita yang sensitif terhadap Penisilin dapat diberikan Eritromisin atau Kloksasiklin per oral dengan dosis 4 X 125 mg pada anak anak atau 4 X 250 mg pada dewasa selama 10 hari.

K. Prognosis

Selama masa neonatal, pasien yang mendapatkan terapi yang cepat dan tepat mempunyai tingkat kesembuhan yang tinggi tanpa meninggalkan jaringan parut atau komplikasi. Neonatus mempunyai insidensi yang lebih tinggi untuk berkembang menjadi infeksi umum dan meningitis. Lesi umumnya sembuh sempurna dalam 7 10 hari dengan terapi. Terapi dengan antibiotik tidak akan mencegah atau menghentikan glomerulonefritis (Park, 2002).

L. Pencegahan

Jika salah satu anggota keluarga ada yang menderita impetigo, dapat dicegah penyebarannya dengan tindakan tindakan dibawah ini (Anonymus, 2002) :

1. Basuh dengan lembut daerah yang terkena dengan sabun pada air yang mengalir.

2. Cuci pakaian anak yang terinfeksi, seprei, dan handuk setiap hari dan jangan berbagi dengan anggota keluarga yang lain.

3. Mengenakan sarung tangan ketika memberi salep antibiotik dan cuci tangan setelahnya.

4. Potong kuku anak yang terinfeksi untuk menghindari garukan dan menganjurkannya agar sering mencuci tangan.

5. Menjaga anak agar tetap berada dirumah hingga dokter mengatakan bahwa ia sembuh atau tidak menularkan penyakitnya.

BAB III

KESIMPULAN1. Impetigo krustosa adalah salah bentuk pioderma yang paling sederhana. Menyerang epidermis, dimana gambaran yang dominan ialah krusta yang khas, berwarna kuning kecoklatan seperti madu berlapis lapis.

2. Penyebabnya adalah stafilokokus aureus dan kadang juga dapat disebabkan oleh streptokokus group A atau keduanya.

3. Insidensinya banyak ditemukan pada anak anak usia prasekolah dengan predileksi terutama pada bagian tubuh yang terpapar seperti muka, tangan, leher dan ekstremitas.

4. Lesi awal berupa makula eritematosa berukuran 1 2 mm, segera berubah menjadi vesikel atau bula. Karena dinding vesikel tipis, mudah pecah dan mengeluarkan sekret seropurulen kuning kecoklatan. Selanjutnya mengering membentuk krusta yang berlapis lapis berwarna kuning madu.

5. Diagnosis didasarkan pada umur penderita, yang biasanya anak anak, dan krusta yang melekat ke dasarnya, berwarna kuning, dengan erupsi vesikula yang mengeluarkan sekret, serta distribusi di muka, dan tungkai.

6. Terapi dibedakan menjadi 2 macam yaitu umum dan khusus. Terapi umum dengan menjaga kebersihan penderita dan lingkungan dan menjauhkannya dari orang lain agar tidak tertular. Sedangkan terapi khusus yaitu topikal dengan menggunakan desinfektan dan antibiotik berbentuk salep dan terapi sistemik dengan menggunakan antibiotik sistemik.

7. Untuk menghindari infeksi kepada orang lain, perlu dilakukan tindakan tindakan pencegahan berupa :

Basuh dengan lembut daerah yang terkena dengan sabun pada air yang mengalir.

Cuci pakaian anak yang terinfeksi, seprei, dan handuk setiap hari dan jangan berbagi dengan anggota keluarga yang lain.

Mengenakan sarung tangan ketika memberi salep antibiotik dan cuci tangan setelahnya.

Potong kuku anak yang terinfeksi untuk menghindari garukan dan menganjurkannya agar sering mencuci tangan.

Menjaga anak agar tetap berada dirumah hingga dokter mengatakan bahwa ia sembuh atau tidak menularkan penyakitnya.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymus. 2003, Health and Wellness,WWW.AmericanAnonymus. 2002, Impetigo, Last Updated November 13th 2002, WWW.Mayoclinic.ComMulyono. 1986, Pedoman Pengobatan Penyakit Kulit Dan Kelamin, 1st Ed, Meidian Mulya Jaya, Jakarta

Park, R. 2002, Impetigo, Last Updated April 24th 2002, WWW.eMedicine.Com Purwohusodo, T. 1979, Ciri ciri Khas Penyakit Kulit Dan Kelamin, FKUI, Jakarta

Rassner, G. 1983, Atlas Dermatologi Dengan Diagnosis Banding, 2nd Ed, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta

Siregar, R.S. 1991, Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta

Sjahrial. 2000, Infeksi Bakteri Stafilokok Dan Streptokok, dalam Harahap, M, (Ed), Ilmu Penyakit Kulit, Hipokrates, Jakarta : 46 60

11